1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan salah satu bencana yang menimbulkan kerugian bagi manusia. Banjir akan menjadi masalah jika bantaran banjir berupa dataran rendah yang luas sudah menjadi daerah terbangun dengan nilai sosial ekonomi tinggi termasuk daerah pertanian (Pawitan 2003a). Penyebab banjir ada dua hat yaitu yang terkait dengan kondisi atmosfer dan kondisi di permukaaan. Kondisi ahnosfer yang dimaksud adalah curah hujan yang tinggi. Sedangkan kondisi di permukaan bisa berupa ukuran daerah aliran sungai (DAS), topografi DAS dan jenis penggunaan atau tutupan lahan. Walaupun demikian, kebanyakan banjir yang selama ini terjadi, didahului oleh adanya curah hujan yang tinggi (hujan tebat) dan lama. Proses terjadinya hujan tersebut membutuhkan kondisi atmosfer yang mendukung (Doswell el a/. 1996; Doswell 2000). Beberapa penelitian tentang banjir telah banyak dilakukan. Akan tetapi, penelitian tersebut lebih banyak ditujukan untuk daerah Jakarta atau daerah lain baik di dalam maupun luar negeri. Salah satu banjir yang menarik untuk dipelajari adalah banjir di Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 26 Desember 2007 sampai 7 Januari 2008. Banjir tersebut mempakan bencana banjir terbesar di Indonesia sepanjang tahun 2007 dan kejadian banjir terbesar di ekskaresidenan Bojonegoro selama 50 tahun terakhir. Kejadian banjir tersebut meliputi lebib dari setengah jumlah kecamatan di Kabupaten Bojonegoro (16 kecamatan dari 27 kecamatan yang ada di Kabupaten Bojonegoro). Kerugian yang diakibatkan oleh banjir tersebut mencapai Rp 600 miliar (Tempointeraktif 2007a; Antara 2008; DPU Kabupaten Bojonegoro 2008; Gatra 2008). Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan agar memperoleh gambaran spesifk terkait banjir di Kabupaten Bojonegoro tersebut. Beberapa sumber menyebutkan bahwa banjir di Kabupaten Bojonegoro tersebut disebabkan oleh adanya curah hujan yang tinggi (NASA 2008; TRMM 2008). Hal ini hams didukung oleh analisis kondisi atmosfer di atas wilayah setempat. Kondisi atmosfer dapat dianalisis dengan melakukan FIIgamatan ndara atas. Pengamatan udara atas dapat dilakukan dengan menggunakan pilot balon, radiosonde, rawinsonde, radar
dan satelit (Miller & Thompson 1979; Hsu 1988). Di antara alat-alat tersebut, yang lazim digunakan dalam melakukan pengamatan secara in silu (pengamatan di tempat) adalah radiosonde atau cawinsonde (radiosonde yang mcngamati parameter angin). Di Indonesia, hanya ada beberapa stasiun cuaca yang melakukan peluncuran radiosonde atau rawinsonde. Khusus di pulau Jawa, stasiun cuaca yang melakukan peluncuran radiosonde atau rawinsonde secara rutin banya Cengkarerig (Jakarta) dan Juanda (Surabaya). Oleh karena itu, di daerah kajim yang tidak melakukan peluncuran radiosonde atau rawinsonde perlu ada cara lain unhik mendapatkan data dalam rangka mengamati udara atas tersebut. 1.2 Tujuan
Tujuan peneliti~m ini adalah menjelaskan kondisi atmosfer saat terjadi banjir tanggal 26 Desernber 2007-7 Januari 2008 di Kabupaten Bojonegoro. 1.3 Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah membantu memahami kondisi atmosfer pada saat kejadian banjir di Kabupaten Bojonegoro.
