BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan sosial ekonomi yang menyertainya. Peningkatan kebutuhan lahan ini merupakan implikasi dari semakin beragamnya fungsi di kawasan perkotaan seperti pemerintahan, perdagangan dan jasa serta industri yang disebabkan oleh keunggulannya dalam hal ketersediaan fasilitas dan kemudahan aksesibilitas sehingga mampu menarik berbagai kegiatan untuk beraglomerasi. Berkaitan
dengan
karakteristik
lahan
yang
terbatas,
dinamika
perkembangan kegiatan di kawasan perkotaan ini menimbulkan persaingan antar penggunaan lahan yang mengarah pada terjadinya perubahan penggunaan lahan dengan intensitas yang semakin tinggi. Akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan kota adalah adanya kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kota ke daerah pinggiran kota (urban fringe) yang disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl) (Kustiwan dan Anugrahani, 2000; Giyarsih, 2001). Pergeseran fungsi yang terjadi di kawasan pinggiran adalah lahan yang tadinya diperuntukkan sebagai kawasan hutan, daerah resapan air dan pertanian, berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, industri dan kegiatan usaha non pertanian lainnya. Adanya fenomena semakin berkurangnya lahan terbuka hijau karena perluasaan lahan terbangun yang terjadi pada daerah yang mengalami 1
urbanisasi
memberikan konsekwensi logis bahwa semakin besar perubahan
penggunaan lahan hutan, pertanian dan daerah resapan air menjadi penggunaan perkotaan (non-pertanian) memberikan dampak terhadap kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi adalah penurunan jumlah dan mutu lingkungan diantaranya penurunan mutu dari keberadaan sumberdaya alam seperti, tanah, tata air dan keanekaragaman hayati, menurunnya produksi pertanian dan lain-lain.. Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi tata air (hidrologis) adalah terjadinya perubahan perilaku dan fungsi air permukaan. Dalam keadaan ini terjadi pengurangan aliran dasar (base flow) dan pengisian air tanah, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan tata air (Tim Kerja Manajemen Sungai Terpadu Ditjen Sumber Daya Air Kimpraswil, 2002). Disamping itu, juga berpengaruh terhadap air permukaan terutama terhadap keberadaan situ (embung). Situ yang berfungsi sebagai penyedia air untuk irigasi pertanian, penampung air hujan, pengendali banjir, sumber ekonomi dan rekreasi telah mengalami tekanan akibat kebutuhan lahan untuk aktivitas pembangunan sehingga mengalami penciutan dan malahan ada yang hilang. Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1997 situ yang berhasil diinventarisasi berjumlah 184 yang tersebar di Botabek dengan rincian Wilayah Bogor 101 situ, Tangerang 45 situ, Depok 21 situ dan Bekasi 17 situ. Diperkirakan situ di wilayah Botabek telah mengalami penyusutan sekitar 35% dan 65% mengalami perubahan fungsinya (Hamid, 2000). Menurut Suryadiputra (1999), dari seluruh situ yang tersebar di Botabek ternyata yang mengalami sedimentasi berjumlah 69 situ dan 2
yang mengalami eutrofikasi 9 situ. Situ yang sebagian mengalami konversi (perubahan peruntukan) cukup besar yaitu sebesar 60 situ seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kondisi Situ di Botabek Tahun 1997 No
Kondisi Situ
Jumlah Situ per Wilayah Bogor&Depok
Tangerang
Bekasi
Jumlah
1
Sedimentasi
49
16
4
69
2
Eutrofikasi
6
3
0
9
¬ Sawah / Kebun
26
12
6
44
¬ Pemukiman/Perkantoran/Industri
4
3
1
8
¬ Fasilitas umum (jalan, rumah sakit, Sekolah dll)
2
2
1
5
¬ Tempat pembuangan sampah/limbah industri
2
0
1
3
89
36
13
138
3
Situ yang sebagian dikonversi:
Total
Sumber: diolah dari Suryadiputra (1999) Areal situ yang mengalami konversi sangat terkait dengan perubahan wilayah ke arah perkotaan. Kebutuhan lahan
yang semakin tinggi untuk
kepentingan aktivitas perkotaan mendesak lahan yang diperuntukkan untuk kepentingan konservasi karena peruntukan suatu lahan lebih cenderung digunakan untuk suatu kegiatan pembangunan yang nilai ekonominya lebih tinggi. Kebijakan tersebut terkadang tidak mengikuti kaidah keseimbangan ekologis sehingga timbulnya degradasi lingkungan seperti banjir, pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan lainnya. Permasalahan yang cukup penting akibat perubahan penggunaan lahan terjadi di perkotaan seperti DKI Jakarta dan daerah pinggirannya yaitu Kota Depok. Hal ini terkait dengan semakin besarnya kerusakan ekosistem situ. Secara 3
hidrologis, Kota Depok merupakan kawasan hulu bagi DKI Jakarta sehingga berperan penting sebagai kawasan konservasi tanah dan air. Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan peraturan yang dituangkan dalam Keppres No. 114 Pasal 2 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Bogor-Puncak-Cianjur yang menetapkan disebut Bopunjur adalah kawasan konservasi tanah dan air. Perluasan pembangunan DKI Jakarta menyebabkan Kota Depok menjadi alternatif pilihan untuk pengembangan kawasan pembangunan yang berimplikasi juga terhadap perubahan-perubahan lahan sehingga menimbulkan dampak terhadap keberadaan ekosistem situ. Selain itu, dampak lain yang muncul adalah terhadap sosial ekonomi masyarakat yang berada pada daerah yang tercakup dalam wilayah di sekitar situ. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap keberadaan situ.
