PEMBUATAN MIE KERING DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI
SKRIPSI EVA KARTIKA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN Eva Kartika. D14203038. 2010. Pembuatan Mie Kering dengan Penambahan Tepung Daging Sapi. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S. Pt. M. Si. Pembimbing Anggota : Zakiah Wulandari, S. TP. M.Si. Daging adalah bahan pangan hewani yang memiliki kandungan nutrisi lengkap, terutama protein dan zat besi. Protein dibutuhkan oleh tubuh untuk untuk membentuk sel-sel penyusun tubuh yang sebagian besar tersusun atas protein. Zat besi pun dibutuhkan oleh tubuh terutama bagi ibu hamil agar terhindar dari penyakit kekurangan zat besi yaitu anemia. Daging memiliki sifat yang mudah rusak (perishable) oleh aktivitas mikroorganisme. Kekurangan ini dapat diatasi dengan memberikan perlakuan yang bertujuan memperpanjang daya simpannya. Salah satu metode tersebut adalah dengan cara pengeringan menggunakan oven. Daging yang telah dikeringkan ini dapat dilakukan diversifikasi menjadi suatu produk yaitu mie kering. Mie kering saat ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebagai alternatif pengganti beras. Tepung daging yang ditambahkan bertujuan untuk meningkatkan nilai gizinya, terutama protein dan zat besi. Tujuan dari penelitian adalah untuk mempelajari sifat fisik dan kimia pada mie yang diberi penambahan tepung daging sapi. Tepung daging sapi yang ditambahkan pada proses pembuatan mie kering ini sebesar 0, 50, 100 dan 150 g. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan taraf penambahan tepung daging sapi sebagai perlakuan yang dilakukan sebanyak tiga ulangan. Peubah yang diukur dianalisis dengan ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung daging sapi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar lemak, rendemen, kekerasan dan derajat gelatinisasi. Penambahan tepung daging sapi ini nyata memberikan pengaruh pada kadar protein, kadar Fe, dan warna. Semakin tinggi tingkat penambahan tepung daging, maka meningkat pula kadar protein, kadar Fe, dan semakin berwarna cokelat produk mie kering. Kata-kata kunci : tepung daging sapi, pengeringan oven, mie kering, sifat fisik, sifat kimia.
ABSTRACT Suplementation of Meat Flour on Noodle Processing Kartika, E., T. Suryati and Z. Wulandari Beef is a high nutritious animal product, especially its protein and iron contents. Which are needed by the body for tissue growth, replacement of lost protein and source of energy. There are many ways to extend the shelflife of beef such as dehydration, freezing and fermentation. In this study, oven dehydration technique combined with grinding to make beef flour was used. This study was aimed to study the physical and chemical properties of noodle influence by level of beef flour. The addition level were 0, 50, 100 and 150 grams. Rendemen, hardness, gelatinization degrees, color, water content, protein content, fat content and iron content were observed. The treatments were repeated three periods as replications. The result of this study showed that beef flour supplementations did not have significant influences on rendemen, water content, fat content, hardness and gelatinization degrees of noodles but on protein and iron contents and color of the noodle are positively correlated to the amount of beef flour added.
Keywords : noodle, meat meal, physical content, chemical content
PEMBUATAN MIE KERING DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI
EVA KARTIKA D14203038
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul : PEMBUATAN MIE KERING DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI Nama : EVA KARTIKA NIM : D14203038
Menyetujui, Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Tuti Suryati, S. Pt., M.Si.) NIP. 19720516 199702 2 001
(Zakiah Wulandari, S. TP., M.Si.) NIP. 19750207 199802 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 16 November 2010
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 21 April 1985 di Bogor, Jawa Barat. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan bapak H. Emid Suherman dan Hj. Holidjah (almarhumah). Tahun 1997 penulis menyelesaikan pandidikan dasar di SD Negeri Papandayan I Bogor. Pendidikan dilanjutkan di SLTP Negeri 5 Bogor hingga tahun 2000 dan Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2003 di SMU Negeri 5 Bogor. Pada tahun 2003, penulis diterima di Fakultas Peternakan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah, penulis aktif di organisasi. Tahun 2003-2004 sebagai Kepala Departemen Sosial dan Politik BEM TPB dan staff Departemen Keputrian Forum Aktivitas Mahasiswa Muslim (FAMM) Al-An’aam. Tingkat kedua penulis bergabung dengan BEM Fakultas Peternakan periode 20042005 sebagai Sekretaris Departemen Hubungan Luar dan Kebijakan. Penulis menjadi Sekretaris Departemen Pendidikan BEM KM IPB periode 2006-2007.
KATA PENGANTAR Segala Puji hanya bagi Allah SWT, zat yang Maha Kuasa yang maha memiliki kekuatan, yang jiwa ini berada dalam genggaman-Nya. Hanya dengan rahmat serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir ini. Skripsi dengan judul ”Pembuatan Mie Kering dengan Penambahan Tepung Daging Sapi” ini disusun sebagai hasil penelitian yang telah dilakukan penulis pada tahun 2008. Penelitian dilakukan untuk mempelajari sifat fisik dan kimia mie kering yang diberi penambahan tepung daging. Tepung daging yang ditambahkan pada mie kering sebesar 0, 50, 100 dan 150 gram. Sifat fisik yang diamati yaitu warna, derajat gelatinisasi dan kekerasan, sedangkan sifat kimia yang diamati yaitu kadar air, protein, lemak, dan kadar zat besi. Harapannya, penelitian ini dapat diaplikasikan dalam industri pengolahan pangan untuk berkontribusi dalam hal diversifikasi pangan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Perbaikan berupa koreksi, saran dan kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .............................................................................................
ii
ABSTRACT ................................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................
iv
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ................................................................................
vii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
Xi
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................ Tujuan .............................................................................................
1 1
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
2
Daging ............................................................................................. Pengeringan Daging dengan Metode Oven .................................... Zat Besi ........................................................................................... Mie .................................................................................................. Bahan yang Digunakan dalam Pembuatan Mie ........................ Proses Pembuatan Mie .................................................................... Mekanisme Gelatinisasi Pati .....................................................
2 3 4 7 8 10 11
MATERI DAN METODE ..........................................................................
13
Lokasi dan Waktu ........................................................................... Materi .............................................................................................. Prosedur .......................................................................................... Pengukuran Peubah ......................................................................... Rancangan Percobaan......................................................................
13 13 13 16 19
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
20
Sifat Fisik ........................................................................................ Rendemen ................................................................................. Kekerasan .................................................................................. Derajat Gelatinisasi ................................................................... Warna ........................................................................................ Sifat Kimia ...................................................................................... Kadar Air ................................................................................. Kadar Lemak ............................................................................
20 20 21 21 22 23 23 24
Kadar Protein ............................................................................ Kadar Fe ....................................................................................
24 25
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
26
Kesimpulan ..................................................................................... Saran ...............................................................................................
26 26
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
27
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
28
LAMPIRAN ................................................................................................
31
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Kadar Protein, Lemak, dan Fe Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan Oven ...............................................................................
3
2.
Kadar Zat Besi dalam Beberapa Bahan Pangan .................................
6
3.
Syarat Mutu Mie Kering Mutu I dan Mutu II .....................................
7
4.
Komposisi Nutrisi Tepung Terigu Jenis Cakra Kembar .....................
9
5.
Komposisi Kimia Tepung Tapioka per 100 gram Bahan ...................
9
6.
Komposisi Tepung Terigu, Tepung Tapioka dan Tepung Daging .....
14
7.
Komposisi Bahan yang Digunakan untuk Mengukur Kadar Fe .........
18
8.
Hasil Analisi Sifat Fisik Mie Kering dengan Penambahan Tepung Daging Sapi ........................................................................................
20
Hasil Analisis Kimia Mie Kering dengan Penambahan Tepung Daging Sapi ........................................................................................
24
9.
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Perpindahan Air Bahan Pangan Selama Pengeringan ...............
4
2. Pembuatan Tepung Daging dengan Metode Pengeringan Oven
13
3.
Diagram Alir Pembuatan Mie Kering ........................................
14
4.
Tepung Daging Sapi ..................................................................
19
5.
Mie Kering 0, 5, 10 dan 15 gram ...............................................
20
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Analisis Ragam Uji Kadar Air......................................................
32
2.
Analisis Ragam Uji Kadar Lemak ...............................................
32
3.
Analisis Ragam Uji Kadar Protein...............................................
32
4.
Uji Lanjut BNT Uji Kadar Protein...............................................
32
5.
Analisis Ragam Uji Rendemen.....................................................
32
6.
Analisis Ragam Uji Kekerasan.....................................................
