BAB V KESIMPULAN
Organisasi masyarakat yang berbasiskan pandangan Islam radikal seperti FPI dan MMI memiliki pandangan yang sangat kontradiktif tentang kekerasan. Kedua ormas ini memandang bahwa kekerasan bukanlah hal yang positif, namun di sisi lain keduanya menyepakati bahwa kekerasan dapat berguna dalam kondisi-kondisi tertentu. Front Pembela Islam Yogyakarta mengakui bahwa kekerasan merupakan bagian dari strategi gerakan mereka, tapi FPI Yogyakarta sendiri lebih sering terlibat kekerasan yang tidak ada hubungannya dengan tujuan organisasi ini. Majelis Mujahidin Indonesia, di sisi lain, menegaskan bahwa kekerasan tidak termasuk ke dalam strategi gerakan mereka serta berpendapat bahwa kekerasan sebisa mungkin harus dihindari. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kekerasan merupakan bagian dari strategi gerakan FPI dan MMI. Front Pembela Islam mengakui bahwa mereka memiliki organ Laskar FPI dan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada kekerasan seperti sweeping tempat-tempat maksiat. Fakta yang cukup menarik adalah kemunculan kekerasan justru terjadi di luar kegiatan sweeping, namun saat organisasi ini bentrok dengan Front Jihad Islam. Majelis Mujahidin Indonesia juga menunjukkan bahwa kekerasan adalah bagian dari strategi gerakan mereka. Majelis Mujahidin Indonesia terlibat aktif dalam kekerasan-kekerasan yang terjadi di Yogyakarta, khususnya dalam penyerangan Irsyad Manji dan Bramantyo Prijosusilo. Meskipun strategi organisasinya bersifat non-kekerasan, namun pernyataan-pernyataan yang diungkpkan oleh pengurus dan anggota MMI menunjukkan bahwa kekerasan dapat dipakai dalam situasisituasi tertentu. “Semangat” dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam seringkali dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan kekerasan. Di sisi lain, penggunaan kata “semangat” juga dijadikan eufemisme untuk menghaluskan istilah “kekerasan”. Kecenderungan-kecenderungan tersebut tidak dapat mengalihkan kita dari fakta bahwa kekerasan bukanlah sebuah fenomena tunggal. Hal-hal seperti “semangat” atau “naluri destruktif” dan semacamnya tidak akan cukup
untuk memicu kekerasan khususnya yang berlandaskan identitas. Kekerasan dapat diibaratkan sebagai sebuah repertoar yang terdiri dari berbagai macam penyebab. Kedua ormas ini memiliki alasannya masing-masing pada saat melakukan kekerasan. Ormas FPI Yogyakarta, yang lebih sering mengalami kekerasan saat bentrok dengan sesama ormas dibandingkan saat sweeping,berdalih bahwa mereka adalah korban provokasi dari pihak lain. FPI Yogyakarta memang memiliki sejarah konflik yang cukup panjang, khususnya dengan ormas Front Jihad Islam. Pertentangan itu menyebabkan keduanya seringkali terlibat dalam bentrokan dan serangkaian aksi kekerasan. FPI Yogyakarta justru tidak pernah melakukan kekerasan secara berlebihan pada saat melakukan sweeping tempat-tempat maksiat. Posisi kegiatan sweeping dalam strategi gerakan FPI Yogyakarta relatif berbeda dengan FPI di daerah lain. FPI di daerah-daerah lain cenderung menggunakan aksi sweeping sebagai sarana untuk menunjukkan kekuatan dan pengaruh mereka di hadapan masyarakat, sedangkan FPI Yogyakarta tidak. FPI Yogyakarta terhitung jarang melakukan kegiatan sweeping di masyarakat. Majelis Mujahidin Indonesia sejak awal terbentuknya telah menegaskan misinya untuk mewujudkan