Kajian Utama
Kearifan Lokal Versus Otoritas Penguasa (Studi Kritis Perlawanan Hukum Masyarakat Adat Sikep Terhadap Pendirian Pabrik Semen Di Pegunungan Kendeng, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati)
Dian Chandra Buana
Kearifan lokal masyarakat adat Sikep di Pegunungan Kendeng Utara Sukolilo Pati terusik karena pemerintah akan mendirikan pabrik Semen Gresik. Penolakan warga ini di latar belakangi oleh sebuah pandangan hidup yang kita kenal dengan Ajaran Samin. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan penelitian menggunakan paradigma konstruktivisme yaitu untuk mengungkap argumen serta bukti-bukti melalui eksplarasi hermeneutik terhadap teks dan realitas sosial bentuk perlawanan masyarakat adat Sikep berbasis kearifan lokal. Politik kebijakan yang ada saat ini sarat dengan paradigma eco-developmentalism yang menguntungkan pihak investor disatu pihak dan meminggirkan masyarakat dan kepentingan ekologis dipihak lainnya. Konsekuensi logis ketika pembentukan peraturan perundangan tidak berakar pada nilai-nilai yang hidup dan tumbuh dari masyarakat. Dalam implementasinya telah menggusur hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, serta mengabaikan kemajemukan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Pendahuluan
W Dian Chandra Buana: Direktur Solo Institute dan Mahasiswa Pasca Sarjana, Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
ilayah hidup rakyat di berbagai kampung di Indonesia telah dan sedang mengalami perusakan yang mengancam keselamatan dan kesejahteraan rakyat yang hidup di dalamnya. Ribuan bentuk perusakan dari yang paling halus hingga paling kasat mata terus menerus mengancam dan menggerogoti wilayah-wilayah hidup rakyat, lahan 109
Dian Chandra Buana: Kearifan Lokal
pertanian, hutan, lahan peternakan, termasuk meminggirkan cara rakyat bertahan hidup yang telah lama ada.1 Tidak terkecuali wilayah Kecamatan Sukolilo yang terletak di perbatasan Kabupaten Pati dan Kabupaten Grobogan terhampar pegunungan Kendeng2 yang memanjang sekitar 35 kilo meter mulai dari Kecamatan Sukolilo hingga Kecamatan Pucakwangi. Ratusan mata air di pegunungan Kendeng saat ini menjadi penopang sektor pertanian yang merupakan sumber pengairan 15.873,900 ha sawah di kecamatan Sukolilo dan 9.603,232 ha di kecamatan Kayen.3 Dengan luas tanam 14.002 ha pada tahun 2010, produksi padi di Kecamatan Sukolilo mencapai 82.685 ton atau 14.16% dari total produksi dan merupakan wilayah penghasil padi terbesar di Kabupaten Pati. Pada tahun yang sama, tercatat produksi padi di Kabupaten Pati mencapai 583. 583.901 ton dengan luas panen 105.332 ha.4
1
Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis, Yayasan PIKUL, 2001, hal. 1 2
Pegunungan Kendeng adalah perbukitan yang letaknya memanjang, berbatasan Kabupaten Pati dan Grobogan, perbukitan dengan ketinggian 4000-500 (mdpl) banyak mengadung kapur, tanahnya subur dan hijau banyak ditanami pohon jati 3
http://argajaladri.or.id
4
Data BPS 2010: http://patikab.bps.go.id, diakses pada tanggal 18 Juni 2012, pukul 21.22 wib 110
Kearifan lokal masyarakat adat Sikep terusik, karena pemerintah akan mendirikan pabrik Semen Gresik di kawasan ini. Tidak seperti warga lain yang biasanya menyukai bila tanah miliknya dibeli pemodal besar karena akan dihargai mahal, warga setempat menolak. Penolakan warga ini dilatarbelakangi oleh sebuah pandangan hidup yang kita kenal dengan Ajaran Samin. Yaitu masyarakat dengan kearifan lokal yang selalu menjaga keselarasan dan keseimbangan dengan masayarakat dan alam yang senantiasa dipelihara melalui tradisi lisan melalui keyakinan bertahun-tahun, yang dibawa oleh Samin Surosentiko, melalui kejujuran nurani sedulur (memandang orang lain adalah keluarga). Prinsip hidup masyarakat sikep “wong sikep sekolahe karo pacul” (orang sikep sekolahnya dengan cangkul), masyarakat sikep dilarang bisnis (nilai yang terkandung bisnis cenderung curang). Masyarakat yang tekun dalam bertani dan pantang melakukan bisnis. Komunitas Sedulur Sikep dan perwakilan dari tujuh desa yang bakal terkena dampak langsung pembangunan pabrik semen. Desa-desa itu diantaranya Desa Kedumulyo, Gadudero, Sukolilo, Baturejo, Sumbersoko, dan Tompe. Pegunungan Kendeng merupakan kawasan karst5 yang me5
Kawasan Kars, yaitu Kawasan Perbukitan Batu Gamping yang terletak di Kecamatan Sukolilo, Kecamatan Kayen, Kecamatan Tambakkromo, di Kabu-
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
nyimpan mata air yang mengalir serta memberi kehidupan bagi warga sekitar, baik sebagai air baku maupun air irigasi. Rencana ini ditentang oleh hampir seluruh warga Sukolilo, tak hanya perbukitan di Sukolilo yang akan rusak, mata air dan segala kehidupan yang saat ini bergantung pada sumber-sumber air di Pegunungan tersebut juga akan hancur. Walaupun banyak ditentang tetapi rencana perluasan penambangan pabrik semen (PT Semen Gresik Tbk) di Pegununganan Kendeng tetap bergulir atas dukungan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dan Bupati Pati Tasiman. Berikut adalah berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas penguasa demi mendukung berdirinya pabrik semen di pegunungan kendeng. Diantaranya adalah: 1.