33
7.
Analisis Ragam Uji Kecerahan (L) Warna...................................
33
8.
Uji Lanjut BNT Uji Kecerahan (L) Warna...................................
33
9.
Analisis Ragam Uji Warna Kemerahan (a) .................................
33
10.
Uji Lanjut BNT Uji Warna Kemerahan (a) …………………….
33
11.
Analisis Ragam Uji Warna Kekuningan (b) ................................
34
12.
Uji Lanjut BNT Uji Warna Kekuningan (b) ................................
34
13.
Analisis Ragam Uji Derajat Gelatinisasi......................................
34
14.
Analisis Ragam Uji Kadar Fe.......................................................
34
15.
Uji Lanjut BNT Uji Kadar Fe.......................................................
34
PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan asal ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena daging mengandung nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan sel-sel tubuh manusia. Daging juga memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap pertumbuhan mikroorganisme sehingga rentan terhadap kerusakan. Sifat daging yang mudah rusak menyebabkan perlunya proses pengawetan dan pengolahan yang bertujuan untuk mempertahankan kualitas, memperpanjang umur simpan, dan meningkatkan daya terima masyarakat. Umur simpan daging dapat diperpanjang salah satunya dengan cara pengeringan daging. Daging dikeringkan hingga kadar airnya yang sangat rendah sehingga mikroorganisme tidak mampu untuk hidup. Pengeringan daging dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain pengeringan sinar matahari, pengeringan beku (freeze drying) maupun pengeringan dengan menggunakan oven (oven drying) sebagai
metode pengeringan yang
dikembangkan untuk diversifikasi pengolahan daging menjadi tepung daging. Tepung daging juga dapat dimanfaatkan secara luas sebagai bahan tambahan dalam pembuatan produk olahan, salah satunya adalah mie kering. Masyarakat dewasa ini banyak mengkonsumsi mie sebagai bahan alternatif pengganti beras. Hal ini tentu sangat menguntungkan ditinjau dari sudut pandang penganekaragaman konsumsi pangan. Mie termasuk bahan pangan yang mudah cara penyajiannya, oleh karena itu produk ini cepat popular. Penggunaan terigu sebagai bahan utama dapat disuplementasi dengan bahan lain seperti tepung daging. Terigu yang sangat kurang kandungan proteinnya dengan penambahan tepung daging pada proses pembuatan diharapkan dapat meningkatkan nilai gizi dari mie terutama protein. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia mie setelah diberi penambahan tepung daging sapi pada beberapa taraf penambahan tepung daging. Tujuan Penelitian ini bertujuan mempelajari sifat fisik dan kimia mie yang diberi tepung daging sapi melalui teknik formulasi penambahan tepung daging sapi.
TINJAUAN PUSTAKA Daging Lawrie (1995), mendefinisikan daging sebagai sumber utama zat- zat makanan yang dibutuhkan untuk kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Daging menurut Dewan Standarisasi Nasional (1995), didefinisikan sebagai jaringan otot yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi yang sehat waktu dipotong. Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Otot mengandung sekitar 75% air (dengan kisaran 68%-80%), protein sekitar 19% (16%-22%), substansi-substansi non protein yang larut air sekitar 3,5%, serta lemak sekitar 2,5% (1,5%-13,0%) (Soeparno, 1992). Menurut Forrest et al. (1975), daging sapi termasuk jenis daging merah yaitu daging yang mengandung mioglobin dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan daging jenis lainnya seperti daging unggas dan hewan akuatik. Daging merupakan salah satu komoditi perdagangan yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi (Departemen Pertanian, 2004). Berdasarkan keadaan fisik, daging dapat dikelompokkan menjadi: (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, (2) daging yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), (3) daging yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan (daging beku),
(4)
daging masak, (5) daging asap dan (6) daging olahan (Soeparno, 1992). Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur ternak, pakan termasuk bahan aditif dan stress. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim penge mpuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskuler/marbling, metode penyimpanan, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging (Soeparno, 1992). Menurut Buckle et al. (1987), daging dari semua jenis ternak merupakan bahan yang mudah rusak, hal ini disebabkan komposisi gizinya yang baik selain untuk manusia juga untuk mikroorganisme. Setelah proses pemotongan, daging pada suhu 20 o C akan rusak dalam 1 sampai 2 hari. Pertumbuhan mikroba pada daging
dapat dihambat pada suhu -15 oC, oleh karena itu pembekuan merupakan metode dalam pengawetan daging dan produk daging lainnya (Simonsen et al., 1988). Sifat daging yang mudah rusak ini mengharuskan dilakukannya perpanjangan umur simpan daging dengan membuat lingkungan yang kurang baik bagi mikroorganisme untuk bertahan atau berkembang. Hal terpenting pada proses pengawetan daging adalah dengan mencegah atau menghambat perkembangan mikroba, menghindari hilangnya berat dan perubahan pada rasa atau tekstur daging (Ayanwale et al., 2007). Kegiatan pengolahan daging adalah proses pembuatan suatu produk dari bahan mentah atau bahan baku (daging) serta kegiatan penanganan dan pengawetan produk tersebut. Kegiatan-kegiatan pengolahan daging tersebut merupakan inti dari kegiatan-kegiatan di bidang teknologi pangan (Winarno et al., 1980). Pengeringan Daging dengan Metode Oven Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan dengan cara menyerapnya menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air bahan dikurangi sampai batas tertentu sampai mikroba tidak dapat tumbuh lagi pada bahan tersebut (Muchtadi, 1989). Proses pengeringan bahan dapat menggunakan berbagai metode antara lain spray drying, drum/roller, oven drying, freeze drying, dan cabinet drying. Pemilihan metode pengeringan ditentukan oleh jenis komoditi yang akan dikeringkan, bentuk akhir yang diinginkan, faktor ekonomi, dan kondisi operasinya (Desroiser, 1988). Pengeringan dengan oven merupakan cara yang sering digunakan karena prosesnya cepat dan produk yang didapat kualitasnya cukup baik. Komposisi kimia tepung daging sapi berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian terdahulu (Anggoro, 2007) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kadar Protein, Lemak dan Fe Tepung Daging Sapi dengan Metode Pengeringan Oven Zat Nutrisi
Metode Pengeringan Oven
Kadar Protein (%BB)
77,96
Kadar Lemak (% BB)
6,08
Kadar Fe (ppm)
64,41 ± 26,65
Sumber : Anggoro, 2007
3
Gambar 1. Perpindahan Air Bahan Pangan Selama Pengeringan (Fellow, 1990) Panas yang diberikan pada bahan pangan dalam sebuah oven dapat melalui radiasi dari dinding oven, konveksi dari sirkulasi udara panas, dan konduksi melalui wadah tempat bahan pangan diletakkan. Panas menembus bahan pangan melalui proses konduksi dalam banyak kasus, walaupun awalnya konveksi dilakukan awal pemanasan bahan pangan. Udara, gas lain dan air menguap akibat transfer panas secara konveksi. Panas diubah menjadi panas konduksi pada permukaan bahan dan dinding oven (Fellow, 1990). Ketika bahan pangan diletakkan dalam sebuah oven, uap pada permukaan bahan menguap akibat udara panas. Rendahnya kelembapan udara dalam oven menciptakan gradien tekanan uap, yang menyebabkan perpindahan air dari bagian dalam bahan menuju permukaan bahan. Banyaknya kehilangan air bahan ditentukan oleh sifat alami bahan dan laju pemanasan. Perpindahan air pada saat pengeringan bahan dalam oven ditunjukkan dalam Gambar 1. Saat laju hilangnya air melebihi laju perpindahan air dari bagian dalam bahan, daerah evaporasi berpindah pada bagian dalam bahan, permukaan menjadi kering, suhunya meningkat menjadi suhu udara panas (110-240 o C) dan akan terbentuk pengerasan kulit. Suhu bagian dalam bahan pangan tidak boleh melebihi 100 o C, karena pemanasan dilakukan pada tekanan atmosfer dan air hilang secara bebas dari bahan pangan. Perubahan ini serupa dengan pengeringan udara panas lainnya, tapi semakin cepat pemanasan dan semakin tinggi suhu yang digunakan menyebabkan perubahan yang kompleks pada komponen permukaan bahan pangan (Fellow, 1990). Zat Besi Mineral merupakan unsur yang berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur di dalam tubuh. Mineral tediri atas mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro merupakan mineral yang terdapat dalam tubuh dengan jumlah yang
4
cukup besar, seperti natrium, klor, kalsium, fosfor, magnesium dan belerang. Mineral lain seperti besi, iodium, mangan, tembaga, zink, kobalt dan fluor terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang kecil, sehingga disebut mineral mikro (Winarno, 1997). Zat besi (Fe)
merupakan salah
satu
mineral
yang
harus dijaga
keseimbangannya. Jika keseimbangan zat besi dalam tubuh seseorang terganggu, maka yang pertama digunakan untuk mempertahankan kadar besi supaya tetap normal adalah cadangan zat besi dalam tubuh yang hanya sebesar 300 mg untuk wanita dan 1000 mg untuk laki- laki. Cadangan zat besi bisa terus menurun apabila tubuh kekurangan zat besi yang berlarut-larut dan tidak segera ditangani, maka akan menyebabkan terjadinya penyakit anemia (Wirakusumah, 1998). Zat besi terkandung dalam berbagai macam baha n pangan, baik nabati maupun hewani. Sumber zat besi yang utama adalah hati, sumber lainnya yaitu daging, kuning telur, kacang-kacangan dan sayuran hijau juga merupakan sumber besi yang baik. Menurut Boccia et al. (2002), kandungan besi pada daging yang dimasak lebih tinggi dibandingkan dengan daging yang tidak dimasak, hal ini terjadi karena selama pemasakan terjadi kehilangan air. Absorpsi zat besi yang berasal dari bahan pangan nabati hanya sekitar 1% - 6%, sedangkan yang berasal hewani lebih tinggi sekitar 7% - 22%. Bahan pangan hewani dapat meningkatkan absorpsi zat besi yang berasal dari bahan pangan nabati dalam campuran susunan makanan (Karyadi dan Hermana, 1981). Beberapa jenis bahan pangan yang banyak mengandung zat besi dapat dilihat pada Tabel 2. Zat besi dalam tubuh sebagian terdapat dalam sel-sel darah merah yang berupa heme, suatu pigmen yang mengandung inti sebuah atom besi. Dalam sebuah molekul hemoglobin terdapat empat heme. Besi juga terdapat dalam sel-sel otot, khususnya dalam mioglobin. Berbeda dengan hemoglobin, mioglobin terdiri dari satu pigmen heme untuk setiap protein. Besi yang terdapat dalam tubuh berasal dari tiga sumber,
yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah
(hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan besi yang diserap dari saluran pencernaan. Besi hasil hemolisis merupakan sumber utama zat besi dalam tubuh. Pada manusia yang normal kira-kira 20-25 mg besi per hari berasal dari besi hemolisis dan hanya sekitar 1 mg berasal dari makanan (Winarno, 1997).
