LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN TENTANG EFEKTIVITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERIKANAN BUDIDAYA DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN DI WILAYAH PESISIR INDONESIA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan yurisdiksi
atas
wilayah
perairan
Indonesia,
serta
kewenangan
dalam
menetapkan pengaturan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik untuk penangkapan maupun pembudidayaan ikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun pemanfaatan sumber daya ikan harus tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional secara berkelanjutan. Pembudidayaan perikanan merupakan fokus pembangunan wilayah pesisir dalam program pembangunan nasional ke depan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir. Mengingat secara de facto bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 (0,3 juta km2 perairan teritorial; dan 2,8 juta km2 perairan nusantara) atau 62% dari luas teritorialnya. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, menempatkan Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Ekskluisf (ZEE) Indonesia, dan Laut Lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
1
Indonesia diberi hak kewenangan memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2 yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumber daya hayati dan non hayati, penelitian, dan yuridikasi mendirikan instalasi atau pulau buatan. Batas ZEE ini adalah 200 mil dari garis pantai pada surut terendah. Disamping itu, wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alamnya, baik sumber daya alam yang dapat pulih maupun sumber daya alam yang tidak dapat pulih. Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia, karena memiliki ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, yang sangat luas dan beragam yang menjadi tempat pembudidayaan perikanan. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki merupakan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan
nasional.
Pemanfaatan
secara
optimal
diarahkan
pada
pendayagunaan sumber daya ikan dengan memperhatikan daya dukung yang ada
dan
kelestariannya
untuk
meningkatkan
meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan
kesejahteraan
rakyat,
pembudidaya ikan kecil,
meningkatkan penerimaan devisa negara, menyediakan perluasan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing hasil perikanan serta menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan serta tata ruang. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan harus seimbanga dengan daya dukungnya, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat secara terus menerus. Salah satunya dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan pengelolaan perikanan. Dengan wilayah perairan dan garis pantai yang demikian luas dan panjang, maka
tidak
mengherankan
bila
masyarakat
Indonesia
banyak
yang
menggantungkan hidupnya di laut sebagai nelayan. Akan tetapi kehidupan dan kesejahteraan nelayan seakan bertolak belakang dengan realitas data yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia luas dengan sumber daya ikan dan biota laut yang melimpah. Kenyataan yang muncul ke permukaan justru keprihatinan akibat kemiskinan para nelayan. Perjuangan mereka amat panjang dan 2
melelahkan untuk mencari dan menangkap ikan. Berbagai tantangan mereka hadapi baik ombak, cuaca yang tidak menentu, bersaing dengan kapal-kapal nelayan besar bahkan hingga dihadang kapal nelayan asing yang mencuri ikan. Ketidakberdayaan nelayan makin dirasakan manakala cuaca tidak bersahabat, acap kali para nelayan tidak dapat melaut dan dengan terpaksa harus menjual barang-barang miliknya atau menghutang demi untuk menghidupi istri dan anak. Potret sebagian besar nelayan kita adalah tergolong kaum marjinal, miskin pengetahuan teknologi penangkapan ikan dan lemah permodalan. Sehingga para nelayan tidak memiliki kapal yang mampu berlayar menangkap ikan diperairan dalam dan laut lepas. Dengan keadaan tersebut sangatlah sulit jika harus bertarung mendapatkan ikan di tengah laut dengan kapal-kapal besar yang dilengkapi teknologi penangkapan dan penginderaan. Rokhmin Dahuri mengatakan bahwa Lebih dari 90 persen armada kapal ikan Indonesia terkonsentrasi di perairan
