Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
ZINC-METHIONIN UNTUK MENINGKATKAN DEGRADASI SERAT PAKAN (Zinc-Methionine Increases Fiber Degradation) BUDI HARYANTO, SUPRIYATI dan SURAYAH ASKAR Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT The fibrous fractions which is consisted of cellulose and hemicellulose play an important role in providing energy for the ruminants through the microbial fermentative processes in the rumen with concomitant production of volatile fatty acids. The trace element zinc is important as a co-factor in the DNA proliferase while the methionine is required as part of the transfer RNA. A series of experiments on the use zinc-methionine in the diet which have been carried out showed positive effects on the animal productivity. Therefore, it is necessary that continuous improvement of feed additive preparation, especially those related to the trace element zinc and amino acid methionine, be developed to find out the optimal level of technology application. The zinc-methionine was prepared as previously with a slight modification involving the use of carrier into the zinc-methionine solution. The carrier was tapioca. The zinc-methionine then was used in an in vitro digestion trial at 3 different level of application, i.e., 30, 40 and 50 ppm of the substrate in the media of incubation. After incubation, the residue was analyzed for the neutral detergent fiber and acid detergent fiber contents. Hydrogen ion concentration (pH) and concentration of ammonia in the media of incubation were also determined. Volatile fatty acids were analyzed using Gas Chromatography. Data were analyzed statistically in a factorial experimental design. The reults indicated that neutral detergent fiber and acid detergent fiber digestion were greater when 40 ppm zinc-methionine was applied as compared to application at 30 or 50 ppm. The effect of time of incubation on the digestion of fiber was significantly different. Concentration of volatile fatty acids (acetate, propionate and butyrate) were not significantly different with the increasing levels of zincmethionine supplementation from 30 to 50 ppm into the media of incubation. It was concluded that zincmethionine can be used at 40 ppm of the substrate to induce the digestion of fiber components of the substrate.
Key words: Zinc-methionine, fiber, digestion, in vitro ABSTRAK Komponen serat pakan yang terdiri atas selulosa dan hemiselulosa merupakan sumber energi bagi ternak ruminansia melalui proses fermentatif mikrobial di dalam rumen yang menghasilkan asam-asam lemak mudah terbang (volatile fatty acids). Serangkaian penelitian pemanfaatan mineral zinc yang telah dilakukan menunjukkan adanya pengaruh prositif terhadap produktivitas ternak. Modifikasi proses pembuatan campuran zinc dengan methionin perlu dilakukan dalam upaya mendapatkan bahan pakan aditif yang tepat. Hasil pembuatan campuran zinc-methionin dengan carrier tapioka ini digunakan dalam pengamatan in vitro dalam 3 tingkat penggunaan, yaitu setara dengan tambahan 30 ppm zinc, 40 ppm dan 50 ppm didalam media inkubasi. Inkubasi dilakukan selama beberapa interval waktu, yaitu 0, 4, 8, 12, 24, 36 dan 48 jam. Residu inkubasi in vitro dianalisis kadar serat detergen netral (Neutral detergent fiber) dan serat detergen asam (Acid detergent fiber). Derajat keasaman (pH) dan kadar amonia di dalam media inkubasi dicatat. Kadar asam lemak mudah terbang dianalisis menggunakan Gas Chromatografi. Data dianalisis statistik menggunakan rancangan percobaan faktorial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan serat detergen netral dan serat detergen asam masih lebih tinggi apabila zinc-methionin digunakan pada tingkat 40 ppm dibandingkan dengan penggunaan pada tingkat 30 dan 50 ppm, terutama setelah inkubasi 36 jam. Sedangkan setelah inkubasi 48 jam tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Nilai kecernaan serat detergen netral dan serat detergen asam meningkat sesuai dengan lama waktu inkubasi in vitro, dimana nilai kecernaan setelah 48 jam inkubasi berada
203
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
pada kisaran 35% untuk serat detergen asam dan 45%untuk serat detergen netral. Konsentrasi asam asetat, propionat dan butrirat tidak berbeda nyata dengan adanya penambahan zinc-methionin sebanyak 30 sampai dengan 50 ppm didalam media inkubasi. Disimpulkan bahwa pemanfaatan zinc-methionin pada tingkat 40 ppm dapat meningkatkan kecernaan komponen serat lebih tinggi dibandingkan penggunaan pada tingkat 30 atau 50 ppm.
