1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Selain sandang dan pangan, papan merupakan kebutuhan hidup yang dasar
bagi manusia. Manusia membutuhkan tempat khusus untuk mendukung kelancaran dan terpenuhinya macam-macam kebutuhan aktivitas hidup, bahkan, sampai manusia tidak bernyawa atau jenazah juga membutuhkan tempat khusus. Tempat-tempat tersebut secara luas dalam bahasa Indonesia disebut papan. Kenyataan di luar kebahasaan tersebut ternyata tercermin pada unsur-unsur kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Papan dalam bahasa Indonesia bersinonim dengan kediaman, rumah, tempat tinggal (Sugono,2008; 355). Jika ditelusuri, bahasa Indonesia memiliki setidaknya 500 kata yang maknanya berhubungan dengan papan. Pada identifikasi satuan gramatikal ditemukan kata ‗bait‘,‘balai‘, ‗griya‘, ‗panti‘, ‗wisma‘, dsb kemudian ditemukan gabungan kata ‗balai desa‘, ‗griya trawang‘, ‗panti asuhan‘, ‗wisma tamu‘, dsb. Pada indentifikasi segmentasi ditemukan bentuk tunggal dan bentuk kompleks. Bentuk tunggal seperti ‗rumah‘ yang pada menjadi bentuk kompleks ‗rumah sakit‘, ‗rumah sakit bersalin‘. Pada pengamatan awal identifikasi makna papan terdapat masalah referensi, yaitu ada satuan gramatikal yang memiliki referen konkret seperti ‗rumah judi‘, dan ‗rumah obat‘ namun, ada satuan
1
2
gramatikal yang memiliki referen abstrak seperti ‗rumah panas‘, ‘menara dingin‘, dan ‗menara gading‘. Pada pengamatan awal terhadap nilai rasa yang terkandung pada satuan gramatik yang bermakna ‗papan‘ selain makna denotasi seperti ‗rumah kaca‘ dan ‗rumah potong‘ ditemukan makna yang memiliki konotasi positif seperti ‗hotel prodeo‘ dan ‗rumah tak berdapur‘, dan yang berkonotasi negatif seperti ‗penjara‘, ‗bui‘, dan ‗kurungan‘. Meskipun arti dan maknanya saling berhubungan satuan gramatik tersebut tidak dapat saling menggantikan. Satuan gramatik tersebut dikelompokkan sesuai dengan pengguna dan kegunaan papan dalam masyarakat bahasa Indonesia. Kata istana, apartemen, asrama dan rumah joglo dapat dimasukkan dalam kategori papan yang digunakan untuk hunian. Kata garasi, hanggar, magasin, dan kumbung jamur dapat dimasukkan dalam kategori papan yang digunakan untuk menyimpan. Dalam pengelompokan leksikon sesuai dengan kolokasi pengguna dan kegunaannya ditemukan masalah yang terkait perubahan makna karena pemakaian. Ditemukan kata basilika, dom, gereja, kapel, dan katedral untuk kolokasi tempat ibadah Kristen. Penutur bahasa Indonesia sering kali lebih sering memakai kata ‗gereja‘ untuk menyebut tempat ibadah Kristen dari pada kata lain. Dari fenomena kebahasaan tersebut dapat dilihat bahwa bentuk dan arti kata-kata yang berkaitan dengan papan bervariasi dan klasifikasi pada papan diprediksi berkenaan dengan klasifikasi di luar kebahasaaan. 1.2
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma semantik. Semantik adalah ilmu
bahasa yang mempelajari seluk beluk makna. Adapun di dalam semantik dikenal
3
adanya medan makna. Medan makna adalah penggambaran nyata alam semesta yang direalisasikan kedalam seperangkat leksikon yang maknanya berhubungan. 1.3
Rumusan Masalah Dari latar belakang kebahasaan dan ruang lingkup penelitian, dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut; a. Apa bentuk dan makna papan dalam bahasa Indonesia ? b. Apa saja klasifikasi makna papan dalam bahasa Indonesia? c. Bagaimana penggunaan makna papan dalam bahasa Indonesia? 1.4
Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang ada, penelitian ini diharapkan dapat; a. Mendeskripsikan bentuk dan makna papan dalam bahasa Indonesia. b. Mengklasifikasi makna papan dalam bahasa Indonesia. c. Menjelaskan penggunaan makna papan dalam bahasa Indonesia. 1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan, baik secara teoretis
mampun secara praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengkajian linguistik, khususnya dalam inventorisasi kosakata bermakna papan dalam bahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi para peneliti kajian semantik selanjutnya. Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan rujukan penamaan papan agar presisi ditinjau dari fungsi, struktur, fasilitas, dan lokasi papan tersebut.
