Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PETERNAKAN TERKAIT PERUBAHAN IKLIM: TEKNOLOGI MITIGASI GAS METAN ENTERIK PADA TERNAK RUMINANSIA (Development of Livestock Technology Related to Climate Change: Mitigation Technology for Enteric Methane on Ruminant) AMLIUS THALIB Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT The main gases emissions causing the greenhouse effect on agricultural activities are CO2, CH4 and N2O. Methane is a typical greenhouse gas (GHG) emitted by livestock and about 90% of the livestock methane emission was contributed by ruminants. Contribution of livestock in national GHG emissions only about 1.2%, but globally livestock activities contributed about 12% of global greenhouse gas emissions. The significant and drastic increased concentrations of greenhouse gases would cause global warming. It is predicted that global warming will increase the global average temperatures between 1.8 to 4.0°C in the year 2100. Production of gases having a greenhouse effect should be reduced through appropriate mitigation technology, but the mitigation efforts on agricultural sector should always be guided by the policy of national food security. Reduction technology of enteric methane has been widely carried out through a nutritional approachs with the aspects of management and manipulation of rumen ecosystem. This paper describes the various technologies that have been developed to reduce enteric methane production. The application of technology decreasing methane production in ruminant cause the improved animal performance and improve maintenance efficiency. Enteric methane emissions in the buffalo is assumed to be lower than cattle if both are given the same feed. Key Words: Methane, Greenhouse Gas, Global Warming, Ruminants ABSTRAK Emisi gas-gas yang menimbulkan efek rumah kaca dari hasil kegiatan pertanian terutama adalah CO2, CH4 dan N2O. Gas metan merupakan tipikal emisi gas rumah kaca (GRK) pada komoditas peternakan dan sekitar 90% dari emisi metan ternak dikontribusi oleh ruminansia. Kontribusi emisi GRK subsektor peternakan secara nasional hanya sekitar 1,2%, namun secara global aktivitas peternakan memberikan kontribusi sebesar 12% dari emisi gas rumah kaca global. Peningkatan konsentrasi GRK secara nyata dan drastis akan menyebabkan terjadi pemanasan global. Diprediksi bahwa pemanasan global menyebabkan temperatur rata-rata dunia akan naik antara 1,8 – 4,0°C pada tahun 2100. Produksi gas-gas yang mempunyai efek rumah kaca harus dapat ditekan melalui upaya mitigasi yang tepat, namun untuk sektor pertanian upaya mitigasi harus selalu berpedoman kepada kebijakan kecukupan pangan nasional. Teknologi penurunan produksi metan enterik telah banyak dilakukan melalui pendekatan aspek manajemen nutrisional dan manipulasi ekosistem rumen. Makalah ini menjelaskan berbagai teknologi yang telah dikembangkan untuk mengurangi produksi gas metan enterik. Penerapan teknologi penurunan produksi gas metan pada sistem pemberian pakan ternak ruminansia menyebabkan performans ternak dan efisiensi pemeliharaan meningkat. Emisi metan enterik pada kerbau diasumsikan lebih rendah daripada sapi bila keduanya diberikan pakan yang sama. Kata Kunci: Metan, Gas Rumah Kaca, Pemanasan Global, Ruminansia
39
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
EMISI GAS RUMAH KACA PADA KOMODITAS TERNAK Efek yang ditimbulkan oleh molekulmolekul gas atmosfir yang terdapat di lapisan troposfir mempunyai peranan penting dalam memelihara suhu udara bumi agar relatif stabil dengan suhu rata-rata yang ditimbulkan mengikuti pola iklim pada area geografis setempat. Namun bila terjadi peningkatan konsentrasi gas-gas dilapisan troposfir (gas rumah kaca: GRK) secara nyata dan drastis akan menyebabkan terjadinya pemanasan global. Diprediksi bahwa pemanasan global menyebabkan temperatur rata-rata dunia akan naik antara 1,8 – 4,0°C pada tahun 2100 (IPCC, 2007). Peningkatan drastis konsentrasi GRK telah terjadi dalam kurun