LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN I
PENANGANAN PASCA PANEN SIMPLISIA UNTUK MENGHASILKAN BAHAN BAKU TERSTANDAR MENDUKUNG INDUSTRI MINUMAN FUNGSIONAL
PROGRAM PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA
Fokus Bidang Prioritas Kode Produk Target Kode Kegiatan
: 2. Teknologi Kesehatan dan Obat : 2.04. Obat herbal dari Temulawak,Jahe, Kencur, Pegagan dan Sambiloto untuk pengobatan sindrom metabolit dan penyakit lainnya. : 2.04.08. Uji coba SOP pasca panen tanaman obat (temulawak, jahe, kencur, pegagan dan sambiloto) pada industri dan industri kecil obat tradisional
Peneliti Utama : Ir. Mariyam Januwati, MS
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN Jalan Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16111 TELP: 0251 8313083, HP: 0812 9428108 Fax: 0251 8336194, e-mail
[email protected] 23 April 2012
LAPORAN KEMAJUAN I
PENANGANAN PASCA PANEN SIMPLISIA UNTUK MENGHASILKAN BAHAN BAKU TERSTANDAR MENDUKUNG INDUSTRI MINUMAN FUNGSIONAL
Oleh : M. Januwati, Molide Rizal, Ekwasita Rini Pribadi, Bagem S. Sembiring, Shinta Suhirman, Ma’mun dan Wawan Lukman
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN Jalan Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16111 TELP: 0251 8313083, Fax: 0251 8336194, e-mail
[email protected] 23 April 2012
LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian
:
Bidang Fokus Kode Produk Target
: :
Kode Kegiatan
:
Lokasi Penelitian Penelitian tahun ke
: :
Penanganan pasca panen simplisia untuk menghasilkan bahan baku terstandar mendukung industri minuman fungsional Teknologi Kesehatan dan Obat 2.04. Obat Herbal dari tanaman temulawak, jahe, kencur, pegagan dan sambiloto untuk pengobatan sindrom, metabolit dan penyakit lainnya. 2.04.08. Uji coba SOP pasca panen tanaman obat (temulawak, jahe, kencur, pegagan dan sambiloto) pada industri dan industri kecil obat tradisional Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah 1 (satu)
Keterangan Lembaga Pelaksana/Pengelola Penelitian A.
Lembaga Pelaksana Penelitian Nama Peneliti Utama Nama Lembaga /Institusi Unit Organisasi
Alamat Telepon/HP/Faksimile/e-mail B. Lembaga lain yang terlibat 1. Nama Koordinator Nama Lembaga Alamat Telepon/Faksimile/e-mail Jangka Waktu Kegiatan Biaya Tahun – 1 Biaya Tahun – 2 Biaya Tahun – 3 Total Biaya Kegiatan (baru/lanjutan)
: : : : : :
Ir. M. Januwati, MS. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111 0251 8321879/0251 8327010/
[email protected] -
3 (tiga) tahun Rp. 250,000,000,Rp. 250,000,000,Rp. 250,000,000,Rp. 750,000,000,Baru
Rekapitulasi Biaya Tahun yang diusulkan No. Uraian 1. Belanja Gaji dan Upah 2. Belanja Bahan 3. Belanja Perjalanan 4. Belanja Lain-lain Jumlah biaya tahun yang diusulkan
Jumlah (Rp) 75.000.000 125.000.000 40.000.000 10.000.000 250.000.000
Menyetujui Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat *
Koordinator/Peneliti Utama
Dr. Agus Wahyudi NIP. 19600121 198503 1 002
Ir. M. Januwati, MS NIP. 19480101 198406 2 001
Menyetujui/Mengetahui Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Dr. Ir. M. Syakir, MS NIP. 19581117 198403 1 001
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat-Nya, atas dimulainya pelaksanaan penelitian Penanganan Pasca Panen Simplisia Untuk Menghasilkan Bahan Baku
Terstandar Mendukung Industri Minuman Fungsional. Laporan kemajuan penelitian I Tahun 2012 ini disusun sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan penelitian yang dibiayai dari Insentif PKPP TA 2012. Penelitian ini terdiri dari kegiatan lapang berupa pelaksanaan Demplot Budidaya dan Pasca Panen, dan pelaksanaan Pelatihan berupa kegiatan penyampaian teori yang dilaksanakan di dalam kelas. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dimulai dengan identifikasi lokasi dan petani yang akan menjadi petani kooperator dalam pelaksanaan demplot. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya pada penyediaan dana dan semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi yang memerlukan. Bogor, April 2012 Penanggung Jawab
Ir M. Januwati, MS
i
DAFTAR ISI Bab
Uraian
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................
iii
EXECUTIVE SUMMARY ...............................................................
iv
I
PENDAHULUAN .........................................................................
1
II
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………………….
5
III
METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………………………..
9
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………………….
10
V
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………………….
11
VI
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................
11
LAMPIRAN
13
.....……………………………………………………………….
