BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini dibahas konsep-konsep yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu : 1. Fraktur 1.1 Defenisi fraktur Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya (Brunnner & Suddarth, 2001). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang , retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma (Lukman &Ningsih, 2009) . 1.2 Etiologi Fraktur Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa patologis. 1.2.1 Peristiwa Trauma (kekerasan) a. Kekerasan langsung Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah melintang atau miring (Oswari, 2005). b. Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
Universitas Sumatera Utara
bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan bawah (Oswari, 2005). c.Kekerasan akibat tarikan otot Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi (Oswari, 2005). 1.2.2 Peristiwa Patologis a. Kelelahan atau stres fraktur Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas berulang – ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan mengalami perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang sama, atau peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah tulang maka akan terjadi retak tulang (Price, 2005). b. Kelemahan Tulang
Universitas Sumatera Utara
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur (Price 2005). 1.3 KlasifikasiFraktur Ada beberapa jenis fraktur menurut Brunnner & Suddarth (2001), yaitu : 1.3.1 Fraktur komplit, patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal). 1.3.2 Fraktur tidak komplit (inkomplit), patah yang hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang. 1.3.3 Fraktur tertutup (fraktur simple), tidak menyebabkan robeknya kulit. 1.3.4 Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks), fraktur dengan luka pada kulit atau mebran mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi : Grade I dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjang nya ; Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif dan Grade III luka yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif, merupakan paling berat. 1.3.5 Berdasarkan bentuk patahan tulang a. Greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok. b.Transversal, fraktur sepanjang garis tengah tulang.
Universitas Sumatera Utara
c. Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil dibanding transversal). d.Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang. e. Kominutif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen. f. Depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorng ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah). g.Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang). h.Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, penyakit Paget, metastasi tulang, tumor). i. Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada perlekatannya. j. Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya. 1.4 Manifestasi klinis Menurut Lukman & Ningsih (2009), ada beberapa manifestasi klinis fraktur yaitu : 1.4.4 Nyeri Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. 1.4.5 Hilangnya fungsi dan deformitas
Universitas Sumatera Utara
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan
dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa ) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot. 1.4.6 Pemendekan Ekstremitas Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain 2,5 sampai 5 cm (1-2 inci). 1.4.7 Krepitus Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat
gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat. 1.4.8 Pembengkakan lokal dan perubahan warna Pembengkakan lokal dan perubahan warna pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. 1.5 Proses Penyembuhan Fraktur Proses penyembuhan fraktur bervariasi sesuai dengan ukuran tulang dan umur pasien. Faktor lainnya adalah tingkat kesehatan pasien secara
Universitas Sumatera Utara
keseluruhan, atau kebutuhan nutrisi yang cukup. Berdasarkan proses penyembuhan fraktur, maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1.5.1 Proses Hematom Merupakan proses terjadinya pengeluaran darah hingga terbentuk hematom (bekuan darah) pada daerah terjadinya fraktur tersebut, dan yang mengelilingi bagian dasar fragmen. Hematom merupakan bekuan darah kemudian berubah menjadi bekuan cairan semi padat (Discon & Wright, 1992). 1.5.2 Proses Proliferasi Pada proses ini, terjadi perubahan pertumbuhan pembuluh darah menjadi memadat, dan terjadi perbaikan aliran pembuluh darah (Pakpahan, 1996). 1.5.3 Proses pembentukan callus Proses pembentukan callus pada orang dewasa antara 6-8 minggu, sedangkan pada anak-anak 2 minggu. Callus merupakan proses pembentukan tulang baru, dimana callus dapat terbentuk di luar tulang (superiosteal callus) dan di dalam tulang (endosteal callus). Proses perbaikan tulang terjadi sedemikian rupa, sehingga trabekula yang dibentuk tidak teratur oleh tulang imatur untuk sementara bersatu dengan ujung-ujung tulang yang patah sehingga membentuk suatu callus tulang (Pakpahan, 1996). 1.5.4 Proses konsolidasi (penggabungan) Perkembangan callus secara terus-menerus, dan terjadi pemadatan tulang seperti sebelum terjadi fraktur, konsolidasi terbentuk antara 6-12
Universitas Sumatera Utara