2.
Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 128 Tahun 2008 tentang Penetapan Kawasan Kars Sukolilo; Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/27/2008, tanggal 31 Desember 2008, tentang Persetujuan Kelayakan Lingkungan Hidup Pembangunan
paten Pati dan Kecamatan Brati, Kecamatan Grobogan, Kecamatan Tawangharjo, Kecamatan Wirosari, Kecamatan Ngaringan di Kabupaten Grobogan serta Kecamatan Todanan, di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah sebagai kawasan kars Sukolilo (Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 0398 K/40/MEM/ 2005 tentang Penetapan Kawasan Kars Sukolilo
Politik Sumberdaya Alam
Pabrik Semen PT Semen Gresik di Pati; 3.
Surat Bupati Pati No. 131/1814/ 2008 terkait pertambangan dan rencana pertambangan pabrik sudah sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati;
4.
Kantor Izin Pelayanan Perizinan Terpadu (KAYANDU) dengan Izin Lokasi Nomor 591/058/ 2008 dan
5.
Hasil penelitian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) beberapa perguruan tinggi dari PPLH Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang yang mendukung eksploitasi di Pegununganan Kendeng.
Peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan-peraturan lainnya, antara lain: 1. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang RTRW Nasional 3. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1456 K/20/MEM/2000 tentang
111
Dian Chandra Buana: Kearifan Lokal
Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars; 4.
Penelitian Acintyacunyata Speleological Club (ASC) Yogyakarta yang dilakukan pada tahun 1994, 2006 dan 2008 meliputi Kabupaten Pati, Grobogan telah ditemukan 156 sumber air yang berada di semua level ketinggian 5 – 450 mdpl dan 71 goa yang sebagian besar adalah gua berair. Berdasarkan penelitian ini dinyatakan bahwa kawasan karst Kendeng Utara Adalah Kawasan Karst Aktif ;
5. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Pembangunan Yogyakarta yang menyatakan bahwa pegunungan kendeng adalah kawasan karst. Dari berbagai peraturan diatas membuktikan bahwa otoritas pengambil kebijakan telah melakukan kesalahan dalam melakukan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup. Tatanan masyarakat adat yang telah tertanam dan turun-temurun dalam bentuk kearifan lokal masyarakat hukum adat sedikit demi sedikit dikikis dan dihilangkan karena dianggap sebagai bentuk pola masyarakat yang primitif dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Inilah konsekuaensi logis ketika pembentukan peraturan perundangan tidak berakar pada nilai-nilai yang 112
hidup dan tumbuh dari masyarakat dan semata menompangkan pemberlakuan pada pengundangan. Sehingga akhirnya peraturan perundangan hanyalah merupakan penampakan dari kekuasaan, menjauh dari citacita keadilan untuk kesejahteraan masyarakat. Ini terjadi karena adanya secara tegas antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahas hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama. Tanpa memperdulikan baik atau buruknya hukum itu, diterima atau tidak oleh masyarakat. Implikasi dari eksploitasi sumber daya alam secara tak terkendali di Indonesia, tidak hanya sebatas semakin rusaknya lingkungan hidup, tetapi juga Indonesia kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati (flora dan fauna) dan kerusakan alam dan lebih dari itu adalah pengabaian/ penggusuran hak-hak masyarakat adat/lokal serta marjinalisasi tatanan sosial dan budaya masyaraka, yang tidak pernah diperhitungkan sebagai ongkos ekonomi, ekologi, dan ongkos sosial-budaya yang harus dikorbankan untuk pembangunan.
