PEMANFAATAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii UNTUK MENINGKATKAN KADAR SERAT PANGAN SELAI MENGKUDU (Morinda citrifolia)
PRILISA SYUKRONTYASPUTRI C34053648
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
RINGKASAN
PRILISA SYUKRONTYASPUTRI. C34053648. Pemanfaatan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii untuk Meningkatkan Kadar Serat Pangan Selai Mengkudu (Morinda citrifolia). Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan PIPIH SUPTIJAH. Rumput laut merupakan salah satu sumberdaya perairan yang memiliki kandungan serat pangan tinggi, terutama serat larut air (soluble dietary fiber) yang berperan penting dalam menurunkan berbagai resiko penyakit, seperti sembelit, jantung, divertikulosis, dan kegemukan. Meskipun tidak mempunyai nilai gizi, serat pangan diakui memberikan pengaruh positif bagi metabolisme zat gizi dan kesehatan tubuh. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dewasa ini, membuat pola konsumsi beralih ke bahan-bahan alami yang banyak mengandung karbohidrat yang tinggi akan serat pangan. Salah satu produk pangan alternatif yang dapat dikonsumsi secara instan ialah selai buah. Tujuan umum penelitian ini yaitu mempelajari pengaruh penambahan rumput laut Kappaphycus alvarezii untuk meningkatkan kadar serat pangan yang diaplikasikan pada selai mengkudu (Morinda citrifolia). Tujuan khusus penelitian ini yaitu (1) mencari konsentrasi penggunaan rumput laut Kappaphycus alvarezii terbaik pada selai melalui pengujian organoleptik, (2) mempelajari karakteristik fisika dan kimia produk selai buah mengkudu dengan penambahan konsentrasi rumput laut terbaik, dan (3) menentukan akseptabilitas panelis terhadap selai buah mengkudu dengan penambahan rumput laut. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisis proksimat rumput laut Kappaphycus alvarezii dan buah mengkudu sebagai bahan baku selai buah, dilanjutkan penentuan konsentrasi gula terbaik yang ditambahkan pada selai. Pada penelitian utama dilakukan penentuan konsentrasi rumput laut terbaik (0%; 15%; 20%; 25%) yang ditambahkan dalam selai. Produk selai mengkudu dengan penambahan rumput laut terbaik selanjutnya dilakukan karakterisasi sifat fisika dan kimia yang meliputi total padatan terlarut, viskositas, total serat pangan, vitamin C, pH, dan aw. Hasil analisis data menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi rumput laut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai total padatan terlarut, viskositas, pH, Vitamin C, aw, dan serat pangan yang dihasilkan. Penambahan rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan konsentrasi 20% memberikan nilai organoleptik tertinggi terhadap mutu selai mengkudu yang dihasilkan. Produk selai mengkudu dengan penambahan rumput laut 20% memiliki karakteristik fisika sebagai berikut, yaitu total padatan terlarut dan viskositas masing-masing sebesar 70,5% dan 312000 cp. Karakteristik kimia selai mengkudu terpilih yaitu kandungan vitamin C sebesar 36,97 mg/100 g, aktivitas air (aw) 0,89, pH sebesar 3,64, dan total serat pangan18,08%, dengan kadar serat larut air 15,75%, dan kadar serat tidak larut air 2,35%. Hasil pengujian organoleptik menunjukkan selai buah mengkudu dengan penambahan rumput laut cukup dapat diterima panelis, dengan nilai rata-rata 4,43-4,79 dari skala 7. Selai mengkudu dengan penambahan rumput laut dapat dijadikan produk pangan alternatif kaya serat dan bervitamin C tinggi.
PEMANFAATAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii UNTUK MENINGKATKAN KADAR SERAT PANGAN SELAI MENGKUDU (Morinda citrifolia)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh PRILISA SYUKRONTYASPUTRI C34053648
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul
: PEMANFAATAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii UNTUK MENINGKATKAN KADAR SERAT PANGAN SELAI MENGKUDU (Morinda citrifolia)
Nama Mahasiswa
: Prilisa Syukrontyasputri
Nomor pokok
: C34053648
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si NIP. 19670922 199203 1 003
Dra. Pipih Suptijah, MBA NIP. 19531020 198503 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phill NIP. 19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii untuk Meningkatkan Kadar Serat Pangan Selai Mengkudu (Morinda citrifolia)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2009
Prilisa Syukrontyasputri NIM. C34053648
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrobilalamin, rasa syukur tiada henti penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemanfaatan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii untuk Meningkatkan Kadar Serat Pangan Selai Mengkudu (Morinda citrifolia)” dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yaitu kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA, selaku dosen pembimbing, yang telah menyisihkan waktu, tenaga, memberikan masukan, cerita pengalaman hidup dan motivasi dahsyat. 2. Bapak Ir. Djoko Poernomo dan Ibu Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji atas koreksi dan saran yang diberikan. 3. Bapak Dr. Ir. Agoes M Jacoeb, Dipl. Biol, selaku komisi pendidikan, atas segala pengarahan yang diberikan. 4. Ibu Ir. Anna Carolina Erungan, MS, selaku dosen pembimbing akademik, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan. 5. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phill, selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 6. Seluruh Dosen Teknologi Hasil Perairan (THP) yang telah mengenalkan dunia perikanan dan memberikan ilmu luar biasa. 7. Bapak dan Ibu tercinta, atas segala untaian doa yang dipanjatkan, dukungan, dan kasih sayang tiada henti. Juga untuk my brother & little sista, Mas Redi & Mba Saras, atas segala dukungan dan canda tawanya, I will try to be a good sister of you all. 8. Keluarga besar Karsum Ronodiwiryo dan H. A. Dhimyati (alm) atas segala doa, dorongan dan dukungannya untuk segera menyelesaikan kuliah. 9. Ibu Sumi, Pak Syahroni, Pak Atin, Pak Priyatna (University Farm), mbak Endang (LPPM IPB), Ibu Nina dan Pak Mashudi (Lab Analisa Makanan, Departemen Gizi Masyarakat) serta Ibu Rubiah dan Pak Wahid (PAU).
10. Ibu Emma, Ukhti Rita, Mas Zacky, Mas Ipul, Teh Lala, Ummi serta seluruh staf TU THP (Bang Mail, Pak Ade, Mba Heni). 11. Seluruh pejuang THP 42 atas semangat dan persahabatannya, especially for Tim kelulusan (Dan, Zaen, Evi, Pur), ”keluarga beruang” (Anggi, Uut, Dewi, Binyo, Seno), Martca dan Vivit atas bantuannya di lab, Ari atas bantuan transportasinya, Melda, Junide, Adho, Sugara, dan Fahrul, Febri, Miftah (atas bantuannya mencari buah mengkudu) Keep in touch ya,, dan Ayo, kejar mimpi kita kawan!! 12. Kawan-kawan satu bimbingan (Orie, Sari, Bayu, Erna, Dini, Fuad) dan team asisten Teknologi Industri Tumbuhan Laut (TITL) 2008/2009 (Orie, Ifa dan Rodi) atas kekompakkan dan dukungannya. 13. Teman-teman THP 40, 41 (ka An’im (makasih ya RLnya), ka Afid, Laler, dan THP 43 dan 44 atas dukungan, bantuan dan kebersamaanya. 14. Sahabat-sahabat tercantik, Rahma (thanks for being my roomate during four years), Indri, Tias, Jane, Ratna, Wati, Hani, Nadew, Mirzah, popi (makasih ya pop, privat statistiknya), Wisma QQers (Noer, Mba Nur, Mba Nuning) dan d’gokils : Giani, Octa, Astri, Dea, Reni. 15. Terakhir, kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, Penulis mengucapkan terima kasih atas semua dukungannya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih ada kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Desember 2009
Prilisa Syukrontyasputri
RIWAYAT HIDUP
P
enulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 April 1987,
sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, putri dari Achmad Subagio, BA dan Supriyati Karsum, SE. Pendidikan penulis secara formal dimulai di TK Nurul Hidayah, Jakarta (1991-1993), SD Negeri Pisangan Baru 05, Jakarta (1993-1999), SLTPN 7 Jakarta (1999-2002) dan SMUN 12 Jakarta (2002-2005). Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun kedua penulis diterima di mayor Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selain itu penulis juga mengambil minor Komunikasi, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan dan organisasi. Kegiatan kepanitiaan yang pernah diikuti diantaranya Orientasi Mahasiswa Baru Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (OMBAK) 2007, Gemar Makan Ikan (GMI) 2007, Pekan Olahraga dan Seni Fakultas Perikanan (PORIKAN) 2007 dan Sarana Temu Akrab Insan THP (SANITASI) 2008. Organisasi yang pernah diikuti antara lain Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK 2006/2007 sebagai staf Pembinaan Budaya Olahraga dan Seni (PBOS) dan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan (Himasilkan) 2007/2008 sebagai sekretaris umum. Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Teknologi Industri Tumbuhan Laut (TITL) tahun 2008/2009. Pada tahun 2008, penulis mengikuti seminar dan pelatihan ISO 22000 serta melakukan praktek lapang di PT Mina Global Mandiri (MGM), Purwakarta, Jawa Barat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Pemanfaatan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii untuk Meningkatkan Kadar Serat Pangan Selai Mengkudu (Morindra citrifolia)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Dra. Pipih Suptijah, MBA.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .........................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................
xi
1.
2.
3.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ...................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Kappaphycus alvarezii ..................................... 2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi............................................ 2.1.2 Komposisi kimia ........................................................ 2.1.3 Hidrokoloid rumput laut ........................................... 2.2 Serat Pangan (Dietary Fiber) .................................................
4 4 5 7 8
2.3 Mengkudu (Morinda citrifolia).............................................. 2.3.1 Deskripsi dan klasifikasi .............................................. 2.3.2 Pemanfaatan ................................................................
11 11 12
2.4 Selai Buah .............................................................................
13
2.5 Bahan Tambahan Pangan ....................................................... 2.5.1 Gula ............................................................................. 2.5.2 Asam sitrat .................................................................. 2.5.3 Aroma makanan (essence) ..........................................
18 19 20 20
METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................
21
3.2 Bahan dan Alat ........................................................................
21
3.3 Tahapan Penelitian ..................................................................
22
3.3.1. Penelitian pendahuluan ................................................ 3.3.2. Penelitian utama ...........................................................
22 23
3.4 Prosedur Analisis ..................................................................
26
3.4.1 Uji organoleptik ............................................................ (1) Uji skoring (Rahayu 2001) ..................................... (2) Uji perbandingan berpasangan (Rahayu 2001) ...... 3.4.2 Analisis fisika............................................................... (1) Total padatan terlarut (Faridah et al. 2008) ........... (2) Viskositas (Cottrel dan Kovacs 1980) ...................
26 26 26 27 27 27
4.
3.4.3 Analisis kimia ............................................................. (1) Analisis kadar air (AOAC 1995) ............................. (2) Analisis kadar abu (AOAC 1995) ............................ (3) Analisis kadar protein (AOAC 1995) ...................... (4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995) ........................ (5) Analisis kadar karbohidrat .................................... (6) Vitamin C (Apriyantono et al. 1989) ..................... (7) Aktivitas air (aw) (Apriyantono et al. 1989) ........... (8) Serat pangan(Sulaeman et al. 1993) ....................... (9) Analisis pH (Apriyantono et al. 1989) ...................
27 27 28 28 29 29 30 30 30 33
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data (Steel dan Torrie 1989) ..........................................................
33
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................
35
4.1 Penelitian pendahuluan ........................................................
35
4.1.1 Karakterisasi rumput laut kering Kappaphycus alvarezii dan buah mengkudu (Morinda citrifolia) ... 4.1.2 Penentuan konsentrasi gula terbaik yang ditambahkan ke dalam selai mengkudu (Morinda citrifolia) ......... 4.2. Penelitian utama ..................................................................
35 38 44
4.2.1 Pembuatan selai mengkudu dengan penambahan rumput laut Kappaphycus alvarezii ......................... 4.2.2 Pengujian organoleptik selai buah mengkudu .............. (1) Uji skoring .............................................................. (2) Uji perbandingan berpasangan ............................... 4.2.3 Karakteristik fisika selai mengkudu .............................. 4.2.4 Karakteristik kimia selai mengkudu ............................
44 45 46 52 53 55
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................
58
5.1 Kesimpulan ..........................................................................
58
5.2 Saran ....................................................................................
58
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
59
LAMPIRAN ........................................................................................
63
5.
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Komposisi kimia rumput laut Kappaphycus alvarezii ................
6
2.
Syarat mutu selai buah berdasarkan SNI 3746:2008 ...................
14
3.
Komposisi khas gula putih dan merah .........................................
19
4.
Formulasi selai mengkudu dengan penambahan rumput laut ......
24
5.
Karakteristik rumput laut kering Kappaphycus alvarezii ............
35
6.
Karakteristik buah mengkudu (Morinda citrifolia) .....................
37
7.
Karakteristik fisika selai mengkudu dan selai mengkudu dengan penambahan rumput laut ................................................................
54
Karakteristik kimia selai mengkudu dan selai mengkudu dengan penambahan rumput laut ..............................................................
55
8.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Rumput laut Kappaphycus alvarezii ..............................................
4
2.
Buah mengkudu (Morinda citrifolia) .............................................
6
3.
Diagram alir proses pembuatan selai secara umum .......................
18
4.
Pembuatan selai mengkudu (Morinda citrifolia) ..........................
26
5.
Histogram nilai rata-rata penampakan selai pada penelitian pendahuluan ....................................................................................
39
Histogram nilai rata-rata aroma selai pada penelitian pendahuluan ....................................................................................
40
Histogram nilai rata-rata tekstur selai pada penelitian pendahuluan ....................................................................................
41
8.
Histogram nilai rata-rata rasa selai pada penelitian pendahuluan ...
42
9.
Histogram nilai rata-rata daya oles selai pada penelitian pendahuluan .....................................................................................
43
6. 7.
10. Histogram nilai rata-rata penampakan selai pada penelitian utama ............................................................................................
46
11. Histogram nilai rata-rata aroma selai pada penelitian utama .......
48
12. Histogram nilai rata-rata tekstur selai pada penelitian utama.......
49
13. Histogram nilai rata-rata rasa selai pada penelitian utama ...........
50
14. Histogram nilai rata-rata daya oles selai pada penelitian utama ..
51
15. Perbandingan selai komersial dan selai mengkudu terbaik hasil penelitian ......................................................................................
52
16. Histogram nilai rata-rata uji perbandingan berpasangan selai mengkudu dengan selai komersial ................................................
53
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Halaman
Lembar uji organoleptik (score sheet) selai mengkudu ............
64
2. Lembar uji organoleptik uji perbandingan berpasangan ..............
66
3.
Data skoring penampakan selai pada penelitian pendahuluan ....
67
4.
Data skoring aroma selai pada penelitian pendahuluan .............
68
5.
Data skoring tekstur selai pada penelitian pendahuluan ............
69
6.
Data skoring rasa selai pada penelitian pendahuluan .................
70
7.
Data skoring daya oles selai pada penelitian pendahuluan ........
71
8.
Hasil perankingan dan Kruskal Wallis data organoleptik (uji skoring) selai buah mengkudu dengan penambahan rumput laut .......
72
Hasil uji Duncan terhadap data organoleptik selai buah mengkudu pada penelitian pendahuluan .....................................
73
Rekapitulasi data skoring organoleptik uji perbandingan berpasangan .................................................................................
74
11.
Data skoring penampakan selai pada penelitian utama...............
75
12.
Data skoring aroma selai pada penelitian utama .........................
76
13.
Data skoring tekstur selai pada penelitian utama ........................
77
14.
Data skoring rasa selai pada penelitian utama ...........................
78
15.
Data skoring daya oles selai pada penelitian utama ....................
79
16.
Hasil perankingan dan Kruskal Wallis data organoleptik (uji skoring) selai buah mengkudu pada penelitian utama ...............
80
Hasil uji Duncan terhadap data organoleptik selai buah mengkudu pada penelitian utama ................................................
81
18a. Rekapitulasi data karakteristik fisika selai buah mengkudu dengan penambahan rumput laut terpilih ...................................
82
18b. Contoh perhitungan nilai AKG ...................................................
82
9. 10.
17.
19. 20.
Rekapitulasi data karakteristik kimia selai buah mengkudu dengan penambahan rumput laut terpilih ....................................
83
Dokumentasi penelitian ...............................................................
84
1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Rumput laut hingga kini masih menjadi salah satu komoditas unggulan
perairan Indonesia. Permintaan yang tinggi akan rumput laut membuat total volume produksi budidaya terus meningkat. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 2008 mencatat bahwa pada tahun 2005 volume produksi budidaya rumput laut mencapai 866.383 ton, dan terus mengalami peningkatan menjadi 1.374.463 ton dan 1.728.475 ton pada tahun 2006 dan 2007. Persentase kenaikan volume rata-rata rumput laut juga merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 55,46%, bila dibandingkan dengan komoditas utama lainnya, seperti udang (17,71%) dan kerapu (11,82%). Terdapat sekitar 555 jenis rumput laut di Indonesia dan lebih dari 21 jenis diantaranya berguna dan dimanfaatkan sebagai makanan serta memiliki nilai ekonomis tinggi dalam perdagangan. Salah satu jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di tanah air ialah Kappaphycus alvarezii (Aslan 1998). Rumput laut termasuk dalam tumbuhan bernilai ekonomis tinggi karena penggunaanya yang luas di berbagai bidang, antara lain sebagai bahan pupuk organik, pakan ternak, pengemulsi, hingga sebagai bahan aditif pada industri tekstil, kertas, dan keramik (Aslan 1998). Aslan (1998) juga mencatat bahwa rumput laut sudah dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sejak tahun 2700 SM. Pada masa itu masyarakat baru memanfaatkan rumput laut sebagai bahan obat-obatan (medicement) dan makanan (vicktuals). Lahaye (1991) dalam Ortiz et al. (2004) menyatakan bahwa rumput laut merupakan sumberdaya perairan yang memiliki kandungan serat pangan tinggi, terutama serat larut air (soluble dietary fiber) yang berperan penting dalam menurunkan berbagai resiko penyakit, seperti sembelit, jantung, divertikulosis, dan kegemukan.
Dawczynski et al. (2007) dalam Ekantari (2009)
mengungkapkan bahwa serat pangan dari rumput laut merah dan coklat bervariasi mulai dari 29,1-62,8 g/100 g. Meskipun tidak mempunyai nilai gizi, serat pangan diakui memberikan pengaruh positif bagi metabolisme zat gizi dan kesehatan
tubuh, antara lain bermanfaat untuk melancarkan saluran pencernaan, mengurangi kolesterol darah dan glukosa darah (Muchtadi 2000). Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dewasa ini, membuat pola konsumsi masyarakat beralih ke bahan-bahan alami (back to nature). Pola makan masyarakat modern dengan kandungan protein, lemak, gula dan garam yang tinggi tetapi miskin serat beralih ke pola tradisional yang banyak mengandung karbohidrat yang tinggi akan serat pangan.
Di sisi lain
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat menyebabkan perubahan pola konsumsi ke arah makanan cepat saji (fast food). Pola konsumsi demikian dapat menimbulkan penyakit degeneratif berkaitan dengan kurangnya asupan serat pangan dalam tubuh. Salah satu produk pangan alternatif yang dapat dikonsumsi secara instan dan dijadikan pangan untuk sarapan oleh beberapa kalangan yaitu roti yang diolesi selai. Selai yang banyak dikonsumsi umumnya selai buah-buahan, selain karena rasanya yang enak juga mengandung nilai gizi yang tinggi. Definisi selai buah menurut SNI 3746-2008 adalah produk makanan semibasah, yang dapat dioleskan yang dibuat dari pengolahan buah-buahan, gula dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain yang diizinkan (BSN 2008). Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan selai buah pada umumnya adalah jenis buah-buahan yang mengandung pektin dan asam yang cukup. Tidak hanya
itu,
ketersediaan
(pasokan)
buah
juga
perlu
dipertimbangkan
(Suryani 2004). Salah satu jenis buah yang banyak terdapat di Indonesia, namun belum banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan ialah mengkudu. Mengkudu (Morinda citrifolia) tumbuh di berbagai daerah di Indonesia dengan nama daerah yang berbeda seperti keumudu (Aceh), leodu (Enggano), mekudu (Lampung), pace (Jawa), wungkudu (Bali), aikombo (Sumba) dan kuduk (Madura) (Sjabana dan Bahalwan 2002).
