perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGARUH EKSTRAK BUAH MENGKUDU (Morinda citrifolia) TERHADAP WAKTU KEMATIAN CACING Ascaris suum, Goeze In Vitro
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
RIZA DEVIANA G0009184
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Pengaruh Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze In Vitro Riza Deviana, NIM: G0009184, Tahun: 2012 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Selasa, Tanggal 3 Juli 2012
Pembimbing Utama Nama : Cr. Siti Utari, Dra., M.Kes NIP : 19540505 198503 2 001
(
)
(
)
(
)
Nama : Ruben Dharmawan, dr. Ir,. Sp.Park. Ph.D NIP : 19511120 198601 1 001 (
)
Pembimbing Pendamping Nama : Brian Wasita, dr, Ph.D NIP : 19790722 200501 1 1003 Penguji Utama Nama : Darukutni, dr. Sp.Park NIP : 19470809 197603 1 001 Penguji Pendamping
Surakarta, ……………………… Ketua Tim Skripsi
Dekan Fakultas Kedokteran UNS
Muthmainah, dr., M.Kes NIP. 19660702 199802 2 001
Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM
NIP. 19510601 197903 1 002 commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 3 Juli 2012
Nama : Riza Deviana NIM. G0009184
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Riza Deviana, G0009184, 2012. Pengaruh Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze In Vitro. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Latar Belakang : Mengkudu (Morinda citrifolia) memiliki efek terapeutik, di antaranya sebagai antibakteri, anthelmintik, dan imunomodulator. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari ekstrak buah mengkudu terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum Goeze, In Vitro. Metode Penelitian : Eksperimental laboratorik dengan posttest only controlled group design, menggunakan 108 ekor cacing Ascaris suum, Goeze dewasa, dibagi dalam 9 kelompok perlakuan (kelompok kontrol negatif, ekstrak 1% g/ml, 2 % g/ml, 4% g/ml, 6% g/ml, 8% g/ml, 10% g/ml, 12% g/ml dan kelompok kontrol positif, yaitu Piperazin 0,4% g/ml). Teknik pengambilan sampel dengan metode simple random sampling. Cacing direndam dalam larutan uji sebanyak 24 ml, diinkubasi pada suhu 37ºC. Pengamatan dilakukan tiap 30 menit hingga semua cacing mati. LC50 dan LT50 ekstrak buah mengkudu dihitung dengan menggunakan analisis probit. Analisis statistik yang dipakai adalah uji KruskallWallis dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Mann-Whitney dengan koreksi Bonferroni. Hasil Penelitian : Analisis probit menunjukkan bahwa LC50 dan LT50 ekstrak buah mengkudu adalah 4,94165% g/ml dan 703,31770 menit. Hasil dari uji Kruskall-Wallis menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05) pada minimal 2 kelompok. Hasil dari uji Post Hoc Mann-Whitney dengan koreksi Bonferroni menunjukkan bahwa kelompok perlakuan memiliki perbedaan yang signifikan (p < 0,0014) terhadap kelompok kontrol negatif serta kelompok 12% g/ml memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kelompok kontrol positif. Simpulan Penelitian : Simpulan dari penelitian ini adalah ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) menyebabkan kematian cacing Ascaris suum dengan waktu kematian yang lebih cepat jika dibandingkan dengan obat standar.
Kata Kunci
: ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia), Ascaris suum, piperazin
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Riza Deviana, G0009184, 2012. The Effect of Mengkudu Fruits (Morinda citrifolia) Extract on Death Time of Ascaris suum, Goeze In Vitro. Mini Thesis. Faculty of Medicine Sebelas Maret University Surakarta. Background : Mengkudu (Morinda citrifolia) has a terapeutic effect, such as antibacterial, anthelmintic and imunomodulator. This research is performed to understand the effect of Mengkudu (Morinda citrifolia) fruit extract on death time of Ascaris suum, Goeze In Vitro. Methods : The research was performed using experimental laboratory method with posttest only controlled group design. Adult Ascaris suum, Goeze (108 worms) were divided into 9 groups. The worms treated with NaCl 0,9 % solution and Piperazine 0,4% g/ml served as negative control and positive control group consecutively. The worms treated with increasing dose of Mengkudu fruits (Morinda citrifolia) extract (1% g/ml, 2% g/ml, 4% g/ml, 6% g/ml, 8% g/ml, 10% g/ml, and 12% g/ml) served as treatment groups. Observations were performed every half hour until the worms died. LC50 and LT50 were calculated using probit analysis. Statistic analysis was performed using Kruskal-Wallis test continued by Post Hoc Test with Bonferroni correction. Results : Probit analysis showed that LC50 and LT50 of Mengkudu fruits extract were 4,94165% g/ml and 703,31770 minutes. Kruskall-Wallis test showed that significance difference at least in the two groups. Post Hoc Mann-Whitney with Bonferroni correction test showed that treatment had significant difference (p < 0,0014) to negative control and 12% g/ml group had significant difference to positive control group. Conclusion : Mengkudu (Morinda citrifolia) fruits extract can induce Ascaris suum death with the death time faster than standard medicine.
Keywords
: Mengkudu (Morinda citrifolia) extract, Ascaris suum, Piperazin.
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan nikmat, rahmat, hidayah serta ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze In Vitro”. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan pengarahan, bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr. Sp.PD-KR-FINASIM selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini. 3. Cr. Siti Utari, Dra., M.Kes dan Brian Wasita, dr. Ph.D sebagai pembimbing utama dan pembimbing pendamping yang telah berkenan memberikan waktu, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis. 4. Darukutni, dr. Sp.Park dan Ruben Dharmawan, dr. Ir., Sp.Park. Ph.D sebagai penguji utama dan penguji pendamping yang telah memberikan nasihat, koreksi, kritik dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi. 5. Keluarga besar Lab. Parasitologi FK UNS untuk segala bantuan dan kemudahannya. 6. Bapak dan ibu tercinta (Sumedi dan Cuk Susilowati) atas doa restu yang tiada habis dan dukungan yang tiada henti baik berupa moril maupun materiil. Adikku Rizal Dewangga yang dengan ikhlas membantu tersusun sempurnanya skripsi ini. Keluarga besarku yang turut memberikan motivasi, dukungan, dan doanya. 7. Dwi Adhi dan keluarga wisma Deka: Cindy, Dio, Brenda, Rizka, Andin, Hana, Dwi, Ami, atas semua support, motivasi, dan semangat yang selalu diberikan. 8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dibutuhkan saran dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu kedokteran pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Surakarta, 25 Juni Riza Deviana commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
PRAKATA …………………………………………………………..... DAFTAR ISI ………………………………………………………...... DAFTAR TABEL …………………………………………………...... DAFTAR GAMBAR ………………………………………………..... DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………. B. Perumusan Masalah …………………………………… C. Tujuan Penenlitian …………………………………….. D. Manfaat Penelitian …………………………………….. BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ………………………………………. B. Kerangka Pemikiran …………………………………... C. Hipotesis ………………………………………………. BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ………………………………………... B. Lokasi Penelitian ……………………………………… C. Subjek Penelitian ……………………………………… D. Teknik Sampling …………………………………….... E. Identifikasi Variabel Penelitian ……………………….. F. Definisi Operasional Variabel Penelitian ……………... G. Rancangan Penelitian …………………………………. H. Alat dan Bahan ……………………………………….. I. Cara Kerja ………………………….............................. J. Teknik Analisis Data ………………………………….. BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Data Hasil Penelitian ………………………………….. B. Analisis Data …………………………………………... BAB V. PEMBAHASAN …………………………………………… BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ………………………………………………. B. Saran …………………………………………………... DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… LAMPIRAN
commit to user vii
Halaman vi vii viii ix x 1 5 5 5 6 27 28 29 29 29 31 31 32 35 35 36 39 40 43 51 56 56 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Tabel 4.1.
Jumlah Cacing yang Mati pada Pengamatan Setiap 30
41
Menit dalam 3 Kali Replikasi................................................ Tabel 4.2.
Hasil Uji Mann-Whitney.......................................................
44
Tabel 4.3.
Pengamatan Cacing Selama 810 Menit.................................
48
Tabel 4.4.
Lethal Concentration Ekstrak Buah Mengkudu....................
48
Tabel 4.5.
Lethal Time Ekstrak Buah Mengkudu...................................
49
Tabel 4.6.
Lethal Time Ekstrak Buah Mengkudu Konsentrasi 12%......
49
Tabel 4.7.
Lethal Time Piperazin............................................................
50
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Morfologi Ascaris lumbricoides................................
6
Gambar 2.2
Morfologi Ascaris suum ………………………….......
10
Gambar 2.3
Siklus Hidup Ascaris suum………………….............
12
Gambar 2.4
Tumbuhan
dan
Buah
meengkudu
(Morinda
citrifolia)..........................................................................
13
Gambar 2.5
Skema Rancangan Penelitian............................................
34
Gambar 3.1
Skema Rancangan Penelitian............................................
34
Gambar 4.1
Diagram Error Bar Waktu Kematian Cacing...................