ii
2. RINGKASAN EKSEKUTIF Pemanfaatan herbal sebagai Obat Bahan Alam (OBA) di dunia medis meningkat tajam di seluruh dunia. Kesadaran dalam menempuh upaya kesehatan preventif dan pencarian obat yang aman dan sedikit mungkin memberi efek samping, mendorong untuk "kembali ke alam". Oleh karena itu, manusia semakin menginginkan obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia pada tahun 2008 memiliki data menarik, bahwa persentase pertumbuhan obat herbal dari tahun ke tahun meningkat terus dan berada di atas rata-rata pertumbuhan obat modern. Kemanjuran obat herbal ternyata setara obat sintetis. Dalam keamanan, obat herbal dipersepsikan lebih baik dari "obat sintetis" dan ada peningkatan produk yang dijual bebas over the counter (OTC). Hasil survei Omnibus menunjukkan saat ini kata "herbal" ternyata sangat ampuh, daya tarik herbal cukup tinggi. Masyarakat mempunyai persepsi bahwa obat herbal lebih aman bagi kesehatan dan lebih manjur dibanding jamu dan obat sintetis. Contoh pasar produk (jahe sebagai bahan baku) untuk masuk angin, tahun 1990 sekitar 3 juta sachet, tahun 2008 mencapai 50-60 juta. Dua tahun ke depan diperkirakan bisa mencapai 120 juta. Temulawak, kencur, jahe, sambiloto dan pegagan, menjadi andalan Indonesia yang diketahui berkhasiat meningkatkan nafsu makan dan stamina serta membantu menyembuhkan berbagai penyakit seperti penyakit hati, reumatik dan radang, juga menurunkan kolesterol. Krisis ekonomi 1997 telah membuat biaya produksi farmasi meningkat dan harga obat menjadi mahal. Situasi ini mendorong masyarakat menggunakan bahan alami. Budaya bangsa Indonesia telah mewariskan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi obat tradisional untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta rehabilitasi kesehatan. Guna meningkatkan pangsa pasar obat tradisional (Obat Asli Indonesia) dalam negeri dengan jumlah penduduk lebih dari 211 juta jiwa, dan adanya ancaman dari produk impor mendorong keinginan di tingkat regional menuju harmonisasi di bidang standar dan mutu obat tradisional, maka langkah untuk antisipasi standarisasi bahan baku harus diupayakan secara maksimal. Standarisasi simplisia diperlukan untuk mendapat efek yang terulangkan (reproducable). Mutu sediaan herbal sangat dipengaruhi oleh mutu simplisia yang digunakan, oleh karena itu sumber simplisia, cara pengolahan dan penyimpanan harus dilakukan dengan cara yang baik, berpedoman pada GAP (Good Agriculture Practices). Peranan SOP (Standard Operational Procedures) budidaya untuk menjadikan bahan baku menjadi lebih bermutu dari sumber bahan tanaman merupakan aspek penting, karena kualitas bahan baku tanaman obat dipengaruhi oleh faktor intrinsik (genetik) dan ekstrinsik (lingkungan, budidaya, cara panen, proses pasca panen dan lain-lain). Melalui GAP, yang merupakan tahapan menuju bahan baku terstandar, variasi mutu yang besar dalam tanaman dikurangi melalui modifikasi teknologi dan fitofarmasi sehingga mutu produk lebih stabil. Kandungan kimia yang merupakan metabolit sekunder, digunakan sebagai standar penanda (marker). Dengan demikian diharapkan dapat memenuhi tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu-Aman-Khasiat). Bahan baku yang sudah distandarisasi tersebut, mempunyai perbedaan zat aktif sangat kecil, demikian juga yang terdapat dalam setiap sediaan (tablet, kapsul, sirup). Dengan standarisasi ini, diharapkan ada korelasi kuat antara dosis dan efek obat dapat dicapai. Komoditas pegagan (Centella asiatica L. Urban) dan kumis kucing (Orthosipon aristatus Miq), mempunyai potensi yang dapat diandalkan karena dapat dibudidayakan, dengan produktivitas sesuai yang diharapkan. Mutu produk kedua jenis tanaman obat tersebut distandarisasi oleh BPOM berdasar kadar asiatikosida dan sinesitin. Pegagan dan kumis kucing merupakan komoditas yang bersifat multi guna, dikenal juga dapat menjadi bahan minuman fungsional yang menyehatkan, bahkan
iii
akhir-akhir ini telah menjadi fitofarmaka. Beberapa produk yang menggunakan pegagan dan kumis kucing adalah anti stroke, anti kembung, anti asma, anti kolesterol, anti hipertensi, anti inflamasi, antitusive, anti migrain, penurun kadar asam urat, fungsi analgesik, dan lain-lain. SOP pasca panen telah tersedia, tetapi belum banyak diterapkan, sehingga mutu simplisia belum seperti yang diharapkan. Industri minuman fungsional kesulitan dapat memperoleh bahan baku secara kontinu, baik kualitas maupun kuantitasnya, sehingga harga jual produksi dari petani menjadi rendah. Tujuan dan signifikansi : Kegiatan penanganan pasca panen simplisia ini dimaksudkan untuk menghasilkan SOP pasca panen simplisia dari pegagan dan kumis kucing untuk memudahkan standarisasi bahan baku, dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, dan membantu pelestarian industri minuman fungsional. Hipotesis yang akan dibuktikan : SOP pasca panen akan memperbaiki mutu bahan baku, memudahkan melakukan standarisasi sehingga mutu produk akan meningkat juga. Kegiatan dilakukan di lahan petani kooperator di sentra produksi, sehingga diharapkan teknologi pasca panen akan dipercepat adopsinya. Teknologi yang dihasilkan dapat meningkatkan mutu produk, dan dapat memperluas peluang usaha baru "industri pembuatan produk minuman fungsional berbasis pegagan dan kumis kucing". Tahap-tahap penelitian : Penelitian SOP pasca panen ini merupakan kegiatan lapang yang akan dilaksanakan di lokasi sentra produksi pegagan dan kumis kucing (Kabupaten Sukabumi). Penelitian akan dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun, hal ini diperlukan untuk mengetahui tingkat adopsi teknologi yang dihasilkan. Pada tahun pertama (2012) dilakukan pendampingan pelaksaan mulai bididaya sampai pasca panen. Pengamatan produktivitas, dan analisa mutu serta akan dilakukan kajian usaha tani. Kemudian dilakukan evaluasi pelaksanaan serapan teknologi yang dianjurkan. Pada tahun ke-dua dan ke-tiga dilakukan kegiatan untuk melihat kontinuitas serapan teknologi, melalui parameter produksi dan mutu penerapan SOP pasca panen. Pada tahun kedua (2013) dan ketiga (2014) akan dilakukan pengamatan terhadap peubah produksi dan peubah mutu tanaman pegagan dan kumis kucing. Pengamatan mutu produk dilakukan berdasar standar mutu MMI dan marker kadar asiatikosida dan sinesitin. Metodologi yang digunakan : Metode Demplot dan Pelatihan digunakan untuk melakukan sosialisasi SOP budidaya sampai pasca panen di sentra produksi pegagan dan kumis kucing, disertai melaksanakan kajian usahatani untuk melihat dampak ekonomi dari pemanfaatan teknologi. Pada demplot akan diterapkan Pelaksanaan Demplot budidaya Kumiskucing dan Pegagan akan menerapkan beberapa polatanam untuk mendukung pengembangan, meliputi (1) Polatanam monokultur, (2) Polatanam Tumpangsari dengan Jagung, dan (3) Polatanam Tumpangsari dengan Ketela pohon. Selain itu akan dilakukan menerapan SOP Budidaya (SOP Pemupukan dengan “Dosis rekomendasi Balittro”) dan Dosis Pemupukan Petani. Hasil Penelitian : Penentuan lokasi tempat pelaksanaan Demplot telah dilakukan. 1. Demplot Budidaya Kumiskucing akan dilakukan di lokasi dengan ketinggian tempat sekitar 500-600 m dpl., pada jenis tanah Latosol. 2. Demplot Budidaya Pegagan akan dilakukan di lokasi dengan ketinggian tempat sekitar 500 m dpl., pada jenis tanah Latosol. Keluaran : Penerapan SOP pasca panen untuk pegagan dan kumiskucing, serta kajian ekonomi dari penerapan teknologi Kata Kunci : SOP pasca panen, Centella asiatica L. Urban, (Orthosipon aristatus Miq),
quality standardization, industry minuman fungsional.
