LAPORAN KEMAJUAN
PENELITIAN MADYA
ANALISIS DINAMIKA SISTEM PERKOTAAN DAN TRANSFORMASI WILAYAH UNTUK PENENTUAN MODEL PEMBANGUNAN WILAYAH SOLO RAYA
Tahun ke I dari rencana 2 tahun
Ketua/Anggota Tim Rita Noviani, S.Si. M.Sc. NIDN 0010107508 Pipit Wijayanti,S.Si.M.Sc NIDN 0003061176 Yasin Yusup,S.Si.M.Si NIDN 0027047407
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TAHUN 2013
HALAMAN PENGESAHAN Judul
Peneliti/Pelaksana Nama Lengkap NIDN Jabatan Fungsional Program Studi Nomor HP Alamat surel (e-mail) Anggota (1) Nama Lengkap NIDN Perguruan Tinggi Anggota (2) Nama Lengkap NIDN Perguruan Tinggi Tahun Pelaksanaan Biaya Tahun Berjalan Biaya Keseluruhan
: Analisis Dinamika Sistem Perkotaan Dan Transformasi Wilayah Untuk Penentuan Model Pembangunan Wilayah Solo Raya : Rita Noviani, S.Si. M.Sc : 0010107508 : Lektor : Pendidikan Geografi : 082134424444 :
[email protected] : Pipit Wijayanti, S.Si.M.Sc : 0006117603 : UNS : Yasin Yusup, S.Si. M.Si : 0027047407 : UNS : Tahun keI dari rencana 2 tahun : Rp. 30.000.000,: Rp. 100,000.000,-
Surakarta, 9 september 2013 Mengetahui, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Ketua,
Prof. Dr. Ir. Darsono, MSi NIP. 19660611 199103 1002
Rita Noviani, S.Si.M.Sc 197511102003122013
RINGKASAN Sampai saat ini pembangunan SOLO RAYA cenderung memusat dan belum memberikan peran yang proporsional bagi wilayah kabupaten lainnya. Dipihak lain, penelitian dibidang perkotaan sangat jarang membahas dan mengkaji fenomena perkembangan regional secara mendalam (city an-sich), apalagi jika dihubungkan dengan proses transformasi wilayah secara lebih luas termasuk perdesaan. Oleh karena itu perlu penelitian yang secara khusus dan terpadu mengkaji dinamika sistem perkotaan dan proses transformasi wilayah. Penelitian bertujuan untuk membangun model konsepsi baru dalam pembangunan wilayah, yang berbasis pada analisis dinamika sistem perkotaan dan hubungannya terhadap proses transformasi wilayah. Konsepsi baru tersebut disusun melalui tahap mengkaji pola proses perkembangan sistem perkotaan, transformasi wilayah, dan interaksi-integrasi antar wilayah. Penelitian ini juga bermaksud untuk memberikan solusi pragmatis dalam membangun kerangka pikir dan perumusan kebijaksanaan pembangunan wilayah dengan menjadikan Solo dan sekitarnya sebagai transformator perkembangan wilayah. Penelitian ini akan bersifat deskriptif-analitis dengan menggunakan tiga pendekatan studi, yaitu pendekatan spatial approach, Morphological Approach, dan Policy Approach. Penelitian dilakukan pada tiga tingkatan kedalaman analisa, yaitu analisis tingkat makro (unit kebijaksanaan ‘policy’), analisis tingkat meso (unit wilayah) dan (3) analisis tingkat mikro (unit rumah tangga atau unir aktivitas ekonomi). Metode atau teknik penelitian yang digunakan akan dipakai gabungan antara studi literatur, observasi lapangan dan RRA (Rapid Rural Appraisal), metode survei dengan wawancara terstruktur, dan wawancara mendalam (indepth interview) serta analisa statistik. Keseluruhan metode tersebut akan dibantu dengan teknik pemetaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG).
PRAKATA Puji syukur kepada Alloh SWT atas limpahan, petunjuk, serta hidayah_Nya. Atas ijin_Nya jualah penelitian yang berjudul “Analisis Dinamika Sistem Perkotaan Dan Transformasi Wilayah Untuk Penentuan Model Pembangunan Wilayah Solo Raya ” ini selesai ditulis. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi stakeholders perencanan pembangunan, khususnya di kawasan SOLO RAYA, praktisi pembangunan wilayah, serta diharapkan menjaadi landasan pembangunan penelitian-peneltian sejenis selanjutnya. Akhirnya tidak ada segala sesuatu di muka bumi ini yang sempurna, demikian juga halnya dengan tulisan ini.Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dari pembaca untuk memperbaiki tulisan ini agar lebih tajam dan akurat. Hanya kepada Alloh penuliis berserah diri, semoga segala sesuatu yang telah penulis lakukan mendapat ridho_Nya. Amin.