penerapan syariah Islam dan sistem kekhalifahan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip dasar organisasinya rilisan-rilisan yang tertuang di laman resmi mereka http://majelismujahidin.com/, buku-buku dan kajian-kajian yang diterbitkan oleh penerbitan Wihda Press milik mereka, serta pernyataan-pernyataan yang dilakukan oleh tokohtokoh MMI di berbagai kegiatan seperti seminar, diskusi, workshop dan lain sebagainya.1 Majelis Mujahidin Indonesia juga dikenal sangat konsisten dalam memperjuangkan ideologinya tersebut. Penerapan sistem khilafah dan syariat Islam telah mereka usung sejak awal pembentukan organisasi MMI pada Kongres Mujahidin I tahun 2000. Penerapan syariah Islam yang disponsori oleh MMI juga mencakup banyak segi seperti moralitas, politik, ekonomi, sosial hingga isu-isu luar negeri. Majelis Mujahidin Indonesia juga menempuh jalur legal formal seperti melakukan berbagai tekanan untuk memasukkan syariah Islam ke dalam undang-undang atau peraturan daerah di berbagai penjuru Indonesia. 1
Terkait dengan hal ini, penulis memiliki pengalaman tersendiri. Saat penulis mengikuti seminar tentang ISIS di Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia pada tanggal 9 Agustus 2014, perwakilan dari Majelis Mujahidin Indonesia sangat gencar membela sistem khilafah yang diusung oleh ISIS, meskipun MMI sendiri tidak sepakat dengan cara-cara kekerasan yang digunakan ISIS. Pada akhirnya, seminar yang lebih ditujukan untuk membahas bahaya ISIS di Indonesia sempat bergeser ke perdebatan tentang sistem khilafah antara perwakilan MMI dan HTI dengan para pembicara yang terdiri dari KH Malik Madany (Nahdlatul Ulama), Zuly Qodir (akademisi) dan Prof Busyro Muqoddas (PUSHAM-UII).
FPI juga memiliki misi untuk menegakkan syariah Islam, namun FPI hanya berfokus pada soal-soal yang berkaitan dengan kemaksiatan. FPI belum pernah secara jelas menyatakan bahwa organisasinya bermaksud untuk menegakkan khilafah di Indonesia secara kaffah (menyeluruh). Syariah Islam dalam perspektif FPI hanya diberlakukan di tempat-tempat yang dianggap membahayakan moral masyarakat seperti pelacuran, tempat karaoke, perjudian, hiburan malaam, dan lain sebagainya. Prinsip syariah Islam ini pula yang dijadikan pembenaran bagi FPI untuk menggunakan metode-metode yang menjurus ke kekerasan seperti perusakan, intimidasi, sweeping, dan penyerangan. Keterlibatan FPI dalam proses penyusunan undangundang atau peraturan daerah pun biasanya hanya berkisar di isu-isu yang terkait dengan kemaksiatan dan penyakit masyarakat ini. Majelis Mujahidin Indonesia merupakan organisasi Islam yang memiliki kesadaran yang sangat tinggi untuk membentuk jaringan politik yang kuat dengan berbagai aktor lain. Majelis Mujahidin Indonesia memiliki jaringan dengan sesama organisasi Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam, Front Jihad Islam, Gerakan
Anti
Maksiat,
