Yesus ’Putra Manusia’
Pengantar Allah yang personal dan turut ambil bagian dalam kehidupan sepenuhnya terjadi dalam dan melalui Yesus. Gibran menyebut Yesus Putra Manusia tidak hanya mau menunjukkan bahwa Yesus adalah Sabda Allah yang telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita, menjadi sama dengan kita, bertindak dan hidup serupa dengan hidup kita, kecuali dalam hal dosa (bdk. Ibr. 4:1). Tetapi lebih dari itu Yesus Putra Manusia mau menunjukkan tentang personalitas Allah. Bahwa Allah dalam dan melalui Yesus hadir dan menjadi ada dalam sejarah. Yesus Putra Manusia,1 akan menjadi referensi utama dalam bagian ini. Melalui tulisan ini penulis berusaha menemukan pandangan Gibran tentang personalitas dan keterlibatan Allah yang secara utuh dan penuh nyata hadir dalam dan melalui Yesus.
1.
Ke-Manusia-an Yesus
Empat puluh delapan kisah dalam Yesus Putra Manusia menggambarkan Yesus dengan sifatnya yang manusiawi. Gibran tidak hanya melukiskan Yesus dengan segala sifat unggul dan mulia sebagai seorang pemimpin, guru, filsuf, nabi dan seniman dan tabib yang patut menjadi sumber teladan. Ia juga dilukiskan sebagai seorang anak yang nakal, yang selalu bertingkah aneh dan dimanja. Bahkan Yesus juga digambarkan sebagai penjahat dan agitator yang sangat dibenci, sehingga tidak pantas dijadikan panutan manusia. 1.1. Riwayat ‘Putra Manusia’ 1.1.1. Tempat dan Saat Kelahiran Yesus dilahirkan pada malam hari di rumah nenek-Nya Anna, di Nazareth dalam bulan Januari. Ibu-Nya adalah Maria seorang wanita yang cantik, dan ayah-Nya adalah Yoseph seorang tukang kayu yang pandai.2 Pada malam kelahiran, di rumah nenek-Nya datang beberapa orang tamu dan mereka sangat terkesan ketika melihat bayi Yesus. Melalui mulut Anna ibu Maria, Gibran melukiskan tentang hal tersebut. “Yesus anak dari putriku. Lahir di sini di Nazareth dalam bulan Januari. Pada malam Ia dilahirkan kami dikunjungi orang-orang dari Timur. Mereka orang-orang Parsi yang datang ke Esdraelon bersama kafilah-kafilah Madian dalam perjalanannya ke Mesir...ketika orang-orang Parsi itu melihat Maria dan dan bayinya mereka mengeluarkan emas dan perak dari pundi-pundi, juga mur dan kemenyan lalu meletakkannya pada kaki kanak-kanak itu. Kemudian mereka
1 2
(Terj. Leo Kleden), Yogyakarta: Galang Press: 2005. Ibid., hal. 23, 126.
tunduk dan berdoa dalam suatu logat asing yang tidak kami mengerti…paginya mereka pergi melalui jalan ke tanah Mesir. Tetapi ketika waktu akan pamit mereka berpesan kepadaku: “Kanak-kanak ini baru berumur satu hari, namun kami sudah melihat terang Ilahi dalam sinar mata-Nya, dan senyuman Tuhan kita di mulut-Nya. Kami minta engkau menjaga-Nya agar Ia pun melindungi kamu sekalian.”3
1.1.2. Masa Kanak-Kanak Gibran melukiskan masa kecil Yesus sebagai anak yang nakal tetapi lucu, selalu bertingkah dan bertutur kata yang aneh tetapi baik hati. Tentang hal-hal yang aneh, yang muncul pada kanakkanak Yesus, sebenarnya sudah tergambar dalam sikap dan kelakuan Maria ibu-Nya, ketika masih menjadi seorang gadis, bahkan sampai ketika sedang mengandung-Nya. Melalui mulut Susana tetangga Maria, Gibran mengisahkan hal itu: “Saya mengenal Maria ibu Yesus sebelum ia menjadi istri Yoseph Tukang Kayu, semasa kami sama-sama masih Gadis. Pada waktu itu Maria sering mendapat penampakan, mendengar suarasuara dan