PENAPISAN Bacillus DAN KARAKTERISASI PROTEASE DAN AMILASE EKSTRASELULER YANG DIHASILKAN UNTUK DEGRADASI SISA PAKAN PADA BUDI DAYA UDANG
IT JAMILAH
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Penapisan Bacillus dan Karakterisasi Protease dan Amilase Ekstraseluler yang Dihasilkan untuk Degradasi Sisa Pakan pada Budi daya Udang adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2011
It Jamilah NIM G361020051
ABSTRACT IT JAMILAH. Screening of Bacillus and Characterization of Extracelullar Protease and Amylase Produced for Degradation of Shrimp Feed Excess in Shrimp Aquaculture. Under the direction of ANJA MERYANDINI, IMAN RUSMANA, ANTONIUS SUWANTO AND NISA RACHMANIA MUBARIK. Accumulation of excess feed in shrimp ponds could decrease water quality. Protein and starch are the primary component of shrimp feed. Bacillus spp. produce extracelullar enzymes, primarily proteases and amylases. The aim of this study was to screen Bacillus isolated from shrimp ponds and study its proteases and amylases for degradation of protein and carbohydrate of shrimp feed excess in shrimp aquaculture. Bacteria were isolated from soil, water, sediment and shrimp digestive system of sample collected from shrimp ponds of Karawang, West Java. There were 71 proteolytic and amylolytic isolates isolated. Based on proteolytic and amylolytic index (PI and AI), nine isolates were selected for further characterization including morphology characteristic, growth and ability to reduce total suspended solid (TSS) generated from commercial shrimp feed. Bacillus sp. DA 5.2.3 and L5 had the highest activity in reducing total suspended solid (TSS) of shrimp feed which were 37 and 29% respectively. The protease and amylase activitiy of Bacillus sp. DA 5.2.3 were higher than that of L5. The maximum specific activity (40.9 U mg-1) of protease of Bacillus sp. DA 5.2.3 was reached at 48 hours, while its amylase reached it (47.3 U mg-1) at 24 hours. The activity of both enzymes were measured at pH and salinity range mimic to shrimp ponds condition. Further characterization of DA 5.2.3 isolate show that, protease of Bacillus sp. DA 5.2.3 had the maximum activity at pH 8 while its amylase showed the maximum activity at pH 6 when produced at commercial shrimp feed medium. These enzymes significantly active at salinity range 1.53.5% with activity more than 50%. Stability of both enzymes was measured at optimum condition of enzyme activity and at general condition of shrimp ponds. In general condition of shrimp ponds protease activity was retained above 65% for 3 hours while amylase relatively stable for 6 hours at activity above 80%. SDS-PAGE, Native-PAGE and zymogram analysis of crude extract of both enzymes showed that the size of protease was ±150 kDa, while its amylase had two types of protein with the molecular weight in the range of 123 and 27 kDa. Bacillus sp. DA 5.2.3 was able to reduce total suspended solid (TSS) of shrimp feed in liquid medium up to 50% in 48 hours and better than commercial probiotic isolate. Based on 16S rRNA gene sequences Bacillus sp. DA 5.2.3 was 99% homolog with Bacillus cereus. Based on the characterization of isolate and its proteases and amylases, this isolate has potential application to reduce proteins, carbohydrates and TSS in water column of shrimp ponds.
Key words: Bacillus sp. DA 5.2.3, protease, amylase, TSS
RINGKASAN IT JAMILAH. Penapisan Bacillus dan Karakterisasi Protease dan Amilase Ekstraseluler yang Dihasilkan untuk Degradasi Sisa Pakan pada budi daya Udang. Dibimbing oleh ANJA MERYANDINI, IMAN RUSMANA, ANTONIUS SUWANTO, dan NISA RACHMANIA MUBARIK. Seiring dengan berkembangnya budidaya udang di berbagai negara, diikuti pula oleh berbagai kendala seperti perkembangan penyakit dan penurunan kualitas air yang menyebabkan turunnya produksi udang. Penurunan kualitas air pada tambak udang, terutama pada sistem budidaya udang intensif dan semi intensif, dapat disebabkan oleh penumpukan sisa pakan buatan yang seluruhnya disuplai dari luar tambak berupa pakan buatan pabrik. Pakan ini sering tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh hewan, sehingga tersisa sebagai limbah dalam air dan sedimen. Pakan udang merupakan bahan kaya protein, lemak dan karbohidrat di samping bahan-bahan lainnya. Kandungan sisa pakan yang tinggi di perairan tambak menyebabkan peningkatan kadar senyawa organik dan senyawa toksik dalam air. Di samping itu, hal ini dapat menyebabkan tingginya padatan tersuspensi (total suspended solid [TSS]), tingginya kebutuhan oksigen biologis (biological oxygen demand [BOD]), turunnya oksigen terlarut (dissolved oxygen [DO]), eutrofikasi, dan keracunan terhadap udang. Faktor-faktor tersebut dapat mengganggu pertumbuhan, daya tahan bahkan menyebabkan kematian. Banyak laporan tentang peranan Bacillus spp. sebagai agen biokontrol di tambak udang, tetapi hanya sedikit laporan tentang peranan kelompok bakteri ini dalam degradasi sisa pakan pada perairan tambak udang melalui pendekatan enzim-enzim ekstraseluler. Hal ini dapat mengatasi pencemaran senyawa toksik di perairan seperti amonia, nitrat, nitrit dan penumpukan senyawa organik di perairan tambak. Tujuan penelitian ini ialah: 1) menapis dan mengkarakterisasi Bacillus proteolitik dan amilolitik yang diisolasi dari tambak udang, 2) mengkarakterisasi enzim protease dan amilase yang dihasilkan isolat terpilih dan 3) mengukur kemampuan isolat terpilih dalam menurunkan total padatan tersuspensi pada kultur cair pakan udang. Penapisan Bacillus spp. dilakukan dengan pemanasan sampel pada suhu 80 0 C selama 15 menit kemudian disebar pada medium sea water complete (SWC) 50% yang ditambahkan 1% susu skim untuk produksi protease atau 1% pati terlarut untuk produksi amilase. Penapisan isolat berdasarkan kepada indeks hidrolisis, pertumbuhan, penurunan TSS, serta aktivitas protease dan amilase. Sebanyak 71 isolat proteolitik dan amilolitik telah berhasil diisolasi dari sampel tanah, sedimen, air dan saluran pencernaan udang. Berdasarkan penghitungan nilai indeks proteolitik (IP) dan amilolitik (IA) yang dihasilkan pada medium yang mengandung protein dan pati, dipilih 9 isolat yang memiliki IP dan IA tertinggi (≥2.5). Selanjutnya dilakukan uji pertumbuhan isolat-isolat tersebut pada media pakan udang 1.2% dalam air laut (bv-1) selama 48 jam dengan penghitungan jumlah sel setiap 24 jam. Kemampuan isolat-isolat tersebut dalam menurunkan TSS diuji dengan metoda penyaringan padatan tersuspensi dari kultur bakteri pada media pakan udang komersial dan air laut 1.2% (bv-1) (media Shrimp Feed [SF]). Hasil uji pertumbuhan dan uji TSS menunjukkan bahwa Bacillus sp. L5 dan DA 5.2.3 memiliki pertumbuhan terbaik dan kemampuan
tertinggi dalam menurunkan TSS berturut-turut sebesar 37 dan 29% jika dibandingkan dengan isolat-isolat lainnya. Kedua isolat tersebut selanjutnya digunakan untuk produksi protease dan amilase pada media SF 1.2%. Aktivitas protease diukur berdasarkan modifikasi metode Walter (1984), amilase berdasarkan metode Bernfeld (1955) dan kadar protein mengacu kepada metode Bradford (1976). Protease dan amilase ekstrak kasar isolat DA 5.2.3 yang diproduksi pada media SF 1.2%, memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat L5. Aktivitas spesifik protease isolat DA 5.2.3 ialah 40.9 U mg-1, sedangkan isolat L5 23 U mg-1. Aktivitas spesifik amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 diperoleh sebesar 47.3 U mg-1, sedangkan isolat L5 hanya sebesar 9.1 U mg-1, oleh sebab itu Bacillus sp. DA 5.2.3 dipilih untuk dikarakterisasi lebih lanjut dalam penelitian ini. Protease ekstrak kasar Bacillus sp. DA 5.2.3 yang diproduksi pada media SF 1.2% mencapai aktivitas maksimum pada awal fase pertumbuhan stasioner setelah 48 jam (20.5 U mg-1) sedangkan amilasenya mencapai aktivitas maksimum pada fase pertumbuhan eksponensial setelah 24 jam (23.5 U mg-1). Kedua enzim aktif pada rentangan pH tambak (6-9) dan salinitas (1.5-3.5%). Aktivitas protease maksimum diperoleh pada pH 8 dan amilase pada pH 6. Pada rentangan salinitas 1.5-3.5%, aktivitas protease berkisar di atas 60% dari aktivitas maksimumnya pada kondisi tanpa NaCl (salinitas 0) sedangkan amilase berkisar di atas 50% dari aktivitas maksimumnya pada salinitas 1.5%. Stabilitas protease pada kondisi pH 8, salinitas 2.5% bertahan selama 3 jam dengan aktivitas berkisar di atas 65% sedangkan aktivitas amilase berkisar di atas 80% selama 6 jam inkubasi. Protease dan amilase isolat DA 5.2.3 aktif secara signifikan pada kondisi pH dan salinitas air tambak udang pada media pakan udang dan air laut. Oleh sebab itu isolat ini memungkinkan untuk diaplikasikan di tambak udang. Protease Bacillus sp. DA 5.2.3 memiliki bobot molekul (BM) sekitar 150 kDa, sedangkan amilase terdiri atas 2 tipe enzim dengan BM berkisar 123 kDa dan 27 kDa yang diduga merupakan isoenzim. Uji TSS isolat DA 5.2.3 pada kultur cair media SF 1.2% selama 4 hari menunjukkan bahwa isolat ini mampu menurunkan TSS sebanyak 50% pada hari ke-2. Hal tersebut lebih cepat daripada Bacillus sp. SP yang diisolasi dari probiotik komersial. Belum ada informasi mengenai hal ini sebelumnya dari Bacillus. Bacillus sp. DA 5.2.3 mempunyai karakteristik : mereduksi nitrat, tidak tumbuh pada suhu 50 0C dan kadar NaCl 7%. Analisis sekuen gen 16S rRNA isolat DA 5.2.3 dengan program Blast (NCBI) menunjukkan bahwa isolat ini memiliki kesamaan 99% dengan Bacillus cereus. Berdasarkan karakter yang dimiliki, Bacillus sp. DA 5.2.3 berpotensi untuk diaplikasikan di perairan tambak udang khususnya untuk menurunkan konsentrasi protein dan karbohidrat dari sisa pakan.
Kata kunci: Bacillus sp. DA 5.2.3, protease, amilase, TSS
©Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENAPISAN Bacillus DAN KARAKTERISASI PROTEASE DAN AMILASE EKSTRASELULER YANG DIHASILKAN UNTUK DEGRADASI SISA PAKAN PADA BUDI DAYA UDANG
IT JAMILAH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Maggy T. Suhartono Dr. Dinamella Wahyuningrum
Penguji pada Ujian Terbuka
: Dr. Tri Widiyanto, M.Si. Dr. Yopi
Judul Disertasi :
Nama NIM
Penapisan Bacillus dan Karakterisasi Protease dan Amilase Ekstraseluler yang Dihasilkan untuk Degradasi Sisa Pakan pada Budi daya Udang : It Jamilah : G361020051
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Anja Meryandini, M.S. Ketua
Dr. Ir. Iman Rusmana, M.Si. Anggota
Prof. Dr. Ir. Antonius Suwanto, M.Sc. Anggota
Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dedy Duryadi S., DEA.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian:
Tanggal lulus:
PRAKATA Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa penulis telah dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah atas nikmat ilmu yang telah diberikan. Disertasi yang berjudul Penapisan Bacillus dan Telaah Enzim Protese dan Amilase yang Dihasilkan untuk Degradasi Sisa Pakan pada Budidaya Udang, disusun berdasarkan hasil penelitian penulis di IPB dari akhir tahun 2005 sampai pertengahan 2009. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih ditujukan kepada komisi pembimbing, yang terdiri atas Dr. Anja Meryandini M.S. sebagai ketua, Dr. Ir. Iman Rusmana, M.Si., Prof. Dr. Ir. Antonius Suwanto, M.Sc. dan Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si. sebagai anggota, yang telah memberikan arahan, kritikan, dan saran untuk kesempurnaan penelitian dan penyusunan tulisan ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan finansial untuk pendidikkan dan penelitian ini. Dana pendidikan dan penelitian diperoleh dari proyek BPPS (2002-2006) dan Hibah Doktor 2009 dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), bantuan dana pendidikan dan penelitian dari Universitas Sumatera Utara (USU), dan bantuan bahan kimia dari Dr. Ir Iman Rusmana, M.Si. dan para pembimbing lainya. Penulis sangat berterima kasih kepada Ibu Heni, Ibu Ika, dan Ibu Dewi atas bantuan teknis di laboratorium, dan beberapa staf PT Syahputra atas izin menggunakan produk probiotiknya kepada penulis. Ucapan terima kasih selanjutnya penulis tujukan kepada teman-teman di Laboratorium Mikrobiologi Program Studi Biologi-IPB: Elsi, Isramilda, Rina Puji Astuti, Khairul Syahputra, Huria Marnis, Hasrul Satria, Niken Finansia, Rika Indri Astuti, Roswita, Alberta Rika Pratiwi, Sri Rahayu, dan Aziz atas kerja samanya. Kepada sahabat sejati Magdaliza, terima kasih atas persahabatan dan dukungannya selama studi. Demikian pula kepada Nursahara Pasaribu dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan, bantuan tenaga dan fikirannya. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi disampaikan kepada suami tercinta Tri Mulia Saragih dan anak-anak: Muhammad Fadhil Ilman, Hanisah Sabrina dan Sarah Nurdini atas dukungan, cinta dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menjalani masa-masa sulit selama studi. Penulis berterima kasih tiada henti kepada ayahanda Djama’an, ibunda almarhumah Rostina yang telah membesarkan dan membimbing penulis sehingga dapat sampai ke tahap seperti sekarang. Selanjutnya penulis mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam kepada bapak dan ibu mertua, kakak-kakak, dan adik-adik ipar yang telah meringankan beban penulis dalam mengurus anak-anak selama studi S3. Semoga apa yang telah dihasilkan dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Amin.
Bogor, Maret 2011
It Jamilah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 12 Oktober 1963 sebagai anak ke tiga dari 4 bersaudara dari pasangan Djama’an dan Rostina. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas dari tahun 1984 sampai 1990. Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, pada tahun 1991 penulis diterima sebagai staf pengajar di Jurusan Biologi, Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan. Pada tahun 1991 sampai 1992, penulis berkesempatan mengikuti pelatihan Bahasa Inggris di Pusat Bahasa Universitas Sriwijaya (UNSRI), Palembang dan di The British Institute (TBI), Bandung. Pelatihan ini dilanjutkan di Economic Institute, Colorado University di Boulder, USA sampai pertengahan tahun 1993. Kegiatan ini disponsori oleh Higher Education Developments Support (HEDS) Project dari pemerintah Indonesia, bekerjasama dengan United State Aid for Development (USAID) dari pemerintah Amerika Serikat. Atas sponsor yang sama pula penulis dapat menempuh pendidikan di jenjang Master pada tahun 19931996 di Department of Food Science and Technology, Mississippi State University, Mississsippi, USA di bidang Mikrobiologi Pangan. Penulis telah menghasilkan 2 publikasi ilmiah di jurnal Food and Dairy Science pada tahun 1998. Setelah lulus S 2 penulis kembali mengabdi di USU dan tahun 1998 penulis meraih penghargaan sebagi Dosen Teladan Tingkat USU. Pada tahun yang sama penulis diberi kesempatan menjabat sebagai Kepala Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-USU, sampai tahun 2002. Penulis kembali ke bangku pendidikan pada tahun 2002 menempuh program Doktor pada Program Studi Biologi, subprogram Mikrobiologi di IPB atas beasiswa BPPS dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI), Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) priode 2002-2006. Setelah itu sampai tahun 2010 biaya penelitian dibantu oleh beberapa pihak seperti yang telah disebutkan sebelumnya dan atas biaya sendiri. Selama mengikuti program S3 di IPB penulis menjadi anggota Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Beberapa karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi ini telah dipresentasikan 1) pada International Microbiology and Biotechnology Confrence (IMBC) dalam bentuk poster dengan judul Selection and Characterization of Proteolytic and Amylolytic Bacillus spp. Isolated from Shrimp Ponds, di Universitas Atmajaya, Jakarta pada bulan November, 2008, 2) pada Seminar Nasional Sains dengan judul Karakterisasi Protease dan Amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 yang Diisolasi dari Tambak Udang, bulan Oktober, 2009 di IPB. Sebuah publikasi ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini telah diterbitkan pula secara bersama-sama dengan komisi pembimbing pada jurnal ilmiah terakreditasi A, Microbiology Indonesia, volume 3 nomor 2 tahun 2009, dengan judul Activity of Proteloytic and Amylolytic Enzymes of Bacillus spp. Isolated from Shrimp Ponds.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xxi
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................…..
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN . ...............................................................................
xxiv
PENDAHULUAN Latar Belakang ......................................................................................... Tujuan Penelitian ...................................................................................... Manfaat Penelitian ....................................................................................
1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Perairan Tambak Udang ..................................................... Pakan Udang ............................................................................................ Total Padatan Tersuspensi (TSS) pada Perairan Budidaya Udang ......... Bacillus .................................................................................................... Enzim Protease ........................................................................................ Enzim Amilase ........................................................................................ Identifikasi Mikrobe Berdasarkan Gen Penyandi 16S rRNA .................
7 10 12 13 15 17 19
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. Pengambilan Sampel Bakteri .................................................................. Isolasi dan Penapisan Bacillus Proteolitik dan Amilolitik ...................... Media, Kondisi Pertumbuhan dan Seleksi...................................... Pertumbuhan Isolat ......................................................................... Uji Total Padatan Tersuspensi ...................................................... Produksi Protease dan Amilase Ekstraseluler ................................ Pengukuran Aktivitas Protease ....................................................... Pengukuran Aktivitas Amilase ....................................................... Karakterisasi Protease dan Amilase Isolat Terpilih ........................................ Pengaruh pH dan salinitas Terhadap Aktivitas Protease dan Amilase ............................................................................................ Stabilitas Protease dan Amilase .............................................................. Penentuan Bobot Molekul (BM)Protease dan Amilase .......................... Identifikasi Isolat Terpilih............................................................................... Ciri-ciri Morfologi dan Fisiologi ............................................................ Identifikasi Berdasarkan Sekuen Gen Penyandi 16S rRNA ................... HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Penapisan Bacillus Proteolitik dan Amilolitik ....................... Pertumbuhan Isolat ................................................................................. Total Padatan Tersuspensi .......................................................................
21 21 21 21 22 23 24 24 25 25 25 26 26 27 27 27
31 38 39
Pengaruh Waktu terhadap Produksi Protease dan Amilase Bacillus sp. L5 dan DA 5.2.3 ................................................................. Produksi Protease, Amilase dan Pertumbuhan Sel Bacillus sp. DA 5.2.3.... ................................................................................................ Aktivitas Protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada Rentangan pH .............. Aktivitas Amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada Rentangan pH............... Aktivitas Protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada Rentangan Salinitas ..... Aktivitas Amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada Rentangan Salinitas ...... Stabilitas Protease Bacillus sp. DA 5.2.3 ............................................... Stabilitas Amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 ............................................... SDS-PAGE, Native-PAGE, dan Zimografi ........................................... Total Padatan Tersuspensi Kultur Bacillus sp. DA 5.2.3 ...................... Ciri-ciri Morfologi dan Fisiologi Bacillus sp. DA 5.2.3 ........................ Identifikasi Bacillus Terpilih Berdasarkan Sekuen Gen Penyandi 16S-rRNA .......................................................................
41 43 46 49 49 50 50 51 54 59 61 63
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ Simpulan ............................................................................................... Saran .………………………………………………………………......
67 67 68
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
69
LAMPIRAN ...................................................................................................... 83
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kriteria dan katagori kualitas air tambak secara fisik dan kimiawi .........
10
2
Protease ekstraseluler yang dihasilkan beberapa mikrob perairan ............
17
3
Bacillus penghasil protease ekstraseluler ..................................................
18
4
Isolat-isolat yang diisolasi dari tanah sekitar tambak udang (A) Isolat proteolitik yang memiliki aktivitas amilolitik dan (B) isolat amilolitik yang memiliki aktivitas proteolitik ........................................................
5
32
Isolat-isolat yang diisolasi dari sedimen tambak udang (A) I solat proteolitik yang memiliki aktivitas amilolitik dan (B) isolat amilolitik yang memiliki aktivitas proteolitik ………………..................................... 33
6
Isolat- isolat yang diisolasi dari air tambak udang (A) Isolat proteolitik memiliki aktivitas amilolitik dan (B) isolat amilolitik yang memiliki aktivitas proteolitik …...………………………………….. 34
7
Isolat-isolat proteolitik yang diisolasi dari saluran pencernaan udang P. vannamei. (A) Isolat proteolitik yang memiliki/tidak memiliki aktivitas amilolitik dan (B) isolat amilolitik yang memiliki/tidak memiliki aktivitas proteolitik ………………………….... 34
8
Isolat-isolat yang memiliki indeks proteolitik dan amilolitik ≥ 2.5 .......... 35
9
Rekapitulasi jumlah isolat dan aktivitas enzim yang dimiliki dari setiap sampel yang diisolasi dari tambak udang di Karawang, Jawa Barat ................................................................................................
36
10 Indeks amilolitik sepuluh Bacillus terpilih pada media pakan udang (SF) dan SWC-pati ........................................................................
38
11 TSS dan persentase penurunan TSS isolat Bacillus terseleksi pada kultur cair pakan udang 1.2% yang diinkubasi selama 96 jam pada pH 7.5, salinitas 2.5%, di suhu ruang dengan penggoyangan 120 rpm ... 41 12 Respon Bacillus sp. DA 5.2.3 terhadap kriteria pengukuran secara in vitro ....................................................................................................... 43 13 Karakteristik enzim protease ekstraseluler yang dihasilkan oleh beberapa Bacillus spp. ................................................................................ 47 14 Karakteristik enzim amilase ekstraseluler yang dihasilkan oleh beberapa Bacillus spp. ................................................................................ 48 15 Ciri-ciri morfologi dan fisiologi Bacillus sp. DA 5.2.3............................... 62 16 Perbandingan karakteristik fisiologi Bacillus sp. DA 5.2.3 dengan spesies Bacillus lainnya ............................................................................. 63
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran penelitian .....................................................................
2
Diagram alir tahapan penelitian .................................................................... 30
3
A) Zona proteolitik pada media SWC- milk 1%, (1) dan (3) isolat DA 5.2.3, (2) isolat KAs 7.1.2 B) zona amilolitik pada media SWC-starch 1%, (1) isolat DP 5.1.2 (2) dan (3) isolat DP 2.1.1 ........................................................................................
32
Morfologi koloni kelompok Bacillus yang diisolasi dari tambak dan saluran pencernaan udang A) isolat DP 5.1.2, B) isolat KAs 7.1.2 C) isolat KAt 5.1 ...............................................................
38
Pertumbuhan isolat-isolat terseleksi pada media SF 1.2 %, pH 7.5, salinitas 2.5% di suhu ruang (±28 0C) dengan penggoyangan 120 rpm. .......................................................................................................
39
Aktivitas spesifik protease isolat L5 dan DA 5.2.3 pada substrat kasein 1% pH 7.5, salinitas 2.5%. Enzim diproduksi pada suhu ruang di media SF 1.2% dengan penggoyangan 120 rpm ……………………….
42
4
5
6
5
7
Aktivitas spesifik amilase isolat L5 dan DA 5.2.3 pada substrat pati terlarut 1%, pH 7.5, salinitas 2.5%). Enzim diproduksi pada suhu ruang dengan peggoyangan 120 rpm dan media SF 1.2% ..................................... 42
8
Produksi protease dan amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada interval waktu pertumbuhan yang berbeda .............................................................
44
Aktivitas relatif protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada rentangan pH 6-9, substrat kasein 1%, salinitas 2.5% di suhu ruang .........................
46
10 Aktivitas relatif amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada rentangan pH 6- 9, salinitas 2.5% pada pati terlarut 1% di suhu ruang ......................