pesisir dan laut dangkal seperti Selat Malaka,
pantura, Selat Bali dan pesisir selatan Sulawesi. Di situ pula sebagian besar telah mengalami kelebihan tangkap. Jika laju penangkapan ikan seperti sekarang berlanjut, tangkapan kapal akan menurun, nelayan semakin miskin dan sumber daya ikan pun punah. Selanjutnya ia katakan, Sebaliknya jumlah kapal ikan Indonesia yang beroperasi di laut lepas, laut dalam, dan wilayah perbatasan seperti Laut Natuna, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi, Laut Seram, Laut Banda, Samudera Pasifik, Laut Arafura dan Samudera Hindia bisa dihitung dengan jari.1 Lebih lanjut dikatakan bahwa Potensi ekonomi perikanan yang jauh lebih besar sesungguhnyaa terdapat diperikanan budidaya (akuakultur). Namun sampai saat ini pemanfaatan perikanan budidaya masih sangat rendah, hanya 4,88 juta ton pada 2010 atau 8,5 persen dari total produksi 57,6 juta ton per tahun. Pada hal, permintaan terhadap beragam produk akuakultur untuk memenuhi
kebutuhan
pangan,
obat
dan
bahan
baku
industri
terus
2
meningkat. Akuakultur memegang peranan penting untuk mensuplai kebutuhan pangan masa depan. Saat ini perkembangan produksi budidaya perikanan sangat pesat dibanding sektor lainnya. Rekayasa genetik ikan cenderung merupakan alternatif pengembangan budidaya perikanan masa depan dengan
1 2
Rokhmin Dahuri, Membangun Perikanan Berkelanjutan, Kompas: Kamis, 22 Desember 2011 Ibid
3
pertumbuhan yang lebih cepat dari ikan alami dan penggunaan pakan yang lebih efisien sekitar 30%.Hal ini juga menjadikan ikan transgenik 350% lebih efisien dibandingkan dengan pakan sapi. Budidaya perikanan yang beroperasi pada tahun 2015 akan menyediakan setengah dari seluruh pasokan ikan yang tersedia. Total permintaan dunia produk budidaya dan penangkapan perikanan diproyeksikan meningkat hampir 50 juta ton, dari 133 juta ton pada 1999/2001 menjadi 183 juta ton pada tahun 2015 (FAO).3 Salah satu harian nasional memberitakan bahwa keberlanjutan perikanan nasional kian terancam oleh ketertinggalan nelayan, lemahnya infrastruktur, pencurian ikan yang masih merajalela, dan arus impor ikan yang memukul daya saing, Keberpihakan pemerintah terhadap sektor perikanan dinilai masih rendah. Selanjutnya dikatakan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, menegaskan, pihaknya mendorong pengembangan mata pencaharian alternatif bagi nelayan, yakni ke sektor perikanan budidaya dan pengolahan ikan.4 Keterpurukan nelayan tradisionil ini tampaknya sudah ada indikasi yang mengarah pada perbaikan nasib mereka, khususnya untuk nelayan di Propinsi NTT. Sidang kabinet yang dilaksanakan pada tanggal, 2 februari 2012 lalu membahas percepatan pembangunan di NTT, salah satu provinsi yang memerlukan percepatan pembangunan. Oleh karena itu pemerintah pusat dan daerah bertekad untuk melaksanakan hal tersebut. "Paling tidak, ada enam program usulan yang harus dijadikan program unggulan provinsi NTT," ujar Menko Perekonomian Hatta Rajasa, usai sidang kabinet paripurna, di Kantor Presiden, Rabu (2/2) petang. Hatta memberikan keterangan pers bersama Gubernur NTT Frans Lebu dan Staf khusus Presiden bidang Otonomi Daerah dan Percepetan Daerah Tertinggal Velix Wanggai. Enam program unggulan untuk NTT tersebut, yang berkaitan dengan perikanan budidaya, antara lain pertama adalah menjadikan NTT sebagai pusat garam nasional. Saat ini terjadi defisit garam nasional sekitar 2 juta ton per tahun. Yang kedua, untuk sektor
3http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=155180 4
Kompas, Selasa, 10 April 2012
4
perikanan, dikembangkan budidaya rumput laut dan perikanan masyarakat. Kemungkinan akan ada perluasan lahan sebesar 35 ribu hektar untuk rakyat. 5 Kemudian diberitakan bahwa Pemerintah pusat telah menaikkan alokasi anggaran untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 15 persen, menjadi Rp 16,1 triliun, dari tahun 2010 yang berjumlah Rp 14,1 triliun. Porsi terbesar
untuk
pembangunan
infrastruktur.
Presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono mengatakan hal ini dalam sambutannya pada acara percepatan pembangunan untuk NTT, Rabu (9/2) siang, di Aula El Tari Kantor Gubernur NTT, Kupang.6 Rencana antara lain pengembangan lahan pembudidayaan garam menjadi 11.444 hektar. ''Ini akan kita dorong investasi swasta sehingga pada saatnya nanti NTT akan menjadi sentra produksi garam nasional.Anggaran tersebut juga termasuk untuk pengembangan perikanan dan pelabuhan sebesar Rp 252 miliar untuk pengadaan kapal tanker, peningkatan produksi perikanan budidaya, dan pengembangan rumput laut. Oleh karena itu keberpihakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada masyarakat nelayan perlu diprioritaskan terutama dengan pengembangan pembudidayaan perikanan di wilayah perairan Indonesia, khususnya di wilayah pesisir
Propinsi
NTT,
sebagai
upaya
peningkatan
taraf
kesejahteraan
masyarakat nelayan dan pembukaan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat. Pembudidayaan perikanan tersebut diharapkan dapat melestarikan sumber daya perikanan guna meningkatkan produktivitas perikanan sebagai sumber pangan masa depan dan sekaligus dapat
menunjang pendapatan
daerah. Impelementasi rencana percepatan pembangunan Propiinsi NTT di sektor industri garam dan perikanan budidaya, yang telah dicanangkan oleh pemerintah tersebut,
memerlukan
kajian
mendalam
untuk
merumuskan
kebijakan
pengembangan perikanan budidaya di NTT tanpa berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang sifatnya lebih tinggi. Rencana pemerintah pusat dan propinsi NTT untuk memperluas areal usaha tambak garam dan perikanan
5http://www.aktualitas.com/index.php?option=com_content&view=article&id=129:ada-enam-program-
percepatan-pembangunan-ntt&catid=3:pemerintahan&Itemid=137 6 http://www.indoplaces.com/mod.php?mod=indonesia&op=viewarticle&cid=31&artid=295
5
budidaya tentu memerlukan kajian yang konprenhensif dari berbagai macam disiplin ilmu.
Dari
sudut regulasi
tentu akan dilihat apakah program
pengembangan tambak garam dan perikanan budidaya tersebut, sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan kemudian, apakah peraturan daerah pada sektor perikanan dapat mendukung program tersebut. Selanjutnya perlu diperhatikan daya dukung lingkungannya, yang harus selaras dengan peraturan dibidang pengelolaan lingkungan. Jika belum ada kajian komprehensif demikian tentu harus dilakukan berbagai penelitian dari berbagai macam disiplin ilmu, sehingga kelak dapat merumuskan kebijakan regulasi pembuatan peraturan daerah bagi pengembangan perikanan budidaya dan tambak garam di wilayah pesisir Propinsi NTT, sebagai implementasi peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan yang mengatur perikanan pertama kali dikeluarkan adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Namun undang-undang ini kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Alasan yang menjadi pertimbangan adalah bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan juga belum mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juga kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dasar pertimbangan perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 adalah bahwa
undang-undang
ini
belum
sepenuhnya
mampu
mengantisipasi
perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dalam Pasal 1 angka 6 disebutkan bahwa pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi 6
dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan budidaya memiliki peran penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan
kerja,
peningkatan
pendapatan
daerah
dan
peningkatan
