PEMANFAATAN IOTA KARAGINAN (Eucheuma spinosum) DAN KAPPA KARAGINAN (Kappaphycus alvarezii) SEBAGAI SUMBER SERAT UNTUK MENINGKATKAN KEKENYALAN MIE KERING
Oleh : MARYA ULFAH C34104014
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN MARYA ULFAH. C34104014. Pemanfaatan Iota Karaginan (Eucheuma spinosum) dan Kappa Karaginan (Kappaphycus alvarezii) sebagai Sumber Serat untuk Meningkatkan Kekenyalan Mie Kering. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan UJU. Mie kering adalah salah satu bentuk pangan olahan dari tepung terigu yang banyak dikonsumsi dan digemari oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan mie dapat disajikan secara cepat, mudah dan juga dapat disajikan dalam berbagai variasi makanan atau digunakan sebagai substitusi nasi. Mie merupakan produk pangan dengan segmentasi kosumen yang luas, sehingga dipilih dalam penelitian ini untuk ditambahkan karaginan yang berfungsi dalam meningkatkan kandungan serat pangan dan memberikan karakteristik sensori yang lebih baik dari segi kekenyalannya. Tujuan umum penelitian adalah untuk pemanfaatan kappa dan iota karaginan sebagai bahan tambahan (fortifikasi) dalam pembuatan mie kering. Tujuan khususnya adalah mempelajari ekstraksi dan karakterisasi sifat fisikokimia kappa dan iota karaginan serta pengaruh penambahan kappa dan iota karaginan dalam formulasi mie kering dan evaluasi karakteristiknya (organoleptik, fisik dan kimia). Eucheuma spinosum dan Kappaphycus alvarezii digunakan dalam proses pembuatan iota karaginan dan kappa karaginan. Kedua jenis karaginan ini menghasilkan karakteristik fisika dan kimia yang telah memenuhi standar yang ditetapkan FAO, FCC dan EEC, kecuali dari rendemen dan kadar sulfat kappa karaginan. Karaginan yang dihasilkan ditambahkan ke dalam mie kering dengan berbagai konsentrasi 0%; 0,25%; 0,5%; dan 0,75%. Mie kering selanjutnya diuji hedonik dan uji perbandingan pasangan terhadap parameter warna mie mentah, warna mie matang, aroma, rasa, kekenyalan dan penampakan. Penambahan iota atau kappa karaginan masing-masing pada konsentrasi 5%, menghasilkan mie yang disukai panelis berdasarkan uji hedonik. Hasil uji perbandingan pasangan mie iota karaginan 0,5% memiliki penampakan, aroma, rasa dan kekenyalan lebih baik dari mie komersial, sedangkan mie kappa karaginan 0,5% memiliki aroma, rasa dan kekenyalan yang lebih baik dari mie komersial. Pengujian karakteristik kimia menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar air mie kering iota dan kappa karaginan masing-masing menjadi 3,75% dan 3,95%; kadar abu menjadi 2,66% dan 2,78%; sedangkan kadar protein mengalami penurunan menjadi 8,51% dan 8,41%; karbohidrat menjadi 79,10% dan 78,96%, dan kadar lemak tidak berbeda nyata apabila dibandingkan dengan kontrol dan mie komersial. Kandungan serat pangan larut dan serat pangan tidak larut mie iota karaginan 0,5% dan mie kappa karaginan 0,5% lebih besar dibandingkan mie kontrol dan mie komersial. Hal ini sesuai dengan persen AKG serat pangan larut mie iota dan kappa karaginan sebesar 17,70% dan 19,94% dan persen AKG serat pangan tidak larut mie iota dan kappa karaginan sebesar 5,82% dan 5,79%.
PEMANFAATAN IOTA KARAGINAN (Eucheuma spinosum) DAN KAPPA KARAGINAN (Kappaphycus alvarezii) SEBAGAI SUMBER SERAT UNTUK MENINGKATKAN KEKENYALAN MIE KERING
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Marya Ulfah C34104014
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul
:
PEMANFAATAN IOTA KARAGINAN (Eucheuma spinosum) DAN KAPPA KARAGINAN (Kappaphycus alvarezii) SEBAGAI SUMBER SERAT UNTUK MENINGKATKAN KEKENYALAN MIE KERING
Nama Mahasiswa :
Marya Ulfah
NRP
C34104014
:
Menyetujui Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si NIP : 131 999 592
Uju, S.Pi, M.Si NIP : 132 282 668
Mengetahui Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP : 131 578 799
Tanggal lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Pemanfaatan Iota Karaginan
(Eucheuma
spinosum)
dan
Kappa
Karaginan
(Kappaphycus alvarezii) sebagai Sumber Serat untuk Meningkatkan Kekenyalan Mie Kering” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009 Marya Ulfah NRP : C34104014
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1985 di Bekasi Jawa Barat.
Penulis adalah anak terakhir dari
tujuh bersaudara, dari pasangan Bapak H. Kurtubi dan (Alm) Ibu Hj. Zenab.
Penulis memulai jenjang
pendidikan formal di SDN Burangkeng 02 Bekasi lulus pada tahun 1998.
Kemudian penulis melanjutkan di
MTsN Sukamanah Tasikmalaya lulus pada tahun 2001 dan melanjutkan ke MAN Sukamanah Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa IPB melalui jalur USMI (undangan seleksi Masuk IPB) di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Teknologi Hasil Perairan. Selama menjalani aktivitas studi di IPB, penulis aktif sebagai pengurus HIMASILKAN 2005-2006 dan FPC 2007-2008. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul Pemanfaatan Iota Karaginan (Eucheuma spinosum) dan Kappa Karaginan
(Kappaphycus
alvarezii)
sebagai
Sumber
Serat
untuk
Meningkatkan Kekenyalan Mie Kering di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Bapak Uju, S.Pi, M.Si.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi
dengan
judul
“Pemanfaatan
Iota
Karaginan
(Eucheuma spinosum) dan Kappa Karaginan (Kappaphycus alvarezii) sebagai Sumber Serat untuk Meningkatkan Kekenyalan Mie Kering”. Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Uju S.Pi, M.Si sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran kepada penulis selama ini. 2. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen penguji atas arahan dan saran yang sangat berharga. 3. Ir. Anna Carolina Erungan, MS sebagai pembimbing akademik atas saran dan arahannya. 4. Bapak H. Kurtubi dan (alm) Ibu Hj. Zenab serta kakak dan tetehku tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun material serta doa yang tidak terbatas kepada penulis. 5. Bapak Djoko Poernomo, Ibu Ema, Ibu Rubiah dan Bapak Junaedi serta temanteman di SEAFAST terima kasih atas bantuan dan sarannya kepada penulis. 6. Seluruh dosen, staf TU, dan pegawai di THP (Mas Mail, Pak Ade, Pak Jamhuri, Pak Tatang, Mba Heni, Bu Yati dan Umi), terima kasih atas bantuannya kepada penulis. 7. Teman-teman satu perjuangan : Ari, Fuji, Deslina, Rijal, dan Mas Candra. 8. Teman-teman An-nur (Yanti, Eka, Dila, Nia, Astri, Santi, Laswati, Prima, Ayu, Nita, Reta dan Mba Nur) dan al-demi (Amel, Estrid, Iis, Ranti, Didi, Sikah, Enif danVika). 9. Anak-anak THP 41 ( Rijan, Ratna, Risti, Theta, Vera, Ika, Sereli, Haris, Glory, Anang, Laler, Dwi, Indah, Yudha, Yuga, Gilang, Bojong, Nujul dan Alim serta seluruh teman THP 41 yang tidak bisa disebutkan satu persatu).
10. Mas Sigit, Mas Deden, Mba Oke, dan Mba Finda terima kasih atas sarannya. 11. Kakak THP 40 serta adik-adik THP 42 dan 43 yang telah banyak membantu selama ini. 12. Teman-temanku seasrama dulu (Yanti Barasa, Anggi dan Ani). 13. Windhyka Priyatmoko, S.Pi atas segala kesabaran, dukungan, kasih sayang, semangat, dan pengalaman indah kepada penulis. 14. Terakhir, kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan disini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas semua dukungannya. Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan saran dan bantuan dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Marya Ulfah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii 1. PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .................................................................................
1
1.2 Tujuan .............................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
4
2.1 Kappaphycus alvarezii. .....................................................................
4
2.2 Eucheuma spinosum..........................................................................
5
2.3 Karaginan ......................................................................................... 2.3.1 Jenis karaginan ........................................................................ 2.3.2 Sifat-sifat dasar karaginan ...................................................... 2.3.3 Pembentukan gel ...................................................................... 2.3.4 Stabilitas .................................................................................. 2.3.5 Spesifikasi mutu karaginan ......................................................
7 7 9 12 13 13
2.4 Mie Kering ........................................................................................
14
2.5 Bahan yang Digunakan dalam Pembuatan Mie Kering.......................
15
2.6 Proses Pembuatan Mie Keing ............................................................
17
2.7 Serat Pangan ......................................................................................
19
3. METODOLOGI .....................................................................................
21
3.1 Waktu dan Tempat ...........................................................................
21
3.2 Bahan dan Alat ................................................................................
21
3.2.1 Bahan .................................................................................... 3.2.2 Alat .......................................................................................
21 21
3.3 Tahapan Penelitian ...........................................................................
22
3.3.1 Penelitian tahap pertama ....................................................... 3.3.2 Penelitian tahap kedua ..........................................................
22 23
3.4 Prosedur Analisis ............................................................................
25
3.4.1 Analisis karaginan. ............................................................... (1) Rendemen karaginan (FMC Corp. 1977) .......................... (2) Kekuatan gel (FMC Corp. 1977)....................................... (3) Viskositas (FMC Corp. 1977) ...........................................
25 25 26 26
(4) Kadar sulfat (FMC Corp. 1977) ........................................ (5) Kadar abu (Food Chemical Codex 1981) .......................... (6) Titik leleh (Suryaningrum dan Utomo 2000) ..................... (7) Titik jendal (Suryaningrum dan Utomo 2000) ................... Uji hedonik............................................................................ Uji perbandingan pasangan .................................................... Analisis fisik mie kering ........................................................ (1) Cooking time ................................................................... (2) Daya serap air (DSA) ( Fardiaz et al. 1992) ..................... (3) Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) (Oh et al. 1985) ............................................................... (4) Elongasi .......................................................................... (5) Tekstur profil analisis metode Tekstur Analyzer by TA-XT (6) Warna (Soekarto 1990).................................................... Analisis Kimia Mie Kering .................................................... (1) Kadar air ( AOAC 1995)................................................... (2) Kadar abu (AOAC 1995) .................................................. (3) Kadar protein (AOAC 1995)............................................. (4) Kadar lemak (AOAC 1995) .............................................. (5) Kadar karbohidrat (by difference) ..................................... (6) Kadar serat pangan metode enzimatik (Sulaeman et al. 1993)......................................................
26 27 27 27 27 28 28 28 28
3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ..........................................
33
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
37
4.1 Penelitian tahap pertama ..................................................................
37
4.2 Penelitian tahap kedua......................................................................
40
4.2.1 Uji hedonik ............................................................................... (1) Warna mie mentah ............................................................. (2) Warna mie matang ............................................................. (3) Aroma ................................................................................ (4) Rasa ................................................................................... (5) Kekenyalan ....................................................................... (6) Penampakan....................................................................... 4.2.2 Uji perbandingan pasangan ....................................................... (1) Warna mie mentah ............................................................. (2) Warna mie matang ............................................................. (3) Aroma ................................................................................ (4) Rasa ................................................................................... (5) Kekenyalan ....................................................................... (6) Penampakan....................................................................... 4.2.3 Analisis fisik mie kering............................................................ (1) Cooking time ...................................................................... (2) Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) .................. (3) Daya serap air (DSA) ......................................................... (4) Kekerasan ..........................................................................
40 40 42 43 43 44 46 47 48 48 49 49 49 50 50 50 51 52 53
3.4.2 3.4.3 3.4.4
3.4.5
29 29 29 30 30 30 30 31 31 31 31
(5) Kekenyalan ....................................................................... (6) Elongasi ............................................................................. (7) Warna ................................................................................ 4.2.4 Karakteristik kimia mie kering ................................................. (1) Analisis proksimat ............................................................... (2) Serat pangan .......................................................................
54 55 56 57 57 59
4.3
Informasi nilai gizi mie kering...................................................
60
5. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
63
5.1 Kesimpulan ......................................................................................
63
5.2 Saran ................................................................................................
63
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
65
LAMPIRAN ................................................................................................
70
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Komposisi kimia rumput laut Kappaphycus alvarezii .............................
5
2.
Komposisi kimia rumput laut kering Eucheuma spinosum ......................
8
3.
Sifat-sifat karaginan ...............................................................................
11
4.
Spesifikasi mutu karaginan ....................................................................
15
5.
Persyaratan mutu mie kering. .................................................................
16
6.
Formulasi pembuatan mie kering ...........................................................
26
7.
Karakteristik fisika dan kimia iota dan kappa karaginan .........................
39
8.
Komposisi proksimat mie kering ............................................................
60
9.
Angka kecukupan gizi ............................................................................
63
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Rumput laut Kappaphycus alvarezii .......................................................
4
2.
Rumput laut Eucheuma spinosum...........................................................
6
3.
Struktur kimia karaginan ........................................................................
8
4.
Diagram alir pembuatan karaginan dari Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum ........................................................................
23
5.
Diagram alir pembuatan mie kering .......................................................
25
6.
Nilai rata-rata uji hedonik terhadap warna mie mentah karaginan ...........
41
7.
Nilai rata-rata uji hedonik terhadap warna mie matang karaginan ...........
42
8.
Nilai rata-rata uji hedonik terhadap aroma karaginan..............................
43
9.
Nilai rata-rata uji hedonik terhadap rasa karaginan .................................
44
10. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap kekenyalan karaginan ......................
45
11. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap penampakan karaginan ....................
46
12. Nilai rata-rata tingkat penilaian uji perbandingan pasangan mie iota dan kappa karaginan dengan mie komersial .....................................
48
13. Nilai rata-rata cooking time mie kering...................................................
51
14. Nilai rata-rata kehilangan padatan akibat pemasakan mie kering ............
52
15. Nilai rata-rata daya serap air mie kering .................................................
53
16. Nilai rata-rata kekerasan mie kering .......................................................
54
17. Nilai rata-rata kekenyalan mie kering .....................................................
55
18. Nilai rata-rata elongasi air mie kering.....................................................
55
19. Nilai rata-rata warna mie kering .............................................................
57
20. Nilai rata-rata serat pangan mie kering ...................................................
60
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Score sheet uji hedonik mie kering iota dan kappa karaginan .................
71
2.
Score sheet uji perbandingan berpasangan..............................................
72
3.
Rekapitulasi uji hedonik mie karaginan .................................................
73
4.
Rekapitulasi uji perbandingan pasangan .................................................
79
5
Hasil perankingan data uji organoleptik (uji hedonik) pada mie kering iota dan kappa karaginan ........................................................................
81
6.
Hasil uji Multiple Comparison data organoleptik (uji hedonik) pada mie kering kappa karaginan....................................................................
83
7.
Hasil uji Multiple Comparison data organoleptik (uji hedonik) pada mie kering iota karaginan .......................................................................
84
8.
Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data cooking time mie kering .....
86
9.
Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data KPAP mie kering ..............
86
10. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data DSA mie kering .................
87
11. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data kekerasan mie kering .........
87
12. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data kekenyalan mie kering .......
88
13. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data elongasi mie kering ............
88
14. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data warna b mie kering ............
89
15. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data kadar air mie kering ...........
89
16. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data kadar abu mie kering ..........
90
17. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data kadar protein mie kering ....
90
18. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data lemak mie kering ...............
91
19. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data kadar karbohidrat mie kering ..............................................................................................
91
20. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data serat larut mie kering .........
92
21. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data serat tidak larut mie kering ..............................................................................................
92
22. Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data total serat pangan mie kering ..............................................................................................
93
23. Pembuatan mie kering dengan penambahan karaginan ...........................
94
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km, kaya akan berbagai jenis sumber hayati terutama rumput laut. Potensi rumput laut ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, dimana rumput laut dari dulu telah digunakan sebagai bahan makanan dan obat-obatan. Akan tetapi belum semua rumput laut yang ada dimanfaatkan secara optimal. Rumput laut termasuk salah satu komoditas ekspor yang potensial untuk dikembangkan.
Produksi rumput laut kering di Indonesia setiap tahunnya
mengalami peningkatan dimana pada tahun 2004 sekitar 410.570 ton dan meningkat hingga 1.343.700 ton pada tahun 2007 (Numberi 2007). Peningkatan produksi ini didukung karena Indonesia memiliki sumberdaya yang cukup besar baik yang alami maupun budidaya. Salah satu jenis rumput laut Indonesia yang memiliki nilai ekonomis penting adalah Rhodophyceae (ganggang merah). Rumput laut ini merupakan penghasil agar-agar dan karaginan.
Beberapa jenis rumput laut penghasil
agar-agar yaitu Gracilaria sp., Gelidium sp., Gellidiopsis sp. dan rumput laut penghasil karaginan adalah Eucheuma sp. Budidaya Eucheuma sp. tersebar di Kepulauan Seribu, Pantai Jawa bagian Selatan, Madura, Bali, NTB, Kepulauan Riau, Pantai Barat Sumatera dan Sulawesi Selatan (Anggadiredja 2006). Karaginan merupakan suatu jenis galaktan yang memiliki karakteristik unik dan memiliki daya ikat air yang cukup tinggi. Peranan karaginan tidak kalah penting bila dibandingkan dengan agar-agar maupun alginat. Berdasarkan sifat-sifatnya karaginan digunakan sebagai pengemulsi, penstabil, pengental, dan bahan pembentuk gel. Karaginan umumnya digunakan pada industri makanan sebagai pengemulsi, selain itu juga dimanfaatkan pada industri kosmetik, tekstil, obat-obatan dan cat. Karaginan terdiri dari dua fraksi yaitu kappa karaginan dan iota karaginan. Kappa karaginan terdapat pada Kappaphycus alvarezii yang larut dalam air panas, sedangkan iota karaginan berasal dari jenis Eucheuma spinosum larut dalam air dingin (Aslan 1998). Gel yang terbentuk dari kappa karaginan
berwarna agak gelap dan mempunyai tekstur mudah retak, sedangkan gel yang terbentuk dari jenis iota karaginan berwarna lebih jernih dibandingkan kappa dan mempunyai tekstur empuk dan elastis (Fardiaz 1989). Pergeseran pola makan masyarakat Indonesia dari pola makanan berserat tinggi ke pola makanan berserat rendah dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, kegemukan, jantung koroner, stroke, kolesterol tinggi, kanker usus dan wasir. Penyakit degeneratif tersebut dapat dicegah dengan mengkonsumsi serat pangan (Muchtadi 2001). Oleh karena itu, perlu upaya diversifikasi serat pangan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dengan cara menambahkannya ke dalam produk pangan. Mie kering merupakan produk pangan dengan segmentasi konsumen yang luas, sehingga dipilih dalam penelitian ini untuk ditambahkan karaginan yang berfungsi dalam meningkatkan kandungan serat pangan dan memberikan karakteristik sensori yang lebih baik dari segi kekenyalannya. Mie kering adalah salah satu bentuk pangan olahan dari tepung terigu yang banyak dikonsumsi dan digemari oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan mie dapat disajikan secara cepat, mudah dan juga dapat disajikan dalam berbagai variasi makanan atau digunakan sebagai substitusi nasi. Sejauh ini, pangsa pasar mie kering secara nasional mencapai 70 sampai 80 persen dengan kapasitas 150 ribu ton yang terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pergeseran konsumsi dari mie basah ke mie kering membuat pangsa pasar produk ini semakin besar (Mogoginta 2007). Secara umum, mie dapat digolongkan menjadi dua, mie kering dan mie basah. Pada umumnya, mie basah adalah mie yang belum dimasak (nama-men) dimana kandungan airnya cukup tinggi sehingga cepat basi.
