Subhanallah, thanks for your attention …..Tulisan ini tidak ada tendensi apapun .. hanya utk berbagi kisahkisah inspiratif. Semoga ada hikmah yang bisa kita ambil…. Smoga hidup kita penuh Istiqomah, Hikmah, Barokah, dan Hidayah ALLAH SWT.…….Selamat membaca…. semoga informasi tersebut bermanfaat bagi kita semua….. Bacalah hingga selesai, jangan setengah-setengah karena tidak akan ada manfaatnya…… Believe or Not…..Believe aja......it's a nice thing to share, enjoy.....it….… "Subhanallah,walhamdulillah,walailahaillallah Allahu Akbar,wala haulawala quata illa billahilaliyil azim.
Thanks and regards, ُّ( ََاآُ ُ اjazakumullah) Khairan Katsiran... Selamat Beraktifitas. Selamat berkarya. Semoga kita selalu diberi keberkahan dan lindungan Allah swt... May Allah forgive our sins and guide us to the Straight Path. May ALLAH's real blessing for all of us. May ALLAH's bless always be with each of us, Aamiin!! Hopefully you are always fine, successful, and noble as well.. Aamiin!! Hope you and your activity have a great days Ya Allah, Aamiin tsumma aamiin Yaa Rabbul 'Ijabah!!"
Wishing you and your family all the best! Best Regards, afwanminkum
http://chandra-anom.blogspot.com/ Mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan; juga bila tidak berkenan dan kurang berkenan dengan email dan info di blog saya selama ini. Mohon maaf Maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan dalam email yang saya kirim selama ini.. Semoga ALLAH mengampuni segala dosa dan kekurangan kita serta selalu menunjukkan kepda kita jalan yang lurus. Wallahu A’lam.
Indonesia Republik Koruptor! http://koran.republika.co.id/koran/29 Belum lama ini, sebuah kenyataan yang memilukan sekaligus memalukan harus ditelan oleh negeri yang kita cintai. Betapa tidak, berdasarkan survei yang dirilis oleh The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Hong Kong pada senin (8/3) lalu, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup di kawasan Asia Pasifik. Indonesia menempati posisi teratas dengan perolehan nilai 9,27. Angka ini meningkat cukup tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya 8,32. Tingginya angka korupsi di Indonesia tersebut sungguh sangat miris. Apalagi, jika melihat posisi Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Meski, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menunjukkan kinerja yang cukup baik, faktanya perilaku koruptif di tubuh pejabat tinggi semakin tidak terkendali. Agus Hidayat Mahasiswa Manajemen Komunikasi FIKOM Unpad
Perubahan Gaya Hidup ala Arafat Selasa, 06 April 2010 pukul 07:37:00 http://koran.republika.co.id/koran/14/107822/Perubahan_Gaya_Hidup_ala_Arafat Suasana Kluster Espaniola di Telaga Golf Sawangan siang itu tampak lain dari biasanya. Tiga satpam sekaligus menjaga pintu gerbang kluster rumah bertipe minimalis di kawasan selatan Depok, Jawa Barat, itu. Tak sembarangan orang bisa masuk. Kalaupun beruntung dapat masuk, satpam akan meminta kartu tanda penduduk (KTP). Bahkan, mereka mengikuti tamu yang tak begitu mengenali tempat itu hingga bertemu rumah yang dituju. ''Di sini, ada rumah Kompol Arafat yang sering muncul di TV itu,'' ucap Rusdi (45 tahun), seorang tukang ojek, yang menemani Republika menembus perumahan dengan jalan mulus itu.Rumah Mohd Arafat
Enanie, penyidik muda di Bareskrim Polri, tak begitu jauh dari pintu gerbang. Tinggal jalan lurus dan belok kiri. Posisinya di tengah-tengah, tepatnya Blok C 19, Nomor 2. Rumah bertingkat dua itu didominasi warna krem dan cokelat. Di depan rumah ada taman dihiasi ayunan dan perosotan anak-anak. Tak terlihat aktivitas apa pun di rumah tersebut. Hanya kendaraan mewah hilir mudik di jalanan kompleks. Menurut seorang warga, Rico (30 tahun), Arafat adalah warga baru. Tapi, ia tak tahu pasti kapan keluarga itu pindah. Satu hal yang diingat Rico, harga rumah di kompleks itu lebih dari setengah miliar rupiah. ''Ya, pokoknya di atas Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar,'' kata Rico, Senin (5/4). Dari Telaga Golf, Republika mencoba menelusuri rumah Arafat lainnya yang tak begitu jauh, masih di Kecamatan Sawangan, Depok. Berbeda dengan Telaga Golf, rumah-rumah di Kompleks Bumi Sawangan Indah ini terkesan sederhana. Bahkan, jalan yang harus dilalui pun tak mulus, penuh lubang dan kubangan. Rumah Arafat yang ini pun berada amat jauh di pelosok kompleks, di ujung paling selatan berdekatan dengan perkampungan luar kompleks. Tepatnya di Jalan Anggrek Blok C 6 A, Nomor 29, RT 1/RW 11. Tak sulit mengenali rumah Arafat. Rumah oknum polisi yang terjerat kasus mafia hukum bersama pegawai pajak Gayus Tambunan itu terlihat sedang direnovasi. Rumah itu bertipe 36, jauh lebih kecil dibanding rumah di Telaga Golf. Rumah yang sedang diperbaiki oleh beberapa tukang tersebut hanya terdiri atas satu lantai. Cat kuning bercampur putih membalut bagian luarnya. Di dalam rumah berubin keramik putih itu ada dua kamar bersebelahan. Namun, tak ada satu pun perabotan. ''Yang pasti, rumah ini telah kita perbaiki selama dua minggu. Cuma benerin cat atap yang dulunya tripleks saja, sama ganti ubin,'' kata Alam, salah satu tukang yang tinggal di Kampung Penggulan, sebelah kompleks tersebut. Alam mengaku tak begitu mengenal pemilik rumah. Arafat jarang menjenguk pembangunan rumahnya ini. ''Terakhir seminggu lalu, istrinya sempat datang memonitor,'' katanya sambil memberi pelapis cat pada dinding depan rumah. Untuk merenovasi rumah tersebut, istri Arafat yang enggan ia sebutkan namanya telah memberi sejumlah uang muka senilai Rp 15 juta. Namun, sebenarnya biaya renovasi rumah itu butuh lebih dari Rp 25 juta. ''Tapi, nggak tahu nih , ibu belum datang-datang lagi,'' kata Alam. Meski telah mendengar Arafat ditahan oleh polisi, ia dan rekan-rekannya terus mengerjakan renovasi rumah. ''Ini tinggal dikit lagi kok ,'' ujarnya. Agus Karyanto (60), warga setempat, mengatakan, Arafat sudah pindah ke Telaga Golf sejak akhir 2009. Arafat memiliki seorang istri dan tiga orang anak yang masih kecil. Anak sulung duduk di kelas V SD, anak kedua di bangku TK, dan sang bungsu masih berusia dua tahun. Arafat telah menetap di kompleks itu sejak 2005. Selama ini Agus dan warga mengenal dirinya sebagai sosok yang baik. ''Tapi, memang ia jarang ngobrol ,'' jelas Agus. Dalam ingatannya, Arafat sosok yang sangat rajin beribadah. Bahkan, sang perwira muda polisi itu kerap membawa anak sulungnya untuk Shalat Shubuh di masjid tak jauh dari rumahnya. Sebelum kasus ini terungkap, Agus dan keluarga benar-benar tak menyangka Arafat akan terjerat kasus pidana. Tapi, Agus sempat bingung juga dengan perubahan gaya hidup Arafat. Sebagai polisi yang berpangkat komisaris, harta benda yang Arafat miliki seperti orang yang sudah kerja puluhan tahun. Bahkan, layaknya petinggi perusahaan. Agus mengetahui Arafat memiliki dua mobil, Toyota Avanza dan Daihatsu Terios. Tak hanya itu, Arafat pun kerap terlihat memamerkan sepeda motor gede Harley Davidson. ''Sempat dibawa ke mana-mana kalau dia keluar,'' ujarnya. Kini, Harley Davidson Electra Glide Ultra Classic itu disita Mabes Polri sebagai barang bukti penyuapan dari Gayus Tambunan. Dalam situs Harley Davidson Amerika, harga motor touring itu 20.999 dolar AS. Bila masuk ke Indonesia, dipastikan harganya naik dua kali lipat.
