PENDAHULUAN
Latar belakang Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Kepulauan Seribu, Jakarta (Burke et al. 2002; Erdmann 1998). Hal ini terlihat dari hasil pemantauan kondisi terumbu karang Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPOLIPI) sampai dengan Desember 1999 diperoleh sekitar 6,69% terumbu karang yang statusnya sangat baik dan 26,59% yang berstatus baik, berstatus sedang mencapai 37,58% dan berstatus jelek mencapai 29,16% (Moosa 2001). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode monitoring yang murah dan efektif dalam memprediksi dan mengamati perubahan kesehatan terumbu karang. Pengamatan kondisi ekosistem terumbu karang merupakan kegiatan yang sangat penting dilakukan mengingat banyaknya area terumbu karang dunia yang telah hancur atau terdegradasi. Terdapat beberapa metode yang telah dipakai untuk menduga komposisi bentik terumbu karang, misalnya menggunakan transek garis menyinggung (line intercept transects), namun metode-metode tersebut memakan banyak waktu dan membutuhkan keterampilan tertentu untuk mengaplikasikannya. Oleh karena itu, diperlukan cara lain yang bisa dipakai untuk melengkapi pe ngamatan dan menduga perubahan ekosistem terumbu karang menurut waktu yaitu dengan mengidentifikasi spesies indikator. Spesies indikator
dapat
digunakan
untuk
menduga
kesehatan,
keanekaragaman,
produktivitas dan integritas sistem terumbu karang (Smith 2004; Hourigan et al. 1988; Bozec et al. 2005).
Spesies di ekosistem terumbu karang yang bisa dipakai sebagai bioindikator adalah ikan (Tanner et al. 1994; Markert et al. 2003) karena keberadaan ikan-ikan terumbu sangat tergantung pada kesehatan terumbu karang yang salah satunya ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup (Hourigan et al. 1988; Ohman 1998; Lowe-McConnell 1987). Selain itu, ikan terumbu hidup berasosiasi dengan aneka bentuk dan jenis karang sebagai tempat tinggal, perlindungan dan mencari makanan (Nybakken 1993; Barnes 1980; Sale 1991). Salah satu bentuk asosiasi antara ikan dan terumbu yang dapat dilihat adalah ikan pemakan koral (koralivor) seperti dari famili Chaetodontidae, Balistidae, dan Tetraodontidae (Reese 1981; Soule & Kleppel 1988; Birkeland 1997; Ohman 1998) dengan karang terumbu yang menjadi makanannya. P opulasi ikan koralivor sangat tergantung pada ketersediaan karang hidup yang dapat dilihat dari penutupannya (Berumen et al. 2005; Fishbase 2004; Nontji 1993; Burges 1978) . Ikan kepe-kepe dari famili Chaetodontidae merupakan penghuni habitat terumbu karang yang mudah untuk diamati, umum dijumpai dan diidentifikasi secara langsung (Nybakken 1993; Barnes 1980). Beberapa spesies yang sudah diteliti adalah Chaetodon multicinctus, C. ornatissimus, C. trifasciatus, C. unimaculatus (Hourigan et al. 1988; Ohman et al. 1998), C. lunulatus, C. baronessa (Berumen et al. 2005), C. austriatus, dan C. trifascialis (Alwany et al. 2003). Berdasarkan penelitian Bawole et al. (1999) dikemukakan bahwa kehadiran yang dominan dari Chaetodon octofasciatus mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami perubahan. Dari penelitian tersebut disarankan perlu adanya penelitian yang lebih lanjut tentang kebiasaan makan dan tingkah laku ikan Chaetodontidae, dengan perhatian khusus pada jenis
Chaetodon
2
octofasciatus, Chaetodon trifasciatus, Chaetodon trifascialis dan Chaetodon ornatissimus. Karena kelimpahan Chaetodon octofasciatus di Kepulauan seribu sangat tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya. Maka penelitian ini memfokuskan kajian pada Chaetodon octofasciatus yang ditinjau dari aspek ekologis dan biologis.
