ANALISIS KEBIJAKAN LAND USE LAND USE CHANGE FORESTRY (LULUCF) DAN SKENARIO ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Bejo Slamet Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Abstrak Kontribusi sektor kehutanan dari target penurunan emisi 26% yang dicanangkan Pemerintah Indonesia adalah sebesar 14% atau 52% dari total penurunan emisi yang 26%. Kegiatan penggunaan lahan serta alih guna lahan dan kehutanan (LULUCF = Land Use, Land Use Change and Forestry) di Indikasikan termasuk yang paling besar dalam mempengaruhi perubahan iklim (PI). Pembangunan yang dilakukan dalam kaitannya dengan PI dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu upaya mitigasi dan upaya adaptasi. Upaya Pemerintah Indonesia dalam mitigasi dan adaptasi iklim patut dihargai, namun ada kecenderungan kebijakan lebih banyak ditentukan oleh pengaruh tekanan pihak luar/asing. Posisi terbaik Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global dalam merespon perubahan iklim, khususnya yang terkait dengan LULUCF adalah sikap bahwa ada maupun tidak ada isu perubahan iklim adalah dengan penerapan Sustainable Forest Management (SFM) maupun Sustainable Natural Resources Management (SNRM). Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan itu akan dapat tercapai jika Pemerintah secara maksimal bisa menjamin terlaksananya SFM maupun SNRM dengan serius dan berkomitmen. Kata Kunci : LULUCF, mitigasi, adaptasi, perubahan iklim.
Pendahuluan Tahun 2011 telah dicanangkan sebagai “The International Year of Forests” oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Momentum ini dibangun berdasarkan hasil dari arena internasional lainnya, seperti yang berkaitan perubahan iklim dan keragaman hayati untuk menarik perhatian yang lebih besar bagi hutan di seluruh dunia (FAO 2011). Hutan memainkan peran penting dalam siklus karbon global (C). Pertumbuhan pohon di dalam hutan berfungsi sebagai sarana penting untuk menangkap dan menyimpan C02 dari atmosfer ke dalam vegetasi, tanah dan hasil hutan. Ekosistem terestrial berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara karbon sampai karbon ini dilepaskan lagi ke atmosfer karena gangguan antropogenik maupun gangguan alamiah, dan produk hutan serta serasah dapat membusuk selama jangka waktu tertentu. Fitur penyimpanan karbon yang temporal pada hutan ini menunjukkan bahwa hutan berfungsi menyerap karbon untuk jangka waktu tertentu, sehingga memungkinkan penerapan opsi yang lebih permanen dalam rangka menghindari emisi gas rumah kaca (GRK) dan stabilisasi perubahan iklim (Sathaye 2001). Hutan memiliki 3 hubungan yang unik dengan perubahan iklim global. Hutan secara simultan merupakan sesuatu yang dapat terkena resiko dari dampak perubahan iklim, dilain pihak hutan juga dapat menjadi bagian yang menyebabkan perubahan iklim global, namun hutan juga dapat menjadi solusi. Beragam model iklim mengindikasikan 1
bahwa beragam hutan akan menghadapi perubahan rejim suhu dan hutan di masa mendatang, kenaikan tingkat dan keparahan kebakaran hutan dan faktor-faktor lainnya yang dapat mengakibatkan perubahan komposisi dan distribusi hutan dalam skala luas. Pada saat yang sama, hutan juga berperan dalam mengeluarkan emisi ke atmosfer. Akhirnya, kegiatan konservasi dan restorasi hutan dapat secara signifikan meningkatkan kontribusi penurunan emisi atau mitigasi emisi GRK. Proyek yang didesain dengan baik dan dapat diimplementasikan untuk menurunkan laju deforestasi dan meningkatkan laju serapan CO2 melalui tanaman baru akan dapat menghasilkan secara nyata, terukur dan keuntungan iklim jangka panjang (Vrolijk & Niles 2002). Kondisi Kehutanan Indonesia Mengenai kondisi hutan, penurunan penutupan lahan paling tinggi di Indonesia terjadi pada periode waktu 1997 – 2000, yakni seluas 2,83 juta ha (kawasan hutan dan non kawasan hutan) per tahun dengan laju penurunan tertinggi terjadi di pulau Sumatera yakni 1,15 juta ha per tahun, kemudian disusul oleh Kalimantan 1,12 juta ha per tahun, Sulawesi 692 ribu ha per tahun, Maluku 294 ribu ha per tahun, dan Papua 156 ribu ha per tahun. Laju penurunan penutupan hutan tersebut di atas menurun pada periode 2000 – 2005 menjadi sebesar 1,08 juta ha per tahun (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007). Penutupan vegetasi hutan yang terus menurun dari waktu ke waktu adalah akibat konversi lahan hutan untuk penggunaan lainnya (pengembangan kabupaten baru, pertanian, perkebunan, pembangunan pemukiman, dan prasarana wilayah), perambahan, over cutting, illegal logging, dan kebakaran hutan. Konversi lahan tersebut menyebabkan terjadinya deforestasi, sedangkan perambahan dan lain-lain menyebabkan degradasi (penurunan kualitas) hutan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007). Dalam kaitannya dengan mitigasi terhadap perubahan iklim, dikenal istilah Land use, land-use change, and forestry (LULUCF) yaitu sektor inventarisasi gas rumah kaca yang meliputi emisi dan pemindahan gas rumah kaca yang berasal dari aktivitas pemanfaatan lahan secara langsung oleh manusia, perubahan lahan dan kehutanan. Dalam perkembangannya kemudian dikenal Agriculture, Forestry and Other Land Uses (AFOLU) yang merupakan istilah yang direkomendasikan oleh IPCC Guidelines (2006) sebagai istilah baru yang meliputi LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) dan ditambah dengan kegiatan pertanian (Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan 2010). Penurunan penutupan vegetasi hutan memberikan kontribusi terhadap rendahnya penyerapan dan penyimpanan Gas Rumah Kaca (GRK). Sedangkan peningkatan emisi diakibatkan oleh proses pembangunan dan industri berbahan bakar migas (BBM) yang semakin meningkat dan kegiatan penggunaan lahan serta alih guna lahan dan kehutanan (LULUCF = Land Use, Land Use Change and Forestry). Hasil studi oleh Stern (2007) untuk tingkat dunia, menunjukkan sumber emisi terbesar berasal dari sektor energi yaitu pembangkit listrik 24%, industri 14%, transportasi 14%, konstruksi 8% dan sumber energi lain 5%. Emisi dari sektor non energi yaitu perubahan lahan termasuk kehutanan 18%, pertanian 14% dan limbah 3%. Di Indonesia, sektor kehutanan mengemisi gas rumah kaca yang cukup besar, sekitar 48% emisi GRK di Indonesia dihasilkan dari sektor LULUCF (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2009). 2
Kehutanan dan Perubahan Iklim Kontribusi sektor kehutanan dari target penurunan emisi 26% yang dicanangkan Pemerintah Indonesia adalah sebesar 14% atau 52% dari total penurunan emisi yang 26% tersebut. Kegiatan sektor kehutanan yang terkait dengan mitigasi perubahan iklim pada prinsipnya dapat dibedakan kedalam tiga kategori utama yaitu peningkatan serapan karbon (upaya penanaman), konservasi karbon hutan (mempertahankan cadangan karbon yang ada pada hutan dari kehilangan akibat deforestasi, degradasi dan akibat praktek manajemen lainnya) dan memanfaatkan biomas sebagai pengganti bahan bakar fosil secara langsung melalui produksi energi biomas atau secara`tidak langsung melalui substitusi bahan yang industrinya menggunakan bahan bakar fosil (Trexler et al. 2000 dalam Boer 2001). Kegiatan konservasi meliputi perlindungan hutan dari kegiatan perambahan dan perusakan akibat aktivitas manusia. Peningkatan penambatan karbon (rosot) dilakukan melalui kegiatan perluasan luas hutan dengan penanaman pohon di lahan kritis, gundul atau semak belukar dalam kawasan hutan dan bukan hutan serta pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem pengelolaan yang berkelanjutan. Penggantian bahan bakar fosil dengan energi biomassa akan mengurangi emisi GRK secara langsung akibat dari penurunan tingkat konsumsi bahan bakar fosil dan penanaman lahan kosong untuk memproduksi biomassa (Boer et al. 2009). Sejumlah tantangan yang dihadapi dalam mengelola hutan untuk pengurangan emisi mencakup identifikasi dan pengelompokan lahan yang memiliki cadangan karbon yang besar secara jelas, termasuk hutan dan lahan gambut di luar kawasan hutan, dan menerapkan berbagai kebijakan secara konsisten, tanpa melihat lembaga apa yang memiliki yurisdiksi atas suatu areal. Kawasan hutan mencakup 71% dari luasan daratan keseluruhan Indonesia; sepertiganya tertutup oleh hutan primer, sepertiga oleh daerah bekas tebangan, dan sepertiga lagi tertutup vegetasi selain hutan (Tabel 1). Tabel 1. Klasifikasi penutupan lahan oleh Kementerian Kehutanan Indonesia dan perubahan yang diprediksi dengan laju deforestasi saat ini Hutan
NonHutan
Total a
Laju deforestasi 2003–2006
Laju deforestasi tahunan relatif
Hutan yang tersisa s.d tahun 2020
39,3
132,4
761,2
0,84
79,4
Status Kawasan
Total
90,1
Total keseluruhan 98,5 85,8 187,8 1174,1 1,19 82,0 a Ketidaksesuaian jumlah total terjadi karena piksel yang terhalang oleh tutupan awan atau data tidak tersedia. Sumber: Kementerian Kehutanan 2009 dalam Verchot et al. 2010
3