kesejahteraan masyarakat nelayan. Pengelolaan tersebut tidak bisa diserahkankan begitu saja pada masyarakat nelayan, tapi diperlukan dukungan pemerintah daerah seperti penetapan lokasi, penganggaran, perencanaan sampai pada tingkat pengaturan. Mengingat kondisi wilayah dan masyarakat masing-masing daerah berbeda satu dengan yang lain. Maka, pengelolaan perikanan tidak cukup hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi tapi perlu dijabarkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah, seperti peraturan daerah. Karena daerah setempatlah yang lebih memahami kondisi wilayah dan kemampuan masyarakat nelayan masing-masing. Namun penerapan undang-undang perikanan tersebut di atas dalam pelaksanaannya bisa jadi kurang optimal jika masing-masing pemerintah daerah tidak segera membuat peraturan daerah sebagai aplikasi dari peraturan perundang-undangan perikanan yang disesuaikan dengan kondisi wilayah pesisir setempat. Dengan demikian, maka penelitian efektivitas peraturan perundangundangan perikanan budidaya dalam upaya pemberdayaan masyarakat nelayan di wilayah pesisir Indonesia akan di fokuskan pada penelitian efektivitas kebijakan, dalam hal ini peraturan perundang-undangan mulai dari tingkat Undang-undang sampai dengan Peraturan Daerah, yang mengatur perikanan budidayakhususnya di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
7
B. Perumusan Masalah Dari uraian tersebut
di
atas,
maka
dapat
dirumuskan
beberapa
permasalahan sebagai berikut: B.1. Bagaimana efektivitas Peraturan Perundang-undanganPerikanan Nomor 31 Tahun 2004sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dalam mendukung pengembangan perikanan budidaya, termasuk rumput laut dan tambak garam, di wilayah pesisir Propinsi NTT. B.2. Apakah perikanan budidaya, termasuk rumput laut dan tambak garam, di wilayah pesisir Propinsi NTT telah dapat membuka kesempatan kerja pada masyarakat nelayan?
B.3. Apakah produktivitas perikanan budidaya, termasuk rumput laut dan tambak garam, di Propinsi NTTtelah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan? B.4. Apakah perikanan budidaya, termasuk rumput laut dan tambak garam, di Propinsi NTT telah dapat meningkatkan kontribusi bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)?. B.5. Bagaimana peluang, tantangan dan hambatan pengembangan perikanan budidaya, termasuk rumput lautdan tambak garam di wilayah pesisir Propinsi NTT?. B.6. Apakah rencana percepatan pengembangan perikanan budidaya, termasuk rumput laut dan tambak garam, sudah diadopsi dalam regulasi daerah di wilayah pesisir Propinsi NTT?. C. Maksud Penelitian Penelitian tentang Efektivitas Peraturan Perundang-undangan Perikanan Budidaya Dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di Wilayah Pesisir Indonesia, terutama di Wilayah Propinsi NTT dimaksudkan, antara lain sebagai berikut: C.1. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai efektivitas peraturan perundangundangan perikanan,dalam pengembangan perikanan budidaya, termasuk rumput lautdan tambak garam, di wilayah pesisir Propinsi NTT. C.2. Untuk mengetahui lebih jauhdaya serap atau ketersediaan lapangan kerja bagi nelayan di sektor perikanan budidaya, termasuk rumput laut dan tambak garam, di wilayah pesisir Propinsi NTT. 8
C.3. Untuk mengetahui lebih jauh produktivitas perikanan budidaya, termasuk rumput laut dan tambak garam, di wilayah pesisir Propinsi NTT sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. C.4. Untuk mengetahui lebih jauhkontribusi perikanan budidaya, termasuk rumput lautdan tambak garam, terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)Propinsi NTT?. C.5. Untuk
mengetahui
lebih
jauh
peluang,
tantangan
dan
hambatan
