Lis Maulina
1.
Daftar isi …………………….…………........................... 4
2. Pengantar Penulis ……………..……….................... 5 3. Suatu Siang di Warung Pojok Terminal....... 7 4. Arus di Sini Sangat Deras ............................... 18 5. Pernikahan Sahabat........................................ 30 6. Saksi .......................................................………… 38 7. Cincin Belah Rotan Ibunda.............................. 51 8. Lulus ..................................................................... 64 9. Aku, Kakakku, dan Sahabatku .................. 74 10. Suksesi .................................................................. 84 11. Tentang Penulis ... ……...................................... 98
2
SEAKAN sang bagaskara sedang murka hari ini. Sejak mengintip dari balik fajar, sudah menebarkan angkara ke permukaan bumi. Membuat embun yang biasanya membelai pagi, lari lintang pukang dan menghilang di balik gumpalan awan. Bahkan sang mega pun tampak enggan menyapa surya sehingga seolah selalu menghindar. Dan matahari pun menjadi raja yang dengan leluasa menghujamkan teriknya. Mengucurkan keringat manusia-manusia yang mulai melakukan aktifitasnya masing-masing. Menerbangkan debudebu ke seluruh penjuru kota yang mulai berderap. Sementara itu, di sebuah warung pojok di sudut terminal, Dijah merenungi fenomena alam yang semula dianggapnya biasa. Namun saat jarum jam merangkak semakin tinggi, dan tak satu orang punsinggah di warungnya, dia mulai merasakan ada yang tak biasa. Biasanya sebelum buka pun, sudah ada satu dua pelanggan menunggu. Mereka 3
ingin sarapan sebelum bergelut dengan pekerjaan. Sebagian besar para supir dan kenek. Sebagian lainnya para karyawan, mahasiswa, atau anakanak sekolah yang tidak sempat sarapan di rumah, dan memanfaatkan waktu menunggu angkutan untuk mengganjal perut mereka. Tapi sekarang ….. hfuuuuhhh….! Dijah menghela nafas sambil memandang dagangan yang telah disiapkannya. Dia sudah beberapa kali mengangkat gorengan sehingga pisang, tempe, tahu isi, bakwan, dan ubi tampak menggunung di nampan. Akhirnya dia berhenti menggoreng dan mematikan kompor karena tak ada tempat lagi. Sementara nasi, lontong, ketupat, berikut lauk pauknya juga belum tersentuh. Hanya berkurang beberapa piring untuk makan keluarganya. Belum lagi jejeran gelas yang diisi teh kental seperempat berikut gula, serta beberapa gelas yang diisi bubuk kopi dan gula, siap ditambah air panas bila ada pesanan, juga masih lengkap. Ada apa hari ini? Batinnya sambil kembali melempar pandangan keluar. Ditatapnya ratusan manusia yang berseliweran di terminal dengan penuh tanda tanya. Mereka hanya lewat. Jangankan mampir, melirik warungnya pun tidak. Beberapa yang dia kenal dan coba disapanya, hanya menjawab dengan senyum atau lambaian tangan.
4
Apa mereka kenyang semua? Apa mereka sempat sarapan semua? Atau mereka justru singgah di warung lain yang lebih enak makanannya, lebih murah harganya, dan lebih ramah pelayanannya? Kembali Dijah memandang dagangannya. Apakah rasa masakanku berubah? Apakah aku mengurangi bumbunya? Atau mengurangi kualitas bahannya? Atau jangan-jangan akhir-akhir ini sikap ramahku berkurang kepada pelanggan? Maklum, jaman sulit! Semua barang kebutuhan naik. Sehingga untuk tersenyum pun rasanya sukar. Tapi rasanya tidak. Bila ada yang berubah dengan masakannya, pasti dia dan keluarganya yang lebih dulu merasakan. Karena mereka juga makan dari warung. Atau aku kurang bersyukur? Apakah aku lebih sering mengeluh belakangan ini sehingga Allah menguji? Jangan-jangan shalatku tidak khusuk. Jangan-jangan ibadahku tidak lagi intens. Janganjangan keikhlasanku sudah mulai berkurang. Dijah terus merenung dan mengintropeksi diri. Sampai dia tidak sadar ada seseorang memasuki warung kecilnya. “Ada es, Bu?” Dijah tergugah. Seorang wanita muda berdiri di hadapannya. Ah, tidak terlalu muda juga 5
sebenarnya. Mungkin malah sebaya dengannya. Hanya saja dia keliatan berasal dari kalangan masyarakat yang mampu merogoh kocek lebih dalam untuk penampilan berpakaian maupun perawatan kecantikan. Dijah tertegun beberapa detik. Heran. Warung kecilnya bukan persinggahan masyarakat kalangan ini. Biasanya mereka memilih warung makan yang lebih berkelas. Yang sesuai dengan penampilan mereka. Bukan warung yang kondisinya sangat bertolak belakang. Seperti …. “Bu….” Sekali lagi Dijah tersadar. Kenapa dia harus memusingkannya? “Es apa?” tanyanya sambil beranjak ke jejeran gelas yang siap saji. “Teh, jeruk, atau sirup?” “Jeruk saja,” katanya sambil meletakkan tasnya dan duduk. Diam-diam Dijah mengintip. Dia mengagumi kemulusan kulit wanita itu. Warnanya juga terang. Pasti perawatannya mahal. Rambutnya juga bagus. Panjang, lurus, dan hitam. Dan tubuhnya sangat ideal. Meski tidak terlalu tinggi, tapi ramping dan berisi. Apalagi, pakaiannya yang berupa jeans ngepas dan kaos oblong plus blus luar gantung membungkusnya sempurna. 6
Tapi ada yang aneh pada wanita cantik ini. Dijah kembali mengintip saat menghidangkan segelas es jeruk di hadapannya. Meski menunduk dalam, namun dia tetap bisa menangkap kesedihan. Apalagi saat itu dia baru melepaskan kacamata hitam yang tadi dipakainya. Sepertinya, dia habis menangis. Dijah buru-buru mundur. Dia merasa tidak berhak memperhatikan terlalu lama dan memberi penilaian. Apa urusannya? Dia kemudian memilih duduk di pojok, sambil pura-pura sibuk mencuci piring bekas makan keluarganya. Wanita itu merogoh tasnya. Tas kulit berukuran sedang dengan model mewah. Mungkin harga warung sederhananya berikut isinyapun tidak akan bisa membeli tas semahal itu. Ternyata dia mengambil handphone. Sangat mungil. Pasti juga merk terkenal dan model terbaru. Meski tidak hapal merk dan tipe handphone. Tapi Dijah tahu mana yang keluaran terbaru, mana yang sudah kuno. Pengetahuan yang didapat dari iklan teve. “Halo…! Ini siapa? Mel mana? Ini nomor Mel, kan? Bohong! Kamu siapa? Bohong! Suruh Mel bicara sendiri! Kemarin pasti dia sedang mabuk. Sedang tidak sadar. Mel tidak mungkin bicara munafik seperti itu. Cepat, suruh dia bicara! Atau kalau tidak…” 7