Beberapa pekan lalu pun, ia juga sempat mendengar Arafat akan pindah kembali ke Bukit Sawangan Indah. Itulah kenapa rumah lamanya direnovasi. Berembus kabar kepindahan Arafat dari Telaga Golf karena rumahnya di lingkungan elite itu pernah kemalingan. ''Tapi, ada juga yang bilang kompleks itu amat sepi, jadi istrinya nggak betah,'' tambah Agus. Berbeda dengan Arafat yang sudah dijadikan tersangka, atasannya sebagai direktur ekonomi khusus Bareskrim Polri, Brigjen Edmond Ilyas, baru sebatas dicopot. Polri belum membuka letak kesalahan mantan kapolda Lampung yang baru saja menjalani serah terima jabatan ini. Yang jelas, kemarin rumah dinas Edmond di Asrama Polisi Jl Sukajadi, Kelurahan Cipedes, Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung, terbakar. Peristiwa yang terjadi pada pukul 10.00 WIB itu memang hanya menghanguskan ruang dapur. Setelah api dipadamkan warga setempat dengan selang dan ember, polisi masih belum bisa menyimpulkan penyebab kebakaran itu. Edmond sebelumnya memang pernah menjabat kapolwiltabes Bandung sebelum berdinas sebagai kapolda Lampung. Jajang Saepudin, warga setempat, mengatakan api menghanguskan satu lemari es yang diduga menjadi pangkal kebakaran. c21/mj04, ed: rahmad bh
Forkom Jerman: Musuh Sejati Adalah Korupsi, Bukan Institusi Alam Islami 12/11/2009 | 24 Zulqaedah 1430 H
Oleh: Tim dakwatuna.com dakwatuna.com – Berlin. Kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri dan Kejagung mengundang keprihatinan masyarakat Indonesia di luar negeri. Pelemahan intitusi hukum adalah kemenangan bagi para koruptor. “Musuh sejati adalah para pelaku korupsi dan konspirasi, bukan institusi yang sah dan dilindungi undang-undang,” kata Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Muslim Indonesia se-Jerman (FORKOM) Nugroho Fredivianus dalam rilisnya, sebagaimana yang dimuat di detikcom, Kamis (12/11/2009). Kriminalisasi KPK juga menjadi keprihatinan masyarakat Indonesia di Jerman. Menurut Nugroho, KPK seharusnya dijadikan sebagai mitra kerja ideal kedua kakak kandungnya yaitu Polri dan Kejagung. “Namun masyarakat disuguhi pertikaian dan konflik dari ketiga institusi yang justru sangat dinanti prestasinya,” lanjutnya. Nugroho menegaskan FORKOM mendesak agar konflik KPK, Polri dan Kejagung segera diakhiri. Semua pihak yang terbukti terlibat dari setiap institusi harus segera diseret ke meja hijau. “Selesaikan konflik dengan proses hukum yang transparan dan akuntabel agar kepercayaan publik dapat dipulihkan,” pungkasnya. (dtc)
AKP Dewa Sering Ngaku Alumni Akpol 1997, Berwatak Arogan detikcom -. http://id.news.yahoo.com/dtik/20091221/tpl-akp-dewa-sering-ngaku-alumni-akpol-1b28636a.html Anggota Resmob Polda Metro Jaya, AKP Dewa Wijaya, yang dilaporkan menodongkan pistol kepada asisten notaris Niniek Sri Rejeki kerap mengaku-ngaku alumni Akpol 1997. Padahal, Dewa lulusan Sekolah Perwira Sukarela Dinas Pendek (PSDP). Ia pun terkenal arogan.
"Dia memang sering mengaku-ngaku sebagai Alumni Akpol 1997. Dia itu memang overconfidence, itu nggak masuk akal," kata seorang polisi lulusan Akpol 1997 yang enggan disebutkan namanya. Hal ini disampaikan dia di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Senin (20/12/2009). Menurut dia, Dewa sebenarnya lulusan Sekolah Perwira Sukarela Dinas Pendek (PSDP) Korp Polair. "Memang lulus 1997," ujar sumber kepolisian itu. Dikatakan dia, Dewa dikenal sangat arogan dan overconfidence. "Pembawaannya menurut masyarakat Serpong, kan dia pernah Kapolsek Serpong tuh dari hasil pemantauan, dia itu sangat arogan dan overconfidence," kata sumber itu lagi. Dewa dilaporkan atas dugaan melakukan pengancaman dan penodongan pistol kepada asisten notaris Niniek Sri Rejeki. Pihak Niniek sudah melaporkan kejadian ini kepada Yanmas Polda Metro dengan Nomor LP 3643/K/XII/2009/SPK Unit-I dan 3644/K/XII/2009/SPK Unit-I.
Perburuan Koruptor Diragukan http://koran.republika.co.id/koran/23/107848/Perburuan_Koruptor_Diragukan Selasa, 06 April 2010 pukul 11:01:00 JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) meragukan upaya perburuan Polri menangkap buronan yang kabur ke luar negeri. "Pernyataan Kabareskrim tersebut masih perlu diragukan sebelum Polri mengumumkan prioritas, target, dan jangka waktu pengembalian," kata peneliti hukum ICW, Febri Diansyah, di Jakarta, Senin (5/4). ICW meminta Polri juga memperjelas target sasarannya. Selain kasus Gayus Tambunan, imbuh Febri, masih ada 20 kasus korupsi di mana tersangka, terdakwa, atau terpidananya pernah diduga melarikan diri ke Singapura. Febri menambahkan, dari pengalaman selama ini, lambatnya penangkapan mereka disebabkan komitmen yang lemah dari Polri ataupun Kejaksaan Agung. Seperti yang terjadi dalam kasus perburuan bos PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo. "Anggoro yang sebenarnya tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), justru ditemui petinggi Polri di Singapura dan tidak ditangkap," ujarnya. Kabareskrim Polri, lanjut Febri, harus segera mengonkretkan pernyataan itu untuk memulihkan kepercayaan publik. Pasalnya, ia khawatir pernyataan tersebut hanya bersifat reaksioner pascakasus penangkapan Gayus Tambunan. Seperti diketahui, Kejaksaan Agung juga sudah membentuk tim buru koruptor dan merilis nama 18 buron yang sebagian besar diduga bersembunyi di Singapura, sisanya lari ke Australia, Hong Kong, dan Cina. Singapura menjadi pelarian utama buron kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (NLBI) pada 1998. Lebih dari satu dekade aparat hukum Indonesia mencoba memulangkan mereka tanpa hasil. Buron BLBI paling kakap adalah Sjamsul Nursalim yang merugikan negara Rp 7 triliun. Hukum mati koruptor Di tempat terpisah, Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, mengatakan, meski undang-undang mengatur adanya hukuman mati bagi koruptor, namun hal itu masih tergantung dari penafsiran hakim dalam persidangan. Pemerintah tidak terkait dengan hukuman tersebut karena sudah menjadi area yudikatif. "Penerapannya itu di luar pemerintah. Itu sudah yudikatif. Undang-undangnya sudah boleh, masak kita masih berdebat soal itu. Tergantung penafsiran dari hakim," kata Patrialis. Dia menambahkan, pemerintah mempersilakan siapa pun yang diduga terlibat dalam kasus mafia hukum atau pajak untuk diperiksa, tidak perlu ada pilih kasih. "Siapa pun tanpa pilih kasih, ya silakan diangkat. Sebab, kalau tidak dilakukan atau pilih kasih, mafia hukum tak tuntas.'' m ikhsan/ indah w, ed:msubarkah
Corruption by Greed Kamis, 01 April 2010 pukul 11:32:00 http://koran.republika.co.id/koran/28/107579/I_Corruption_by_Greed_I Oleh: Azyumardi Azra 'Korupsi karena kerakusan' atau populer dalam nomenklatur tentang korupsi sebagai corruption by greed secara sempurna terlihat dalam kasus Gayus Tambunan (30 tahun), staf Ditjen Pajak, yang menjadi makelar kasus pajak. Ia terlibat dalam penyelewengan dana sekitar Rp 25 miliar yang terdapat dalam rekeningnya. Aneh bin ajaib, pegawai golongan IIIA ini sudah mendapatkan gaji remunerasi Rp 12 juta per bulan, yang jauh lebih tinggi dari rata-rata PNS dengan golongan dan masa kerja yang sama. Akan tetapi, pendapatan yang sebenarnya sangat memadai itu bagi dia belum cukup juga. Greed, kerakusan, mendorongnya 'memainkan' dana pajak, yang membuatnya bisa memiliki beberapa rumah dan apartemen mewah sepanjang beberapa tahun saja sejak 2002. Kerakusan, hawa nafsu tidak pernah puas, memang menjadi salah satu sebab pokok korupsi di mana-mana, khususnya di Tanah Air kita. Meskipun sudah banyak UU dan berbagai ketentuan lain yang bertujuan memberantas korupsi, para koruptor rakus, yang dikendalikan hawa nafsu, melakukan berbagai cara 'mengakali' peraturan dan 'mengerjai' lembaga-lembaga hukum. Bahkan, para koruptor rakus itu berkomplot dengan orang-orang di instansi mereka sendiri dan juga dengan kalangan penegak hukum lainnya, seperti polisi, hakim, dan jaksa, agar korupsi mereka tidak terendus dan terbuka ke depan publik, yang pada gilirannya dapat membawa mereka ke meja hijau. Banyak masyarakat yang hidup bersih dengan rezeki yang halal dan susah payah mengatur pengeluaran merasa sangat marah sekaligus frustrasi dengan masih merajalelanya korupsi di negeri kita. Memang, sudah ada lembaga khusus, KPK, yang bertujuan memberantas korupsi. Ada pula aparat kepolisian dan kejaksaan yang juga bertugas mengusut berbagai bentuk korupsi pada berbagai levelnya. Lalu, ada pula inspektorat pada setiap kementerian, BPKP, serta BPK. Tapi, toh, adanya lembaga-lembaga ini tidak juga membuat nyali orang-orang rakus ciut dan kapok melakukan korupsi. Salah satu masalahnya adalah tidak atau belum terwujudnya integritas antikorupsi dalam diri setiap orang yang bekerja pada lembaga-lembaga semacam itu. Di dalam lembaga-lembaga itu, masih terdapat orangorang yang biasanya disebut 'oknum-oknum', yang tidak jarang sudah terorganisasi menjadi semacam organized criminals, berkomplot melakukan korupsi. Akibatnya, integritas lembaga-lembaga tersebut secara keseluruhan tercemar di mata publik. Lebih celaka lagi, ada persepsi sangat kuat dalam masyarakat: terbukanya kasus Gayus Tambunan hanyalah puncak gunung es korupsi, masih banyak yang tersembunyi di bawah permukaan yang mungkin tidak bakal pernah dapat terungkap. Hasilnya, dalam kaitan dengan kasus Gayus Tambunan, kalangan masyarakat yang geram dan frustrasi melakukan 'perlawanan', misalnya dengan kampanye publik melalui jejaring sosial di dunia maya semacam Facebook untuk tidak membayar alias memboikot pajak. Meski pendukung gerakan ini kian banyak, memang belum bisa dipastikan, apakah mereka akhirnya betul-betul tidak membayar pajak karena mereka juga tahu tentang adanya sanksi bagi para wajib pajak yang tidak menunaikan kewajiban ini. Bisa dipastikan, mereka bakal dikejar-kejar kantor dan petugas pajak lengkap dengan berbagai risiko-risiko buruk yang bakal dihadapi wajib pajak tersebut. Sementara itu, Gayus Tambunan melenggang kangkung ke Singapura, mengoyak-ngoyak rasa keadilan dalam masyarakat. Apa yang harus dilakukan dalam menghadapi realitas pahit ini? Pada tahap ini, dalam kasus Gayus, dibutuhkan tindakan tegas tanpa ampun kepada siapa saja yang terlibat. Bahkan, tidak cukup dengan menjatuhkan hukum seberat-beratnya sesuai ketentuan hukum, tetapi menyita seluruh aset yang terindikasi merupakan hasil dari korupsi. Langkah ini setidaknya mencerminkan keseriusan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi, yang terlihat jelas sudah merupakan 'kejahatan luar biasa' (extraordinary crime). Yang juga penting adalah membenahi instansi dan lembaga tempat terjadinya tindakan korupsi. Apologi bahwa korupsi hanya dilakukan 'oknum' tertentu dalam instansi tertentu agaknya tidak memadai untuk
memulihkan integritas instansi atau lembaga bersangkutan. Apalagi, instansi yang terkait langsung dengan pengelolaan dana publik itu semestinya menggunakannya untuk kepentingan masyarakat, bukan kepentingan mereka yang memiliki otoritas mengelolanya. Pemulihan kepercayaan publik kepada integritas aparat birokrasi jelas tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Jika tidak terlihat tanda-tanda meyakinkan bagi penguatan integritas tersebut, berbagai bentuk 'perlawanan' publik bisa terjadi, yang pada gilirannya dapat menghambat pembangunan negeri ini.