Surakarta
Peneliti
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pada dua dekade akhir abad 20 dan memasuki millenium ke-3 wacana pembangunan wilayah di Indonesia ditandai dengan membesarnya fenomena metropolitanisasi. Sampai tahun 1990 dinamika sitem perkotaan telah menghasilkan 8 (delapan) kota metropolitan dan beberapa kawasan metropolitan, seperti
JABOTABEK,
Medan
Raya,
Bandung
Raya,
Surabaya
Gerbangkertasusila, dan Semarang Raya (Tjahjati dan Bulkin, 1994), dan sejak tahun 2010 SOLO RAYA menjadi bagian awal calon metropolitan yang akan terus berkembang seiring dengan aglomerasi Jogjakarta dan Semarang. Permasalahan yang mengiringi lahirnya fenomena tersebut adalah kecenderungan membesarnya metropolitan yang mengakibatkan kurang berfungsinya kota tersebut sebagai katalisator pembangunan wilayah. Dampak lebih lanjut adalah tertinggalnya kota kecil dan menengah (Tjahjati, 1993). Dengan kata lain ketimpangan antar wilayah semakin membesar. Sementara upaya-upaya pragmatis untuk memecahkan berbagai persoalan kota dan kesenjangan wilayah terus diupayakan, para praktisi seringkali menghadapi jalan buntu terutama karena masih terbatasnya teori-teori yang dapat menjelaskan fenomena perkembangan kota yang khas Indonesia. Sebagaimana disepakati oleh beberapa ahli, fenomena perkembangan kota di Indonesia, walaupun mengandung beberapa elemen yang generik dari fenomena kota-kota di dunia, mempunyai ciri-ciri tertentu yang khas Indonesia (Geertz, 1965; McGee, 1985;1990). Berbagai studi harus terus dilakukan untuk mengembangkan teoriteori dasar mengenai perkembangan kota di Indonesia agar upaya-upaya pragmatis untuk memecahkan persoalan kota-kota di Indonesia tidak begitu saja terjebak menggunakan teori-teori dari barat yang belum tentu tepat untuk konteks Indonesia.
Salah satu isu yang mengiringi menguatnya metropolitanisasi dan perlu mendapat perhatian adalah perkembangan kota dan daerah pinggirannya serta koridor perkembangan antar kota. Dalam sepuluh tahun terakhir, wilayah sepanjang koridor Jakarta-Cirebon-Semarang, Jakarta-Bandung, Semarang-SoloYogyakarta, dan Surabaya-Malang mengalami pertumbuhan daerah perkotaan yang pesat (Firman, 2002), bahkan Jabotabek dan metropolitan Bandung berkencenderungan membentuk koridor yang nyaris bersatu. Pembentukan koridor-koridor ini ditandai oleh semakin kaburnya (blurring) perbedaan antara wilayah urban (perkotaan) dan wilayah rural (Firman, 2002). Fenomena tersebut, meskipun masih dalam intensitas yang rendah, terlihat pula di sepan jang Koridor Jogjakarta dan Solo. Perkembangan ini antara lain ditunjukkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk, peningkatan investasi, dan kontribusi sektor non agraris serta cepatnya proses alih fungsi lahan. Sebagai daerah transisi penghubung, daerah pinggiran kota dan sepanjang koridor mengalami proses perubahan yang tinggi akibat tekanan kegiatan-kegiatan perkotaan yang terus meningkat, yang tidak saja berdampak pada perubahan spasial akan tetapi juga aspek sosioekonomi dan kultural penduduk yang berada di daerah ini. Secara spasial, daerah ini dicirikan dengan perubahan tata guna lahan pertanian menjadi guna lahan indutri, komersial atau permukiman (Mc. Gee, 1999). Daerah-daerah perdesaan di pinggiran kota dan sepanjang koridor telah mengalami transformasi struktur wilayah. Mc Gee (1999) menyebut transformasi tersebut sebagai proses “kota-desasi”, yaitu perubahan struktur wilayah agraris kearah struktur non agraris. Proses transformasi wilayah tersebut tentunya bukan hanya spasial, tetapi yang lebih penting adalah perubahan sosio-ekonomik dan kultural penduduk pedesaan yang antara laian menyangkut struktur produksi, mata pencaharian, konsepsi dan praktek-praktek kehidupan bersama, cara hidup, prilaku dan banyak aspek sosio-kultural lain. Disamping itu, tidak terintegrasinya kegiatan-kegiatan perkotaan yang melakukan penetrasi ke
daerah perdesaan
diyakini akan menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi, konflik-konflik sosial budaya, terutama sebagai konsekuensi menjadi marginalnya penduduk pedesaan.