2. TINJAUARI PUSTAKA Banju biasanya berhubungan dengan kondisi curah hujan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi dipengaruhi oleh kondisi atmosfer yang mendukung. Kondisi atmosfer yang dimaksud adalah kondisi ahnosfer tidak stabil, kondisi uap air di udara yang tinggi, pengangkatan massa udara yang intensif dan kecepatan angin yang rendah (Lundstedt 1993; Doswell 1997; Aidrian 2000; NOAA-NWS 2004; Gaffin & Horn 2006). Selain itu, daya dukung permukaan juga berperan dalam menentukan terjadinya banjir.
2.1 PARAMETER CUACA 2.1.1 Curah Hujan Curah hujan adalah tinggi air hujan (dalam mm) yang diterima di permukaan sebelum mengalami ziliran permukaan, evaporasi dan peresapan ke dalam tanah. Curah hujan yang besar dengan durasi yang lama bisa menyebabkan banjir di permukaan.
Indonesia m e ~ p a k a nnegara tropis yang mempunyi tiga pola hujan yaitu pola monsun, ekuatorial, dan lokal (Gambar 1). Pola ekuatorial mempunyai bentuk bimodal, yang menandakan matahari berada di ekuator sebanyak dua kali yaitu bulan Maret dan Oktober. Pola lokal mempunyai bentuk unimodal dengan puncak curah hujan biasanya pada bulan Mei-Juni. Pola monsun dicirikan dengan bentuk pola hujan yang berkebalikan dari pola lokal, curah hujan terendah biasanya tejadi pada bulan JuniAgustus. Pada saat curah hujan maksimum di suatu daerah maka potensi tejadimya banjir semakin besar di daerah tersebut.
2.1.2 Stabilitas Atmosfer Stabiditas atmosfer adalah kondisi yang menunjukkan kecendenmgan parsel udara bergerak naik atau turun. Stabilitas atmosfer mempunyai tiga kemungkinan yaitu stabil, tidak stabil dan netral. Kondisi stabil adalah kondisi parsel udara cendenmg kembali ke posisi awalnya setelah naik atan turun, biasanya terjadi ketika suhu parsel lebii cepat dingin dibandingkan suhu lingkungannya atau laju penunman suhu parsel lebii besar dibandimgkan laju penurunan suhu lingkungannya ( T >ELR). Pada ketinggian yang sama, suhu parsel lebii rendah
1.2.5.
.......
-
dibandiigkan subu lin&.ungan. Pada kondisi ini potensi terbentuknya awan kecil dan cuaca akan cerah karena parsel udara akan cendemng kembali ke titik semula setelah naik atau turun. Kondisi tidak stabil adalah kondisi parsel udara cendemng terus naik atau turun dari posisi awalnya, biasanya terjadi ketika suhu lingkungan lebih cepat dingin dibandiigkan suhu parsel atau laju p e n m a n suhu panel lebii kecil dibandiiglcan laju penurunan suhu lingkungannya ( <ELR). Pada ketinggian yang sama, subu parsel lebii tinggi dibandingkan suhu lingkungan. Saat kondisi tidak stabil potensi terbentuknya awan akw besar dan cuaca biasanya buruk (mendung). Kondisi netral adalah kondisi parsel udara tetap pada posisi awalnya, biasanya tejadi ketika laju p e n w a n suhu parsel terhadap ketinggian sama dengan laju penurunan suhu tingkungan terhadap ketinggian (r=ELR). Sama halnya dengan kondisi atmosfer yang stabil maka potensi terbentuknya awan kecil atau tidak terbentuk awan saat kondisi atmusfer netrsl, Hal hi disebabkan parsel udara akan tetap berada di titik awal walaupun ada gaya yang menggerakkan.