waktu 250 tahun dan berbagai dampak ekstrim yang ditimbulkan sangat terasa dalam beberapa dekade terakhir. Penyebab terjadinya peningkatan konsentrasi GRK atmosfir dapat bersumber dari proses alami seperti sebagai akibat aktivitas kimiawi di alam baik dalam kegiatan biologis maupun dalam bentuk proses alam lainnya (natural sources), dan dari akibat aktivitas manusia (anthropogenic). Dibandingkan dengan era praindustri (tahun 1750), maka konsentrasi GRK saat ini mengalami peningkatan secara signifikan, yakni masing-masing mengalami kenaikan konsentrasi untuk CO2 sebesar 34%, CH4 sebesar 152% dan N2O sebesar 18%, dimana CH4 mengalami peningkatan konsentrasi yang tertinggi. Dalam jumlah mol yang sama, gas metan mempunyai efek rumah kaca yang lebih besar dibandingkan dengan gas CO2 karena
daya menangkap panas CH4: 25 × CO2 (VLAMING, 2008). Memasuki era industri, muncul gas chlorofluorocarbon (CFC) yang berpotensi sebagai penyebab penipisan lapisan ozone (PIDWIRNY, 2007). Emisi GRK global kumulatif dalam masa 50 tahun diperlihatkan pada Tabel 1. Secara kumulatif dalam masa 50 tahun yang tanpa disertai Land-Use Change and Forestry (LUCF), Indonesia berada di luar 20 top emitter (HARYANTO dan THALIB, 2009), namun bila disertai dengan LUCF Indonesia menjadi peringkat ke–5 dunia sebagai emitter GRK. Peningkatan signifikan nilai kumulatif emisi GRK di Indonesia terjadi disebabkan karena disertai proses LUCF secara tidak terkendali sejak 3 – 4 dekade terakhir. Sehingga Indonesia sebagai emitter GRK menempati peringkat ke–4 pada tahun 2000 (Tabel 1). Emisi GRK secara nasional dalam masa 5 tahun berikutnya (HARYANTO dan THALIB, 2009) diperlihatkan pada Gambar l. Emisi GRK di sektor pertanian relatif tetap pada posisi nomor dua terendah dari seluruh sektor dengan laju peningkatan 1,1% per tahun. Laju peningkatan emisi GRK di sektor lain, energi, industri dan limbah berturut-turut 5,7 ; 2,6 dan 1,2% per tahun. LUCF dan kebakaran tanah gambut (peat fire) berfluktuatif dimana emisinya ekstrim tinggi pada tahun 2002, dan dengan demikian total emisi nasional dengan dan tanpa LUCF juga ekstrim tinggi pada tahun 2002. Posisi Indonesia sebetulnya bisa tidak termasuk dalam 20 top emitter bila penanganan LUCF terkendali dengan baik.
Tabel 1. Emisi gas rumah kaca (GRK) global/dunia (dalam juta ton CO2–eq)* Kumulatif emisi GRK dalam 50 tahun (1950 – 2000) Tanpa LUCF 217.820 (Indonesia ranking ke–21)
303.625
11.280
(Indonesia ranking ke-5)
(Indonesia ranking ke–4)
LUCF: Land–Use Change and Forestry Sumber: WALSER (2008) dalam HARYANTO dan THALIB (2009)
40
Emisi GRK tahun 2000dengan LUCF
Dengan LUCF
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
7000 (Juta ton CO-e)
6000
Total w LUCF
5000
Total t LUCF
4000
Peat fire
3000
LUCF
2000
Limbah
1000
Pertanian Industri
0 1
2
3
4
5
6
Energi
Tahun 2000–2005
Gambar 1. Emisi nasional GRK 2000 – 2005 LUCF: Land-Use Change and Forestry Sumber: MOE (2009); VAN DER WERF et al. (2007) dan VAN DER WERF et al. (2008) dikutip dalam HARYANTO dan THALIB (2009)
Bagi dunia pertanian, perubahan cuaca dapat menyebabkan terjadinya perubahan pola bertani karena adanya pergeseran iklim, terutama curah hujan, angin dan intensitasnya. Pemanasan global dapat menyebabkan mencairnya lapisan es dari kutub utara maupun kutub selatan. Dengan demikian akan terjadi peningkatan volume air laut yang berdampak pada meningkatnya permukaan laut tersebut. Pemanasan global juga menyebabkan lebih intensifnya penguapan dari permukaan bumi sehingga suhu lingkungan menjadi lebih tinggi dan produksi uap H2O meningkat. Apabila pemanasan tersebut menyebabkan kebakaran hutan (massa organik) maka akan mengakibatkan adanya peningkatan produksi gas CO2 ke udara dan seterusnya. Oleh karena itu, produksi gas-gas yang mempunyai efek rumah kaca harus dapat ditekan melalui upaya mitigasi yang tepat. Kegiatan pertanian memberikan kontribusi emisi GRK sekitar 5 – 7% dari emisi GRK nasional, dan uraian masing-masing kegiatan pertanian yang memberikan kontribusi terhadap emisi nasional GRK seperti