Gambar 1. Sumber-Sumber Emisi Dunia (Stern, 2007) Lahan hutan yang berada di luar kawasan hutan relatif sedikit. Laju deforestasi di kawasan ini lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan deforestasi di dalam Kawasan Hutan. Deforestasi dari kawasan ini bertanggung jawab atas 35% dari deforestasi tahunan yang terjadi di Indonesia. Berbagai kebijakan yang terkait dengan areal-areal hutan ini berada di bawah yurisdiksi beberapa lembaga dengan mandat dan prioritas yang berbeda. Karena itu, bagaimana bentuk pemanfaatan lahan, metode yang digunakan untuk mengukur nilai lahan, termasuk nilai karbonnya, dan tekanan perubahan tutupan lahan akan bergantung pada lembaga yang memiliki yurisdiksi atas lahan tersebut. Data yang konsisten tentang hutan bercadangan karbon tinggi dan berbagai kebijakan untuk memaksimumkan potensinya dalam rangka pengurangan emisi menuntut koordinasi antar lembaga yang kuat dan penyejajaran berbagai tujuan dan kegiatan di dalam bidangbidang yang bersangkutan (Verchot et al. 2010). Laju deforestasi tahunan di Indonesia sebesar 1,2 juta hektar per tahun (Kementerian Kehutanan 2009) dan sebagian besar dipicu oleh perluasan perkebunan dan hutan tanaman untuk keperluan produksi bubur kayu. Perluasan pertanian untuk produksi pangan berkontribusi lebih sedikit namun proporsinya lebih penting. Jika laju deforestasi terus berlanjut dengan laju sekarang, hutan akan hilang dari daerah bukan kawasan hutan dalam waktu sekitar 20 tahun mendatang dan dari hutan produksi dan konversi dalam sekitar 100 tahun mendatang (Tabel 1). Perkiraan lainnya menunjukkan bahwa dengan laju deforestasi saat ini semua areal hutan akan lenyap dalam 50 tahun mendatang. Salah satu cara untuk menghindari akibat ini dan tetap melanjutkan perluasan lahan pertanian dan hutan tanaman adalah dengan menggunakan lahan hutan kritis untuk areal penanaman baru (Verchot et al. 2010). Luas lahan kritis di Indonesia sangat besar dan sangat membutuhkan rehabilitasi. Sekitar 41% dari areal hutan di Indonesia (77,8 juta hektar) dalam kondisi terdegradasi (Gambar 1). Menurut Kementerian Kehutanan, lahan terdegradasi adalah lahan yang telah rusak berat karena hilangnya tutupan vegetasi dan yang telah mengalami 4
kehilangan sebagian besar fungsi ekosistemnya, termasuk pengendalian erosi, penyimpanan air, siklus hara, pengaturan iklim dan penyimpanan karbon. Definisi yang saat ini diterapkan oleh Kementerian Kehutanan adalah berdasarkan pada volume tegakan yang berada di bawah ambang batas produktivitas, adapun fungsi ekosistem yang sebenarnya lebih banyak dari hanya sekedar produktifitas kayu tidak ikut dinilai. Lahan terdegradasi dapat dikategorikan sebagai agak kritis, kritis dan sangat kritis (Gambar 2). Data statistik untuk lahan kritis dan sangat kritis tersedia sampai dengan tahun 2006 dan menunjukkan bahwa sekitar 35% dari luas lahan ini berada di dalam Kawasan Hutan. Karena itu, sebagian besar proporsi ‘degradasi’ selain deforestasi terjadi di luar kawasan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan (Verchot et al. 2010). Klasifikasi lahan kritis tersebut perlu ditinjau ulang jika suatu praktik perencanaan tata ruang yang seksama akan dilaksanakan, khususnya di areal yang berada di luar kawasan hutan. Karena klasifikasi didasarkan pada volume tegakan, sebagian besar lahan yang digunakan secara produktif untuk penggunaan lain oleh masyarakat diklasifikasikan sebagai terdegradasi. Selain itu, fungsi ekosistem dalam definisi tersebut memiliki ambang batas yang berbeda dalam hal tingkat kehilangan vegetasi. Karena itu, keabsahan korelasi yang diasumsikan antara volume tegakan dan fungsi ekosistem untuk semua pelosok wilayah negara masih tidak jelas. Perencanaan untuk perluasan areal penanaman di atas lahan yang dikategorikan sebagai lahan kritis oleh Kementerian Kehutanan dan berada di luar kawasan hutan haruslah memperhitungkan berbagai dampak kegiatan seperti ini pada masyarakat lokal dan penduduk asli (Verchot et al. 2010).
Gambar 2. Proporsi penutupan lahan dan lahan terdegradasi terhadap luas daratan total Indonesia (Kementerian Kehutanan 2009 dalam Verchot et al. 2010) 5
Namun demikian, menghindari konversi hutan menjadi areal penanaman lainnya tetap penting, karena sebagian besar dari 22 juta hektar lahan yang dicadangkan untuk pengembangan areal penanaman baru oleh Kementerian Kehutanan merupakan lahan berhutan. Menjadikan kategori pemanfaatan lahan ini sebagai target untuk penanaman akan mengurangi potensi serapan emisi nasional dan dapat mengakibatkan defisit karbon yang tinggi dalam beberapa dekade ke depan (Verchot et al. 2010).
Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Berkaitan dengan perubahan-perubahan iklim maka upaya-upaya pembangunan yang dilakukan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu upaya mitigasi dan upaya adaptasi (Riandi 2008). Upaya Mitigasi bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan karbon dan pengurangan emisi gas-gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer yang berpotensi menipiskan lapisan ozon. Untuk itu, upaya mitigasi terutama difokuskan untuk 2 (dua) sektor, yaitu : (1) sektor kehutanan sebagai sumber mekanisme carbon sink (pemeliharaan hutan berkelanjutan, pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, pencegahan illegal logging, pencegahan kebakaran hutan dan lahan); serta (2) sektor energi untuk mengurangi emisi GRK yang berasal dari pembangkitan energi, transportasi, industri, perkotaan dan lahan gambut. Mitigasi adalah usaha menekan penyebab perubahan iklim, seperti gas rumah kaca dan lainnya agar resiko terjadinya perubahan iklim dapat diminimalisir atau dicegah. Upaya mitigasi dalam bidang energi di Indonesia, misalnya dapat dilakukan dengan cara melakukan efisiensi dan konservasi energi, mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan, seperti biofuel, energi matahari, energi angin dan energi panas bumi, efisiensi penggunaan energi minyak bumi dan mengoptimalkan energi pengganti minyak bumi, dan penggunaan energi Nuklir. Contoh upaya mitigasi yang lain dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air antara lain; teknologi modifikasi cuaca (TMC) dengan penaburan material semai (seeding agent) berupa powder atau flare, usaha rehabilitasi waduk dan embung, alokasi air melalui operasi waduk pola kering, pembangunan jaringan irigasi, penghijauan lahan kritis dan sosialisasi gerakan hemat air, peningkatan kehandalan sumber air baku, peningkatan pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA), pengembangan teknologi pengolahan air tepat guna, pembangunan dan rehabilitasi waduk dan embung serta pembangunan jaringan irigasi. Dalam rangka mencapai komitmen penurunan emisi GRK tersebut, Pemerintah Indonesia telah melakukan identifikasi sektor-sektor dan aktivitas yang berpotensi untuk menyumbangkan penurunan emisi, yang secara resmi akan diformalkan dalam bentuk Peraturan Presiden mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi (Abdini & Adyawarman 2010). Secara garis besar strategi penurunan emisi GRK tersebut akan dilakukan melalui: Pengelolaan lahan gambut secara lestari. Pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan. Pengembangan penyerapan karbon di sektor kehutanan dan pertanian. Pengurangan limbah padat dan cair. Mendorong efisiensi energi dan penggunaan teknologi rendah karbon. 6
Pengembangan alternatif sumber energi terbarukan. Perubahan menuju moda transportasi rendah emisi. Berdasarkan sumber emisi GRK yang dominan di Indonesia, maka sektor kehutanan dan pengelolaan lahan gambut merupakan sektor yang potensial untuk menurunkan tingkat emisi degan ditunjang oleh 5 sektor lainnya (pengelolaan limbah, energi, pertanian, industri dan transportasi). Sebagai negara yang memiliki wilayah hutan seluas 132,4 juta hektar, Indonesia merupakan salah satu pemegang peranan penting dalam menjaga siklus karbon utama dunia yang berfungsi mengikat, menyerap dan menyimpan CO2 (carbon sink). Diharapkan sektor kehutanan bersama-sama pengelolaan lahan gambut dapat menyumbangkan hingga 85% dari komitmen penurunan emisi GRK terhadap perkiraan net emission pada skenario BAU di tahun 2020. Untuk itu maka penghijauan lahan dan penanaman pohon secara massive di seluruh wilayah Indonesia dengan melibatkan berbagai pihak pemangku kepentingan harus terus digalakkan, termasuk melalui Program Penanaman 1 Milyar Pohon Untuk Dunia (one billion Indonesia trees for world) yang telah dicanangkan secara resmi oleh Presiden pada peringatan Hari Menanam Pohon tanggal 28 November 2010 (Abdini & Adyawarman 2010). Kegiatan di sektor kehutanan yang secara potensial dapat menekan terjadinya perubahan iklim dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu konservasi, peningkatan pengambilan karbon dan subtitusi penggunaan bahan bakar fosil dengan biomass (Trexler et al, 2000 dalam Boer 2001). Kegiatan konservasi meliputi perlindungan hutan dari deforestasi dan degradasi akibat aktivitas manusia. Peningkatan penyerapan karbon (rosot) dilakukan melalui kegiatan perluasan luas hutan dengan penanaman pohon di lahan kritis, gundul atau semak belukar dalam kawasan hutan (reforestasi) dan bukan hutan (afforestasi) serta pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem pengelolaan yang berkelanjutan. Penggantian bahan bakar fosil dengan energi biomass akan mengurangi emisi GRK secara langsung akibat dari penurunan tingkat konsumsi bahan bakar fosil dan penanaman lahan kosong untuk memproduksi biomass. Di Indonesia, dari ketiga kategori kegiatan mitigasi yang sudah dilakukan, diantaranya ialah reforestasi, afforestasi, hutan kemasyarakatan, agroforestri, pengayaan, reduced impact logging, dan bioelectricity. Ketiga kegiatan mitigasi terakhir tingkat pelaksanaannya masih sangat rendah. Evaluasi terhadap potensi teknologi mitigasi di sektor kehutanan secara global sudah dilakukan. Besarnya potensi mitigasi dan biaya pelaksanaannya beragam menurut lokasi dan jenis kegiatan (Tabel 2). Untuk kegiatan mitigasi penghutanan (afforestasi dan reforestasi) misalnya, potensi mitigasinya di daerah lintang tinggi lebih rendah dibanding daerah lintang rendah, sedangkan biaya mitigasi relatif hampir sama (Sathaye 1999 dalam Boer 2001). Di Indonesia studi yang mengevaluasi teknologi mitigasi di sektor kehutanan sudah dilakukan sejak tahun 1990-an. Hasil analisis juga beragam menurut studi (Tabel 3). Perbedaan yang cukup mencolok ialah biaya mitigasi antara sebelum dan sesudah kiris ekonomi. Sebagai contoh, setelah krisis ekonomi biaya mitigasi melalui kegiatan reforestasi dengan menggunakan pohon berrotasi pendek ialah antara 0,27 USD/tC atau 23 USD per hektar, sementara setelah krisis ekonomi ialah 1,0 USD /tC atau 100 USD per hektar. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya penurunan nilai rupiah yang tajam terhadap dolar setelah krisis ekonomi hampir empat kali lipat, sementara upah buruh selama krisis tidak sejalan dengan penurunan nilai rupiah (Boer 2001).