Menegakkan Wibawa Hukum Sabtu, 03 April 2010 pukul 11:07:00 http://koran.republika.co.id Hukum begitu mudah dipermainkan di negeri ini. Siapa pun yang memiliki kekuasaan atau memiliki kekayaan, tampaknya memiliki hak untuk memainkan hukum demi kepentingan dirinya sendiri ataupun kelompoknya. Kasus Gayus Tambunan telah membuktikannya. Dengan harta puluhan miliar yang dimilikinya, dia telah menggunakan haknya sebagai orang kaya, yakni mempermainkan hukum. Gayus yang secara logika bersalah dalam penyuapan pajak, terbukti bisa lolos dengan mudah dari jeratan hukum. Reformasi yang telah mengorbankan nyawa mahasiswa, rupanya tak menyentuh hukum. Dibentuknya lembaga superbodi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tak menyurutkan orang melakukan korupsi. Mereka tetap tenang karena merasa bisa membeli dan mempermainkan hukum. Banyak pihak menyatakan bahwa kasus Gayus ini menjadi momentum pemberantasan korupsi dan permainan hukum. Tapi, sebetulnya sudah berapa banyak kita kehilangan momentum seperti ini. Begitu banyak kasus korupsi sudah terungkap, tetapi tak sedikit yang hanya berhenti di tingkat bawah. Kita berharap kali ini memang benar-benar dijadikan momentum. Apalagi kasus Gayus ini melibatkan banyak pihak, ada pegawai pajak, konsultan pajak, pengusaha, dan yang jelas juga melibatkan tiga pilar hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Sejauh ini dua instansi, yakni Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Polri, telah bertindak tegas dengan menonaktifkan oknum yang dicurigai bermain dalam kasus korupsi Rp 25 miliar itu. Nonaktif diperlukan agar mereka tidak mengganggu proses pemeriksaan. Di Ditjen Pajak, direktorat ini telah menonaktifkan pegawai pajak di lingkungan Gayus sampai jajaran di atasnya. Ditjen pajak juga akan memeriksa kekayaan 15 ribu aparat pajak yang lingkup kerjanya rawan terhadap penyuapan, termasuk peradilan pajak di mana Gayus bekerja. Polri juga melakukan terobosan dengan menonaktifkan Brigjen Edmon Ilyas. Dia dinonaktifkan dari jabatan sebagai kapolda Lampung agar tidak menghalangi pemeriksaan yang belakangan dilakukan secara intensif. Selain Edmon, juga sudah dinonaktifkan jajaran yang lebih bawah, yakni Kombes Pambudi dan Kombes Eko Budi. Sejauh ini masyarakat menunggu apakah Polri juga akan menonaktifkan Brigjen Raja Erisman, direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri. Dua orang ini, Edmon Ilyas dan Radja Erisman, adalah brigjen yang disebut oleh Susno Duadji berkaitan dengan kasus penilepan pajak oleh Gayus. Semestinya lembaga lain yang terkait dengan kasus Gayus segera melakukan langkah serupa. Kejaksaan memang melakukan mutasi di Kejari Banten, tapi itu tidak cukup. Begitu pula lembaga peradilan yang dalam hal ini adalah para hakim. Jaksa dan hakim diduga kuat ikut bermain dalam kasus ini. Langkah Polri ini perlu mendapat apresiasi meskipun terlambat dan belum tuntas. Kita boleh berharap agar langkah Polri ini bisa lebih berani lagi dengan mengungkap ketidakberesan di instansinya. Selain itu, juga berharap agar aparat hukum yang lain melakukan hal yang serupa. Wibawa hukum harus ditegakkan. Dan, ini harus dimulai dari aparat hukum agar hukum tidak menjadi arena permainan di negeri ini.
Waktunya Membersihkan Korupsi di Kepolisian Senin, 05 April 2010 pukul 10:25:00 http://koran.republika.co.id Oleh: Emerson Yuntho (Wakil Koordinator ICW) Lepas dari segala motif yang ada, sikap Komisaris Jenderal Susno Duadji mengungkapkan, dugaan adanya makelar kasus di Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia sebaiknya menjadi momentum untuk membersihkan institusi kepolisian dari makelar kasus dan praktik korupsi. Saat ini, sulit mencari figur polisi jujur dan bebas korupsi di negeri ini. Begitu sulitnya, muncul anekdot dari Gus Dur, mantan presiden Republik Indonesia, bahwa di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng (mantan kapolri). Penyebab korupsi di tubuh kepolisian pada umumnya merupakan kombinasi antara tingkat kesejahteraan anggota kepolisian yang jauh dari mencukupi, anggaran operasional yang minim, dan lemahnya pengawasan serta penjatuhan hukuman dari atasan. Korupsi di kepolisian merupakan persoalan yang tidak kunjung usai dan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Bahkan, kondisi ini juga diakui oleh kalangan internal kepolisian sendiri. Hal tersebut bisa dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 2004. Hasil penelitian yang dilakukan mahasiswa PTIK angkatan 39-A menyebutkan, korupsi yang terjadi dalam tubuh kepolisian dibagi dalam korupsi internal dan korupsi eksternal. Korupsi internal adalah korupsi yang tak melibatkan masyarakat di luar komunitas polisi. Contoh yang sering terjadi adalah jual-beli jabatan, korupsi pada proses perekrutan anggota kepolisian, pendistribusian logistik, dan penyaluran anggaran kepolisian. Korupsi jenis kedua tak lain adalah korupsi eksternal yang langsung melibatkan kepentingan masyarakat. Korupsi semacam ini terjadi dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan penyalahgunaan wewenang. Mantan kepala Divisi Pembinaan Hukum Inspektur Jenderal Aryanto Sutadi (2009) pernah menyebutkan bahwa mafia hukum di tubuh kepolisian tumbuh subur dalam beberapa bentuk, mulai dari salah tangkap, melepaskan tersangka tanpa dasar, penanganan kasus yang tidak benar menurut aturan, hingga memanipulasi data-data penyelidikan dan penyidikan. Tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh kalangan internal. Pada tahun 2001, penelitian Indonesia Corruption Watch mengenai proses pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya di kepolisian, menyimpulkan bahwa korupsi di korps Bhayangkara bukan isapan jempol belaka. Berdasarkan hasil penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia (Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar, Samarinda, dan Yogyakarta), ditemukan bahwa korupsi yang dilakukan oleh oknum polisi biasanya terjadi pada proses penyelidikan dan penyidikan suatu kasus. Permintaan uang jasa, penggelapan kasus, negosiasi kasus, dan pemerasan merupakan pola yang umum dilakukan oleh oknum anggota kepolisian. Selain itu, bukti buruknya persepsi masyarakat terhadap kredibilitas institusi kepolisian juga terlihat dari hasil survei Transparency International Indonesia (TII) tahun 2007 silam. Survei yang dilakukan di beberapa daerah itu menempatkan kepolisian sebagai institusi paling korup dari semua lembaga pemerintah di Indonesia. Sayangnya, hasil survei tersebut disambut dengan resistensi oleh sejumlah pejabat tinggi kepolisian. Terakhir, survei integritas KPK yang diumumkan pada akhir tahun 2009 lalu menempatkan Departemen Perindustrian dan Kepolisian RI sebagai instansi yang memiliki integritas terendah. Survei mulai dilakukan oleh KPK mulai April hingga September 2009. Survei dilakukan terhadap 371 unit layanan yang berada di 98