Sebenarnya, isu mengenai wilayah pinggiran dan koridor ini telah menjadi bahan penelitian banyak ahli, terutama para ahli barat, berdasarkan fenomena koridor transportasi kota-kota di negara barat. Berbagai teori juga telah banyak dihasilkan untuk mendefinisikan serta merumuskan batas-batas dari apa yang telah disebut sebagai daerah pinggiran kota dan koridor antar kota. Berbagai teori tersebut
sangat
penting
dan
bermanfaat
untuk
memahami
fenomena
perkembangan kota dan dinamika sistem perkotaan yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana diyakini oleh beberapa ahli, fenomena kota di Indonesia sangat berbeda dengan apa yang berkembang di negara maju. Dengan demikian, kita tidak dapat begitu saja menggunakan teori-teori yang dikembangkan berdasarkan fenomena dinegara maju/barat untuk konteks Indonesia. Dengan kata lain, masih diperlukan kajian-kajian empirik yang dapat dijadikan pijakan untuk mengoreksi atau mengembangkan konsepsi baru di bidang perkotaan, khususnya menyangkut dinamika sistem perkotaan dan transformasi wilayah perdesaan di pinggiran dan sepanjang koridor antar kota di Indonesia.
1.2. Permasalahan Sebagai wujud dari permasalahan dan implikasi dari perubahan sistem perkotaan dan transformasi wilayah di pinggiran kota dan sepanjang koridor perkotaan, berikut disajikan beberapa pertanyaan penelitian yang merupakan inti masalah dan akan coba dijawab dari hasil penelitian ini: 1. Bagaimanakah konsepsi dinamika sistem perkotaan dan tranasformasi perkembangan wilayah perkotaan dan pinggiran serta koridor antar kota di Indonesia, apakah didapati pembedaan antara konsepsi barat dan Indonesia. 2. Bagaimanakah karakteristik, pola, bentuk dan proses perkembangan sistem perkotaan dan transformasi wilayah secara umum serta dinamikanya di sepanjang wilayah SOLO RAYA, yaitu Kota Surakarta dan daerah sekitarnya. 3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi proses transformasi wilayah perkotaan, sebagai kunci bagi penyusunan alternatif pengembangan.
4. Perubahan-perubahan dan dampak apa sajakah yang akan ditimbulkan oleh dinamika sistem perkotaan dan transformasi wilayah terhadap daya saing masing-masing wilayah 5. Bagaimanakah pola integrasi atau keterkaitan antar wilayah (desa-kota) dan pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah di daerah pinggiran kota Surakarta. 6. Bagaimana konsepsi dan model model pengembangan wilayah SOLO RAYA, dengan menjadikan mengintegrasikan wilayah inti dan wilayah sekitarnya serta memformulasikan kembali alternatif-alternatif bentuk kebijakan yang mungkin dan layak digunakan guna mengarahkan transformasi wilayah (city based oriented). Dalam konteks makro, kajian terhadap beberapa pertanyaan di atas diharapkan akan membantu kita di dalam memahami proses dinamika sistem perkotaan dan transformasi besar wilayah dan khususnya masyarakat Indonesia yaitu dari masyarakat agraris-tradisional menjadi masyarakat industri yang modern, khususnya transformasi wilayah perdesaan yang berada di pinggiran kota dan sepanjang koridor antar kota dan pedesaan sekitarnya. Sementara secara mikro, kajian-kajian terhadap beberapa pertanyaan di atas akan bermanfaat bagi pengembangan disiplin perkotaan dan perdesaan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan kota di beberapa negara Asia belakangan ini ditandai oleh pertumbuhan yang cepat dari wilayah pinggiran kota serta koridor-koridor penyambung kota-kota besar, hubungan yang kuat antara kota dengan desa (desakota), dan suatu percampuran antara aktivitas perkotaan dengan perdesaan, antara lahan pertanian dan lahan industri dan perumahan (McGee, 1991). Gejala pertumbuhan kota seperti ini telah terjadi di Indoensia ditandai dengan proses percepatan industrialisasi (Firman, T, 1995). Percepatan industrialisasi cenderung terjadi di wilayah pinggiran kota besar dan sepanjang koridor perkotaan sehingga menarik arus investasi dan tenaga kerja
yang menyebabkan proses urbanisasi
terjadi lebih cepat dibanding yang terjadi di kota besar itu sendiri (suburbanisasi). Gejala ini dipercepat oleh globalisasi ekonomi, teknologi dan informasi
serta
proses urbanisasi global (Douglass, McGee, 1992). Beberapa konsekuensi dari cepatnya perkembangan industrialisasi dan konsentrasi penduduk perkotaan di sepanjang pinggiran kota tersebut adalah terjadi perubahan besar-besaran penggunaan lahan (land use), khususnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.