49
11 Aktivitas relatif protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada rentangan salinitas 0-3.5%, pH 7.5 pada kasein 1%, di suhu ruang ...........................
49
9
12 Aktivitas relatif amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada salinitas 0- 3.5%, pH 7.5 pada pati terlarut 1% di suhu ruang ……………………………….. 50 13 Aktivitas protease Bacillus sp. DA 5.2.3, pada A) pH 8 salinitas 0% (kondisi optimum) dan B) pada pH 8 salinitas 2.5% (kondisi umum tambak udang) ....................................................................
51
14 Aktivitas amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 A) pada pH 6, salinitas 1.5% (kondisi optimum) dan B) pada pH 8, salinitas 2.5% (kondisi umum tambak udang) .................................................................
52
15 A) Profil SDS-PAGE protein ekstrak kasar Bacillus sp. DA 5.2.3 B) Profil native- PAGE protein ekstrak kasar Bacillus sp. DA 5.2.3 ........
56
16 A) Profil casein-SDS-zimography protease Bacillus sp. DA 5.2.3. B) Profil casein-native-zimography protease Bacillus sp. DA 5.2.3 ..........
56
17 A) Profil SDS-starch-zimography protein ekstrak kasar amilase Bacillus sp. DA 5.2.3. B) Profil native-starch-zimography amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 ................................................................................... 57 18 Nilai TSS kultur cair Bacillus sp. DA 5.2.3 pada media pakan udang 1.2% yang diinkubasi pada suhu ruang ............................. ....
60
19 Bentuk morfologi Bacillus sp. DA 5.2.3. A) morfologi koloni, B) morfologi sel dan, C) endospora pada perbesaran 400 X ……………... 63 20 Amplikon DNA gen 16S-rRNA Bacillus sp. DA 5.2.3 hasil PCR sekitar 1.3 kb ........................................................................................ 64 21 Pohon filogenetik berdasarkan sekuen gen 16S rRNA dari Bacillus sp. DA 5.2.3. yang dibandingkan dengan beberapa spesies Bacillus lainnya ..............................................................................
66
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Prosedur uji aktivitas protease (modifikasi dari Walter 1984) .................. 85
2
Prosedur uji aktivitas amilase (Bernfeld 1959) .......................................... 86
3
Pertumbuhan sepuluh Bacillus terseleksi pada media pakan udang (SF) 1.2% .................................................................................................. 89
4
Aktivitas protease Bacillus sp. L5 dan DA 5.2.3 ....................................... 89
5
Aktivitas amilase Bacillus sp L5 dan DA 5.2.3 ........................................ 90
6
Waktu produksi protease, amilase, dan pertumbuhan sel Bacillus sp. DA 5.2.3 ................................................................................ 90
7
Aktivitas protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada rentangan pH .................... 91
8
Aktivitas amilase Bacillus sp.DA 5.2.3 pada rentangan pH ...................... 91
9
Aktivitas protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada rentangan salinitas ............ 91
10
Aktivitas amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada rentangan salinitas ............. 91
11
Stabilitas protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada kondisi optimum reaksi enzim (pH 8, salinitas 0) ............................................................................ 92
12
Stabilitas protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada kondisi umum tambak udang (pH 8, salinitas 2.5%) ...................................................................... 92
13
Stabilitas amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada kondisi optimum reaksi enzim (pH 6, salinitas 1.5%) ...................................................................... 92
14
Stabilitas amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada kondisi umum tambak udang (pH 8, salinitas 2.5%) ...................................................................... 92
15
Komposisi larutan untuk SDS-PAGE ........................................................ 93
16
TSS dari kultur Bacillus sp. DA 5.2.3 pada media pakan udang (SF) 1.2% ................................................................................................... 95
17
Sekuen gen penyandi 16S rRNA Bacillus sp. DA 5.2.3 ............................ 96
18
Hasil analisis Blast gen 16S rRNA Bacillus sp. DA 5.2.3 ......................... 97
PENDAHULUAN Latar Belakang Udang merupakan salah satu primadona ekspor perikanan Indonesia, yang telah memberikan pemasukan devisa yang cukup besar bagi negara. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor udang terpenting di dunia di samping Cina, Thailand, India, Vietnam dan beberapa negara di Amerika Latin. Pada tahun 2004 produksi udang Indonesia berada di urutan ke-6 dunia (FAO 2006). Negara tujuan ekspor terpenting bagi Indonesia adalah Amerika Serikat dan Jepang. Indonesia merupakan pengekspor produk udang beku nomor dua terbesar bagi Jepang, sedangkan untuk Amerika Serikat Indonesia berada di tempat ketiga (Rangkuti 2007). Jenis udang yang dikembangkan pada awal perkembangan budi daya udang di Indonesia ialah Penaeus monodon (jumbo tiger prawn) dan P. marquensis (udang putih). Serangan penyakit dan penurunan kualitas air tambak menyebabkan produksi udang tersebut terus menurun dari tahun 1990-an sampai 2000-an. Tahun 1992 total produksi nasional sekitar 98.350 ton, produksi menurun menjadi 83.193 ton pada tahu 1994. Pada tahun 1998 produksi ini turun lagi menjadi 74.824 ton (Departemen Perikanan dan Kelautan 2002). Tahun 2000 para pengusaha mulai beralih pada jenis udang P. vannamei karena dianggap lebih tahan penyakit. Sistem budi daya yang dikembangkanpun lebih kepada sistem semiintensif maupun intensif. Keberhasilan budi daya udang P. vannamei mengalami puncak pada tahun 2005, dengan peningkatan produksi tiga kali lipat (Rangkuti 2007). Keberhasilan ini juga tidak berlangsung lama karena beberapa tahun terakhir produksi udang inipun tidak stabil dan cenderung menurun meskipun tidak secara drastis. Dari tahun 2008-2009 produksi udang budi daya turun sebanyak 15% (Kementrian Kelautan & Perikanan 2009). Masalah utama penurunan produksi udang ialah penurunan kualitas air dan serangan penyakit. Pada budi daya udang secara intensif, penurunan kualitas air dapat terjadi dengan cepat disebabkan oleh faktor internal seperti akumulasi sisa pakan akibat kelebihan pemberian pakan (overfeeding) dan hasil metabolisme hewan peliharaan (Moriarty 1999). Sisa pakan berupa protein di perairan dapat terurai menjadi senyawa-senyawa toksik bagi hewan air seperti amonia, nitrit dan
2
nitrat (Intan et al. 2005). Christoper et al. (2003) menyatakan bahwa pada budi daya udang, sebahagian besar nitrogen (±90%) masuk ke kolam sebagai pakan buatan, 22% dikonversi menjadi udang yang dipanen, 14% tersisa pada sedimen, dan sisanya 57% dikeluarkan ke lingkungan. Protein merupakan sumber nitrogen bagi bakteri. protein akan diuraikan oleh
Pada sistem perairan
bakteri heterotrofik maupun fermentatif menjadi
senyawa-senyawa seperti amonia dan nitrit yang bersifat racun bagi hewan air (Boyd & Fast 1992). Karbohidrat digunakan sebagai sumber energi bagi ikan selain itu digunakan sebagai bahan pengikat pada proses pembuatan pakan (Craig 2002). Selain diubah menjadi senyawa-senyawa toksik diperairan, akumulasi sisa pakan yang tinggi di perairan tambak
akan menurunkan kualitas air dengan
menurunnya DO (dissolved oxygen) dan meningkatnya BOD (biologycal oxygen demand).
Hal ini dapat mengganggu ketahanan udang,
menurunkan laju
pertumbuhan bahkan dapat menyebabkan laju kematian yang tinggi (Moriarty 1999). Peningkatkan aktivitas degradasi senyawa organik pada sistem akuatik dapat dilakukan dengan pemanfaatan bakteri melalui produksi enzim ekstraseluler (Devaraja et al. 2002). Protease ekstraseluler mikrob adalah kunci dalam hidrolisis senyawa protein menjadi peptida yang lebih sederhana dan asam amino yang dimanfaatkan oleh mikrob untuk proses metabolismenya. Secara tidak langsung proses ini dapat mengurangi cemaran amonia, nitrit dan nitrat
dalam suatu
ekosistem (Bach et al. 2001). Penelitian tentang potensi penggunaan bakteri yang menguntungkan (probiotik) pada budi daya udang sudah banyak dilaporkan diantaranya dapat memberikan efek positif terhadap ketahanan dan pertumbuhan udang (Veschuere et al. 2000), menghambat pertumbuhan bakteri patogen udang (Rengpipat et al. 1998, Vaseeharan & Ramasamy 2003, Decamp & Moriarty 2007), merangsang sistem imun udang (Rengpipat et al 2000, Gullian et al. 2004) dan meningkatkan kualitas air tambak (Widiyanto et al. 1998, Widiyanto et al. 2005, Widiyanto et al. 2008) yang dapat menurunkan kadar H 2 S, nitrat, nitrit dan amonia. Ziai-Nejad et al. (2006) mendapatkan isolat bakteri yang dapat meningkatkan aktivitas enzim pencernaan pada usus udang.
3
Bacillus spp. telah dilaporkan sebagai agen biokontrol terhadap patogen udang seperti Vibrio harveyi (Moriarty 1999, Veschuere et al 2000). Lalloo et al. (2007) dan Zhou et al. (2009) menyatakan bahwa penambahan Bacillus spp. ke air pemeliharaan udang dapat meningkatkan kualitas air dengan menurunkan kadar ion amonium, nitrit, nitrat, dan fosfor. Kelompok Bacillus dikenal sebagai penghasil enzim-enzim ekstraseluler yang potensial sebagai pengurai bahan organik di alam seperti protease
(Mabrouk et al. 1999, Patel et al.
2006,
Essakkiraj et al. 2008) ) dan amilase ( Srivasta 1987, Hagihara et al. 2001, Anto et al. 2006, dan Ling et al. 2009). Kelompok bakteri probiotik yang telah dilaporkan untuk budi daya perairan seperti ikan, kerang dan udang ialah bakteri fotosintetik, Lactobacillus, Bacillus (Zhou et al. 2009), dan Vibrio (Widanarni 2005, Niwane & Selvin 2009). Genus Bacillus terdiri atas kelompok bakteri berbentuk batang, Gram positif, yang dicirikan oleh kemampuannya untuk menghasilkan endospora (Todar 2005). Umumnya spesies Bacillus tidak berbahaya terhadap mamalia, termasuk manusia dan secara komersial penting sebagai penghasil berbagai macam metabolit sekunder dalam jumlah yang tinggi seperti antibiotik, bioinsektisida, dan enzim (Ferrari et al 1993, Olmos-Soto 2003). Isolat DA 5.2.3 yang dipilih untuk karakterisasi enzim lanjut dalam penelitian ini pada uji awal yang dilakukan dapat menghambat pertumbuhan V. harveyi secara in vitro (data tidak dipublikasikan). Penelitian dilakukan untuk mengatasi pencemaran sisa pakan udang di perairan yaitu dengan menggunakan Bacillus proteolitik dan amilolitik. Bakteri diisolasi dari tambak dan saluran pencernaan udang. Penapisan isolat dilakukan berdasarkan angka indeks proteolitik dan amilolitik, pertumbuhan, nilai TSS, dan termasuk uji aktivitas enzim. Karakterisasi enzim protease dan amilase yang dihasilkan dilakukan pada kondisi lingkungan seperti yang umum di perairan kolam udang seperti pH dan salinitas. Untuk melihat potensi isolat terpilih dalam degradasi protein dan karbohidrat, digunakan pakan udang komersial dan air laut sebagai media pertumbuhan dan produksi enzim. Uji TSS dilakukan untuk mengetahui
kemampuan isolat terpilih dalam menurunkan
total padatan
tersuspensi dari media cair pakan udang. Konsep pemikiran penelitian ini dipaparkan secara skematis pada Gambar 1.
4
Tujuan Penelitian 1) menapis dan mengkarakterisasi Bacillus proteolitik dan amilolitik yang diisolasi dari tambak dan saluran pencernaan udang, 2) mengkarakterisasi protease dan amilase ekstraseluler yang dihasilkan isolat terpilih, dan 3) melihat kemampuan isolat terpilih dalam menurunkan total padatan tersuspensi pada kultur cair pakan udang. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi tentang suatu pendekatan dalam mengatasi pencemaran air pada suatu sistem budi daya perairan menggunakan bakteri, dan sebagai salah satu dasar dan acuan dalam pengendalian senyawa-senyawa toksik pada sistem budi daya udang. Isolat bakteri dari Indonesia yang diperoleh dari penelitian ini dapat dikembangkan untuk penanggulangan masalah penurunan kualitas air pada sistem budi daya udang sehingga dapat meningkatan produksi udang Indonesia di masa yang akan datang.
5
Tambak udang
Pakan udang
Bakteri
Sisa pakan di perairan
Kandungan bahan organik di air tinggi
Seleksi dan karakterisasi Bacillus proteolitik & amilolitik
Isolat potensial
Udang mengalami gangguan pertumbuhan Protein Karbohidrat
Protease Amilase
Kandungan protein dan karbohidrat di air turun
Kualitas air meningkat
Produktivitas udang meningkat
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Pencemaran Perairan Tambak Udang Tingginya permintaan konsumen terhadap produk perikanan terutama udang dari tahun ketahun memacu perkembangan industri budi daya udang yang sangat pesat. Selain itu, tingginya nilai produk udang budi daya dan siklus hidup yang relatif singkat menyebabkan sektor ini menarik minat banyak pengusaha (New 1999). Pada pengembang budi daya udang skala besar dilakukan sistem budi daya intensif. Pada sistim ini dilakukan pengaturan yang ketat terhadap kondisi kolam seperti sistem pengairan, pakan dan perbenihan. Target utama sistim ini ialah jumlah produksi yang tinggi pada area tambak yang kecil, oleh sebab itu dilakukan padat tebar benih yang tinggi dan pemberian pakan dalam jumlah serta kualitas yang tinggi ( Fast 1992). Berkembangnya budi daya udang sistim intensif, diikuti pula oleh berbagai permasalahan. Masalah yang umum pada sistem budi daya udang ini ialah sedikitnya proporsi pakan yang digunakan oleh hewan, akibatnya sebagian besar pakan tersisa sebagai limbah di air (Antony & Philip 2006) yang diikuti oleh eutrofikasi dan pengayaan material organik yang tinggi pada dasar kolam. Penurunan kualitas lingkungan seperti ini menurunkan produktivitas tambak, dan meningkatkan tekanan pada udang yang menyebabkan udang rentan terhadap penyakit, sehingga menurunkan produksi di berbagai daerah (Boyd & Musig 1992, Browdy & Hopskin 1995). Umumnya pengusaha tambak bergantung kepada pergantian air yang relatif tinggi untuk menjaga kualitas air pada sistim produksi, akibatnya terjadi pengeluaran material limbah pakan dan berbagai metabolit langsung ke lingkungan terdekat (Browdy & Hopskin 1995). Selain berdampak negatif terhadap lingkungan, intensifikasi budi daya udang juga menyebabkan peningkatan resiko penyakit yang potensial terhadap hewan. Penyakit yang berkembang di tambak udang di Indonesia ialah penyakit yang disebabkan oleh virus White Spot Syndrome (WSS) dan Yellow Head Virus (YHV) dan penyakit bakteri berpendar Vibrio harveyi. Selain itu pemakaian antibiotik menjadi cara yang dianggap efektif untuk menanggulangi bakteri patogen di perairan tambak pada sistem budi daya ini, tetapi dengan
8
ditemukannya residu antibiotik yang tinggi pada udang asal
Indonesia,
mengakibatkan dikeluarkannya larangan ekspor udang Indonesia ke beberapa negara tujuan (Rangkuti 2007). Analisis komunitas mikrob dari tambak udang memainkan peranan yang penting pada produksi udang, menyediakan sumber makanan, mendaur ulang nutrien dan mengurai tumpukan bahan organik melalui berbagai proses metabolisme. Komunitas mikrob sebaliknya juga dapat mempengaruhi kualitas air dengan meningkatkan kebutuhan oksigen akibat konsumsi karbon organik labil yang dihasilkan dari sisa pakan, alga, dan pelepasan dari bakteri sedimen akibat penguraian bahan organik (Hansen & Blackburn 1991). Berbagai cara dicoba dilakukan untuk mengatasi pencemaran air dan degradasi kualitas tambak udang di antaranya yang paling populer ialah dengan pemanfaatan mikrob (Devaraja et al. 2002). Bioremediasi adalah salah satu cara yang menggunakan mikrob atau enzim di kolam yang digunakan untuk meningkatkan kualitas air dan menjaga kesehatan dan stabilitas sistem budi daya air. Bioremediasi melibatkan mineralisasi bahan organik menjadi CO 2 , merangsang produksi udang, nitrifikasi dan denitrifikasi untuk: 1) menghilangkan sisa nitrogen dari kolam, dan 2) menjaga keragaman dan menstabilkan komunitas kolam dengan memusnahkan patogen dari sistim dan mempertahankan spesies yang diinginkan. Pada bioremediasi digunakan bakteri heterotrofik pendegradasi bahan organik, bakteri nitrifikasi, denitrifikasi dan bakteri fotosintetik (Antony dan Philip 2006). Penggunaan bakteri untuk kesejahteraan manusia seperti kesehatan dan pertanian sangat menarik perhatian lebih dari satu dekade terakhir. Probiotik sudah digunakan di berbagai produk seperti susu dan makanan tambahan. Di bidang peternakan probiotik sudah diaplikasikan pada pakan, dan di bidang pertanian digunakan sebagai pupuk. Probiotik merupakan mikrob hidup baik dalam bentuk kultur tunggal maupun campuran yang ditambahkan ke dalam makanan hewan atau manusia yang dapat menguntungkan inang dengan menjaga keseimbangan mikrob ususnya (Fuller 1992; Salminen & Wright 1998). Defenisi ini kemudian dikembangkan lagi oleh Verschuere et al. (2000) untuk aplikasi probiotik pada budi daya perairan.
Deskripsi yang diberikan
sesuai dengan
modus aksi probiotik tersebut, yaitu mikrob hidup yang menguntungkan bagi
9
inang dengan memodifikasi hubungan komunitas mikrob yang berasosiasi dengan inang atau lingkungannya, meningkatkan penggunaan makanan atau nilai nutrisi, memacu respon inang terhadap penyakit, atau dengan meningkatkan kualitas lingkungan. Berdasarkan definisi di atas probiotik dapat mencakup mikrob yang mencegah perkembangbiakan patogen pada rongga pencernaan, pada struktur permukaan, dan pada lingkungan peternakan, menjamin penggunaan pakan secara optimal dengan membantu sistem pencernaan inang, meningkatkan kualitas air, dan merangsang sistem ketahanan inang (Verschuere et al. 2000). Berbagai produk probiotik untuk akuakultur dipromosikan memiliki berbagai keunggulan yang bervariasi;
mereduksi nitrat, nitrit, amonia, H 2 S,
menghilangkan logam berat, bahan organik, menurunkan BOD, mengatasi penumpukan lumpur, penghambatan pertumbuhan Vibrio sp. dan bakteri patogen lainnya. Tetapi banyak dari keuntungan yang diiklankan tidak memiliki konfirmasi, dan merupakan riset yang tidak dikendalikan secara terpadu (Antony & Philip 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Fernandes et al. (2010) untuk menguji suatu sistim aerasi untuk mengatasi pencemaran air
di tambak udang, didapatkan
bakteri heterotrofik melampaui jumlah bakteri nitrifikasi, denitrifikasi dan pereduksi sulfat. Jumlah bakteri heterotrofik berkisar 10-3 sampai 10-4 CFU mL-1 dan selalu tinggi di air yang diaerasi maupun tidak di aerasi. Tingginya kelimpahan bakteri ini dapat disebabkan tingkat ketersediaan karbon organik di tambak. Drakare (2002) menjelaskan bahwa di samping memecah senyawa organik, bakteri heterotrofik juga merupakan kompetitor yang unggul dalam pemanfaatan fosfat dan dapat menjaga tingkat nutrien yang optimal. Rao dan Karusanagar (2000) menyatakan udang memiliki kemampuan konversi makanan yang rendah dimana lebih dari 50% pakan terbuang ke air. Di Indonesia kriteria kualitas air untuk tambak memiliki kisaran pH 7.8-9.0, suhu 26-32 0C, kadar nitrat kurang dari 0.3-0.5 ppm, nitrit kurang dari 0.1 ppm dan suspensi terlarut berkisar dari 20-40 ppm (Tabel 1). Daerah yang paling cocok untuk pertambakan udang adalah daerah pasang surut dengan fluktuasi antara lain 2-3 meter (DKP 2007).
10
Tabel 1 Kriteria dan katagori kualitas air tambak secara fisik dan kimiawi Saat Penebaran
Parameter kualitas air Suhu (°C)
26 – 29
DO minimum (ppm)
4
Air di petakan/reservoir 27 – 32 > 3.5
BOD (ppm O 2 )
Pertengahan dan akhir pemeliharaan 27 – 32
27 – 32
4.5
3
< 0.2
< 10
Air pembuangan
pH
7.8 – 8.5
7.8 – 8.5
7.8 – 8.4
7–9
Alkalinitas (ppm)
90 – 150
90 – 150
90 – 150
100 – 150
Transparansi (cm)
40 – 50
30 - 50
30 – 40
30 – 40
< 30
< 20
< 40
< 30
Salinitas (ppt)
10 – 35
10 – 35
10 – 35
10 - 35
Amonia (ppm)
< 0.5
< 0.3
< 0.4
< 0.5
Nitrat (ppm)
< 0.5
< 0.3
< 0.4
< 0.5
Nitrit (ppm)
< 0.1
< 0.1
< 0.1
< 0.1
Fosfat (P 2 O 3 ) (ppm)
< 0.25
0.30
Suspensi
terlarut
(ppm)
Total Vibrio (CFU/ml)
2
3
0.35 4
3
0.25 4
10
10 - 10
10 - 10
< 104
Logam berat 1.
Hg (ppm)
< 0.17 ppm
< 0.17 ppm
< 0.17 ppm
< 0.17 ppm
2.
Pb (ppm)
< 1.16 ppm
< 1.16 ppm
< 1.16 ppm
< 1.16 ppm
Sumber: DKP Jepara (2007)
Pakan Udang Pakan dalam budi daya udang, memegang peranan yang sangat vital. Pakan buatan merupakan sumber nutrien utama untuk pertumbuhan udang yang dibudi dayakan. Secara umum nutrisi di dalam pakan diperlukan oleh tubuh untuk proses pemeliharaan, aktivitas, pertumbuhan dan reproduksi. Ketersediaan pakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan bernilai gizi baik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kegiatan usaha budi daya. Penyediaan pakan yang tidak sesuai dengan jumlah udang yang dipelihara menyebabkan laju pertumbuhan udang menjadi lambat, akibatnya produksi yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pada dasarnya, sumber pakan berasal dari pakan alami dan pakan buatan. Oleh karena jumlah pakan alami di kolam pemeliharaan tidak memadai untuk budi daya intensif dan semi intensif, maka untuk mencapai laju pertumbuhan udang yang baik perlu diberikan pakan buatan.
11
Pakan buatan adalah pakan yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan gizi udang, dibuat dalam skala industri yang diberikan saat ketersediaan pakan alami yang kurang atau tidak memadai. Berdasarkan komposisi kandungan nutrisinya pakan buatan mempunyai formulasi yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan udang. Pakan udang yang dibuat secara komersial merupakan bahan campuran hasil penggilingan yang mengapung, melayang atau pelet yang tenggelam di air. Udang termasuk hewan yang menyukai makanan yang tenggelam, tetapi kebanyakan udang dapat dilatih untuk menerima makanan yang mengapung (Craig 2002). Pada budi daya udang nutrisi merupakan masalah yang kritis dan membutuhkan 40-50% dari biaya produksi. Industri pakan udang berkembang secara dramatis pada beberapa tahun terakhir ini dengan pengembangan formulasi makanan baru yang seimbang untuk memacu pertumbuhan dan kesehatan yang optimal (Craig 2002). Pakan udang buatan dapat dalam bentuk lengkap atau tambahan. Pakan lengkap menyediakan semua bahan (protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral) yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal dan kesehatan ikan, biasanya terdiri atas protein (18-50%), lemak (10-25%), karbohidrat (15-20%), abu (<8.5%), fosfat (<1.5%), air (10%) dan sejumlah kecil vitamin dan mineral. Kebutuhan protein yang tinggi dalam makanan udang disebabkan oleh lintasan produksi energinya sebagian besar tergantung kepada oksidasi dan katabolisme protein (Craig 2002). Khusus untuk udang umumnya pakan mengandung protein sekitar 28-32%. Komposisi pakan ini dapat bervariasi berdasarkan umur udang peliharaan. Pakan mengandung unsur nitrogen yang sebagian besar
dikeluarkan
melalui insang dalam bentuk amonia (NH 3 ) dan hanya 10% hilang dalam bentuk padat (Craig 2002). Percepatan eutrofikasi akibat pengayaan nutrien pada permukaan air akibat kelebihan nitrogen pada air buangan budi daya udang merupakan suatu kekhawatiran
petani
terhadap penurunan kualitas air.