diperlihatkan pada Tabel 2 (KP3I–Litbangtan, 2008, unpublished). Dengan demikian kontribusi emisi GRK subsektor peternakan secara nasional hanya sekitar 1,2%, namun secara global aktivitas peternakan dunia memberikan kontribusi sebesar 12% dari emisi global (DOURMAD et al., 2008). Tabel 2. Emisi nasional GRK pada sektor pertanian (dalam juta ton CO2–eq) tahun 2007 CO2–eq* (juta ton)
Komposisi (%)
Padi/sawah
53,84
60,8
Ternak
21,32
24,1
3,27
3,7
Sumber emisi
Tanah pertanian Pembakaran massa organik
10,1
11,4
Total
88,53
100
*) Perhitungan dengan metode IPCC 2006
Emisi GRK dari hasil kegiatan pertanian terutama adalah CO2, CH4 dan N2O. Gas CH4
41
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
merupakan tipikal emisi GRK pada komoditas peternakan. Hasil inventory emisi gas CH4 pada komoditas peternakan dengan menggunakan “metode IPCC 2006 Tier-1” menunjukkan jumlah yang relatif stabil untuk masa 10 tahun (1998 – 2007) yaitu berada dalam kisaran 862 – 945 Gg CH4/tahun, dan sekitar 90% dari jumlah ini berasal dari ternak ruminansia (Gambar 2) dengan urutan komposisi: sapi potong (65,1%), kerbau (15,3%), kambing (9,3%), domba (6,1%) dan sapi perah (4,2%) (KP3I–Litbangtan, 2008, unpublished). Dalam emisi GRK nasional yang sangat fluktuatif pada kisaran 1.215 – 2.577 juta ton 2
42
e (Gambar 1), kontribusi hewan ternak berkisar 0,92 – 1,77%. Dengan menggunakan metode IPCC-Tier-1, emisi gas metan pada komoditas ternak hanya ditentukan oleh angka populasi. Komposisi per regional antar pulau seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3. Emisi gas metan tertinggi pada ternak berada di pulau Jawa dan diikuti oleh pulau Sumatera. Kedua pulau ini menyumbang emisi gas metan sekitar 70% dari emisi GRK nasional. Oleh sebab itu, pengembangan sistem produksi ternak yang rendah emisi disarankan untuk lebih diprioritaskan di kedua daerah pulau ini.
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
MITIGASI DAN STRATEGI PEMBERIAN PAKAN YANG RENDAH EMISI METAN Berbagai teknologi untuk menurunkan produksi gas metan enterik telah banyak dilakukan, antara lain dengan pendekatan manajemen pemberian pakan, manajemen penggunaan bahan pakan (rumput budidaya, leguminosa, konsentrat, hasil sampingan pertanian/perkebunan yang dapat dijadikan sumber protein dan energi) dan manipulasi rumen. Peningkatan nilai DMD/OMD hijauan dapat menurunkan produksi gas metan persatuan DMI pada domba (ULYAT et al., 2005). Produksi CH4 yang ekivalen dengan kehilangan 4,5 – 5,3% GEI sapi perah pada musim semi meningkat menjadi ekivalen dengan kehilangan 6 – 7% GEI di musim kemarau (ROBERSTON dan WAGHORN, 2002). Hal ini disebabkan karena kualitas gizi rumput di musim semi lebih baik daripada di musim kemarau. Penggunaan rasio komposisi konsentrat/rumput yang tinggi akan menurunkan rasio asetat/propionat dan produksi CH4. Kehilangan energi sebagai CH4 pada ransum berbasis rumput ekivalen dengan sekitar 6 – 7% GEI dan pada ransum berbasis konsentrat ekivalen dengan sekitar 2 – 3% GEI (MONTENY et al., 2006). Produksi CH4 enterik dapat turun hingga 20% dengan penggunaan 25% level karbohidrat non-struktural dalam ransum (VAN SOEST, 1982). Peningkatan porsi legum dalam ransum rumput dapat menurunkan produksi CH4 enterik sebesar 10 hingga 16% (MCCAUGHEY et al., 1999; LEE et al., 2004). Ransum campuran Ryegrass dan C. Clover (70 : 30)% menghasilkan penurunan produksi CH4 enterik sebesar 17 – 24% dibandingkan dengan 100% Ryegrass (BEUCHEMIN et al., 2008). Beberapa macam bahan yang dapat menjadi campuran ransum ternak ruminansia berupa hasil sampingan dan limbah yang juga berpotensi untuk dapat meningkatkan efisiensi produksi dan menurunkan emisi gas metan enterik, antara lain adalah ampas tahu, bungkil biji sawit, dedak halus, bungkil biji kapuk dan polard. Semua contoh bahan ini mempunyai nilai gizi yang bagus, dimana nilai TDN nya cukup hingga tinggi dengan kandungan protein cukup hingga tinggi.