minggu (ossificasi) dan antara 12-26 minggu (matur). Tahap ini disebut dengan penggabungan secara terus-menerus (Pakpahan, 1996). 1.5.5 Proses Remodeling Proses remodeling merupakan tahapan terakhir dalam penyembuhan tulang, dan proses pengembalian bentuk semula. Proses terjadinya remodeling antara 1-2 tahun setelah terjadinya callus dan konsolidasi (Brunner& Suddarth, 2001). 1.6 Komplikasi fraktur 1.6.1 Komplikasi awal a. Syok Pada komplikasi awal dapat terjadi syok hipovolemik atau trumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah ekterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak ( Brunner & Suddarth 2001). b.Sindrom Emboli Lemak Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah( Brunner & Suddarth 2001). c. Sindrom Kompartemen Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran
Universitas Sumatera Utara
kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat. Bisa juga karena penigkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya iskemia, cedera remuk, penyutikan bahan pengahancur jaringan) ( Brunner & Suddarth 2001). 1.6.2 Komplikasi lambat atau lanjutan a. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan (Mal-union atau Non-union) Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi (tarikan jauh) fragmen tulang. Tidak adanya penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujungujung patahan tulang ( Brunner & Suddarth 2001). b.Nekrosis avaskular tulang Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati. Dapat terjadi setelah fraktur, dislokasi, terapi kortikosteroid dosis tinggi berkepanjangan, penyakit ginjal kronik, anemia sel sabit dan penyakit lain. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan tulang yang baru ( Brunner & Suddarth 2001). c. Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Universitas Sumatera Utara
Alat fiksai interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator utama telah terjadinya masalah. Masalah tersebut meliputi kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai), kegagalan material (alat yang cacat atau rusak), berkaratnya alat, menyebabkan inflamasi lokal, respon alergi terhadap campuran logam yang dipergunakan, dan remodelingosteoporotik
disekitar
alat
fiksasi
(stres
yang
dibutuhkan untuk memperkuat tulang diredam oleh alat tersebut mengakibatkan osteoporosis disuse) ( Brunner & Suddarth 2001). 2. Nyeri 2.1 Definisi nyeri Menurut The International Association for the Study of Pain (1979, dalam Potter & Perry 2005), nyeri didefenisikan sebagai perasaan sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial yang menyebabkan kerusakan jaringan. Sementara itu defenisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya yang ada kapanpun individu mengatakannya (Brunner & Suddarth, 2001). McCaffery(1980 dalamPrasetyo, 2010) menyatakan bahwa nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja saat seseorang mengatakan merasakan nyeri. Definisi ini menempatkan seorang pasien sebagai expert (ahli) di bidang nyeri, karena
Universitas Sumatera Utara
hanya pasienlah yang tahu tentang nyeri yang ia rasakan. Bahkan nyeri adalah sesuatu yang sangat subjektif, tidak ada ukuran yang objektif padanya, sehingga hanyalah orang yang merasakannya yang paling akurat dan tepat dalam mendefenisikan nyeri. 2.2 Klasifikasi nyeri 2.2.1 Klasifikasi nyeri berdasarkan awitan Berdasarkan waktu kejadian, nyeri dapat dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu atau durasi 1 detik sampai dengan kurang dari enam bulan, sedangkan nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam bulan. Nyeri akut dapat dipandang sebagai nyeri yang terbatas dan bermanfaat untuk mengidentifikasi adanya cedera atau penyakit pada tubuh. Nyeri akut biasanya menghilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan menyembuh (Tamsuri, 2007). Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermitten, atau bahkan persisten. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik (Tamsuri, 2007). Pada individu yang mengalami nyeri kronis timbul suatu perasaan tidak aman karena ia tidak pernah tahu apa yang dirasakan dari hari ke hari. Gejala nyeri kronik meliputi keletihan, insomnia, anoreksia, penurunan berat badan, depresi, putus asa, dan kemarahan. Pasien dengan nyeri kronis tidak atau kurang memperlihatkan hiperaktivitas autonom tetapi memperlihatkan gejala irritabilitas, kehilangan semangat, dan gangguan
kemampuan
berkonsentrasi.
Nyeri
kronis
ini
sering
mempengaruhi semua aspek kehidupan penderitanya, menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
distress, kegalauan emosi, dan mengganggu fungsi fisik dan sosial (Potter & Perry, 2005). 2.2.2 Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri viseral, nyeri alih, nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom) (Tamsuri, 2007). Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulasi kulit seperti pada laserasi, luka bakar, dan sebagainya. Nyeri berlangsung sebentar, terlokalisasi, dan memiliki sensasi yang tajam. Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi pada otot tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya perenggangan dan iskemia. Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ interna. Nyeri bersifat difusi dan dapat menyebar keberbagai arah. Durasi bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama dari pada nyeri superfisial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau unik tergantung organ yang terlibat. Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari sensasi asal ke jaringan sekitar. Nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan. Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan klien yang mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsikan berada pada organ yang telah diamputasi seolah-olah organnya masih ada. Nyeri alih (reffered pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada
Universitas Sumatera Utara
beberapa tempat dan lokasi. Nyeri jenis ini dapat timbul karena masuknya neuron sensori dari organ yang mengalami nyeri ke dalam medula spinalis dengan serabut saraf yang berada pada bagian tubuh lainnya. 2.2.3