Pemberian pakan yang efektif dan praktek manajemen limbah penting untuk melindungi kualitas air daerah hilir. Karbohidrat (pati dan gula) adalah sumber energi yang ekonomis dan tidak mahal dari pakan udang. Karbohidrat termasuk ke dalam makanan budi daya perairan yang dapat menurunkan biaya pakan dan untuk unsur pengikat pada
12
proses pembuatan pakan. Karbohidrat disimpan sebagai glikogen oleh ikan yang dapat diaktifkan untuk memenuhi permintaan energi. Sebanyak 20% karbohidrat dari pakan dapat digunakan oleh udang (Craig 2002).
Total Padatan Tersuspensi (TSS) pada Perairan Budi daya Udang Total padatan tersuspensi (total suspended solid [TSS]) terdiri atas sejumlah partikel organik dan anorganik, yang terbawa ke dalam badan air. Pada kebanyakan sungai, TSS terutama disusun oleh partikel-partikel mineral yang kecil. Pakan merupakan sumber utama nutrisi dan partikel pada budi daya perairan. Limbah partikel organik berupa feses, ammonia dan sisa pakan pada umumnya akan terakumulasi di dasar kolam, sedangkan limbah terlarut akan terbuang ke lingkungan. Polusi nitrogen dan fosfor dari pakan merupakan ancaman utama terhadap lingkungan pembuangan air. (Tzachi & Lawrence 1995). Peranan dari bakterioplankton pada aliran energi dan karbon melalui sitim akuatik merupakan salah satu bidang penelitian yang dilakukan dengan sangat serius sejak lebih dari dua dekade terakhir. Penelitian ini memperlihatkan bahwa bakteri heterotrofik mendominasi sistim metabolism di laut maupun air tawar, mengubah material organik tersuspensi dan terlarut menjadi biomasa dan karbon anorganik (Billen et al. 1990). Suatu bioremediator yang baik harus mengandung mikrob yang mampu secara efektif menghilangkan limbah yang mengandung karbon di air. Hal ini akan didukung jika mikrob ini berkembang dengan cepat dan memiliki aktivitas enzim yang tinggi (Antony & Philip 2006). Pengayaan bahan organik pada ekosistim bentik dapat meningkatkan konsumsi oksigen pada komunitas sedimen dan pembentukan kondisi anoksik. Efek nyata dari hal ini ialah turunnya konsentrasi oksigen terlarut pada dasar dan permukaan air. Penurunan ini disebabkan oleh kebutuhan oksigen biokimia yang tinggi oleh limbah organik dan respirasi dari hewan air. Aliran air dari tambak udang intensif memiliki ciri-ciri BOD yang tinggi dengan level partikel organik dan anorganik serta nitrogen yang tinggi (Tzachi & Lawrence 1995). Air buangan tambak udang dapat mengandung konsentrasi nutrisi terlarut dan partikel tersuspensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan air yang masuk, akibatnya selain berbahaya bagi udang, ada kekuatiran tentang dampak
13
lingkungan yang negatif terhadap perairan pantai yang disebabkan oleh eutrofikasi dan peningkatan kekeruhan (turbiditas) (Jones & Preston 2008).
Bacillus Bacillus ditemukan oleh Ferdinan Cohn pada tahun 1872 yang kemudian dinamakannya B. subtilis. Bakteri ini termasuk ke dalam family Bacillaceae, yang ditandai dengan produksi endospora, suatu struktur yang terbentuk di dalam sel bakteri pada bagian subterminal atau terminal. Anggota dari genus Bacillus termasuk bakteri Gram positif
berbentuk batang lurus atau sedikit bengkok,
berukuran 0.3-2.2 µm x 1.2-7.0 µm, aerobik atau fakultatif anaerobik, kebanyakan spesies motil (Corbin 2005). Bakteri ini tersebar luas di alam, dikenal dengan daya tahan sporanya yang luar biasa terhadap senyawa kimia dan agen fisik, perkembangan siklus pembentukan spora, produksi antibiotik, toksisitas spora dan pembentukan kristal protein terhadap berbagai insekta patogen (Todar 2009). Bacillus merupakan bakteri Gram positif yang dikenal dengan produksi endosporanya yang membuat dia dapat bertahan pada berbagai kondisi lingkungan dalam jangka waktu yang sangat panjang, bahkan sampai ratusan tahun (Slepecky & Hampell 1992). Bacillus memiliki keragaman fisiologi di dalam anggota genus. Gambaran kolektifnya mencakup kemampuan degradasi semua substrat yang diperoleh dari tumbuhan dan hewan, seperti selulosa, pati, pektin, protein, dan agar-agar hidrokarbon. Selain itu kelompok genus bakteri ini juga merupakan produser antibiotik, dan berpotensi melakukan proses nitrifikasi, denitrifikasi, dan fiksasi nitrogen di alam. Karakteristik lainnya mencakup heterotrof, litotrofi fakultatif, asidofil, alkalofil, psikrofil, termofil dan ada yang bersifat
parasit. Pembentukan spora ditemukan secara universal pada genus,
diperkirakan sebagai suatu strategi untuk bertahan pada lingkungan. spora dorman melalui udara menyebabkan spesies Bacillus ditemukan hampir di semua habitat yang diteliti (Todar 2009) . Daniel dan Morgan (1988) menemukan suatu isolat Bacillus yang diperoleh dari tanah geotermal di daerah Antartika. Isolat ini mampu tumbuh secara heterotrof maupun autotrof dengan adanya hidrogen dan karbondioksida. Isolat ini mirip dengan B. schlegellii yang juga mampu tumbuh secara autotrof menggunakan tiosulfat.
14
Spesies Bacillus umumnya terdapat di tanah, air, debu dan udara. Bakteri ini juga terlibat dalam pembusukan makanan, masuk ke saluran pencernaan melalui makanan. Spora Bacillus dapat ditemukan dengan mudah di tanah, oleh sebab itu bentuk hidup (sel vegetatif) dari bakteri ini diasumsikan juga mendiami tanah, tetapi asumsi ini belum dapat dibuktikan. Oleh sebab itu lokasi dimana bakteri ini ditemukan belum tentu merupakan habitat aslinya. Studi literatur lebih jauh memperlihatkan bahwa Bacillus secara umum ditemukan dalam lambung hewanhewan dan serangga. Hal ini dapat terjadi akibat tertelan bakteri yang tercampur dengan tanah. Teori yang baru muncul menyatakan spesies Bacillus muncul dalam suatu hubungan endosimbiotik dengan inang, bertahan dan berkembang biak dalam rongga pencernaan. Kelompok bakteri ini banyak ditemukan pada sedimen kolam, danau, sungai atau laut oleh sebab itu secara alami tertelan oleh hewan seperti udang, ikan, dan kerang yang makan di atau dari sedimen. Spesies Bacillus telah dengan mudah ditemukan pada ikan, krustasea, kerang, udang dan dapat ditemukan pada insang, kulit dan rongga pencernaan udang (Cutting 2006). Beberapa Bacillus seperti B. subtilis, B. licheniformis, B. coagulans, dan termasuk B. cereus adalah contoh bioremediator yang baik karena menghasilkan enzim-enzim yang potensial dalam degradasi senyawa-senyawa organik. Tetapi biasanya kelompok bakteri ini tidak memiliki jumlah yang cukup banyak di badan air, karena habitat alaminya di sedimen (Philip & Antony (2006).
Dengan
menjaga bakteri ini dalam level yang tinggi pada kolam produksi, para petani dapat menurunkan penumpukan karbon organik selama siklus pertumbuhan ternak, sementara itu hal ini juga akan memacu kestabilan perkembangan fitoplankton melalui peningkatan produksi CO 2 (Secura 1995). Suatu keuntungan penggunaan Bacillus di tambak udang adalah karena bakteri ini tidak mungkin munggunakan gen resistensi antibiotik atau virulensi dari kelompok vibrio atau bakteri Gram negatif lainnya. Ada penghambat pada tingkat transkripsi dan translasi untuk mengekspresikan gen dari plasmid, fage dan DNA kromosom dari Escherichia coli pada B. subtilis (Moriarty 1999). Kelompok Bacillus yang merupakan bakteri heterotrofik dapat merupakan alternatif bakteri nitrifikasi di perairan tambak udang. Bakteri ini lebih toleran terhadap kondisi lingkungan pada rentangan yang lebih luas (Straub & Dixon 1997). Banyak dari kelompok bakteri ini digunakan dalam bentuk produk paket
15
kering karena memiliki spora (Intan et al. 2005). B. subtilis banyak terdapat di lingkungan seperti air, tanah udara yang mengurai sisa tumbuhan yang menyumbangkan siklus nutrien karena menghasilkan berbagai enzim (Valbuzzi et al. 1999). Banyak spesies Bacillus menghasilkan berbagai enzim ekstraseluler dan digunakan secara luas untuk menghasilkan enzim bagi industri seperti protease dan amilase (Fleming et al. 1995).
Enzim Protease Keragaman spesies biota laut dan estuari berkontribusi terhadap berbagai jenis enzim dengan karakteristik yang unik. Beberapa tahun terakhir, protease dari usus ikan menarik banyak perhatian (Chi et al. 2007). Hal ini membantu pengembangan pengayaan aplikasi produk-produk dengan bantuan enzim sebagai katalis pada protein dari berbagai sumber. Protease memiliki berbagai aplikasi di bidang industri seperti detergen, pengolahan kulit, penemuan logam, kesehatan, pemerosesan makanan, pakan ternak, industri kimia, dan pengolahan limbah (Kumar & Tagaki 1999). Protease adalah enzim yang menghidrolisis ikatan peptida pada molekul protein yang menghasilkan peptida atau asam amino. Protein terdiri atas molekul asam amino yang bervariasi jumlahnya, berkisar antara 10 sampai ribuan yang berfungsi sebagai unit penyusun polimer protein yang terangkai melalui ikatan peptida. Protein yang memiliki lebih dari 10 asam amino disebut polipeptida, sedangkan istilah protein ditujukan bagi polimer asam amino dengan jumlah di atas 100 (Suhartono 1992). Persatuan internasional biokimia dan molekuler biologi (The International Union of Biochemistry and Molecular Biology) tahun 1984 merekomendasikan kata peptidase (E.C. 3.4) untuk enzim yang menghidrolisis rantai peptida. Protease sinonim dengan peptidase. Protease secara umum dibagi atas eksopeptidase (E.C. 3.4.21-99-) atau endopeptidase (E.C. 3.4.19-) tergantung kepada lokasi tempat aksi enzim terjadi. Jika enzim memecah ikatan peptida di arah amino atau ujung karboksi dari substrat, maka diklasifikasikan sebagai eksopeptidase. Jika enzim memecah ikatan peptida jauh dari ujung amino atau karboksi diklasifikasikan sebagai endopeptidase (Whitaker 1994).
16
Efektivitas kerja protease terhadap suatu protein ditentukan oleh struktur protein itu sendiri. Hal ini mempengaruhi kerentanan suatu protein terhadap hidrolisis oleh suatu protease. Struktur tersebut terdiri atas: 1) struktur primer, yaitu deret asam amino pada protein, 2) struktur sekunder (derajat pembentukan struktur sulur alfa dan beta, serta struktur acak, 3) struktur kuartener merupakan asosiasi antar subunit molekul protein. Protease memecah ikatan peptida dengan bantuan molekul air (Suhartono 1992). Ward (1983) menjelaskan bahwa berdasarkan cara kerjanya terhadap ujung N atau C, eksopeptidase dibedakan menjadi aminopeptidase (E.C 3.4.11) dan karboksipeptidase (EC 3.4.16 dan E.C 3.4.17). Endopeptidase dapat dibedakan menjadi empat kelompok berdasarkan gugus asam amino fungsional pada sisi aktifnya yaitu protease serin, protease sulfuhidril, protease asam dan protease logam. Protease serin (E.C 3.4.2) merupakan enzim yang memiliki asam amino serin pada sisi aktifnya. Enzim ini dihambat oleh fenil metil sulfonil flourida (PMSF) dan diisoprofil flouro fosfat (DFP), tetapi tidak oleh etilen diamina tetra asam asetat (EDTA). Jenis-jenis protease ini ialah tripsin, kimotripsin, elastase dan subtilisin. Protease sulfidril atau protease thiol (E.C 3.4.22) merupakan protease yang memiliki asam amino sistein pada sisi aktifnya. Enzim ini sensitif terhadap beberapa oksidator basa dan beberapa logam yang dapat mengikat gugus thiol pada sisi aktifnya. Golongan enzim ini ialah papain, fisin dan bromelin. Protease asam (E.C 3.4.23) merupakan enzim yang aktif pada pH asam, tidak sensitif terhadap EDTA maupun inhibitor protease serin. Contoh enzim ini ialah pepsin, renin, dan beberapa enzim kapang yang aktif pada pH rendah yaitu 2-4. Protease netral atau protease logam (E.C 3.4.24) adalah enzim yang menunjukkan aktivitas maksimum pada pH netral, sensitif terhadap EDTA. Contoh enzim ini ialah karboksipeptidase A, beberapa aminopeptidase, dan beberapa protease bakteri (Ward 1983). Selain pengelompokan berdasarkan mekanisme di atas, bagian nomenklatur enzim menempatkan protease yang tidak diketahui mekanisme katalitiknya dalam suatu grup. Ini menunjukkan masih ada protease baru yang belum diketahui mekanisme kerjanya (Suhartono 1992). Enzim proteolitik mikroorganisme dapat ditemukan dalam sel (intraseluler) pada dinding sel (periplasma), atau disekresikan ke medium (ekstraseluler) (Priest 1977). Enzim ekstraseluller adalah enzim yang disekresikan ke luar sel melalui
17
membran sel. Enzim ini disintesis dalam bentuk prekursor kemudian dibebaskan dalam bentuk aktif melalui proses proteolisis. Bagian peptida yang dilepaskan biasanya bersifat hidrofobik (Suhartono 1989). Protease dihasilkan oleh beberapa kelompok mikrob perairan terutama Bacillus (Intan et al. 2005). Daftar beberapa protease yang dihasilkan oleh bakteri perairan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Protease ekstraseluler yang dihasilkan beberapa mikrob perairan Isolat Aeromonas salmonicida
pH optimum 9.6
Suhu optimum (0C) 50 0C 50-60
Sumber Pustaka Sakai (1986)
Vibrio sp
8
V. anguillarum
9
Yersinia ruckeri
8
37
Secades & Guijarro (1999)
Bacillus alcalophilus
7
40
Rosdiana et al. (2000)
B. megaterium
7
50
Haritjinti (1997)
V. harveyi
8
50
Fawzya (2002)
-
Tandoko (1995) Farel & Crossa (1991)
Genus Bacillus menghasilkan beberapa enzim yang penting di antaranya protease. Jenis protease yang disekresikan oleh Bacillus yang penting dalam industri antara lain protease logam (netral) dan protease serin atau subtilisin (alkalin) (Rao et al. 1998). B. licheniformis menghasilkan subtilisin (protease serin) yang berperan penting dalam bidang industri terutama yang berhubungan dengan produk-produk yang digunakan dalam pH alkali dan suhu tinggi seperti detergen, hidrolisat protein untuk makanan maupun pakan (Ward 1983). Enzim ini mempunyai berat molekul 27.277 kDa dan stabil pada kisaran pH yang luas. Jenis substilisin yang lain ialah subtilisin BPN (Bacteria Protease Nagatase) yang ditemukan oleh Harihara pada tahun 1954. Bacillus yang memproduksi enzim ini ialah B. amyloliquifaciens, B. subtilis dan B. steraotermophilus. B. pumilus menghasilkan protease logam yang mempunyai pH optimum 7, spesifik terhadap asam amino hidrofobik dan alifatik. Logam yang dikandung enzim ini berupa Zn. Mubarik dan Wirahadikusuma (1996) mendapatkan protein ekstraseluler dari Bacillus subtilis ATTC 6633 yang termasuk protease logam dan protease campuran (protease logam dan protease serin). Aktivitas optimum protease terjadi
18
pada suhu 40 0C, pH 8 dan untuk protease campuran didapatkan pada suhu 40-45 0
C, pH 8-8.5. Beberapa jenis Bacillus menghasilkan enzim ekstraseluler (Tabel 3).
Tabel 3 Bacillus penghasil protease ekstraseluler Spesies
Jenis protease
B. cereus B. licheniformis B. megaterium B. polymixa B. stearothermophilus B. amyloliquefaciens B. subtilis var amyloliquefaciens
pH optimum
netral netral netral netral netral alkali netral
7.0 6.5 -7.5 7.0 6.0 -7.2 6.9 -7.2 10.2-10.7 7.0
Suhartono (1992)
Enzim Amilase Amilase adalah kelompok enzim yang mampu mengkatalisis proses hidrolisis pati, suatu polimer glukosa yang banyak terdapat pada polisakarida tumbuh-tumbuhan seperti beras, jagung, kentang, tapioka dan terigu. Amilase yang
terlibat
dalam
hidrolisis
pati
ialah
α-amilase
(1,4-α-D-glukan
glukanohidrolase, EC 3.2.1.1), β-amilase (1,4-α-D-glukan glukanohidrolase; EC 3.2.1.2),
glukoamilase
(1,4-D-glukan
glukanohidrolase;
EC
3.2.1.3),
α-
glukosidase (1,4-glukan glukanohidrolase; EC 3.2.1.20) dan enzim pemutus cabang pullulanase (pullulan 6-glikanohidrolase; EC 3.2.1.41) dan isoamilase (glikogen 6-glukanohidrolase; EC 3.2.1.68) (Aehle 1997). Ada beberapa cara kerja amilase dalam memecah substrat: a) menghidrolisis dari bagian dalam molekul substrat (endo-splitting) atau dari luar (exo-splitting), b) retensi atau konfigurasi inversi, c) menghidrolisis ikatan glikosidik α-1,4 versus α,1-6 dan d) tipe reaksi hidrolisis atau transfer. α-amilase merupakan enzim yang memecah dari dalam molekul yang menghidrolisis ikatan glikosidik
α-1,4 secara random dari substrat, menghasilkan sebagian besar maltosa dan sedikit glukosa. Ikatan α-1,6 glikosidik tidak dipotong oleh α-amilase tetapi ikatan tersebut tidak menghambat kerja amilase.
Hampir semua α-amilase
termasuk metaloenzim kalsium memiliki ion Ca2+ dalam strukturnya yang berguna untuk stabilitas enzim (Whitaker 1994, Linden et al . 2003). α-amilase memainkan peranan penting selama degradasi pati karena menyumbangkan 40-
19
60% sintesis protein de novo dan satu-satunya enzim yang dapat secara langsung menyerang dan menghidrolisis granul pati (Godbole et al. 2003).
β-amilase merupakan enzim yang memecah dari luar dan melepas unit maltosa secara berurutan dari ujung non reduksi dari ikatan polisakarida. Jika substrat memiliki ikatan α-1,6 seperti amilopektin, pemecahan pada rantai tersebut akan berhenti. Glukoamilase merupakan enzim yang memotong molekul substrat dari dalam dan memecah unit glukosa secara berurutan dari ujung non reduksi dari rantai substrat. Kerja enzim pada substrat akan menurun bila bertemu dengan ikatan α-1,6 seperti pada amilopektin dan glikogen, tetapi ikatan tersebut dihidrolisis. Pululanase adalah enzim yang memecah dari dalam, menghidrolisis pululan pada ikatan glikosidik α-1,6 (Whitaker 1994). Pati merupakan substrat bagi amilase. Molekul pati merupakan polimer glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 dan α-1,6 glikosidik. Perbedaan ikatan penghubung ini membedakan struktur molekul pati yang terdiri atas amilosa bagian yang tidak bercabang; merupakan polimer rantai tunggal terdiri atas 500 sampai 2000 unit glukosa yang memiliki ikatan α-1,4 glikosidik dengan penghubung α-1,6 glikosidik yang menghasilkan cabang polimer glukosa disebut amilopektin. Hidrolisis pati oleh amilase pertama-tama menghasilkan polimer rantai pendek yang disebut dekstrin, kemudian disakarida maltosa dan terakhir adalah glukosa (Crueger & Crueger 1984). α dan β-amilase menghidrolisis pati secara menyeluruh menjadi maltosa karena amilosa hanya memiliki ikatan α-1,4 glikosidik
tetapi biasanya menyisakan beberapa maltotriosa. Glukoamilase
menghidrolisis amilosa secara menyeluruh menjadi glukosa, beberapa maltosa tetapi karena hidrolisis yang lambat dari enzim ini maltotriosa dapat tersisa pada ujung (Whitaker 1994).
α-amilase dihasilkan oleh bakteri di antaranya B. subtilis, B. cereus, B. amyloliquefaciens, B. coagulan, B. polymixa, B. stearothermophilus, Esherichia coli, Pseudomonas, dan Proteus. Dari kelompok cendawan penghasil α-amilase di antaranya ialah genus Aspergillus, Penicillium, Cephalosporium, Mucor dan Rhizopus. β-amilase dihasilkan oleh sebagian kecil mikrob yaitu B. polymixa, B. cereus, B. megaterium dan Rhizopus japonicus. Bacillus, B. amyloliquifaciens dan B. licheniformis adalah dua isolat yang banyak digunakan untuk menghasilkan
20
amilase
(Fogarty
&
Kelly
1980).
Sumber
karbon
merupakan
sangat
mempengaruhi produksi amilase, dari karbohidrat yang digunakan, pati merupakan sumber karbon yang baik untuk sintesis amilase oleh Bacillus (Lin et al. 1998, Hagihara et al. 2001). Degradasi pati menjadi maltodextrin kemudian oleh berbagai bakteri dikatalisis oleh α-amilase dan diikuti oleh hidrolisis menjadi glukosa oleh α- glikosidase ekstraseluler (Vihinem & Mansala 1989). Di antra sumber karbon yang di uji, pati terlarut, tepung jagung, tepung kentang, maltosa, dan amilosa ditemukan sebagai yang terbaik untuk sintesis amilase, sedangkan glukosa dan fruktosa memperlihatkan efek penekanan terhadap produksi enzim. Penekanan katabolit telah dilaporkan pada enzim pemecah karbohidrat yang dihasilkan oleh genus Bacillus (Lin et al. 1998).
Identifikasi Mikrob Berdasarkan Gen Penyandi 16S rRNA Untuk menentukan kekerabatan evolusi antar spesies dalam keseluruhan sistem biologi diperlukan parameter yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) terdapat pada semua makhluk hidup, 2) fungsinya identik, 3) dapat dibandingkan secara objektif, 4) parameter tersebut berubah sesuai dengan jarak evolusinya sehingga dapat dijadikan sebagai kronometer evolusi yang handal (Madigan et al. 2000). Identifikasi bakteri berdasarkan gen penyandi 16S rRNA sudah dilakukan secara luas untuk menentukan pohon filogenetik dari keragaman bakteri di bumi. Gen penyandi 16S rRNA adalah gen yang menyandikan subunit 16S dari ribosom. yang terdapat pada semua bakteri terdiri atas gen yang sangat konservatif dan sekuen gen yang sangat cepat berubah (variabel).
