Jurnal Psikologi Indonesia 2009, Vol VI, No. 1, 62-74, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
MANFAAT INDUCTION TRAINING & INTENSIVE TEAM BUILDING WORKSHOP YANG DIBERIKAN SECARA EXPERIENTIAL LEARNING DI HARIAN KOMPAS
(THE BENEFIT OF INDUCTION TRAINING & INTENSIVE TEAM BUILDING WORKSHOP CONDUCTED USING THE EXPERIENTIAL LEARNING APPROACH IN KOMPAS DAILY) Widyarto Adi Ps. Diklat Harian Kompas Induction training atau orientasi (orientation) perlu diadakan bagi setiap orang yang memulai pekerjaan baru, baik sebagai karyawan baru maupun karyawan lama yang mendapat tugas baru setelah mengalami mutasi. Salah satu metode pelatihan yang mampu membuat peserta berpartisipasi baik secara fisik, mental, emosional sehingga terlibat secara total adalah Experiential Learning. Metode lain yang mampu membuat peserta keluar dari kungkungan dinding kantor (wall-less) sehingga secara tidak sadar akan memperlihatkan real self-nya adalah metode outbound. Pengalaman di Kompas, gabungan kedua metode tersebut dapat dijadikan pelatihan intensif bagi pembinaan soliditas kelompok kerja atau intensive team building workshop. Kata kunci: induction training, experiential learning, outbound, team building. Induction training or orientation needs to be provided to individuals who start a new job, either as a newly hired employee or as an old one who assumes a new job after a mutation. One of the training methods that allows the participants to participate physically, mentally, and emotionally is that of experiential learning. Another method that enables the participants to free themselves from the confinement of their office walls (wall-less) so that they may unconsciously express their real self is the outbound method. The combination of the two methods as adopted in Kompas results in an intensive group solidity training or intensive team building workshop. Key words: induction training, experiential learning, outbound, team building.
Sekilas Induction Training dan Team Building Sesuai judul, naskah ini membahas tentang induction training, yaitu pengenalan pekerjaan dan perusahaan tempat calon karyawan bekerja; dan tentang team building, pelatihan yang bertujuan membangun soliditas kelompok, biasanya diikuti oleh karyawan yang sudah bekerja. Induction training, juga dikenal dengan istilah orientasi (orientation), dipandang perlu diadakan karena setiap orang yang memulai suatu pekerjaan baru - bukan hanya karyawan baru, tetapi juga karyawan lama yang mendapat tugas baru setelah mengalami mutasi—akan bertanya-tanya: “Apakah aku mampu melaksanakan pekerjaan itu?”, “Seperti apa atasanku, rekan-rekan kerjaku, akan menyenangkankah bekerja di tempat itu?” Pertanyaan-pertanyaan itu umum terjadi, dan dapat mengurangi kemampuan (calon)
karyawan untuk mempelajari pekerjaan barunya. Para pakar kejiwaan mengatakan bahwa kesan awal akan kuat bertahan, lama hilangnya, karena orang-orang baru ini tidak akan mempunyai hal lain untuk diperbandingkan. Maka untuk para orang baru ini perusahaan melakukan suatu proses pengenalan, yaitu induction training atau orientasi. Program ini dapat berupa beberapa aktivitas: 1. Program orientasi singkat: para karyawan baru dikumpulkan di suatu kelas dan diperkenalkan tentang apasiapa-bagaimana perusahaan (apa peraturannya, bagaimana fringe benefits, lokasi kerja, struktur organisasi di tempat kerja, dan semacamnya). Setelah itu karyawan dikirim ke tempat kerja, diperkenalkan dengan rekan kerja di lingkungan baru dan memulai hari barunya.
WIDYARTO ADI PS.
Job analysis HR plans Recruits
63
Orientation Training Development Career planning Performance evaluation Compensation Employee Relation Assessment
Organization practices Labor market growth Equal employment laws Naturalization rules Other legal constraints Credential distortion Ethical considerations
Gambar 1. Dependency of human resource management activities on the selection process (Werther & Davis, 1996).
2. Program orientasi berkelanjutan: lingkungan si karyawan baru ikut berperan dalam “masa perkenalan” di tempat kerja baru. Atasan dan rekan kerja akan bersedia membantu jika ada kesulitan yang perlu diatasi. Seleksi dan Tahapannya Sebelum diterima sebagai (calon) karyawan, seseorang harus berhasil melampaui proses seleksi yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Melalui proses seleksi ini perusahaan memilih sejumlah calon terbaik yang memenuhi kriteria untuk dapat diterima dan menduduki posisi tertentu yang sedang lowong. Werther dan Davis (1996) menjelaskan bahwa setelah melewati proses seleksi ini barulah terlaksana aktivitas manajemen sumber daya manusia (human resource activities, Gambar 1). Jadi proses seleksi merupakan gerbang utama yang harus dilewati seseorang untuk dapat diterima bekerja di suatu perusahaan. Setelah proses seleksi tersebut, barulah mulai ada aktivitas manajemen sumber daya manusia yang dilakukan oleh perusahaan terhadap para karyawannya. Di dalam proses seleksi sendiri ada beberapa tahap. Dengan memakai system gugur, tahap-tahap seleksi di Harian Kompas (PT Kompas Media Nusantara, selanjutnya akan disebut Kompas) adalah sebagai berikut: 1. Penerimaan surat lamaran. Surat-surat lamaran, baik yang diantar atau dikirim langsung (walk-ins), atau diterima setelah publikasi suatu iklan lowongan, dikumpulkan dan diklasifikasikan sesuai pendidikan akhir pelamar. 2. Seleksi administratif. Bila ada lowongan, lamaran yang sesuai dengan spesifikasi
3.