Peningkatan efisiensi produksi ternak ruminansia dan penurunan produksi gas metan enterik dengan cara menghambat/menurunkan laju metanogenesis melalui manipulasi rumen juga telah banyak dilaporkan. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan proses defaunasi (menekan/menurunkan populasi protozoa rumen), menggunakan aditif pengguna hidrogen/dan atau hydrogen sinks/akseptor elektron, menggunakan aditif methane derivatives, antibiotik dan vaksin. Berbagai jenis feed additives telah dilaporkan dapat menghambat metanogenesis secara efektif dengan beberapa tipe mekanisme, antara lain senyawa-senyawa derivat metan (BOCCAZZI dan PATTERSON, 1995; MILLER dan WOLIN, 2001); asam-asam lemak berantai panjang tidak jenuh (FIEVES et al., 2003; THALIB, 2004a; MACHEMULLER, 2006); ion ferri dan ion sulfat (OBASHI et al., 1995; THALIB, 2004a); dan senyawa saponin (JOUANY, 1991; THALIB, 2004a). Studi in vitro fermentasi substrat, menunjukkan defaunator (bahan aktif saponin dari buah lerak) dengan dan tanpa ekstraksi dapat menurunkan produksi CH4 masingmasing sebesar 31 dan 21%; Fe3+ dan SO42masing-masing menurunkan produksi CH4 sebesar 22 dan 10%; PUFA menurunkan produksi CH4 sebesar 11% (THALIB, 2004a). Isolat bakteri asetogenik dari rumen rusa yang telah teridentifikasi (A.noterae dan A.woodii) juga telah dilaporkan (THALIB, 2008a) dapat menurunkan produksi gas metan enterik sebesar 11,6% (sediaan noterae, in vitro) dan 9,4% (sediaan woodii, in vitro) dan daya inhibisi metanogenesis kedua sediaan meningkat bila dikombinasikan dengan defaunator (Aksapon SR dan defaunator lainnya) yaitu berturut-turut menjadi 28,8% dan 20,6%. Studi in vivo dengan menggunakan Mix feed additive yang merupakan campuran dari beberapa komponen dengan multi fungsi yakni terdiri dari komponen-komponen yang berperan sebagai defaunator, inhibitor metanogenesis, faktor pertumbuhan bakteri dan pemacu pencernaan serat, bakteri asetogenik dan pengguna hidrogen lainnya telah dilaporkan efektif untuk meningkatkan produktivitas ternak domba yang rendah emisi metan (THALIB et al., 2008), yakni meningkatkan ADG ternak domba sebesar
43
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
45% dengan perbaikan efisiensi pakan sebesar 17%, menurunkan produksi metan enterik sebesar 23%. Produk Mix Feed Additive ini dinamakan complete rumen modifier (CRM). Komponen utama dari formula CRM adalah buah lerak (sapindus rarak) dalam bentuk sediaan ekstrak maupun sediaan yang digiling langsung. Secara tunggal pemberian buah sapindus rarak dilaporkan dapat meningkatkan ADG domba sebesar 44% dengan perbaikan FCR sebesar 20% (THALIB et al., 1996) dan menurunkan produksi metan enterik sebesar 21% (THALIB, 2004a). Penggunaan ekstrak kasar sapindus rarak juga telah dilaporkan oleh WINA et al. (2005) bahwa terjadi kenaikan ADG domba sebesar 40% dan penggunaan pada sapi dilaporkan meningkatkan ADG sebesar 20% (ASTUTI et al., 2007). Penggunaan CRM pada ransum domba, kambing perah dan sapi perah pada studi pemantapan peranan CRM sebagai komponen pakan imbuhan untuk menurunkan produksi metan enterik dan perbaikan performans ternak ruminansia diperlihatkan pada Tabel 3. Tidak terlihat tanda-tanda/gejala adanya efek negatif penggunaan aditif CRM selama masa beberapa tahun percobaan in vivo. Hasil penelitian yang telah dilakukan di Balitnak (Tabel 3) dan dalam penelitian-penelitian lainnya bahwa penurunan produksi CH4 enterik yang menyebabkan terjadi perbaikan produktivitas dan efisiensi pada ternak ruminansia sejalan dengan yang didapat oleh laporan-laporan penelitian negara-negara luar lainnya. Hal ini menjadi sejalan dari sisi tujuan pengembangan usaha ternak, khususnya ruminansia, yang efisien dan ramah lingkungan, dan hal ini tentu akan memberikan efek positif bagi kalangan peternak/pengguna