bercerita tentang makhluk dari surga yang melewati mimpinya. Penduduk Nazareth lalu mengawasi dia, memperhatikan dia pergi dan kembali. Mereka memandangnya dengan mata yang ramah karena ada puncak-puncak yang tinggi di puncak kepalanya dan keluasan dalam langkahnya. Tetapi ada yang mengatakan, ia kerasukan. Mereka mengatakan demikian karena Maria hanya mengikuti jalannya sendiri. Saya menganggap dia dewasa ketika kami masih remaja karena ada panen matang di saat ia berbunga dan buah ranum di musim kembangnya. Ia lahir dan diasuh di antara kami, namun ia bagaikan asing di negeri Utara. Matanya seakan kagum pada satu orang yang belum lagi kenal. Dia tinggi hati seperti Mariam di zaman dahulu yang menghilang bersama saudara-saudaranya dari sungai Nil ke dalam hutan belantara. Kemudian Maria bertunangan dengan Yoseph. Waktu Maria mengandung Yesus, ia biasa berjalan di antara gunung-gunung dan kembali senja dengan kepedihan di matanya. Menurut cerita orang, di saat Yesus lahir Maria berkata kepada ibunya, “saya adalah sebatang pohon yang belum di pangkas. Lihatlah buah ini.”4
Keanehan-keanehan itu menjadi tampak dalam kanak-kanak Yesus. Dilukiskan Gibran bahwa pada masa kanak-kanak-Nya, tidak seorang pun tahu apa yang hendak dilakukan Yesus, karena apa yang Dia lakukan berada di luar kebiasaan anak-anak lain pada zaman-Nya.5 Penulis mengangkat beberapa contoh seperti yang dikisahkan Gibran untuk menunjukkan keanehan Yesus. Suatu hari, ketika berusia 12 tahun, Yesus bertemu dengan seorang buta. Orang buta itu datang kepada Yesus meminta-Nya untuk membantu menyeberangi sungai. “…Ia memimpin orang buta menyeberangi anak sungai ke jalan raya. Untuk berterima kasih orang buta itu bertanya: „Kanak, siapa nama-Mu?‟ „Aku bukan kanak-kanak, Aku Yesus‟ sahut-Nya. Orang buta itu bertanya lagi, „Siapa bapa-Mu?‟ „Allah Bapa-Ku‟ sahut-Nya. Orang buta itu tertawa, „Katakan saja Nak! Dan siapa nama ibu-Mu‟ „Aku bukan kanak-kanak. Ibuku adalah Bumi ini‟ jawab Yesus.
3
Ibid., hal. 23-24. Ibid., hal. 126-127. 5 Ibid., hal. 25, 127. 4
„Kalau demikian, lihatlah, saya dituntun oleh Putra Allah dan Dunia ini melewati sungai‟ orang buta berkata lagi. „Aku akan mengantarmu ke mana pun engkau pergi dan mata-Ku akan menyertai jalanmu‟ jawab Yesus.”6
Contoh yang lain terjadi pada sebuah percakapan antara Yesus dan Anna nenek-Nya menjelang tidur malam. nenek-Nya sangat heran akan kata-kata Yesus: “Beritahukan kepada ibu dan mereka yang lain bahwa hanya badan-Ku akan tertidur. Pikiran-Ku tetap berjaga bersama mereka sampai mereka menemukan fajar pagi-Ku.”7
Menurut Gibran bahwa masih banyak lagi perkataan-perkataan aneh yang diucapkan-Nya selagi Ia kecil. Keanehan-keanehan itu ditanggapi oleh orang-orang pada zaman-Nya sebagai suatu kebiasaan yang lucu dan nakal, juga menunjukkan keberanian-Nya. Namun demikian Yesus adalah seorang anak yang baik hati, cepat menaruh perhatian pada teman-teman sebaya-Nya, kadang bersedia untuk mengalah demi kebahagiaan teman-teman-Nya. “Sering Ia mengambil makanan kami dan memberikannya kepada orang-orang yang lewat di jalan. Manisan yang kuberikan kepada-Nya, selalu dibagi-bagikan kepada anak-anak lain sebelum dikecap-Nya sendiri. Ia biasa berlomba dengan anak-anak lain dan karena larinya lebih cepat, kadang-kadang Ia sengaja memperlambat supaya mereka dapat melewati garis batas sebelum ia mencapai itu.”8