4.
5.
6.
7.
(job-specification atau man-specification) jabatan atau posisi yang membutuhkan, dipilih dan dipanggil untuk melakukan wawancara dengan pihak perusahaan. Wawancara awal dan pengecekan referensi-latar-belakang. Dilakukan oleh pihak pengelola sumber daya manusia atau SDM), dalam hal ini Bidang Penerimaan-Penempatan, dan pihak user, atau calon atasan pelamar. Evaluasi psikologis dan tes bidang. Untuk lebih mendalami potensi dan kemampuan pelamar, dilakukan evaluasi psikologis (psychotest) dan tes tertulis sesuai dengan bidang yang membutuhkan. Tes kesehatan. Mutlak harus dilewati dengan baik, karena dibutuhkan karyawan yang tidak sakit-sakitan untuk dapat menyelesaikan tugas yang tidak perlu diperbaiki lagi oleh orang lain. Wawancara akhir. Tahapan ini khusus diperlukan untuk beberapa jabatan “penting” misalnya karyawan staf, wartawan atau calon yang akan menduduki jabatan manajemen. Biasanya dilakukan secara panel (panel interview). Masa penilaian. Karena enam tahapan di atas belum menjamin bahwa karyawan yang diterima pasti akan sesuai bagi jabatan yang akan didudukinya, maka perlu ada masa “adaptasi” terhadap situasi kerja yang dimasukinya bagi karyawan baru tersebut. Adi (1997) menyebutkan bahwa kondisi pada saat seleksi adalah kondisi 0 (nol atau kosong), sedangkan kondisi kerja mempunyai banyak “faktor X”. Untuk mengatasi kondisi tersebut diperlukan tidak hanya kompetensi teknis untuk menguasai bidang pekerjaan, tetapi juga kemampuan sosial-emosional untuk beradaptasi dengan lingkungan
64
WIDYARTO ADI PS.
Gambar 2. The impact of thorough orientation on employee learning (Werther & Davis, 1996).
(Adi, 2004). Werther dan Davis (1996) menyebut masa ini sebagai realistic job previews. 8. Diterima sebagai karyawan. Penerimaan sebagai karyawan (istilahnya “diangkat menjadi karyawan tetap”) merupakan akhir proses seleksi. Calon karyawan diterima secara resmi sebagai anggota keluarga besar perusahaan. Sosialisasi Budaya dan Values Perusahaan Panjangnya proses seleksi dan lamanya waktu yang harus dilalui sebelum seorang pelamar diangkat menjadi karyawan tetap, menyebabkan perusahaan sadar bahwa seorang karyawan harus di-maintain dengan baik supaya “betah” bekerja di perusahaan. Sebagai individu yang mempunyai pengalaman sebelum masuk ke perusahaan (di sekolah, saat kuliah, atau di perusahaan lain), seseorang mempunyai kemampuan teknis dan latar-belakang kepribadian tertentu. Itulah yang membentuk dirinya secara keseluruhan. Saat memasuki lingkungan kerja baru, “diri karyawan secara keseluruhan” ini harus melakukan adaptasi terhadap dunia barunya tersebut. Jadi, selain dituntut mampu menyelesaikan
tugasnya dengan baik, ia juga dituntut untuk memahami dan melakukan adaptasi terhadap sistem kerja, budaya kerja dan sistem nilai yang dianut perusahaan, yang oleh Schein (1992) disebut sebagai “unconscious, takenfor granted beliefs, perceptions, thoughts, feelings” yang dianut oleh perusahaan, dan merupakan “source of values & actions” yang dipercaya dan dilaksanakan oleh perusahaan. Pemahaman terhadap hal-hal tersebut akan memperlancar hubungan seorang karyawan, lebih-lebih yang baru masuk bekerja, dengan lingkungan kerjanya. Karena, bagaimanapun juga, ada “sesuatu” yang merupakan “the pattern of shared beliefs, attitudes, assumptions and values”, hal intangible yang “shape the way people act and interact and strongly influence the way that things get done” (Schein, 1992). Dengan memahaminya, berarti seorang karyawan baru sudah melebur ke dalam budaya baru yang juga dianut oleh semua karyawan lain di lingkungan kerja itu. Daniels (1994) dengan amat meyakinkan mengatakan bahwa “the most successful companies will be the one that can most efficiently train their workforce to assimilate into the job-culture of theirs”. Yang menjadi masalah adalah bagaimana
WIDYARTO ADI PS.