Data yang diperoleh dari
Departemen Pertanian menyatakan bahwa luas panen tanaman mengkudu pada tahun 2008 mencapai 984.935 m2 dengan volume produksi 16.306 ton, hal ini meningkat bila dibandingkan pada tahun 2007 sebesar 823.416 m2 dengan volume produksi 14.016 ton (Anonim 2009). Selama ini mengkudu lebih dikenal sebagai tanaman obat (menurunkan tekanan darah tinggi, sembelit, perut kembung dan
lain-lain) mengingat banyaknya kandungan zat aktif yang berkhasiat bagi tubuh (Mahendra 2004). Pengolahan buah mengkudu menjadi bahan pangan mulai marak dilakukan mengingat kandungan nutirisinya yang besar, antara lain menjadi kembang gula (Rahayu 2008), selai buah mengkudu (Dewi et al. 2008), serbuk minuman cepat larut (serbuk instan), serta dalam bentuk teh herbal (teh celup) daun mengkudu (Winarti 2005). Selain itu hasil-hasil penelitian membuktikan bahwa buah mengkudu mengandung senyawa metabolit sekunder yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, selain kandungan nutrisinya yang juga beragam seperti vitamin A, C, niasin, tiamin dan riboflavin, serta mineral seperti zat besi, kalsium, natrium, dan kalium (Winarti 2005). Produk selai yang baik adalah selai yang mudah dioles namun juga tidak terlalu cair sehingga diperlukan bahan tambahan berupa hidrokoloid sebagai penguat
tekstur.
Penelitian
ini
menggunakan
rumput
laut
jenis
Kappaphycus alvarezii, salah satu spesies penghasil karagenan yang banyak digunakan sebagai bahan pembentuk gel dalam industri makanan. Pemanfaatan rumput laut dalam penelitian ini menggunakan rumput laut langsung, tanpa pengolahan menjadi tepung karagenan, untuk mendapatkan produk dengan kualitas terbaik.
1.2.
Tujuan Tujuan umum penelitian adalah mempelajari pengaruh penambahan
rumput laut Kappaphycus alvarezii untuk meningkatan kadar serat pangan yang diaplikasikan pada selai mengkudu (Morinda citrifolia). Tujuan khusus penelitian ini adalah : 1) Mencari konsentrasi penggunaan rumput laut Kappaphycus alvarezii terbaik pada selai melalui uji organoleptik. 2) Mempelajari karakteristik fisika dan kimia produk selai buah mengkudu dengan penambahan konsentrasi rumput laut terbaik. 3) Menentukan akseptabilitas panelis terhadap selai berbahan baku mengkudu dengan penambahan rumput laut.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Kappaphycus alvarezii adalah salah satu jenis rumput laut dari kelas
Rhodophyceae (ganggang merah) dan merupakan salah satu carragenophytes, yaitu rumput laut penghasil karagenan. Karagenan merupakan senyawa polisakarida yang dapat terekstraksi dengan air panas untuk membentuk gel. Sifat pembentukan gel pada rumput laut ini dibutuhkan untuk menghasilkan pasta yang baik (Winarno 1990).
2.1.1
Deskripsi dan klasifikasi Berikut ini adalah klasifikasi rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii
menurut Doty (1986) dalam Atmadja et al. (1996).
Gambar rumput laut
Kappaphycus alvarezii dapat dilihat pada Gambar 1. Kingdom
: Plantae
Divisi : Rhodophyta Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Gigartinales
Famili : Solieriacceae Genus : Kappaphycus Spesies
: Kappaphycus alvarezii
Gambar 1 Rumput laut Kappaphycus alvarezii (Sumber : dokumentasi pribadi)
Dalam dunia perdagangan internasional dan nasional, umumnya Kappaphycus alvarezii lebih dikenal dengan nama Cottonii. Spesies ini menghasilkan karagenan tipe kappa, oleh karena itu secara taksonomi namanya diubah
dari
Eucheuma
alvarezii
menjadi
Kappaphycus
alvarezii
(Doty 1988 dalam Zuccarello et al. 2006). Ciri fisik yang dimiliki spesies ini antara lain thallus yang kasar, agak pipih dan bercabang teratur, yaitu bercabang dua atau tiga, ujung-ujung percabangan ada yang runcing dan tumpul dengan permukaan bergerigi, agak kasar dan berbintil-bintil (Afrianto dan Liviani 1993). Kappaphycus alvarezii tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang tersebut ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk (Atmadja et al. 1996) Eucheuma umumnya terdapat di daerah tertentu dengan persyaratan khusus, kebanyakan tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam air (subtidal) melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang moluska. Umumnya mereka tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef), karena di tempat inilah beberapa persyaratan untuk pertumbuhannya banyak terpenuhi, diantaranya faktor kedalaman perairan, cahaya, substrat dan gerakan air. Habitat khas adalah daerah yang memperoleh aliran laut yang tetap dengan variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati. Alga ini tumbuh mengelompok dengan berbagai jenis rumput laut lainnya (Aslan 2006).
2.1.2. Komposisi kimia Rumput laut bukanlah merupakan sumber energi utama meskipun dilaporkan memiliki nilai nutrisi yang meliputi vitamin, protein dan mineral. Dalam 100 g rumput laut terkandung lebih dari cukup kebutuhan tubuh terhadap vitamin A, B2, B12 dan dua pertiga dari kecukupan vitamin C. Selain itu rumput laut juga merupakan sumber serat pangan yang penting, terutama serat larut (soluble fiber) yang berperan mencegah konstipasi, kanker kolon, penyakit kardiovaskular dan obesitas (Ortiz et al. 2004).
Rumput laut umumnya mengandung kandungan nutrisi yang amat baik bagi kesehatan. Selain karbohidrat, protein, lemak dan serat, rumput laut juga mengandung enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin (A, B, C, D, E dan K) dan makro mineral seperti kalsium, magnesium, natrium dan kalium serta mikro mineral seperti besi, seng, tembaga dan selenium (Matanjun et al. 2008). Ortiz et al. (2004) menyatakan bahwa kandungan mineral rumput laut lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanaman darat. Penelitian yang dilakukan Santoso et al. (2004) pada sembilan jenis rumput laut Indonesia menyatakan bahwa Kappaphycus alvarezii mengandung total serat pangan (total dietary fiber) sebesar 69,3 g/100 g berat kering, lebih besar dari rumput laut coklat Sargassum polycystum (65,7 g/100 g berat kering) dan rumput laut hijau Caulerpa sertularoides (61,8 g/100 g berat kering). Komposisi kimia rumput laut Kappaphycus alvarezii secara lebih lengkap disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia rumput laut kering Kappaphycus alvarezii Komposisi Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Serat pangan tidak larut (g/100 g) Serat pangan larut (g/100 g) Total serat pangan (g/100 g) Mineral Zn (mg/g) Mineral Mg (mg/g) Mineral Ca (mg/g) Mineral K (mg/g) Mineral Na (mg/g)
Jumlah 0,7 0,2 3,4 58,6 10,7 69,3 0,01 2,90 2,80 87,10 11,93
Sumber : Santoso et al. (2004)
Beberapa jenis Eucheuma mempunyai peranan penting dalam dunia perdagangan internasional sebagai penghasil ekstrak karagenan. Kadar karagenan dalam setiap spesies Eucheuma berkisar antara 54-73% tergantung pada jenis dan lokasinya (di Indonesia berkisar antara 61,5-67,5%). Selain karagenan dalam
Eucheuma masih terdapat lagi beberapa zat organik lain seperti protein, lemak, serat kasar, abu dan air (Aslan 2006). Komposisi kimia rumput laut dipengaruhi oleh jenis rumput laut, fase (tingkat pertumbuhan), dan umur panennya.
Komposisi kimia rumput laut
bervariasi antara individu, spesies, habitat, kematangan dan kondisi lingkungan. Kandungan utama rumput laut segar adalah air, yang mencapai 80-90%, sedangkan kadar protein dan lemaknya sangat kecil (Winarno 1990).
2.1.3. Hidrokoloid rumput laut Rumput laut mengandung zat hidrokoloid yang berperan dalam pembentukan gel.
Pembentukan gel yaitu suatu fenomena pengikatan silang
rantai-rantai polimer sehingga membentuk jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku (Fardiaz 1989). Zat hidrokoloid yang terdapat pada Kappaphycus alvarezii adalah kappa karagenan, salah satu jenis karagenan yang bersifat stabil dalam keadaan gel dan terhidrolisis apabila dipanaskan pada pH netral atau alkali. Karagenan banyak digunakan pada industri pangan dan non pangan. Kurang lebih 80% produksi karagenan digunakan pada industri makanan, farmasi dan kosmetik. Pada produk pangan, karagenan banyak digunakan untuk membentuk gel dalam selai, sirup, saus, makanan bayi, produk susu, daging, ikan seperti odol, kosmetik, shampo dan alat kecantikan lainnya serta di industri tekstil dan cat (Angka dan Suhartono 2000). Sifat-sifat khas yang dimiliki karagenan antara lain: kelarutan, stabilitas, viskositas, dan pembentukan gel. a) Kelarutan Air merupakan pelarut utama karagenan. Semua karagenan larut dalam air panas pada suhu lebih dari 70 oC. Kappa karagenan larut diatas suhu 60 oC dan larut dalam larutan gula pekat pada keadaan panas, mudah larut dalam air, membentuk larutan kental, terhidrasi cepat pada pH rendah (Winarno 1990).
b) Viskositas Viskositas adalah aliran molekul dalam sistem larutan. Suspensi koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara mengentalkan sehingga terjadi absorpsi dan pengembangan koloid (Glicksman 1983). c) Pembentukan gel Proses pembentukan gel terjadi karena adanya ikatan antar rantai polimer sehingga membentuk struktur tiga dimensi yang mengandung pelarut pada celahcelahnya (Glicksman 1983). Pembentukan kerangka tiga dimensi oleh double helix akan mempengaruhi pembentukan gel.
Struktur tiga dimensi dapat
mengembang karena menyerap air secara osmosis sehingga berubah menjadi zat padat karena akan memepertahankan bentuknya dan memiliki respon elastis bila dikenai tekanan (Rees 1972 dalam Herdiani 2003). Bila dibandingkan dengan jenis karagenan yang lain (iota dan lamda), kappa karagenan memberikan gel yang paling kuat.
2.2.
Serat Pangan (Dietary Fiber) Secara umum, serat pangan didefinisikan sebagai kelompok polisakarida
dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem gastrointestinal bagian atas pada manusia (Muchtadi 2000). Definisi yang paling umum diketahui dan dapat diterima ialah berdasarkan American Association of Cereal Chemist (AACC) yaitu bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat lainnya yang tidak dapat dicerna dan diserap oleh usus halus manusia secara sempurna maupun
sebagian
dan
akan
dilewatkan
menuju
usus
besar
(AACC 2001 dalam Turowski et al. 2006). Serat pangan (dietary fiber) berbeda dengan serat kasar (crude fiber). Serat kasar adalah bagian tanaman pangan yang tersisa atau tidak dapat dihidrolisis kembali oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar, yaitu larutan asam sulfat (H2SO4) atau larutan natrium hidroksida (NaOH) dalam analisa proksimat makanan; sedangkan serat pangan adalah bagian bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Oleh karena itu, kadar serat kasar nilainya lebih rendah dibandingkan dengan serat pangan (Muchtadi 2000).
Berdasarkan sifat kelarutannya, serat pangan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu serat yang bersifat larut air (soluble dietary fiber) dan tidak larut air (insoluble dietary fiber) (Ruberfroid 1973 dalam Ramulu et al. 2003). SDF adalah serat yang dapat larut dalam air hangat atau panas (Muchtadi 2000). IDF diartikan sebagai serat yang tidak larut dalam air panas maupun dingin. Sifat kelarutan ini berpengaruh pada fisiologis serat pada proses-proses di dalam pencernaan dan metabolisme zat gizi. Serat larut air terdiri dari pektin, musilase, dan gum, sedangkan serat tidak larut air terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin (Sulistijani 2005). Serat pangan berfungsi sebagai pelindung kolon dari gangguan konstipasi, diare, divertikulosis, wasir, dan kanker kolon dan juga mencegah terjadinya gangguan metabolisme sehingga tubuh terhindar kegemukan dan kemungkinan serangan penyakit diabetes mellitus, jantung koroner, dan batu empedu (Sulistijani 2005). Manfaat serat pangan berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Secara fisiologis, serat pangan larut air (SDF) lebih efektif dalam menurunkan penyakit hiperglikemia diantaranya menurunkan kolesterol, mencegah penyakit jantung serta tekanan darah tinggi. Serat yang tidak larut air (IDF) lebih efektif dalam mencegah gangguan sistem pencernaan, yaitu bermanfaat untuk mempercepat transit bahan makanan di usus dan meningkatkan volume feses, menghambat
hidrolisis
pati
serta
menunda
penyerapan
glukosa
(Ramulu dan Rao 2003). Serat merupakan zat nongizi dan saat ini konsumsinya makin dianjurkan agar bisa dilakukan secara teratur dan seimbang setiap hari. Serat pangan tidak dapat diserap oleh dinding usus halus dan tidak dapat masuk ke dalam sirkulasi darah. Namun akan dilewatkan menuju ke usus besar (kolon) dengan gerakan peristaltik usus. Serat pangan yang tersisa di dalam kolon tidak membahayakan organ usus, justru kehadirannya berpengaruh positif terhadap proses-proses di dalam saluran pencernaan dan metabolisme zat-zat gizi, asalkan jumlahnya tidak berlebihan (Sulistijani 2005). Konsumsi serat pangan yang dianjurkan bagi orang dewasa sehat yaitu paling sedikit 10-13 g/1000 Kal, pria dewasa sebanyak 21-27 g/hari (dengan rata-rata konsumsi energi 2100 Kal/hari) (Mayer dan Goldberg 1990
dalam Sulistijani 2005). Data lain juga diberikan oleh National Cancer Institute, Amerika Serikat menganjurkan konsumsi serat pangan untuk orang dewasa adalah sebanyak
20-30
g/hari,
sedangkan
diet
America
Diet
Association
merekomendasikan konsumsi serat pangan untuk orang dewasa sebanyak 25-35 g/hari (Sulistijani 2005). Pada masa lalu, serat pangan hanya dianggap sebagai zat yang bukan merupakan sumber energi (non-available energy source) dan hanya dikenal mempunyai efek sebagai pencahar perut. Akan tetapi penelitian yang dilakukan Burkitt dan Trowell pada tahun 1970-an menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan yang erat antara konsumsi serat pangan dan timbulnya berbagai macam penyakit (Muchtadi 2000). Serat larut air (SDF) berperan mengikat asam lemak dan menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL) sekaligus mengurangi resiko terkena serangan jantung dan hipertensi. Sumber makanan yang tergolong serat larut air umumnya terdapat pada gandum,
jenis kacang-kacangan, kacang polong
kering,
buah-buahan (jeruk, anggur dan lainnya) dan sayur-sayuran (Tsang 2005). Serat tidak larut air (IDF) berperan mengontrol dan menyeimbangkan tingkat keasaman (pH) dalam usus sehingga mencegah bakteri memproduksi zat berbahaya bagi tubuh, mencegah penyakit konstipasi, divertikulosis dan kanker usus besar (Tsang 2005). Konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran sisa pencernaan karena volume feses terlalu kecil, sehingga menyebabkan penderita jarang buang air besar.
Penderita sebaiknya banyak mengonsumsi makanan
berserat tinggi yang tak larut air, yang banyak terdapat pada sayuran hijau, kacang-kacangan, gandum, kulit buah maupun sayur dan lainnya. Serat-serat tersebut mampu menyerap air di dalam kolon, sehingga volume feses menjadi besar dan lunak (Sulistijani 2005). Sebaliknya, untuk mencegah diare, sebaiknya secara teratur mengonsumsi serat larut air (SDF). Serat ini mudah membentuk gel sehingga memperlambat waktu transit zat-zat makanan di dalam usus (Muchtadi 2000).
2.3.
Mengkudu (Morinda citrifolia) Menurut H.B. Guppy, seorang ilmuwan Inggris yang mempelajari
mengkudu sekitar tahun 1900, sekitar 60% dari 80 spesies Morinda tumbuh di pulau-pulau besar maupun kecil, di antaranya Indonesia, Malaysia dan pulau-pulau yang terletak di Lautan India dan Lautan Pasifik. Hanya sekitar 20 spesies Morinda yang mempunyai nilai ekonomis, antara lain: Morinda bracteata, Morinda officinalis, Morinda fructus, Morinda tinctoria dan Morinda citrifolia. Morinda citrifolia adalah jenis yang paling populer, sehingga sering disebut sebagai Queen of the Morinda (Waha 2001).
2.3.1
Deskripsi dan klasifikasi Mengkudu dengan nama latin Morinda citrifolia termasuk dalam famili
Rubiceae, merupakan jenis kopi-kopian dengan pohon dapat mencapai ketinggian sampai 9 m, tumbuh baik di dataran rendah sampai pada ketinggian tanah 1500 m di atas permukaan laut. Tanaman ini banyak terdapat di daerah tropis, Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian utara, Afrika, Madagaskar, Asia, Australia bagian utara, Melanesia dan Polynesia (BPOM 2007). Gambar buah mengkudu disajikan pada Gambar 2. Klasifikasi mengkudu menurut Carolus Linnaeus dalam Sjabana dan Bahalwan (2002) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledone
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiceae
Genus
: Morinda
Spesies
: Morinda citrifolia
Gambar 2 Buah mengkudu (Morinda citrifolia) (Sumber : dokumentasi pribadi)
Tanaman ini mempunyai batang tidak terlalu besar dan daun tersusun berhadapan dengan panjang 20-30 cm dan lebar 10-15 cm. Bunganya berwarna putih berbentuk bongkol kecil-kecil, sedangkan buahnya merupakan buah buni, berwarna hijau dengan variasi trotol-trotol. Biji mengkudu berjumlah banyak dan terdapat dalam daging buah (BPOM 2007). Buah mengkudu umumnya memiliki panjang 5-10 cm, berbongkol, permukaan tidak teratur, buah muda berwarna hijau, semakin tua menjadi kekuningan hingga putih transparan, daging buah tidak berbau sedap yang disebabkan asam kaprilat dan kaproat, juga akibat penguraian protein oleh bakteri pembusuk menjadi senyawa amin biogenik. Biji mengkudu berbentuk segitiga, keras, berwarna coklat kemerahan. Akar mengkudu berwarna coklat muda dan berjenis tunggang (Sjabana dan Bahalwan 2002). Tanaman mengkudu juga terdapat di daerah tropis di Asia, Afrika, Australia, dan daerah kepulauan di Samudra Pasifik. Mengkudu memiliki berbagai nama di daerah-daerah tersebut seperti noni di Hawaii, nonu atau nono di Tahiti, cheese fruit di Australia. Luasnya penyebaran mengkudu ini, salah satunya, dikarenakan bijinya dapat bertahan di permukaan laut dalam waktu cukup lama dan dapat mentoleransi kondisi yang beragam. Mengkudu tergolong tanaman tropis ever green, artinya selalu memiliki daun sepanjang tahun. Buahnya juga tidak mengenal musim (Sjabana dan Bahalwan 2002).
2.3.2. Pemanfaatan Secara garis besar, mengkudu digunakan sebagai pemelihara kesehatan dan membantu proses pemulihan kesehatan dari begitu banyak macam penyakit.