Klasifikasi nyeri berdasarkan organ
Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan (aktual atau potensial) organ. Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada neuralgia dan dapat terjadi secara akut maupun kronis. Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikologis, umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik seperti cemas dan akut timbul pada klien (Tamsuri, 2007). 2.3 Fisiologi nyeri Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda (Potter & Perry, 2005). Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan. b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi (Tamsuri, 2007). 2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri 2.4.1 Jenis kelamin Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri (Gill,1990dalam Potter & Perry, 2005). Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin (misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh
Universitas Sumatera Utara
menangis, sedangkan seprang anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2005). 2.4.2 Usia Usia merupakan variabel yang penting dalam merespon nyeri. Cara lansia merespon nyeri dapat berbeda dengan orang yang berusia lebih muda. Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan (Brunner & Suddarth, 2001). 2.4.3 Budaya Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka.Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo dan Flaskerud, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Petugas kesehatan seringkali berasumsi bahwa cara yang mereka lakukan dan apa yang mereka yakini adalah sama dengan cara dan keyakinan orang lain. Dengan demikian, mereka mencoba mengira bagaimana klien berespon terhadap nyeri. Misalnya, apabila seorang perawat yakin bahwa menangis dan merintih mengindikasikan suatu ketidakmampuan untuk mentoleransi nyeri, akibatnya pemberian terapi mugkin tidak cocok untuk klien berkebangsaan Meksiko-Amerika yang menangis keras tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau mengharapkan perawat melakukan intervensi (Calvillo dan Flaskerud, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Ansietas Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang dirasakan seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan ansietas. Sebagai contoh seseorang yang menderita kanker kronis dan merasa takut akan kondisi penyakitnya akan semakin meningkatkan persepsi nyerinya (Prasetyo, 2010). 2.4.5 Pengalaman Sebelumnya Setiap individu belajar dari pengalaman
nyeri, akan
tetapi
pengalaman yang telah dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa individu tersebut akan mudah dalam menghadapi nyeri pada masa mendatang. Seseorang yang terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah
mengantisipasi nyeri daripada individu yang mempunyai
pengalaman sedikit tentang nyeri (Prasetyo, 2010). 2.4.6 Pola Koping Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal, mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka, seperti perawat, sebagai individu yang bertanggungjawab terhadap hasil akhir peristiwa. Individu yang memiliki lokus kendali internal melaporkan mengalami nyeri yang tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali eksternal (Schulteis, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.4.7 Dukungan Sosial dan Keluarga Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan perlindungan. Walaupun klien tetap merasakan nyeri, tetapi akan mengurangi rasa kesepian dan ketakutan ( Potter & Perry, 2005). 2.5 Pengukuran Nyeri 2.5.1 Skala Numerik Nyeri Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah divalidasi. Berat ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik dari 0 hingga 10, di bawah ini, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri, sedangkan sepuluh (10), suatu nyeri yang sangat hebat (Brunner & Suddarth, 2001).
Skala Numerik Nyeri
2.5.2 Visual analog scale Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus, tanpa angka. Bisa bebas mengekspresikan nyeri, ke arah kiri menuju tidak sakit, arah kanan sakit tak tertahankan, dengan tengah kira-kira nyeri yang sedang (Potter & Perry, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Visual Analog Scale (VAS)
Tidak ada rasa nyeri
Sangat nyeri
Pasien diminta menunjukkan posisi nyeri pada garis antara kedua nilai ekstrem. Bila anda menunjuk tengah garis, menunjukkan nyeri yang moderate/sedang (Brunner & Suddarth, 2001). 2.5.3 Skala Wajah Wong dan Barker Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda, menampilkan wajah bahagia hingga wajah sedih, digunakan untuk mengekspresikan rasa nyeri. Skala ini biasanya dipergunakan mulai anak usia 3 (tiga) tahun (Potter & Perry, 2005).
Skala wajah untuk nyeri
Pengukuran nyeri yang dipakai untuk mengukur skala nyeri pada penelitian ini adalah skala numerik nyeri. Skala ini merupakan skala yang paling umum digunakan untuk mengukur skala nyeri. Nilai 1-4 menggambarkan nyeri ringan, 5-6 menggambarkan nyeri sedang, dan 7-0 nyeri berat (Brunner & Suddarth, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Respon Tubuh Terhadap Nyeri 2.6.1 Respon fisik Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap stres. Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta nyeri superfisial,tubuh bereaksi membangkitkan General Adaptation Syndrome (Reaksi Fight or Flight), dengan merangsang sistem saraf simpatis sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral, akan mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri,2007). 2.6.2 Respon perilaku Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat
bermacam-macam.
Meinhart
dan
Mc.
