BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berbelanja (shopping) adalah aktivitas membeli suatu barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aktivitas berbelanja dilakukan dengan berjalan-jalan mengelilingi pusat perbelanjaan guna mencari barang yang dibutuhkan dan bertransaksi langsung di lokasi kejadian. Namun seiring dengan kemajuan teknologi informasi, berbelanja sekarang dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja melalui bantuan peralatan elektronik, seperti komputer, jaringan internet dan smartphone. Dengan bantuan komputer maupun smartphone yang langsung terkoneksi dengan internet, orang dapat berbelanja dengan mengklik nama situs belanja pada website dan men-searching nama barang yang dibutuhkan tanpa harus berjalan-jalan mengelilingi pusat berbelanjaan guna mencari barang yang dibutuhkan. Selain itu transaksinya pun dapat dilakukan di depan layar komputer, aktivitas berbelanja ini disebut dengan belanja online. Belanja online dalam artian sosiologis adalah kegiatan pembelian suatu barang atau jasa yang diinginkan melalui transaksi elektronik guna memanfaatkan waktu luangnya, melihat trend terbaru masa kini dan hal yang berkaitan dengan selera dan eksistensi dalam survival kehidupan. Dimana shopping (berbelanja) menjadi cara hidup manusia mempertahankan eksistensinya (keberadaannya) di dalam relasi sosial masyarakat. Adanya anggapan bahwa dengan memakai produk yang memiliki nilai informatif, gengsi dan prestise akan dipandang lebih oleh
1
masyarakat, berkembang menjadi sebuah fakta sosial yang diukur dari apa yang ia konsumsi. Dengan ini mengisyaratkan bahwa dengan berbelanja orang akan diakui keberadaannya di dalam kelompok sosialnya. Sedangkan online merupakan metode (cara) untuk melakukan aktivitas berbelanja secara praktis dan efisien. Adapun batasan-batasan belanja online yang tertuju pada: Pertama, adanya penggunaan media sosial (seperti email, blog, facebook, twitter dan sebagainya). Kedua transaksi yang dilakukan secara elektronik, baik dari pemesanan melalui email, pembayaran melalui ATM, dan pengiriman data pembelian melalui email atau EDI (Elektronic Data Interchange). Ketiga terjadinya interaksi virtual antara penjual dengan pembeli melalui komputer yang terkoneksi oleh jaringan internet sebagai mediumnya. Tren pertumbuhan belanja online (online shopping culture) di kalangan pengguna internet di Indonesia dari hasil riset yang dilakukan oleh Nielsen pada bulan Maret tahun 2010, dengan mengambil sampel sebanyak 7.063 jiwa dari representasi populasi pengguna internet di Indonesia berkisar 29 juta jiwa, menunjukan bahwa 80% pengguna internet berencana untuk melakukan belanja online dalam 6 bulan ke depan. Sementara itu, sebanyak 40% dari calon pembelanja online Indonesia berencana untuk menyisihkan kurang dari 5% anggaran belanja mereka untuk berbelanja online. Sedangkan 36% lainnya berencana menyisihkan 6-10% dari anggaran belanja mereka, dan 18% berniat menyisihkan 11-25% (Firman, Muhammand dan Darmawan, Indra. 2010. http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/164502-budaya-belanja-indonesiamulai-tumbuh diakses pada 11 April 2013). Dengan demikian hasil riset nielsen
2
tersebut secara langsung merepresentasikan bahwa intensitas belanja online pada pengguna internet di Indonesia dilakukan dalam 6 bulan ke depan, yang berarti selama 6 bulan ke depan pengguna internet akan melakukan pembelanjaan secara online sekurang-kurangnya minimal 1 kali. Fenomena budaya belanja online ini pun menjalar ke berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, baik dari anak muda, dewasa maupun orang tua. Dan mayoritas pelaku belanja online berada pada kalangan anak muda, yang merupakan pengguna internet terbesar di Indonesia. Anak muda yang dimaksudkan disini adalah warga negara yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia antara 16-30 tahun (UndangUndang Kepemudaan 2009). Hasil survey yang dilakukan oleh Yahoo dan TNS pada tahun 2009, dengan mengambil sampel 2000 responden dari 8 kota besar di Indonesia, menunjukkan bahwa kelompok usia anak muda 15-29 tahun merupakan pengguna internet terbesar di Indonesia dengan presentase 64% (Kompas, 27 Maret 2009). Sekiranya karakter anak muda yang dinilai dinamis, modern, dan mudah terpengaruh menjadi kunci mayoritas pelaku belanja online di Indonesia. Munculnya inovasi baru dalam belanja online, dengan menggunakan metode collective group buying (pembelian secara berkelompok) menjadi alternatif baru dalam berbelanja online secara berkelompok yang efektif. Dimana yang tadinya belanja online bersifat individual, sekarang bersifat sosial (kelompok), karena belanja online dapat dilakukan secara bersama-sama (berkelompok). Pencetus metode collective group buying adalah Andrew Mason
3
pada tahun 2008 di Chicago. Collective group buying merupakan tindakan dalam membeli kupon diskon secara kolektif dengan cara mengumpulkan massa melalui metode penyebaran informasi dari mulut ke mulut (word of mouth) untuk membeli suatu produk secara bersamaan (berkelompok) yang bertujuan agar penawaran diskon tersebut aktif (bisa digunakan). Ide collective group buying (kupon berkelompok)
Andrew Mason gunakan pada perusahaan
yang
didirikannya, yakni Groupon.com sebagai inovasi dalam cara berbelanja online dengan menggunakan konsep group cupon (kupon berkelompok). Groupon.com adalah perusahaan startup technology yang memberikan layanan informasi dan penawaran kupon diskon mulai dari 10% hingga 70% pada setiap harinya untuk pembelian produk dari berbagai merchant di dunia dengan konsep collective group buying pada media jejaring sosial, seperti blog, facebook dan twitter. Dengan kata lain Groupon.com merupakan perusahaan startup yang memberikan penawarkan kupon diskon setiap harinya dari berbagai merchant, yang bertujuan untuk mendorong partisipasi orang dalam membeli barang atau jasa secara kolektif ataupun kelompok pada situs web Groupon.com. Untuk mendapatkan kupon groupon tersebut dilakukan melalui tiga cara, yakni klik buy, lakukan pembayaran, cetak dan tukar kupon ke merchant yang bersangkutan. Dan untuk mengetahui lokasi merchant untuk menukarkan kupon dapat dilihat pada map google yang tersedia pada website Groupon.com. Keberhasilan Groupon sebagai situs daily deals (situs yang menjual kupon diskon setiap harinya dari berbagai merchant) yang terkemuka di dunia, telah memunculkan fenomena Groupon clone, yakni situs yang sejenis dengan
4
Groupon, yang memberikan layanan informasi diskon dan menawarkan kupon diskon setiap harinya. Fenomena Groupon clone ini tidak hanya berada di benua Amerika saja, namun sudah mendunia, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, misalnya Disdus.com yang merupakan situs daily deals pertama di Indonesia yang menuai sukses. Kesuksesan Disdus.com sebagai groupon clone mendorong Groupon mengakuisi Disdus.com sebagai perluasan jaringannya di Asia Tenggara. Dan untuk wilayah lokal seperti Mbakdiskon.com dari Yogyakarta. Mbakdiskon.com merupakan sebuah bisnis dot-com yang menawarkan deal - deal menarik dengan diskon mulai dari 30% hingga 90% dari berbagai merchant di Yogyakarta (http://mbakdiskon.com/page/about-us diakses 11 febuari 2013). Pengertian Mbakdiskon.com tersebut dapat diartikan juga sebagai groupon clone, karena merupakan situs daily deals yang cara kerjanya hampir sama dengan Groupon.com. Mbakdiskon.com didirikan oleh Anggit Tut Pinilih (26 tahun) bersama kedua temannya pada tahun 2010 dan diresmikan pada bulan Maret 2011. Produk yang dijual Mbakdiskon.com dari berbagai merchant di Yogyakarta pun beragam antara lain fotografi, kuliner, kursus bahasa, kursus komputer, tiket konser dan Salon/Spa. Cara kerja mbakdiskon.com hampir sama dengan situs daily deals lainnya, yakni menggunakan konsep collective group buying dalam mengumpulkan massa untuk membeli voucher, dan cara untuk mendapatkan voucher tersebut juga sama dengan situs daily deal lainnya, yakni klik buy, lakukan pembayaran, cetak dan tukar kupon ke merchant yang bersangkutan. Dan untuk mengetahui lokasi merchant untuk menukarkan kupon dapat dilihat pada map google yang tertera pada kupon mbakdiskon.com yang sudah dicetak.
