TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Mengkudu (Morinda Citrifolia Lignosae) Klasifikasi dan Morfologi Mengkudu (Morinda citrifolia lignosae) merupakan salah satu tanaman obat yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Rukmana (2002) memaparkan bahwa tanaman mengkudu pada beberapa daerah di Indonesia dikenal dengan istilah eodu, lengkudu, bangkudu, bakudu, pamarai, mangkudu, beteu (Sumatera); kudu, cangkudu, pace, kemudu (Jawa); tibah, wungkudu, ai kombo, manakudu, bakudu (Nusa Tenggara); mangkudu, wangkudu, labanau (Kalimantan); baja, noni (Sulawesi). Tanaman mengkudu dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Mengkudu (foto:kebun IPB, 2007) Tanaman mengkudu diklasifikasikan sebagai berikut (Djauhariya, 2003): Filum
: Angiospermae
Subfilum
: Dicotyledonae
Divisi
: Lignosae
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Morinda
Spesies
: Morinda citrifolia
Beberapa spesies mengkudu yang ada di Indonesia menurut Heyne (1987) adalah M. citrifolia L, M. eliptica, M. bracteaca, M. speciosa, M. linctoria, dan M. oleifera. Dari spesies-spesies tersebut diatas, yang telah umum dimanfaatkan yaitu M. citrifolia L. yang dikenal sebagai mengkudu Bogor, spesies ini yang banyak
dimanfaatkan untuk obat. Di Indonesia, produksi tanaman mengkudu yang dimanfaatkan sebagai tanaman obat yaitu sekitar 6,04 kg/m2 (2006) dan pada tahun 2007 mencapai produksi sebesar 8,31 kg/m2 (Departemen Pertanian, 2008). Rukmana (2002) memaparkan bahwa mengkudu termasuk jenis tanaman yang rendah dan umumnya memiliki banyak cabang dengan ketinggian pohon sekitar 3-8 meter di atas permukaan tanah serta tumbuh secara liar di hutan-hutan, tegalan, pinggiran sungai, dan di pekarangan. Mengkudu dapat tumbuh di berbagai tipe lahan dan iklim pada ketinggian tempat dataran rendah sampai 1.500 m diatas permukaan laut dengan curah hujan 1500– 3500 mm/tahun, pH tanah 5-7, suhu 22-300C dan kelembaban 50-70% (Rukmana, 2002). Buah mengkudu memiliki bentuk bulat sampai lonjong, panjang 10 cm, berwarna kehijauan tetapi menjelang masak menjadi putih kekuningan (Djauhariya, 2003). Menurut Heyne (1987), daun mengkudu merupakan daun tunggal berwarna hijau kekuningan, bersilang hadapan, ujung meruncing dan bertepi rata dengan ukuran panjang 10-40 cm dan lebar 15-17 cm. Bunga mengkudu berwarna putih, berbau harum dan mempunyai mahkota berbentuk terompet. Kandungan Senyawa Kimia Mengkudu Senyawa kimia dalam tanaman terdiri dari dua bagian, yaitu senyawa metabolit primer atau yang disebut dengan senyawa bermolekul besar dan senyawa metabolit sekunder atau yang disebut dengan senyawa bermolekul kecil (Sirait, 2007). Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam tanaman mengkudu diantaranya alkaloid dan antrakuinon yang berfungsi sebagai antibakteri dan anti kanker (Rukmana, 2002). Menurut Solomon (2002) senyawa antrakuinon, alkaloid dan glikosida terdapat hampir pada semua bagian tanaman mengkudu terutama bagian daun dan buahnya yang berfungsi untuk mengobati masalah pencernaan dan gangguan jantung. Senyawa aktif tersebut bersifat bakterisidal pada bakteri Staphylococcus yang menyebabkan infeksi pada jantung dan Shigella yang menyebakan disentri, selain itu juga dapat mematikan bakteri penyebab infeksi diantaranya Salmonella sp, E. Coli dan Bacillus sp. (Solomon, 2002). Sirait (2007) menyatakan bahwa alkaloid adalah hasil senyawa metabolisme sekunder terbesar dalam tumbuhan yang mengandung atom nitrogen basa sebagai gabungan dari sistem heterosiklik. Senyawa alkaloid sering digunakan dalam bidang
4
pengobatan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif (Karou et al., 2006). Robinson (1995) menyatakan bahwa senyawa alkaloid dapat mengganggu terbentuknya jembatan seberang silang komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel. Struktur kimia alkaloid dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kimia Alkaloid (Sirait, 2007) Senyawa metabolit sekunder lainnya dari daun mengkudu adalah saponin. Saponin merupakan glikosida sterol berdasarkan ketidaklarutannya dalam air dan tidak beracun terhadap hewan (Robinson, 1995). Kerja saponin dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen diantaranya menghambat fungsi membran sel bakteri dengan merusak permeabilitas membran sel yang mengakibatkan dinding sel bakteri lisis (Cheeke, 2001). Menurut Harbone (1987), saponin dapat menimbulkan busa seperti sabun apabila dikocok dalam air ataupun saat ekstraksi, sehingga dapat membersihkan materi yang menempel pada dinding usus. Francis et al. (2002) memaparkan
bahwa
saponin
memiliki
kemampuan
untuk
meningkatkan
permeabilitas membran sel usus, sehingga akan memudahkan molekul besar terserap dalam tubuh dan terjadi peningkatan nutrien yang dideposit oleh tubuh serta berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Struktur kimia saponin dapat dilihat pada Gambar 3.