4
1.6
Tinjauan Pustaka Hunian merupakan bagian yang tidak terpisahkan bagi makluk hidup
terlebih manusia. Hal tersebut menjadi landasan dilakukannya penelitian Antropologis oleh Andayani (1998). Skripsi yang berjudul ―Makna Rumah Bagi Penghuni Perumnas‖ mencoba menganalisis kasus perumahan Sidoarum Permai Godean, Sleman, Yogyakarta. Pada bagian awal peneliti mengidentifikasi komplek perumahan Sidoarum Permai. Dari identifikasi yang dilakukan dipilih lima penghuni perumahan untuk menggambarkan makna rumah yang mereka resepsikan. Dari lima orang tersebut masing-masing memberikan tanggapan; rumah seperti masjid, rumah seperti motel atau penginapan, rumah seperti benteng, rumah seperti gedung pertemuan, dan rumah kebun. Pada akhir disajikan secara umum gambaran makna rumah oleh lima penghuni tersebut. Makna rumah bagi mereka ; membeli lingkungan sosial, memberikan aspek ketenangan, kepuasan hingga kekuasaan, dan harapan menuju rumah yang ideal bagi masingmasing penghuni tersebut.
Penelitian terkait tempat secara umum pernah dilakukan oleh Mayangsari (2010). Tesis yang berjudul ―Plesetan Nama-nama Tempat: Bentuk dan Dimensi Sosialnya (Kajian Sosiolinguistik)‖ membahas ranah, pola, dan fungsi plesetan sesuai dengan wilayah kehidupan sosial pemakainya. Penelitian tersebut berhasil menemukan proes pembentukan pelesetan; akronim, singkatan, pembalikan suku kata, kemiripan bunyi, faktor sosial, dan faktor interlingual. Fungsi pelesetan
5
menurut penelitian ini adalah; melucu, mengejek, prestise, keakraban, mempermudah pengucapan dan pekerjaan. Penelitian terkait tempat yang lebih khusus pernah dilakukan Retnaningsih (2006). Skripsi yang berjudul ―Nama Tempat Usaha di Yogyakarta‖ membahas identifikasi, aspek kebahasaan, dan refleksi kultural yang ada pada nama-nama tempat usaha di Yogyakarta. Identifikasi yang dilakukan didasarkan pada arti penting sebuah nama dan tipografi tempat usaha dan kaitannya dengan pandangan etnosemantik. Aspek kebahasaan yang ditemukan meliputi gaya bahasa dalam kata dan pembentukan kata. Refleksi kultural yang ditemukan meliputi; penduduk, kebudayaan, akulturasi, laju pembangunan, sistem ekonomi, sumber daya manusia, pengorganisasian rasa, penampakan bias gender, dan kreatifitas. Penelitian terkait tempat khusus hunian pernah dilakukan Hendrokumoro (2000). Laporan penelitian berjudul ―Anaisis Morfo-semantis Nama-nama Rumah Limasan Jawa‖. Penelitian ini mencoba mengumpulkan, deskripsi, dan mengklasifikasikan nama-nama rumah limasan Jawa. Data diperoleh dari dua orang informan kemudian dianalisis bentuk kebahasaannya menggunakan teori morfologi. Setelah ditemukan bentuk-bentuk kebahasaannya, kata-leksme tersebut diartikan secara deskriptif dengan bantuan kamus. Penelitian semantik terkait medan makna sudah banyak dilakukan. Skripsi Liestyaningsih (2000) yang berjudul ―Medan Makna Verba Bermakna ‗Mengambil‘ dalam Berita Kriminal‖. Liestyaningsih mengelompokkan verba bermakna menggambil berdasarkan kolokasi menjadi dua bagian; mengambil berkonotasi negatif dan berkonotasi positif. Kemudian Liestyaningsih (2000)
