Wajibkan Perusahaan Tambang Simpan Devisa di Dalam Negeri Written by David Dwiarto Wednesday, 11 September 2013 04:48 - Last Updated Wednesday, 11 September 2013 04:58
Oleh Agustiyanti dan Grace Dwitiya Amianti
JAKARTA. Guna meredam pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, pemerintah diminta mengeluarkan sejumlah ketentuan, salah satunya mewajibkan perusahaan-perusahaan di Indonesia menyimpan devisanya di dalam negeri. Hal itu dapat dimulai dari perusahaan-perusahaan pertambangan yang beroperasi di Tanah Air.
"Perusahaan tambang itu kan mengambil barang tambang dari tanah kita, dari perut bumi Indonesia. Maka mereka harus menyimpan devisanya di Indonesia. Harus dimulai dari situ," kata Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia, Didik J Rachbini, usai diskusi Kadin tentang perkembangan situasi ekonomi dan keuangan, di Jakarta, Jumat (6/9).
Menurut Didik, langkah lain yang bisa ditempuh pemerintah adalah meminta perusahaan-perusahaan BUMN yang mengimpor barang modal dalam jumlah besar, menunda sementara impornya. "Untuk memperbaiki nilai tukar dalam waktu cepat, Pak Dahlan (Menteri BUMN Dahlan Iskan, red) mesti diminta cuti kampanye satu bulan. Panggil direksi-direksi BUMN, tanyakan proyek-proyek yang menggunakan dolar AS, kemudian minta mereka untuk menundanya sementara," ujar dia.
Jika dilakukan secara konsisten dan masif, kata dia, kebijakan tersebut bisa membantu mengembalikan rupiah ke level fundamentalnya pada kisaran Rp 10.000 per dolar AS.
"Permintaan dolar BUM N, kalau ada yang bisa ditunda, sebaiknya ditunda. Penurunan barang modal memang bisa sedikit mengganggu pertumbuhan ekonomi. Tapi tidak apa-apa pertumbuhan ekonomi agak direm, yang penting rupiah lebih stabil," tandas dia.
Dia menambahkan, pemerintah juga perlu mempercepat implementasi kebijakan man-datori penggunaan biofuel dan mempercepat proses migrasi bahari bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG).
1/5
Wajibkan Perusahaan Tambang Simpan Devisa di Dalam Negeri Written by David Dwiarto Wednesday, 11 September 2013 04:48 - Last Updated Wednesday, 11 September 2013 04:58
Jika konsumsi BBM bisa ditekan, impor akan berkurang, sehingga kebutuhan dolar AS untuk mengimpor minyak mentah dan BBM pun bisa dipangkas.
Didik Rachbini mengungkapkan, pelemahan rupiah terjadi akibat lambatnya penetapan kebijakan fiskal terkait kenaikan harga BBM bersubsidi oleh DPR dan pemerintah. Kondisi itu diperparah oleh struktur industri nasional yang rapuh. Kebutuhan bahan baku, barang antara, dan barang modal masih dipenuhi dari impor. "Dengan adanya masalah suplai (produksi) ini, Indonesia harus mengimpor dalam jumlah besar," tutur dia.
Menurut Didik, persoalan-persoalan mendasar itu harus segera diselesaikan pemerintah. "Kalau sisi ekonomi yang lemah itu tidak secepatnya dibereskan, diselesaikan, dan dilindungi, sendi-sendi perekonomian nasional bakal rontok semua," tegas dia.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi sebelumnya menjelaskan, pemerintah sedang mengkaji kemungkinan menunda impor barang modal perusahaan-perusahaan BUMN yang tidak terlalu berpengaruh pada produktivitas BUMN-BUMN tersebut Penundaan impor barang modal antara Iain dapat dilakukan terhadap impor produk lokomotif dan pesawat terbang yang nilai impornya sangat besar.
"Impor BUMN nilainya besar, seperti lokomotif dan pesawat Apa bisa itu dijadwalkan ulang, kami sedang melakukan pembicaraan intensif terkait hal itu," tutur Bayu.
Bayu menambahkan, jika ada barang modal yang impornya dapat ditunda hingga tahun depan, hal ituakan turut membantu menekan impor, sehingga kebutuhan dolar AS berkurang. Dengan begitu pula, rupiah dapat menguat kembali. "Jika impor tidak dapat ditunda karena dianggap menganggu produktivitas, penundaan bisa dilakukan dari sisi pembayarannya (financing)," ucap dia.
Menteri BUMN Dahlan Iskan menanggapi positif usulan tersebut "Impor pesawat itu meskipun jumlahnya sedikit memang memakan devisa yang besar. Saya mendukung usulan penundaan impor pesawat" ujar Dahlan.
2/5
Wajibkan Perusahaan Tambang Simpan Devisa di Dalam Negeri Written by David Dwiarto Wednesday, 11 September 2013 04:48 - Last Updated Wednesday, 11 September 2013 04:58
Tidak Adil
Secara terpisah, Pit Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bambang Brodjonegoro menuturkan, kebijakan penundaan impor barang modal bagi perusahaan-perusahaan BUMN kemungkinan hanya akan bersifat imbauan. Kebijakan ini juga harus dibicarakan dengan perusahaan bersangkutan.