Non Se=9on.I ForccartlVea
Gambar 1 Pola CH Indonesia (Kadarsah 2007)
r
I
2.1.3 Keiemhaban Udara Kelembaban udara merupakan gambaran kandungan uap air di udara. Kelembaban udara bisa dinyatakan dalam beberapa cara antara lain mhing ratio, kelembaban mutlak, kelembaban relatif, kelembaban spesifik, suhu titik embun dan tekanan uap air. Ketika kelembaban udara tinggi maka uap air di udara banyak atau bisa diatakan udara mendekati jenuh. Semakin besar kandungan uap air di udara maka potensi terbentuknya butir-butir air akibat adanya pengembunan uap air tersebut juga semakin besar. Dengan demikian, potensi terbentuknya awan dan hujan akan semakin besar. 2.1.4 Pengangkatan Massa Udara Pengangkatan massa udara ada dua m a c m yaitu pengangkatan udara secara mekanik dan termal. Pengangkatan massa udara secara mekanik merupakan pengangkatan massa udara karena paksaan misal adanya halangan berupa gunung (biasanya disebut pengangkatan orografik). Pengangkatan secara termal merupakan pengangkatan massa udara karena adanya pemanasan di permukaan. Pemanasan terhadap permukaan akan menyebabkan kondisi atmosfer tidak stabil dan terjadi pengangkatan udara, biasanya disebut pengangkatan konveksi. Pengangkatan secara konveksi merupakan pengangkatan yang umum terjadi. Pengangkatan massa ndara mi berpemn dalam membawa parse1 udara naik sehingga bisa membentuk awan. Pengangkatan konveksi tersebut biasanya mengbasilkan awan jenis cumuli. 2.1.5 Arah dan Kecepatan Angin Angin merupakan aliran udara yang bergerak secam horizontal. Arah angin adalab arab asal angin bukan a d tujuan angin. Arah angin dinyatakan dalam derajat misal O0, 27" dan seterusnya atau langsung arahnya misal utara, barat, timur dan seterusnya. Biasanya angm yang mengindikasikan musim hujan di Indonesia bagian selatan ekuator adalab angin muson barat atau barat daya. Kecepatan angin merupakan salab satu unsur angin yang biasanya dianalisis selain arab. Satuannya meter per sekon (mls) atau knot. Menurut Aldrian (2000) kecepatan angin akan mempengaruhi pembentukan a m konvektif, jika kecepatannya tinggi
maka akan menghalangi pembentukan awan konvektif sedangkan jika terlalu lemah maka akan menyebabkan terjadiiya gangguan lokal. Selain itu, angin berperan dalam memindahkan awan dari tempat pembentukannya sehingga terkadang bujan tidak jatuh di tempat tersebut. PAKAMETER DAYA DUKUNG LINGKUNGAN Daya dukung lingkungan yang dapat memperbesar peluang terjadinya banjir antara lain kemiringan lereng, topografi dan jenis tanah di daerah aliran sungai (DAS), jenis tutupan laban, serta sedimentasi (Doswell et al. 1996; Idris & Sukojo 2008). Kondisi daya dukung lingkungan yang dimaksud adalah lereng yang landai, daerah cekungan, jenis tanah yang sukar &lam meioloskan air (infiltasi) di DAS hilir, jenis tutupan lahan tak bervegetasi serta sedimentasi yang besar di sungai. Di daerah yang berupa cekungan dengan lereng landai dan jenis tanah yang sukar meloloskan air maka air yang masuk ke daerah tersebut membutnbkan waktu yang lama untuk surut. Sementara itu, di daerab tanpa vegetasi maka air bujan akan langsung menjadi air limpasan tanpa admya penyerapan oleh akar penutup laban vegetasi. Selain itu, sedimentasi dapat memperbesar peluang tejadinya banjir k a n a daya tampung sungai menjadi betkurang. 2.2