instansi yang terdiri atas 39 instansi tingkat pusat, 10 pemerintah provinsi, dan 49 pemerintah kota/kabupaten. Meskipun sudah sedemikian maraknya, hanya sedikit aktor mafia hukum dari kepolisian yang berhasil terungkap dan diproses ke pengadilan. Sebut saja, Komjen Pol Suyitno Landung dan Brigjen Samuel Ismoko yang tersandung kasus suap dari pelaku pembobolan BNI sebesar Rp1,7 triliun. Mantan kapolri Dai Bachtiar bahkan sempat disebut-sebut menerima suap dalam kasus tersebut meskipun hasil penyelidikan akhirnya menyatakan dia tidak terlibat. Selama ini, ada persoalan besar yang menghambat upaya pembersihan korupsi di kepolisian, yaitu persoalan struktural dan kultural. Persoalan struktural sering kali provost ataupun inspektorat kepolisian menjadi tidak berkutik ketika berhadapan dengan polisi yang berpangkat lebih tinggi yang menjadi 'pelindung' dari polisi yang diduga terlibat melakukan penyimpangan. Adanya persoalan kultural, yaitu keengganan di kalangan polisi untuk memeriksa sesama rekan seprofesi. Hal ini karena semangat melindungi korps (espirit de corps ) yang berlebihan sehingga merupakan 'aib' apabila kasus penyimpangan ini diketahui oleh umum. Selain itu, dimungkinkan juga terjadi praktik kolusi di tengah penyidikan kasus yang membuat penyidikan berakhir dengan kesimpulan: dugaan korupsi tak terbukti. Sesungguhnya, perilaku koruptif di tubuh kepolisian bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di beberapa negara lain. Singapura pernah mengalami skandal yang sama pada tahun 1952. Kepolisian Hongkong pada tahun 1970-an, karena begitu korup, mudah dikendalikan kelompok Mafia Cina, Triad. Korupsi di tubuh Kepolisian New South Wales, Australia, menyebabkan parlemen Australia tahun 1994 membentuk komisi investigatif reformasi kepolisian. Terakhir, pada tahun 2009 lalu, Atahullah Wahaab, wakil kepala kepolisian di salah satu provinsi Afghanistan, juga ditangkap oleh tentara Amerika karena terlibat kasus korupsi. Untuk membersihkan korupsi di kepolisian, paling tidak ada tiga syarat yang dibutuhkan. Pertama, komitmen dan langkah nyata presiden dan kepala kepolisian untuk membersihkan kepolisian dari korupsi. Kedua, upaya penegakan hukum yang keras terhadap oknum polisi yang korup atau menjadi mafia hukum. Ketiga, pelibatan lembaga independen di luar kepolisian, seperti KPK, yang diberi kewenangan dalam mengusut dan membersihkan korupsi tanpa kompromi. Berdasarkan undang-undang, salah satu kewenangan KPK adalah mengusut kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Membersihkan praktik korupsi di tubuh kepolisian sudah tidak dapat ditunda lagi dan dibiarkan terus terjadi. Jika momentum ini tidak dimanfaatkan secara maksimal, tidak saja akan merusak citra institusi, namun juga menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat (public trust) dan merusak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri. (-)
Koruptor adalah Teroris Senin, 05 April 2010 pukul 10:34:00 http://koran.republika.co.id Beberapa kali kita menyampaikan dalam kolom ini bahwa para teroris bukan hanya mereka yang memperjuangkan sebuah ideologi dengan cara anarkistis. Bukan hanya mereka yang rela membunuh atau menghalalkan segala cara untuk sebuah keyakinan. Para teroris bukan hanya Amrozi, Noor Din M Top, Dr Azhari, Dulmatin, dan kawan-kawan kelompok mereka. Koruptor dan makelar kasus (markus) pun teroris. Perusak lingkungan teroris. Juga, pengedar narkoba. Sayangnya, kita, terutama pemerintah atau tepatnya aparat keamanan dan hukum selama ini membatasi teroris hanya Amrozi dan Noor Din M Top serta kawan-kawan mereka. Untuk menumpas dan memburu mereka, Polri hingga harus membentuk pasukan khusus Densus 88. Mereka adalah pasukan elite Mabes Polri yang bertugas menumpas kelompok Noor Din M Top, hingga ke akar-akarnya. Kalau perlu tembak di tempat. Yang terakhir inilah yang banyak dilakukan oleh pasukan Densus 88.
Para koruptor dan markus? Mereka kini masih bergentayangan di sekitar kita. Mereka masih hidup nyaman di gedung-gedung pemerintah yang berhawa sejuk. Kalaupun ada yang ketahuan dan kemudian diadili, hukumannya relatif ringan. Hanya beberapa tahun. Jarang yang melebihi 10 tahun. Kita tidak tahu mengapa para koruptor itu diperlakukan relatif lunak. Adakah karena korupsi tersebut lantaran kebanyakan dilakukan oleh oknum-oknum penegak hukum, aparat keamanan, pegawai negeri, dan pejabat negara? Mereka yang notabene pembuat kebijakan, pembuat undang-undang dan aturan, dan sekaligus yang membuat jenis-jenis hukuman? Para koruptor pada hakikatnya adalah teroris. Mereka adalah para musuh rakyat kelas wahid. Para koruptor sesungguhnya adalah penjahat. Para koruptor adalah penggarong, perampok, dan maling uang negara, uang rakyat. Lihatlah apa yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, pegawai direktorat pajak, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Ia kini ditahan. Ia disangka menilep uang pajak sekitar Rp 25 miliar. Uang itu tersimpan di rekeningnya. Ya, ia adalah Gayus Tambunan. Ia bukan pengusaha. Ia tidak mewarisi harta benda dari orang tua yang kaya raya. Ia hanyalah pegawai negeri yang tergolong pemula. Namun, kekayaannya telah menimbulkan iri jutaan masyarakat Indonesia. Kekayaannya telah membuat iri anak-anak muda seusianya. Selain uang Rp 25 miliar, beberapa rumah/apartemen dan mobil mewah telah ia miliki. Tentu, bukan masalah iri itu yang menjadi topik kita. Yang menjadi persoalan adalah dari mana kekayaan itu ia peroleh. Kalau benar dari menilep dan mempermainkan uang pajak, ia telah menggarong uang negara; uang rakyat. Ternyata ia tidak sendirian. Dan, korupsi memang tidak mungkin dilakukan sendirian. Perbuatan korupsi biasa dilakukan oleh sekelompok orang. Sekelompok inilah yang biasa disebut sebagai mafia, termasuk di dalamnya para makelar kasus. Bayangkan, uang sebesar Rp 25 miliar plus beberapa rumah dan mobil mewah! Bila kekayaan sebesar itu dibagikan kepada fakir miskin yang jumlahnya jutaan di negeri ini, berapa juta orang yang kecipratan? Atau berapa gedung sekolah dan sarana kesehatan yang bisa dibangun dan diperbaiki dari dana sebesar itu? Gayus dan mafianya tentu hanyalah salah satu di negeri ini. Gayus-gayus lain, dari pusat hingga daerahdaerah, jumlahnya bisa ribuan, baik yang ketahuan maupun belum atau memang tidak ketahuan. Intinya, para koruptor adalah penjahat. Mereka musuh rakyat. Mereka adalah teroris. Mereka telah meneror sendi-sendi perekonomian negara dan sekaligus rakyat. Karena itu, Cina tidak pernah kompromi dengan para koruptor. Mereka telah memperlakukan koruptor sebagai teroris dan dihukum sangat berat, di antaranya dihukum mati. Hasilnya, Cina kini menjadi negara maju. Ekonominya tumbuh pesat. Bila Indonesia mau maju, kita harus memperlakukan para koruptor sebagai teroris. Para pelakunya, apalagi bila mereka aparat hukum dan pegawai negeri/pejabat negara, harus dihukum seberat-beratnya.
Membenahi Kultur Birokrasi Rabu, 31 Maret 2010 pukul 10:09:00 http://koran.republika.co.id/koran/24/107510/Membenahi_Kultur_Birokrasi Shofiyul Arif Subchi (Koordinator Poros Muda Nahdlatul Ulama) Gayus Tambunan, seorang pegawai rendahan di pajak yang kini buron, benar-benar sebagai dalang makelar kasus. Kini, publik makin yakin bahwa postur birokrasi yang gemuk sungguh subur bagi tumbuhnya iklim korupsi dan praktik penyimpangan lainnya.
Kita patut bertanya kepada para pihak yang memiliki otoritas kebijakan, kenapa setelah satu dasawarsa reformasi berlalu, bangsa ini sepertinya belum 'berani' menyentuh kasus-kasus korupsi besar, termasuk yang diduga bersemayam di balik struktur birokrasi pemerintahan kita? Sudah sejauh manakah para pejabat kita menunjukkan ketaatan terhadap hukum yang dibuatnya? Sudah sesuaikah perilaku yang dipratikkannya dengan nilai-nilai agama dan ajaran luhur bangsa, Pancasila. Sudah pantaskah tindakan kesehariannya sesuai dengan 'abdi negara'? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan kegelisahan publik yang menyeruak belakangan bersamaan dengan runyamnya pertumbuhan perilaku tak sehat yang menimpa para calon pemimpin bangsa. Kita hampir yakin bahwa kasus serupa juga dimungkinkan tumbuh subur dalam sektor birokrasi lain di mana tempat-tempat strategis sering menjadi incarannya. Menyimak maraknya fenomena rapuhnya institusi-institusi birokrasi kita, hati kecil ini rasanya tergelitik sekali ingin meneriakkan pesan-pesan keadilan dan kebenaran yang kian sunyi dalam keriuhan kekuasaan dan pragmatisme hidup. Pesan kemanusiaan begitu mahal ketika ruang publik dan realitas kekuasaan politik kurang mengapresiasi pentingnya menyelipkan muatan nilai bagi struktur dan pelakunya, utamanya bagi mereka yang memiliki jabatan dan berada di posisi atas. Ihktiar Birokrasi sesungguhnya perangkat penting di dalam pemerintahan itu sendiri. Jika kultur birokrasi bersangkutan bermutu dan bersih, kualitas dan gerak langkahnya cenderung efektif. Lokomotif pembangunan sedikit banyak juga diayunkan melalui kelompok ini. Oleh karena itu, sektor ini mempertaruhkan arah dan prospek pembangunan yang dibikin pihak pimpinan puncak eksekutif dan para legislatif. Jika mereka terlibat penyimpangan anggaran dan praktik gelap, laju pembangunan yang ditunggu masyarakat akan tersumbat.