Permasalahan Beberapa permasalahan yang telah teridentifikasi berdasarkan hasil studi pustaka dalam penelitian ini, yaitu: 1. Belum adanya metode yang murah, mudah dan efektif untuk diaplikasikan di lapangan dalam mendeteksi perubahan ekosistem terumbu karang mengingat cepa tnya degradasi ekosistem tersebut 2. Belum ada penelitian tentang pola makan ikan koralivor kaitannya dengan perubahan ekosistem terumbu karang di Pulau Petondan Timur Kepulauan Seribu, Jakarta. 3. Belum adanya penelitian tentang efektivitas ikan koralivor untuk dapat dijadikan indikator untuk kerusakan terumbu karang di Pulau Petondan Timur Kepulauan Seribu, Jakarta 4. Belum adanya informasi perbedaan jumlah ikan indikator pada masing-masing kategori kerusakan terumbu karang 5. Masih kurangnya informasi tentang hubungan antara persentase penutupan karang hidup terhadap keberadaan ikan indikator 6. Belum ada studi mendalam tentang ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus baik secara ekologi maupun biologis seperti kajian makanan dan kebiasaan makan
3
Dari permasalahan yang ada maka muncul beberapa pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut dengan penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana pola makan ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus berdasarkan analisa makanan dan kebiasaan makan serta tingkat pemangsaan ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus terhadap karang? 2. Apakah ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus merupakan indikator untuk ekosistem terumbu karang yang sehat, rusak atau yang sedang mengalami perubahan? 3. Bagaimana pola hubungan antara persentase penutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan kepe -kepe jenis Chaetodon octofasciatus?
Kerangka pemikiran Untuk mencapai berbagai tujuan penelitian yang telah ditetapkan yang didasari dari permasalahan yang ada maka disusun suatu kerangka pemikiran seperti disajikan pada Gambar 1.
4
Tekanan Antropogenis
Ekosistem Terumbu Karang
Tekanan Alami
Perubahan Ekosistem
Biologi Ekologi
Terumbu karang: - Persentase penutupan karang hidup - Struktur komunitas karang - Indeks Mortalitas Karang (IMK) - Komposisi substrat dasar
Ikan Kepe-kepe: - Jenis - Kelimpahan ikan - Tingkat pemangsaan - Makanan & kebiasan makan
Kajian Ekobiologi
Metode terumbu karang: a. Transek sabuk b. Transek garis menyinggung c. Transek kuadrat Metode ikan kepe-kepe: a. Sensus ikan stasioner b. Analisa makanan dan kebiasaan makan
tidak
Timur Selatan
Stas iu n
Ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus belum dapat dipakai sebagai bioindikator dalam endeteksi kondisi pada ekosistem terumbu karang
Barat
Utara
Ada perbedaan ?
ya
Ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus dapat dipakai sebagai bioindikator dalam endeteksi kondisi pada ekosistem terumbu karang
Gambar 1 Kerangka pemikiran
5
Hipotesis Adapun hipote sis dalam penelitian ini adalah: Kelimpahan ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) ditentukan oleh besarnya persentase penutupan karang hidup.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui makanan dan kebiasaan makan Chaetodon octofasciatus melalui analisa isi perut; 2. Mengetahui perbedaan tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus terhadap jenis koral yang dikonsumsi; 3. Didapatkannya pola hubungan antara kelimpahan Chaetodon octofasciatus dengan persentase penutupan karang hidup;
Manfaat Penelitian ini diharapkan mempunyai berbagai manfaat, yaitu: 1. Mendapatkan indikator kerusakan terumbu karang berdasarkan jumlah Chaetodon octofasciatus yang sangat murah, mudah dan efektif untuk diimplementasikan di lapangan khususnya di Pulau Petondan Timur Kepulauan Seribu, Jakarta; 2. Memberikan tambahan informasi mengenai ekobiologi dari ikan indikator ini, maka memberikan informasi kerusakan terumbu karang yang lebih dini dan akurat.
6