BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kemajuan dan kelancaran sarana telekomunikasi akan menunjang pelaksanaan pembangunan berupa penyebaran kebutuhan informasi ke seluruh pelosok tanah air, misalnya sektor industri, perdagangan, pariwisata dan pendidikan. Dalam lingkungan nasional, telekomunikasi merupakan sarana vital
negara
Indonesia
untuk
memperlancar
kegiatan
pemerintah,
meningkatkan hubungan antar bangsa, mempelancar komunikasi warga antar daerah serta memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam rangka wawasan nusantara. Untuk melaksanakan penyelenggaraan telekomunikasi diperlukan suatu badan pengelola, seperti yang dilakukan oleh PT. Telekomunikasi Indonesia (PT. Telkom) yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa sambungan telekomunikasi. Salah satu layanan PT. Telkom yang mulai diluncurkan pada tahun 2006 adalah Telkom Speedy. Telkom Speedy merupakan layanan internet access end to end dari PT. Telkom dengan basis teknologi Asymetric Digital Subscriber Line (ADSL), yang dapat menyalurkan data dan suara secara simultan melalui satu saluran telepon biasa dengan kecepatan maksimal 384 kbps yang dijaminkan dari modem sampai BRAS (Broadband Remote Access Server) di sisi perangkat Telkom Speedy. Dengan slogan Broadband Internet Access for Home and Small Office, maka Telkom
1
Speedy menjadi solusi utama bagi akses broadband koneksi internet tidak hanya di kalangan bisnis namun meluas sampai ke rumah-rumah. Telkom Speedy mulai diluncurkan dengan cakupan layanan nasional secara bertahap mulai bulan Mei 2006. Pada awalnya beberapa daerah yang sudah dapat dilayani (first package) meliputi, Medan, Pekanbaru, Padang, Batam, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, dan Solo. Cakupan layanan Telkom Speedy senantiasa terus diperluas ke daerah-daerah lainnya di tahun 2010 ini dan tahun-tahun berikutnya untuk memenuhi kebutuhan akses broadband yang telah meningkat pesat. Bagi masyarakat yang ingin memanfaatkan jasa telekomunikasi, khususnya internet dengan provider Telkom Speedy yang diselenggarakan oleh PT. Telkom, terlebih dahulu harus mengadakan perjanjian dengan PT. Telkom. Perjanjian berlangganan internet Telkom Speedy pada PT. Telkom dapat dikonstruksikan sebagai perjanjian untuk melakukan jasa. Perjanjian untuk melakukan jasa diatur dalam Pasal 1601 K.U.H.Perdata yang berbunyi: “Selain persetujuan-persetujuan untuk menyelenggarakan beberapa jasa yang diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan apabila ketentuan-ketentuan yang syarat-syarat ini tidak ada, persetujuan yang diatur menurut kebiasaan”. Hukum perjanjian menganut azas kebebasan berkontrak, yang berarti bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada seseorang untuk membuat perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan
2
undang-undang, ketertiban umum serta kesusilaan. Asas kebebasan berkontrak ini ditafsirkan dari Pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata yang menyatakan, bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam sebuah perjanjian, masing-masing pihak yaitu, pihak pengguna jasa atau pelanggan dan pihak penyelenggara jasa yaitu PT. Telkom mempunyai hak dan kewajiban. Pelaksanaan suatu perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan. Sebagai pihak penyedia jasa, PT. Telkom sudah semestinya memperoleh hak untuk menerima harga pembayaran jasa telekomunikasi internet dari pelanggan, tetapi dalam kenyataannya masih banyak pihak pelanggan yang sama sekali tidak melakukan pembayaran. Di lain pihak, pengguna jasa Telkom Speedy juga ada yang merasa dirugikan, seperti pengguna jasa Telkom Speedy tidak memakai melebihi batas pemakaian (kuota), namun jumlah tagihan pembayarannya malah meningkat. Hal ini dapat saja terjadi karena username dan password pemakaian diketahui oleh orang lain akibat kesalahan sendiri atau kelemahan pihak PT. Telkom dalam mengantisipasi
pengambilan
data
oleh
pihak-pihak
yang
tidak