iv
2. EXECUTIVE SUMMARY The use of natural herbal medicines tend to increase. Nowadays the people are more aware to avoid the use of synthetic medicines which is believed have negative side effect induce the people to “back to nature”. Indonesia Pharmaceutical Association mentioned that during 2008 the production of natural herbal medicines increased significantly higher than synthetic medicines. This is due to thet fact that natural herbal medicines is function as effective as synthetic medicines especially in improving people health. In some cases natural herbal medicines was better than synthetic medicines, especially the fact that herbal medicines has no negative effect. Some people prefere to use natural medicines than synthetic medicines. Natural medicine market also tend to increase. The use of natural medicine product, such as flu medicine, increased significantly during the last two decades. In 1990 only 3 million sachet have been marketted, increased to 50-60 million in 2008, in it is predicted to increase to 120 million in 2010. Java turmeric, indian galangae, ginger, andrographis and centella are claimed can be used to increase body immunity and for curing lever problems, rheumatic, and to reduce blood cholesterol content. Economic crisis in 1997 increased pharmaceutical production cost and increas medicinal prices. This condition encourage the people to use natural herbal products. Natural herbal medicines has been widely used by Indonesian people. With population of about 211 million, Indonesia is a potential market for herbal medicinal products. Therefore, Indonesian government has been set up a national program to prompt the use of natural herbal medicines on people daily life. This program must be supported by the effort to produce standardized raw materials, as well as its quality. The quality of herbal product significantly influenced by raw materials, processing techniques, and also Good Agriculture Practice (GAP). The application of cultivation Standard Operational Procedures (SOP) will assure quality of raw materials. By applying GAP and SOP, variation of raw material quality can be minimized, in order to produce standardized raw materials. This is an important aspect in producing medicinal product that meet medicinal industrial standard, including Quality-Safety-Efficacy. Centella and Orthosiphon is a multiple uses crop. It can be used to produce supplement food products, and also pharmaceutical products. Centella and Orthosiphon is used as a raw materials for some natural medicinal products, such as for flu, stomach ache, antiasthma, anti-diarrhea, anti-cholesterol, anti-hypertency, anti-inflamation, anti-tusive, anti-migraine, to reduce uric acid content, analgesic function, repellant, supplement food, etc. Objective and Significancy : This post harvest research is proposed to obtain post harvest Standard Operational Procedures to produce standardized raw materials. This research also aim to improve post harvest Centella and Orthosiphon and economic efficiency, as well as to reduce environmental damage. Research Stage : SOP Centella and Orthosiphon research is a field experiment and will be conducted at Centella and Orthosiphon growing area ( Sukabumi). Hypothesis : Application of standard operational procedures will improve quality of Centella and Orthosiphon, and make standardization more simple, which in turn to improve product quality. The experiment will be done at farmer field, and so to accelerate technology adoption. The improved technology may increase quality of product, and to broad new opportunity of Centella and Orthosiphon base industry. Methodology : Demonstration Plot and Training Methods used to disseminate SOP of post-harvest cultivation on the production center of Centella and Orthosiphon, accompanied by farm implement studies to look at the economic impact of the use of technology. In the
v
second year (2013) and third (2014) will be carried out observations of the variable production and variable quality of Centella and Orthosiphon. Observations made on the basis of product quality standards and quality of MMI and sinecitine asiaticoside marker levels. The result showed that : The field experiment was not started yet. Output : Sosialization of Post harvest Standard Operational Procedures for Centella and Orthosiphon.
Keywords : Standard Operational Procedure, post harvest, Centella asiatica L. Urban, Orthosipon aristatus Miq., Centella asiatica L. Urban, quality standardization, fuctinal drink industry.
vi
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Pemanfaatan herbal Bahan Alam (OBA) di dunia medis telah meningkat di
seluruh dunia. Kesadaran dalam menempuh upaya kesehatan preventif dan pencarian obat yang bersifat aman dan sedikit mungkin memberi efek samping, suatu efek-efek yang banyak dimiliki oleh kebanyakan obat-obat sintetik, mendorong untuk "kembali ke alam" sehingga dalam pengobatan orang semakin menginginkan obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia pada tahun 2008 memiliki data menarik, bahwa persentase pertumbuhanan obat herbal dari tahun ke tahun meningkat terus dan berada di atas rata-rata pertumbuhan obat modern. Banyak alasan mengapa obat herbal cenderung tumbuh subur. Pertama, diyakini lebih aman. Tradisi minum jamu membuat konsumen lebih "cocok" dengan obat herbal ketimbang obat modern. Kedua, bahan baku obat herbal melimpah, sehingga makin banyak perusahaan farmasi terdorong ikut masuk pasar. Apalagi, dari sisi produk dan kompetensi tersedia cukup banyak.
Dari sisi investasi juga tidak terlalu tinggi.
Sehingga bagi perusahaan farmasi merupakan potensi pasar sangat menjanjikan, baik domestik maupun ekspor.