Caffery
(1983)
menggambarkan fase perilaku terhadap nyeri yaitu: antisipasi, sensasi, dan pasca nyeri (Mc. Caffery dalam Tamsuri, 2007). Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting dan merupakan fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri. Individu belajar untuk mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri muncul, karena kecemasan dapat menyebabkan peringatan sensasi nyeri yang terjadi pada klien dan atau tindakan ulang yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif. Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang diungkapkan oleh seorang individu yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis,
Universitas Sumatera Utara
meringkukkan badan, menjerit, dan bahkan berlari-lari. Pada fase paska nyeri, individu bisa saja mengalami trauma psikologis, takut, depresi, serta dapat juga menjadi menggigil. 2.5.6 Respon Psikologis Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi individu. Individu mengartikan nyeri sebagai suatu yang negatif cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pada induvidu yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman positif akan menerima nyeri yang dialaminya (Tamsuri, 2007). 2. 7 Manajemen nyeri Terdapat berbagai tindakan yang dapat dilakukan seorang perawat untuk mengurangi rasa nyeri yang diderita. Tindakan-tindakan tersebut mencakup tindakan nonfarmakologis dan tindakan farmakologis. Dalam beberapa kasus nyeri yang sifatnya ringan, tindakan non-farmakologis adalah intervensi yang paling utama, sedangkan tindakan farmakologis dipersiapkan untuk mengantisipasi perkembangan nyeri. Pada kasus nyeri sedang sampai berat, tindakan non-farmakologis menjadi suatu pelengkap yang efektif untuk mengatasi nyeri disamping tindakan farmakologis yang utama (Prasetyo, 2010). 2.7.1 Manajemen nyeri secara farmakologis Menangani
nyeri
yang
dialami
pasien
melalui
intervensi
farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi
Universitas Sumatera Utara
keperawatan lainnya dan pasien (Brunner & Suddarth, 2001). Beberapa agens farmakologi digunakan untuk menangani nyeri. Semua agen tersebut memerlukan resep dokter. Keputusan perawat, dalam penggunaan obatobatan dan penatalaksanaan klien yang menerima terapi farmakologi, membantu dalam upaya memastikan penanganan nyeri yang mungkin dilakukan ( Potter &Perry, 2005). a. Analgesik Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan opioid (narkotik), nonopioid/NSAIDs (Nonsteroid Anti-Inflamasi Drugs), dan adjuvan, serta ko-analgesik. Analgesik opioid (narkotik) terdiri dari berbagai derivate dari opium seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat menyebabkan penurunan nyeri dan memberi efek euphoria (kegembiraan) karena obat ini mengadakan ikatan dengan reseptor opiate (ada beberapa reseptor opiate seperti mu, delta, dan alppa) dan mengaktifkan penekanan nyeri endogen pada susunan syaraf pusat. Narkotik tidak hanya menekan rangsang nyeri, tetapi juga menekan pusat pernapasan dan batuk di medulla batang otak. dampak lain dari narkotik adalah sedasi dan peningkatan toleransi obat sehingga kebutuhan dosis obat akan meningkat (Tamsuri,2007).Untuk nyeri yang sedang sampai berat menggunakan analgesik opioid atau narkotik (AHCPR, 1992 dalam Potter & Perry, 2005). Analgesik narkotik yang diberikan secara oral atau injeksi, bekerja pada pusat otak yang lebih tinggi dan medulla spinalis melalui ikatan dengan
Universitas Sumatera Utara
reseptor opioid untuk memodifikasi persepsi nyeri dan reaksi terhadap nyeri. Analgesik non-opioid (analgesik non-narkotik) atau sering disebut juga Nonsteroid Anti-InflammatoryDrugs, (NSAIDs) seperti aspirin, asetaminofen, dan ibu profen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek anti-inflamasi dan anti-demam (anti-piretik). Obat-obat golongan ini menyebabkan penurunan nyeri yang bekerja pada ujungujung syaraf perifer di daerah yang mengalami cedera, dengan menurunkan kadar mediator peradangan yang dibangkitkan oleh sel-sel yang mengalami cedera (Tamsuri, 2007). Terapi pada nyeri postoperasi ringan sampai sedang menggunakan NSAIDs. Mekanisme kerja pasti NSAIDs tidak diketahui, NSAIDs diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin dan menghambat respons selular selama inflamasi. Kebanyakan NSAIDs bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri. NSAIDs tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan juga tidak mengganggu fungsi berkemih atau defekasi. Sehingga agens NSAIDs dapat menjadi efektif sebagai analgesik yang manjur bagi beberapa klien atau pemberian analgesik melalui oral dapat semanjur pemberian injeksi untuk mengatasi nyeri (McKenry & Salerno, 1995 dalam Potter & Perry, 2005). b. Analgesik Dikontrol-Pasien (ADP) Sistem pemberian obat, yang disebut ADP, merupakan metode yang aman untuk penatalaksanaan nyeri kanker, nyeri pascaoperasi,
Universitas Sumatera Utara