bertanggungjawab atau dikarenakan kesalahan instalasi, yaitu pada waktu instalasi pertama kali pemasangan Telkom Speedy, pihak pengguna jasa tidak diberikan penjelasan secara jelas. Seperti diketahui bahwa setting instalasi Telkom Speedy ada 2 (dua) macam, yaitu denga sistem dial-up dan otomatis. Dengan sistem dial-up ini,
3
maka kontrol pemakaian dapat diketahui pihak pengguna jasa, sedangkan sistem otomatis tidak dikontrol oleh pengguna jasa, akan tetapi koneksi internet otomatis berjalan apabila komputer dan modem dinyalakan. Sistem otomatis ini biasanya dipasang apabila digunakan lebih dari 2 (dua) komputer, karena instalasi pemasangan lebih mudah, dari pada menggunakan sistem network connection dengan kabel LAN. Pembengkakan atau penurunan kualitas pelayanan dapat terjadi, apabila kuota yang diberikan telah habis. Pengguna jasa Telkom Speedy biasanya menggunakan paket family, yaitu paket kuota sampai dengan 3 GB dengan kecepatan maksimal 384 dan kecepatan akan menurun apabila kuota yang disediakan telah habis. Permasalahan dapat terjadi apabila pengguna jasa Telkom Speedy tidak diberikan penjelasan oleh petugas instalasi tentang sistem koneksi yang digunakan Telkom Speedy. Seperti yang terjadi pada kasus berikut ini: Seorang pengguna jasa Telkom Speedy berlangganan paket family, karena menginginkan agar kedua koputernya dapat berkoneksi dengan internet, maka petugas instalasi menyambungkan kedua komputer milik pengguna jasa dengan Telkom Speedy. Petugas instalasi yang bersangkutan memasang dengan sisten otomatis, akan tetapi dalam proses instalasi ini, pihak pengguna jasa tidak diberikan penjelasan tentang kelebihan dan kekuarngan sistem dial-up maupun sisten otomatis. Akibatnya pihak pelanggan Telkom Speedy merasakan pelayanan yang dijanjikan tidak sesuai, karena baru beberapa hari pemakaian, kecepatan yang dijanjikan sudah menurun, padahal pihak pelanggan merasa tidak pernah melakukan download sama sekali.
4
Meskipun demikian pihak pelanggan tetap berkewajiban membayar biaya secara penuh, sehingga ia merasa dirugikan. Pada kasus yang lain, ada juga seorang pengguna jasa Telkom Speedy yang berlangganan paket Game. Pada paket game ini, kecepatan yang dijanjikan adalah sampai dengan 768 kbps, akan tetapi pada kenyataannya kecepatan yang didapat hanya 153 kbps sampai dengan 384 kbps, padahal biaya yang dibayar tetap sesuai dengan paket game, dimana paket game ini lebih mahal dari pada paket family. Padahal di dalam Pasal 8 ayat (2) huruf 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa: Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Di samping hal tersebut, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 memberikan kewajiban kepada pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Dikaitkan dengan contoh kasus yang telah diuraikan di atas, maka pengguna jasa Telkom Speedy yang dimaksud kurang mendapatkan perlindungan hukum terhadap konsumen sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang, “Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pengguna Jasa Internet Telkom Speedy”.
5
B. Perumusan Masalah Atas dasar latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: Bagaimanakah perlindungan hukum konsumen terhadap pengguna jasa Telkom Speedy?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui perlindungan hukum konsumen terhadap pengguna jasa Telkom Speedy.
D. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian, sebagai terjemahan dari agreement dalam bahasa Inggris, atau overeenkomst dalam bahasa Belanda.1 Di samping itu, ada juga istilah yang sepadan dengan istilah perjanjian, yaitu istilah transaksi yang merupakan terjemahan dari istilah Inggris transaction. Namun demikian, istilah perjanjian adalah yang paling modern, paling luas dan paling lazim digunakan, termasuk pemakaiannya dalam dunia bisnis. Perjanjian adalah suatu kesepakatan (promissory agreement) di antara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. Ada juga yang memberikan pengertian 1
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 9.