1.1.3. Menginjak Usia Dewasa Yesus digambarkan Gibran dengan postur tubuh yang gagah, memiliki sepasang mata yang indah memberi kesan sebagai seorang lelaki yang tampan. Ketampanan-Nya membuat gadisgadis Nazareth jatuh hati. “Ia tumbuh laksana palem yang subur indah di ladang-ladang kami. Waktu berumur 19 tahun tubuh-Nya serupa kijang jantan yang gagah. Mata-Nya menawan seperti madu, penuh kegemilangan. Mulut-Nya menyimpan dahaga para musafir gurun pasir yang merindukan danau. Ia biasa berjalan sendiri di padang dan mata kami menyusuli Dia, demikian juga mata putri-putri Nazareth. Namun kami malu terhadap-Nya. Cinta senantiasa malu terhadap kecantikan, namun kecantikan selalu diburu cinta.”9
Dari antara gadis-gadis tersebut ada seorang wanita yang sangat mengagumi Yesus. Dia adalah Maria Magdalena, seorang wanita yang dikenal orang kebanyakan sebagai pelacur. “Saya memandang Dia dan hatiku gemetar karena kegagahan-Nya. Tubuh-Nya begitu padu dan tiap-tiap bagiannya seakan saling bercintaan. Saya berdandan dalam pakaian Damaskus dan bergegas ke luar rumah mendapatkan Dia. Entah kesendirianku atau keharuman-Nya menarik aku kepada-Nya? Entahkah kehausan dalam mataku merindukan keindahan-Nya atau keindahan-Nya memikat sinar mataku? Sampai saat ini saya tidak tahu.”10 6
Ibid., hal. 128. Ibid., hal. 25. 8 Ibid., hal. 25. 9 Ibid., hal. 128-129. 10 Ibid., hal. 17. 7
Tapi demikian Yesus tidak mengambil dari antara mereka sebagai kekasih dan apalagi menikahi mereka. Gibran melukiskan kalau Yesus tidak memiliki seorang kekasih. “Yesus tidak pernah kawin, tetapi Ia adalah sahabat kaum wanita dan Ia mengenal mereka dari dekat seperti galibnya orang dalam persahabatan yang akrab.”11
Apa yang mau dikatakan Gibran bahwa Yesus memiliki cinta, tetapi cinta-Nya bukan hanya untuk satu orang saja. Yesus memiliki cinta, dan itu diberikan-Nya kepada semua orang tanpa kecuali. Yesus mencintai semua orang secara total, dilukiskan Gibran bahwa Yesus mencintai orang bukan demi diri-Nya sendiri tetapi demi orang yang dicintai-Nya.12 Gibran juga melukiskan Yesus sebagai seorang pemuda yang mudah bergaul dengan siapa saja. Kadang mengungsikan diri ke tempat yang sepi, tapi kadang pula meceburkan diri dalam keramaian orang. Suka berpetualang dari satu tempat ke tempat yang lain. Dalam perjalanan-Nya tersebut Yesus belajar banyak hal, tentang masyarakat, agama, dan hukum, juga filsafat. Bahkan Gibran melukiskan Yesus pernah sampai ke India untuk belajar tentang kedokteran. “Menurut cerita lain, Yesus telah mengunjungi India dan negeri antara aliran dua sungai, dan di sana imam-imam mengajarkan Dia pengetahuan tentang segala susuatu yang tersembunyi dalam tubuh manusia.”13
1.1.4. Tampil ke Hadapan Publik “Lalu datang waktunya untuk berkotbah di Kenisah dan di ladang-ladang Galilea…Yesus mengunjungi negeri-negeri lain di Timur dan Barat. Kami tidak tahu apa saja yang dikunjungiNya…”14
Sebuah usia yang dianggap matang untuk tampil ke hadapan publik. Sudah sejak itu Gibran melukiskan Yesus sebagai seorang petualang, pengkotbah, guru dan musafir yang mengajarkan banyak hal di banyak tempat dan kepada semua orang. Pewartaan dan tindakan-tindakan Yesus semakin dikenal luas di kalangan masyarakat, bahkan sampai ke telinga para petinggi negeri dan imam-imam kepala. Yesus tidak hanya terkenal sebagai pengkhotbah yang memikat perhatian, seorang pemikir yang cerdas, tetapi juga sebagai tabib yang dapat menyembuhkan orang-orang sakit. “Ia memesonakan tangan dan kaki yang lumpuh dengan ketenangan-Nya sampai mereka tunduk kepada kehendak-Nya dan disembuhkan kembali.”15