Secara teori, sistem pemerintahan yang berlandas di atas rel birokrasi spirit awalnya adalah memenuhi permintaan pelayanan dari rakyat sebagai pihak pemberi sah mandat. Birokrasi sebagai organisasi besar (meminjam istilahnya Trompenars & PrudHome) menganut budaya 'Eifel Tower', di mana organisasi jenis ini sering kali menggunakan mekanisme kerja yang cenderung pakem, mengutamakan hierarki struktural, berorientasi stabilitas, dan bercorak prosedural, bahkan acap kali bersifat sentralistik. Dalam kondisi seperti ini, pola organisasi yang ada cenderung menggunakan kepemimpinan karismatik dan elitis, di mana kinerja organisasi seolah-olah terkendali melalui peran dominan individu pemimpinnya. Padahal, konsepsi birokrasi sendiri lebih banyak menganut pola kerja yang mengutamakan pembagian wewenang dan bagi tugas. Budaya (kultur) tampaknya masih mendominasi warna dari dunia birokrasi kita. Meski, dalam hal lain, kurang optimalnya pengawasan serta lemahnya kepastian hukum akibat kurang kredibelnya aparat hukum kita bisa dijadikan representasi untuk menunjukkan bahwa kerja panjang membangunkan tidur lelap birokrasi harus menjadi perhatian kita bersama. Suasana kultur yang mengental corak paternalistiknya turut mewarnai perilaku sebagian para pengambil kebijakan strategis di republik ini. Tanpa pertimbangan kompetensi, bisa jadi para pimpinan birokrasi di setiap levelnya lemah mengendalikan bawahannya. Sebaliknya, muatan kompetensi yang kini digandrungkan banyak pihak, ternyata faktanya kurang berbanding lurus dengan tingkat kebersihan di dalam institusinya. Karena itu, aparatur pemerintah dan mereka yang akan menjadi calon-calon pejabat pemerintah sebaiknya memahami fungsi dan arti penting rumusan etik dan norma dasar yang bersumber dari tradisi-tradisi keagamaan, sembari perkembangan teknologi yang ada diintegrasikan sebagai satu sistem yang tak terpisah. Misalnya, dalam rangka memaksimalkan peran pengawasan, maka sebuah institusi perlu menggunakan standar kerja yang bisa didukung dari 'penyensoran' teknologi. Dari kebutuhan ini, hendaknya para pegawai bisa menyadari dan memahami akan hal tersebut sehingga batasan-batasan profesionalitas seorang pegawai dapat ditanamkan sejak dini menyatu dengan unsur
moralitas dan rumusan etik. Gaya hidup para pegawai pajak yang dianggap kurang patut dan memunculkan kesenjangan terhadap pegawai di sektor lain merupakan contoh nyata yang perlu diperhatikan. Secara bersamaan, akan menjadi indah jika para pegawai di sektor-sektor strategis seperti Pajak, Bea Cukai, Pertamina, Keuangan, dan Perbankan, perlu mengikat diri di dalam spirit hidup yang penuh dengan nuansa kesederhanaan. Hal ini sekaligus dapat difungsikan sebagai arena pengembangan citra pegawai pajak itu sendiri bahwa menjadi pegawai pajak ternyata juga bisa hidup penuh kepekaan. Untuk itu, ke depan, pemerintah perlu serius mengkaji sisi permintaan sektor pegawai di dalam birokrasi karena logikanya permintaan kebutuhan akan pegawai di dalam struktur birokrasi yang modern, sesungguhnya kian efisien seiring dengan digantikannya peran-peran baru yang dapat diintegrasikan melalui fungsi teknologi. Pola semacam ini ikut menambah iklim produktivitas pegawai yang tidak saja dimulai dari seleksi kualitatif awal (seperti fit and proper test, melainkan dapat menekan angka gaji yang sering kali dijadikan dalih dan teori. Melemahnya kultur birokrasi dan menurunnya tingkat kualitas sumber daya (misalnya tidak bersih), secara teori dipicu tiga hal mendasar: Pertama, sistem nilai yang ada tak dijalankan sepenuh hati. Kedua, aturan hukum yang mengikat tidak dilengkapi dengan aparat dan aktor penjaganya yang kredibel. Dan ketiga, struktur yang terbentang tak dibangun di atas sistem pengawasan yang memadai dan bermutu.
Sang Koruptor Editorial 20/1/2010 | 03 Shafar 1431 H http://www.dakwatuna.com/2010/sangkoruptor/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+dakwatunacom+%28 dakwatuna.com%29&utm_content=Yahoo%21+Mail -------------------------------------------------------------------------------dakwatuna.com – Koruptor adalah bahasa lain dari maling. Artinya bahwa seorang koruptor sebenarnya adalah seorang maling. Dalam Al-Qur’an kita mengenal istilah as-saariq atau al-muthaffif . Allah berfirman dalam surah Al-Maidah:38 : “Wassaariqu wassaariqatu faqtha’uu aydiyahumaa jazaa’an bimaa kasabaa (Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”). Dalam surah Al-Muthaffifiin:1, Allah berfirman : “Wailun lill muthaffifiin (Kecelakaan besarlah bagi orangorang yang curang”). Baik istilah saraqa – yasriqu maupun istilah thaffafa yuthaffifu semuanya menunjukkan makna tindakan mencuri atau menipu. Pelakunya disebut as-saariq atau al-muthaffif (Pencuri, maling atau koruptor). Semua istilah tersebut dalam Al-Qur’an didudukkan sebagai sebutan bagi pelaku pencurian yang harus dihukum. Dalam surah Al-Maidah mereka harus dipotong tangannya. Dan dalam surah Al-Muthaffifiin mereka kelak diancam dengan neraka. Sudah sedemikian jelasnya bahwa istilah tersebut dibenci tidak saja oleh semua manusia, melainkan lebih dari itu oleh Allah swt, namun ternyata masih banyak orang yang mendaftarkan dirinya sebagai maling atau koruptor. Apakah sudah sedemikian kerasnya hati mereka. Sehingga mereka tidak merasa malu. Bukankah Rasulullah saw. telah menegaskan bahwa di antara ciri keimanan adalah mempunyai rasa malu. Namun justru yang banyak ikut menjadi koruptor adalah orangorang yang mengaku beriman. Koruptor adalah pribadi yang dibenci dan tidak mempunyai harga diri. Dia telah tunduk di bawah bimbingan hawa nafsunya. Halal-haram diabaikan. Dia tidak takut lagi akan ancaman Allah di alam Akhirat. Karenanya Allah berfirman pada ayat berikutnya dalam surah Al-Muthaffifiin : ”Alaa yadzunnu ulaaika annhum mab’uutsuun, lyawmin adziim (Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan”). Dari sini nampak bahwa para koruptor adalah orang-orang yang siap masuk neraka. Mereka siap melawan Allah dengan segala resikonya. Mereka adalah orang-orang sombong yang merasa tidak butuh aturan Allah. Harta haram bagi mereka adalah santapan empuk yang sangat menyenangkan. Mereka telah menukar kesenangan sejenak di dunia dengan api neraka yang pedih.
Memang para koruptor di dunia bisa bersembunyi dibalik retorika dan diplomasi kekuasaan, bahkan berlindung di bawah hukum atau undang-undang yang mereka bikin sendiri. Namun bagaimana pun Allah swt. tidak mungkin tertipu. Silahkan bersenang-senang dengan mobil mahal dan rumah mewah. Silahkan tertawa dan berjoget-joget di atas air mata penderitaan orang lain. Silahkan berbangga-bangga dengan segala fasilitas yang diistimewakan. Silahkan bersembunyi di balik sogokan yang besar kepada para jaksa dan polisi. Namun ingat bahwa korupsi tetap maksiat dan kedzaliman. Allah swt. tidak akan pernah membiarkan semua itu mengalir begitu saja. Karena setiap kedzaliman telah Allah haramkan atas Diri-Nya, apalagi atas manusia. Apapun koruptor tetap merupakan gelar yang tidak saja mengancam kemanusiaan melainkan juga mengancam pelakunya. Karena itu semua negara di dunia tidak ada yang menginginkan hadirnya seorang koruptor sebagai pejabat di dalamnya. Sebab sudah terbukti dalam sejarah bahwa seorang koruptor benarbenar membawa ancaman. Berapa banyak perusahaan yang hancur kerena direkturnya korup. Berapa banyak bank yang bangkrut karena menagernya korup. Dan berapa banyak negara kaya yang rakyatnya terpuruk dalam kemiskinan, karena para pemimpinya koruptor. Masihkah para koruptor itu akan terus dipelihara di negeri ini, sementara seluruh dunia memeranginya. Sampai kapan negeri ini akan terus digenggam oleh para koruptor sementara kondisi rakyat semakin terjepit dalam penderitaan. Sungguh tidak mungkin berkah sebuah negeri yang dipenuhi oleh para koruptor. Sebab adalah sunnatullah bahwa setiap pelaku dosa mengundang datangnya adzab. Maka semakin banyak jumlah pelaku harta haram, semakin dekat kepada adzab Allah. Itulah yang Allah ceritakan dalam surah Al-Fajr, mengenai kaum Aad, kaum Tsamud dan kaum Fir’un, bahwa mereka diadzab oleh Allah kerena dosa-dosa yang mereka lakukan. Di antara dosa besar yang mengundang adzab Allah adalah dosa korupsi. Wallahu a’lam bishshowab.