42
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Perhitungan Dosis Lampiran 2 Uji Kolmogorov-Smirnov dan Kruskall-Wallis Lampiran 3 Uji Post Hoc Mann-Whitney Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian Lampiran 5
Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Sampel
Lampiran 6
Surat Keterangan Pembuatan Ekstrak
Lampiran 8
Berita Acara Pembuatan Ekstrak
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Cacing masih banyak menyebabkan masalah pada hewan dan manusia (Kumar et al., 2010). Askariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Ascaris lumbricoides, Linn. Askariasis adalah salah satu manifestasi penyakit cacing yang paling sering ditemukan di dunia (David, 2008). Askariasis biasanya tersebar pada negara-negara yang sanitasinya buruk, baik yang beriklim tropis maupun subtropis terutama yang beriklim panas. Oleh karena daerah-daerah seperti ini banyak terdapat di negara berkembang, angka kejadian askariasis di negara berkembang relatif tinggi (Pohan, 2006). Penyakit ini ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi telur serta termasuk ke dalam Soil Transmitted Helminth (STH) atau infeksi cacing usus yang ditularkan lewat tanah (Sri, 2003). Akariasis ditemukan pada semua umur, tetapi paling sering pada anak umur 5-9 tahun dengan frekuensi kurang lebih sama pada kedua jenis kelamin (Brown, 1982). Di Indonesia prevalensi cacingan pada anak sangat tinggi yaitu mencapai 60-0,9% (Sri, 2003). Hasil survei yang dilakukan pada 40 sekolah dasar (SD) di 10 propinsi menunjukkan prevalensi kecacingan berkisar antara 2,2-96,3% (Depkes RI, 2004; Rampengan, 2007). Penyakit cacing sangat merugikan karena cacing tersebut mengambil sari makanan dari tubuh hospesnya. Manifestasi dari keadaan tersebut adalah commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat timbulnya tanda klinis dari yang ringan, misalnya mual, nafsu makan berkurang, diare, atau konstipasi, sampai yang berat, misalnya perdarahan dan penggumpalan sel leukosit. Selain itu, daya tahan tubuh hospes akan menurun karena infeksi cacing tersebut (Mursito, 2002; Pohan, 2006). Obat-obat yang digunakan sebagai terapi askariasis di antaranya adalah Mebendazol, pirantel pamoat, piperazin, levamisol, albendazol,
dan
tiabendazol (Syarif dan Elysabeth, 2007). Piperazin sitrat merupakan salah satu anthelmintik yang merupakan obat utama dalam terapi askariasis. Piperazin bekerja sebagai agonis GABA pada otot cacing. Cara kerja piperazin pada otot cacing askaris dengan mengganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai paralisis (Pohan, 2006; Syarif dan Elysabeth, 2007). Preparat obat anthelmintik, misalnya piperazin, yang beredar di pasaran kini dirasa kurang efektif dan telah menimbulkan resistensi sehingga mudah sekali terjadi kekambuhan lagi (Kumar et al., 2010). Karena latar belakang tersebut, peneliti bermaksud meneliti obat alternatif yang berfungsi sebagai anthelmintik yang memiliki efek optimal terutama mampu menangani resistensi serta memiliki harga yang terjangkau. Mengkudu dilaporkan memiliki efek terapeutik yang luas, di antaranya adalah sebagai antibakteri, antiviral, anthelmintik, antifungi, antitumor, analgesik, hipotensif, antiinflamasi, dan imunomodulator. Tumbuhan commit to user
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mengkudu (Morinda citrifolia) telah digunakan oleh orang-orang Polynesia, Indian, sekitar 2000 tahun yang lalu (Kumar et al., 2010). Seluruh bagian tanaman mengkudu, baik akar, kulit batang, daun, dan buah berkhasiat untuk obat (Mursito, 2002; Bangun, 2002). Buah mengkudu digunakan sebagai obat alternatif untuk berbagai macam penyakit, misalnya arthritis, diabetes melitus, penurun tekanan darah, analgesik, dismenore, nyeri kepala, penyakit jantung, AIDS, kanker, ulkus gastitis, depresi, saluran cerna yang terganggu, ateriosklerosis, penyakit pada pembuluh darah, dan ketergantungan obat (Mathivanan et al., 2005). Senyawa utama yang terkandung di dalam buah mengkudu adalah skopoletin, asam oktanoat, kalium, vitamin C, terpenoid, alkaloid, anthrakuinon (seperti nordamnachantal, morindon, rubiadin, andrubiadin-1metil eter, dan antrakuinon glikosid) (Mathivanan et al., 2005). Alkaloid dan senyawa fenol (antrakuinon dan tanin) merupakan senyawa aktif yang memiliki aktivitas anthelmintik dalam buah mengkudu (Murdiati et al., 2000; Satwadhar et al., 2011). Perasan buah mengkudu memiliki efek anthelmintik yang baik pada konsentrasi tertentu dan memiliki perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan obat standar, yaitu piperazin (Adawiyah, 2006; Gunawan, 2007). Melihat potensi mengkudu sebagai anthelmintik seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian mengenai efektivitas antihelmintik ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap waktu kematian cacing Ascaris perlu dilakukan. commit to user
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Waktu kematian cacing merupakan variabel terikat yang sangat diperhitungkan dalam penelitian ini. Semakin singkat ekstrak mengkudu dapat membunuh cacing maka efektivitas ekstrak mengkudu semakin baik. Pada penelitian kali ini digunakan berbagai konsentrasi ekstrak buah mengkudu dengan tujuan untuk menghitung LC50 (Lethal Concentration 50) dan LT50 (Lethal Time 50) dari ekstrak buah mengkudu yang berfungsi sebagai anthelmintik. Penggunaan ekstrak lebih dipilih daripada perasan dalam penelitian ini disebabkan sediaan dalam bentuk ekstrak lebih menjamin kemurnian zat antihelmintik yang terkandung dalam buah mengkudu. Penelitian secara In Vitro juga lebih dipilih karena kendala yang akan dihadapi pada penelitian In Vivo lebih besar. Selain itu, penelitian In Vitro lebih mudah dilakukan dibandingkan penelitian In Vivo. Ascaris suum, Goeze digunakan sebagai subyek pada penelitian ini karena keterbatasan dalam memperoleh sampel Ascaris lumbricoides, Linn. Ascaris suum, Goeze adalah cacing gelang yang terdapat dalam usus halus babi. Cacing ini secara morfologis hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn. dan pada stadium dewasa sebagian besar hidup di usus halus mirip dengan Ascaris lumbricoides, Linn. pada manusia. Cacing ini memiliki siklus hidup dan cara infeksi yang sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn (Miyazaki, 1991; Roberts et al., 2005). Seperti yang diungkapkan oleh Loreille dan Bouchet, cacing ini juga mempunyai sifat biokimiawi dan commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
fisiologi yang hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn (Muyasaroh, 2011). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka didapatkan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah pengaruh ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze In Vitro? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia)
terhadap waktu kematian cacing Ascaris
suum, Goeze In Vitro. D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat teoritis Menyediakan data ilmiah mengenai pengaruh ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum,Goeze In Vitro.
2.
Manfaat praktis Memberikan
informasi
tentang
khasiat
antihelmintik
buah
mengkudu (Morinda citrifolia) yang diharapkan dapat menjadi obat alternatif dari piperazin.
commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Ascaris lumbricoides, Linn a. Taksonomi Subkingdom
: Metazoa
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Subkelas
: Secernentea
Bangsa
: Ascaridia
Superfamili
: Ascaridoidea
Famili
: Ascarididae
Marga
: Ascaris
Spesies
: Ascaris lumbricoides, Linn
(Utari, 2002) b. Morfologi
Gambar 2.1. Morfologi Ascaris lumbricoides (Dubs, 2011). commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Cacing jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan yang betina sekitar 22-35 cm. Cacing dewasa tubuhnya berwarna kuning kecoklatan, mempunyai kutikulum yang rata dan bergaris halus. Kedua ujung badan cacing membulat. Mulut cacing mempunyai bibir sebanyak 3 buah, satu di bagian dorsal dan yang lain di bagian subventral. Pada cacing jantan ditemukan 2 buah spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung ekornya (posterior) masing-masing spikula berukuran 2 mm. Cacing betina mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical) dan lurus. Pada sepertiga bagian depannya terdapat bagian yang disebut cincin atau gelang kopulasi (Zaman, 1997). Cacing dewasa hidup pada usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur per harinya. Telur yang dibuahi berukuran 60x45 mikron sedang telur yang tak dibuahi bentuknya lebih besar sekitar 90x40 mikron. Telur yang telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia (Gandahusada et al., 2006). c. Habitat dan Siklus Hidup Telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu dalam lingkunganyang sesuai. Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh manusia akan menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfa lalu dialirkan ke jantung kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
darah lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan oleh hospes sampai berkembang menjadi cacing dewasa dan kemudian bertelur
kembali
diperlukan
waktu
kurang
lebih
2
bulan
(Gandahusada et al., 2006). Cacing dewasa terdapat di dalam usus halus tetapi kadang-kadang dijumpai di bagian usus lainnya (Soedarto, 1992). d. Patologi dan Gambaran Klinis Penularan askariasis melalui tertelannya telur yang infeksius bersama makanan atau minuman kemudian telur akan menetas di bagian atas usus halus dan keluarlah larva yang berbentuk rhabtidiformis. Infeksi bertambah di masyarakat akibat pembuangan feses di tanah yang memungkinkan perkembangan telur menjadi infektif (Capello dan Hotz, 2003). Sebagian besar kasus askariasis tidak menunjukkan gejala. Infeksi biasa yang mengandung 10 sampai 20 ekor cacing sering berlalu tanpa diketahui hospes dan baru diketahui setelah ditemukan telur pada pemeriksaan tinja rutin atau cacing keluar sendiri tanpa tinja (Widoyono, 2008). Timbulnya gejala klinis pada askariasis disebabkan oleh: commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Spoilative Action Keberadaan cacing Ascaris lumbricoides, Linn dalam jumlah besar (hiperinfeksi) terutama pada anak – anak, dapat menimbulkan kekurangan gizi. Kekurangan gizi ini timbul akibat gangguan penyerapan monosakarida, asam amino, asam lemak dan gliserol di jejunum (Hutz, 2004). 2) Alergi Beberapa alergi yang timbul yaitu asma bronchial, urtikaria, hipereosinofillia
dan
Sindrom
Loeffler.
Sindrom
Loeffler
merupakan suatu kelainan yaitu terdapatnya infiltrat eosinofil pada paru-paru yang memberikan gambaran bronkopneumonia yang atipik (Pohan, 2006). 3) Traumatic Action Cacing Ascaris dapat berkumpul dan membentuk bolus yang cukup besar dalam lumen usus halus sehingga dapat menyebabkan obstruksi. Pada banyak kasus perlu dilakukan pembedahan untuk menghilangkan obstruksi (Rampengan, 2007). 4) Eratic Action Eratic action merupakan kelainan yang terjadi pada tubuh penderita akibat pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Di nasofaring, Askaris dapat migrasi ke tuba eustachii sehingga dapat menimbulkan Otitis Media Akut. Dari nasofaring, cacing ini dapat masuk ke laring, trakea, bronkus sehingga dapat commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila terdapat cacing dalam jumlah banyak di kolon dapat menyebabkan komplikasi seperti apendisitis akut, ileus, pankreatitis dan diare akut. Apabila sampai di ginjal dapat menyebabkan nefritis (Hutz, 2004). 2. Ascaris suum, Goeze a. Taksonomi Kerajaan
: Animalia
Subkingdom
: Metazoa
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Subkelas
: Secernentea
Bangsa
: Ascaridia
Superfamili
: Ascaridoidea
Famili
: Ascarididae
Marga
: Ascaris
Spesies
: Ascaris suum, Goeze
(Loreille dan Bouchet, 2003) b. Morfologi
Gambar 2.2. Morfologi Ascaris suum, Goeze (Blaxter, 2011). commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Cacing Ascaris suum, Goeze disebut juga Ascaris suilla yang secara morfologi hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn mulai dari telur sampai bentuk dewasa. Kemiripan morfologi keduanya, tidak dapat dibedakan dengan mikroskop cahaya biasa, tetapi dengan mikroskop elektron, menunjukkan sedikit perbedaan pada deretan gigi dan bentuk bibirnya (Gregers, 2006). Cacing jantan mempunyai panjang 10-31 cm dengan lebar 2-4 mm. Cacing betina memiliki ukuran lebih panjang daripada cacing jantan, yaitu 23-49 cm dengan lebar 3-6 mm (Roberts et al., 2005) Hospes yang penting untuk cacing ini adalah babi, tetapi cacing ini dapat juga menjadi parasit pada manusia, kambing, domba, dan anjing. Bukti menunjukkan bahwa cacing tanah dan kumbang tinja (Geotrupes) dapat bertindak sebagai hospes paratenik bagi larva Ascaris suum, Goeze (Noble dan Noble, 1989). c. Habitat dan Siklus Hidup Siklus hidup Ascaris suum, Goeze sedikit berbeda dengan Ascaris lumbricoides, Linn. Siklus hidup Ascaris suum, Goeze dapat terjadi secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Babi akan menelan telur fertil yang mengandung larva II pada siklus direct. Telur tersebut akan masuk ke dalam lambung kemudian menuju ke usus halus. Telur tersebut kemudian menetas di usus halus dan keluarlah larva II (Beaver et al., 1984). Larva tersebut akan bermigrasi ke hati dan menjadi larva III. Selanjutnya larva commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut akan bermigrasi ke paru dan alveolus. Ketika hospes batuk larva akan tertelan dan masuk ke saluran gastrointestinal. Proses ini sering disebut dengan hepato-tracheal migration. Di dalam traktus gastrointestinal (terutama di usus halus), larva akan berkembang menjadi bentuk dewasa dan selanjutnya akan hidup dan berkembang biak dalam usus halus babi (Moejer and Roepstroff, 2006). Perkembangan larva akan melalui hospes
paratenik atau
perantara pada siklus indirect. Telur fertil (berisi larva II) tertelan oleh hospes paratenik bersama makanan dan minuman. Larva II akan berada di jaringan sampai babi memangsa hospes paratenik tersebut. Selanjutnya, larva akan berkembang dalam tubuh babi menjadi larva III seperti proses yang berlangsung dalam siklus direct (Moejer and Roepstroff, 2006).
commit to user Gambar 2.3. Siklus Hidup Ascaris suum (Genneen, 1999)
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Patogenesis dan Gejala Klinis Infeksi Ascaris suum, Goeze dapat terjadi ketika babi menelan telur yang mengandung larva stadium II melalui makanan atau minumannya. Telur tersebut akan menetas di usus halus dan keluarlah larva II. Larva II akan berkembang menjadi larva III. Gejala klinis mulai terlihat pada waktu larva III bermigrasi dari usus halus ke hati dan menimbulkan kerusakan pada mukosa intestinal babi.