Pemanfaatan secara tradisional dilakukan dalam berbagai bentuk sediaan, baik untuk penggunaan secara oral (diminum) ataupun secara luar (dioleskan, dikumurkan dan lain-lain) (Sjabana dan Bahalwan 2002). Tentu setiap bentuk sediaan dan cara pemberian harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan agar dicapai keamanan dan kemanjuran penggunaanya. Mengkudu dimanfaatkan masyarakat dari akar sampai buahnya. Kulit akarnya dimanfaatkan untuk mewarnai benang, kain tenun dan batik. Daun yang masih muda digunakan untuk membungkus pindang ikan, menyembuhkan sakit pegal linu, sakit perut, dan menurunkan tekanan darah tinggi.
Bunganya
digunakan untuk mengobati radang selaput mata, kudis, bisul, sakit kerongkongan dan batuk, sedangkan kulit pohon dipakai untuk mengobati bisul, sakit perut dan luka (Waha 2001). Buah mengkudu dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk penyembuhan penyakit darah tinggi, edema, sembelit, dan perut kembung. Masyarakat di Pulau Jawa mengonsumsi buah mengkudu yang tua atau mengkal matang untuk dibuat rujak, sedangkan buah mengkudu yang matang digunakan untuk membersihkan karat logam, mencuci rambut (sampo), menghilangkan ketombe, radang tenggorokan dan dapat digunakan pada penderita narkotika (Sjabana dan Bahalwan 2002).
2.4.
Selai buah Selai buah merupakan salah satu produk pengolahan buah-buahan yang
diperoleh melalui pemasakkan hancuran buah (segar, beku, buah kaleng ataupun campuran ketiganya) yang ditambahkan gula atau campuran gula dan dekstrosa, dengan
atau
tanpa
air
hingga
mencapai
konsistensi
tertentu
(Woodroof dan Luh 1975). Satuhu (2004) menyatakan bahwa selai termasuk makanan semipadat atau kental yang terbuat dari 45 bagian bubur buah dan 35 bagian gula. Campuran dipekatkan dengan pemasakan pada api sedang sampai kandungan gulanya menjadi 68%. Suryani et al. (2004) menyatakan selai yang bermutu baik memiliki tanda atau sifat-sifat tertentu, diantaranya adalah konsisten, warna cemerlang, distribusi buah merata, tekstur lembut, flavor bahan alami, tidak mengalami sineresis dan
kristalisasi selama penyimpanan. Syarat mutu selai buah yang ditetapkan Badan Standarisasi Nasional (BSN) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Syarat mutu selai buah berdasarkan SNI 3746:2008 No
Kriteria uji
Satuan
Persyaratan
-
Normal Normal Normal
Serat buah Padatan terlarut Cemaran logam 4.1 Timah (Sn)*
% fraksi massa
Positif Min. 65
mg/kg
Maks. 250,0*
5.
Cemaran arsen
mg/kg
Maks. 1,0
6.
Cemaran mikroba 6.1 Angka lempeng total 6.2 Bakteri coliform 6.3 Staphylococcus aureus 6.4 Clostridium sp. 6.5 Kapang/khamir
Koloni/g APM/g Koloni/g Koloni/g Koloni/g
Maks. 1 x 103 <3 Maks. 2 x 101 <10 Maks. 5 x 101
1. Keadaan 1.1 Aroma 1.2 Warna 1.3 Rasa 2 3. 4.
*) Dikemas dalam kaleng Sumber : BSN (2008)
Pada dasarnya hampir semua jenis buah dapat digunakan dalam pembuatan selai, namun beberapa buah akan menghasilkan rasa yang lebih enak bila dibandingkan dengan yang lainnya. Buah yang digunakan hendaknya dipilih sesuai dengan ketersediaan yang ada di lingkungan sekitar ataupun berdasarkan rasa buah yang disukai (Suryani et al. 2004). Keadaan buah yang digunakan sangat menentukan dalam pembuatan selai. Buah yang akan dijadikan selai dipilih yang bermutu baik, belum membusuk dan sudah cukup tua. Agar diperoleh selai yang beraroma harum dan konsistensinya (kekentalan) cukup, sebaiknya digunakan campuran buah yang setengah matang dan buah yang matang penuh. Buah setengah matang akan memberikan pektin asam yang cukup, sedangkan buah yang matang penuh akan memberikan aroma yang baik (Broomfield 1996).
Selai memiliki konsistensi gel atau semi gel yang diperoleh dari interaksi senyawa pektin yang berasal dari buah atau pektin yang ditambahkan dari luar, gula (sukrosa) dan asam. Interaksi ini terjadi pada suhu tinggi dan bersifat labil setelah suhu diturunkan. Dalam pembuatan selai terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain pengaruh panas dan gula pada pemasakan serta keseimbangan proporsi gula, pektin dan asam (Suryani et al. 2004).
Pektin
diperlukan untuk membentuk gel pada produk selai. Pada pembuatan selai secara komersial, pektin yang ditambahkan berupa pektin murni berbentuk tepung yang terbuat dari apel atau jeruk. Banyaknya pektin murni yang ditambahkan sebanyak 5-10 g/kg bubur buah (Satuhu 2004). Menurut Buckle et al. (1985), stabilitas mikroorganisme dari selai dan produk serupa (jeli, marmalade, sirup buah-buahan dan sebagainya) dikendalikan oleh sejumlah faktor, yaitu : 1) Kandungan gula yang tinggi, biasanya dalam kisaran padatan terlarut antara 65 – 73%. 2) Keasaman (pH) rendah, biasanya dalam kisaran 3,1–3,5 (tergantung tipe pektin dan konsentrasi yang digunakan). 3) Nila aw berkisar 0,75 – 0,83. 4) Suhu tinggi selama pendidihan atau pemasakan (105 – 106 oC), kecuali jika diuapkan secara vakum dan dikemas pada suhu rendah. 5) Tegangan oksigen rendah selama penyimpanan (misalnya jika diisikan ke dalam wadah-wadah hermetis dalam keadaan panas). Beberapa aspek penting seperti mutu buah-buahan, prosedur pemasakan dan pengemasan, konsentrasi asam yang ditambahkan juga dapat memberikan pengaruh yang nyata pada mutu akhir dan stabilitas produk terhadap mikroorganisme. Kerusakan utama yang sering terjadi pada produk-produk selai dan jeli menurut Buckle et al. (1985) adalah : 1) Terbentuknya kristalisasi karena kadar padatan terlarut yang berlebih dan gula yang tidak cukup melarut. 2) Gel kaku karena kadar gula yang rendah. 3) Gel kurang padat dan menyerupai sirup karena kadar gula yang tinggi. 4) Pengeluaran air dari gel (sineresis) karena terlalu banyak asam.
Secara umum, proses pengolahan selai terdiri atas tiga tahap, yaitu persiapan bahan, pemasakan, dan pengisian (pengemasan).
Berikut ini akan
diuraikan tahap-tahap pembuatan selai buah (Suryani et al. 2004). 1) Tahap persiapan Sortasi bahan baku dilakukan untuk memilih bahan baku dengan kualitas yang diinginkan. Sortasi dapat dilakukan secara manual dengan memisahkan antara bahan baku yang cacat dengan yang bagus. Setelah mendapatkan buah yang bagus, dilakukan pengupasan dan pemotongan bahan baku. pencucian buah dilakukan setelahnya.
Proses
Pemotongan buah bertujuan untuk
memisahkan bagian buah yang tidak dapat dimakan dan bagian buah yang dapat dimakan. Bagian buah yang tidak dapat dimanfaatkan seperti biji dan bagian tengah buah dibuang.
Buah yang sudah dipotong-potong dapat langsung
dihancurkan dengan blender, namun apabila tidak ada blender dapat pula dihancurkan dengan parutan. Untuk beberapa jenis buah yang kurang berair, pada saat diblender dapat ditambahkan air secukupnya.
Penghancuran dilakukan
sampai terbentuk bubur buah. 2) Tahap pemasakan Pemasakan bertujuan membuat campuran gula dan bubur buah menjadi homogen, menghasilkan cita rasa yang baik dan untuk memperoleh struktur gel. Hancuran buah mula-mula dipanaskan sesaat, kemudian ditambahkan gula secara merata. Pemanasan diteruskan dan asam sitrat ditambahkan sambil diaduk hingga mendidih.
Setelah mendidih, bubur buah dapat ditambah pengawet apabila
dibutuhkan. Pembuatan selai biasanya dilakukan pada titik didih 103-105 oC. Titik akhir pemasakan dapat diketahui dengan spoon test, yaitu dengan mencelupkan sendok ke dalam selai, kemudian diangkat. Apabila selai meleleh dan tidak lama dan terpisah menjadi dua bagian, berarti selai telah terbentuk dan pemanasan dihentikan. 3) Tahap pengemasan Pemasukan selai ke dalam wadah sebaikknya dilakukan dengan cepat agar tidak terjadi pengerasan di dalam wajan. Kemasan yang umum digunakan untuk wadah selai adalah botol yang terbuat dari gelas dan bertutup rapat. Pengisian
selai ke dalam botol dapat dilakukan dengan dua cara, yakni pengisian panas (hot filling) dan pengisian dengan proses pasteurisasi. Pada pengisian panas, botol yang digunakan untuk wadah selai disterilkan terlebih dahulu dengan merebus botol atau memanaskannya dalam uap air (mengukus) sampai suhu 100 oC selama 30 menit.
Tutup botol yang akan
digunakan pun juga harus disterilkan terlebih dahulu. Sterilisasi botol sebaiknya dilakukan sesaat sebelum proses pengisian untuk mencegah tercemar kembali oleh udara dari luar sebelum proses pengisian.
Pengisian selai ke dalam botol
dilakukan pada saat selai bersuhu 88-93 oC. Apabila jumlah selai yang dibuat sedikit sebaiknya pengisian dilakukan dengan cara ini. Pada pengisian dengan proses pasteurisasi, wadah yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu, tetapi tidak perlu disterilkan. Selai yang diisikan juga tidak harus dalam keadaan panas.
Pengisian dilakukan sampai
batas ± 1 cm dari permukaan botol dan ditutup rapat. Selanjutnya dilakukan proses pasteurisasi dengan mengukus botol-botol yang telah berisi selai sampai suhu 82 oC selama 30 menit. Pengisian dengan cara ini memiliki kelemahan yaitu kadang terjadi perubahan warna dan aroma selai. Pada pembuatan selai juga dapat ditambahkan bahan pengawet anti jamur atau kapang. Umumnya bahan pengawet yang biasa ditambahkan adalah natrium benzoat (menghambat pertumbuhan khamir dan bakteri) dan asam sorbat (menghambat pertumbuhan khamir dan kapang). Natrium benzoat yang ditambahkan sebesar 0,05% (untuk makanan yang mempunyai kontaminasi awal rendah) atau 0,1% (untuk makanan yang mempunyai kontaminasi awal tinggi). Diagram alir proses pembuatan selai dapat dilihat pada Gambar 3.
Hidrokoloid (Pektin/Gelatin/Agar)
Buah segar
Pengupasan dan penghancuran
Pelarutan hidrokoloid (suhu 95-100 oC selama 5 menit)
Bubur buah
Asam sitrat o
Pemasakan (suhu 105-110 C) selama 25- 30 menit
Penambahan bahan pemanis Pengisian selai ke wadah Pendinginan
Selai buah
Gambar 3 Diagram alir proses pembuatan selai secara umum (Sumber : Satuhu 2004)
2.5.
Bahan Tambahan Pangan Bahan tambahan pangan menurut FAO (1980) adalah senyawa yang
sengaja ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan, dan atau penyimpanan (Hidayati dan Saparinto 2006). Bahan ini berfungsi untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa dan tekstur serta memperpanjang masa simpan dan bukan merupakan bahan utama.
2.5.1. Gula Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat dengan rasa manis dan sering digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa yang diperoleh dari bit atau gula tebu (Buckle et al. 1985). Gula terdapat dalam berbagai bentuk yaitu sukrosa, fruktosa, dan dekstrosa.
Jenis gula yang umumnya dikenal masyarakat adalah sukrosa.
Sukrosa dikenal sebagai gula pasir dan banyak digunakan dalam industri makanan termasuk selai. Gula pasir dapat digunakan dalam bentuk kristal halus, kristal kasar maupun cair (Suryani et al. 2004). Komposisi khas gula putih dan gula merah dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi khas gula putih dan gula merah Komposisi Kemurnian (sukrosa) Kadar air Gula pereduksi Abu Pencemar Sumber : Buckle et al. (1985)
Gula putih (%) 99,8 0,1 0,05 0,02 0,005
Gula merah (%) 92 3,5 0,5 0,5 0,01
Fungsi utama dari penambahan gula dalam pembuatan selai adalah untuk mengawetkan bahan baku selama beberapa jangka waktu agar dapat dikonsumsi karena pada konsentrasi tinggi dapat mencegah pertumbuhan bakteri, ragi dan kapang. Bahkan buah-buahan yang diawetkan dengan gula akan memiliki rasa yang enak dan nilai gizi yang baik (Suryani et al. 2004). Selain itu penambahan gula dalam pembuatan selai juga bertujuan untuk memperoleh tekstur, penampakan dan flavor yang ideal (Fachrudin 1998). Winarno (1990) menyatakan penambahan gula juga berpengaruh pada kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan menurunkan kekentalan, hal ini disebabkan gula akan mengikat air, sehingga pembengkakan butir-butir pati terjadi lebih lambat sehingga suhu gelatinasi lebih tinggi.
2.5.2. Asam sitrat Asam sitrat dengan rumus molekul C6H8O7 adalah asam trikarboksilat berbentuk kristal atau serbuk putih. Asam sitrat mempunyai rasa asam yang menyenangkan dan ditemukan dalam berbagai makanan yang berfungsi sebagai rasa asam, mencegah kristalisasi gula serta penjernih gel yang dihasilkan (Suryani et al. 2004) Asam sitrat banyak digunakan pada makanan sebagai asidulan atau zat pengasam.
Asidulan dapat bertindak sebagai penegas rasa dan warna atau
menyelubungi after taste yang tidak disukai.
Sifat asam senyawa ini dapat
mencegah pertumbuhan mikroba dan bertindak sebagai bahan pengawet. Dalam pembuatan selai, penambahan asam bertujuan mengatur pH dan menghindari pengkristalan gula. Penggunaan asam tidak mutlak, tetapi hanya apabila diperlukan saja. Apabila terlalu asam akan terjadi sineresis, yaitu keluarnya air dari gel sehingga kekentalan selai berkurang bahkan dapat sama sekali tidak berbentuk gel (Fachrudin 1998).
2.5.3. Aroma makanan (essence) Essence adalah zat berbentuk cair, padat atau pasta untuk meningkatkan aroma makanan dan minuman. Essence termasuk bahan tambahan pangan yang dapat memberikan, menambahkan dan mempertegas aroma dan rasa suatu bahan pangan (Hidayati dan Saparinto 2006). Terdapat dua jenis essence, yaitu essence alami dan essence buatan. Essence alami diekstrak dari senyawa aroma yang terdapat pada bahan pangan (ester-ester volatil), sedangkan essence buatan disintesis dari senyawa-senyawa yang menimbulkan aroma. Senyawa-senyawa ester tertentu (flavormatik) mempunyai aroma yang menyerupai aroma buahbuahan, misalnya benzil asetat yang mempunyai aroma stroberi, amil asetat mempunyai aroma stroberi dan amil kaproat mempunyai aroma nenas dan apel (Winarno 1997). Penambahan essence sangat penting dalam mempengaruhi tanggapan organoleptik suatu produk dan daya penerimaan konsumen.
Essence yang
ditambahkan pada produk selai mengkudu digunakan untuk mengurangi bau khas yang terdapat pada buah mengkudu (Mulya 2002).
3. METODOLOGI
3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian
dilaksanakan
pada
bulan
Juni
2009
sampai
dengan
Oktober 2009. Penelitian pendahuluan yang terdiri dari analisis proksimat rumput laut dan buah mengkudu dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), IPB dan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM), IPB. Proses pembuatan selai mengkudu dilakukan di Laboratorium Pengolahan Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, IPB. Pengujian organoleptik dilakukan di Laboratorium Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, IPB; analisis fisika dan kimia dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, FPIK, IPB, Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. FATETA, IPB dan Laboratorium Analisa Makanan, Departemen Gizi Masyarakat, FEMA, IPB.
3.2.
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan selai mengkudu yaitu
rumput laut Kappaphycus alvarezii yang berasal dari Pulau Panjang-Banten, buah mengkudu (Morinda citrifolia) yang diperoleh dari unit lapangan Darmaga, IPB, asam sitrat, gula pasir, dan aroma stroberi. Bahan-bahan yang digunakan dalam tahap analisis yaitu H3BO3, HCl, NaOH, Na2CO3, petroleum benzen, natrium fosfat, enzim termamil, enzim pepsin, enzim pankreatin dan etanol. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan selai mengkudu yaitu kompor, panci, pengaduk kayu, neraca analitik, talenan, gelas ukur, pisau, blender, toples selai, wadah plastik, dan termometer.
Alat-alat yang digunakan pada tahap
analisis yaitu Refraktometer ABBE, viskometer, aw meter, pH meter, oven, tanur, labu Kjeldahl, homogenizer, labu lemak, alat Soxhlet, pipet ukur, gelas piala, neraca analitik, desikator, dan cawan porselen.
3.3.
Tahapan Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap proses, yaitu penelitian
pendahuluan dan utama. 3.3.1. Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama bertujuan mengetahui nilai analisis proksimat rumput laut Kappaphycus alvarezii dan buah mengkudu (Morinda citrifolia) yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan selai mengkudu. Analisis proksimat yang dilakukan pada rumput laut Kappaphycus alvarezii meliputi kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat (by difference) dan serat pangan. Adapun analisis proksimat yang dilakukan pada buah mengkudu (Morinda citrifolia) meliputi kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat (by difference), vitamin C, serat pangan, dan pH. Tahap kedua bertujuan menentukan konsentrasi gula yang digunakan untuk memperoleh selai dengan penampakan dan tekstur ideal.
Penentuan
didasarkan pada definisi yang menyatakan bahwa selai terbuat dari tidak kurang 45 bagian berat buah-buahan dan 55 bagian berat gula (Woodroof dan Luh 1975). Kekurangan gula pada selai akan membentuk gel yang kurang kuat pada semua tingkat keasaman, sedangkan konsentrasi gula yang tinggi dapat mencegah pertumbuhan mikroba, namun konsentrasi yang ditambahkan tidak melebihi 65% untuk menghindari pembentukan kristal pada permukaan gel. Perlakuan penambahan
gula
yang
dilakukan
pada
penelitian
pendahuluan
ialah
sebagai berikut : a) Perlakuan 1 : penambahan gula pasir sebanyak 45% b) Perlakuan 2 : penambahan gula pasir sebanyak 55% c) Perlakuan 3 : penambahan gula pasir sebanyak 65% Produk yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan selanjutnya dianalisis secara subyektif dengan menggunakan uji skoring yang meliputi parameter warna, tekstur, aroma, rasa dan daya oles. Penentuan perlakuan terbaik dilakukan dengan uji Kruskall-Wallis dan jika analisis ragam berbeda nyata, maka dilanjutkan
dengan uji Duncan. Produk dengan konsentrasi gula terbaik selanjutnya akan digunakan pada penelitian utama. 3.3.2. Penelitian utama Penelitian utama terdiri atas pembuatan selai dengan penambahan rumput laut Kappaphycus alvarezii. Tahap ini bertujuan menentukan konsentrasi rumput laut terbaik yang ditambahkan ke dalam selai mengkudu. Rumput laut yang ditambahkan masing-masing sebanyak 0%, 15%, 20% dan 25% dari berat daging buah (Fitrianto 2006). Konsentrasi asam sitrat yang ditambahkan sebesar 0,15% (Mulya 2002) dari berat daging buah yang digunakan. Formulasi pembuatan selai mengkudu dengan penambahan rumput laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Formulasi pembuatan selai mengkudu dengan penambahan rumput laut
Bahan Rumput laut basah* Daging buah mengkudu Gula pasir Asam sitrat Essence stroberi
Perlakuan 0% 15% 20% 25% 150 g Dari hasil penelitian pendahuluan 0,23 g 1g
*) Keterangan : Modifikasi dari Mulya (2002)
Proses pembuatan selai mengkudu dilakukan dengan modifikasi metode yang dilakukan oleh Mulya (2002) yaitu sebagai berikut : 1) Buah mengkudu yang digunakan dipilih yang cukup tua ditandai dengan berwarna putih kekuningan, utuh, tidak berlubang atau busuk dan masih keras (Djauhariya dan Rosman 2006). Buah kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran atau benda asing yang menempel. 2) Buah yang telah bersih kemudian dilakukan blanching (perebusan dalam air mendidih, suhu 90-95 oC selama 3-5 menit). Setelah perebusan, dilakukan pengulitan dan pemotongan buah dengan memisahkan daging buah dengan bijinya, kemudian buah dihancurkan dengan blender. 3) Proses pembuatan bubur rumput laut dilakukan sebagai berikut : rumput laut Kappaphycus alvarezii yang digunakan ialah rumput laut basah.