membuat mereka ter-assimilate ke dalam job-culture yang ada. Atau, dengan kata lain, bagaimana cara untuk dapat mengintegrasikan para karyawan baru ini ke dalam perusahaan. Oldfield (1989) menyebutkan perlu adanya proses sosialisasi, yang merupakan proses berkelanjutan melalui mana seorang karyawan mulai mengerti, memahami dan menerima nilai, norma, dan beliefs yang juga dipercaya dan “dianut” oleh karyawankaryawan lain di perusahaan. Jadi proses sosialisasi tersebut diharapkan berkelanjutan, bukan hanya pemaparan satu kali di kelas, saat hari pertama karyawan baru mulai masuk bekerja, di mana “hanya” dijelaskan mengenai apa-siapa-bagaimana perusahaan. Lingkungan yang membantu karyawan baru untuk berasimilasi dan beradaptasi dengan situasi kerja barunya, merupakan wahana bagi proses sosialisasi yang berkelanjutan tersebut. Gomersall dan Myers (1966) melaporkan perbedaan hasil antara program orientasi pendek (dilakukan satu kali di kelas saja) dengan orientasi yang panjang, yakni proses sosialisasi yang disinggung di atas (Gambar 2). Mereka yang menjalani proses sosialisasi berkelanjutan mempelajari tugas barunya dengan lebih cepat. Mereka ini juga lebih cepat menguasai tugas, sehingga lebih cepat mencapai standar produksi yang sudah ditentukan. Di Kompas, program orientasi awal dilaksanakan pada hari pertama (calon) karyawan masuk bekerja. Kemudian ada program pelatihan khusus bagi para karyawan baru sebelum diangkat menjadi karyawan tetap untuk menambah kedalaman pemahamannya. Untuk mendapatkan hasil optimal, dipilih metode experiential learning untuk pelatihan ini. Pelatihan (Training) Menempatkan seorang karyawan di dalam satu jabatan belum menjamin bahwa ia akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
65
Karyawan baru sering merasa tidak yakin terhadap peran dan tanggungjawabnya di dalam menjalankan tugas. Untuk pertamakali, materi yang diberikan selama program orientasi dapat mengatasi ketidak-yakinan tersebut. Untuk era sekarang, sekali karyawan sudah menguasai pekerjaannya, ia juga tetap akan membutuhkan pengembangan lebih lanjut guna menyiapkannya bagi perkembangan di dalam tugas. Ini masih ditambah lagi dengan adanya perkembangan jaman yang menuntut meningkatnya kompetisi usaha, yang berdampak tuntutan peningkatan kompetensi karyawan. Pengembangan diri untuk mengikuti perkembangan pekerjaan merupakan hal yang tidak dapat tidak harus terus dilakukan karyawan. Di sini kita membicarakan fungsi pelatihan dan pengembangan (training and development) bagi karyawan. Walau pelatihan bertujuan membantu karyawan dalam membereskan tugasnya saat ini, manfaat pelatihan akan dapat terus dirasakan selama karyawan berkarir dan membantu pengembangan yang bersangkutan dalam menyiapkan dirinya di masa mendatang. Di sisi lain, program pengembangan akan membantu karyawan dalam menyiapkan diri untuk menerima tanggung-jawab pekerjaan di masa mendatang. Pembedaan definisi yang baru saja disinggung dimaksudkan untuk memperjelas perbedaan tipis di antara keduanya, karena kedua istilah tersebut sering digunakan, dan mempunyai satu tujuan, apalagi kalau kita membicarakan mengenai pembelajaran yang berkelanjutan (continuous learning) bagi setiap individu yang tidak mau berhenti pengembangan pribadinya. Dalam menjalankan tugas, karyawan membutuhkan pelatihan untuk memenuhi apa yang diharapkan darinya, yakni memenuhi tuntutan tugasnya. Ada yang mengibaratkan, kalau ada timbangan di mana di salah satu
66
WIDYARTO ADI PS.
sisi timbangan diletakkan tuntutan tugas karyawan (job demands), maka di sisi satunya, untuk membuatnya seimbang, perlu diletakkan kemampuan karyawan ditambah program orientasi, ditambah pelatihan dan ditambah lagi program coaching, yang secara berkelanjutan diberikan kepada karyawan selama ia melaksanakan tugasnya. Untuk jelasnya dapat dilihat di halaman sebelum ini. 1. Tahapan-tahapan dalam pelatihan Supaya sasaran pelatihan tercapai dengan optimal, harus dilakukan analisis terhadap kebutuhannya, menentukan sasaran, memilih materi dan metode yang sesuai dengan prinsip-prinsip belajar (learning). Gambaran tahapan-tahapan tersebut ada pada Gambar 3. Pada Gambar 3, pelaksanaan pelatihannya sendiri ada pada tahapan Actual Program. Untuk sampai ke tahapan itu, lebih dulu ditentukan sasaran pelatihan. Di sini ditentukan siapa yang akan menjadi peserta dan materi yang akan disampaikan. Supaya isi materi (content) sesuai dengan kondisi pemahaman peserta, perlu dilakukan tahapan training needs analysis (TNA). Di sini dilakukan pengumpulan informasi yang berkaitan erat dengan pelatihan tersebut, sehingga akan dapat ditetapkan content yang disampaikan dan metode penyampaian yang tepat. Bila pelatihan dilaksanakan oleh pihak dari luar perusahaan (Konsultan
atau Provider Pelatihan), TNA dimulai dari objectives yang ingin dicapai oleh pihak perusahaan. Melakukan TNA merupakan hal penting. “Conducting a vigorous needs assessment is like exercising, eating well and flossing our teeth: we all know we should do it” (Bowman, 1990). Dengan demikian, hasil pelatihan, yaitu penambahan atau perubahan positif di dalam bidang pengetahuan, keahlian atau sikap karyawan (knowledge, skill, attitudes) dapat tercapai secara optimal (Odiorne dan Rummler, 1998). 2. Pelatihan diberikan oleh pihak luar perusahaan Karena keterbatasan sumber daya internal dan supaya terlaksana secara lebih profesional, biasanya pihak perusahaan menyerahkan pelaksanaan program pelatihan kepada pihak luar perusahaan (provider). Pada buku Approaches To Training & Development (2003), Laird, Holton dan Naquin menjelaskan peran provider yang dalam banyak hal bertindak sebagai pelaksana, pendisain dan penyampai isi program ke peserta (peran sebagai Consultant, Designer, dan Trainer, Gambar 4). 3. Peserta pelatihan: Adult learners Dalam Gambar 4 Laird dkk menyebut peserta pelatihan adalah adults. Ini untuk membedakan antara memberi pelajaran (di sekolah, kepada anak-anak) dengan memberi pelatihan (kepada karyawan, orang dewasa).