7
Tabel 2. Potensi global dan biaya untuk menekan emisi GRK di sektor kehutanan (19952050) Zona Jenis Kegiatan C yang diserap Biaya Total Biaya Lintang (GtC) (US $/tC) (109 US$) Tinggi Forestasi 2,4 8 (3 – 27) 17 Tengah Forestasi 11,8 6 (1 - 29) 60 Agroforestri 0,7 5 3 Rendah Forestasi 16,4 7 (3 – 26) 97 Agroforestri 6,3 5 (2 – 12) 27 Regenerasi 11,5 - 28,7 2 (1 – 2) 44 Memperlambat 10,8 – 20,8 2 (0,5 – 15) 97 Deforestasi Total 60 - 87 3,7 – 4,6 (1 – 29) 250 - 300 Sumber : Sathaye (1999 dalam Boer 2001) Upaya Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Namun upaya tersebut akan sulit memberikan manfaat secara efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Upaya ini bertujuan untuk : (1) mengurangi kerentanan sosial-ekonomi dan lingkungan yang bersumber dari perubahan iklim, (2) meningkatkan daya tahan (resilience) masyarakat dan ekosistem, sekaligus (3) meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (mengentaskan kemiskinan). Daya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dari perubahan iklim (termasuk di dalamnya variabilitas iklim dan variabilitas ekstrem) dengan cara mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala akibatnya. Menurut Murdiyarso (2001), adaptasi terhadap perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan maupun terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan strategi yang diperlukan pada semua skala untuk meringankan usaha mitigasi dampak. Adaptasi terhadap perubahan iklim sangat potensial untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan meningkatkan dampak manfaat, sehingga tidak ada korban. Pengalaman menunjukan bahwa banyak strategi adaptasi dapat memberikan manfaat baik dalam penyelesaian jangka pendek maupun jangka panjang, namun masih ada keterbatasan dalam implementasi dan keefektifannya. Hal ini disebabkan daya adaptasi yang berbeda-beda berdasarkan daerah, negara, maupun kelompok sosial-ekonomi. Negara dengan sumberdaya ekonomi terbatas, tingkat teknologi rendah, informasi dan keahlian rendah, infrastruktur buruk, institusi lemah, ketidakadilan kekuasaan, kapasitas sumber daya terbatas; akan memiliki kemampuan adaptasi yang lemah dan rentan terhadap perubahan iklim. Berlaku hal yang sebaliknya bagi negara dengan sumberdaya ekonomi tinggi, tingkat teknologi tinggi, informasi dan keahlian tinggi, infrastruktur baik, institusi kuat, berkeadilan dalam kekuasaan, kapasitas sumber daya melimpah maka akan memiliki daya adaptasi yang tinggi.
8
Tabel 3. Potensi dan biaya mitigasi gas rumah kaca di sektor kehutanan dari beberapa studi Jenis Mitigasi
Potensi Mitigasi (tC/ha)
Biaya Mitigasi per siklus hidup ($/tC)
Keuntungan (NPV of benefit; $/tC)
Konservasi dan Pengelolaan Hutan Perlindungan Hutan 55-220 1,18 -0,52 Reduced Impact Logging 49 0,07 -0,01 Pengayaan 70 0,25 -0,19 Peningkatan Rosot Reforestasi tanpa pemanenan - Spesies tumbuh cepat 49-101 0,85-13,13 (-6,89)- (-0,81) - Spesies tumbuh lambat 94-336 0,48-2,34 (-0,16)-(-0,04) Reforestasi dengan pemanenan - Rotasi pendek 56-122 3,87-33,20 2,0-6,57 - Rotasi panjang 134-334 1,04-5,70 (-0,14)-(2,99) Agroforestri 94 4,44 2,02 Substitusi Bahan Bakar Fossil Bioelectricity 50-185 20,81 5,26-6,75 Sumber: Boer (2001) berdasarkan hasil studi Adi et al., 1999; Boer et al., 1999; Fuad, 2000; Boer, 2001.
Komitmen Pemerintah Indonesia Dalam Pengurangan Emisi Rangkuman dari Komunikasi Nasional yang terbaru untuk UNFCCC oleh Boer et al. (2009) menyebutkan dua tingkat emisi yang sangat berbeda jauh. Tingkat emisi yang pertama didasarkan pada laporan dari PEACE, suatu organisasi di Indonesia, yang memperkirakan bahwa tingkat emisi tahunan adalah sebesar 3.014 juta ton CO2 (Sari et al. 2007). Perkiraan yang kedua, diajukan oleh Pemerintah Indonesia (GoI) yaitu sebesar 1.991 juta ton untuk tahun 2005. Terdapat juga perbedaan dalam hal perkiraan sumber sumber karbon. Perbedaan-perbedaan ini sangat penting dipertimbangkan mengingat implikasinya bagi sumberdaya yang dibutuhkan dan berbagai pilihan yang dapat diambil untuk mencapai target pengurangan sebesar 26%. Verchot et al. (2010) mengemukakan Emisi dan peluang pengurangan emisi melalui LULUCF seperti yang disajikan pada Tabel 4. Kemungkinan tercapainya sebagian besar dari 26% target pengurangan emisi nasional melalui pemanfaatan LULUCF dapat dilakukan, dengan memperhitungkan rencana khusus Indonesia untuk memperluas produksi budidaya bahan pangan pokok, budidaya tanaman keras (coklat, kelapa, kopi, buah, minyak kelapa sawit, rempahrempah dan teh) serta hutan tanaman. Karena Indonesia tidak memiliki tingkat acuan emisi yang diterima secara internasional atau proyeksi perkembangan emisi di masa depan yang berkaitan dengan kegiatan pembangunannya, maka kondisi ini bisa menjadi faktor penghambat kebijakan yang akan dilakukan jika mengikuti skema yang dkembangkan pada tingkat internasional. Tabel 4. Emisi dan peluang pengurangan emisi melalui LULUCF Data laporan PEACE Juta ton
%
Data Pemerintah Indonesia Juta ton %
9
Emisi total Pengurangan emisi untuk mencapai target Kemungkinan pengurangan emisi dari: Penghentian kebakaran gambut Penghentian deforestasi Penghentian emisi LUCF Penghentian pengeringan gambut
3014
1991
784
26%
518
26%
1353 564 – 512,4
45% 19% – 17%
451 – 675 –
23% – 19% –
Sumber : Verchot et al. 2010
Selain Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim yang disusun oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2007, beberapa kebijakan Pemerintah Republik Indonesia terkait LULUCF diantarnya adalah : (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) (2) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (4) Permenhut No. P14 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Usulan Proyek Aforestasi atau Reforestasi dalam rangka Mekanisme PembangunanBersih (MPB) (5) Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) (6) Permenhut No P.68 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon Dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD) (7) Permenhut No. P.30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD) (8) Permenhut No P.36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan Dan/Atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi Dan Hutan Lindung Kebijakan-kebijakan ini disusun dalam rangka mendukung kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang terutama pada sektor LULUCF. Dikeluarkannya kebijakan ini merupakan salah satu indikator komitmen pemerintah indonesia dalam menjaga iklim global. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kehutanan tahun 20062025, Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2010-2029, serta perkembangan lingkungan strategis yang terkait dengan sektor kehutanan. Dalam RPJP Kehutanan 2010-2025, tantangan pembangunan kehutanan adalah tercapainya sasaran-sasaran pokok yaitu (Badan Litbang Kehutanan, 2010): (1) Kelembagaan kehutanan yang mantap, (2) Peningkatan produktivitas dan nilai sumberdaya hutan yang berkelanjutan, (3) Produk barang dan jasa yang ramah lingkungan, kompetitif dan bernilai tambah tinggi (termasuk melalui upaya promosi barang dan jasa kehutanan secara intensif dan efektif), (4) Iklim usaha kehutanan yang kondusif (5) Kesejahteraan dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan.