5
Tabel 2. Kadar Zat Besi dalam Beberapa Bahan Pangan Bahan Pangan
Kadar Zat Besi (mg/100 g) 6,0 – 14,0 2,0 - 4,3 0,5 – 1,0 2,0 – 3,0 1,9 – 14,0 1,5 – 7,0 0,4 – 18,0 0,3 – 2,0 0,2 – 4,0 0,5 – 0,8 0,1 – 0,4
Hati Daging Sapi Ikan Telur Ayam Kacang-kacangan Tepung Terigu Sayuran Hijau Umbi- umbian Buah – buahan Beras Susu Sapi Sumber : Karyadi dan Herman (1981)
Senyawa
besi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi 2, yaitu yang
berfungsi untuk keperluan metabolik dan yang berbentuk simpanan atau cadangan. Hemoglobin, mioglobin, sitokrom dan beberapa zat besi lainnya yang berikatan dengan protein termasuk dalam kelompok pertama. Senyawa tersebut berfungsi sebagai sarana transportasi zat gizi, serta penyimpanan dan pengguna oksigen. Tergantung pada tingkat status zat besi seseorang, jumlah senyawa ini berkisar antara 22-55 mg/kg berat badan, dan lebih dari 80% diantaranya berbentuk hemoglobin. Senyawa zat besi dalam bentuk cadangan berkisar antara 5-25 mg/kg berat badan, terutama sebagai feritin dan hemosiderin. Apabila zat besi cukup dalam bentuk simpanan, maka kebutuhan akan homopoesis (pembentukan sel-sel darah merah) dan sumsum tulang belakang akan terpenuhi (Wilson et al., 1979). Hal tersebut dapat mencegah seseorang mengalami anemia yang dapat diketahui dari kadar hemoglobin seseorang. Pembuangan besi keluar tubuh terjadi melalui beberapa jalan diantaranya melalui keringan (0,2-1,2 mg/hari), air seni (0,1 mg/hari), serta melalui feses dan menstruasi meliputi 0,5-1,4 mg/hari. Jumlah zat besi yang diserap hanya sekitar 10%, maka konsumsi yang dianjurkan adalah 10 mg per hari untuk laki- laki dewasa, atau 18 mg per hari untuk wanita dengan usia 11-50 tahun (Winarno, 1997). Mie Mie merupakan bahan pangan berbahan baku utama tepung terigu. Mie tidak termasuk makanan asli Indonesia jika ditinjau dari bahan bakunya. Mie dikenal
6
sebagai noodle dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Jepang disebut ramen, udon, kisimen, sedangkan dalam bahasa Italia dikenal sebagai spagheti (Astawan, 2002). Dewan Standardisasi Nasional (1996) mendefinisikan mie kering sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu, dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan makanan yang diizinkan berbentuk khas mie. Menurut Winarno (1991), mie dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87% artinya kandungan airnya harus dibawah 13%. Syarat mutu mie kering mutu I dan mutu II menurut Standard Nasional Indonesia disajikan pada Tabel 3. Mie pertama dibuat dan berkembang di daratan Cina dan kini masih terkenal sebagai oriental noodle. Banyak jenis mie diproduksi, tetapi dalam bahan yang paling sederhana mie selalu dibuat dari terigu karena itu termasuk jenis kelompok makanan yang disebut pasta, yaitu makanan yang terbuat dari adonan terigu, air dan garam (Winarno, 1991). Tabel 3. Syarat Mutu Mie Kering Mutu I dan Mutu II SNI 01-2974-1996 No
1.
Jenis Uji
Satuan
Persyaratan Mutu I
Mutu II
Keadaan Bau
-
Normal
Normal
Warna
-
Normal
Normal
Rasa
-
Normal
Normal
2.
Air
% b/b
Maksimal 8
Maksimal 10
3.
Protein
% b/b
Minimal 11
Minimal 8
Sumber : Standard Nasional Indonesia (1996)
Menurut Oh et al. (1985), dipandang dari segi tahap pengolahan dan kadar airnya, mie dapat dibagi menjadi 5 golongan yaitu, (1) mie mentah, adalah produk langsung dari pemotongan adonan dengan kadar air 35%, (2) mie basah, adalah mie mentah yang sudah direbus dalam air mendidih dengan kadar air sekitar 52%, (3) mie kering, adalah mie yang telah mengalami proses pengeringan dengan kadar air sekitar 10%, (4) mie goreng, adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan terlebih dahulu digoreng, mengandung lemak sekitar 20%, (5) mie instant, adalah mie siap hidang yang telah mengalami pengukusan dan pengeringan kemudian digoreng dengan kadar air sekitar 8%.
7
Bahan yang Digunakan dalam Pembuatan Mie Proses pembuatan mie memerlukan sejumlah bahan utama dan bahan tambahan. Masing- masing bahan memiliki peranan tertentu seperti menambah bobot, menambah volume atau memperbaiki cita rasa dan mutu (Astawan, 2002). Tepung Terigu. Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang melalui proses pembersihan, pemberian air, penggilingan, pengayakan, dan pengepakan (Wijaya, 1997). Tepung terigu mengandung protein 7% - 22% dan tersusun minimal 5 jenis protein yaitu albumin yang larut dalam air, globulin dan proteosa yang larut dalam garam, gliadin yang larut dalam alkohol dan glutenin yang larut dalam asam atau alkali (glutelin). Glutenin dan gliadin bila dicampur dengan air akan membentuk gluten. Gluten akan mempengaruhi sifat elastisitas adonan yang dapat menyebabkan mie tidak mudah putus saat pencetakan (Winarno, 1991). Terigu yang biasa digunakan dalam pembuatan mie adalah tepung terigu merk cakra kembar. Tepung terigu jenis ini mengandung protein yang tinggi (minimal 13%), sehingga akan memiliki kandungan gluten yang tinggi pula (Astawan, 2002). Komposisi nutrisi tepung terigu jenis cakra kembar dilihat pada Tabel 4. Tepung Tapioka. Tepung tapioka adalah pati yang berasal dari ekstraksi umbi ketela pohon (Manihot utilissima POHL) yang telah dicuci dan dikeringkan. Menurut Dewan Standarisasi Nasional (1994), tapioka adalah pati amilum yang diperoleh dari umbi kayu segar (Manihot utilissima POHL atau Manihot esculenta CRANTZ) setelah melalui cara pengolahan tertentu, dibersihkan, dan dikeringkan. Alasan penggunaan tapioka selain harganya murah dan muda h didapat juga mempunyai daya ikat yang tinggi dan membentuk struktur yang kuat (Widowati, 1987). Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 5. Air. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat (akan mengembang), melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Jumlah air yang ditambahkan umumnya sekitar 28-38% dari campuran bahan yang digunakan. Jika lebih dari 38% adonan akan menjadi sangat lengket dan jika kurang dari 28% adonan akan menjadi rapuh sehingga sulit dicetak (Astawan, 2002).