Hepato-tracheal
migration
juga
dapat
menyebabkan
peradangan ringan pada hati (Yoshihara, 2008). Walaupun demikian, gejala yang timbul sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya (Roberts et al., 2005). Larva dapat menyebabkan hemoragi ketika bermigrasi dari hati ke kapiler paru. Infeksi yang berat dapat menyebabkan akumulasi perdarahan dan kematian epitel sehingga menyebabkan kongesti jalan nafas yang disebut dengan Ascaris pneumonitis. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada babi (Roberts et al., 2005). 3. Mengkudu (Morinda citrifolia)
Gambar 2.4. Tumbuhan dan Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) (Waha, 2000). commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Toksonomi Fillum
: Angiospermae
Subfillum
: Dicotyledonae
Divisio
: Lignosae
Family
: Rubiaceae
Genus
: Morinda
Spesies
: Morinda citrifolia L.
(Djauhariya, 2003) b. Nama Daerah Morinda citrifolia
memiliki nama lokal, seperti yang
dituliskan oleh Suryowinoto (1997). Nama lokal tersebut di antaranya Pace (Jawa), Cengkudu (Pasundan), Kodhuk (Madura), Bakudu (Sumatera), Wangkudu (Kalimantan), Bakulu (Nusa Tenggara) (Dewi, 2010). c. Deskripsi Mengkudu termasuk jenis tanaman pohon dan berbatang bengkok, ketinggian dapat mencapai 3-8 m. Daun tunggal dengan ujung dan pangkal kebanyakan runcing. Buahnya termasuk buah bongkol, benjol-benjol tidak teratur, dan berdaging. Jika masak daging buah berair. Buah masak berwarna kuning kotor atau putih kekuning-kuningan dengan panjang 5-10 cm, lebar 3-6 cm (Suryowinoto, 1997). commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tanaman mengkudu berbuah sepanjang tahun. Mudah tumbuh pada berbagai tipe lahan, dengan daerah penyebaran dari dataran rendah hingga ketinggian 1500 dpl. Ukuran dan bentuk buahnya bervariasi, pada umumnya mengandung banyak biji, dalam satu buah terdapat ≥ 300 biji, namun ada juga tipe buah mengkudu yang memiliki sedikit biji, sehingga daya simpannya lama dan daya tumbuhnya tinggi. Dengan demikian, perbanyakan mengkudu dengan biji sangat mudah dilakukan (Djauhariya et al., 2006). d. Efek Farmakologis Mengkudu Buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) mengandung scopoletin, sebagai analgesik, antiradang, dan antibakteri. Scopoletin berfungsi memperlebar saluran pembuluh darah yang mengalami penyempitan dan melancarkan peredaran darah. Selain itu scopoletin juga telah terbukti bersifat fungisida (pembunuh jamur) terhadap Pythium sp. dan juga bersifat antialergi (Waha, 2000). Glikosida berfungsi sebagai antibakteri, antikanker, dan imunostimulan. Glikosida merupakan gugus gula dan fenol, termasuk di dalamnya adalah flavonoid. Pada mengkudu yang telah diisolasi senyawa ini dinamakan khusus, yaitu iridoides dan morindoides (Peter, 2007). Glikosida lain yang ditemukan dalam mengkudu adalah saponin (Satwadhar et al., 2001) Beberapa penelitian terbaru tentang mengkudu dilakukan untuk mengetahui kandungan zat-zat antikanker (damnacanthal). commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Empat ilmuwan Jepang berhasil menemukan zat anti kanker pada ekstrak mengkudu ketika ilmuwan tersebut sedang mencari zat-zat yang dapat merangsang pertumbuhan struktur normal dari sel-sel abnormal K-ras-NRK (sel prakanker) pada 500 jenis ekstrak tumbuhan. Ternyata zat antikanker pada mengkudu paling efektif melawan sel-sel abnormal (Waha, 2000). Acubin,
L.
asperuloside,
alizarin
dan
beberapa
zat
antraquinon telah terbukti sebagai zat antibakteri. Zat-zat yang terdapat di dalam buah mengkudu telah terbukti menunjukkan kekuatan
melawan
golongan
bakteri
infeksi:
Pseudomonas
aeruginosa, Proteus morganii, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan Escherichia coli (Peter, 2005; Waha, 2000; Winarti, 2005). Mengkudu juga mengandung senyawa terpenoid. Senyawa terpenoid adalah senyawa hidrokarbon isometrik yang juga terdapat pada lemak/minyak esensial (essential oils), yaitu sejenis lemak yang sangat penting bagi tubuh. Zat-zat terpen membantu tubuh dalam proses sintesa organik dan pemulihan sel-sel tubuh (Waha, 2000). Asam askorbat yang ada di dalam buah mengkudu adalah sumber vitamin C yang luar biasa. Vitamin C merupakan salah satu antioksidan yang hebat. Antioksidan bermanfaat untuk menetralisir radikal bebas (partikel-partikel berbahaya yang terbentuk sebagai hasil samping proses metabolisme, yang dapat merusak materi commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
genetik dan merusak sistem kekebalan tubuh). Asam kaproat, asam kaprilat dan asam kaprik termasuk golongan asam lemak. Asam kaproat dan asam kaprik inilah yang menyebabkan bau busuk yang tajam pada buah mengkudu (Waha, 2000). Oligosakarida
dan
polisakaarida
juga
terkandung
di
dalamnya. Polisakarida merupakan gugus gula dengan rantai molekul yang panjang yang merupakan penyedia probiotik bagi koloni
bakteri
di
dalam
tubuh
yang
selanjutnya
mampu
difermentasikan sehingga menjadi asam lemak rantai pendek yang memiliki berbagai macam fungsi bagi kesehatan tubuh manusia (Peter, 2007). Noniosid merupakan kombinasi dari alkohol dan asam pada mengkudu yang memberikan aroma dan rasa pada mengkudu (Peter, 2007). Beta-sitosterol
merupakan
steroid
yang
berasal
dari
tumbuhan yang berfungsi sebagai antikolesterol (Peter, 2007). e. Kandungan Ekstrak Mengkudu yang Berpotensi sebagai Anthelmintik Cacing merupakan invertebrata yang terdiri dari segmensegmen. Cacing tidak memiliki tulang dan bergerak karena kontraksi dan relaksasi segmen pada badannya. Cacing bergerak secara siliar. Lapisan luar cacing adalah lapisan mucilaginous yang terdiri dari kompleks
mukopolisakarida. Lapisan commit to user
17
ini
seperti
lumpur,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memungkinkan cacing bergerak bebas. Kerusakan apapun pada membran mukopolisakarida akan mengekspos lapisan luar dan menyebabkan pergerakan menjadi terbatas dan dapat menyebabkan paralisis. Hal ini dapat menimbulkan kematian cacing (Salhan et al., 2010). Semua antihelmintik membunuh
cacing dengan
cara
membuat cacing kelaparan sampai mati atau menimbulkan paralisis karena cacing tidak memiliki cadangan energi, cacing harus makan hampir secara kontinyu untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Semua gangguan pada proses ini menimbulkan deplesi energi. Parasit juga mati jika parasit dibuat paralisis dan kehilangan kemampuan mempertahankan posisi di usus (Salhan et al., 2010). Sekitar 160 senyawa fitokimia telah diidentifikasi pada tanaman mengkudu, dan mikronutrien utama adalah senyawa fenol, asam organik, dan alkaloid. Senyawa fenol yang paling penting adalah antrakuinon (damnacanthal, morindone, morindin, dll) dan juga aucubin, asperuloside, scopoletin (Rethinam et al., 2007). Beberapa antihelmintik fenolik sintetik seperti Niclosamide, Oxyclozamide,
Bithionol,
dan
lain-lain
dilaporkan
dapat
mengganggu pembentukan energi cacing dengan cara uncoupling oxidative phosphorylation (Khatri et al., 2011). Senyawa fenol lain yang berhasil diidentifikasi dari buah mengkudu adalah tannin. Konsentrasi tannin dalam buah mengkudu adalah sekitar 1,20% commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Satwadhar et al., 2011). Tannin memiliki fungsi sebagai anthelmitik yaitu mampu berikatan dengan protein bebas pada traktus digestivus hospes sehingga menyebabkan pengambilan nutrisi oleh cacing dari usus hospes terganggu. Tannin juga mampu berikatan dengan glikoprotein pada kutikula cacing sahingga menyebabkan kerusakan pada kutikula dan selanjutnya menyebabkan kematian pada cacing (Salhan et al., 2011). Selain itu, tannin juga mempunyai efek antihelmintik dengan cara menggumpalkan protein tubuh cacing. Aktivitas ini dapat mengganggu metabolisme dan homeostasis tubuh cacing sehingga cacing akan mati (Harvey dan John, 2004). Salah satu alkaloid penting yang terdapat dalam buah mengkudu adalah xeronine. Xeronine dihasilkan juga oleh tubuh manusia dalam jumlah terbatas yang berfungsi untuk mengaktifkan enzim-enzim dan mengatur fungsi protein di dalam sel. Walaupun buah mengkudu hanya mengandung sedikit xeronine, tetapi mengandung bahan-bahan pembentuk (prekursor) xeronine, yaitu proxeronine dalam jumlah besar. Proxeronine adalah sejenis asam koloid yang tidak mengandung gula, asam amino atau asam nukleat seperti koloid-koloid lainnya dengan bobot molekul relatif besar, lebih dari 16.000 (Waha, 2000). Apabila manusia mengkonsumsi proxeronine maka kadar xeronine di dalam tubuh akan meningkat. Di dalam tubuh manusia (usus) enzim proxeronase dan zat-zat lain akan mengubah proxeronine menjadi xeronine. Fungsi utama commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
xeronine adalah mengatur bentuk dan rigiditas (kekerasan) proteinprotein spesifik yang terdapat di dalam sel. Hal ini penting mengingat bila protein-protein tersebut berfungsi abnormal maka tubuh manusia akan mengalami gangguan (Waha, 2000). Xeronine memiliki aktivitas biologi yang luas. Saat protein seperti enzim, reseptor, sinyal tranduser tidak terbentuk dengan baik, maka tidak akan bekerja seperti seharusnya. Xeronine akan berinteraksi dengan protein tadi dan akan memperbaiki pembentukannya. Hasilnya adalah protein dapat bekerja seperti seharusnya. Kapanpun masalah timbul pada sel karena masalah struktur protein, kehadiran xeronine akan bermanfaat. Alkaloid ini sangat penting sebagai koregulator metabolik (Ying et al., 2002). Alkaloid xeronine bekerja di dalam sel tubuh untuk memerangi peradangan, mempercepat pertumbuhan dan mengatur pertumbuhan sel normal. Infeksi dan stres membuat kebutuhan
akan
xeronine
meningkat.