Pengeringan rumput laut dimaksudkan untuk memperpanjang masa simpan. Rumput laut kering dicuci hingga bersih. Setelah dicuci, rumput laut kemudian direndam selama 1 hari dalam air tawar dengan perbandingan air 1:20 (b/v). 4) Setelah direndam, rumput laut ditiriskan dan ditimbang sebanyak 0%; 15%; 20%; dan 25% dari banyak daging buah lalu dipotong dengan ukuran ± 1-2 cm untuk memudahkan dalam penghancuran.
Penghancuran
kemudian dilakukan dengan menggunakan blender hingga menjadi bubur rumput laut. 5) Bubur rumput laut kemudian dimasak. Suhu pemasakan berkisar antara 95-97 oC selama 20-25 menit. Selama pemasakan ditambahkan buah yang telah dihancurkan (bubur buah), asam sitrat, gula dan aroma stroberi. Penentuan titik akhir pemasakan selai dilakukan dengan metode spoon test, yaitu dengan mencelupkan sendok ke dalam selai, kemudian diangkat. Apabila masakan meleleh tidak lama dan terpisah menjadi dua bagian, berarti selai telah terbentuk dan pemanasan dihentikan (Fachruddin 1997). 6) Pengemasan dilakukan dengan memasukkan selai ke dalam wadah toples. Sebelumnya toples yang akan digunakan disterilkan dengan merebusnya dalam air mendidih untuk menghindari kontaminasi dengan bakteri. Proses pembuatan selai dapat dilihat pada Lampiran 20. Diagram alir pembuatan selai mengkudu (Morinda citrifolia) dapat dilihat pada Gambar 4.
Masing-masing produk yang dihasilkan kemudian diuji
organoleptik (uji skoring) untuk mendapatkan produk terbaik. Produk terbaik dan kontrol kemudian diuji karakteristik kimia dan fisikanya yang meliputi kadar serat pangan, total padatan terlarut, vitamin C, pH, aw, dan viskositas. Score sheet uji skoring selai mengkudu dapat dilihat pada Lampiran 1.
Rumput laut kering* (Kappaphycus alvarezii)
Buah mengkudu (Morinda citrifolia)
Pencucian
Pencucian
Perendaman 24 jam Rumput laut : air = 1 : 20
Blanching (perebusan) (T= 90 - 95 oC; t= 3-5 menit)
Pemotongan ± 1-2 cm
Pembuangan biji dan pemotongan daging buah
Penghancuran (blender) Penghancuran buah Bubur rumput laut Bubur buah mengkudu
Pencampuran
Pemasakan (95-97 C; t= 20-25 menit) atau hingga terbagi menjadi dua bagian ketika dicelupkan sendok (spoon test).
Gula Asam sitrat Aroma stroberi
o
Selai Mengkudu
Pengemasan
Sterilisasi wadah
Gambar 4 Pembuatan selai mengkudu (Morinda citrifolia) (Mulya 2002 dengan modifikasi*)
3.4.
Prosedur Analisis
3.4.1. Uji organoleptik (Rahayu 2001) Uji organoleptik merupakan uji yang dilakukan dengan memanfaatkan kepekaan indera manusia sebagai instrumennya. Pengujian dilakukan terhadap selai mengkudu (Morinda citrifolia) yang telah ditambahkan rumput laut Kappaphycus alvarezii masing-masing dengan konsentrasi 0%, 15%, 20% dan 25%. Parameter yang diamati meliputi penampakan, aroma, kekentalan, daya oles, dan rasa. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji skoring, dimana setiap panelis diharuskan memberikan tanggapan pribadinya terhadap produk yang disajikan. Uji organoleptik dilakukan untuk mendapatkan produk selai mengkudu dengan penambahan rumput laut terbaik atau dengan nilai tertinggi pada parameter warna, aroma, penampakan, kekentalan, daya oles, dan rasa.
(1)
Uji skoring (Rahayu 2001) Uji skoring dilakukan untuk menilai sifat organoleptik yang spesifik dari
selai mengkudu. Pengujian organoleptik ini dilakukan untuk mencari konsentrasi rumput laut yang terbaik untuk ditambahkan pada selai mengkudu (Morinda citrifolia). Uji skoring dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih. Skala yang digunakan adalah skala numerik dengan 7 skala. Score sheet untuk uji skoring dapat dilihat pada Lampiran 1. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan Statistical Package for Social Science (SPSS) menggunakan uji Kruskall Wallis dan uji lanjut Duncan apabila pengujian berbeda nyata.
(2)
Uji perbandingan berpasangan (Rahayu 2001) Uji perbandingan berpasangan adalah uji sederhana yang digunakan untuk
mengetahui kelebihan satu sampel dibandingkan dengan produk komersial. Pada penelitian ini, uji perbandingan berpasangan dilakukan terhadap selai mengkudu dengan formulasi rumput laut terpilih dibandingkan dengan selai mengkudu komersial, namun karena selai mengkudu komersial belum ada, maka digunakan selai stroberi komersial karena pada pembuatan selai mengkudu digunakan essence stroberi.
Pada
uji
perbandingan
berpasangan,
panelis
melakukan
penilaian
berdasarkan formulir isian (Lampiran 2) dengan memberikan skor berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik atau lebih buruk berupa angka dengan skala -3 sampai +3, dimana -3 = sangat kurang baik, -2 = kurang baik, -1 = agak kurang baik, 0 = tidak berbeda, +1 = agak lebih baik, +2 = lebih baik, dan +3 = sangat lebih baik. 3.4.2. Analisis fisika Analisis fisika yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis total padatan terlarut dan warna. (1) Total padatan terlarut (Faridah et al. 2008) Total padatan terlarut dari selai mengkudu diukur dengan menggunakan alat Refraktometer ABBE. Contoh yang akan diukur diteteskan pada prisma refraktometer. Nilai yang terbaca pada skala batas gelap dan terang menujukkan besarnya total padatan terlarut pada produk tersebut dalam saatuan % Brix. (2) Viskositas (Cottrel dan Kovacs 1980) Pengukuran viskositas selai mengkudu dilakukan dengan menggunakan viscometer Brookfield pada suhu 50 oC dengan kecepatan 60 rpm. Contoh (selai mengkudu) ditimbang sebanyak 3 g dan dilarutkan dengan 250 ml aquades dalam gelas piala yang telah diketahui beratnya.
Setelah contoh larut sempurna,
ditambahkan aquades hingga berat total larutan mencapai 300 g.
Kemudian
larutan contoh dimasukkan ke dalam viscometer dan angka yang terbaca dikalikan 10 untuk memperoleh nilai viskositas contoh.
3.4.3. Analisis kimia Analisis kimia yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, vitamin C, serat pangan, aw dan pH. (1) Analisis kadar air (AOAC 1995) Contoh Kappaphycus alvarezii ditimbang sebanyak 5 g dan ditempatkan dalam cawan yang sebelumnya telah dikeringkan dan diketahui beratnya. Contoh dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 16 jam, kemudian didinginkan
dalam desikator lalu ditimbang. Untuk menghitung kadar air digunakan rumus sebagai berikut :
Kadar air (%) =
A-B x100% A
Keterangan : A = berat contoh mula-mula (g) B = berat contoh setelah dikeringkan (g) (2) Analisis kadar abu (AOAC 1995) Abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 500 oC.
Penetapan kadar abu
dilakukan dengan metode oven. Sebanyak 5 g contoh Kappaphycus alvarezii ditimbang dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya. Contoh kemudian diarangkan di atas kompor dan dikeringkan dalam oven.
Selanjutnya contoh diabukan dalam tanur pada
suhu 500 oC sampai diperoleh abu berwarna abu-abu dan ditimbang sampai bobot tetap. Untuk menghitung kadar abu digunakan rumus sebagai berikut : Kadar abu (%) =
Berat abu (gram) x100% Berat sampel (gram)
(3) Analisis kadar protein (AOAC 1995) Kadar protein ditetapkan berdasarkan oksidasi bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi ammonia.
Selanjutnya amonia bereaksi dengan
kelebihan asam membentuk ammonium sulfat. Larutan dibuat menjadi basa dan ammonia diuapkan untuk kemudian diserap dalam larutan asam borat. Nitrogen yang terkandung dalam larutan dapat ditentukan dengan titrasi menggunakan HCl 0,02 N. Penetapan kadar protein menggunakan metode Kjeldahl-mikro. Contoh Kappaphycus alvarezii ditimbang sebanyak 2 g dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1 tablet Kjeldahl dan 20 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi di ruang asam sampai cairan jernih, kemudian didinginkan. Cairan yang diperoleh selanjutnya dilarutkan ke dalam labu takar 100 ml, dipipet sebanyak 10 ml ke dalam alat destilasi serta ditambahkan 8 ml NaOH 60% dan 8 ml N2S2O3 5%. Hasil destilasi ditampung dalam 10 ml asam borat (H3BO3) 4%,
lalu dititrasi dengan larutan standar HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu atau biru. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Nitrogen (%) =
(A - B) x N HCl x 14,007 x100% mg sampel
Kadar protein (%) = % Nitrogen x faktor konversi Keterangan : A = ml titrasi sampel B = ml titrasi blanko
(4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995) Contoh diekstrak dengan pelarut heksana. Kemudian pelarut yang digunakan diuapkan sehingga tersisa lemak dari contoh.
Lemak tersebut kemudian
ditimbang dan dihitung presentasenya. Penentuan kadar lemak dilakukan dengan metode ekstraksi Soxhlet. Sebanyak 5 g contoh yang telah dihaluskan, dibungkus dengan kertas saring, selanjutnya dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet, lalu dialiri dengan air pendingin melalui kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 oC selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20 - 30 menit dan ditimbang.
Berat residu dalam labu lemak dinyatakan sebagai berat lemak.
Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar lemak (%) =
Berat lemak (gram) x100% Berat sampel (gram)
(5) Analisis kadar karbohidrat by difference Kadar karbohidrat dihitung dengan menghitung sisa (by difference) yaitu dengan rumus sebagai berikut : Kadar karbohidrat (%) = 100% - (% air + % abu + % protein + % lemak)
(6) Vitamin C metode oksidimetri (Apriyantono et al. 1989)
Kandungan vitamin C dari selai mengkudu ditentukan dengan cara titrasi iod/oksidimetri. Sebanyak 10 g contoh dilarutkan dengan akuades dalam labu takar 100 ml lalu disaring. Setelah itu, sebanyak 10 ml larutan contoh diambil, ditetesi indikator pati sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi menggunakan larutan iod 0,01 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi biru. Tiap ml iod equivalen dengan 0,88 mg asam askorbat. Kadar vitamin C dalam produk dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar vitamin C (%) =
V1 Fp
V1 x 0,88 x Fp x100% Berat sampel (gram)
= Jumlah larutan iod yang digunakan (ml) = Faktor pengenceran (=100 ml/10 ml)
(7) Uji aktivitas air (aw) (Apriyantono et al. 1989)
Prinsip analisis aw yaitu mengetahui jumlah air bebas yang terdapat dalam contoh bahan. Contoh yang telah dirajang kecil-kecil sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam wadah plastik yang khusus disediakan untuk aw meter sebanyak setengah dish dan dipadatkan selama 0,5 jam. Wadah berisi contoh dipasang pada sensor. Nilai aw dapat dilihat pada grafik setelah menunjukkan garis lurus.
(8) Kadar serat pangan metode enzimatik (Sulaeman et al. 1993)
Penentuan kadar serat pangan terdiri dari persiapan contoh dan penentuan kadar serat pangan tidak larut (IDF) dan serat pangan larut (SDF). (1) Persiapan contoh a) Contoh homogen diekstrak lemaknya dengan petroleum benzene pada suhu kamar selama 15 menit, jika kadar contoh melebihi 6-8 %. Penghilangan lemak dari contoh bertujuan untuk memaksimumkan degradasi pati. b) Sebanyak 1 ml contoh dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Kedalamnya ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat dan dibuat menjadi
suspense. Penambahan buffer dimaksudkan untuk menstabilkan enzim termamyl. c) Sebanyak 100 µL termamyl dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Labu ditutup dan diinkubasi pada suhu 100 0C selama 15 menit, sambil sekali-kali diaduk. Tujuan penambahan termamyl dan pemanasan adalah untuk memecah pati dengan menggelitanisasi terlebih dahulu. d) Labu diangkat dan didinginkan, kemudian ditambahkan 200 ml air destilata dan pH larutan diatur sampai menjadi 1,5 dengan menambahkan HCl 4 M. Selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin. Pengaturan pH hingga 1,5 dimaksudkan untuk mengkondisikan agar aktivitas enzim pepsin maksimum. e) Erlenmeyer ditutup dan diinkubasi pada suhu 40 oC dan diagitasi selama 60 menit. f)
Sebanyak 20 ml air destilata ditambahkan dan pH diatur menjadi 6,8 dengan
NaOH.
Pengaturan
menjadi
pH
6,8
ditujukan
untuk
memaksimumkan aktivitas enzim pankreatin. g) Ditambahkan 100 mg enzim pankreatin ke dalam larutan. Labu ditutup dan diinkubasi pada suhu 40 oC selama 60 menit sambil diagitasi. h) Selanjutnya pH diatur dengan HCl menjadi 4,5. i)
Larutan disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) yang mengandung 0,5 g celite kering (serta tepat diketahui). Kemudian dicuci dengan 2x10 ml air destilata dan diperoleh residu dan filtrat.
Residu digunakan untuk penentuan serat pangan tidak larut,
sementara filtrate digunakan untuk penentuan serat pangan larut. (2) Penentuan serat pangan tidak larut (IDF) a) Residu dicuci dengan 2x10 ml etanol 95% dan 2x10 ml aseton kemuidan dikeringkan pada suhu 105 oC, sampai berat tetap (sekitar 12 jam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). b) Residu diabukan di dalam tanur pada suhu 500 oC selama paling sedikit 5 jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang setelah dingin (I1). (3) Penentuan serat pangan larut (SDF) a) Volume filtrat diatur dengan air sampai 100 ml.
b) Sebanyak 400 ml etanol 95 % hangat (60
o
C) ditambahkan dan
diendapkan selama 1 jam. c) Larutan disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0,5 g celite kering, kemudian dicuci dengan 2x10 ml etanol 78%, 2x10 ml etanol 95% , dan 2x10 ml aseton. d) Endapan dikeringkan pada suhu 105 oC selama satu malam (sampai berat konstan) dan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (D2). e) Residu diabukan pada tanur 500 oC selama paling sedikit 5 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (I2). (4) Penentuan serat pangan total (TDF) Serat pangan total diperoleh dengan menjumlahkan nilai serat pangan tidak larut (IDF) dan serat pangan (SDF). Blanko yang digunakan diperoleh dengan metode yang sama, tetapi tanpa penambahan contoh. Nilai blanko yang digunakan perlu diperiksa ulang, terutama bila menggunakan enzim dari kemasan yang baru. (5) Rumus perhitungan nilai IDF dan SDF Nilai IDF =
D1 - I1 - B1 x100% W
Nilai SDF =
D2 - I2 - B2 x100% W
Nilai TDF (%) = Nilai IDF (%) + nilai SDF (%) Keterangan : W B D I
= Berat contoh (g) = Berat blanko bebas serat (g) = Berat setelah analisis dan dikeringkan (g) = Berat setelah diabukan (g)
(9) Analisis pH (Apriyantono et al. 1989)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter. Buah mengkudu sebanyak 10 gram ditimbang dan dihomogenisasi dengan 90 ml air destilat. Kemudian pH diukur dengan pH-meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer standar pH 4 dan 7.
3.5.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data (Steel dan Torrie 1989)
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial dengan satu faktor (konsentrasi penambahan rumput laut 0%, 15%, 20%, dan 25%) dan dua kali ulangan. Model rancangan percobaan menurut Steel dan Torrie (1989) adalah : Yij = μ + σi + εij Keterangan : Yij
=
μ σi εij
= = =
Respon pengaruh faktor penambahan rumput laut pada selai mengkudu pada konsentrasi ke-i pada ulangan ke-j Nilai rata-rata umum Pengaruh perlakuan Pengaruh kesalahan percobaan (error) karena perlakuan ke-i pada ulangan ke-j
Hipotesis rancangan acak lengkap (RAL) faktorial terhadap selai mengkudu adalah sebagai berikut : •
H0 = Penambahan rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan berbagai konsentrasi tidak memberikan pengaruh berbeda terhadap mutu selai mengkudu yang dihasilkan
•
H1 = Ada satu konsentrasi yang memberikan pengaruh berbeda terhadap mutu selai mengkudu yang dihasilkan Statistika non-parametrik yang dilakukan pada hasil uji organoleptik
adalah uji Kruskal-Wallis. Langkah-langkah metode pengujian Kruskal-Wallis adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993) : 1)
Merumuskan H0 dan H1
2)
Perankingan
3)
Membuat tabel ranking
4)
Menghitung jumlah T(t-1)(t+1)
5)
Menghitung faktor koreksi/pembagi Pembagi =1 −
T n ( n − 1)( n + 1)
6)
Menghitung H H=
7)
2
Ri - 3 (n + 1) n i
Menghitung H’ H’ =
8)
12 x∑ n( n + 1)
H pembagi
Melihat x2 tabel dengan α = 0,05 x2 hitung > x2 tabel = tolak H0 x2 hitung < x2 tabel = gagal tolak H0
Keterangan : Ri = jumlah ranking pada perlakuan ke-i ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i n = jumlah total pengamatan H’ = H terkoreksi Apabila diantara perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan karakterisasi rumput laut kering Kappaphycus alvarezii dan buah mengkudu (Morinda citrifolia) yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan selai. Tahap kedua dilakukan untuk menentukan konsentrasi gula terbaik yang ditambahkan ke dalam selai mengkudu. Produk yang dihasilkan kemudian diuji organoleptik (uji skoring) untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis. Perlakuan terbaik selanjutnya akan digunakan pada penelitian utama.