Jenis mie ini
biasanya hanya tahan 1 hari. Kategori kedua adalah mie kering (kan-men), seperti ramen, soba dan beragam mie instant yang banyak kita jumpai di pasaran. Keunggulan mie kering dibandingkan dengan mie basah yaitu daya awet yang lebih lama, karena kandungan air dalam mie kering lebih sedikit.
1.2. Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah pemanfaatan kappa dan iota karaginan sebagai bahan tambahan (fortifikasi) dalam pembuatan mie kering.
Tujuan
khusus penelitian ini adalah: 1.
mengekstraksi kappa dan iota karaginan masing-masing dari rumput laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum serta mengevaluasi karakteristik fisiko-kimianya;
2.
mempelajari pengaruh penambahan kappa dan iota karaginan dalam formulasi mie kering dan evaluasi karakteristiknya (organoleptik, fisik dan kimia).
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kappaphycus alvarezii Kappaphycus alvarezii adalah salah satu jenis rumput laut dari kelas
Rhodophyceae (ganggang merah). Gambar rumput laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Gambar 1. Klasifikasi rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii menurut Atmadja et al. (1996) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Gigartinales
Famili
: Solieriaceae
Genus
: Kappaphycus
Spesies
: Kappaphycus alvarezii
Gambar 1. Kappaphycus alvarezii (Indonetwork.co.id) Nama Euchema cottonii, umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional, sebagai komoditas ekspor dan bahan baku industri penghasil karaginan. Karaginan yang dihasilkan adalah tipe kappa karaginan. Oleh karena itu, jenis ini secara taksonomi diubah namanya dari Eucheuma cottonii menjadi Kappaphycus alvarezii (Atmadja et al. 1996). Ciri fisik Kappaphycus alvarezii mempunyai thallus silindris, permukaan licin, kartilogineous, warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Penampakan thallus bervariasi mulai bentuk sederhana sampai kompleks.
Duri-duri pada
thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal. Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah kearah datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996). Kandungan utama rumput laut segar adalah air yang mencapai 80-90%, sedangkan kadar protein dan lemaknya sangat kecil. Walaupun kadar lemak rumput laut sangat rendah, tetapi susunan asam lemaknya sangat penting bagi kesehatan. Lemak rumput laut mengandung asam lemak omega 3 dan omega 6 dalam jumlah yang cukup tinggi. Kedua asam lemak ini merupakan asam lemak yang penting bagi tubuh, terutama sebagai pembentuk membran jaringan otak, syaraf, retina mata, plasma darah dan organ reproduksi. Dalam 100 g rumput laut kering mengandung asam lemak omega 3 berkisar 128–1629 mg dan asam lemak omega 6 berkisar 188–1704 mg (Winarno 1996). Komposisi kimia rumput laut Kappaphycus alvarezii dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia rumput laut Kappaphycus alvarezii Komponen Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Serat pangan tidak larut (g/100 g)* Serat pangan larut (g/100 g)* Mineral Zn (mg/g) Mineral Mg (mg/g) Mineral Ca (mg/g) Mineral K (mg/g) Mineral Na (mg/g)
Sumber : Santoso et al. (2003)
Jumlah 0,7 0,2 3,4 58,6 10,7 0,01 2,88 2,80 87,10 11,93
Keterangan * = basis kering
2.2. Eucheuma spinosum Eucheuma spinosum adalah salah satu jenis rumput laut dari kelas Rhodophyceae (ganggang merah).
Gambar rumput laut Eucheuma spinosum
disajikan pada Gambar 2. Klasifikasi Eucheuma spinosum menurut Atmadja et al. (1996) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Gigartinales
Famili
: Solieriaceae
Genus
: Eucheuma
Spesies
: Eucheuma spinosum
Gambar 2. Eucheuma spinosum (Iptek.net.id) Eucheuma spinosum dikenal dengan nama ilmiah Eucheuma muricatum dan Eucheuma denticulatum merupakan penghasil utama iota karaginan. Ciri fisik Eucheuma spinosum mempunyai bentuk thallus bulat tegak, dengan ukuran panjang 5-30 cm, transparan, warna coklat kekuningan sampai merah kekuningan. Permukaan thallus tertutup oleh tonjolan yang berbentuk seperti duri-duri runcing yang tidak beraturan, duri tersebut ada yang memanjang seolah berbentuk seperti cabang. Tanaman tegak karena percabangannya yang rimbun dapat membentuk rumpun. Percabangan thallus tumbuh pada bagian yang tua ataupun muda tidak beraturan. Di daerah Cirebon, Solor, Selat Sunda dikenal sebagai rambu kasang, di Madura dikenal sebagai bulung agar dan di Pulau Seribu dikenal sebagai agar patah tulang (Atmadja et al. 1996). Komposisi senyawa organik dari rumput laut Eucheuma spinosum yang tumbuh di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia rumput laut kering Eucheuma spinosum Komponen Air (%) Protein kasar (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Serat kasar (%) Abu (%) Kalsium (ppm) Besi (ppm) Tembaga (ppm) Vitamin B1 (mg/100 g) Vitamin B2 (mg/100 g) Vitamin C (mg/100 g) Karaginan (%)
Jumlah 12,90 5,12 0,13 13,38 1,39 14,21 52,85 0,108 0,768 0,21 2,26 43,00 65,75
Sumber: Poncomulyo (2006)
2.3. Karaginan Karaginan merupakan getah rumput laut yang diekstrak dengan air atau larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah). Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester kalium, natrium,
magnesium,
dan
kalsium
sulfat,
dengan
galaktosa
dan
3,6-anhidrogalaktopolimer (Winarno 1996). Karaginan tersusun dari unit D-galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosa dengan ikatan
-1,3 dan
-1,4 pada
polimer heksosanya (Glicksman 1983). Pada atom hidroksil, terikat gugus sulfat dengan ikatan ester.
Berat molekul karaginan cukup tinggi yaitu berkisar
100-500 kDa (Angka dan Suhartono 2000). Sumber
karaginan
untuk
daerah
tropis
adalah
dari
spesies
Kappaphycus alvarezii yang menghasilkan kappa karaginan, Eucheuma spinosum yang menghasilkan iota karaginan. Kedua jenis rumput laut tersebut banyak terdapat di sepanjang pantai Filipina dan Indonesia. Sebagian besar karaginan sebetulnya diproduksi dari jenis Chondrus crispus yang berwarna merah tua, bentuknya seperti daun parsley, dan hidup pada kedalaman sekitar 3 meter (Winarno 1996). 2.3.1. Jenis karaginan Karaginan merupakan kompleks campuran dari lima polimer yaitu kappa, lamda, iota, mu dan nu (Fennema dan Rol 1985). Struktur kimia karaginan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur kimia karaginan (Imenson 2000) Kappa karaginan tersusun dari unit D-galaktosa-4-sulfat dengan ikatan -1,3 dan unit 3,6-anhidro-D-galaktosa dengan ikatan karaginan
sering
mengandung
-1,4. Disamping itu
D-galaktosa-6-sulfat
ester
dan
3,6-anhidro-D-galktosa-2-sulfat ester. Kappa karaginan terbentuk sebagai hasil aktivitas enzim dekinkase yang mengkatalis µ(mu)-karaginan menjadi kappa karaginan dengan cara menghilangkan atom C6 pada ikatan 1,4 galaktosa-6-sulfat (Glicksman 1983). Adanya gugusan 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karaginan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi
gugusan
6-sulfat,
3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan
yang
menghasilkan
demikian derajat
terbentuknya
keseragaman molekul
meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1996). Peningkatan kandungan
unit
3,6-anhidro-D-galaktosa
akan
menyebabkan
peningkatan
sensitivitas terhadap ion kalium yang pada akhirnya dapat meningkatkan kekuatan gel dari karaginan.
Kappa karaginan yang baik mempunyai kandungan
3,6-anhidro-D-galaktosa yang hampir mendekati 35% (Glicksman 1983). Iota karaginan merupakan jenis karaginan dengan kandungan sulfat berada di antara lamda dan kappa karaginan.
Iota karaginan dapat membentuk gel
dengan sifat yang elastis. Iota karaginan ditandai dengan adanya ikatan
1,3-D-galaktosa-4-sulfat dan ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat. Iota karaginan terbentuk karena hilangnya sulfat pada atom C6 dari (nu)-karaginan sehingga terbentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa yang selanjutnya menjadi iota karaginan (Glicksman 1983). Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali seperti halnya kappa karaginan. Iota karaginan sering mengandung beberapa gugusan 6-sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul yang dapat dihilangkan dengan pemberian alkali (Winarno 1996). Perbedaan utama antara iota dengan kappa karaginan adalah adanya gugus 2-sulfat pada 3,6-anhidro-D-galaktosa pada iota karaginan yang mempengaruhi sensitivitas terhadap ion kalium. menyebabkan
penurunan
Peningkatan gugus 2-sulfat hingga 25-50%
sensitivitas
terhadap
ion
kalium
yang
juga
mengakibatkan penurunan kekuatan gel yang terbentuk. Walaupun demikian, adanya gugus 2-sulfat ester hingga 80% akan menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap ion kalsium.
Hal inilah yang akan menyebabkan iota
karaginan akan membentuk gel yang kuat bila dicampur dengan ion kalsium (Glicksman 1983). Lamda karaginan tersusun dari ikatan 1,3-D-galaktosa-2-sulfat dan 1,4-D-galaktosa-2,6-disulfat. Lamda karaginan berbeda dengan kappa dan iota karaginan, karena memilki sebuah residu disulfat
(1,4) D-galaktosa. Tidak
seperti halnya pada kappa dan iota karaginan yang selalu memiliki gugus 4-fosfat ester. Lamda karaginan yang terekstraksi oleh alkali kuat akan menjadi -karaginan dengan melepas 6-sulfat dari ikatan 1,4-D-galaktosa-2,6-disulfat untuk membentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa (Glicksman 1983). Posisi sulfat dapat dengan mudah ditentukan dengan infrared spectrophotometer (Winarno 1996). 2.3.2.Sifat-sifat dasar karaginan Sifat-sifat yang dimiliki karaginan antara lain: kelarutan, pH, stabilitas, viskositas, pembentukan gel dan reaktifitas dengan protein. Sifat-sifat tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya unit bermuatan (ester sulfat) dan penyusun dalam polimer karaginan. Karaginan biasanya mengandung unsur berupa garam sodium dan kalium yang juga berfungsi untuk menentukan sifat-sifat karaginan
(Pebrianata 2006). Perbedaan sifat dari ketiga jenis karaginan dapat dilihat dari Tabel 3. Tabel 3. Sifat-sifat karaginan Karakteristik Ester sulfat 3,6-anhidro-Dgalaktosa Kelarutan Air panas
Kappa 25-30% 28-35%
Iota 28-35% -
Lamda 32-39% 30%
Larut > 70 oC
Larut > 70 oC
Larut
Susu panas
Larut garam Na+, K+, tidak dalam Ca2+ Mengembang baik
Larut garam Na+, tidak dalam K+ dan Ca2+ Larut
Susu dingin
Tidak larut
Tidak larut
Semua garam Larut mengental Larut panas
Sulit larut
Larut panas
Tidak larut
Larut panas
Tidak larut
Tidak larut
Tidak larut
Gel lebih kuat dengan ion K+
Gel lebih kuat dengan ion Ca2+
Kuat dan sineresis
Elastis dan tidak sineresis
Sineresis
Tidak sineresis
Stabil
Stabil
Stabil
Gel stabil
Tergantung panas
Hidrolisis
Air dingin
Larutan gula Larut panas Larutan garam Pelarut organik Gelasi Pengaruh kation Tipe gel Pengaruh locus bean gum Stabilitas pH netral dan alkali Asam (pH 3,5)
Tidak membentuk gel Tidak membentuk gel Membentuk gel dan tidak sineresis
Sumber : Glicksman (1983)
(1)
Kelarutan Air merupakan pelarut utama karaginan. Kelarutan karaginan di dalam air
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: suhu, ada tidaknya kation, tipe ion yang berhubungan dengan polimer, ada tidaknya senyawa organik yang larut dalam air dan garam (Towle 1973). Semua jenis karaginan larut dalam air panas. Di dalam larutan garam kation K+ atau Ca2+, kedua jenis karaginan tersebut tidak dapat larut dan hanya menunjukkan pengembangan, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu: jenis dan konsentrasi kation, densitas karaginan, suhu, pH, adanya ion penghambat dan lain-lain (Glicksman 1983). Lamda karaginan larut di dalam air dingin dan larutan garam segala jenis kation. Jenis lamda adalah karaginan yang tidak dapat membentuk gel. Diantara semua tipe karaginan, lamda karaginan larut baik di dalam cairan susu dingin.
Di dalam susu panas, semua karaginan
dilaporkan larut (Glicksman 1983). Bahan terlarut lain seperti gula dan garam menurunkan kelarutan karaginan dalam air. Kappa dan lamda karaginan larut dalam sukrosa pekat panas (sampai dengan 60%), sedangkan iota hanya sedikit larut. Dalam larutan garam sampai 25% lamda dan iota larut, sedangkan kappa mengendap. Pada konsentrasi garam di atas 25% ketiga jenis karaginan tersebut mengendap (Guiseley et al. 1980). Faktor terpenting dalam pengamatan kelarutan karaginan adalah sifat hidrofilik molekul yaitu pada kelompok ester-sulfat dan unit galaktopiranosa, sedangkan unit 3,6-anhidro-galaktopiranosa bersifat hidrofobik. Kappa dan lamda karaginan larut dalam larutan gula jenuh dalam keadaan panas, tetapi iota karaginan mempunyai gel yang bersifat elastis, bebas sineresis, dan reversible sehingga lebih mudah larut dalam air dingin dan larutan garam natrium (Glicksman 1983). (2)
Viskositas Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan.
Suspensi
koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara mengentalkan cairan sehingga terjadi absorbsi dan pengembangan koloid.
Pada prinsipnya pengukuran
viskositas adalah mengukur ketahanan gesekan lapisan molekul cairan yang berdekatan. Viskositas yang tinggi dari suatu materi disebabkan karena gesekan internal yang besar sehinga cairannya mengalir (Glicksman 1983). Viskositas meningkat secara eksponensial dengan konsentrasi. Sifat ini berlaku pada polimer linear yang mempunyai beberapa gugus dan sebagai akibat meningkatnya konsentrasi interaksi antara rantai-rantai polimer (Stanley 1987 dalam Winata 2008). Viskositas larutan karaginan akan turun oleh peningkatan suhu. Perubahan tersebut berbentuk eksponensial dan bersifat reversible jika pemanasan dilakukan pada pH sekitar 9 dan tidak berlangsung dalam waktu yang lama sehingga terjadi degradasi secara thermal (Towle 1973).
Pendinginan iota dan kappa karaginan akan meningkatkan viskositas, khususnya jika mendekati suhu pembentukan gel dan adanya kation K+ dan Ca2+ karena mulai terjadi interaksi antar rantai-rantai polimer. Oleh karena itu, biasanya pengukuran viskositas dilakukan pada suhu tinggi (misalnya 75 oC untuk mencegah terjadinya pembentukan gel) (Guiseley et al. 1980). 2.3.3. Pembentukan gel Pembentukan gel merupakan suatu fenomena pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel tergantung pada jenis hidrokoloidnya.
Gel mungkin mengandung sampai 99,9% air.
Gel
mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan (Fardiaz 1989). Pada umumnya karaginan dapat melakukan interaksi dengan makromolekul yang bermuatan, misalnya protein sehingga mampu menghasilkan berbagai jenis pengaruh seperti peningkatan viskositas, pembentukan gel, pengendapan dan penyaringan stabilisasi.
Hasil interaksi dari karaginan dan protein sangat
tergantung pada pH larutan serta pH isoelektrik dari protein (Winarno 1996). Proses pembentukan gel terjadi karena adanya ikatan antar rantai polimer sehingga membentuk struktur tiga dimensi yang mengandung pelarut pada celah-celahnya (Glickman 1983).
Pembentukan kerangka tiga dimensi oleh
‘double helix’ akan mempengaruhi pembentukan gel. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel mengakibatkan polimer karaginan menjadi acak.
Bila suhu diturunkan maka larutan polimer akan
membentuk pilinan ganda dan apabila penurunan suhu dilanjutkan maka polimer ini akan membentuk stuktur tiga dimensi (Glicksman 1983). Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karaginan terjadi pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin, karena mengandung gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa. Proses ini bersifat reversible, artinya gel akan mencair bila dipanaskan dan apabila didinginkan akan membentuk gel kembali. Adanya perbedaan jumlah, tipe dan posisi sulfat serta adanya ion-ion akan mempengaruhi proses pembentukan gel. Ion monovalen yaitu K+, NH4+, Rb+ dan Cs+ membantu
pembentukan gel. Kappa karaginan membentuk gel yang keras dan elastis. Dari semua karaginan, kappa karaginan memberikan gel yang paling kuat. 2+
karaginan membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca .
Iota
Ion Na+
dilaporkan menghambat pembantukan gel jenis kappa dan lamda (Angka dan Suhartono 2000). Karaginan berfungsi sebagai penstabil, pengental, pengemulsi, pembentuk gel, tablet kapsul, plester. Karaginan banyak digunakan pada produk pangan dan non-pangan.
Kurang lebih 80% produksi karaginan digunakan pada industri
makanan, farmasi, dan kosmetik (Whistler dan Miller 1973). 2.3.4. Stabilitas Karaginan akan stabil pada pH 7 atau lebih, tetapi pada pH yang rendah stabilitasnya akan menurun bila terjadi peningkatan suhu (Glicksman 1983). Karaginan kering dapat disimpan dengan baik selama 1,5 tahun pada suhu kamar dengan pH 5–6,9 karena selama penyimpanan pada pH tersebut tidak terjadi penurunan kekuatan gel. Asam dan unsur pengoksidasi dapat menghidrolisis karaginan dalam larutan yang menyebabkan kehilangan sifat-sifat fisik melalui pemutusan ikatan glikosidik. Penurunan pH menyebabkan hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas dan potensi untuk membentuk
gel.
Hidrolisis
dipercepat
oleh
panas
pada
pH
rendah
(Moirano 1977). Karaginan akan mengalami depolimerisasi secara perlahan-lahan selama penyimpanan. Dua sifat penting karaginan yaitu kekuatan gel dan reaktivitas dengan protein dipengaruhi oleh proses polimerisasi ini.
Kappa dan iota
karaginan biasanya memiliki daya kekuatan gel serta kekuatan reaksi terhadap protein dan tidak terpengaruh oleh proses depolimerisasi. Penyimpanan dalam suhu kamar selama satu tahun, penurunan kekuatan gelnya tidak dapat dideteksi karena terlalu kecil (Winarno 1996). 2.3.5. Spesifikasi mutu karaginan Indonesia belum mempunyai standar mutu karaginan tetapi secara internasional telah dikeluarkan spesifikasi mutu karaginan sebagai persyaratan minimum yang diperlukan bagi suatu industri pengolahan baik dari segi teknologi maupun dari segi ekonomi yang meliputi kualitas hasil ekstraksi rumput laut
(Doty 1986). Angka dan Suhartono (2000) mengemukakan bahwa spesifikasi mutu karaginan ditentukan oleh kandungan beberapa senyawa seperti senyawa mudah menguap, sulfat, abu, abu tidak larut asam, beberapa logam berat dan kehilangan karena pengeringan. Secara internasional spesifikasi kemurnian karaginan dikeluarkan oleh Food Agriculture Organization (FAO), Food Chemical Codex (FCC), dan European Economic Community (ECC). Standar mutu karaginan ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Spesifikasi mutu karaginan Spesifikasi Zat volatil (%) Sulfat (%) Kadar abu (%) Viskositas (cps) Kadar abu tidak larut asam (%) Logam berat : Pb (ppm) As (ppm) Cu2+ dan Zn (ppm) Zn (ppm) Kehilangan karena pengeringan (%)
Sumber : A/S Kobenhvsn Pektinfabrik (1978)
FAO Maks. 12 15-40 15-40 Min. 5 -
FCC Maks. 12 18-40 Maks. 35 Maks. 1
ECC Maks. 12 15-40 15-40 Maks. 2
Maks. 10 Maks. 3 -
Maks. 10 Maks. 3 Maks. 12
Maks. 10 Maks. 3 Maks. 50 Maks. 25 -
2.4. Mie Kering Mie kering adalah produk makanan kering yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan lain yang diijinkan, berbentuk khas mie. Dilihat dari bahan dasarnya, mie dapat dibuat dari berbagai macam tepung, seperti tepung terigu, tepung beras, tepung kanji, tepung jagung dan tepung kacang hijau. Dari jenis tepung di atas, mie dari tepung terigu paling banyak digunakan khususnya untuk membuat mie instant (Sutomo 2006). Menurut Winarno (1991), mie dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus dibawah 13%. Secara umum mie dapat digolongkan menjadi dua, mie kering dan mie basah. Pada umumnya mie basah adalah mie yang belum dimasak (nama-men) kandungan airnya cukup tinggi sehingga cepat basi, jenis mie ini biasanya hanya tahan 1 hari. Kategori kedua adalah mie kering (kan-men), seperti ramen, soba dan beragam mie instant yang banyak kita jumpai di pasaran (Sutomo 2006).