Kemanjuran obat herbal setara obat biasa, dalam
keamanan, obat herbal dipersepsikan lebih baik dari "obat biasa" dan ada peningkatan aktivitas produk yang dijual bebas over the counter/OTC (Marbun, 2008). Hasil survei Omnibus menunjukkan saat ini kata "herbal" ternyata sangat kuat. Daya tarik herbal cukup tinggi, persepsi masyarakat obat herba lebih aman bagi kesehatan dan lebih manjur dibanding jamu dan obat biasa. Adanya krisis ekonomi 1997 telah membuat biaya produksi farmasi meningkat dan harga obat menjadi mahal, sehingga situasi ini mendorong masyarakat menggunakan bahan alami (Suryadi dan Mubarak, 2008). Budaya bangsa Indonesia telah mewariskan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi obat tradisional untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta rehabilitasi kesehatan. Guna meningkatkan pangsa pasar minuman fungsional dalam negeri Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 211.000.597 jiwa, dan adanya ancaman dari produk impor mendorong keinginan di tingkat regional menuju harmonisasi di bidang standar dan mutu minuman fungsional, maka langkah untuk antisipasi standarisasi bahan baku harus diupayakan secara maksimal.
Standarisasi simplisia diperlukan
untuk mendapat efek yang terulangkan (reproducible).
Mutu sediaan minuman
1
fungsional sangat dipengaruhi oleh mutu simplisia yang digunakan, oleh karena itu sumber simplisia, cara pengolahan dan penyimpanan harus dilakukan dengan cara yang baik, berpedoman pada GAP (Good Agriculture Practices).
Peranan SOP
penanganan pasca panen untuk menjadikan bahan baku menjadi lebih bermutu dari sumber bahan tanaman merupakan aspek penting, karena kualitas bahan baku tanaman obat dipengaruhi oleh faktor internal genetik dan eksternal meliputi lingkungan, budidaya, cara panen, proses pasca panen, pengakutan dan cara penyimpanan (WHO, 2003).
Mutu tanaman obat sangat berkaitan erat dengan
kompleksibilitas komposisi kandungan kimia didalamnya. Hal ini disebabkan oleh sifat alami konstituen dalam tanaman obat yang merupakan campuran berbagai metabolit sekunder yang secara kuantitatif dan kualitatif dapat berubah karena berbagai faktor baik genetik maupun lingkungan (Sinambela, 2003). Standarisasi simplisia yang digunakan sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi dari pemerintah sebagai pembina dan pengawasan (Dyatmiko et al., 2000) dan mengikuti acuan sediaan herbal yang telah ada (BPOM, 2006), sehingga dapat memenuhi tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu-Aman-Khasiat). Bahan baku yang sudah distandarisasi tersebut, mempunyai perbedaan zat aktif sangat kecil, demikian juga yang terdapat dalam setiap sediaan minuman fungsional (tablet, kapsul, sirup). Dengan standarisasi ini, diharapkan adanya korelasi kuat antara manfaat dan kandungan aktif dapat dicapai. Sesuai dengan perkembangan pelaksanaan program Saintifikasi Jamu, untuk program jangka pendek, tahun 2011 telah ditetapkan 15 jenis tanaman obat yang sangat dibutuhkan, yakni temulawak, kunyit, pegagan, tempuyung, secang, kumis kucing, seledri, sembung, meniran, timi, adas, brotowali, sambiloto, jati belanda dan kepel. Dalam program jangka panjang, bahkan telah ditentukan ada 55 jenis tanaman obat yang akan dipergunakan dalam layanan kesehatan Saintifikasi Jamu. Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinis Kementerian Kesehatan telah melakukan
uji
klinis
formula
jamu
untuk
obat
hipertensi.
Hasil
sementara
menunjukkan, terdapat dua komponen yang terkandung di dalam formula yang telah diuji yaitu terdiri dari bahan baku jamu dasar dan bahan baku jamu berkhasiat. Untuk jamu dasar, mengandung bahan meniran, temulawak, dan kunyit dengan fungsi sebagai penyegar. Sebagai bahan jamu berkhasiat kandungannya untuk formula antihipertensi (anti darah tinggi), campuran jamu terdiri dari daun seledri, kumis kucing, dan pegagan. Untuk hipertensi ramuan tersebut dapat menurunkan tekanan
2
darah 20 persen, setelah menjalani terapi selama satu bulan. dilakukan uji klinik formula ini
Selanjutnya akan
supaya dapat digunakan sebagai resep dokter
http://health.kompas.com/read/2011/10/22/09214142/4.FormulaJamu.dalam.Tahap.Uj i.Klinis Dalam kebijakan nasional, telah ditetapkan unggulan Tanaman Obat, dan pegagan menjadi salah satu tanaman obat unggulan (Sampurna, 2003) Secara nasional standarisasi mutu pegagan dilakukan berdasar kadar asiatikosida (BPOM, 2003). Sejak dahulu pegagan telah banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional baik dari bahan segar, kering maupun yang sudah dalam bentuk ramuan, sebagai olahan seperti halnya dalam bentuk jamu. Di Australia telah dibuat obat dengan nama “Gotu Kola” yang bermanfaat sebagai anti pikun dan juga sebagai anti stress. Dalam pengobatan di Indonesia telah banyak yang memanfaatkan tumbuhan ini sebagai obat yang cukup mujarab antara lain diketahui bahwa pegagan ini berpeluang untuk penyembuhan penyakit HIV terutama untuk mempertahankan ketahanan tubuh pasien. Selain itu pula dari hasil penelitian di Cina ternyata pegagan ini bermanfaat untuk memperlancar sirkulasi darah, bahkan lebih bermanfaat dibandingkan dengan ginko biloba atau ginseng yang berasal dari Korea. Di Indonesia diperoleh pegagan yang mengandung triterpen glikosida yaitu asiatikosida, madekakosida, asam asiatikat dan asam edekasat. Pada daun pegagan unsur K relatif banyak ditemukan dibanding unsur lainnya, dalam bentuk garam kalium. Adanya kandungan kalium yang relatif tinggi ini memberikan sifat yang khas dari daun pegagan yang mempunyai efek diuretik (Januwati dan Yusron, 2004).