Gambar 3. Steps in training and development program
WIDYARTO ADI PS.
67
Gambar 4. The roles of consultant, designer dan trainer in training program (Laird, Holton, & Naquin, 2003).
Prinsip adults dalam mengikuti pelatihan adalah: 1. Menentukan sendiri hal-hal penting yang harus dipelajarinya 2. Selalu mempertanyakan informasi yang didapat (selama pelatihan), disesuaikan dengan pengalaman yang pernah didapatkannya dan beliefs yang dipunyainya 3. Mengharapkan apa yang dipelajari akan segera bermanfaat (terutama bagi tugasnya) 4. Sudah mempunyai (banyak) pengalaman dan sudut pandang sendiri-ini mempengaruhi pendapatnya terhadap informasi yang diterima (selama pelatihan) 5. Bisa menjadi nara sumber bagi trainer maupun peserta pelatihan yang lain. Maka, dalam dunia pelatihan dikenal ada “8 aksioma” dalam pembelajaran orang dewasa (Pike, 2003), yakni peserta pelatihan sebagai adult learners, yang sebaiknya: 1. dipancing sehingga mempunyai kemauan untuk belajar sebagai internal motivation 2. mempelajati hal-hal yang praktis 3. ada proses learning by doing 4. fokus pada permasalahan (problems) yang realistis 5. pengalaman yang dipunyai akan mempengaruhi proses belajar 6 lingkungan belajar yang paling sesuai ialah yang informal 7. disampaikan dengan metode yang
bervariasi 8. lebih membutuhkan arahan dalam proses belajar, bukan pemeringkatan (grading). 4. Experiential learning Melihat kebutuhan para adult learners ini, Claxton dan Murrel (1987) mengemukakan bahwa pelatihan yang sesuai untuk mereka adalah pelatihan yang bukan hanya melibatkan peran kognitif seperti yang biasa dilakukan di dalam kelas, tetapi juga yang melibatkan peran: 1. emosi-memperkuat hubungan antara pengalaman di dalam pelatihan dan memori 2. energi-ada penerapan aktif dari pengetahuan baru 3. konteks-menghubungkan pengalaman belajar dengan kehidupan nyata / pribadi 4. indera-meningkatkan penyerapan terhadap pemahaman/ pengetahuan baru. Memperkuat pendapat ini International Institute for Management Development dalam buku yang dieditori oleh Strebel dan Keys (2005) menyimpulkan bahwa pelatihan yang mempunyai dampak kuat memang yang dikaitkan secara erat dengan pengalaman nyata. Ada 4 pendukung (drivers) bagi pelatihan yang mempunyai dampak “hebat”, yaitu: 1. Emotional highs – engaging participants emotionally and intellectually; 2. Energizing roles-actively managing
68
WIDYARTO ADI PS.
relationships and roles amongst the participants and the educator; 3. Real world context-reflecting ‘real’ business challenges that participants are facing daily in the content and context of the learning process; and 4. Three-dimensional learning-integrating intellectual awareness, emotional awareness and action based application to embed learning”. Pelatihan yang memakai metode semacam itu dikenal sebagai training yang memakai metode experiential training, suatu pelatihan di mana “individuals engage in some activity, reflect upon the activity critically, derive some useful insight from the analysis, and incorporate the result through a change in understanding and/or behaviour” (Kolb, 1984). Di dalam experiential training peserta secara aktif melakukan aktivitas (bukan hanya berpikir saja), sehingga mendapatkan pemahaman, keahlian atau nilai-nilai tertentu dari pengalaman nyata. Tentang hal ini filsuf pendidikan John Dewey pernah mengatakan “An ounce of experience is much better than a ton of theory”. Carter (1998) mengatakan “participatory learning separates fantasy from reality”. Dalam pelatihan yang memberi kesempatan untuk melakukan aktivitas dan menomor-satukan faktor keselamatan ini peserta mengalami hal-hal yang: 1. Menggairahkan, menantang, sekaligus menggembirakan 2. Menyadari kelebihan atau kekurangannya dalam melaksanakan hal-hal tertentu
3. Melihat dan mengalami sendiri perbedaan antara apa yang mereka pikirkan dan percayai dengan perilaku atau tindakan ketika melaksanakan sesuatu hal 4. Mendapat dorongan untuk berani mencoba melakukan suatu hal dan berani mengambil resiko 5. Mendapatkan insight yang lebih kuat dan memperkaya proses pembelajarannya. Pelibatan emosi-energi-perasaan yang kemudian diperkaya oleh kesempatan merefleksikan hal-hal yang sudah dilaksanakan ketika melakukan aktivitas, merupakan kelebihan experiential learning ini. Kedalaman peserta menyerap makna atau pengalaman selama pelatihan, yang nantinya akan diterapkan dalam pekerjaan (atau kehidupan), akan sangat tergantung kepada Trainer dalam mengarahkan sesi (session) reviu (Gambar 5). Di sini peserta merefleksikan pengalaman di dalam aktivitas pelatihan dengan cara saling memberikan pendapat tentang aktivitas yang baru dilaksanakan. Kesimpulan yang ditarik oleh Trainer akan mempengaruhi kedalaman penyerapan peserta terhadap makna pelatihan tersebut. Tentu saja ini berpengaruh kepada apakah hasil pelatihan tercapai dengan baik atau tidak (Luckmann, 1996). Dalam pelatihan dengan experiential learning peserta melewati aneka proses seperti dipaparkan dalam Gambar 5: Tanggapan terhadap pelatihan yang diberikan memakai metode experiential learning juga menarik. Penelitian Jo Rumeser (2003) menemukan bahwa sebagian besar
Gambar 5. Proses yang dialami peserta dalam experiential learning
WIDYARTO ADI PS.