Selain berdampak negatif terhadap
lingkungan, konversi lahan pertanian ini telah menghilangkan sumberdaya dan mata pencaharian penduduk pedesaan (Pakpahan, 1994). Disamping itu, tidak terintegrasinya kegiatan-kegiatan dan sistem perkotaan yang melakukan penetrasi ke daerah sekitarnya khususnya wilayah perdesaan diyakini akan menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi, konflik-konflik sosial budaya, terutama sebagai konsekuensi menjadi marginalnya penduduk pedesaan. Dalam menghadapi transformasi wilayah tersebut, setidaknya ada tiga kemungkinan yang terjadi terhadap penduduk di daerah pinggiran khususnya pedesaan, pertama adalah yang mengubah mata pencahariannya ke sektor perkotaan, kedua tetap menggantungkan hidupnya di sektor pertanian dengan
membeli lahan yang jauh dari kota, yang lebih murah. Ketiga yang menggunakan uang hasil penjualan lahannya untuk membeli barang-barang konsumtif. Golongan pertama adalah yang paling untung, karena mereka berhasil mentransformasikan dirinya ke dalam kehidupan perkotaan (Muta’ali, 1998). Revolusi baru pembangunan fisik perkotaan yang terjadi di pinggiran kota dan sepanjang koridor antar kota besar adalah pesatnya perkembangan kota baru, permukiman skala besar dan pembangunan kawasan industri (Firman, 1994). Pada saat ini ratusan perumahan, dari sederhana hingga mewah dan puluhan kawasan industri tumbuh di sekitar Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Solo dan kotakota besar lain yang menggusur ratusan ribu lahan pertanian. Hal yang ironis adalah ternyata pembangunan permukiman skala besar atau kota baru dan kawasan industri tidak terintegrasi dengan wilayah pedesaan sekitar sehingga memberikan imbas yang kurang menguntungkan bagi upaya pengembangan wilayah terutama pada penduduk dan wilayah pedesaan sekitar (Sujarto, 1995). Salah satu basis teoritis yang menarik untuk disimak dalam menjelaskan transformasi wilayah perkotaan adalah hipotesis T.G. McGee dalam tulisannya The Emergence of Desakota Regions in Asia: Expanding a Hypothesis (2001). McGee menekankan pentingnya peranan transportasi yang efektif sebagai faktor pendukung. Proses terbentuknya megaurban diawali dengan adanya dua kota yang terhubungkan oleh jalur transportasi yang efektif menyebabkan wilayah dikoridornya berkembang pesat dan cenderung menyatukan secara fisikal dua kota utamanya. Perkembangan disepanjang koridor oleh McGee disebut sebagai “Kota-Desasi” yaitu transformasi struktur ekonomi agraris kearah struktur ekonomi modern (non agraris). Konsep kotadesasi inilah yang kemudian mendasari konsep Extended Metropolitan Regions (EMR) yang kemudian dikenal sebagai Mega Urban Regions (MUR)1. 1
Wilayah ini memeiliki ciri (1) kepadatan tinggi; (2) penduduk bergantung pada sektor pertanian, dengan pemilikan lahan sempit, (3) transformasi kegiatan ekonomi dari pertanian ke non pertanian; (4) intensitas mobilitas penduduk yang tinggi, (5) interaksi desa kota tinggi; (6) meningkatnya partisipasi tenaga kerja wanita; (7) pencampuran guna lahan yang intensif.
Peranan jalur transportasi dalam perkembangan daerah kekotaan dijelaskan oleh dua teori utama berkitan dengan struktur keruangan kota yaitu teori poros (Babcock, 1932 dalam Sabari, 1994) dan teori sewa-nilai lahan (Haig, 1926 dalam sabari, 1994). Pada teori poros – yang memandang peran jalur transportasi dalam perspektif ekologis – Babcock mengungkapkan bahwa keberadaan poros transportasi akan mengakibatkan pertumbuhan daerah kekotaan karena disepanjang jalur ini berasosiasi dengan mobilitas yang tinggi. Asumsi tersebut berimplikasi perkembangan zone-zone yang ada pada daerah sepanjang poros transportasi akan lebih besar dari zone yang lain. Pada perspektif ekonomi, perkembangan daerah kekotaan merupakan fungsi dari sewa dan nilai lahan ( Haig, 1926 dalam Sabari, 1994 ). Haig mengemukakan bahwa disepanjang jalur transportasi – yang memiliki sewa dan nilai lahan tinggi sebagai fungsi aksesibilitas – akan tumbuh pesat terutama karena investasi disektor –sektor modern. Faktor yang tidak kalah penting selain adanya jalur transportasi yang efektif adalah polarisasi pertumbuhan internal pada kota-kota utama yang menjadi pendorong terjadinya urbanisasi yang terkait erat dengan perkembangan investasi dibidang industri manufaktur ( Douglass, 1920 dalam Tjahjati, 1993 ). Faktor inilah yang mempercepat pertumbuhan didaerah pinggiran dan sepanjang koridor dua kota. Salah satu cirinya adalah berlangsungnya interaksi yang erat antara kota utama dengan kota-kota dan daerah belakangnya dalam sistem perkotraan yang ada. McGee ( 1987 dalam Tjahjati, 1993 ) mengungkapkan peran perkembangan moda angkutan yang murah sebagai faktor yang turut mendukung perkembangan kota dan daerah disepanjang koridor dua kota. Model MUR tersebut merupakan model struktur ruang ekonomi (economics space) khas Asia, yang menurut menurut McGee (1991) terdapat lima wilayah utama yaitu : 1. Kota besar, yaitu kota yang mendominasi kegiatan ekonomi pada wilayah tersebut yang terdiri dari satu atau dua kota yang sangat besar.