TINJAUAN UNlUM DAERAH ICAJIAN 2.3.1 Letak Geografis Daerah kajian pada penelitian ini adalah Bojonegoro. Bojonegoro merupakan salab satu kabupaten (daerah tingkat 11) di provinsi Jawa Timur. Secara geogmfi, daerab ini terletak pada 6'59'-7'37' tintang Selatan dan lllo25'-1 12'09' Bujur Tmur. Kabupaten Bojonegoro berbatasan dengan Kabupaten Tuban di sebelab utara, Kabupaten Lamongan di sebelah t i n q Kabupaten Ngawi, Madiun dan Nganjuk di sebelah selatan dan Provinsi Jawa Tengah di sebelab barat (Gambar 2). Posisi Kabupaten Bojonegoro terhadap daerah tam bisa ditihat di Lampiran 2. Kabupaten Bojonegoro mempunyai 27 kecmatan dan 426 desa (F'emKab Bojonegoro 2003). 2.3
2.3.2 Kondisi Lahan Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Bojonegoro adalah grumosol, latosol, alluvial dan mediteran. Tanah prumosol me~pakantanah yang dominan di wilayah tersebut (PemKab Bojonegoro 2003). Sebagian besar wilayah Kabupaten Bojonegoro bempa dataran rendah (Tabel I) dan daerah landai (Tabel 2). Dataran rendah berada di daerah a l h sungai Bengawan Solo sedangkan dataran tinggi berada di sekitar pegunungan Kapur Utara dan pegunungan Kendeng (PemKab Bojonegoro 2003). Penggunaan lahan di Kabupaten Bojonegoro adalah untuk sawah, hutan, dan perkebunan (Tabel 3).
I
Tabel 1 Luas daerah berdasarkan ketinggian tempat di Kabupaten Bojonegoro No. I Ketinggian I Luas(Ha) I %
I $umber:Pemerintah Kabupaten Bajonegom 2003.
Tabel 2 Kemiringan lereng di Kabupaten
Sumber: PcmKab Bojonegoro 2003.
Tabel 3 Penggunaan lahan di Kabupaten
I
-
Sumber: PemKab BoioneEom 2003: Dinas Pertanian ~~.~~ * Kabupaten Bojoriegoro 2001; PemDa Bojonegom 2008. ~~~
2.3.3 Kondisi Klimstologis Kabupaten Bojonegoro mempakan daerah tropis yang mengalami musim kemamu dan hujan. Curah hujan tahunan sebesar 1679 mm dengan rata-rata hulanan 140 mm (Rejekininpn~et al. 2003). Suhu bulanan rataiata 26.7"C:. Lama penyinamn rata rata bulanan adalah 6.3 jam dan kecepatan angin mta-mta bulanan sebesar 1.2 m/s @PU 2008). Evaporasi rata-rata tahunannya sebesar 1416 mm (DPRI 2009).
PROGRAM RAOB (Rawinsonde Observafiorr Programs) RAOB (Ruwinsonde Observation Programs) merupakan salah satu produk dari ERS (Environmental Research Service) yang dapat digunakan untuk melakukan analisis kondisi atmosfer. Program ini mampu menampilkan puluhan indeks atmosfer, menganalisis sounding serta membuat berbagai diagram sounding. Saat ini M O B digunakan oleh 50 negara di dunia termasuk Indonesia (Ndsstudios 2008). Program ini sudah digunakan dalam beberapa penelitian antara lain oleh Allen, Alsheimer, Brothers, Witsaman dan seterusnya. Allen (2003) melakukan evaluasi prediksi gelombang gunung. Witsaman (2005) melakukan penelitian tentang penggunaan data sinoptik udara atas untuk memperbaiki prediksi cuaca. Kim dan Lee (2006) melakukan studi Mesoscale Convective Systems (MCs) dengan hujan lebat di semenanjung Korea. Nordstrom (2007) melakukan investigasi karakteristik tennodinamika dihubungkan dengan tornado California dan terjadinya tornado siklon tropis. Alsheimer et a[. (2008) melakukan investigasi terbadap terjadinya tornado di sebelah selatan Carolina Selatan dan Pantai Utara Georgia. Brothers (2008) melakukan prediksi konveksi pada musim panas di sehelah barat Dakota Utara. Diagram yang ditampilkan oleh program RAOB ada tiga jenis yaitu diagram skew-Ttlog-P, emagram, dan tephigram (Lampiran 