Kaum yang Dibinasakan Allah http://www.republika.co.id/koran/153/63316/Ashab_AL_Rass_Kehancuran_Kaum_Penyembah_P atung 22 juli 2009 Dalam Alquran, banyak sekali diceritakan kisah-kisah umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah karena mereka mengingkari utusan-Nya dan melakukan berbagai penyimpangan yang telah dilarang. Berikut adalah kaum-kaum yang dibinasakan itu. Kaum Nabi Nuh Nabi Nuh berdakwah selama 950 tahun, namun yang beriman hanyalah sekitar 80 orang. Kaumnya mendustakan dan memperolok-olok Nabi Nuh. Lalu, Allah mendatangkan banjir yang besar, kemudian menenggelamkan mereka yang ingkar, termasuk anak dan istri Nabi Nuh (QS Al-Ankabut : 14) dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.
.
öΝèδuρ Üχ$sùθ’Ü9$# ãΝèδx‹s{r'sù $YΒ%tæ šÅ¡÷Ηs~ ωÎ) >πuΖy™ y#ø9r& öΝÎγ‹Ïù y]Î7n=sù ϵÏΒöθs% 4’n<Î) %·nθçΡ $uΖù=y™ö‘r& ô‰s)s9uρ ∩⊇⊆∪ tβθßϑÎ=≈sß 14. we (once) sent Noah to His people, and He tarried among them a thousand years less fifty: but the Deluge overwhelmed them while They (persisted in) sin. 14. dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.
Kaum Nabi Hud Nabi Hud diutus untuk kaum ’Ad. Mereka mendustakan kenabian Nabi Hud. Allah lalu mendatangkan angin yang dahsyat disertai dengan bunyi guruh yang menggelegar hingga mereka tertimbun pasir dan akhirnya binasa (QS Attaubah: 70, Alqamar: 18, Fushshilat: 13, Annajm: 50, Qaaf: 13) ُن ا َ !ََ! آ$َ7 ت ِ !َ6ِ&َّْ!ِ) ُُُْ4ُْْ ُر3َت َأ ِ !َ0ِ1َْ2ُ$ْ وَا َ َْ.َ ب ِ !َ,ْ-ُ َد َوَْ ِم ِإ)ْ(َاهِ& َ َوَأ$َ%ح َو"َ! ٍد َو ٍ ُ ِْ َِِْْ َْ ِم َ َِأَْ َِِْْ ََُ ا .(٧٠) ن َ ُ$ِْ9َ َُْ:ُ1ِْْ آَ!ُا َأ0ََُْ َو$ِْ9َ&ِ QS Attaubah: 70. hath not the story reached them of those before them?- the people of Noah, and 'Ad, and Thamud; the people of Abraham, the men of Midian, and the cities overthrown. to them came their apostles with Clear signs. it is not Allah who wrongs them, but They wrong their own souls.
QS Attaubah: 70. Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah?[649]. telah datang kepada mereka Rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, Maka Allah tidaklah sekali-kali Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri. [649] 'Aad adalah kaum Nabi Hud, Tsamud ialah kaum Nabi Shaleh; penduduk Madyan ialah kaum Nabi Syu'aib, dan penduduk negeri yang telah musnah adalah kaum Nabi Luth a.s.
QS Alqamar: 18
∩⊇∇∪ Í‘ä‹çΡuρ ’Î1#x‹tã tβ%x. y#ø‹s3sù ׊%tæ ôMt/¤‹x. QS Alqamar: 18 . the 'Ad (people) (too) rejected (truth): then How terrible was My penalty and My Warning? QS Alqamar: 18 . kaum 'Aad pun mendustakan(pula). Maka Alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancamanKu.
Fushshilat (41): 13, (١٣) ُ َد$َ%ِ "َ! ٍد َوDَBِ"!َ- A َ ْEِ ًDَBِ"!َ- ُْ0ُْْ َأْ َرAُBَ7 َِ?نْ َأ"ْ َ(@ُا7 Fushshilat (41): 13 but if They turn away, say thou: "I have warned you of a stunning punishment (as of thunder and lightning) like that which (overtook) the 'Ad and the Thamud!"
Fushshilat (41): 13 jika mereka berpaling Maka Katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Aad dan Tsamud".
Annajm (53): 50, (٥٠) IَوJ "َ!دًا اH َ ََْوَأُ َأه Annajm (53): 50. and that it is He who destroyed the (powerful) Ancient 'Ad (people), Annajm (53): 50 dan bahwasanya Dia telah membinasakan kaum 'Aad yang pertama, Qaaf: 13
∩⊇⊂∪ 7Þθä9 ãβ≡uθ÷zÎ)uρ ãβöθtãöÏùuρ ׊%tæuρ 13. the 'Ad, Pharaoh, the brethren of Lut, Qaaf (53): 13 dan kaum Aad, kaum Fir'aun dan kaum Luth,
Kaum Nabi Saleh Nabi Saleh diutuskan Allah kepada kaum Tsamud. Nabi Saleh diberi sebuah mukjizat seekor unta betina yang keluar dari celah batu. Namun, mereka membunuh unta betina tersebut sehingga Allah menimpakan azab kepada mereka (QS Alhijr: 80, Huud: 68, Qaf: 12). Kaum Nabi Luth
Umat Nabi Luth terkenal dengan perbuatan menyimpang, yaitu hanya mau menikah dengan pasangan sesama jenis (homoseksual dan lesbian). Kendati sudah diberi peringatan, mereka tak mau bertobat. Allah akhirnya memberikan azab kepada mereka berupa gempa bumi yang dahsyat disertai angin kencang dan hujan batu, sehingga hancurlah rumah-rumah mereka. Dan, kaum Nabi Luth ini akhirnya tertimbun di bawah reruntuhan rumah mereka sendiri (QS Alsyu faraa: 160, Annaml: 54, Alhijr: 67, Alfurqan: 38, Qaf: 12). Kaum Nabi Syuaib Nabi Syuaib diutuskan kepada kaum Madyan. Kaum Madyan ini dihancurkan oleh Allah karena mereka suka melakukan penipuan dan kecurangan dalam perdagangan. Bila membeli, mereka minta dilebihkan dan bila menjual selalu mengurangi. Allah pun mengazab mereka dengan hawa panas yang teramat sangat. Kendati mereka berlindung di tempat yang teduh, hal itu tak mampu melepaskan rasa panas. Akhirnya, mereka binasa (QS Attaubah: 70, Alhijr: 78, Thaaha: 40, dan Alhajj: 44). Selain kepada kaum Madyan, Nabi Syuaib juga diutus kepada penduduk Aikah. Mereka menyembah sebidang padang tanah yang pepohonannya sangat rimbun. Kaum ini menurut sebagian ahli tafsir disebut pula dengan penyembah hutan lebat (Aikah) (QS AlHijr: 78, Alsyu faraa: 176, Shaad: 13, Qaaf: 14). Firaun Kaum Bani Israil sering ditindas oleh Firaun. Allah mengutus Nabi Musa dan Harun untuk memperingatkan Firaun akan azab Allah. Namun, Firaun malah mengaku dirinya sebagai tuhan. Ia akhirnya tewas di Laut Merah dan jasadnya berhasil diselamatkan. Hingga kini masih bisa disaksikan di museum mumi di Mesir (Albaqarah: 50 dan Yunus: 92). Ashab Al-Sabt Mereka adalah segolongan orang fasik yang tinggal di Kota Eliah, Elat (Palestina). Mereka melanggar perintah Allah untuk beribadah pada hari Sabtu. Allah menguji mereka dengan memberikan ikan yang banyak pada hari Sabtu dan tidak ada ikan pada hari lainnya. Mere ka meminta rasul Allah untuk mengalihkan ibadah pada hari lain, selain Sabtu. Mereka akhirnya dibinasakan dengan dilaknat Allah menjadi kera yang hina (QS Al-A fraaf: 163). Ashab Al-Rass Rass adalah nama sebuah telaga yang kering airnya. Nama Al-Rass ditujukan pada suatu kaum. Konon, nabi yang diutus kepada mereka adalah Nabi Saleh. Namun, ada pula yang menyebutkan Nabi Syuaib. Sementara itu, yang lainnya menyebutkan, utusan itu bernama Handzalah bin Shinwan (adapula yang menyebut bin Shofwan). Mereka menyembah patung. Ada pula yang menyebutkan, pelanggaran yang mereka lakukan karena mencampakkan utusan yang dikirim kepada mereka ke dalam sumur sehingga mereka dibinasakan Allah (QS Alfurqan: 38 dan Qaf ayat 12). Ashab Al-Ukhdudd Ashab Al-Ukhdud adalah sebuah kaum yang menggali parit dan menolak beriman kepada Allah, termasuk rajanya. Sementara itu, sekelompok orang yang beriman diceburkan ke dalam parit yang telah dibakar, termasuk seorang wanita yang tengah menggendong seorang bayi. Mereka dikutuk oleh Allah SWT (QS Alburuuj: 4-9). Ashab Al-Qaryah Menurut sebagian ahli tafsir, Ashab Al-Qaryah (suatu negeri) adalah penduduk Anthakiyah. Mereka mendustakan rasul-rasul yang diutus kepada mereka. Allah membinasakan mereka dengan sebuah suara yang sangat keras (QS Yaasiin: 13).