Forum Umat Islam dan Majelis Ulama Indonesia. Majelis Mujahidin Indonesia juga memiliki hubungan dengan partai-partai Islam yang ada di Indonesia serta beberapa aktor politik lainnya. Aktor-aktor ini tentu saja memiliki perbedaan satu sama lain, baik dalam masalah ideologi, keanggotaan, maupun strategi gerakan. Hal ini menimbulkan pentingnya metode yang lebih moderat agar Majelis Mujahidin Indonesia dapat membangun sebuah jaringan yang konstruktif di antara aktor-aktor yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda tersebut. Pemilihan strategi gerakan yang moderat juga didasari oleh pengalaman sebagian besar pengurus dan anggota MMI yang pernah mengalami tekanan yang besar dari negara pada era Orde Baru, saat mereka masih bergiat dalam jejaring Negara Islam Indonesia (NII) atau Komando Jihad (Komji). Meskipun ruang-ruang demokrasi Indonesia makin melebar paskaReformasi 1998, namun MMI sangat menyadari bahwa tujuan organisasi mereka sebetulnya bertentangan dengan konstitusi negara ini. Hal ini menyebabkan MMI harus beradaptasi dengan ruang-ruang demokrasi tersebut melalui pemilihan strategi gerakan yang bersifat moderat. Strategi gerakan moderat melalui jalur-jalur seperti media, forum-forum seminar, demonstrasi damai merupakan bentuk kompromi yang dilakukan MMI agar dapat beradaptasi dengan iklim demokrasi Indonesia. MMI menyadari bahwa mereka membutuhkan ruang-ruang yang
disediakan demokrasi untuk dapat tetap beraktivitas sebagaimana organisasi lainnya sekaligus menghindari represi negara. Sikap MMI menyiratkan kontradiksinya tersendiri karena sistem khilafah yang mereka perjuangkan melalui cara-cara demokratis, pada dasarnya memiliki dasardasar yang bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Majelis Mujahidin Indonesia dikenal cukup ahli dalam memanfaatkan ruangruang demokrasi Indonesia pasca-reformasi. Hal ini ditandai dengan kemunculan MMI dalam berbagai ruang publik seperti dalam seminar-seminar, kajian, media massa, hingga memuat media publikasi tersendiri (Wihda Press). MMI juga sangat aktif terlibat dalam aksi-aksi massa dalam isu-isu yang terkait dengan Islam. Tokoh-tokoh MMI khususnya ketua Lajnah Tanfidziyah, Ustad Irfan Suryahardi Awwas, dikenal sangat komunikatif dan piawai berbicara di hadapan publik. Majelis Mujahidin Indonesia juga dikenal memiliki kepedulian terhadap pendidikan yang ditandai dengan proyek penerbitan terjemahan Al-Quran, program kursus bahasar Arab, fasilitasi pernikahan untuk mahasiswa, dan penerbitan buku-buku dari berbagai pemikir MMI khususnya Ustad Abu Bakar Baasyir dan Irfan S. Awwas sendiri. Strategi-strategi gerakan Majelis Mujahidin Indonesia yang telah dijabarkan di atas sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Jogja yang lebih terbuka, plural, kritis dan memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi.2 Dinamika organisasi dalam Majelis Mujahidin Indonesia dan Front Pembela Islam tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh-tokoh sentral di dalam masing-masing organisasi ini. Tokoh yang sangat berpengaruh dalam organisasi MMI adalah Ustad Abu Bakar Baasyir dan Ustad Irfan Suryahardi Awwas, sedangkan di dalam FPI kita mengenal Habibe Rizieq Shihab untuk FPI Pusat dan untuk cabang Yogyakarta dikenal nama Bambang Tedy. Ustad Abu Bakar Baasyir merupakan mantan Amirul Mujahid MMI dan perannya sangat sentral sebagai simbol, ideolog terdepan, sekaligus perekat faksi-faksi yang ada di dalam MMI.3 Di sisi lain, Ustad Irfan Suryahardi Awwas dapat dikatakan sebagai orang yang menata jaringan, mengurusi keorganisasian, sekaligus menjadi propagandis utama dari Majelis Mujahidin Indonesia.
2
Hasil wawancara dengan Eko Prasetyo (peneliti gerakan sosial Islam dan ketua Social Movement Institute) di kantor Social Movement Institute tanggal 25 Juni 2014. 3 Ibid.