8
Tabel 4. Komposisi Nutrisi Tepung Terigu Merk Cakra Kembar Komposisi
Jumlah
Energi (Kal)
Minimal 340
Air (gram)
Minimal 14,5
Protein (gram) Karbohidrat (gram)
13 Minimal 70
Serat Kasar (gram)
0,4
Lemak (gram)
0,9
Kalsium (gram)
1,0
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1986)
Tabel 5. Komposisi Kimia Tepung Tapioka per 100 gram bahan Komponen
Jumlah
Air (gram)
12,0
Karbohidrat (gram)
86,9
Lemak (gram)
0,3
Protein (gram)
0,5
Energi (kalori)
362,0
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1986)
Garam Dapur. Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, memperkuat tekstur mie, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mie, serta untuk mengikat air. Garam dapur juga berfungsi sebagai penghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga mie tidak lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2002). Menurut Pearson dan Tauber (1984), selain meningkatkan cita rasa produk, garam juga dapat melarutkan protein miosin, sebagai pengawet dan me ningkatkan daya mengikat air. Penggunaan garam pada produk makanan berkisar 2-3%. Telur. Putih telur akan menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada permukaan mie. Lapisan tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng dan kekeruhan saus mie sewaktu pemasakan. Lesitin pada kuning telur merupakan pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu dan bersifat mengembangkan adonan (Sunaryo, 1985).
9
Air Abu. Air Abu merupakan campuran dari natrium karbonat (Na2 CO3 ) dan kalium karbonat (K 2 CO 3 ) dengan perbandingan 1:1. Air abu berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie, meningkatkan kehalusan tekstur, serta meningkatkan sifat kenyal (Astawan, 2002) . Proses Pembuatan Mie Bahan dasar pembuatan mie kering yang umum digunakan yaitu terigu dan air dengan bahan tambahan yaitu garam dapur (NaCl), air abu, dan telur. Proses pembuatan mie secara umum terdiri dari proses pencampuran, pembentukan mie, pengukusan, pengeringan serta pendinginan (Sunaryo, 1985). Tahap pencampuran bertujuan agar hidrasi air dengan tepung berlangsung merata dan untuk menarik serat-serat gluten sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Umumnya jumlah air yang ditambahkan sekitar 28% - 38%, jika air yang digunakan lebih dari 38% maka adonan menjadi sangat lengket dan jika kurang dari 28% maka adonan yang dihasilkan akan menjadi keras dan rapuh (Oh et al., 1983). Menurut Astawan (2002), waktu pengadukan terbaik adalah 15 menit. Waktu pengadukan yang kurang dari 15 menit akan menyebabkan adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan jika lebih dari 15 menit adonan menjadi keras, rapuh dan kering. Suhu adonan yang terbaik adalah 25 o C sampai 40 o C. Suhu yang kurang dari 25 o C akan menyebabkan adonan menjadi keras, rapuh dan kasar, sedangkan bila lebih dari 40 o C maka adonan menjadi lengket dan mie menjadi kurang elastis. Campuran yang diharapkan adalah lunak, lembut, tidak lengket, halus, elastis dan mengembang dengan normal. Adonan sebelum dibentuk menjadi lembaran, diperlukan waktu untuk memberi kesempatan adonan
untuk
beristirahat.
Tujuannya adalah
untuk
menyeragamkan penyebaran air dan mengembangkan gluten (Oh et al., 1983). Pembentukan lembaran adonan bertujuan untuk menghasilkan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan jalan melewatkan adonan berulang-ulang diantara dua roll logam. Proses pemotongan bertujuan untuk membentuk pita-pita mie dengan ukuran lebar 1-3 mm, pengukusan dengan uap air bertujuan untuk terjadinya proses gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal. Mie yang telah mengalami pengukusan akan
10
memiliki warna dan lapisan permukaan yang merata, teksturnya kenyal sehingga tidak mudah putus serta memiliki kadar air sekitar 30% (Sunaryo, 1985). Proses pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air mie. Ada beberapa cara untuk melakukan proses ini, yaitu dengan pengeringan dalam oven untuk mie kering atau penggorengan untuk mie instant. Proses ini bertujuan untuk membentuk lapisan tipis protein yang memungkinkan peningkatan kestabilan permukaan mie selama perebusan untuk konsumsi (Astawan, 2002). Mekanisme Gelatinisasi Pati Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati se hingga granula tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula (Winarno, 1997). Menurut Muchtadi et al. (1988), pengembangan granula pati akan bersifat bolak-balik (reversible) jika belum melewati suhu gelatinisasi, tetapi jika telah mencapai suhu gelatinisasi akan bersifat tidak bolak-balik (irreversible). Mekanisme gelatinisasi diuraikan oleh Harper (1981), pada awalnya granula pati akan menyerap air yang akan memecah kristal amilosa dan akan memutuskan ikatan- ikatan struktur heliks dari molekul tersebut. Adanya penambahan air dan pemanasan menyebabkan amilosa berdifusi ke luar granula. Akhirnya granula tersebut hanya mengandung sebagian amilopektin dan akan pecah membentuk suatu matriks dengan amilosa yang disebut gel. Hoseney (1998) menyatakan bahwa, jika pati terdapat di dalam air, maka granula pati akan secara bebas dimasuki oleh air, sehingga dapat menyebabkan terjadinya peengembangan granula pati dan peningkatan kekentalan pada pati (pasting). Menurut Greenwood (1976), peristiwa ini dapat diamati dengan menggunakan alat Brabender amilograf. Seiring dengan meningkatnya temperatur air, maka dapat meningkatkan pengembangan dan kekentalan (viskositas) dari pasta pati. Menurut Giliasi et al. (1982), peningkatan viskositas terjadi ketika tersedia banyak air yang bisa diikat oleh protein dan juga konsentrasi pati yang larut dalam air meningkat. Mekanisme gelatinisasi pati dapat dilihat pada Gambar 2. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilosa pati, maka pati akan bersifat kering dan kurang lengket. Ukuran granula pati juga dapat mempengaruhi peningkatan gelatinisasi (Greenwood, 1976), selain kandungan gizi lain yang
11
terdapat dalam bahan pangan seperti kadar air, prote in, lemak dan serat kasar (Muchtadi et al.,1988). Granula pati mentah terdiri atas amilosa (heliks) dan amilopektin (bercabang).
Penambahan air akan memecah kristalinitas dan merusak keteraturan bentuk amilosa. Granula mengembang.
Penambahan air panas yang berlebihan akan menyebabkan granula mengembang lebih lanjut. Amilosa mulai berdifusi keluar granula.
Granula hampir hanya mengandung amilopektin saja , terperangkap dalam struktur matriks amilosa dan membentuk gel.
Gambar 2. Mekanisme Gelatinisasi Pati (Harper, 1981)
12
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan dari bulan Januari sampai April 2008. Materi Bahan utama yang digunakan adalah tepung daging sapi, dan bahan-bahan pembuatan mie meliputi tepung terigu, tepung tapioka, garam, air, telur, Na2 CO3 dan K2 CO3 . Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis kimia mie adalah air destilata, supernatan, HCl 0,5 M, iodium, NaOH 10 M, K 2 SO4 pekat, batu didih, aquades, NaOH pekat, HCl 0,02 N, metilen merah 0,2%, metilen biru 0,2%, pelarut heksan,
K 2 S2O8
(potassium tiosianat),
air,
H2 SO 4 pekat,
KSCN,
kristal
FeSO4 .(NH4 )2 SO4 .6H2 O. Prosedur Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama dilakukan pembuatan tepung daging sapi. Tahap kedua yaitu pembuatan mie dengan penambahan tepung daging sapi dan pengujian sifat fisik dan kimia mie. Penelitian Tahap Pertama Sampel daging sebanyak 500 gram daging yang telah di-thawing dan dibuang lemak ekstramuskulernya kemudian dicuci pada air yang mengalir sampai bersih kemudian dihaluskan dengan menggunakan food processor. Daging yang telah halus diratakan pada loyang dengan ketebalan 2 mm, kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven. Pengeringan daging sapi dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 60 o C selama 24 jam, kemudian dilakukan proses penepungan dengan menggunakan food processor. Setelah itu dilakukan pengayakan dengan ayakan yang berukuran 80 mesh untuk mendapatkan tepung daging yang halus. Diagram alir pembuatan tepung daging sapi ditunjukkan pada Gambar 2.