Apa yang hendak dilukiskan Gibran di sini bahwa Yesus tidak hanya megajarkan secara teoretis berbagai hal yang menjadi perhatian-Nya, tetapi juga turut terlibat dan melibatkan diri dalam kesaksian-kesaksian hidup yang nyata. Yesus datang membantu dan menolong yang tidak mampu, menyembuhkan yang sakit dan membangkitkan yang mati. Gibran melukiskan 11
Ibid., hal. 21. Ibid., hal. 19. 13 Ibid., hal. 38. 14 Ibid., hal. 129. 15 Ibid., hal. 39. 12
keterlibatan Yesus dalam mewartakan ajaran-Nya sebagai bentuk solidaritas yang total dan dilaksanakan dengan sepenuh hati. “Kadang-kadang saya merasa bahwa Ia mendengar rintih penderitaan semua makhluk yang hidup di bawah matahari, dan demikian Ia mengangkat dan menopang mereka, bukan hanya dengan pengetahuan-Nya melainkan dengan membuka rahasia kekuatan mereka sendiri untuk tumbuh dan segar.”16
Keterlibatan Yesus yang begitu menyatu dalam kehidupan sosial, membuat-Nya dibenci oleh banyak orang, khususnya para imam dan petinggi negeri. Seorang imam muda dari Kapernaum misalnya dengan terang mengatakan bahwa kebenciannya kepada Yesus lebih besar dari rasa bencinya pada Roma. “Telah sering saya menyatakan kebencian kepada orang ini. Ya, saya jauh lebih membenci Dia daripada orang Roma yang menjajah negeri kami. Dan memang, Dia orang Nazareth, kota yang dikutuki para Nabi, timbunan sampah kaum kafir. Tidak pernah sesuatu yang baik muncul darinya.”17
Filemon, seorang ahli obat dari Yunani pun menuturkan kegundahannya tentang Yesus: ”Namun, Ia tidak meyibukkan diri sebagai tabib. Ia lebih suka memikirkan soal agama dan politik negeri. Dan inilah yang saya sesalkan…”18
1.1.5. Dihukum Mati Gibran melukiskan kebencian para imam dan petinggi negeri terhadap Yesus dan juga orangorang lain yang merasa terganggu akan kehadiran-Nya memuncak pada sebuah Rabu malam. “Pada malam menjelang hari Kamis. Ia ditangkap di luar tembok kota dan ditawan.”19
Berita penangkapan itu ditanggapi dengan senang hati oleh sebagian orang. Seorang janda di Galilea misalnya mengatakan tindakan para petinggi negeri itu sebagai suatu tindakan yang baik. “Kini orang-orang Roma dan imam-imam telah menangkap dan menyalibkan Dia. Tindakan mereka itu baik.”20
Alasan penangkapan itu jelas, bahwa Yesus dituduh sebagai musuh bangsa-Nya sendiri dan musuh bangsa Roma. Yesus dituduh telah mengajarkan ajaran yang menyesatkan rakyat banyak, serentak mengajak mereka memberontak terhadap penjajahan Roma. Melalui mulut Pontius Pilatus, Gibran menunjukkan alasan itu. “Mengenai Yesus, saya belum pernah melihat orang itu sebelum Ia di hadapkan kepadaku sebagai penjahat, sebagai musuh bangsa-Nya dan musuh Roma. Ia di bawa ke ruang pengadilan dengan tangan terikat.”21 16
Ibid., hal. 40. Ibid., hal. 64. 18 Ibid., hal. 40. 19 Ibid., hal. 131. 20 Ibid., hal. 78. 17