5
Namun yang membedakan mbakdiskon.com dengan situs daily deals lainnya adalah dikelola oleh sekelompok anak muda dengan menggunakan konsep collective group buying, dengan cara menjual produk paketan maupun memberikan batas minimal pembelian untuk mengaktifkan penawaran produk deal. Selain itu, identitasnya yang menggunakan kata ‘mbak’ pada nama depannya. Identitas tersebut mencirikan seorang perempuan yang berasal dari Yogyakarta. Identitas yang menunjukannya sebagai perempuan secara harfiah telah melambungkan namanya di kalangan anak muda pengguna jejaring sosial, terutama pada anak perempuan dan mengarahkannya langsung tertuju pada Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat pada data statistik demografi pengguna mbakdiskon yang menyatakan bahwa mayoritas pengguna mbakdiskon adalah anak muda usia 18-24 tahun, dengan presentase sebesar 51% perempuan dan 13% laki-laki. Yogyakarta merupakan kota pelajar dan banyak orang yang menuntut ilmu disini. Hadirnya layanan mbakdiskon.com di Yogyakarta membantu para mahasiswa untuk membeli makanan secara ekonomis (dapat potongan harga) dan praktis (dilakukan secara online) sesuai dengan karakter anak muda itu sendiri yang dinamis, suka berkumpul dengan teman dan memiliki keuangan yang terbatas (masih bergantung pada orang tua). Mbakdiskon.com yang selalu update status mengenai produk merchant yang ditawarkan di facebook maupun twitter, menjadikannya semakin popular di kalangan anak muda pengguna facebook maupun twitter. Hal tersebut juga dipicu dengan identitas anak muda itu sendiri
6
yang disebut Presky (2001) sebagai digital native, yang mengaktualisasikan dirinya untuk melek teknologi. Menurut Prensky (2001) Digital native atau pribumi digital adalah generasi yang lahir dan tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, yang hampir semua aktivitas kehidupannya dikelilingi oleh teknologi digital yang saling terkoneksi satu sama lain, seperti komputer, internet, serta handphone. Oleh sebab itu, anak muda lebih fasih dalam menggunakan teknologi digital dan berusaha mengaktualisasi dirinya untuk selalu up-to-date terhadap kemajuan teknologi digital terbaru sebagai bentuk acuan trend pada kelompok teman sebayanya, yang bertujuan untuk bisa diterima serta diakui keberadaanya dalam relasi sosial peergroup. Maka tak heran apabila anak muda merupakan jumlah pengguna mbakdiskon.com terbesar di Yogyakarta, mengingat mbakdiskon.com merupakan inovasi dari belanja online yang menggunakan teknologi digital sebagai penunjang bisnis online, dan yang bisa menjadi pengguna mbakdiskon adalah orang yang melek teknologi, yang tahu dan bisa mengoperasikan teknologi tersebut yang mayoritas adalah kalangan anak muda sebagai digital native. Namun apabila dianalisis secara mendalam melek teknologi anak muda belum sampai pada tahap penciptaan dan inovasi dari teknologi itu sendiri. Menurut Collier–Red (2008) melek teknologi pada arti sebenarnya adalah masyarakat yang mampu memahami sifat teknologi, memiliki sebuah kemampuan dan kapasitas untuk berinteraksi pada artefak teknologi dan dapat berpikir kritis tentang isu-isu yang berkaitan dengan teknologi. Namun senyatanya bahwa anak
7
muda sebagai pengguna mbakdiskon terbesar di Yogyakarta adalah karena karakternya yang dinamis, suka bersosialisasi, masyarakat komunal (gemar berkumpul dan berkomunikasi maupun bergaul), masyarakat yang latah akan sesuatu yang baru dan pengaruh eksternal pergaulan. Karakter anak muda tersebut mengisyaratkan bahwa anak muda berada pada dimensi efektif. Dimana anak muda memiliki kekuatan menembus batasbatas digital dalam mengumpulkan massa maupun mengkoordinasikannya untuk melakukan pembelian kupon diskon secara berkelompok (collective group buying) di mbakdiskon.com melalui jaringan konektivitas (link) yang dimilikinya. Namun disisi lain anak muda juga berada pada posisi ambiguitas yang acapkali dijadikan sebagai target pasar, yang mendorongnya masuk ke dalam dimensi konsumsi dan tak jarang dari mereka terkena akan dampak dari ekses negatif arus globalisasi, seperti konsumerisme maupun hedonisme. Atas dasar fenomena budaya belanja online yang sedang berlangsung ini, peneliti merasa tertarik untuk menjadikannya sebagai penelitian skripsi dengan mengambil judul “Anak Muda dan Budaya Belanja Online: Studi tentang Perilaku Collective Group Buying di Mbakdiskon.com pada Kalangan Anak Muda Yogyakarta. Dimana fenomena budaya belanja online tengah terjadi pada masyarakat Indonesia, khususnya pada kalangan anak muda. Sehingga dibutuhkan kajian yang sistematis dan komprehensif dalam kerangka sosiologis guna mengkaji secara mendalam fenomena belanja online yang sedang berlangsung di Indonesia.
8
B. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan Utama/Umum 1. Bagaimana media baru melalui mbakdiskon.com Yogyakarta mempengaruhi Anak Muda dalam melakukan collective group buying? Pertanyaan Khusus: 1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku collective group buying pada kalangan Anak Muda Yogyakarta? 2. Bagaimana deskripsi pola perilaku pembelian voucher mbakdiskon.com pada kalangan Anak Muda Yogyakarta? 3. Bagaimana pemetaan relasi sosial Anak Muda terhadap proses terwujudnya collective group buying?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku collective group buying pada kalangan Anak Muda Yogyakarta. 2. Untuk mendeskripsikan pola perilaku pembeliaan voucher mbakdiskon.com pada kalangan Anak Muda Yogyakarta. 3. Untuk memetakan relasi sosial Anak Muda terhadap proses terwujudnya collective group buying
9
D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian Konsumsi Teknologi Penelitian ini diharapkan bisa memperkaya khasanah kajian tentang pemanfaatan media baru yang kini semakin popular di masyarakat, dengan melihat fenomena yang tengah terjadi pada kehidupan nyata di era digitalisasi dan terkoneksi saat ini. Di samping itu penelitian ini juga diharapkan sebagai bahan acuan untuk memperdalam pengetahuan tentang konsumsi teknologi yang berkaitan erat dengan media baru, yang dapat menimbulkan tumbuhnya budaya belanja online.
2. Pengguna Media Baru Salah satu fungsi penelitian ini untuk melihat bagaimana media baru mampu berperan dalam mendukung tindakan berkelompok anak muda yang dipelopori oleh seorang aktor. Dengan demikian diharapkan bahwa pengguna media baru dapat memanfaatkan akses media baru untuk melakukan kegiatan berkelompok dalam memajukan bangsa Indonesia menjadi lebih baik.
3. Anak Muda Penelitian ini diharapkan sebagai acuan anak muda dalam membentengi diri terhadap penawaran produk, sehingga tidak terjebak pada arus globalisasi yang berunjuk pada hedonisme dan konsumerisme.
10
E. Tinjauan Pustaka Berikut ini adalah beberapa penelitian yang berhubungan, berkaitan dengan penelitian yang dilakukan peneliti dengan mengambil judul “Anak Muda dengan Budaya Belanja Online: Studi tentang Perilaku Collective Group Buying di Mbakdiskon.com pada Kalangan Anak Muda Yogyakarta”, antara lain adalah: Pertama, Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Dini Iriyanti dari SOSIOLOGI UGM dengan judul “Perilaku Konsumsi Pakaian Bekas di Kalangan Mahasiswa di Kota Bandung” tahun 2007 membahas tentang perilaku konsumsi pakaian bekas bermerek sebagai identitas anak muda, yang selalu mengikuti perkembangan trend fashion masa kini. Di samping itu adanya pandangan bahwa dengan memakai pakaian bermerek memiliki nilai gengsi dan prestise yang tinggi di kalangan masyarakat ataupun kelompok sosialnya, sebagai faktor pendorong anak muda membeli pakaian bekas bermerek sekaligus merefleksikan keuangan mereka yang terbatas. Dengan demikian mengisyaratkan bahwa pakaian bekas sebagai pengokohan konsumsi tanda, dimana anak muda menggunakan pakaian bekas bermerek untuk bisa dipandang atau diakui oleh teman sebayanya atau kelompok sosialnya. Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Nuraliah dari Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin Makasar dengan mengambil judul “Budaya Shopping Online: Analisis Gaya Hidup Mahasiswa Universitas Hasanuddin Makasar” tahun 2011, membahas tentang makna shopping online bagi anak muda (mahasiswa Universitas Hasanuddin Makasar) yang dikaitkan dengan mitos bahwa shopping adalah kegiatan hura-hura yang menghabiskan uang. Dimana