Sekuen
variabel berevolusi pada laju yang berbeda sehingga memberikan cukup informasi untuk menentukan kekerabatan hubungan filogenetik suatu organisme (Woese 1987). Ada tiga cabang utama pohon filogenetik pada makhluk hidup di muka bumi ini yaitu Bacteria, Archaea dan Eukarya yang disebut domain. Domain merupakan tingkat taksonomi tertinggi yang berada setingkat di atas Kingdom (Madigan et al. 2000). Berdasarkan pengelompokan ini mikrob diketahui mendiami sebagian besar isi bumi. Klasifikasi ini merupakan dasar klasifikasi terbaru berdasarkan teknik molekuler biologi yang ditemukan oleh Profesor Carl Woese pada tahun 1970-an (Suwanto 1994). Pada prokariot terdapat tiga macam
21
molekul rRNA, yaitu 5S, 16S dan 23S. Untuk identifikasi sering digunakan 16S rRNA karena memiliki panjang nukleotida yang ideal (± 1500 kb), 5S memiliki jumlah nukleotida yang sangat pendek (±120 kb) sehingga tidak cukup informasi untuk perbandingan sekuen gen. Kebalikan dari hal ini dimiliki oleh 23S rRNA, gen ini memiliki jumlah rantai nukleotida yang terlalu panjang sehingga tidak praktis digunakan untuk identifikasi (Suwanto 1994).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Oktober 2005 sampai dengan Mei 2009 di Laboratorium
Mikrobiologi,
Departemen
Biologi
Fakultas
MIPA
dan
Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis, Pusat Penelitian Sumber daya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Pengambilan Sampel Bakteri Sampel air, sedimen, tanah dan udang diambil dari tambak udang perairan estuari di Karawang, Jawa Barat. Air diambil sebanyak 100 ml sedangkan sedimen dan tanah diambil kira-kira 100g kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel. Semua sampel disimpan di kotak es sampai dikultur di laboratorium. Bakteri saluran pencernaan diambil dengan cara menarik usus dari bagian badan di belakang kepala, kemudian dibilas alkohol 75% selama 3 detik, diusap dengan kapas sampai kering dan digerus dalam lumpang sampai halus untuk selanjutnya diencerkan dalam larutan garam fisiologis (NaCl 0.85%). Keseluruhan tahapan kerja penelitian mulai dari tahap ini dan seterusnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Isolasi dan Penapisan Isolat Proteolitik dan Amilolitik Media, Kondisi Pertumbuhan, dan Seleksi. Sampel bakteri diencerkan dengan garam fisiologis pada pengenceran 10-2-10-3 CFU mL-1 kemudian dipanaskan di dalam penangas air pada suhu 80 0C selama 15 menit. Sebanyak 0.1 mL sampel disebar pada media agar-agar SWC (sea water complete) 50% yang mengandung 1.5 gL-1 bakto pepton, 0.5 gL-1 ekstrak ragi dan 1.5 mL-1 gliserol dalam campuran air laut dan akuades dengan perbandingan 3:1 (Atlas 1997) kemudian diinkubasi pada suhu ruang (±28 0C). Metode ini memberi peluang bagi tertapisnya Bacillus mesofilik (Slepecky & Hamphyll 1992, Corbin 2005). Untuk deteksi aktivitas proteolitik media pengkulturan ditambah dengan 1% susu skim (AnleneTM , New Zealand Dairy Board, Selandia Baru). Bakto pepton dan ekstrak ragi tidak digunakan pada media SWC untuk menjaga agar sumber nitrogen satu-satunya adalah dari susu skim. Kultur diinkubasi pada suhu
22
ruang (±28 0C) selama 3-5 hari, kemudian diamati terbentuknya daerah bening di sekitar koloni. Indeks proteolitik diukur menurut cara Lim & Rahim (1987) dengan cara berikut: X1 – X2 IP/IA = X2 IP/IA X1 X2
= Indeks aktivitas proteolitik/amilolitik = Rata-rata diameter zona bening = Rata-rata diameter koloni
Koloni positif proteolitik diuji silang aktivitas amilolitiknya, selanjutnya dilakukan pengamatan secara morfologi yang meliputi pengamatan ciri-ciri koloni, pewarnaan Gram dan spora. Isolat Bacillus murni disimpan di media SWC-agar miring pada suhu 4 0C.
Kultur stok untuk penyimpanan yang lebih
lama disimpan dalam gliserol 20% pada suhu -20 0C. Deteksi awal aktivitas amilase dilakukan dengan cara yang sama dengan protease kecuali komposisi media, susu skim diganti dengan 1% pati terlarut (Merck). Gliserol tidak ditambahkan untuk memastikan sumber karbon satu-satunya dari pati. Untuk konfirmasi, isolat-isolat yang diduga potensial diuji indeks amilolitiknya pada media agar-agar pakan udang 1% merek Manggalindo (media shrimp feed [SF]), yang dilarutkan dalam air laut dan aquades (3:1). Daerah halo dilihat dengan menetesi koloni dengan larutan Gram iodin. Isolat amilolitik positif diuji silang aktivitas proteolitiknya. Isolat-isolat yang memiliki indeks proteolitik dan amilolitik terbesar dipilih untuk seleksi selanjutnya.
Pertumbuhan Isolat. Sepuluh isolat Bacillus yang memiliki kedua indeks proteolitik dan amilolitik terbesar di uji pertumbuhannya pada media SF 1.2% (komposisi 1.2% pakan udang dalam campuran akuades dan air laut, 1:3). Isolat dari kultur stok diremajakan pada media agar-agar SWC selama 48 jam pada suhu ruang. Satu lup koloni diinokulasikan ke dalam 50 mL media SWC pada erlenmeyer 250 mL. Kultur dikocok menggunakan mesin penggoyang dengan kecepatan 120 rpm selama ± 4 jam sampai mencapai kepadatan sel 108 CFU mL-1. Sepuluh mL isolat diinokulasikan ke dalam 50 mL media SF (pakan terlarut 1.2 %) dengan salinitas 2.5%, pH 7.5. Kultur diinkubasi pada suhu ruang (±28 0C)
23
dengan penggoyangan pada kecepatan 120 rpm selama 48 jam. Penghitungan jumlah unit koloni per melimeter (CFU mL-1) dilakukan dengan penyebaran 0.1 mL kultur pada media agar-agar SWC pada awal inkubasi, kemudian jam ke 24 dan 48. Penghitungan pertumbuhan sel pada waktu produksi enzim diukur dengan menghitung laju pertumbuhan spesifik (µ) : ( X2 / X0 ) µ = ln ( T2 – T0 ) µ X2 X0 T2 T0
= = = = =
laju pertumbuhan spesifik jumlah sel tertinggi pada fase pertumbuhan logaritma jumlah sel pada awal fase pertumbuhan logaritma waktu pada saat akhir fase pertumbuhan logaritma waktu pada saat awal fase pertumbuhan logaritma
Uji Total Padatan Tersuspensi. Sebanyak 50 ml media pakan udang (SF) 1.2% dalam erlenmeyer 250 mL diatur pH nya menjadi 7.5 dengan menggunakan NaOH, kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit. Alasan penggunaan substrat pakan udang 1.2% hanya berdasarkan uji coba. Setelah dingin substrat diinokulasi dengan 10 mL kultur isolat terpilih dengan jumlah sel 108 CFU mL-1, kemudian digoyang pada kecepatan 120 rpm pada suhu ruang (±28 0
C) selama 92 jam. Pada analisis TSS untuk isolat terpilih dilakukan inkubasi
selama 96 jam dengan interval pengamatan setiap 24 jam. Untuk melihat penurunan padatan dalam media kultur dilakukan pengukuran TSS (Uchida 1997), pada kultur sesudah diinkubasi. Kontrol dibuat tanpa penambahan bakteri pada media kultur. Kertas saring terlebih dahulu dipanaskan di oven pada suhu 105 0C selama 2 jam untuk pengeringan kemudian ditimbang. Sebanyak 25 ml kultur disaring dengan kertas saring GFC (47 mm Ø circles, Whatman) dalam wadah penyaring yang dihubungkan dengan erlenmeyer bercorong. Corong erlenmeyer dihubungkan dengan pompa vakum berkekuatan 10 inHg (Millipore, USA). Setelah disaring, filtrat pada kertas saring dipanaskan dalam oven pada suhu 105 0
C selama 3-5 jam atau sampai mencapai berat konstan. Nilai TSS dihitung dengan
menggunakan persamaan menurut Uchida (1997): TSS = (berat kertas saring + filtrat) – (berat kertas saring awal x) 106 mg L-1 Volume Sampel
24
Produksi Protease dan Amilase Ekstraseluler. Dua isolat yang memiliki indeks proteolitik dan amilolitik terbesar, pertumbuhan yang cepat dan kemampuan penurunan TSS tertinggi, dilihat karakter enzim protease maupun amilasenya. Sebanyak 10 ml kultur aktif dengan konsentrasi sel 108 CFU mL-1 diinokulasikan pada 100 ml media SF dengan pH 7.5 dan salinitas 2.5%. Kultur diinkubasi pada suhu ruang (28 0C) di dalam water bath shaker dengan kecepatan penggoyangan 120 rpm. Setiap selang waktu 24 jam selama 48-96 jam diambil sampel kultur untuk pengujian aktivitas protease, amilase dan untuk penghitungan jumlah sel. Enzim ekstrak kasar diperoleh dengan cara mensentrifugasi biakan cair pada kecepatan 4.500 x g selama 10 menit. Supernatan mengandung enzim protease atau amilase ekstraseluler ekstrak kasar. Enzim ini selanjutnya digunakan untuk analisis dalam penelitian ini.
Pengukuran Aktivitas Protease. Aktivitas protease diukur berdasarkan metode Walter (1984) dengan modifikasi pada bufer yang digunakan. Tiga tabung reaksi disediakan untuk pengujian yang terdiri atas blanko, standar dan contoh. Kedalam setiap tabung dimasukkan substrat yang berupa 0.5 mL kasein 1%, kemudian 0.5 mL 0.01 M bufer Tris-HCl pH 7.5. Untuk sampel ditambahkan 0.1 mL ekstrak kasar enzim protease, blanko diisi dengan 0.1 mL aquades, sedangkan standar diisi dengan 0.1 mL tirosin 0.37 mmol L-1. Campuran dikocok sampai homogen lalu diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 1 mL asam trikloro asetat (TCA) 10%. Untuk standar enzim ditambahkan setelah pemberian TCA. Campuran diinkubasi 10 menit pada lemari pendingin, kemudian disentrifus dengan kecepatan 8600 x g selama 10 menit. Endapan dibuang sedangkan supernatan ditambahkan 2.5 mL Na 2 .CO 3 (0.4 M) dan 0.5 mL pereaksi Folin Cicalteau (1:2) dan dikocok kuat. Setelah didiamkan 20 menit setiap perlakuan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 578 nm (Lampiran 1). Satu unit aktivitas enzim adalah jumlah enzim yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 μmol tirosin per menit pada kondisi pengukuran, sedangkan aktivitas spesifik adalah unit aktivitas enzim dibagi dengan konsentrasi protein yang dikandung oleh enzim tersebut. Kadar protein protease ditentukan dengan metode
25
Bradford (1976) dengan menggunakan bovin serum albumin (BSA) sebagai protein standar pada kisaran 0.01-0.1 mg mL-1.
Pengukuran Aktivitas Amilase. Aktivitas amilase diukur menurut metode Bernfeld (1955). Campuran 1 mL enzim dalam substrat berupa 1 mL 1% pati terlarut dari kentang (Sigma) yang dilarutkan dalam bufer Tris-HCl 0.05 M, pH 7.5 diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit kemudian ditambahkan 2 mL reagen asam 3,5-dinitrosalisilat (DNS) untuk mendeteksi gula pereduksi. Kontrol dibuat dengan menggunakan komposisi yang sama tetapi enzim ditambahkan setelah pemberian DNS. Sampel dan kontrol dididihkan selama 5 menit untuk menghentikan reaksi, lalu didinginkan selama 15 menit dalam air. Gula pereduksi yang dihasilkan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm (Lampiran 2). Aktivitas enzim didapatkan dengan mengukur kosentrasi maltosa reaksi dengan persamaan regresi linear dari kurva standar maltosa. Standar maltosa digunakan pada kisaran 0-500 ppm dengan selang konsentrasi 100 ppm. Satu unit aktivitas amilase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang reaksinya menghasilkan produk setara dengan 1 µmol maltosa per menit pada kondisi pengukuran.
Karakterisasi Protease dan Amilase Isolat Terpilih Pengaruh pH dan Salinitas terhadap Aktivitas Protease dan Amilase. Pengukuran aktivitas protease ekstrak kasar dilakukan dengan metoda yang sama dengan yang sebelumnya kecuali reaksi enzim dikondisikan pada kisaran pH 6, 7, 8 dan 9 dari hasil pengkulturan bakteri pada rentangan pH yang sama. Pengaturan pH dilakukan dengan menggunakan 0.01M bufer sitrat fosfat untuk pH 6 dan 0.01M Tris-HCl untuk pH 7, 8 dan 9. Pengaruh salintas terhadap aktivitas enzim protease dilihat dengan mengkondisikan rekasi enzim pada salinitas 1.5, 2.5 dan 3.5% dengan penambahan NaCl pada larutan untuk melarutkan substrat, untuk salinitas 0 hanya akuades digunakan sebagai pelarut. Enzim diproduksi dari kultur bakteri pada media SF 1.2% dalam campuran air laut dan aquades dengan salinitas 1.5 , 2.5, dan 3.5%. Uji pengaruh pH dan salinitas terhadap aktivitas amilase, menggunakan kondisi uji yang sama dengan yang untuk protease.
26
Stabilitas Protease dan Amilase. Stabilitas enzim diuji pada pH dan salinitas optimum enzim serta pada kondisi umum tambak. Untuk protease pH yang diujikan adalah pH 8 dan salinitas 0% (kondisi optimum) dan pH 8, salinitas 2.5% (kondisi umum tambak). Untuk amilase kondisi yang di ujikan adalah pH 6, salinitas 1.5% (kondisi optimum enzim) dan pH 8, salinitas 2.5% (kondisi umum tambak). Untuk uji pengaruh pH dilakukan dengan menginkubasi enzim ekstrak kasar dalam bufer dan salinitas yang sesuai pada perioda waktu tertentu (6 jam) atau sampai aktivitas enzim turun 50% atau lebih besar dari aktivitas tertinggi. Sampel enzim diukur tiap 1 jam. Untuk protease dan amilase pH 8,0 digunakan bufer Tris-HCl 0.01M, sedangkan untuk amilase pH 6.0 digunakan bufer sitrat fosfat 0.05M. Pengukuran aktivitas enzim dilakukan dengan cara yang sama dengan yang sebelumnya.
Penentuan Bobot Molekul (BM) Protease dan Amilase. Bobot molekul protein enzim protease dan amilase ekstrak kasar dari isolat Bacillus terpilih ditentukan
dengan
teknik
SDS-PAGE
(denaturing)
dan
Native-PAGE
(nondenaturing) dari Bollag dan Edelstein (1991) dan zimografi dengan metoda dari Lacks & Springhorn (1980) dan Martinez et al. (2000). Untuk elektroforesis digunakan gel poliakrilamid dengan konsentrasi 8%-10% gel pemisah dan 5% gel penahan menggunakan piranti Mini Protean II (Bio-Rad, USA). Standar massa molekul relatif protein yang digunakan berkisaran pendek (low molecular weight, LMW) protein (Amersham-Bioscience). Pita protein terlihat jelas dengan melakukan pewarnaan terhadap gel hasil elektroforesis menggunakan coomassie brilliant blue (CBB) R-250 atau perak nitrat. Voltase listrik yang digunakan untuk elektroforesis ialah 65-75 volt selama 3.5-4 jam pada suhu ruang. Zimografi dilakukan untuk melihat aktivitas enzim in situ pada gel yang dikopolimerisasi dengan substrat enzim. Protein yang terdenaturasi dengan adanya 10% SDS pada bufer sampel, direnaturasi dan diinkubasi untuk mengembalikan aktivitasnya. Metode zimogram protease dimodifikasi dari Lacks & Springhorn (1988). Persiapan gel sama dengan SDS-PAGE kecuali gel ditambahkan dengan 0.1% kasein
(Amersham-Bioscience) untuk protease dan 0.1% pati (soluble
starch, Merck) untuk amilase. Selain itu dilakukan juga penurunan konsentrasi substrat enzim yang dicampurkan dari 0.1% menjadi 0.025%. Pati yang digunakan
27
sebagai substrat sebelum digunakan dipanaskan pada 100 0C selama 10 menit untuk parsial hidrolisis, kemudian didinginkan. Elektroforesis dilakukan pada 2 tingkatan voltase, pertama pada voltase 30 volt, setelah 30 menit atau setelah protein terkumpul pada sumur gel, voltase ditingkatkan menjadi 100 volt (Martinez et al. 2000). Proses dilakukan di ruang berpendingin (± 4 0C) selama 3 jam. Setelah elektroforesis gel dilepas dari cetakan dan di ukur jarak migrasi pita. Gel pada bagian marker dipisah dari gel sampel protein. Gel sampel direndam dalam larutan 2.5% triton-X100 untuk renaturasi selama 2.5 jam dan ada modifikasi dengan memperpanjang proses ini sampai 24 jam. Kemudian gel diinkubasi pada bufer Tris-HCl 0.01M, pH 7.5 pada kondisi optimum untuk reaksi enzim selama 30 menit sampai dengan 24 jam. Setelah itu untuk protease, gel direndam dengan larutan TCA 10% untuk menghentikan reaksi enzim, kemudian dibilas dengan air bebas ion dan diwarnai dengan larutan coomasie blue (CBB R-250) selama 10-15 menit kemudian dicuci dengan larutan peluntur semalam. Larutan peluntur diganti beberapakali sampai pita bening jelas terlihat dengan latar belakang biru tua sebagai tanda adanya aktivitas protease. Untuk deteksi aktivitas amilase, setelah reaksi enzim berlangsung 10 menit pada larutan bufer, gel diwarnai dengan larutan iodium Gram (15 gL-1 kalium iodida dan 15 gL-1 iodium) sambil digoyang pelan sampai terlihat pita bening dengan latar belakang coklat tua sebagai adanya aktivitas amilase, selanjutnya dibilas dengan air bebas ion.
Identifikasi Isolat Terpilih Ciri-ciri Morfologi dan Fisiologi. Morfologi bakteri diamati dengan pengamatan koloni pada media padat, pewarnaan Gram dan spora
(metode
Schaeffer-Fulton). Karakter fisiologis diuji dengan menggunakan kit Microgen™ GN-ID Identification (Microgen Bioproduct, UK), dan uji pelengkap menurut Bergeys Mannual of Determinative Bacteriology (Holt et al. 1994). Identifikasi Berdasarkan Sekuen Gen Penyandi 16S-rRNA. Ekstraksi DNA dilakukan menurut metode Murray Thompson (Cetyl Trimethyl Ammonium bromide, CTAB) (Sambrook & Russel 2001). Kultur bakteri dari hasil pengkulturan selama
28
18 jam (fase log) pada media Luria Bertani (LB) dengan penggoyangan berkecepatan 120 rpm, dimasukkan ke tabung mikro, disentrifus dengan kecepatan 6000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang, pelet dicuci dengan 760 µl 10 mM bufer tris-EDTA (TE 1X), diresuspensi, kemudian ditambahkan 16 µL lisozim, di inkubasi selama 30 menit sambil dibolak- balik setiap 15 menit. Setelah itu sampel ditambahkan dengan 40 µl 10% SDS dan 8 µl proteinase-K (10 mg mL-1), kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 37 0C dan dibolak balik setiap 15 menit. Kemudian sampel ditambahkan dengan 100 µL CTAB pada suhu 65 0C, dibolak-balik dan diinkubasi pada suhu 65 0C selama 20 menit. Selanjutnya ke dalam sampel ditambahkan 0.5 ml chloroform:isoamilalkohol (CI) 24:1, dibolak-balik kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Bagian fase cair dipindahkan ke tabung mikro baru kemudian ditambahkan dengan 0.6 mL isopropanol dingin dan dibolak-balik hingga nampak benang-benang DNA, kmudian dibiarkan selama 20 menit pada suhu ruang. Setelah itu dilakukan sentrifus selama 10 menit pada kecepatan 5000 rpm. Supernatan dibuang dan pelet ditambahkan 0.5 µL 70 % etanol dingin kemudian disentrifus 5 menit pada 5000 rpm. Etanol dibuang dan pelet DNA dikering anginkan pada suhu ruang. Kemudian pelet DNA diresuspensi dengan 25 µL ddH 2 O steril selanjutnya disimpan di lemari pembeku pada suhu -20 0C. Amplifikasi gen 16S-rRNA menggunakan mesin Polymerase Chain Reaction (PCR) (Gene Amp PCR system 2400, Perkin Elmer, Biosystem, USA) dengan primer universal spesifik untuk bakteri (Research Biolab, Singapore) yaitu 63f (5’-CAG GCC TAA CAC ATG CAA GTC-3’) dan 1387r (5’-GGG CGG WGT GTA CAA GGC-3’) (Marchesi et al. 1998). Sejumlah 25 µl master mix dimasukan ke dalam tabung mikro baru yang terdiri atas 15.5 µL ddH 2 O 2.5 µL 10x bufer, 1 µL 10 mM dNTP, masingmasing 1.25 µL primer 63f, dan 1387r, 0.5 µL Taq Pol dan 3 µL DNA template dimasukkan ke mesin PCR. Kondisi PCR adalah: pre PCR (94 0C, 2 menit), denaturasi (92 0C, 30 detik), elongasi (75 0C, 1 menit) dan post PCR (75 0C, 5 menit) dengan jumlah siklus 30. Hasil amplifikasi gen diverifikasi dengan elektroforesis menggunakan gel agarose 0.7% dengan penanda DNA 1 kb lader (Promega, USA). Amplikon DNA gen 16S-rRNA akan muncul pada posisi 1.3 kb. Sampel kemudian dimurnikan (Promega, USA), untuk selanjutnya disekuen dengan DNA sequencer (ABI
29
Prism 3100-Avant
Genetic Analyzer, Applied Biosystem, USA) di PT. Charoen
Pokphand Tbk, Jakarta Data sekuen di bandingkan dengan data di GenBank dari database
The
National
Center
for
Biotechnology
Information
(NCBI)
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov), menggunakan program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) untuk mengetahui kemiripan spesies isolat uji dengan spesies Bacillus lainnya. Analisis kekerabatan (filogenetika) dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan multiple sequence alligment dengan program ClustalW dari European Biotechnology Information (EBI) (www.ebi.ac.uk/clustalw) kemudian data digunakan untuk pembuatan pohon filogenetik dengan program TreeCon (Van de Peer & Watcher 1997). Identifikasi molekuler sekuen gen 16S rRNA pada tahap terakhir dari rangkaian penelitian ini (Gambar 3).
Isolasi dan penapisan & pemilihan isolat Karakterisasi dan identifikasi isolat Identifikasi molekuler (Sekuen gen16S rRNA) (1 isolat)
Uji fisiologi
Uji aktivitas protease dan amilase
Karakterisasi Enzim pH salinitas stabilitas pH stabilitas salinitas
Uji TSS
Analisis protein (Elektroforesis) SDS-PAGE Native-PAGE Zimografi
Gambar 3 Diagram alir tahapan kerja penelitian.
31
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Penapisan Bacillus Proteolitik dan Amilolitik Sebanyak 71 isolat proteolitik dan atau amilolitik diperoleh dari sampel tanah, sedimen, air dan saluran pencernaan udang dari beberapa tambak udang di daerah Karawang, Jawa Barat (Tabel 4-7). Penapisan Bacillus dilakukan dengan cara memanaskan sampel dalam larutan garam fisiologis pada suhu 80 0C selama 15 menit. Metode ini sudah menjadi cara yang umum dilakukan untuk menyeleksi Bacillus dari sampel alam, karena bakteri ini merupakan bakteri penghasil endospora. Endospora akan tahan suhu pemanasan ini dan lebih dari 90% bakteri yang tertapis ialah kelompok Bacillus (Corbin 2005). Bakteri ini memiliki ciri-ciri koloni yang spesifik seperti permukaan yang berpati (starchy), umumnya berwarna krem keputihan atau kekuningan jika ditumbuhkan pada media padat. Bacillus dari tambak udang diperkirakan termasuk kepada kelompok bakteri mesofilik. Suhu perairan tambak udang berkisar antara 26-32 0C (DKP 2007). Isolat-isolat yang dipilih ialah yang memiliki kedua jenis enzim yaitu protease dan amilase karena diharapkan efektif dalam penguraian protein sekaligus karbohidrat yang menjadi kandungan utama pakan udang. Tujuan tersebut dicapai dengan pengujian isolat secara silang. Isolat yang menghasilkan zona bening di media pertumbuhan yang mengandung susu skim berarti termasuk isolat poteolitik. Kemudian isolat tersebut ditumbuhkan pada media yang mengandung pati terlarut, jika terbentuk zona bening di sekitar koloni mengindikasikan isolat tersebut memiliki aktivitas amilolitik (Gambar 3), dengan demikian isolat tersebut memiliki aktivitas proteolitik dan amilolitik. Isolat yang memiliki aktivitas amilolitik dilanjutkan dengan pengujian pada media pertumbuhan yang mengandung susu skim. Penapisan awal isolat penghasil enzim potensial dilakukan dengan produksi enzim secara kualitatif berdasarkan luas daerah zona bening yang dihasilkan isolat ketika di tanam pada media padat yang berisi substrat yang sesuai dengan enzim (Cordeiro et al. 2002, Aygan et al. 2008).