6
membagi konotasi negatif menjadi dua kelompok. Kelompok konotasi negatif yang dilakukan secara diam-diam dan secara terang-terangan. Beliau juga membagi konotasi positif menjadi dua kelompok. Kelompok konotasi positif yang dilakukan secara taktis dan terang-terangan. Skripsi Pardiyono (2006) berjudul ―Medan Makna Verba Bermakna ‗Memisahkan‘ dalam Kalimat Deklaratif Bahasa Indonesia‖ membahas 40 leksikon yang memiliki makna ‗memisahkan‘ kemudian dikelompokkan menjadi tiga bagian. Kelompok leksikon bermakna ‗memisahkan‘ menggunakan alat bantu, tidak menggunakan alat bantu, dan yang menggunakan atau tanpa alat bantu. Skripsi Maryulina (1997) berjudul ―Medan Makna Verba Bermakna ―Menyakiti‖
dalam
Bahasa
Indonesia‖
membahas
38
data
dan
mengelompokkannya menjadi tiga bagian berdasarkan anggota tubuh yang dapat menyakiti.
Kelompok
kata
‗menyakiti‘
menggunakan
bagian
kepala,
menggunakan tangan yang terdiri kelompok kata menyakiti menggunakan alat dan tanpa alat, dan kelompok terakhir yang menggunakan kaki. Susanto (1996) dalam skripsinya yang berjudul ―Medan Makna Tempat Tinggal
Binatang
Tinjauan
Morfo-semantis‖
mendeskripsikan
dan
mengklasifikasikan kata bermakna tempat tinggal manusia. Penelitian tersebut berhasil mengungkap bentuk kata yang monomorfemis dan polimorfemis. Pada analisis medan makna penelitian ini membagi kolokasi tempat tinggal hewan berdasar unsur tempat tinggal tersebut; tempat tinggal berupa lubang, unsur air, kandang, dan sarang kemudian pada simpulan disajikan tabel analisis. Tabel
7
analisis pada penelitian ini menggunakan (√) untuk tiap unsur yang memiliki ciri tertentu. Penelitian medan makna dengan topik tempat tinggal manusia dalam bahasa Jawa pernah dilakukan Saraswati (1995). Skripsi dengan judul ―Medan Makna Tempat Tinggal Manusia dalam Bahasa Jawa‖ mengelompokkan tempat tinggal manusia berdasarkan kegunaan menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama ialah tempat tinggal dengan jangka waktu yang tidak terbatas. Kelompok kedua ialah kelompok kata tempat tinggal manusia dengan jangka waktu yang terbatas. Kelompok kedua ini dibagi lagi menjadi empat subbagian; untuk peristirahatan, pendidikan, persewaan, dan kegiatan sosial. Dari semua penelitian yang sudah dilakukan belum ada penelitian yang membahas medan makna papan dalam bahasa Indonesia. Penelitian yang menyerupai penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan Saraswati (1995). Saraswati memilih unsur kebahasaan bahasa Jawa. Adapun penelitian ini membahas unsur kebahaaan dalam bahasa Indonesia. 1.7
Landasan Teori Penelitian ini menggunakan ilmu bahasa semantik.