2. Wilayah pinggiran kota, yaitu
yang mengelilingi kota besar dengan ciri
terjadinya penglaju harian untuk mecapai pusat kota yang jaraknya berkisar antara 30 kilometer dari pusat kota. 3. Desakota, di mana terdapat kegiatan campuran antara pertanian dan non pertanian, yang biasanya terdapat di sepanjang koridor antara dua kota besar, yang dicirikan denga populasi penduduknya yang padat, bermatapencaharian petani padi sawah. 4. Desa dengan kepadatan penduduk tinggi, denan basis perekonomiannya pada pertanian padi sawah, dan 5. Desa dengan kepadatan penduduk rendah, yang tersebar di luar keempat wilayah yang telah disebutkan di atas. McGee (1991) memasukkan daerah penelitian, khususnya Solo kedalam wilayah mega urban atau desakota tipe 3 yang berciri, merupakan wilayah dengan kepadatan tinggi dan pertumbuhan ekonominya lambat. Wilayah ini berdekatan dengan pusat perkotaan sekunder. Ciri lain pertumbuhan penduduk terus menerus tinggi, kelebihan tenaga kerja, produktivitas kegiatan pertanian dan non pertanian rendah. Dalam konteks sekarang penggolongan tersebut tidak sepenuhnya benar atau paling tidak telah bergeser, karena wilayah penelitian meski lambat telah menunjukkan kenaikan pertumbuhan ekonomi dan menurunnya pertumbuhan penduduk. Pola jalinan sinergis antara Solo sebagai pusat kota dan Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten sebagai daerah pinggiran serta didorong oleh segitiga pertumbuhan JOGLOSEMAR (internal factors) dan kondisi ekonomi makro
-
globalisasi, perdagangan bebas, investasi, dll- (exsternal fators) menjadikan SOLO RAYA semakin menarik dan akan tumbuh menjadi mega urban baru yang potensial (Firman, 1996). Sebagai konsekuensinya, terjadi transformasi wilayah perkotaan yang relatif cepat beserta implikasinya sebagaimana yang telah diterangkan pada bagian sebelumnya. Perlu dicatat bahwa teori sebagaimana tersebut di atas dikembangkan oleh para ahli perkotaan di negara-negara barat sehingga obyek kajian yang melandasi pengembangan teori-teori tersebut juga kota-kota di negara barat. Dengan kata
lain, teori-teori tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut apabila akan diterapkan dalam konteks perkotaan di Indonesia. Tentang pola, bentuk dan proses dinamika sistem perkotaan dan transformasi wilayah yang terjadi akibat perkembangan wilayah kota dan pinggirannya, belum banyak di kaji secara mendalam.
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsepsi dan model baru mengenai perkembangan wilayah perkotaan di Indoensia, khususnya di Metropollitan SOLO RAYA yang terus tumbuh berkembang. Secara khusus, tujuan umum tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa tujuan yakni: 1. Mengkaji ulang teori-teori yang berkaitan dengan perkembangan wilayah perkotaan dan implikasinya terhadap perubahan struktur dan sistem wilayah perkotaan, khususnya di wilayah inti dan wilayah sekitarnya serta persoalanpersoalan yang muncul di daerah ini; 2. Mengetahui karakteristik,
pola, bentuk dan proses perkembangan sistem
perkotaan dan transformasi wilayah secara umum serta dinamikanya di sepanjang wilayah SOLO RAYA, yaitu Kota Surakarta dan daerah sekitarnya. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses transformasi wilayah perkotaan, sebagai kunci bagi penyusunan alternatif pengembangan. 4. Menilai pengaruh dan dampak yang ditimbulkan oleh dinamika sistem perkotaan dan transformasi wilayah terhadap daya saing masing-masing wilayah. 5. Menilai integrasi atau keterkaitan antar wilayah dan pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah di daerah pinggiran kota Surakarta. 6. Membuat model pengembangan wilayah SOLO RAYA, dengan menjadikan mengintegrasikan wilayah inti dan wilayah sekitarnya serta memformulasikan kembali alternatif-alternatif bentuk kebijakan yang mungkin dan layak digunakan guna mengarahkan transformasi wilayah (city based oriented).