dalam merespon program mitigasi CH4 enterik. Namun pelaksanaannya secara nasional masih banyak kendala terutama ditingkat petani/peternak rakyat dikarenakan skala pemilikan yang hanya 1 – 3 ekor sapi/keluarga, sehingga adopsi teknologi juga masih sangat rendah, pada hal lebih dari 90% populasi ternak ruminansia berada di tangan petani/peternak rakyat. SAR et al. (2004) melaporkan bahwa nitrat dapat berperan sebagai akseptor elektron yang cukup kuat untuk menekan produksi CH4. Namun bersifat toxic terhadap fungsi haemoglobin. Senyawa kompleks bromochloromethane dengan α-cyclodextrin, dapat menurunkan laju produksi CH4 (0,25 ml/menit vs 205 ml/menit), menurunkan rasio C2/C3 (14%), dan juga menurunkan DMI (8 – 10%), namun tidak ada pengaruh terhadap ADG selama masa percobaan (MCCRABB et al., 1997). α-bromoethanesulfonic (BES) menunjukan inhibitor yang sangat efektif yakni dapat menurunkan emisi CH4 dari 3,9% menjadi 0,6% GEI langsung setelah beberapa saat diberikan pada ternak, namun hanya dalam waktu 4 hari pemberian, mikroba telah mampu beradaptasi dengan senyawa tersebut (MATHISON et al., 1998). Antibiotik (seperti ionophore) juga efektif digunakan untuk menurunkan produksi CH4, yakni dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas hewan ternak sekitar 8% (MOSS et al., 2000). Domba dengan pakan hijauan segar yang diberi monensin 15 mg/hari, dapat menurunkan produksi CH4 sebesar 33% (SWAINSON et al., in VLAMING, 2008). Namun antibiotik memiliki kelemahan, yaitu dapat menimbulkan efek
Tabel 3. Studi in vivo: daya aktivitas CRM terhadap penurunan produksi CH4 enterik dan perbaikan performans ternak Inhibitor metanogenesis
Penurunan CH4 enterik
Peningkatan ADG
Perbaikan FCR/Lemak susu
CRM
22%
43 – 47%
18%
Pada domba (THALIB et al., 2010)
CRM
17 – 22%
30%
18%
Pada domba, Chamber method (THALIB et al., 2011)
CRM
14%
–
12%
Pada sapi perah. (THALIB et al., 2011)
CRM
41%
67 – 97%
25%
Pada kambing PE (SUKMAWATI, Thesis, Fapet, IPB. 2010)
44
Keterangan
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
resisten terhadap mikroba (metanogen), sehingga tidak efektif untuk waktu lama. Suatu penelitian yang baru dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir yaitu dengan pendekatan vaksinasi untuk melemahkan metanogen pada ternak ruminansia. Cara ini sangat menguntungkan bila berhasil mendapatkan vaksin yang efektif menstimulasi hewan ruminansia untuk menghasilkan antibodi nya guna melawan metanogen. Peneltian yang sedang berjalan menunjukan bahwa Cassapon (produk Balitnak, Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian) dan FBS (produk Fapet IPB) masing-masing dapat digunakan sebagai pakan suplemen untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi dan menurunkan produksi gas metan enterik. Kedua produk ini memperlihatkan pengaruh yang lebih baik lagi bila dikombinasikan. Karena cara penggunaannya mudah maka petani/peternak dapat menerima teknologi ini, namun dari aspek ekonomi belum dilakukan pengkajian. Pemberian FBS dan Cassapon efektif miningkatkan pertambahan bobot badan sapi potong walaupun dalam kondisi pakan yang relatif rendah. Peningkatan ini disebabkan terjadi peningkatan efesiensi penggunaan pakan yang pada akhirnya menurunkan emisi
gas metan enterik (KP3I–LITBANGTAN, 2010, unpublished). PERBEDAAN EKOSISTEM RUMEN ANTARA KERBAU DAN SAPI Studi in vivo yang terkait dengan pengamatan penurunan produksi gas metan enterik kebanyakan dilakukan pada ternak domba, sapi potong dan sapi perah, sedangkan laporan pada kerbau sangat jarang. Besarnya produksi gas metan enterik pada hewan ruminansia terutama ditentukan oleh tingkat daya cerna dan efisiensi penggunaan pakan. Sudah lama dilaporkan bahwa kerbau (Bubalus bubalis) lebih superior daripada lembu (Bos indicus) maupun sapi European cattle (Bos taurus) dalam hal kemampuan mencerna selulosa (ICHHPONANI et al., in VLAMING, 2008) dan mencerna bahan kering dan serat kasar (RAGHOVAN et al., in VLAMING, 2008; JOHNSON et al., in VLAMING, 2008). Hal ini berkaitan dengan perbedaan kinerja dan ekosistem rumen antara kerbau dan sapi. Dalam beberapa studi memperlihatkan bahwa secara umum terdapat perbedaan kondisi rumen antara kerbau dan sapi (Tabel 4).
