Workshop Monitoring
Teknologi Mitigasi dan Adaptasi Terkait Perubahan Iklim Surakarta, 8 Desember 2011
BALAI BESAR LITBANG SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2011
0
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
Muhammad Noor Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Jl. Kebun Karet, Lokatabat Utara, Banjarbaru Telp/fax 0511 4772534-email
[email protected] RINGKASAN
Lahan gambut yang maha luas sekitar 17-20 juta hektar ini oleh sebagian pihak dipandang sebagai sumber daya alam yang sangat potensial untuk dimanfaatkan dan dkembangkan sebagaimana sumber daya lahan lainnya, tetapi oleh sebagian pihak lain dipandang penting dipertahankan karena fungsinya sebagai penyangga lingkungan . Lahan gambut menjadi isu hangat dalam sepuluh tahun terakhir ini seiring dengan isu perubahan iklim berkenaan dengan pemanfaatan lahan gambut yang semakin luas untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pemanfaatan lahan gambut sendiri untuk pertanian sudah sejak lama oleh masyarakat lokal. Pilihan untuk memanfaatkan lahan gambut tersebut karena keterbatasan sumber daya lahan yang dimiliki, sementara akses ke sumber daya lahan lainnya hampir tidak memungkinkan. Dari generasi ke generasi, pengalaman dan pengetahuan dalam pemanfaatan lahan gambut baik kegagalan maupun keberhasilan diwariskan secara turun temurun melalui tradisi lisan dari mulut ke mulut sehingga menjadi pembelajaran dan merupakan sumber pengetahuan empirik dalam perencanaan pengelolaan lahan gambut ke depan. Tulisan ini merupakan rangkuman serangkaian hasil penelitian tentang pengetahuan atau kearifan lokal dalam hubungannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut di beberapa daerah antara lain Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah; Kalimantan Barat, Riau, dan Sulawesi Barat antara tahun 1999 sampai 2008.
Makalah disampaikan pada Workshop Monitoring Teknologi Mitigasi dan Adaptasi Terkait Perubahan Iklim, Surakarta, 8 Desember 2011 1
I. PENDAHULUAN Lahan gambut dikenal sebagai lahan marjinal atau sub-optimal (piasan) yang mempunyai sifat-sifat fisik, kimia dan biologi, termasuk lingkungan sekitarnya kurang baik untuk dikembangkan, khususnya untuk pertanian. Namun dengan perbaikan dan perlakuan khusus lahat gambut dapat menjadi lahan produktif yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai pengembangan komoditas seperti padi, sayurmayur, tanam tahunan, ikan, ternak dan lainnya. Lahan gambut yang maha luas sekitar 17-20 juta hektar ini oleh sebagian pihak dipandang sebagai sumber daya alam yang sangat potensial untuk dimanfaatkan dan dkembangkan sebagaimana sumber daya lahan lainnya, tetapi oleh sebagian pihak lain dipandang penting dipertahankan karena fungsinya sebagai penyangga lingkungan sekitarnya yang apabila dibuka akan menimbulkan masalah lingkungan yang sangat merugikan antara lain meningkatnya emisi gas rumah kaca, hilangnya sumber daya air, dan meluasnya degradasi lahan. Ekosistem lahan gambut dikenal unik dan multitalenta mempunyai keragaman hayati (biodiversity) sangat tinggi, sebagai tempat produksi dan pengembangan hayati, memiliki fungsi hidrologi alami, dan sebagai pengendali iklim global dan setempat. Pemanfaatan lahan gambut sendiri untuk pertanian sudah sejak lama oleh masyarakat lokal setempat secara terbatas untuk menopang kehidupan mereka. Pilihan untuk memanfaatkan lahan gambut tersebut karena keterbatasan sumber daya lahan yang dimiliki, sementara akses ke sumber daya lahan lainnya hampir tidak memungkinkan. Dari generasi ke generasi, pengalaman dan pengetahuan dalam pemanfaatan lahan gambut baik kegagalan maupun keberhasilan diwariskan secara turun temurun melalui tradisi lisan dari mulut ke mulut sehingga menjadi pembelajaran dan merupakan sumber pengetahuan empirik dalam perencanaan pengelolaan lahan gambut ke depan. Semakin luasnya pemanfaatan lahan gambut juga tidak lepas dari kebijakan pemerintah tentang perluasan areal pertanian pada tahun-tahun 1969-1991 dan 1995-1999 yang pertama dikenal dengan Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) dan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuuta Hektar di Kalimantan Tengah yang dilatarbelakangi oleh kondisi pangan yang sangat merisaukan dengan impor beras yang cukup besar mencapai lebih 2 juta ton per tahun. Pada awalnya pemerintah merencanakan pembukaan lahan rawa di Sumatera dan Kalimantan seluas 5,25 juta hektar selama kurun waktu 15 tahun (1968-1984) untuk persawahan pasang surut (Dir Pertanian Rakyat, 1968). Namun sampai tahun 1991 luas lahan rawa yang berhasil dibuka oleh pemerintah hanya mencapai 1.242.500 hektar dan oleh