Kaum Tubba Tubba adalah nama seorang raja bangsa Himyar yang beriman. Namun, kaumnya ingkar kepada Allah hingga melampaui batas. Maka, Allah menimpakan azab kepada mereka hingga binasa. Peradaban mereka sangat maju. Salah satunya adalah bendungan air (QS Addukhan: 37). Kaum Saba Mereka diberi berbagai kenikmatan berupa kebun-kebun yang ditumbuhi pepohonan untuk kemakmuran rakyat Saba. Karena mereka enggan beribadah kepada Allah walau sudah diperingatkan oleh Nabi Sulaiman, akhirnya Allah menghancurkan bendungan Mafrib dengan banjir besar (Al-Arim) (QS Saba: 15-19). sya/berbagai sumber
Fenomena Koruptor Religius Oleh: Anita Retno Lestari Senin, 23 November 2009 ] *ADA* fakta ganjil yang sudah lama berlangsung di Indonesia: agama sering menjadi selimut atau topeng untuk me-nutupi tindakan korupsi.Misalnya, kaum koruptor tampak rajin melaksanakan ritual agama dengan melibatkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat sekitarnya seperti menyelenggarakan acara doa bersama atau acara syukuran. Bahkan, ketika membangun rumah, banyak koruptor yang tidak lupa membangun tempat ibadah di lingkungan tempat tinggalnya. Jika dicermati lebih serius, tidak ada koruptor di Indonesia yang tidak beragama. Karena itu, ada pertanyaan yang layak diutarakan: kenapa seseorang bisa menjadi koruptor sekaligus rajin beribadah? Adakah hubungan antara agama dan korupsi? *Kamuflase * Bagi kaum moralis, fenomena koruptor yang rajin beribadah mungkin akan dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap agama. Dalam hal ini, para ko-ruptor sengaja memfungsikan agama se-bagai kamuflase atas kejahatannya. Tentu saja, fenomena demikian bukan hal yang aneh dan baru dalam sejarah agama-agama. Seperti dalam Islam, sejak awal masa perkembangannya, stigma munafik te-lah diperkenalkan. Stigma itu diberi-kan kepada orang yang sengaja mem-fung-sikan Islam hanya sebagai kamu-fla-se. Dalam Islam, orang munafik di-anggap musuh paling berbahaya ba-gi kaum muslimin. Ibarat musuh dalam sa-tu selimut yang selalu siap mencela-ka--kan kapan saja. Dengan demikian, da-lam Alquran maupun hadis, banyak disebutkan bahwa kaum munafik ada-lah kaum yang sangat dikutuk oleh Allah SAW. Jika faktanya sekarang di Indonesia banyak koruptor yang beragama Islam, agaknya layak diduga, mereka tergolong kaum munafik. Bila mereka per-nah atau sedang menjadi pejabat-pejabat penting, bangsa dan Negara Indonesia, sepertinya, juga layak ditengarai se-bagai ikut-ikutan terkutuk, dengan bukti seringnya terjadi bencana atau tra-gedi kemanusiaan. Banyaknya fakta bahwa para koruptor rajin beribadah, khususnya menga-da-kan acara doa bersama atau acara syukuran, ada kesan bahwa para pemuka agama seolah-olah ikut mengamini tindakan korupsi. Kesan tersebut bisa saja menyakitkan, tapi agaknya tetap layak diungkapkan. Sebab, itu didukung fakta yang cenderung semakin fenomenal.
Fenomena memfungsikan agama sebagai kamuflase serta kemunafikan para koruptor sering sangat mudah dilihat setiap menjelang kampanye pe-milu (dan belakangan pilkada). Misalnya, betapa banyak elite politik yang terindikasi korup berlomba-lom- ba merangkul pemuka-pemuka agama. Betapa banyak elite politik yang terindikasi korup berlomba-lomba memberikan sumbangan dana pembangunan fasilitas peribadatan atau sarana pendidikan agama. Dalam hal ini, semua pe-muka agama justru gembira (dan tidak ada yang keberatan atau sekadar mengkritik perilaku munafik). Karena itu, wajar-wajar saja jika ada yang bilang bahwa pemuka-pemuka agama sekarang akan senang-senang saja menerima sumbangan dana meski si pemberi jelas-jelas seorang koruptor! *Kontradiksi * Beberapa tahun lalu, dari lingkungan sebuah organisasi keagamaan, muncul fatwa bahwa koruptor yang meninggal dunia tidak wajib disalati. Pasalnya, koruptor identik dengan munafik. Fatwa demikian selayaknya menjadi otokritik. Sebab, selama ini banyak koruptor yang gemar mendatangi kiai-kiai untuk memberikan sumbangan dana pembangunan Masjid dan pondok pesantren. Mereka bermaksud mendapatkan dukungan politik dari kiai dan pengikut mereka. Adanya fatwa dan perilaku kemunafikan tersebut tentu saja merupakan kontradiksi yang bisa saja akan membingungkan masyarakat awam. Bagaimana mungkin pemuka agama bisa akur dengan koruptor? Dengan demikian, agaknya, juga perlu segera ada fatwa baru untuk menjelaskan kontradiksi tersebut, agar ke depan tidak semakin membingungkan masyarakat awam. Sejauh ini, kontradiksi itu memang belum pernah dikaji secara serius oleh komunitas-komunitas keagamaan di Indonesia. Bahkan, belum ada pemuka agama yang mempersoalkan kontradiksi tersebut secara terbuka. Dengan begitu, hal ini pun kemudian mengundang pertanyaan baru: benarkah telah terjadi kompromi antara koruptor dan kalangan pemuka agama, karena sebagian hasil korupsi digunakan untuk mendanai kepentingan pengembangan agama? *Revitalisasi Agama * Fenomena semakin merajalelanya korupsi cenderung dibiarkan oleh pemuka-pemuka agama karena, sepertinya, telanjur dianggap bukan masalah yang perlu dipersoalkan lagi. Jika kini sejumlah perangkat hukum yang ada tidak bisa memberantasnya, sepertinya, perlu dilakukan upaya-upaya alternatif. Misalnya, melakukan revitalisasi agama oleh kalangan pemuka agama. Langkah-langkahnya sebagai berikut. Pertama, memandirikan semua organisasi keagamaan di Indonesia dengan menerapkan sikap tegas untuk tidak menerima sumbangan dana dari pihak-pihak yang terindikasi korup. Kedua, pemuka-pemuka agama menolak terlibat dalam politik praktis dengan cara tidak bergabung atau sekadar bersimpati kepada kekuatan politik yang korup. Dalam hal ini, pada saat menjelang pemilu atau pilkada, pemuka agama harus netral dan tidak mendukung secara langsung maupun tidak langsung yang menguntungkan para koruptor. Ketiga, mengembangkan sikap kritis masyarakat terhadap indikasi-indikasi korupsi agar tidak memberikan dukungan politik kepada siapa pun yang terindikasi korup.
Keempat, pemuka agama serta umat beragama segera memutuskan hubungan dengan semua pejabat negara yang terindikasi korup. Dalam hal ini, menolak tegas undangan doa bersama atau acara syukuran yang diselenggarakan oleh pejabat negara yang terindikasi korup. Dengan cara demikian, ada kemungkinan kaum koruptor tidak semakin ugal-ugalan menjadikan agama sebagai kamuflase. Dengan revitalisasi agama, fenomena koruptor tampak religius yang identik dengan merajalelanya kaum munafik dalam melakukan korupsi berjamaah mungkin akan segera dapat dikikis habis. (*) * /*). Anita Retno Lestari/ * /, direktur Lembaga Studi Humaniora/ http://jawapos. com/halaman/ index.php? act=detail& nid=101869
Polri akan Direformasi By Republika Newsroom Kamis, 12 November 2009 pukul 11:27:00
JAKARTA--Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto mengatakan, akan ada reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri), sebagai aparat penegak hukum. "Adalah nanti," katanya singkat menjawab ANTARA News usai menghadiri upacara serah terima jabatan Kepala Staf Angkatan Udara di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis. Ketika didesak mekanisme reformasi di tubuh Polri, Djoko enggan berkomentar banyak. "Reformasi itu kan tidak mudah. Bicara reformasi kan tidak bisa sepotong-potong begini, perlu pembicaraan lebih panjang," katanya. Munculnya dugaan rekayasa oleh Polri dalam kasus Bibit-Chandra dan pembunuhan Direktur PT Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, yang menyeret mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, memunculkan reaksi sejumlah kalangan agar Polri mereformasi diri. "Kejadian ini harus menjadi pelajaran untuk mereformasi proses penegakan hukum menjadi lebih transparan dan adil," kata Komisaris Besar (Purn) Alfons Loe Mau, alumnus Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1974.