Kehadiran Yesus untuk bangsa-Nya sendiri adalah „racun‟. Yohanes Pembaptis yang memaklumkan tentang kedatangan-Nya dijebloskan ke dalam penjara.22 Sedang Ia sendiri dituduh sebagai orang asing, yang hidupnya penuh kegelapan. Si tukang sihir yang licik penuh tipu daya, seorang ahli ilmu gaib yang menyesatkan rakyat jelata dengan sihir dan mantranya. Yesus dituduh mengincar-ngincar perempuan Yerusalem dan wanita pedusunan dengan kecerdikannya. Yesus telah membongkar Sabat dan melanggarnya, membongkar Hukum Taurat dan mencemarkannya.23 Di hadapan orang banyak Yesus adalah seorang yang bermulut besar, Dia hanya mencaci maki nenek moyang bangsa-Nya. Membelot dari ajaran yang benar, dan dituduh sebagai penghujat Allah. Karena alasan itu Yesus dihadapkan ke muka Pilatus untuk diadili, lantas kepada-Nya dijatuhi hukuman mati, hingga mati di kayu salib.24 1.2. Gambaran Positif Tentang ‘Putra Manusia’ 1.2. 1. Pemimpin Pemimpin adalah pelayan, memimpin berarti melayani, demikianlah Gibran melukiskan daya kepemimpinan Yesus. Gibran tidak meletakkan Yesus sebagai pemimpin yang bersinggasana dan bertakhta, justru sebaliknya pemimpin yang terlibat dan merakyat. Takhta dan singgasana bagi Gibran adalah simbol arogansi, kecongkakan, kemunafikan, penindasan dan kesewenangwenangan. Takhta dan singgasana menciptakan jarak antara kemegahan dan kelemahan, antara penguasa dan rakyat jelata, kesenangan dan penderitaan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak bertindak sewenang-wenang, menghukum tanpa diadili, mengubah undang-undang tanpa musyawarah dan mencela sebelum mendengar. Itulah jiwa kepemimpinan Yesus. Model kepemimpinan yang ditampilkan Yesus bagi Gibran sebenarnya merupakan sebuah tamparan untuk orang-orang Farisi dan para Sanhendrin yang bertindak munafik karena menjadikan Hukum Taurat sebagai senjata penindasan. “Ia memegang sebuah cermin dalam tangan-Nya dan di situ Ia melihat orang-orang yang lemban dan timpang, orang yang terhuyung-huyung dan terjatuh di sisi jalanan ke puncak. Ia merasa sayang kepada mereka semua. Dia ingin menegarkan mereka dan menanggung bebannya. Malahan Ia rindu memanggil mereka yang lemah datang bersandar pada kekuatan-nya. Ia sama sekali tidak menghukum kaum pendusta, pencuri atau pembunuh, tetapi ia mengecam kaum munafik karena mereka mengenakan topeng di muka dan membungkus tangan dengan kaus.” 25
Kepemimpinan Yesus sengaja dikontraskan dengan model kepemimpinan mereka untuk menunjukkan figur pemimpin dan model kepemimpinan yang sesungguhnya. Gibran melukiskan sikap kepemimpinan Yesus serupa seorang gembala yang mengenal dan memahami gembalaannya. Pemimpin yang demikian adalah pemimpin yang turut ambil bagian dalam kehidupan rakyatnya. “Saya kehilangan seekor domba. Saya telah mencarinya ke mana-mana, tetapi tidak kutemukan. Dan saya tidak tahu apa yang harus saya kerjakan” Yesus berdiam sejenak, sambil tersenyum Ia lalu berkata. 21
Ibid., hal. 101. Ibid., hal. 53-55. 23 Ibid., hal. 62-64. 24 Ibid., hal. 101-106. 25 Ibid., hal. 41-43. 22
“Tunggulah di sini! Saya akan menemukan domba itu.” Ia pun pergi menghilang di antara bukitbukit. Satu jam kemudian Ia kembali dan domba berjalan di sisi-Nya….Yesus meletakkan tangan-Nya di atas bahuku sambil berkata, “Mulai sekarang engkau akan mencintai domba itu lebih dari domba-domba yang lain di dalam kawananmu sebab ia hilang, tetapi ditemukan kembali.” 26