dan nyeri traumatik. Kebanyakan klien lebih menyukai metode pemberian injeksi berkala. Hal ini merupakan sistem pemberian obat yang memungkinkan klien mendapatkan medikasi nyeri ketika mereka menginginkan obat tersebut tanpa risiko overdosis. Tujuan metode ini ialah mempertahankan kadar plasma analgesik yang konstan, sehingga masalah pemberian dosis sesuai kebutuhan dihindari. ADP sistemik biasanya termasuk pemberian obat intravena, tetapi metode ini juga dapat diberikan melalui subkutan. ADP merupakan pompa
infuse
yang dapat dibawa (biasanya diatur komputer), yang berisi ruang untuk tempat spuit atau merupakan alat khusus dirancang seperti pengatur dosis yang menggunakan jam tangan yang diperlengkapi pengaturan dini pemberian obat dalam dosis kecil. Analgesik yang dipilih ialah morfin. Untuk menerima dosis, klien menekan tombol yang menempel pada alat ADP ( Potter & Perry, 2005). c. Analgesik Epidural Analgesik epidural merupakan suatu bentuk anastesia lokal dan terapi yang efektif untuk menangani nyeri pascaoperasi akut, nyeri persalinan, dan melahirkan, dan nyeri kronik, khususnya yang berhubungan dengan kanker (McNair,1990 dalam Potter & Perry, 2005 ). Analgesik ini memungkinkan pengontrolan atau pengurangan nyeri yang berat tanpa efek sedative dari narkotik parenteral atau oral yang lebih serius. Analgesia epidural berlangsung dalam jangka waktu pendek atau panjang, tergantung pada kondisi klien dan harapan hidup. Terapi jangka pendek digunakan untuk mengatai nyei akibat bedah
Universitas Sumatera Utara
intratorak, bedah abdomen, dan bedah orthopedi. Terapi jangka panjang digunakan untuk nyeri yang tidak dapat dikendalikan, pada bagian tubuh bawah, khususnya bila bagian tubuh itu bilateral (DuPen & William,1992 dalam Potter & Perry, 2005). Tabel 2.1Analgesik dan Indikasi terapi (Potter & Perry, 2005)
Kategori Obat
Indikasi
ANALGESIK NON-NARKOTIK Asetaminofen (Tylenol)
Nyeri pasca operasi ringan
Asam asetilsalisilat (aspirin)
Demam
NSAID Ibuprofen (Motrin, Nuprin)
Dismenore
Naproksen (Naprosyn)
Nyeri kepala vascular
Indometasin (Indocin)
Artritis rheumatoid
Tolmetin (Tolectin)
Cedera atletik jaringan lunak
Piroksikam (Feldene)
Gout
Ketorolak (Toradol)
Nyeri pasca operasi Nyeri traumatik berat
ANALGESIK NARKOTIK Meperidin (Demerol)
Nyeri kanker
Metilmorfin (Kodein)
Infark moikard
Morfin sulfat Fentanil (Sublimaze) Butofanol (Stadol) Hidromorfon HCL (Dilaudid) ADJUVAN Amitriptilin (Elavil)
Cemas
Hidroksin (Vistaril)
Depresi
Klorpromazin (Thorazine)
Mual
Diazepam (Valium)
Muntah
Universitas Sumatera Utara
2.7.2 Manajemen nyeri secara Non-farmakologis Intervensi nyeri dengan cara non farmakologis memiliki resiko yang sangat rendah. Pada nyeri yang sangat hebat, mengkombinasikan tehnik nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri (Brunner & Suddarth, 2001). Tindakan nonfarmakologi mencakup intervensi perilaku-kognitif dan penggunaan agen-agens fisik. Tujuan intervensi perilaku-kognitif adalah mengubah persepsi klien tentang nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi rasa pengendalian yang lebih besar sedangkan agen-agens fisik bertujuan memberi rasa nyaman, memperbaiki disfungsi fisik, mengubah respons fisiologis, dan mengurangi rasa takut yang terkait dengan imobilisasi(Potter & Perry, 2005). Berikut ini beberapa
teknik manajemen nyeri secara non-
farmakologi : a. Relaksasi Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stress, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Prasetyo, 2010). Menurut Potter & Perry (2005), teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri. Teknik relaksasi dapat digunakan saat indvidu dalam kondisi sehat atau sakit. Teknik relaksasi tersebut merupakan upaya pencegahan untuk membantu tubuh segar kembali. Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil yang optimal, klien yang
Universitas Sumatera Utara
telah mengetahui teknik ini mungkin hanya perlu diinstruksikan menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan atau mencegah meningkatnya nyeri. Berbagai
metode
relaksasi
digunakan
untuk
menurunkan
kecemasan dan ketegangan otot sehingga didapatkan penurunan denyut jantung, penurunan respirasi, serta penurunan ketegangan otot. (Prasetyo, 2010). Contoh tindakan relaksasi
yang dapat dilakukan
untuk menurunkan nyeri adalah napas dalam dan relaksasi otot , dan juga aromaterapi. Steward (1996) dalam Rabi’al (2009) menjelaskan teknik relaksasi sebagai berikut : 1) Nafas dalam -
Diharapkan pasien menarik nafas dalam dan mengisi paru-paru dengan udara.
-
Kemudian
perlahan-lahan
udara
dihembuskan
sambil
membiarkan tubuh menjadi kendor dan merasakan betapa nyamannya hal tersebut -
Selanjutnya pasien bernapas beberapa kali dengan irama normal
-
Pasien menarik napas dalam lagi dan menghembuskan pelanpelan dan membiarkan hanya kaki dan telapak tangan yang kendor. Perawat meminta pasien untuk mengkonsentrasikan pikiran pasien pada kaki yang terasa ringan dan hangat.
Universitas Sumatera Utara
-
Setelah itu mengulang langkah ke-4 dan mengkonsentrasikan pikiran pada lengan perut, punggung, dan kelompok otot-otot yang lain.