Penelitian Tahap Kedua Pembuatan mie dilakukan pada pembuatan 1000 gram adonan. Pertama dibuat campuran antara tepung terigu, tepung tapioka dan tepung daging sapi sesuai dengan komposisi tepung (perlakuan) seperti pada Tabel 6. Tepung campuran tersebut dibuat adonan dengan menambahkan 300 ml air, 15 g garam, Na2 CO3 1,67 g, K 2 CO3 1,67 g dan 75 g telur. Daging beku yang di-thawing
Daging di-trim dan dicuci bersih
Daging dihaluskan dengan food processor
Pengeringan dengan oven pada suhu 60 o C selama 24 jam
Penggilingan
Pengayakan
Produk tepung daging sapi
Gambar 2. Pembuatan Tepung Daging dengan Metode Pengeringan Oven Tabel 6. Komposisi Tepung Terigu, Tepung Tapioka dan Tepung Daging Perlakuan
Tepung Terigu
1
800
Tepung Tapioka g 200
Tepung Daging
2
800
200
50
3
800
200
100
4
800
200
150
-
14
Adonan kemudian dihomogenkan pada alat pengaduk sehingga adonan menjadi lebih homogen, plastis dan elastis. Jumlah air yang ditambahkan sebanyak 28%-38% dan diaduk selama 15-25 menit dalam alat pengaduk, diistirahatkan selama 10 menit untuk menyeragamkan penyebaran air. Adonan kemudian dipipihkan dengan alat pemipih berupa dua roll logam sampai ketebalan 1-1,5 mm dan dicetak menjadi alur-alur sehingga dihasilkan mie mentah. Proses dilanjutkan dengan pengukusan dengan menggunakan alat pengukus selama 15 menit. Proses pengukusan akan menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi pati yang sangat menentukan kualitas mie. Proses pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering kabinet pada suhu 70 o C selama 2 jam. Proses pengeringan menyebabkan terjadinya penguapan air dari bahan sehingga dihasilkan mie kering dengan kadar air di bawah 13%. Diagram alir proses pembuatan mie dapat dilihat pada Gambar 3.
Tepung Tapioka
Tepung Terigu
Tepung Daging Sapi
Adonan (Diaduk 15 menit)
Pemipihan
Pencetakan
Pengukusan (100 o C, 15 menit)
Air 300 ml, garam 15 g, Telur 75 g, Na2 CO 3 dan K2 CO3 1,67 g
Mie Basah
Pengeringan (70 o C, 2 jam)
Mie Kering Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Mie (Astawan, 2002)
15
Pengukuran Peubah Kekerasan Pengukuran kekerasan berhubungan dengan kerenyahan mie yaitu mudah tidaknya mie menjadi lembut. Kekerasan mie ditentukan dengan menggunakan alat Instron Table Food Tester model 1140. Tingkat kekerasan produk diperoleh dari rata-rata pengukuran dalam satuan kg/mm. Warna (Metode Hunter, Hutching, 1999) Parameter warna yang diukur pada produk mie ini menggunakan Hunter lab system yang diukur dengan menggunakan alat Minolta Chromameter CR-310. Metode Hunter ini diindikasikan dengan beberapa komponen warna yang diukur, yaitu L, a dan b, kemudian parameter lain yang diukur Minolta Chromameter CR310 adalah C dan ho (hue). Notasi L menyatakan parameter kecerahan (light) yang mempunyai nilai 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik putih, abu-abu, dan hitam. Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah- hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai 80 untuk warna merah dan –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran kuning-biru dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai 70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru. Notasi C menyatakan parameter ketajaman warna yang dihasilkan produk, dengan nilai antara 0 (tidak tajam) sampai 100 (sangat tajam), sedangkan nilai h0 (hue) menyatakan spesifikasi perpaduan warna yang dihasilkan. Hasil pengukuran kemudian dikonversi dengan menggunakan Munsell Conversion Program V. Derajat Gelatinisasi (Wooton et al., 1971) Sampel mie kering yang telah digiling sampai ukuran 60 mesh ditimbang masing- masing 1 gram. Sampel pertama ditambahkan air destilata 100 ml lalu dihomogenisasi dengan blender selama 1 menit, supernatan diambil 1,5 ml secara duplo, disentrifugasi 3500 rpm selama 15
menit. Masing- masing sampel
ditambahkan HCl 0,5 ml 0,5 M, kemudian dari salah satu tabung ditambahkan iodium 0,1 ml lalu diukur dengan menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Sampel kedua ditambahkan air destilata 95 m, dihomogenisasi dengan blender selama 1 menit lalu ditambahkan NaOH 5 ml 10 M, dikocok dengan
16
labu mixer 5 menit lalu disentrifugasi 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil masing- masing 0,5 ml, lalu ditambahkan HCl 0,5 ml 0,5 M dan dijadikan 10 ml dengan ditambahkan air destilata 9 ml. Salah satu tabung ditambahkan iodium 0,1 ml kemudian diukur dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Pengamatan yang dilakukan adalah (A) larutan yang ditambahkan HCl sebagai blanko gelatinisasi, (B) larutan yang ditambahkan HCl dengan iodium sebagai pati tergelatinisasi, (C) larutan yangg ditambahkan NaOH dan HCl sebagai standard total pati dan (D) larutan yang ditambahkan NaOH, HCl dan iodium sebagai total pati.
Derajat Gelatinisasi = B x 100% D Keterangan : B : Absorbansi dari pati tergelatinisasi D : absorbansi dari total pati Analisis Proksimat (AOAC. 1995) Analisis proksimat yang dilakukan pada mie terdiri atas analisis kadar air, kadar protein dan kadar lemak. Kadar Air (AOAC, 1995). Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah diketahui beratnya, kemudian dikeringkan dalam oven 1050 C selama 6 jam hingga diperoleh berat konstan. Kadar air sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar air (%) = Bobot sampel awal – bobot sampel akhir x 100% Bobot sampel awal Kadar Protein (AOAC, 1995). Sampel seberat 0,2 gram dimasukkan dalam tabung Kjeldahl 100 ml, kemudian ditambahkan 2 gram K 2 SO 4 pekat, serta ditambahkan beberapa butir batu didih. Destruksi dilakukan selama 30 menit sampai diperoleh cairan hijau jernih, setelah dingin ditambahkan 35 ml aquades dan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman kemudian didestilasi . hasil destilasi yang tertampung dilakukan titrasi dengan HCl 0,02 N dengan menggunakan 2-3 tetes indikator (campuran metilen merah 0,2% dan metilen biru 0,2%). Hal ter sebut
17
dilakukan juga pada blanko. Persentase nitrogen dan kadar protein kasar dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar Nitrogen (%) = (ml HCl – blanko) x N HCl x 14,007 x 100% Bobot sampel kering (mg) Kadar Protein (%) = % Nitrogen (N) x 6,25 Kadar Le mak (AOAC, 1995). Sampel seberat 5 gram dimasukkan dalam selongsong pengekstrak, kemudian dimasukkan dalam labu sokhlet yang awalnya dikeringkan dalam oven dan telah ditimbang beratnya. Pelarut heksan dimas ukkan ke dalam labu dan dilakukan refluks minimal 6 jam selama pelarut yang turun kembali dalam lemak berwarna jernih. Hasil ekstraksi diuapkan dengan cara destilasi lalu kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang berat labu akhir. Persentase kadar lemak dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar Lemak (%) = Bobot labu akhir – Bobot labu awal x 100% Bobot sampel (kering) Kadar Zat Besi (Apriyantono et al., 1989) Kandungan besi di dalam bahan pangan dianalisa dengan mengkonvers i besi dari bentuk fero menjadi bentuk feri dengan menggunakan oksidator seperti K 2 S2 O8 (potasium tiosianat) sehingga membentuk feritiosianat yang berwarna merah. Warna yang terbentuk dapat diukur absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 480 nm. Cara kerja untuk mengukur kadar mineral Fe yaitu digunakan larutan abu yang dihasilkan dari pengabuan kering. Ke dalam tiga tabung reaksi tertutup yang terpisah dimasukkan larutan seperti daftar berikut ini : Tabel 7. Komposisi Bahan yang Digunakan untuk Mengukur Kadar Fe Blanko
Standar
Sampel
Larutan besi standard (1 ml = 0,1 mg Fe)
0,0
1,0
0,0
Larutan abu
0,0
0,0
5,0
Air
5,0
4,0
0,0
H2 SO4 pekat
0,5
0,5
0,5
K2 S2 O8
1,0
1,0
1,0
KSCN
2,0
2,0
2,0
Catatan : Penambahan pereaksi harus berurutan dari atas ke bawah
18
Larutan besi standar dihasilkan dengan cara melarutkan 0,702 g kristal FeSO 4 .(NH4 )2 SO4 .6H2 O di dalam 100 ml air. Ditambahkan 5 ml H2 SO4 pekat, hangatkan sebentar dan tambah potassium permanganate pekat tetes demi tetes sampai satu tetes terakhir menghasilkan warna tetap. Pindahkan ke dalam labu takar 11, bilas dengan air dan encerkan sampai tanda tera (1 ml = 0,1 mg ion feri). Larutan ini stabil. Setelah dilakukan pencampuran dalam ketiga tabung, dilakukan pengenceran sampai volume 15 ml dengan air dalam masing- masing tabung. Diukur absorbans warna larutan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 480 nm (Blanko pada 100% transmisi). Kadar zat besi dihitung dengan menggunakan rumus berikut : Kadar Fe =
OD sampel x 0,1 x Volume total larutan abu x 100% OD standard x 5 x berat sampel yang digunakan pengabuan Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan menggunakan 4 taraf penambahan tepung daging yang berbeda. Taraf yang digunakan pada pembuatan mie dengan penambahan tepung daging adalah 0, 50, 100 dan 150 g. Pengelompokan dilakukan berdasarkan periode pembuatan. Model dari rancangan tersebut adalah : Yij = µ + Bi + Pj + εij Keterangan : Yij = Nilai pengamatan respon karena pengaruh taraf penambahan tepung daging sapi µ = Nilai tengah umum Bi = Pengaruh taraf tepung daging ke- i Pj = Pengaruh kelompok ke-j εij = Pengaruh galat percobaan pada taraf penambahan tepung daging sapi. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA, jika perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil untuk membandingkan nilai tengah (Steel dan Torrie, 1991).