Adapun di dalam
semantik dikenal adanya medan makna. Kridalaksana (1982: 105) menyatakan bahwa medan makna adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Kata-kata tersebut dapat berhubungan satu sama lain akibat adanya hubungan kolokasi dan set. Kolokasi berarti adanya hubungan sintakmatik dan
8
bersifat linear yang terjadi antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Istilah makna kolokasi juga merujuk pada makna kata tertentu yang memiliki keterkaitan dengan kata lain. Set merujuk pada adanya hubungan paradigmatik karena katakata atau unsur yang ada dapat saling menggantikan dan merupakan satu kesatuan yang dibatasi oleh tempatnya (Chaer, 2009: 112–113). Chaer (2009: 110) menjelaskan bahwa ilmu semantik melihat bahwa satuan kebahasan dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan dalam kelompok-kelompok tertentu yang maknanya saling berkaitan atau berdekatan karena sama-sama berada dalam bidang kegiatan atau keilmuan. Dalam kelompok-kelompok tersebut kata atau kata dapat juga dianalisis maknanya atas komponen-komponen makna tertentu sehingga tampak perbedaan dan persamaan makna antara kata satu dengan kata yang lain. Dua hal yang berkaitan tersebut dibahas pada bagian medan makna dan komponen makna. Komponen makna atau komponen semantik melihat bahwa setiap kata terdiri dari beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Dengan demikian setiap kata-kata dalam sebuah kelompok kata dapat dibedakan menggunakan analisis komponen makna. Analisis komponen makna menggunakan unsur-unsur pembeda, unsur pembeda digunakan untuk melihat apakah setiap unsur leksikal memiliki atau tidak memiliki suatu ciri yang berbeda dari unsur yang lain. Unsur pembeda juga disebut sebagai komponen diagnostik (Nida, 1975: 33). Unsur pembeda dapat diidentifikasi dari arti dan makna kelompok kata yang dibandingkan. Unsur pembeda dapat berupa
9
ciri yang dimiliki kata-kata yang dibandingkan. Dalam hal ini kompoenen tersebut menunjukkan perbedaan makna pada bidang yang sama (Nida, 1975:33). Nida (1975: 54—60) menjabarkan bahwa setidaknya ada lima langkah dalam analisis komponen diagnostik. Berikut secara singkat langkah-langkah analisis tersebut. 1. Pemilihan sementara makna yang memiliki hubungan. Misal memilih kata-kata yang bermakna hunian, kemudian ditemukan kata-kata yang bermakna ‗tempat menyimpan‘, ‗tempat ibadah‘, dan ‗tempat belajar‘. Hunian, ‗tempat menyimpan‘, ‗tempat ibadah‘, dan ‗tempat belajar‘ dapat digolongkan kepada satu makna yang lebih besar yaitu ‗papan‘. 2. Mendata semua referen beserta maknanya yang masuk pada bidang papan dalam bahasa Indonesia. 3. Membedakan melalui perbedaan yang tampak. Misalnya tempat ibadah dibedakan melalui kepercayaan orang yang menggunakan tempat ibadah tersebut. 4. Penentuan komponen diagnostik. Setelah dibedakan setiap kata yang memiliki ciri diberi tanda (+) dan yang tidak memiliki diberi tanda (-). Misalnya kata gereja, masjid, vihara, dan pura memiliki ciri-ciri sebagai berikut; Kata Ciri-ciri pembeda 1. RUMAH IBADAH 2. UMAT KRISTIANI 3. UMAT ISLAM 4. UMAT BUDHA 5. UMAT HINDU
Gereja + + -
Masjid + + -
Vihara + + -
Pura + +
10