Manfaat utama penelitian ini adalah memperkaya teori-teori mengenai perkembangan wilayah perkotaan dan wilayah sekitarnya khususnya yang masih berciri perdesaan. Hasil penelitian ini diharapkan pula dapat bermanfaat secara praktis,
khususnya
dalam
membangun
kerangka
pikir
dan
perumusan
kebijaksanaan pembangunan wilayah dengan menjadikan wilayah inti sebagai transformator perkembangan wilayah. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pendukung dalam penyediaan fasilitas riset pengembangan untuk program pendidikan S-3 bagi peneliti dan beberapa staf pengajar di prodi geografi, khususnya mahassiwa yang berminat terhadap permasalahan pengembangan wilayah.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Pendekatan Secara
umum,
penelitian
ini
bersifat
deskriptif-analitis
dengan
menggunakan tiga pendekatan studi, yaitu pendekatan keruangan (spatial approach), Behaviour Approach, dan Policy Approach. (Yin, 2004). Pendekatan pertama dilakukan pada tingkat wilayah, berkaitan dengan kajian dinamika sistem perkotaan yang meliputi aspek lingkungan fisik, demografis, perubahan penggunaan lahan, infrastruktur, tata ruang, bentuk landscape, struktur produksi, dan lain-lain.
Pendekatan kedua dilakukan pada tingkat analisis stakeholder
khususnya mengkaji persepsi pelaku pembangunan dan pelaku bisnis, untuk mengkaji struktur mobilitas penduduk, pengembangan ekonomi lokal, dan daya saing wilayah. Pendekatan ketiga adalah analisis kebijakan (policy analysis), mengkaji tentang sejarah kebijakan pembangunan perkotaan di perkotaan dan kabupaten sekitarnya khususnya dalam mencapai sinergi pembangunan wilayah dan kerjasama antar wilayah. Masing-masing pendekatan akan digunakan pada tingkat kedalaman penelitian yang berbeda. Adapun metode atau teknik penelitian yang digunakan akan dipakai gabungan antara studi literatur, observasi lapangan dan RRA (Rapid Rural Appraisal), metode survei dengan wawancara terstruktur, dan wawancara mendalam (indeth interview). Keseluruhan metode tersebut akan dibantu dengan teknik pemetaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Masing-masing metode akan digunakan berdasarkan tujuan dan
kedalaman analisis
penelitian
sebagaimana akan dikemukakan pada rencana penelitian berikut ini.
4.2.
Kedalaman Penelitian (Tingkat Analisis) Penelitian ini dilakukan di wilayah SOLO RAYA dengan satu kota inti
yaitu kota Surakarta dan wilayah kabupaten pendukungnya yang meliputi Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten. Daerah ini mengalami transformasi wilayah dan perubahan sistem perkotaan yang pesat dan diyakini akan berdampak pada
perubahan struktur wilayah dan model pengembangannya, baik yang bersifat demografis, sosial, ekonomi (struktur produksi), maupun lingkungan fisik. Untuk mencapai hasil penelitian, digunakan tiga tingkatan kedalaman analisa, yaitu : (1) analisis tingkat makro (unit kebijaksanaan ‘policy’) (2) analisis tingkat meso (unit wilayah) dan (3) analisis tingkat mikro (unit rumah tangga atau unir aktivitas ekonomi).
(1)
Analisis Tingkat Makro (Unit Kebijaksanaan) Analisis tingkat makro dengan unit kebijaksanaan dimaksudkan untuk
melakukan
review
atau
runtutan
sejarah
perkembangan
kebijaksanaan
pembangunan wilayah dan perkotaan di Indonesia dan implikasinya bagi pengembangan model pembangunan wilayah. Analisis gabungan antara penerapan kebijaksanaan dan kondisi existing tentang dinamika sistem perkotaan yang terjadi di Indonesia akan memberikan wacana yang lebih komprehensif, tentang bagaimana determinan kebijaksanaan ini berpengaruh terhadap pola dan bentuk pengembangan perkotaan tersebut, sehingga pada tingkatan ini dapat dibuat langkah korektif dan evaluatif terhadap kebijaksanaan yang ada dan yang seharusnya dilakukan.