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Pengamatan fisik bertujuan mengetahui perubahan fisik yang terjadi pada mie kering yang diberi penambahan tepung daging sapi. Tepung daging sapi yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. Sifat fisik mie kering yang diamati adalah rendemen, kekerasan, derajat gelatinisasi dan warna. Hasil pengukuran terhadap uji fisik dapat dilihat pada Tabel 8.
Gambar 4. Tepung Daging sapi Tabel 8. Hasil Analisis Sifat Fisik Mie Kering dengan Penambahan Tepung Daging Sapi Penambahan Tepung Daging (g) Peubah Rendemen (%)
0 61,44±5,68
50 61,95±5,71
100 68,85±6,26
150 66,27±5,17
Kekerasan (Kg/mm/g)
2,99±0,96
3,53±0,77
4,57±0,72
3,78±0,48
30±0,11
32±0,09
Derajat Gelatinisasi (%)
31,7±0,13 b
31,5±0,08
LWarna (Tingkat Kecerahan)
a
b
60,5±1,00
55,06±0,31
54,12±0,50
49,17±0,85c
a Warna (Tingkat Kemerahan)
4,67±0,21
5,82±0,30a
5,99±0,31a
7,09±0,21b
b Warna (Tingkat Kekuningan)
24,94±1,15a
20,3±0,68b
18,18±0,45c
17,95±0,06c
Keterangan : Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0,05)
Rendemen Rendemen merupakan faktor yang menunjukkan seberapa banyak produk yang dihasilkan dari bahan-bahan mentah pembentuk adonan yang telah mengalami proses pengolahan. Produk yang telah mengalami proses pengolahan dapat menyebabkan bobotnya menjadi menyusut. Semakin tingggi rendemen yang dihasilkan maka semakin rendah proses penyusutan yang terjadi selama pengolahan. Rata-rata nilai rendemen yang dihasilkan dari produk mie kering sebesar 64,63%. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung daging sapi
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen pada produk mie kering yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan oleh sifat adonan yang kering, karena rendemen dipengaruhi oleh hilangnya air selama pengolahan. Semakin sedikit air yang keluar dari produk, maka semakin besar rendemen yang diperoleh (Ockerman, 1983). Kekerasan Kekerasan menunjukkan kekuatan dari tekstur mie kering. Kekerasan pada mie kering berkaitan dengan kerapuhan dan kekohesifan dari suatu bahan. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kerapuhan mie kering tidak memberikan perbedaan nyata pada berbagai tingkat penambahan tepung daging sapi. Nilai kekerasan mie kering berkisar antara 2,99 sampai 4,57 kg/mm/g. Mie kering yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 5. Kriteria umum penerimaan produk mie di masyarakat salah satunya adalah tekstur dari mie tersebut (Smewing, 1997). Kekerasan dapat dipengaruhi oleh suhu pemanasan dan waktu selama proses pengolahan. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan produk yang dihasilkan semakin keras (Markowski et al., 2001). Selain itu, kandungan serat-serat daging dan kolagen yang berfungsi sebagai bahan pengikat dapat menyebabkan adonan yang dihasilkan lebih kohesif, kuat dan tidak rapuh (Agustin, 2003)
a
b
c
d
Gambar 5. Mie Kering dengan Penambahan Tepung Daging Sapi pada Taraf yang Berbeda Keterangan : a = perlakuan P1 (0 g tepung daging) b = perlakuan P2 (50 g tepung daging) c = perlakuan P3 (100 g tepung daging) d = perlakuan P4 (150 g tepung daging) Derajat Gelatinisasi Derajat gelatinisasi adalah rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati (Wooton et al., 1971). Menurut Muchtadi et al. (1988), gelatinisasi dipengaruhi
21
oleh bahan mentah yaitu ukuran granula, rasio antara amilosa dan amilopektin serta komponen-komponen dalam bahan pangan seperti kadar air, gula, protein, lemak dan serat kasar. Ukuran granula pati juga dapat mempengaruhi peningkatan gelatinisasi (Greenwood, 1976). Derajat gelatinisasi mie tanpa penambahan tepung daging sapi sebesar 30%, sedangkan derajat gelatinisasi mie yang paling tinggi yaitu pada taraf penambahan sebesar 5 g dengan menghasilkan derajat gelatinisasi sebesar 32%. Kondisi ini diduga pada tingkat tersebut terjadi reaksi yang optimal antara pati dan air. Hasil uji derajat gelatinisasi dapat dilihat pada Tabel 8. Penambahan tepung daging sapi pada taraf yang lebih tinggi yaitu 100 g dan 150 g menurunkan derajat gelatinisasi. Kondisi ini diduga karena penambahan tepung daging sapi akan meningkatkan kandungan proein dan lemak, sehingga dapat menurunkan derajat gelatinisasi pati yang dihasilkan. Muchtadi et al. (1988) menyatakan, bahwa protein dan lemak akan menghalangi penyerapan air ke dalam granula pati. Suhu selama terjadinya proses gelatinisasi juga dapat mempengaruhi derajat gelatinisasi (Kiani et al., 2008). Warna Warna merupakan tampilan pertama yang akan dilihat oleh seseorang sebelum mencoba produk tersebut. Produk mie kering yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 5. Uji warna dinyatakan dengan notasi warna L yang menyatakan kecerahan (light) dan mempunyai nilai berkisar antara 10-100 dari hitam ke putih. Nilai notasi warna L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam (Hutching, 1999). Semakin tinggi tingkat penambahan tepung daging sapi, maka akan semakin rendah nilai notasi warna L yang dihasilkan. Warna kecerahan mie akan berkurang dengan semakin bertambahnya kandungan protein suatu bahan (Oh et al., 1985). Nilai notasi warna L dari hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 9. Menurut sidik ragam diperoleh bahwa ada perbedaan yang nyata (P<0,05) pada kecerahan warna mie kering yang dihasilkan akibat adanya penambahan tepung daging sapi. Kecerahan warna mie kering sangat dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan untuk adonan mie kering. Kecerahan dari mie juga dipengaruhi oleh daya serap air (Kruger et al., 1994).