Unsur
69
Hasil Evaluasi
1.
Isi Program
74% menilai baik sekali 26% menilai baik
2.
Manfaat Pelatihan
100% menilai sangat bermanfaat
3.
Metode & Teknik
100% menilai teknik penyajian sangat pemahaman
4.
Cara Penyampaian
Fasilitator indoor sangat baik Fasilitator outdoor amat membantu
5.
Kesan
90% menilai sangat bagus
6.
Saran
Dilanjutkan programnya secara berkesinambungan
membantu proses
Gambar 6. Evaluasi terhadap pelaksanaan training dengan metode experiential learning (Rumeser, 2003). peserta menilainya “baik, bermanfaat, sangat membantu proses pemahaman”, sehingga menyarankan untuk “dilanjutkan secara berkesinambungan”. Hasil penelitian itu ada pada Gambar 6. Pelatihan dengan Metode Experiential Learning di Kompas Kompas, seperti terjadi di banyak perusahaan lain, juga menyerahkan hampir semua pelaksanaan pelatihannya kepada provider. Karena provider ini merupakan pihak luar, maka pemahamannya tentang sasaran pelatihan mutlak harus tepat. Setelah memahami hal tersebut, supaya hasil pelatihan dapat dicapai secara optimal, maka hasil analisis dalam training needs analysis (TNA, Gambar 3) harus tepat pula. Dengan demikian dapat diberikan materi pelatihan yang sesuai dan dipakai metode penyampaian yang tepat pula. Pihak Kompas sebagai client akan terus mendampingi semua tahapan ini, sehingga materi pelatihan dan metode penyampaiannya selalu merupakan hasil kesepakatan dua pihak, provider dan client. Sesuai Gambar 4, provider mempunyai peran consultant, designer dan trainer, sedang Kompas berperan sebagai designer pendamping. Metode experiential learning diperkenalkan di Kompas ketika awal dekade 1980-an ada provider yang menyelenggarakan lokakarya (workshop), bukan hanya “training saja”. Peserta diminta aktif melakukan berbagai latihan (exercises) atau diberi tugas yang ada
kaitannya dengan pekerjaannya sehari-hari di kantor. Dalam reviu dibicarakan dan dianalisis apa saja yang terjadi selama pelaksanaan tugas. Dengan demikian content pelatihan langsung dikaitkan dengan fakta nyata di pekerjaan sehari-hari (Gambar 5). Experiential Learning dan Pelatihan di Alam Terbuka Experiential learning yang dipadukan dengan kegiatan di alam terbuka (outbound) di Kompas pertama kali dilaksanakan 23-27 Mei 1994 (Adi, 1994). Pelatihan yang diberi judul GOLD TRAINING (Go for Outbound Leadership Training) ini diikuti oleh para Kepala unit Kerja. Dalam waktu 2 tahun Gold Training diselenggarakan 6 kali. Pelaksananya 3 pihak: Kompas sebagai penyelenggara dan client, Alberto Kulman sebagai provider pelatihan, dan Trekmate sebagai provider aktivitas outbound. Setelah sempat vakum 5 tahun, mulai tahun 2001 pelatihan serupa mulai dilaksanakan lagi. Sasaran pelatihannya team building, dengan participants para karyawan (sudah diangkat menjadi karyawan tetap) dari unit-unit kerja yang berkaitan. Ancok (2003) menjelaskan bahwa struktur organisasi perusahaan yang dibuat terkotak-kotak berakibat terhambatnya kelancaran interaksi sosial antar karyawan. Pelatihan yang didisain untuk mempererat kerjasama dapat memperlancar kerjasama crossfunctional. Aktivitas di arena tali (high rope) yang penuh personal challenge dapat menumbuhkan
70
WIDYARTO ADI PS.
