Widyaiswara harus angkat pena : “...memangnya sulit... !?” Dimuat Buletin CAHAYA WANA, Balai Diklat Kehutanan Bogor.
Summary Widyaiswara must lift his pen? This question is not different to “ …. There is no choice; Widyaiswara must have the capabilities of writing”. This statement is in parallel with the statement that is expressed by Ibu Kusdamayanti published in Silvika edition number 43/III/2005. This is one of the requirements of being a professional widyaiswara whose orientation is always on work performance. To start with, forcing himself/herself to write any kinds of writing on his/her interests would be suggested. So……all Widyaiswaras need to write as much as what they have listened, read, and talked abut but at the same time to leave away the reasons of no time available, no computers to work with, no talent to support and any other pseudo-reasons. Is writing difficult????
Latar Belakang. Saya ingin menulis artikel ini sejak digelarnya acara “Sosialisasi Permenpan Nomor : PER/66/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya” oleh Kepala Direktorat Pembinaan Widyaiswara, LAN di Pusat Diklat Kehutanan, Bogor tanggal 15 Maret 2006. Acara yang cukup ramai adalah diskusi tentang Pasal 12 Ayat (6); “Widyaiswara Madya yang akan naik pangkat menjadi Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b sampai dengan Widyaiswara Utama pangkat Pembina Utama golongan ruang IV/e, dari angka kredit kumulatif disyaratkan paling rendah 12 angka kredit harus berasal dari kegiatan pengembangan profesi”. Keinginan menulis menjadi makin kuat ketika Rabu sore menjelang magrib itu saya membaca pernyataan Ibu Kusdamayanti pada buletin Silvika edisi 43/III/2005, bahwa; “…..tak ada pilihan lain, Widyaiswara harus bisa menulis”. Selanjutnya, awal April 2006, saya menjadi anggota tim penyusun Juknis Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional
-1-
Instruktur Departemen Kehutanan berdasarkan Keputusan MENPAN Nomor : 36/KEP/M.PAN/3/2003, dan Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kepala BKN Nomor : KEP.188/MEN/2003 dan Nomor : 25A Tahun 2003 tanggal 10 Juli 2003 tentang Juklak Jabatan Fungsional Instruktur dan Angka Kreditnya, kemauan menulis saya semakin menjadi-jadi. Ternyata kewajiban menulis Widyaiswara dan Instruktur setali tiga uang; “Instruktur Madya yang akan naik pangkat menjadi Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b, dan Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c, wajib mengumpulkan sekurang-kurangnya 12 angka kredit unsur pengembangan profesi”. Begitu pula tidak ada bedanya atau persis sama tentang syarat dan kewajiban yang diberlakukan bagi Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (Pasal 14 Ayat (2) Keputusan MENPAN Nomor : 54/KEP/M.PAN/7/2003 tanggal 2 Juli 2003). Kegiatan tulis-menulis adalah sebagai bagian terbesar dari unsur pengembangan profesi yang bisa dikerjakan oleh semua jenjang jabatan Widyaiswara. Bila dikaitkan dengan realita per-DUPAKan periode penilaian Desember 2005/Januari 2006, dari catatan penulis selaku anggota Tim Penilai Instansi, keadaan kinerja tulis-menulis masih belum menggembirakan. Masih banyak kolom-kolom dan lajur-lajur “membuat karya tulis/karya ilmiah yang didominasi oleh ruang-ruang blanko alias kosongmelompong”. Keadaan seperti ini, menurut orang-orang tua dahulu lazim digambarkan seperti “puasa tutup gendang”. Kenyataannya memang masih sangat banyak formulir usulan penetapan kredit yang angkanya ngumpul di sisi atas pada butir kegiatan “mengikuti Diklat” dan menggerombol di sisi bawah pada butir kegiatan “peran serta dalam seminar/lokakarya”. Padahal kita semua faham dan tahu betapa besar manfaat menulis. Menulis tidak hanya sekedar mengumpulkan angka kredit, tetapi juga mengutarakan pikiran/pendapat dan menginformasikan atau mengkomunikasikan IPTEK yang alirannya dapat bergerak bebas, deras dan langsung, jalannyapun
-2-
cepat tanpa hambatan serta sasarannya sangat luas, tanpa dipengaruhi oleh tatanan hierarki-birokratis. Jika kita perhatikan baik-baik, tingkatan ”prestasi / achievement” yang dipandang tinggi serta mulia bagi para profesional adalah mewariskan ilmu yang dimiliki kepada orang lain. Barangkali perjalanan sejarah hidup seperti itulah yang telah menyebabkan orang-orang menjadi hebat di dunia ini. Karena bagian-bagian penting kehidupannya telah diisi dengan menulis buku atau menjadi ”public speaker” yang menyampaikan kebenaran/kejujuran ilmu pengetahuan di hadapan orang banyak. Begitu pula seharusnya dalam mengisi sejarah perjalanan karier bagi setiap profesional, selayaknya harus membangun muara-muara kehidupan dengan berbagai aktivitas membaca, menulis dan berbicara tentang kebaikan, kebenaran dan kejujuran. Kesempatan ini saya coba memantapkan niat, memaksakan kemauan untuk menulis, karena “factual dan actual” penulispenulis yang berhasil sukses adalah penulis yang “MAU MENULIS” dengan isi “APA SAJA YANG DISUKAI”. Perkara logika, alur pikir, metodologi, gaya bahasa, struktur dan format tulisan, referensi, dan lain-lainnya hanyalah merupakan langkah berikutnya. Okey… ! Tulisan yang saya kemukakan ini isinya dibatasi untuk jenis dan publikasi semi ilmiah populer, sedangkan sasaran bidiknya mengarah pada para Widyaiswara baru mantan guru SKMA, yang pada saat ini relatif masih segar dan baru (sekitar 1 sampai dengan 2 tahun) direkomendasi LAN untuk boleh bergabung ke dalam kelompok fungsional Widyaiswara.