Alkaloid
juga
dapat
menyebabkan rasa pahit pada buah mengkudu (Peter, 2007). Alkaloid mungkin berperan pada sistem saraf pusat serta menyebabkan paralisis pada cacing. Efek tersebut mungkin juga disebabkan oleh adanya oligoglikosid-steroid alkaloid yang dapat menghambat transfer sukrosa ke usus halus, sehingga persediaan glukosa untuk cacing menurun dan akibatnya cacing kelaparan. Selain itu, senyawa tersebut pada bersamaan juga dapat berfungsi sebagai antioksidan yang berfungsi mengurangi radikal bebas berupa commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nitrat oksida (NO-). Hal tersebut sangat berperan dalam mekanisme anthelmintik (Salhan et al, 2010). Alkaloid dan antrakuinon merupakan senyawa aktif yang memiliki aktivitas anthelmintik tertinggi. Hal ini dibuktikan melalui ekstraksi dengan menggunakan pelarut kloroform (Murdiati et al., 2000). Adanya antrakuinon dan alkaloid dalam buah mengkudu ini juga dibuktikan oleh Nayak (2010) tentang penapisan senyawa fitokimia dalam buah mengkudu. f. Ekstrak Buah Mengkudu Ekstraksi adalah metode pemisahan di mana komponenkomponen terlarut suatu campuran dipisahkan dari komponen yang tidak larut dalam pelarut (Hui, 1992). Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan (Bernasconi et al., 1995). Ragam ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur, kandungan air bahan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi. Umumnya untuk merusak jaringan tumbuhan untuk mencegah terjadinya oksidasi enzim atau hidrolisis (Harborne, 1996). Hal utama yang harus diperhatikan dalam melarutkan suatu komponen bahan adalah pemilihan jenis pelarut yang mempunyai polaritas hampir sama dengan bahan yang dilarutkan (Pomeran dan Meloan, 1994). Selain itu, faktor yang menentukan hasil ekstraksi adalah jangka waktu dimana simplisia atau bahan tetap kontak commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan cairan pengekstraksi (waktu ekstraksi) dan perbandingan antara simplisia atau bahan terhadap cairan pengekstraksi (jumlah bahan pengekstraksi) (Voight, 1995). Disebutkan juga oleh Susanto (1999) bahwa ekstraksi yang baik dilakukan pada kisaran suhu 3050ºC. Salah satu senyawa pengekstrak adalah etanol. Etanol mudah menguap walau pada suhu rendah dan mendidih pada suhu 78 ºC. Etanol biasanya digunakan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa aktif yang bersifat antioksidan dan antibakteri pada suatu bahan (Voight, 1995). Etanol (70 %) sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal (Voight, 1995). 1 gram vitamin C dapat larut dalam 30 ml etanol 95 % dan dalam 50 ml etanol 70 %. Vitamin C mempunyai gugus karbonil (C=O) dan gugus hidroksil (OH). Dengan adanya gugus hidroksil, sehingga vitamin C dapat larut pada pelarut polar (Arslantas et al., 2004). Ratna
dalam
Widawati
(2010),
dalam
penelitiannya
menyebutkan, aktivitas antioksidan tertinggi yaitu pada ekstrak dengan menggunakan metanol dan etanol serta yang terendah pada ekstrak dengan menggunakan air. Hal ini dikarenakan metanol dan etanol kepolarannya mendekati tingkat kepolaran antioksidan. Sedangkan penggunaan aquades sebagai bahan pengekstrak terlalu polar sehingga senyawa lain seperti karbohidrat juga ikut terekstrak. Tensiska et al. (2003) mengungkapkan bahwa penggunaan metanol commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dihindari untuk bahan pangan dengan pertimbangan bahwa metanol bersifat toksik, sedangkan etanol relatif lebih aman. Murdiati et al. (2000), dalam penelitiannya mengenai penelusuran
senyawa
anthelmintik
Morinda
citrifolia
pada
Haemonchus contortus, mengemukakan bahwa fraksi kloroform yang mengandung senyawa antrakuinon dan alkaloid paling banyak memiliki aktivitas anthelmintik. Senyawa antrakuinon berhasil diekstraksi dengan menggunakan metanol sedangkan senyawa alkaloid juga berhasil diekstraksi dengan menggunakan pelarut metanol-kloroform pada penelitian yang dilakukan oleh Nayak (2010). Namun, pada percobaan kali ini kloroform tidak digunakan karena memiliki efek anastetik, karsinogenik, iritatif pada saluran nafas, kulit, dan mata (Departemen Kesehatan RI, 1985; Putra, 2003 ; WHO, 1994). Etanol dapat menyari zat yang tidak tersari oleh air yaitu lemak, terpenoid, antrakuinon, kumarin, flavonoid polimetil, resin, klorofil, isoflavon, alkaloid bebas, kurkumin dan fenol lain. Etanol tidak menyebabkan
pembengkakaan
membran
sel, sehingga
memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Dalam bentuk sediaan ekstrak etanol, selain dapat disimpan lebih lama, ekstrak juga dapat dipakai berulang (Voigt, 1994). Sehingga pada penelitian kali ini digunakan etanol 70% sebagai pelarut. commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perkolasi. Istilah perkolasi berasal dari bahasa latin per yang artinya melalui dan colare yang artinya merembes. Secara umum dapat dinyatakan sebagai proses di mana obat atau bahan mentah yang sudah halus diekstraksi dalam pelarut yang cocok dengan cara melewatkan perlahan-lahan melalui obat dalam suatu kolom. Perkolasi dilakukan dalam wadah silindris atau kerucut (perkolator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Bahan ekstraksi yang dimasukkan
secara kontinyu dari atas mengalir lambat
melintasi jamu yang umumnya berupa serbuk kasar. Hasil ekstraksi berupa bahan aktif yang tinggi dan kaya ekstrak. Dengan demikian keuntungan perkolasi adalah pemanfaatan jamu secara optimal serta memerlukan waktu yang singkat (Ansel, 1989; Voight, 1994). 4. Piperazin Pengalaman klinik menunjukkan bahwa piperazin efektif sekali terhadap A. lumbricoides dan E. vermicularis (Syarif dan Elysabeth, 2007). Piperazin terdapat sebagai heksahidrat yang mengandung 44% basa. Juga didapat sebagai garam sitrat, fosfat, adipat, dan tartrat. Garam-garam ini bersifat stabil nonhigroskopik, berupa kristal putih yang sangat larut dalam air, larutannya bersifat sedikit asam (Syarif dan Elysabeth, 2007). commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Efek antelmintik Cacing biasanya keluar 1-3 hari setelah pengobatan dan tidak diperlukan pencahar untuk itu (Syarif dan Elysabeth, 2007). Piperazin bekerja sebagai agonis GABA pada otot cacing. Cara kerja piperazin pada otot cacing askaris dengan mengganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan
potensial
istirahat,
sehingga
menyebabkan
hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai paralisis (Syarif dan Elysabeth, 2007). b. Farmakokinetik Penyerapan piperazin melalui saluran cerna, baik. Kadar puncak plasma dicapai dalam 2-4 jam. Ekskresi melalui urin, selama dicapai dalam 2-4 jam. Ekskresi melalui urin, selama 2-6 jam sebagian besar obat diekskresi dalam bentuk utuh. Tidak ada perbedaan yang berarti antara garam sitrat, fosfat, dan adipat dalam kecepatan ekskresinya melalui urin. Tetapi ditemukan variasi yang besar pada kecepatan ekskresi antarvariasi yang besar pada kecepatan ekskresi antarindividu. Yang diekskresi lewat urin sebanyak 20% dalam bentuk utuh. Obat yang diekskresi lewat urin ini berlangsung 24 jam (Syarif dan Elysabeth, 2007).
commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Efek Samping dan Kontraindikasi Piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Pada dosis terapi umumnya tidak menyebabkan efek samping, kecuali kadangkadang nausea, vomitus, diare, dan alergi. Pemberian
IV
menyebabkan penurunan tekanan darah selintas. Dosis letal menyebabkan konvulsi dan depresi pernapasan. Pada takar lajak atau pada akumulasi obat karena gangguan faal ginjal dapat terjadi inkoordinasi otot, atau kelemahan otot, vertigo, kesulitan bicara, bingung yang akan hilang setelah pengobatan dihentikan. Piperazin dapat memperkuat efek kejang pada penderita epilepsi. Karena itu piperazin tidak boleh diberikan pada penderita epilepsi dan gangguan hati dan ginjal. Pemberian obat ini pada penderita malnutrisi dan anemia berat, perlu mendapatkan pengawasan ekstra. Karena piperazin menghasilkan nitrosamin, penggunaannya untuk wanita hamil hanya kalau benar-benar perlu atau kalau tak tersedia obat alternatif (Syarif dan Elysabeth, 2007). d. Sediaan dan posologi Piperazin sitrat tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan sirop 500 mg/ml, sedangkan piperazin tartrat dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis dewasa pada askariasis adalah 3,5 g sekali sehari. Dosis pada anak 75 mg/kg BB (maksimum 3,5 g) sekali sehari. Obat diberikan 2 hari berturut-turut. Untuk cacing kremi (enterobiasis) dosis dewasa dan anak adalah 65 mg/kg BB (maksimum 2,5 g) commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekali sehari selama 7 hari. Terapi hendaknya diulangi sesudah 1-2 minggu atau diberikan selama 4 hari berturut-turut (Syarif dan Elysabeth, 2007).
B. Kerangka Pemikiran Uncoupling fosforilasi oksidatif cacing
Pembentukan energi turun Piperazin
Senyawa Fenol (antrakuinon, tannin)
Penggumpalan protein tubuh cacing
Ikatan pada glikoprotein kutikula cacing
Gangguan hemostasis & metabolisme me Kutikula rusak
Ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) PARALISIS
Depresi SSP pada cacing Alkaloid (alkaloid steroid, xeronine, proxeronine) Hambatan transfer sukrosa
Cadangan glukosa turun
Keterangan: : mengakibatkan : mengandung user Pemikiran Gambar 2. 5.commit Skema to Kerangka
27
KEMATIAN CACING
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Hipotesis Ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) memiliki pengaruh terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum,Goeze In Vitro.
commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium dengan rancangan penelitian posttest only controlled group design. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di LPPT UGM untuk melakukan ekstraksi buah Mengkudu (Morinda citrifolia) dan Laboratorium Parasitologi dan Mikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta sebagai tempat penelitian. C. Subyek Penelitian 1. Populasi sumber Subyek penelitian atau hewan uji adalah Ascaris suum, Goeze yang diperoleh dari usus halus babi di tempat penyembelihan “Radjakaja” Kotamadya Surakarta. 2. Pengambilan Sampel Usus dari babi yang baru disembelih dipotong membujur untuk mengambil cacing. Kemudian isinya ditampung dalam ember. Mukosa usus dikerok untuk melepas cacing yang mungkin masih menempel pada mukosa usus. Isi usus kemudian disaring dan satu persatu cacing mulai diambil kemudian dimasukkan ke dalam toples. commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk menjaga ketahanan hidup cacing secara In Vitro, cacing direndam dalam larutan NaCl 0,9%. Larutan NaCl digunakan karena pada percobaan yang dilakukan Mahmudah (2010), cacing Ascaris suum mampu bertahan selama 112 jam pada larutan NaCl 0,9%. Larutan NaCl 0,9 % merupakan larutan isotonis sehingga tidak merusak membran sel. Cacing Ascaris suum diambil dari penyembelihan dengan kurun waktu kurang lebih satu jam setelah penyembelihan babi. Selanjutnya cacing dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,9% dan dibawa ke Laboratorium Parasitologi untuk pemberian perlakuan. Waktu yang dibutuhkan cacing dari mulai babi disembelih sampai cacing dimasukkan ke dalam inkubator membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam. 3. Besar sampel Besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 108 ekor cacing Ascaris suum, Goeze. Penentuan besar sampel dihitung dengan rumus Federer: (n-1) (t-1) ≥ 15 Keterangan: n = besar sampel t = jumlah kelompok perlakuan (Hanafiah, 2001) Pada penelitian ini digunakan 9 kelompok perlakuan, maka: (n-1) (t-1)
≥ 15
(n-1) (9-1) ≥ 15 commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8n
≥ 23
n
≥ 2,875
Masing-masing
kelompok
akan
memiliki
besar
sampel
sebanyak 3 ekor cacing menurut hasil perhitungan. Namun, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan digunakan sampel sebanyak 4 ekor cacing. Penelitian dilakuan 3 kali ulangan. 4. Kriteria inklusi dan eksklusi a. Kriteria Inklusi Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah Ascaris suum dewasa yang masih aktif bergerak, ukuran 10-49 cm, tidak terlihat cacat secara anatomis dan didapatkan dari usus halus babi. b. Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah selain kriteria yang tercantum pada kriteria inklusi. D. Teknik Sampling Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling karena populasi sampel homogen. E. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas (Independent Variable) Konsentrasi ekstrak buah Mengkudu (Morinda citrifolia) dan piperazin. 2. Variabel Terikat (Dependent Variable) Waktu kematian semua cacing dalam tiap rendaman setelah commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemberian perlakuan. a. Variabel Perancu (Confounding Variable) 1) Variabel Perancu yang Terkendali a) Besar dan jenis cacing
:
dipilih
cacing
gelang yang ukurannya sekitar 10-49 cm dan hidup di usus halus babi. b) Suhu percobaan
:
dipilih
suhu
percobaan 37ºC dengan inkubator 2) Variabel Perancu yang Tidak Terkendali a) Variasi kepekaan cacing terhadap larutan uji b) Ketahanan dan lama hidup cacing di luar tubuh babi c) Umur cacing F. Definisi operasional variabel penelitian 1. Ekstrak buah mengkudu Proses ekstraksi buah mengkudu (Morinda citrifolia) didahului dengan pembuatan serbuk. Serbuk buah mengkudu adalah serbuk yang dihasilkan dari buah yang sudah masak, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 400C. Hasil yang diperoleh kemudian diblender dan diayak dengan pengayak nomor 40. Ekstrak buah mengkudu adalah ekstrak yang dihasilkan dengan metode perkolasi, menggunakan pengekstraksi etanol 70 %. Konsentrasi ekstrak buah mengkudu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 % g/ml, 2 % g/ml, 4 % g/ml, 6 % g/ml, 8 % g/ml, 10 % g/ml dan 12 % g/ml. commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Skala variabel dari ekstrak buah mengkudu adalah skala rasio. Konsentrasi ekstrak buah mengkudu 12% g/ml dianggap sebagai konsentrasi tertinggi atau konsentrasi 100% dalam penelitian. Dari konsentrasi 12% g/ml, nanti akan diencerkan sehingga dapat diperoleh konsentrasi-konsentrasi lain yang diinginkan. Uji pendahuluan dilakukan untuk menguji efektifitas dosis dari ekstrak mengkudu. 2. Piperazin Piperazin dalam penelitian kali ini berfungsi sebagai kontrol positif, yaitu obat standar yang digunakan sebagai pembanding. Piperazin dipilih karena sebagai obat untuk askariasis piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Selain itu juga merupakan terapi utama yang sangat efektif (drug of choice) untuk askariasis menurut Pohan (2006), Syarif dan Eysabeth (2007). Piperazin sitrat tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan sirop 500 mg/ml, sedangkan piperazin tartrat dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis dewasa pada askariasis adalah 3,5 g sekali sehari. Dosis pada anak 75 mg/kg BB (maksimum 3,5 g) sekali sehari. Dosis piperazin yang digunakan untuk penelitian kali ini merujuk pada penelitian yang dilakukan Rabiah (2006). Pada penelitian tersebut LC50 piperazin untuk Ascaridia galii adalah 0,4 % g/ml. 3. Waktu kematian cacing Cacing dianggap mati apabila tidak ada respon gerakan saat ujung commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tubuhnya disentuh dengan pinset anatomis. Untuk mengetahui waktu pengamatan maksimal dan waktu pengamatan rutin dilakukan uji pendahuluan terlebih dahulu. Skala variabel dari waktu paralisis dan kematian cacing adalah skala rasio. 4. Lethal Concentration 50 (LC50) Perhitungan Lethal concentration 50 (LC50) digunakan untuk mengetahui keefektivan dosis ekstrak mengkudu. LC50 adalah konsentrasi yang diperlukan untuk dapat membunuh 50% cacing dalam waktu tertentu. 5. Lethal Time 50 (LT50) LT50 adalah waktu yang dibutuhkan untuk menimbulkan kematian 50% cacing pada konsentrasi tertentu. Pada penelitian ini, LT50 digunakan untuk membandingkan efektivitas piperazin dengan ekstrak mengkudu.
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
G.
digilib.uns.ac.id
Rancangan Penelitian Ascaris suum
Direndam dalam larutan garam fisiologis (NaCl 0,9 %)
Inkubasi
Direndam dalam ekstrak mengkudu dengan konsentrasi 1% g/ml, 2% g/ml, 4% g/ml, 6% g/ml, 8% g/ml, 10% g/ml, dan 12% g/ml
Direndam dalam larutan Piperazin dengan konsentrasi 0,4% g/ml
inkubasi
inkubasi
Catat dan amati jumlah
Catat dan amati jumlah
Catat dan amati jumlah
cacing yang mati.
cacing yang mati.
cacing yang mati.
Dihitung waktu
Dihitung waktu
Dihitung waktu
kematian semua cacing
kematian semua cacing
kematian semua cacing
Replikasi 3x
Replikasi 3x
Replikasi 3x
Olah data dan analisis
Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian
commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
H. Alat dan Bahan 1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1) Cawan petri diameter 15 cm, 2) Batang pengaduk kaca, 3) Pinset anatomis, 4) Gelas piala, 5) Gelas ukur, 6) Labu takar, 7)Toples untuk menyimpan cacing, 8) Inkubator, 9) Timbangan 2. Bahan Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 1) NaCl 0,9 %, 2) Piperazin 0,4% g/ml, 3) Ekstrak buah mengkudu dengan konsentrasi 1% g/ml, 2% g/ml, 4% g/ml, 6% g/ml, 8% g/ml, 10% g/ml, 12% g/ml. I.
Cara Kerja 1. Pembuatan Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) a. Pengambilan Bahan Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) yang diekstrak didapat dari daerah sekitar Surakarta. b. Pembuatan Serbuk Mengkudu (Morinda citrifolia) Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) dicuci bersih pada air mengalir, untuk menghilangkan semua kotoran yang melekat. Kemudian, buah mengkudu diiris dengan ketebalan ± 3 mm, dikeringkan dalam almari pengering pada suhu 450C selama 72 jam kemudian diserbuk menggunakan mesin penyerbuk dengan saringan diameter lubang saringan 1 mm. commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Pembuatan ekstrak Mengkudu (Morinda citrifolia) Ekstraksi
dilakukan
di
Laboratorium
Penelitian
dan
Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada (LPPT UGM). Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perkolasi. Serbuk buah mengkudu dimasukkan ke dalam alat perkolator kemudian ditambahkan etanol 70%, didiamkan selama 24 jam dan dialirkan tetes demi tetes. Etanol 70% ditambahkan terus-menerus sampai filtrat yang menetes menjadi jernih. Filtrat yang dihasilkan diuapkan dengan vacuum rotatory evaporator pemanas water bath dengan suhu 70oC. Filtrat yang dihasilkan akan menjadi ekstrak kental. Ekstrak kental tersebut dituang dalam cawan porselen dan dipanaskan dengan water bath sambil diaduk terus-menerus. d. Penentuan Konsentrasi Larutan Uji yang Digunakan Penentuan rentang konsentrasi larutan uji yang digunakan mengacu pada penelitian Kumar et al. (2010), di mana pada penelitian tersebut digunakan ekstrak daun mengkudu dengan konsentrasi 10 mg/ml, 50 mg/ml, dan 100 mg/ml. Penelitian ini menggunakan konsentrasi dari 10 mg/ml sampai 120 mg/ml seperti merujuk pada konsentrasi di atas. Cara untuk membuat konsentrasi yang diinginkan adalah dengan cara membuat stock solution terlebih dahulu. Stock solution merupakan konsentrasi larutan tertinggi dalam percobaan. Dari stock solution dapat digunakan metode titrasi untuk mendapatkan dosis yang lebih commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kecil yang diinginkan. Dosis yang dipakai dalam percobaan ini adalah 1 % g/ml, 2 % g/ml, 4% g/ml, 6 % g/ml, 8 % g/ml, 10 % g/ml, 12 % g/ml. Stock solution pada percobaan ini adalah 12 % g/ml. Cara pembuatannya adalah: 12 gram ekstrak mengkudu + 100 ml NaCl à 12 % g/ml. Dari 12 % g/ml tersebut larutan dititrasi (diencerkan) sehingga didapatkan larutan dengan konsentrasi 10 % g/ml, 8 % g/ml, 6 % g/ml, 4 % g/ml, 2 % g/ml dan 1 % g/ml. Pembuatan konsentrasi ekstrak mengkudu yang tepat dapat dilihat pada lampiran 1. 2. Konsentrasi Larutan Piperazin Sitrat Dosis piperazin yang digunakan untuk penelitian kali ini merujuk pada penelitian yang dilakukan Rabiah (2006). Pada penelitian tersebut LC50 piperazin untuk Ascaridia galii adalah 0,4 % g/ml. 0,4 gram piperazin sitrat + 100 ml NaCl 0,9% à larutan piperazin sitrat konsentrasi 0, 4 % g/ml. 3. Langkah Penelitian a. Cawan petri disiapkan, diisi larutan garam fisiologis (NaCl 0,9 %) sebagai kontrol negatif, larutan Piperazin sebagai pembanding dan larutan ekstrak buah mengkudu 1 % g/ml, 2 % g/ml, 4 % g/ml, 6 % g/ml, 8 % g/ml, 10 % g/ml dan 12 % g/ml masing-masing sebanyak 24 ml (larutan dihangatkan terlebih dahulu dalam inkubator selama 15 commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menit pada suhu 370 C). b. Ke dalam masing-masing cawan petri dimasukkan Ascaris suum, Goeze sebanyak 4 ekor. c. Masing-masing cawan petri diinkubasi pada suhu 370 C. d. Catat dan amati cacing yang mati dalam cawan petri setiap 30 menit. e. Percobaan direplikasi 3 kali. J. Teknik Analisis Data Data dari hasil pengamatan cacing setiap 30 menit akan dianalisis secara statistik menggunakan SPSS 13.0 for windows. Karena sampel yang digunakan lebih dari 50, normalitas data diuji dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Untuk mengetahui apakah setiap konsentrasi buah mengkudu memiliki beda rerata lama hidup yang signifikan atau tidak, uji beda yang dilakukan adalah uji ANOVA one way atau Kruskal-Wallis tergantung dari distribusi data. Setelah dilakukan uji beda, dilakukan uji dengan Post Hoc LSD atau Mann-Whitney. Post Hoc LSD atau MannWhitney adalah uji untuk mengetahui variabel mana yang memiliki perbedaan yang signifikan. Analisis probit digunakan untuk menghitung LT50 dan LC50 dari ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai anthelmintik. LT50 buah mengkudu dibandingkan dengan LT50 piperazin.
commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Data Hasil Penelitian Hasil pengamatan pada penelitian pengaruh ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap watu kematian cacing Ascaris suum adalah sebagai berikut:
Gambar 4.1. Diagram Error-Bar Rerata Waktu Kematian Cacing Gambar 4.1. memperlihatkan bahwa semua kelompok perlakuan dan kontrol positif memiliki perbedaan rerata waktu kematian cacing yang sangat signifikan bila dibandingkancommit denganto kelompok kontrol negatif, yaitu p = user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
0,000 (lihat tabel 4.3). Gambar 4.1 juga menunjukkan bahwa tidak semua kelompok perlakuan memiliki perbedaan rerata waktu kematian yang signifikan ketika dibandingkan dengan kontrol positif. Kelompok 10% g/ml memiliki rerata waktu kematian yang lebih lama dibandingkan dengan kelompok 8% g/ml.