pengembangan perikanan budidaya, termasuk rumput laut dan tambak garam, di wilayah pesisir Propinsi NTT. C.6. Untuk mengetahui lebih jauh aplikasi rencana percepatan pengembangan perikanan budidaya, termasuk rumput laut dan tambak garam, dalam regulasi daerah Propinsi NTT dan Kabupataen/Kota ?. D. Metodologi Pelaksanaan Adapun metodogi pelaksanaan penelitian Efektifitas Peraturan Perundangundangan Perikanan Budidaya ini dilakukan sebagai berikut: D.1. Lokus Kegiatan Kegiatan penelitian di Propinsi NTT akan dilakukan di 5 (lima) wilayah Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, Kabupaten Belu dengan Ibu Kota Atambua, Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Ibu Kota Kefamenanu dan Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan Ibu Kota Soe. Pemilihan 5 (lima) Kabupaten/Kota ini sudah dapat mewakili dari sekitar 20 (duapuluh) jumlah Kabupaten/Kota di Propinsi NTT.Sebab kelima wilayah tersebut di atas, terdapat pengembangan perikanan budidaya, termasuk rumput laut, garam dan mutiara. D.2. Fokus Kegiatan Kegiatan
Penelitian
Efektivitas
Peraturan
Perundang-undangan
Perikanan Budidaya inisecara garis besarnya difokuskan pada evaluasi pelaksanaan Undang-undang Perikanan No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004tentang Perikanan dan Peraturan Daerah setempat yang mengatur perikanan. Secara spesifik 9
akan fokus menyoroti diantaranya adalah Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 2004, yang menyebutkan “bahwa Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan
hukum
adat
dan/atau
kearifan
lokal
serta
memperhatikan peran serta masyarakat.” Dalam kegiatan penelitian nanti diupayakan mendapatkan data-data di lapangan sejauhmana penerapan hukum adat atau kearifan lokal dalam pembudidayaan ikan termasuk rumput laut, garam dan mutiara di Propinsi NTT terutama pada lima kabupaten/kota tersebut di atas. Dalam Undang-undang Perikanan No. 45 Tahun 2009 Pasal 7 ayat (1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan: huruf d. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; huruf l. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan; huruf m. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya; huruf n. pembudidayaan ikan dan perlindungannya. Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian akan diteliti bagaimana proses pengambilan kebijakan dalam penentuan potensi dan lokasi lahan pembudidayaan di suatu wilayah, termasuk penetapan jenis ikan baru yang akan di budidayakan dan penebaran serta penangkapan ikan berbasis budi daya. Kemudian, Pasal 8 ayat (1) dan (4) Undang-undang No. 31 Tahun 2004. Pasal ini memuat larangan pada ayat (1) ditujukan pada Orang dan ayat (4) ditujukan pada Perusahaan, yang “melakukan pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.” Pembudidayaan ikan terutama di wilayah peraian pantai, sangat berpotensi merusak lingkungan. Pada kegiatan penelitian dilapangan, Tim akan berupaya mendapatkan data-data kerusakan lingkungan akibat dari pelanggaran ketentuan tersebut di atas.
10
Pasal 15 Undang-undang No. 31 Tahun 2004 disebutkan “Pemerintah mengatur pemasukan dan/atau pengeluaran, jenis calon induk, induk, dan/atau benih ikan ke dalam dan dari wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Undang-undang Perikanan No. 45 Tahun 2009 sebagai perubahan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 menambahkan Pasal15 A bahwa “Pemerintah mengatur pengendalian mutu induk dan benih ikan yang dibudidayakan.” Dalam pelaksanaan kegiatan dilapangan akan diteliti bagaimana pelaksanaan pengaturan jenis induk dan benih ikan tersebut serta mekanisme pengendalian mutu induk dan benih ikan tersebut dilakukan. Pasal 25 Undang-undang Perikanan No. 45 Tahun 2009 sebagai perubahan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 menyebutkan dalam ayat (1) bahwa “Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.” Selanjutnya ayat
(2)
menyebutkan
praproduksi,
produksi,
bahwa
“Ketentuan
pengolahan,
dan
lebih
lanjut
pemasaran,
mengenai