Kutipan di atas melukiskan tentang sikap belarasa Yesus dalam kehidupan manusia serentak menunjukkan peran-Nya sebagai pemimpin yang terlibat dalam masyarakat. Melalui kutipan di atas sebenarnya Gibran mau mengatakan bahwa Yesus adalah pemimpin yang terlibat dan mau melibatkan diri, mengalami apa yang dialami rakyat-Nya, merasakan apa yang dirasakan rakyatNya. Pemimpin yang demikian tidak hanya mendengarkan rintihan orang-orang sakit, tetapi juga datang untuk menyembuhkan penderitaan mereka,27 bahkan rela mengurbankan dirinya demi rakyat, seperti garuda yang tidak lagi terbang melepaskan orang kesayangannya. 28 Bagi Gibran Yesus adalah potret pemimpin berwibawa, kharismatis, disegani tetapi rendah hati. Singkatnya Yesus adalah model pemimpin sejati. Lantaran itu tidak berlebihan jika Gibran menyebut Yesus sebagai manusia yang sangat berpengaruh, Yesus lebih besar dari negara, bahkan lebih besar dari revolusi.29 “Kalau kebesaran jiwa terletak dalam sifat melindungi, maka Yesus adalah orang yang paling agung. Kalau kemerdekaan terletak dalam berpikir, berbicara dan bertindak, maka Yesuslah orang yang paling merdeka. Kalau bangsawan terletak pada keluhuran hati yang hanya ingin mencinta, dalam kelembutan hati dan keramahan, maka Yesuslah manusia yang paling bangsawan.”30
1. 2.2. Guru Yesus digambarkan Gibran sebagai guru yang ideal, yang pandangan-pandangan-Nya bernas cerdas layaknya pandangan seorang filsuf, dan ajaran-ajaran-Nya menggugah hati dan pikiran laksana ajaran-ajaran seorang nabi. Ada tiga hal pokok yang mau dikatakan Gibran tentang Yesus sebagai guru. Pertama, sebagai guru Yesus adalah contoh seorang pendidik yang cerdas. Yesus memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, jika disebut sebagai seorang filsuf maka Yesus adalah filsuf yang sesungguhnya. Dalam pengajaran-Nya Yesus tidak hanya memaparkan berbagai ajaran yang terbentang antara apa yang diajarkan Philo dan Gamaliel ribuan tahun sebelum kelahiran-Nya, sampai tentang sesuatu yang bakal terjadi sesudah mati,31 tetapi juga mampu mengambil benang merahnya untuk situasi hidup pada zaman-Nya. Bagi Yesus, seperti yang dilukiskan Gibran, menjadi guru atau pendidik yang baik adalah menerapkan pengetahuan yang tepat sasar, sesuai dengan kebutuhan zaman. Dengan demikian pengetahuan yang diajarkan sungguh memberi perubahan pada kehidupan. Indra-Nya selalu membaharu, dan dunia pun
26
Ibid., hal. 44-46. Ibid., hal. 38-40. 28 Ibid., hal. 59. 29 Ibid., hal. 68. 30 Ibid., hal. 116. 31 Ibid., hal. 98-100. 27
selalu ditangkap-Nya sebagai dunia yang baru, kata Gibran melalui mulut seorang filsuf yang mendengarkan ajaran-Nya.32 Kedua, Yesus selalu menggunakan perumpamaan-perumpamaan dalam memberikan ajaran-Nya dengan maksud agar mudah dipahami dan dimengerti. Karena apa yang hendak diajarkan-Nya diumpamakan dengan pohon, jala, ikan, gandum, dan ladang, tempat pengajaran-Nya pun tidak menetap pada sebuah tempat tertentu saja, tetapi selalu berpindah-pindah.33 “…Ia selalu menyenangkan pendengar-Nya. Ia bergurau, mempermainkan kata-kata, tertawa begitu ria, betatapun mata-Nya memandang kejauhan dan suara-Nya mengandung duka…”34
