November 2012…
1 Semua Berawal dari Candaan
G
ue duduk sambil ngangguk-ngangguk di kursi gue. Sesekali mata gue melirik ke papan tulis di depan, sambil mendengar dan memperhatikan guru biologi yang sedang menjelaskan di depan. Mata gue berasa banget ada airnya, seakan gue anak alay yang nangis akibat diputusin pacarnya. Dari kejauhan, gue keliatan seperti boneka pegas yang terlalu banyak dilumuri oli. Kenyataannya adalah gue sangat ngantuk siang ini. Suasana ruangan bimbel yang tidak terlalu luas dengan dua pendingin ruangan enambelas-derajat-celsius cukup untuk menjadikan ruangan ini menjadi neraka versi dingin. Berkali-kali gue menguap dan ingin tertidur, tapi suara guru biologi yang keras dan membahana seantero ruangan menyadarkan gue, meskipun suara itu lebih terdengar seperti bahasa asing dari planet Mars. Alasan gue ngantuk tingkat dewa adalah akibat gue tidur kemalaman. Alasan gue tidur kemalaman karena gue harus telponan. Alasan gue telponan karena pacar—lebih tepatnya, mantan pacar—gue minta putus. Dan saat ini, kayaknya gue terkena sindrom galau. Kayaknya, sih. “Aduh!” Gue menggaruk kepala gue yang sakit. Arman baru saja menoyor kepala gue pake pulpen yang ia pegang. “Kenapa sih, lo?” tanya gue kesal. “Lo yang kenapa? Mata lo banjir gitu. Nangis lo?”
“Enak aja. Gue ngantuk tingkat dewa.” “Ngantuk tingkat dewa? Baru tau gue dewa bisa ngantuk. Alay lo!” “Dewa kan bebas mau ngapain aja. Terserah dia mau ngantuk atau enggak!” “Lo merusak tatanan kehidupan para dewa. Awas lo, entar ditangkap Lucifer.” “Biarin. Toh Lucifer udah jinak. Sekarang aja udah jadi judul lagu buat Boyband. Kan keliatan Lucifer itu alay juga.” “Tumben lo jenius?” Gue diem. Arman diem. Hanya suara guru di depan yang sekarang malah kedengaran seperti Lucifer menuntut balas ke gue. ♥♥♥ Gue tiduran di spring bed bercorak tim bola kesayangan gue. Kaki kiri gue menggantung ke lantai, tangan kanan di atas kepala dan gue memakai topi caping. Tunggu, itu masa lalu gue saat masih menggunakan nama samaran ‘Sarimin’. Malam minggu kali ini gue kesepian. Gak seperti malam minggu sebelumnya, dan malam minggu sebelumnya lagi, dan malam minggu sebelumnya lagi, dan malam minggu sebelumnya lagi, dan malam minggu sebelumnya lagi, dan… Tidak untuk malam minggu sebelumnya lagi, karena saat itu gue sama keadaannya seperti saat ini, dalam posisi yang sama, menghadap langit-langit kamar sambil menikmati (baca: meratapi) nasib gue yang jomblo. Terkadang hidup berasa aneh, saat keadaan taken berubah menjad jomblo. Keadaan menjadi sepi, saat sms dan telepon
tak lagi menemani. Keadaan jadi suram, karena gue bingung, ini novel komedi atau novel menggalau. “HENTIKAN KEGILAAN INI!” Pintu kamar gue dibuka dengan keras, diiringi dengan lampu kamar yang padam. Sebuah siluet hitam terlihat berdiri sambil berkacak pinggang di pintu. Kepalanya terlihat menggeleng-geleng, kemudian dia berjalan sambil tetap merepet. “KENAPA! APA YANG TERJADI! KENAPA DENGAN LO, ADAM! KENAPA KAMAR LO GELAP?” Gue bangkit dan duduk di tempat tidur. “Kenapa lo banting pintu, Bego? Lo kayak baru dua kali datang ke kamar gue. Saklar lampu gue kena pintu kalo pintunya dibanting.” “Oh iya. Gue khilaf.” Arman membalik pintu dan menyalakan lampu lagi. Kemudian dia menghampiri gue. “Kenapa lagi, lo? Kayaknya dari sekolah lo ga ada nafsu gitu?” “Iya, gue sepertinya mesti ke klinik itu—klinik apa namanya?” “Kampret, gue serius!” Hening sejenak. “Jawab, woy!” “Gue putus, Man.” Hening lagi. Arman menatap gue dengan pandangan gak jelas. Ada rasa paranoid hadir memenuhi otak gue saat melihat tatapan Arman. Jangan-jangan efek jomblo tujuhbelas tahun malah merubah sistem kerja otaknya. “LO PUTUS LAGI? APA HARUS SETIAP GUE DATENG KE RUMAH LO, BERITA YANG GUE DAPET DARI LO ADALAH LO PUTUS DARI PACAR LO?”