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.” Dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan akan diteliti bagaimana proses di atas dilakukan, apakah masing-masing tahapan tersebut berjalan lancar atau mengalami kendala khususnya di pemasaran. Sebab produksi ujung tombaknya ada di pemasaran. Jika produksi perikanan budidaya digalakkan akan tetapi pemasarannya mengalami hambatan misalnya tidak terserap pasar di wilayah Propinsi NTT dan apabila harus menjual ke luar wilayah NTT barangkali kendalanya harga penjualan tidak kompetetif, akibat cost yang harus dikeluarkan pada biaya pengangkutan atau pengiriman. Kemudian pada Pasal 25 A disebutkan ayat (1) bahwa “Pelaku usaha perikanan dalam melaksanakan bisnis perikanan harus memperhatikan standar mutu hasil perikanan.” Ayat (2) bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan.” Ayat (3) bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu hasil perikanan diatur dalam Peraturan Menteri.” Usaha perikanan yang dimaksud dalam ketentuan ini juga 11
meliputi usaha perikanan budidaya. Dalam pelaksanakan kegiatan di lapangan akan diteliti bagaimana bentuk pembinaan dan fasilitasi pengembangan usaha perikanan budidaya dan juga pelaksanaan standar mutu hasil perikanan budidaya. Pasal 52 disebutkan bahwa “Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan penelitian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal.” Dalam kegiatan dilapangan nanti Tim akan melihat sejauhmana peran dari lembaga Penelitian dan pengembangan (Litbang) menghasilkan
pengetahuan
dan
teknologidalam
upaya
membantu
masyarakat nelayan pembudidaya atau perusahaan pembudidaya dalam pengembangan perikanan budidaya di Propinsi NTT. Pasal 57 disebutkan ayat (1) bahwa “Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan untuk meningkatkan pengembangan sumber daya manusia di bidang perikanan.” Ayat (2) bahwa “Pemerintah menyelenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) pendidikan dan/atau pelatihan perikanan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan dan/atau pelatihan yang bertaraf internasional.” Untuk pengembangan perikanan budidaya di Propinsi NTT, maka mutlak dilakukan pengembangan di bidang sumber daya manusia (SDM) dengan melakukan serangkaian diklat dan penyuluhan perikanan budidaya pada anggota masyarakat nelayan dan masyarakat yang berminat lainnya. Kegiatan penelitian dilapangan nanti juga akan menyoroti sisi kegiatan diklat
dan
penyuluhan
perikanan
budidaya.
Sebab
masyarakat
pembudidaya perikanan tanpa dibekali ilmu pengetahuan yang memadai lewat diklat dan penyuluhan, maka sulit mengharapkan terjadinya kemajuan pengembangan perikanan budidaya di Propinsi NTT. Pasal
65
Undang-undang
Perikanan
No.
45
Tahun
2009
menyebutkan bahwa ”Pemerintah dapat memberikan tugas kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan di 12
bidang perikanan”. Urusan tugas pembantuan ini biasanya dijabarkan dalam peraturan daerah Propinsi. Dalam kegiatan di lapangan nanti akan berupaya mengetahui sejauhmana pelaksanaan tugas pembantuan, apakah sudah dijabarkan dalam Peraturan Daerah (Perda) atau belum. D.3. Bentuk Kegiatan -
Bulan Maret 2012 pembuatan instrumen penelitian
-
Pada tanggal, 5 s/d 7 April 2012 Konsinyasi anggota Tim dengan Narasumber Dr. Barita Simanjuntak, SH, MH, yang diselenggarakan di Hotel M One, Bogor. Dalam konsinyasi ini dilakukan perbaikan dan tambahan terhadap daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara di lapangan.
Kemudian
juga
dibahas
metode
penelitian
dalam
pelaksanaan kegiatan. Narasumber sepakat dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan beberapa masukan sebagai tambahan untuk perbaikan. -
Pada bulan April 2012 pencarian dan penelusuran data-data yang berkenaan dengan perikanan budidaya serta pengadaan berbagai literatur bahan pustaka.
-
Tanggal 4 Mei 2012 telah dilakukan rapat Tim di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM. Pada rapat ini tersusun sistimatika laporan dan sekaligus pembagian tugas diantara para anggota untuk penyusunan Bab II.
-
Pada awal bulan Juni direncanakan akan melakukan penelitian lapangan ke lima lokasi di NTT.