Mengapa harus menulis ? Meniti karier pada Jabatan Fungsional PNS yang berada di dalam Rumpun Pendidikan Lainnya, menurut Kepres Nomor : 87 Tahun 1999 tugasnya berkaitan dengan penelitian, peningkatan atau pengembangan konsep, teori dan metode operasional di bidang pendidikan dan pengajaran umum serta pendidikan dan
-3-
pelatihan yang tidak berhubungan dengan pengajaran sekolah formal, memberikan saran tentang metode dan bantuan pengajaran, menelaah serta memeriksa hasil kerja yang telah dicapai oleh guru (“dalam hal ini tentu Widyaiswara yang mempunyai tugas mendidik, mengajar, dan/atau melatih PNS”) dalam penerapan kurikulum, memberikan pelatihan penggunaan teknologi tinggi. Kedudukan dan pelaksanaan tugas pejabat fungsional PNS pada dasarnya menunjukkan tanggung jawab, wewenang dan hak dalam suatu satuan organisasi yang didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri, menuntut mutu profesionalisme yang berorientasi pada prestasi kerja (PP Nomor : 16/1994 tentang Jabatan Fungsional PNS). Okey…..! Mari kita kaji perintah Tuhan Yang Maha Kuasa, amanat baca-tulis adalah tugas utama dan pertama, sebagaimana di dalam Surat Al-Alaq ayat 1, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 ± artinya; pada ayat (1) Bacalah (ya Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan; ayat (3) Bacalah dan Tuhanmu amat pemurah; ayat (4) Yang mengajarkan (menulis) dengan pena; dan ayat (5) Yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tiada diketahuinya. Wahyu pertama tersebut, antara lain menjelaskan tentang membaca (iqra’) dan menulis (‘allama bil-qalam) sebagai keutamaan manusia dibandingkan makhlukmakhlukNya yang lain. Demikianlah Tuhan Allah Yang Maha Kuasa mengantarkan manusia dari dunia “gelap” menuju “terang-benderang” melalui amanat membaca dan menulis. Nampaknya perintah itu selalu tepat dan cocok terus, coba kita hubungkan dengan pengalaman sejarah Ibu Kartini yang bermotto “AKU MAU”, dari tulisan surat-menyuratnya yang dibukukan sebagai “Door Duisternis tot Licht” terlihat jelas sampai kini masih diagungkan dan diacu untuk pembahasanpembahasan “gender mainstreaming” di Indonesia. Karya tulis/karya ilmiah Widyaiswara sudah tentu tidak hanya untuk meningkatkan mutu profesionalismenya secara
-4-
berkesinambungan. Tidak sekedar demi angka kredit. Tetapi haruslah menjadi bukti andil dalam pengamalan ilmu, penyebarluasan informasi yang dipandang amat baik dan bermutu, yang akan menjadi sangat bermakna bagi kepuasan batinnya. Selain itu akan sangat berguna untuk memenuhi tuntutan perkembangan IPTEK di era ICT (Information and Communication Technology), yang pada akhirnya akan dapat membuat kita bersama tidak akan terlalu jauh ketinggalan dengan masyarakat ilmiah internasional dari negara-negara maju. Kemampuan baca-tulis memang amat penting bagi perjalanan karier, pencapaian cita-cita dan pembangunan karakter serta “personal image” (pencitraan diri). Tingkat kepentingan pengembangan dan penyeimbangan baca-tulis pada kenyataannya telah dimulai sejak duduk dibangku sekolah, hal ini mesti terus dilakukan pengembangannya. Mantapnya harapan ini dapat kita perhatikan arah yang ingin dicapai Pasal 4 Ayat (5) UU Nomor : 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa; “Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat”. Lebih