Wilangan 17
Kota Emas
RANI
BUKANLAH PECINTA CERITA FANTASI.
Dia tidak pernah
bermimpi untuk masuk ke dunia kerajaan raja singa yang bisa bicara di balik lemari atau dunia sekolah sihir di balik tembok peron stasiun kereta api. Tidak juga terlintas di pikirannya imajinasi tentang peri, kurcaci, makhluk hobbit, monster
atau
naga—bermimpi
menjadi
putri
yang
dikurung di menara dan menanti pangeran tampan berkuda putih pun tidak. Karenanya, ketika melewati portal
tirai
samar
barusan,
Rani
tidak
pernah
membayangkan apa yang akan menantinya di sisi sana.
222
Kesan pertamanya terhadap tempat itu adalah kesejukan yang dirasakan kulitnya. Jika baru saja dia merasakan sinar matahari jam 12 siang yang menyengat pada kulitnya, kini yang dia rasakan adalah semilir angin yang sejuk memberi sensasi menyegarkan pada sekujur tubuhnya. Pemandangan
di
sekitarnya
sebenarnya
tidak
terlalu jauh berbeda. Bukit yang berumput hijau dan pepohonan yang memiliki jenis dan warna yang sama. Tetapi kontur, bentuk dan lokasinya jauh berbeda, seakan selangkah
melewati
puluhan—mungkin
tirai
tadi
telah
ratusan—kilometer
membawanya jauhnya.
Rani
teringat cerita temannya di sekolah. Teleportasi. Mata Rani menjelajahi pemandangan baru itu dengan cepat, mempelajari dunia baru yang dimasukinya. Di samping warna dan jenis pohon, segalanya yang dia lihat di sini tampak berbeda. Langitnya berwarna merah muda seperti salah satu warna langit yang paling lembut di ufuk barat pada petang hari dan ada gradasi di sekitar matahari yang membentuk cincin seperti pada waktu 223
gerhana matahari, hanya cincin yang memudar ini terbentuk di luar lingkaran matahari. Tidak ada satupun awan yang tampak di atas sana, kecuali objek-objek yang beterbangan ke sana ke mari, terkadang berhenti di langit. Rani tidak bisa menentukan apa itu pesawat terbang, helikopter atau burung karena jaraknya yang jauh dari tempatnya berdiri. Satu hal yang bisa dipastikannya adalah jumlah objek-objek itu yang bisa dibilang menciptakan lalu-lintas tersendiri di atas sana. Di bawah kesibukan langit itu, bangunan-bangunan pencakar langit—benar-benar pencakar langit karena Rani dan Bima tidak bisa melihat ujung atasnya yang seperti mengecil dan menghilang jauh di atas sana—menjulang memenuhi daerah yang tampak seperti kota, yang lebih tepat dibilang sebagai über-politan 1 , karena jika kota Jakarta saja bisa disebut sebagai metropolitan, maka kota ini seribu kali lebih dahsyat dari Jakarta.
1
(Jerman) Über = di atas, melampaui, melebihi.
224
Di satu sisi, gedung modern pencakar langit yang Rani lihat mengingatkannya pada film-film super-hero atau sci-fi
futuristik,
mengingatkannya
tetapi pada
di
lain
bangunan
pihak
kota
prasejarah
itu
seperti
bentuk pura atau çandi raksasa, punden berundak2, obelisk3, dan patung-patung raksasa dengan bentuk manusia atau binatang. Satu hal yang belum pernah Rani lihat atau pernah bayangkan adalah warna yang memenuhi kota itu. Dengan sinar matahari yang memantul di permukaan bangunan, kota itu tampak bersinar kuning berkilauan, dengan kilau yang lebih cemerlang di beberapa titik. Kota itu seakan habis ketumpahan emas cair yang menjadi pelapis semua bangunannya! Semakin ke bawah, pantulan warna kuning emas itu terbaur warna hijau dari pepohonan yang mengelilingi kota yang membuat kota itu berkilauan hijau cerah seperti
Atau teras berundak, bangunan jaman Megalitikum berupa ‘tumpukan’ teras luas dan terbuka yang disusun mengecil, dipercaya sebagai tempat pemujaan arwah leluhur. 3 Atau ‘tekhenu’, bangunan monumen kurus tinggi yang melancip di atasnya. 2
225
batu zamrud. Tetapi berbeda dengan film Petualangan Oz, kota ini tidak terbuat dari zamrud. Rani jadi teringat istilah zamrud khatulistiwa yang sering dijadikan sebutan untuk Indonesia di masa lampau. Mungkin seperti inilah pemandangan negeri ini di mata nenek moyangnya. Rani dapat merasakan kekaguman, kekagetan, penasaran dan antusias yang serupa dari Bima yang masih menggenggam tangannya ketika melewati tirai tadi. Untuk beberapa
menit
keduanya
tidak
bisa
melepaskan
pandangan dari kota berlapis emas yang terbentang luas sekitar 2-3 kilometer dari tempat mereka berdiri. Baru beberapa saat kemudian mereka teringat tentang Drupadi, dan mulai bergerak mencari gadis kecil itu. Bima, diikuti Rani, menyempatkan menengok ke belakang setelah beberapa langkah, untuk mengingat tempat portal itu berada. Perbedaannya dengan sisi dunianya yang hanya ditandai sebuah batu kecil, penanda di sini berbentuk bangunan gapura yang kokoh setinggi tiga meter. Tidak seperti gapura yang pernah dilihatnya di çandi di Jawa atau pura di Bali yang terbuat dari susunan 226
batu bata terakota atau batu candi berwarna hitam, di sini gapuranya terbuat dari logam perak yang memantulkan bayangan Rani dan Bima dengan bentuk yang mletat-mletot. Sebuah plakat sebesar laptop berwarna keemasan tertanam setinggi satu meter di kedua sisinya, tampak seperti peraturan dengan tulisan kecil-kecil yang tidak terbaca oleh Rani dari jarak 5-6 meter seperti itu. Selain gapura perak itu, tidak ada bangunan lain di sekitar mereka, hanya ada pepohonan di sana-sini. Perbedaan lain yang Rani perhatikan dengan dunia asalnya adalah batas yang jelas di sisi ini dimana dunia ini berakhir. Di kanan-kiri gapura, ada batas seperti kaca berlapis film 20-30% berwarna kebiruan yang warnanya bergradasi semakin muda dan akhirnya menghilang di ketinggian 150-160cm dari tanah, yang menampilkan suasana dunia ‘sana’, seakan-akan dunia yang Rani masuki ini adalah bangunan beratap kubah kaca superbesar dengan langit dan udara buatan yang terlihat seakan mereka tengah berada di alam bebas. Semacam hutan buatan di dalam rumah kaca raksasa atau setting untuk 227