Rumusan Masalah 1.
Mengapa Perlawanan hukum oleh masyarakat adat Sikep di lakukan dengan basis kearifan lokal?
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
2. Bagaimanakah politik kebijakan yang dilakukan oleh otoritas penguasa sehingga melahirkan kebijakan yang tidak berbasis pada kearifan lokal masyarakat adat?
Tujuan Penelitian Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan penelitian dengan paradigma konstruktivisme adalah untuk (1) mengeksplorasi realitas sosial; (2) mengkritisi soxial issue dan dampaknya terhadap masyarakat; (3) memahami sesuatu perkara (kasus), seperti suatu atau serangkaian kejadian; konstruksi atau persepsi dan action/ perbuatan manusia serta konstruksi atau persepsi dan action masyarakat. Jadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Untuk mengungkap (to reveal) argument serta bukti-bukti melalui eksplarasi hermeneutik terhadap teks dan realitas social bentuk perlawanan hukum masyarakat adat Sikep berbasis kearifan lokal. (2) Mengetahui politik kebijakan yang dilakukan oleh otoritas penguasa yang melahirkan kebijakan yang tidak berbasis pada kearifan lokal masyarakat adat.
Manfaat Penelitian Secara teoritis Diharapkan dapat memberikan pemikiran kepada Negara dalam membuat model pengelolaan Sumber
Politik Sumberdaya Alam
Daya Alam yang berbasis kearifan lokal dan menghargai kemajemukan hukum. Secara praktis Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan refleksi bagi para pembuat hukum, khususnya dalam pembangunan hukum nasional dibidang perekonomian rakyat. Sudah saatnya para pejabat dalam tataran law making institutions untuk kembali kepada konstruksi awal pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber daya alam berbasis Pancasila sebagai Grundnorm dengan pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Kesadaran ini penting agar rakyat Indonesia tidak semakin terpuruk dalam perdagangan bebas dengan segala atribut kapitalismenya.
Metodologi Penelitian Jenis Penelitian Menggunakan jenis penelitian deskriptif dikarenakan bentuk penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat 113
Dian Chandra Buana: Kearifan Lokal
yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung. Lokasi Penelitian Masyarakat adat Sikep di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive). Sumber Data a. Informan, yaitu ditentukan secara sengaja (purposive) pada subjek yang dianggap menguasai permasalahan. yaitu : Tokoh Masyarakat Adat Sedulur Sikep, Pengamat Lingkungan Hidup, Pemerintah Daerah, Akademisi dan Pekerja Sosial Masyarakat. b.
Peristiwa, yaitu berbagai peristiwa atau situasi, fenomena yang terjadi yang relevan dengan fokus penelitian.
c.
Dokumen, yaitu berbagai dokumen yang memiliki relevansi dengan fokus penelitian.
Analisis Data Menggunakan teknik analisis data tipe strauss dan J. Corbin, yaitu dengan menganalisis data sejak peneliti berada dilapangan. Oleh karena itu selama penelitian, peneliti menggunakan analisis interaktif dengan membuat fieldnote yang terdiri dari deskripsi dan refleksi data. Selanjutya peneliti akan melakukan klasifikasi data melalui proses indexing, shorting, grouping, dan filtering. Setelah 114
data dari hasil penelitian dianggap valid, langkah selanjutnya adalah merekonstruksi dan menganalisisnya secara induktifkualitatif untuk menjawab problematika yang menjadi focus studi penelitian ini.