11
dalam hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa anak muda memaknai shopping online sebagai aktivitas memanfaatkan waktu luang, menghemat waktu belanja, tempat melihat trend baru yang fashionable, sebagai ladang usaha. Ketiga, Penelitian yang dilakukan oleh A.A.S Mirah Mahaswari J.M dari Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada dengan mengambil judul “Media Baru dan Gerakan Sosial: Studi Kasus Penggunaan Media Baru oleh Jalinan Merapi dalam Mendukung Gerakan Sosial Penanggulangan Bencana pada Bulan Oktober 2010 S.D. Maret 2011 ” tahun 2011, dengan hasil temuan penelitiannya menyatakan bahwa penggunaan media baru mampu mendukung terjadinya gerakan sosial lantaran adanya motif sosial dan modal sosial tinggi dari masyarakat dalam praktik penggunaan media tersebut. Dengan pendekatann convergence theory, dihasilkan rumusan bahwa Jalin Merapi menciptakan pertukaran informasi yang saling menguntungkan bagi segala pihak-relawan, penyintas organisasi rekanan, pemerintah – dalam upaya untuk mencapai mutual understanding yakni penyaluran bantuan dari pihak donatur kepada yang membutuhkan, serta penyampaian kebutuhan dari penyintas kepada pihak donatur. Penggunaan media baru dalam hal ini memberi nilai lebih karena dianggap memiliki kecepatan distribusi informasi, jangkauan pesan yang luas tingginya tingkat interaktivitas, serta kemudahan verifikasi informasi. Berdasarkan ketiga tinjauan pustaka penelitian tersebut ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian skripsi yang dilakukan peneliti dengan mengambil judul “Anak Muda dan Budaya Belanja Online: Studi tentang Perilaku Collective Group Buying di Mbakdiskon.com pada Kalangan
12
Anak Muda Yogyakarta”. Persamaannya antara lain adalah meneliti tentang perilaku konsumsi anak muda, budaya shopping online, menggunakan pendekan convergency theori dalam proses analisisnya serta meneliti tentang penggunaan media baru yang dilakukan oleh sekelompok anak muda untuk melakukan suatu motif tertentu. Sedangkan perbedaannya antara lain sebagai berikut: Pertama, Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Dini Iriyanti dengan penelitian skripsi yang dilakukan peneliti dengan mengambil judul “Anak Muda dan Budaya Belanja Online: Studi tentang Perilaku Collective Group Buying di Mbakdiskon.com pada Kalangan Anak Muda Yogyakarta” terletak pada pola perilaku konsumsinya. Jika penelitian Dini Iriyanti menekankan bahwa perilaku konsumsi pakaian bekas bermerek sebagai identitas anak muda yang selalu mengikuti tren fashion masa kini, dan merupakan pengokohan konsumsi tanda yang tertera di merek pakaian bekas tersebut yang dinilai prestise, serta merefleksikan keuangan anak muda (mahasiswa) yang secara ekonomi masih bergantung kepada orang tua. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang melihat bahwa collective group buying (pembelian secara berkelompok) sebagai perilaku konformis anak muda dalam mengkonsumsi voucher diskon shopping online melalui metode word of mouth baik secara langsung maupun jejaring sosial, yang akan menimbulkan budaya latah pada kalangan anak muda Yogyakarta. Kedua, Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Nuraliah dengan penelitian yang dilakukan peneliti dengan mengambil judul “Anak Muda san Budaya Belanja Online: Studi tentang Perilaku Collective Group Buying di
13
Mbakdiskon.com pada Kalangan Anak Muda Yogyakarta” terletak pada sudut pandang dalam memaknai tentang shopping online. Jika penelitian Dewi Nuralih melihat bahwa shopping online adalah mitos yang berkembang di masyarakat, sebagai kegiatan hura-hura yang menghabiskan uang, dan lebih menekankan pada kepetingan personal anak muda tatkala sedang melakukan shopping online. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti yang memaknai shopping online sebagai suatu cara untuk bisa berkumpul dengan teman-teman tanpa mengeluarkan uang berlebih, yang lebih menekankan pada kepentingan bersama maupun sosial karena produk yang dibeli secara online nantinya akan digunakan secara berkelompok. Ketiga, Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh A.A.S Mirah Mahaswari J.M dengan penelitian yang dilakukan peneliti dengan mengambil judul “Anak Muda dan Budaya Belanja Online: Studi tentang Perilaku Collective Group Buying di Mbakdiskon.com pada Kalangan Anak Muda Yogyakarta” terletak pada pemanfaatan, penggunaan media baru yang dilakukan oleh sekelompok anak muda, yang mendorong aksi kolektif maupun perilaku kolektif. Jika Penelitian yang dilakukan oleh A.A.S Mirah Mahaswari melihat bahwa pemanfaatkan, penggunaan media baru berunjuk pada aksi kolektif seorang aktor untuk melakukan gerakan sosial yang lebih bersifat kemanusiaan yang telah terbentuk ke dalam suatu strukur organisasi bernama jalinan Merapi. Dimana pembentukan organisasi jalinan Merapi ini bertujuan untuk membantu proses penyaluran bantuan dari para donatur kepada korban merapi serta memberikan informasi terbaru melalui media sosial tentang kondisi merapi. Hal ini berbeda dengan
14
penelitian yang dilakukan peneliti yang melihat bahwa pemanfaatan, penggunaan media baru berunjuk pada perilaku kolektif seorang aktor untuk mencapainya collective group buying. Dimana collective group buying ini mendorong partisipasi kolektif seseorang (anak muda pengguna mbakdiskon) dalam mengumpulkan massa melalui metode word of mouth baik secara langsung (face to face) maupun media sosial, guna mengaktifkan suatu penawaran produk deal pada situs daily deals mbakdiskon.com dan menggunakannnya secara bersamasama (berkelompok).
F. Kerangka Teori Penelitian ini menggunakan kerangka teoritik dari beberapa teori yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang akan dibahas sebagai pisau analisis. Berikut penjelasannya: Pertama, Teori media baru dengan pendekatan konvergensi oleh Rogers dan Kincaid (1981) yang menjadi teori utama dalam penelitian ini karena membahas komunikasi antara dua orang atau lebih pada jejaring sosial yang mengakibatkan munculnya tindakan partisipasi kolektif aktor dalam mutual understanding dan mutual agreetment melalui sms sebagai upaya mencapai collective group buying. Kedua, Pemuda sebagai Agensi Youth Culture di adaptasi dari ciri-ciri umum budaya anak muda menurut Penguin Dictionary of Sociology edisi 2000 dalam Nur (2003), yakni budaya bersenang-senang, lebih menekankan pada hubungan teman sebaya daripada keluarga dan lebih tertarik kepada gaya hidup.
15
Ciri-ciri budaya anak muda tersebut relevansi dengan penelitian ini, pertama didasarkan pada data sekunder dari mbakdiskon yang menyebutkan bahwa anak muda usia 18-24 tahun adalah mayoritas konsumen (pengguna) mbakdiskon yang seringkali melakukan transaksi pembelian dengan presentase sebesar 78% perempuan dan 13% laki-laki. Kedua, melihat data sekunder mbakdiskon bahwa produk yang banyak diminati konsumen mbakdiskon adalah kategori produk kuliner sebesar 45% dan salon kecantikan dan spa sebesar 20%. Dimana kategori produk kuliner dan spa tersebut adalah bentuk manifiestasi budaya bersenangsenang dan menekankan pada pola konsumsi berkelompok dengan teman sebaya. Hal tersebut terlihat pada temuan lapangan penelitian ini yang dijelaskan pada bab pembahasan. Selain itu konsep pemuda sebagai agensi Youth Culture berunjuk dari definisi anak muda yang dikategorikan Prensky (2001) sebagai digital native atau pribumi digital. Dimana hal ini berkaitan dengan fokus kajian penelitian yang melihat bahwa shopping online hanya bisa dilakukan oleh orang yang bisa mengoperasikan teknologi digital, karena transaksinya melalui teknologi digital. Dan kebanyakan yang melakukan shopping online adalah kalangan anak muda yang fasih menggunakan teknologi digital karena sejak lahir dan tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi digital, yang dikenal dengan sebutan digital native. Disisi lain anak muda juga memanfaatkan kemampuannya dalam mengoperasikan teknologi digital untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya di jejaring sosial dalam upaya mencapai collective group buying.