rasa percaya diri dan perasaan diri mampu (self efficacy). Tumbuhnya sikap positif dalam diri seseorang akan memudahkannya berinteraksi dengan orang lain dalam sebuah tim. Ada fakta yang dapat ditarik dari perilaku peserta dari partisipasinya di dalam outbound ini. Dalam situasi yang tidak terkungkung dinding tembok, seseorang dapat memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya (the real-self, Adi, 1994). Perilaku di dalam beraktivitas menghadapi challenge dalam high rope dan dalam outdoor games (yang mengutamakan interaksi dengan anggota kelompok lain dalam mencari solusi masalah) mempunyai korelasi positif dengan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Fakta ini mendasari keputusan untuk menyelenggarakan pelatihan serupa dengan seluruh peserta dari kalangan para karyawan baru (yang belum diangkat menjadi karyawan tetap, atau untuk jabatan tertentu malah calon karyawan yang sama sekali baru masuk bekerja). Perilaku participants selama pelatihan dicatat, melengkapi catatan yang sudah ada di berkas masing-masing, hasil dari wawancara dan evaluasi psikologis sebelumnya. 2. Intensive team building workshop Dalam perkembangan selanjutnya pelatihan semacam ini juga diselenggarakan untuk suatu unit kerja, dengan participants
Gambar 7. Johari Window
seluruh anggota unit itu saja. Sasarannya intensive team building. Dan agar pelatihan berdayaguna optimal karena diikuti oleh seluruh anggota unit kerja, juga dilakukan workshop tentang aktivitas unit tersebut. a. Pemahaman diri sendiri dan kerjasama antar anggota kelompok. Selain outdoor games untuk membangun kerjasama kelompok, dalam pelatihan ini participants diminta mengenali kelemahan dan kelebihan diri masing-masing memakai Johari Window. Model yang dikembangkan oleh Josep Luft dan Harry Ingham ini merupakan pemetaan kesadaran tentang diri sendiri dan digunakan untuk meningkatkan saling pemahaman antar individu di dalam satu kelompok (Gambar 6). Dengan menerapkan Johari Window, para anggota suatu kelompok dapat saling memahami dengan membuka diri (selfdisclosure) terhadap umpan-balik (feedback) dari anggota kelompok lain. Berdasarkan Johari Window tersebut, para anggota kelompok juga didorong (gently encouraged) untuk saling memberi umpan-balik. Dengan demikian akan terbangun more-trusting relationship antar anggota kelompok tersebut, sehingga dapat terbentuk kelompok (unit) kerja yang lebih efektif. b. Pemahaman kondisi kelompok dan rencana kerja. Setelah saling terbuka satu sama lain, para anggota kelompok diminta
WIDYARTO ADI PS.
untuk melakukan position audit terhadap kelompok atau unit kerja mereka memakai model SWOT. Di sini peserta diminta mengidentifikasi kekuatan-kelemahan (strength-weaknesses) unit dan juga mengidentifikasi peluang yang dipunyai dan ancaman (opportunities-threats) yang dihadapi unit kerja. Hasil identifikasi tersebut dipakai untuk menyusun rencana kerja masa mendatang (jangka pendek, menengah dan panjang - 6, 12 dan 6 bulan ke depan). Praktisi manajemen menyebut aktivitas ini sebagai: menyusun strategi berdasarkan matriks TOWS (David, 1999). Dengan pelatihan yang berisi materi butir a dan b di atas, hasil intensive team building workshop tersebut adalah : 1. Peserta memahami kekuatan dan kelemahan diri masing-masing 2. Peserta belajar mengenai keterbukaan dalam menerima umpan-balik dari peserta lain. Dua hal di atas amat penting artinya dalam membentuk tim kerja yang mempunyai hubungan saling mempercayai dan menjadi lebih solid. Selain itu, dengan melakukan analisis SWOT dan membuat rencana kerja bersadarkan matriks TOWS, para peserta juga 1. Memahami kekuatan dan kelemahan unit kerja 2. Memahami peluang yang dipunyai dan ancaman yang dihadapi unit kerja 3. Berhasil menyusun secara bersamasama sasaran jangka pendek, menengah dan panjang unit kerja. Robbins (2005) mengatakan bahwa kelompok yang tingkat soliditasnya tinggi dan tingkat pemahaman terhadap norma atau value kelompok tinggi dapat diharapkan bahwa tingkat produktivitasnya juga akan tinggi pula. Apalagi kalau sasaran kelompoknya disadari dan dipahami oleh semua anggota kelompok. Dalam kasus yang kita bicarakan ini, masih ditambah lagi para anggota kelompok juga dilibatkan dalam penyusunan sasaran kelompok. 3. Induction Training Berkelanjutan Untuk karyawan yang baru masuk bekerja, pada hari pertama ia (atau mereka) diberi
71