6
sebagai suatu serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan dari kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan. Pasal 1313 K.U.H.Perdata memberikan definisi perjanjian adalah: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut Subekti, perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst.2 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, menerjemahkan istilah overeenkomst
dengan
pengertian
persetujuan.3
Menurut
Setiawan,
overeenkomst berasal dari kata overeenkomen yang berarti setuju ataupun sepakat,
karena
itulah
dipergunakannya
istilah
persetujuan
untuk
menerjemahkan istilah overeenkomst.4 Berdasarkan rumusan perjanjian yang telah dikemukakan tersebut, maka pengertian perjanjian itu mempunyai unsur-unsur yang dapat diuraikan sebagai berikut: a. Ada dua pihak atau lebih Para pihak yang disebutkan itu adalah subyek pada perjanjian yang dapat berupa manusia pribadi atau badan hukum. Untuk dapat membuat perjanjian tersebut harus mampu atau wenang melakukan perbuatan hukum seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang. b. Ada kesepakatan diantara para pihak
2
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa Jakarta, 1985, hlm. 1. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perutangan, Sumur Bandung, Bandung, 1989, hlm. 1. 4 Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, Bina Cipta, Jakarta, 1987, hlm. 2. 3
7
Kesepakatan yang dimaksud adalah yang bersifat tetap, artinya tidak termasuk
tindakan-tindakan
pendahuluan
untuk
mencapai
adanya
persetujuan atau kesepakatan. Persetujuan ini dapat diketahui dari penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran yang berarti apa yang ditawarkan pihak yang satu diterima oleh pihak lainnya. c. Ada tujuan yang akan dicapai Tujuan para pihak mengadakan perjanjian adalah agar memenuhi kebutuhan pihak-pihak, oleh karena itu di dalamnya harus ada tujuan yang akan dicapai. Tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilan dan tidak dilarang oleh undang-undang. d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan Dalam suatu perjanjian, para pihak disamping memperoleh hak dibebani pula dengan kewajiban-kewajiban yang berupa suatu prestasi. Prestasi merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai persyaratan atau syarat-syarat perjanjian, misalnya penjual berkewajiban menyerahkan barang yang telah dijualnya. Tidak ada kesatuan pendapat mengenai pengertian perjanjian, namun apabila diperhatikan dengan sesama, maka pada dasarnya perjanjian merupakan suatu hubungan hukum berdasarkan kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. “Kedua belah pihak atau lebih tersebut terikat karena
8
kesepakatan yang mereka lakukan untuk melaksanakan tujuan yang termaksud dalam perjanjian yang mereka buat”.5 2. Asas-asas Perjanjian Dalam hukum perjanjian juga terdapat beberapa asas yang mendasari berlakunya suatu perjanjian. Untuk lebih jelasnya mengenai asas hukum yang dimaksud dalam perjanjian ini, satu persatu dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Asas Konsensualitas Asas ini berkaitan dengan saat lahirnya suatu perjanjian. Asas ini menyatakan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak mengenai unsur-unsur pokoknya. Soedikno Mertokusumo mengemukakan sebagai berikut: Untuk adanya perjanjian harus ada dua kehendak yang mencapai kata sepakat atau konsensus. Tanpa kata sepakat tidak mungkin ada perjanjian, tidak menjadi soal apakah kedua kehendak itu disampaikan secara lisan atau tertulis. Bahkan dengan bahasa isyarat atau membisu sekalipun dapat terjadi perjanjian asal ada kata sepakat.6 b. Asas Kebebasan Berkontrak Menurut asas ini, hukum perjanjian memberikan peluang kepada masyarakat untuk menentukan isi perjanjian, bentuk maupun obyek dari perjanjian tersebut. Kebebasan berkontrak haruslah memperhatikan batasan-batasan tertentu seperti diatur dalam Pasal 1337 K.U.H.Perdata
5 6
Ibid, hlm. 96. Ibid, hlm. 96.
9
yang intinya memberikan batasan yaitu tidak dilarang oleh undangundang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak ini juga dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata yang menyatakan: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. c. Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian Pengertian asas kekuatan mengikat perjanjian ini adalah para pihak yang telah mengadakan perjanjian tersebut, masing-masing terikat dengan ketentuan yang terdapat di dalam perjanjian yang telah diadakan tersebut. Soedikno Mertokusumo mengemukakan sebagai berikut: Para pihak haruslah melaksanakan apa yang mereka sepakati sehingga perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang. Ini berarti bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian. Asas kekuatan mengikat ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan dikenal sebagai Pacta Sunt Servanda, sudah selayaknya bahwa sesuatu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dipatuhi pula oleh kedua belah pihak.7 d. Asas Kepribadian Pasal 1315 dan 1340 K.U.H.Perdata mengatur bahwa, pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Asas ini dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian, sedangkan pihak-pihak di sini maksudnya adalah, siapa saja yang
7
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengatar, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm. 97.