Persyaratan mutu mie kering berdasarkan pada SNI 01-2974-1996 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Persyaratan mutu mie kering Jenis Uji Keadaan
Bau Warna Rasa
Air Protein (N x 6,25) BTM Boraks Pewarna tambahan Cemaran Timbal (Pb) logam Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Arsen (As) Cemaran Angka lempeng mikroba total Coliform Kapang
Satuan
Persyaratan
% (b/b) % (b/b) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/g
Mutu I Mutu II Normal Normal Normal Normal Normal Normal Maks. 8 Maks. 10 Min. 11 Min. 8 Tidak boleh ada Sesuai SNI 01-0222-1995 Maks. 1 Maks.1 Maks. 10 Maks. 10 Maks. 40 Maks. 40 Maks. 0,05 Maks. 0,05 Maks. 0,5 Maks. 0,5 Maks. 1 x 106 Maks.1 x 106
APM/g koloni/g
Maks. 10 Maks. 1x 104
Maks. 10 Maks.1x 104
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1996)
Kualitas mie kering ditentukan oleh warna, kualitas pemasakan dan teksturnya. Karakteristik mie kering yang disukai adalah memiliki penampakan warna yang cerah, sedikit yang pecah saat pemasakan dan memiliki permukaan yang lembut serta tidak ditumbuhi mikroba (Oh et al. 1983). 2.5. Bahan yang Digunakan dalam Pembuatan Mie Kering Bahan utama pembuatan mie kering secara umum yaitu tepung terigu, air dan garam, sedangkan bahan tambahan yang sering digunakan dalam pembuatan mie kering adalah garam alkali, pewarna dan bahan lainnya (Astawan 2002). 1.
Tepung terigu Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie.
Tepung terigu
berfungsi membentuk struktur mie, sumber protein dan karbohidrat.
Tepung
terigu yang umumnya digunakan untuk menghasilkan mie berkualitas tinggi adalah hard flour (mengandung protein 12-13%). Mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air 14%, kadar protein 8-12%, kadar abu 0,25-0,60%, dan gluten basah 24-36%. Kandungan protein utama tepung terigu
yang berperan dalam pembentukan gluten adalah gliadin (prolamin dalam gandum) dan glutenin. Protein dalam tepung terigu untuk pembuatan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mie menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksinya (Astawan 2002). 2.
Air Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dan karbohidrat,
melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya air. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6–9, hal ini disebabkan absorpsi air makin meningkat dengan naiknya pH. Makin banyak air yang diserap, mie menjadi tidak mudah patah. Jumlah air yang optimum membentuk pasta yang baik (Anonim 2007).
Jumlah air yang
ditambahkan pada mie umumnya sekitar 28-38% dari campuran bahan yang digunakan. Jika lebih dari 38% adonan akan menjadi sangat lengket, jika kurang dari 28% adonan akan menjadi rapuh sehingga sulit dicetak (Astawan 2002). 3.
Garam dapur Garam
berperan
dalam
memberi
rasa,
memperkuat
tekstur
mie,
meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mie serta mengikat air. Selain itu garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amylase sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan 2002). 4.
Garam alkali Garam alkali yang biasa digunakan dalam produk mie adalah natrium
karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3), dan kalium polifosfat (KH2PO4). Garam alkali ini bisa juga disebut air abu, kansui, atau soda abu. Garam alkali dapat ditambahkan masing-masing atau kombinasi dari 2-3 alkali.
Fungsi
masing-masing dari alkali tersebut berbeda-beda. Natrium karbonat berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan tekstur mie. Kalium karbonat berfungsi meningkatkan sifat kekenyalan mie dan kalium polifosfat untuk elastisitas dan fleksibilitas
mie
(Astawan
2002).
mempengaruhi warna adonan mie. berasal dari tepung terigu.
Penambahan
larutan
alkali
dapat
Adonan mie dapat menjadi kuning yang
5.
Telur Secara umum, penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu
protein mie dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah terputus-putus.
Penggunaan telur 5% dapat meningkatkan kandungan gizi
terutama protein, mengurangi keluarnya padatan saat mie direbus, memperbaiki warna, aroma, dan sifat adonan supaya lebih liat dan tidak mudah putus-putus (Astawan et al. 2003). Kuning telur berfungsi untuk mengembangkan adonan dan mempercepat hidrasi karena adanya lesitin. Penambahan kuning telur juga akan memberikan warna yang seragam, sedangkan putih telur dapat membentuk elastisitas yang kuat dan membentuk lapisan tipis pada permukaaan mie untuk mencegah penyerapan miyak.
Pemakaian putih telur yang berlebihan dapat
menurunkan kemampuan mie menyerap air (daya rehidrasi) waktu direbus (Astawan 2002). 2.6. Proses Pembuatan Mie Kering Proses pembuatan mie secara umum dapat dilakukan pada beberapa tahap yaitu pencampuran, pembentukan lembaran, pencetakan mie, pengukusan, dan pengovenan (Astawan 2002). 1.
Pencampuran Proses pencampuran bertujuan agar hidrasi air dengan tepung berlangsung
merata dan untuk menarik serat-serat gluten sehingga terbentuk adonan yang elastis dan halus. Adonan terbentuk karena gluten mengembang ketika menyerap air. Peremasan menyebabkan serat gluten tersusun dengan baik (bersilang) dan terbungkus dengan pati sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Pencampuran bahan-bahan harus dilakukan sampai benar-benar homogen.
Kehomogenan
adonan akan mempengaruhi keseragaman produk akhir yang dihasilkan baik karakteristik fisik, kimia maupun organoleptik (Sunaryo 1985). Faktor yang harus diperhatikan dalam proses ini adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan dan waktu pengadukan. Penambahan air ke dalam adonan menurut Hatcher dalam Owens (2001) berkisar antara 30-35% dengan waktu pengadukan kurang dari 20 menit. 15-25 menit.
Waktu pengadukan terbaik adalah
Lebih dari 25 menit adonan menjadi rapuh, keras dan kering,
sedangkan kurang dari 15 menit adonan menjadi lunak dan lengket. Suhu adonan
yang terbaik adalah sekitar 25-40 oC (Astawan 2002). Apabila suhu kurang dari 25 oC adonan menjadi keras, rapuh dan kasar, sedangkan bila lebih dari 40 oC menyebabkan adonan menjadi lengket dan mie menjadi kurang elastis. 2.
Pembentukan lembaran Pembentukan lembaran adonan bertujuan untuk menghaluskan serat-serat
gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Proses ini dilakukan dengan melewatkan adonan diantara dua rol logam.
Tujuan tersebut dapat tercapai
dengan jalan melewatkan adonan berulang-ulang diantara dua rol logam. Faktor yang mempengaruhi proses ini adalah suhu dan jarak antar rol.
Suhu yang
diharapkan adalah sekitar 37 oC. Di bawah suhu tersebut adonan menjadi kasar dan pecah-pecah, mutu mie kasar dan mudah patah, terjadi pemborosan bahan baku. Adonan yang diharapkan akan membentuk lembaran yang halus, homogen, tidak terputus, serta mempunyai ketebalan 1,5 mm (Astawan 2002). 3.
Pencetakan mie Lembaran adonan yang tipis selanjutnya dimasukkan ke mesin pencetak mie
yang berfungsi mengubah lembaran mie menjadi untaian mie yang bergelombang. Lebar untaian mie yang dihasilkan umumnya sekitar 1-2 mm (Astawan 2002). 4.
Pengukusan Dalam proses pengukusan pita-pita mie ini dimasak dengan menggunakan
uap air. Pemanasan ini menyebabkan gelatinisasi pati meleleh ke permukaan mie membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mie (Sunaryo 1985). Gelatinisasi ini juga meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mie.
Terjadi perubahan
pati beta menjadi pati alfa yang lebih mudah dimasak sehingga struktur alfa ini harus dipertahankan dalam mie kering dengan cara dehidrasi (pengeringan) (Astawan 2002). 5.
Pengovenan Pengovenan
bertujuan
untuk
mengeringkan
mie
secara
sempurna
(kadar air 11-12%), menjadikan produk kering dan renyah, serta terbentuk lapisan protein. Proses ini juga bertujuan untuk menurunkan kadar air sehingga mie dapat disimpan lebih lama.
2.7. Serat Pangan Serat pangan (dietary fiber) dalam arti fisiologi yaitu polisakarida tumbuhan dan lignin yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan manusia (Trowell 1976 dalam Hasanah 2007). Definisi serat pangan menurut Theander dan Aman (1979) dalam Astawan et al. (2003) adalah grup polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem sekresi normal pada sistem gastrointestinal bagian atas tubuh manusia, namun demikian beberapa jenis komponennya dapat dicerna oleh mikroflora dalam usus besar menjadi produkproduk terfermentasi. Secara umum serat pangan dapat dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan fungsi tumbuhannya, yaitu: (1) polisakarida struktural, termasuk selulosa dan non-selulosa,
seperti
hemiselulosa,
pektin,
karaginan,
asam
alginat;
(2) non-polisakarida struktural, yaitu lignin; (3) polisakarida non-struktural contohnya gum dan musilase (Schneeman 1996). Berdasarkan sifat kelarutannya di dalam air serat pangan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat larut (soluble dietary fiber ) dan tidak larut (insoluble dietary fiber ). Adapun yang dimaksud dengan serat larut adalah serat yang dapat terdispersi di dalam air dan bukan sebagai kelarutan kimiawi, sedangkan serat tidak larut ditunjukan pada serat yang tidak terdispersi di dalam air (Gallaher dan Schneeman 1996). Serat yang bersifat larut air adalah pektin, beta glukan, gum dan musilase. Serat yang bersifat larut ini mempunyai peranan fisiologis penting dalam menurunkan kadar kolesterol dan glukosa serum, serta mencegah penyakit jantung dan hipertensi (Astawan et al. 2003). Sumber serat tidak larut adalah selulosa, sebagian besar hemiselulosa, lignin, sejumlah kecil kitin, lilin tanaman dan terkadang senyawa pektat yang tidak larut. Pengkonsumsian serat pangan yang dianjurkan US FDA adalah 25 g/2000 kkal atau 30 g/2500 kkal. The American Cancer Society, The American Heart Association dan The American Diabetic Association menyarankan 25-35 g fiber/hari dari berbagai bahan makanan. Orang dewasa mestinya mengkonsumsi serat 20-35 g per hari atau 10-13 g per 1000 kkal tiap hari, sedangkan untuk anakanak dan remaja yang memiliki umur antara 2 hingga 20 tahun kebutuhan serat sama dengan umur yang ditambah dengan 5 gram serat setiap hari (Setiawan
2007).
Konsumsi serat rata-rata penduduk Indonesia adalah sekitar 10-15 g
per hari. Angka konsumsi tersebut tentu saja masih sangat jauh dari angka kecukupan yang dianjurkan. Menurut IOM (2002) dalam WNPG (2004) kecukupan serat makanan bagi anak
1 tahun berkisar antara 19-30 g/kap/hari
atau 10-14 g/1000 kkal dengan rasio serat makanan tidak larut dan serat makanan larut 3 : 1. Bila karbohidrat terlalu rendah akan memicu glukoneogenesis yang tidak efisien (energically expensive) dan harus dicegah, yang mana untuk menghasilkan 50 g glukosa harus dipecah 80 g protein. Salah satu bahan pangan yang mempunyai keistimewaan dalam kandungan serat pangan adalah rumput laut. Serat pangan rumput laut terletak pada alginat, agar dan karaginan. Serat pangan, khususnya yang bersifat larut telah diketahui berperan penting dalam menurunkan kadar kolesterol plasma.
Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa rumput laut yang mengandung komponen alginat, agar dan karaginan mempunyai pengaruh kuat dalam menurunkan kadar kolesterol plasma. Alginat memiliki afinitas yang tinggi terhadap logam berat dan unsur radioaktif, maka konsumsi alginat sangat membantu membersihkan polusi logam berat dan unsur radioaktif dalam makanan yang dikonsumsi manusia (Winarno 1996). Ren et al. (1994) dalam Astawan et al. (2003) mempelajari efek hipokolesterolemik, dimana agar dapat menurunkan kolesterol darah hingga 26% dan 39%, sedangkan alginat juga mempunyai potensi tinggi dalam menurunkan kolesterol darah melalui penghambatan absorpsi di usus. Selain itu berdasarkan penelitian Fahrenbach et al. (1966) dalam Muchtadi (2001), penambahan karaginan dalam ransum yang diberikan pada anak ayam dapat menurunkan kadar kolesterol plasma yaitu, penambahan 1% karaginan menunjukkan kadar kolesterol 89%, karaginan 2% menunjukkan kadar kolesterol 72%, dan 3% karaginan menunjukkan kadar kolesterol 49% terhadap kontrol.
3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Oktober 2008. Penelitian tahap pertama terdiri dari proses ekstraksi karaginan yang dilakukan di Laboratorium Biokimia, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, IPB dan analisis karaginan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB. Penelitian tahap kedua terdiri dari proses pembuatan mie kering dilakukan di Laboratorium SEAFAST, IPB. Pengujian organoleptik dilakukan di Laboratorium Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, IPB; analisis fisika dan kimia mie kering dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB. 3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga kelompok, yaitu bahan untuk pembuatan karaginan, bahan pembuatan mie dan bahan untuk analisis. Bahan-bahan untuk pembuatan karaginan adalah rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum yang diperoleh dari Pulau Pari Kepulauan Seribu DKI Jakarta, KOH, NaOH, IPA (isopropil alkohol) dan akuades. Bahanbahan untuk pembuatan mie adalah tepung terigu, garam dapur, air, telur dan air abu (kansui = campuran Na2CO3, K2CO3, KH2PO4). Bahan-bahan lainnya yang digunakan untuk analisis adalah akuades, H2SO4, NaOH, asam borat, HCl, natrium fosfat, etanol, aseton, BaSO4 dan NaCl. 3.2.2. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu alat untuk pembuatan mie dan karaginan, serta alat untuk analisis. Alat untuk pembuatan mie dan karaginan antara lain: timbangan digital, blender, kompor listrik, pisau, termometer, nilon ukuran 150 dan 300 mesh, gelas ukur, roll press pembuat mie, steamer, baskom, sendok, saringan plastik, dan oven. Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia dan organoleptik antara lain: cawan petri, labu gelas, saringan, bunsen, tanur, erlenmeyer, corong buchener, kertas saring,
vortex, sentrifuse, tekstur analyzer XT2, viscometer Brookfield dan peralatan gelas lainnya. 3.3. Tahapan Penelitian Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama dan tahap kedua. Tahap pertama bertujuan untuk mengekstraksi dan mengkarakterisasi karaginan dari rumput laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum. Tahap kedua bertujuan untuk pembuatan mie kering dengan penambahan iota dan kappa karaginan dan mengevaluasi karakteristiknya (organoleptik, fisik dan kimia). 3.3.1. Penelitian tahap pertama Proses ekstraksi karaginan pada dasarnya terdiri atas proses penyiapan bahan, pemisahan karaginan dari ekstraknya, pemurnian, pengeringan, dan penepungan. Rumput laut direndam selama 24 jam dengan air, dicuci, dipotong dan dihancurkan dengan menggunakan blender.
Selanjutnya Kappaphycus
alvarezii diekstraksi dengan KOH 0,5% dan Eucheuma spinosum diekstraksi dengan NaOH 1% pada suhu 90 oC sambil diaduk selama 3 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan nilon berukuran 150 dan 300 mesh.
Proses
pengendapan dilakukan dengan penambahan IPA dengan perbandingan volume ekstraksi rumput laut dan IPA 1:1,5 (v/v). Selanjutnya karaginan dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah itu dihancurkan sampai berbentuk serbuk atau tepung. Diagram alir proses pembuatan karaginan murni mengacu pada metode yang dilakukan oleh Uju (2005) sebagai berikut:
Rumput laut kering
Perendaman 24 jam dengan air
Pencucian dan pegecilan ukuran
Ekstraksi 1:40 (b/v) (rumput laut: air), suhu 90 oC, 3 jam pH 9-10, jenis basa KOH 0,5% untuk K.alvarezii dan NaOH 1% untuk E.spinosum Penyaringan 150 mesh
Residu
Filtrat
Penyaringan 300 mesh
Residu
Pengendapan filtrat dengan IPA (1:1,5) (v/v) Pengeringan Penepungan
Tepung kappa dan iota karaginan Gambar 4. Diagram alir pembuatan karaginan dari Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum (Uju 2005). 3.3.2. Penelitian tahap kedua Pada
penelitian
tahap
kedua
dilakukan
pembuatan
mie
dengan
menambahkan kappa atau iota karaginan pada berbagai konsentrasi yaitu: 0,25%; 0,5%; dan 0,75%. Prosedur pembuatan mie kering mengacu pada Astawan et al.
(2003). Pembuatan mie diawali dengan pencampuran tepung terigu, kappa atau iota karaginan dan garam selama 2 menit dan diberi air, telur serta garam alkali (kansui).
Proses ini dilakukan untuk menyeragamkan penyebaran air dan
mengembangkan gluten sehingga membentuk suatu ikatan yang kuat dan tidak mudah putus setelah bercampur menjadi mie. Adonan kemudian dipipihkan sehingga membentuk lembaran dengan menggunakan alat berupa dua rol logam setebal 2 mm dan dimasukkan ke dalam mesin pencetak mie. Setelah mengalami penggilingan, adonan kemudian dipotong-potong sepanjang 15 cm sehingga menghasilkan mie mentah. Mie yang telah terbentuk dikukus selama 15 menit dan dikeringkan dalam oven selama 1,5 jam pada suhu 60 oC hingga mie terlihat mengering. Formulasi mie kering dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Formulasi pembuatan mie karaginan (Modifikasi dari Astawan et al. 2003) Bahan Tepung terigu
Kontrol 100 g
Komposisi Perlakuan 1 Perlakuan 2 100 g
Telur Kansui
100 g
100 g
0,5%
0,75%
5g 1g
Garam Air Karaginan*
Perlakuan 3
2g 280-310 ml 0%
0,25%
Keterangan : penambahan karaginan berdasarkan berat bahan dasar 108 g *: modifikasi dari Astawan et al. (2003)
Setelah diperoleh produk mie kering maka dilakukan analisis mutu mie kering secara organoleptik, yaitu uji hedonik dan uji perbandingan pasangan meliputi warna mie mentah, warna mie matang, rasa, kekenyalan, penampakan dan aroma mie dengan menggunakan 30 panelis semi-terlatih. Selanjutnya dianalisis secara fisik dan kimia. Diagram alir proses pembuatan mie kering dapat dilihat pada Gambar 5.