(2)
Analisis Tingkat Meso (Unit Wilayah) Analisis
tingkat
meso
dengan
unit
wilayah
dimaksudkan
untuk
mendapatkan pola dan bentuk dinamika sistem perkotaan, determinan serta faktorfaktor utama yang mempengaruhi perubahan tersebut. Pada tingkatan ini dibuat tipologi geografis, dengan mendasarkan pada unsur jarak, aksesibilitas dan potensi sumberdaya. Pada tingkat studi meso ini digunakan unit analisi desa yang ada di seluruh wilayah Kota dan Kabupaten sekitarnya di SOLO RAYA. Dengan menganalisis dinamika sistem perkotaan (level of urbanization) dan membuat tipologi geografis, diasumsikan akan dapat diidentifikasi pola dan bentuk transformasi yang berbeda serta faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi wilayah secara spasial.
Pada masing-masing tipologis geografis, akan dilakukan studi kasus yang lebih mendalam guna mengidentifikasi faktor-faktor utama penyebab dinamika perkembangan perkotaan. Disamping itu integrasi spasial antara kegiatan-kegiatan perkotaan dan wilayah disekekitarnya juga diperoleh dalam analisis ini. Sejumlah desa sampel akan dipilih untuk mewakili kenampakan masing-masing tipologis. Data pada tingkat wilayah yang lebih tinggi akan dikombinasikan dengan informasi dan observasi yang diperoleh melalui rapid rural appraisal’ serta wawancana mendalam terhadap tokoh masyarakat dan pejabat.
(3)
Analisis Tingkat Mikro (Unit Stakeholder) Pada tingkat analisis mikro, akan dilakukan pendalama melalui wawancara
dengan stakeholder atau pelaku pembangunan baik dari kalangan birokrasi (pemerintahan) maupun pelaku bisnis, khususnya untuk mendalami ciri, karakter dan arah pengembangan wilayah perkotaan dan wilayah sekitarnya. Sangat dimungkinkan bahwa masing-masing tingkatan analisis tidak berjalan sendirisendiri/terpisah,
melainkan
sebagai
satu
jalinan
struktural
yang
saling
mempengaruhi, sehingga pada tahap analisis akhir diharapkan ditemukan jalinan ‘benang merah’ keterkaitan antar berbagai tingkat analisis.
4.3.
Pengumpulan, Pengolahan Dan Analisis Data Berbagai tingkatan analisis akan memberikan pola pengumpulan data yang
berbeda. Jenis dan pengumpulan data pada dasarnya terdiri dari dua macam yaitu data sekunder dan data primer. Dalam penelitian ini tahap analisis makro dan meso menggunakan kajian literatur dan data sekunder sebagai basis analisis. Data sekunder tersebut dapat diperoleh dari mulai tingkat desa (seperti PODES), tingkat kecamatan (Monografi Kecamatan), tingkat kabupaten dan Propinsi (Daerah Dalam Angka), maupun data-data nasional yang dikeluarkan BPS. Kajian literatur diperoleh dari pendalaman teksbook, hasil penelitian, journal, dan seminar. Bagian terpenting dari penelitian ini adalah analisis mikro (stakeolder pembangunan) yang menggunakan data primer sebagai basis analisa. Data primer diperoleh melalui survai sampel terhadap sejumlah stakeholder pembangunan, baik
dri kalangan birokrasi maupun bisnis. Data primer akan diarahkan pada penjaringan data-data tentang ciri, karakter, dan arah perkembangan pekotaan termasuk model interaksi, sinergi dan kerjasama antar wilayah. Pengumpulan data akan dilaksanakan dengan wawancara terstruktur terhadap pelaku pembangunan dengan menggunakan kuesioner. Rapid Rural Appraisal (RRA) juga akan digunakan untuk mempertajam kedalaman analisis. Kedua jenis
data tersebut didukung dengan informasi dari institusi
pemerintah, baik yang bersifat sektoral maupun regional serta dari tokoh masyarakat lokal. Pengumpulan informasi dalam aspek-aspek ini dilakukan dengan wawancara yang bersifat lebih terbuka dengan menggunakan checklist. Selanjutnya pengolahan dan analisis data di gunakan perangkat program spreadsheet dan program statistik. Tehnis analisis statistik, seperti statistik deskriptif, analisis multivariant, tabulasi silang dan statistik korelasi akan digunakan sebagai alat bantu utama dalam penajaman hasil penelitian.