10
tersangkut dalam perjanjian, yaitu kreditur dan debitur. Terhadap asas kepribadian tersebut terdapat suatu pengecualian yang disebut janji guna pihak ketiga, yaitu bahwa dalam suatu perjanjian dimungkinkan adanya hak pihak ketiga yang adanya sejak pihak ketiga itu menyatakan kesediaannya menerima prestasi tersebut, seperti diatur dalam Pasal 1317 K.U.H.Perdata. Menurut Setiawan, janji untuk pihak ketiga adalah, “Janji yang oleh para pihak dituangkan dalam suatu perjanjian dimana ditentukan bahwa para pihak ketiga akan memperoleh hak atau suatu prestasi”.8 e. Asas Itikad Baik Asas itikad baik ini merupakan asas yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian. Di dalam asas ini ditentukan bahwa suatu perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) K.U.H.Perdata. Pengertian asas itikad baik di dalam hukum perjanjian adalah, bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus berjalan sebagaimana mestinya, sesuai dengan ukuran obyektif masyarakat. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum, sebab dengan adanya pelaksanaan perjanjian secara baik dan benar, tidak akan terjadi suatu penyimpangan terhadap suatu perjanjian.
8
Setiawan, op.cit., hlm. 35.
11
3. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Pasal 1320 K.U.H.Perdata menyebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. c. Adanya hal tertentu. d. Suatu sebab yang halal. Keempat syarat tersebut merupakan syarat mutlak di dalam perjanjian yang harus dipenuhi oleh para pihak apabila ingin perjanjian yang dibuatnya sah. Tidak dipenuhinya keempat syarat tersebut akan berakibat perjanjian itu batal atau dapat dibatalkan. Hal ini tergantung pada syarat mana dari keempat syarat tersebut yang tidak dipenuhi, karena keempat syarat tersebut dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: a. Syarat subyektif, adalah syarat yang menyangkut subyek dari suatu perjanjian atau syarat yang
melekat pada subyek-subyek yang
mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka akibat hukumnya perjanjian ini dapat dibatalkan. Termasuk syarat subyektif adalah syarat sepakat yang mereka mengikatkan diri dan adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. b. Syarat obyektif, adalah suatu syarat yang menyangkut obyek perjanjian itu sendiri. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka akibat hukum dari perjanjian itu adalah batal demi hukum. Termasuk syarat obyektif adalah syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
12
Pengertian perjanjian dapat dibatalkan ini adalah perjanjian yang telah ada tetap terus berjalan selama belum ada atau tidak diadakan pembatalan, pembatalan hanya dapat dilakukan oleh hakim pengadilan atas permintaan yang berhak meminta pembatalan, berbeda dengan pengertian batal demi hukum. Apabila perjanjian batal demi hukum, maka maksudnya perjanjian itu sejak semula dianggap tidak pernah ada, dengan demikian perjanjian itu menjadi batal tanpa campur tangan dari hakim. Adanya perbedaan dapat dibatalkan dan batal demi hukum ini menurut Subekti merupakan suatu sistem logis dan dapat dianut di mana-mana, dan lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa, “Sistem tersebut logis karena tidak dipenuhinya syarat subyektif tidak dapat dilihat oleh hakim dan karenanya harus diajukan kepadanya oleh yang berkepentingan, sedangkan hal tidak dipenuhinya syarat obyektif seketika dapat dilihat oleh hakim”.9 4. Hak dan Kewajiban Para Pihak Pendukung dalam suatu perjanjian sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua) orang yang disebut subyek perjanjian. Masing-masing orang menduduki tempat yang berbeda, satu orang menjadi kreditur yang berhak atas prestasi dan orang lainnya sebagai debitur yang wajib memenuhi prestasi. Pihak-pihak dalam perjanjian dapat berupa manusia pribadi (persoon) atau lembaga/badan hukum (rechtspersoon).
9
Subekti, op.cit., hlm. 26.