masyarakat setempat secara swadaya mencapai 2.537.500 juta hektar. Sampai tahun 1995, luas lahan rawa yang telah dibuka atau direklamasi baru sekitar 4,19 juta hektar, diantaranya 1,53 juta hektar dibuka oleh pemerintah dan 3,0 juta hektar oleh maysrakat setempat secara swadaya. Dari keseluruhan luas lahan yang dibuka oleh pemerintah dimanfaatkan antara lain untuk sawah 688,74 ribu hektar, tegalan 231,04 ribu hektar, 261,09 ribu hektar untuk lain-lain, termasuk tambak . Sementara lahan rawa yang dibuka masyarakat setempat umumnya untuk pengembangan tanaman padi atau sawah (Balittra, 2001; Noor, 2004). Apabila lahan Proyek PLG Sejuta Hektar di Kalteng dimasukan sebagai lahan yang telah dibuka, maka luas lahan rawa yang telah dibuka mencapai sekitar 5 juta hektar. Namun sayang, sumbangan lahan rawa terhadap peningkatan produksi pertanian, khususnya pangan masih rendah. 2
Diperkirakan pasokan pangan dari lahan rawa berkisar antara 600-800 ribu ton gabah, pada hal apabila dioptimalkan dari lahan yang telah dibuka di atas dapat menyumbangkan tambahan produksi beras setara 3-5 juta ton gabah per tahun (Badan Litbang Pertanian, 2011). Lahan gambut menjadi isu hangat dalam sepuluh tahun terakhir ini seiring dengan isu perubahan iklim berkenaan dengan pemanfaatan lahan gambut yang semakin luas untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Diperkirakan 20% dari luas tanaman perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia berada di lahan gambut. Apabila luas lahan kelapa sawit di Indonesia sekarang mencapai 7,2 juta ha (tahun 2009), maka luas lahan gambut yang dikembangkan untuk perkebunan sawit mencapai 1,5 juta hektar. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dituding dapat meningkatkan emisi GRK yang akan memicu perubahan iklim. Indonesia telah menyepakati penurunan emisi GRKnya sebesar 9,5-13% dari lahan gambut pada tahun 2020 sebagai bentuk appresiasi terhadap perubahan iklim yang dilanjuti dengan terbitnya Inpres No 10/2011 tentang moratorium (penghentian sementara) pembukaan hutan dan lahan gambut merupakan implementasi dari kesepakatan di atas yang sebetulnya masih menjadi perdebatan dalam masyarakat (IPB, 2010). Tulisan ini merupakan rangkuman serangkaian hasil penelitian tentang pengetahuan atau kearifan lokal dalam hubungannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut di beberapa daerah antara lain Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah (1999, 2004); Kalimantan Barat (2006), Riau (2007), dan Sulawesi Barat (2008). II. KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN LAHAN Kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan gambut dapat ditunjukkan pada (1) sistem mata pencaharian, (2) sistem pemilihan tempat usaha bertani, dan (3) pola usaha tani dan komditas pilihan yang dipengaruhi oleh persepsi individual atau kelompok dalam menyikapi kondisi lahan dan lingkungannya. 2.1. Sistem Mata Pencaharian Mata pencaharian sebagai petani lebih banyak merupakan warisan dari generasi ke generasi. Petani di lahan gambut atau rawa umumnya mempunyai mata pencaharian rangkap artinya sebagai petani dapat sekaligus sebagai pencari ikan, peternak itik atau kerbau rawa, atau buruh tani. Pilihan mata pencaharian tersebut disesuaikan dengan kondisi alam setempat sehingga kadang-kadang sebagai individu dapat sebagai petani yang mengusahakan lahannya pada saat musim kemarau, tetapi pada waktu dan kesempatan lain dapat sebagai pencari ikan atau peternak itik pada saat kondisi lahannya tergenang, dan juga adakalanya merantau sebagai pedagang pada saat paceklik atau banjir. Berbeda dengan petani Jawa (transmigran) yang sangat intensif dalam mengusahakan sawahnya. Hampir semua waktunya dicurahkan untuk usaha tani di sawahnya. Petani lokal lahan gambut menaman banyak macam tanaman dari tanaman semusim (pangan) sampai tanaman tahunan. Sistem mata pencaharian ini disebut juga sebagai pertanian campuran (Hidayat, 2000). Pilihan-pilihan pekerjaan usaha yang beragam dan luwes tersebut merupakan upaya penyesuaian terhadap alam dengan cara menghindar (escape mechanism) sebagai kebalikan dari upaya 3
menantang terhadap kondisi alam yang tidak menentu dan sulit dihadapi serta ketidak berdayaan dalam menantang alam. Sistem mata pencaharian yang multi usaha di atas juga dimasudkan untuk mempertahankan keberlanjutan dalam pemenuhan kebutuhan di daerah yang kondisinya tidak menentu dan menghindari risiko kegagalan secara total.
4
FULL PAPER Email :
[email protected] Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) Jl. Kebun Karet PO BOX 31, Loktabat Utara, Banjarbaru, Indonesia Telp/Fax. (0511) 4772534/4773034
5