D.4. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Pelaksanaan kegiatan penelitian hukum ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu: D.4.1. Penelitian Kepustakaan (library research) Penelitian kepustakaan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder, berupa bahan-bahan hukum, yang meliputi bahan hukum primer yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder yakni bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan lebih lanjut pada bahan hukum primer seperti literatur dan hasil penelitian, dan
13
bahan hukum tertier yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum ensiklopedia dan lain-lain. Disamping melakukan pencarian data kepustakaan hukum juga dilakukan pencarian data-data baik melalui situs internet maupun bahan-bahan berupa buku mengenai perikanan. D.4.2. Rapat konsinyasi anggota tim dengan narasumber denganmaksud untuk mendapatkan masukan perihal metode penelitian, pokok-pokok yang akan dibahas dalam penelitian dan masukan lainnya. D.4.3. Melakukan kegiatan rapat Tim dengan agenda pembahasan antara lain: - penyampaian hasil-hasil pertemuan Tim peneliti koridor V yang diselenggarakan di Depnaker dan BPPT pada anggota tim. - penyamaan persepsi diantara anggota tim peneliti bahwa penelitian ini adalah dalam rangka mendukung MP3EI. - pembahasan dan penyusunan sistimatika laporan - dan pembagian tugas untuk penyusunan Bab II. D.4.4. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk menunjang data sekunder yaitu dengan cara mengumpulkan, meneliti dan menyeleksi data melalui serangkain wawancara, diantaranya dengan para ahli hukum dan ahli di bidang perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan Propinsi
NTT
Kabupaten/Kota,
dan
Kabupaten/Kota,
masyarakat
nelayan
Biro
Hukum
pembudidaya,
Propinsi
dan
perusahaan
pembudidaya, organisasi nelayan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di perikanan.
14
BAB II PERKEMBANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN A. Pengelolaan Administrasi Manajerial A.1. Perencanaan Anggaran : A.1.1. Honorarium Koordinator, Anggota tim dan Asisten untuk bulan Februari s/d April 2012. A.1.2. Biaya pembelian bahan-bahan kepustakaan A.1.3. Pembelian ATK dan Komputer suplies A.1.4. Biaya pelaksanaan rapat konsinyasi di Bogor, yaitu biaya penginapan hotel dan konsumsi A.1.5. Pembayaran honorarium narasumber A.1.6. Pembayaran perjalanan dinas Koordinator dan anggota Tim dalam rapat konsinyasi di Bogor. A.1.7. Biaya foto copy: Proposal, Research Design, instrumen dan bahanbahan penelitian A.1.8. Dukungan administrasi kegiatan A.1.8 Biaya konsumsi rapat-rapat pengendalian pelaksanaan kegiatan A.1.8 Transport lokal dalam rangka koordinasi dengan instansi terkait A.1.9. Biaya materai A.1.10 Pembayaran pajak A.2. Pengelolaan Anggaran A.2.1 Membayar honorarium Ketua/Koordinator, Anggota Peneliti dan Asisten Tim untuk 3 (tiga) bulan dari Februari s/d April 2012 A.2.2. Pembelian bahan ATK dan komputer Suplies A.2.3. Biaya konsinyasi di Bogor, meliputi: -
Biaya penginapan di hotel
-
Biaya perjalanan dinas
-
Biaya konsumsi.