16
Ketiga, Teori konsumsi yang meliputi konsumerisme dan leisure class. Konsumerisme ini dipilih sebagai pisau analisis karena membahas bagaimana tumbuh dan berkembangnya perilaku konsumsi pada masyarakat yang mengarah pada tindakan pemborosan (perilaku konsumtif), yang memiliki relevansi dengan penelitian ini dalam mengkaji tentang perilaku konsumsi online pengguna mbakdiskon.com. Dengan demikian konsumerisme berunjuk pada dua tokoh eori besar tentang konsumsi, yakni Jean Baudrilard tentang masyarakat konsumsi dan Jean Francois Lyotard tentang ekonomi libido sebagai analisis utama teori konsumsi dalam penelitian ini. Namun disisi lain peneliti juga menggunakan teori dari Jacques Lacan tentang hawa nafsu dan kebutuhan, dan Pierre Bourdieu tentang proses pemaknaan bahwa selera tidak netral dan kelompok perantara budaya dalam karyanya Distinction: A Social Critique of The Judment of Taste (1984) yang akan dijelaskan pada Bab III pembahasan sebagai teori pendukung yang relevan dengan analisis data yang ditemukan di lapangan. Dimana sudut pandang dari tokoh-tokoh sosiologi tersebut menjabarkan tentang perilaku konsumsi yang sedang berlangsung pada masyarakat kontemporer saat ini, sehingga relevan dengan penelitian ini yang membahas tentang perilaku konsumsi online anak muda. Sedangkan teori leisure class dari Veblen dipilih karena membahas tentang kelas penikmat (bukan kelas pekerja) yang menghabiskan waktu luangnya untuk mencari kenikmatan atas apa yang dikonsumsinya dan menunjukkan kepemilikan waktu luang yang mencolok, sehingga semakin membedakan diri dengan kelas sosial lainnya. Relevansi dengan penelitian ini adalah berdasarkan
17
data primer dari pemilik mbakdiskon menyatakan bahwa mayoritas konsumen mbakdiskon adalah mahasiswa. Atas data primer tersebut terdapat relevansi antara penelitian ini dengan teori leisure class, dimana mahasiswa memiliki banyak waktu luang dari pada kelas sosial lainnya. Dan waktu luang mahasiswa pun kebanyakan dipergunakan untuk mengkonsumsi produk dari industri waktu luang seperti yang dijual oleh mbakdiskon (kuliner, spa, fotografi, travel, tiket konser dan sebagainya), yang tujuan utamanya untuk bersenang-senang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori leisure class relevan dengan penelitian ini yang mengangkat tentang perilaku konsumsi online pada kalangangan anak muda (mahasiswa). Berikut penjelasan selengkapnya tentang kerangka teoritik yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini:
1. Teori Media Baru (New Media) Media merupakan alat perantara manusia untuk menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi. Seiring berkembangnya zaman, media dibagi menjadi dua macam, yakni media lama dan media baru (new media). Media lama sering kali dikaitkan dengan media massa, karena menggunakan komunikasi massa untuk memberikan informasi kepada khalayak luas yang berasal dari institusi, seperti surat kabar, buku, majalah, radio, televisi dan sebagainya. Sedangkan media baru merupakan teknologi berbasis komputer yang tidak hanya berfungsi untuk memberikan informasi tetapi juga berfungsi untuk saling
18
tukar informasi, seperti komputer, internet, terminal video tex, kabel digital dan sebagainya (West, Richard and Turner, Lyna. 2008: 41). Pengertian tersebut secara implisit menyebutkan bahwa new media terbentuk karena komputer dan wujudnya berbeda dengan media massa. Perbedaan wujud ini terletak pada bentuknya antara cetakan dan elektronik di media massa dan perangkat digital komputer (data digital) di new media. Teknologi telah melahirkan apa yang disebut dengan media baru, yang merunjuk pada sebuah perubahan dalam proses produksi, distribusi, dan penggunaan media. sejalan dengan istilah ‘global village’ yang diutarakan oleh Marshal Mac Luhan, terdapat beberapa kata kunci (Marshall, McLuhan. 1999: 7) yang dapat digunakan dalam memahami media baru. Pertama, Digitality, menjelaskan bahwa seluruh proses produksi media diubah ke dalam bentuk digital. Kedua, Interactivity merunjuk kepada adanya kesempatan dimana teks dalam media baru mampu memberikan kesempatan bagi pengguna untuk “write back into text”, yang artinya komunikasi dapat berjalan dua arah (saling memberikan respon), baik interaktivitas antara manusia dengan mesin maupun antara pengguna dengan pengguna yang lain (two ways communication). Ketiga, Highly Individuaated merunjuk pada adanya desentralisasi proses produksi dan distribusi pesan yang menumbuhkan keaktifan individu, contohnya pengguna harus mengklik atau log in pada situs tertentu ketika ingin mengakses informasi tertentu. Di samping itu media baru telah membawa manusia pada realitas virtual, yakni cara manusia memvisualisasikan, memanipulasikan dan berinteraksi dengan
19
komputer dan data yang sangat kompleks (Piliang, Yasraf Amir. 2009: 158). Di dalam realitas virtual ini seakan-akan apa yang kita lihat dan rasakan adalah nyata. Dengan kita dapat melakukan berbagai aktivitas interaktif sehari-hari (bisnis, rapat, diskusi, hiburan, belanja, kuliah, dan sebagainya) di dalam data tersebut dengan cara virtual. Cara-cara virtual dan artifisial tersebut menawarkan tingkat pengalaman, persepsi, perasaan, dan emosi yang berbeda dengan dunia nyata. Dan pada tingkat tertentu ia menghasilkan pengertian atau perasaan (sense) yang mendekati apa yang diperoleh di dunia nyata, akan tetapi pada tingkat yang lebih tinggi merupakan pembesaran efek perasaan tersebut (Piliang, Yasraf Amir. 2009: 160). Misalnya melakukan video call jarak jauh antar negara melalui skype, seakanakan apa yang kita lihat dan rasakan nyata, kalau kita sedang melakukan obrolan langsung (face to face) dengan orang lain pada tempat dan waktu yang sama. Namun senyatanya kita berada pada ruang dan waktu yang berbeda dengan berhadapan di depan layar komputer. Pandangan yang kita lihat di layar komputer tersebut adalah pandangan yang dimediasi oleh teknologi dapat menghadirkan yang jauh berada tepat di hadapan kita (Pilliang, Yasraf Amir. 2008: 280). Berdasarkan pemaparan di atas dapat menjelaskan bahwa teori new media merupakan sudut pandang dalam memahami proses interaktif antara manusia dengan teknologi dan manusia dengan manusia. New media adalah teknologi yang berbasis komputer (contohnya jaringan internet) yang membawa manusia pada era digitalisasi yang serba instan, otomatis, praktis dan bersifat real time. Selain itu, new media juga telah membawa manusia masuk ke dalam realitas
20
virtual, yakni suatu keadaan yang diyakini bahwa apa yang dilihat dan dirasakan nampak nyata. Sehingga secara harfiah mendorong manusia melakukan aktivitas kesehariannya melalui new media.
Pendekatan Convergence Theory Menurut Rogers dan Kincaid (1981) (dalam Figueroa, Maria Elena. 2002: 10). Convergence Theory menggambarkan komunikasi sebagai proses horizontal antara dua orang atau lebih dalam sebuah social networks. Model ini menggambarkan komunikasi dianggap sebagai proses yang berkesinambungan, dimana ada sebuah pertukaran informasi yang saling menguntungkan diantara partisipasi komunikasi dalam upaya mencapai sebuah mutual understanding. Oleh karena itu, jaringan komunikasi dapat dilihat dari interkoneksi antar individu yang dihubungkan oleh pola pertukaran informasi (lihat bagan 1.1).
Bagan 1.1: Komponen dasar dalam Convergence Model of Communication Sumber: Rogers dan Kincaid. 1981 (dalam Figueroa, Maria Elena. 2002: 10)
Diagram 1.1 menunjukkan bahwa (1) informasi dipertukarkan dari satu orang ke orang lain, bukan hanya bersifat satu arah melainkan juga dua arah
21
maupun banyak arah. (2) model ini menekankan pentingnya persepsi dan partisipasi, yang digambarkan lewat dialog dan percakapan kultural lainnya. (3) Model ini menggambarkan proses yang horizontal antar partisipasi komunikasi yang ditunjukkan dengan “information sharing’’ (4) model ini bisa berulang secara kontinyu, cyclical dimana partisipan bisa bergantian dalam berbagi informasi hingga tercipta mutual understanding untuk melakukan sebuah partisipasi kolektif aktor. Berikut pejelasannya: Pendekatan Convergence Theory untuk Terciptanya Collective Group Buying: 1 Aktor/ Konsumen Mbakdiskon
2 - Facebook - Twitter - Sms
3
4
Peer Group/ Kelompok Teman Sebaya
Collective Group Buying
Bagan 1.2: Alur Informasi Mbakdiskon melalui Pendekatan Convergence Theory Sumber: Analisis Data Primer Keterangan: Bagan Nomer 1 : Bagan Nomer 2 : Bagan Nomer 3 : Bagan Nomer 4 :
Sumber informasi berasal dari konsumen mbakdiskon Fokus Analisis teori konvergensi Penerima informasi dari konsumen mbakdiskon Terciptanya collective group buying : Alur informasi maju : Alur informasi umpan balik
Berdasarkan pemaparan tersebut penjelasan tentang kovergensi sesuai dengan pemikiran Jenkins, yakni penggabungan konten melalui beberapa paltform media yang mengakibatkan perubahan perilaku bermedia dari para audiens Jenkins, Herry .2006: 2). Dimana pada bagan 1.2 dapat kita lihat bahwa alur informasi disalurkan dan dipertukarkan pada media baru (facebook, twitter dan sms), dengan ini secara implisit menegaskan bahwa adanya penggabungan
22
platform media (seperti facebook, twitter dan sms) yang mengakibatkan perubahan perilaku bermedia dari kelompok teman sebaya. Perubahan perilaku bermedia ini ditunjukkan dengan adanya partisipasi kolektif aktor dalam menyebarkan informasi kepada kelompok teman sebayanya melalui facebook, twitter, dan sms, yang menggiring mereka ke website mbakdiskon untuk melakukan interaksi. Dan melalui interaksi dalam media baru akan menumbuhkan mutual understanding dan mutual agreetment dalam upaya mencapai collective group buying. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fokus analisis dari pendekatan konvergensi oleh Rogers dan Kincaind (1981) terhadap proses terwujudnya collective group buying terletak pada media baru, seperti facebook, twitter dan sms.
2. Anak Muda sebagai Agensi Youth Culture Budaya
anak muda dan perkotaan (youth culture and urban) adalah
budaya yang dinikmati untuk bersenang-senang diantara teman sebaya, dengan menekankan pada penampilan dan gaya, di kalangan remaja atau kaum muda perkotaan (Nur, Izumi Diana. 2003:10-11). Budaya anak muda erat kaitannya dengan trend. Trend menurut New Oxford English Dictionary (2001), adalah A general direction in which something is developing changing’. Artinya suatu arah yang umum dimana sesuatu berkembang atau berubah. Trend di populerkan atau diperkenalkan oleh trendsetter, yaitu orang- orang yang tampil di publik seperti penyanyi, artis, presenter, model, dan sales girl.