Salah satu pabrik jamu bahkan memerlukan paling tidak 100 ton
pegagan setiap tahun untuk keperluan produknya. Dari sepuluh jenis jamu yang beredar di pasaran terdapat pegagan dalam ramuan produk tersebut, dengan kadar simplisia yang dicantumkan dalam kemasannya 15 - 25 %. Banyaknya manfaat dari tanaman ini nampaknya karena ditemukan berbagai komponen minyak atsiri seperti sitronelal, linalool,
neral, menthol, dan linalil asetat. Dengan adanya minyak atsiri pada pegagan maka sangat mungkin memiliki potensi sebagai sumber bahan pengobatan terhadap anti penyakit yang disebabkan tujuh jenis bakteri Rhizobacter spharoides, Escherichia coli, Plasmodium vulgaris,
Micrococcus luteus, Baccillus subtilis, Entero aerogenes dan Staphyllococcus aureus. Walaupun pegagan obat mujarab bagi berbagai penyakit dan memiliki kemampuan menyegarkan mental, tapi pegagan dapat bersifat narkotis sehingga dalam pemakaiannya harus sangat hati-hati. Dosis yang tinggi menyebabkan pasien menjadi pening. (Januwati dan Yusron, 2004). Demikian juga kumis kucing (Orthosipon aristatus Miq.) menjadi tanaman utama pada program Saintifikasi Jamu, karena tanaman ini dimanfaatkan sebagai produk
3
minuman fungsional bagi penderita penyakit degeneratif karena dapat membantu memperbaiki fungsi ginjal. Senyawa kimia yang terdapat dalam daun kumis kucing antara lain adalah garam kalium, senyawa saponin, alkaloid, minyak atsiri, glikosida orthosiponin dan tanin. Kandungan bahan aktif utama yang paling stabil dalam daun kumis kucing adalah komponen senyawa sinensetin yang bersifat anti bakteri dan sinensetin telah dijadikan zat identitas simplisia kumis kucing (Rosita dan Nurhayati, 2004) Dari semua jenis tanaman obat tersebut, beberapa diantaranya telah diteliti dan dihasilkan teknologi budidaya sampai pasca panen secara lengkap, tetapi sebagian belum banyak dilakukan petani.
Untuk itu sosialisasi dan pelatihan teknologi pasca
panen yang telah dihasilkan Balitbang perlu dilakukan, guna memperoleh produksi dan mutu tanaman obat, sehingga sesuai dengan Vademikum Saintifikasi Jamu atau
Farmakope Herbal Indonesia. Sebagai indikator mutu adalah kandungan komponen kimia utama atau kandungan bahan aktifnya (MMI, 1990). SOP pasca panen untuk pegagan dan kumis kucing, diawali dengan pencucian daun dan ditiriskan, kemudian dikeringkan di bawah sinar mata hari dengan ditutup kain hitam dengan tujuan mencegah kerusakan fisik dan kandungan bahan aktif daun. Bila cuaca tidak memungkinkan proses pengeringan dapat menggunakan alat pengering (oven) dengan suhu berkisar 300 - 500C. Peranan SOP pasca panen untuk menjadikan bahan baku menjadi lebih bermutu dari sumber bahan tanaman merupakan aspek penting, karena kualitas bahan baku tanaman obat dipengaruhi oleh faktor cara panen, proses pasca panen dan lain-lain. Melalui GAP, yang merupakan tahapan menuju bahan baku terstandar, varias mutu yang besar dalam tanaman dikurangi melalui modifikasi teknologi dan fitofarmasi sehingga mutu produk lebih stabil. Kandungan kimia yang merupakan metabolit sekunder, digunakan sebagai standar petanda (marker). Dengan demikian diharapkan dapat memenuhi tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu-Aman-Khasiat). Bahan baku yang sudah ditangani sesuai SOP pasca panen akan memenuhi standarisasi, mempunyai perbedaan zat aktif sangat kecil, demikian juga yang terdapat dalam setiap sediaan minuman fungsional. Dengan standarisasi ini, diharapkan ada korelasi kuat antara dosis dan efek obat dapat dicapai. Oleh karena itu, penerapan SOP penanganan pasca panen dilakukan dengan tujuan mengoptimalkan pengembangan usahatani tanaman obat ini, agar memberi manfaat sebesar-besarnya kepada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat khususnya di daerah sentra produksi (Januwati, 2004).
4
1.2.
Tujuan dan signifikansi Menerapkan SOP pasca panen simplisia dari pegagan dan kumis kucing melalui
sosialisasi teknologi yang telah dihasilkan dalam bentuk pendampingan teknologi berupa demplot dan pelatihan dalam mendukung pelestarian pengadaan bahan baku untuk industri minuman fungsional. 1.3.
Hipotesis yang akan dibuktikan SOP pasca panen yang diterapkan akan memperbaiki mutu bahan baku,
memudahkan melakukan standarisasi sehingga mutu produk akan meningkat juga. 1.4.
Ruang lingkup dan batas-batas penelitian Penelitian penanganan pasca panen simplisia ini merupakan kegiatan lapang
yang akan dilaksanakan di lokasi sentra produksi pada ekosistem Sukabumi. Lokasi ini diharapkan dapat mewakili kondisi sentra produksi pegagan dan kumis kucing. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun. Pada tahun pertama (2012 di awal musim hujan), dilakukan penanaman pegagan dan kumis kucing, masing-masing menggunakan SOP budidaya dan pasca panen pegagan dan kumis kucing dari Balittro (Januwati dan Yusron, 2004 dan Rosita dan Nurhayati, 2004), dan kemudian dibandingkan dengan SOP cara petani di sentra produksi (in situ). Pada tahun pertama akan dilakukan pengamatan terhadap peubah mutu berdasar marker asiatikosida
dan
sinesitin.
Pada tahun kedua (2013) dilakukan
penanaman kedua. Hal ini dilakukan untuk melihat stabilitas produksi dan mutu, serta tanggap petani terhadap teknologi yang diadopsikan. Perlakuan penanaman kedua dilakukan sama dengan pada tahun pertama.