Penundaan tersebut, menurut dia, harus dilakukan dengan mempertimbangkan prioritas kebutuhan barang modal masing-masing perusahaan BUMN. "Misalnya Garuda ingin mengimpor pesawat boeing 777-300ER untuk penerbangan langsung ke London, tapi ternyata infrastrukturnya belum siap. Impor seperti ini yang bisa ditunda. Seharusnya yang diutamakan impor itu yang begitu datang bisa langsung menghasilkan atau produktif," papar dia.
Bambang menambahkan, penundaan impor barang modal di perusahaan-perusahaan BUMN dapat dilakukan sejauh tidak menganggu produktivitas BUMN bersangkutan. Namun, perlu pula diperhatikan, kebijakan penundaan itu jangan sampai menimbulkan ketidakadilan yang dapat menurunkandaya saing perusahaan BUMN dalam berkompetisi dengan swasta.
"Masalahnya, BUMN seperti Garuda disuruh menunda pembelian pesawat padahal Garuda harus bersaing secara terbuka dengan maskapai penerbangan swasta. Kalau maskapai swasta boleh impor, ini tentu tidak adil," ujar dia.
Untuk itu, menurut dia, penundaan impor barang modal oleh perusahaan BUMN sebaiknya hanya bersifat himbauan. "Pemerintah pun akan berupaya memperbaiki defisit neraca perdagangan dengan mengendalikan impor barang mewah," tutur dia.
Perbaiki Suplai Barang
Sementara itu, Guru Besar Universitas Padjadjaran Ina Primiana mengungkapkan, defisit neraca transaksi berjalan (neraca perdagangan dan neraca jasa) yang memicu pelemahan
3/5
Wajibkan Perusahaan Tambang Simpan Devisa di Dalam Negeri Written by David Dwiarto Wednesday, 11 September 2013 04:48 - Last Updated Wednesday, 11 September 2013 04:58
rupiah selama ini terjadi akibat permasalahan struktural dari sisi suplai barang.
"Perlu dilakukan sejumlah perbaikan pada sisi suplai barang. Sebenarnya masalah utamanya adalah demand yang tidak dapat dipenuhi dari sisi suplai, sehingga kita harus impor barang dalam jumlah besar," ucap dia.
Menurut Ina, pemerintah harus memperkuat industri nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan usaha, seperti yang menyangkut perizinan, infrastruktur, konektivitas, dan buruh. Pemerintah juga harus mendorong hilirisasi dengan menerapkan sistem manajemen rantai pasok. "Selain itu, untuk menekan ekonomi biaya tinggi, sistem logistik harus dibenahi," ujar dia.
Di sisi lain, menurut Ina Primiana, pemerintah perlu mengevaluasi berbagai perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dan perjanjian kemitraan ekonomi (economic partnership agreement/EPA), baik secara bilateral maupun regional. "Kalau FTA atau EPA itu ternyata merugikan Indonesia, ya harus ditinjau ulang atau bahkan dibatalkan," tegas dia.
Cadangan Devisa Naik
Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah cadangan devisa (cadev) per akhir Agustus 2013 mencapai US$ 93 miliar, naik US$ 300 juta dibandingkan posisi akhir Juli 2013 sebesar USS 92,7 miliar. Posisi tersebut setara lima bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Namun, jika hanya dibandingkan dengan impor, posisi cadev itu setara 5,2 bulan impor
"Sebenarnya cadev naik stabil, sedikit naik karena penerimaan devisa lebih besar dari outflow secara netto," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bisnis Indonesia, Difi Ahmad Johansyah, di Jakarta, kemarin.
Menurut Difi, jumlah cadev tersebut masih cukup untuk menghadapi tekanan pada neraca pembayaran. Namun, masih tingginya tekanan dan ketidakpastian perekonomian global ke depan memerlukan langkah-langkah antisipasi. Respons yang ditempuh bank sentral dalam
4/5
Wajibkan Perusahaan Tambang Simpan Devisa di Dalam Negeri Written by David Dwiarto Wednesday, 11 September 2013 04:48 - Last Updated Wednesday, 11 September 2013 04:58
menghadapi gejolak eksternal di antaranya menerapkan bauran kebijakan, termasuk bantaian kecukupan cadev secara berlapis (second line of defense).
Dia menambahkan, BI juga telah menandatangani perpanjangan Bilateral Swap Agreement (BSA) dengan Bank of Japan (BoJ) sebesar US$ 12 miliar. BoJ bertindak sebagai agen menteri keuangan Jepang. Perjanjian itu berlaku efektif mulai 31 Agustus 2013. "Pembahasan untuk kerja sama serupa sedang dilakukan dengan bank-bank sentral di kawasan," ujar Difi.(es/az)
Sumber : Investor Daily, 09 September 2013
5/5