23
Ciri-ciri umum budaya anak muda menurut Penguin Dictionary of Sociology edisi 2000 dalam Nur (2003) : a. Budaya bersenang-senang b. Hubungan lebih ditekankan pada hubungan teman sebaya daripada keluarga c. Kelompok kaum muda yang tertarik kepada gaya, seperti pemilihan pakaian yang berbeda, musik, bahasa pergaulan, dan penampilan diri. Ciri-ciri budaya anak muda tersebut juga tercermin dalam penggunaan media baru untuk melakukan shopping online. Dimana anak muda merupakan pelopor teknologi baru serta pengguna internet terbesar di Indonesia, dengan presentase sebesar 64% dalam kategori usia 15-29 tahun (Kompas, 27 Maret 2009) yang secara harfiah akan berpotensi melakukan shopping online dan menggunakan media jejaring sosial untuk menyebarkan informasi tentang suatu produk tertentu dari mulut ke mulut (word of mouth). Dalam kaitannya hal ini belanja online diartikan sebagai suatu aktivitas bersenang-senang yang banyak digandrungi oleh anak muda, karena terkait dengan penggunaan internet serta teknologi pendukungnya, seperti gadget yang banyak digandrungi oleh kalangan anak muda masa kini. Di samping itu semakin mudahnya akses anak muda dalam menggunakan internet berpotensi untuk menumbuhkan kebiasaan melakukan shopping online. Dimana shopping online dinilai lebih praktis, efektif serta bentuk simplesitas kehidupan dalam berbelanja. Selain itu sekarang untuk mengakses internet dapat dilakukan dimana dan kapan saja, dengan bantuan wifi yang langsung bisa terkoneksi pada komputer serta smartphone. Dengan demikian dapat dikatakan
24
bahwa shopping online merupakan suatu budaya baru anak muda dalam mengkonsumsi teknologi melalui media baru. Beberapa Studi Pemuda sebagai Agensi Youth Culture antara lain sebagai berikut: a. Anak Muda dengan Media Baru Media baru merupakan media interaktif dan media digital yang mendorong keterlibatan partisipasi aktor baik dalam realitas virtual maupun realitas sosial, atau dapat disebut sebagai media konvergen. Dimana semua orang dapat terhubung dan berinteraksi melalui alat perantara yang disebut dengan media baru, seperti handphone, komputer yang terkoneksi jaringan internet dan game online. Sedangkan media digital merupakan alat yang berbentuk digital untuk membantu aktivitas manusia menjadi lebih praktis dan efisien, seperti bertukar surat melalui email, mencari suatu wilayah melalui gps, membeli tiket persawat melalui i-tiket, mencari pekerjaan melalui situs linkedin, mengirim dokumen melalui elektronik dokumen, membaca buku melalui e-book dan sebagainya. Semua contoh tersebut merupakan media digital yang berbasis data dalam bentuk non fisik (Bit). Bit merupakan esensi pesan media baru yang dapat berpindah dari satu media ke media lain serta dapat didistribusikan dengan mudah tanpa dibatas waktu dan ruang (Adiputra, Wisnu Martha. 2012: xiii). Media baru yang dapat dikatakan sebagai media konvergen, karena sifatnya yang dinamis dan kontinyu dalam pendistribusian informasi contohnya jejaring sosial (blog, facebook, twitter dan sebagainya). Dimana jejaring sosial tersebut penyampaian pesan informasinya secara linear maupun sirkulasi, baik
25
arus informasinya berjalan satu arah, dua arah ataupun banyak arah. Dengan demikian akan terjalin hubungan relasi antar aktor yang intens dalam proses penyaluran informasi tersebut. Hubungan relasi antar aktor ini secara harfiah akan menimbulkan partisipasi aktor baik secara kolektif maupun kelompok. Hubungan relasi ini terjalin atas dasar persamaan nasib, ide, pengalaman, hobi dan sebagainya yang bertujuan untuk melakukan suatu motif tertentu ataupun mencapai tujuan bersama dalam bentuk gerakan sosial yang cenderung mengarah pada aksi kolektif, membentuk komunitas virtual baik terorganisir yang terikat maupun berbentuk kelompok sosial (tidak teorganisir maupun terikat) yang mengarah pada perilaku kolektif untuk hal kemasyarakatan ataupun wadah bertukar informasi tentang hobi yang sama (contohnya berbelanja, melukis, memiliki kemampuan memainkan suatu alat musik dan sebagainya). Kelompok usia yang paling terpengaruh dengan kemajuan media baru adalah anak muda yang berusia antara 16-30 tahun (Undang-Undang Kepemudaan tahun 2009). Dimana sejak lahir kehidupannya telah erat dengan media baru. Di Indonesia tiga bentuk media baru, yang dimulai oleh internet, hadir di tengah masyarakat sekitar pertengahan dekade 1990-an, handphone bisa diakses sekitar tahun 2000-an, dan game menjadi lebih mudah diakses dan online pada pertengahan tahun 2000-an. Berdasarkan pemaparan tersebut anak muda dapat dikategorikan
sebagai
digital
native.
Menurut
Prensky (2001)
(dalam
Simanjuntak, Melling. 2012) digital native (pribumi digital) adalah orang yang lahir ke dunia yang sudah sarat dengan teknologi digital, sehingga sangat fasih menggunakan teknologi tersebut. Hal ini berbeda dengan kelompok usia dewasa,
26
katakanlah tiga puluh tahun ke atas, yang tidak sepenuhnya berada dalam kondisi dekat dengan media baru, yang dikategorikan Prensky (2001) sebagai digital immigrant. Menurut Prensky (2001) (dalam Simajuntak, Meilling. 2012) digital immigrants (pendatang digital) adalah orang yang lahir ke dunia yang masih analog tetapi kemudian tumbuh dalam lingkungan yang digital ibarat imigran yang harus menyesuaikan diri dengan budaya berbeda di negara barunya, pendatang digital harus menyesuaikan diri dengan budaya berbeda para pribumi digital. Kategorisasian Prensky (2001) tentang digital native dan digital immigrants tersebut berpengaruh terhadap presentase usia pengguna internet, yang dibuktikan dari hasil riset yang dilakukan oleh Yahoo dan TNS pada tahun 2009, dengan mengambil sampel 2000 responden dari 8 kota besar di Indonesia, menunjukkan bahwa kelompok usia anak muda 15-29 tahun merupakan pengguna internet terbesar di Indonesia dengan presentase 64%. Sedangkan usia 30-34 tahun sebesar 16% dan usia 35-39 tahun sebesar 13% (Kompas, 27 Maret 2009). Hasil riset tersebut juga mengklaim bahwa 47% mengunjungi situs berita online dan 58% mengunjungi jejaring sosial. Dengan demikian hasil riset tersebut merepresentasikan bahwa pengguna internet di Indonesia didominasi oleh kalangan anak muda usia 15-29 tahun dan antusias tertinggi anak muda menggunakan internet untuk mengunjungi situs jejaring sosial tinggi. Jejaring sosial
merupakan situs pertemanan yang berfungsi sebagai
pengembangan relasi sosial antar pengguna lainnya, baik berbagi dan bertukar informasi, ide, pengalaman maupun melibatkan diri untuk berpartisipasi
27
melakukan suatu motif maupun tujuan tertentu, seperti gerakan sosial, collective group buying, membentuk komunitas virtual dan sebagainya. Contoh konkretnya adalah dukung poin untuk prita dan kasus bibit-candra yang dilakukan anak muda melalui media jejaring sosial mampu menggerakan massa untuk mendukung prita dan bibit-candra meringankan dari sangsi hukum yang diterimanya. Selain itu melalui facebook sekelompok anak muda Mesir dapat melakukan gerakan sosial dalam menumbangkan kepemimpinan Presiden Husni Mubarak selama 30 tahun dan menjadikan negara Mesir menjadi negara demokratis. Sedangkan dalam penelitian tentang collective group buying di mbakdiskon pada kalangan anak muda, peneliti menemukan bahwa anak muda sebagai generasi internet (digital native) mampu membengun relasi sosial melalui jejaring sosial, guna mendorong partisipasi orang (aktor) dalam membeli produk yang dilakukan secara bersama-sama (berkelompok). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gerakan sosial dan collective group buying yang dilakukan anak muda melalui media baru, menunjukan anak muda berada pada dimensi efektif yang memiliki kekuatan menembus batas-batas digital di dunia maya guna melakukan suatu tindakan serta perubahan di dunia nyata.
b. Anak Muda dengan Belanja Online Kemudahan
dalam
mengakses
internet
yang
diimbangi
dengan
berkembangnya kemajuan teknologi semakin mempermudahkan aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam aktivitasnya berbelanja. Di samping
28
itu dengan banyak bermunculan bisnis e-commerce di dunia maya menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengguna internet untuk menyalurkan hobinya berbelanja secara online ataupun mencari barang yang dibutuhkan. Dimana berbelanja secara online ini dinilai sebagian besar orang adalah aktivitas yang menyenanglan, karena semua dikerjakan secara otomatis, efisien dan memiliki banyak opsi. Berbelanja secara online dapat dikatakan otomatis dan efisien, karena semua dikerjakan melalui media elektronik dan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencari barang yang dibutuhkan. Otomatisasi dan efesiensi yang ditawarkan dalam cara berbelanja online secara harfiah mendorong anak muda untuk melakukan shopping online. Karakter anak muda yang dinamis, mudah terpengaruh, masyarakat yang latah terhadap sesuatu hal yang baru dan selalu up to date terhadap kemajuan teknologi, menjadikannya sebagai target pasar potensial dalam dunia bisnis online. Di samping itu anak muda juga merupakan pengguna internet terbesar di Indonesia serta merupakan mayoritas penduduk Indonesia dengan presentase 40% dari jumlah populasi penduduk di Indonesia pada tahun 2012 sebanyak 237.640.000 jiwa. (sumber: kementerian tenaga kerja dan transmigrasi RI). Dalam kaitannya hal tersebut anak muda dengan shopping online saling berkaitan. Hal ini dapat dilihat dari data pengguna mbakdiskon yang didominasi oleh kalangan anak muda usia 18-24 tahun, dengan presentase sebesar 51% perempuan dan 13% laki-laki. Namun disisi lain anak muda juga merupakan pelopor shopping online, yang dapat dilihat mulai dari lingkungan sekitar yang
29
mana banyak teman kita yang seumuran berusia 20 tahunan adalah para pelaku bisnis online shop di jejaring sosial sekaligus penggunanya serta bisnis mbakdiskon.com yang dikelola oleh sekelompok anak muda usia 20-27 tahun.