5
Gambar 3. Struktur Kimia Saponin (Harbone, 1987) Antrakuinon merupakan golongan dari senyawa glikosida termasuk turunan kuinon yang biasanya terkandung dalam jumlah yang sedikit dalam bagian tanaman (Sirait, 2007). Robinson (1995) menyatakan bahwa antrakuinon merupakan senyawa kristal bertitik leleh tinggi, larut dalam pelarut organik dan basa. Turunan kuinon ini efektif dalam menghambat bakteri gram negatif dengan menghambat sintesis DNA bakteri, sehingga tidak terjadi replikasi DNA bakteri dan bakteri tidak dapat terbentuk secara utuh (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Struktur kimia antrakuinon dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Kimia Antrakuinon (Siswandono dan Soekardjo, 1995) Ayam Broiler Ayam broiler merupakan ayam yang ditujukan untuk menghasilkan daging, penggunaan pakan lebih efisien dan dapat tumbuh dengan cepat, sehingga dapat dijual dalam waktu singkat (Scanes et al., 2004). Salah satu yang mempengaruhi pertumbuhan ayam broiler adalah suhu lingkungan. Apabila suhu diatas normal maka
6
ayam dalam kondisi stres dan akan mengurangi konsumsi ransumnya (Leeson dan Summers, 2000). Menurut Appleby et al. (2004), suhu lingkungan normal dalam pemeliharaan ayam broiler adalah 19-280C, diatas suhu tersebut ayam akan mengalami stres dan melakukan proses homeostatis dengan cara panting, sehingga mengurangi konsumsi ransum dan meningkatkan konsumsi air minum. Bobot badan, konsumsi ransum dan konversi ransum ayam broiler (NRC, 1994) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Bobot Badan, Konsumsi Ransum dan Konversi Ransum Ayam Broiler Umur 1-5 Minggu Umur (minggu) 1
Bobot Badan (g/ekor/minggu) 146
Konsumsi Ransum (g/ekor/minggu) 133
Konversi Ransum
2
360
282
1,13
3
653
467
1,33
4
1025
673
1,49
5
1460
849
1,64
0,89
Sumber : NRC (1994)
Konsumsi Ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dimakan dalam waktu tertentu yang akan digunakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup (Wahju, 2004). Faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi ransum adalah besar tubuh hewan, makanan yang diberikan dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara (Parrakasi, 1999). Konsumsi ransum dipengaruhi pula oleh bentuk ransum, kandungan energi ransum, kesehatan ternak, suhu lingkungan, zat makanan dalam ransum, kecepatan pertumbuhan dan stres (Leeson dan Summers, 2001). Tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya ransum yang dikonsumsi, semakin tinggi energi ransum maka konsumsi akan semakin menurun (Scott et al., 1982). Tingginya energi dalam ransum harus diimbangi dengan protein, mineral dan vitamin (Scanes et al., 2004). Konversi Ransum Konversi ransum merupakan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan dalam jangka waktu tertentu (North dan Bell, 1990). Konversi ransum mencerminkan keberhasilan dalam memilih atau 7
menyusun ransum yang berkualitas. Nilai konversi ransum merupakan suatu ukuran untuk menilai efisiensi dalam penggunaan ransum, semakin rendah konversi ransum maka akan semakin efisien karena semakin sedikit jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan dalam jangka waktu tertentu (Lacy dan Vest, 2004). Nilai konversi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain dasar genetik, tipe pakan yang digunakan, temperatur, feed additive yang digunakan dalam ransum dan manajemen pemeliharaan (James, 2004). Scanes et al. (2004) menyatakan bahwa pemberian pakan unggas dalam bentuk crumble dan pellet memiliki nilai konversi ransum yang lebih baik dibandingkan dengan pakan berbentuk mash, karena dapat mengurangi jumlah kehilangan pakan dalam litter. Ayam broiler yang diberikan ampas mengkudu dengan taraf 4,8 g/kg ransum dapat meningkatkan konversi ransum hingga 5% (Bintang et al., 2007). Konsumsi Air Minum Air merupakan senyawa yang penting dalam tubuh makhluk hidup. Fungsi air diantaranya untuk mengatur suhu tubuh karena air bersifat mudah menguap, mentransformasikan zat makanan dan metabolit dari semua sel dalam tubuh, membantu mempertahankan homeostatis dengan ikut dalam reaksi dan perubahan fisiologis yang mengontrol pH, tekanan osmotik dan konsentrasi elektrolit (Scott et al., 1982). Pada ayam broiler konsumsi air minum berhubungan erat dengan konsumsi
ransum.