Pada tahun ketiga (2012) dilakukan
pemanenan dan pengamatan terhadap peubah pertumbuhan, produksi dan mutu.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Standarisasi simplisia yang digunakan sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi dari pemerintah sebagai pembina dan pengawasan (Dyatmiko et al., 2000) dan mengikuti acuan sediaan herbal yang telah ada (BPOM, 2006), sehingga dapat memenuhi tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu-Aman-Khasiat). Bahan baku yang sudah distandarisasi tersebut, mempunyai perbedaan zat aktif sangat kecil, demikian juga yang terdapat dalam setiap sediaan minuman fungsional (tablet, kapsul,
5
sirup). Dengan standarisasi ini, diharapkan adanya korelasi kuat antara manfaat dan kandungan aktif dapat dicapai. Sesuai dengan perkembangan pelaksanaan program Saintifikasi Jamu, untuk program jangka pendek, tahun 2011 telah ditetapkan 15 jenis tanaman obat yang sangat dibutuhkan, yakni temulawak, kunyit, pegagan, tempuyung, secang, kumis kucing, seledri, sembung, meniran, timi, adas, brotowali, sambiloto, jati belanda dan kepel. Dalam program jangka panjang, bahkan telah ditentukan ada 55 jenis tanaman obat yang akan dipergunakan dalam layanan kesehatan Saintifikasi Jamu. Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinis Kementerian Kesehatan telah melakukan
uji
klinis
formula
jamu
untuk
obat
hipertensi.
Hasil
sementara
menunjukkan, terdapat dua komponen yang terkandung di dalam formula yang telah diuji yaitu terdiri dari bahan baku jamu dasar dan bahan baku jamu berkhasiat. Untuk jamu dasar, mengandung bahan meniran, temulawak, dan kunyit dengan fungsi sebagai penyegar. Sebagai bahan jamu berkhasiat kandungannya untuk formula antihipertensi (anti darah tinggi), campuran jamu terdiri dari daun seledri, kumis kucing, dan pegagan. Untuk hipertensi ramuan tersebut dapat menurunkan tekanan darah 20 persen, setelah menjalani terapi selama satu bulan. dilakukan uji klinik formula ini
Selanjutnya akan
supaya dapat digunakan sebagai resep dokter
http://health.kompas.com/read/2011/10/22/09214142/4.FormulaJamu.dalam.Tahap.Uj i.Klinis Dalam kebijakan nasional, telah ditetapkan unggulan Tanaman Obat, dan pegagan menjadi salah satu tanaman obat unggulan (Sampurna, 2003) Secara nasional standarisasi mutu pegagan dilakukan berdasar kadar asiatikosida (BPOM, 2003). Sejak dahulu pegagan telah banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional baik dari bahan segar, kering maupun yang sudah dalam bentuk ramuan, sebagai olahan seperti halnya dalam bentuk jamu. Di Australia telah dibuat obat dengan nama “Gotu Kola” yang bermanfaat sebagai anti pikun dan juga sebagai anti stress. Dalam pengobatan di Indonesia telah banyak yang memanfaatkan tumbuhan ini sebagai obat yang cukup mujarab antara lain diketahui bahwa pegagan ini berpeluang untuk penyembuhan penyakit HIV terutama untuk mempertahankan ketahanan tubuh pasien. Selain itu pula dari hasil penelitian di Cina ternyata pegagan ini bermanfaat untuk memperlancar sirkulasi darah, bahkan lebih bermanfaat dibandingkan dengan ginko biloba atau ginseng yang berasal dari Korea. Di Indonesia diperoleh pegagan yang mengandung triterpen glikosida yaitu asiatikosida, madekakosida, asam asiatikat dan asam edekasat. Pada daun pegagan unsur K relatif banyak ditemukan dibanding unsur lainnya, dalam bentuk garam kalium. Adanya kandungan kalium yang relatif tinggi ini
6
memberikan sifat yang khas dari daun pegagan yang mempunyai efek diuretik (Januwati dan Yusron, 2004).
Salah satu pabrik jamu bahkan memerlukan paling tidak 100 ton
pegagan setiap tahun untuk keperluan produknya. Dari sepuluh jenis jamu yang beredar di pasaran terdapat pegagan dalam ramuan produk tersebut, dengan kadar simplisia yang dicantumkan dalam kemasannya 15 - 25 %. Banyaknya manfaat dari tanaman ini nampaknya karena ditemukan berbagai komponen minyak atsiri seperti sitronelal, linalool,
neral, menthol, dan linalil asetat. Dengan adanya minyak atsiri pada pegagan maka sangat mungkin memiliki potensi sebagai sumber bahan pengobatan terhadap anti penyakit yang disebabkan tujuh jenis bakteri Rhizobacter spharoides, Escherichia coli, Plasmodium vulgaris,
Micrococcus luteus, Baccillus subtilis, Entero aerogenes dan Staphyllococcus aureus. Walaupun pegagan obat mujarab bagi berbagai penyakit dan memiliki kemampuan menyegarkan mental, tapi pegagan dapat bersifat narkotis sehingga dalam pemakaiannya harus sangat hati-hati. Dosis yang tinggi menyebabkan pasien menjadi pening. (Januwati dan Yusron, 2004). Demikian juga kumis kucing (Orthosipon aristatus Miq.) menjadi tanaman utama pada program Saintifikasi Jamu, karena tanaman ini dimanfaatkan sebagai produk minuman fungsional bagi penderita penyakit degeneratif karena dapat membantu memperbaiki fungsi ginjal. Senyawa kimia yang terdapat dalam daun kumis kucing antara lain adalah garam kalium, senyawa saponin, alkaloid, minyak atsiri, glikosida orthosiponin dan tanin. Kandungan bahan aktif utama yang paling stabil dalam daun kumis kucing adalah komponen senyawa sinensetin yang bersifat anti bakteri dan sinensetin telah dijadikan zat identitas simplisia kumis kucing (Rosita dan Nurhayati, 2004) Dari semua jenis tanaman obat tersebut, beberapa diantaranya telah diteliti dan dihasilkan teknologi budidaya sampai pasca panen secara lengkap, tetapi sebagian belum banyak dilakukan petani. Untuk itu sosialisasi dan pelatihan teknologi pasca panen yang telah dihasilkan Balitbang perlu dilakukan, guna memperoleh produksi dan mutu tanaman obat, sehingga sesuai dengan Vademikum Saintifikasi Jamu atau
Farmakope Herbal Indonesia. Sebagai indikator mutu adalah kandungan komponen kimia utama atau kandungan bahan aktifnya (MMI, 1990). SOP pasca panen untuk pegagan dan kumis kucing, diawali dengan pencucian daun dan ditiriskan, kemudian dikeringkan di bawah sinar mata hari dengan ditutup kain hitam dengan tujuan mencegah kerusakan fisik dan kandungan bahan aktif daun. Bila cuaca tidak memungkinkan proses pengeringan dapat menggunakan alat pengering (oven) dengan suhu berkisar 300 - 500C.