Kata kunci: Zinc-methionin, serat, kecernaan, in vitro PENDAHULUAN Pakan berserat merupakan pakan yang biasa bagi ternak ruminansia, namun pemecahan komponen serat (selulosa, hemiselulosa dan lignin) sangat tergantung pada aktivitas ensimatis mikroba rumen serta sifat degradabilitas komponen serat tersebut. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa aktivitas ensimatis mikroba rumen dapat dirangasang melalui induksi sintesis ensim maupun melalui peningkatan populasi mikroba tertentu (GONG dan TSAO, 1979; HOBSON dan JOUANY, 1988). Sintesis ensima tersebut dipengaruhi oleh adanya transkripsi dan translasi DNA yang juga diatur oleh ketersediaannya ensima yang lain, yaitu DNA polimerase. Polimerase memerlukan elemen zinc sebagai kofaktor agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Disamping itu, translasi DNA melalui messenger-RNA memerlukan asam amino metionin yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari transfer-RNA. Hijauan pakan ternak yang mempunyai kandungan serat tinggi perlu diupayakan agar kecernaan komponen serat tersebut maksimal. Peningkatan aktivitas mikrobial rumen melalui induksi sintesis ensima maupun peningkatan populasi mikroba tersebut diharapkan dapat membantu memaksimalkan kecernaan serat. Zinc-methionin merupakan salah satu bahan pakan aditif yang sering digunakan dalam upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan pakan berserat. Kebutuhan zinc bagi perkembangan dan pertumbuhan mikroba didalam rumen berkiar antara 10 ppm, sementara kebutuhan ternak (domba) dapat mencapai 30 sampai 50 ppm didalam pakan. Penelitian pemanfaatan zinc-methionin maupun zinc organik dalam pakan telah dilakukan di Balai Penelitian Ternak secara in vitro maupun in vivo dengan hasil yang menunjukkan adanya pengaruh positif terhadap peningkatan kecernaan komponen serat pakan maupun terhadap produktivitas ternak (HARYANTO et al., 1994; SUPRIYATI et al., 2000). Di dalam penelitian ini diamati secara in vitro terhadap nilai kecernaan serat detergen netral dan serat detergen asam sebagai akibat dari pemanfaatan zinc-methionin di dalam media inkubasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknik pembuatan campuran zinc-methionin yang dapat digunakan sebagai bahan apakan aditif dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak, terutama melalui peningkatan degradasi serat. MATERI DAN METODE Pembuatan zinc-methionin Pembuatan zinc-methionin yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah dilakukan sebelumnya (HARYANTO et al., 1994) dengan modifikasi pada penggunaan carrier setelah terbentuk larutan zinc-methionin. Carrier yang digunakan adalah tapioka. ZnSO4.7H2O dan asam amino methionin dilarutkan dengan aquadest pada imbangan sedemikian rupa sehingga setiap satu molekul Zn berikatan dengan dua molekul methionin. Untuk itu, ZnSO4 yang digunakan harus diupayakan dalam bentuk ion dan hal ini dapat dilakukan pada pH tertentu agar dapat berlangsung secara optimal. Campuran antara larutan Zinc-methionin dengan 204
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
tapioka sebagai carrier dibuat sedemikian sehingga kandungan Zinc-methionin mendekati 500 ppm. Campuran ini dikeringkan pada suhu 40oC selama 24 jam dan selanjutnya digunakan dalam penelitian in vitro. Percobaan in vitro Campuran zinc-methionin yang telah dihasilkan tersebut diujicobakan menggunakan teknik in vitro pada 3 tingkat penggunaan, yaitu 30, 40 dan 50 ppm dari substrat yang digunakan dalam media inkubasi. Lama waktu pengamatan adalah 0, 4, 8, 12, 24, 36 dan 48 jam setelah inkubasi. Parameter yang diamati adalah derajat keasaman (pH), kadar amonia media serta nilai kecernaan serat detergen netral dan serat detergen asam. Prosedur analisis residu serat detergen netral dan serat detergen asam dilakukan menurut metoda GOERING dan VAN SOEST (1970) yang telah dimodifikasi. Penentuan kadar amonia menggunakan teknik microdifusi (CONWAY, 1957). Derajat keasaman diukur menggunakan pH-meter. Kandungan asam lemak mudah terbang dianalisis menggunakan Gas Chromatografi Chrompack 902. Data dianalisis statistik menggunakan rancangan percobaan faktorial (STEEL dan TORRIE, 1980), dimana tingkat pemanfaatan zinc-methionin dan lama waktu inkubasi merupakan faktor utama. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 menunjukkan pengaruh utama dari tingkat penggunaan zinc-methionin didalam media inkubasi in vitro terhadap pH, kadar amonia serta nilai kecernaan serat detergen netral dan serat detergen asam. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa derajat keasaman (pH) media inkubasi bervariasi dari 7,72 sampai dengan 9,01 dan ternyata tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05) diantara rataan tingkat penggunaan zinc-methionin di dalam media inkubasi. Meskipun penggunaan hingga tingkat 50 ppm cenderung meningkatkan pH media, nilai ini lebih tinggi daripada kisaran normal yaitu mendekati netralitas (HUNGATE, 1966). Sementara itu, kadar amonia rata-rata pada tiap perlakuan tingkat penggunaan zinc-methionin bervariasi dari 11,89 sampai dengan 17,53 mM dan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). MEHREZ et al. (1977) menyebutkan bahwa nilai optimum kadar amonia di dalam rumen untuk membantu proses sintesis protein mikroba adalah 3,57 mM pada kondisi in vivo. Pada penelitian ini, kadar amonia media inkubasi secara relatif cukup tinggi, sementara bahan dasar yang digunakan sebagai substrat adalah rumput yang sudah cukup tinggi kandungan seratnya, sehingga nilai kadar amonia ini cukup besar untuk menunjang kebutuhan mikrobial guna memenuhi kebutuhan sintesa protein selnya. Sementara itu, Tabel 2 menunjukkan pengaruh lama waktu inkubasi terhadap nilai pH, kadar amonia serta kandungan asam lemak mudah terbang. Nilai kecernaan serat detergen netral (NDF) dan serat detergen asam (ADF) relatif lebih baik pada tingkat penggunaan 40 ppm zinc-methionin, terutama selama 36 jam pertama inkubasi. Secara statistik, tingkat penggunaan zinc-methionin sampai dengan 50 ppm belum mempengaruhi nilai kecernaan serat secara nyata (P>0,05).
205
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Tabel 1. Pengaruh tingkat pemanfaatan zinc-methionin terhadap pH, kadar amonia media dan nilai kecernaan serat Tingkat pemanfaatan zinc-methionin, ppm
Parameter
Rataan
30
40
50
PH
8,48
8,45
8,40
8,40
NH3, mM
13,66
12,74
13,27
13,25
NDF
43,18
44,46
47,83
45,16
ADF
34,40
34,91
34,76
34,80
Kecernaan, %:
Tabel 2. Pengaruh lama waktu inkubasi terhadap pH, kadar amonia, kecernaan serat dan kadar asam lemak mudah terbang media Lama waktu inkubasi, jam
Parameter
Rataan
0
4
8
12
24
36
48
PH
7,72
8,27
8,06
8,49
8,96
8,62
9,01
8,39
Amonia, mM
11,89
13,87
17,53
12,03
12,05
12,43
12,78
13,25
Kecernaan NDF, %
8,22
6,78
9,74
15,97
31,18
36,36
45,16
22,72
Kecernaan ADF, %
3,99
5,55
6,43
14,21
20,79
24,60
34,80
17,40
0,917
0,786
0,937
1,275
2,087
1,500
1,305
1,245
VFA, mM: Asetat Propionat
0,273
0,225
0,267
0,507
0,733
0,743
0,580
0,462
Iso-Butirat
0,069
0,045
0,052
0,092
0,124
0,120
0,096
0,086
Butirat
0,143
0,142
0,153
0,268
0,476
0,415
0,266
0,265
Iso-Valerat
0,105
0,077
0,086
0,127
0,179
0,170
0,153
0,127
0
0
0
0,022
0,049
0,051
0,051
0,024
Valerat