c. Anak Muda dengan Penggunaan Teknologi Smartphone Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pada abad 21 saat ini sangat cepat dan mudah terjadi pada masyarakat global. Hadirnya berbagai konten media baru yang tersedia pada perangkat teknologi, seperti gadget untuk mengakses internet menjadi lifestyle dan kebutuhan tersendiri bagi kehidupan masyarakat modern. Ragam konten media baru yang dihadirkan pada gadget dan akses internet yang semakin mudah serta murah memanjakan penggunanya dan menjadikannya sebagai suatu lifestyle dan kebutuhan. Pilihan brand dan smartphone terbaru menjadi penentu kelas ataupun mobilitas sosial masyarakat. Adanya anggapan bahwa dengan memakai produk yang memiliki nilai gengsi dan prestise akan lebih dipandang oleh masyarakat menjadi sebuah fakta sosial. Implikasi sosial atas konsumsi teknologi ini banyak berimbas pada kalangan anak muda. Seiring berjalannya waktu pengguna internet semakin meningkat dari tahun ke tahun dan masih didominasi oleh kalangan anak muda, mengingat waktu luang anak muda lebih banyak dari pada para pekerja (dewasa). Di samping itu kehadiran smartphone dengan tersedianya beragam konten media baru yang memfasilitasi berlangsungnya proses komunikasi personal maupun massif serta kemudahan untuk mengakses internet, menjadi pendorong anak muda lebih sering
30
menggunakan waktunya untuk mengakses internet secara mobile. Waktu yang dihabiskan anak muda dalam mengakses internet pun meningkat dari tahun ke tahun, didasarkan survey TNS dan Yahoo pada tahun 2011-2012 menunjukkan bahwa
waktu yang dihabiskan untuk mengakses
internet melalui ponsel peningkat dari 8 jam per minggu di tahun 2011 menjadi 10 jam per minggu di tahun 2012. Hal ini sebagian disebabkan oleh peningkatan signifikan pemilikan smartphone sebesar 20%, dimana pengguna mulai menghabiskan waktu dalam kegiatan dengan keterlibatan tinggi seperti menjelajah internet, mencari konten serta informasi melalui ponsel mereka. (Iskandar. 2012. http://www.inspirasi.com/internet-mulai-menyusul-televisi/
diakses
10
April
2013). Di samping itu bentuk smartphone yang multifungsi dan ringan untuk dibawa mejadi magnet bagi masyarakat modern, terutama pada kalangan anak muda. Konkretnya sekarang hampir anak muda memiliki handphone yang selalu dibawanya kemana saja dan hampir kita ditemui di semua tempat anak muda sedang sibuk dengan handphonenya, baik itu hanya sekerdar berfoto ataupun berinteraksi virtual melalui konten media baru yang tersedia pada handphone tersebut. Dengan ini secara implisit menegaskan bahwa smartphone adalah tren, gaya hidup, bahkan kebutuhan bagi kalangan anak muda. Dimana anak muda tidak bisa terlepas dari smartphone yang menjadi kebutuhan sosial mereka untuk berinteraksi melalui media baru.
31
3. Budaya Konsumerisme Budaya konsumerisme adalah budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi secara terus-menerus lewat penggunaan citra, tanda dan makna simbolik dalam proses konsumsi (Piliang, Yasraf Amir. 2004: 296). Budaya konsumerisme ini diidentifikasikan melalui budaya belanja yang proses perubahan dan perkembangbiakannya didorong oleh logika hasrat dan keinginan ketimbang logika kebutuhan (Piliang, Yasraf Amir. 2004: 296).
Dimana
kapitalisme telah melegitimasi hasrat sebagai suatu kebutuhan dengan cara menciptakan kebutuhan yang bukan esensial, melainkan aritifisial. Dalam konteks ini kapitalisme selalu menciptakna perasaan kurang atau perasaan tidak sempurna pada diri setiap orang melalui sistem tanda, citra dan makna simbolik, yang mendorong mereka untuk terus mengonsumsi semata agar proses produksi kapitalisme dapat terus berlanjut. Sebagaimana dijelaskan Baudrillard di dalam For a Critique of the Political Economy of the Sign, “konsumsi di masa kini dilukiskan sebagai sebuah panggung yang di atasnya komoditi dengan seketika diproduksi sebagai tanda, nilai tanda dan yang di atasnya tanda-tanda (budaya) diproduksi sebagai komoditi” (Baudrillard dalam Yasraf Amir Piliang. 2004: 253). Dimana konsumsi dikonstruksikan secara sosial oleh kapitalisme melalui penggunaan tanda, citra dan makna simbolik sebagai komoditi. Komoditi adalah wacana pengendalian selera, gaya, gaya hidup, tingkah laku, aspirasi, serta imajinasi-imajinasi kolektif masyarakat secara luas (massa) oleh para elite (kapitalis) lewat berbagai tanda dan citra yang diciptakan, yang tidak berkaitan
32
dengan subtansi sebuah objek yang ditawarkan (Piliang, Yasraf Amir. 2004: 257). Tanda adalah segala sesuatu yang bersifat konkret atau materi (signifier), yang bisa ditangkap secara perseptual dan mempunyai makna tertentu bagi komunikasi bahasa berdasarkan konversi atau kode tertentu. Sementara citra diartikan sebagai gambaran mental dari sesuatu yang sebenarnya tidak ada (Piliang, Yasraf Amir. 2004: 255). Gambaran mental ini digambarkan oleh Saussure sebagai penanda, yakni konsep abstrak yang menjadi bagian tak terpisahkan dari penanda (signifier) yang bersifat konkret, tetapi konsep abstrak tersebut mengacu pada sesuatu yang ada di dalam realitas sebagai referensinya (Piliang, Yasraf Amir. 2004: 255-256). Misalnya tanda pada kupon diskon daily deals akan memunculkan citra anak muda yang gaul dan melek teknologi, tatkala tanda tersebut terkandung makna simbolik yang dibentuk oleh citra. Anologinya bahwa kupon daily deals akan menimbulkan nilai prestise guna menunjukkan posisi anak muda dalam relasi kelompok sosialnya (peer group), mengingat kupon diskon daily deals merupakan benda informasi yang tidak semua orang mengetahuinya. Di samping itu gambaran mental tersebut mendorong anak muda berperilaku konformis untuk ingin diterima dan diakui oleh peergroupnya, mengingat anak muda sarat dengan penggunaan jejaring sosial yang mana info mbakdiskon cepat menyebar dalam kelompok sosialnya. Dan untuk mendapatkan pengakuan dari peergroupnya secara harfiah anak muda akan mengaktualisasikan dirinya untuk terlibat membeli voucher mbakdiskon secara collective group buying. Dengan demikian tanda pada sebuah objek dicitrakan guna menciptakan
33
suatu perbedaan identitas, kelas dan status sosial antara satu orang dengan orang lain serta tindakan konformis guna menciptakan tren baru dalam media baru. Dimana konsumer dikonstruksikan secara sosial untuk gandrung membeli citra ketimbang produk atau membeli produk disebabkan image produk yang disampaikan lewat berbagai media komunikasi pemasaran (Pilliang, Yasraf Amir. 2004: 258). Misalnya iklan pada commerce yang menampilkan visualisasi gambar dan teks tulisan yang menjelaskan sekelompok anak muda sedang makan dan nongkrong di kafe. Dengan demikian iklan commerce tersebut secara tidak langsung merepresentasikan bahwa image anak muda dengan makan dan nongkrong bersama teman-temanya di kafe yang akan mendorong anak muda untuk makan di kafe tersebut Iklan adalah sistem tontonan yang utama di dalam sistem produksikonsumsi, yang merumuskan citra sebuah produk dan hubungan sosial di baliknya (status, prestise, kelas sosial) (Piliang, Yasraf Amir. 2004: 260). Tontonan yang dimaksudkan disini, sebagaimana dikemukakan oleh Guy Debord di dalam Society of Spectacle “bukanlah kumpulan citra-citra, melainkan relasi sosial di antara orang-orang yang diperantarai oleh citra-citra (Pilliang, Yasraf Amir. 2004: 259). Dimana setiap orang memperlihatkan realitas sosial dan relasi sosialnya lewat berbagai media tontonan (objek, fesyen). Di samping itu Iklan juga menciptakan ilusi-ilusi (tentang sensualitas, kehidupan selebriti, gaya hidup eksklusif) di balik sebuah komoditi, yang menggiring masyarakat konsumer sebagai konsumer ilusi. Konsumer ilusi adalah konsumer yang membeli ilusi
34
ketimbang barang, yang mengonsumsi relasi sosial (status, prestise) ketimbang fungsi produk (Pilliang, Yasraf Amir. 2004: 259). Konsumsi merupakan ekspresi dari dorongan-dorongan hasrat diri manusia yang tanpa batas, serta bersifat irasional (arus libido-ketaksadaran) (Pilliang, Yasraf Amir. 2004: 262). Di mana konsumer dikondisikan untuk menginginkan sesuatu yang secara esensial tidak dibutuhkannya. Dalam hal ini J. F. Lyotard, di dalam Libidinal Economy sebagai ekonomi libido, yakni sistem ekonomi yang menjadikan bentuk potensi energi libido dan hasrat sebagai komoditi. Setiap potensi dorongan hasrat, setiap energi libido harus dijadikan alat tukar yang menghasilkan nilai keuntungan (Lyotard dalam Yasraf Amir Piliang. 2004: 264). Misalnya dengan adanya penawaran diskon produk dalam periode tertentu akan mendorong konsumer memiliki hasrat untuk segera membeli (belanja) produk diskon tersebut agar tidak ketinggalan kesempatan untuk mendapatkan potongan harga dalam membelinya (akan mendapatkan rasa kepuasan tersendiri). Hal ini dianologikan bahwa diskon dijadikan sebagai alat tukar kapitalisme guna menciptakan energi libido (ketaksadaran) pada konsumer untuk segera mungkin membli produk diskon tersebut. Di samping itu adanya kupon diskon sebagai alat tukar suatu produk merupakan suatu kode tanda-tanda untuk membedakan antara transaksi pembayarannya dengan produk yang akan dibeli, manakala orang yang menukarkan produk dengan kupon diskon hanya bisa memilih makanan yang sudah ditentukan dari pihak produsen dan sistem pembayarannya melalui elektronik (transfer), sedangkan orang yang membeli produk tidak menggunakan
35
kupon diskon dapat memilih makanan menurut seleranya dan transaksi pembayarannya dapat dilakukan secara langsung. Dengan demikian kode tanda dalam kupon diskon merupakan pertukaran perbedaan yang mengkokoh persatuan antara kelompok sosial yang satu dengan yang lainnya.