32
Isolasi isolat-isolat dari setiap sampel diperoleh hasil sebagai berikut: dari tanah diperoleh 8 isolat proteolitik yang memiliki aktivitas dan amilolitik dan 10 isolat amilolitik yang memiliki aktivitas proteolitik (Tabel 4, A dan B). Indeks proteolitik (IP) isolat-isolat tersebut berkisar antara 0.9-5.9, sedangkan indeks amilolitikya (IA) 0.4-4.6. Tanah berasal dari sekitar pinggiran tambak udang.
B
A
B
1 2
1.8 cm
3
11.8cm
Gambar 3 A) Zona proteolitik pada media SWC- milk 1%, (1) dan (3) isolat DA 5.2.3, (2) isolat KAs 7.1.2 B) zona amilolitik pada media SWC-starch 1%, (1) isolat DP 5.1.2 (2) dan (3) isolat DP 2.1.1.
Tabel 4 Isolat-isolat yang diisolasi dari tanah di sekitar tambak udang. (A) Isolat proteolitik yang memiliki aktivitas amilolitik dan (B) isolat amilolitik yang memiliki aktivitas proteolitik A B Kode Isolat
IP
IA
No
1
Kode Sampel KT2
Kode Isolat
IA
IP
1
Kode Sampel KT1
KPt 2.1
1.2
2.6
L6
3.6
(-)
2
KT2
KPt 2.2
1.9
2.2
2
KT2
KAt 2.2
2.0
(-)
3
KT3
KPt 3.1
2.9
1.5
3
KT4
KAt 4.1
0.7
2.7
4
KT3
KPt 3.2
1.5
1.7
4
KT4
KAt 4.2
1.1
2.5
5
KT1
L1
1.6
0.5
5
KT5
KAt 5.1
3.0
5.3
6
KT1
L2
3.0
_
6
KT5
KAt 5.2
0.4
0.2
7
KT1
L3
2.7
2.5
7
KT6
KAt 6.1
1.4
4.8
8
KT5
L4
0.5
3.6
8
KT6
KAt 6.2a
1.6
2.0
9
KT5
L5
3.7
2.5
9
KT6
KAt 6.2b
2.3
5.9
10
KT6
KAt 6.3
4.2
1.4
11
KT1
KAt X
2.4
1.7
12
KT1
KAt Y
1.0
3.3
No
Keterangan: K : Karawang A : Amilase
T/t : Tanah IP/A : Indeks proteolitik/amilolitik
33
Dua puluh lima isolat yang menghasilkan protease dan amilase diperoleh dari sedimen (Tabel 5 A dan B). IP dari isolat-isolat ini berkisar antara 0.5-6.2, sedangkan IAnya berkisar antara 0.2-6.2. Dari sampel air diperoleh 11 isolat yang memiliki aktivitas proteolitik maupun amilolitik dengan kisaran IP antara 0.5-2.6 dan IA antara 1-3.8 (Tabel 6, A dan B). Saluran pencernaan udang P. vannamei menyumbangkan 14 isolat, 9 diantaranya memiliki aktivitas proteolitik dan amilolitik dengan kisaran IP antara 1.0-7.8 sedangkan IAnya berkisar antara 0.4-6.8 (Tabel 7, A dan B). Tabel 5 Isolat-isolat yang diisolasi dari sedimen tambak udang. (A) Isolat proteolitik yang memiliki aktivitas amilolitik dan (B) isolat-isolat amilolitik yang memiliki aktivitas proteolitik A
B Kode Isolat
IP
IA
No
1
Kode Sampel KS7
Kode Isolat
IA
IP
1
Kode Sampel KS7
KPs7.1.1
6.2
1.5
KAs 7.1.1
7.3
1.3
2
KS7
KPs7.1.2b
5.6
3.0
2
KS7
KAs 7.1.2
6.2
3.4
3
KS7
KPs 7.3.1
2.4
2.4
3
KS7
KAs 7.1.3
2.5
1.9
4
KS7
KPs 7.1.5b
4.1
1.8
4
KS7
KAs 7.1.4
0.2
4.1
5
KS8
KPs 8.2.1
1.3
2.7
5
KS7
KAs 7.1.5b
1.7
2.5
6
KS8
KPs 8.2.2
0.9
1.6
6
KS7
KAs 7.3.1
2.4
2.9
7
KS8
KPs 8.2.3
0.5
1.3
7
KS9
KAs 9.3
1.5
2.2
8
KS8
KPs 8.2.4
0.6
1.9
8
KS10
KAs 10.3.1a
3.5
0.8
9
KS8
KPs 8.3.1
1.0
4.5
9
KS10
KAs 10.3.1b
0.8
2.4
10
KS8
KPs 8.3.2
2.9
1.5
11
KS8
KPs 8.3.3
1.6
1.5
12
KS8
KPs 8.3.4
3.1
1.6
13
KS8
KPs 8.3.5
2.3
1.7
14
KS9
KPs 9.3.1
0.8
2.2
15
KS10
KPs 10.1.1
2.0
2.1
16
KS10
KPs 10.1.2
2.0
1.2
No
Keterangan; K : Karawang A : Amilase
S/s : Sedimen IP/IA : Indeks proteolitik/ amilolitik
34
Tabel 6 Isolat- isolat yang diisolasi dari air tambak udang. (A) Isolat proteolitik memiliki aktivitas amilolitik dan (B) isolat amilolitik yang memiliki aktivitas proteolitik A B No
Kode
Kode
Sampel
Isolat
IP
No
IA
1
KA2
KPa 2.1
0.5
1.6
2
KA3
KPa3.1.2
1.2
1.0
3
KA4
KPa 4.1
1.2
1.8
4
KA4
KPa 4.2
2.6
1.9
Keterangan; K : Karawang a : Air
A IP/A
Kode Isolat
IP
IA
1
Kode Sampel KA1
KAa1.1
2.2
2.3
2
KA3
KAa3.1
2.0
2.2
3
KA3
KAa3.2
2.1
2.6
4
KA4
KAa 4.1
2.6
2.4
5
KA4
KAa 4.2
1.4
2.4
6
KA5
KAa 5.1
2.8
1.4
7
KA5
KAa 5.3
3.8
1.0
: Amilase : Indeks proteolitik/amilolitik
Tabel 7 Isolat-isolat yang diisolasi dari saluran pencernaan udang P. vannamei. (A) Isolat proteolitik yang memiliki aktivitas amilolitik dan (B) isolat amilolitik yang memiliki aktivitas proteolitik A B No
Kode Isolat
IP
IA
No
1
Kode Sampel UD1
Kode Isolat
IA
IP
1
Kode Sampel UD1
UP 1.1.1
1.7
(-)
UA 1.2.1
3.5
(-)
2
UD2
DP 2.1.3
1.0
1.2
2
UD1
UA 1.2.2
1.3
(-)
3
UD2
DP 2.1.1
2.1
2.8
3
UD2
DA 2.2.1
2.6
7.8
4
UD2
UP 2.1.2
2.5
0.4
4
UD2
DA 2.1.1
2.2
2.9
5
UD3
DP 3.2.1
2.2
(-)
5
UD2
DA 2.2.3
0.8
(-)
6
UD5
DP 5.1.1
3.2
5.0
6
UD5
DA 5.2.2
5.8
1.8
7
UD5
DP 5.1.2
3.0
3.8
7
UD5
DA 5.2.3
6.8
3.7
Keterangan; UD : Udang IP/A : Indeks proteolitik/amilolitik
A : Amilase P : Proteolitik
Pada penelitian ini diperoleh 9 isolat yang memiliki indeks proteolitik dan amilolitik tertinggi yaitu ≥ 2.5 (Tabel 8) yang berpotensi sebagai produser enzim protease dan amilase. Tiga dari 21 isolat yang diperoleh tanah memiliki indek hidrolisis ≥2.5 yang terdiri atas isolat L3, L5 dan KAt 5.1, sedangkan dari sedimen didapatkan 3 dari 25 isolat yang menghasilkan zona hidrolisis ≥2.5 yaitu isolat KPs 7.1.2b, KPs 9.3.2 dan KAs 7.1.2. Sampel air tidak memiliki isolat yang memiliki indeks hidrolisis ≥2.5 dari, sementara itu dari saluran pencernaan udang
35
diperoleh 14 isolat, 4 diantaranya memiliki indeks hidrolisis ≥ 2.5 yaitu DP 5.1.1, DP 5.1.2, DA 2.2.1 dan DA 5.2.3. Isolat-isolat yang memiliki indeks hidrolisis yang ≥2.5 akan diuji lanjut (Tabel 8). Lim & Rahim (1987), Wang et al. (2007), dan Dajanta (2009) menyeleksi isolat penghasil enzim potensial berdasarkan indeks aktivitas yang tertinggi dari isolat yang didapatkan. Isolat yang menghasilkan diameter zona bening dua kali diameter koloni merupakan produser enzim yang potensial (Ochoa-Solano & Olmos-Soto 2006).
Tabel 8 Isolat-isolat Bacillus yang memiliki indeks proteolitik dan amilolitik ≥ 2.5 Kode Isolat
Indeks Proteolitik
L3 L5 KAt 5.1 KPs 7.1.2b KAs 7.1.2 DP 5.1.1 DP 5.1.2 DA 2.2.1 DA 5.2.3
2.7 3.7 3.0 5.6 6.2 3.2 3.0 2.6 6.8
Indeks Amilolitik 2.5 3.5 5.3 3.0 3.4 5.0 3.8 7.8 3.7
Isolat asal usus udang umumnya memiliki IP dan IA yang lebih tinggi daripada isolat asal area tambak udang lainnya. Hal ini diduga karena bakteri yang hidup di usus merupakan bakteri yang menang berkompetisi dengan bakteri lainnya, yang dapat didukung oleh kemampuan menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler dengan aktivitas yang tinggi karena adanya konsentrasi nutrisi yang tinggi pada usus. Lee et al. (2000) menyatakan salah satu kompetensi probiotik yang diperlukan adalah kemampuan untuk melekat pada mukosa usus. Saha et al. (2006)
menegaskan bahwa lingkungan saluran pencernaan ikan merupakan
lingkungan pertumbuhan yang lebih menguntungkan bagi mikroorganisme dibandingkan dengan air di sekitarnya, karena kaya akan nutrisi. Simbiosis yang menguntungkan secara enzimatis dari mikrob pencernaan sudah dilaporkan pada ikan lepas pantai di Jepang (Hoshino et al. 1997) dan ikan air tawar (Bairagi et al 2002; Ray et al 2007). Essakiraj et al. (2008) mendapatkan aktivitas protease yang lebih tinggi dari Bacillus cereus yang diisolasi dari usus
36
ikan dibandingkan dengan sumber lainnya. Denkin & Nelson (1999) melaporkan bahwa mukus pencernaan ikan salmon menginduksi aktivitas protease Vibrio anguilarum. Isolat proteolitik dan amilolitik ditemukan pada semua jenis sampel di area tambak udang tetapi tidak pada semua sampel yang diambil. Jika dilihat dari sumber isolat, isolat proteolitik dan amilolitik paling banyak ditemukan pada sedimen (35%) sedangkan yang paling sedikit ditemukan di air (15%) (Tabel 9). Tanah ialah tempat kedua terbanyak ditemukannya Bacillus proteolitik dan amilolitik (30%). Jumlah isolat yang didapatkan dari saluran pencernaan udang (19%) tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan di air (15%). Tabel 9 Rekapitulasi jumlah isolat dan aktivitas enzim yang dimiliki dari setiap sampel yang diisolasi dari tambak udang di Karawang, Jawa Barat Sumber Isolat
Total Isolat
Jumlah Isolat Proteolitik & milolitik
Tanah Sedimen Air Saluran pencernaan udang Total
Proteolitik
Amilolitik
Persentase jumlah Isolat
21 25 11
18 (86%) 25 (100%) 11 (100%)
1 (5%) 0 (0%) 0 (0%)
2 (10%) 0 (0%) 0 (0%)
30% 35% 15%
14
10 (71%)
1 (5%)
3 (15%)
20%
71
64 (90%)
3 (4%)
5 (7%)
100%
Sebahagian besar dari isolat yang terseleksi (89%) memiliki kedua aktivitas proteolitik dan amilolitik, hanya 4% yang memiliki aktivitas proteolitik dan 7% yang memiliki aktivitas amilolitik. Pada air dan sedimen bahkan didapatkan 100% isolat proteolitik dan amilolitik. Hal ini sangat dibutuhkan untuk bakteri yang akan diaplikasikan untuk degradasi sisa pakan diperairan tambak udang mengingat protein dan karbohidrat adalah kandungan utama dari pakan udang (Craig 2002). Pada penelitian ini, sedimen merupakan sumber Bacillus yang paling dominan dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal ini dapat disebabkan banyaknya nutrisi dari sisa pakan yang terakumulasi pada sedimen. Meskipun sedimen memiliki kandungan oksigen yang lebih rendah dari permukaan air, namun Bacillus spp. umumnya memiliki sifat anaerobik fakultatif. Tanah juga
37
merupakan sumber Bacillus yang penting. Tanah di sekitar tambak udang diperkirakan menjadi tempat berdiamnya endospora sebagai bentuk dormansi Bacillus spp. Bakteri ini bahkan dikatakan sebagai mikrob normal tanah (Slepecky & Hemphill 1992). Pada lingkungan perairan terdapat hubungan langsung antara air dengan mikrob yang hidup di dalam usus udang sehingga mikrob yang ada di air dapat tertelan atau terminum oleh udang melalui air. Sebahagian bakteri dapat bertahan di usus sedangkan yang lainnya terbilas keluar dari tubuh udang. Moss (1995) menyatakan mikrob yang berasosiasi dengan hewan akuatik selalu berhubungan dengan air dan lingkungan sekitarnya. Air yang masuk ke saluran pencernaan secara terus menerus membilas dan membawa spesies-spesies dari luar. Characklis & Marshall (1990) menyatakan air sebagai tempat transit bakteri, sebelum melekat ke suatu permukaan padat dalam sistim perairan. Pengujian hidrolisis protein dan karbohidrat secara langsung oleh isolatisolat yang diperoleh pada media pakan udang memperlihatkan bahwa aktivitas amilolitik dapat terdeteksi tetapi aktivitas proteolitik tidak terlihat. Hal ini dapat disebabkan pada uji zona bening aktivitas amilase dipakai Gram iodin sebagai bahan pengikat pati pada media sehingga jelas dapat dibedakan antara zona bening yang terbentuk dengan area yang masih tersisa patinya. Pada pengamatan zona bening aktivitas protease tidak dipakai pewarna sehingga sulit dibedakan antara zona hidrolisis dengan media, yang terlihat hampir bening. Zona hidrolisis pada media pakan udang umumnya lebih kecil dibandingkan dengan pada media pati terlarut (Tabel 10). Pakan udang merupakan substrat komplek yang bercampur dengan bahan lainnya seperti lemak, vitamin, dan mineral, oleh sebab itu lebih sukar dihidrolisis oleh enzim dibandingkan dengan pati terlarut (Merck) yang merupakan bahan murni. Ciri-ciri umum dari isolat yang ditemukan ialah koloni umumnya berwarna krem keputihan atau krem kekuningan. Elevasi koloni rata atau sedikit cembung, pinggiran yang rata dapat menjadi bergelombang atau tidak beraturan ketika umur sel bertambah (Gambar 4). Koloni muda dapat berbentuk bulat, atau tidak beraturan dengan permukaan licin pada koloni umur 24-48 jam, tetapi menjadi kering, berpati (starchy) dan berkerut pada usia koloni yang lebih tua. Ciri-ciri ini merupakan ciri khas koloni kelompok Bacillus (Corbin 2005).
38
Tabel 10 Indeks amilolitik sepuluh Bacillus terpilih pada media pakan udang (SF) dan SWC-pati Isolat
Indeks Amilolitik SF 1% SWC-pati 1% 0.2 2.5 2.6 2.5 1.2 5.0 1.9 3.0 1.1 1.5 2.4 3.5 2.7 4.2 3.1 3.8 1.6 2.6 2.9 6.8
L3 L5 KAt 5.1 KPs 7.1.2b KPs 7.1.1 KAs 7.1.2 UP 5.1.1 UP 5.1.2 DA 2.2.1 DA 5.2.3
A
1 cm
B
1 cm
1 cm
C
1.4 cm
Gambar 4 Morfologi koloni kelompok Bacillus yang diisolasi dari tambak dan saluran pencernaan udang A) isolat DP 5.1.2, B) isolat KAs 7.1.2 C) isolat KAt 5.1. Pertumbuhan Isolat Semua isolat terpilih mampu tumbuh pada media pakan udang yang terdiri atas 41.6% protein dan 27% karbohidrat (hasil uji proksimat). Pola pertumbuhan semua isolat secara umum hampir sama dimana fase log terjadi sebelum 24 jam, dengan peningkatan jumlah sel sekitar 105 sampai 107 CFU mL-1, kemudian pertumbuhan memasuki fase awal stasioner sampai 24 jam berikutnya (jam ke48) dengan kenaikan jumlah sel hanya sekitar 10-102 CFU mL-1 (Gambar 5, Lampiran 3), tetapi masing-masing isolat memiliki angka pertumbuhan yang berbeda. Pada 24 jam pertama jumlah sel tertinggi didapatkan pada isolat L5, L3, DA 5.2.3, DP 5.1.1, DA 2.2.1 dan KAt 7.1.2 yang mengalami kenaikan jumlah sel sekitar 107 CFU mL-1 sedangkan isolat lainnya pada 24 jam pertama hanya mengalami kenaikan sekitar 104-105 CFU mL-1.
39
Gambar 5 Pertumbuhan isolat-isolat terseleksi pada media SF 1.2 %, pH 7.5, salinitas 2.5%, suhu ruang (±28 0C) dengan penggoyangan 120 rpm. Pakan udang mengandung nutrisi yang mendukung pertumbuhan Bacillus proteolitik dan amilolitik. Pakan yang digunakan pada penelitian ini mengandung protein 42% dan karbohidarat 27% (Hasil uji proksimat) dimana masing-masing merupakan sumber nitrogen dan karbon bagi mikrob untuk pertumbuhan seperti pembangun material sel dan sumber energi. Secara umum sumber protein pakan udang biasanya berupa tepung udang atau ikan, kedele, sedangkan sumber karbohidrat yang digunakan bervariasi seperti tepung gandum, pati kentang, tetapi pakan yang lebih tradisioal menggunakan dedak dan tapioka. Dersjant-Li (2002) menyatakan pakan udang mengandung 30-50% fish meal. Lin et al. (1998) membuktikan bahwa pati terlarut sebagai sumber karbon dan pepton sebagai sumber nitrogen yang paling baik untuk produksi amilase dari Bacillus sp. TS-23
Total Padatan Tersuspensi Persentase penurunan TSS dari kultur cair Bacillus spp. terseleksi pada media pakan udang selama 96 jam terhadap perlakuan kontrol, paling tinggi didapatkan dari isolat L5 sebesar 37% diikuti oleh isolat DA 5.2.3 sebesar 29% dan di urutan ketiga ditemukan pada isolat DP 5.1.1 sebanyak 28% (Tabel 11). Dua isolat pertama juga memiliki kecepatan pertumbuhan yang relatif cepat yaitu memiliki kenaikan jumlah sel sekitar 107 CFU mL-1 dalam waktu 48 jam dengan
40
IP dan IA yang relatif tinggi. Oleh sebab itu kedua isolat ini digunakan untuk penelitian lanjutan. Kemampuan isolat dalam menurunkan padatan tersuspensi organik didukung oleh kemampuan isolat dalam menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler yang digunakan untuk memecah senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawasenyawa sederhana. Enzim ekstraseluler Bacillus sangat efisien dalam memecah berbagai senyawa karbohidrat, lipid dan protein rantai panjang menjadi unit-unit rantai pendek atau senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Sonenschein et al. 1993). Penurunan TSS tertinggi sekitar 37% diperoleh dari isolat L5 dan 29% dari isolat DA 5.2.3. Angka ini cukup signifikan dalam menurunkan sisa pakan udang yang merupakan kandungan terbesar dari padatan tersuspensi di perairan tambak. Padatan tesuspensi pada penelitian ini berkisar 1640-2440 mg L-1 yang keseluruhan berasal dari pakan udang. Nilai ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan TSS pada sistem akuakultur intensif di Thailand Selatan yang memiliki TSS 72-116 mg L-1 pada bulan pertama dan meningkat menjadi 98-183 mg L-1 pada bulan kedua produksi (Funge-Smith 2000). Pada air buangan peternakan udang di Thailand didapatkan TSS yang lebih tinggi yaitu 461 mg L-1 (Dienberg & Kiattisimikul 1996). Walaupun TSS pada penelitian ini tidak mencerminkan kondisi TSS perairan tambak udang sebenarnya, namun kemampuan isolat DA 5.2.3 yang cukup tinggi dalam menurunkan TSS yang diujikan menunjukkan isolat ini mampu menurunkan TSS tambak udang yang sebenarnya lebih rendah. TSS yang tinggi akan menyebabkan kekeruhan pada air. Hal ini akan berdampak pada penurunan kualitas air seperti turunnya DO atau naiknya BOD. Padatan tersuspensi organik yang berupa pakan udang dapat terakumulasi pada dasar tambak sehingga terjadi penebalan sedimen. Reduksi senyawa organik oleh mikrob pada kondisi anaerobik pada sedimen akan menghasilkan senyawasenyawa beracun seperti ammonia, nitrat, nitrit dan H 2 S (Rao & Karunasagar 2000). Penurunan TSS isolat L5 lebih besar dari isolat DA 5.2.3, meskipun aktivitas protease dan amilasenya lebih rendah. Hal ini dapat terjadi karena aktivitas enzim lebih ditentukan oleh substrat spesifik, dalam hal ini digunakan kasein untuk protease dan pati terlarut untuk amilase. Sebaliknya pengukuran TSS berdasarkan
41
jumlah partikel pakan tersuspensi di dalam larutan. Pada tahap ini pengukuran yang dilakukan terhadap hal yang berbeda. Aktivitas enzim diukur
Tabel 11 TSS dan persentase penurunan TSS isolat-isolat Bacillus terseleksi pada kultur cair pakan udang 1.2% yang diinkubasi 96 jam pada pH 7.5, salinitas 2.5%, di suhu ruang dengan penggoyangan 120 rpm Isolat
BK (g) (ks + filtrat)
Kontrol L5 DA 5.2.3 DP 5.1.1 KAt 5.1 DA 2.2.1 KPt 7.1.2b L3 KAt 7.1.2
0.157 0.132 0.138 0.137 0.139 0.141 0.141 0.146 0.15
BK(g)
Volume
TSS
(ks)
(mL)
(mg L-1)
0.092 0.091 0.092 0.09 0.091 0.092 0.091 0.09 0.092
25 25 25 25 25 25 25 25 25
2600 1640 1840 1880 1920 1960 2000 2240 2320
DP 5.2.1 0.152 0.091 25 Keterangan: BK = berat kering ks = kertas saring
Penurunan TSS (%) 0 37 29 28 26 25 23 14 11
2440 6 TSS = total suspended solid
berdasarkan jumlah produk (tirosin pada protease dan maltosa pada amilase) yang merupakan hasil penguraian substrat. Pada pengukuran TSS yang diamati ialah berat partikel pakan yang tersuspensi dalam air, dalam hal ini pakan udang yang terdiri atas campuran protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral.
Pengaruh Waktu terhadap Produksi Protease dan Amilase Bacillus sp. L5 dan DA 5.2.3 Aktivitas protease dan amilase ekstrak kasar Bacillus sp. L5 dan DA 5.2.3 diamati selama 96 jam yang diukur setiap 24 jam pada media SF 1.2%. Aktivitas maksimum amilase dicapai pada jam ke-24 sedangkan protease pada jam ke-48. Bila dihubungkan dengan pertumbuhan, aktivitas amilase maksimum diproduksi pada fase pertumbuhan logaritma sedangkan protease pada fase pertumbuhan awal stasioner. Selama pengamatan isolat DA 5.2.3 selalu memperlihatkan aktivitas protease yang lebih tinggi dari isolat L5 (Gambar 6, Lampiran 4). Aktivitas spesifik protease maksimum isolat DA 5.2.3 dicapai setelah 48 jam sebesar 40.9 U mg-1 sedangkan aktivitas spesifik maksimum protease isolat L5
42
dicapai pada waktu yang sama yaitu sebesar 25 U mg-1. Isolat DA 5.2.3 juga memiliki aktivitas spesifik amilase maksimum yang lebih tinggi daripada isolat L5 (Gambar 7, Lampiran 5) yaitu sebesar 47.3 U mg-1 sedangkan L5 hanya memiliki aktivitas spesifik sebesar 9.1 U mg-1 yang dicapai pada jam ke 24. Pada waktu pengukuran selanjutnya (72 dan 96 jam) aktivitas amilase terus menurun.