10
Untuk RKTN 2010-2029, tantangan pembangunan kehutanan adalah tercapainya kondisi yang diinginkan pada tahun 2029, yaitu (Badan Litbang Kehutanan, 2010): Kawasan hutan yang mantap, Peningkatan potensi multifungsi hutan (produksi, lindung, konservasi) dan optimalisasi pemanfaatannya, Efektivitas rehabilitasi dalam memulihkan hutan yang terdegradasi, Penggunaan kawasan hutan untuk penggunaan di luar sektor kehutanan secara terkendali, ”Best practice” kegiatan kehutanan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, Revitalisasi kawasan hutan dalam DAS dan Tata Ruang, Pemberdayaan masyarakat, Kelembagaan kehutanan yang mantap, Kontribusi nyata dalam menjawab tantangan global, Lingkungan strategis yang mempengaruhi sektor kehutanan terutama adalah pelaksanaan otonomi daerah (termasuk desentralisasi kehutanan/kewenangan dan tanggung jawab Pusat-Daerah dalam pengurusan hutan), penataan ruang dan implikasinya, antisipasi kelangkaan pangan (food), energi (energy) dan air (water) (FEW Scarcity), serta isu global terkait dengan komitmen internasional antara lain Ramsar/The Convention on Wetlands of International Importance (1971), CITES (1978), UNCBD (1992), UNCCD (1994), dan UNFCCC (1994) termasuk Kyoto Protocol (1997). Khusus untuk isu yang terkait dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, tantangan kehutanan Indonesia akan semakin besar dengan masuknya isu deforestasi dalam negosiasi UNFCCC. Mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), di satu sisi membuka peluang untuk memperoleh dukungan pendanaan, peningkatan kapasitas baik SDM maupun institusi dan transfer teknologi, namun demikian dukungan tersebut menuntut komitmen yang tinggi untuk dapat membuktikan bahwa pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi benar-benar terjadi (memenuhi persyaratan measurable, reportable, verifiable/MRV) (Badan Litbang Kehutanan 2010).
Aspek Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Terkait LULUCF Tantangan penelitian dan pengembangan kehutanan dalam era ketidak-pastian yang tinggi serta adanya koneksitas yang kuat antara isu kehutanan dengan isu-isu lainnya baik di tingkat lokal, nasional, maupun global, adalah bagaimana secara visioner dan tepat mampu menjawab tantangan sektor kehutanan ke depan secara komprehensif dan terintegrasi dan mengarah pada akar permasalahannya. Kompeksitas permasalahan kehutanan harus mampu dikemas dalam tema-tema penelitan dan pengembangan yang lebih utuh dan terpadu dan mengarah pada output IPTEK yang scientifically trustable, economically feasible, socially acceptable dan environmentally suitable (Badan Litbang Kehutanan 2010). Selanjutnya, dilakukan kristalisasi keragaman tantangan kehutanan ke depan ke dalam 5 (lima) tema besar penelitian dan pengembangan kehutanan sebagai dasar dalam penyusunan roadmap, yaitu : 11
1) Lansekap Hutan 2) Pengelolaan Hutan 3) Perubahan Iklim 4) Pengolahan Hasil hutan 5) Kebijakan Khusus untuk tema Pengelolaan Hutan, dengan pertimbangan spesifikasi dan karakteristik obyek penelitian, tantangan dan fokus penanganan yang berbeda, maka dikelompokkan lebih lanjut kedalam 5 (lima) sub-tema yaitu : a. hutan alam, b. hutan tanaman, c. pengelolaan DAS, d. biodiversitas, dan e. hasil hutan bukan kayu (HHBK). Masing-masing tema secara spesifik dan terfokus diarahkan untuk mengakomodasi tantangan sektor kehutanan ke depan. Detail tema penelitian dan pengembangan untuk mengakomodasi tantangan sektor kehutanan ke depan termasuk tantangan yang terkait dengan perubahan iklim disajikan pada Tabel 5. Wibowo et al. (2010) mengemukakan bahwa terjadinya perubahan iklim yang dapat dibuktikan secara ilmiah, sangat membutuhkan penelitian dan pengembangan dalam rangka mengatasi dampak perubahan iklim. Aspek besar penelitian perubahan iklim adalah adaptasi, mitigasi, dan juga inventori . Untuk kondisi di Indonesia terutama di sektor kehutanan, penelitian dan pengembangan diperlukan karena pengetahuan dan pemahaman yang masih terbatas akibat keanekaragaman dalam hal : Sumber emisi dan serapan Tipe penutupan lahan Tipe hutan di Indonesia Berbagai metode penelitian Jenis GRK Berbagai karbon pools
12
Tabel 5. Tema Litbang yang diarahkan untuk mengakomodasi tantangan sektor kehutanan ke depan NO 1.
TEMA Lansekap Hutan
Pengelolaan 2. Hutan
3.
Perubahan Iklim
4.
Pengolahan Hasil Hutan Kebijakan
5.
TANTANGAN Tekanan terhadap kawasan hutan; Land use, land use change and forestry (LULUCF) / Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU); Peningkatan penutupan hutan diluar kawasan hutan; Kebutuhan DSS Lansekap Hutan dalam pembuatan kebijakan • Degradasi hutan alam; LOA/LOF yang tidak terkelola; Perlunya upaya pemulihan menuju “Healthy Forests”; Kebutuhan sistem silvikultur yang spesifik dan tepat untuk setiap tipologi hutan; • Hutan Tanaman sebagai andalan masa depan; Produktivitas dan kualitas HT; Potensi jenis alternatif; Kayu enerji; Agroforestry sebagai sumber ekonomi masyarakat • Bencana alam dan optimalisasi pengelolaan DAS; DAS sebagai basis perencanaan wilayah; Internalisasi dari eksternalitas (dampak kegiatan di suatu wilayah terhadap wilayah lainnya); Keterpaduan dalam pengelolaan DAS • Potensi biodiversitas; Komitmen Internasional terkait konservasi biodiversitas; Kebutuhan informasi ilmiah biodiversitas; Dampak kerusakan hutan terhadap kelestarian biodiversitas Masih terbatasnya pemanfaatan HHBK sebagai sumber ekonomi masyarakat & penerimaan Negara; Nilai tambah & daya saing HHBK; Kelestarian HHBK Kontribusi LULUCF terhadap emisi dan absorbsi GRK/GHGs; Pendanaan LULUCF dalam skema UNFCC; REDD; dan issue Perubahan Iklim dalam kegiatan sektor dan nasional Daya saing dan nilai tambah; Issue lingkungan dalam pasar HH; Ketersediaan dan akses teknologi PHH Aspek Sosek, Kebijakan, Finansial, dan Kelembagaan Kehutanan; Governance; dan International/global issues
Untuk tahun 2010 – 2014 penelitian perubahan iklim pada Badan Litbang Kehutanan terbagai kedalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) Fokus penelitian Balitbanghut yang tercantum dalam 3 RPI. Adapun rencana penelitian yang terkait dengan perubahan iklim dan LULUCF disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Tabel 6. Aspek Mitigasi termasuk Inventori Metodologi
Metodologi pengukuran dan monitoring GHGs
Model penentuan baseline
Mitigasi Perubahan iklim (pengurangan sumber emisi GRK dan peningkatan serapan GRK) Sumber : Wibowo, 2010
Sosial Ekonomi Kebijakan dan Keuangan
Pasar karbon, mekanisme distribusi pembayaran dan pendanaan, Kebijakan/ rekomendasi untuk posisi Indonesia dalam kerangka konvensi PI Strategi mitigasi PI berdasarkan target penurunan emisi GRK
13
Tabel 7. Aspek Adaptasi Metodologi
Resiliensi dan kerentanan terhadap perubahan iklim pada ekosistem hutan pantai, mangrove, dan hutan di pulau kecil (kerentanan tinggi), Dampak PI terhadap livelihood dan keaneakaragaman hayati Adaptasi Perubahan Iklim pada berbagai tipe landscape Kriteria & indikator (C&I) untuk adaptive management
Sosial Ekonomi Kebijakan dan Keuangan Strategi adaptasi thd PI pada daerah dengan kerentanan tinggi
Opsi kebijakan/rekomendasi kebijakan
Sumber : Wibowo, 2010 Selain sektor kehutanan, yang tidak kalah pentingnya sektor yang terkait dengan LULUCF adalah dalam hal kegiatan penataan ruang. Dalam rangka mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, kebijakan Bidang Pekerjaan Umum yang terkait LULUCF meliputi (Riandi 2008): (1) Meningkatkan penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah yang aman (dari ancaman bencana), nyaman (kualitas lingkungan yang baik), produktif (dalam mendukung kegiatan sosial-ekonomi) dan berkelanjutan (untuk kebutuhan masa kini dan masa mendatang). (2) Meningkatkan kualitas pelayanan prasarana dan sarana sumber daya air dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional dan mengurangi kerentanan terhadap risiko bencana banjir, longsor dan kekeringan. (3) Meningkatkan kualitas pelayanan prasarana dan sarana permukiman pada kawasan perkotaan dan perdesaan yang bertujuan untuk mengurangi kerentanan terhadap risiko banjir/ genangan serta krisis air bersih dan sanitasi. (4) Meningkatkan kualitas pelayanan sarana dan prasarana jalan yang mampu memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat dalam hal mobilitas yang lebih efisien (mengurangi emisi gas rumah kaca dan sektor transportasi). Beberapa langkah strategis yang harus dilakukan oleh bidang Pekerjaan Umum dalam melakukan mitigasi bidang Penataan Ruang terhadap dampak perubahan iklim, antara lain (Riandi 2008): (1) Mendorong perwujudan 30 % dari luas wilayah kota untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam rangka pengendalian iklim mikro, serta pengalokasian lahan parkir air dan resapan; (2) Mendorong perwujudan 30 % dari luas Daerah aliran Sungai (DAS) untuk hutan lindung dan kawasan konservasi dalam rangka pengendalian fungsi ekosistem; (3) Mengarahkan pembentukan struktur dan pola ruang kawasan perkotaan yang lebih efisien (menghindari terjadinya urban/sub-urban sprawling); (4) Menorong pemanfaatan transportasi publik untuk mendukung kebutuhan pergerakan orang dan barang/jasa/logistik yang dituangkan dalam produk-produk RTRW. Sedangkan langkah strategis yang harus dilakukan oleh bidang Pekerjaan Umum dalam melakukan adaptasi bidang Penataan Ruang terhadap dampak perubahan iklim, antara lain (Riandi 2008): 14
(1) Mengendalikan terjadinya urbanisasi masif (termasuk industrialisasi) dan migrasi dari kawasan perdesaan ke kawasan perkotaan; (2) Mengendalikan pertumbuhan kota-kota besar yang berada pada kawasan rawan bencana iklim (tsunami, kenaikan muka air laut, banjir repetitif, serangan angin topan/siklon, dsb); (3) Meningkatkan kapasitas adaptasi kota/kabupaten/kawasan dengan mengutamakan kearifan lokal. Hasil aplikasi IPCC GL 2006 untuk menghitung emisi, sumber serapan dan emisi pada berbagai kategori penutupan lahan disajikan pada Tabel 8.