Analisis ini menggunakan konsep biner. Analisis biner ini dapat menggolongkan kata atau unsur leksikal seperti yang diinginkan oleh medan makna dan dapat pula digunakan untuk mencari perbedaan semantik kata-kata yang bersinonim. (Chaer, 2009: 114 – 117). 5. Mengecek kembali data yang diperoleh menggunakan prosedur langkah pertama. Hal tersebut untuk memperoleh ciri yang benar terhadap referen. Jika penamaan merupakan sesuatu yang predikatif maka komponen diagnostik tersebut sudah tepat. Dengan demikian makna akan mudah untuk diprediksi sebagai sifat sebuah bahasa. Chaer (2009: 131–140) menyebutkan ada setidaknya sembilan faktor yang menyebabkan makna sebuah kata dapat berubah. 1. Perkembangan ilmu dan teknologi, pada kasus ini sebuah kata yang sebelumnya mengandung konsep makna mengenai sesuatu yang sederhana tetap digunakan walaupun konsep makna yang dikandung telah berubah sebagai akibat dari pandangan baru, teori baru dalam satu bidang ilmu atau sebagai akibat dalam perkembangan teknologi. Misal kata stasiun pada mulanya menunjuk pada ‗tempat menunggu bagi calon penumpang kereta api dsb; tempat menunggu kereta‘ kemudian sekarang stasiun juga bermakna ‗bangunan yang dilengkapi peralatan secara khusus untuk melakukan tugas tertentu, misal stasiun meteorologi‘ 2. Perkembangan sosial budaya, sama dengan yang terjadi sebagai akibat perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi, sebuah kata pada mulanya bermakna ‗A‘ lalu berubah menjadi ‗B‘ atau ‗C‘ meskipun bentuk kata tidak
11
mengalami perubahan. Kata tersebut mengalami perubahan sebab konsep makna yang dikandungnya berubah karena kehidupan sosial budaya yang berubah. Misal kata padepokan dulu bermakna ‗tempat persemadian (pengasingan diri raja-raja di Jawa pada masa yang lalu)‘ sekarang memiliki makna ‗tempat untuk memperoleh pendidikan seni‘. 3. Perbedaan bidang pemakaian, setiap bidang kehidupan memiliki kosakata khusus yang dipakai pada bidang tersebut. Jika kosakata tersebut digunakan pada bidang lain atau menjadi kosakata umum, kata-kata tersebut menjadi memiliki makna lain disamping makna yang berlaku pada bidangnya. Misalnya kata pangkalan pada bidang pelayaran berarti ‗tempat kapal atau perahu berlabuh; tepi laut (atau tepi sungai) tempat berlabuh‘ namun juga digunakan dalam bidang pergudangan yang berarti ‗tempat menimbun (mengumpulkan ) barang-barang dagangan hasil bumi‘. 4. Adanya asosiasi, berbeda dengan perubahan makna yang terjadi sebagai akibat penggunaan dalam bidang yang lain, dalam hal ini makna baru muncul adalah berkaitan dengan peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Asosiasi dapat berkenaan dengan ‗wadah‘, ‗waktu‘, dan ‗tempat‘. Misal kata bordil yang berarti ‗rumah panjang terbagi oleh sekat-sekat yg membentuk banyak kamar;‘ berubah menjadi maknanya menjadi ‗rumah pelacuran‘ karena pada bangunan yang bergaya bordil sering digunakan untuk kegitan melacur. 5. Pertukaran tanggapan indra, pancaindra manusia sudah mempunyai tugas masing-masing. Namun, dalam penggunaan bahasa banyak terjadi kasus
12
pertukaran tanggapan indra yang satu dengan yang lain. Seperti tampak pada ujaran kata-katanya pedas sekali. Rasa pedas seharusnya ditangkap oleh alat indra pencecap ditangkap oleh alat indra pendengaran. 6. Perbedaan tanggapan, hal ini disebabkan adanya perubahan pandangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan dalam masyarakat maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa yang ‗rendah‘ atau sebaliknya. Misal kata bui dianggap memilki nilai rasa yang lebih tinggi dibanding kata penjara. 7. Adanya penyingkatan, sejumlah kata dalam bahasa Indonesia sering dituturkan tidak secara lengkap karena kebanyakan orang sudah mengerti maksud uturan tersebut. Misal kata anjungan tunai mandiri penutur lebih mengenalnya dengan singkatan ATM, berasal dari kata bahasa Inggris Automatic Teller Machine. 