Gambar 6 Aktivitas spesifik protease isolat L5 dan DA 5.2.3 pada substrat kasein 1%, pH 7.5, salinitas 2.5%. Enzim diproduksi pada suhu ruang di di media SF 1.2% dengan penggoyangan 120 rpm. Bar; SE, n=2.
Gambar 7 Aktivitas spesifik amilase isolat L5 dan DA 5.2.3 pada substrat pati terlarut 1%, pH 7.5, salinitas 2.5%. Enzim diproduksi pada suhu ruang di media SF 1.2% dengan penggoyangan 120 rpm. Bar; SE, n = 2. Produksi protease ekstraseluler pada fase stasioner pertumbuhan merupakan karakteristik dari beberapa spesies bakteri.
Patel et al. (2006) melaporkan
produksi protease meningkat sejalan dengan pertumbuhan pada Bacillus sp. Po2 tetapi aktivitas maksimum dicapai pada awal fase pertumbuhan stasioner (264 U
43
ml-1) dan statis selama fase tersebut. Hasil yang sama juga didapatkan pada bakteri halofilik sedang Pseudoalteromonas, produksi protease optimum terdeteksi pada akhir fase eksponensial atau awal fase pertumbuhan stasioner (Sanchez-Porro et al. 2003) dan pada B. sphaericus (Sing et al. 2004). Hasil yang berbeda didapatkan pada amilase, aktivitas enzim maksimum dicapai pada fase pertumbuhan logaritma. Berdasarkan hasil yang diperoleh (Tabel 12) dari serangkaian uji yang telah dilakukan maka Bacillus sp. DA 5.2.3 memiliki karakter yang terindikasi lebih berpotensi untuk menjawab tujuan penelitian ini dibandingkan dengan isolat lainnya, oleh sebab itu isolat ini digunakan untuk uji lanjutan pada penelitian ini. Tabel 12 Respon Bacillus sp. DA 5.2.3 terhadap kriteria pengukuran secara in vitro Kriteria Indeks proteolitik Indeks amilolitik Laju pertumbuhan spesifik (µ) CFU jam-1 Penurunan total padatan tersuspensi (%) Aktivitas spesifik protease (U mg-1) Aktivitas spesifik amilase (U mg-1)
Nilai 3.6 6.8 0.09 29 40.9 47.3
Produksi Protease, Amilase dan Pertumbuhan Sel Bacillus sp. DA 5.2.3 Pengukuran aktivitas protease dan amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 dilakukan setiap 12 jam selama 96 jam. Aktivitas protease sudah terdeteksi pada jam ke-12 dengan aktivitas spesifik 3.7 U mg-1, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan aktivitas maksimum pada jam ke-48 sebesar 20.5 U mg-1. (Gambar 8, Lampiran 6). Aktivitas enzim ini meningkat sejalan dengan pertumbuhan sel dan mencapai maksimum ketika pertumbuhan mulai memasuki fase pertumbuhan stasioner, tetapi aktivitas enzim ini terus turun selama fase stasioner. Pada jam ke-60 didapatkan aktivitas tersisa sekitar 50%, dan titik terendah terjadi pada jam ke-72 dengan aktivitas tersisa 25%. Joshi et al. (2007) juga mendapatkan aktivitas maksimum protease B. cereus MTCC pada fase pertumbuhan stasioner dengan aktivitas sebesar 90 U mL-1 pada jam ke-24, yang ditumbuhkan pada media ekstrak khamir dan pepton. Aktivitas enzim ini terus naik ketika jumlah sel mengalami penurunan. Patel et al. (2006) mendapatkan aktivitas maksimum protease 264 U mL-1 dari Bacillus sp. Po2 halo-alkalifilik pada kombinasi media
44
produksi pepton dan ekstrak khamir selama fase pertumbuhan stasioner. Setelah itu aktivitas enzim ini statis. Waktu produksi optimum 48 jam untuk produksi protease dari B. cereus juga dilaporkan oleh Esakkiraj et al. (2007) dengan aktivitas sebesar 134 U ml-1 pada media produksi limbah tuna tanpa lemak dan tambahan galaktosa sebagai sumber karbon. Tetapi Nascimento dan Martin (2004) melaporkan aktivitas protease sebesar 1.93 U mg-1 dari Bacillus sp. SMIA2 pada media kultur mengandung pati dan ammonium nitrat
pada fase
pertumbuhan eksponensial dan selanjutnya aktivitas enzim ini turun.
Gambar 8 Produksi protease dan amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada interval waktu pertumbuhan yang berbeda. Isolat ditumbuhkan pada media cair pakan udang 1.2% selama 96 jam pada pH 7.5, salinitas 2.5% di suhu ruang pada pengoyangan 120 rpm. Berbeda halnya dengan protease, aktivitas amilase sudah terdeteksi sebesar 21.5 U mg-1 pada jam ke-12 dan mencapai aktivitas maksimum setelah 24 jam sebesar 23.5 U mg-1 ketika sel mengalami pertumbuhan logaritma. Ketika sel mencapai jumlah maksimum (fase logaritma akhir) pada jam ke- 36, aktivitas amilase mulai turun, kemudian stabil selama 24 jam sebelum turun secara signifikan pada jam ke-72 dengan nilai aktivitas spesifik 11.9 U mg-1. Pola waktu produksi amilase yang sama juga dilaporkan oleh Santos & Martin (2003), waktu produksi maksimum α-amilase dicapai antara 18-48 jam pada pada fase eksponensial (350 U mL-1) pada medium yang mengandung 1% pati terlarut dan 1% maltosa.
45
Aktivitas maksimum amilase Bacillus sp. DA 5.2.3
dicapai pada fase
pertumbuhan logaritma, hal ini dapat disebabkan oleh sel membutuhkan banyak energi untuk reproduksi. Karbohidrat dari pakan udang yang digunakan sebagai media pertumbuhan dapat menjadi sumber karbon yang baik bagi isolat ini untuk melalui katalisis pati oleh amilase menjadi gula-gula sederhana seperti maltosa dan glukosa yang digunakan pada proses katabolisme untuk menghasilkan energi. Secara umum karbohidrat pada pakan udang bervariasi seperti tepung jagung dan terigu (Craig 2002). Aktivitas amilase dari isolat DA 5.2.3 turun pada fase pertumbuhan stasioner, hal ini dapat terjadi karena produk katalisis yang dihasilkan sudah cukup tinggi sehingga menyebabkan terjadinya hambatan arus balik (feedback inhibition) terhadap kerja enzim (Lin et al. 1998). Faktor lain yang berpengaruh terhadap meurunnya aktivitas enzim ialah tidak tersedianya substrat yang cukup untuk reaksi enzim, perubahan faktor lingkungan seperti pH, ataupun akibat tidak terjadinya sintesis enzim oleh sel (Pelczar et al. 1993, Whitaker 1994). Cordeiro et al. (2002) mendapatkan aktivitas maksimum amilase Bacillus sp. SMIA-2 pada waktu 48 jam sebesar 57 U mL-1 pada fase akhir logaritma (awal stasioner) dalam medium basal yang ditambah dengan pati terlarut 0.5%. Tique et al. (1995) melaporkan fenomena yang berbeda dengan mendapatkan aktivitas amilase dari Bacillus sp. IMD 370 meningkat sejalan dengan pertumbuhan dan terus naik ketika biomasa sel mengalami penurunan (5.4 U mL-1). Perbedaan pola produksi dan aktivitas enzim baik protease maupun amilase antara Bacillus sp. DA 5.2.3 dengan laporan penelitian lainnya dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya jenis bakteri, jenis dan komposisi media yang menentukan sumber karbon dan nitrogen (Santos & Martin 2001), Devaraja et al. (2002), Esakkiraj (2007), kondisi pertumbuhan seperti pH dan suhu (Joshi et al 2007). Dari laporan sebelumnya produksi protease dan amilase umumnya dilakukan pada media defenitif (produksi pabrik) yang dioptimalisasi tetapi masih sedikit informasi tentang karakterisasi kedua enzim ini pada media
46
produksi komersial seperti pakan udang. Ada beberapa laporan yang memproduksi kedua enzim ini pada media pada media komplek seperti tepung kedele, tepung jagung dan terigu tapi penggunaan media dilakukan secara terpisah dan aktivitas enzim disajikan secara kualitatif.
Aktivitas Protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada Rentangan pH. Protease ekstrak kasar Bacillus sp. DA 5.2.3 aktif pada rentangan pH yang 6-9 tetapi pH optimumnya ialah pada kondisi alkali (pH 8) (Gambar 9, Lampiran 7). Pada pengujian ini kondisi salinitas dibuat tetap 2.5%. Aktivitas relatif protease turun sekitar 89%, 66% secara berturut-turut pada pH 6 dan 7, sedangkan pada pH 9 turun sebesar 78% dari aktivitas maksimumnya.
Gambar 9 Aktivitas relatif protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada rentangan pH 6-9, substrat kasein 1%, salinitas 2.5% di suhu ruang. Bar; SE, n=2. Data ini memperrlihatkan bahwa enzim ini aktif pada pH perairan tambak udang (sekitar 7.5-8.5), walaupun tidak maksimal untuk semua titik rentangan. Beberapa laporan juga menemukan pH 8 sebagai pH optimum aktivitas protease beberapa di antaranya Ghorbel et al. (2003) dari Bacillus cereus, Nascimento & Martins (2004) dari Bacillus sp. SMIA-2, dan Patel et al. (2006) dari Bacillus sp. Po2 (Tabel 13). Priest (1977) menjelaskan bahwa protease Bacillus terdiri atas protease serin, logam dan gabungan antara protease netral dan serin. Setyorini et al. (2006) menyatakan bahwa kebanyakan protease serin yang dihasilkan oleh Bacillus aktif pada kondisi alkali.
Tabel 13 Karakteristik enzim protease ekstraseluler yang dihasilkan oleh beberapa Bacillus spp. Enzim
Isolat
pH Optimum
Suhu Optimum
Salinitas Optimum
Aktivitas
150 kDa
40.9 U mg-1
Penelitian ini
0.322 U mg-1
Mubarik (2001)
6.2 U mg-1 1.0 U mg-1
Kim et al. (2001)
Bacillus sp. DA 5.2.3
8
-
Protease logam
Bacillus sp.GP04
6
70 0C
Protease logam netral (murni)
B. cereus KCTC 3674
8 6.5
70 0C 45 0C
-
36 kDa 38 kDa
Protease
Bacillus sp. SMIA-2
8
60 0C
-
-
Protease alkali (haloalkalifilik)
B. pseudofirmus
8
-
10 %
-
Protease halotoleran 1 Non alkali 2 Metalloprotease (murni)
B. subtilis FP-133
7.5 8
60 0C 45 0C
5% 5%
29 kDa 33 kDa
270 U mg-1 120 U mg-1
Setyorini et al. (2006)
Protease alkali
B. cereus MTTC 6840
9
20 0C
1-5%
-
120 U mL-1
Joshi et al. (2007)
Protease (ekstrak kasar)
1.5%
Referensi
BM
78 kDa 57 kDa 44 kDa
1.93 U mg-1 264 U mL-1
22 U mg
Nascimento & Martin (2003) Patel et al. (2006)
-1
Protease Alkali (murni parsial)
B. proteolyticus CFR 3001
9
37 0C
-
29 kDa
Protease Alkali
B. firmus 7728
9
40 0C
2%
-
215 U mL-1
Rao & Narasu (2007)
Protease
B. licheniformis Lbb1-11
8
60 0C
-
-
18.4 U mL-1
Olajuyigbe & Ajele (2008)
Protease termoalkali
B. cereus SIU
9
35 – 55 0C
-
-
88 U mL-1 20 U mg-1
Sing et al. (2010)
Keterangan; BM: bobot molekul
Tabel 14 Karakteristik enzim amilase ekstraseluler yang dihasilkan oleh beberapa Bacillus spp.
Bhaskar et al. (2007)
Enzim
Isolat
pH Optimum
Suhu Optimum
Amilase
Bacillus sp. DA 5.2.3
6
-
Amilase alkali (murni)
Bacillus sp. IMD 370
10
Bacillus sp. TS-23
Salinitas optimum
BM
Aktivitas 47.3 U mg-1
Referensi P
1.5%
27 & 123 kDa
40 0C
-
159 kDa
5.4 U mg-1
Tique et al. (1995)
9
70 0C
-
42 kDa
92.1 U mg-1
Lin et al. (1998)
Bacillus sp. TS-23
8.5
55 0C
-
150 kDa 42 kDa
1.3 U mg-1
Lin et al. (1998)
α-amilase
Bacillus sp. KSM-K38
8 – 9.5
55 – 60 0C
-
55 kDa
5 U mL-1
Hagihara et al. (2001)
α-amilase
Bacillus sp. SMIA-2
7.5
70 0C
-
-
57 U mL-1
Cordeiro et al. (2002)
α-amilase
B. cereus MTCC 1305
5–7
55 0C
-
-
94 U g-1
Anto et al. (2006)
α-amilase
B. amiloliquefaciens ATTC 23842
5
37 0C
-
-
62.470 U g-1
Gangadharan et al. (2006)
α-amilase
Bacillus sp. AB 68
10.5
50 0C
3%
66 kDa
-
Aygan et al. (2008)
Pullulanase
B. cereus HL 5
6
55 0C
-
-
Km= 1.1 mg mL-1 V max = 0.275 µmo mnt-1
Ling et al. (2009)
Amilase (murni) Amilase (ekstrak kasar)
Keterangan; BM: bobot molekul
Penelitian ini
49
Aktivitas Amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada Rentangan pH. Amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 aktif pada semua rentangan pH yang diujikan tetapi aktivitas tertinggi diperoleh pada pH 6 (Gambar 10). Aktivitas relatif amilase pada pH 7 dan 8 tersisa berturut-turut sekitar 41 dan 48% dari aktivitas optimumnya (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas maksimum amilase isolat ini sedikit asam, tetapi enzim masih aktif sampai pH 9. Mulimani & Ramalingam (2000) melaporkan bahwa α-amilase Bacillus sp. AS-1 optimum pada pH 6.5. Anto et al (2006) (Tabel 14) mendapatkan
aktivitas α−amilase B. cereus MTCC optimum pada pH 5.
Penurunan aktivitas enzim yang sangat tajam terjadi pada pH 9.
Gambar 10 Aktivitas relatif amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada pH 6- 9, salinitas 2.5% pada pati terlarut 1% di suhu ruang. Bar = SE, n = 2. Aktivitas Protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada Rentangan Salinitas. Protease Bacillus sp. DA 5.2.3 aktif pada salinitas 1.5, 2.5 dan 3.5% dengan aktivitas relatif berkisar di atas 60% dari aktivitas maksimumnya pada perlakuan tanpa penambahan NaCl (Gambar 11, Lampiran 9).
Gambar 11 Aktivitas relatif protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada salinitas 0-3.5%, pH 7.5 pada kasein 1%, di suhu ruang. Bar = SE, n =2.
50
Aktivitas Amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada Rentangan Salinitas. Amilase yang dihasilkan isolat DA 5.2.3, aktif pada rentangan salinitas yang diujikan (0-3.5%). Aktivitas spesifik relatif amilase mencapai maksimum pada salinitas 1.5% kemudian kehilangan aktivitas sekitar 20% dan 50% secara berturut-turut pada salinitas 2.5% dan 3.5% (Gambar 12, Lampiran 10).
Gambar 12 Aktivitas relatif amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada salinitas 0-3.5%, pH 7.5, substrat pati terlarut 1% di suhu ruang. Bar: SE, n=2. Stabilitas Protease Bacillus sp. DA 5.2.3. Pada kondisi optimum reaksi enzim protease (pH 8 salinitas 0), aktivitas protease tidak mengalami penurunan selama 6 jam, bahkan aktivitas naik pada akhir pengamatan sebesar 50% daripada aktivitasnya pada keadaan segar (Gambar 13 A, Lampiran 11). Namun demikian pada jam ke-2 aktivitas enzim ini meningkat hampir 4 kali daripada kondisi segarnya, kemudian terus turun sampai akhir pengujian (jam ke-6). Hal yang berbeda terjadi pada kondisi umum perairan tambak udang (pH 8, salinitas 2.5%) (Gambar 13B, Lampiran 12), aktivitas protease Bacillus sp. DA 5.2.3 berkisar di atas 65% selama 3 jam inkubasi. Selanjutnya aktivitas enzim ini terus menurun dan mencapai waktu paruh pada jam ke-4 pengukuran. Penambahan NaCl 2.5% pada bufer uji berpengaruh kepada aktivitas enzim. Dapat dilihat bahwa aktivitas enzim maksimum pada awal inkubasi dan aktif di atas 50% sampai jam ke-3 dan turun pada perpanjangan masa inkubasi, walaupun demikian nilai aktivitasnya lebih tinggi daripada kondisi tanpa NaCl.
51
A)
B)
Gambar 13 Aktivitas protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada A) pH 8 salinitas 0% (kondisi optimum) dan B) pada pH 8 salinitas 2.5% (kondisi umum tambak udang). Bar; SE, n=2. Stabilitas Amilase Bacillus sp. DA 5.2.3. Pada pH dan salinitas optimum enzim (pH 6 salinitas 1.5%) aktivitas amilase relatif stabil selama 4 jam, setelah itu selama 2 jam berikutnya aktivitas enzim mengalami penurunan sekitar 25-30% (Gambar 14A, Lampiran 12). Pada kondisi umum perairan tambak udang (pH 8, salinitas 2.5%) (Gambar 14B, Lampiran 13), aktivitas amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 relatif stabil selama 6 jam inkubasi yaitu berkisar di atas 80%. Terjadi peningkatan aktivitas 3 kali lipat pada 1 jam pertama inkubasi, kemudian turun secara tajam pada jam ke-2 dan selanjutnya relatif stabil selama 3 jam berikutnya (akhir inkubasi). pH dan salinitas adalah dua faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim yang diproduksi oleh Bacillus sp. DA 5.2.3. Pada kasus ini pH 8 dan salinitas 2.5% adalah kondisi umum air tambak (Widiyanto 2005, DKP 2007). Pada kondisi umum tambak udang, aktivitas protease Bacillus sp. DA 5.2.3 relatif stabil selama 3 jam inkubasi sedangkan amilase selama 6 jam. pH dari suatu larutan enzim dapat mempengaruhi keseluruhan aktivitas katalitik dengan berbagai cara. Enzim memiliki struktur native tersier yang sensitif terhadap pH dan secara umum denaturasi enzim terjadi pada nilai pH sangat rendah atau tinggi. Kebanyakan enzim paling stabil pada pH sekitar pH fisiologi (7.4), tetapi beberapa diantaranya
52
memperlihat aktivitas maksimal pada nilai pH sedikit lebih rendah atau lebih tinggi (Copeland 2000).
A)
B)
Gambar 14 Aktivitas amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 A) pada pH 6, salinitas 1.5% (kondisi optimum) dan B) pada pH 8, salinitas 2.5% (kondisi umum di tambak udang). Bar; SE, n=2. Menurut Whitaker (1994) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas enzim antara lain pH, suhu, proteolisis, dan waktu inkubasi. Copeland (2000) menjelaskan perubahan pH pada reaksi enzim berpengaruh dalam tahap katalisis yaitu mengkonversi substrat sehingga terjadi ionisasi pada komplek enzim substrat. Pengaruh pH terhadap stabilitas enzim dimodifikasi oleh jenis dan konsentrasi bufer, ketersediaan substrat, kekuatan ion dan konstanta dielektrik medium (dipengaruhi oleh penambahan pelarut organik) dan efek pH pada stabilitas kofaktor dan aktivator. Pada keadaan suhu, pH dan konsentrasi ion normal, struktur tersier protein distabilkan oleh 4 jenis interaksi pada molekul enzim yaitu ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik jembatan disulfida, kekuatan ion dan konstanta dielektrik larutan dimana enzim bekerja. Enzim memiliki pH optimum atau rentangan pH untuk aktivitas maksimumnya, aktivitasnya akan menurun pada pH yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena rantai samping beberapa asam amino berperan sebagai asam atau basa lemah yang melakukan fungsi kritis pada sisi aktif enzim (Mosan & Combes, 1984, Lehninger et al. 1993). Garam merupakan senyawa yang mudah terionisasi dalam pelarut polar seperti air dan bersifat hidrofilik. Apabila ditambahkan ke dalam larutan enzim dapat menurunkan aktivitas air,
53
dengan demikian interaksi hidrofobik antara residu asam amino non polar pada molekul protein enzim semakin kuat, sehingga struktur protein enzim menjadi lebih stabil (Scopes 1987). Kestabilan
enzim
berhubungan
dengan
ketahanan
enzim
dalam
mempertahankan konformasinya terhadap kondisi lingkungan sehingga tidak merubah kedudukan sisi aktif
(Lehninger et al. 1993).
Scopes (1987)
menyatakan bahwa semakin jauh pH optimum suatu enzim dari kondisi fisiologi suatu organisme, semakin kurang stabil enzim tersebut. Pada kondisi percobaan pendapat bahwa enzim lebih stabil pada pH optimumnya tidak selalu benar, karena aktivitas enzim pada kejenuhan substrat kondisi percobaan tidak sama dengan kondisi fisiologi alamiahnya. Lehninger (1993) menjelaskan turunnya aktivitas enzim dengan penambahan NaCl dapat terjadi karena perubahan konformasi protein enzim akibat adanya ion Na+ dan Cl- yang berikatan dengan gugus funsional asam amino sehingga mengubah muatan listriknya. Hal ini dapat mempengaruhi struktur sisi aktif protein sehingga aktivitas enzim menjadi berubah. Aktivitas enzim berhubungan langsung dengan perubahan struktur tersier dari molekul protein enzim. Pada Tabel 13 terlihat protease dari kelompok Bacillus umumnya merupakan protease alkali yang aktif pada pH sekitar 8 dan 9, meskipun ada yang memiliki protease asam (pH 6) dan netral (pH 6.5-7.5). Essakiraj et al. (2007) melaporkan aktivitas protease optimum dari B. cereus yang diisolasi dari usus ikan pada pH 7, dan peningkatan pH menurunkan aktivitas enzim. Protease yang dihasilkan oleh Bacillus sp. DA 5.2.3 toleran terhadap salinitas rendah 1.5-3.5%. Hal ini menunjukkan isolat ini dapat diaplikasikan di tambak udang dengan mengambil manfaat enzim proteasenya untuk mengurai sisa pakan berupa protein. Salinitas di perairan tambak udang berkisar pada rentangan 1-3.5%. Joshi et al. (2007) dan Setyorini et al (2006) memperoleh protease yang memiliki aktivitas optimum pada salinitas rendah dan sedang berturut-turut 2% dan 5-10% masing-masing dari dan B. cereus dari air danau dan B. subtilis yang diisolasi dari pasta ikan. Demikian pula Esakkiraj et al. (2007) menemukan protease ekstrak kasar yang aktif maksimum pada salinitas 3% dari B. cereus asal usus ikan tetapi Patel et al. (2006) melaporkan aktivitas maksimum protease B. pseudofirmus pada NaCl 10% (Tabel 13).
Tetapi Kim (2004)
54
mendapatkan bahwa 3 % NaCl 2 menurunkan aktivitas protease 56% setelah 6 jam dibandingkan dengan produksinya pada NaCl 2 1% pada Vibrio sp . Data dan referensi ini menunjukkan bahwa NaCl mempengaruhi produksi protease. Mikrob yang hidup pada lingkungan air laut mutlak membutuhkan Na+ untuk tumbuh. Air laut umumnya memiliki salinitas mendekati 3.5%. Setyorini et al. (2006) menyatakan komposisi asam amino suatu protein sangat menentukan sifat halofilik atau halotoleran. Sifat halofil suatu enzim menguat pada eksistensi residu asam amino asam, peningkatan sejumlah kecil residu asam amino hidrofobik seperti glisin, L-alanin, dan L-valin dan penurunan jumlah residu asam amino alifatik, tetapi tidak ada karakteristik komposisi asam amino enzim halotoleran yang dipublikasikan oleh sebab itu perlu melakukan sekuen terhadap protein halotoleran yang diperoleh. Bacillus cereus dapat menghasilkan amilase dari jenis α-amilase, pullulanase (Tabel 14) dan β-amilase (Priest 1977). Aktivitas amilase Bacillus berkisar pada pH asam, netral sampai alkali.