Front Pembela Islam memiliki kecenderungan yang berbeda dengan Majelis Mujahidin Indonesia. FPI tidak nampak berusaha menjalin hubungan yang intens dengan organisasi-organisasi Islam lainnya. Hubungan antara FPI dan organisasi-organisasi Islam lainnya cenderung temporal, sesaat dan hanya berorientasikan isu semata khususnya isu-isu kemaksiatan maupun aliran yang dianggap ‘sesat’ seperti Ahmadiyah atau Syiah. Al-Zastrouw Ngatawi (2006) mencatat bahwa meskipun FPI merupakan organisasi yang relatif lebih bisa berbaur dengan masyarakat apabila dibandingkan organisasi seperti Hizbut Tahrir, MMI atau Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah, namun FPI terhitung jarang melakukan kerjasama dengan organisasi lainnya. Hubungan antara FPI dengan organisasi-organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Laskar Jihad, dan Jamaah Tabligh bahkan cenderung tidak harmonis.4 Kerjasama antara FPI dan organisasi-organisasi Islam lainnya hanya bisa dilakukan apabila FPI yang memimpin di depan dan menjadi pemimpin kegiatan, atau ada isu bersama yang layak untuk direspon secara bersama-sama sehingga dalam kegiatan ini tidak ada yang memimpin dan memimpin; semua menjadi pemimpin dengan cara membentuk aliansi aksi, seperti ketika aksi menentang Israel dan Amerika Serikat.5 Pada saat FPI dan MMI mulai memobilisasi anggotanya untuk berbuat kekerasan, kedua ormas ini dapat dikategorikan sebagai kelompok vigilante. Vigilante atau vigilantism merupakan sebuah konsep mengenai keterlibatan orang-orang di luar aparat keamanan atau otoritas yang berwajib dalam menegakkan apa yang mereka yakini sebagai hukum sekaligus menciptakan ketertiban menurut versi mereka. Fenomena vigilantism merupakan bentuk tindakan sepihak dari beberapa unsur masyarakat yang ‘membajak’ hukum dari otoritas yang berwenang dan menjadikannya sebagai alat pribadi. Dalam kasus-kasus semacam MMI dan FPI, mereka seringkali berdalih bahwa aparat yang berwenang sama sekali tidak mengambil tindakan atas hal-hal yang mereka anggap telah ‘mengotori akidah Islam’ dan ‘menimbulkan keresahan umat’. Oleh karena itu, FPI dan MMI kemudian mengambil-alih peran negara sebagai aktor yang berkewajiban menindak serta mengembalikan ketertiban umum yang terganggu oleh tindakan beberapa unsur yang dianggap menyimpang dalam masyarakat. Tindakan inilah yang justru menimbulkan gangguan keamanan 4
Al Ngatawi, Zastrouw. 2006. Gerakan Islam Simbolik : Politik Kepentingan FPI. Yogyakarta : LkiS hal. 113.
5
Ibid, hal 113-114.
di masyarakat, mengingat mayoritas masyarakat Yogyakarta sendiri sebenarnya tidak mempermasalahkan hal-hal yang ditentang oleh MMI maupun FPI. Masyarakat Yogyakarta cenderung menerima komunitas Ahmadiyah, komunitas Syiah dan kelompok-kelompok lainnya yang menjadi sasaran kekerasan FPI maupun MMI. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh FPI dan MMI justru bersifat kontraproduktif karena telah mengganggu kondisi keamanan kota Yogyakarta. Fenomena ketidakmampuan pemerintah dalam menindak hal-hal yang dianggap mencemari nilai-nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok fundamentalis ini merupakan salah satu prasyarat paling mendasar dalam terjadinya aksi-aksi vigilante. Rosenbaum dan Sederberg selanjutnya berpendapat bahwa “the potential for vigilantism varies positively with the intensity and scope of belief that a regime is ineffective in dealing with the prevailing socio-political order.6 Dalam perspektif gerakan sosial, ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi penyakit-penyakit masyarakat dan mengatasi pengotoran akidah Islam selanjutnya menjadi grievances yang digunakan sebagai master frame oleh FPI dan MMI dalam melakukan aksi-aksi mobilisasi massa. Front Pembela Islam selalu mengklaim bahwa mereka selalu berkoordinasi dengan pihak kepolisian sebelum melakukan penggerebekan tempat-tempat maksiat agar polisi dapat menindaknya terlebih dahulu. Kekerasan pada akhirnya muncul saat polisi tidak juga bertindak untuk merespon laporan dari FPI. Hal yang berbeda terlihat dari fenomena kekerasan FPI di Yogyakarta, dimana kekerasan murni muncul demi kepentingan ketua FPI Bambang Tedy tanpa ada iktikad baik untuk mematuhi peraturan hukum yang berlaku. Kekerasan yang dilakukan oleh Majelis Mujahidin Indonesia, khususnya dalam kasus Irshad Manji dan Bramantyo Prijosusilo, terjadi karena keduanya dianggap sengaja memprovokasi. Irshad Manji dianggap sengaja memancing keributan karena ia masih tetap menggelar diskusi bukunya di LKiS walaupun diskusi sebelumnya sudah dilarang. Kasus Bramantyo Prijosusilo juga terjadi karena para anggota MMI merasa terintimidasi dengan aksi Bramantyo Prijosusilo yang dianggap melecehkan organisasi mereka. Polisi saat itu dianggap tak berbuat apa-apa dan baru datang setelah pemukulan terhadap Bramantyo terjadi.