22
Notasi warna a menyatakan warna kromatik campuran merah–hijau (Hutching, 1999). Nilai notasi warna a berkisar antara 0-80, notasi bernilai positif untuk warna merah dan bernilai negatif untuk warna hijau. Hasil uji notasi warna a mie kering pada Tabel 9 menunjukkan bahwa penambahan tepung daging sapi menyebabkan warna mie kering cenderung berwarna merah karena bernilai positif. Hasil sidik ragam nilai notasi warna a mie kering menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,05). Notasi warna berikutnya adalah notasi warna b yang menyatakan warna kekuningan atau kebiruan (Hutching, 1999). Notasi warna b bernilai antara 0-70, dengan nilai positif menunjukkan warna kuning, sedangkan berwarna biru dengan nilai negatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa produk mie kering yang dihasilkan berwarna kuning, karena seluruh hsil pengukurannya bernilai positif. Warna kuning pada mie kering semakin menurun dengan semakin bertambahnya taraf penambahan tepung daging sapi pada adonan mie kering. Kondisi ini diduga karena warna tepung daging sapi yang ditambahkan berwarna agak cokelat. Hasil analisis warna b pada mie kering dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil pengukuran notasi warna b dari mie kering menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,05) pada taraf penambahan tepung daging sapi yang berbeda. Sifat Kimia Sifat kimia yang dianalisa yaitu kadar air, kadar lemak, kadar protein, dan kadar Fe. Penambahan tepung daging pada mie kering tidak memberikan pengaruh terhadap kadar air dan kadar lemak, sedangkan nyata memberikan pengaruh terhadap mie kering pada kadar protein dan kadar Fe. Hasil analisa sifat kimia dapat dilihat pada Tabel 9. Kadar Air Kadar air bahan pangan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan tersebut. Hasil pengujian kadar air mie kering menunjukkan bahwa tanpa penambahan tepung daging ataupun dengan penambahan tepung daging berkisar antara 9,73% sampai 10,05%. Menurut Dewan Standardisasi Nasional, (1996) kadar air mie kering mutu I maksimal 8% dan 10% untuk mutu II. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air mie kering yang tidak diberi penambahan tepung
23
daging sapi termasuk kategori mie kering mutu II. Jepang memberikan standar untuk kadar air maksimum mie kering sebesar 10% (Hakoda et al., 2006). Hasil analisa kadar air mie kering menunjukkan kadar air pada mie kering tidak berbeda nyata pada tiap taraf penambahan tepung daging sapi. Kadar air dapat dipengaruhi oleh kandungan air yang terikat secara kimia pada daging, energi yang mengikat air jenis ini relatif besar sehingga diperlukan suhu yang lebih tinggi untuk menguapkannya (Winarno, 1997). Tabel 9. Hasil Analisis Kimia Mie Kering dengan Penambahan Tepung Daging Sapi Penambahan tepung daging sapi (g) Peubah 0
50
100
Kadar Air (% )
9,73±0,34
10,41±0,84
10,08±0,28
10,05±1,12
Kadar Lemak (% )
1,14±0,29
1,76±0,58
2,06±0,22
2,08±0,64
b
c
Kadar Protein (% ) Kadar Fe (ppm)
11,89±0,71
a
16,33±106,71a
15,4±0,39
21,57±1112,28b
18,4±0,35
150
22,08±381,84b/c
19,46±0,85d 24,64±1387,34c
Keterangan : Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (p<0,05)
Kadar Lemak Hasil analisa kadar lemak mie kering menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada mie kering yang dihasilkan. Kadar lemak dapat dipengaruhi oleh proses pemisahan lemak dengan daging, semakin banyak lemak yang terbawa dapat menjadikan kadar lemaknya semakin tinggi. Kadar lemak mie kering dapat dilihat pada Tabel 8, tingkat penambahan tepung daging sapi sebanyak 50 gram dapat menambah kadar lemak sebesar 0,62%. Lemak memiliki peranan peranan penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Lemak juga merupakan sumber energi yang paling efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein. Lemak yang ditambahkan dalam suatu pengolahan bahan pangan, dimaksudkan untuk menambah kalori serta memperbaiki tekstur dan cita rasa bahan pangan (Winarno, 1997). Kadar Protein Zat makanan yang sangat penting dalam tubuh yaitu protein. Selain berfungsi sebagai enzim, protein juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno, 1997). Kadar protein mie kering yang dihasilkan semakin tinggi dengan semakin besarnya tepung daging sapi yang ditambahkan pada adonan mie kering.
24
Hal ini disebabkan karena tepung daging sapi memiliki kandungan protein yang lebih tinggi (77,96%) daripada tepung terigu (11%), sehingga dengan penambahan tepung daging sapi dapat meningkatkan kandungan protein pada mie kering yang dihasilkan. Kadar protein rata-rata dari masing-masing tingkat penambahan dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil tersebut menunjukkan mie kering dengan penambahan tepung daging sapi mampu menghasilkan protein yang sesuai dengan Dewan Standarisasi Nasional (1996) pada mutu I (minimal 11%). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat penambahan tepung daging sapi yang berbeda (0, 50, 100 dan 150) memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,05) terhadap kandungan protein mie kering yang dihasilkan. Peningkatan kadar protein ini dipengaruhi oleh penambahan tepung daging sapi yang memiliki kandungan protein sebesar 77,96%. Kadar Fe Zat besi diperlukan untuk pembentukan sel-sel darah merah, jika terjadi kekurangan zat besi akan menyebabkan penyakit yang dinamakan anemia. Anemia dapat diketahui dari kadar hemoglobin seseorang. Kadar hemoglobin normal pada pria dewasa 13g/100 ml dan untuk wanita yang tidak sedang mengandung 12 g/100 ml (Winarno, 1997). Rata-rata kadar Fe yang terukur pada produk mie berkisar antara 16,33 sampai 24,64 ppm. Hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,05) terhadap kandungan Fe mie kering. Peningkatan kadar Fe ini dipengaruhi oleh penambahan tepung daging sapi, yang memiliki kandungan sebesar 64,41 ppm (Anggoro, 2007).
25
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pembuatan mie kering dengan penambahan tepung daging sapi pada taraf 0, 50, 100, dan 150 g menghasilkan nilai rendemen, kekerasan, derajat gelatinisasi, kadar air dan kadar lemak yang tidak berbeda nyata. Penambahan tepung daging sapi pada mie kering nyata meningkatkan kadar protein dan Fe dan juga meningkatkan kecerahan, tingkat kemerahan dan kekuningan warna pada mie kering. Saran Perlu dilakukan pengujian organoleptik untuk mengetahui tingkat penerimaan masyarakat terhadap produk mie kering dengan penambahan tepung daging sapi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai waktu dan suhu pengeringan untuk memperbaiki tekstur pada mie kering.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan para sahabatnya hingga akhir zaman. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tuti Suryati, S.Pt., M. Si. selaku pembimbing utama skripsi dan Zakiah Wulandari S. TP, M.Si. selaku pembimbing anggota skripsi atas bimbingan, saran dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan karya tulis ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si., Irma Isnafia Arief, S.Pt, M.Si., Dr. Despal, S. Pt, M.Agr.Sc., Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si., Ir. Lucia Cyrilla ENSD., M.Si. dan Dr. Rudi Afnan, S. Pt, M.Sc.Agr. yang telah menguji, mengkritik, dan memberikan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini, serta kepada Dr. Salundik selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis melaksanakan studi di Fakultas Peternakan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak dan kakak yang telah banyak memberikan bantuan baik berupa materi, motivasi, moriil dan kasih sayang yang telah mengantarkan penulis hingga saat ini. Terakhir penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan motivasi selama kuliah, selama penelitian maupun selama proses penulisan skripsi. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Desember 2010
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Agustin, I. 2003. Pembuatan mie kering dengan fortifikasi tepung tulang rawan ayam pedaging. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anggoro, D. C. 2007. Sifat fungsional tepung daging sapi dengan metode pengeringan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. AOAC, 1995. Official Methods of Analysis, Association of Official Analitycal Chemist Inc, Virginia, USA. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, & S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan : Petunjuk Laboratorium. IPB Press, Bogor. Astawan, I. M. 2002. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Ayanwale, B.A., O.B. Ocheme & O.O Oleyede. 2007. The effect of sun drying and oven drying on the nutritive value of meat pieces in hot humid environment. Pakistan Journal of Nutrition 6 (4) : 370-374. Boccia, G. L., B. M. Dominguez & A. Aguzzi. 2002. Total heme and non-heme iron in raw and cooked Meats. J. Food Sci. 67 (5): 1738-1741. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet & M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. Indonesia University Press, Jakarta. Departemen Pertanian. 2004. Panduan pelaksanaan kegiatan kesehatan masyarakat veteriner. www.deptan.go.id.doc [12 Juli 2010]. Desroiser, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan: M. Mulyoharjo. UI-Press, Jakarta. Dewan Standardisasi Nasional. 1994. SNI 01-3451-1994. Tapioka. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Dewan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-3947-1995. Daging Sapi. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Dewan Standardisasi Nasional. 1996. SNI 01-2974-1996. Mie Kering. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1986. Daftar Komposisi Bahan Makanan, Bharata Karya Aksara, Jakarta. Fellow, P. J. 1990. Food Processing Technology Principle and Practice. Ellis Horwood, New York. Forrest, J.C., E.D. Aberle, H.B. Hendrick., M.D. Judge & R.A. Merkel. 1975. Principle of Meat Science. W.H. Freeman and Co., New York. Gaman, P. M. & K. B. Sherington. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Giliasi, K., E. Variano-Maston & R. C. Hoseney. 1982. Gelatinization of wheat starch IV. Cereal Chemistry. 54 (4) : 262-265.