Tabel 4.1. Jumlah Cacing yang Mati pada Pengamatan Setiap 30 Menit dalam 3 Kali Replikasi. Jumlah cacing yang mati
Waktu (menit) 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360 390 420 450 480 510 540 570 600 630 660 690 720 750
1%
2%
4%
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 2 2 2
6%
8%
10%
12%
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 3 0 1 5 0 1 7 0 1 7 1 1 8 4 1 8 7 1 8 7 1 8 7 1 8 8 3 8 8 3 8 8 4 10 8 4 10 9 4 10 10 4 10 10 6 11 11 commit to user 9 11 11
0 0 0 0 0 6 6 8 10 12
41
K(+) 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 3 4 5 5 5 5 6 6 7 9 9 9 10 10
K(-) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
perpustakaan.uns.ac.id
780 810 840 870 900 930 960 990 1020 1050 1080 1110 1140 1170 1200 1230 1260 1290 1320 1350 1380 1410 1440 1470 1500 1530 1560
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 7 7 7 7 8 8 8 10 10 11 11 12
digilib.uns.ac.id
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 4 5 5 6 7 9 9 10 10 11 11 12
2 3 3 3 3 4 8 11 12
9 9 9 9 11 11 11 12
11 11 11 12
11 12
11 12
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Tabel 4.1 menyajikan data tentang kematian cacing pada pengamatan setiap 30 menit. Kelompok 12% g/ml memiliki waktu kematian cacing pertama yang paling cepat dibandingkan dengan kelompok lain. Pada menit ke 180 jumlah cacing yang mati di kelompok 12% g/ml adalah sebanyak 6 cacing. Waktu total yang dibutuhkan untuk kematian 100% cacing pada kelompok 12% g/ml adalah 300 menit. Waktu kematian 100% cacing pada commit to user kelompok 12% g/ml ini juga merupakan waktu kematian total yang paling 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cepat. B. Analisis Data Perbedaan rerata waktu kematian cacing antarkelompok dari Tabel 4.1. Untuk mengetahui apakah terdapat beda yang signifikan dari rerata kematian cacing pada masing-masing kelompok dilakukan uji beda. Namun, sebelum melakukan uji beda dilakukan terlebih dahulu uji normalitas untuk mengetahui distribusi data. 1. Uji Kolmogorov-Smirnov Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sebaran data normal atau tidak. Salah satu metode yang sering digunakan adalah metode analitik, yaitu menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk sampel lebih dari 50 maupun Saphiro-Wilk untuk sampel kurang dari 50. Metode analitik lebih sering digunakan daripada metode-metode lain seperti histogram dan kurtosis karena metode analitik dianggap lebih sensitif dan objektif (Dahlan, 2008). Metode analitik yang dipakai di sini adalah Kolmogorov-Smirnov karena jumlah sampel yang akan diuji lebih dari 50. Uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov dilakukan pada kelompok 1% g/ml, 2% g/ml, 4% g/ml, 6% g/ml, 8% g/ml, 10% g/ml, 12% g/ml, kontrol positif dan kontrol negatif. Dari hasil uji KolmogorovSmirnov yang dapat dilihat pada lampiran 2, didapatkan bahwa distribusi data yang normal (p > 0,05) hanya ditunjukkan oleh kelompok konsentrasi ekstrak buah mengkudu 2% g/ml, 6% g/ml, kontrol positif dan kontrol commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
negatif. Oleh karena itu, uji beda yang selanjutnya dipakai adalah uji beda non parametrik dengan menggunakan Kruskall-Wallis. 2. Uji Kruskall-Wallis Uji beda non parametrik dipilih jika sebaran data tidak normal. Uji Kruskall-Wallis merupakan uji beda non parametrik
yang digunakan
untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan signifikan lebih dari 2 kelompok yang tidak berpasangan (Dahlan, 2008). Hasil uji Kruskall-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu kematian cacing yang signifikan yaitu dengan nilai p = 0,000 yang terdapat pada minimal 2 kelompok yang dibandingkan. Taraf signifikansi (p < 0,05) menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan atau bermakna antarkelompok. Hasil Uji Kruskall-Walis dapat dilihat pada lampiran 2. 3. Uji Post Hoc Uji Post Hoc digunakan untuk mengetahui kelompok mana saja yang memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik. Karena distribusi dari data tidak normal maka, uji Post Hoc yang digunakkan adalah Uji Mann-Whitney (Dahlan, 2008). Tabel 4.2. Hasil Uji Mann-Whitney No
Kelompok
Kelompok
Signifikansi (p)
pembanding 1.
1%
2%
.131*
4%
.000
6%
.000
8%
.000
10%
.000
12%
.00
commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
2.
3.
4.
5.
6.
7. 8.
digilib.uns.ac.id
2%
4%
6%
8%
10%
12% k(+)
k(+)
.000
K(-)
.000
4%
.000
6%
.000
8%
.000
10%
.000
12%
.000
k(+)
.000
k(-)
.000
6%
.008*
8%
.000
10%
.000
12%
.000
k(+)
.000
K(-)
.000
8%
.006*
10%
.015*
12%
.000
k(+)
.068*
K(-)
.000
10%
.072*
12%
.001
K(+)
.088*
K(-)
.000
12%
.000
k(+)
.862*
K(-)
.000
k(+)
.000
K(-)
.000
k(-)
.000
Keterangan: * menyatakan tidak signifikan. Hasil dari uji Post Hoc Mann-Whitney dapat dilihat pada lampiran 3. 4. Koreksi Bonferroni (Bonferroni correction) Koreksi bonferroni adalah suatu proses koreksi yang digunakan ketika beberapa uji statistik untuk kebebasan dan ketidakbebasan commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan secara bersamaan. Koreksi Bonferroni biasanya digunakan dalam pembandingan ganda (Kunto dan Hasana, 2006). Uji Post Hoc merupakan uji lanjut yang digunakan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai perbedaan paling signifikan. Untuk meminimalkan kesalahan tipe I α yang dihasilkan dari uji Post Hoc, data dikoreksi dengan menggunakan koreksi Bonferroni (Green dan Salkind, 2008). Formula sederhana koreksi Bonferroni adalah sebagai berikut : p/n Nilai p merupakan target signifikansi yang ingin dicapai dan nilai n, dapat diperoleh dengan formula sebagai berikut: n= k(k-1)/2 k = jumlah kelompok. Maka, hasil koreksi Bonferroni dalam penelitian ini : p/ n
= 0,05/[ 9(9-1)/2] = 0,05/ 36 = 0,0014
Nilai signifikansi 0,0014 dianggap sebagai batas nilai signifikansi dalam penelitian ini. Tabel 4.2 menunjukkan hasil dari uji Post Hoc Mann-Whitney dengan koreksi Bonferroni. Taraf signifikansi p < 0,0014 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu kematian cacing Ascaris suum yang bermakna secara statistik antarkelompok yang dibandingkan. Dari Tabel commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.2 dapat dilihat bahwa beberapa data menunjukkan p > 0,0014 artinya tidak terdapat perbedaan waktu kematian cacing yang bemakna. Kelompok kontrol negatif memiliki perbedaan waktu kematian yang sangat signifikan terhadap kelompok kontrol positif maupun kelompok
perlakuan.
Namun,
tidak
semua
kelompok
perlakuan
menunjukkan perbedaan waktu kematian yang signifikan terhadap kelompok kontrol positif. Kelompok perlakuan yang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol positif adalah kelompok 6% g/ml, 8% g/ml, dan 10% g/ml. 5. Lethal Concentration 50 (LC50) Perhitungan Lethal concentration 50 (LC50) digunakan untuk mengetahui keefektivan dosis ekstrak. LC50 adalah konsentrasi yang diperlukan untuk dapat membunuh 50% cacing dalam waktu tertentu. Batas waktu pengamatan digunakan untuk menghitung LC50. Batas waktu pengamatan yang dipakai adalah 810 menit (13 jam 30 menit). Hasil yang diperoleh selama pengamatan 810 menit dapat dilihat dalam tabel 4.3. Tabel 4.3. Pengamatan Cacing Selama 810 Menit No.
Dosis (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 2 4 6 8 10 12 Kontrol (+) Kontrol (-)
Jumlah cacing mati dalam setiap kelompok 0 0 3 9 11 12 12 commit to user 11 0 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa LC50 ekstrak buah mengkudu dapat dihitung dengan menggunakan analisis probit. Hasil analisis probit untuk ekstrak buah mengkudu dapat dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4. Lethal Concentration Ekstrak Buah Mengkudu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Prosentase mortalitas (%) 10 20 30 40 50 60 70 80 90
LCx (%) 3, 35418 3,83138 4,21707 4, 57724 4,94165 5,33507 5,79073 6,37366 7,28045
Batas bawah(%) 2,11126 2,66372 3,13456 3,58260 4,03055 4,49130 4,97822 5,52362 6,24575
Batas atas (%) 4,09235 4,53916 4,91505 5,28969 5,70577 6,21379 6,89571 7,91900 9,80076
Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa LC50 ekstrak buah mengkudu adalah pada konsentrasi 4,94% g/ml, dengan batas bawah 4,03% g/ml dan batas atas 5,70% g/ml. Selanjutnya, dari konsentrasi yang mendekati batas atas, yaitu 6% g/ml dilakukan analisis probit untuk menghitung LT50 ekstrak buah mengkudu. 6. Lethal Time 50 (LT50) LT50 adalah waktu yang dibutuhkan untuk menimbulkan kematian 50% cacing pada konsentrasi tertentu. Pada penelitian ini, LT50 digunakan untuk membandingkan efektivitas piperazin dengan ekstrak mengkudu. Tabel 4.5. menyajikan data LT50 ekstrak buah mengkudu yang dihitung menggunakan analisis probit.
commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.5. Lethal Time Ekstrak Buah Mengkudu No 1 2 3 4 5 6 7 8
Prosentase mortalitas (%) 10 20 30 40 50 60 70 80
LTx (menit)
Batas bawah (menit) 362,05165 453,85544 526,57415 589,25828 647,61428 707,11586 773,71541 857,21313
423,50013 504,05430 571,48836 636,21122 703,31770 777,50246 865,55705 981,35415
Batas atas (menit) 467,66784 545,40827 618,16832 698,03844 790,40417 900,85661 1040,36026 1234,81872
Tabel 4.5 memperlihatkan bahwa LT50 ekstrak buah mengkudu adalah 703,31770 menit dengan batas bawah 647,61428 menit dan batas atas 790,40417 menit. Selain LT50 yang dihitung dari LC50 ekstrak buah mengkudu, juga diperlukan perhitungan LT50 dari konsentrasi tertinggi yaitu 12% g/ml. Tabel 4.6. Lethal Time Ekstrak Buah Mengkudu Konsentrasi 12% No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Prosentase mortalitas (%) 10 20 30 40 50 60 70 80 90
LTx (menit)
Batas bawah (menit) 125,46996 145,48234 161,25697 175,31183 188,51363 201,35941 214,47741 229,17265 249,18544
154,53072 170,56085 183,14189 194,62460 206,00728 218,05567 231,72742 248,82028 274,63147
Batas atas (menit) 172,30799 186,72088 198,60241 210,27410 223,02695 238,13940 257,34495 283,94504 328,11975
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa LT50 konsentrasi 12% g/ml adalah 206,00728 menit dengan batas bawah 188,51363 menit dan batas atas 223,02695 menit. commit to user
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.7. Lethal Time Piperazin No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Prosentase mortalitas (%) 10 20 30 40 50 60 70 80 90
LTx (menit)
Batas bawah (menit) 266,03793 326,78487 377,51387 424,98494 471,86920 520,32810 573,77937 639,40472 738,54212
312,21206 368,61525 415,50811 460,27447 506,46734 557,29610 617,33854 695,87238 821,58636
Batas atas (menit) 348,22470 402,00947 447,65988 493,14104 543,10182 602,25968 677,29752 781,86486 959,90305
LT50 piperazin adalah 506,46734 menit dengan batas bawah 471,86920 menit dan batas atas 543,10182 menit. Selanjutnya, untuk mengetahui efektivitas dari ekstrak buah mengkudu, LT50 ekstrak buah mengkudu dibandingkan dengan LT50 piperazin.
commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan tiga kali replikasi atau pengulangan. Hasil yang didapat dari tiga kali pengulangan dihitung dengan berbagai analisis statistika. Hasil dari analisis probit menunjukkan bahwa LT50 ekstrak buah mengkudu memiliki waktu yang lebih lama, yaitu 703,31770 menit, dibandingkan dengan LT50 piperazin, yakni 506,4673 menit. Namun demikian, ekstrak mengkudu dengan konsentrasi 12% g/ml memiliki LT50 yang lebih cepat dibandingkan piperazin, yaitu 206,00728 menit. Uji normalitas menunjukkan bahwa tidak semua data terdistribusi secara normal, sehingga uji non parametrik digunakan sebagai uji statistiknya. Uji beda menggunakan Kruskall-Wallis digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antarkelompok penelitian. Seperti yang dapat dilihat pada lampiran 2, terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,05) pada sedikitnya 2 kelompok yang dibandingkan. Selanjutnya, untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan yang signifikan (p < 0,05) dilakukan uji Post Hoc Mann-Whitney dengan koreksi Bonferroni. Uji Mann-Whitney dengan koreksi Bonferroni pada kelompok 6% g/ml, 8% g/ml, dan 10% g/ml terhadap kelompok kontrol positif menghasilkan nilai p > 0,0014 yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antarkelompok yang dibandingkan. Hal ini bukan berarti kelompok 6% g/ml, 8% g/ml, dan 10% g/ml tidak memiliki efek anthelmintik, melainkan efek anthelmintik pada kelompok 6% g/ml, 8% g/ml, dan commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10% g/ml mungkin sama atau tidak lebih efektif jika dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Hasil dari uji Mann-Whitney yang menunjukkan bahwa kelompok perlakuan memiliki perbedaan yang signifikan (p < 0,0014) dibandingkan dengan kelonpok kontrol negatif membuktikan bahwa buah mengkudu memiliki efek anthelmintik, sehingga hipotesis kerja dapat diterima dalam penelitian ini. Hasil uji Mann-Whitney juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan (p < 0,0014) pada kelompok 12% g/ml dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Seperti yang telah disebutkan di atas, LT50 kelompok 12% g/ml juga memiliki waktu kematian yang lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol positif, sehingga dapat disimpulkan bahwa kelompok 12% g/ml memiliki potensi sebagai anthelmintik yang lebih baik dibandingkan dengan piperazin. Dari hasil yang didapatkan tersebut, ekstrak mengkudu dengan konsentrasi 12% g/ml memiliki potensi besar sebagai obat alternatif. Dosis ekstrak mengkudu yang tidak besar (dari 1% g/ml sampai 12% g/ml) dan rasional menjadikan penelitian ini aplikatif jika diterapkan di dalam dunia kesehatan di masa depan. Selain itu, dengan konsentrasi yang tidak besar namun memiliki efek yang baik, biaya yang digunakan untuk pembuatan ekstrak dapat ditekan sehingga dapat diciptakan obat alternatif yang murah dan efektif. Keuntungan lain yang bisa didapat dari penelitian ini adalah zat aktif yang terkandung dalam buah mengkudu dapat terekstraksi dengan baik sehingga penyebab kematian cacing dapat dipastikan karena kerja zat aktif yang terkandung commit to user
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di dalam buah mengkudu tersebut. Selain itu, dibandingkan dengan perasan, ekstrak buah mengkudu lebih tahan lama dan dapat dijadikan dalam bentuk sediaaan obat yang memberikan kenyamanan saat diminum oleh konsumen, misalnya dalam bentuk kapsul. Berbagai macam variabel perancu yang tidak terkendali di antaranya ketahanan dan lama hidup cacing di luar tubuh, variasi kepekaan cacing terhadap larutan uji, dan umur cacing menjadikan sampel dalam penelitian ini kurang homogen sehingga terjadi abnormalitas data hasil penelitian yang diperoleh. Abnormalitas data ditunjukkan pada gambar 4.1 dimana konsentrasi 8% g/ml memiliki waktu kematian yang lebih cepat dibanding kelompok 10% g/ml. Tabel 4.1.memperlihatkan bahwa kelompok cacing yang pertama mati adalah cacing dari kelompok 12% g/ml dengan waktu kematian 180 menit. Pada penelitian yang dilakukan Rabiah (2006) tentang efek anthelmintik perasan buah mengkudu, kelompok cacing yang pertama mati adalah kelompok 100% dengan waktu kematian 45 menit. Jika dibandingkan, penelitian ini menghasilkan waktu kematian cacing pertama kali yang lebih lama dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Rabiah (2006). Hal ini mungkin disebabkan karena konsentrasi mengkudu yang berbeda akan menghasilkan osmolaritas berbeda yang mungkin akan berpengaruh pada permeabilitas membran pada dinding tubuh cacing. Seperti yang dikemukakan oleh Thompson dan Geary (1995), lapisan terluar dari cacing nematoda, yaitu kutikula yang semi elastis dan memiliki tekanan turgor yang tinggi, berfungsi sebagai pengatur lalu lintas cairan, zat kimia dan gradien osmosis tubuh nematoda. Semakin tinggi konsentrasi rendaman yang digunakan commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk merendam cacing mungkin akan mempersingkat waktu kematian cacing. Hal ini dikarenakan osmolaritas cairan rendaman yang tinggi mengakibatkan terganggunya permeabilitas membran kutikula sehingga isi cairan tubuh cacing akan tertarik keluar sesuai dengan gradien osmotiknya sehingga cacing akan mati. Oleh karena hal tersebut, penyebab kematian cacing tidak dapat ditentukan apakah disebabkan oleh osmolaritas cairan rendaman yang tinggi atau zat aktif yang terkandung dalam buah mengkudu. Selain itu, objek penelitian yang berbeda, dalam hal ini cacing Ascaris galii yang digunakan Rabiah (2006) memiliki perbedaan dalam ukuran tubuh dengan cacing Ascaris suum yang digunakan dalam penelitian ini, mungkin memengaruhi respon cacing terhadap ekstrak buah mengkudu. Penelitian yang dilakukan oleh Satrija et al. (2001) menunjukkan bahwa buah mengkudu dengan konsentrasi 0,4-1 g/kg BB mampu membunuh 73,6% sampai 88,8% cacing Haemonchus contortus. Selain memiliki efek anthelmintik bagi cacing Ascaris suum dan Ascaris galii, buah mengkudu juga memiliki efek anthelmintik bagi cacing Haemonchus contortus, Hymenolepsis nana, dan Pheretima posithuma (Khumar, 2010; Rabiah, 2006; Satrija 2001). Efek anthelmintik buah mengkudu diperankan oleh senyawa fenol (antrakuinon dan tanin) yang mampu menghambat fosforilasi oksidatif cacing sehingga menurunkan pembentukan energi dalam tubuh cacing, menggumpalkan protein tubuh cacing sehingga terjadi gangguan homeostasis dalam tubuh cacing, dan berikatan pada glikoprotein kutikula cacing sehingga menyebabkan rusaknya kutikula cacing. Selain itu, efek anthelmintik juga diperankan oleh senyawa commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
alkaloid (alkaloid steroid, xeronine, proxeronine) yang mengakibatkan depresi sistem saraf pusat cacing, meningkatkan sistem imun host dan menghambat transfer sukrosa cacing sehingga mengakibatkan penurunan cadangan glukosa (Harvey dan John, 2004; Peter, 2007; Salhan et al., 2010; Satwadhar et al., 2011; Waha, 2000; dan Ying et al., 2002). Pengamatan makroskopis membuktikan bahwa mengkudu tidak merusak kutikula cacing sehingga mungkin mengkudu lebih banyak menghambat pada pemenuhan energi cacing. Oleh karena hal tersebut, efek anthelmintik ekstrak buah mengkudu tidak terlalu optimal secara In Vitro. Penelitian selanjutnya yang mungkin perlu dikembangkan sebelum ekstrak buah mengkudu ini dipakai luas dalam masyarakat adalah penelitian mengkudu secara In Vitro, misalnya pada hewan coba. Hal ini dikarenakan mekanisme kerja buah mengkudu yaitu pada penghambatan energi. Selain itu, mekanisme kematian cacing juga harus diteliti dengan mendalam, misalnya pengamatan dengan menggunkan mikroskop elektron pada kutikula cacing yang telah mati. Teknik homogenitas sampel perlu diperbaiki untuk menghasilkan cacing yang homogen sehingga variabel yang tidak terkendali dapat dikendalikan dengan baik. Uji toksisitas juga perlu dilakukan untuk menghindari efek yang merugikan dari buah mengkudu.
commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan Simpulan dari penelitian ini adalah: 1. LT50 ekstrak buah mengkudu tidak lebih cepat dibandingkan dengan LT50 piperazin. Namun, ekstrak mengkudu dengan konsentrasi terbesar (12% g/ml) memiliki LT50 yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan LT50 piperazin. 2. Antara kelompok kontrol negatif dan kelompok perlakuan (1% g/ml, 2% g/ml, 4% g/ml, 6% g/ml, 8% g/ml, 10% g/ml, 12% g/ml) memiliki perbedaan yang signifikan sehingga terbukti bahwa ekstrak buah mengkudu memiliki efek anthelmitik. 3. Kelompok 12% g/ml memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol positif sehingga dapat disimpulkan bahwa kelompok 12% g/ml memiliki potensi sebagai obat alternatif yang sangat baik. B. Saran 1. Perlu dilakukan homogenitas sampel dengan prosedur yang lebih baik untuk menghindari bias yang besar dalam penelitian. 2. Perlu dilakukan penelitian pengaruh ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze In Vivo pada hewan coba. commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Perlu dilakukan uji toksisitas untuk menghindari efek negatif dari buah mengkudu dan mengetahui dosis yang aman digunakan sebagai terapi. 4. Perlu dilakukan penelitian mengenai mekanisme kematian cacing Ascaris suum secara In Vitro.
commit to user
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah R (2006). Uji daya anthelmintik perasan buah segar pace (Morinda citrifolia) terhadap cacing Ascaridia galii secara in vitro. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro: Semarang.