Tata Ruang Sebagai Dasar Pelaksanaan LULUCF Dokumen Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim menyebutkan bahwa Penataan ruang yang didasarkan pada keseimbangan ekosistem dan daya dukung serta daya tampung lingkungan perlu segera dilaksanakan dengan tertib. Dengan demikian tidak ada kegiatan-kegiatan yang saling tumpang tindih dan mendesak fungsi kawasan hutan. Konsistensi terhadap penataan ruang yang telah disepakati bersama tersebut, perlu dijaga dan diawasi oleh segenap pemangku kepentingan. Perlu dilakukan penyerasian peta kawasan hutan dengan rencana pengembangan wilayah, rencana perluasan lahan pertanian dengan BPN, serta dengan memperhatikan kriteria kawasan lindung menurut Peraturan Pemerintah Nomor 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan undang-undang tentang tata ruang yang mengatur kawasan lindung dan kawasan budidaya, Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, serta pemekaran wilayah, demikian juga dengan pengembangan pertambangan dan perluasan lahan pertanian. Dengan demikian tidak terjadi tumpang tindih peraturan yang menyebabkan terdesaknya kawasan hutan untuk berbagai kepentingan. Selain untuk perlindungan flora, fauna, dan ekosistemnya, hal tersebut juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya bencana lingkungan seperti banjir, longsor maupun dampak lainnya. Perubahan tutupan lahan menyebabkan daerah resapan air menurun dangat tajam, terjadi erosi, dam sedimentasi, fluktuasi debit yang sangat tinggi, waduk-waduk daya tampungnya berkurang, teknik pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air, dan menyebabkan terjadinya erosi. Upaya mitigasi LULUCF dan adaptasi perubahan iklim ini sangat bisa dipahami jika penataan ruang sangat berperan unuk menjadi awal dari pembangunan di Indonesia. Dari beberapa kriteria yang ditetapkan dalam PP 47 tahun 1999 yang kemudian diperbaharui menjadi PP No. 26/2008 tentang RTRWN, telah dinyatakan beberapa syarat tentang kawasan lindung antara lain sempadan sungai, garis pantai, kemiringan lahan, kedalaman lahan gambut dan lain sebagainya. Contoh yang mengindahkan kriteria tata ruang dalam pembangunan dan pembukaan lahan adalah yang memperhatikan resiko tinggi terhadap bencana lingkungan misalnya banjir, longsor, kebakaran hutan disertai dengan anomali cuaca akibat perubahan iklim. Dengan penjelasan tersebut diatas, maka penatan ruang yang memenuhi kriteria lingkungan sangat penting dalam upaya mitigasi maupun adaptasi. Pada saat ini prinsip pembangunan yang berkelanjutan, dengan sebagai tonggaknya adalah pembangunan ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan 15
yang setara, masih banyak diabaikan. Oleh karena itu, dengan UU Penataan Ruang yang baru dimana sanksi pidana juga akan diberikan untuk pelanggaran terhadap pemberi izin yang bertentangan dengan kriteria yang ditetapkan peraturan perundangan, dapat dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan pembangunan dengan memperhatikan perubahan iklim (Hilman 2008). Tabel 8. Sumber emisi dan serapan dalam inventarisasi GRK LULUCF Contoh Sub Kategori Sumber Serapan Sumber emisi Kategori Lahan hutan tetap Hutan primer, Pertumbuhah Penebangan, kayu sebagai Lahan hutan sekunder, bakar, kebakaran biomas dan tanah organik Hutan hutan tanaman yang didrainase Lahan non hutan Reboisasi, gerakan Pertumbuhan menjadi Lahan penanaman, biomas rehabilitasi lahan Hutan kritis dsb Lahan pertanian Kelapa sawit, Kopi, Pertumbuhan Drainase pada tetap sebagai Kelapa, Karet dan lahan gambut yang biomas, Lahan pertanian tanaman lainnya diolah Lahan menjadi Hutan menjadi Pertumbuhan Kehilangan biomas tanaman pertanian biomas, dari hutan menjadi Lahan pertanian tanaman pertanian atau perkebunan atau perkebunan, DOM dan drainase tanah Padang Rumput Tanah mineral pada Tetap tetap sebagai lahan miring Padang Rumput Lahan menjadi Hutan menjadi Kehilangan biomas dari hutan atau padang Rumput padang Rumput perkebunan Tanaman menjadi padang perkebunan Rumput menjadi padang Rumput Lahan basah tetap Sawah sebagai Lahan basah Lahan basah tetap Potensi: sebagai Lahan Pembangunan basah dam/bendungan Sumber : Wibowo, 2010. Walaupun kriteria-kriteria lingkungan sudah di tetapkan, namun dengan bertambahnya masalah antara lain perubahan iklim maka tantangan terhadap perubahan 16
kebijakan terhadap berbagai kegiatan yang terkait dengan penggunaan energi terbarukan, energi fossil fuel dan LULUCF sangat perlu menjadi perhatian kita bersama. Sebagai ilustrasi misalnya, kalau dulu di Kalimantan sektor ekonominya ditunjang oleh perdagangan kayu, maka ke depannya sektor kehutanan dapat diarahkan pada environmental services seperti REDD dan CDM. Selain itu pada sektor energi, Kalimantan sangat kaya akan batu bara dan minyak, tetapi dalam jangka 25 tahun mendatang sudah akan habis. Oleh karenanya sektor sumber energi harus sudah mulai dikembangkan menjadi energi terbarukan misalnya dari limbah pertanian, biofuel, matahari, mikrohidro dan energi yang berasal dari laut. Dan pada lahan-lahan kritis dapat digalakkan tanaman untuk biofuel (Hilman 2008). Sebagai contoh untuk menjelaskan upaya ini kita ambil Pulau Kalimantan yang sangat kaya dengan gambut. Maka pembangunan untuk pengelolaan air harus menjadi perhatian utama. Selain itu tutupan lahan di Kalimantan, dimana kawasan yang berhutan terus menurun, maka perlu diupayakan penanaman kembali dengan melibatkan masyarakat dan upaya peningkatan income masyarakat. Dengan ilustrasi tersebut di atas, maka dapat disusun rencana tata ruang yang berbasis pada kriteria-kriteria lingkungan yang telah disyaratkan dalam peraturan tata ruang. Walaupun kriteria-kriteria tersebut akan lebih didetailkan sesuai dengan kondisi ekosistem daerah masing-masing namun dengan kriteria lingkungan seperti yang telah ditetapkan dalam RTRWN tersebut dilaksanakan dalam penataan ruang sebenarnya, maka hal itu akan lebih baik dan dapat mencegah dampak negatif dari perubahan iklim yang sekarang sudah dirasakan oleh kita semua. Adapun untuk adaptasi lingkungan dan tata ruang, kita dapat memprediksikan bahwa curah hujan intensitasnya akan terus meningkat, dan kenaikan muka air laut terus bertambah. Dengan informasi tersebut, penataan ruang pantai utara Jawa misalnya, harus dikembangkan dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut diatas. Arus pengangkutan barang yang tidak hanya tertumpu pada pembuatan jalan di daerah pantai utara karena ketika banjir akan menyebabkan masalah ketahanan pangan terganggu karena pengangkutan barang tidak berjalan sebagaimana mestinya disebabkan banjir dan lain-lain. Selain itu, penataan daerah pesisir pantai yang