Gue menepuk dahi. Arman berteriak kayak orang kesetanan lagi. Pintu kamar digebrak lagi, membuat lampu kamar padam lagi. “AYO MASUK DAN SERANG MUSUH YANG SEDANG MENYUSUN STRATEGI!” “KEJAR!” Dalam gelap, gue menepuk dahi (lagi). Dua makhluk planet merkurius (baca: adik gue) berlarian mengelilingi kamar, di dalam kegelapan. “Kebiasaan lo teriak-teriak di kamar gue. Jadi masuk sepasang binatang buas ini,” gumam gue kesal. “Gini-gini kan adek lo juga.” Gue semakin mendengus. “Gini-gini yang buat mereka masuk itu lo. Usir sono!” perintah gue. “Lah? Kok gue yang ngusir?” “Karena gara-gara elo kan, Kampret!” Gue menyandarkan badan gue ke sandaran kasur. Arman menyerah dan dia bangkit dari duduknya. Kedua adik gue masih berkeliaran di kamar gue yang harusnya rapi (sekarang sepertinya enggak lagi, deh!). “Ayo, anak-anak. Kita harus segera membasmi kejahatan yang berkeliaran di muka bumi. Tapi sebelumnya, siapa yang mau ikut Abang untuk mengambil sepiring spageti di dapur?” Gue masih diem sambil melihat bayangan Raka dan Riko yang sepertinya sedang tertarik dengan suatu benda di meja belajar gue. Ada ekspresi kelicikan terpancar dari mereka dan menimbulkan sinar-sinar radiasi yang mengancam tubuh gue. “Spageti?” suara Raka yang agak beratan dibanding adiknya kedengaran.
“MAU! MAU! MAU!” seru dua makhluk itu. Heran, mudah banget Arman nyuruh adek-adek gue untuk ikut dengan dia. Lah, kalo gue? Bahkan dengan sogokan duapuluh ribu untuk mereka gak bakal berhasil. Lebih suka yang biru atau yang merah kayaknya. “Kalo begitu, berjalanlah kalian di depan sebagai pemimpin yang pantas untuk dihargai oleh pengikutnya! Jadikan Ksatria Raka dan Ksatria Riko pemimpin yang kuat dan bijaksana!” Arman menambahkan. Raka dan Riko terlihat senyum-senyum penuh nafsu, dan mereka siap berdiri di depan Arman. “Baik! Ayo jalan!” seru Arman, dan mereka bertiga jalan seperti tiga ekor bebek salah gaul. Sesampainya di luar pintu, Arman buru-buru balik, menutup pintu dan menguncinya. Kemudian dia menyalakan lampu kamar gue kembali. “Cocok juga lo sama adek-adek gue. Bungkus sana, bawa pulang. Sekalian si Raka dikaretin dua. Dia kan rada pedes,” gue berkata sambil tertawa renyah. “Bego, lo! Adek sendiri lo gituin. Bersyukur kek kalo punya adek.” “Yaelah. Mulai curhat nih anak bungsu bangkotan.” Gue mengambil guling dan menabok Arman. Dia cengengesan dan ngejatuhin badannya ke kasur. “Jadi, kenapa lo bisa putus lagi?” Arman akhirnya membuka pokok permasalahan utama yang sebelumnya sempat tertunda. “Ah, gak tau deh gue. Pusing!” gue mengambil hape gue dan mulai ngutak-atik gak jelas. “Elo jadian dengan dia udah berapa lama?” tanya Arman lagi. Gue berpikir sejenak. Faktanya, gue tidak bisa berpikir terlalu keras karena akan menimbulkan asap dan bau tak sedap dari kepala gue. “Harusnya besok itu anniversary yang kelima.”
“Hah? Lima bulan?” “Bukan…” jawab gue dengan tegas. “Lima minggu.” “Buset! Lima minggu?” tanya Arman kaget seakan baru mendengar ada bom meledak di salah satu WC Umum. “Emangnya kenapa?” “Itu mesti banget setiap minggu diperingati?” “Ya, kayaknya gitu, sih. Setidaknya tiap pukul 00.00 gue akan sms atau telpon dia dan ucapin happy anniversary seminggu sayang, dua minggu sayang, tiga minggu enam hari sayang.” “Buset! Itu cewek atau kalender sih?” Gue diem, enggak ngejawab pertanyaan retoris dari Arman (ya iyalah, ngapain juga jawab pertanyaan retoris). “Lo bakalan nyari cewek lagi atau enggak, nih?” tanya Arman usai keheningan yang mengundang setansetan. “Enggak tau, deh. Gue bosen kali, ya? “Itu yang baru putus, mantan lo yang keberapa?” “Yang ketigabelas.” “Tigabelas? Bukannya duabelas? Lo masukin keabsurd-an lo ke dalam itungan jumlah mantan lo?” “Kenapa enggak? Itung-itung biar cepat memenuhi target teori bokap gue.” “A—Apa? Lo percaya dengan kalimat bokap lo?” tanya Arman yang hampir berteriak lagi. “Kayaknya gue percaya, deh. Siapa tau itu emang manjur. Lo liat aja deh, bokap gue dengan teorinya berhasil mendapatkan istri secantik nyokap gue.” Arman menatap gue dengan mata mendelik, muka blo’on dan ingus yang meleleh (oke ini terlalu lebay). Tatapannya berubah seperti Opie Kumis yang saat bangun pagi kehilangan kumisnya dan digantikan oleh jenggot
sehingga dia berubah menjadi Opie Jenggot. Intinya, Arman kaget setengah hidup. “Itu kan enggak realistis, Dam. Elo harusnya bisa percaya dengan kalimat dari Om lo, yang membuat teori berdasarkan fakta dan realita.” “Emangnya iya? Toh bokap gue juga punya fakta dan realita. Dia sendiri.” Semua yang gue bicarakan dengan Arman, yang keliatannya sebagai percakapan paling absurd seantero bumi ini, berawal dari ulangtahun gue yang ketujuhbelas, awal tahun 2012 yang lalu. ♥♥♥