Akoso BT (1993). Manual kesehatan unggas panduan praktis bagi petugas teknis, penyuluh dan peternak. Yogyakarta: Kanisius, pp: 119-231.
Ansel HC (1989). Pengantar bentuk sediaan farmasi. Alih bahasa: Farida Ibrahim. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, pp: 605-619.
Arslantas A, Ermler W, Yazici R. and Kalyon D (2004). Crystal habit modification of vitamin C (L-ascorbic acid) due to solvent effect. http://www.panganplus.com/ensiklopedia_detail.php?eid=21 - Diakses tanggal 07 februari 2012.
Beaver PC, Jung RC, Cupp EW (1984). Clinical parasitology. 9th edition. Philadelphia : Lea and Febiger, pp: 227-300.
Bernasconi G , Gerster H, Hauser H, Stauble H. and Schneiter E (1995). Teknologi kimia bagian 2. Penerjemah : Handojo L. Pradnya Paramita: Jakarta.
Blaxter M (2011).Nematodes transcriptome analyses. http://www.nematodes.org nembase4/species_info.php?species=ASC - Diakses pada Januari 2011.
Brown HW (1982). Dasar Parasitologi Klinis Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia.
Capello M and Hotz PJ (2003). Intestinal nematodes in: principle and practice of pediatric infectious disease. Long SS, Pickeing LK, Prober CG. (eds). Ed 2nd. New York: Churchill Livingstone, pp: 1331-1340.
Dahlan MS (2008). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 3. Jakarta: commit to user Salemba Medika.
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
David RH (2008). Ascariasis. http://emedicine.medscape.com/article/212510overview. Diakses pada 11 januari 2011.
Departemen Kesehatan RI (1985). Panduan Bahan Berbahaya. Jilid IB. Direktorat Pengawasan Obat Dan Makanan, p:482
Departemen Kesehatan RI (2004). Buku pedoman pemberantasan penyakit cacingan. p: 5.
Dewi KF (2010). Aktivitas antibakteri ekstrak etanol Mengkudu (Morinda citrifolia Linneus) pada bakteri pembusuk daging segar. Surakarta, Universitas Sebelas Maret. Skripsi. p: 6.
Djauhariya E, Raharjo M, dan Ma'un (2006). Karakterisasi morfologi dan mutu buah mengkudu. Buletin plasma nutfah 12(1): 1-8
Djauhariya E (2003). Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Tanaman obat potensial. Balai penelitian tanaman rempah dan obat. Pengembangan teknologiTRO 15 (1): 1-16
Dubs FW(2010). Biocomunication association. http://bca.org/gallery/bioimages 2010.html - Diakses pada Januari 2012.
Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W (2000). Parasitologi kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, pp: 8-11.
Genneen (1999). Benefit of worm removal. http://uk.merial.com/produce/swi ne /woe_04.asp. - Diakses pada Januari 2012.
Green, S. B., & Salkind, N. J. (2008). Using SPSS for window and macintosh: analyzing and understanding data (5th ed.). Upper saddle river, NJ:PearsonPrentice Hall. http:// oak.ucc. nau.edu/rh232/ courses/EPS625/ Handouts/Nonparametri/The%20Kruskal-Wallis%20Test.pdf. Diakses pada Juni 2012 commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gregers J (2006). Immunity and immune responses to Ascaris suum in pigs. World Class Parasites. 2 : 105-124.
Gunawan F (2007). Uji efektivitas daya anthelmintik perasan buah segar dan infus daun mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap Ascaridia galii secara in vitro. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro: Semarang.
Hanafiah KA (2001). Rancangan percobaan: teori dan aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, pp: 1-9.
Harborne JB (1996). Metode fitokimia. Penerjemah : Padma Winata, k. dan Soediro. ITB: Bandung.
Harvey WF and John UL (2005). Kamala. http://www.ibiblio.org/herdmeb/ecle ctic/kings/mallotus_phil.html-Diakses pada Februari 2012.
Hui, Y. H (1992). Encyclopedia of science and technology. Volume I. John Wiley and sons Inc. New York.
Hutz PJ (2004). Helminth infection. In : Kragman’s Infectious disease of children ed.11th. Gw Shou AA, Hotez PJ, Katz SC. (eds). Philadelphia: Mosby, pp : 227-237.
Kumar KT, Panda DS, Nanda UN, Khuntia S (2010). Evaluation of antibacterial, antifungal and anthelmintic activity of Morinda citrifolia L. (Noni). International journal of pharmtech reseach, 2(2): 1030-1032.
Loreille O dan Bouchet F (2003). Evolution of ascariasis in humans and pigs: a multidisciplinary approach. http://www.scielo.br/pdf/mioc/v98s1/v98s1a08. pdf- Diakses pada Januari 2011.
Mahmudah TR (2010). Efek Anthelmintik Ekstrak Biji Jintan Hitam (Nigella sativa) terhadap Ascaris suum, Goeze In Vivo. FKUNS. Skripsi.
Mathivanan N, Surendiran G, Srinivasan K, Sagadevan E, Malarvizhi K (2005). commit to user Revie on the scenario of noni reseach: taxonomy, distribution, chemistry,
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
medicinal and therapeutic value of Morinda citrifolia. Dalam: Peter PI. International journal of noni reseach, 1(1): 5-6.
Miyazaki I (1991). Helminthic zoonosis. Tokyo: International Medical Foundation of Japan, pp: 290-305.
Moejer H dan Roepstroff A (2006). Ascaris suum infections in pigs born and raised oncontaminated paddocks. Trinity Lane: Cambridge University Press, pp: 1-8.
Murdiati TB, Adiwinata G, Hildasari D (2000). To trace the active compound in mengkudu (Morinda citrifolia) with anthelmintic activity against Haemonchus contortus. Jurnal ilmu ternak dan veteriner, 5(4): 255-259.
Mursito B (2203). Ramuan tradisional untuk kesehatan anak. Jakarta: Penebar Swadaya, pp.19-23.
Muyasaroh CF (2011). Pengaruh ekstrak herba sambiloto (Andographis paniculata, Linn) terhadap kematian cacing Ascaris lumbricoides, goeze in vitro. Surakarta, Universitas Sebelas Maret. Skripsi
Nayak S dan Mengi S (2010). Preliminary physicochemical and phytochemical evaluation of morinda c fruit extractives. International journal of pharmaceutical science 2(4): 140-145.
Noble ER dan Noble GA (1989). Parasitologi biologi parasit hewan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, pp: 600-609.
Peter I (2007). Clinical reseach of Morinda citrifolia L. noni. Clinical Reseach Journal. Dalam: Noni clinical reseach journal. 1(1-2): 5.
Pohan HT (2006). Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Marcellus S, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FK UI, p: 1764. commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pomeranz Y dan CE Meloan (1994). Food analysis theory and practices. Third Edition. Chapman and Hall: London.
Putra EDL (2003). Keracunan bahaya organik dan gas di lingkungankerja dan upaya pencegahannya. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36 04/1/farmasieffendy.pdf-Diakses pada Februari 2012.
Rampengan TH (2007). Penyakit infeksi tropik pada anak. Jakarta: EGC, pp: 235243. Roberts, Larry S, John JJ (2005). Foundations of parasitology. Seventh Edition. United States: McGraw-Hill.
Salhan M, Kumar B, Tiwari P, Sharma P, Sandhar HK, Gautam M (2011). Comparative anthelmintic activity of aqueous and ethanolic leaf extracts of Clitoria ternatea. International journal of drug development and reseach, 3(1): 68-69.
Satrija F, Retnani EB, Ridwan Y dan Tiuria R (2001). Potential use of herbal anthelmintics as alternative antiparasitic drugs for small holder farms in developing countries. http://www.aitvm.kvl.dk/E-periurban/E6 Satrija.htm. Diakses pada Januari 2012.
Satwadhar PN, HW Deshpande, Hashmi SI dan KA Syed (2011).Nutritional composition and identification of some of the bioactive components in Morinda citrifolia Juice. International journal of pharmacy and pharmaceutical sciences, 3(1) : 58-59
Sharp, Romaniuk AJ dan Cierpicki S (2002) The Performance of segmentation variables: a comparative study. http:// 130.195.95.71:8081/www/ANZMAC1998/Cd_rom/Sharp222.pdf. Diakses pada Mei 2012.
Soedarto (1992). Helmintologi kedokteran. Jakarta: EGC, pp: 78-81. commit to user
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sri MS (2000). Ascaris lumbricoides, nematoda usus. Dalam: Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W (2000). Parasitologi kedokteran. Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Susanto WH (1999). Teknologi lemak dan minyak makan. FTP Universitas Brawijaya: Malang.
Syarif A dan Elysabeth (2007). Anthelmintik. Dalam: Gunawan, Sulistia Gan. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia, pp: 543-544. Taufiqurrohman AM (2008). Pengantar Metodologi Penenlitian Untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press, pp: 103.
Tensiska, CH Wijaya dan N Andarwulan (2003). Aktivitas antioksidan ekstrak buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) dalam beberapa sistem pangan dan kestabilan aktivitasnya terhadap kondisi suhu dan pH. Jurnal teknologi dan industri pangan. 15(1): 78-80.
Thompson DP dan Geary TG (1985). The structure and function of helminth surfaces. Dalam Marr JJ. Biochemistry and moleculare biology of parasites. Animal Health Discovery reseach, Upjohn laboratories: USA. pp: 203-216.
Utari Cr. S (2002). Infeksi nematoda usus. Surakarta: Sebelas Maret University Press, pp: 3-11.
Voight R (1995). Buku pelajaran teknologi farmasi. Dalam: Soendari Noerono. Buku pelajaran teknologi farmasi Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Waha MW (2000). Sehat dengan Mengkudu.www.ekafood.com. - Diakses pada Januari 2012.
Widawati L (2010). Pembuatan permen jelly dari buah mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai solusi alternatif pelestarian tanaman mengkudu. http://uripsantoso.wordpress.com/2010/04/06/pembuatan-permen-jelly-daribuah-mengkudu-morinda-citrifolia-sebagai-solusi-alternatif-pelestariancommit to user tanaman-mengkudu/ - Diakses pada Februari 2012. 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Widoyono (2008). Penyakit Tropis. Erlangga: Surabaya. pp : 130-132.
Winarti C (2005). Peluang pengembangan minuman fungsional dari buah mengkudu (Morinda citrifolia L.). Jurnal litbang pertanian. 24(4): 149-155.
World Health Organization Geneva (1994). International programme on chemical safety.1994. Chloroform Health And Safety Guide No.87 , pp:7-25
Ying MW, West BJ, Jensen CJ, Nowicki D, Chen SU, Palu AK, Anderson G (2002). A literature review and recent advance of noni reseach. acta pharmacol sin , 23 (12): 1127-1141.
Yoshihara S (2008). Hepatic lesions caused by migrating larvae of Ascaris suum in chickens. J Vet Med Sci. 70 : 1129-1133.
Zaman V (1997). Atlas parasitologi kedokteran. Jakarta: Hipocrates, pp: 192-195.
commit to user
64