2) Relaksasi progresif Latihan relaksasi progresif meliputi kombinasi latihan pernapasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot. Klien mulai latihan bernapas dengan perlahan dan menggunakan difragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh. Saat klien melakukan pola pernapasan yang teratur, perawat mengarahkan klien untuk melokalisasi setiap daerah yang mengalami ketegangan otot, berpikir bagaimana rasanya, menegangkan otot sepenuhnya, dan kemudian merelaksasikan otot-otot
tersebut.
Kegiatan
ini
menciptakan
sensasi
melepaskan ketidaknyamanan dan stress. Secara bertahap, klien dapat
merelaksasi
otot
tanpa
harus
terlebih
dahulu
menegangkan otot-otot tersebut. Saat klien mencapai relaksasi penuh, maka persepsi nyeri berkurang dan rasa cemas terhadap pengalaman nyeri menjadi minimal(Potter & Perry, 2005). Berikut ini cara latihan progresif menurut Steward (1996) dalam Rabi’al (2009) : -
Kontraksikan masing-masing otot dalam 10 kali hitungan kemudian lemaskan
Universitas Sumatera Utara
-
Lakukan latihan diruangan yang tenang dengan posisi duduk atau sambil berbaring nyaman
-
Bawalah seseorang yang berlaku sebagai “pelatih” yang memberikan
perintah
untuk
mengkontraksikan
otot,
menghitung sampai 10 kali dan memerintah untuk melemaskan otot 3) Aromaterapi Aromaterapi adalah metode yang menggunakan minyak atsiri untuk meningkatkan kesehatan fisik dan emosi. Minyak atsiri adalah minyak alami yang diambil dari tananman aromatik. Menurut roulier (1990) minyak atsiri yang bersifat analgetik (menghilangkan rasa sakit) adalah chamomile frankincense, cengkih, wintergreen, lavender, dan mint (Koensoemardiyah, 2009).
Berdasarkan
penelitian
di
UniversitasWarwick
di
Inggris,bau yangdihasilkan akan berikatan dengan gugus steroid di dalam
kelenjar
keringat,yangdisebutosmon,yang
mempunyai
potensisebagaipenenangkimiaalami.Responbauyangdihasilkanakan merangsangkerjaselneurokimiaotak.Sebagaicontoh,bauyangmenye nangkanakanmenstimulasithalamusuntukmengeluarkanenkefalinya ngberfungsisebagaipenghilangrasasakitalamidanmenghasilkanperas aansejahtera(Primadiati,2002).Enkefalinsepertihalnya
endorphin
merupakanzatkimiawiendogen(diproduksiolehtubuh)yangberstrukt urserupadenganopioid(Brunner & sudarth,2002).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Guyton (1990) enkefalin dianggap dapat menimbulkan hambatan presinaptik dan hambatan post sinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C dan tipe delta A dimana mereka bersinaps di kornu dorsalis. Proses tersebut mencapai inhibisi dengan penghambatan saluran kalsium. Selanjutnya, penghambatan tampaknya berlangsung lama karena setelah mengaktivasi sistem analgesia, maka analgesia seringkali berlangsung selama bermenit-menit bahkan berjam-jam.
b) Imajinasi terbimbing Imajinasi terbimbing adalah
upaya untuk menciptakan kesan
dalam pikiran klien, kemudian berkonsentrasi pada kesan tersebut sehingga secara bertahap dapat menurunkan persepsi klien terhadap nyeri. Tindakan ini membutuhkan konsentrasi yang cukup, upaya kondisi lingkungan klien mendukung untuk tindakan ini. Kegaduhan, kebisingan, bau menyengat atau cahaya yang sangat terang perlu dipertimbangkan agar tidak mengganggu klien untuk berkonsentrasi (Prasetyo, 2010). Perawat melatih klien dalam membangun kesan dan berkonsentrasi pada pengalaman sensori. Mula-mula perawat meminta klien untuk memikirkan pemandangan yang menyenangkan atau pengalaman yang meningkatkan penggunaan semua indra. Klien kemudian menjelaskan kesan tersebut dan perawat mencatatnya sehingga catatan tersebut dapat digunakan pada latihan berikutnya (Potter & Perry, 2005). Dengan
mata
terpejam,
pasien
diinstruksikan
untuk
membayangkan bahwa setiap napas yang diekshalasi secara lambat ketegangan otot dan ketidaknyamanan dikeluarkan, menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
tubuh rileks dan nyaman dan setiap kali napas dihembuskan pasien diinstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan membawa pergi nyeri dan ketegangan.