Menurut
Ensminger
(1992),
umumnya
ayam
broiler
mengkonsumsi air minum dua kali lebih banyak dari bobot ransum yang dikonsumsi. Konsumsi air minum tersebut juga akan meningkat pada saat ayam berada pada temperatur lingkungan yang tinggi (Leeson dan Summer, 2001). Jumlah kebutuhan air minum ayam broiler umur 1-5 minggu (NRC, 1994) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Kebutuhan Air Minum Ayam Broiler Umur 1-5 Minggu Minggu ke-
Kebutuhan air minum (ml/ekor/minggu)
1
225
2
480
3
725
4
1000
5
1250
Sumber: NRC (1994)
8
Pertumbuhan Pertumbuhan adalah suatu proses peningkatan dalam ukuran tulang, otot, organ dalam dan bagian tubuh lainnya (Scanes et al., 2004). Menurut North (1984), kecepatan pertumbuhan pada ayam broiler mempunyai variasi yang cukup besar tergantung pada tipe ayam, strain, jenis kelamin, umur hewan dan keseimbangan ransum. Rasyaf (2003) menyatakan bahwa faktor lingkungan seperti suhu, mutu makanan, sistem perkandangan dan pengendalian penyakit juga sangat berpengaruh penting pada kecepatan pertumbuhan ayam broiler. Pertumbuhan broiler pada minggu-minggu terakhir sebanyak 50 sampai 70 gram per hari, sehingga pertumbuhan yang cepat tersebut harus diimbangi dengan ketersediaan pakan yang cukup (Amrullah, 2004). Ekstraksi Ekstraksi merupakan suatu proses yang secara selektif mengambil zat terlarut dari campuran dengan bantuan pelarut. Menurut Bombardelli (1991), ekstraksi senyawa aktif tanaman obat adalah pemisahan secara fisik atau kimiawi dengan menggunakan cairan atau padatan. Pemikiran metode ekstraksi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif dan sifat kelarutan dalam pelarut yang akan digunakan (Harbone, 1987). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektifitas, kemampuan mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga pelarut. Achmadi (1992) menyatakan beberapa pertimbangan dalam memilih pelarut yaitu: 1. Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar. 2. Air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam maupun basa organik. Harbone (1987) menyatakan bahwa maserasi adalah metode ekstraksi dengan cara merendam sampel menggunakan pelarut dengan atau tanpa pengadukan dan biasanya dilakukan selama sehari semalam (24 jam) tanpa menggunakan pemanas. Tujuan dari maserasi atau perendaman adalah agar zat aktif yang terdapat di dalam tumbuhan akan lepas dan mudah masuk ke dalam pelarut, sehingga senyawa yang diharapkan dalam tanaman dapat terekstrak secara sempurna (Howard, 1989). Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sering digunakan dibanding 9
metode ekstraksi yang lain. Kelebihan metode maserasi diantaranya tidak memerlukan alat yang rumit, relatif murah, bisa menghindari kerusakan komponen senyawa karena tidak menggunakan panas sehingga baik untuk sampel yang tidak tahan panas, sedangkan kelemahannya adalah dari segi waktu dan penggunaan pelarut yang tidak efektif (Meloan, 1999). Salmonella typhimurium Salmonella typhimurium termasuk ke dalam famili Enterobactericeae, jenis bakteri gram negatif, berbentuk batang, tidak berspora, bersifat anaerob fakultatif, bergerak dengan flagella dan berukuran panjang 2-3µm serta lebar 0,5-1 µm (Ray, 2003). Pelezar dan Chan (2004) memaparkan bahwa habitat normal Salmonella adalah di saluran pencernaan, dapat tumbuh pada suhu antara 5-470C dan suhu optimum adalah 35-370C. Koloni Salmonella dapat ditumbuhkan ke dalam media selektif Salmonella Shigella Agar (SSA) yang ditunjukkan dengan adanya bentuk bulat dan bewarna hitam pada cawan petri (Gast, 2003). Salmonella typhimurium dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Salmonella typhimurium (Pelezar dan Chan, 2004) Diantara strain Salmonella, Salmonella typhimurium dan Salmonella enteritidis merupakan penyebab penyakit Salmonellosis yang paling banyak dilaporkan. Salmonella typhimurium banyak ditemukan pada saluran pencernaan vertebrata, invertebrata dan terdapat pula pada feses ternak (Ashton, 1994). Penyebaran bakteri Salmonella terjadi secara panzootik melalui perpindahan unggas, hewan lain, manusia, produk asal unggas, udara, kontaminasi pakan, serta melalui air minum dan vaksinasi. Gejala klinis salmonellosis pada unggas dapat diamati dari perubahan fesesnya yang berwarna putih encer, diare yang mengotori sekitar kloaka,