4. Leisure Class Dalam masyarakat konsumer pada saat ini terutama bagi anak muda, waktu merupakan bagian yang sangat penting. Bagi anak muda waktu itu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk belajar dan menimba ilmu pengetahuan dan dibalik semua itu dalam kenyataanya adanya waktu kosong atau waktu luang disela-sela kesibukannya untuk belajar, ia menggunakan waktu tersebut untuk melakukan berbagai bentuk aktivitas gaya hidup dengan cara membeli kupon diskon setiap hari, yang sesuai dengan uang sakunya (harga yang terjangkau) mengingat anak muda masih bergantung kepada orang tuanya. Aktivitas gaya hidup yang ditawarkan dalam produk daily deals antara lain kuliner, spa/salon kecantikan, fotografi, tiket konser. Dimana bentuk gaya hidup tersebut membuang waktu mengingat aktivitas gaya hidup tersebut hanyalah menawarkan kesenangan semata sebagai kelas penikmat. Dalam situasi seperti ini akan tumbuh dan berkembangnya suatu lapisan masyarakat yang disebut Thorstein Veblen sebagai leisure class. Leisure class tumbuh dan berkembangnya melaui industri waktu luang (tempat hiburan), seperti dunia konser, bioskop, tempat kuliner, fotografi, spa/salon kecantikan, tempat wisata dan sebagainya. Leisure class ini akan
36
menciptakan suatu budaya yang ditandai oleh nafsu dan pola konsumsi yang mencolok (Damsar. 2011: 124). Konsumsi yang mencolok (conspicuous consumption) adalah pengeluaran yang sia-sia untuk kesenangan semata dan hasrat untuk menunjukkan suatu posisi atau status sosial yang lebih terpandang dibandingkan dengan kalangan-kalangan lain (Damsar. 2011: 124). Dengan ini kaum leisure class hidup dalam aliran hedonisme yang lebih mengedepankan pada kesenangan dan kenikmatan semata dan cenderung untuk melakukan pemborosan (perilaku konsumtif). Manakala semua itu, menurut Veblen, merupakan bahagian dari roh animalistik dan memperkuat hasrat barbarian untuk mendominasi (Damsar. 2011: 124).
G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni
sebuah
metode
yang
disampaikan
dalam
bentuk
narasi
untuk
menggambarkan dan menjelaskan secara detail dan jelas pada fenomena yang akan diteliti. Dalam rangka kegiatan penelitian yang lebih terfokus, maka peneliti menggunakan pendekatan deskriptif. Menurut Best 1982 (dalam Sukardi. 2004) Deskriptif adalah metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek. Penelitian diskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruhnya
37
terhadap suatu fenomena (Whitney, 1960). Dalam konteks penelitian ini peneliti hanya menjabarkan secara alamiah gejala dan fenomena objek penelitian serta mendeskripsikannya sesuai dengan yang terjadi di lapangan. Menurut Furchan (2004) penelitian diskriptif memiliki beberapa karakteristik, yaitu: a. Menggambarkan fenomena tertentu sesuai dengan keadaan lapangan. b. Menghimpun data, menyusun, menjabarkan dan menganalisisnya. Pemilihan metode penelitian diskriptif ini didasarkan pada tujuan penelitian, yakni untuk mendiskripsikan perilaku anak muda. Perilaku anak muda yang dimaksudkan disini adalah perilaku anak muda Yogyakarta yang memanfaatkan media baru untuk menyalurkan kegemarannya dalam berbelanja secara online yang secara harfiah akan membantu proses terwujudnya collective group buying (pembelian kupon diskon secara berkelompok). Dengan demikian metode penelitian diskriptif relevan dan dianggap mampu untuk menjawab permasalahan yang timbul pada penelitian ini karena mampu menggambarkan keseluruhan penelitian ini. Cara kerja metode penelitian diskrisptif dalam konteks penelitian ini, Pertama, peneliti mengumpulkan data-data yang diperoleh dari anak muda Yogyakarta selaku informan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan anak muda memiliki karakteristik yang dinamis yang mampu menembus batas-batas digital dalam melakukan collective group buying (pembelian kupon diskon secara berkelompok) di mbakdiskon.com Yogyakarta. Namun di sisi lain karakteristik anak muda tersebut menimbulkan ekses negatif, seperti konsumerisme dan
38
hedonisme. Kedua, peneliti akan menyusun dan menganalisis data yang sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh di lapangan.
2. Lokus Penelitian yang dilakukan pada lokasi riset di Mbakdiskon Yogyakarta merupakan lokus cakupan pada lingkupan web yang diteliti. Alasan peneliti memilih lokasi riset di mbakdiskon.com Yogyakarta antara lain sebagai berikut: a. Mbakdiskon.com Yogyakarta merupakan situs daily deal (situs yang menawarkan kupon diskon setiap harinya dari berbagai merchant lokal) pertama di Yogyakarta yang dikelola oleh sekelompok anak muda, sehingga lebih cukup dikenal oleh anak muda Yogyakarta, terutama pada pengguna media sosial. Hal ini dikarenakan promosi mbakdiskon melalui media sosial pada ranah Yogyakarta. b. Mbakdiskon.com merupakan usaha rintisan dari sekelompok anak muda yang semua staffnya adalah anak muda. Di samping itu mbakdiskon menggunakan maupun mempopularkan konsep pembelian kupon diskon secara berkelompok (collective group buying) dalam usaha bisnisnya, baik menjual produk paketan dan memberikan minimal pembelian untuk mengaktifkan penawaran produk yang didiskon. b. Mbakdiskon.com Yogyakarta seringkali update status tentang produk yang didiskon di facebook dan twitter dengan menggunakan bahasa dan sapaan yang akrab. Sehingga menimbulkan image bahwa mbakdiskon adalah teman berbelanja.
Dimana
konsumen
beranggapan
bahwa
mbakdiskon.com
39
merupakan temannya sendiri. Dengan demikian mbakdiskon.com akan lebih dikenal oleh anak muda Yogyakarta yang lebih menekankan pada teman sebaya. c. Mbakdiskon.com Yogyakarta menggunakan gambar produk dan suasana tempat merchant yang tertera pada iklan. Sehingga anak muda akan tertarik untuk membelinya, dimana anak muda sudah diberikan imajinasi (gambaran) tentang produk yang dijual oleh mbakdiskon melalui teks tulisan dan gambar tentang produk dan lokasi tersebut. d. Mbakdiskon.com Yogyakarta menyediakan tempat untuk sistem pembayaran secara offline bekerjasama dengan beberapa radio, warnet yang terdapat pada beberapa titik pusat Yogyakarta. Dengan demikian akan mempermudahkan calon pembeli voucher mbakdiskon.com Yogyakarta dalam bertransaksi.
3. Informan Penelitian Informan yang akan dipilih dalam penelitian ini adalah Anak Muda pengguna mbakdiskon di Yogyakarta. Pemilihan terhadap informan dilakukan secara purposive dengan teknik snowball (bola salju), yakni peneliti akan meminta
seseorang teman
yang merupakan
pengguna
mbakdiskon.com
merekomendasikan beberapa temannya untuk dijadikan informan yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang diinginkan peneliti. Kriteria-kriteria tersebut antara lain adalah: a.
Anak muda yang berusia 16-30 tahun
b.
Anak Muda yang tinggal di Yogyakarta
40
c.
Berstatus Mahasiswa/ Mahasiswi Perguruan Tinggi di Yogyakarta
d.
Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
e.