Tepung terigu 100 g
Kansui 1 g, garam 2 g, air 280-310ml
Pencampuran (10-20 menit, 25-40 oC)
Telur 5 g, karaginan* 0,25%; 0,5% dan 0,75%
Pengistirahatan (resting)* Pembentukan lembaran
Pencetakan
Pengukusan (15 menit) Pengovenan (1,5 jam, 65 oC)*
Mie kering Gambar 5. Diagram alir pembuatan mie kering (Modifikasi dari Astawan et al. 2003*) 3.4. Prosedur Analisis Metode analisis pada penelitian ini dibagi menjadi 4 bagian, yaitu analisis karaginan, uji hedonik, uji perbandingan pasangan dan analisis fisiko-kimia mie kering. 3.4.1. Analisis karaginan (1)
Rendemen karaginan (FMC Corp. 1977) Rendemen sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio antara berat
karaginan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering. Rendemen (%)=
(2) Kekuatan gel (FMC Corp. 1977) Larutan karaginan 1,6% dan KCl 0,16% dipanaskan dalam bak air mendidih dengan pengadukan secara teratur sampai suhu 80 oC. Volume larutan dibuat sekitar 50 ml. Larutan panas dimasukkan ke dalam cetakan berdiameter kira-kira 4 cm dan dibiarkan pada suhu 10 oC selama 2 jam. Gel yang terbentuk diukur kekuatan gelnya dengan LFRA Tekstur Analyzer dengan probe TA 25/100, distance 10 mm dan test speed 0,5 mm/sec. (3)
Viskositas (FMC Corp. 1977) Larutan karaginan dengan konsentrasi 1,5% dipanaskan dalam bak air
mendidih sambil diaduk secara teratur sampai suhu mencapai 76-77 oC. Larutan karaginan tersebut diukur dengan spindle viscometer Brookfield yang berputar pada kecepatan 60 rpm dengan jarum spindle no.2. Spindel terlebih dahulu dipanaskan pada suhu 75 oC kemudian dipasangkan ke alat ukur viscometer Brookfield. Posisi spindle dalam larutan panas diatur sampai tepat, viscometer diputar dan suhu larutan diukur. Ketika suhu larutan mencapai 75 oC termometer dikeluarkan dan nilai viskositas diketahui dengan pembacaan viscometer pada skala 1 sampai 100. Pembacaan dilakukan setelah satu menit putaran penuh. Hasil pembacaan digandakan 5 kali untuk spindle no.2 bila dijadikan centipoises. (4)
Kadar sulfat (FMC Corp. 1977) Karaginan sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, kemudian
ditambahkan 50 ml HCl 0,2 N dan direfluks sampai mendidih selama 1 jam. Selanjutnya ditambahkan 25 ml larutan H2O2 ( 1:10) dan direfluks selama 6 jam sampai larutan menjadi jernih. Larutan ini dipindahkan ke dalam gelas piala dan dipanaskan sampai mendidih.
Selanjutnya ditambahkan 10 ml larutan BaCl2
(tetes demi tetes sambil diaduk) di atas penangas air selama 2 jam. Endapan yang terbentuk disaring dengan kertas saring tak berbau dan dicuci dengan akuades mendidih hingga bebas klorida. Kertas saring dikeringkan ke dalam oven pengering, kemudian diabukan pada suhu 1000 oC sampai didapat abu yang berwarna putih. Abu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Perhitungan kadar sulfat adalah sebagai berikut :
Kadar sulfat (%) = Keterangan : P = Berat endapan BaSO4 (mg) (5)
Kadar abu (Food Chemical Codex 1981) Karaginan sebanyak kurang lebih 2 g dimasukkan ke dalam cawan porselin
yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya, kemudian dipijarkan di tanur pada suhu 600 oC selama 6 jam sampai bebas dari arang.
Cawan beserta abu
didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Jika A berat cawan dan karaginan setelah dipijarkan dan B adalah berat cawan, maka kadar abu dapat dihitung dengan rumus : Kadar abu (%) = (6)
Titik leleh (Suryaningrum dan Utomo 2000) Larutan karaginan dengan konsentrasi 6,67% disiapkan dengan akuades.
Sampel diinkubasi pada suhu 10 ºC selama kurang lebih 2 jam. Pengukuran titik leleh dilakukan dengan cara memanaskan gel karaginan dalam waterbath. Di atas gel karaginan tersebut diletakkan gotri dan ketika gotri jatuh maka suhu tersebut dinyatakan sebagai titik leleh karaginan. (7)
Titik jendal (Suryaningrum dan Utomo 2000) Larutan karaginan dengan konsentrasi 6,67% disiapkan dengan akuades
dalam gelas ukur volume 15 ml. Suhu sampel diturunkan secara perlahan-lahan dengan cara menempatkan dalam wadah yang diberi pecahan es. Titik jendal diukur pada saat karaginan mulai membentuk gel dengan menggunakan termometer. 3.4.2. Uji hedonik (Soekarto 1985) Uji hedonik dilakukan terhadap produk akhir mie kering dengan menggunakan tes tingkat kesukaan konsumen. Uji ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi terbaik berdasarkan pilihan (preferensi) panelis semiterlatih yang dilakukan oleh 30 orang. Penilaian panelis terhadap parameter ditunjukkan dengan penilaian berupa angka dengan skala satu sampai tujuh, dimana 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak
suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka. Hasil dari uji ini diolah dengan perangkat lunak SPSS 13.0 menggunakan uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison apabila pengujian berbeda nyata. 3.4.3. Uji perbandingan pasangan (Soekarto 1985) Uji perbandingan pasangan adalah uji yang digunakan untuk mengetahui kelebihan dari satu sampel dibandingkan dengan sampel yang lainnya dengan membandingkan beberapa sampel dengan sampel komersial. Uji ini dilakukan terhadap panelis semi-terlatih (mahasiswa) sebanyak 30 orang. Masing-masing panelis diberikan dua sampel, salah satu sampel adalah mi kering dengan penambahan karaginan dan satu sampel lagi adalah produk mie kering komersial “Cap Atoom Bulan” yang diproduksi oleh PT Kuala Pangan Bogor. Prosedur tersebut dilakukan dengan cara, panelis diberikan dua sampel secara bersamaan, kemudian panelis diminta untuk membandingkan antara mie yang ditambahkan karaginan dengan mie komersial. Penilaian dari panelis dinyatakan dalam skor dari +3 sampai dengan -3 (+3 = sangat lebih baik, +2 = lebih baik, +1 = agak lebih baik, 0 = tidak berbeda, -1 = agak kurang, -2 = kurang, 3 = sangat kurang). 3.4.4. Analisis fisik mie kering (1)
Cooking time Mie kering ditimbang sebanyak 5 g dan air sebanyak 150 ml dididihkan,
setelah air mendidih mie kering dimasukkan dan stop watch dinyalakan. Pemasakan dihentikan bila sudah tidak terbentuknya garis putih bila ditekan dengan dua potong kaca. (2)
Daya serap air (DSA) (Fardiaz et al. 1992) Sebanyak 1 g contoh ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam tabung
sentrifuse. Selanjutnya ditambahkan 10 ml air dan dikocok dengan menggunakan vortex mixer.
Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm selama
30 menit. Selanjutnya volume supernatant diukur dengan menggunakan gelas ukur 10 ml. Daya serap air dihitung sebagai berikut: DSA (ml/g) =
(3)
Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) (Oh et al. 1985) Cooking loss atau kehilangan padatan akibat pemasakan merupakan
banyaknya padatan yang terkandung dalam mie kering yang keluar serta terlarut ke dalam air selama pemasakan. Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 g mie dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mie ditiriskan dan disiram air. Kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit.
Mie kemudian ditimbang dan
dikeringkan pada suhu 105 oC sampai berat konstan.
Kemudian ditimbang
kembali. KPAP (% bk) = (4)
Elongasi (Astawan et al. 2003) Elongasi atau pemanjangan mie diukur dengan menggunakan alat Tensile
Strenght Tester.
Sampel mie yang telah direhidrasi dengan panjang 18 cm
disiapkan kemudian ujungnya dipasang pada bagian penjepit (klem) atas dari alat dan dikeraskan (dikunci). Ujung mie lainnya dipasang pada klem bawah dan dikeraskan. Selanjutnya pengunci bagian klem atas dikendorkan sehingga klem atas dapat bergerak bebas untuk mendapatkan penempatan contoh uji yang benar (vertikal dan tidak terpuntir). Pengukuran elongasi mie siap dilakukan. Untuk memulai pengukuran, tuas yang ada disebelah kanan ditekan ke bawah sehingga alat akan menarik klem bawah dan sampel mie mendapat beban tarik tertentu. Bersamaan dengan itu jarum penunjuk bergerak ke atas menunjuk angka tertentu sesuai dengan beban tarik yang bekerja pada sampel mi. Pada saat tertentu sampel mie akan putus dan jarum penunjuk berhenti bergerak. Nilai yang ditunjuk oleh jarum pada skala piringan di bagian atas kanan alat menunjukkan nilai pemanjangannya. Pemanjangan (%) = (5)
Tekstur profil analisis metode Tekstur Analyzer by TA-XT Mie direbus dalam air mendidih selama 10 menit. Setelah itu langsung
disiram dengan air dingin dan ditiriskan selama 15 menit sehingga menjadi kering. Alat tekstur analyzer dinyalakan dan disetting pengujian Tekstur profil
analisis dengan probe 35 mm. Mie diletakkan ditengah papan pengukuran dan Tekstur Analyzer dimulai. Hasil yang keluar di komputer dicetak dan parameter berupa hardness (kekerasan) dan resiliencey (kekenyalan) digunakan untuk data sifat fisik mie. (6)
Warna (Soekarto 1990) Warna diukur dengan menggunakan alat cromameter Cr-200 dengan
mengukur nilai L, a dan b. Sampel dimasukkan ke dalam plastik bening. Sensor kromameter dihubungkan ke data prosesor. Kabel dihubungkan ke power supply, kemudian cromameter dinyalakan. Kalibrasi dilakukan dengan menambahkan sensor ke white caliberation plate. Sensor cromameter ditembakkan pada sampel, kemudian nilai yang tertera pada monitor dicatat. Nilai L menunjukkan antara warna putih ke hitam, nilai a menunjukkan antara warna merah ke hijau, serta nilai b menunjukkan warna kuning ke biru. 3.4.5. Analisis kimia mie kering (1)
Kadar air ( AOAC 1995) Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven.
Sebanyak 3 g sampel dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah diketahui beratnya, kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 oC selama 4-6 jam hingga beratnya konstan. Kadar air sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar air (%) (2)
Kadar abu (AOAC 1995) Sampel yang diperoleh dari pengujian kadar air dimasukkan ke dalam tanur
listrik dengan temperatur 400-600 oC selama 2 jam.
Setelah selesai, cawan
dikeluarkan dan dimasukkan desikator untuk didinginkan, lalu ditimbang. Persentase kadar abu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar abu (%) =
(3)
Kadar protein (AOAC 1995) Sampel seberat 0,2 g dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml, kemudian
dtambahkan 2 g K2SO4 dan HgO (1:1) serta 2 ml H2SO4 pekat. Setelah itu didestruksi selama 30 menit sampai diperoleh cairan hijau jernih. Setelah dingin, ditambah 35 ml akuades dan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H3PO3. Kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N dengan menggunakan indikator. Hal yang sama dilakukan untuk blanko. Persentase nitrogen dan kadar protein kasar dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar Nitrogen (%) = Kadar protein (%) = % N x 6,25 %N x 6 ,25
(4)
Kadar lemak (AOAC 1995) Sampel mie kering seberat 5 g dimasukkan ke dalam selongsong
pengekstrak, kemudian dimasukkan dalam labu soxhlet yang awalnya dikeringkan dalam oven dan telah ditimbang beratnya dan diekstraksi dengan petroleum eter di atas waterbath selama 6 jam. Hasil ekstraksi diuapkan dengan cara destilasi, lalu labu tersebut dipanaskan dalam oven 105 oC sampai diperoleh berat tetap, didinginkan dalam desikator dan ditimbang berat labu akhir. Persentase kadar lemak dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar lemak (%) = (5)
Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat dihitung dengan cara pengurangan terhadap kadar air,
abu, protein, dan lemak. Perhitungan kadar karbohidrat adalah sebagai berikut: Kadar karbohidrat (%) =100% - % kadar air - % kadar protein – % kadar abu - % kadar lemak (6)
Kadar serat pangan metode enzimatik (Sulaeman et al. 1993) Penentuan kadar serat pangan terdiri dari persiapan sampel dan penentuan
kadar serat pangan tidak larut serta serat larut.
1.
Persiapan sampel Sampel kering homogen diekstrak lemaknya dengan petroleum benzena
pada suhu kamar selama 15 menit, jika kadar lemak sampel melebihi 6-8%. Penghilangan lemak dari sampel bertujuan untuk memaksimumkan degradasi pati. Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer.
Kemudian
ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat ke dalam labu erlenmeyer dan dibuat menjadi suspensi. Penambahan buffer dimaksudkan untuk menstabilkan enzim termamyl. Sebanyak 100 µL termamyl dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Labu ditutup dan diinkubasi pada suhu 100 ºC selama 15 menit, sambil sekali-sekali diaduk. Tujuan penambahan termamyl dan pemanasan adalah untuk memecahkan pati dengan menggelatinisasi lebih dulu.
Labu diangkat dan didinginkan,
kemudian ditambahkan 200 ml air destilata dan pHnya diatur sampai menjadi 1,5 dengan menambahkan HCl 4 M.
Selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin.
Pengaturan pH hingga 1,5 dimaksudkan untuk mengkondisikan agar aktivitas enzim pepsin maksimum. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasi pada suhu 40 ºC dan digoyang dengan diagitasi selam 60 menit. Sebanyak 20 ml air destilata ditambahkan dan pH diatur menjai 6,8 dengan NaOH. Pengaturan pH menjadi 6,8 ditujukan untuk memaksimumkan aktivitas enzim pankreatin. Selanjutnya ditambahkan 100 mg enzim pankreatin ke dalam larutan. Labu ditutup dan diinkubasi pada suhu 40 ºC selama 60 menit sambil diagitasi.
Selanjutnya pH diatur dengan HCl menjadi 4,5.
Larutan disaring
melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) yang mengandung 0,5 g celite kering (serta tepat diketahui). Kemudian dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata sehingga diperoleh residu dan filtrat. Residu digunakan untuk penentuan serat pangan tidak larut, sementara filtrat digunakan untuk penentuan serat pangan larut. 2.
Penentuan serat pangan tidak larut Residu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton kemudian
dikeringkan pada suhu 105 ºC, sampai berat tetap (sekitar 12 jam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Selanjutnya residu diabukan di dalam
tanur 500 ºC selama paling sedikit 5 jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang setelah dingin (I1) 3.
Penentuan serat pangan larut Volume filtrat diatur dengan air sampai 100 ml dan sebanyak 400 ml aseton
95% hangat (60 ºC) ditambahkan dan diendapkan selama 1 jam. Larutan disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0,5 g celite kering kemudian dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%; 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton.
Endapan dikeringkan pada suhu 105 ºC semalam (sampai berat
konstan) dan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (D2).
Selanjutnya
residu diabukan pada tanur 500 ºC selama paling sedikit 5 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (I2). 4.
Penentuan serat pangan total Serat pangan total diperoleh dengan menjumlahkan nilai serat pangan tidak
larut (IDF) dan serat pangan larut (SDF). Blanko untuk serat pangan larut dan serat pangan tidak larut diperoleh dengan cara yang sama, tetapi tanpa sampel. Nilai blanko sekali-kali perlu diperiksa ulang, terutama jika menggunakan enzim dari kemasan yang baru. Rumus perhitungan IDF dan SDF: Nilai IDF (%) = Nilai SDF (%) = Nilai TDF (%) = Nilai IDF (%) + Nilai SDF (%) Keterangan : W = Berat contoh (g) B = Berat blanko bebas serat (g) D = Berat setelah analisis dan dikeringkan (g) I = Berat setelah diabukan (g) 3.5. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan satu faktor, yaitu penambahan karaginan murni yang terdiri dari 4 taraf, yaitu karaginan 0% (kontrol); 0,25%; 0,5%; dan 0,75% dan dilakukan
2 kali ulangan. Model rancangan percobaannya berdasarkan Steel dan Torrie (1993) adalah : Yij =
+
i + ij
Dimana : i = 1,2,3,4 j = 1,2 Keterangan: Yij =Respon pengaruh faktor penggunaan karaginan murni pada mie pada konsentrasi ke-i dan ulangan ke-j = Nilai rata-rata umum i
= Pengaruh penambahan karaginan pada konsentrasi ke-i
ij
= Pengaruh galat percobaan
Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut: H0 = Penambahan karaginan murni tidak berpengaruh terhadap karakteristik mie yang dihasilkan H1 =
Penambahan karaginan murni berpengaruh terhadap karakteristik mie yang dihasilkan.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam pada taraf beda nyata 5% (p<0,05). Jika hasil analisis ragam berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji lanjut beda nyata jujur (uji Tukey) dengan rumus sebagai berikut: BNJ
= q ( p, dbs )
Keterangan: BNJ
S2 r
: Nilai beda nyata jujur pada selang kepercayaan : Selang kepercayaan 95%
q
: Nilai tabel q
p
: Banyaknya perlakuan
dbs
: Derajat bebas sisa
S2
: Nilai kuadrat tengah sisa
r
: Banyak ulangan
Data hasil uji organoleptik diuji dengan uji nonparametrik Kruskal Wallis. Uji Kruskal Wallis ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan dan ranking. Apabila hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison yang
bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang dianalisis. Langkah-langkah metode pengujian Kruskal Wallis adalah sebagai berikut: 1) Merumuskan H0 dan H1 2) Perankingan 3) Membuat tabel ranking 4) Menghitung jumlah T(t-1)(t+1) 5) Menghitung faktor koreksi atau pembagi Pembagi = 1 -
T (n - 1)(n + 1)n
6) Menghitung H
12 H= n (n + 1)
Ri ni
2
− 3 (n + 1)
7 ) Menghitung H’
Pembagi = 1 -
T (n - 1)(n + 1)n
8) Melihat X2 tabel dengan
: 0,05 db (v) = k-1
Jika x2 hitung > x2 tabel = tolak H0 = uji lanjut Multiple Comparison Jika x2 hitung < x2 tabel = gagal tolak H0 Keterangan : T
= (t-1)(t+1)
ni Ri
= Banyaknya pengamatan dalam perlakuan 2
= Jumlah ranking dalam perlakuan ke-i
t
= Banyaknya pengamatan seri dalam kelompok
H’
= H terkoreksi Hasil yang berbeda nyata diuji dengan uji lanjut Multiple Comparison
dengan rumus sebagai berikut :
R i − R j >< Za/k(k−1)
N(N + 1) 1 1 + 12 ni n j
Ri
= Rata – rata ranking perlakuan ke-i
Rj
= Rata – rata ranking perlakuan ke-j
N
= Banyaknya data
K
= Banyaknya perlakuan
ni
= Jumlah data perlakuan ke-i
nj
= Jumlah data perlakuan ke-j
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Tahap Pertama Pada penelitian tahap pertama dilakukan ekstraksi karaginan dan karakterisistik fisiko-kimia tepung karaginan yang dihasilkan. Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut kering jenis Kappaphycus
alvarizii penghasil kappa karaginan dan Eucheuma spinosum penghasil iota karaginan yang berasal dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Tepung karaginan yang dihasilkan dianalisis karakteristik fisik maupun kimianya meliputi rendemen, viskositas, kekuatan gel, derajat putih, titik leleh, titik jendal, kadar abu dan kadar sulfat. Hasil dari analisis karaginan ini kemudian dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan oleh FAO, FCC dan EEC. Hasil analisis fisika dan kimia kappa dan iota karaginan serta standar yang ditetapkan oleh FAO, FCC dan EEC dapat dilihat dari Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik fisika dan kimia iota dan kappa karaginan Karakterisasi
Iota karaginan
Kappa karaginan
Rendemen (%) Viskositas (cps) Derajat putih (%) Kekuatan gel (g/cm2) Titik leleh (oC) Titik jendal (oC) Kadar abu (%) Kadar sulfat (%)
25,31 ± 0,43 43,00 ± 0,00 45,00 ± 0,13 760,63 ± 36,05 23,45 ± 0,07 23,95 ± 8,27 34,31 ± 0,26 20,83 ± 0,33
15,47 ± 0,00 37,50 ± 0,00 32,55 ± 0,13 853,14 ± 17,91 39,45 ± 0,49 33,15 ± 0,35 27,95 ± 0,00 12,64 ± 0,19
Sumber * : A/S Kobenhvsn Pektinfabrik (1978)
FAO Min.5 15-40 15-40
Standar* FCC
ECC
Maks.35 15-40 18-40 15-40
Rendemen karaginan merupakan berat karaginan yang terkandung dalam rumput laut kering dan dinyatakan dalam persen. Semakin tinggi nilai rendemen semakin besar output yang dihasilkan.