Tabel 4. Performans rumen kerbau versus rumen sapi Kinerja dan ekosistem rumen
Parameter
Literatur
Kerbau
Sapi
25,5
21,88
PANT dan ROY (1970)
Protozoa (10 /ml RF)
21,29
21,66
KENNEDY et al. (1992)
Oscillospira (105/ml RF)
10,46
0,56
FRANZOLIN et al. (2010)
Bacteria tc (109/ml RF) 4
NH3-N (mg/100 ml)
10,33 – 23,80
6,96 – 14,51
DMI (g DM/kg BW/day)
19,8
16,2
KENNEDY et al. (1992)
Dig.cotton wool (% in 24 hr)
43,9
31,2
FRANZOLIN et al. (2010)
8,2 – 9,4
5,5 – 7,7
Outflow rate of rumen fluid (%/hr) Large protozoa (105/ml RF) C3/C2
0,24
DMI (g DM/kg0,75) Outflow rate of rumen fluid (%/hr) 5
Ciliata protozoa (10 /ml RF) VFA (mM) C2/C3
0,13 113,9 9,4
0,65 0,23 100,5
FRANZOLIN et al. (2010)
7,7
6,1
8,8
82,52
83,66
2,20
2,67
45
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
Populasi mikroba dalam rumen kerbau dan sapi, masing-masing untuk bakteri adalah 25,5 × 109 dan 21,9 × 109 per ml cairan rumen; Oscillospira adalah 10,46 × 105 dan 0,56 × 105 per ml cairan rumen; nitrogen NH3 adalah 10,33 dan 6,96 mg/100 ml. Lebih tingginya kandungan N bakterial disertai jumlah oscillospira yang lebih tinggi dalam rumen kerbau diindikasikan sebagai faktor yang mendukung rumen kerbau untuk lebih mampu mensintesa protein (PANT dan ROY, 1970). Lebih lanjut telah dilaporkan perbedaan kinerja rumen antara kerbau dan sapi, masing-masing untuk DMI adalah 19,8 dan 16,2 g BK/kg BB/hari; laju alir fraksi cairan rumen adalah 8,2 dan 5,5%/jam; kandungan N adalah 238 dan 101 mg N/l; kecernaan cotton wool adalah 43,9 dan 31,2% dalam 24 jam; protozoa besar adalah 0,13 × 105 dan 0,65 × 105 per ml cairan rumen (KENNEDY et al., 1992). Adanya perbedaan 5 parameter ini yang diperlihatkan rumen kerbau dibandingkan rumen sapi diasumsikan sebagai faktor potensial bagi kerbau untuk berproduksi yang lebih efisien dengan emisi CH4 enterik yang lebih rendah. Laporan terbaru juga menunjukkan keunggulan kinerja rumen kerbau Asia dibandingkan dengan rumen sapi berdasarkan pengamatan yang sama dengan yang sebelumnya, ditambah dengan adanya perbedaan nilai rasio asetat/propionat yang lebih rendah pada rumen kerbau (2,20 vs 2,67 pada sapi) (FRANZOLIN et al., 2010). Hal ini lebih memperkuat bahwa emisi metan enterik pada kerbau diasumsikan lebih rendah daripada sapi bila keduanya diberikan pakan yang sama. DAFTAR PUSTAKA. ASTUTI, D.A., E. WINA, B. HARYANTO dan S. SUHARTI. 2007. Peningkatan Produksi dan Respon Kebal Sapi Potong Melalui Pakan Aditif Lerak (Sapindus Rarak De Candole) pada Pemberian Ransum Berbasis Jerami Padi. Laporan Penelitian KKP3T, Litbang Deptan-Institut Pertanian Bogor. BEAUCHEMIN, K.A., M. KREUZER, F. O’MARA and T.A. MCALLISTER. 2008. Nutritional management for enteric methane abatement: a review. Australian J. Experimental Agric. 48: 21 – 27.