3). Pada penelitian ini diagram yang digunakan adalah skewTllog-P karena memberikan hasil terbaik untuk lapisan sounding dari pemukaan sampai level 100 mb. Selain itu, menurut Haby (2006h) diagram tersebut bisa menaksir atau menilai ketidakstabilan atmosfer, melihat unsur cuaca tiap lapisan di atmosfer dan menentukan karakter cuaca buruk. Terdapat beherapa parameter dalam program RAOB 5.7 yang terkait dengan analisis kondisi atmosfer seperti tinggi tropopause (trop lvl), LCL, CAPE, KI dan seterusnya Lebih lanjut akan dijelaskan di bawah ini. 2.4
tingginya hanya 8 krn. 'Tropopause dicirikan dengan tidak adanya penurunan maupun kenaikan suhu udara (isotermal). Semakin tinggi tropopause menandakan semakin tinggi puncak awan yang bisa dicapai. Puncak awan tinggi maka potensi volume awan lehih besar dan potensi hujan juga semakin besar. 2.4.2 CCL(Convectivc Coetdettsation Level)
CCL merupakan level atau ketinggian parsel udara naik secara adiabatik jika mendapat pemanasan yang cukup dari bawah sampai muiai berkondensasi. Menurut Haby (2006a) Level ini biasanya digunakan untuk mengidentifikasi ketinggian dasar awan bentuk cumuli. 2.4.3 LFC (Level of Free Convection)
LFC merupakan level parsel udara dapat bergerak sendiri tanpa bantuan energi dari Luar. Level ini merupakan batas bawah dari daerah conveclive available potential energy atau CAPE (selanjutnya CAPE dapat dilihat pada sub bab 2.4.10) di koposfer. Pada level ini suhu parsel sama dengan suhu lingkungan. LFC dapat digunakan dalam memprediksi kemungkinan konveksi (Haby 2006d; Subarna & Satiatli 2006) 2.4.4 E L (Equilibrirrm Level)
EL merupakan level suhu parsel yang naik menjadi sama dengan suhu lingkungannya, biasanya digunakan untuk mengindentifkasi puncak awan konvektif khususnya tliniiderstorm. Level ini merupakan batas atas daerah CAPE di atmosfer. Menumt Haby (2006b) EL di definisikan dalam dua cara LFC-EL (EL yang dimulai dari LFC) dan CCL-EL (EL yang dimulai dari CCL). 2.4.5 LCL (Lifting Con~lensatiorrLevel)
LCL adalah level pausel udara rnenjadi jenuh setelah n~engalami pengangkatan secara adiabatik kering. Level ini digunakan untuk mengidentifikasi tinggi dasar awan. Nilai LCL lebih rendah atau sama dengan CCL. Berdasarkan Wallace dan Hobbs (1977) pada saat LCL, nilai Relative Humidiiy adalah 100%.
2.4.1 TROP Ivl (Tropopause Level atau
ketinggian tropopause) Tropopause merupakan lapisan pembatas antara troposfer atas dengan stratosfer bawah. Tropopause mempunyai ketinggian yang bervariasi, di sekitar ekuator tingginya mencapai 16 krn sedangkan di sekitar kutub
2.4.6 Water (Total Precipitable Wafer)
Total Precipitable Water (TPW) adalah jumlah kandungan massa uap air dalam kolom udara yang bisa diendapkan atau turun sehagai presipitasi jika semua uap air tersebut mengembun. Haby (20060
menyatakan babwa semakin tinggi suhu titik embun maka semakin besar juga nilai TPW. Semakin tinggi nilai TPW maka semakin besar kandungan embun (moisture content) di atmosfer (Tabel 4). Menurut Syaifullah (1998) nilai TPW menggambarkan potensi uap air yang bisa menjadi awan-awan potensial. Tabel 4 Skala kandungan embun (moisture content) berdasarkan nilai TPW (Haby 2006t) I No. I Nilai TPW I Kandungan Embun I
udara thundersform. Tabcl 6 memberi infonnasi bahwa semakin tinggi nilai KI maka peluang massa udara thunderstorm semakin besar.