Rendemen karaginan Kappaphycus
alvarezii adalah 15,47%, sedangkan rendemen Eucheuma spinosum adalah 25,31%.
Rendemen Kappaphycus alvarezii masih di bawah standar dan
Eucheuma spinosum memenuhi standar. SNI 01-2690-1998 mensyaratkan kadar karaginan rumput laut kering tidak kurang dari 25%. Metode penyaringan dua tahap dalam proses pembuatan karaginan diduga dapat menyebabkan nilai
rendemen karaginan menjadi lebih rendah. Selain itu Chapman dan Chapman (1980) menyatakan bahwa rendemen dipengaruhi oleh spesies, iklim, metode ekstraksi, waktu pemanenan dan lokasi budidaya. Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan. Pengukuran viskositas dilakukan untuk menentukan nilai kekentalan suatu larutan yang dinyatakan dalam centipoise (cps). Nilai rata-rata viskositas yaitu 43,00 cps untuk iota karaginan dan 37,50 cps untuk kappa karaginan. Hasil dari penelitian ini telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh FAO yaitu mimimal 5 cps. Menurut Guiseley et al. (1980) dalam Pebrianata (2006) viskositas karaginan berkisar antara 5-800 cps yang diukur pada konsentrasi 1,5% dan suhu 75 oC dengan menggunakan viscometer Brookfield. Nilai viskositas iota karaginan lebih tinggi dibandingkan viskositas kappa karaginan. Hal ini dipengaruhi kandungan sulfat yang dapat menyebabkan larutan menjadi kental. Sulfat mempengaruhi adanya gaya tolak-menolak antar kelompok ester yang bermuatan sama dengan molekul air yang terikat dalam karaginan. Kandungan sulfat iota karaginan lebih tinggi dibandingkan kappa karaginan sehingga menyebabkan viskositas iota karaginan lebih tinggi. Derajat putih merupakan salah satu faktor untuk menentukan nilai mutu dari produk tepung. Nilai derajat putih iota karaginan adalah 45,00% dan nilai derajat putih kappa karaginan adalah 32,55%. Dari hasil ini menunjukkan bahwa kappa karaginan memiliki warna yang lebih coklat dibandingkan dengan iota karaginan. Warna kecoklatan karaginan diduga disebabkan masih adanya selulosa, pigmen fikoeritrin dan fikosianin.
Imeson (2000) menyatakan bahwa selulosa dapat
menyebabkan warna karaginan menjadi keruh. Dengan adanya penyaringan dua kali yaitu dengan nilon 150 dan 300 mesh berfungsi mengurangi kandungan selulosa pada karaginan. Penyaringan memisahkan selulosa dengan filtrat dari rumput laut. Terpisahnya selulosa yang berwarna kecoklatan menyebabkan warna yang dihasilkan semakin cerah. Warna tepung karaginan yang lebih putih akan mempermudah dalam aplikasi produk khususnya produk pangan. Hasil analisis kekuatan gel iota karaginan adalah 760,63 g/cm2, sedangkan kekuatan gel kappa karaginan adalah 853,14 g/cm2. Kappa karaginan mempunyai nilai kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan iota karaginan.
Hal ini
disebabkan kandungan sulfat iota karaginan lebih tinggi, dimana tingginya kadar sulfat dapat menyebabkan terputusnya ikatan 3,6-anhidro-D-galaktosa sehingga kekuatan gelnya menurun.
Tingginya kadar sulfat meningkatkan viskositas
karaginan, sedangkan kekuatan gelnya menurun.
Menurut McHugh (2003)
kekuatan
sulfat
gel
dipengaruhi
oleh
kandungan
dan
kandungan
3,6-anhidro-D-galaktosa. Kandungan sulfat dapat menghambat pembentukan gel sehingga polimer terdapat dalam bentuk sol, sedangkan kandungan 3,6-anhidroD-galaktosa menyebabkan sifat beraturan dalam polimer dan akan meningkatkan potensi pembentukan double helix. Titik jendal adalah suhu pada saat karaginan mulai membentuk gel, sedangkan titik leleh adalah suhu dimana gel karaginan mulai mencair (Winata 2008). Hasil dari analisis titik leleh iota karaginan dan kappa karaginan adalah 23,45 oC dan 39,45 oC, sedangkan titik jendal iota karaginan dan kappa karaginan adalah 23,95 oC dan 33,15 oC.
Titik leleh dan titik jendal kappa
karaginan lebih tinggi dibandingkan titik leleh dan titik jendal iota karaginan. Hal ini karena titik leleh dan titik jendal berbanding lurus dengan kandungan sulfat dan kandungan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Menurut Glicksman (1983) kappa karaginan memiliki kandungan 3,6-anhidro-D-galaktosa hampir mendekati 35%. Selain itu menurut Philips dan Williams (2002) dalam Winata (2008) kappa karaginan memiliki kandungan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang lebih tinggi dan kandungan sulfat yang lebih sedikit dibandingkan iota karaginan. Hasil analisis kadar abu iota karaginan dan kappa karaginan adalah 27,95% dan 34,31%. Dari hasil penelitian ini kadar abu kappa dan iota karaginan memenuhi standar yang ditetapkan FAO dan EEC berkisar antara 15-40%. Menurut Winarno (1996) tingginya kadar abu karaginan dipengaruhi oleh adanya garam dan mineral lain yang menempel pada rumput laut seperti natrium, kalsium dan kalium. Kadar sulfat merupakan parameter yang digunakan untuk berbagai jenis polisakarida yang terdapat dalam alga merah (Winarno 1996). Kadar sulfat iota karaginan dan kappa karaginan adalah 20,83% dan 12,64%. Kadar sulfat iota karaginan memenuhi standar, sedangkan kappa karaginan tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh FAO, FCC, dan EEC. Kandungan sulfat iota karaginan
lebih tinggi dibandingkan dengan kappa karaginan. Hal ini akan mempengaruhi terhadap kekuatan gel dan viskositas karaginan. Menurut Guiseley et al. (1980) kadar sulfat berbanding terbalik dengan kekuatan gel dan berbanding lurus dengan viskositas. Kandungan sulfat dipengaruhi oleh tipe karaginan, konsentrasi, kadar air, jenis dan umur panen (Pamungkas 1987; Suryaningrum 1989). Tingginya kadar sulfat disebabkan oleh kurang sempurnanya proses eliminasi sulfat sehingga tidak semua sulfat dapat dikonversi. Selain itu, diduga adanya endapan lain yang ikut mempengaruhi berat sulfat.
4.2. Penelitian Tahap Kedua Penelitian tahap kedua dilakukan untuk menentukan satu konsentrasi karaginan terbaik yang ditambahkan ke dalam mie kering yang masih dapat diterima oleh panelis untuk kappa karaginan dan iota karaginan dengan uji hedonik.
Selanjutnya konsentrasi terbaik dari masing-masing karaginan
dibandingkan dengan mie komersial dengan uji perbandingan pasangan dan dianalisis karakteristik fisik dan kimia mie kering.
4.2.1. Uji hedonik Uji hedonik dilakukan untuk menentukan formulasi mie kering terbaik yang masih dapat diterima oleh panelis. Uji hedonik dilakukan terhadap mie yang belum dimasak dan telah dimasak. Uji hedonik terhadap mie yang belum dimasak hanya dari warna, sedangkan mie yang telah dimasak dilakukan uji hedonik terhadap warna, aroma, kekenyalan, rasa, dan penampakan.
Uji hedonik
dilakukan dengan menggunakan panelis semi-terlatih sebanyak 30 orang. Penilaian uji hedonik ini, yaitu berupa angka skala 1 sampai dengan 7, nilai kesukaan dari (1) sangat tidak suka sampai dengan (7) sangat suka.
1)
Warna mie mentah Warna merupakan parameter sensori yang dapat dilihat langsung oleh
panelis. Pada umumnya hal pertama yang menjadi pertimbangan konsumen untuk memilih suatu produk adalah warna bahan sebelum parameter lain seperti rasa dan nilai gizi. Menurut Winarno (1997) suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila warnanya tidak enak dipandang atau memberi penilaian menyimpang dari warna yang seharusnya.
Warna yang diinginkan dalam produk mie adalah warna kuning. Penilaian warna mie mentah dapat dilihat pada Gambar 6.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) untuk masing-masing jenis karaginan.
Gambar 6. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap warna mie mentah karaginan Nilai rata-rata warna mie mentah kappa karaginan adalah 5,07-6,27 (agak suka-suka) dan iota karaginan berkisar 4,53-6,27 (netral-suka). Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tingkat penambahan tepung karaginan berbeda nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan warna mie mentah. Uji lanjut
Multiple Comparison menunjukkan bahwa tingkat kesukaan terhadap warna mie mentah pada mie kappa karaginan dan iota karaginan pada penambahan karaginan 0,25% dan 0,5% tidak berbeda nyata dengan mie kontrol, sedangkan pada penambahan karaginan 0,75% berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Nilai rata-rata tingkat kesukaan terhadap warna mie mentah dengan penambahan iota karaginan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan mie kering kappa karaginan. Hal ini diduga karena nilai derajat putih dari iota karaginan yaitu 45,00% lebih tinggi dibandingkan kappa karaginan yaitu 32,55%. Warna karaginan yang dihasilkan adalah putih kecoklatan sehingga mie yang dihasilkan menunjukkan warna kuning kecoklatan/gelap.
Dengan demikian,
warna kuning kecoklatan pada mie kering berbanding lurus dengan penambahan karaginan. Warna mie kering semakin kuning kecoklatan dengan bertambahnya konsentrasi karaginan.
2)
Warna mie matang Warna mie matang merupakan salah satu parameter yang pertama kali
dilihat sebelum produk tersebut dikonsumsi. Warna mie matang akan mempengaruhi terhadap selera seseorang untuk mengkonsumsi mie. Bila warna yang dilihat sebelum dikonsumsi tidak enak dipandang maka akan menurunkan selera makan. Penilaian warna mie matang dapat dilihat pada Gambar 7.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) untuk masing-masing jenis karaginan.
Gambar 7. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap warna mie matang karaginan Nilai rata-rata warna mie matang kappa karaginan adalah 3,57-4,73 (agak tidak suka-netral) dan iota karaginan berkisar 4,53-4,73 (netral). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penambahan kappa karaginan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan warna mie matang, sedangkan penambahan iota karaginan tidak berbeda nyata (p>0,05). Hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa penambahan kappa karaginan 0,25% tidak berbeda nyata dengan kontrol (p>0,05) dan penambahan kappa karaginan 0,5% tidak berbeda nyata dengan kontrol dan 0,75%, sedangkan penambahan 0,75% berbeda nyata dengan kontrol dan 0,25%. Penerimaan warna mie matang iota karaginan lebih baik dibandingkan kappa karaginan, karena warna mie matang iota karaginan untuk semua perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan iota karaginan tidak mempengaruhi terhadap parameter warna mie matang, diduga adanya perbedaan tingkat derajat putih tepung karaginan yang dihasilkan. Sebaliknya penambahan kappa karaginan menghasilkan warna kuning lebih
coklat, terkait dengan nilai derajat putih kappa karaginan yang lebih rendah (32,55%).
3)
Aroma Aroma merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi panelis dalam
menentukan nilai kesukaan terhadap suatu produk. Produk makanan yang banyak disukai oleh konsumen biasanya dapat diketahui dari segi aromanya. Penilaian aroma mie kering karaginan dapat dilihat pada Gambar 8.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p> 0,05) untuk masing-masing jenis karaginan
Gambar 8. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap aroma mie karaginan Nilai rata-rata aroma mie kappa karaginan adalah 4,77-4,93 (netral) dan mie iota karaginan berkisar 4,70-4,93 (netral). Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma mie kering iota karaginan dan kappa karaginan tidak dipengaruhi secara nyata (p>0,05) oleh penambahan masing-masing jenis karaginan pada berbagai konsentrasi. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan karaginan tidak mempengaruhi aroma mie kering. Pada proses pembuatan mie kering karaginan ditambahkan telur, yang mempunyai fungsi selain menambahkan nilai gizi juga dapat memberikan aroma yang enak setelah pemasakan. Penggunaan dari tepung terigu
juga
dalam
adonan
dapat
menutupi
aroma
khas
karaginan
(Astawan et al. 2003).
4)
Rasa Rasa merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan diterima atau
tidaknya suatu bahan pangan atau makanan. Meskipun warna dan aroma baik, jika tidak diikuti rasa yang enak maka makanan tersebut tidak akan diterima oleh
konsumen. Rasa suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor senyawa kimia, temperatur, konsistensi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain serta jenis dan lama pemasakan (Winarno 1997). Penilaian rasa mie kering karaginan dapat dilihat pada Gambar 9.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p> 0,05) untuk masing-masing jenis karaginan
Gambar 9. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap rasa mie kering karaginan Nilai rata-rata rasa mie kappa karaginan adalah 4,60-4,97 (netral) dan mie iota karaginan berkisar 4,73-5,13 (netral-agak suka). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan kappa dan iota karaginan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan rasa mie kering karaginan. Karaginan tidak memiliki rasa sehingga tidak mempengaruhi terhadap rasa mie kering.
Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan karaginan memberikan
pengaruh yang netral terhadap produk mie kering.
5)
Kekenyalan Penilaian tingkat kesukaan terhadap tekstur mie kering dengan cara menilai
kehalusan dan kekenyalan serta dinilai juga kemudahan patah dari mie tersebut. Kekenyalan mie kering dapat dilihat setelah dimasak.
Penilaian uji hedonik
terhadap kekenyalan mi kering karaginan dapat dilihat pada Gambar 10.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) untuk masing-masing jenis karaginan
Gambar 10. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap kekenyalan mie kering karaginan Nilai rata-rata kekenyalan mie kappa karaginan adalah 3,73-6,37 (agak tidak suka - suka) dan mie iota karaginan berkisar 3,73-6,20 (agak tidak suka - suka). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penambahan iota dan kappa karaginan memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk semua perlakuan. Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa penambahan kappa karaginan 0,25%; 0,5% dan 0,75% berbeda nyata dengan kontrol. Pada penambahan iota karaginan 0,5% tidak berbeda nyata dengan 0,75% dan berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan penambahan iota karaginan 0,25% berbeda nyata dengan semua perlakuan. Kekenyalan mie berkaitan dengan gluten yang terbentuk sebagai hasil interaksi antara protein glutenin dan gliadin. Selain itu penambahan karaginan juga meningkatkan kekenyalan, karena karaginan mampu berinteraksi dengan makromolekul seperti protein yang dapat mempengaruhi pembentukan gel (Winarno 1996). Kekenyalan mie kering iota karaginan lebih tinggi dibandingkan kappa karaginan. Gel iota karaginan lebih kenyal dan tidak sineresis, sedangkan gel kappa karaginan kuat tetapi gelnya bersifat rigid sehingga menghasilkan mie yang kurang kenyal dibandingkan iota karaginan. Selain itu proses pengukusan pada mie dapat mempengaruhi tekstur mie yang dihasilkan. Proses yang terjadi selama pengukusan adalah gelatinisasai pati dan koagulasi protein, sehingga massa mie yang dihasilkan lebih kenyal dan kompak. Menurut
Astawan et al.
(2003) gelatinisasi menyebabkan pati meleleh, selanjutnya akan membentuk lapisan tipis pada permukaan mie yang dapat memberikan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mie.
6)
Penampakan Penampakan merupakan penilaian secara keseluruhan konsumen terhadap
suatu produk dan umumnya konsumen cenderung memilih produk yang penampakannya lebih menarik.
Penampakan keseluruhan pada mie kering
meliputi warna mie mentah, warna mie matang, aroma, rasa dan kekenyalan. Penilaian uji hedonik terhadap penampakan keseluruhan mie kering karaginan dapat dilihat pada Gambar 11.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) untuk masing-masing jenis karaginan.
Gambar 11. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap penampakan Nilai rata-rata penampakan kappa karaginan adalah 4,07-5,30 (netral–agak suka) dan iota karaginan berkisar 4,47-5,30 (netral –agak suka). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penambahan karaginan berpengaruh nyata terhadap penampakan mie kering. Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa penambahan kappa karaginan 0,5% tidak berpengaruh nyata dengan penambahan kappa karaginan 0,75% dan kontrol, sedangkan penambahan kappa karaginan 0,25% berpengaruh nyata dengan kontrol dan 0,5%. Penambahan iota karaginan 0,75% berpengaruh nyata terhadap kontrol, sedangkan penambahan 0,25% dan 0,5% tidak berpengaruh nyata dengan kontrol dan 0,75%.
Meskipun pada
penelitian ini menggunakan metode pembuatan mie yang sama, tetapi mie dengan perlakuan berbeda penambahan karaginan menunjukkan penampakan berbeda. Hal ini dimungkinkan karena sifat fisik mie kering berbeda menurut perlakuannya sehingga mempengaruhi pembentukan mie saat pencetakan, pengukusan maupun pengovenan.
4.2.2. Uji perbandingan pasangan Uji perbandingan pasangan bertujuan untuk membandingkan produk terbaik hasil uji hedonik dengan produk komersial.
Uji perbandingan pasangan ini
dilakukan untuk membandingkan mie kering dengan penambahan karaginan yaitu kappa dan iota karaginan terbaik hasil uji organoleptik hedonik dengan mie kering komersial. Uji perbandingan pasangan dilakukan dengan nilai antara (+3) yaitu sangat lebih baik hingga (-3) yang menyatakan sangat kurang baik jika dibandingakan dengan mie kering komersial. Mie kering komersial yang digunakan dalam uji ini adalah mie telor asli “Cap Atoom Bulan” yang diproduksi oleh PT Kuala Pangan Bogor. Uji ini dilakukan terhadap 30 orang panelis semiterlatih. Parameter yang diujikan adalah warna mie mentah, warna mie matang, aroma, rasa, kekenyalan, dan penampakan. Mie kering yang diujikan adalah mie kering dengan penambahan 0,5% kappa karaginan dan 0,5% iota karaginan. Kedua formulasi ini dipilih karena memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan kontrol yaitu pada parameter warna, aroma dan rasa. Selain itu penambahan karaginan 0,5% dapat menghasilkan kekenyalan mie yang cukup baik dan tidak jauh berbeda dengan mie yang ditambahkan karaginan 0,75%. Mie kering yang dipilih merupakan mie yang tidak berbeda dengan mi kontrol agar memiliki penerimaan konsumen yang lebih baik. Hasil uji perbandingan pasangan yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 12. Hasil uji perbandingan pasangan mie kering karaginan dengan mie kering komersial menunjukkan bahwa mie dengan penambahan kappa karaginan menghasilkan mie yang relatif sama pada penampakan, warna mie matang, aroma dan kekenyalan serta dihasilkan rasa mie yang lebih baik namun warna mie mentah memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan mie komersial. Mie dengan penambahan iota karaginan menghasilkan mie dengan penampakan dan aroma yang tidak berbeda, tetapi rasa dan kekenyalan yang dihasilkan lebih baik serta warna mie mentah lebih rendah dibandingkan dengan mie komersial.
Gambar 12. Nilai rata-rata tingkat penilaian uji perbandingan pasangan mie iota dan kappa karaginan dengan mie komersial
1)
Warna mie mentah Warna mie mentah merupakan parameter yang dilihat pertama kali sebelum
konsumen membeli suatu produk. Hal ini dikarenakan warna adalah parameter yang pertama kali dilihat konsumen sebelum dikonsumsi. Terutama untuk mie kering, karena dijual dipasaran dalam keadaan mentah (belum matang). Nilai rata-rata penilaian panelis terhadap warna mie mentah adalah -0,83 untuk mie kering kappa karaginan dan -0,5 untuk mie kering iota karaginan.