Pengguna/
konsumen
mbakdiskon.com
di
Yogyakarta
yang pernah
melakukan transaksi Jumlah informan pada penelitian ini sebanyak 9 orang, dengan jumlah perempuan sebanyak 8 orang dan 1 orang laki-laki. Penentuan jumlah penelitian ini dikarenakan data yang dibutuhkan sudah mencukupi dan agar tidak berlarutlarut tanpa ujungnya, maka pencarian informan pun dihentikan mengingat teknik pemilahan informan yang digunakan adalah snowball. Sedangkan perbedaan jumlah informan antara laki-laki dengan perempuan didasarkan data dari mbakdiskon.com
menunjukkan
bahwa
user/konsumen
mbakdiskon.com
didominasi oleh perempuan dengan presentase 78% perempuan dan 22% laki-laki. Dari jumlah informan sebanyak 9 orang ini kemudian dikategorisasikan dari: Pertama, kemampuan finansial anak muda dengan melihat uang sakunya serta uang yang dikerluakan untuk belanja di mbakdiskon.com. Kedua, selera dengan melihat jenis produk yang dibeli di mbakdiskon.com. Ketiga, intensitas menggunakan internet. Keempat, interaktivitas anak muda dengan teman sepergaulannya (peergroup) baik di dunia nyata maupun maya. Kelima, sistem word of mouth yang dipakai untuk menyebarkan informasi dan mengajak membeli produk deal di mbakdiskon. Kategorisasian ini bertujuan agar bisa memetakan dari sudut pandang yang berbeda-beda dan mengenarilasasikan. Dengan demikian pengkategorisasian ini menjadi dasar penilaian latar belakang informan penelitian.
41
4. Teknik Pengumpulan Data a. Online Direct Observation Observasi langsung melalui media online (online direct observation) merupakan aktivitas observasi dimana observer secara langsung mengamati perilaku yang terobservasi (observee). Dengan kata lain obeservasi langsung melalui
media
online
merupakan aktivitas
observasi
langsung dengan
memanfaatkan internet sebagai medianya (dalam Penelitian Skripsi Tania, Syaifa. 2011: 19). Observasi langsung melalui media online dipilih sebagai salah satu teknik pengumpulan data karena sifatnya yang fleksibel, serta dapat melihat secara langsung respon pengguna media online terhadap informasi produk terbaru dan penawaran diskon dari mbakdiskon.com Yogyakarta melalui facebook dan twitter. Dalam penelitian ini peneliti mengamati respon dan testimoni pengguna mbakdiskon melalui website dan akun twitter mbakdiskon Yogyakarta. Dan di sisi lain peneliti juga akan mengamati bahasa dan gambar yang digunakan pada iklan mbakdiskon.com Yogyakarta. Dengan demikian peneliti dapat memberikan gambaran tentang ketertarikan anak muda dalam berbelanja online di mbakdiskon.com dengan cara menginterpretasikan makna yang terkandung dalam iklan mbakdiskon.com tersebut. Selain itu peneliti juga dapat memberikan gambaran tentang penggunaan media baru terhadap proses terwujudnya collective group buying (pembelian kupon diskon secara berkelompok) di mbakdiskon dengan cara melihat respon dan testimoni pengguna mbakdiskon di twitter.
42
b. Wawancara Mendalam Wawancara mendalam merupakan proses memperoleh keterangan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka langsung antara pewawancara dengan informan (Sutopo, 2006: 92). Teknik pengumpulan data wawancara mendalam dipilih karena sifatnya yang fleksibel, memiliki validitas data yang lebih akurat karena informan yang diperoleh sebelumnya telah diseleksi terlebih dahulu, memungkinkan adanya respon yang tinggi dari informan, dan memungkinkan peneliti untuk memperoleh kedalaman data riset. Cara mewawancarai dalam penelitian ini, Pertama peneliti membuat pedoman wawancara (interview guide) untuk memperoleh data yang lebih terfokus dan tidak menyimpang dari tema penelitian ini. Kedua, sebelum mewawancarai, peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud-tujuan mewawancari informan. Ketiga, ketika berlangsungnya wawancara/ percakapan peneliti mencatat dan merekam dengan handphone hasil wawancara tersebut. Keempat, peneliti membuat transkrip wawancara. Pedoman wawancara ini meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi informan dalam melakukan shopping online di mbakdiskon.com Yogyakarta, pola perilaku konsumsi voucher mbakdiskon.com pada kalangan anak muda Yogyakarta dan relasi sosial anak muda terhadap proses terwujudnya collective group buying di mbakdiskon.com Yogyakarta. Di samping itu peneliti juga mewawancarai dari staff mbakdiskon, hal ini perlu karena informasi yang tidak terduga dapat diperoleh serta menjadikannya sebagai data sekunder.
43
c. Studi Dokumentasi Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan sumber-sumber berbentuk dokumen yang potensial dan berkaitan langsung dengan penelitian. Menurut Sugiyono (2008: 83), studi dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Cara mendokumentasikannya dalam penelitian ini, Pertama, peneliti mengambil/ mengcapture website dan twitter mbakdiskon yang berkaitan dengan proses terjadinya collective group buying di kalangan anak muda, misalnya iklan mbakdiskon di website maupun ketika anak muda pengguna mbakdiskon mentag-tag/ menshare link produk deal mbakdiskon kepada teman-temannya di akun media sosial pribadinya. Hal ini bertujuan untuk mendukung suatu pernyataan dari informan (anak muda pengguna mbakdiskon) dan memperkuat hasil analisis peneliti pada bab pembahasan yang ditunjukan dengan konten website serta twitter mbakdiskon.com. Kedua, peneliti akan meminta data sekunder ke mbakdiskon tentang demografi pengguna mbakdiskon berdasarkan usianya serta presentase kategori produk yang diminati pengguna mbakdiskon. Hal ini bertujuan untuk mendukung tepat atau tidaknya tema penelitian tentang anak muda, yang mana data demografi pengguna mbakdiskon ini dapat menunjukkan bahwa mayoritas pengguna mbakdiskon adalah kalangan anak muda usia 18-24 tahun. Di samping itu dokumentasi data sekunder mbakdiskon ini juga memperkuat hasil analisis peneliti pada bab pembahasan.
44
5. Analisis Data Dalam metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data diskriptif yang dianggap relevan dan dapat menjawab pertanyaan penelitian. Menurut patton, 1980 analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Teknik analisa data diskriptif kualitatif dilakukan dengan menjelaskan dan menguraikan runtuntan deskripsi data-data penelitian yang dikumpulkan melalui teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Penyajian data deskriptif ini dilakukan untuk memberikan pemahaman terhadap proses terwujudnya collective group buying pada kalangan anak muda Yogyakarta yang dilakukan oleh mbakdiskon.com dalam komunikasi pemasaran melalui media baru. Adapun langkah-langkah yang digunakan peneliti dalam analisis data penelitian ini, antara lain sebagai berikut:
a. Klasifikasi Data Data-data penelitian yang telah diperoleh dari proses observasi langsung melalui media online, wawancara mendalam dan dokumentasi selanjutnya diklasifikasikan agar mudah dipilah dan dipahami. Dalam tahapan ini, peneliti akan mengelompokkan data berdasarkan pada jenis data yang diperoleh. Lebih lanjut, peneliti mengkategorisasikan data menjadi tiga kelompok, yakni faktor-faktor yang mempengaruhi anak muda dalam melakukan shopping online di mbakdiskon.com Yogyakarta, pola perilaku konsumsi anak muda yang tercermin pada fenomena collective group buying di mbakdiskon.com
45
Yogyakarta, hubungan relasi sosial (interaktivity) antara anak muda Yogyakarta dengan teman sebaya baik melalui interaksi langsung maupun melalui facebook dan twitter. Kategorisasi data ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam memilah-milah data.
b. Deskripsi Data Setelah tahapan klasifikasi data, selanjutnya peneliti mendiskripsikan kategori-kategori yang telah dibuat sesuai dengan kenyataan di lapangan. Diskripsi data bertujuan untuk mempermudahkan peneliti dalam interpretasi data, sehingga data-data dapat diuraikan secara rinci dan jelas.
c. Interpretasi data Interpretasi data dilakukan dengan cara memaknai ulang informasi dan gambaran yang diperoleh di lapangan sesuai dengan pemahaman peneliti sesuai dengan tema penelitian dan teori yang relevan. Apabila interpretasi telah dilakukan kemudian peneliti melakukan triagulasi data untuk menguji validitas data, untuk menghindari kesalahan dalam penelitian. Tahapan ini bertujuan untuk memperoleh perbandingan data yang diperoleh dan menguji kesesuaian antara hasil observasi, wawancara dan dokumentasi. Dengan demikian diharapakan agar tidak terjadi bias antara data yang satu dengan yang lain.
46
d. Analisis Komprehensif Analisis Komprehensif bertujuan untuk menggabungkan data yang telah diperoleh kemudian menghubungkannya agar seluruh data dapat dijelaskan dengan rinci dan mudah dipahami. Dengan demikian dapat memberikan analisis secara menyeluruh terhadap semua data-data penelitian hasil wawancara, observasi langsung melalui media online serta, wawancara, dan dokumentasi yang sudah diklasifikasikan dan diintepretasikan terlebih dahulu. e. Penyajian Data Penyajian data yang akan memaparkan hasil temuan kemudian dijelaskan dalam pembahasan sesuai dengan tema penelitian. Dalam tahapan ini, seluruh data yang diperoleh melalui teknik observasi, wawancara, dan studi dokumentasi akan disajikan secara sistematis. Peneliti akan menyusun data-data tersebut untuk menggambarkan pola hubungan antara satu data dengan data yang lain
47