dimana: 75,. T7W,TBS(I=suhu di lapisan 500, 700 dan 850 mb = suhu parsel di lapisan 500 Td7& TdSM mb (diangkat dari pennukaan) Tabel 6 Peluang massa udaa thunderstorm berdasarkan nilai KI (NWSFO 2008) udam thunderstorm Mendekati 0 %
2.4.7 L1 (Lified Inder) L1 adalah indeks untuk menjelaskan stabilitas troposfer bawah. Nilai LI diperoleh dari pengurangan suhu lingkungan dengan suhu parsel pada 500 mb (NWSFO 2008). Nilai LI mengindikasikan potensi tejadinya thunderstorm. Tabel 5 memberi informasi bahwa semakin negatif nilai U maka atmosfer (khususnya troposfer) semakin tidak stabil. LI = T,,- TpMO
dimana: TS, = suhu di lapisan 500 mb = suhu parsel di lapisan 500 mb T (diangkat dari permukaan) Tabel 5 Stabilitas atmosfer berdasarkan nilai LI (Haby 2006e) I No. I Nilai LI 1 Stabilitas I Atmosfer 1 Nilai positif Stabil Tidak stabil 2 0 sampai -4 -p marginal atau lemah -4 sam ai -7 Tidak stabil kuat <= -8 Tidak stabil ekstrim 2.4.8 KI (K-Inder) KI merupakan indeks yang mengkombinsikan penduga kelabilan udam atas dan penduga kelembaban (Syaifullah 1998). Haby (2006~) menyatakan bahwa indeks ini bisa digunakan sebagai penduga konvektivitas. Selain ihl, bisa digunakan untuk melihat peluang tejadiiya massa
21-25 2630 3 1-35
20-40 % 4040 % 60-80 % 80-90 % .; 90 %
2.4.9 T c (Convective Temperature) Tc atau suhu konvektif merupakan suhu yang hams dicapai oleh pennukaan bumi agar terjadi konveksi. Menurut Tjasyono (1997) suhu konvektif yang tinggi &an menyebabkan suhu lingkungan sulit mencapainya sehingga proses konveksi sulit tejadi dan awan yang terbentuk merupakan awan tinggi. Subu konvektif biasanya dicapai saat siang hari yaitu ketika tejadi penumpukan atau akumulasi penyinaran matahari (Haby 2006i). 2.4.10CAPE (Corrl.ective Available Potential Energy) CAPE adalah ukuran stabilitas troposfer terhadap pergerakan vertikal selama konveksi basah (Subarna & Satiadi 2006). Tabel 7 memberikan informasi M w a semakin tinggi nilai CAPE maka semakin tidak stabil atmosfer.
Tabel 7 Ketidakstabilan atmosfer menurut nilai CAFE (NWSFO 2008) ( No. ( Nilai CAPE Ketidakstabilan atmosfer 1 < 1000 Lemah 2 Sedang 1000-2 500 Kuat 3 r2500
I
2.4.1 1 M w (Maximum Vertical velocity) Mvv merupakan nilai yang menunjukkan besarnya kecepatan naik maksimum parsel udara. Semakin tinggi nilai Mvv maka semakin besar pembentukan awan (Tabel 8).
Tabel 8 Kecepatan maksimum naiknya parsel udara berdasarkan nilai M w (Haby 2006g) I No. I Nilai Mvv I Kecepatan maksimum 1 naiknya parsel udara 1 i40 Biasa 2 4140 Kuat 3 61-80 Sangat kuat 4 Ekstrim >81
I
I
Parameter-parameter tenebut mewakili kondisi yang dibutubkan agar terjadi hujan yaitu kondisi atmosfer tidak stabil, kondisi uap air di udara yang tinggi, pengangkatan massa udara yang intensif. Ketidakstabilan atmosfer bisa dilihat dari CAPE, LI, Kl, LCL. Kondisi uap air bisa dilihat dari TPW. Pengangkatan massa udara bisa dilihat dari M w (Gaffin & Hortz 2006; Kim & Lee 2006; Brothers 2008; Choir & Zakir 2008).