Hal ini
menunjukkan bahwa kedua jenis mie karaginan memiliki warna mie mentah agak kurang baik dibandingkan dengan mi kering komersial. Kurang baiknya penilaian panelis terhadap warna mie mentah karaginan dikarenakan rendahnya nilai derajat putih karaginan yang menyebabkan warna mie kering menjadi kuning agak lebih gelap. Selain itu warna kuning pada mie kering menurut Astawan (2002) disebabkan karena reaksi antara alkali dengan pigmen flavonoid yang berasal dari tepung terigu.
2)
Warna mie matang Warna mie matang merupakan parameter yang penting karena dapat
mempengaruhi selera konsumen ketika mengkonsumsi mie kering yang telah matang. Oleh karena itu, dilakukan uji perbandingan pasangan parameter warna mie matang untuk membandingkan warna mie kering karaginan dengan mie komersial. Berdasarkan nilai rata-rata penilaian panelis dari uji perbandingan pasangan warna mie matang -0,3 untuk mie kering kappa karaginan dan -0,23 untuk mie kering iota karaginan. Warna mie kering kappa dan iota karaginan
matang menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan mie kering mentah. Peningkatan nilai organoleptik ini dikarenakan adanya proses pengolahan lanjutan berupa perebusan yang membuat warna kedua mie menjadi lebih baik dan tidak berbeda nyata dengan mie komersial.
3)
Aroma Aroma dapat mempengaruhi selera makan seseorang terhadap suatu
makanan, hal ini karena bila seseorang telah mencium bau yang kurang enak dari suatu makanan maka akan menurunkan selera makan orang itu terhadap makanan tersebut. Berdasarkan penilaian panelis dari uji perbandingan pasangan diperoleh nilai rata-rata 0,37 untuk mie kappa karaginan dan 0,4 untuk mie iota karaginan. Hal ini dapat diartikan bahwa mie kering karaginan memiliki nilai yang tidak berbeda dengan mie kering komersial. Menurut hasil penelitian Ristanti (2003) dalam Lestari (2006), tepung rumput laut memiliki aroma yang relatif tidak disukai karena rumput laut memiliki bau khas (amis). Aroma rumput laut yang khas dapat menurun seiring dengan proses pengolahan untuk menghasilkan tepung karaginan yang diaplikasikan pada pembuatan mie kering. Penurunan aroma rumput laut diduga disebabkan selama perendaman, pemanasan dalam pembuatan karaginan dan selama pemasakan mie.
4)
Rasa Rasa merupakan salah satu parameter yang penting terhadap suatu makanan
karena jika suatu produk memiliki rasa yang tidak disukai akan cenderung kurang laku dipasaran.
Oleh karena itu, dilakukan uji perbandingan pasangan mie
karaginan dengan mie komersial. Hasil uji perbandingan pasangan diperoleh ratarata 0,57 untuk mie kering kappa karaginan dan 1,03 untuk mie kering iota karaginan.
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa mie kering karaginan
memiliki nilai agak lebih baik dibandingkan dengan mie komersial.
5)
Kekenyalan Salah satu faktor yang penting dalam menentukan kualitas mie kering
adalah tekstur, salah satunya adalah kekenyalan.
Berdasarkan hasil uji
perbandingan pasangan diperoleh nilai rata-rata 0,37 untuk mie kering kappa
karaginan dan 0,5 untuk mie iota karaginan. Hal ini menunjukkan mie kering karaginan memiliki nilai kisaran sama tidak berbeda dan agak lebih baik dengan mie kering komersial. Menurut Astawan (2002), kekenyalan mie dipengaruhi oleh kandungan gluten dari tepung terigu, sifat gluten yang elastis dapat menyebabkan mie menjadi lebih elastis dan tidak mudah putus. Selain itu menurut Winarno (1996), kappa dan iota karaginan dapat berinteraksi dengan makromolekul yang bermuatan, misalnya protein yang mampu menghasilkan berbagai pengaruh diantaranya membentuk gel. Molekul tersebut membentuk ikatan double heliks yang mengikat rantai menjadi bentuk jaringan tiga dimensi (gel).
Dari hasil
tersebut dapat dikatakan bahwa penambahan karaginan 0,5% dapat meningkatkan kekenyalan mie dibandingkan dengan mie komersial.
6)
Penampakan Berdasarkan penilaian panelis tehadap uji perbandingan pasangan mie
kering karaginan terhadap mie komersial.
Penampakan keseluruhan adalah
penilaian secara keseluruhan mie kering karaginan dengan mie komersial. Nilai rata-rata hasil uji perbandingan pasangan diperoleh -0,27 untuk mie kering kappa karaginan dan 0,17 untuk mie kering iota karaginan. Hal tersebut menunjukkan bahwa penampakan keseluruhan mie karaginan memiliki nilai tidak berbeda atau sama dengan mie kering komersial. Penampakan dipengaruhi juga oleh teknologi yang digunakan, pada pembuatan mie kering komersial lebih modern sehingga mie yang dihasilkan memiliki penampakan yang lebih menarik.
4.2.3. Karakteristik fisik mie kering Karakteristik fisik mie kering karaginan dilakukan pada beberapa parameter, yaitu cooking time, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), warna, kekenyalan dan elongasi.
1)
Cooking time Mie disukai oleh konsumen salah satu penyebabnya adalah waktu
pemasakannya
yang
relatif
singkat.
Menurut
Miskelly
(1996)
dalam
Lestari (2006), cooking time pada mie umumnya sekitar 180 hingga 240 detik.
Cooking time merupakan banyaknya air yang mampu masuk ke dalam mie dengan waktu tertentu. Hasil analisis cooking time dapat dilihat pada Gambar 13.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05)
Gambar 13. Nilai rata-rata cooking time mie kering Nilai rata-rata mie kering berkisar 200,1-211,35 detik. Berdasarkan analisis ragam dengan uji Tukey menunjukkan bahwa cooking time mie kering komersial, kontrol dan kappa karaginan tidak berbeda nyata, sedangkan mie kering iota karaginan berbeda nyata.
Iota karaginan memiliki nilai rata-rata
cooking time yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, komersial dan kappa karaginan. Hal ini berkaitan dengan kandungan sulfat yang dimiliki oleh iota karaginan lebih tinggi, sehingga akan meningkatkan daya serap air dan akan mempengaruhi nilai cooking time yang relatif lama.
2)
Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) Kehilangan padatan akibat pemasakan/cooking loss merupakan jumlah
padatan (pati) yang hilang atau keluar dari mie selama proses pemasakan. Tepung terigu mengandung gluten pati yang dapat mencegah pelepasan komponen pati. Pada saat perebusan terjadi penetrasi air ke dalam granula pati sehingga menyebabkan terjadinya pengembangan granula pati dan peningkatan kekentalan pada pati (Hoseney 1998).
Fraksi pati yang keluar menyebabkan kuah mie
menjadi lebih keruh dan lebih kental. Kehilangan padatan akibat pemasakan dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai rata-rata mie kering adalah 91,22-93,25%.
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa nilai rata-rata KPAP dipengaruhi secara nyata oleh jenis formulasi mie. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa mie kontrol tidak berbeda
nyata dengan mie kering iota karaginan dan mie kering komersial, sedangkan mie kappa karaginan berbeda nyata dengan mie kontrol, mie kering iota karaginan dan mie kering komersial. Tingginya KPAP pada mie kering dapat menyebabkan tekstur mie menjadi lemah dan kurang licin.
Hal ini disebabkan kurang
optimumnya matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi (Kurniawati 2006 dalam Merdiyanti 2008).
Dengan adanya
penambahan karaginan dapat menurunkan nilai KPAP, hal ini diduga karena karaginan dapat mengikat makromolekul seperti protein sehingga dapat meningkatkan kekentalan adonan dan proses gelatinisasi menjadi lebih optimum serta mie yang dihasilkan mempunyai tekstur yang lebih kompak.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05)
Gambar 14. Nilai rata-rata kehilangan padatan akibat pemasakan mie kering
3)
Daya serap air (DSA) Daya serap air (rehidrasi) merupakan kemampuan mie kering untuk
menyerap air kembali setelah mengalami proses pengeringan, sedangkan waktu rehidrasi adalah lamanya bahan pangan tersebut untuk melakukan rehidrasi (Astawan et al. 2003). Secara umum DSA, menggambarkan perubahan bentuk mie selama proses pemasakan. Semakin tinggi nilai DSA maka mie akan semakin banyak menyerap air dan mie semakin mengembang. Hasil pengukuran daya serap air mie kering dapat dilihat pada Gambar 15. Nilai rata-rata daya serap air mie kering adalah 3,59-4,02 ml/g. Nilai ratarata daya serap air mie kering dipengaruhi secara nyata oleh jenis formulasi mie. Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa mie kering iota karaginan berbeda nyata dengan mie kering komersial. Mie kering iota karaginan memiliki nilai
DSA paling tinggi dibandingkan mie kering kappa karaginan, kontrol dan komersial. Hal ini menunjukkan bahwa mie kering iota karaginan mengembang lebih baik ketika direhidrasi karena mampu menyerap air lebih banyak. Selain itu karaginan juga mudah mengikat air dengan adanya gugus sulfat pada rantai molekulnya dan bersifat reversible, yaitu air tersebut akan mudah dilepaskan kembali (Chapman dan Chapman 1980). Keadaan ini menyebabkan semakin banyaknya air yang terikat dan pada saat diberi beban atau diberi tekanan, air itu akan dilepaskan kembali sehingga menghasilkan nilai DSA yang tinggi. Serat pangan tidak larut juga mempengaruhi terhadap daya serap air. Iota karaginan memiliki serat pangan tidak larut yang cukup tinggi sehingga dapat menyerap air lebih banyak.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05)
Gambar 15. Nilai rata-rata daya serap air mie kering
4)
Kekerasan Kekerasan merupakan besarnya gaya tekan untuk memecah produk pangan.
Kekerasan ini juga merupakan salah satu faktor untuk menentukan kualitas mie kering selain dari kekenyalan dan tidak mudah putus. Nilai kekerasan mie kering dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai rata-rata kekerasan adalah 2585,20-3016,73%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis formulasi mie tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai kekerasan. Kekerasan pada mie salah satunya dapat diakibatkan oleh retogradasi pati.
Menurut Kurniawati (2006) dalam Merdiyanti (2008)
retogradasi adalah proses terbentuknya ikatan antara amilosa-amilosa yang telah terdispersi kedalam air. Semakin banyak amilosa yang terdispersi, maka proses
retogradasi pati semakin menurun. Penambahan karaginan pada mie kering tidak mempengaruhi proses retogradasi pati, sehingga nilai rata-rata kekerasan mie kering tidak berbeda nyata.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p> 0,05)
Gambar 16. Nilai rata-rata kekerasan mie kering
5)
Kekenyalan Kekenyalan pada mie merupakan salah satu faktor penting untuk
menentukan kualitas mie. Sifat khas dari mie adalah kenyal dan elastis. Faktor utama yang mempengaruhi kekenyalan mie adalah dari penggunaan tepung terigu sebagai bahan dasar dalam pembuatan mie.
Komponen utama pada protein
tepung terigu adalah gliadin dan glutenin dapat membentuk gluten dengan adanya air dan pengadonan, yang bersifat kenyal dan elastis. Protein dalam tepung terigu pada pembuatan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi agar mie yang dihasilkan menjadi elastis dan tahan terhadap tarikan sewaktu proses produksinya (Astawan 2002). Nilai kekenyalan mie kering pada penelitian mie kering dapat dilihat pada Gambar 17. Mie kering yang ditambahkan iota karaginan mempunyai nilai kekenyalan tertinggi. Hal ini diduga karena iota karaginan dapat berinteraksi dengan molekul bermuatan seperti protein yang dapat mempengaruhi pembentukan gel. Sifat dari gel iota karaginan ini adalah elastis dan tidak mudah pecah seperti kappa karaginan. Selain itu kekenyalan mie kering diduga karena adanya protein dan telur yang berinteraksi dengan karaginan dapat meningkatkan kekenyalan pada mie kering.
Analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan karaginan
memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kekenyalan mie kering. Hasil uji
lanjut Tukey menunjukkan bahwa kekenyalan mie kering dengan penambahan iota dan kappa karaginan tidak berbeda dengan kontrol, sedangkan mie kering komersial berbeda nyata dengan mie kering iota karginan, kappa karaginan dan kontrol. Berdasarkan hasil uji perbandingan pasangan bahwa mie kering iota dan kappa karaginan lebih baik dari kekenyalannya dibandingkan dengan mie kering komersial yaitu 0,5 dan 0,37. Hal ini menunjukkan bahwa mie kering dengan penambahan karaginan 0,5% dapat meningkatkan kekenyalan.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf-huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05)
Gambar 17. Nilai rata-rata kekenyalan mie kering
6)
Elongasi Elongasi merupakan pertambahan panjang mie sampai pada titik tertentu
mie putus atau patah. Nilai elongasi pada penelitian mie kering dapat dilihat pada Gambar 18.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05)
Gambar 18. Nilai rata-rata elongasi mie kering Nilai rata-rata elongasi mie kering adalah 110,60-187,14%. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh penambahan karaginan terhadap nilai
elongasi mie kering. Penambahan iota karaginan memiliki nilai elongasi yang paling tinggi sebesar 187,14% dan mie kering komersial memiliki nilai elongasi yang paling rendah sebesar 110,60%. Hal ini menunjukkan bahwa mie dengan penambahan iota karaginan dapat menghasilkan mie yang tidak mudah putus dan elastis. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa penambahan iota karaginan tidak berbeda nyata dengan kappa karaginan dan berbeda nyata dengan mie kering komersial dan kontrol, sedangkan mie kering kappa karaginan berbeda nyata dengan mie kering komersial dan tidak berbeda nyata dengan mie kering kontrol dan iota karaginan. Dari hasil analisis proksimat kadar protein mie kering komersial lebih tinggi dibandingkan mie kering iota karaginan. Semakin rendah protein maka semakin berkurangnya gluten yang terbentuk. Meskipun demikian, penambahan karaginan pada pembuatan mie dapat meningkatkan elongasi mie. Hal ini diduga karena karaginan mampu berinteraksi dengan makromolekul seperti protein sehingga dapat mempengaruhi pembentukan gel. Gel yang terbentuk oleh iota karaginan bersifat elastis. Tingginya nilai elongasi pada mie kering iota karaginan diduga karena iota karaginan berinteraksi dengan protein khususnya telur sehingga akan membentuk gel yang elastis dan menyebabkan elongasi mie lebih panjang.
7)
Warna Pengukuran warna mie kering menggunakan Chromameter. Warna yang
diukur pada mie kering meliputi nilai L, a dan b. Nilai L menyatakan parameter kecerahan dan mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih).
Nilai a
merupakan pengukuran warna merah ke hijau, dan b merupakan pengukuran warna dari kuning ke biru. Hasil analisis warna kuning mie kering dapat dilihat pada Gambar 19. Nilai rata-rata warna kuning mie kering adalah 12,69-20,16. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan karaginan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap warna mie kering. Nilai rata-rata warna b mie kering iota karaginan lebih tinggi dari pada warna b kappa karaginan. Hal ini menunjukkan warna iota karaginan lebih kuning dibandingkan warna kappa karaginan, karena derajat putih iota karaginan lebih putih yaitu 45,00%
dibandingkan kappa karaginan yaitu 32,55%. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa mie iota karaginan dan kappa karaginan tidak berbeda nyata dengan kontrol dan berbeda nyata dengan komersial.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05)
Gambar 19. Nilai rata-rata warna mie kering Mie komersial memiliki warna paling kuning (nilai b paling tinggi). Hal ini diduga karena mie komersial dibuat dengan penambahan pewarna dan telur sehingga menyebabkan warna lebih kuning. Warna kuning mie iota karaginan dan kappa karaginan tidak berbeda dengan mie kontrol. Hal ini berarti tidak adanya pengaruh penambahan karaginan terhadap warna kuning mie kering.
4.2.4 Karakteristik kimia mie kering Karakteristik kimia mie merupakan salah satu faktor untuk menentukan kualitas mie terutama protein dan air yang memiliki batas minimum dalam SNI 01-2974-1996. Analisis kimia mie karaginan meliputi analisis proksimat dan
serat pangan.
1)
Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui sifat kimia dari mie kering
karaginan dengan mie kering kontrol dan mie kering komersial. Analisis yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan karbohidrat. Parameter kimia utama mie kering telah memenuhi standar yang ditetapkan SNI 01-2974-1996 yaitu kadar air dan kadar protein. Hasil analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Komposisi proksimat mie kering Parameter
Mie kontrol a
2,54 ± 0,13
Air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%)
Kappa karaginan b
3,75 ± 0,15
b
2,66 ± 0,07
c
a
2,38 ± 0,06
Abu (%)
Iota karaginan
9,08 ± 0,15
a
6,08 ± 0,01 79,92 ± 0,09b
c
8,51± 0,16
a
5,98 ± 0,44
79,10 ± 0,44a
SNI 01-2974-1996
Mie komersial
3,95 ± 0,00
c
2,78 ± 0,05
c
8,41 ± 0,04
a
5,91 ± 0,08 78,96 ± 0,08a
a
Mutu I
Mutu II
2,48 ± 0,08
a
Maks.8
Maks.10
2,22 ± 0,14
a
-
-
b
Min.11
Min.8
a
-
-
-
-
8,72 ± 0,10
6,09 ± 0,19 80,50 ± 0,19c
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05)
Air merupakan parameter penting dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi tekstur, penampakan dan cita rasa makanan.
Kadar air
mempunyai peranan penting dalam menentukan daya awet bahan pangan karena dapat mempengaruhi sifat fisik, perubahan fisik, perubahan mikrobiologi dan perubahan enzimatis (Buckle et al. 1987). Berdasarkan Tabel 8. dapat diketahui bahwa kadar air mie kering kontrol, iota karaginan, kappa karaginan dan komersial memenuhi standar yang ditetapkan SNI 01-2974-1996 yaitu batas maksimal kadar air mutu I adalah 8% dan mutu II adalah 10%. Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa mie kering iota berbeda nyata dengan kontrol, komersial dan kappa karaginan. Penambahan karaginan pada pembuatan mie kering dapat meningkatkan kadar air mie kering. Hal ini diduga karena karaginan mengandung serat pangan tidak larut yang lebih tinggi dibandingkan kontrol dan komersial. Serat pangan tidak larut dapat mengikat air dan memerangkap dalam matriks setelah pembentukan gel karaginan. Selain itu pada saat pengovenan, mie kering yang ditambahkan karaginan akan mengalami pembentukan gel yang akan membentuk lapisan film sehingga molekul-molekul air terperangkap. Air yang terdapat dalam lapisan film tidak dapat dikeluarkan sehingga kadar air dalam mie kering semakin meningkat dengan adanya penambahan karaginan. Abu merupakan ukuran dari komponen organik yang ada dalam suatu bahan makanan. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan bahan mineral yang hilang selama pembakaran dan penguapan (Astawan et al. 2003). Dari Tabel 8. dapat diketahui bahwa kadar abu mie kering 2,22-2,78%. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa penambahan karaginan meningkatkan kadar abu pada pembuatan mie kering. Semakin banyak karaginan yang ditambahkan maka kadar abu produk semakin meningkat.
Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa
penambahan iota karaginan tidak berbeda nyata dengan kappa karaginan, tetapi berbeda nyata dengan kontrol dan komersial. Perbedaan kadar abu mie kering karaginan dengan kontrol dan komersial adalah karaginan yang ditambahkan pada pembuatan mie kering memiliki kadar abu yang cukup tinggi yaitu sebesar 34,31% dan 27,95%. Protein dalam tubuh berfungsi sebagai zat pembangun dan pemelihara tubuh. Sumber protein utama dari mie kering pada penelitian ini adalah telur. Penambahan 5% telur dalam pembuatan mie kering bertujuan untuk meningkatkan kandungan gizi terutama protein, mengurangi keluarnya padatan saat mie direbus, memperbaiki warna, aroma, dan sifat adonan supaya lebih liat dan tidak mudah putus-putus (Astawan et al. 2003). Berdasarkan Tabel 8. kadar protein berkisar 8,41-9,08%. Hasil analisis ragam diketahui bahwa penambahan karaginan berpengaruh nyata terhadap kadar protein. Uji lanjut Tukey menunjukkan kadar protein mie kering iota dan kappa karaginan berbeda nyata dengan kontrol dan komersial.