7
Peranan SOP pasca panen untuk menjadikan bahan baku menjadi lebih bermutu dari sumber bahan tanaman merupakan aspek penting, karena kualitas bahan baku tanaman obat dipengaruhi oleh faktor cara panen, proses pasca panen dan lain-lain. Melalui GAP, yang merupakan tahapan menuju bahan baku terstandar, varias mutu yang besar dalam tanaman dikurangi melalui modifikasi teknologi dan fitofarmasi sehingga mutu produk lebih stabil. Kandungan kimia yang merupakan metabolit sekunder, digunakan sebagai standar petanda (marker). Dengan demikian diharapkan dapat memenuhi tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (Mutu-Aman-Khasiat). Bahan baku yang sudah ditangani sesuai SOP pasca panen akan memenuhi standarisasi, mempunyai perbedaan zat aktif sangat kecil, demikian juga yang terdapat dalam setiap sediaan minuman fungsional. Dengan standarisasi ini, diharapkan ada korelasi kuat antara dosis dan efek obat dapat dicapai. Oleh karena itu, penerapan SOP penanganan pasca panen dilakukan dengan tujuan mengoptimalkan pengembangan usahatani tanaman obat ini, agar memberi manfaat sebesar-besarnya kepada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat khususnya di daerah sentra produksi (Januwati, 2004). Inovasi merupakan istilah yang telah dipakai secara luas dalam berbagai bidang termasuk pertanian.
Simamora (2003) mendefinisikan inovasi adalah suatu ide,
praktek atau produk yang dianggap baru oleh individu atau group yang relevan. Untuk dapat disebut inovasi, ke-tiga komponen tersebut harus mempunyai sifat “baru”, sifat tersebut tidak selalu berasal dari penelitian mutakhir. Hasil penelitian yang telah lalu pun dapat disebut inovasi, apabila diintroduksikan kepada masyarakat tani yang belum mengenal sebelumnya. Suatu inovasi teknologi akan mudah diterima oleh pengguna bila : (1) dibutuhkan oleh pengguna, (2) memberi keuntungan kepada kepada pengguna (efisien), (3) selaras dengan teknologi yang telah ada sebelumnya, pola pertanian yang berlaku, nilai sosial dan budaya petani, serta keperluan petani, (4) mengatasi faktorfaktor pembatas, (5) mendayagunakan sumberdaya yang ada, (6) terjangkau oleh kemampuan finansial petani, (7) harus sederhana dan mudah dicoba, serta (8) harus mudah diamati perubahannya (Musyafak dan Ibrahim, 2005). Dalam mengintroduksikan SOP pasca panen di tingkat petani, kriteria yang diuraikan di atas akan digunakan untuk menganalisa tanggap petani terhadap inovasi teknologi pasca panen yang dihasilkan dibandingkan penerapan pasca panen yang biasa dilakukan petani. Parameter yang diamati meliputi; data asupan (input) berupa penggunaan sarana produksi sampai pasca panen pegagan dan kumis kucing, penggunaan tenaga kerja dan peralatan, serta data keluaran ( output) berupa
8
produktivitas dan mutu. Harga masukan dan keluaran yang digunakan mengacu pada harga standard/pasar yang berlaku pada saat penelitian dilakukan, serta tanggap petani terhadap inovasi teknologi yang dianjurkan.
III.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari dua Kegiatan yaitu meliputi, 3.1. Metode Demplot 3.1.1. Waktu dan tempat. Kegiatan ini dimulai bulan Maret - Agustus 2012, di lokasi sentra produksi pegagan di Desa Nangerang, Kecamatan Cicurug dan kumis kucing di Desa Kelaparea, Kecamatan Nagrak di Kabupaten Sukabumi. 3.1.2. Metode Kegiatan ini menggunakan Metode Demoplot, yaitu sosialisasi teknologi melalui percontohan, dalam melaksanakan SOP Budidaya dan SOP Pasca panen. 3.1.3. Pengamatan. Pengamatan yang dilakukan meliputi, produksi simplisia per satuan luas areal penanaman, mutu produk dilakukan berdasar standar mutu MMI dan marker kadar asiatikosida dan sinesitin, dan juga analisa ekonomi masing-masing perlakuan. 3.2. Pelatihan teknologi pasca panen. 3.1.1. Waktu dan tempat. Kegiatan ini akan dilakukan pada bulan Juni 2012, di di Kabupaten Sukabumi. 3.1.2. Metode Kegiatan ini menggunakan metode pelatihan, dalam kelas, dengan tujuan sosialisasi inovasi teknologi pasca panen, agar petani menjadi terampil dalam melakukan SOP Budidaya dan SOP Pasca panen untuk pegagan dan kumiskucing. Peserta pelatihan terdiri dari Kelompok Tani Pegagan dan Kumiskucing. 3.3. RANCANGAN RISET Penelitian dilakukan di lahan petani kooperator di sentra produksi. Diharapkan teknologi yang dihasilkan segera dapat diadopsi petani, sehingga dapat meningkatkan
9
mutu produk dan memperluas peluang usaha baru "industri pembuatan produk berbasis pegagan dan kumis kucing". Tahapan pemanfaatan inovasi teknologi pasca panen, meliputi a. Sosialisasi inovasi teknologi pasca panen, dengan cara melakukan Demoplot di sentra produksi, berupa pendampingan
yang dimulai dari menerapkan SOP
budidaya sampai SOP pasca panen. b. Pelatihan teknologi pasca panen. Untuk lebih memantapkan dan meyakinkan inovasi teknologi pasca panen, maka dilakukan pelatihan agar petani menjadi terampil dalam melakukan SOP pasca panen, meliputi : b) Pasca Panen simplisia (pegagan dan Kumis kucing) dengan perlakuan cara pengeringan, menggunakan alat pengering dan matahari, dan c) Penyimpanan simplisia (Pegagan dan Kumis kucing) menggunakan perlakuan lama, tempat dan wadah penyimpanan tanaman obat .