BAB V HASIL YANG DICAPAI
BAB VI RENCANA TAHAP BERIKUTNYA
Beberapa target dan ruang lingkup penelitian menurut tahapannya adalah : 1. Pada tahun pertama penelitian, penelitian akan difokuskan untuk mengetahui pola dinamika sistem perkotaan di SOLO RAYA, beserta aspek transformasi struktur wilayah yang meliputi aspek demografis, penggunaan lahan, infrastruktur dan ekonomi wilayah, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 2. Tahun kedua penelitian, dikonsentrasikan untuk melakukan studi sistem perkotaan pada tingkat detil. Dalam tahap ini akan dipilih beberapa stakeholder pembangunan baik kalangan birokrasi, bisnis, dan tokoh masyarakat yang selanjutnya akan dieksplorasi mendalam. Fokus penelitian mengarah pada pola, karakter, dan arah pengembangan perkotaan SOLO RAYA, serta analisis komparatif daya saing antar wilayah. Pada setiap tahun penelitian, dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap model dan proses yang dikembangkan, sehingga diharapkan akhir tahun kedua sudah mencapai akurasi model untuk diterapkan.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Sistem perkotaan SOLO Raya mengalami perubahan dari tahun 2011 dan 2013 baik secara morfologi dan spasial 2. Faktor yang mempengaruhi transformasi wilayah yaitu aspek fisik, demografi dan ekonomi 3. Sistem perkotaan dan transformasi kota juga di pengaruhi oleh kebijakan pemerintah
SARAN Perbaikan manajemen dari LPPM, dengan meperbaiki sistem pengumuman penelitian yang lolos, pengumuman besarnya dana yang disetujui dan pencairan dana sehingga peneliti mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan penelitian di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Chapin, F. Stuart, Jr dan Weiss Shirley F. 1986. Urban Growth Dynamics In a Regional Cluster of Cities. New York : John Wiley and Sons. ESCAP-UN. 1993. State of Urbaniszation in Asia and the Pacific. New York. Firman, T. 1995. Urban Restructuring in Jakarta Metropolitan Region: an Integration into a System of Global Cities. Proceeding of the Conference on Cities and the New Global Economy, the Goverment of Australia and OECD, Melbourne 20-23 November 1994. Firman, T. 1996. Urbanisasi, Persebaran Penduduk dan Tata Ruang di Indonesia. Jurnal PWK No. 21/Mei 1996. Bandung : P3WK-ITB. Firman, T. 2002. The Spatial Pattern pf Urban Population Growth in Java 19801990. Bulletin of Indonesian Economics Studies 28 (2). Geertz, Clifford. 1965. The Social History of an Indonesian Town. Cambridge: The MIT Press. Hill, Hall. 1996. Transformasi Perekonomian Indonesia sejak Tahun 1966: Sebuah Studi Kritis dan Komprehensif. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya. Ohmae, Kenichi. 1995. The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies. HarperCollins Publishers. London. McGee, T.G. 1990. The future of the Asian City: the Emergence of Desakota Regions. Proceeding International Seminar and Workshop on the South East Asian City of the Future, Jakarta, Januari 21-25, 1990 Mc. Gee, T.G. & N. Ginsburg. 1999. The Extended Metropolis : Settlement Transition in Asia. The University of Hawaii Press. Muta’ali, Luthfi. 1998. Dampak Konversi Lahan Pertanian terhadap Proses Marginalisasi Petanin di Wilayah Pinggiran Kota Yogyakarta. Toyota Foundation dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta. Muta’ali, Luthfi. 1998. Tinjauan Geografis Segitiga Pertumbuhan Dalam Pembangunan Wilayah. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Pakpahan, A., Sumaryanto,
N. Syafaat,
H.P.
Saliem,
1992.
Analisis
Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor Sujarto, Joko. 1995. Konsepsi Perencanaan Kota kecil dan Menengah di Indonesia. . Semarang. Tata Loka. No. 01 Nopember. Sabari, Yunus. 1994. Teori dan Model Struktur Keruangan Kota. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM. Tjahjati, Budhy dan Imron Bulkin. 1994. Arahan Kebijaksanaan Tata Ruang Nasional. Prisma. Peburari 1994. Jakarta. Tjahjati, Budhi. 1993. Arahan Kebijaksanaan Tata Ruang Nasional Dalam Menghadapi Fenomena Wilayah Megaurban di IndonesiaPembangunan Perkotaan di Indonesia. Jurnal PWK. Oktober. 1993. Bandung. Tjahjati, Budhy. 1996. Perkembangan Ekonomi Makro dan Pola Spasial Perkotaan. Disampaikan dalam Konvensi Nasional “Penguatan Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang dan Pembangunan Perkotaan” 7-8 Mei. Jakarta. Toddaro. Michael P. 1985. Ilmu Ekonomi bagi Negara Sedang Berkembang. Jakarta : Akademika Pressindo. Warpani. Suwarjoko. 1984. Analisa Kota dan Daerah. Bandung : Penerbit ITB. Yin, R.K., 2004. Case Study Research, Design and Methods. Sage Publications: London