mencermati lagi kegiatan tulis-menulis bagi Pejabat Fungsional di lingkungan Departemen Kehutanan, nampaknya aturan rinci, dan cukup keras ditegaskan pada Pedoman Penyusunan dan Penilaian Karya Tulis/Karya Ilmiah Pejabat Fungsional di Departemen Kehutanan yang diedarkan oleh Kepala Biro Kepegawaian (SE-02/Peg-4/2005 tanggal 28 Nopember 2005). Pedoman itu mengatur mulai Ketentuan/Pengertian Umum, Sistematika Penulisan, Prosedur/Langkah-langkah Penulisan dan Publikasinya, sampai dengan Persyaratan Penilaian Angka Kreditnya setiap butir kegiatan, ukuran buku yang dicetak, pengesahan Karya Tulis/Karya Ilmiah oleh Pimpinan Unit Kerja, dan aturan pembagian Angka Kredit dalam penulisan yang dibuat oleh beberapa penulis. Pada akhir pedoman itu nampak tegas dan keras dinyatakan ……”Apabila tulisan tidak sesuai kriteria yang
-5-
telah ditentukan dalam pedoman ini maka tulisan tidak dinilai (angka kredit 0)”. Pada sisi yang lain, Widyaiswara dituntut selalu berhubungan dengan sesamanya, dengan peserta, dan dengan penyelenggara / panitia Diklat. Kemampuan komunikasi secara baik, benar, dan efektif sangat diperlukan. Pengembangan kemampuan mesti dimulai dari mampu mendengar, mampu membaca, mampu berbicara, sampai dengan mampu menulis. Untuk itu terusmenerus menulis dan mempublikasikan sebanyak yang dibaca, sebanyak yang didengar dan sebanyak yang dibicarakan menjadi pilihan yang paling tepat. Pernyataan di atas sesuai dengan makna yang ada di dalam tulisan berjudul “Keahlian Berkomunikasi (baca: Menulis) Adalah Kunci Keberhasilan Kaum Profesional“, http://www.indodigest.com/index.html, Indonesian Digest - copyright © 2003; bahwa kemampuan komunikasi harus dikembangkan secara proporsional berimbang dari; (a) Listening atau mendengar; (b) Speaking atau berbicara; (c) Reading atau membaca; dan (d) Writing atau menulis. Jadi bagaimana dengan persyaratan wajib menulis (dan “mempublikasikan tulisan”) sebagai bagian dari unsur pengembangan profesi Widyaiswara ? Coba sekiranya kita reka-reka, dari 161 orang Widyaiswara dan calon Widyaiswara Departemen Kehutanan (Tabel : 1), jika tiap semester masing-masing Widyaiswara menulis dan mempublikasikan 1 artikel ± 10 halaman, maka setahunnya dapat dihimpun, diedit, di-ISBN-kan dan diterbitkan minimal 2 buku sejenis ”Bunga Rampai” yang masing-masing berisi 1.610 halaman. Masya Allah; hebat dan betapa tebal buku itu !!
-6-
Tabel : 1. Jumlah Widyaiswara dan calon Widyaiswara pada Pusat dan Balai Diklat Kehutanan - Departemen Kehutanan menurut jabatan pada posisi Maret 2006. No
1. 2. 3. 4. 5.
Jabatan Wi
Wi. Utama Wi. Madya Wi. Muda Wi. Pertama Calon Wi. Jumlah
Balai Diklat Kehutanan
Pusat Diklat
Jumlah
P.siantar
Pk. baru
Bogor
Kadipaten
Sm. rin da
Ma kas sar
Kupang
14 12 3 -
2 5 2 6
4 8 3 3
2 16 4 1 -
8 8 5 1
6 10 6 -
9 11 3 -
8 1
16 57 46 31 11
29
15
18
23
22
22
23
9
161
Sumber : Sub Bagian Kepegawaian, Pusat Diklat Kehutanan, April 2006
Angan-angan indah di atas akan bisa menjadi kenyataan bila pelaksanaan Permenpan Nomor : PER/66/M.PAN/6/2005 benarbenar dijalankan, ditaati, dan terjamin konsistensinya. Dengan begitu, melalui tulis menulis untuk pemenuhan syarat pengumpulan minimal 12 angka kredit bagi 73 Widyaiswara Madya dan Utama Departemen Kehutanan akan menjadikan sebuah tonggak yang monumental dan membanggakan.