Isolat DA 5.2.3 menghasilkan
amilase yang aktif pada rentangan pH asam sampai netral. Ling et al (2009) melaporkan pH 5-7 optimum untuk aktivitas α-amilase B. cereus. Tetapi Tique et al. (1995) dan Lin et al. (1998) melaporkan aktivitas optimum amilase pada kondisi alkali masing-masing pada pH 10 dan 9. Widiyanto (2005) mencatat kisaran pH pada perairan dan sedimen tambak udang di beberapa tempat di Indonesia sekitar 7.2-8.8, sedangkan salinitas berkisar 1.7-3.8%. Menurut (DKP 2007), pH ideal air pasok
tambak udang
berkisar 7.8-8.5. Aktivitas protease dari isolat DA 5.2.3 masih dalam kisaran kondisi perairan tambak udang, kecuali aktivitas maksimum amilasenya sedikit di bawah kondisi ideal, namun faktor lingkungan seperti pH, suhu dan salinitas saling mempengaruhi aktivitas enzim.
SDS-PAGE, Native-PAGE, dan Zimografi. Elekroforesis protease dan amilase bebas sel dari isolat Bacillus sp. DA 5.2.3 adalah untuk mengetahui bobot molekul kedua enzim dan memperkuat temuan hasil analisis produksi dan aktivitas enzim secara kuantitatif yang dilakukan sebelumnya. Uji ini juga dilakukan untuk melihat persamaan dan perbedaan enzim-enzim ini dengan temuan peneliti sebelumnya. Hasil SDS-PAGE protein ekstrak kasar isolat
55
Bacillus sp. DA 5.2.3 menunjukkan beberapa pita protein yang memiliki berat molekul sama atau lebih kecil dari 45 kD (Gambar 15A). Terdapat 4 pita protein dari sampel yang diproduksi 24 jam, masing-masing 19, 27, 40 dan dan 45 kDa dan 3 pita protein dari sampel yang diproduksi 48 jam masing-masing dengan berat molekul 16, 40 dan 45 kDa (lajur 2). Di kedua lajur ini terlihat ada 2 pita yang memiliki BM yang sama dan 2 lainnya berbeda. Enzim yang diproduksi 24 jam memiliki pita dengan BM 27 kDa tetapi pita ini hilang setelah inkubasi 48 jam. Hasil SDS-starch zymography menunjukkan pita ini memiliki aktivitas amilase. Hilangnya pita ini dapat disebabkan aktivitas enzim ini menurun pada jam ke-48, seperti yang ditunjukkan oleh hasil uji aktivitas enzim ini sebelumnya (Gambar 8). Pada protein yang diproduksi 24 jam, hanya pita 27 kDa yang tebal, tetapi pada waktu produksi 48 jam terlihat semua pita tebal (Gambar 15A). Kalau dihubungkan dengan hasil uji aktivitas enzim (Gambar 8), pita-pita pada lajur 2 merupakan enzim protease yang memiliki aktivitas maksimum pada 48 jam. Pitapita protein pada lajur 1 yang sangat tipis kemungkinan juga merupakan protease yang memiliki aktivitas yang zymography
baik
dengan
rendah pada penambahan
waktu produksi 24 jam. SDSkasein
maupun
pati
terlarut
memperlihatkan adanya pita yang memiliki BM tinggi. Hasil SDS-casein zymography sampel protein bebas sel dari isolat DA 5.2.3 menunjukan bahwa protease memiliki berat molekul lebih besar dari 97 kDa (Gambar 15A), dan ketika dilarikan dengan native–casein zymography didapatkan pita protease dengan BM 150 kDa (Gambar 16B). Hasil ini dikonfirmasi dengan melakukan Native-PAGE. Hasil Native-PAGE memperlihatkan adanya pita-pita dengan BM tinggi. Dua pita protein yang ditemukan berjarak sangat dekat pada setiap lajur yang masing-masing memiliki BM 120 dan 132 kDa pada waktu produksi 24 jam (lajur 1), sedangkan pada sampel yang diinkubasi 48 jam (lajur 2) didapatkan pita protein dengan BM sekitar 136 dan 150 kDa. Pita protein yang memiliki BM 150 kDa juga ditunjukkan oleh sampel protein bebas sel dari isolat DA 5.2.3 yang dilarikan dengan native-PAGE, dengan demikian maka disimpulkan protease isolat DA 5.2.3 memiliki BM sekitar 150 kDa.
56
A)
B) kDa
M
1
2
kDa
M
1
2
132
132 120
66 97 66 45
kDa 45 40 27
30
45 40
kDa
1
45 30
150 136
2
14.2
19 16
14.2 1
2
Gambar 15 A) Profil SDS-PAGE protein ekstrak kasar Bacillus sp. DA 5.2.3. Konsentrasi gel pemisah 8%, gel penahan 5% pada suhu ruang. M; Marker protein (fosforilase b 97 kDa, albumin 66 kDa, ovalbumin 45 kDa, karbon anhidrase 30 kDa, inhibitor tripsin 20 kDa, αlaktalbumin 14 kDa. Lajur 1; protein diproduksi selama 24 jam. lajur 2; 48 jam. B) Profil native- PAGE protein ekstrak kasar Bacillus sp. DA 5.2.3. Konsentrasi gel pemisah 8%, gel penahan 5%, M; marker non denaturing protein (serum bovin 132 kDa, ovalbumin 66 kDa, albumin telur ayam 45 kDa, karbon anhidrase 29 kDa; α-laktalbumin susu bovin 14.2 kDa). Lajur 1; protein diproduksi selama (1) 24 jam, (2) 48 jam. A dan B menggunakan pewarna perak nitrat.
A)
kDa
M
1
2
B)
kDa
M
1
2 150 kDa
132 97 66 45 45 30
29
20
Gambar 16 A) Profil casein-SDS-zimography protease ekstrak kasar Bacillus sp. DA 5.2.3. M ; marker protein (sama dengan Gambar 15 A). Lajur 1 dan 2; pita protease aktif. Elektroforesis dilakukan pada konsentrasi gel pemisah 8% dan gel penahan 5%, pada suhu ruang. B) Caseinnative zimography protease Bacillus sp. DA 5.2.3, M ; marker protein non denaturing (sama dengan Gambar 15 B) lajur 1 dan 2 ; Pita protease aktif, elektroforesis dilakukan pada konsentrasi gel pemisah 10% dan gel penahan 5%, pada ruang berpendingin (4 0C). A dan B menggunakan pewarna coommasie blue. Protein diproduksi selama (1) 24 jam dan (2) 48 jam.
57
A) kDa
M
1
B)
2 123 kDa
97 66
kDa
M
1
2 K 123 117-kDa
132 66
45 30 20
45 29
27 kDa
14,2
14
Gambar 17 A) Profil SDS-starch-zimography protein ekstrak kasar amilase Bacillus sp. DA 5.2.3, M; marker protein (sama dengan Gambar 15 A). Lajur 1 dan 2; pita enzim aktif, dengan masa produksi berturut 48 dan 24 jam, pewarnaan menggunakan larutan Gram iodin. Ektroforesis dilakukan pada konsentrasi gel pemisah 8% dan gel pemisah 5% pada suhu ruang. B) Profil native-starch-zimography amilase Bacillus sp. DA 5.2.3. M; marker non denaturing protein (sama dengan Gambar 15B). Lajur 1 dan 2; pita enzim aktif dengan masa produksi berturut-turut (1) 24 jam, (2); 48 jam. Elektroforesis dilakukan pada konsentrasi gel pemisah 8% dan gel penahan 5% pada ruang berpendingin (4 0C). Sampel protein yang dilarikan dengan SDS-starch zymography (Gambar 17A) dan juga pada native-starch-zymography (Gambar 17B) menghasilkan pita protein berukuran sekitar 123 kDa. Pita ini merupakan amilase dari isolat DA 5.2.3 yang dibuktikan pada native-PAGE dari sampel yang sama dengan ditemukannya pita protein dengan BM 120-132 kDa (lajur 1) (Gambar 15B). Pita yang memiliki BM 27 kDa pada SDS-starch zymography merupakan subunit dari amilase yang hanya terpisah pada SDS-starch-zymography. Amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 diduga memiliki isoenzim dengan BM 27 dan 123 kDa. Protease dan amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 diduga merupakan enzim komplek (struktur oligomer). Protease memiliki satu situs aktif, sedangkan amilase terdiri atas 2 situs aktif. Hal ini berdasarkan profil yang ditunjukkannya dari hasil analisis dengan teknik SDS-PAGE, native-PAGE dan zimografi. Menurut Hondoh et al. (2002) enzim dapat aktif dalam bentuk struktur oligomer atau
dimer
tetapi
menjadi
tidak
aktif
dalam
struktur
monomernya.
Marianayagam et al. (2004) mengemukakan bentuk oligomer dapat terdiri atas dimer ataupun monomer. Bentuk dimer dapat terbentuk dari monomer melalui dimerisasi atau oligomerisasi. Bentuk ini merupakan karakteristik yang penting
58
dari berbagai enzim alami. Proses ini memfasilitasi terbentuknya berbagai struktur dan adanya keuntungan fungsional seperti meningkatkan efisiensi katalitik, termostabilitas, regulasi sistem biologi, dan juga berperan mengurangi ukuran sel genom. Hondoh et al. (2002) menemukan suatu struktur dimer dari neopullanase, molekul yang mengandung unit kristal asimetrik. Setiap monomer dari dimer memiliki polipeptida yang sama yang melipat dari 4 domain. Dimer dibentuk dengan melipat monomer supaya pseudo-two-fold symetrik dapat berkontak satu sama lainnya. Pembentukan struktur dimer dari sub-group enzim mungkin penting untuk mengikat substrat spesifik. Pada SDS-PAGE pita yang tampak pada gel adalah sub unit-sub unit dari protein, karena protein enzim akan terdenaturasi dengan perlakuan pemanasan sampel pada 100 0C selama 2 menit. Hal ini akan merusak ikatan-ikatan pembentuk struktur sekunder ataupun tersier dari protein. Dengan penambahan βmerkaptoetanol pada bufer sampel dapat memutus ikatan sulfida dari protein yang mengandung asam amino sistein (Scopes 1987). Pada teknik native-zimography, bahan-bahan yang mengakibatkan denaturasi protein tidak ditambahkan seperti SDS dan β-merkaptoetanol, selain itu juga tidak dilakukan pemanasan sampel protein sehingga protein berada dalam struktur native. Bollag & Edelstein (1991) menyatakan bahwa β-merkaptoetanol merupakan pereaksi denaturasi protein. Lin et al. (1998) juga mendapatkan dua pita aktif amilase yang memiliki BM 150 dan 42 kDa dari Bacillus sp. TS-23 termofilik. Takekawa et al. (1991) menemukan multiform enzyme amilase dari B. polymyxa yang memiliki β-amilase (BM ±70, 56, dan 42 kDa) dan α-amilase (BM 48 KDa) yang terbentuk dari suatu prekursor protein besar (± 130 kDa) melalui proses proteolitik. Prekursor besar tersebut memiliki 2 struktur domain besar yang memiliki kira-kira 200 asam amino yang terbuka ke permukaan molekul dan rentan terhadap enzim proteolitik yang bertanggung jawab untuk pembentukan β dan α-amilase. Protease dan amilase yang memiliki BM tinggi dimiliki juga oleh beberapa Bacillus yang terdeposit pada pangkalan data Swiss Institute of Bioinformatic (SIB) pada program UniProt, ExPASy (http://www. expasy.ch): subtilisin-serine like protease memiliki BM 154.53 kDa (nomor akses B972H1) dihasilkan oleh B. cereus strain Q1, minor extracelullar protease VpR, BM 154.76 (nomor akses Q818B5), dihasilkan oleh B.cereus strain ATTC 14579, SG protease BM 156.67
59
kDa (nomor akses 4108M2), dihasilkan oleh Bacillus sp. KSM-LD1. Amilase yang memiliki BM tinggi juga dimiliki oleh B. acidocaldarius, BM 140.52 kDa (nomor akses Q06307), B. stearothermophylus, BM 182.57 kDa (nomor akses A6N9J4), dan B. circulans, dengan BM 138.78 (nomor akses AOP8XO). Tigue et al (1995) menemukan amilase alkali ekstraseluler dari Bacillus sp. IMD 370 yang memiliki BM 159 kDa. Total Padatan Tersuspensi Kultur Bacillus sp. DA 5.2.3 TSS dari pengkulturan Bacillus sp DA 5.2.3 pada media pakan udang 1.2% mengalami penurunan selama 4 hari inkubasi (Gambar 18). Penurunan pada hari pertama sebanyak 22% dan hari ke-2 sampai hari ke-4 mencapai 50%. Tingkat penurunan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa penambahan bakteri) yang mengalami penurunan hanya sekitar 25%-30% dari hari ke-2 sampai hari ke-4 pengukuran. Tidak terjadi peningkatan penurunan TSS yang berarti sejak hari kedua sampai pengukuran hari ke-4 pada kontrol (Lampiran 15). Tidak ada penurunan TSS dari kultur isolat SP (diisolasi dari probiotik komersial) pada hari pengukuran pertama. Penurunan TSS mulai terjadi pada hari kedua sebanyak 21%, tetapi mulai hari ke-3 nilai TSS meningkat relatif menyamai isolat DA 5.2.3 dan pada hari ke-4 nilai penurunan ini relatif sama yaitu sekitar 50%. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kontrol tetap terjadi penurunan TSS mulai hari ke-2-4 pengukuran dengan nilai 2-25%, walaupun tanpa penambahan bakteri. Penurunan TSS dari pakan udang oleh isolat Bacillus sp. DA 5.2.3 memperlihatkan bahwa isolat ini mampu menurunkan kandungan senyawa organik dari pakan udang pada perairan secara komprehensif. Hal ini dapat terjadi karena isolat ini memproduksi protease maupun amilase yang mengurai protein dan karbohidrat sebagai kandungan utama pakan udang. Isolat DA 5.2.3 dapat menurunkan padatan tersuspensi dari pakan udang relatif lebih cepat dari Bacillus sp. yang diisolasi dari probiotik komersial yang diujikan. Bacillus sp. DA 5.2.3 menurunkan TSS sebanyak 50% dalam waktu 2 hari, sedangkan Bacillus sp. SP membutuhkan waktu 4 hari untuk jumlah penurunan yang sama. Hasil ini juga lebih cepat daripada percobaan Hoch et al. (1995) melaporkan bahwa degradasi bahan organik oleh mikrob pada sampel air dari sungai Danube Austria menurunkan partikel organik sekitar 50% selama 5 hari.
60
Gambar 18 Nilai TSS kultur cair Bacillus sp. DA 5.2.3 pada media pakan udang 1.2% yang diinkubasi pada suhu ruang. Bar; SE, n=2 Peranan enzim-enzim ekstraseluler sangat penting dalam degradasi partikel organik. Roman et al. (2006) mengemukakan bahwa dalam penguraian limbah secara anaerobik penguraian awal bahan organik dipacu oleh penambahan enzim hidrolitik. TSS dari sampel limbah lumpur yang diperlakukan masing-masing dengan enzim pronase E dan selulase, berkurang berturut-turut sebanyak 36 dan 29%, sedangkan penggunaan campuran enzim ini menurunkan TSS sebanyak 80% sementara kontrol menyusut 20% setelah 5 hari perlakuan. Characklis & Marshall (1990) menyatakan bahwa bakteri perairan hidup dalam bentuk bebas atau dalam bentuk partikel yang melekat. Dalam perairan partikel organik dapat menyerap bahan organik terlarut (dissolved organic material; DOM) ion atau sisa sel yang dapat membentuk akumulasi ruang nutrisi mikro bagi mikroorganisme. Terjadinya penurunan TSS pada kontrol mungkin disebabkan oleh adanya penggoyangan kultur (120 rpm) pada masa inkubasi yang dapat memecah partikel pakan dari ukuran yang lebih kecil sampai terlarut namun nilai ini relatif konstan sampai hari akhir pengukuran. Kemungkinan pada masa ini penggoyangan tidak mampu lagi memecah partikel-partikel pakan. Dari hasil ini dapat diambil kesimpulan bahwa nilai TSS dihasilkan dari gabungan kerja enzim bakteri dengan pengaruh lingkungan fisik. Verschuere et al. (2000) menyatakan Bacillus dapat secara langsung mengambil atau mengurai bahan organik atau bahan toksik di air sehingga dapat meningkatkan kualitas air.
61
Semakin kecil nilai padatan tersuspensi semakin baik kualitas air, antara lain kecerahan akan meningkat, OD semakin tinggi, BOD akan turun dan semakin kecil kemungkinan terbentuknya sedimen. Kecenderungan bakteri untuk melekat ke suatu permukaan padat di perairan (Characklis & Marshall 1990) merupakan suatu dasar yang kuat menggunakan bakteri untuk mendegradasi partikel pakan yang melayang di air ataupun yang mengendap di dasar kolam. Partikel-partikel tersebut mampu menyerap bahan organik terlarut (DOM) ion dan sel mati sehingga membentuk ruang tempat penumpukan nutrisi (Pedros-Alio & Brock 1983). Pada sistem perairan laut partikel-partikel adalah tempat berlangsungnya aktivitas heterotropik (Almeida & Alcantra 1992).
Ciri-Ciri Morfologi dan Fisiologi Bacillus sp. DA 5.2.3. Bacillus sp. DA 5.2.3 memiliki warna koloni krem keputihan, bentuk koloni bulat, pinggiran tidak rata. Pada bagian pusat koloni terbentuk titik seperti inti yang dikelilingi garis halus melingkar menuju inti (Gambar 19A). Isolat ini merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang tunggal maupun rantai (Gambar 19B). Endospora dihasilkan pada pewarnaan menurut Schaefer-Fulton (Gambar 19C). Isolat DA 5.2.3 menghasilkan enzim katalase, nitrat reduktase, arginin dehidrolase serta menghidrolisis gelatin, kasein dan pati. Isolat ini menggunakan natrium malonat sebagai sumber nitrogen, salisin sebagai sumber karbon, tetapi
tidak
menggunakan glukosa, sukrosa ataupun laktosa. Ketika ditumbuhkan pada suhu 50 0C ataupun pada NaCl 7%, isolat ini tidak tumbuh. Beberapa ciri-ciri dari Bacillus sp. DA 5.2.3 merupakan ciri-ciri yang umum bagi Bacillus seperti yang ditunjukkan oleh hasil uji fisiologi oleh Noris et al. (1981) dalam Slepecky & Hemphill (1992) (Tabel 16), tetapi uji fisiologi yang dilakukan tidak cukup untuk menentukan spesies dari isolat ini, karena adanya variasi hasil uji di antara spesies. Ciri-ciri yang berbeda dari isolat ini dengan lima Bacillus lainnya ialah, tidak tumbuh pada NaCl 7% dan tidak memfermentasi glukosa. Maka untuk menentukan spesies dari isolat DA 5.2.3 dilakukan identifikasi berdasarkan sekuen gen 16S rRNA.
Menurut Woese (1987)
pendekatan yang paling efektif untuk taksonomi Bacillus ialah analisis molekul 16S rRNA dengan melakukan sekuen oligonukleotida.
62
B
A
C
Gambar 19 Bentuk morfologi Bacillus sp. DA 5.2.3. A) morfologi koloni, B) morfologi sel, C) endospora (bagian bewarna hijau seperti yang ditunjuk tanda panah pada perbesaran 400x. Tabel 15 Ciri-ciri morfologi dan fisiologi Bacillus sp. DA 5.2.3 Nama Uji Pewarnaan Gram Pewarnaan spora Bentuk sel Densitas Elevasi Pinggiran Konfigurasi Reduksi nitrat Produksi gas H 2 S Produksi beta galaktosidase Produksi indol Produksi urease Fermentasi butandiol Voges Proskauer Produksi triptofan deamidase Produksi gelatinase Pemanfaatan malonat Produksi asam dari: Fermentasi manitol Fermentasi xilosa Fermentasi ramnosa Fermentasi glukosa Fermentasi laktosa Fermentasi arabinosa Fermentasi adonitol Fermentasi rafinosa Fermentasi salisin Hidrolisis arginin Produksi katalase Hidrolisis pati Tumbuh pada 50 0C Tumbuh pada NaCl 7%
Hasil positif positif batang opaque cembung tidak teratur lobate positif negatif negatif negatif negatif negatif negatif positif positif negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif positif positif positif positif Tidak tumbuh Tidak tumbuh
63
Tabel 16 Perbandingan karakteristik fisiologi Bacillus sp. DA 5.2.3 dengan spesies Bacillus lainnya Bacillus megaterium
Bacillus cereus
Bacillus thuringiensis
Bacillus licheniformis
Bacillus subtilis
Bacillus sp. DA 5.2.3
Katalase
+
+
+
+
+
+
Reaksi V-P
-
+
+
+
+
-
Tumbuh anaerob
-
+
+
+
-
TD
Tumbuh pada 50 0C
-
-
-
+
+
-
Tumbuh pada 7% NaCl
+
+
+
+
+
-
Asam dan gas pada glukosa
-
-
-
-
-
-
Reduksi NO 3 menjadi NO 2
V
+
+
+
+
+
Hidrolisis pati Tumbuh pada 65 0C Batang, lebar 0.1 atau lebih
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
-
TD
+
+
+
-
-
TD
pH pada V-P medium <6.5
V
+
+
V
V
TD
Asam dari glukosa
+
+
+
+
+
_
Hidrolisis kasein
+
+
+
+
+
+
Badan parasporal
-
V
+
-
-
TD
Uji
Sumber; Noris et al (1981) dalam Slepecky & Hamphill (1992) Keterangan ; + = hasil uji positif - = hasil uji negatif V = hasil uji bervariasi TD = tidak diuji
Identifikasi Bacillus Terpilih Berdasarkan Sekuen Gen Penyandi 16SrRNA. Amplifikasi DNA gen 16S rRNA isolat DA 5.2.3 dengan PCR didapatkan pita DNA sebesar 1.3 kb (Gambar 20) pada hasil elektroforesis, yang menunjukkan gen 16S rRNA. Hasil sekuen gen ini terekam pada elektrogram
64
dan dianalisis lanjut dengan program Bioedit untuk mencari sekuen konsensus hasil amplifikasi dengan primer 63f dengan 1387r. Total sekuen DNA yang didapatkan 1272 yang terdiri atas sekuen konsensus sepanjang 760 kb ditambah dengan sekuen yang terlihat jelas pada elektrogram sepanjang 512 kb. M
1
2
3
2.0 kb 1.5 kb 1.0 kb
1.3 kb
Gambar 20 Amplikon DNA gen 16S-rRNA Bacillus sp. DA 5.2.3 hasil PCR sebesar 1.3 kb (lajur 1. 2. 3), M; Marker 1 kb lader. Dari analisis
parsial sekuen gen 16S rRNA
Bacillus sp. DA 5.2.3
sepanjang 1272 kb yang dibandingkan dengan sekuen gen 16S rRNA bakteri di data GenBank didapatkan hasil bahwa isolat ini mirip 99% dengan Bacillus cereus (No Akses: NA GU125426) ). Jarak evolusi antara Bacillus sp. DA 5.2.3 dengan 7 spesies Bacillus lainnya diperkirakan dengan pensejajaran gen 16S rRNA. Dari pohon filogenetik (Gambar 21) yang dikonstruksi dengan piranti lunak Treecon terlihat bahwa Bacillus sp. DA 5.2.3 berada pada kluster yang sama dengan galur B. cereus, B. foraminis, dan B. coagulans, tetapi berbeda kluster dengan B. licheniformis maupun B. subtilis. Hasil uji biokimia menunjukkan bahwa isolat ini dapat memiliki enzim nitrat reduktase, yang dapat mengkatalis reduksi nitrat jadi nitrit (Campbell 1999). Senyawa-senyawa ini merupakan senyawa metabolik toksik dalam perairan tambak udang (Straub & Dixon 1997). Sebelumnya telah dilaporkan beberapa Bacillus yang diaplikasikan di tambak udang yaitu Bacillus cereus biovar toyoy sebagai antagonis kuat terhadap bakteri patogen pada udang P. monodon dan P. vannamei (Jiin-Ju et al. 2009). Ravi et al. (2007) mendapatkan B. cereus yang diisolasi dari sedimen dan usus ikan laut juga berpotensi sebagai agen biokontrol terhadap Vibrio.