Landasan Teori Untuk mengungkap problematika yang telah diajukan pada bagian perumusan masalah diajukan beberapa teori sebagai unit maupun pisau analisis. Teori Hukum Kritis dan Teori hukum progresif oleh Satjipto Raharjo. Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan kelanjutan dari aliran hukum realisme Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum, tidak hanya seperti pemahaman selama ini yang bersifat Socratis. Beberapa nama yang menjadi penggerak gerakan studi hukum kritis adalah Roberto Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel, Mark Tushnet, Kelman, David trubeck, Horowitz, dan yang lainnya. Perbedaan utama antara gerakan studi hukum kritis dengan pemikiran hukum lain yang tradisional adalah bahwa gerakan studi hukum kritis menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dan perdebatan politik. Tidak ada pembedaan model logika hukum; hukum adalah politik dengan
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
baju yang berbeda. Hukum hanya ada dalam suatu ideologi. gerakan studi hukum kritis menempatkan fungsi pengadilan dalam memahami hukum sebagai perhatian utama . Walaupun menolak dikatakan sebagai tipe pemikiran Marxis yang membedakan antara suprastruktur dan infrastruktur serta hukum sebagai alat dominasi kaum kapitalis, gerakan studi hukum kritis mendeklarasikan peran untuk membongkar struktur sosial yang hierarkhis. Struktur sosial merupakan wujud ketidakadilan, dominasi, dan penindasan. Teori hukum progresif yang dipandang sebagai teori yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum didalam masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia pada abad 21.6 Teori hukum progresif berangkat dari dua asumsi dasar. Pertama, hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya. 7 Bertolak dari asumsi dasar ini, kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Oleh karena itu, ketika terjadi permasalahan hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbai-
Politik Sumberdaya Alam
ki, bukan manusia, yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.8 Kedua, hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).9 Ilmu hukum yang berkiblat pada filsafat positivisme memberikan sumbangsih pada kemerosotan hukum. Tidak berdayanya hukum positif untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial ditengarai disebabkan oleh 2 faktor, yakni: Pertama, bangunan sistem hukum beserta doktrin-doktrin yang menopangnya memang tidak memungkinkan hukum melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan substantif. Kondisi ini disebabkan oleh faktor Kedua yakni tercemarnya institusi-institusi hukum karena bekerja sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan sulitnya menghadirkan tertib hukum seperti yang dijanjikan oleh penganjur positivisme hukum. Situasi-situasi tersebut dianggap tidak terlepas dari watak dogmatika hukum (legal dogmatics) yang menjauhkan diri dari sentuhan aspek-aspek sosial.10
6
Satjipto Raharjo, Hukum Progrsif: Hukum yang membebaskan, Jurnal Hukum Progresif,Vol.I/No. 1/ April/2005, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, hlm 3. 7
Ibid hlm 5
8
Ibid
9
Ibid
10
Rikardo Simarmata, Digest Law, Society & Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007. 115
Dian Chandra Buana: Kearifan Lokal
Hasil Penelitian dan Pembahasan Perlawanan hukum oleh masyarakat adat Sikep di lakukan dengan basis kearifan lokal Membicarakan hubungan masyarakat manusia dan lingkungan secara kodrati sebenarnya keduanya merupakan satu kesatuan kehidupan sebagai biotic community. Manusia dan komunitasnya disamping diberi hak untuk memanfaatkan, juga mempunyai tanggung jawab untuk menyelamatkan dan melestarikan lingkungan. Dalam falsafah Jawa manusia (jagad kecil) merupakan bagian dari alam (jagad besar). Keberadaan keduanya merupakan satu kesatuan. Manusia mempunyai tugas untuk memelihara dan memuliakan alam lingkungan yang kesemuanya bertujuan untuk kesejahteraan manusia itu sendiri. Karena itu, manusia tidak diperbolehkan memperlakukan alam lingkungan melebihi dari kadar yang ada, apalagi bertindak melebihi batas terhadap alam. Tradisi sedekah bumi dan sedekah laut yang sering dijumpai dalam masyarakat Jawa merupakan simbol dari menyatunya manusia dengan alam lingkungannya, sekaligus sebagai bentuk penghormatan, rasa syukur, dan terima kasih manusia terhadap alam lingkungan yang telah melimpahkan anugerah begitu besar kemakmuran untuk kesejahteraan manusia.11 11
Absori, Hukum Penyelesaian Lingkungan Hidup: Sebuah Model Penyelesaian Sengketa Lingkungan 116
Kerusakan dan pencemaran lingkungan, menurut J. Barros dan J.M. Johnston erat kaitannya dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia, antara lain disebabkan, pertama, kegiatan-kegiatan industri, dalam bentuk limbah, zat-zat buangan yang berbahaya seperti logam berat, zat radio aktif dan lain-lain. Kedua, Kegiatan pertambangan, berupa terjadinya perusakan instlasi, kebocoran, pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara dan rusaknya lahan bekas pertambangan. Ketiga, kegiatan transportasi, berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kebisingan kendaraan bermotor, tumpahan bahan bakar, berupa minyak bumi dari kapal tanker. Keempat, kegiatan pertanian, terutama akibat dari residu pemakaian zat-zat kimia untuk memberantas serangga/ tumbuhan pengganggu, seperti insektisida, pestisida, herbisida, fungisida dan juga pemakaian pupuk anorganik.12 Kearifan lokal masyarakat adat sikep yang berdampingan dengan alam dipelihara melalui tradisi lisan melalui keyakinan bertahun (hampir 100 tahun sejak pendahulunya Samin Surosentiko meninggal di Padang), melalui kejujuran nurani sedulur Sikep turut bersikap atas kehadi-
Hidup dengan Pendekatan Partisipati, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2009, hal 80 12 Siahaan, dalam Harun Husein, 1992, Lingkungan Hidup, Jakarta: Bumi Aksara, hal 24 dalam Absori Jurnal Ilmu Hukum
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
Politik Sumberdaya Alam
ran perusahaan yang akan mengelola gunung kendeng.13
an masyarakat yang berada disekitarnya.