Guru besar Universitas Indonesia, yang juga mantan polisi, Bambang Widodo Umar, mengaku prihatin dengan apa yang dilakukan polisi. "Polisi bukan sekadar penegak hukum normatif, tetapi harus dapat menjadi pengayom masyarakat. Bisa merasakan apa yang dirasakan masyarakat," katanya. Apa yang terjadi saat ini, kata Bambang, menunjukkan bahwa polisi sama sekali tak profesional. ant/kpo
Williardi Tuding Petinggi Polri Rabu, 11 November 2009 pukul 11:36:00 Antasari berencana melapor ke Komnas HAM. JAKARTA -- Mantan Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Pol Williardi Wizard, menyatakan, kasus mantan ketua KPK, Antasari Azhar, sebagai tersangka pembunuhan direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), Nasruddin Zulkarnaen, merupakan rekayasa. Pernyataan tersebut disampaikan Williardi saat menjadi saksi penting dalam persidangan terdakwa Antasari Azhar, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (10/11). Williardi bahkan menyebut nama Kapolri, terkait kasus Antasari itu. ''Ini perintah pimpinan jenderal bintang II (Wakabareskrim Irjen Hadiatmoko--saat ini staf ahli Kapolri), ya kalau di atasnya Kapolrilah,'' tandasnya, dengan suara bergetar menahan emosi. Selain Hadiatmoko, Williardi juga menyebut Brigjen Pol M Irawan Dahlan. Keduanya berperan menekan Williardi selama proses pemeriksaan. Wiliardi mengaku saat membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di tahanan Mabes Polri, dia merasa ditekan dari sejumlah petinggi di Mabes Polri. Sekitar pukul 10.00 WIB, kata Williardi, dia didatangi Wakabareskrim, Irjen Hadiatmoko dan memintanya mengaku sebagai pembunuh Nasruddin kepada penyidik. Williardi dijanjikan segera bebas. ‘’Saya dikondisikan oleh Direskrimum (waktu itu, Kombes Pol M Iriawan Dahlan) dan Wadi reskrim Polda Metro Jaya dan menyatakan sasaran kita hanya Antasari Azhar,’‘ ung kap Williar di. Ia menambahkan, Direskrimum juga meminta dia menyamakan BAP dengan BAP Sigit Haryo Wibisono. Tapi, sambungnya, janji pembebasan tidak dipenuhi. Sedangkan kepada media, Polri menyebut Williardi ter kait kasus pembunuhan Nasruddin. Protes Williardi kepenyidik tidak ditanggapi karena alasan perintah atasan Polri. Kecewa tidak ditanggapi, Williardi mencabut BAP. ‘’Demi Allah, kalau saya bohong, saya mati bersama anakanak saya. Demi Allah saya bersumpah, biar mati lampu ini, mati saya. Seluruh jalannya rekonstruksi pembunuhan di rektur PT PRB, tidak benar. Saya tidak sebejat itu (melakukan pembunuhan),’‘ te gasnya. Seusai memberikan ke terangan, Williardi terlihat emosi. Istrinya, Nova, menenangkan. Menyikapi penuturan Williardi, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Cyrus Sinaga, menyatakan, pihaknya segera menghadirkan para petinggi Mabes Polri yang namanya disebut Williardi. ‘’Ada tekanan atau tidak, perlu pembuktian, kata Cyrus. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Irjen (Pol) Nanan Sukarna, mengatakan, tindakan Williardi dalam kasus Antasari bukan atas perintah Kapolri. Tim yang dibentuk Kapolri dengan Williardi tidak memiliki hubungan. Itu tidak dari Kapolri, kata Nanan. Menurutnya, Kapolri mengakomodasi permintaan Antasari yang merasa terancam teror dari Nasrudin. Tim bentukan Kapolri yang dipimpin Chairul Anwar melakukan pe nyelidikan dan hasilnya diberitahukan ke Antasari. Tim menyarankan Antasari membuat laporan po lisi. Namun, ditolak Antasari dengan alasan privasi Ketua KPK. Maka tim berhenti, tandas Nanan.
Kuasa hukum Antasari, Ary Yusuf Amir, mengaku terkejut mendengar pengakuan Williardi. Kesaksian ini sangat mengejutkan. Apalagi dasar hukum penuntutan Antasari adalah dari kesaksian Williardi, katanya. Saat mendengar keterangan saksi Williardi, Antasari terlihat lemas dan berkali-kali mengusap air mata. Itu fakta sidang, perlu dicatat, ujar Antasari, yang berencana melaporkan kasusnya ke Komnas HAM. antara/ m ikhsan/ratna p, ed: m subarkah/zaky ah(-)
Asrama Brimob Banyak Narkoba http://epaper.republika.co.id/koran/29/80604/Asrama_Brimob_Banyak_Narkoba Rabu, 07 Oktober 2009 pukul 01:43:00
Tepat di Hari Raya Idul Fitri yang dimuliakan banyak orang, seorang warga di tempat kami tinggal, Asrama Brimob Cipinang, meninggal dunia secara mengenaskan. Lelaki bernama Adi Wijaya itu meregang nyawa setelah mengalami overdosis akibat mengonsumsi narkoba. Adi tergolong masih muda. Ia berusia 34 tahun. Ayahnya, Muksin, hanya bisa mengelus dada setelah merelakan barang-barang berharga di rumahnya, RT 001/RW 015, nyaris habis dijual untuk memenuhi kebutuhan narkoba sang anak.Namun, Adi bukan satu-satunya korban penyalahgunaan barang haram tersebut. Di Asrama Brimob Cipinang, tempat tinggal kami, sudah sekian puluh pemuda yang tewas sia-sia akibat nge-drugs. Sebut saja, Fauzi, warga RW 015, di Asrama Detasemen Sipil (Densi). Belum lama berselang, pemuda berusia 25 tahun ini juga kehilangan nyawa karena narkoba. Korban lain, Didi Mulyadi, dari RW 05, juga mengalami nasib sama: tercabut rohnya akibat indikasi positif menderita HIV/AIDs. Dia diketahui sebagai pengguna narkoba dengan jarum suntik. Tidak hanya itu, seorang anggota brimob juga kedapatan tewas setelah overdosis narkoba. Jenazahnya langsung diboyong ke Bandung, tempat domisili keluarganya. Entah apa yang terjadi dengan lingkungan kami di Asrama Brimob Cipinang. Peredaran narkoba begitu marak dan hampir-hampir kasat mata. Di lingkungan kami, di malam hari, segerombolan anak muda biasa 'teler' di lapangan dekat Masjid Al Ihsan di lingkungan RW 015.Modusnya, bila tengah malam tiba, sebuah mobil sedan datang ke lokasi di pinggir lapangan Kader. Penumpang di dalamnya melakukan transaksi dengan menerima pembayaran hasil transaksi hari itu dari anakanak asrama. Barang pun dikirim sesuai pesanan untuk transaksi keesokan harinya. Begitu setiap malam. Menurut kabar, di Asrama Densi, RW 015, yang agak menjorok ke dalam (utara), di belakang SD Bhayangkari, diindikasikan terdapat rumah yang dipakai sebagai 'warung' untuk menjajakan barang haram itu di siang harinya. Namun, lokasi ini berpindah-pindah di sekitar asrama. Di Jalan Cipinang Empang Barat, tepatnya rumah dengan nomor D-4, RT 01/RW 015, juga diduga dipakai sebagai aktivitas pendukung transaksi narkoba tersebut. Di lingkungan kami, tepat di pinggir jalan pintu masuk menuju asrama, ada SMK yang dikelola Yayasan Bhayangkari, yakni STM Tubun. Bila pagi, siang, dan sore hari; tampak anak-anak berseragam sekolah ini bergerombol di lapangan, menunggu 'sesuatu'. Bila seorang 'utusan' dari Densi datang dan membawa pesanan, mereka baru bubar. Menurut kabar, jaringan narkoba di Asrama Brimob Cipinang sudah berjalan sejak 2004. Dari mulai anak kecil hingga orang dewasa terlibat. Yang jelas, kami sebagai warga merasa prihatin dan sangat dirugikan oleh adanya aktivitas tersebut. Bayangkan, baru lima tahun jaringan narkoba itu berkiprah, sudah puluhan warga jadi
korban. Belum lagi nasib anak-anak kami, kaum pelajar kami, yang terancam langsung oleh keberadaan jaringan narkoba ini.Tolong, bapak-bapak petinggi di Mabes Polri memikirkan masa depan anak-anak kami. Kami sudah berulang kali mengadu ke saluran SMS 1717, namun tidak digubris. Juga, melapor ke Badan Narkotika Nasional (BNN), tapi mendapatkan reaksi yang sama. Kami harus mengadu ke siapa? Amir Widodo Warga RT 01/RW 05 Asrama Brimob Cipinang Jakarta Timur
Diduga Terlibat Jaringan Narkoba, Perwira Polisi Ditangkap detikcom - Jumat, Oktober 23 • • •
Kirim Kirim via YM Cetak
Diduga Terlibat Jaringan Narkoba, Perwira Polisi Ditangkap Di tengah usaha Polri dalam menekan peredaran kasus narkoba, seorang perwira polisi malah terlibat dalam jaringan barang haram itu. Bahkan, perwira berpangkat AKP itu adalah anggota Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya. Perwira polisi itu yakni AKP MS yang diduga memiliki keterlibatan dengan jaringan narkoba. Tidak hanya dia, seorang bintara yang berpangkat Brigadir HD juga tersandung kasus yang sama. Direktur Narkoba Polda Metro Jaya, Kombes Anjan Putra saat dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. "Iya, benar," kata Anjan saat dihubungi wartawan, Kamis (22/10/2009). Informasi yang diperoleh detikcom, MS dan HD ditangkap pada Rabu (21/10) malam di rumahnya di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Penangkapan keduanya berawal dari informasi tersangka pengedar sabu yang ditangkap petugas Polsek Kebon Jeruk. Dari keterangan tersangka yang ditangkap saat itu, diperoleh informasi keterlibatan kedua anggota tersebut.
Anjan enggan menjelaskan sejauh mana keterlibatan kedua anggota itu. "Silakan tanya saja ke Polres Jakarta Barat," ucap Anjan. Hingga kini, sambung Anjan, keduanya masih dalam pemeriksaan petugas Polres Jakarta Barat. "Mereka masih ditahan di sana (Polres Jakbar)," ungkapnya. Anjan mengatakan, pihaknya dalam memberantas kasus narkoba ini tidak akan pandang bulu. "Tidak seorang pun yang bisa lolos dalam kasus narkoba, biar anggota sekali pun," tegas Anjan.