Lama waktu inkubasi sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi nilai kecernaan serat detergen netral maupun serat detergen asam. Hal ini dapat dimengerti karena lama waktu inkubasi akan menentukan intensitas proses pencernaan mikrobial dimana semakin lama waktu inkubasi akan semakin banyak komponen serat yang didegradasikan. Sementara itu, nilai kecernaan semu untuk serat detergen netral setelah 48 jam inkubasi adalah 43,18% untuk tingkat pemanfaaatan zincmethionin 30 ppm, sedangkan untuk tingkat pemanfaatan 40 ppm adalah 44,46% dan untuk tingkat pemanfaatan 50 ppm adalah 47,83%. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa nilai kecernaan serat detergen netral secara in vivo adalah 40% apabila zinc-methionin digunakan pada tingkat 2,5% dalam pakan (HARYANTO et al., 1994). Berdasarkan data ini, maka proses pemanfaatan zinc-methionin pada tingkat 40 ppm adalah lebih baik dibandingkan pemanfaatan zinc-methionin yang lebih rendah. Apabila nilai kecernaan semu serat detergen asam setelah inkubasi selama 48 jam dilihat lebih jauh, ternyata bahwa tingkat pemanfaatan zinc-methionin antara 30 sampai dengan 50 ppm tidak berbeda jauh yaitu berkisar antara 34,74 sampai dengan 34,91% (Tabel 1). Sementara itu nilai ini lebih tinggi daripada perlakuan kontrol yaitu hanya 20,12% setelah diinkubasikan selama 48 jam. Dengan demikian, pemanfaatan zinc-methionin mampu meningkatkan degradasi serat sebagaimana diharapkan semula. 206
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Mengingat bahwa kecepatan cerna serat pada awal proses pencernaan merupakan hal penting dalam penyediaan energi ATP serta asam lemak mudah terbang, maka gambaran mengenai kemampuan zinc-methionin dalam mendorong proses pada awal pencernaan sangat diperlukan. Secara deskriptif dapat ditunjukkan bahwa kecepatan cerna komponen serat detergen netral paling tinggi dicapai oleh perlakuan tingkat pemanfaatan zinc-methionin 50 ppm hingga waktu inkubasi 36 jam (Tabel 3). Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan rangsangan pembentukan ensim mikrobial pemecah serat seperti yang diharapkan penelitian ini. Kecepatan cerna yang lebih tinggi dapat diartikan sebagai kondisi ketersediaan energi dalam bentuk ATP atau asam lemak mudah terbang yang lebih awal sehingga akan meningkatkan proses fermentatif selanjutnya. Tabel 3. Pengaruh tingkat pemanfaataan zinc-methionin terhadap nilai kecepatan cerna serat hingga waktu inkubasi 48 jam Parameter
Tingkat pemanfaatan zinc-methionin, ppm
Rataan
30
40
50
Kd NDF, /jam
0,0168
0,0169
0,0188
0,0175
Kd ADF, /jam
0,0109
0,0091
0,0111
0,0104
KESIMPULAN Tingkat pemanfaatan zinc-methionin antara 30 sampai dengan 50 ppm dalam media inkubasi mampu meningkatkan degradasi serat dalam pakan dengan efektivitas yang tidak berbeda nyata, namun jauh lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan zinc-methionin (perlakuan kontrol). DAFTAR PUSTAKA CONWAY, E.J. 1957. Microdiffusion Analysis and Volumetric Error. 4th ed. Crosby Lockwood and Son Ltd. London. p.98. GOeRING , H.K. and P.J. VAN SOEST. 1970. Forage fiber analysis (apparatus, reagents, procedures and some applications).USDA Agric. Handbook. No.379. Washington, D.C. USA. GONG, C.S. and G.T. TSAO. 1979. Cellulase and biosynthesis regulation. Ann. Reports on Fermentation Processes. Vol. 3:111-140. HARYANTO, B., I. MAHA, D. SUPRIATNA and B.W. SETIADI. 1994. Carcass yield of sheep fed zinc-methionine and less degradable protein supplemented ration. In Sustainable Animal Production and the Environment. Proc. 7th AAAP Animal Science Congress. Bali. Indonesia. HOBSON, P.N. and J.P. JOUANY. 1988. Models, Mathematical and Biological, of the Rumen Function. In HOBSON, P.N. (ed.) The Rumen Micobial Ecosystem. Elsevier Applied Science. London. pp. 461-511. HUNGATE, R.E. 1966. The rumen and its microbes. Academy Press. New York. MEHREZ, A.Z., E.R. ORSKOV and I.McDONALD. 1977. Rates of rumen fermentation in relation to ammonia cencentration. Br. J. Nutr. 38:437-448. STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1980. Principles and Prosedures of Statistics. McGraw-Hill Book Co. New York. SUPRIYATI, D. YULISTIANI, E. WINA, H. HAMID dan B. HARYANTO. 2000. Pengaruh suplementasi Zn, Cu dan Mo anorganik dan organik terhadap kecernaan rumput secara in vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol. 5 (1): 32-37.
207
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
208