Sesepuh Sedulur Sikep, Mbah Tarno saat diwawancarai sebuah media cetak nasional, mengungkapkan alasan penolakan warga bahwa selama ini bidang pertanian merupakan sumber penghasilan dan kehidupan mereka.14 Masyarakat petani di wilayah bawah pegunungan bergantung pada pengairan di pegunungan tersebut. Aliran air yang berasal dari pegunungan ini menjadi satu-satunya penyuplai air untuk pertanian, karena sawah merupakan sumber penghidupan. Sawah merupakan warisan untuk anak cucu dengan menjaga kelestarian alamnya.
Dalam melakukan penolakan masyarakat adat sikep melakukan dengan cara tanpa kekerasan atau melakukan aksi damai maupun aksi teatrikal. Cara seperti ini tidak lepas dari pandangan sedulur sikep terhadap hukum tidak tertulis yang secara turun temurun dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari melalui tradisi lisan.
Pegunungan Kendeng adalah perbukitan yang letaknya memanjang, berbatasan Kabupaten Pati dan Grobogan, perbukitan dengan ketinggian 4000-500 (mdpl) banyak mengadung kapur, tanahnya subur dan hijau banyak ditanami pohon jati. Di Pegunungan Kendeng merupakan sumber mata air (lebih dari 200 mata air) dan beberapa sungai bawah tanah, juga hiasan stalaktit yang indah gua dibawah pegunungan. Dengan tanaman jati yang dikelola oleh Perhutani dan masyarakat merupakan daerah resapan,15 untuk mengairi persawah-
13
Panggilan “sedulur” merupakan panggilan masyarakat samin memandang orang lain adalah keluarga. 14
Kompas.com, diakses pada tanggal 2 Juni 2011
15
Harian Suara Merdeka , 10 April 2008
Beberapa ciri/identitas perlawanan digunakan sejak zaman Belanda, seperti tidak bersekolah, tidak memakai peci, tetapi memakai ikat kepala, tak memakai celana panjang (tetapi memilih celana selutut), tidak berpoligami, tidak berdagang, dan menolak kapitalisme. Mereka pun tetap tidak berdagang, konsisten hidup sebagai petani. Maka, tak heran saat beberapa waktu lalu mereka meradang saat sebagian lahannya di lereng Pegunungan Kendeng bakal ditambang dan dijadikan lahan pabrik semen oleh PT Semen Gresik. Mereka hidup berdampingan dan harmonis dengan alam dan sesama. Kejujuran dan kebenaran adalah nilai utama dan ajaran tata laku keseharian yang turun-temurun diwariskan leluhur. Seorang tokoh muda Sedulur Sikep, Gunretno, mengungkapkan, ada lima prinsip dasar (adegadeg) yang ditanamkan sejak kecil, yakni jangan memiliki perasaan drengki srei, panasten, dakwen, kemeren. Selain itu, mereka juga selalu 117
Dian Chandra Buana: Kearifan Lokal
diajarkan untuk tidak bertindak bedog colong, pethil jumput, dan nemu.16 Pada waktu penjajahan Belanda, para Sedulur Sikep dicap sebagai subversif oleh Pemerintah Kolonial karena menolak membayar pajak dan sistem pendidikan Belanda. Mereka mengembangkan siasat linguistik yang khas untuk melawan sehingga diolok-olok dengan julukan “Wong Samin”. Kini oleh para pemodal semen gresik para sedulur sikep ini difitnah dan dicap sebagai provokator karena menolak pembangunan pabrik semen. Padahal, para Sedulur Sikep Komunitas Samin ini adalah perintis siasat perlawanan active non violence orisinil yang khas indonesia melawan penjajahan.17 Gerakan tersebut yang menjadi pedoman oleh sedulur sikep dalam melakukan perlawanan terhadap rencana pendirian pabrik semen. Dalam wawancara dengan penulis, tokoh muda sedulur sikep, Gunretno menyampaikan bahwa proses interaksi tentang hubungan dengan alam dengan berbagai media, salah satunya melalui tukang pijet, pertemuan warga maupun dengan cara penanaman pohon. 16
http://cetak.kompas.com/read/2009/11/03/ 03221139/ sedulur.sikep.memandang.negara.dan.penegakan.hukum 17
Kampuswongalus.wordpress.com, Nation Cultural Preservation Efforts, Komunitas Samin, Perintis Siasat Perlawanan Tanpa Kekerasan Orisinil Khas Indonesia, di akses pada tanggal 12 Mei 2012, jam 19.01 wib 118
Dalam melakukan aksi demonstrasi, sedulur sikep dan warga sekitar mempunyai cara yang unik, yaitu para ibu-ibu berada di barisan terdepan dalam aksi, hal ini di lakukan dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya konflik dengan aparat kepolisian. Aksi teatrikal menjadi inti dari setiap aksi yang dilakukan. Upaya hukum yang dilakukan oleh sedulur sikep untuk menggugat Surat Izin yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Pati dengan melakukan gugatan administrasi yang diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Penolakan terus berlanjut dan setelah melalui proses yang panjang, akhirnya pada awal tahun 2010 Mahkamah Agung (MA) yang diketuai Hakim Prof. Dr. Paulus E. Lotulung, mengeluarkan Putusan untuk mencabut izin pendirian pabrik oleh P.T Semen Gresik. Dalam Putusan MA yang menyebutkan daerah kawasan kars, yaitu Kawasan Perbukitan Batu Gamping yang terletak di Kecamatan Sukolilo, Kecamatan Kayen, Kecamatan Tambakkromo, di Kabupaten Pati dan Kecamatan Brati, Kecamatan Grobogan, Kecamatan Tawangharjo, Kecamatan Wirosari, Kecamatan Ngaringan di Kabupaten Grobogan serta Kecamatan Todanan, di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah sebagai kawasan kars Sukolilo (Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Miner-