65
B. cereus sangat dikenal sebagai patogen yang ditularkan melalui makanan yang menyebabkan dua tipe keracunan makanan yang berbeda yaitu diare dan emesis yang disebabkan oleh dua tipe toksin (Schoeni & Wong 2005). Das et al. (2009) melakukan deteksi cepat terhadap gen yang mencirikan B. cereus enterotoksigenik (hbla) melalui teknik PCR. Disimpulkan bahwa tidak semua B. cereus (diisolasi dari usus ikan) memiliki gen hbla, artinya tidak bersifat patogen. Gen ini dapat menjadi penanda untuk isolat enterotoksigenik. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa gen hbla juga tidak selalu ditemukan pada isolat yang menghasilkan β-hemolisin. Uji hemolisis positif pada agar-agar darah tidak selalu menunjukkan suatu bakteri enterotoksigenik atau tidak. Sejauh ini, belum
ada informasi tentang penggunaan B. cereus untuk
degradasi protein dan karbohidrat di tambak udang, melainkan sebagai agen penghambat bakteri patogen udang seperti Vibrio, jadi penelitian lebih jauh untuk menggali karakteristik isolat Bacillus sp. DA 5.2.3 sehubungan dengan potensinya untuk aplikasi diperairan tambak udang sangat menarik untuk dilakukan.
66
Treecon Phylogenetic Tree is Here !
67
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sebanyak 71 isolat proteolitik dan amilolitik telah berhasil diisolasi dari tambak dan saluran pencernaan udang, 9 diantaranya menghasilkan baik protease maupun amilase dengan indeks proteolitik dan amilolitik tertinggi yaitu ≥ 2.5. Isolat-isolat ini termasuk ke dalam genus Bacillus. Tahapan penapisan lanjutan yang dilakukan berdasarkan pertumbuhan dan kemampuan menurunkan TSS didapatkan isolat DA 5.2.3 sebagai isolat unggulan, dengan angka penurunan TSS sebesar 29%. Bacillus sp. DA 5.2.3 dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit, tumbuh pada kadar garam rendah, dan bersifat mesofilik. Berdasarkan sekuen gen penyandi 16S rRNA, isolat DA 5.2.3 memiliki homologi sebesar 99% dengan B. cereus. Bacillus sp. DA 5.2.3 dapat mensintesis protease dan amilase dengan memanfatkan protein dan karbohidrat dari pakan udang sebagai sumber nitrogen dan karbon. Aktivitas protease dan amilase isolat ini masing-masing 40.9 U mg-1 dan 47.3 U mg-1. Protease ekstrak kasar Bacillus sp. DA 5.2.3 yang diproduksi pada media pakan udang 1.2% mencapai aktivitas maksimum pada awal fase pertumbuhan stasioner setelah 48 jam sedangkan amilasenya mencapai aktivitas maksimum pada fase pertumbuhan eksponensial setelah 24 jam. Protease dan amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 aktif pada rentangan pH dan salinitas seperti kondisi di perairan tambak udang (pH 6-9 dan salinitas 1.53.5%), tetapi pH optimum protease ialah 8 dan amilase 6. Protease Bacillus sp. DA 5.2.3 memiliki berat molekul sekitar 150 kDa, sedangkan amilase memiliki isoenzim dengan berat molekul sekitar 123 kDa dan 27 kDa. Isolat DA 5.2.3 memiliki kemampuan lebih baik dalam menurunkan total suspended solid (TSS) kultur cair pakan udang dibandingkan dengan Bacillus sp. yang diisolasi dari probiotik komersial. Berdasarkan karakteristik isolat dan protease serta amilase yang dihasilkan,
Bacillus sp. DA 5.2.3 berpotensi untuk diaplikasikan pada
perairan tambak udang terutama untuk menurunkan konsentrasi protein dan karbohidrat sisa pakan.
68
Saran Perlu dilakukan karakterisasi lanjut
dari Bacillus sp. DA 5.2.3 seperti
deteksi gen-gen penyandi sifat patogen terhadap manusia. Selain itu perlu dilihat kemampuan sinergisme ataupun kompetisi isolat ini dengan bakteri perairan tambak udang. Penelitian terhadap kemampuan penghambatan isolat ini terhadap bakteri patogen udang, serta karakterisasi senyawa antimikrob yang dihasilkan akan memperkaya karakterisasi isolat ini. Aplikasi isolat Bacillus sp. DA 5.2.3 pada kultur pemeliharaan udang baik skala pilot maupun skala tambak udang akan lebih memperjelas efektivitasnya terhadap penurunan konsentrasi protein maupun karbohidrat dari sisa pakan udang dan efeknya terhadap peningkatan ketahanan dan produksi udang.
76
Lampiran 1 Prosedur uji aktivitas protease (Walter 1984, modifikasi)
Pereaksi Blanko (ml) Standard (ml) Contoh ml) Penyangga Tris-HCl (0.2 M) pH 7.5 1 1 1 Substrat Kasein 1% 1 1 1 Enzim ekstrak kasar 0.2 Akuades steril 0.2 Tirosin standar (5mM) 0.2 Diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit Asam trikloroasetat (10%) 2 2 2 Akuades steril 0.2 0.2 Ekstrak kasar enzim 0.2 Dinkubasi pada suhu 10 0C selama 10 menit selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 8600 xgselama 15 menit Filtrat 1.5 1.5 1.5 Na 2 CO 3 (0.5 M) 5 5 5 Folin Ciocalteau (1:2) 1 1 1 Dikocok kuat dan didiamkan selama 15 menit, absorbansi diukur pada λ = 578 nm
A contoh - A blanko Unit Aktivitas (UA) =
x P x 1/T A standar - A blanko
Keterangan : UA A contoh A standar A blanko P T
= Unit aktivitas (jumlah enzim yang dapat menghasilkan satu mikromol produk tirosin permenit, pada kondisi uji) = nilai absorbansi contoh = nilai absorbansi standar = nilai absorbansi blanko = faktor pengenceran = waktu inkubasi
77
Lampiran 2 Prosedur uji aktivitas amilase (Bernfeld 1959) Pereaksi
Blanko (mL) 1
Standar (mL) 1
Substrat (pati terlarut 1%) Enzim DNS Aquades
Contoh (mL) 1
1 1 1 Dikocok dan diinkubasi 10 menit pada suhu ruang DNS 1 1 Enzim 1 Dikocok dan dipanaskan pada 100 0C selama 5 menit, kemudian didinginkan dalam air selama 20 menit, diukur absobansi pada λ = 550 nm
Konsentrasi maltosa sampel x FP UA = BM maltosa x Vx T Keterangan : UA = unit aktivitas enzim FP = faktor pengenceran BM = berat molekul ( BM maltosa =360.32 Da) V = volume sampel enzim T = waktu inkubasi
78
Kurva Standar Maltosa Konsentrasi Maltosa (ppm) 0 100 200 300 400 500
Absorban rata-rata (l=550 nm) 0.047 0.571 0.654 0.7 0.794 0.850
Absorban terkoreksi (l= 550 nm) 0 0.098 0.181 1.227 0.322 0.377
Persamaan regresi linear Y = 0.074X – 0.059
0,45 0,40 0,35 0,30
y = 0,074x - 0,059 R² = 0,990
0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0
100
200
300
400
500
79
Kurva standar protein
Kosentrasi BSA (mg mL-1) 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1
Absorban rata-rata (λ=595 nm) 0.24 0.32 0.36 0.41 0.46 0.53
Absorban terkoreksi (λ= 595 nm) 0 0.08 0.12 0.18 0.22 0.29
0,35
Absorbansi (λ =550 nm)
0,3 0,25 0,2 0,15
y = 2.7316x + 0.0169 R2 = 0.98
0,1 0,05 0
0
0,05
0,1
Konsentrasi BSA (mg mL-1)
0,15
80
Lampiran 3 Pertumbuhan sepuluh Bacillus terseleksi pada media pakan udang (SF) 1.2 % Kode isolat
Jumlah sel (CFU mL-1)* 24 jam 3.0 x 1011 4.8 x 1012 4.5 x 1010 2.1 x 1010 2.1 x 1011
L3 L5 KAt 5.1 KPs 7.1.2b KAs 7.1.2
0 jam 9.0 x 105 2.3 x 105 1.2 x 106 8.5 x 105 2.6 x 105
48 jam 2.3 x 1013 2.7 x 1013 5.6 x 1012 4.9 x 1012 3.5 x 1013
DP 5.1.1
4.2 x 105
5.5 x 1011
2.9 x 1012
DP 5.1.2
1.9 x 106
9.9 x 1010
1.2 x 1011
DA 2.2.1
3.4 x 105
8.3 x 1011
3.3 x 1010
DA 5.2.3
1.4 x 105
9.6 x 1011
6.5 x 1013
* Jumlah rata-rata dari 2 ulangan
Lampiran 4 Aktivitas protease Bacillus sp. L5 dan DA 5.2.3
Kode
Waktu (jam)
L5
(U mL-1)
Kadar Protein (mg mL-1)
Aktivitas Spesifik ( U mg-1)
1.22 ± 0.02
0.05 ± 0.0
25.3 ± 0.32
1.60 ± 0.093
0.04 ± 0.0
36.72 ± 1.05
1.41± 0.013
0.06 ± 0.0
22.90 ± 1.91
2.0 ± 0.137
0.04 ± 0.0
40.9 3 ± 9.19
0.74 ± 0.005
0.06 ± 0.0
11.46 ± 0.35
1.72 ± 0.100
0.07 ± 0.0
26.32 ± 0.11
1.03±0.001
0.05 ± 0.0
20.03 ± 0.05
1.7 ± 0.121
0.06 ± 0.0
30.06 ± 2.06
Aktivitas
24 DA 5.2.3 L5 48 DA 5.2.3 L5 72 DA 5.2.3 L5 96 DA 5.2.3
81
Lampiran 5 Aktivitas amilase Bacillus sp. L5 dan DA 5.2.3
Kode
Waktu (jam)
L5
(U mL-1)
Kadar Protein (mg mL-1)
Aktivitas Spesifik ( U mg-1)
0.45 ± 0.07
0.05 ± 0.0
9.11 ± 1.38
2.06 ± 0.04
0.04 ± 0.0
47.27 ± 1.50
0.38 ± 0.01
0.06 ± 0.0
6.29 ± 0.27
1.51 ± 0.00
0.04 ± 0.0
35.17 ± 0.32
0.05 ± 0.01
0.06 ± 0.0
0.79 ± 0.09
1.19 ± 0.07
0.07 ± 0.0
18.47 ± 1.40
0
0.05 ± 0.0
0
0.20 ± 0.121
0.06 ± 0.0
3.54 ± 0.64
Aktivitas
24 DA 5.2.3 L5 48 DA 5.2.3 L5 72 DA 5.2.3 L5 96 DA 5.2.3
82
Lampiran 6 Pengaruh waktu produksi protease, amilase dan pertumbuhan sel Bacillus sp. DA 5.2.3
Waktu (jam)
Aktivitas Amilase (U mL-1)
Aktivitas Protease (U mL-1)
1.02 ± 0.13
Aktivitas Spesifik Potease (U mg-1) 21.60 ± 2.79
Jumlah sel (log CFU mL-1)
0.12 ± 0.01
Aktvitas Spesifik Protease (U mg-1) 0.12 ± 0.01
12 24
1.22 ± 0.08
22.5 ± 0.74
0.2 ± 0.013
0.18 ± 0.01
9.34 ± 0.04
36
0.90 ± 0.24
16.7 ± 3.73
0.5 ± 0.03
0.50 ± 0.03
12.07 ± 0.31
48
0.77 ± 0.10
16.7 ± 3.5
1.1
1.07 ± 0.01
13.00 ± 0.27
60
1.16 ± 0.23
17.38 ± 3.84
0.8 ± 0.04
0.80 ± 0.04
13.80 ± 0.33
72
0.8 ± 0.07
11.85 ± 0.77
0.4 ± 0.02
0.37 ± 0.02
13.73 ± 0.2
84
0.78 ± 0.05
14.0 ± 1.48
0.6 ± 0.01
0.61 ± 0.01
0.54 ± 0.36
96
0.44 ± 0.07
7.12 ± 1.03
0.4 ± 0.06
0.42 ± 0.06
0.83 ± 0.39
± 0.01
8.38 ± 0.12
Lampiran 7 Aktivitas protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada rentangan pH pH
6 7 8 9
Aktivitas (U mL-1) 0.22 ± 0.76 ± 2.10 ± 0.50 ±
0.01 0 0.08 0.01
Kadar Protein (mg mL-1)
Aktivitas Spesifik (U mg-1)
0.06 ± 0.07 ± 0.06 ± 0.07 ±
3.53 ± 11.15 ± 33..35 ± 7.11 ±
0.01 0.01 0.01 0.01
0.62 1.14 4.26 1.33
Aktivitas Relatif (%) 10.66 ± 33.53 ± 100 ± 21.75 ±
0.50 0.85 0 1.21
Lampiran 8 Aktivitas amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada rentangan pH pH 6 7 8 9
Aktivitas (U mL-1) 2.35 ± 0.17 1.08 ± 0.01 1.16 ± 0.11 0.60 ± 0.29
Kadar Protein (mg mL-1) 0.06 ± 0.01 0.07 ± 0.01 0.06 ± 0.01 0.0 7± 0.01
Aktivitas Spesif (U mg-1) 40.09 ± 7.58 16.00 ± 1.83 18.44 ± 0.07 9.87 ± 6.09
Aktivitas Relatif (%) 100 ± 0 40.49 ± 3.09 47.73 ± 9.20 22.55 ± 10.39
Lampiran 9 Aktivitas protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada rentangan salinitas
83
Salinitas
Aktivitas (U ml-1)
0 1.5 2.5 3.5
0.74 ± 0.04 0.62 ± 0.01 0.41 ± 0.00 0.51 ± 0.02
Kadar Protein (mg mL-1) 0.06 ± 0.07 ± 0.06 ± 0.07 ±
0.01 0.01 0.01 0.01
Aktivitas Spesifik (U mg-1) 13.29 ± 0.94 9.65 ± 0.42 7.92 ± 0.84 8.80 ± 0.88
Aktivitas Relatif (%) 100 ± 0 73.18 ± 8.31 60.32 ± 10.58 66.10 ± 1.96
Lampiran 10 Aktivitas amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada rentangan salinitas Salinitas (%) 0 1.5 2.5 3.5
Aktivitas (U mL-1)
Kadar Protein (mg mL-1)
Aktivitas Spesifik (U mg-1)
0.06 ± 0.07 ± 0.06 ± 0.07 ±
13.72 ± 0.29 24.21 ± 0.84 20.12 ± 2.62 12.21 ± 0.82
0.77 ± 0.03 1.56 ± 0.02 1.03 ± 0.03 0.71 ± 0.00
0.01 0.01 0.01 0.01
Aktivitas Relatif (%) 56.69 100 82.83 50.59
± ± ± ±
0.75 0 7.94 5.13
Lampiran 11 Stabilitas protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada pH 8, salinitas 0 (kondisi optimum reaksi enzim) Waktu nkubasi (jam)
0 1 2 3 4 5 6
Aktivitas Protease (U ml-1) 0.12 ± 0.01
Aktivitas Relatif (%) 100 ± 0
0.16 ± 0.01 0.47 ± 0.04 0.30 ± 0.01 0.28 ± 0.04 0.23 ± 0.01
133.03 ± 8.59 384.08 ± 43.08 245.75 ± 10.50 227.10 ± 28.69
0.19 ± 0.02
150.07 ± 14.89
187.75 ± 3.62
Lampiran 12 Stabilitas protease Bacillus sp. DA 5.2.3 pada kondisi umum tambak udang (pH 8, salinitas 2.5%) Waktu Inkubasi (jam) 0 1 2 3 4 5 6
Aktivitas Protease (U ml-1) 0.70 ± 0.00 0.56 ± 0.02 0.58 ± 0.01 0.46 ± 0.01 0.32 ± 0.02 0.27 ± 0.02 0.17 ± 0.03
Aktivitas Relatif (%) 100 ± 0 80.29 ± 9.13 82.22 ± 5.78 65.28 ± 5.44 57.20 ± 2.15 47.10 ± 3.69 38.00 ± 13.81
Lampiran 13 Stabilitas amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada kondisi
84
pH 6, salinitas 1.5% (optimum) Waktu Inkubasi (jam) 0 1 2 3 4 5 6
Aktivitas (U ml-1) 1.10 ± 0.02 1.37 ± 0.15 1.25 ± 0.10 1.21 ± 0.01 1.03 ± 0.12 0.83 ± 0.16 0.77 ± 0.05
Aktivitas Relatif (%) 100.00 ± 0 124.44 ± 8.57 113.67 ± 15.85 109.92 ± 1.96 93.69 ± 7.92 75.95 ± 13.81 69.80 ± 7.11
Lampiran 14 Stabilitas amilase Bacillus sp. DA 5.2.3 pada kondisi umum tambak (pH 8, salinitas 2.5%) Waktu nkubasi (jam) 0 1 2 3 4 5 6
Aktivitas Protease (U ml-1) 0.26 ± 0.01 0.78 0.45 0.28 0.30 0.31 0.22
± ± ± ± ± ±
0.01 0.01 0.00 0.01 0.01 0.02
Aktivitas Relatif (%) 100 ± 0.00 115.28 ± 36.11 120.94 ± 11.71 110.94 ± 30.66 95.84 ± 9.25 121.69 ± 9.23 123.00 ± 3.08
Lampiran 15 Komposisi larutan untuk SDS-PAGE Pembuatan Larutan 1.
Larutan A : larutan Akrilamid 100 ml 30% (w/v) akrilamid, 0.8% (w/v) bis-akliramid a. 29.29 gram akrilamid b. 0.89 gram bis-akrilamid Kedua bahan diatas ditambah dengan air destilata sampai 100mL diaduk sampai larut sempurna. Larutan ini dapat disimpan dalam refrigerator selama beberapa bulan.
2.
Larutan B : (bufer gel pemisah 4x) 100 mL a. 2 M Tris HCL (pH 8-8) 75 mL b. 10% SDS 4 ml (0.4%) c. H 2 O 21 ml Stabil disimpan beberapa bulan dalam refrigerator
3.
Larutan C a. 0.1M Tris-HCl (pH 6.8) 50 mL b. 10% SDS 4 mL (0.4%) c. H 2 O 4.5 mL Stabil disimpan beberapa bulan dalam refrigerator
85
4.
Ammonium Persulfat 10%, 5 mL a. 0.5 g ammonium persulfat b. H 2 O 5 mL Stabil disimpan beberapa bulan dalam tabung tertutupdalam refrigerator
5.
Bufer eleksoforesis, 1 L a. 3 g Tris 25 mM b. 14.4 g glisin 25 mM c. SDS 1 gr 0.1% d. Tambahkan H 2 O menjadi 1 L pH sekitar 8.3 , stabil disimpan pada suhu ruang
6.
Bufer sampel 5x, 10 mL a. 1 M Tris – HCl 0.6 mL (pH 6.8) 60 mM b. Gliserol 50% 5 mL c. SDS 10% 2 ml 2% d. 2- merkaptoetanol 0.5mL e. Bromophenol blue 1%, 1 mL f. H 2 O 0.9 mL Stabil disimpan beberapa minggu dalam refrigerator atau beberapa bulan pada -200C
Penghitungan X % gel pemisah Larutan A Larutan B H2O 10% Ammonium persulfat TEMED Total volume
X/3 mL 2.5 mL 7.5. X/3) mL 50 µl 5 µl (10 µl jika X<8) 10 mL
Persiapan gel pemisah (8%) 2.7 mL larutan A 2.5 mL larutan B 4.8 mL H 2 O 50 µl 10% Ammonium persulfat 5 ml TEMED
Persiapan gel penahan H2O 2.3 mL Larutan A 0.67 mL Larutan C 10 mL Lampiran 16 TSS dari kultur Bacillus sp. DA 5.2.3 pada media pakan udang (SF)
86
1.2% A. Bacillus sp. DA 5.2.3 Waktu
N
Berat akhir (gr)
( hari)
0
1
2
3
4
Berat Awal (gr)
( Spl + K)
(K)
1 2
0.13 0.14
1 2
Volume (mL)
RerataTSS -1
Penurunan TSS ± SE
( Spl)
(mg L )
0.11 0.12
15 15
1745
0 ±0
0.13 0.14
0.11 0.11
15 15
1366
22 ± 89
1 2
0.14 0.12
0.12 0.11
20 20
889
49±41
1 2
0.16 0.14
0.14 0.12
20 20
868
50±76
1 2
0.13 0.14
0.11 0.13
20 20
842
52±49
Keterangan: N K
= ulangan = kertas saring
Spl = sampel SE = standard error
(%)
TSS = total suspended solid
B. Bacillus sp. SP Waktu
N
( hari)
0
1
2
3
4
Berat akhir (gr)
Berat Awal (gr)
Volume Spl (mL)
RerataTSS -1
(mg L )
Penurunan TSS ±SE
(Spl + K)
(K)
(%)
1 2
0.13 0.13
0.11 0.10
15 15
1743
0±73
1 2
0.14 0.14
0.11 0.11
15 20
1739
0±39
1 2
0.14 0.13
0.11 0.10
20 20
1370
21±46
1 2
0.14 0.15
0.12 0.14
10 10
986
45±98
1 2
0.15 0.15
0.13 0.13
10 20
836
51±32
87
A. Kontrol (tanpa bakteri) Waktu ( hari)
0
1
2
3
4
N
Berat akhir (gr) (Spl + K)
Berat awal (gr) (K)
Volume Spl (mL)
RerataTSS (mg L-1)
Penurunan TSS±SE (%)
1 2
0.13 0.13
0.10 0.11
15 15
1750
0±43
1 2
0.14 0.14
0.11 0.11
20 20
1705
1±67
1 2
0.17 0.15
0.14 0.12
20 20
1393
20±92
1 2
0.16 0.13
0.13 0.10
20 20
1366
22±46
1 2
0.16 0.14
0.13 0.12
20 20
1306
25±51
Lampiran 17 Sekuen 16s rRNA Bacillus sp. DA 5.2.3 > Bacillus sp. DA 5.2.3 AAGTTAGCGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCATAAGACTGGGATA ACTCCGGGAAACCGGGGCTAATACCGGATAACATTTTGAACCGCATGGTTCGAAATT GAAAGGCGGCTTCGGCTGTCACTTATGGATGGACCCGCGTCGCATTAGCTAGTTGGTG AGGTAACGGCTCACCAAGGCAACGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCAC ACTGGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCG CAATGGACGAAAGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGATGAAGGCTTTCGGGTCG TAAAACTCTGTTGTTAGGGAAGAACAAGTGCTAGTTGAATAAGCTGGCACCTTGACG GT ACCTAACCAGAAAGCCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGG TGGCAAGCGTTATCCGGAATTATTGGGCGTAAAGCGCGCGCAGGTGGTTTCTTAAGTC TGATGTGAAAGCCCACGGCTCAACCGTGGAGGGTCATTGGAAACTGGGAGACTTGAG TGCAGAAGAGGAAAGTGGAATTCCATGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGAGATATGGAG GAACACCAGTGGCGAAGGCGACTTTCTGGTCTGTAACTGACACTGAGGCGCGAAAGC GTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCACGCCGTAAACGATGAGTGCT AAGTGTTAGAGGGTTCCGCCCTTTAGTGCTGAAGTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGG GGAGTACGGCCCCAAGGCTGAAACTCAAAGGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGT GGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAGGTCTTGACATCCTC TGAAAACCCTAGAGATAGGGCTTCTCCTTCGGGAGCAGAGTGACAGGTGGTGCATGG TTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAGCGCAACCCTT GATCTTAGTTGCCATCATTAAGTTGGGCACTCTAAGGTGACTGCCGGTGACAAACCGG AGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTACACACGT GCTACAATGGACGGTACAAAGAGCTGCAAGACCGCGAGGTGGAGCTAATCTCATAAA ACCGTTCTTCAGTTCGGATTGTAGGCTGCAACTCGCCTACATGAAGCTGGAATCGCTA GTAATCGCGGA
88
Lampiran 18
Hasil analisis Blast sekuen gen penyandi 16S rRNA Bacillus sp. DA 5.2.3
Nomor akses
Spesies Bacillus homolog
% Permintaan terpenuhi
GU 125426.1
Gen 16S rRNA Bacillus cereus strain IMAU800004
GU 125425.1
Gen 16S rRNA Bacillus cereus strain IMAU80003
GU113075.1
Gen 16S rRNA Bacillus sp. PS(2009)
EU333128.1
Gen 16S rRNA Bacillus cereus strain DBT3ST4
EU333125.1
Gen 16S rRNA Bacillus sp. Pc60
% kesamaan maksimum
100
99
100
99
100
99
100
99
100
99