4.1.1. Karakterisasi rumput laut kering Kappaphycus alvarezii dan buah mengkudu (Morinda citrifolia)
Karakterisasi yang dilakukan terhadap rumput laut kering Kappaphycus alvarezii meliputi analisis kadar air, abu (mineral), protein, lemak, karbohidrat, dan serat pangan. Rumput laut yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari hasil budidaya di Pulau Panjang, Banten. Hasil analisis proksimat dari rumput laut kering Kappaphycus alvarezii dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Karakteristik rumput laut kering Kappaphycus alvarezii Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar lemak (%) Kadar protein (%) Kadar karbohidrat (%) Total serat pangan (%) Serat larut air (%) Serat tidak larut air (%)
Keterangan : a Asra (2006)
Rumput laut kering Kappaphycus alvarezii Hasil analisis Pembandinga 32,83 ± 1,36 33,82 14,48 ± 1,34 12,16 2,58 ± 1,29 0,06 3,35 ± 0,01 2,93 79,89 ± 0,03 84,85 14,11 ± 0,04 26,64 9,50 ± 0,00 3,14 4,61 ± 0,03 23,50
Berdasarkan Tabel 5 diperoleh kadar air rumput laut kering Kappaphycus alvarezii sebesar 32,83%. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang
dilakukan Asra (2006) dan masih sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan BSN mengenai syarat mutu rumput laut kering, yaitu maksimal 35%. Kadar air pada rumput laut merupakan komponen yang penting karena berhubungan dengan mutu rumput laut. Kappaphycus alvarezii segar mengandung kadar air yang cukup tinggi, yang mencapai 80-90% (Winarno 1990).
Tingginya kadar air
rumput laut dapat mempercepat terjadinya kerusakan akibat adanya aktivitas mikroorganisme. Kadar abu rumput laut kering Kappaphycus alvarezii diperoleh sebesar 14,48%.
Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak dapat
terbakar dari zat yang dapat menguap.
Kappaphycus alvarezii memiliki
kandungan mineral yang baik untuk nutrisi, dengan kandungan mineral terbesar ialah klor (pada ganggang merah 1,5-3,5/100 g bahan kering) (Winarno 1990). Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen yang mempunyai sifat dapat larut dalam pelarut tertentu, seperti etanol, eter, kloroform dan benzena (Winarno 1997).
Kadar
lemak yang diperoleh rumput laut kering Kappaphycus alvarezii sebesar 2,58%. Jenis lemak yang terdapat pada rumput laut laut merupakan jenis lemak nabati. Kandungan protein yang terdapat pada rumput laut kering Kappaphycus alvarezii yaitu sebesar 3,35%. Kandungan protein yang bevariasi pada rumput laut
dapat
terjadi
karena
perbedaan
spesies
dan
musim
panen
(Fleurence 1999 dan Galland-Irmouli et al. 1999 dalam Matanjun et al. 2008). Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan secara by difference.
Kadar
karbohidrat pada rumput laut yang diperoleh sebesar 79,59%. Polisakarida merupakan komponen yang tertinggi pada rumput laut, hingga mencapai 40-70% dari berat keringnya. Jenis polisakarida yang terdapat pada Kappaphycus alvarezii yaitu karagenan, yang antara lain berfungsi sebagai pengental, penstabil, pembentuk gel dan lainnya. Kandungan total serat pangan pada rumput laut Kappaphycus alvarezii kering sebesar 14,11%, dengan kadar serat larut air 9,50% dan serat tidak larut 4,61%.
Serat pangan (dietary fiber) adalah bahan pangan yang tidak dapat
dihidrolisis oleh enzim pencernaan (Muchtadi 2000).
Karakteristik juga dilakukan pada buah mengkudu (Morinda citrifolia), sebagai bahan baku pembuatan selai. Buah yang digunakan ialah buah yang sudah cukup tua, ditandai dengan warna putih kekuningan. Parameter yang diuji meliputi kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat, pH, total serat pangan, dan vitamin C. Karakteristik buah mengkudu (edible portion) secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Karakteristik buah mengkudu (Morinda citrifolia) Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar lemak (%) Kadar protein (%) Kadar karbohidrat (%) Total serat pangan (%) Vitamin C (mg) pH
Morinda citrifolia Hasil analisis Pembandingb 91,54 ± 0,14 91,29 0,58 ± 0,03 0,56 0,26 ± 0,03 1,24 ± 0,05 1,25 6,37 ± 0,06 6,37 ± 0,05 166,42 ± 0,02 45,55 3,92 ± 0,00 3,66
Keterangan : b Hatasura (2004), menggunakan buah mengkudu dari Cimanggu-Bogor.
Air merupakan komponen terbesar yang terkandung dalam bahan segar. Kadar air buah mengkudu (Morinda citrifolia) sebesar 91,54%. Tingginya kadar air dalam bahan baku ini menunjukkan bahwa bahan baku yang digunakan memiliki tingkat kesegaran yang baik. Fardiaz et al. (1992) menyebutkan air berperan dalam menentukan kesegaran dan daya tahan serta mempengaruhi penampakan tekstur dan cita rasa makanan. Dari hasil analisis yang dilakukan diperoleh kadar abu buah mengkudu mencapai 0,58%. Kadar abu menunjukkan keberadaan kandungan mineral atau bahan-bahan anorganik dalam suatu bahan.
Mahmud et al. (1990)
dalam Hatasura (2004) menyatakan bahwa di dalam 100 g buah mengkudu yang dapat dimakan terkandung unsur besi sebanyak 6,9 mg, kalsium sebanyak 296 mg, dan fosfor sebesar 40 mg. Buah mengkudu yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan lemak sebesar 0,27%. Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia (Winarno 1997). Lemak yang terdapat pada buah mengkudu tergolong lemak nabati.
Protein merupakan salah satu unsur penting dalam bahan makanan. Kandungan
protein
buah
mengkudu
diperoleh
sebesar
1,24%.
Suhardjo dan Kusharto (1987) dalam Hatasura (2004) menyebutkan tanaman memperoleh unsur protein dari tanah dan udara sekitarnya, sedangkan nitrogen diperoleh dari tanah dalam bentuk senyawa nitrat dan nitrit. Kandungan karbohidrat pada buah mengkudu diperoleh nilai sebesar 6,37% secara by difference. Pada tanaman, karbohidrat dibentuk dari reaksi CO2 dan H2O dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel tanaman yang berklorofil (Winarno 1997). Serat pangan yang terdapat pada buah mengkudu diperoleh sebesar 6,37%, dengan kandungan serat larut air sebesar 1,92% dan kandungan serat tidak larut sebesar 4,45%. Winarti (2005) mengungkapkan buah mengkudu mengandung komponen serat pangan yang cukup tinggi, yaitu 3% (3g/100 g) buah yang dapat dimakan, sehingga berpotensi untuk diproses menjadi produk olahan berserat tinggi. Buah dan sayur merupakan sumber vitamin C yang baik bagi tubuh. Buah mengkudu yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan vitamin C yang cukup besar yaitu 166,42 mg/100 g. Kandungan vitamin C pada suatu bahan sangat bervariasi bahkan dalam varietas yang sama sekalipun (Gaman dan Sherington 1992 dalam Hatasura 2004). Derajat keasaman (pH) ialah suatu nilai yang menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan suatu produk. Hasil uji pH buah mengkudu diperoleh sebesar 3,92, yang berarti asam (pH kurang dari 7).
4.1.2. Penentuan konsentrasi gula terbaik yang ditambahkan ke dalam selai mengkudu (Morinda citrifolia)
Tahap ini dilakukan untuk menentukan satu konsentrasi gula terbaik yang ditambahkan ke dalam selai mengkudu yang masih dapat diterima oleh panelis dengan uji skoring.
Selai dengan konsentrasi gula terbaik selanjutnya akan
digunakan pada penelitian utama.
(1)
Uji skoring
Konsentrasi gula yang ditambahkan yaitu 45%, 55%, dan 65%. Penentuan ini didasarkan pada definisi yang menyatakan bahwa selai terbuat dari tidak kurang
45
bagian
berat
(Woodroof dan Luh 1975).
buah-buahan
dan
55
bagian
berat
gula
Parameter selai mengkudu yang diuji meliputi
penampakan, aroma, rasa, tekstur dan daya oles. a)
Penampakan
Nilai rata-rata uji organoleptik terhadap penampakan selai mengkudu pada penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 5.
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 5 Histogram nilai rata-rata penampakan selai pada penelitian pendahuluan Penilaian penampakan pada selai buah mengkudu dilakukan dengan memberikan penilaian secara keseluruhan.
Nilai rata-rata panelis terhadap
penampakan produk selai berkisar antara 5,13 (merah, agak cerah, agak menarik) sampai dengan 6,02 (merah tua, cerah, menarik).
Nilai rata-rata tertinggi
diperoleh pada perlakuan penambahan gula 55% dengan nilai 6,02 dan nilai ratarata terendah yaitu pada perlakuan penambahan gula 45%. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penambahan gula yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap penampakan selai mengkudu.
Perbedaan ini
disebabkan gula akan mengalami proses karamelisasi (pencoklatan) apabila dipanaskan.
Winarno (1997) menyatakan bahwa pemanasan larutan sukrosa
hingga melampaui titik leburnya yaitu lebih dari 170 oC akan menyebabkan karamelisasi gula, sehingga semakin banyak gula yang ditambahkan akan menyebabkan warna selai semakin kurang cerah. Dari Gambar 5 diketahui bahwa selai dengan penambahan gula sebanyak 55% paling disukai panelis. Hal ini dipengaruhi oleh gula yang ditambahkan dalam selai pada saat pemasakan yang membantu perubahan warna selai menjadi cerah. Penambahan gula sebanyak 45% kurang disukai panelis karena gula yang ditambahkan terlalu sedikit sehingga kurang mempengaruhi warna selai. Penambahan gula lebih dari 55% juga kurang disukai panelis karena warna yang dihasilkan terlalu gelap.
Data skoring penampakan selai dapat dilihat pada
Lampiran 3.
b)
Aroma
Penambahan gula tidak hanya menyebabkan pencoklatan pada produk tetapi juga mempengaruhi aroma produk, hal ini dapat dilihar dari nilai rata-rata uji organoleptik terhadap aroma selai mengkudu pada Gambar 6.
Keterangan : Huruf-huruf superscripts pada histogram yang sama (a) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05)
Gambar 6 Histogram nilai rata-rata aroma selai pada penelitian pendahuluan Penilaian rata-rata panelis terhadap aroma selai berkisar antara 4,95 (harum, spesifikasi mengkudu sedang, sedikit bau tambahan, kurang enak) sampai dengan 5,23 (harum, spesifikasi mengkudu sedang, sedikit bau tambahan, agak enak). Nilai rata-rata tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan gula
55% dengan nilai 5,23 dan nilai rata-rata terendah yaitu pada perlakuan penambahan gula 45%. Data skoring aroma selai dapat dilihat pada Lampiran 4. Gula yang dipanaskan hingga melampaui titik leburnya akan membentuk karamelisasi (Winarno 1997), yang dapat memberikan aroma pada produk. Perbedaan konsentrasi gula yang tidak terlalu jauh menyebabkan aroma karamelisasi yang terdapat pada selai tidak berbeda nyata. Selain itu penambahan essence dengan konsentrasi yang sama untuk setiap perlakuan diduga menyebabkan aroma yang tidak berbeda nyata antar setiap perlakuan.
c)
Tekstur
Tekstur adalah penginderaan yang berhubungan dengan rabaan atau sentuhan. Penilaian rata-rata panelis terhadap tekstur selai berkisar antara 5,13 (homogen, sedikit lembut) sampai dengan 6,02 (homogen, lembut. Data skoring tekstur selai dapat dilihat pada Lampiran 5.
Nilai rata-rata uji organoleptik
terhadap tekstur selai mengkudu dapat dilihat pada Gambar 7.
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 7 Histogram nilai rata-rata tekstur selai pada penelian pendahuluan Nilai rata-rata tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan gula 55% dengan nilai 5,63 dan nilai rata-rata terendah yaitu pada perlakuan penambahan gula 45% yaitu 5,13. Tekstur selai antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi gula yang ditambahkan. Selai dengan konsentrasi gula 45% kurang disukai panelis karena gula yang ditambahkan terlalu sedikit, sehingga membentuk gel yang besar
dan kaku, sedangkan pada konsentrasi gula lebih dari 55% penambahan gula terlalu banyak sehingga menyebabkan gel menjadi kurang padat dan menyerupai sirup (Suryani et al. 2004). Pada konsentrasi gula 55% diduga tekstur yang dihasilkan cukup baik sehingga paling disukai panelis. Jumlah penambahan gula yang tepat pada pembuatan selai tergantung pada banyak faktor, antara lain tingkat keasaman buah, kandungan gula dalam buah, dan tingkat kematangan buah. Kandungan gula yang ideal pada produk selai berkisar 60 - 65%.
d)
Rasa
Salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu produk ialah rasa, meskipun penilaian parameter yang lain baik tetapi jika rasanya tidak enak maka produk akan segera ditolak oleh konsumen. Nilai rata-rata uji organoleptik terhadap rasa selai mengkudu dapat dilihat pada Gambar 8.
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 8 Histogram nilai rata-rata rasa selai pada penelitian pendahuluan Penilaian rata-rata panelis terhadap rasa selai berkisar antara 4,9 (agak enak, rasa agak manis dan rasa asam kurang) sampai dengan 5,53 (agak enak, rasa manis cukup, rasa asam cukup). Selai mengkudu dengan penambahan gula sebanyak 45% kurang disukai panelis karena rasa yang dihasilkan kurang manis. Buah mengkudu memiliki bau dan rasa menyengat yang membuatnya kurang disukai (Winarti 2005). Penambahan bahan tambahan seperti asam, gula, dan
flavor akan mengurangi bau tersebut.
Selai dengan konsentrasi gula 55%
merupakan yang paling disukai panelis dengan nilai 5,53. Rasa buah mengkudu yang agak pahit akan semakin tertutupi dengan penambahan gula yang semakin banyak. Pada konsentrasi gula 65% agak kurang disukai panelis karena rasa yang dihasilkan terlalu manis. Data skoring rasa selai dapat dilihat pada Lampiran 6.
e)
Daya oles
Parameter uji yang spesifik pada produk selai ialah daya oles. Daya oles merupakan kemampuan selai untuk dioleskan secara merata pada roti.
Data
skoring daya oles selai dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil uji organoleptik terhadap parameter aroma selai mengkudu dapat dilihat pada Gambar 9.
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 9 Histogram nilai rata-rata daya oles selai pada penelitian pendahuluan Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa penilaian rata-rata panelis terhadap daya oles selai cukup dapat diterima panelis. Nilai rata-rata penilaian berkisar antara 4,72 (kurang mudah dioles) sampai dengan 5,28 (cukup mudah dioles). Nilai rata-rata tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan gula 55% dengan nilai 5,28 dan nilai rata-rata terendah yaitu pada perlakuan penambahan gula 45% yaitu 4,72. Daya oles erat kaitannya dengan tekstur, tekstur yang kaku atau terlalu encer akan sulit dioleskan secara merata. Semakin banyak gula yang ditambahkan akan membuat selai semakin encer. Pada konsentrasi 45% diduga gula yang dibutuhkan untuk membentuk gel belum tercukupi sehingga daya oles yang dihasilkan kurang baik, sedangkan pada konsentrasi 65% diduga gula yang
dibutuhkan berlebih dari yang dibutuhkan sehingga membuat tekstur selai agak encer sehingga sulit dioleskan.
Pada konsentrasi 55% diduga gula yang
ditambahkan cukup sehingga tekstur yang dihasilkan paling disukai panelis.
4.2.
Penelitian Utama
Penelitian
utama
bertujuan
menentukan
konsentrasi
rumput
laut
Kappaphycus alvarezii terbaik yang ditambahkan pada selai mengkudu. Penelitian utama terdiri atas pembuatan selai dengan penambahan rumput laut untuk meningkatkan kadar serat pangan pada selai mengkudu. Produk yang dihasilkan kemudian diuji organoleptik untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap produk selai yang dihasilkan.
Produk terbaik selanjutnya
dianalisis secara fisika dan kimia. 4.2.1. Pembuatan selai mengkudu dengan penambahan rumput laut Kappaphycus alvarezii
Proses pembuatan selai buah dimulai dengan menyortir buah mengkudu yang akan digunakan. Buah mengkudu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yang sudah cukup tua, ditandai dengan berwarna putih kekuningan, utuh, tidak berlubang atau busuk dan masih keras (Djauhariya dan Rosman 2006). Hal ini diperkuat dengan dengan pendapat Bruggencate (1992) dalam Nurdini (2004) yang menyatakan sebaiknya memanfaatkan buah mengkudu mengkal, yaitu buah yang sudah mulai matang tetapi teksturnya masih keras. Selain itu buah yang sudah mulai matang mempunyai kandungan gizi dan rasa yang cukup. Buah mengkudu yang matang memiliki aroma yang tidak sedap. Bau tidak sedap ini disebabkan oleh kandungan asam kaproat dan kaprat yang semakin meningkat kadarnya seiring matang buah (Winarti 2005). Buah kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran atau benda asing yang menempel. Buah yang telah bersih kemudian dilakukan blanching (pemanasan bahan pangan pada suhu mendidih atau hampir mendidih pada waktu yang singkat). Proses blanching dilakukan untuk menginaktifkan atau mematikan mikroorganisme patogen, menghindari reaksi pencoklatan enzimatik yang terjadi pada buah sehingga dapat mencegah warna coklat yang tidak
diinginkan, meningkatkan keasaman buah, dan meningkatkan kandungan pektin, karena kenaikan pektin terjadi ketika buah mengalami pemanasan, sebagian senyawa pektat yang tidak larut air terhidrolisa menjadi pektin yang larut air (Satuhu 2004). Setelah direbus, buah kemudian dikuliti dan dipotong dengan memisahkan daging buah dengan bijinya, kemudian buah dihancurkan dengan blender. Selanjutnya dilakukan pembuatan bubur rumput laut.
Rumput laut
Kappaphycus alvarezii yang telah direndam kemudian ditiriskan dan ditimbang sebanyak 0%; 15%; 20%; dan 25% dari banyak daging buah lalu dipotong dengan ukuran ± 1-2 cm untuk memudahkan dalam penghancuran. Penghancuran kemudian
dilakukan
dengan
menggunakan
blender
hingga
menjadi
bubur rumput laut. Bubur rumput laut kemudian dimasak. Suhu pemasakan berkisar antara o
95-97 C selama 20-25 menit. Selama pemasakan ditambahkan buah yang telah dihancurkan (bubur buah), asam sitrat, gula dan aroma stroberi. Asam sitrat ditambahkan untuk mengurangi nilai pH sehingga didapatkan pH optimum bagi pembentukan gel dan meningkatkan cita rasa buah. Pemberian aroma stroberi dilakukan mengacu pada perlakuan terbaik yang dilakukan Mulya (2002). Pemasakan bertujuan membuat campuran gula dan bubur buah menjadi homogen dan menghilangkan air yang berlebihan sehingga selai yang dihasilkan menjadi pekat (Fachruddin 1997). Pemasakan dihentikan apabila masakan meleleh tidak lama dan terpisah menjadi dua bagian saat dicelupkan sendok dan diangkat (spoon test). Hal ini menunjukkan selai telah terbentuk dan pemanasan dihentikan (Fachruddin 1997). Pengemasan dilakukan dengan memasukkan selai ke dalam wadah toples yang telah disterilkan dengan merebusnya dalam air mendidih untuk menghindari kontaminasi dengan bakteri.
4.2.2. Pengujian organoleptik selai buah mengkudu
Uji organoleptik yang dilakukan terdiri dari dua jenis, yaitu uji skoring dan uji perbandingan berpasangan.
Uji skoring dilakukan untuk mendapatkan
karakteristik spesifik dari masing-masing produk selai yang dihasilkan. Produk
yang paling dapat diterima panelis kemudian dibandingkan dengan produk komersil (uji perbandingan berpasangan). (1)
Uji skoring
Uji skoring yang dilakukan menggunakan 30 orang panelis semi terlatih, yaitu panelis yang sebelumnya sudah pernah mengikuti uji organoleptik produk-produk perikanan. Konsentrasi rumput laut yang ditambahkan yaitu 0%, 15%, 20%, dan 25%. Penilaian yang dilakukan meliputi parameter penampkan, aroma, tekstur, rasa dan daya oles.
a)
Penampakan
Penampakan merupakan daya tarik awal bagi konsumen dalam memilih produk. Cara penilaiannya dilakukan dengan menggunakan indera penglihatan. Penampakan produk yang rapih, utuh dan warna menarik umumnya membuat konsumen tertarik. Nilai rata-rata uji organoleptik terhadap penampakan selai mengkudu pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 10.