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
al Republik Indonesia Nomor 0398 K/40/MEM/2005 tentang Penetapan Kawasan Kars Sukolilo), saksi ahli Cahyo Aji pada sidang di tingkat pertama menyatakan : “35% cadangan air tawar di dunia ada di kawasan kars”. Kawasan kars adalah reservoir air.18
Politik kebijakan yang dilakukan oleh otoritas penguasa sehingga melahirkan kebijakan yang tidak berbasis pada kearifan lokal masyarakat adat Manusia hidup didunia menentukan lingkungannya atau ditentukan lingkungannya. Perubahan lingkungan sangat ditentukan oleh sikap maupun perlindungan manusia pada lingkungannya. Alam yang ada secara fisik dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia dalam mengupayakan kehidupan yang lebih baik dan sehat menjadi tidak baik dan dapat pula sebaliknya, apabila pemanfaatannya tidak digunakan sesuai dengan kemampuan serta melihat situasinya. 19 Membicarakan hubungan masyarakat manusia dan lingkungan secara kodrati sebenarnya keduanya merupakan satu kesatuan kehidupan sebagai biotic community. Manusia
Politik Sumberdaya Alam
dan komunitasnya disamping diberi hak untuk memanfaatkan, juga mempunyai tanggung jawab untuk menyelamatkan dan melestarikan lingkungan. Dalam falsafah Jawa manusia (jagad kecil) merupakan bagian dari alam (jagad besar). Keberadaan keduanya merupakan satu kesatuan. Manusia mempunyai tugas untuk memelihara dan memuliakan alam lingkungan yang kesemuanya bertujuan untuk kesejahteraan manusia itu sendiri. Karena itu, manusia tidak diperbolehkan memperlakukan alam lingkungan melebihi dari kadar yang ada, apalagi bertindak melebihi batas terhadap alam. Tradisi sedekah bumi dan sedekah laut yang sering dijumpai dalam masyarakat Jawa merupakan simbol dari menyatunya manusia dengan alam lingkungannya, sekaligus sebagai bentuk penghormatan, rasa syukur, dan terima kasih manusia terhadap alam lingkungan yang telah melimpahkan anugerah begitu besar kemakmuran untuk kesejahteraan manusia.20 Jadi, manusia hanya salah satu unsur dalam lingkungan hidup, tetapi perilakunya akan mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup yang lain termasuk binatang tidaklah merusak, mencemari atau menguras
18
http://putusan.mahkamahagung.go.id Direktori Putusan Mahkamah Agung, PUTUSAN Nomor 103 K/TUN/2010 19
Joko Subagyo, Hukum Lingkungan: Masalah dan Penanggulangannya, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal 1
20
Absori, Hukum Penyelesaian Lingkungan Hidup: Sebuah Model Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dengan Pendekatan Partisipati, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2009, hal 80 119
Dian Chandra Buana: Kearifan Lokal
lingkungan. Yang melakukan semuanya itu adalah manusia. Oleh karena itu, manusia bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan.21 Robert Malthus mengatakan bahwa untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan penduduk (kelahiran) dengan pertumbuhan pangan (produksi), mau tidak mau produktivitas pangan harus ditingkatkan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengoptimalkan sumber daya alam yang dapat dikelola dalam bentuk barang dan jasa. Karena tingkat kepuasan manusia terhadap barang dan jasa bersifat tidak terbatas, maka optimalisasi pengurasan sumber daya alam dilakukan tanpa pernah memperdulikan sumber daya alam bersifat terbatas. Akibat yang timbul kemudian adalah proses degradasi lingkungan berupa kerusakan dan pencemaran lingkungan semakin menjadi-jadi dan bertambah parah.22 Globalisasi memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization). Kedua, dimensi politik dan negara (political and state globalization).23 Ked-