sangat rentan harus menyesuaikan dengan perubahan iklim, sehingga dampak yang terjadi akan berkurang (Hilman 2008). Beberapa pilihan LULUCF dalam rangka mencapai target pengurangan emisi yang disarankan oleh berbagai lembaga diantaranya adalah bahwa Sektor LULUCF menawarkan beberapa peluang dalam mencapai pengurangan emisi yang signifikan melalui mekanisme lain di luar perluasan areal penanaman. Besarnya kontribusi diindikasikan oleh besarnya pengurangan emisi yang dapat dicapai dengan menghilangkan keberadaan sumber emisinya. Dua set angka yang dikemukakan dalam laporan PEACE (Sari et al. 2007) dan rangkuman eksekutif dari Komunikasi Nasional Kedua (Boer et al. 2009). Hasil yang ada menunjukkan bahwa Indonesia dapat dengan mudah melampaui target pengurangan sebesar 26% melalui kegiatan-kegiatan seperti pengendalian kebakaran dan perlindungan lahan gambut. Menghentikan kebakaran gambut. Kebakaran gambut merupakan sumber utama emisi di Indonesia, khususnya selama tahun-tahun El Niño. Kebakaran hutan sebagian besar bersumber dari kegiatan manusia antropogenik dan dapat dikurangi dengan menindaklanjuti konflik lahan lokal dan meningkatkan kemampuan di daerah untuk pengelolaan kebakaran yang lebih baik (Dennis et al. 2005; Murdiyarso dan Lebel 2007). 17
Menghentikan kebakaran ini akan menurunkan emisi nasional sebesar 23–45%. Saat ini Indonesia memiliki dukungan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan melakukan investasi dalam perubahan kebijakan dan peningkatan kemampuan untuk pemadaman kebakaran. Meningkatkan investasi ini dan mempercepat peningkatan kemampuan lokal dapat mewujudkan pengurangan emisi. Menghentikan pengeringan lahan gambut. Untuk membudidayakan kelapa sawit atau akasia di atas lahan gambut, arealnya perlu dikeringkan terlebih dahulu. Pada saat permukaan gambut menjadi kering, menyusut dan menjadi padat. Pada beberapa contoh ekstrim, kubah gambut akan runtuh. Perubahan ini menyebabkan proses oksidasi bahan organik yang disimpan di dalam tanah meningkat dan emisi CO2 tinggi. Laporan PEACE memperkirakan bahwa pengeringan gambut berkontribusi sebesar 17% dari emisi nasional. Karena itu, menghentikan pengeringan gambut akan berkontribusi penting dalam pengurangan emisi nasional. Berbagai kegiatan lain di atas gambut yang dikeringkan, misalnya mengairi kembali areal yang dikeringkan, dapat membalikkan emisi dan menyerap karbon (Couwenberg et al. 2009). Sayangnya saat ini data tentang laju penyerapan tidak tersedia, sehingga data tentang serapan karbon pun akhirnya menggunakan data dari penelitian di tempat yang berbeda dengan berbagai asumsi tentunya. Menghentikan deforestasi/emisi dari perubahan pemanfaatan lahan dan kehutanan (LUCF). Laporan PEACE mengindikasikan bahwa emisi dari deforestasi berkontribusi sampai sebesar 19% dari emisi nasional. Komunikasi Nasional Kedua Indonesia tidak memisahkan emisi deforestasi dari kategori LUCF, namun Kementerian Kehutanan melaporkan bahwa laju deforestasi saat ini adalah sebesar 1,2 juta hektar per tahun. Dengan menggunakan angka ini dan dengan beberapa estimasi kasar dari ratarata kehilangan karbon yang berkaitan dengan deforestasi (Laumonier et al. 2010), maka diperkirakan bahwa untuk skenario yang diadaptasi dari Komunikasi Nasional Kedua, target pengurangan emisi nasional sebesar 26% dapat dicapai sepenuhnya dengan mengurangi deforestasi. Indonesia perlu untuk menurunkan laju deforestasi sekarang sampai dengan 550.000 hektar, atau sekitar 50% setiap tahunnya. Indonesia tampaknya tidak akan dapat memenuhi proporsi target pengurangan emisinya secara signifikan hanya dengan memperluas areal penanaman saja. Besarnya upaya yang dituntut dan berbagai masalah yang dijumpai dalam mencapai target saat ini, target penanaman yang lebih sederhana, tidak memberikan harapan baik bagi masa depan dimana penanaman pohon merupakan bagian inti dari strategi pengurangan emisi. Namun demikian, analisis ini mengindikasikan bahwa perluasan areal penanaman memiliki potensi terbatas dan bersifat kondisional dalam strategi pemanfaatan lahan yang menyeluruh untuk mengurangi emisi. Pemerintah Indonesia merencanakan untuk memperluas sistem produksi lahan intensif dalam 15 tahun ke depan, dan paling sedikit 30 juta hektar luas lahan harus disiapkan sebagai modal untuk areal penanaman yang baru selama periode tersebut. Sekalipun terdapat kritik dan ketidakpercayaan dari berbagai pihak, perluasan dengan produksi yang intensif semacam itu dapat dicapai secara berkelanjutan, asalkan beberapa persyaratan berikut dipenuhi, antara lain: • Penebangan hutan untuk pembangunan areal penanaman harus dihindari; • Memaksimalkan pemanfaatan lahan kritis, khususnya lahan kritis berat untuk areal penanaman baru; dan 18
• Menyediakan insentif untuk pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan lokal untuk melestarikan hutan dan lahan gambut di daerah mereka. Data spasial tentang keberadaan lahan kritis dan apakah lahan tersebut dapat dikonversi menjadi bentuk pemanfaatan untuk mengurangi emisi merupakan hal yang sangat penting untuk dapat mewujudkan rencana pengurangan emisi yang efektif. Data semacam ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memprioritaskan areal untuk reforestasi dan pembangunan areal penanaman dengan tujuan ganda berupa pengurangan emisi karbon dan tujuan ekonomi. Untuk mengurangi dan/atau menghentikan deforestasi di dalam dan di luar Kawasan Hutan, kebijakan yang konsisten dan kemampuan untuk mengimplementasikannya sangat dibutuhkan di dalam Kementerian Kehutanan dan berbagai instansi lain yang memiliki wewenang pengaturan dan penertiban atas lahan yang tertutup hutan namun tidak termasuk di dalam Kawasan Hutan. Konsistensi di antara berbagai instansi sehubungan dengan kebijakan pemanfaatan lahan dan koordinasi dalam perencanaan spasial sangat penting bagi keberhasilan dalam mengendalikan emisi gas rumah kaca. Indonesia memiliki banyak pilihan dalam sektor LULUCF untuk mengurangi emisi dan pilihan-pilihan ini dapat lebih dioptimalkan pemanfaatannya untuk mencapai pengurangan emisi yang lebih besar dan berbiaya murah. Peluang-peluang ini mencakup menghentikan atau mengurangi deforestasi, kebakaran lahan gambut dan pengeringan lahan gambut. Pengeringan lahan gambut terkait erat dengan areal pembangunan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman bubur kayu, karena areal gambut sering dikeringkan untuk pembangunan areal penanaman. Beberapa peluang yang ada juga menawarkan sinergi yang potensial antara pembangunan berkelanjutan, pengurangan kemiskinan dan mitigasi perubahan iklim, dan harus diprioritaskan dalam program REDD+ nasional.