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 10 Histogram nilai rata-rata penampakan selai pada penelitian utama Dari Gambar 10 diketahui bahwa penampakan selai cenderung disukai panelis seiring dengan penambahan rumput laut. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan berkisar antara 3,92 (merah muda, kurang cerah, agak menarik) sampai 5,46 (merah, cerah, menarik) (Lampiran 10). Nilai rataan tertinggi yaitu pada penambahan rumput laut 20% sebesar 5,46 sedangkan
terendah pada konsentrasi 25%. Selai mengkudu dengan penambahan rumput laut sebanyak 20% merupakan selai yang lebih disukai panelis, hal ini disebabkan warna yang terbentuk akibat penambahan rumput laut dan essence lebih cerah dan menarik. Penambahan rumput laut lebih dari 20% menyebabkan warna selai kurang cerah dan menarik, hal ini diduga penambahan rumput laut dapat menyebabkan warna yang terbentuk pada selai memudar (kurang cerah), sehingga semakin besar konsentrasi rumput laut yang ditambahkan menyebabkan warna selai yang terbentuk menjadi kurang cerah. Warna merah yang terdapat pada selai disebabkan oleh essence stroberi yang tambahkan. Jenis pewarna (ponceau 4R) yang ditambahkan termasuk dalam jenis pewarna yang aman dikonsumsi (Hidayati dan Saparinto 2006). Selai yang bermutu baik memiliki ciri antara lain konsisten, warna cemerlang, distribusi buah merata, tekstur lembut, flavor bahan alami, dan tidak mengalami sineresis dan kristalisasi selama penyimpanan (Suryani 2004).
b) Aroma
Aroma merupakan parameter yang banyak menentukan mutu suatu bahan pangan (Winarno 1997). Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma berkisar antara 4,28 sampai 4,9 (harum, spesifikasi mengkudu sedang, sedikit bau tambahan, dan kurang enak) (Lampiran 11). Nilai rataan tertinggi yaitu pada penambahan rumput laut 20 % sebesar 4,90 sedangkan terendah pada konsentrasi 25% yaitu 4,28. Nilai rata-rata uji organoleptik terhadap aroma selai mengkudu pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 11. Tingkat kematangan buah yang digunakan pun juga mempengaruhi aroma selai.
Agar diperoleh selai dengan aroma dan tekstur yang baik digunakan
campuran buah setengah matang dan buah yang matang. Buah setengah matang akan memberikan pektin yang cukup, sedangkan buah yang matang akan memberikan aroma yang baik (Satuhu 2004). Buah mengkudu matang memiliki aroma yang kurang sedap, oleh sebab itu buah yang digunakan pada penelitian bersifat cukup tua.
7
a6 m or 5 a at 4 ar -a 3 ta ri 2 ail 1 N
4,58ab
4,48ab
4,90a
15%
20%
4,28a
0 0%
25%
Konsentrasi rumput laut
Keterangan : Huruf-huruf superscripts pada histogram yang sama (a) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05)
Gambar 11 Histogram nilai rata-rata aroma selai pada penelitian utama Dari hasil uji organoleptik yang dilakukan menunjukkan bahwa penambahan rumput laut dengan konsentrasi berbeda tidak memberikan pengaruh berbeda nyata untuk setiap perlakuan. Diduga selai mengkudu yang dihasilkan memiliki aroma yang seragam sehingga penilaian panelis tidak berbeda nyata. Rumput laut yang digunakan hampir tidak berbau, sehingga aroma selai mengkudu berasal dari buah mengkudu dan essence stroberi yang ditambahkan.
c) Tekstur
Nilai rata-rata uji organoleptik terhadap tekstur selai mengkudu pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 12. 7
ru stk 6 et 5 4 ta a r- 3 a ta 2 ri la i 1 N0
5,47b 4,57a
0%
4,72a
15%
4,4a
20%
25%
Konsentrasi rumput laut
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 12 Histogram nilai rata-rata tekstur selai pada penelitian utama
Berdasarkan Gambar 12 diketahui bahwa semakin banyak rumput laut yang ditambahkan maka tekstur selai yang dihasilkan cenderung kurang disukai panelis karena tekstur selai semakin kasar dan kurang homogen. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur selai berkisar antara 4,40 (agak homogen, agak kasar) sampai 5,47 (homogen, sedikit lembut).
Nilai rataan
tertinggi yaitu pada penambahan rumput laut 20% sebesar 5,47 sedangkan terendah pada konsentrasi 25% yaitu 4,40 (Lampiran 12). Tekstur selai mengkudu dengan penambahan rumput laut antara lain dipengaruhi oleh kombinasi antara pektin dari buah mengkudu dengan karagenan dari rumput laut. Kappaphycus alvarezii memiliki kandungan karagenan yang cukup tinggi, berkisar antara 54 – 73% tergantung pada jenis dan lokasinya (Aslan 2006). Selain itu kekuatan gel yang dimiliki kappa karagenan merupakan yang paling kuat bila dibandingkan dengan lambda dan iota. Penambahan rumput laut 15% akan menghasilkan tekstur yang menyerupai agar, sedangkan penambahan rumput laut lebih dari 20% menghasilkan tekstur yang padat menyerupai jelly.
d) Rasa
Nilai rata-rata uji organoleptik terhadap rasa selai mengkudu pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 13. Parameter rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain (Winarno 1997). 7 6 a sa 5 r a t4
5,38b
4,33a
4,55 a
0%
15% 20% 25% Konsentrasi rumput laut
4,07a
a -ra 3 ta ri 2 la i1 N0
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 13 Histogram nilai rata-rata rasa selai pada penelitian utama
Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa selai berkisar antara 4,07 (agak enak, rasa agak manis dan rasa asam kurang) sampai 5,38 (agak enak, rasa manis cukup, rasa asam cukup).
Nilai rataan tertinggi yaitu pada
penambahan rumput laut 20% sebesar 5,47 sedangkan terendah pada konsentrasi 25% yaitu 4,40 (Lampiran 13). Semakin banyak rumput laut yang ditambahkan akan membuat rasa selai semakin hambar, oleh karena itu konsentrasi rumput laut lebih dari 20% cenderung kurang disukai panelis. Interaksi antar bahan penyusun suatu produk secara langsung akan mempengaruhi rasa akhir produk tersebut. Penambahan rumput laut dengan konsentrasi yang berbeda-beda dan bahan penyusun lainnya (buah, gula, essence) tetap akan membuat tingkat kemanisan selai berkurang.
e) Daya oles
Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap daya oles selai berkisar antara 4,22 (kurang mudah dioles) sampai 5,82 (cukup mudah dioles). Nilai rataan tertinggi yaitu pada penambahan rumput laut 20% sebesar 5,82 sedangkan terendah pada selai tanpa penambahan rumput laut dengan nilai 4,22 (Lampiran 14). Nilai rata-rata uji organoleptik terhadap daya oles selai mengkudu pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 14.
7
esl 6 o 5 ay ad 4 at 3 ar 2 a-t ar 1 ia 0 il N
5,82b 4,53a
0%
4,25a
15%
4,22a
20%
25%
Konsentrasi rumput laut
Keterangan : Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 14 Histogram nilai rata-rata rasa daya oles pada penelitian utama Dari Gambar 14 dapat diketahui bahwa penambahan rumput laut cenderung menurunkan tingkat kesukaan panelis terhadap daya oles selai
mengkudu. Hal ini diduga semakin banyak rumput laut yang ditambahkan akan membuat tekstur selai menjadi kasar dan tidak homogen sehingga sulit untuk dioles. Pembentukan gel pada selai campuran buah dan rumput laut dipengaruhi oleh kadar pektin dan karagenan. Buah-buahan yang akan matang mengandung pektin yang cukup banyak, dimana semakin matang buah akan menurunkan kandungan pektin karena adanya enzim yang memecah pektin menjadi asam pektat dan alkohol (Suryani et al. 2004). Pada penambahan rumput laut 20%, daya oles selai tersebut paling disukai panelis. Pada konsentrasi tersebut, karagenan yang terkandung dalam rumput laut membantu pektin membentuk gel yang tepat sehingga mudah dioleskan (Broomfield 1996). Pada konsentrasi rumput 25%, tekstur selai yang dihasilkan kasar sehingga sulit untuk dioleskan pada roti. Hasil uji organoleptik terhadap parameter daya oles pada penelitian utama menunjukkan bahwa penambahan rumput laut dengan konsentrasi yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa selai dengan konsentrasi rumput laut 20% berbeda nyata dengan selai dengan konsentrasi rumput laut 0%, 15% dan 25%.
(2) Uji perbandingan berpasangan
Uji
perbandingan
berpasangan
ialah
uji
yang
dilakukan
untuk
membandingkan produk terbaik hasil uji hedonik dengan produk komersial. Selai yang menjadi pembanding yaitu selai strawberi merek “Morin”. Berdasarkan komunikasi pribadi yang dilakukan penulis di salah satu supermarket, selai “Morin” merupakan selai yang paling banyak dibeli konsumen. Selama ini selai mengkudu belum dijual secara komersial di pasaran, tetapi baru terbatas pada program penelitian.
Selai strawberi merek “Morin” digunakan sebagai
pembanding karena selai mengkudu yang dihasilkan pada penelitian ini menggunakan essence strawberi, untuk mengurangi bau kurang sedap pada buah mengkudu (Mulya 2002). Perbandingan selai komersial dengan selai terbaik hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Perbandingan selai komersial/selai strawberi (A) dengan selai mengkudu terbaik hasil penelitian (B) Uji perbandingan berpasangan dilakukan dengan penilaian antara +3 (sangat lebih baik) hingga -3 (sangat kurang baik) (Lampiran 17). Parameter yang diujikan mencakup penampakan, aroma, tekstur, dan daya oles.
Hasil
penilaian uji perbandingan berpasangan antara selai komersial dengan selai mengkudu yang telah ditambahkan rumput laut menunjukkan penampakan dan tekstur yang relatif lebih baik dibandingkan dengan selai komersial. Parameter aroma dan daya oles selai mengkudu dengan penambahan rumput laut cenderung menunjukkan nilai yang kurang baik bila dibandingkan dengan selai komersial. Histogram nilai
rata-rata uji perbandingan berpasangan dapat dilihat
pada Gambar 16.
3
jiu n 2 at ag n a ar in gn1 0,76 -a d sa ta n a p ri ab re0 r lai ep b Penampakan N -1
0,26 Aroma -0,2
Tekstur
Daya oles -0,6
-2 -3
Parameter
Gambar 16 Histogram nilai rata-rata uji perbandingan berpasangan selai mengkudu dengan selai komersial
Hasil penilaian panelis pada uji perbandingan berpasangan menunjukkan penampakan selai mengkudu dengan penambahan rumput laut lebih baik dibandingkan dengan selai komersial. Selai mengkudu dengan penambahan rumput laut memiliki warna yang lebih cerah dibandingkan dengan selai komersial. Berbeda dengan penampakan, parameter aroma menunjukkan hal yang berbeda.
Penilaian panelis menyatakan parameter aroma kurang baik bila
dibandingkan dengan selai komersial. Hal ini diduga penambahan essence kurang menutupi bau mengkudu yang dihasilkan. Penilaian panelis terhadap tekstur selai mengkudu dengan penambahan rumput laut cenderung sedikit lebih baik dibandingkan dengan selai komersial. Buah mengkudu memiliki tekstur yang agak kasar setelah dihancurkan sehingga menyebabkan tekstur selai berserat, dan daya oles selai kurang merata bila dioleskan pada roti. Selai mengkudu yang dihasilkan cenderung lebih cocok untuk pengisi kue.
4.2.3. Karakteristik fisika selai mengkudu
Produk selai terbaik berdasarkan uji organoleptik selanjutnya diuji karakteristik fisiknya, yang meliputi total padatan terlarut dan viskositas. Produk selai mengkudu terbaik akan dibandingkan dengan selai mengkudu tanpa penambahan rumput laut. Rekapitulasi data karakteristik fisika selai buah mengkudu dengan penambahan rumput laut terpilih dapat dilihat pada Lampiran 18a.
Karakteristik fisika selai mengkudu secara lengkap disajikan
pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik fisika selai mengkudu dan selai mengkudu dengan penambahan rumput laut Parameter Total padatan terlarut (%) Viskositas (cp)
Produk selai mengkudu Rumput laut 0 % Rumput laut 20 % 66,5 ± 0,00a
70,5 ± 0,00b
127000 ± 0,00a
312000 ± 0,00b
Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05).
Total padatan terlarut menunjukkan total padatan yang terdapat pada selai mengkudu. Sumber padatan yang terdapat pada selai mengkudu terutama berasal
dari buah mengkudu, gula dan rumput laut. Nilai TPT diukur menggunakan refraktometer. Dari Tabel 7 dapat dilihat nilai rata-rata total padatan terlarut produk selai tanpa penambahan rumput laut sebesar 66,5% dan setelah ditambahkan rumput laut 20% meningkat menjadi 70,5%. Nilai ini masih sesuai dengan SNI selai buah (BSN 2008) yang menyatakan total padatan terlarut selai minimal 65%. Peningkatan TPT ini diduga terjadi karena penambahan rumput laut yang menambah massa padatan terhadap produk selai sehingga meningkatkan nilai total padatan terlarut. Semakin tinggi nilai TPT akan menghasilkan selai dengan tekstur kasar sehingga akan membuat daya oles selai rendah. Glicksman (1983) menyatakan viskositas sebagai gesekan di bagian dalam suatu fluida, sehingga dipengaruhi oleh banyaknya partikel yang terkandung dalam suatu larutan dan besarnya bahan pengental yang ditambahkan akan mempengaruhi besarnya nilai viskositas. Penambahan rumput laut pada selai menyebabkan nilai viskositas semakin tinggi. Hal ini diduga semakin banyak rumput laut yang ditambahkan maka akan meningkatkan jumlah partikel dan bahan pengental dalam bahan, sehingga partikel-partikel dalam bahan semakin sering bertabrakan dan menyebabkan semakin banyak pula gesekan yang terjadi dalam larutan. Rumput laut terdiri atas polisakarida sebagai komponen utama yang berupa hidrokoloid yang mampu menyerap air dalam jumlah besar sehingga viskositas selai akan meningkat Glicksman (1983). Selama ini standar viskositas selai yang baik belum ada. Sebagai perbandingan, penelitian yang dilakukan Setyaningsih (2004) menunjukkan nilai viskositas produk selai nanas dengan penambahan rumput laut dan gula (1:1:3) yang dilakukan sebesar 78550 cp.
4.2.4. Karakteristik kimia selai mengkudu
Setiap bahan makanan memiliki karakteristik susunan kimia yang berbeda-beda. Karakteristik dilakukan untuk membandingkan antara selai tanpa penambahan rumput laut dengan perlakuan terbaik (penambahan rumput laut 20%).
Rekapitulasi data karakteristik fisika selai buah mengkudu dengan
penambahan rumput laut terpilih dapat dilihat pada Lampiran 19. Karakteristik kimia yang dilakukan meliputi analisis serat pangan (dietary fiber), vitamin C, aw,
dan pH. Hasil pengujian karakteristik kimia selai mengkudu secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Karakteristik kimia selai mengkudu dan selai mengkudu dengan penambahan rumput laut Parameter Total serat pangan (%) Serat pangan larut (%) Serat pangan tidak larut (%) Vitamin C (mg/100 g) Aktivitas air (aw) Nilai pH
Produk selai mengkudu Rumput laut 0 % Rumput laut 20 % a 2,83 ± 0,01 18,08 ± 0,09a a 1,60 ± 0,0 15,75 ± 0,00a a 1,23 ± 0,03 2,35 ± 0,00a 47,92 ± 0,86b 36,97 ± 0,40a a 0,9 ± 0,00 0,89 ± 0,00a 3,31 ± 0,01a 3,64 ± 0,01a
Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf superscripts berbeda (a,b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05).
Berdasarkan kelarutannya dalam air, serat pangan terbagi menjadi dua jenis yaitu serat pangan tidak larut air (insoluble dietary fiber) (IDF) dan serat pangan larut air (soluble dietary fiber) (SDF) (Ramulu dan Rao 2003). Penambahan rumput laut dapat meningkatkan kadar serat pangan selai mengkudu. Nilai rata-rata IDF selai mengkudu tanpa penambahan rumput laut yaitu 1,23% dan setelah ditambahkan rumput laut sebanyak 20% meningkat menjadi 2,35%. Peningkatan juga terjadi pada SDF, selai kontrol memiliki kadar serat pangan larut sebesar 1,6%, sedangkan selai dengan penambahan rumput laut memiliki kadar serat larut 15,75%. Total serat pangan selai kontrol yaitu 2,83% sedangkan selai mengkudu dengan penambahan rumput laut sebesar 18,08%. Pada selai mengkudu tanpa penambahan rumput laut, sumber serat pangan hanya berasal dari kandungan pektin yang terdapat dalam buah mengkudu, sedangkan pada selai dengan penambahan rumput laut, sumber serat selain berasal dari buah mengkudu juga berasal dari rumput laut Kappaphycus alvarezii. Hampir sebagian serat pangan yang terkandung dalam makanan bersumber dari pangan nabati. Serat tersebut berasal dari dinding sel berbagai jenis buah-buahan, sayuran, serealia, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan lain-lain (Muchtadi 2000). Almatsier (2004) menyatakan angka kecukupan gizi (AKG) rata-rata serat pangan yang dianjurkan per orang setiap hari sebesar 30 g. AKG
serat pangan dari dari satu kerat (lembar) roti yang diolesi selai tanpa penambahan rumput laut sebanyak kurang lebih satu sendok makan (10 gram) dapat memenuhi 0,94%; sedangkan selai mengkudu dengan penambahan rumput laut dapat memenuhi 6,03% AKG (Lampiran 18b). Proporsi komponen serat pangan sangat bervariasi antara satu bahan pangan dengan bahan pangan lainnya.
Faktor-faktor seperti spesies, tingkat
kematangan, bagian tanaman yang dikonsumsi, dan perlakuan terhadap bahan tersebut sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dan fisik dari serat pangan serta peran fisiologis serat dalam tubuh (Muchtadi 2000). Aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju dari banyak reaksi kimia dalam makanan dan pertumbuhan mikroba (Labuza 1980 dalam DeMan 1989). Nilai aw yang berbeda akan menyebabkan perbedaan jenis mikroorganisme yang mungkin tumbuh pada produk tersebut, karena tiap mikroorganisme memiliki kisaran aw minimum yang berbeda untuk pertumbuhannya, seperti bakteri yang memiliki aw minimum 0,90, khamir 0,80-0,90, dan kapang 0,60-0,70 (DeMan
1989).
Semakin
rendah
nilai
aw
kemungkinan
tumbuhnya
mikroorganisme pun akan semakin kecil karena fase lag pertumbuhan dapat diperpanjang dan dapat menurunkan jumlah sintesa sel (Frazier dan Westhoff 1988 dalam Setyaningsih 2004).
Brackett (1997) dalam Nieminen (2009)
menyatakan bahwa selai umumnya memiliki nilai aw sebesar 0,82-0,94. Kandungan vitamin C selai mengkudu mengalami penurunan bila dibandingkan dengan buah mengkudu segar yang mencapai 166,42 mg/100 g. Penurunan kandungan vitamin C ini disebabkan oleh perlakuan panas yang diberikan ketika proses pembuatan produk. DeMan (1989) menyatakan vitamin C merupakan vitamin yang paling tidak stabil atau mudah rusak.
Berdasarkan
Tabel 8 diketahui bahwa selai tanpa penambahan rumput laut memiliki kandungan vitamin C yang lebih besar yaitu 47, 92 mg/100 g bila dibandingkan dengan selai yang telah ditambahkan rumput laut (36,97 mg/100 g).