penjelasan mengenai perusahaan: sejarah; visi-misi; falsafah perusahaan (beliefs dan values); bidang usaha; struktur organisasi; nama-nama pimpinan; dan hak-kewajiban karyawan. Karena (hanya) disampaikan di kelas, pemahaman mereka bersifat kognitif (saja). Melalui beberapa kali pengalaman melaksanakan outbound training, Kompas – dalam hal ini Bidang Pendidikan–Pelatihan (Diklat), melihat bahwa induction training yang dilanjutkan dengan aktivitas outbound akan mempunyai hasil-guna yang lebih kuat. Apalagi selama mengikuti pelatihan, dalam menghadapi berbagai situasi pelatihan yang wall-free tersebut, dapat dilihat the real-self para peserta. Dengan mengalami sendiri berbagai pengalaman dalam melakukan aktivitas outbound ini, sisi afektif peserta juga tersentuh. Experience yang direfleksikan dan direviu melalui arahan Trainer akan memperkaya dan memperdalam pemahaman peserta terhadap arti dan makna tujuan pelatihan. Seperti sudah disebutkan di atas, catatan perilaku para calon karyawan selama mengikuti outbound dapat dijadikan panduan dalam memberikan bimbingan profesional selama mereka menjalani masa realistic job preview, melengkapi hasil dari wawancara dan evaluasi psikologis sebelumnya. Trainer Internal dalam Pelatihan di Perusahaan 1. Nilai Keterpengaruhan Alasan mengapa program pelatihan diserahkan ke pihak luar perusahaan antara lain karena provider, yang “melulu” berkecimpung di bidang usahanya, selalu berhubungan dengan berbagai jenis client, sehingga mempunyai berbagai jenis referensi tentang bidang usahanya tersebut. Tetapi bagaimanapun, tetap saja provider ini merupakan pihak luar, yang berhubungan dengan perusahaan “hanya” kalau ada kepentingan tertentu saja. Tetap saja ia memahami perusahaan hanya dari sekitar aspek di mana ia berhubungan saja. Melihat hal tersebut, beberapa perusahaan mulai melaksanakan pelatihan dengan memakai trainer internal sendiri, yang pasti mengenal lebih banyak aspekaspek perusahaan, memahami sistim kerja
WIDYARTO ADI PS.
72
Old Approach to Development Development just happens Development means training
New Approach to Development Development is woven into fabric of the organization Development primary means challenging, experiences, coaching, feedback, and mentoring
The unit owns the talent; people don’t The company owns talent; people move easily move across units around the company Only poor performers have development Everyone has development needs and receives needs coaching A few lucky people find mentors Mentors are ass igned to every high potential person Gambar 8. Weave development into your organization (Michaels, Jones, & Axelrod, 2001). dan lebih menghayati values perusahaan. Sehingga dalam menyampaikan materi pelatihannya juga pasti lebih berbobot. Memberi pelatihan, dengan kata lain adalah juga menyampaikan materi pelatihan, jelas mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu (Bank, 1994), misalnya: 1. penguasaan terhadap materi pelatihan 2. jam terbang dalam memberikan pelatihan 3. nilai “keterpengaruhan” trainer. Tanpa “nilai keterpengaruhan”, maka akan terjadi “they don’t do what we train them to” (McNamara, 1990). 2. Pandangan Lama dan Baru dalam Pengembangan Karyawan Apapun jenis program pelatihan yang dilaksanakan oleh perusahaan, selalu ada kaitannya dengan pengembangan yang terjadi di perusahaan. Amat menarik mengikuti pandangan mengenai pelatihan dan pengembangan ini, yang dikemukakan oleh Michaels dkk (2001, Gambar 8). Mengikuti pandangan Michaels dkk tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembangan karyawan di dalam perusahaan berarti diberikannya kesempatan kepada karyawan bukan hanya untuk mengikuti pelatihan (cara lama), tetapi juga memberinya tantangan kerja, pengalaman kerja (magang temporer/temporary on-the job experience di unit lain, atau melibatkannya dalam proyekproyek ad-hoc), memberinya umpan-balik tentang kinerja atau coaching dan mentoring.
Dengan dipunyai pemahaman lebih luas (dan mendalam) tentang pekerjaannya sendiri, dan juga pekerjaan-pekerjaan lain baik di unitnya sendiri maupun unit lain, maka karyawan ini akan lebih mudah bila diberi tugas di tempat lain (rotasi maupun promosi). Maka Michaels dkk menyebut karyawan semacam ini sebagai talent, yang dapat move easily around the company. Hal tersebut dapat dilaksanakan, karena walaupun talent tersebut berasal dari unit kerja tertentu, tetapi begitu termasuk klasifikasi talent, ia “sudah menjadi milik company”, bukan hanya menjadi anggota unit kerja tertentu itu saja. 3. Memantau Talent Moving around-nya talent di dalam perusahaan perlu dipantau secara cermat, supaya mempunyai hasil-guna yang tepat. Untuk melaksanakannya perlu perangkat administratif yang baik. Catatan-catatan mengenai potensi karyawan yang didapatkan ketika mengikuti tes masuk, perilaku selama mengikuti outbound, penilaian atasan ketika diangkat menjadi Karyawan Tetap, hasil performance appraisal dan catatan-catatan mengenai potensi dan kinerja karyawan – merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penugasan dan evaluasinya. . Dalam pelaksanaan program tersebut, departemen pengelola SDM mempunyai peran sentral. Ia menjadi nara sumber, inisiator, eksekutor (berkoordinasi dengan
WIDYARTO ADI PS.
73
pimpinan unit-unit terkait) dan administrator (database/records tentang program tersebut). Semua catatan tentang program ini akan amat berguna dalam memutuskan semua hal tentang career path karyawan yang bersangkutan. Semua pihak yang berhubungan dengan program ini dapat menjadi narasumber. Termasuk juga trainer (internal) yang mempunyai catatan awal tentang perilaku karyawan dalam intensive team building workshop.
menengah dan panjang. 4. Catatan perilaku (lihat butir 2 di atas), akan sangat berguna bagi pembinaan karyawan dalam program orientasi berkelanjutan, dan juga menjadi panduan dalam program pembinaan talent demi kepentingan perusahaan (company).