8. Proses gramatikal telah ‗melahirkan‘ makna-makna gramatikal. Misal kata pastor yaitu ‗orang yang ditabiskan sebagai imam agama katolik‘ beremu dengan sufiks –an menjadi pastoran. Pastoran adalah hunian orang yang ditabiskan sebagai imam agama Katolik. 9. Pengembangan istilah, dengan memanfaatkan kata dalam bahasa Indonesia yang ada dengan jalan memberikan makna baru, entah dengan menyempitkan, meluaskan, maupun memberikan makna yang sama sekali baru sama sekali. Misal kata Stasiun dulu hanya berarti ‗tempat menunggu bagi calon penumpang kereta api‘ namun kebutuhan istilah pada bidang ilmu pengetahuan maka makna stasiun meluas menjadi ‗bangunan yg
13
dilengkapi peralatan secara khusus untuk melaksanakan fungsi tertentu‘ seperti stasiun meteorologi. Dari faktor-fakor perubahan makna dapat diidentifikasi adanya jenis-jenis perubahan yang terjadi pada makna sebuah kata. Dapat dilihat ada yang sifatnya meluas, menyempit, dengan maksud menghaluskan atau megasarkan tuturan, dan perubahan total. Berikut Chaer (2009: 140-145) menjelaskan dengan rinci. 1. Meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau kata yang semula memiliki sebuah ‗makna‘, tetapi kemudian karena berbagai faktor memiliki makna-makna lain. Seperti yang terjadi pada kata stasiun. 2. Menyempit adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau kata yang memiliki makna yang luas kemudian terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misal kata basilika yang dulu berarti ‗bangunan berbentuk persegi panjang dengan deretan pilar berasal dari zaman Romawi‘ namun kini berubah menjadi ‗gereja utama yang telah diresmikan secara khusus oleh Paus dan memiliki sebuah gerbang suci‘ 3. Perubahan total makna dapat terjadi secara total namun adapula yang masih memiliki sangkut paut dengan makna sebelumya. Misal kata sanggar dahulu berarti ‗tempat pemujaan yang terletak di pekarangan rumah‘ namun kini bermakna ‗tempat untuk kegiatan seni‘. 4. Penghalusan terjadi dengan adanya kemunculan kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus atau lebih sopan dari pada yang digantikan. Misal kata panti wreda digunakan untuk mengganti kata panti jompo.
14
5. Pengasaran adalah usaha untuk mengganti kata-kata yang maknanya halus atau bermakna biasa menjadi kata yang bermakna kasar. Usaha dan gejala ini dilakukan penutur bahasa dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan. Misal kata rumah setan digunakan untuk menyebut
‗gedung
pertemuan
bagi
anggota
perkumpulan
yang
memperjuangkan persaudaraan dan kebebasan‘. Sebelum mengklasifikasikan kata-kata bermakna ‗papan‘ dalam bahasa Indonesia perlu dilakukan pendeskripsian satuan gramatik. Satuan gramatik atau grammatical unit sering juga disebut satuan kebahasaan (Ramlan, 2009: 16). Satuan kebahasaan jika diurutkan mulai dari yang terbesar akan tampak sebagai berikut. wacana kalimat klausa frasa kata morfem. Empat dari enam satuan gramatikal tersebut masuk pada bidang sintaksis adapun dua sisanya, kata dan morfem merupakan bahasan pada bidang morfologi (Ramlan, 2005: 18—20). Penelitian ini berfokus pada satuan gramatikal kata dan gabungan kata yang memiliki makna ‗papan‘ dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Lingustik dijelaskan bahwa kata adalah satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal (misalnya jalan, rumah, taman, kereta, masuk) atau terjadi dari gabungan morfem (misalnya berjalan,berumah, bertaman, kereta, memasuki). Dalam KBBI (Sugono, 2014: 633) dijelaskan bahwa kata adalah 1) morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap
15
sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebegai bentuk yang bebas. 2) satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal (misal batu, rumah, datang) atau gabungan morfem (misal, pejuang, pancasila, mahakuasa). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kata adalah satuan bahasa 1) bebas yang dapat berdiri sendiri dalam tuturan memiliki arti referensial maupun nonreferensional, namun dapat dipahami acuannya. 2) Adakalanya satuan kebahasaan ini dapat disegmentasikan menjadi morfem-mofem adakalanya tidak, misal kue, api, gua, dll. Satuan kebahasaan yang dapat disegmentasikan merupakan hasil proses morfologis namun jika tidak dapat disegmentasikan, maka satuan kebahasaan tersebut merupakan bentuk dasar bahasa bersangkutan. 3) Satuan yang mendasari proses morfologis tersebut dapat berupa bentuk satuan bahasa tersebut ataupun bentuk satuan pinjaman dari bahasa lain. Ramlan (2005: 138–140) menjelaskan batasan satuan kebahasan frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih dan tidak melebihi batas fungsi unsur klausa. Namun tidak semua satuan bahasa yang terdiri dari dua kata merupakan frase, satuan gramatik seperti rumah sakit, kolam renang, dan lomba lari tidak termasuk satuan frase, melainkan termasuk satuan kata. Satuan tersebut lazim disebut kata majemuk. Kata majemuk memiliki ciri satu atau semua unsurnya berupa pokok kata dan unsur-unsurnya tidak mungkin dipisahkan, atau tidak mungkin diubah strukturnya. Dari kemungkinan untuk disegmentasikan satuan kebahasaan dibagi menjadi bentuk tunggal dan bentuk majemuk. Bentuk tunggal adalah satuan kebahasan yang tidak dapat disegmentasikan lagi menjadi bentuk lebih kecil lagi
16
(Ramlan, 2009: 28). Bentuk tunggal tidak bisa disegmentasikan lagi menjadi bentuk yang lebih kecil yang bermakna, misalnya kata rumah dapat disegmentasikan menjadi unsur ru dan mah. Akan tetapi unsur itu tidak bermakna. Bentuk kompleks adalah satuan kebahasaan yang dapat disegmentasikan lagi menjadi bentuk yang lebih kecil (Ramlan, 2009: 28). Dengan demikian jika satuan kebahasan dapat disegmentasikan lagi menjadi satuan-satuan kecil yang bermakna. Misal kata pondokan dapat disegmentasikan menjadi {pondok}+{-an}, kata panti jompo dapat disegmentasikan menjadi {panti} +{jompo}. Pateda
(2001,
133—157)
menjelaskan
bahwa
semantik
leksikal
menekankan kajian makna pada tingkat kata. Kata dirunut dari bentuknya dapat dibagi atas bentuk dasar (leksem), paduan leksem, bentuk berimbuhan, bentuk berulang, bentuk majemuk, bentuk terikat konteks kalimat, akronim, dan singkatan. Perlu diingat pula bahwa dalam semantik, luasnya makna yang dikandung sebuah bentuk kebahasaan berbanding terbalik dengan luasnya bentuk tersebut. Artinya semakin sempit bentuk kebahasaan semakin luas makna yang dikandung, semakin luas bentuk kebahasaan semakin sempit makna yang dikandung. Seperti contoh berikut; a) b) c) d)
rumah rumah sakit rumah sakit umum rumah sakit umum daerah.
Makna (a) sangat luas, makna (a) lebih luas dari (b), (b) lebih luas dari (c), dan (c) lebih luas dari (d) (Chaer, 2009:40). Dari hal tersebut juga tampak bahwa rumah merupakan unsur inti, adapun sakit merupakan unsur periperial pada paduan leksem rumah sakit (Pateda, 2001:137).