Hal ini disebabkan
sumber utama vitamin C pada produk selai berasal dari buah mengkudu, sehingga penambahan rumput laut akan menyebabkan volume massa selai bertambah dan menyebabkan penurunan kandungan vitamin C pada produk. Almatsier (2004) menyatakan angka kecukupan gizi (AKG) rata-rata vitamin C yang dianjurkan per
orang setiap hari sebesar 60 mg. AKG vitamin C dari dari satu kerat (lembar) roti yang diolesi selai tanpa penambahan rumput laut sebanyak kurang lebih satu sendok makan (10 gram) dapat memenuhi 7,98%. Sedangkan selai mengkudu dengan penambahan rumput laut dapat memenuhi 6,17% AKG. Derajat keasaman (pH) menunjukkan tingkat keasaman maupun kebasaan suatu zat.
Seringkali nilai pH digunakan sebagai indikator kerusakan bahan
makanan karena pengontrolan nilai pH merupakan salah satu cara untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Winarno 1997). Nilai pH berkisar antara 0-14. Apabila suatu bahan memiliki nilai pH 7, bahan tersebut tergolong netral, dibawah 7 tergolong asam, dan diatas 7 tergolong basa. Dari Tabel 8 diketahui nilai rata-rata pH selai mengkudu mengalami peningkatan setelah ditambahkan rumput laut.
Rumput laut Kappaphycus alvarezii yang
digunakan dalam penelitian ini memiliki pH netral ke arah alkali, sehingga semakin banyak rumput laut yang ditambahkan akan semakin berkurang keasamannya. Nilai pH yang semakin kecil akan membuat produk lebih awet karena umumnya mikroba tidak tahan pada suasana asam.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Komposisi formulasi gula terpilih yang digunakan pada pembuatan selai
mengkudu
diperoleh
sebesar
55%.
Penambahan
rumput
laut
Kappaphycus alvarezii dengan konsentrasi 20% memberikan pengaruh nyata terhadap mutu selai mengkudu yang dihasilkan, namun tidak ada interaksi antar faktor yang memberikan pengaruh yang nyata pada produk yang dihasilkan. Produk selai mengkudu terpilih (dengan penambahan rumput laut 20 %) memiliki karakteristik fisika sebagai berikut, yaitu total padatan terlarut dan viskositas masing-masing sebesar 70,5% dan 312000 cp. Karakteristik kimia selai mengkudu terpilih yaitu kandungan vitamin C sebesar 36,97 mg/100 g, aktivitas air (aw) 0,89, pH sebesar 3,64, dan total serat pangan18,08%, dengan kadar serat larut air 15,75%, dan kadar serat tidak larut air 2,35%. Hasil pengujian organoleptik menunjukkan selai buah mengkudu dengan penambahan rumput laut cukup dapat diterima panelis. Nilai organoleptik yang diperoleh berkisar antara 4,43-4,79 dari skala 7.
5.2.
Saran
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah : 1) Perlu dilakukan uji penyimpanan untuk mengetahui umur simpan selai. 2) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh selai roti dengan viskositas yang lebih kecil. 3) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menghilangkan bau yang terdapat pada buah mengkudu (penambahan ekstrak buah nanas dan penghilangan asam) dan mempertahankan kandungan zat aktifnya agar tidak rusak pada saat proses pemasakan.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor : Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2009. Basis data statistik http://database.deptan.go.id/bdsp/newdata.asp [2 Januari 2009].
pertanian.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington Virginia, USA: Published by The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Aslan LM. 1998. Budidaya Rumput Laut. Yogyakarta: Kanisius. Asra. 2006. Pembuatan minuman rumput laut (Kappaphycus alvarezii) dan evaluasi karakteristiknya [skripsi]. Bogor: Program studi Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Intitut Pertanian Bogor. Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanografi LIPI. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2007. Serial data ilmiah terkini tumbuhan obat, mengkudu (Morinda citrifolia L.). Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. Selai buah, SNI 3746:2008. Jakarta: Departemen Perindustrian. Broomfield RW. 1996. The Manufacture of Preserves, Flavourings and Dried Fruits. Di Dalam : Arthey D, Ashurst PR, editor. Fruit Processing. London: Blackie Academic and Professional. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan Purnomo H, Adiono. Jakarta: Universitas Indonesia. Cottrel, Kovacs 1980. Alginates. Di dalam : Davidson RI, editor. Hand Book of Water Soluble Gums and Resin. New York: McGraw-Hill book Co.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2007. Jakarta: DKP. DeMan JM. 1989. Kimia Bandung : Penerbit ITB.
Makanan.
Padmawinata
K,
penerjemah.
Dewi M, Rakhmawaty D, Perwita F. 2008. Pelatihan pemanfaatan mengkudu menjadi selai mengkudu yang bergizi dan kaya akan manfaat pada ibu-ibu PKK di Desa Kedung Jati Demak. PKM Pengabdian Masyarakat. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Djauhariya E, Rosman R. 2006. Status perkembangan teknologi tanaman mengkudu. http://balittro.litbang.deptan.go.id/ [15 Mei 2009]. Ekantari N. 2009. Rumput laut sebagai alternatif sumber serat dalam produk pangan. www.lipi.com [4 September 2009] Fachruddin. 2008. Membuat Aneka Selai. Yogyakarta: Kanisius. Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Buku dan Monograf. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Faridah DN, Kusnandar F, Herawati D, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrati D. 2008. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fitrianto A. 2006. Karakteristik selai campuran rumput laut (Gracilaria sp.) dan jambu biji (Psidium guajava L.) [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Intitut Pertanian Bogor. Glicksman M. 1983. Food Hidrocolloids. Vol. II, Florida: CRS Press Inc, Boca Raton Hatasura RN. 2004. Pengaruh jenis bahan pengisi dan pemanis terhadap minuman instan dari daun jati belanda (Guazuma ulmifolia) dan buah mengkudu (Morinda citrifolia) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Petanian, Institut Pertanian Bogor. Herdiani F. 2003. Pemanfaatan rumput laut (Eucheuma cottonii) untuk meningkatkan kadar iodium dan serat pangan pada selai dan dodol [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hidayati D, Saparinto C. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta : Kanisius. Mahendra B. 2005. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta : Penebar Swadaya.
Matanjun P, Mohamed S, Mustapha NM, Muhammad K. 2009. Nutrient content of tropical edible seaweeds, Eucheuma cottonii, Caulerpa lentillifera and Sargassum polycystum. J. Appl. Phycol. 21: 75-80. Muchtadi D. 2000. Sayur-sayuran, Sumber Serat dan Antioksidan : Mencegah Penyakit Degeneratif. Bogor : Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta, Institut Pertanian Bogor. Mulya FR. 2002. Mempelajari penaruh penambahan hidrokoloid dan lama penyimpanan terhadap sifat fisiko kimiawi dan daya terima selai rendah kalori buah mengkudu (Morinda citrifolia) [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nieminen T. 2009. Detection of harmful microbes and their metabolites with novel methods in the agri-food production chain [tesis]. Finland : Faculty of Technology, Department of Process and Environmental Engineering, University of Oulu. http://herkules.oulu.fi [25 November 2009]. Nurdini R. 2004. Pembuatan sari buah mengkudu (Morinda citrifolia) dengan off odour yang minimal [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Petanian, Institut Pertanian Bogor. Ortiz J, Romero N, Robert P, Araya J, Lopez-Hernandez, Bozzo C, Navarrete E, Osorio A, Rios A. 2004. Dietary fiber, amino acid, fatty acid and tocopherol contents of the edible seaweeds Ulva lactuca and Durvillaea antarctica. Food Chemistry. 99(1) : 98-104. Rahayu P. 2008. Perbedaan penggunaan jenis bahan pengenyal terhadap kualitas kembang gula jelly mengkudu (Morinda citrifolia) [skripsi]. Semarang : Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang. Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ramulu P, Rao PU. 2003. Total, insoluble and soluble dietary fiber contents of Indian fruits. Journal of Food Composition and Analysis 16: 677–685. Santoso J, Yoshie Y, Suzuki T. 2004. Mineral, fatty acid and dietary fiber compositions in several Indonesian seaweeds. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 11: 45-51. Satuhu S. 2004. Penanganan dan Pengolahan Buah. Jakarta : Penebar Swadaya. Setyaningsih D. 2004. Karakteristik selai campuran rumput laut jenis Gracilaria verrucosa dan nanas (Ananas comosus) [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Sjabana D, Bahalwan RR. 2002. Pesona Tradisional dan Ilmiah Mengkudu (Morinda citrifolia). Jakarta: Salemba Medika. Steel RGD, Torrie JH. 2003. Statistika Dasar. Sumantri B, penerjemah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari : Principles and Procedures of Statistic. Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan, Marliyati SA. 1993. Merode Analisis Komposisi Zat Gizi Makanan. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sulistijani DA. 2005. Sehat dengan Menu Berserat. Jakarta : Puspa Swara. Suryani A, Hambali E, Rivai M. 2004. Membuat Aneka Selai. Jakarta : Penebar Swadaya. Tsang G. 2005. Soluble Fiber vs Insoluble Fiber. http://www.healthcastle.com/ fiber-solubleinsoluble.shtml [30 Agustus 2009] Turowski M, Deshmukha B, Harfmanna R, Conklinb J, Lynch S. 2006. A method for determination of soluble dietary fiber in methylcellulose and hydroxypropyl methylcellulose food gums. Journal of Food Composition and Analysis 20 : 420–429. Waha MG. 2001. Sehat dengan Mengkudu. Jakarta: MSF Grup. Winarno FG. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. __________. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Winarti C. 2005. Peluang pengembangan minuman fungsional dari buah mengkudu (Morinda citrifolia). Jurnal Litbang Pertanian 24(4) : 149-154. Woodroof JG, Luh BS. 1975. Commercial Fruit Processing. Connecticut : The AVI Publishing Company, Inc. Yulianti HA. 2005. Pemanfaatan rumput laut Gracilaira sp.sebagai pengental pada pembuatan selai mangga kweni (Mangifera odorata Friff) [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Zuccarello, Giuseppe C, Critchley AT, Smith J, Sieber V, Lhonneur GB, West JA. 2006. Systematics and genetic variation in commercial Kappaphycus and Eucheuma (Solieriaceae, Rhodophyta). J. Appl. Phycol. 18: 643–651.
Lampiran 1. Lembar uji organoleptik (scoresheet) selai mengkudu UJI ORGANOLEPTIK (UJI SKORING)
Nama Panelis : …………………… Kondisi : Sehat Sakit, ……
Tanggal Uji Produk
: ……………………. : Selai mengkudu
• Berilah tanda 9 pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji dan tuliskanlah komentar anda terhadap produk.
Spesifikasi
Nilai
1. Penampakan - Merah tua, sangat cerah, sangat menarik - Merah tua, cerah, menarik - Merah, agak cerah, agak menarik - Merah muda, cerah, agak menarik - Merah muda, kurang cerah, agak menarik - Merah muda, kusam, kurang menarik - Merah muda, sangat kusam, tidak menarik
7 6 5 4 3 2 1
2. Aroma - Harum, tidak ada spesifikasi mengkudu, tanpa bau tambahan, enak - Harum, spesifikasi mengkudu lemah, tanpa bau tambahan, enak - Harum, spesifikasi mengkudu sedang, sedikit bau tambahan, agak enak - Harum, spesifikasi mengkudu sedang, sedikit bau tambahan, kurang enak - Spesifikasi mengkudu agak kuat, bau tambahan agak keras, kurang enak - Spesifikasi mengkudu agak kuat, bau tambahan agak keras, tidak enak - Spesifikasi mengkudu sangat kuat, bau tambahan sangat keras, tidak enak
7 6 5 4 3 2 1
Kode contoh
Kode contoh Spesifikasi
Nilai
3. Tekstur - Sangat homogen, lembut - Homogen, lembut - Homogen, sedikit lembut - Agak homogen, agak kasar - Kurang homogen, agak kasar - Kurang homogen, kasar - Tidak homogen, sangat kasar
7 6 5 4 3 2 1
4. Rasa - Enak, rasa sangat manis dan rasa asam cukup - Enak, rasa manis dominan, rasa asam kurang - Agak enak, rasa manis cukup, rasa asam cukup - Agak enak, rasa agak manis dan rasa asam kurang - Kurang enak, rasa kurang manis, rasa terlalu asam, sedikit pahit - Kurang enak, tidak manis, rasa terlalu asam, sedikit pahit - Tidak enak, pahit
7 6 5 4 3 2 1
5. Daya oles - Sangat mudah dioles - Mudah dioles - Cukup mudah dioles - Kurang mudah dioles - Agak sulit dioles - Sulit untuk dioles - Sangat sulit dioles
7 6 5 4 3 2 1
Komentar : ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… - Terima kasih
Lampiran 2. Lembar uji organoleptik (scoresheet) uji perbandingan berpasangan selai mengkudu UJI PERBANDINGAN BERPASANGAN
Nama Panelis : …………………… Tanggal Uji : ……………………. Produk : Selai mengkudu dengan penambahan rumput laut Instruksi : Nyatakan tingkat kesukaan Anda terhadap penampakan, aroma, kekentalan dan daya oles produk yang disajikan dengan produk pembanding M. Berilah tanda 9 pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara. Spesifikasi 1. Penampakan Sangat lebih baik Lebih baik Agak lebih baik Tidak berbeda Agak kurang baik Kurang baik Sangat kurang baik 2. Aroma Sangat lebih baik Lebih baik Agak lebih baik Tidak berbeda Agak kurang baik Kurang baik Sangat kurang baik 3. Tekstur Sangat lebih baik Lebih baik Agak lebih baik Tidak berbeda Agak kurang baik Kurang baik Sangat kurang baik 4. Daya oles Sangat lebih baik Lebih baik Agak lebih baik Tidak berbeda Agak kurang baik Kurang baik Sangat kurang baik
Nilai
+3 +2 +1 0 -1 -2 -3 +3 +2 +1 0 -1 -2 -3 +3 +2 +1 0 -1 -2 -3 +3 +2 +1 0 -1 -2 -3
Kode contoh
Lampiran 3. Data skoring penampakan selai pada penelitian pendahuluan Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rataan
RDI 6 3 7 3 6 6 5 5 5
SHF 6 6 6 3 6 7 6 4 7
6
6
6 3 7 5 3 6 3 5 4 3 6 5 5 5 5 6 5 5 5 5 4,97
6 5 6 6 6 6 5 6 5 4 5 5 6 6 6 7 6 6 5 5 5,29
Kode contoh PTR TMI 6 7 6 6 7 7 6 6 6 6 6 6 7 7 5 6 5 4 6 6 6 7 5 6 6 6 5 6 6 7 6 6 6 5 7 7 7 7 6
6,1
NVA 5 5 6 5 6 5 5 5 6
BGI 6 6 5 6 6 7 6 6 6
6
6
6
6 6 7 6 6 6 6 6 6 4 7 6 6 5 6 5 7 6 5 4 5,93
6 6 6 7 3 7 3 6 4 4 4 6 6 5 5 6 6 5 6 5 5,53
6 7 6 6 6 6 6 7 5 5 5 5 6 6 6 6 6 6 5 4 5,91
Keterangan : RDI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 45% ulangan ke 1 SHF = Selai dengan penambahan gula sebanyak 45% ulangan ke 2 PTR = Selai dengan penambahan gula sebanyak 55% ulangan ke 1 TMI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 55% ulangan ke 2 NVA = Selai dengan penambahan gula sebanyak 65% ulangan ke 1 BGI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 65% ulangan ke 2
Lampiran 4. Data skoring aroma selai pada penelitian pendahuluan Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rataan
RDI 5 6 5 5 3 5 5 6 7 4 5 2 5 6 7 4 7 4 3 4 6 4 6 5 4 6 7 4 3 3 4,87
SHF 6 4 5 5 3 4 4 6 6 5 5 5 5 5 5 5 6 5 5 5 4 6 5 4 6 6 5 6 5 5 5,03
Kode contoh PTR TMI 7 5 5 6 5 5 6 5 4 5 4 4 6 7 5 4 5 7 5 5 5 5 7 6 5 5 5 5 3 4 3 6 5 7 5 5 5 5 5 4 7 7 6 4 6 6 4 3 5 5 5 6 7 6 6 6 7 4 4 5 5,23 5,23
NVA 7 5 5 4 4 4 5 5 5 4 5 6 5 4 5 5 6 6 4 5 6 5 5 3 6 6 6 4 5 5 5
BGI 4 5 5 4 6 5 5 5 5 4 5 7 6 5 5 6 6 4 5 4 5 5 6 5 6 5 5 5 4 5 5,07
Keterangan : RDI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 45% ulangan ke 1 SHF = Selai dengan penambahan gula sebanyak 45% ulangan ke 2 PTR = Selai dengan penambahan gula sebanyak 55% ulangan ke 1 TMI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 55% ulangan ke 2 NVA = Selai dengan penambahan gula sebanyak 65% ulangan ke 1 BGI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 65% ulangan ke 2
Lampiran 5. Data skoring tekstur selai pada penelitian pendahuluan Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rataan
RDI 7 3 5 5 7 7 4 5 4
SHF 7 5 5 5 7 3 5 4 5
7
7
6 3 7 5 5 7 2 7 3 4 4 4 5 4 5 4 3 4 4 4 4,57
6 5 7 5 5 7 3 7 5 4 4 4 4 5 4 5 5 6 4 3 5,03
Kode contoh PTR TMI 7 7 4 5 5 4 5 5 7 7 7 7 5 5 5 5 4 5 7 7 7 7 4 5 5 3 6 5 5 5 7 4 5 5 5 6 7 7 4
5,5
NVA 7 4 5 5 7 5 4 4 4
BGI 7 4 5 5 7 7 5 4 6
7
7
7
7 5 7 5 7 7 4 7 2 4 5 4 5 5 4 4 4 6 5 4 5,76
6 3 7 5 7 7 5 5 2 4 5 5 7 4 5 4 5 5 4 3 4,97
6 6 7 5 5 7 4 7 5 5 4 4 4 5 7 5 4 6 5 3 5,23
Keterangan : RDI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 45% ulangan ke 1 SHF = Selai dengan penambahan gula sebanyak 45% ulangan ke 2 PTR = Selai dengan penambahan gula sebanyak 55% ulangan ke 1 TMI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 55% ulangan ke 2 NVA = Selai dengan penambahan gula sebanyak 65% ulangan ke 1 BGI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 65% ulangan ke 2
Lampiran 6. Data skoring rasa selai pada penelitian pendahuluan Panelis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rataan
RDI 5 3 5 6 6 4 4 5 3
SHF 6 5 6 6 7 5 6 5 7
6
6
5 5 5 5 4 5 7 3 3 5 6 6 5 4 5 4 2 4 4 5 4,63
6 6 6 7 4 6 4 5 6 4 5 5 6 6 4 5 6 6 5 6 5,17
Kode contoh PTR TMI 7 7 4 7 7 6 6 7 6 6 5 5 4 6 4 4 5 7 6 5 6 5 6 6 3 5 4 6 5 7 5 6 6 3 6 7 5 7 5
5,4
NVA 7 4 7 6 6 7 4 5 6
BGI 4 6 6 6 7 5 5 5 6
6
6
6
4 6 5 5 7 7 4 5 6 6 6 5 5 5 5 2 6 6 5 5 5,66
5 5 5 7 2 6 3 6 4 5 6 6 4 6 2 5 5 4 5 5 5,13
5 7 6 7 4 7 5 6 6 4 5 3 6 6 6 6 6 5 6 5 5,82
Keterangan : RDI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 45% ulangan ke 1 SHF = Selai dengan penambahan gula sebanyak 45% ulangan ke 2 PTR = Selai dengan penambahan gula sebanyak 55% ulangan ke 1 TMI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 55% ulangan ke 2 NVA = Selai dengan penambahan gula sebanyak 65% ulangan ke 1 BGI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 65% ulangan ke 2
Lampiran 7. Data skoring daya oles selai pada penelitian pendahuluan Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rataan
RDI 3 5 6 4 6 5 6 6 5 6 4 3 6 6 4 5 6 5 6 5 5 4 3 6 6 5 4 4 5 5 4,97
SHF 4 5 5 6 6 4 6 6 5 5 4 2 6 5 4 5 7 4 6 5 3 6 4 6 6 6 3 6 3 4 4,47
Kode contoh PTR TMI 3 4 5 4 4 6 4 6 6 6 4 4 5 6 6 5 6 7 5 5 3 5 4 6 6 6 5 6 5 6 5 6 7 4 5 6 6 6 5 6 6 6 7 6 6 4 4 3 6 6 6 4 5 5 5 6 6 4 3 3 5,23 5,32
NVA 4 5 6 4 6 5 4 6 5 6 4 6 6 6 6 6 5 5 6 6 4 4 5 3 6 5 3 5 5 4 5
BGI 5 5 7 4 6 6 5 4 6 6 5 4 6 5 5 6 6 5 6 4 4 3 6 4 4 6 3 6 4 3 4,97
Keterangan : RDI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 45% ulangan ke 1 SHF = Selai dengan penambahan gula sebanyak 45% ulangan ke 2 PTR = Selai dengan penambahan gula sebanyak 55% ulangan ke 1 TMI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 55% ulangan ke 2 NVA = Selai dengan penambahan gula sebanyak 65% ulangan ke 1 BGI = Selai dengan penambahan gula sebanyak 65% ulangan ke 2
Lampiran 8. Hasil perangkingan dan Kruskal Wallis data organoleptik (uji skoring) selai buah mengkudu pada penelitian pendahuluan Perlakuan Gula 45% Gula 55% Penampakan Gula 65% Total Gula 45% Gula 55% Aroma Gula 65% Total Gula 45% Gula 55% Tekstur Gula 65% Total Gula 45% Gula 55% Rasa Gula 65% Total Gula 45% Gula 55% Daya oles Gula 65% Total
Jumlah kuadrat Derajat bebas Signifikan
N 30 30 30 90 30 30 30 90 30 30 30 90 30 30 30 90 30 30 30 90
Test statistika,b penampakan aroma tekstur 17,754 2,655 8,557 2 2 2 ,000 ,265 ,014
Nilai ranking 30,95 58,27 47,28 39,35 49,25 47,90 36,38 55,78 44,33 33,73 52,10 50,67 37,95 54,47 44,08
rasa 9,604 2 ,008
Daya oles 6,365 2 ,041
Lampiran 9. Hasil uji Multiple comparison terhadap data organoleptik selai buah mengkudu pada penelitian pendahuluan
penampakan Duncan
a
kode 45% 65% 55% Sig.