Imajinasi terbimbing
dipraktikkan oleh pasien selama sekitar 5 menit, tiga kali sehari. Selain itu imajinasi terbimbing dapat berfungsi hanya pada beberapa orang (Brunner & Suddarth, 2001). Berikut merupakan contoh bagian latihan imajinasi terbimbing : “ bayangkan diri Anda sekarang berbaring di atas rumput yang hijau, segar, di atas bukit yang indah. Udara sejuk, Anda melihat sekitar Anda bunga sedang bermekaran. Anda melihat ke atas langit cerah, biru, sinar matahari yang redup tidak menyilaukan. Semerbak wangi bunga meneyelimuti, sungguh suasana yang sangat indah” (Prasetyo, 2010). b. Distraksi Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke halhal lain di luar nyeri, yang dengan demikian diharapkan dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Stimulus yang menyenangkan dari luar dapat merangsang sekresi endorphin, sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh pasien berkurang. Peredaan nyeri secara umum berhubungan langsung dengan partisipasi
aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang
digunakan dan minat individu dalam stimulasi, oleh karena itu stimulasi otak akan lebih efektif dalam menurunkan nyeri (Tamsuri, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Adapun distraksi ini meliputi : 1) Distraksi
visual,
misalnya
:
menonton
TV,
melihat
pemandangan. Menonton acara-acara yang humor atau acara yang disukai oleh klien akan menjadi teknik distraksi yang dapat membantu mengalihkan perhatian klien akan nyeri yang ia alami (Prasetyo, 2010). 2) Distraksi auditory, misalnya : mendengarkan suara/ musik yang disukai (Prasetyo, 2010).Musik terbukti menunjukkan efek yaitu menurunkan frekuensi denyut jantung, mengurangi kecemasan dan depresi, menghilangkan nyeri, menurunkan tekanan darah, dan mengubah persepsi waktu. Musik menghasilkan perubahan status kesadaran melalui bunyi, kesunyian, ruang dan waktu. Musik yang dapat memberikan efek terapeutik harus didengarkan minimal 15 menit. Di keadaan
perawatan
akut,
mendengarkan
musik
dapat
memberikan hasil yang sangat efektif dalam upaya mengurangi nyeri postoperasi (Guzetta, 1989 dalam Potter & Perry, 2005). c. Stimulasi kutaneus Stimulasi kutaneus merupakan stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Masase, kompres dingin dan panas, dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS) merupakan langkah-langkah sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri. Salah satu pemikiran adalah bahwa cara ini menyebabkan pelepasan endorfin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Teori gate kontol
Universitas Sumatera Utara
mengatakan bahwa stimulus kutaneus mengaktifkan transmisi serabut saraf sensorik A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A berdiameter kecil. Gerbang sinaps menutup transmisi impuls nyeri (Potter & Perry, 2005). Berikut ini beberapa contoh stimulus kutaneus : 1) Masase Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot. (Brunner & Suddarth, 2001).Slow-stroke back massage adalah tindakan masase punggung dengan usapan yang perlahan selama 310 menit sebanyak 60 kali usapan permenit (Potter & Perry, 2005). Masase punggung ini dapat menyebabkan timbulnya mekanisme penutupan terhadap impuls nyeri saat melakukan gosokan penggung pasien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka sistem
pertahanan
disepanjang
urat
saraf
dan
klien
mempersepsikan nyeri.Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen yaitu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. (Potter & Perry, 2005). 2) Kompres panas dan dingin
Universitas Sumatera Utara
Kompres panas dan dingin dapat menghilangkan nyeri dan meningkatkan proses penyembuhan. (Ceccio, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Kompres panas dan dingin pada tubuh bertujuan untuk meningkatkan perbaikan dan pemulihan jaringan. Kompres panas atau dingin menghasilkan perubahan fisiologis suhu jaringan, ukuran pembuluh darah, tekanan darah kapiler, area permukaan kapiler untuk pertukaran cairan dan elektrolit, dan metabolisme jaringan (Kozier, 2009). Kompres dingin adalah suatu teknik dari stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri dan merupakan langkah sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri. Kompres dingin dapat menghilangkan nyeri dan meningkatkan proses penyembuhan yang mengalami kerusakan. Kompres dingin dapat dilakukan di dekat lokasi nyeri atau di sisi tubuh yang berlawanan tetapi berhubungan dengan lokasi nyeri, hal ini memakan waktu 5 sampai 10 menit. Pengompresan di dekat lokasi aktual nyeri cenderung memberi hasil yang terbaik. Seorang klien dengan merasakan sensasi dingin, terbakar, dan sakit serta baal. Apabila klien merasa baal, maka es harus diangkat (Potter & Perry, 2005). Menurut
Tamsuri
(2007)pada
aplikasi dingin,
selain
memberikan efek menurunkan sensasi nyeri, aplikasi dingin juga memeberikan efek fisiologis seperti : menurunkan respon inflamasi jaringan, menurunkan aliran darah,dan mengurangi edema.