Greenwood, C. T. 1976. Starch. In: Y. Pomeranz (Ed.). Advances in Cereal Science and Technology. Volume I. American Association of Cereal Chemistry Inc., Minessota. Hakoda, A., Hirotaka Kasama & Kenichi Kasaida. 2006. Determination of the moisture content of instant noodle: interlaboratory study. Journal of AOAC International 89 (6) : 1585-1590. Harper, J. M. 1981. Extrutin of Food. CRC, The Chemical Rubber Co., CkevelandOhio. Hoseney, R. C. 1998. Principle of Cereal Science and Technology. 2nd Edit. American Association of Cereal Chemistry Inc., Minessota. Hutching, J. B. 1999. Food Colour and Appeareance. 2nd Edit. Aspen Publishing Inc., Gaitersburg, Maryland. Karyadi, D. & Hermana. 1981. Fortifikasi Makanan dengan Zat Besi. Puslitbang Gizi, Bogor. Kiani, Sh., G.A. Ranjbar, S.K. Kazemitabar, N.B. Jelodar, M. Nowrozi & N. Bagheri. 2008. Inheritance of gelatinization temperature and gel consistency in rice (Oriza sativa L.). Journal of Applied Sciences 8 (8) : 1503-1510. Kruger, J. E., D. W. Hatcher, & R. DePauw. 1994. A whole seed assay for poluphenol oxidase in canadian prairie spring wheats and its isefullness as a measure of noodle darkening. Cereal Chemistry. 71: 324-326. Lawrie, R. A. 1995. Ilmu Daging. Terjemahan Aminuddin Prakkasi. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Markowski, M., S. Cenkowski, D. W. Hatcher, J. E. Dexter, N. & M. Edwards. 2001. The effect of superheated-steam dehydration kinetics on textural properties of asian noodles. Transacrion of the ASAE. Vol. 46(2): 389-395. Muchtadi, T. R. Purwiyatno & A. Basuki. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstruksi. Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, Tien R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th Edition. Department of Animal Science. The Ohio State University and The Ohio Agriculture Research and Development Centre, Ohio. Oh, N. H., P. H. Seib, C. W. Deyoe & A. B. Ward. 1983. Measuring the textural characteristic of gooked noodles. Cereal Chemistry. 60 (6) : 433-438. Pearson, A. M. & Z. W. Tauber. 1984 Processed Meat. The AVI Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. Simonsen, B., R. Hamm & B. Rogowski. 1988. Meat as Food. In: Cross, H.R. & A.J. Overby (Ed). Meat Science. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam. Smewing, J. 1997. Analyzing the texture of pasta for quality control. Cereal Foods World, 42: 8-12.
29
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta. Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan B. Soemantri. P. T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Diktat Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Widowati, T. 1987. Pembuatan kerupuk kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L) SHCOOT). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wijaya, B. 1997. Peranan Tepung Terigu dalam Menunjang Pembuatan Produk Pangan Berkualitas. Prosiding Seminar Teknologi Pangan II. Patpi, Bali. Wilson, E.D., K.H. Fisher & P.A. Garcia. 1979. Principle of Nutrition (4th ed.). John Wiley & Son, New York-Chichester-Brisbane-Toronto. Winarno, F. G., Fardiaz & D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. P. T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F. G. 1991. Teknologi Produksi dan Kualitas Mie, Makalah disajikan dalam Seminar Sehari Seba Mie. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. P. T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wirakusumah, E. S. 1998. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Trubus Agriwidya, Jakarta. Wooton, M., D. Weeden & N. Munk. 1971. A rapid method for the estimation of starch gelatinization in processed food. Journal of Food Technology. December : 612-615.
30
Lampiran 1. Analisis Ragam Uji Kadar Air SK
db
JK
KT
F-Hitung
P
Perlakuan
3
0.77220
0.25740
0.36
0.787
Ulangan
2
4.53795
2.26898
3.14
0.117
Galat
6
4.33305
0.72218
Total
11
9.64320
F-Hitung
P
Lampiran 2. Analisis Ragam Uji Kadar Lemak SK
db
JK
KT
Perlakuan
3
1.73043
0.57681
1.96
0.222
Ulangan
2
2.95785
1.47893
5.02
0.052
Error
6
1.76915
0.29486
Total
11
6.45743
Lampiran 3. Analisis Ragam Uji Kadar Protein SK
db
JK
KT
F-Hitung
P
Perlakuan
3
99.741
33.2469
66.67
0.000**
Ulangan
2
6.337
3.1684
6.35
0.033*
Error
6
2.992
0.4987
Total
11
109.070
Lampiran 4. Uji Lanjut BNT Uji Kadar Protein Perlakuan
N
Rataan
Huruf
15
3
19.4600
A
10
3
18.0433
B
5
3
15.3967
C
0
3
11.8900
D
Lampiran 5. Analisis Ragam Uji Rendemen SK
db
JK
Perlakuan
3
113.582
Ulangan
2
Error Total
KT
F-Hitung
P
37.861
0.87
0.505
285.094
142.547
3.29
0.108
6
259.618
43.270
11
658.29
32
Lampiran 6. Analisis Ragam Uji Kekerasan SK
db
JK
KT
F-Hitung
P
Perlakuan
3
3875251
1291750
1.71
0.264
Ulangan
2
4233483
2116742
2.80
0.138
Error
6
4534386
755731
Total
11
12643120
Lampiran 7. Analisis Ragam Uji Kecerahan (L) Warna SK
db
JK
KT
F-Hitung
P
Perlakuan
3
193.931
64.6438
92.98
0.000**
Ulangan
2
40.888
20.4440
29.41
0.001**
Error
6
4.171
0.6952
Total
11
238.991
Lampiran 8. Uji Lanjut BNT Uji Kecerahan (L) Warna Perlakuan
N
Rataan
Huruf
15
3
49.1700
A
10
3
54.1233
B
5
3
55.0600
B
0
3
60.4967
C
Lampiran 9. Analisis Ragam Uji Warna Kemerahan (a) SK
db
JK
KT
F-Hitung
P
Perlakuan
3
8.80647
2.93549
31.77
0.000**
Ulangan
2
0.03422
0.01711
0.19
0.836
Error
6
0.55438
0.09240
Total
11
9.39507
Lampiran 10. Uji Lanjut BNT Uji Warna Kemerahan (a) Perlakuan
N
Rataan
Huruf
15
3
7.0867
A
10
3
5.9933
B
5
3
5.8233
B
0
3
4.6700
33
Lampiran 11. Analisis Ragam Uji Warna Kekuningan (b) SK
db
JK
KT
F-Hitung
P
Perlakuan
3
94.7090
31.5697
47.52
0.000**
Ulangan
2
0.3845
0.1922
0.29
0.759
Error
6
3.9865
0.6644
Total
11
99.0799
Lampiran 12. Uji Lanjut BNT Uji Warna Kekuningan (b) Perlakuan
N
Rataan
Huruf
15
3
17.9500
A
10
3
18.1800
A
5
3
20.3033
B
0
3
24.9433
C
Lampiran 13. Analisis Ragam Uji Derajat Gelatinisasi SK
db
JK
KT
F-Hitung
P
Perlakuan
3
200650
66883.3
4.61
0.121
Ulangan
1
28800
28800.0
1.99
0.254
Error
3
43500
14500.0
Total
7
272950
Lampiran 14. Analisis Ragam Uji Kadar Fe SK
db
JK
KT
F-Hitung
P
Perlakuan
3
74313611
24771204
22.39
0.015**
Ulangan
1
1125000
1125000
1.02
0.388
Error
3
319087
1106362
Total
7
78757698
Lampiran 15. Uji Lanjut BNT Uji Kadar Fe Perlakuan
N
Rataan
Huruf
15
2
24637
A
10
2
22484
A/B
5
2
21165
B
0
2
16332
C
34