Tepung terigu yang
digunakan pada penelitian ini adalah jenis hard flour dengan merk Cakra Kembar mengandung protein 12-13% (Astawan 2002).
Penurunan protein pada mie
kering semakin tinggi dengan adanya penambahan karaginan. Berdasarkan hasil analisis ragam kadar lemak diperoleh bahwa mie kering karaginan tidak berpengaruh nyata. Kadar karbohidrat pada mie kering dari hasil analisis ragam menunjukkan berbeda nyata antara mie kering karaginan dengan kontrol dan komersial.
2)
Serat pangan Serat pangan adalah suatu karbohidrat kompleks di dalam bahan pangan
yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan manusia. Serat pangan terdiri dari serat pangan larut, serat pangan tidak larut dan total serat pangan. Hasil analisis serat pangan mie kering dapat dilihat pada Gambar 20.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) untuk masing-masing jenis serat pangan
Gambar 20. Nilai rata-rata serat pangan mie kering Kadar serat pangan larut berkisar antara 1,42-1,78%; serat pangan tidak larut 1,12-1,56%; dan total serat pangan 2,54-3,33%. Penambahan karaginan berpengaruh nyata terhadap kadar serat pangan larut, serat pangan tidak larut dan total serat pangan mie kering. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa serat pangan larut, serat pangan tidak larut dan total serat pangan untuk keempat jenis mie kering menunjukkan nilai yang berbeda nyata untuk setiap jenis mie kering. Serat pangan dapat memperlambat laju penyerapan makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan menjadi lambat. Kadar serat larut yang tinggi dapat membantu mereduksi absorbsi glukosa usus sehingga dapat bermanfaat bagi penderita diabetes mellitus (Anonim 2008). Menurut Department of Nutrition, Ministry of Health an Insitute of Health (1999) dalam Hasanah (2007) menyatakan bahwa makanan dapat diklaim sebagai sumber serat pangan jika mengandung serat pangan sebesar 3-6 g/100 g. Dengan demikian mie kering dengan penambahan karaginan 0,5% dapat dikatakan sebagai pangan fungsional sumber serat karena mengandung serat pangan total 3,14% dan 3,33% masing-masing untuk mie iota karaginan dan mie kappa karaginan. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan serat pangan dalam mie kering dapat memberikan sumbangan kebutuhan serat pangan dalam diet manusia.
4.3
Informasi Nilai Gizi Mie Kering Angka kecukupan gizi merupakan taraf konsumsi zat gizi esensial, yang
berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir
semua orang sehat (Almatsier 2003). Hasil penghitungan AKG mie kering yang diasumsikan diserap oleh tubuh berdasarkan golongan umur antara 16-19 tahun, berat badan 50 kg, tinggi badan 154 cm untuk mencukupi kebutuhan kalori 2000 kkal dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Angka kecukupan gizi Mie kontrol
Mie iota karaginan
Mie kappa karaginan
Mie komersial
Takaran per saji (70 g)
% AKG
Takaran per saji (70 g)
% AKG
Takaran per saji (70 g)
% AKG
Takaran per saji (70 g)
% AKG
Total protein (6,36 g)
12,46
Total protein (5,96 g)
11,68
Total protein (5,89 g)
11,54
Total protein (6,10 g)
11,97
Total Lemak (4,26 g)
6,55
Total lemak (4,19 g)
6,44
Total lemak (4,14 g)
6,36
Total lemak (4.26 g)
6,56
Total Karbohidrat (55,94 g)
18,65
Total Karbohidrat (55,37 g)
18,46
Total Karbohidrat (55,27 g)
18,42
Total Karbohidrat (56,35 g)
18,78
Total serat Total serat Total serat pangan larut 16,13 pangan larut 17,70 pangan larut 19,94 (1,01 g) (1,11 g) (1,25 g) Total serat Total serat Total serat pangan tidak 4,29 pangan tidak 5,82 pangan tidak 5,79 larut (0,81g) larut (1,09 g) larut (1,09 g) Total kalori Total kalori Total kalori 545,94 538,90 537,54 (kkal) (kkal) (kkal) Keterangan: Persen angka kecukupan gizi berasarkan pada diet 2000 kkal
Total serat pangan larut (0,99 g) Total serat pangan tidak larut (0,78 g) Total kalori (kkal)
15,90 4,18 548,62
Tabel angka kecukupan gizi menunjukkan jumlah persen AKG yang dapat disumbangkan oleh konsumsi mie kering komersial, mie kering kontrol, mie kering dengan penambahan kappa maupun iota karaginan berdasarkan diet 2000 kkal. Hasil perhitungan persen AKG protein mie kering berkisar pada angka 11,54-12,46%; AKG lemak berkisar 6,36-6,56%; AKG karbohidrat berkisar 18,42-18,78%; AKG serat larut berkisar 15,90-19,94% dan AKG serat tidak larut berkisar 4,18-5,82%. Pengukuran total kalori diperoleh dari jumlah lemak yang dikalikan 9, serta jumlah proten dan karbohidrat masing-masing dikalikan 4 (Almatsier 2003). Pada tabel angka kecukupan gizi berdasarkan pada diet 2000 kkal terlihat bahwa total kalori yang dihasilkan untuk konsumsi mie kappa karaginan adalah sebesar 537,54 kkal dan mie iota karaginan adalah sebesar 538,90 kkal. Konsumsi mie
kontrol
menyumbang asupan kalori sebesar 545,94 kkal dan konsumsi mie
komersial sebesar 548,62 kkal. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa total kalori yang disumbangkan oleh konsumsi mie kappa karaginan dan iota karaginan tidak terlalu jauh dengan total kalori yang diperoleh dari konsumsi mie komersial dan mie kontrol. Oleh karenanya konsumsi mie kering dengan penambahan iota maupun kappa karaginan bisa menjadi alternatif pengganti mie komersial yang telah beredar di pasaran (Mie Atoom Bulan) karena mampu mencukupi jumlah kalori konsumsi mie kering pada umumnya didasarkan pada diet 2000 kkal. Tambahan pula, jumlah kandungan serat pangan larut dan serat pangan tidak larut pada mie kering dengan penambahan kappa maupun iota karaginan memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan mie kering kontrol maupun mie kering komersial yang tentu saja lebih baik untuk kesehatan dan proses metabolisme pencernaan manusia. Almatsier (2003) menyatakan bahwa serat pangan larut mudah difermentasi sehingga dapat menyebabkan pertambahan berat feses dan gas yang terbentuk selama fermentasi dapat membantu gerakan sisa makanan melalui kolon, sedangkan serat pangan tidak larut memiliki kemampuan dalam menyerap air dan meningkatkan tekstur feses sehingga makanan dapat melewati usus besar dengan cepat dan mudah.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Secara umum karakteristik fisika dan kimia iota dan kappa karaginan
memenuhi standar yang ditetapkan FAO, FCC dan EEC, kecuali dari rendemen dan kadar sulfat kappa karaginan tidak memenuhi standar. Hasil uji organoleptik yaitu uji hedonik dan uji perbandingan pasangan terhadap warna mentah dan matang, aroma, rasa, kekenyalan, dan penampakan menunjukkan bahwa penambahan iota dan kappa karaginan yang masih dapat diterima oleh panelis adalah 0,5%. Adanya penambahan karaginan ini dapat meningkatkan cooking time, daya serap air, kekenyalan, elongasi, sedangkan KPAP dan warna mengalami penurunan serta tidak mempengaruhi terhadap kekerasan. Pengujian karakteristik kimia menunjukkan peningkatan kadar air dan kadar abu mie kering iota karaginan menjadi 3,75% dan 2,66%; sedangkan kadar air dan kadar abu kappa karaginan menjadi 3,95% dan 2,78%. Kadar protein dan kadar karbohidrat iota karaginan mengalami penurunan menjadi 8,51% dan79,10%; sedangkan kadar protein dan karbohidrat kappa karaginan menjadi 8,41% dan 78,96%. Kadar lemak tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan mie kontrol dan mie komersial. Kandungan serat pangan larut dan serat pangan tidak larut mie iota karaginan dan mie kappa karaginan lebih besar dibandingkan mie kontrol dan mie komersial. Hal ini sesuai dengan persen AKG serat pangan larut mie iota dan kappa karaginan sebesar 17,70% dan 19,94% dan persen AKG serat pangan tidak larut mie iota dan kappa karaginan sebesar 5,82% dan 5,79%.
5.2
Saran Saran yang dapat penulis berikan untuk pengembangan mie kering
karaginan adalah: 1. Perlu dilakukan pemucatan pada proses pembuatan kappa dan iota karaginan agar warna karaginan lebih putih sehingga mudah diaplikasikan ke produk mie kering. 2. Perlu dilakukan rasio kappa dan iota karaginan untuk mengetahui kekenyalan mie.
3. Perlu dilakukan substitusi tepung terigu dengan tepung tapioka atau tepung lainnya agar penggunaan tepung terigu dapat diminimalkan dalam pembuatan mie kering karaginan. 4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui daya simpan mie kering karaginan.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia. Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwoto H, Istini S. 2006. Rumput Laut. Jakarta: Penebar Swadaya. Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, InstitutPertanian Bogor. [Anonim]. 2007. Teknologi Mie Instant. [terhubung berkala]. http://www.enbookpangan.com. [13 April 2008]. [Anonim]. 2008. Manfaat Kesehatan. [terhubung berkala]. http://nusaindah.tripot.com. [8 Juni 2008]. [AOAC] Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. 1995. Arlington, USA: Published by The Association of Official Analytical of Chemist Inc. Aslan IL. 1998. Budidaya Rumput Laut. Yogyakarta: Kanisius. Astawan M. 2002. Membuat Mi dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya. Astawan M, Wresdiyati T, Koswara S. 2003. Pemanfaatan iodium dan serat pangan dari rumput laut untuk peningkatan kecerdasan dan pencegahan penyakit degeneratif [laporan akhir penelitian hibah bersaing]. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rahmaniar S. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta : Puslitbang Oseanologi LIPI. A/S Kobenhvsn pektinfabrik. 1978. Carrageenan. Denmark: Lilleskensved. [BSN] Badan Standardisasi Nasional SNI 01-2974-1996. 1996. Mie Kering. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1987. Ilmu Pangan. Edisi ke-2. Purnomo H, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : Food Science. Chapman VJ, Chapman DJ. 1980. Seaweed and Their Uses. Third edition. London: Chapman and Hall, Ltd.
Doty MS. 1986. Biotechnological and Economic Approaches to Industrial Development Based on Marine Algae in Indonesia. Summary. Workshop on Marine Algae Biotechnology. Fellow P. 1992. Food Processing Technology Principle and Practice. Oxford England : Ellis Hordwoad. Fennema OR, Rol L. 1985. Industrial gum: polysaccharides and their derivates. Di dalam: Fennema OR, (ed). Food Chemistry. Second edition, revised and expanded. New York : Marcell Dekker, Inc. Fardiaz D, Andarwulan HW, Puspitasari NL. 1992. Teknik dan Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Bogor: Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. FMC Corp. 1977. Carrageenan. Marine Colloid Monograph Number One. Marine Colloid Division FMC Corporation. New Jersey: Springfield. [FCC] Food Chemical Codex. 1981. Carrageenan. Washington: National Academy Press. Gallaher DD, Schneeman BO. 1996. Dietary fiber. Dalam Ziegler EE, Filler LJ (eds). Modern Nutrition in Health and Disease. Edisi Ke-7. Washington DC: ILSI Press. Glickman. 1983. Food Hydrocolloid vol 1I. Florida: CRC Press Inc Boca Raton. Guiseley KB, Stanley NF, Whitchouse PA. 1980. Carrageenan. Di dalam: Whistler RL (ed). Handbook of Water Solube Gums and Resins. New York: McGraw Hill Book Co. Hasanah RU. 2007. Pemanfaatan rumput laut (Gracilaria sp.) dalam meningkatkan kandungan serat pangan pada sponge cake [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Honseney R.C.1998. Principles of Cereal Science and Technology. Second edition. Minnesota: American Association of Cereal Chemistry Inc. Imeson AP. 2000. Carragenan. Di dalam: Phillips GO, Williams PA (Eds). Handbook of Hydrocolloids. Boca Raton: CRC Press. Indonetwork. 2008. Kappaphycus alvarezii. [terhubung berkala]. http://en.indonetwork.co.id/kappaphycus alvarezii. [8 Desember 2008].
Ipteknet. 2008. Eucheuma spinosum. [terhubung berkala]. http://en.ipteknet.id/eucheuma spinosum. [8 Desember 2008]. Lestari OK. 2006. Pengaruh konsentrasi substitusi tepung terigu dengan tepung rumput laut dan jenis rumput laut terhadap kandungan serat pangan dan iodium mie kering [skripsi]. Karawaci: Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri,Universitas Pelita Harapan. Merdiyanti A. 2008. Paket teknologi pembuatan mi kering dengan memanfaatkan bahan baku tepung jagung [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. McHugh D J. 2003. A Guide to the Seaweed Industry. Rome: FAO of the United Nations. Mogoginta J. 2007. Produsen Makanan Tetap Tahan Harga. [terhubung berkala]. http://www.suaramerdeka.com. [3 Desember 2008] Moirano AL. 1977. Sulfated polysaccharides. Di dalam: Graham HD (ed). Food Colloid. Westport, Connecticut: The AVI Publishing Company Inc. Hal 347-381. Muchtadi D. 2001. Kajian terhadap Serat Makanan dan Antioksidan dalam Berbagai Jenis Sayuran untuk Mencegah Penyakit Degeneratif. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Numberi. 2007. Marine Aquaculture. [terhubung berkala]. http://www. c-getz-science.blogspot.com. [19 Maret 2008]. Oh NH, Seib PA, Deyoe, Ward AB. 1985. Measuring the textural extraction rate, particle size and starch damage on quality characteristics of dry noodles. Cereal Chemistry. 62 (6): 441-446. Owens, G. 2001. Cereal processing Technology. Cambridge: CRC Press. Pamungkas KT. 1987. Mempelajari hubungan antara umur panen dengan kandungan karagenan dan kimia [masalah khusus]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Poncomulyo. 2006. Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Agro Media Pustaka. Pebrianata E. 2006. Pengaruh pencampuran kappa dan iota karagenan terhadap kekuatan gel dan viskositas karagenan campuran [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Santoso J, Yumiko Y, Takeshi S. 2003. Mineral, faty acid and dietary fiber compositions in several Indonesian seaweed. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 11: 45-51. Schneeman BO, Tietyen J. 1994. Dietary fiber. Di dalam: Shil ME, Olson JA, Hike M (eds). Modern Nutrition in Health and Disease. Edisi. Ke-8. Philadelphia : A Waverly Company. Setiawan AB. 2007. Serat Makanan dan Kesehatan. [terhubung berkala]. http://www.endumuslim.org. [19 Maret 2008]. Setyaningrum AW, Marsono Y. 1999. Pengkayaan vitamin A dan vitamin E dalam pembuatan mie instant menggunakan minyak sawit merah. Di dalam Kumpulan Hasil Penelitian Terbaik Bogasari Nugraha 1998-2001. Winarno FG, Lukito W, Abdurrachim, Made MA, Wijaya B. (eds). 2003. Bogasari. Jakarta. [SNI] Standar Nasional Indonesia SNI 01-2690-1998. 1998. Rumput Laut Kering. Jakarta: Standar Nasional Indonesia. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Penelitian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Soekarto ST. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan, Marliyanti SA. 1993. Metode Penetapan Zat Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sunaryo E. 1985. Pengolahan produk serelia dan biji-bijian [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Suryaningrum TD, Soekarto ST, Manullang M. 1989. Kajian sifat-sifat mutu komoditi rumput laut budidaya jenis Eucheuma cottonii dan eucheuma spinosum. Jurnal Penelitian Pasca Panen. 68: 13-24. Sutomo. 2006. Sejarah dan aneka jenis Mie. [terhubung berkala]. http://budiboga.blogspot. [19 Maret 2008]. Swinkel JJM. 1985. Starch, sources, chemistry and physics In: Beynum GMA, Roels JA (eds). Starch Conversion Technology. New York: Marcell Dekker Inc. Towle. 1973. Carrageenan. Dalam: Whisler RL (ed). Industrial Gums: Polysaccharides and Their Derivatives. New York: Academic Press. Hal 83-114.
Uju. 2005. Kajian pemurnian dan pengkonsentrasian karaginan dengan membran mikrofiltrasi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Whistler RL, JNB Miller. 1973. Industrial gum: polysaccharides and polysaccharide gel and Network. Di dalam. Adv. Carbohydrate Chemistry and Biochemistry. Edinburg, Scotland. 24:279-282. Winata J. 2008. Pengaruh rasio kappa karaginan dan iota karaginan terhadap karakteristik marshmallow [skripsi]. Karawaci: Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pangan, Universitas Pelita Harapan. Winarno FG. 1991. Teknologi Produksi dan Kualitas Mie. Makalah disajikan dalam Seminar Sehari Serba Mie. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Winarno FG. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Angka kecukupan energi, protein, dan serat pangan. WNPG VIII. Jakarta: LIPI Press.
Lampiran 1. Score sheet uji hedonik mie kering iota karaginan dan kappa karaginan (Soekarto 1985).