46
BOCCAZI, P. and J.A. PATTERSON. 1995. Potential for functional replacement of methanogenic bacteria by acetogenic bacteria in the rumen environment. IVth Intertnational Symposium on the Nutrition of Herbivores. September, 16 – 17,Clermont – Ferrand, France. COMMUNICATION. Ministry of Environment and United Nation Development Program, Jakarta. DOURMAD, J.Y., C. RIGOLOT and H.V.D WERF. 2008. Emission of greenhouse gas, developing management and animal farming system to assist mitigation. Proc. Livestock and Global Climate Change. ROWLINSON, P., M.STEELE and A. NEFZAOUI. Ed. Hammamet, Tunisia. Cambridge University Press. pp. 36 – 39. FIEVES,A., F. DOHME, M. DANEELS, K. RAES and D. DEMEYER. 2003. Fish oil as potent rumen methane inhibitors and associated effects on rumen fermentation in vitro and in vivo. Anim. Feed Sci.Technol.104: 41 – 58. FRANZOLIN, R., F.P. ROSALES and W.V.B. SOARES. 2011. Effect of dietary energy and nitrogen supplements on rumen fermentation and protozoa population in buffalo and zebu cattle. Reviste Brasileira de Zootechnia, 39: 549 – 555. HARYANTO, B. and A. THALIB. 2009. Emission of methane from enteric fermentation: National contribution and factors affecting it in livestock. Wartazoa 19(4): 157 – 165. IPCC. 2006. Emission from Livestock and Manure Management. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Ch.10. IPCC. 2007. Summary for Policymakers. In Climate Change 2007: The Physical Science Basis. JOUANY, J.P. 1991. Defaunation of the rumen. In: Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. JOUANY. J.P. Ed. INRA: 239 – 2 61. KENNEDY, P.M., G.L.R. GORDON and J.P. HOGAN. 1992. Nutrition comparisons between cattle and buffalo and implications for draught animal power, In: 6th Asian-Australasian Association of Animal Productions Societies Congress. 23 – 24 November 1992, Bangkok, Thailand. ACIAR Proc. no. 46: 66 – 71. LEE, J.M., S.L. WOODWARD, G.C. WAGHORN and D.A. CLARK. 2004. Methane emissions by dairy cows fed increasing proportions of white clover (Tripolium repens) in pasture. Proc. the New Zealand Soc. Anim. Product. 66: 151 – 155.
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
MACHEMULLER, A. 2006. Medium-chain fatty acids and their potential to reduce methanogenesis in domestic ruminants. Agric. Ecosyst. Environ. 112: 107 – 114. MATHISON, G.W., E.K. OKINE, T.A. MCALLISTER, Y. DONG, J.GALBRAITH and O.I.N. DMYTRUK. 1998. Reducing methane emissions from ruminant animals. J. Applied Anim. Research 14: 1 – 28. MCCAUGHEY, W.P., K. WITTENBERG and D. CORRIGAN. 1999. Impact of pasture type on methane production by lactating beef cows. Can. J. Anim. Sci. 79: 221 – 226. MCCRABB, G.J., K.T. BERGER, T. MAGNER, C. MAY and R.A. HUNTER. 1997. Inhibiting methane production in Brahman cattle by dietary supplementation with a novel compound and the effects on growth. Aust. J. Agric. Res. 48: 323 – 329. MOE, 2009. Technical Report: National Greenhouse Gas Inventory for the Second National. MOSS, A.R., J.P. JOUANY and J. NEWBOLD. 2000. Methane production by ruminants: its contribution to global warming. Annales de Zootechnie 49: 231 – 253. N.M.D. SUKMAWATI. 2011. Produktivitas dan Emisi Metan pada Kambing Perah Peranakan Etawah yang Disuplementasi Kaliandra dan Complete Rumen Modifier (CRM). Tesis. Ilmu Nutrisi dan Pakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. OBASHI, Y., K. USHIDA, K. MIYASAKI and K. KOJIMA. 1995. Effect of initial sulfate level on electron partition between methanogenesis and sulfate reduction in the rumen. Sattelite symposium of IVth International Symposium on the Nutrition of Herbivores. Clermont-Fd., France: 42. PANT, H.C. and A. ROY. 1970. Studies on the rumen microbial activity of buffalo and zebu cattle. PIDWIRNY, M. 2007. The Greenhouse Effect. Fundamentals of Physical Geography. http://www.physicalgeography.net/fundament als/7th.html. (4 Desember 2007). ROBERTSON, L.J. and G.C. WAGHORN. 2002. Dairy industry perspectives on methane emissions and production from cattle fed pasture or total mixed rations in New Zealand. Proc. the New Zealand Soc. Anim. Prod. 62: 213 – 218.