ua dimensi tersebut nampak pada kebijakan yang diskenariokan dan didesain oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G 824 melalui 3 (tiga) mesin globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions/IFI’s),25 kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational Corporation/MNC). Melalui mesin-mesin globalisasi di atas, negara-negara maju semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumber-sumber di dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia. Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara mana yang dapat menikmati kucuran uang. Kemudian dengan meminjam kekuatan IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Politik kebijakan yang ada saat ini sarat dengan paradigma eco-developmentalism yang menguntungkan pihak investor disatu pihak dan meminggirkan masyarakat dan kepentin-
21
A. Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1995, hal 1 22
Absori, Deklarasi Pembangunan Berkelanjutan dan Implikasinya Di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 9, No. 1, Maret 2006: 39 – 52, Fakultas Hukum Universitas Muhammdiyah Surakarta 23
M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005, hal. 50 120
24
Negara-negara yang tergabung dalam G 8 terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Itali, Perancis, Inggris, Jerman, Rusia, dan Jepang . 25
Lembaga Keuangan Internasional yakni : Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Pembangunan Afrika (AfDB), Bank Pembangunan Eropa (EBRD), Bank Pembangunan antar Amerika (IADB), dan Bank Pembangunan Islam (IDB).
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
gan ekologis di pihak lainnya. Hasrat pemerintah yang ingin menaikan pertumbuhan ekonomi, yang awalnya pada tahun 1998 minus 13.1 persen menjadi 5.1 persen dan pada tahun 2011 diproyeksikan sebesar 6,4 persen adalah menara gading yang dibangun diatas tulang belulang rakyat dan kepentingan ekologis yang terbinasa oleh politik kebijakan yang pro pemilik modal. Hasrat ini yang kemudian diimplementasikan oleh pengambil kebijakan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Hal ini nampak dari rencana PT Semen Gresik (persero), tbk. mendirikan pabrik semen di Kawasan Kars Pegunungan Kendeng Utara-Kabupaten Pati. Rencana itu “direstui” oleh Pemerintah Kabupaten Pati dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Kepentingan kapital kemudian mengantagoniskan masyarakat sipil dan menyebabkan krisis. Hal diperkuat oleh kebijakan di ranah politik dan bagaimana hal itu secara organik berhubungan dengan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi. Muncullah berbagai macam kebijakan yang jauh dari nilai-nilai keadilan serta kepentingan umum. Dengan kata lain, kegiatan pembangunan yang diorientasikan semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (economic development) harus dibayar sangat mahal dengan penimbulan korban-korban pembangunan (victims of development), karena selain merusak sumber
Politik Sumberdaya Alam
daya alam dan lingkungan hidup, menguras sumber-sumber kehidupan masyarakat adat/lokal, juga dalam implementasinya telah menggusur hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, serta mengabaikan kemajemukan hukum (legal pluralism) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Politik Hukum dan Tujuan Negara Setiap bangsa yang menegara selalu memiliki falsafah, baik yang dibakukan secara tertulis maupun tidak tertulis, yang merupakan landasan bagi ideologi negara, atau pedoman dasar bagi sistem pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hakekat pembangunan Indonesia adalah amanat konstitusi yang sesuai dengan ikrar dan cita-cita bangsa. Secara ideologis makna pembangunan negara ini ialah pancasila, yang dapat diartikan pembangunan adalah membangun bangsa Indonesia seutuhnya, serta strategi pembangunan ialah pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, serta stabilitas politik. Kemudian lebih lanjut ditegaskan secara eksplisit pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa; hakikat pembangunan nasional adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 121
Dian Chandra Buana: Kearifan Lokal