Universitas Sumatera Utara
Menurut kozier (2009) efek fisiologis dari kompres panas yaitu vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler, meningkatkan metabolisme seluler, dan meredakan nyeri dengan merelaksasikan otot. Kompres panas dan dingin pada tubuh dapat berbentuk kering dan basah. Kompres panas kering dapat digunakan secara lokal, untuk konduksi panas, dengan menggunakan botol air panas, bantalan pemanas elektrik, bantalan akutermia, atau kemasan pemanas disposibel. Kompres panas basah
dapat diberikan,
melalui konduksi, dengan cara kompres kasa, kemasan pemanas, berendam, atau mandi (Kozier, 2009). 3) Stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS) TENS (Transkutaneus Electrical Nerve Stimulation) adalah suatu alat yang menggunakan aliran listrik, baik dengan frekuensi rendah maupun tinggi, yang dihubungkan dengan beberapa elektroda pada kutaneus. TENS merupakan prosedur non-invasif, merupakan metode yang aman untuk mengurangi nyeri baik akut maupaun kronis (Tamsuri, 2007). Terdapat penelitian yang menyatakan adanya keefektifan penggunaan TENS dalam penanganan nyeri post operasi (AHCPR, 1992). Teknik ini terbukti pula efektif dalam pengontrolan nyeri pada low back pain kronis, nyeri phantom, nyeri menstruasi, dan yang lainnya (Tamsuri, 2007). d. Akupresur
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan teori obat Asia, yang mengatakan bahwa sutatu kekuatan kehidupan, dalam bentuk energi, bersirkulasi di seluruh tubuh dalam siklus yang didefinisikan dengan benar, akupresur memungkinkan alur energi yang terkongesti untuk meningkatkan kondisi yang lebih sehat.Perawat ahli terapi mempelajari alur energi atau meridian tubuh dan memberi tekanan pada titik- titik tertentu di sepanjang alur (Potter & Perry, 2005). Stimulasi pada titik akupuntur mengaktifkan tiga pusat yaitu spinal cord, midbrain dan pituitari untuk melepaskan neurokimia seperti endorphin, serotonin dan norepinehrin yang mampu memblok pesan nyeri. Selain endorphin, stimulasi pada titik akupuntur juga terjadi pelepasan adrenocorticotropin hormone (ACTH) dari pituitari. ACTH menstimulasi adrenal untuk memproduksi kortisol (Pearl, 1999). Dibawah ini adalah teori terkait mekanisme kerja akupresur. 1)Teori neurotransmitter. Akupuntur mempengaruhi area otak, menstimulilasi sekresi beta-endorphin dan enkepalin pada otak dan spinal cord. Pelepasan neurotransmitter mempengaruhi sistem imun dan sistem antinoceptive. 2) Teori sistem syaraf otonom. Akupuntur menstimulasi pelepasan norepinephrin,
acetylcholine
dan
beberapa
tipe
opoid,
menormalkan sistem syaraf otonom dan mengurangi nyeri. 3)
Teori
gate
control.
Akupuntur
mengaktifkan
reseptor
antinoceptive yang menghambat transmisi sinyal nociceptive pada dorsal horn.
Universitas Sumatera Utara
4) Teori vascular-interstisial akupuntur memanipulasi sistem elektris tubuh dengan menciptakan atau meningkatkan transpor sirkuit
tertutup
pada
jaringan.
Hal
ini
memfasilitasi
penyembuhan yang diikuti oleh transfer material dan energi elektris diantara jaringan yang normal dan jaringan yang terluka. 5) Teori kimia darah. Akupuntur mempengaruhi konsentrasi trigliserida, kolesterol dan phospholipid dalam darah, oleh karena itu akupuntur bisa menaikkan dan menurunkan komponen darah di perifer, dengan cara demikian akupuntur mengatur tubuh menuju homeostasis (National Institute of Health, 1997). Teknik akupresur dilakukan dengan berbagai cara yang aman, tidak melukai kulit atau menyebabkan pecahnya pembuluh darah, yaitu menggunakan beberapa alternatif cara berikut : menggunakan jari jempol, menggunakan beberapa jari tangan yang disatukan, hanya jari telunjuk saja, atau dengan telapak tangan, membuat gerakan cubitan halus, tetapi tidak sampai memar, menepuk-nepuk atau memukulmukul ringan, dan menggosok dengan jari jempol atau telapak tangan (Oka, 2008). e. Hipnosis Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan terhadap klien yang berada dalam kondisi hipnosis. Kata hipnosis berasal dari bahasa yunani, yaitu hypnos yang berarti “tidur”. Seseorang yang berada dalam
Universitas Sumatera Utara
kondisi hipnosis akan menampilkan kecenderungan yang berbeda dibandingkan dengan seseorang yang tidak dalam kondisi hipnosis. Dalam kondisi hipnosis, seseorang cenderung lebih mudah menerima saran atau sugesti ( hiper-sugestion). Dengan sugesti penyembuhan (hypno-therapeutic), hipnoterapis bisa memodifikasi perilaku klien, dari emosional, sikap, hingga berbagai macam kondisi, seperti kebiasaan buruk, kecemasan, stres yang berhubungan dengan penyakit akut maupun kronis, manajemen rasa sakit dan nyeri, serta pengembangan pribadi manusia (Hakim, 2010) Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosis-diri menggunakan sugesti-diri dan kesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondisi-kondisi yang menghasilkan respon tertentu bagi mereka (Edelman dan mandel dalam Potter & Perry, 2005). Hipnosis-diri sama seperti dengan melamun . Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stress karena individu berkonsentrasi hanya pada satu pikiran. (Potter & Perry, 2005).
Universitas Sumatera Utara