13
Subyek perjanjian harus mampu dan berwenang melakukan tindakan hukum seperti yang ditetapkan oleh undang-undang. Sesuai dengan teori dan praktek hukum, yang dapat menjadi kreditur atau debitur adalah terdiri dari: a. Individu sebagai person. 1) Manusia tertentu (persoon). 2) Badan Hukum (rechtspersoon). b. Seseorang sebagai individu atas keadaan atau kedudukan tertentu bertindak untuk atau atas nama orang tertentu. c. Seseorang sebagai individu yang menggantikan kedudukan debitur semula, baik atas dasar bentuk perjanjian maupun atas ijin dan persetujuan kreditur. Hak dan kewajiban para pihak adalah merupakan isi dari perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian didasarkan atas azas kebebasan berkontrak, yaitu para pihak bebas untuk menentukannya. Pada hakekatnya hak disatu pihak adalah merupakan kewajiban pihak lain, dengan kata lain prestasi yang merupakan hak dari kreditur adalah merupakan kewajiban bagi debitur untuk memenuhinya. Jadi baik kreditur maupun debitur sama-sama berorientasi pada satu hal yaitu prestasi, karena kreditur berhak atas prestasi dan debitur berkewajiban untuk memenuhi prestasi atau melaksanakan prestasi. 5. Wanprestasi dan Overmacht Dalam Perjanjian Perjanjian yang dibuat dengan sah menimbulkan perikatan atau hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Dalam suatu perjanjian ada kalanya terjadi wanprestasi, yang artinya menurut Soedikno Mertokusumo,
14
adalah: “tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang”.10 Tidak dipenuhinya kewajiban itu selain karena wanprestasi dapat juga karena keadaan memaksa (overmacht), atau peristiwa yang terjadi diluar kemampuan debitur, sehingga debitur tidak mempunyai kesalahan. Bentuk wanprestasi ada 4 (empat), yaitu: a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya yang telah disanggupi untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian. b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya. d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Mengetahui sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu ditentukan pelaksanaan pemenuhan prestasi, maka ketentuan Pasal 1238 K.U.H.Perdata menyatakan sebagai berikut: “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
10
Ibid, hlm. 73.
15
Alasan kedua tidak dapat dipenuhinya kewajiban adalah keadaan memaksa (overmacht), akibatnya ada salah satu pihak yang dirugikan. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa yang bukan karena kesalahannya. Peristiwa dimana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian.11 Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa: a. Tidak
dapat
dipenuhinya
prestasi
karena
suatu
peristiwa
yang
memusnahkan atau membinasakan benda yang menjadi obyek perjanjian. b. Tidak dapat dipenuhinya suatu prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur. c. Peristiwa yang tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan atau perjanjian baik oleh debitur maupun oleh kreditur, bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur. Sifat keadaan memaksa ada 2 (dua): a. Overmacht yang bersifat absolute (mutlak) ialah suatu keadaan dimana prestasi sama sekali tidak dapat dipenuhi, maka perikatan tersebut terhenti sama sekali. b. Overmacht yang bersifat relatif ialah suatu keadaan dimana kewajiban berprestasi terhentikan untuk sementara dan akan timbul lagi setelah keadaan memaksa berhenti.
11
Setiawan, op.cit., hlm. 27.
16
6. Berakhirnya Perjanjian Hapusnya perjanjian pada umumnya adalah jika tujuan dari suatu perjanjian itu telah tercapai. Dengan demikian isi perjanjian yang telah mereka buat bersama itu telah dilaksanakan dengan baik oleh mereka. Beberapa macam cara hapusnya perjanjian, yaitu apabila: a. Masa berlakunya perjanjian yang telah disepakati sudah terpenuhi. b. Pada saat masa berlakunya perjanjian belum berakhir para pihak sepakat mengakhirinya. c. Adanya penghentian oleh salah satu pihak dalam perjanjian dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku setempat. d. Waktu berakhirnya suatu perjanjian ditentukan dengan batas waktu maksimal oleh undang-undang. e. Adanya putusan hakim karena adanya tuntutan pengakhiran perjanjian dari salah satu pihak. f. Di dalam undang-undang atau perjanjian itu sendiri ditentukan bahwa dengan adanya suatu peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir.12
7. Perlindungan Konsumen Perlindungan
konsumen
adalah
istilah
yang
dipakai
untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum, istilah ini masih 12
Ibid, hlm. 106.
17
relatif baru, khususnya di Indonesia, sedangkan di negara maju hal ini mulai dibicarakan bersamaan dengan berkembangnya industri dan teknologi.13 Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun-1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan: Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Berbicara tentang perlindungan konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan
13
Adijaya Yusuf dan John W. Haed, Hukum Ekonomi, ELIPS, Jakarta, 1998, hlm. 9.