Di dalam studi mengenai hubungan antara politik dengan hukum terdapat asumsi yang mendasarinya. Pertama, hukum determinan terhadap politik dalam arti bahwa hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das sollen (keinginan, keharusan dan cita). Kedua, politik determinan terhadap hukum dalam ari bahwa dalam kenyataannya baik produk normative maupun implementasi-penegakannya hukum itu sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan das sein (kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris. Ketiga, politik dan hukum terjalin dalam hubungan interdependent atau saling tergantung yang dapat dipahami dari adugium, bahwa “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenangwenangan atau anarkis, hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh”. Di dalam buku Politik Hukum Di Indonesia karangan Mahfud M.D dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan asumsi yang kedua, bahwa dalam realitasnya “politik determinan (menentukan) atas hukum”. Jadi hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh), politik diletakkan sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubun-
122
gan kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan politik. Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial. Memahami kenyataan itu, Philippe Nonet dan Philip Selznick kemudian mencoba memasukkan unsurunsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-
Jurnal Politika Vol. 8 No. 1 Tahun 2012
tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Dan menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Hukum progresif membangun negara hukum yang berhati nurani. Dalam bernegara hukum, yang utama adalah kultur, “the cultural primacy.” Kultur yang dimaksud adalah kultur pembahagiaan rakyat. Keadaan tersebut dapat dicapai apabila kita tidak berkutat pada “the legal structure of the state” melainkan harus lebih mengutamakan “a state with conscience”. Dalam bentuk pertanyaan, hal tersebut akan berbunyi: “bernegara hukum untuk apa?” dan dijawab dengan: “bernegara untuk membahagiakan rakyat.26 Berdasarkan cita-cita masyarakat yang ingin dicapai dalam tujuan Negara, dasar Negara dan cita hukum diatas, maka yang diperlukan adalah suatu system nasional yang dapat dijadikan wadah atau pijakan dan kerangka kerja politik hukum nasional. Dalam hal ini, pengertian tentang system hukum nasional Indonesia atau system hukum Indonesia perlu dikemukakan disini.27
Politik Sumberdaya Alam
Penutup Berdasarkan uraian diatas maka penulis mencoba untuk menyimpulkan pokok permasalahan yang dikaji dalam makalah ini, antara lain; Pertama, Pegunungan Kendeng harus diselamatkan karena ratusan mata air di pegunungan Kendeng saat ini menjadi penopang sekitar 45% kebutuhan air masyarakat Pati, Masyarakat petani di wilayah bawah pegunungan bergantung pada pengairan di pegunungan tersebut. Kedua, Paradigma pembangunan Indonesia tidak kuat menghadapi tawaran Globalisasi dan pengaruh Kapitalisme yang membebaskan pasar, tanpa perhatian kesejahteraan masyarakat. Ketiga, Negara telah melakukan kejahatan kepada masyarakat disekitar pegunungan kendeng, dengan asumsi bahwa pengabaian hak-hak dasar asasi manusia dalam rangka mempertahankan kehidupannya; terjadi pelanggaran terhadap Konstitusi khususnya pasal 33 UUD NRI 1945, pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan pelanggaran dasar Negara Indonesia sila kelima Pancasila. Kelima, tidak terdapat penguatan partisipasi masyarakat terhadap akses pengelolaan sumber daya alam dan sistem birokrasi yang sistematis dan terkoordinasi.*
26
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm.67 27
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 20 123
Dian Chandra Buana: Kearifan Lokal DAFTAR PUSTAKA
Absori, Hukum Penyelesaian Lingkungan Hidup: Sebuah Model Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dengan Pendekatan Partisipati, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2009 A. Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1995 Joko Subagyo, Hukum Lingkungan: Masalah dan Penanggulangannya, Rineka Cipta, Jakarta, 2002 Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis, Yayasan PIKUL, 2001 M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya Yogyakarta: Genta Publishing, 2009
Jurnal: Absori, Deklarasi Pembangunan Berkelanjutan dan Implikasinya Di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 9, No. 1, Maret 2006: 39 – 52, Fakultas Hukum Universitas Muhammdiyah Surakarta Satjipto Raharjo, Hukum Progrsif: Hukum yang membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol. I/No. 1/April/ 2005, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang Siahaan, dalam Harun Husein, 1992, Lingkungan Hidup, Jakarta: Bumi Aksara, hal 24 dalam Absori Jurnal Ilmu Hukum Rikardo Simarmata, Digest Law, Society & Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007
Web dan Media Cetak: http://argajaladri.or.id Kompas.com Data BPS 2010: http://patikab.bps.go.id Harian Suara Merdeka Kampuswongalus.wordpress.com http://putusan.mahkamahagung.go.id
124