Juga suasana yang dibangun-Nya-pun penuh dengan nuansa keakraban, amat situasional, sehingga tidak terkesan kaku. Demikian pula metode pengajaran seperti ini membuka ruang yang seluas-luasnya untuk siapa saja boleh ikut mendengarkan. Yesus menerima semua orang untuk menjadi murid-Nya. Orang yang bodoh dan dungu dibimbing-Nya dengan sabar, namun demikian terhadap mereka yang munafik, orang-orang licik yang suka memutarbalikkan pendapat, Yesus menegur dengan keras agar berubah.35 Ketiga, Gibran melukiskan Yesus sebagai guru yang bijaksana, karena Yesus adalah guru yang mampu mengajar dengan teladan hidup, oleh karenanya Yesus disebutnya sebagai nabi, yang dapat disejajarkan dengan Yesaya, Musa, dan Daud.36 Dalam kehidupan-Nya, Yesus tidak hanya mengajarkan kebenaran dan kejujuran, cinta kasih dan pengampunan, tetapi Gibran memandang bahwa Yesus adalah kebenaran, kejujuran, cinta kasih dan pengampunan itu sendiri. Demikianlah, bagi Gibran, menjadi guru yang ideal berarti menjadi teladan, karena harus mampu memberi kesaksian tentang apa yang diajarkan. 1.2.3. Seniman Menjadi seniman berarti menjadi pembebas, jadi tidak sekedar penghibur. Itu berarti bahwa buah karya para seniman tidak hanya memberikan penghiburan, dan pengisi waktu luang sekedar melepas lelah, tetapi lebih dari itu memberikan suasana damai, perubahan dan pembebasan. Gibran menunjukkan Yesus sebagai seorang seniman melalui dua hal. Pertama, dalam kata-kata Yesus adalah seorang penyair. Gibran menyebutnya sebagai Raja Penyair, „raja kata yang tak terucapkan...raja kata yang dinyanyi dan diucapkan‟ 37 Pernyataan ini menggambarkan kekagumannya kepada Yesus, sebab dalam dan melalui Yesus Gibran menemukan misteri, inspirasi, pesona, keindahan, kemilau cahaya, yang tidak tertampung dalam kata-kata. Penulis mengutip sepenggal dari kesaksian Yonathan.
32
Ibid., hal. 81. Ibid., hal. 31-37, 47-52. 34 Ibid., hal. 72. 35 Ibid., hal. 158. 36 Ibid., hal. 98-100. 37 Ibid., hal. 182. 33
“….Di Nasaret hidup seorang penyair, punya hati seputih teratai, Ia telah mengunjungi hati perempuan dan tahu, hausnya jauh melampaui air. Ia laparkan matahari meski bibirnya telah tersuap. Orang berkata, Ia berjalan di Galilea. Aku berkata, Ia berkayuh bersama kami…”38
Melalui mulut Romanus, seorang penyair Yunani, Gibran menyebut Yesus sebagai penyair yang hatinya bertahta di balik puncak-puncak yang tinggi. Meskipun karya-karya-Nya dinyanyikan untuk kita juga bagi mereka yang lain, baik orang di suatu negeri terasing di mana hidup selalu muda dan hari selalu fajar.39 Yesus mampu menyanyikan lagu dan tak ada orang sanggup menghentikan melodi itu. Bunyinya mengambang dari generasi ke generasi, bergaung dari ruang ke ruang, mengenangkan bibir yang melahirkannya dan telinga yang telah membuainya. 40 Kedua, dalam perbuatan, Yesus mewujudkan keahlian dan kemahiran-Nya sebagai seorang tukang kayu yang pandai. “Ia seorang tukang kayu yang pandai. Pintu-pintu rumah yang dipasang-Nya tidak pernah diretas oleh pencuri. Dan jendela yang dikerjakan-Nya selalu terbuka sendiri kalau angin barat dan timur berhembus. Dari kayu Cedar Ia membuat peti-peti yang mengkilat dan sangat kuat, dan juga alat pembajak dan sisir cocok pada tangan.”41
Yesus juga mengukir mimbar-mimbar Sinagoga. Kayu Cedar dipahat-Nya menjadi mimbar Kitab Suci, menghiasinya dengan sepasang sayap yang berkembang, yang pada bagian bawahnya dihiasi ukiran kepala lembu, burung dan rusa. Dilukiskan Gibran bahwa Yesus mengembangkan diri-Nya sebagai tukang yang mahir dengan mengikuti gaya Yunani dan Kaldea.
38
Ibid., hal. 113. Ibid., hal. 75. 40 Ibid., hal. 120. 41 Ibid., hal. 65. 39