17
1.8
Data dan Metode Penelitian Peneltian ini dilakukan dalam tiga tahap penanganan data. Tiga tahap
tersebut ialah penyediaan, analisis, penyajian data. Penyediaan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan. Data diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV cetakan ke VII. Pengumpulan data pada metode ini menggunakan teknik catat. Data yang berhasil dikumpulkan berjumlah 500 entri. Dari data tersebut diambil sampel sebanyak 368 kata. Setelah data terkumpul dilakukan tahap analisis. Sudaryanto (via Kesuma, 2007:49) membagi metode analisis data menjadi dua metode, yaitu metode padan dan metode agih. Penelitian ini menggunakan metode padan teknik hubung banding dan metode padan teknik pilah unsur penentu untuk data yang berupa data verbal. Metode padan ini hampir serupa dengan metode komparatif (Sudaryanto, 1986: 63). Metode padan yang diterapkan pada data kebahasaan pada penelitian ini didukung oleh metode intuisi atau daya pilah mental yang secara instingtif dimiliki oleh setiap peneliti. Dalam hal penyajian, hasil analisis data dapat disajikan secara formal dan informal (Kesuma, 2007:74). Bentuk penyajian formal berkaitan dengan penyajian bentuk kata biasa (Sudaryanto, 1993:145; via Kesuma, 2007:74). Adapun secara informal dapat menggunakan bagan. Bagan atau diagram berarti gambar rancangan atau skema (Alwi dkk., 2001:85; via Kesuma, 2007:80). Penyajian data dalam penelitian ini menggunakan dua metode tersebut. Sesudah itu, dari data yang telah disajikan ditarik sebuah simpulan akhir.
18
Penyajian data dalam penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu metode penyajian data secara formal dan secara informal. Metode penyajian data formal dinyatakan dengan simbol, gambar, tanda, dan lambang untuk mendeskripsikan data. Metode ini didukung dengan pendekatan kuantitatif sederhana. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk menemukan frekuensi data. Metode formal dilengkapi oleh metode penyajian informal, yaitu metode yang menggunakan kata-kata untuk mendeskripsikan data. Metode ini menggunakan pendekatan kualitatif. Selanjutnya dari data yang telah disajikan tersebut ditarik sebuah simpulan. 1.9
Sistematika Penyajian Laporan penelitian ini terbagi menjadi enam bab. Bab pertama berisi latar
belakang penelitian. Pada bab kedua dideskripsikan makna ‗papan‘ dalam bahasa Indonesia, pada bab ketiga dideskripsikan komponen makna ‗papan‘ dalam bahasa Indonesia. Pada bab keempat dideskripsikan frekuensi dan perubahan makna papan dalam bahasa Indonesia. Bab terakhir, yaitu bab kelima berisi simpulan dan saran. Laporan penelitian ini menggunakan sistematika penyajian data berdasarkan urutan kronologisasi dan klasifikasi alfabetis. Kronologisasi yang dimaksud adalah mengurutkan data berdasarkan runutan paradigmatis. Data diurutkan secara paradigmatis menurut dari jumlah suku kata yang terkecil. Pengurutan ini dilakukan agar pembaca lebih mudah dalam membaca data. Alfabetis klasifikasi yang dimaksud adalah mengurutkan data berdasarkan runutan alfabetis pada
19
masing-masing data yang masuk pada sebuah klasifikasi tertentu. Seperti contoh berikut. NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kronologi bar depo asrama gereja bungker menasah apartemen
Alfabetis Klasifikasi apartemen asrama bar bungker depo gereja menasah
Pada contoh tersebut terlihat perbedaan antara alfabetis klasifikasi dan kronologi meskipun data yang ditampikan sama, yaitu contoh data segmentasi morfologis kata-kata bermakna papan bentuk tunggal. Penyusunan data secara kronologis dimaksudkan untuk mempermudah pembacaan karena tersusun dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang lebih rumit dan mempermudah untuk analisis potensi kemunculan bentuk baru dari pola lama. Adapun penyusunan data secara kronologis dimaksudkan untuk mempermudah inventarisasi data dan perbandingan makna pada data yang memiliki kesamaan unsur pembentuk.