3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil daerah kajian Kab~~paten Bojonegoro, 6'59'-7'37' LS dan 11195'112"09' BT. Periode kajian adalah 20 Desember 2007 sampai 7 Januari 2008. Pengambilan data dan pengolahan data dilakukan pada bulan Juni 2008 sampai April 2009 di Pusat Pengembangan, Pemanfaatan dan Telcnologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta serta Laboratorium Meteorologi dan Polusi Atmosfer Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang diperlukan adalah seperangkat komputer dengan sofmare RAOB (Rawinsonde Observation Programs) versi 5.7, Minitab versi 14, Microsoff Ofice Excel, Notepad, serta Microsoft Ofice Word. Data yang digunakan untuk analisis kondisi atmosfer di Kabupaten Bojonegoro adalah data rawinsonde NOAA (National Oceanic and Atmospheric Adminbtration). Data tersebut digunakan karena mudah diperoleh, tersedia untuk daemh seluruh
dunia dan tidak memerlukan biaya. Selain itu, data rawinsonde tenebut belum banyak dikaji khususnya dalam analisis banjir. Perincian data yang diperlukan adalah sebagai berikut: Data rawinsonde h a i l pengamatan udara s e c m langsung untuk stasiun Cengkareng (6'7' 1.S dan 106'39' BT) dan Juanda (752' LS dan 112416' BT) bulan Desember 2004-Desember 2005 (Sumber: BMG). Data rawinsonde NOAA untuk stlsiun Cengkareng (b07' LS dan 106'39' BT) dan Juanda (7'22' LS dan 112'46' BT) bulan Desember 2004-Desember 2005 jam 00 coordinated universal time (selanjutnya disebul UTC) (Sumber: NOAA). Data rawinsonde NOAA untuk wilayah Bojonegoro dengan beberapa titik pengamatan pada jarn 00, 03,06,09, 12, 15, 18, 21 UTC tanggal 20 Desember 2007-7 Januari 2008 (Sumber: NOAA). Data rawinsonde NOAA Bojonegoro pada 06 UTC selanla bulan DesemberFebmari tahun 2004-2007 dan JnliSeptember tahun 2005-2007 serta 1-7 April 2005 (banjir tahun 2005); 1 4 Mei 2006 eanjir tahun 2006); dan 17-23 April 2007 (banjir tahun 2007 awal) (Sumber: NOAA). Data curah hujan bulanan tahun 19782007 dari 14 stasiun penalcar curah hujan di Kabupaten Bojonegoro (Sumber: DPU Kabupaten Bojonegoro; Dishutbun Kabupaten Bojonegoro). Data curah hujan harian stasiun Bojonegoro selama banju (Sumber: DPU Kabupaten Bojonegoro). Data kejadian barljir di Kabupaten Bojonegoro tahun 2004-2008 (Sumber: DPU Kabupaten Bojonegoro). 3.3 Metode penelitian
3.3.1 Analisis Pola Cnrah Hujan di Kabupaten Bojouegoro Analisis ini dilakukan untuk mengetahni pola curah hujan, bulan dengan curah hujan yang tinggi dan rendah, pola curah hujan rata-rata bulanan, tahunm, 5 dan 10 tahunan di Kabupaten Bojonegoro. Data yang digunakan adalah data curah hujan bulanan dari 14 stasiun penakilr curah hujan di Kabupaten Bojonegoro. Keempatbelas stasiun tenebut adalah stasiun Bojonegoro, Dander, Jatiblimbing, Kapas, Klepek, Bale& Leran, Karangnongko, Kedungadem,