Kesimpulan Experiential Learning merupakan metode pelatihan yang membuat peserta ikut berpartisipasi, dengan melibatkannya dalam aktivitas fisik, di mana sisi mental dan emosional peserta juga akan tersentuh secara total. Dengan demikian, materi pelatihan dapat diserap secara efektif. Pelibatan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual dalam sesi reflektif di dalam pelatihan ini menyebabkan peserta mau tak mau menghubungkannya dengan dunia pekerjaan (atau kehidupan nyata) sehari-hari. Dalam pelatihan experiential learning yang digabung dengan metode outbound, di mana ada peserta keluar dari kondisi kungkungan empat dinding tembok (wall-less), secara tidak sadar masing-masing peserta akan memperlihatkan real-self. Perilaku mereka yang mereka manifestasikan menunjukkan diri mereka sebenarnya. Pengamatan, dan catatan, tentang hal ini dapat menjadi pegangan dalam menilai kondisi mereka dalam menghadapi berbagai situasi kerja sehari-hari. Sesuai pengalaman Kompas, gabungan kedua metode tersebut dapat dijadikan jenis pelatihan intensif bagi pembinaan soliditas kelompok kerja, intensive team building workshop. Dalam pelatihan ini didapatkan hasil: 1. Pengenalan diri setiap anggota unit kerja 2. Pemahaman kondisi pribadi anggota unit lain 3. Peningkatan trust di antara anggota unit kerja yang akan meningkatkan soliditas kelompok 4. Pengenalan kondisi unit kerja 5. Disusunnya rencana kerja (yang dibuat oleh seluruh anggota unit) jangka pendek,
Adi, W. (1997, Juli–Agustus). Rekrutmen tenaga andal. Manajemen 146.
Daftar Pustaka Adi, W. (1994, September–Oktober). Mencapai prestasi gold melalui Gold Training. Manajemen 95.
Adi. W. (2004, 15–17 Januari). Peran kecerdasan dan kecerdasan emosional (IQ dan EQ) di dalam bekerja, beberapa tinjauan kasuistik. Temu Ilmiah Nasional, Kongres Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) IX, Surabaya. Ancok, D. (2003). Outbound management training, aplikasi ilmu perilaku dalam pengembangan sumber daya manusia. Yogyakarta: UII Press. Bank, G. (1994). Outdoor development for managers (2nd rev. ed.). London: Gover. Bowman, B. (1990). Assessing your needs assessment. Dalam B. Geber (Ed.), Designing training. Articles that have been published in Training Magazine. Minneapollis: Lakewood. Carter, J.H. (1990). Participatory training: Separating fantasy from reality. Dalam B. Geber (Ed.), Designing training. Articles that have been published in Training Magazine. Minneapollis: Lakewood. Claxton, C.S, & Murrel, P.H. (1987). Experiential learning theory as a guide for effective teaching. Journal of The Association for Counseling & Education Supervision, 27. Daniels, D. (1994). Predicting self-efficacy and performance during skill acquisition. Journal of Applied Psychology, 79(4), 506-517. David, F.R. (1999). Strategic management, concepts and cases (7th ed.). New Jersey:
WIDYARTO ADI PS.
74
Prentice-Hall. Gomersall, Earl G, & Myers, M. Scott (1966, July–August). Breakthrough in on-the-job training. Harvard Business Review. Kolb, D.A. (1984). Experiential learning: Experience as a source of learning and development. New York: Harper Collins.
Pike, W. (2003). Creative trainings techniques handbook. Tips, tactics, and how-to’s for delivering effective training. New York: Human Resource Development Printings. Robbins, S.P. (2005). Organizational behaviour (11th ed.). New Jersey: Prentice Hall.
Laird, D, Holton, E.F., & Naquin, S.S. (2003). Approaches to training and development (3rd ed.). Cambridge: Basic Books.
Rumeser, J. (2003, 8 September). Outdoor approach and experiential learning. Seminar Sehari Experiential Learning dalam Program Pelatihan dan Pengembangan SDM. PT Intipesan Pariwara, Jakarta.
Luckmann, C. (1996). Defining experiential education. The Journal of Experiential Education, 19.
Schein, E.H. (1992). Organizational culture and leadership (2nd ed.). San Francisco: Jossey-Bass
McNamara, J. R. (1990). Why they don’t do what we train them to. Dalam B. Geber (Ed.), Designing training. Articles that have been published in Training Magazine. Minneapollis: Lakewood.
Strebel, P., & Keys, T. (2005). Mastering executive education: How to combine content with context and emotion: The imd guide. Harlow: Prentice Hall.
Michaels, E., Jones, H.H., & Axelrod, B. (2001). The war for talent. Boston: Harvard Business School. Odiorne, G.S, & Rummler, G.A. (1998). Training and development. Chicago: Commerce Clearing House. Oldfield, K. (1989, March). Survival of the newest. Personnel Journal.
e-mail:
[email protected]
Werther, W.B, Jr & Davis, K. (1996). Human resources and personnel management (5th ed.). Boston: Irwin/McGraw-Hill.