N 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 2 5,133 5,717 6,017 1,000 ,108
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
rasa
tekstur Duncan
a
kode 45% 65% 55% Sig.
Duncan N 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 2 4,800 5,117 5,117 5,633 ,287 ,084
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
daya_oles Duncan kode 45% 65% 55% Sig.
a
N 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 2 4,717 4,983 4,983 5,283 ,237 ,184
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
kode 45% 65% 55% Sig.
a
N 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 2 4,900 5,483 5,533 1,000 ,808
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
Lampiran 10. Data skoring penampakan selai pada penelitian utama Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rataan
P2Q0 P1Q3 3 6 4 1 6 7 5 4 6 6 5 7 5 4 6 7 4 1 6 3 4 3 3 1 4 3 6 3 6 3 5 7 4 4 3 1 6 1 5 4 4 1 4 1 6 3 4 3 3 1 4 3 6 3 6 3 3 1 6 1 4,73 3,2
P2Q1 5 2 4 5 4 5 2 3 3 6 5 3 5 5 4 6 4 3 2 4 2 3 6 5 3 5 5 4 3 2 3.93
Kode contoh P1Q2 P2Q2 4 5 5 7 4 6 4 5 5 6 5 7 6 6 5 6 3 6 3 7 6 6 2 6 3 4 3 6 6 7 6 6 3 6 2 7 3 3 3 4 5 7 3 6 3 7 6 6 2 6 3 4 3 6 6 7 2 7 3 3 3,9 5,83
P1Q1 2 3 3 4 4 7 5 4 5 7 7 6 6 6 5 6 5 5 4 5 3 5 7 7 6 6 6 5 5 4 5,1
P2Q3 3 3 6 5 4 3 3 4 3 5 4 3 3 3 5 5 4 4 5 4 3 3 5 4 3 3 3 5 4 5 3,9
Keterangan : P1Q3 = Kontrol (tanpa penambahan rumput laut) ulangan ke 1 P2Q0 = Kontrol (tanpa penambahan rumput laut) ulangan ke 2 P1Q2 = Selai dengan penambahan rumput laut 15% ulangan ke 1 P2Q1 = Selai dengan penambahan rumput laut 15% ulangan ke 2 P1Q1 = Selai dengan penambahan rumput laut 20% ulangan ke 1 P2Q2 = Selai dengan penambahan rumput laut 20% ulangan ke 2 P1Q0 = Selai dengan penambahan rumput laut 25% ulangan ke 1 P2Q3 = Selai dengan penambahan rumput laut 25% ulangan ke 2 Lampiran 11. Data skoring aroma selai pada penelitian utama
P1Q0 4 6 4 6 6 7 7 4 3 6 5 4 4 4 7 6 3 2 5 4 6 3 6 5 4 4 4 7 2 5 4,7
Kode contoh P2Q0 P1Q3 P2Q1 P1Q2 P2Q2 P1Q1 P2Q3 P1Q0 1 4 6 3 5 4 5 4 4 2 2 7 4 6 6 4 5 6 3 6 6 4 4 7 6 3 5 4 5 5 5 6 6 5 6 5 5 5 7 3 7 4 7 4 6 6 7 6 1 6 7 2 2 7 7 2 3 3 6 5 6 3 5 8 6 6 2 5 5 4 2 5 9 6 4 5 4 6 6 5 3 10 5 4 4 6 5 6 5 6 11 5 5 5 6 6 7 7 6 12 3 4 5 1 5 3 1 7 13 4 3 5 5 3 6 3 2 14 4 3 2 5 4 6 2 6 15 5 5 5 6 6 5 4 6 16 5 4 2 2 3 3 4 2 17 2 3 1 4 1 5 3 3 18 5 4 4 5 7 4 6 6 19 1 5 1 4 2 3 3 3 20 4 3 3 4 5 5 3 2 21 2 7 4 6 6 4 5 6 22 6 4 5 4 6 6 5 3 23 5 4 4 6 5 6 5 6 24 5 5 5 6 6 7 7 6 25 3 4 5 1 5 3 1 7 26 4 3 5 5 3 6 3 2 27 4 3 2 5 4 6 2 6 28 5 5 5 6 6 5 4 6 29 2 3 1 4 1 5 3 3 30 5 4 4 5 7 4 6 6 Rataan 4,34 4,82 4,13 4,83 4,87 5 3,87 4,69
Panelis
Keterangan : P1Q3 = Kontrol (tanpa penambahan rumput laut) ulangan ke 1 P2Q0 = Kontrol (tanpa penambahan rumput laut) ulangan ke 2 P1Q2 = Selai dengan penambahan rumput laut 15% ulangan ke 1 P2Q1 = Selai dengan penambahan rumput laut 15% ulangan ke 2 P1Q1 = Selai dengan penambahan rumput laut 20% ulangan ke 1 P2Q2 = Selai dengan penambahan rumput laut 20% ulangan ke 2 P1Q0 = Selai dengan penambahan rumput laut 25% ulangan ke 1 P2Q3 = Selai dengan penambahan rumput laut 25% ulangan ke 2 Lampiran 12. Data skoring tekstur selai pada penelitian utama
Kode contoh P2Q0 P1Q3 P2Q1 P1Q2 P2Q2 P1Q1 P2Q3 P1Q0 1 4 4 5 5 5 5 5 6 2 2 5 4 3 7 7 1 2 3 6 4 6 4 5 4 5 7 4 4 5 6 6 6 5 6 6 5 4 6 6 7 4 6 4 6 6 2 6 3 4 5 6 4 6 7 3 4 4 6 4 6 3 2 8 4 3 4 4 4 4 4 5 9 5 5 6 4 6 6 5 5 10 4 5 4 3 6 6 5 4 11 5 5 5 4 6 5 6 5 12 6 6 5 6 7 7 6 4 13 3 6 5 4 6 5 5 2 14 6 4 6 6 6 7 4 5 15 6 6 6 5 6 6 6 5 16 4 6 5 3 4 4 4 6 17 5 5 5 5 6 6 5 5 18 2 3 3 4 5 4 1 6 19 5 6 5 6 4 5 4 4 20 2 2 2 1 3 5 3 3 21 6 4 6 6 6 7 4 5 22 2 5 4 3 7 7 1 2 23 6 6 5 6 7 7 6 4 24 3 6 5 4 6 5 5 2 25 6 4 6 6 6 7 4 5 26 6 6 6 5 6 6 6 5 27 4 6 5 3 4 4 4 6 28 5 5 5 5 6 6 5 5 29 2 3 3 4 5 4 1 6 30 5 6 5 6 4 5 4 4 Rataan 4,23 4,9 4,83 4,6 5,4 5,57 4,2 4,6
Panelis
Keterangan : P1Q3 = Kontrol (tanpa penambahan rumput laut) ulangan ke 1 P2Q0 = Kontrol (tanpa penambahan rumput laut) ulangan ke 2 P1Q2 = Selai dengan penambahan rumput laut 15% ulangan ke 1 P2Q1 = Selai dengan penambahan rumput laut 15% ulangan ke 2 P1Q1 = Selai dengan penambahan rumput laut 20% ulangan ke 1 P2Q2 = Selai dengan penambahan rumput laut 20% ulangan ke 2 P1Q0 = Selai dengan penambahan rumput laut 25% ulangan ke 1 P2Q3 = Selai dengan penambahan rumput laut 25% ulangan ke 2
Lampiran 13. Data skoring rasa selai pada penelitian utama Kode contoh P2Q0 P1Q3 P2Q1 P1Q2 P2Q2 P1Q1 P2Q3 P1Q0 1 5 6 5 5 5 4 6 5 2 7 5 3 5 7 6 3 4 3 6 4 4 5 4 5 6 3 4 5 6 6 5 5 6 6 5 5 6 6 6 6 6 5 6 5 6 2 3 2 7 7 6 6 4 7 5 6 3 5 6 6 3 4 8 3 4 3 3 3 4 4 3 9 4 4 5 4 6 5 4 4 10 6 4 6 5 6 6 5 6 11 5 5 6 5 6 4 4 4 12 4 4 2 5 5 6 5 2 13 4 3 4 4 6 3 4 3 14 3 3 3 6 7 5 3 3 15 6 5 6 6 6 5 5 6 16 6 3 6 6 7 6 3 3 17 3 2 4 3 6 5 4 4 18 3 4 2 3 5 4 1 6 19 4 3 6 5 6 3 4 3 20 3 4 3 3 4 3 4 2 21 6 3 6 6 7 6 3 3 22 3 2 4 3 6 5 4 4 23 4 4 5 4 6 5 4 4 24 6 4 6 5 6 6 5 6 25 5 5 6 5 6 4 4 4 26 4 4 2 5 5 6 5 2 27 4 3 4 4 6 3 4 3 28 3 3 3 6 7 5 3 3 29 6 5 6 6 6 5 5 6 30 7 5 3 5 7 6 3 4 Rataan 4,6 4,07 4,33 4,77 5,83 4,93 4,2 3,93
Panelis
Keterangan : P1Q3 = Kontrol (tanpa penambahan rumput laut) ulangan ke 1 P2Q0 = Kontrol (tanpa penambahan rumput laut) ulangan ke 2 P1Q2 = Selai dengan penambahan rumput laut 15% ulangan ke 1 P2Q1 = Selai dengan penambahan rumput laut 15% ulangan ke 2 P1Q1 = Selai dengan penambahan rumput laut 20% ulangan ke 1 P2Q2 = Selai dengan penambahan rumput laut 20% ulangan ke 2 P1Q0 = Selai dengan penambahan rumput laut 25% ulangan ke 1 P2Q3 = Selai dengan penambahan rumput laut 25% ulangan ke 2
Lampiran 14. Data skoring daya oles selai pada penelitian utama Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rataan
Kode contoh P2Q0 P1Q3 P2Q1 P1Q2 P2Q2 P1Q1 P2Q3 P1Q0 5 5 4 6 5 5 5 5 3 1 4 5 7 6 6 2 5 7 5 4 4 5 6 7 5 5 5 6 6 5 6 5 6 5 5 6 5 5 6 5 6 6 3 6 7 7 3 6 5 4 3 6 6 5 4 2 4 3 3 4 4 3 2 4 4 5 4 3 6 5 3 5 4 5 4 6 7 7 5 5 4 3 6 6 6 5 5 4 5 1 7 6 7 5 4 7 6 1 2 6 6 4 3 4 4 3 6 4 6 7 5 4 6 6 6 6 6 6 6 6 3 3 5 5 5 7 6 3 4 3 2 4 6 5 3 3 7 7 6 3 7 7 2 4 5 4 2 4 5 5 2 3 4 1 3 2 4 5 3 2 3 1 4 5 7 6 6 2 4 5 4 6 7 7 5 5 5 5 5 6 6 5 6 5 5 4 2 4 5 5 2 3 4 3 6 6 6 5 5 4 3 3 5 5 5 7 6 3 4 5 4 6 7 7 5 5 4 3 2 4 6 5 3 3 4 5 4 6 7 7 5 5 5 1 7 6 7 5 4 7 4,53
3,91
4,27
4,79
5,93
5,71
4,23
Keterangan : P1Q3 = Kontrol (tanpa penambahan rumput laut) ulangan ke 1 P2Q0 = Kontrol (tanpa penambahan rumput laut) ulangan ke 2 P1Q2 = Selai dengan penambahan rumput laut 15% ulangan ke 1 P2Q1 = Selai dengan penambahan rumput laut 15% ulangan ke 2 P1Q1 = Selai dengan penambahan rumput laut 20% ulangan ke 1 P2Q2 = Selai dengan penambahan rumput laut 20% ulangan ke 2 P1Q0 = Selai dengan penambahan rumput laut 25% ulangan ke 1 P2Q3 = Selai dengan penambahan rumput laut 25% ulangan ke 2
4,27
Lampiran 15. Hasil perangkingan dan Kruskal Wallis data organoleptik (uji skoring) selai buah mengkudu pada penelitian utama Perlakuan Rumput laut 0% Rumput laut 15% Penampakan Rumput laut 20% Rumput laut 25% Total Rumput laut 0% Rumput laut 15% Aroma Rumput laut 20% Rumput laut 25% Total Rumput laut 0% Rumput laut 15% Tekstur Rumput laut 20% Rumput laut 25% Total Rumput laut 0% Rumput laut 15% Rasa Rumput laut 20% Rumput laut 25% Total Rumput laut 0% Rumput laut 15% Daya oles Rumput laut 20% Rumput laut 25% Total
Jumlah kuadrat Derajat bebas Signifikan
N 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120
Test statistika,b penampakan aroma tekstur 14,774 1,985 6,652 3 3 3 ,000 ,163 .001
Nilai ranking 50,47 56,88 91,53 43,12 61,57 57,22 71,65 51,57 51,72 60,93 79,32 50,03 55,43 62,28 72,97 51,32 66,77 54,40 74,15 46,68
rasa 9,706 3 ,000
Daya oles 17,108 3 ,010
Lampiran 16. Hasil uji Multiple comparison terhadap data organoleptik selai buah mengkudu pada penelitian utama
PENAMPAKAN a
a
Tukey HSD KODE P1Q1 P1Q0 P1Q3 P1Q2 Sig.
TEKSTUR Tukey HSD
N 30 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 2 3,917 3,967 4,367 5,467 ,377 1,000
KODE P1Q3 P1Q0 P1Q1 P1Q2 Sig.
N 30 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 2 4,400 4,567 4,717 5,467 ,667 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
RASA a
Tukey HSD KODE P1Q3 P1Q0 P1Q1 P1Q2 Sig.
N 30 30 30 30
Subset for alpha = .05 1 2 4,067 4,333 4,550 5,383 ,241 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
Lampiran 17. Rekapitulasi data skoring organoleptik uji perbandingan berpasangan Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
Penampakan 2 1 2 1 2 -1 2 1 2 2 -2 -1 2 -1 -1 2 1 1 -1 2 1 1 -1 1 2 -1 1 2 -1 2 0,76
Parameter Aroma Tekstur -1 -1 1 0 1 1 -1 1 1 -1 -2 1 1 -2 -1 1 1 1 -2 1 1 1 -1 -1 -2 -1 -1 1 1 1 -1 0 1 1 1 0 1 1 -1 1 -1 1 -1 -1 1 1 -1 -1 1 1 -2 -1 1 0 -1 2 -1 1 1 -1 -0,2 0,26
Daya oles -2 -1 -1 1 -1 -1 -1 -2 1 -1 -1 1 -1 -1 -1 1 -1 -2 -1 -1 1 1 1 -1 -2 -1 1 -1 -1 -1 -0,6
Lampiran 18a. Rekapitulasi data karakteristik fisika selai buah mengkudu dengan penambahan rumput laut terpilih a. Total Padatan Terlarut (TPT) Sampel
Ulangan
Selai mengkudu
Ulg 1 Ulg 2 Ulg 1
Total padatan terlarut (% Brix) 66,5 66,5 70,5
Ulg 2
70,5
Selai mengkudu dengan penambahan rumput laut terpilih
Rata-rata 66,5 70,5
b. Viskositas Sampel
Ulangan
Selai mengkudu
Ulg 1 Ulg 2 Ulg 1
Viskositas (Cps) 127000 127000 312000
Ulg 2
312000
Selai mengkudu dengan penambahan rumput laut terpilih
Rata-rata 127000 312000
Lampiran 18b. Contoh perhitungan nilai AKG Diketahui : Kadar serat pangan selai mengkudu dengan penambahan RL 20% = 18,08% AKG serat makanan perhari = 30 g (Almatsier 2004) Konsumsi selai dari satu lembar roti (serving size) = 10 g % serat pangan 18,08 Suplai serat per konsumsi = = 1,808 = servingsze 10
suplai serat per konsumsi x100% AKG perhari 1,808 x100% = 30 = 6,03%
Nilai AKG (%) =
Lampiran 19. Rekapitulasi data karakteristik kimia selai buah mengkudu (Morinda citrifolia) dengan penambahan rumput laut terpilih a. Serat pangan Sampel Selai mengkudu Selai mengkudu dengan penambahan rumput laut terpilih
Ulangan
SPTL (%)
SPL (%)
TSP (%)
Ulg 1
1,2122
1,6128
2,8250
Ulg 2
1,2501
1,5956
2,8457
Ulg 1
2,3415
15,7005
18,0240
Ulg 2
2,3507
15,7954
18,1461
Rata-rata 2,8353 18,0851
Keterangan : SPTL = serat pangan tidak larut air SPL = serat pangan larut air TSP = total serat pangan b. pH Sampel Selai mengkudu
Ulangan 1 3,31
Ulangan 2 3,32
Rata-rata 3,315
Selai mengkudu dengan penambahan rumput laut terpilih
3,65
3,63
3,64
c. Vitamin C Sampel
Ulangan
Selai mengkudu
Ulg 1 Ulg 2 Ulg 1
Kadar vitamin C (mg/100 g bahan) 47,31 48,52 36,68
Ulg 2
37,25
Selai mengkudu dengan penambahan rumput laut terpilih
Rata-rata 47,92 36,97
d. Aktivitas air (aw) Sampel Selai mengkudu
Ulangan 1 0,898
Ulangan 2 0,901
Rata-rata 0,9
Selai mengkudu dengan penambahan rumput laut terpilih
0,895
0,896
0,89
Lampiran 20. Dokumentasi penelitian a. Diagram alir pembuatan selai mengkudu
b. Alat-alat analisis
pH meter
Refraktometer