IV. 4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Demplot Kumiskucing dan Pegagan Penentukan lokasi tempat pelaksanaan Demplot :
4.1.1. Demplot Budidaya Kumiskucing akan dilakukan di lokasi dengan ketinggian tempat sekitar 500-600 m dpl., pada jenis tanah Latosol. Pelaksanaan Demplot budidaya kumiskucing akan menerapkan beberapa polatanam untuk mendukung pengembangan, meliputi (1) Polatanam monokultur, (2) Polatanam Tumpangsari dengan Jagung, dan (3) Polatanam Tumpangsari dengan Ketela pohon. Selain itu akan dilakukan menerapan SOP Pemupukan yaitu dengan “Dosis rekomendasi Balittro”) dan Dosis Pemupukan Petani. 4.1.2. Demplot Budidaya Pegagan akan dilakukan di lokasi dengan ketinggian tempat sekitar 500 m dpl., pada jenis tanah Latosol. Pelaksanaan Demplot budidaya Pegagan akan menerapkan beberapa polatanam untuk pengembangan, meliputi (1) Polatanam monokultur, (2) Polatanam Tumpangsari dengan Jagung, dan (3) Polatanam Tumpangsari dengan Ketela pohon. Selain itu akan dilakukan menerapan SOP Budidaya (SOP Pemupukan Dosis “rekomendasi Balittro”) dan Dosis Pemupukan Petani.
10
4.2.
Pelatihan teknologi pasca panen. Pelatihan Teknologi Budidaya sampai Penanganan Pasca Panen, akan dilakukan
dengan melibatkan Kelompok Tani setempat, yaitu meliputi Petani Kooperator dan beberapa Anggota Kelompok Tani lain. Hal ini dilakukan untuk lebih memantapkan dan meyakinkan inovasi teknologi pasca panen, agar petani menjadi terampil dalam melakukan SOP Budidaya dan SOP Pasca panen mendukung program Good Agriculture
Practices (GAP) untuk Tanaman Obat, meliputi kegiatan: 4.2.1. SOP Budidaya untuk Pegagan dan Kumis kucing, dengan materi yang akan disampaikan meliputi : Pelaksanaan SOP Budidaya secara umum, Polatanam dan Pemupukan. Kegiatan Polatanam yang dilakukan : (1) Polatanam monokultur, (2) Polatanam Tumpangsari dengan Jagung, dan (3) Polatanam Tumpangsari dengan Ketela pohon. Dan SOP Pemupukan, yaitu SOP Pemupukan dengan “Dosis rekomendasi Balittro”. 4.2.2.
SOP Penanganan Pasca Panen Simplisia (pegagan dan Kumis kucing). Materi terdiri dari a) Cara pengeringan (Penggunakan Penutup Kain Hitam dan Tanpa Penutup Kain Hitam b) Cara Penyimpanan simplisia (Pegagan dan Kumis kucing) mulai seleksi bahan produksi, dan cara penyimpanan simplisia.
V. KESIMPULAN Penelitian baru dimulai, sehingga belum ada yang dapat disimpulkan.
VI. DAFTAR PUSTAKA BALITTRO. 2004. Standar Prosedur Operasional budidaya sambiloto, pegagan dan kumiskucing. Sirkular No.9. 47 h. BPOM. 2003. Pedoman penelitian budidaya, pascapanen dan produksi sediaan herbal. Pusat Riset Obat dan Makanan. Tidak dipublikasi. 129 h. BPOM. 2005. Penyiapan Simplisia Untuk Sediaan Herbal. 29 h. BPOM. 2006. Pokok Pemikiran Menuju Integrasi Obat Asli/Obat Bahan Alam Indonesia ke Dalam Pelayanan Kesehatan. 27 h. BPOM. 2006. Acuan Sediaan Herbal. 96 h. Dyatmiko, W., Achmad Fuad dan Mulja Hadi Santosa. 2000. Konsep standarisasi pada bahan dan produk obat dari alam. Prosiding Kongres Nasional Obat Tradisional Indonesia (Simposium Penelitian Bahan Obat Alami X). Surabaya, 20-22 Nopember 2000 : 1-11 http://health.kompas.com/read/2011/10/22/09214142/4.FormulaJamu.dalam.Tahap.Uj i.Klinis
11
Hidayat dan Ruslina. 1114-115
2008.
Formula bisnis sang jawara.
Majalah SWA 19/XXIV:
I.S.F.I. dan GP. JAMU dan Obat Tradisional 2008. Daftar Obat Alam (DOA). Edisi III. Himpunan Seminar Apoteker Industri Obat Tradisional PD. ISFI. Jawa Tengah. 201 h. Januwati, M. 2004. Potensi, aktivitas dan GAP tanaman rimpang dan sambiloto. Pros. Fasilitas Forum Kerjasama Pengembangan Biofarmaka. Yogyakarta. 14-18 Juli 2004. Makalah Utama. Hal. 108-134. Januwati, M. dan M. Yusron. Urban.). Balittro. 47 h.
2004.
SOP budidaya pegagan (Centella asiatica L.
Kay, R.D. dan W. M. Edwards. 1999. Farm Management. Mc Graw-Hill Companies. 489 hal. Materia Medika Indonesia. 1990. Departemen Kesehatan. Muhadi dan Siswanto, 2001. Akutansi Biaya 2. PT. Kanisius Yogyakarta.104. Hal. Musyafak, A. Dan T.M. Ibrahim. 2005. Strategi percepatan adopsi dan difusi inovasi pertanian mendukung prima tani. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 3 (1) 20 – 37. Rosita, SMD dan Hera Nurhayati. 2004. SOP budidaya kumis kucing (Orthosiphon
aristatus Miq.) Sinambela, J. 2003. Standarisasi sediaan obat herba. Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXII. Jakarta. Pp.10 Simamora, B. 2003. Membongkar Kotak Hitam Konsumen. PT. Gramedia. Jakarta. Suryadi, D. dan Mubarak. 2008. Grup orang tua : Kiranti, cikal bakal rintisan jalur herbal. Majalah SWA 19/XXIV: 117-119 Sudarmadi. 2008. Strategi dan peluang obat herbal. Majalah SWA 19/XXIV: 120-125 WHO. 2003. WHO guidelines on good agricultural and collection practices (GACP) for medicinal plants. 72P.
12
GAMBAR PELAKSANAAN PENELITIAN
Sosialisasi Kegiatan dengan Kelompok Tani dan Petani kooperator.
13