A.2.3. Membayar honorarium narasumber A.2.3. Foto copy bahan-bahan untuk rapat konsinyasi seperti riset design, instrumen dan bahan penelitian, penggandaan dan penjilidan. A.2.4. Biaya konsumsi rapat-rapat pelaksanaan kegiatan 15
A.2.5. Dukungan administrasi kegiatan A.2.6. Transport lokal dalam rangka mendukung kegiatan dan koordinasi dengan instansi terkait. A.2.7. Biaya meterai A.2.8. Pembayaran pajak. A.3. Rancangan Pengelolaan Aset A.3.1. Aset yang digunakan dalam penelitian ini seperti: buku-buku referensi pendukung penelitian, flesdisk, alat tulis dan lain-lain, akan dipergunakan untuk kegiatan selanjutnya A.3.2. Hasil penelitian ini akan di jilid dalam bentuk buku dan dipublikasikan B. Metode-Proses Pencapaian Target Kinerja B.1. Kerangka Metode-Proses Pencapaian Target Kinerja B.1.1. Penelitian Kepustakaan B.1.2. Penelitian Lapangan B.1.3. Rapat konsinyasi dengan narasumber B.1.4. Rapat tim B.1.5. Wawancara B.2. Indikator Keberhasilan Pencapaian Target Kinerja B.2.1. Penyelesaian tugas koordinator dan anggota tim untuk penyusunan Bab II B.2.2. Selesainya pembuatan sistimatika laporan B.2.3. Selesainya pembuatan daftar pertanyaan untuk wawancara B.2.4. Melakukan rapat konsinyasi dengan narasumber B.2.5. Rapat Tim B.2.6. Koordinasi dan komunikasi dengan instansi terkait, pemangku kepentingan di NTT. B.3. Perkembangan Pencapaian Target kinerja B.3.1. Pengumpulan data-data kepustakaan untuk kepentingan penelitian B.3.2. Melakukan rapat konsinyasi dengan Narasumber di Bogor B.3.3. Pembuatan sistimatika laporan 16
B.3.4. Pembuatan daftar pertanyaan untuk wawancara B.3.5. Pembagian tugas untuk penulisan Bab II C. Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program C.1. Kerangka Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program C.1.1. Komunikasi C.1.2. Surat Menyurat C.1.3. Kontak langsung C.1.4. Pertemuan dengan para pejabat untuk serangkaian wawancara C.1.5. Perolehan data pendukung dari instansi terkait. C.2. Indikator Keberhasilan Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program C.2.1. Kelancaran komunikasi dengan lembaga terkait C.2.2. Kelancaran surat-menyurat C.2.3. Kemudahan untuk berhubungan langsung C.2.4. Para pejabat bersedia untuk diwawancarai C.2.5. Kemudahan untuk memperoleh data pendukung dari instansi terkait. C.3. Perkembangan Sinergi Koordinasi Kelembagaan - Program Perkembangan sinergi koordinasi kelembagaan di daerah sedang dalam proses persiapan surat menyurat, pencarian alamat-alamat dan nomor telepon instansi terkait di Propinsi NTT dan Kabupaten/kota yang akan menjadi lokus penelitian. Diharapkan pada awal bulan Juni koordinasi dengan instansi terkait di Propinsi NTT dan Kabupaten/Kota sudah terrealisasikan. D. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa D.1. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa D.1.1. Hasil penelitian dibuat dalam bentuk buku D.1.2. Hasil penelitian dimuat dalam website ataujurnal ilmiah D.1.3. Rekomendasi kebijakan
17
D.2. Strategi Pemanfaatan Hasil Litbangyasa D.2.1. Hasil penelitian di cetak D.2.2. Publikasi website atau jurnal ilmiah D.2.3. Hasil penelitian dikirimkan pada instansi terkait D.2.4. Sosialisasi
D.3. Indikator Keberhasilan Pemanfaatan Hasil Litbangyasa D.3.1. Rekomendasi penelitian dapat menjadi rujukan dalam pembuatan atau revisi regulasi kebijakan budidaya perikanan di Propinsi NTT. D.4. Perkembangan Pemanfaatan Hasil Litbangyasa D.4.1. Masih dalam proses pengerjaan
BAB III RENCANA TINDAK LANJUT A. Rencana Pelaksanaan Pencapaian Target Kinerja A.1. Melakukan penelitian lapangan A.2. Koordinasi dengan instansi terkait di Kupang NTT A.3. Surat-menyurat A.4. Rapat Tim A.5. Konsinyasi lanjutan A.6. Sosialisasi/workshop di Kupang B. Rencana Koordinasi Kelembagaan – Program B.1. Komunikasi lewat kontak telepon atau Handphone B.2. Surat Menyurat B.3. Pengiriman kuesioner B.4. Pertemuan dengan pejabat pemangku kepentingan. C. Rencana Pemanfaatan Hasil Litbangyasa C.1. Publikasi C.2. Rekomendasi penelitian sebagai bahan masukan bagi revisi atau pembuatan regulasi kebijakan perikanan budidaya di Propinsi NTT.
18
D. Rencana Pengembangan ke Depan
BAB IV PENUTUP Perkembangan pelaksanaan kegiatan tahap pertama berjalan lancar.
19