Hibah dan Hutang, Untuk Mendukung Penurunan Emisi? Salah satu upaya internasional untuk mendukung komitmen adalah dukungan pendanaan dari Pemerintah Norwegia untuk adaptasi dan mitigasi perubahan melalui skema REDD+. Letter of Intent (LoI) RI-Norway ditandatangani kedua belah pihak tanggal 26 Mei 2010 di Oslo. Inti dari kerjasama ini adalah bahwa Norway akan menyediakan dana hibah sebagai kompensasi kepada Indonesia yang menjaga hutannya sebesar 1 milyar US$ atau sekitar 10 Triliun Rupiah. Dana ini akan diberikan dengan ketentuan bahwa Indonesia harus melakukan moratorium perijinan baru di hutan alam dan hutan gambut selama dua tahun dari 2011 sampai 2013, serta membangun skema REDD+ dalam tiga fase, yakni persiapan, transformasi, dan kontribusi untuk pengurangan emisi. Namun banyak kalangan menduga bahwa LoI ini bisa menjadi blunder bagi Pemerintah Indonesia jika tidak waspada terhadap butir-butir kesepakatan yang ditandatangani. . Selain itu, pemerintah juga mendapat dukungan pendanaan dari UNREDD sebesar hampir 1 juta US$ untuk melakukan perumusan Strategi Nasional (Stranas) REDD+ berikut dengan konsultasi publik di tingkat regional di beberapa lokasi di Indonesia. Perubahan besar dalam draft Stranas REDD+ dari versi sebelumnya, 19
serta tidak diakomodasikannya masukan-masukan dari berbagai daerah disinyalir juga ada permainan yang bisa merugikan pemerintah indonesia. . Salah satu kebijakan yang cukup janggal terkait dengan mitigasi perubahan iklim yang sedang dilakukan pemerintah Indonesia adalah hutang Pemerintah RI ke IBRD. Berselang satu bulan setelah LoI RI-Norway, Pemerintah Indonesia justru meminjam dana kepada IBRD (kelompok Bank Dunia) sebesar 200 juta US$ atau sekitar 2 Triliun Rupiah. Pinjaman No. 7915-ID ini ditujukan untuk mendukung tiga bidang kebijakan, yakni (1) kebijakan mitigasi untuk sektor LULUCF dan energi; (2) kebijakan adaptasi dan kesiapsiagaan bencana sektor sumberdaya air, pertanian, manajemen bencana, dan perikanan dan kelautan; serta (3) kebijakan lintas sektoral. Yang menjadi pertanyaan tentu saja mengapa ada dua kebijakan paradoks, yang saling bertolak belakang dalam menurunkan emisi? Bukankah hutang baru ini akan menjadi beban negara, sementara hutang yang sudah ada saja—sekitar Rp. 1.500 Triliun—tidak mudah untuk dilunasi. Atau, pertanyaan lain, ketika Norway sudah mau memberikan kompensasi hibah untuk sektor LULUCF, bukankah sektor diluar itu tidak menjadi tanggung jawab Indonesia, karena tidak masuk dalam Annex B Protocol Kyoto? (eGreenAceh, 2010).
Analisis Terhadap Kebijakan Pemerintah Terkait LULUCF Pengamatan seksama terhadap kebijakan LULUCF dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (PI) terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan lebih banyak ditentukan oleh pengaruh tekanan luar (negara-negara maju yang notabene adalah pengemisi terbesar di dunia). Inisiatif global terkait perubahan iklim (CC-related) termasuk REDD perlu diwaspadai mengingat sudah terlihat adanya upaya membangun ruang kuasa baru untuk mendikte Pemerintah Indonesia dalam pengambilan kebijakan. Ruang kuasa baru ini mendapatkan momentumnya ketika muncul isu perubahan iklim, setelah pola lain mulai tidak efektif menekan negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) mengingat menguatnya isu HAM dan perubahan geopolitik global. Sayangnya pemerintah Indonesia terkesan ikut menari dalam genderang yang ditabuh oleh pihak lain. Muncul pertanyaan dalam kaitannya dengan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ini, apakah sudah terjadi principal-agent relationship yang ideal? Apakah dalam hal ini kemudian yang terjadi adalah pemberi kepercayaan (principal) yang kuat, atau bahkan ada upaya memarjinalisasi agent? Principal-agent relationship didefinisikan sebagai hubungan di mana satu orang atau lebih sebagai pemberi kepercayaan [principal(s)] mempengaruhi orang lain sebagai mitra yang menerima kepercayaan [agent(s)] untuk melaksanakan beberapa tugas principal(s) melalui pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada mitra yang dimaksud [agent(s)] (Jensen & Meckling 1976). Dalam hal ini kita bisa memposisikan negara yang termasuk dalam Annex 1 Protokol Kyoto sebagai pricipal yang memberikan mandat kepada negara berkembang untuk menurunkan emisi sebagai agent. Dalam hal ini cukup jelas terlihat bahwa telah terjadi asymetric of power, dimana negara-negara berkembang sebagai agent sangat lemah di depan negara-negara maju. Sehingga kondisi ini menimbulhan hubungan antara principal dan agent menjadi tidak efisien. 20
Hubungan principal-agent akan efisien apabila tingkat harapan keuntungan (reward) kedua belah pihak seimbang dengan korbanan masing-masing serta biaya transaksi sehubungan dengan pembuatan kontrak-kontrak atau kesepakatankesepakatan dapat diminimalkan (Rodgers 1994). Biaya transaksi adalah biaya yang muncul ketika individu-individu mengadakan pertukaran hak-haknya dan saling ingin menegakkan hak eksklusif yang dimilikinya (Rodgers 1994). Komponen dari biaya transaksi dalam kaitannya hubungan principal-agent (Ostrom et al. 1993) adalah: a) biaya koordinasi (coordination costs) : biaya-biaya yang dikeluarkan untuk waktu, modal dan personil yang diinvestasikan dalam negosiasi, pengawasan dan penegakan kesepakatan di antara pelaku; b) biaya informasi (information costs) : biaya-biaya yang diperlukan untuk mencari dan mengorganisasi data, termasuk biaya atas kesalahan informasi sebagai akibat kesenjangan pengetahuan tentang variabel waktu dan tempat serta ilmu pengetahuan; c) biaya strategi (strategic costs) : biaya yang dikeluarkan sebagai akibat informasi, kekuasaan dan sumberdaya lainnya yang tidak sepadan di antara pelaku, umumnya berupa pengeluaran untuk membiayai aktivitas free riding, rent seeking dan corruption. Sudah jelas bahwa dalam merespon perubahan iklim dengan sudut pandang teori principal-agent relationship telah terjadi hubungan yang tidak efisien. Bahkan telah terjadi praktek yang asymetric of power karena Pemerintah Indonesia sudah harus mengeluarkan banyak uang, termasuk melakukan pinjaman kepada IBRD (kelompok Bank Dunia) dengan pinjaman No. 7915-ID sebesar 200 juta US$ atau sekitar 2 Triliun Rupiah sebagai akibat dari hubungan principal-agent yang tidak efisien.. . Seharusnya secara cerdas kita menyikapi isu perubahan iklim ini dengan baik tanpa harus didikte oleh negara lain dalam pembuatan kebijakannya. Posisi terbaik yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global dalam merespon perubahan iklim, khususnya yang terkait dengan LULUCF adalah sikap bahwa ada maupun tidak ada isu perubahan iklim adalah dengan penerapan Sustainable Forest Management (SFM) maupun Sustainable Natural Resources Management (SNRM). Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim akan dapat tercapai jika Pemerintah secara maksimal bisa menjamin terlaksananya SFM maupun SNRM dengan serius dan berkomitmen tinggi tanpa terbius dengan isu globalnya. Sudah dipahami bersama bahwa Hutan-hutan tropis merupakan komponen kritis pada strategi-strategi mitigasi perubahan iklim internasional; namun, manfaat dari pengurangan deforestasi dan degradasi, konservasi hutan, dan peningkatan stok karbon hutan meluas melebihi dampak-dampak yang terkait dengan karbon. Disamping menjalankan peran sebagai gudang karbon, hutan-hutan tropis menaungi habitat penting daratan dan perairan yang mengandung lebih dari setengah ragam jenis diseluruh planet bumi. Namun, keanekaragaman hayati bukan satu-satunya indikator dari ketahanan ekosistem, dan oleh karenanya penting untuk mempertimbangkan perlindungan ragam jasa-jasa hutan tropis pada saat pelaksanaan perdagaan karbon baik skema REDD+ maupun skema yang lainnya. Hal ini tentunya akan dapat terlaksana dengan baik jika SFM bisa dijalan dengan baik. Hutan-hutan tropis memelihara fungsi21
fungi ekosistem penting seperti siklus air dan purifikasi, proses iklim lokal dan regional, dan proses dalam tanah dan biogeokimia. Jika hanya nilai karbon saja yang diperhitungkan, maka pada dasarnya telah menilai rendah jasa dan manfaat hutan tropis. Manfaat lain dari ekosistem-ekosistem ini tidak akan disadari dengan baik kecuali jika mekanisme REDD+ dirancang untuk mempromosikan perlindungan dan peningkatan ekosistem-ekosistem tersebut. Kebijakan-kebijakan REDD+ harus dilaksanakan secara paralel dengan rencana zonasi nasional/regional yang dirancang untuk memastikan bahwa fungsi hidrologis terjaga dengan baik, habitat, dan fungsi iklim akan dipelihara. Kegiatan-kegiatan REDD+ dapat memainkan peran yang signifikan dalam melindungi dan meningkatkan jasa-jasa ekosistem hutan yang penting serta optimalisasi penggunaan lahan non kehutanan lainnya, baik dalam upaya memitigasi perubahan iklim maupun dalam menjaga fungsi-fungsi lingkungan lainnya. Oleh karena itu diharapkan mekanisme perdagangan karbon ini dapat berkontribusi pada pemeliharaan fungsi ekosistem pada seluruh bentang lansekap. Bahkan seharusnya juga mekanisme ini juga bisa diharapkan dapat memberikan insentif bagi pengelolaan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi penting seperti bagi usaha perlindungan dan restorasi zona hutan riparian yang dapat menyediakan perlindungan penting bagi ekosistem perairan, yang mana mendukung keanekaragaman hayati dan penghidupan manusia, disamping manfaat karbon hutan. Mekanisme internasional seperti halnya REDD+ seharusnya juga mempertimbangkan perlindungan dan peningkatan berbagai ragam manfaat ekologis lainnya yang akan dievaluasi melalui kerangka kerja pemantauan dan pelaporan yang baik. Banyak dari manfaat lain ini dapat dipantau melalui pengumpulan data tambahan menggunakan teknologi pemantauan yang sama ataupun mirip, teknik, dan frekuensi seperti yang dikenal untuk evaluasi stok karbon. Kondisi seperti ini akan tercapai, khusus untuk kawasan hutan adalah jika dapat diterapkannya SFM dengan baik. Dengan SFM tidak hanya nilai karbon yang dihitung/dipertimbangkan, namun mitigasi iklim dan bahkan penjagaan terhadap fungsi ekosistem lainnya juga diperhitungkan. Pemerintah Indonesia seharusnya juga mendorong para pihak untuk mempertimbangkan manfaat tambahan tersebut, namun tidak hanya terbatas pada keanekaragaman hayati saja jika mereka ingin benar-benar mendorong negara-negara tropis untuk memitigasi perubahan iklim. Sebuah kerangka kerja REDD+ sebagai mekanisme yang saat ini diakui secara internasional seharusnya: Menghindari banyaknya celah pendefinisian yang memungkinkan hasil-hasil yang tidak wajar, seperti yang saat ini digunakan pada penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan penghitungan kehutanan (LULUCF) dibawah Protokol Kyoto. Banyaknya celah pendefinisian yang ada dalam ketentuan LULUCF saat ini termasuk definisi hutan yang tidak membedakan antara hutan primer atau alami dan hutan-hutan produksi yang sudah ditanam dan definisi akan pengelolaan hutan yang memungkinkan para Pihak untuk secara individu memilih praktek-praktek yang akan mereka pertanggung jawabkan. Terus mendorong partisipasi luas oleh semua negara-negara berkembang, termasuk di dalamnya adalah memungkinkan bagi negara berkembang untuk mengembangkan mekanisme yang lebih adil; Memasukkan semua hutan tropis pada resiko deforestasi atau degradasi; 22
Memasukkan insentif bagi kegiatan-kegiatan seperti, penerapan hukum, yang memperbaiki pengelolaan kawasan konservasi, yang mana sering dirancang untuk melingkupi sistem-sistem keanekaragaman hayati yang tinggi maupun areaarea lainnya yang diidentifikasi sebagai prioritas ekologi utama. Banyak area-area yang dilindungi secara hukum terus mengalami degradasi dan deforestasi meskipun memiliki status dilindungi karena kurangnya pendanaan, tapi bisa dapat lebih efektif dilindungi dengan sumber-sumber pendanaan tambahan. Mengembangkan pendekatan pemantauan dan pelaporan bagi manfaat ekologi lain yang disebutkan diatas (seperti: habitat untuk keanekaragaman hayati, fungsi hidrologis, proses iklim lokal dan regional, serta tanah/orologis dan proses biogeokimia) dalam konteks regional atau perencanaan tingkat lansekap yang terintegrasi; dan Memberikan sumber-sumber keuangan yang cukup bagi pengembangan dan pemeliharaan pendekatan-pendekatan pemantauan dan pelaporan dan kerangka kerja untuk manfaat ekologis lain maupun untuk karbon.