UJI HEDONIK Nama
:
Tanggal
:
Produk
: Mie kering
Jenis Uji
: Hedonik
Berilah penilaian terhadap warna mie mentah, warna mie matang, aroma, kekenyalan, rasa, dan penampakan keseluruhan tanpa membandingkan sampel satu dengan yang lainnya dengan nilai : 7
= Sangat suka
6
= Suka
5
= Agak suka
4
= Netral
3
= Agak tidak suka
2
= Tidak suka
1
= Sangat tidak suka
Parameter Warna mie mentah Warna mie matang Aroma Kekenyalan Rasa Penampaakan keseluruhan
A1A
A1B
A1C
A1D
A2A
A2B
A2C
Lampiran 2. Score sheet uji perbandingan pasangan mie kering iota karaginan dan kappa karaginan (Soekarto 1985)
UJI PERBANDINGAN PASANGAN Nama
:
Tanggal
:
Produk
: Mie kering
Jenis Uji
: Perbandingan pasangan
Bandingkan
warna,
rasa,
aroma,
kekenyalan,
dan
penampakkan
keseluruhan sampel (C1B dan D1A) dengan kontrol (R) dengan nilai: +3 = sangat lebih baik +2 = lebih baik +1 = agak lebih baik 0 = tidak berbeda -1 = agak kurang baik -2 = kurang baik -3 = sangat kurang baik
Parameter Warna mie mentah Warna mie matang Aroma Kekenyalan Rasa Penampaakan keseluruhan
C1B
D1A
Lampiran 3. Rekapitulasi data uji hedonik mie kering iota dan kappa karaginan a) Warna mie mentah No
Warna mie mentah Kappa Kontrol
Warna mie mentah iota
K 0,25%
K 0,5%
K 0,75%
IK 0,25%
IK 0,5%
IK 0,75%
1
7
7
7
6
7
6
6
2
6
6
6
5
6
6
4
3
7
7
7
6
7
7
5
4
6
6
6
5
6
6
3
5
6
5
6
5
6
6
3
6
6
6
4
4
5
6
3
7
5
5
5
5
4
5
3
8
6
5
6
5
6
5
4
9
5
5
5
4
5
5
4
10
7
7
7
5
6
7
5
11
6
4
6
6
6
5
4
12
6
6
6
4
6
6
5
13
6
5
6
5
6
6
4
14
6
6
5
5
6
6
3
15
6
6
6
4
5
5
3
16
7
7
7
6
7
7
4
17
7
6
6
5
7
7
4
18
7
7
7
5
6
6
4
19
6
6
6
4
6
6
4
20
6
6
4
5
6
5
4
21
7
7
7
4
7
6
4
22
6
6
6
5
6
6
3
23
7
7
5
6
7
6
5
24
7
6
7
6
7
7
5
25
6
6
6
5
6
6
4
26
7
7
6
6
6
6
4
27
6
6
6
5
6
6
3
28
6
6
5
4
6
6
4
29
6
6
6
6
6
6
4
30
6
6
6
6
6
5
4
b) Warna mie matang No
Warna mie mentah Kappa Kontrol
Warna mie mentah iota
K 0,25%
K 0,5%
K 0,75%
IK 0,25%
IK 0,5%
IK 0,75%
1
6
7
7
6
5
4
4
2
4
6
6
5
5
4
4
3
7
7
7
6
6
6
6
4
5
6
6
5
5
6
5
5
2
5
6
5
2
2
2
6
4
6
4
4
5
4
2
7
4
5
5
5
4
4
3
8
6
5
6
5
5
5
4
9
3
5
5
4
4
4
6
10
6
7
7
5
4
5
5
11
4
4
6
6
6
4
5
12
5
6
6
4
4
4
3
13
4
5
6
5
5
5
4
14
5
6
5
5
4
4
6
15
3
6
6
4
6
6
6
16
6
7
7
6
5
4
4
17
5
6
6
5
5
6
6
18
6
7
7
5
5
6
6
19
5
6
6
4
5
6
6
20
4
6
4
5
3
5
2
21
6
7
7
4
5
5
5
22
5
6
6
5
6
5
6
23
3
7
5
6
5
3
5
24
6
6
7
6
5
5
7
25
4
6
6
5
4
3
5
26
2
7
6
6
3
2
2
27
5
6
6
5
5
5
5
28
6
6
5
4
5
6
4
29
5
6
6
6
5
5
5
30
6
6
6
6
4
4
3
c) Penampakan No 1 2 3
Kontrol 7 5 6
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
7 3 3 4 5 5 6 3 5 4 5 6 6 6 6 6 4 6 6 5 7 4 5 6 6 6 6
Penampakan kappa K 0,25% K 0,5% 4 6 5 6 5 6 6 3 4 3 5 4 4 3 4 3 3 4 4 5 3 5 3 5 4 3 6 3 3 4 4 5 5
6 5 4 5 6 5 5 6 4 3 4 5 5 5 4 5 3 5 5 4 6 4 4 5 5 5 6
K 0,75% 6 5 4 5 5 4 4 4 4 5 5 5 4 4 5 3 4 4 4 3 4 4 6 5 5 4 5 4 4 6
IK 0,25% 7 3 5 5 3 2 4 4 5 5 3 5 3 3 6 6 5 6 6 4 6 5 6 7 5 6 4 5 4 5
Penampakan iota IK 0,5% IK 0,75% 7 7 5 4 5 4 5 2 2 3 5 3 5 3 4 3 5 5 5 4 5 5 3 4 5 5 6 5 6 5 5 4 5
5 5 2 3 5 3 4 5 4 3 4 5 4 5 4 5 5 4 6 5 6 5 6 5 4 4 5
d) Rasa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Rasa mie kappa Kontrol 4 3 6 6 5 4 5 3 6 4 4 5 4 5 3 7 6 6 5 3 6 4 7 7 5 5 6 4 6 5
K 0,25% 4 3 6 6 3 4 4 3 6 6 4 4 4 4 5 7 6 5 5 4 6 4 4 7 6 5 6 4 6 4
K 0,5% 4 4 6 6 3 4 4 4 6 6 3 3 4 4 5 6 5 5 6 3 6 5 5 7 4 2 5 6 5 5
Rasa mie iota K 0,75% 6 4 6 6 2 4 4 4 6 4 4 5 4 4 5 5 5 6 5 3 5 4 3 6 4 5 4 5 4 6
IK 0,25% 6 5 7 6 3 4 4 5 4 3 4 4 4 5 5 6 7 7 5 5 6 3 5 7 6 6 6 5 6 5
IK 0,5% 4 4 7 6 2 5 4 5 5 6 4 4 4 5 4 5 7 6 5 5 6 5 4 7 6 6 4 5 4 6
IK 0,75% 3 5 6 6 3 4 6 5 4 3 4 4 4 4 5 6 6 5 5 3 6 5 5 6 6 6 4 4 4 5
e) Aroma No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Aroma mie kappa Kontrol K 0,25% 6 4 4 5 6 5 6 6 3 3 4 4 4 4 4 4 4 5 4 7 6 6 5 5 4 6 6 4 4 4 5 5 7 4 6 5 6 4 4 4 6 6 5 5 6 6 7 6 6 4 2 6 5 6 4 5 5 6 4 4
K 0,5% 5 3 6 5 3 5 4 4 4 4 5 5 3 6 4 6 7 6 6 5 6 5 4 7 6 2 6 4 6 4
K 0,75% 6 4 6 5 3 4 3 4 5 5 6 4 3 4 4 5 7 5 4 4 6 5 4 6 5 6 6 4 6 4
Aroma mie iota IK 0,25% IK 0,5% IK 0,75% 6 5 4 4 4 5 5 6 5 6 6 4 3 3 3 4 4 5 4 5 5 4 4 4 4 5 6 6 4 4 5 4 6 3 4 3 3 4 2 5 3 4 4 5 4 6 5 5 6 6 6 7 6 5 5 5 4 5 5 4 6 6 6 3 5 5 6 4 4 6 6 7 5 5 5 6 5 6 7 6 6 4 4 4 7 6 6 4 4 4
f) Kekenyalan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kontrol 4 3 5 4 3 2 3 4 4 3 4 3 4 3 3 4 3 5 3 4 4 4 3 4 3 4 4 5 5 5
Kekenyalan kappa K 0,25% K 0,5% 5 6 3 4 6 6 5 6 4 5 4 5 4 5 5 6 4 5 4 5 4 5 4 4 5 5 5 6 4 5 5 5 4 5 5 6 4 5 5 5 5 5 5 6 5 5 5 5 4 5 5 6 5 5 5 6 4 4 5 6
K 0,75% 6 5 7 7 6 6 5 7 6 6 6 6 6 7 7 6 7 7 6 6 7 7 6 7 6 7 6 7 6 7
Kekenyalan iota IK 0,25% IK 0,5% IK 0,75% 6 7 7 4 5 5 6 7 7 6 7 7 5 6 6 4 4 4 4 6 5 6 7 6 6 7 7 4 6 5 6 6 6 5 6 6 4 6 5 4 7 6 5 7 6 5 6 5 5 7 6 5 7 6 5 4 5 4 5 4 4 6 6 5 6 5 3 7 6 6 7 7 4 5 5 5 6 6 6 7 6 3 6 5 5 7 6 6 6 6
Lampiran 4. Rekapitulasi uji perbandingan pasangan a) Uji perbandingan pasangan kappa No
Penampakan
Warna mie matang
Aroma
Rasa
Kekenyalan
Warna mie mentah
1
1
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
1
0
3
0
0
-1
-1
-1
0
4
2
-2
1
2
1
-1
5
-2
0
0
-1
0
1
6
-1
1
1
1
1
1
7
1
1
1
1
1
1
8
0
1
1
0
1
1
9
1
1
2
2
2
-1
10
1
2
0
1
0
1
11
-1
1
0
0
0
-1
12
-1
-1
1
0
1
-2
13
1
-1
-1
0
-1
-2
14
-2
1
-1
0
-1
-1
15
-1
-2
-1
-2
-1
-3
16
-1
-1
0
0
0
1
17
1
-1
2
2
2
-2
18
2
1
0
0
0
-1
19
-1
2
1
1
1
-1
20
-1
-2
2
1
2
-1
21
-2
-1
0
1
0
-2
22
-1
-2
-1
-1
-1
-2
23
0
-1
0
0
0
-2
24
-1
-2
0
0
0
-1
25
1
-1
-1
2
-1
1
26
-1
-1
2
1
2
-2
27
-1
-2
-1
1
-1
-3
28
-1
-1
1
2
1
-2
29
-1
-1
0
0
0
-3
30 Rata-rata
-1 -0.27
-1 -0.30
0 0.37
1 0.57
0 0.37
-1 -0.83
b).Uji perbandingan pasangan iota karaginan No
Penampakan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
2 0 1 3 2 2 -1 1 -1 2 1 -1 -1 1 -2 -1 -1 2 2 -1 -1 1 -1 0 -1 2 -2 -1 -1 -1 0.17
Warna matang 3 0 1 2 1 2 -1 -1 -1 2 1 -1 -1 -1 -2 -1 -1 1 2 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -2 -1 -1 -1 -0.23
Aroma
Rasa
Kekenyalan
2 1 1 3 2 2 -1 -1 -2 0 1 1 2 2 -1 -2 -1 -1 2 1 0 -1 1 1 0 1 1 -1 0 -1 0.40
3 0 1 2 2 2 -1 1 2 1 2 0 1 -2 1 0 -1 2 1 -1 1 2 2 2 2 2 2 1 0 1 1.03
3 0 1 1 2 -1 0 1 3 1 1 0 -2 -2 0 2 1 1 0 0 1 -1 0 1 2 -1 1 1 0 -1 0.50
Warna mentah 3 1 -1 3 2 2 -1 -1 -1 2 1 -1 -1 -1 -2 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -2 -1 1 -2 -3 -2 -3 -0.50
Lampiran 5. Hasil perankingan data uji hedonik pada mie kering iota dan kappa karaginan a) Kappa karaginan Perlakuan Warna mie mentah kappa kontrol kappa 0,25% kappa 0,5% kappa 0,75% Total Warna mie matang kappa kontrol kappa 0,25% kappa 0,5% kappa 0,75% Total Aroma kappa kontrol iota 0,25% iota 0,5% iota 0,75% Total Rasa kappa kontrol kappa 0,25% kappa 0,5% kappa 0,75% Total Kekenyalan kappa kontrol iota 0,25% iota 0,5% iota 0,75% Total Penampakan kappa kontrol kappa 0,25% kappa 0,5% kappa 0,75% Total
b) Iota karaginan
N 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120
Mean Rank 78,67 63,40 66,23 33,70 74,12 72,98 54,97 39,93 62,47 61,78 60,92 56,83 65,65 61,42 59,03 55,9 24,95 47,2 69,1 100,75 79,73 41,13 68,17 52,97
Perlakuan Warna mie mentah iota
Warna mie matang iota
Aroma iota
Rasa iota
Kekenyalan iota
Penampakan iota
kontrol iota 0,25% iota 0,5% iota 0,75% Total kontrol iota 0,25% iota 0,5% iota 0,75% Total kontrol iota 0,25% iota 0,5% iota 0,75% Total kontrol iota 0,25% iota 0,5% iota 0,75% Total kontrol iota 0,25% iota 0,5% iota 0,75% Total kontrol iota0,25% iota 0,5% iota 0,75% Total
N
30 30 30 30 120 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120 30 30 30 30 120
Mean Rank 78,13 71,03 66,57 26,27 63,83 60,45 58,18 59,53 63,17 63,53 58,97 56,33 60,73 65,45 61,58 54,23 23,88 52,28 89,55 76,28 76,38 60,87 52,35 52,40
Lampiran 6. Hasil uji Multiple Comparison terhadap data uji hedonik pada mie kering kappa karaginan 1) Warna mie mentah kappa Konsentrasi mie kering kappa
N
= 0,05 2 1
kappa 0,75%
30
5,067
kappa 0,25%
30
5,867
kappa 0,5%
30
5,933
kontrol Sig,
30 1
6,267 0,856
2) Warna mie matang kappa Konsentrasi = 0,05 mie kering N kappa 2 1
Kappa 0,75% kappa 0,5% kappa 0,25% kontrol Sig,
30 30
3,567 4,067
4,067
0,283
4,667 4,733 0,085
30 30
3) Aroma kappa Konsentrasi mie N kering kappa iota 0,75% iota 0,5% kontrol iota 0,25% Sig,
= 0,05 30 30 30 30
1 4,767 4,867 4,933 4,933 0,941
4) Rasa kappa Konsentrasi mie kering kappa
= 0,05
N
1
kappa 0,75%
30
4,600
kappa 0,5%
30
4,700
kappa 0,25%
30
4,833
kontrol
30
4,967
Sig,
0,614
5) Kekenyalan kappa Konsentrasi mie kering N kappa kontrol iota 0,25% iota 0,5% iota 0,75% Sig,
30 30 30 30
= 0,05 2
1 3,733
3
4,567 5,233 1
6) Penampakan kappa Konsentrasi mie kering N iota kappa 0,25% kappa 0,75% kappa 0,5% kontrol Sig,
4
1
1
6,367 1
= 0,05 2
1
30 30 30 30
4,067 4,467
4,467 4,900
0,364
0,293
3
4,900 5,300 0,364
Lampiran 7. Hasil uji Multiple Comparison terhadap data uji hedonik pada mie kering iota karaginan 1) Warna mie mentah iota Konsentrasi mie kering N iota iota 0,75% iota 0,5% iota 0,25% kontrol Sig,
= 0,05
1 4,533
30 30 30 30
1,000
2 5,933 6,067 6,267 0,368
2) Warna mie matang iota Konsentrasi mie kering iota iota 0,75% iota 0,5% iota 0,25% kontrol Sig,
= 0,05
N 30 30 30 30
1 4,5333 4,5667 4,6667 4,7333 0,9185
3) Aroma iota Konsentrasi mie kering iota
= 0,05
N
iota 0,75% iota 0,5% kontrol iota 0,25% Sig,
1 4,700 4,800 4,933 4,967 0,797
30 30 30 30
4) Rasa iota Konsentrasi mie kering iota
= 0,05
N
iota 0,75% kontrol iota 0,5% iota 0,25% Sig,
30 30 30 30
5) Kekenyalan iota Konsentrasi mie kering N iota kontrol iota 0,25% iota 0,75% iota 0,5% Sig,
1 4,733 4,967 5,000 5,133 0,537
= 0,05 1 3,733
30 30 30 30
2
3
4,867
1
1
5,733 6,200 0,160
6) Penampakan iota Konsentrasi mie kering iota kappa 0,5% kappa 0,75% kappa 0,25% kontrol Sig,
= 0,05
N 30 30 30 30
1 4,467 4,533 4,767 0,750
2 4,533 4,767 5,3 0,057
Lampiran 8. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data cooking time mie kering a) Analisis ragam
Perlakuan Galat Total
Jumlah kuadrat
db
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
8,426
0,003
346,747
3
115,583
164,610
12
13,718
511,357
15
b) Uji Tukey = 0,05
Konsentrasi mie kering
N
Komersial Kontrol Kappa 0,5% Iota 0,5% Sig,
1 200,1 201,15 207,75
4 4 4 4
0,054
2 207,75 211,35 0,537
Lampiran 9. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data KPAP mie kering a) Analisis ragam
Perlakuan Galat Total
Jumlah kuadrat
db
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
12,418
0,001
= 0,05 2
3
9,532
3
3,177
3,070
12
0,256
12,602
15
b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering Kappa 0,5% Iota 0,5% Kontrol Komersial Sig,
N 4 4 4 4
1 91,218 91,788
0,418
91,788 92,595 0,163
92,595 93,245 0,312
Lampiran 10. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data DSA mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat
Perlakuan Galat Total
Kuadrat tengah
db
0,597
3
0,199
0,416
12
0,035
1,013
15
F hitung
Signifikan
5,740
0,011
b) Uji Tukey = 0,05
Konsentrasi mie kering
N
Komersial Kontrol Kappa 0,5% Iota 0,5% Sig,
2
1 3,585 3,646 3,973
4 4 4 4
3,646 3,973 4,023 0,060
0,052
Lampiran 11. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kekerasan mie kering a) Analisis Ragam
Perlakuan Galat Total
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
db
586653,9369
3
195551,3
759436,3025
12
63286,36
1346090,239
15
F hitung
Signifikan
3,090
0,068
b)Uji Tukey Konsentrasi mie kering
N
Iota 0,5% Kappa 0,5% Kontrol Komersial Sig,
4 4 4 4
= 0,05 1 2585,2 2585,825 2903,225 3016,725 0,125
Lampiran 12. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kekenyalan mie kering a)Analisis ragam
Perlakuan Galat Total
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
db
0,033
3
0,01
0,018
12
0,00
0,050
15
F hitung
Signifikan
7,36
0,00
b)Uji Tukey = 0,05
Konsentrasi mie kering
N
Komersial Kontrol Kappa 0,5% Iota 0,5% Sig,
1
4 4 4 4
2
0,345 0,426 0,440 0,465 0,502
1
Lampiran 13. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data elongasi mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
3
4469,483
40,098
0,000
12
111,465
= 0,05 2
3
db
Perlakuan 13408,45 Galat 1337,575 Total 14746,02
15
b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering Komersial Kontrol Kappa 0,5% Iota 0,5% Sig,
N 4 4 4 4
1 110,603
164,795 172,595 1
0,728
172,595 187,135 0,260
Lampiran 14. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data warna mie kering a) Analisis ragam warna b Jumlah Kuadrat db kuadrat tengah Perlakuan 121,696 3 40,565 Galat 44,801 12 3,733 Total 166,498 15
F hitung
Signifikan
10,865
0,001
b) Uji Tukey warna b = 0,05 Konsentrasi mie kering
N
Kappa 0,5% Iota 0,5% Kontrol Komersial Sig,
4 4 4 4
1
2
12,685 14,67 15,035 20,155 1
0,356
Lampiran 15. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kadar air mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan Galat Total
Kuadrat tengah
db
7,241
3
2,414
0,092
12
0,008
7,333
15
F hitung 314,724
Signifikan 0,000
b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering Komersial Kontrol Iota 0,5% Kappa 0,5% Sig,
N 4 4 4 4
1
= 0,05 2
3
2,477 2,542 3,748 0,726
1
3,945 1
Lampiran 16. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kadar abu mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan Galat Total
db
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
61,625
0,000
= 0,05 2
3
0,779
3
0,260
0,051
12
0,004
0,829
15
b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering
N
Komersial Kontrol Iota 0,5% Kappa 0,5% Sig,
1
4 4 4 4
2,218 2,383
1
1
2,657 2,778 0,088
Lampiran 17. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kadar protein mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan Galat Total
db
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
41,027
0,000
= 0,05 2
3
1,057
3
0,352
0,103
12
0,009
1,160
15
b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering Kappa 0,5% Iota 0,5% Komersial Kontrol Sig,
N 4 4 4 4
1 8,412 8,509
8,719 0,474
1
9,082 1
Lampiran 18. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kadar karbohidrat mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan Galat Total
db
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
92,449
0,000
= 0,05 2
3
6,254
3
2,085
0,271
12
0,023
6,524
15
b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering
N
Kappa 0,5% Iota 0,5% Kontrol Komersial Sig,
1
4 4 4 4
78,960 79,104 79,917 0,544
80,499 1
1
Lampiran 19. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kadar lemak mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat
db
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
3,228
0,061
Perlakuan Galat Total
0,088
3
0,029
0,109
12
0,009
0,197
15
b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering iota Kappa 0,5% Iota 0,5% Kontrol Komersial Sig,
N 4 4 4 4
= 0,05 1 5,906 5,982 6,076 6,087 0,081
Lampiran 20. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data serat larut mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan Galat Total
db
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
35,286
0,000
= 0,05 2
3
0,341
3
0,114
0,039
12
0,003
0,380
15
b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering Komersial Kontrol Iota 0,5% Kappa 0,5% Sig,
N
1
4 4 4 4
1,417 1,440 1,581 0,938
1,784 1
1
Lampiran 21. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data serat tidak larut mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan 0,698 Galat 0,038 Total 0,735
Kuadrat tengah
F hitung
Signifikan
3
0,233
74,154
0,000
12
0,003
db
15
b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering Komersial Kontrol Kappa 0,5% Iota 0,5% Sig,
= 0,05 N 4 4 4 4
1
2
1,118 1,154
0,797
1,546 1,560 0,983
Lampiran 22. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data total serat pangan mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan Galat Total
Kuadrat F hitung Signifikan tengah
db
2,074
3
0,691
0,004
12
0,000
2,077
15
2209,958
0,000
b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering
= 0,05
N 1
Komersial Kontrol Iota 0,5% Kappa 0,5% Sig,
4 4 4 4
2
3
4
2,534 2,591 3,141 1
1
1
3,329 1
Lampiran 23. Pembuatan mie kering dengan penambahan karaginan
Bahan-bahan
Pengukusan
Pengovenan
Pencampuran/pengadonan
Pencetakan mie
Mie kering
Adonan mie
Pengepresan