10
penurunan nafsu makan, dehidrasi, lesu, sayap terkulai dan juga terjadi gangguan syaraf (Lay dan Hastowo, 1992). Barrow (2000) menyatakan keparahan Salmonellosis pada unggas tergantung dari serotif dan strain bakteri, umur dan genetik inang serta pintu masuk infeksi. Pada anak ayam umur lebih dari 3 minggu yang terinfeksi Salmonella biasanya tidak menimbulkan gejala klinis dan tidak mematikan, tetapi ayam yang sembuh dari infeksi dapat menjadi karier menahun yang sewaktu-waktu dapat mengekskresikan bakteri Salmonella pada fesesnya (Poernomo et al., 1997). Antibiotik Tetrasiklin Antibiotik adalah komponen kimia yang diproduksi secara biologi oleh organisme seperti jamur atau fungi, bakteri dan tumbuhan yang mempunyai sifat bakteriostatik atau bakteriosidal (Scanes et al., 2004). Menurut Siswandono dan Soekardjo (1995), cara kerja antibiotik adalah sebagai berikut : (1). Menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang memproduksi toksin diantaranya menghalangi atau membunuh mikroorganisme yang menimbulkan infeksi subklinis dan yang bersaing dengan induk semang dalam menyediakan nutrien; (2). Meningkatkan kapasitas daya serap usus, hal tersebut berdasarkan pada pengamatan bahwa pemberian antibiotik menyebabkan dinding usus menjadi tipis, sehingga daya serap usus akan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh semakin meningkat. Efek dari penggunaan antibiotik antara lain: (1). Antibiotik dapat mencegah penyakit terutama dalam
saluran
pencernaan;
(2).Antibiotik
dapat
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme yang menghasilkan amonia dalam jumlah besar; (3). Antibiotik dapat meningkatkan penyerapan nutrien (kalsium, fosfor dan magnesium) dan menghambat kerusakan nutrien (vitamin dan asam amino) oleh mikrorganisme; (4). Antibiotik dapat meningkatkan kemampuan absorbsi zat makanan dan meningkatkan efisiensi penggunaan ransum (Leeson dan Summers, 2001). Tetrasiklin dikenal sebagai antibiotik yang mempunyai spektrum luas karena dapat digunakan untuk menghadapi infeksi berbagai jenis penyakit, baik yang disebabkan oleh bakteri gram negatif maupun bakteri gram positif dengan cara kerja bakteriostatik dan pada kadar tinggi bersifat bakterisidal (Schunack et al., 1990). Tetrasiklin memiliki sifat pembentuk kelat, diduga aktifitas antibakterinya disebabkan oleh kemampuan untuk menghilangkan ion-ion logam yang penting bagi
11
kehidupan bakteri seperti ion Mg (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Menurut Wisley dan Wheeler (1993), cara kerja tetrasiklin dalam sel bakteri yaitu : tetrasiklin mengikat ribosom 30-S, menghambat jalan masuk aminoasil tRNA sehingga bakteri tidak dapat berkembang biak, menghalangi penggabungan asam amino ke rantai peptida sehingga menyebabkan hambatan sintesis protein bakteri. Siswandono dan Soekardjo (1995) menyatakan bahwa tetrasiklin memiliki toksisitas yang rendah dan hanya akan menimbulkan efek samping seperti iritasi saluran cerna dan kerusakan ginjal apabila diberikan dalam kadar berlebih. Kadar pemakaian antibiotik yang dianjurkan USDA untuk ditambahkan dalam pakan ternak kurang dari 200 gram per ton (0,02%) (Hileman dan Washington, 1999). Struktur kimia tetrasiklin dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur Kimia Tetrasiklin (Siswandono dan Soekardjo, 1995)
12