Sikap dan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menerapkan SFM dan SNRM sejatinya yang harus dibawa saat berdiplomasi dan bernegosiasi dengan siapapun yang “mendikte” bangsa ini tentang perubahan iklim. Dengan begitu kita telah memposisikan diri sebagai Principal yang kuat dan berdaulat, bukan sebagai pengekor pemain global. Bahkan saat ini sudah berkembang ungkapan sinistik dari negara barat: No CC No Money. Apa makna dari sindiran ini? Saya berpendapat bahwa ini adalah wujud ruang kuasa baru dari negara-negara barat untuk menanamkan hegemoninya pada negaranegara berkembang. Penutup Inilah yang barangkali perlu dipikirkan secara serius oleh pemerintah dalam setiap kebijakannya untuk tidak terombang-ambing oleh pengaruh tekanan internasional. Kalaupun ada tekanan-tekanan politik luar negeri setidaknya pemerintah bisa terbuka kepada publik, sehingga tidak mencederai semangat untuk menurunkan emisi dan menyelamatkan hutan kita yang sudah banyak rusak ini. Selain itu jangan sampai terjadi kepentingan nasional negara ini dikalahkan oleh “politik pencitraan” untuk sekedat membuat kesan bercitra baik dipercaturan global dengan mengorbankan berbagai kepentingan nasional Indonesia
23
Daftar Pustaka Abdini, C. & Adyawarman. 2010. Perubahan Iklim Dan Paradigma Ekonomi Hijau. Http://Www.Setneg.Go.Id/Index.Php?Option=Com_Content &Task= View& Id=5030&Itemid=29 [Diakses Tanggal 27 April 2011] Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan RI. 2009. Roadmap Litbang Kehutanan 2010-2025. Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan RI. Jakarta. Boer, R. 2001. Opsi Mitigasi Perubahan Iklim Di Sektor Kehutanan Dan Aspek Metodologi Proyek Karbon Kehutanan. Paper disajikan dalam Lokakarya Tindak Lanjut Konvensi Perubahan Iklim dan Kyoto Protokol di Sektor Kehutanan, Gedung Manggala Wanabakti, 18 September 2001, Jakarta Boer, R., Sulistyowati, Las, I., Zed, F., Masripatin, N, Kartakusuma, D.A., Hilman, D. dan Mulyanto, H.S. 2009 Summary for policy makers: Indonesia’s Second National Communication under the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Couwenberg, J., Dommain, R. dan Joosten, H. 2009 Greenhouse gas fluxes from tropical peatlands in Southeast Asia. Global Change Biology 16: 1715–1732. Dennis, R.A., Mayer, J., Applegate, G., Chokkalingam, U., Colfer, C.J.P., Kurniawan, I., Lachowski, H., Maus, P., Permana, R.P., Ruchiat, Y., Stolle, F., Suyanto dan Tomich, T.P. 2005 Fire, people and pixels: linking social science and remote sensing to understand underlying causes and impacts of fires in Indonesia. Human Ecology 33: 465–504. e-GreenAceh. 2010. Dilema Perubahan Iklim. Edisi 2, Desember 2010 Diterbitkan oleh Institut Green Aceh (IGA). FA0. 2011. State of the World’s Forests 2011. Rome, Italy. Hilman, M. 2008. Tata Ruang Dan Perubahan Iklim. Buletin Tata Ruang Online Edisi Juli – Agustus 2008. http://bulletin.penataanruang.net/index.asp ?mod=_fullart &idart=113 [Diakses tanggal 28 April 2011] Jensen, M.C. and Meckling, W.H. 1976. Theory of the Firm : Managerial Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3(4 October), 305-360. North-Holland Publishing. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup. 2009. Indonesia: Summary for Policy Makers: Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework 24
Convention on Climate Change (UNFCCC). Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Laumonier, Y., Edin, A., Kanninen, M. dan Munandar, A.W. 2010 Landscape-scale variation in the structure and biomass of the hill dipterocarp forest of Sumatra: implications for carbon stock assessments. Forest Ecology and Management 259: 505–513. Murdiyarso, D. dan Lebel, L. 2007 Local to global perspectives on forest and land fires in Southeast Asia. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 12: 3– 11.doi 10.1007/s11027- 006-9055-4. Ostrom, E., Schroeder, L., and Wynne, S. 1993. Institutional Incentives and Sustainable Development. Westview Press. Colorado. USA. Riandi, A. R. 2008. Upaya Antisipatif Perubahan Iklim Dari Bidang Penataan Ruang (Catatan Dari Poznan – Polandia, 1 – 12 Desember 2008). Buletin Tata ruang Online Edisi November – Desember 2008. http://bulletin.penataanruang.net/ index.asp?mod=_fullart&idart=147 [Diakses Tanggal 28 April 2011] Rodgers, G. 1994. Workers, Institutions and Economic growth in Asia. International Institute for Labor Studies. Geneva. Switzerland Sari, A.P., Maulidya, M., Butarbutar, R.N., Sari, R.E.dan Rusmantoro, W. 2007 Executive summary: Indonesia and climate change – Working paper on current status and policies. PT Pelangi Energi Abadi Citra Enviro (PEACE), Jakarta, Indonesia. Sathaye, J.A., W.R. Makundi, K. Andrasko, R. Boer, N.H. Ravindranath, P. Sudha, S. Rao, R. Lasco, F. Pulhin, O. Masera, A. Ceron, J. Ordonez, X. Deying, X. Zhang & S. Zuomin. 2001. Carbon Mitigation Potential And Costs Of Forestry Options In Brazil, China, India, Indonesia, Mexico, The Philippines And Tanzania. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 6: 185–211, 2001. Stern, N. 2007. ‘The Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge University Press. Cambridge. Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan. 2010. Pedoman Pengukuran Karbon untuk mendukung Penerapan REDD+ di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor. Verchot, L.V., Petkova, E., Obidzinski, K., Atmadja, S., Yuliani, E.L., Dermawan, A., Murdiyarso, D. dan Amira, S. 2010 Mengurangi emisi kehutanan di Indonesia. CIFOR, Bogor, Indonesia. Vrolijk, C. and J. O. Niles. 2002. The Scale of Land Use, Land-Use Change and Forestry (LULUCF) in Developing Countries for Climate Mitigation. The Nature Conservancy. 25
Wibowo, A., N. Masripatin & T. Fathoni. 2010. Peran Standardisasi Dalam Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Untuk Menghadapi Perubahan Iklim. . Prosiding Ppi Standardisasi 2010 – Banjarmasin, 4 Agustus 2010. Wibowo, A. 2010. Measurable, Reportable Dan Verifiable (MRV) Untuk Emisi Gas Rumah Kaca Dari Kegiatan Kehutanan. Dalam : REDD+ & Forest Governance, Editor : N. Masripatin dan C. Wulandari. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor.
26