1.2. Definisi Kerja (Working Definition) 1. Situ adalah suatu wadah atau genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya berasal dari air tanah atau air permukaan sebagai siklus hidrologi yang potensial. (Anonimous, 1998). Dalam penelitian ini situ yang akan dikaji adalah situ dengan luas minimal 5 hektar dan yang mengalami perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan situ. 2. Kawasan situ adalah wilayah yang mencakup daerah tangkapan air bagi situ (catchment area).
4
3. Ruang terbuka hijau adalah suatu ruang yang digunakan untuk lahan bervegetasi meliputi lahan pertanian dan lahan yang bervegetasi lainnya berfungsi untuk menyerap dan menyimpan air di dalam tanah. 4. Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya atau berubahnya fungsi lahan suatu daerah pada kurun waktu yang berbeda (Wahyunto et al., 2001).
1.3. Perumusan Masalah Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia yang merupakan syarat mutlak bagi perbaikan kesejahteraan serta peningkatan kualitas hidup manusia. Aktivitas pembangunan dipastikan banyak memanfaatkan sumberdaya alam sebagai bahan baku. Akan tetapi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya terhadap kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan keseimbangan serta kelestarian sumberdaya alam, termasuk sumberdaya lahan sehingga dapat tetap bermanfaat bagi generasi mendatang. Namun ironisnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di satu wilayah cenderung memunculkan suatu sifat yang dilematis. Pada satu sisi pertumbuhan
dan
perkembangan
tersebut
berdampak
positif
terhadap
pembangunan di suatu wilayah, tetapi pada sisi lain berdampak negatif bagi manusia dan kelestarian sumberdaya alam sehingga bermunculan masalahmasalah lingkungan. Ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan 5
air sekaligus menyejukkan lingkungan dan lahan basah yang berperanan dalam menjaga keseimbangan tata air dan pengendali banjir semakin berkurang jumlahnya karena kepentingan pembangunan. Sebagai contoh, hamparan tanah pertanian dalam wujud persawahan tergusur demi kepentingan pembangunan dan perkembangan industri setempat. Akibatnya, luas lahan pertanian semakin berkurang. Persawahan yang tergolong produktif telah beralih fungsi menjadi lahan perumahan, jasa dan industri. Dengan makin berkurangnya lahan yang dapat menyimpan ketersediaan air tanah dan air permukaan akan berpengaruh terhadap lahan penampung air terutama terjadinya pengurangan area tangkapan air (catchment area), sehingga berimplikasi terhadap penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan. Seperti pada kasus di Kota Depok, lahan penampung air yang berfungsi membantu keseimbangan proses daur hidrologi yang dikenal sebagai situ banyak yang mengalami sedimentasi dan
eutrofikasi yang mengakibatkan
terjadinya
pendangkalan. Kondisi ini menyebabkan situ yang menjadi daratan dialih fungsi menjadi penggunaan lain seperti lahan pertanian, pemukiman dan malahan ada yang menjadi kawasan industri. Selain itu, ada yang ditimbun (diurug) untuk kepentingan pembangunan prasarana sehingga merusak keanekaragaman hayati ekosistem situ yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kualitas maupun kuantitas dan hilangnya tempat penampungan air sebagai salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat.
6
Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasikan permasalahan yang akan disoroti yaitu: 1. Bagaimana dinamika perubahan luas situ dan perubahan penggunaan lahan yang terjadi di sekitar situ di Kota Depok. 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi luas situ- situ tersebut. 3. Sampai sejauh mana pemahaman masyarakat sekitar terhadap eksistensi situ.
1.4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Mempelajari kondisi situ dan perubahan luas situ. 2. Mempelajari dinamika perubahan penggunaan lahan di daerah tangkapan air situ. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi luas situ. 4. Menganalisis pemahaman dan pemanfaatan situ oleh masyarakat
1.5. Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis penelitian adalah: 1. Semakin kecil luas lahan bervegetasi dan lahan pertanian di daerah tangkapan air situ, mengakibatkan semakin kecil luas situ. 2. Kelerengan lahan dan kepadatan penduduk mempengaruhi mengakibatkan semakin berkurangnya luas situ. Semakin besar tingkat kelerengan dan semakin padat penduduk mengakibatkan semakin sempit luas situ. 7
1.6. Kegunaan Penelitian Kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi bagaimana dinamika perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap keberadaan kawasan situ. 2. Memberikan informasi kepada pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan tata ruang wilayah agar tetap memperhatikan aspek lingkungan terutama keberadaan kawasan situ.
8