SAR, C., B. SANTOSO, B. MWENYA, Y. GAMO, T. KOBAYASHI, R. MORIKAWA, K. KIMURA, H. MIZUKOSHI and J. TAKAHASHI. 2004. Manipulation of rumen methanogenesis by the combination of nitrate with B 1 – 4 galactooligosacchrides or nisin in sheep. Anim. Feed Sci. Technol. 115: 129 – 142. THALIB A, Y. WIDIAWATI, H. HAMID, D. SUHERMAN dan M. SABRANI. 1996. The effects of saponin from Sapindus rarak fruit on rumen microbes and performance of sheep. JITV 2(17 – 20). THALIB, A. dan Y. WIDIAWATI. 2008. Efek pemberian bakteri Acetoanaerobium noterae terhadap performans dan produksi gas metana pada ternak domba. JITV 13(4): 273 – 278. THALIB, A. dan Y. WIDIAWATI. 2008b. Efek pemberian bakteri Acetoanaerobium noterae terhadap performans dan produksi gas metana pada ternak domba. JITV 13(4): 273 – 278. THALIB, A. 2004a. Uji efektivitas saponin buah Sapindus rarak sebagai inhibitor metanogenesis Secara in vitro pada system pencernaan rumen. JITV, 9(3): 164 – 171. THALIB, A. 2008a. Isolasi dan identifikasi bakteri asetogenik dari rumen rusa dan potensinya sebagai inhibitor metanogenesis. JITV 13(3): 197 – 206. THALIB, A., P. SITUMORANG, I.W. MATHIUS, Y. WIDIAWATI and W. PUASTUTI. 2011. Utilization of the complete rumen modifier on dairy cows. JITAA 36(2): 137 – 142. THALIB, A., Y. WIDIAWATI, W. PUASTUTI and FIRSONI. 2011. Use a chamber method to verify the effectiveness of a complete rumen modifier reducing the enteric methane on ruminants. Submitted. Proc. of 6th Int. Symp. on Non-CO2 Greenhouse Gas (in press). THALIB, A., Y. WIDIAWATI and B. HARYANTO. 2010. Penggunaan complete rumen modifier (”CRM”) pada ternak domba yang diberi hijauan pakan berserat tinggi. JITV 15(2): 97 – 104. THALIB, A., Y. WIDIAWATI dan H. HAMID. 2004b. Uji efektivitas isolat bakteri hasil isolasi mikroba rumen dengan media asetogen sebagai inhibitor metanogenesis. JITV 9(4): 233 – 238. ULYATT, M.J., K.R. LASSEY, I.D. SHELTON and C.F. WALKER. 2005. Methane emission from sheep grazing four pastures in late summer in New Zealand. New Zealand J. Agric. Res. 48: 385 – 390.
47
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011
VAN SOEST, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. O. and B. Books Inc. Corvallis, Oregon. VLAMING, J.B. 2008. Quantifying Variation in Estimated Methane Emission from Ruminants Using the SF6 Tracer Technique. A Thesis of Doctor of Phylosophy in Animal Science. Massey University, Palmerston North, New Zealand.
48
WALSER, M.L. 2008. Greenhouse gas emissions: perspective on the top 20 emitters and developed versus developing nations. In: Environmental Information Coalition, National Council for Science and the Environment, CUTLER J. CLEVELAND (Eds). Encyclopedia of Earth, April 4, 2008. WINA, E. 2005. The Utilization of Sapindus Rarak DC Saponins to Improve Ruminant Production Through Rumen Manipulation. PhD. Thesis. University of Hohenheim, Germany. Verlag Grauer-Beuren, Stuttgart, 143 p.