18
penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai. b. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purna jual, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.14 Aspek yang pertama, mencakup persoalan barang atau jasa yang dihasil-kan dan diperdagangkan, dimasukkan dalam cakupan tanggung jawab produk, yaitu tanggung jawab yang dibebankan kepada produsen karena barang yang diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat di dalamnya, sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen, misalnya karena keracunan makanan, barang tidak dapat dipakai untuk tujuan yang diinginkan karena kualitasnya rendah, barang tidak dapat bertahan lama karena cepat rusak, dan sebagainya. Dengan demikian, tanggung jawab produk erat kaitannya dengan persoalan ganti kerugian. Sedangkan yang kedua, mencakup cara konsumen memperoleh barang dan atau jasa, yang dikelompokkan dalam cakupan standar kontrak yang mempersoalkan syarat-syarat perjanjian yang diberlakukan oleh produsen kepada konsumen pada waktu konsumen hendak mendapatkan barang atau jasa kebutuhannya.
14
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 10.
19
Umumnya
produsen
membuat
atau
menetapkan
syarat-syarat
perjanjian secara sepihak .tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh kepentingan konsumen, sehingga bagi konsumen tidak ada kemungkinan untuk mengubah syarat-syarat itu guna mempertahankan kepentingannya. Seluruh syarat yang terdapat pada perjanjian, sepenuhnya atas kehendak pihak produsen barang atau jasa. Bagi konsumen hanya ada pilihan: mau atau tidak mau sama sekali. Vera Bolger menamakannya sebagai take it or leave it contract. Artinya, kalau calon konsumen setuju, perjanjian boleh dibuat; kalau tidak setuju, silakan pergi.15
E. Metode Penelitian Untuk mendapatkan data dan pengolahan yang diperlukan dalam rangka penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum empiris sebagai berikut: 1. Objek Penelitian Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pengguna Jasa Internet Telkom Speedy. 2. Subjek Penelitian a. Direksi PT. Telkom Wilayah Yogyakarta. b. Pihak pengguna jasa Telkom Speedy.
3. Sumber Data 15
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Segi Standart Kontrak (Baku), makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, BPHN, Bina Cipta, Jakarta, 1980, hlm. 59-60.
20
a. Data primer, yaitu data yang didapat langsung dengan subyek penelitian. b. Data sekunder adalah berupa data yang diperoleh dari penelitian kepuatakaan (library research) yang terdiri atas: a. Bahan hukum primer, dalam hal meliputi: K.U.H.Perdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang digunakan sebagai pelengkap bahan hukum primer, berupa buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, maupun makalah-makalah yang berkaitan dengan obyek penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara secara bebas terpimpin berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan. 5. Metode Pendekatan Metode yang dilakukan oleh penulis adalah yuridis normatif, yang mana dalam melakukan pada objek penelitian lebih menitikberatkan pada aspekaspek yuridis, yang dimana dalam melakukan analisa data-data yang diperoleh dari objek penelitian dengan menggunakan asas-asas hukum, teori-teori hukum serta ketentuan perundang-undangan. 6. Metode Analisis Data Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa hasil penelitian dengan menggambarkan hubungan yang ada
21
antara hasil penelitian yang diperoleh tersebut untuk memaparkan dan menjelaskan suatu persoalan, sehingga sampai pada suatu kesimpulan. F. Kerangka Skripsi Penulisan skripsi ini terbagi dalam empat bab, yaitu bab I mengenai pendahuluan, bab II mengenai hukum perlindungan konsumen, bab III mengenai hasil penelitian dan pembahasan, bab IV penutup. Pada bab I terdiri dari 6 sub bab diantaranya adalah latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan kerangka skripsi. Pada bab II terdiri dari 5 sub bab, yaitu: hukum perlindungan konsumen diuraikan menjadi pengertian hukum perlindungan konsumen, kepentingan dan masalah yang dihadapi konsumen, perilaku konsumen, aspek hukum perlindungan konsumen dan penyelesaian sengketa. Pada bab III terdiri dari 5 sub bab, yaitu: hasil penelitian dan pembahasan dari perlindungan hukum konsumen terhadap pengguna jasa internet telkom speedy yang meliputi gambaran umum telkom speedy, syarat berlangganan telkom speedy, bentuk dan isi perjanjian, hak dan kewajiban para pihak, perlindungan hukum konsumen terhadap pengguna jasa internet telkom speedy. Pada bab IV yaitu penutup, berisi mengenai kesimpulan dan saran, dimana kesimpulan dan saran ini diuraikan mengenai hasil akhir penelitian yang sudah dilakukan oleh penulis.
22