6
Dikutip dari Vigilante Politics (1976) oleh Jon Rosenbaum & Peter.C.Sederberg (.ed) hal 7.
FPI dan MMI dapat dikategorikan sebagai social-group-control vigilantism apabila meminjam tipologi yang dirumuskan oleh Rosenbaum & Sederberg (1976).
Bertolak dari
definisi yang dikemukakan oleh Rosenbaum dan Sederberg, kekerasan yang dilaksanakan oleh MMI pada dasarnya merupakan usaha untuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka yakini ke dalam sistem sosial di masyarakat. MMI berada dalam sebuah sistem sosial yang tercipta dalam kehidupan kota Yogyakarta, dimana berbagai macam kelompok berada di dalamnya. Kelompokkelompok tersebut, selain berbagi ruang yang sama, juga saling bersaing untuk memperjuangkan nilai-nilai mereka supaya dapat menjadi bagian dari sistem sosial yang mengatur kehidupan di kota ini. Keberhasilan suatu kelompok dalam memasukkan nilai-nilai tersebut ke dalam sistem sosial tentu saja akan berpengaruh terhadap posisi mereka di masyarakat. Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan baik oleh FPI maupun MMI sebenarnya juga memiliki dimensi politis semacam ini. Dimensi politis dan kepentingan tersebut lebih terlihat dalam kasus-kasus kekerasan FPI cabang Yogyakarta yang terlibat kekerasan-kekerasan bermotif ekonomi maupun politis. Kekerasan yang dilakukan oleh ormas Islam sebagian besar diawali oleh ketidakmampuan aparat keamanan dalam mempertahankan hukum sekaligus menegakkan ketertiban (law & order). Kondisi ini merupakan salah satu penyebab ormas-ormas Islam merasa berhak untuk mengambil-alih tugas aparat keamanan dalam menegakkan hukum, dan khususnya, menciptakan ketertiban yang sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Kasus kemunculan aksi main hakim sendiri tidak hanya menunjukkan kealpaan aparat keamanan dalam mengatasi isu-isu yang menjadi perhatian kelompok-kelompok vigilante, tetapi juga dalam menangani kelompok-kelompok vigilante itu sendiri. Kelompok-kelompok vigilante di Indonesia bisa hidup karena aparat keamanan cenderung enggan untuk menindak mereka, hampir sama seperti hal-hal yang dicap maksiat juga bisa hidup karena kepasifan aparat keamanan. Fakta ini menunjukkan bahwa eksistensi ormas-ormas vigilante dan musuh-musuh mereka sebenarnya bersumber dari satu hal yang sama, yaitu kurangnya inisiatif aparat keamanan dalam melakukan tindakan. Alasan keengganan ini bervariasi, tetapi alasan yang paling utama adalah ketiadaan reward yang memadai saat harus berurusan dengan aksi-aksi vigilante.7
7
http://thejakartaglobe.beritasatu.com/news/police-say-theyre-scared-fight-religious-hard-liners/, diakses tanggal 7 Juli 2015 pukul 22.35