Menulislah dengan ikhlas dan berkelanjutan. Membaca tulisan di internet, tepatnya di http://www.indodigest.com/index.html, menurut Francis Bacon (Bapak Ilmu Pengetahuan Modern); “reading make a full man, conference a ready man, and writing an exact man”. Oleh sebab itu, pengetahuan dan keahlian seseorang akan dapat dikembangkan dengan akurat dan efektif melalui kegiatan tulismenulis dari pada sekedar membaca atau berdiskusi saja. Tidak menulis berarti menyia-nyiakan kemampuan dasar yang pernah diperoleh pada masa-masa pendidikan sekolah SD sampai Perguruan Tinggi, masa sekitar 15 sampai 20 tahun, masa yang sangat panjang. Dengan begitu dapat dikatakan, tidak menulis berarti telah menyimpangkan tatanan rencana hidup yang semestinya dikembangkan terus menerus secara proporsional dan seimbang.
-7-
Pada bagian ini diketengahkan contoh untuk dapat diteladani, bahwa mutu profesional Dosen Perguruan Tinggi semata-mata diukur dari banyaknya karya ilmiah yang telah dipublikasikan. Semakin banyak jumlah karya yang dipublikasikan, semakin terkenal namanya. Konon reputasi seorang dosen dapat dibangun melalui publikasi karya ilmiahnya pada jurnal ilmiah, baik itu yang diterbitkan pada tingkat nasional maupun internasional. Maka dari itu, salah satu persyaratan untuk dapat dikukuhkan menjadi guru besar, harus memiliki karya ilmiah selaku penulis utama minimal 4 karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional, atau 8 karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional. Sebaliknya, pada kasus di dalam tulisan berjudul “Budaya Menulis di Kalangan Guru” oleh Dra. SULISTYOWATI, guru SMA Negeri 20 Bandung, agar tidak dijadikan contoh, malah perlu turut merasakan keprihatinan; “Mengapa kecenderungan guru menulis lemah?, karena tidak adanya motivasi untuk menulis. Dalam mengajar, guru terpaku kepada buku paket, sehingga jangankan menulis diktat pelajaran, dalam membuat soal pun mengambil dari beberapa buku paket/buku pegangan, dengan titik dan koma yang sama. Kendala-kendala tersebut menyebabkan guru dengan golongan/ruang IV/a mendominasi Daftar Urutan Kepangkatan di tiap-tiap sekolah”. Menulis merupakan sebuah proses, mengembangkan kemampuan berpikir dinamis, kemampuan analitis dan kemampuan membedakan berbagai hal secara akurat dan valid. Menulis bukan hanya sebuah cara untuk mendemonstrasikan apa yang telah diketahui, lebih dari itu menulis adalah cara untuk memahami apa yang telah diketahui serta memperluas rasa keingin-tahuan. Menulis memberi makna hidup dan meningkatkan rasa percaya diri, hal inilah yang akan memunculkan berbagai macam kreatifitas serta berbagai kesuksesan dengan penuh rasa kebahagiaan. Menurut Holid (2005), menulis bisa merupakan aktivitas yang ikhlas, tanpa harapan imbalan apapun selain demi
-8-
kepuasan/kebahagiaan diri, yang layak dimaknai dalam hidup seseorang. Menulis lebih merupakan cara menghadapi hidup, dilakukan karena orang butuh melepaskan emosi, menuliskan ide maupun idealitas dalam dirinya. Untuk itu menulislah terusmenerus, dalam tatanan disiplin yang sesuai dengan hidup. Jika bisa mengusahakan menulis bagus 5 halaman per-minggu, di akhir tahun akan dipunyai 250 halaman. Ini sangat bagus buat seorang penulis. Percaya bahwa semua tulisan ada manfaatnya, tidak ada yang tercipta sia-sia, termasuk kegiatan tulis-menulis. Terkait hal di atas perlu diketahui beberapa ciri ”tulisan yang ikhlas“ tanpa pretensi yang mirip kerendahan hati seorang penulis, yaitu; saat tulisan dibaca terasa begitu dekat tanpa jarak, dapat mengingatkan / menggugah kebenaran ilmu pengetahuan, dan jadi masukan berharga yang sulit sekali lepas dari dalam diri pembacanya. Selanjutnya, dari hal-hal di atas serta dari berbagai tulisan para pakar, kemampuan menulis (”baca-tulis“) dapat dikembangkan dengan berbagai macam cara, diantaranya : ¾ Niatkan dengan sungguh-sungguh untuk mau membaca dan menulis; ¾ Baca-tulis adalah ibadah/amanah wajib yang diwahyukan Tuhan Yang Maha Kuasa; ¾ Mau dan segera mulai menulis; ¾ Terus membaca (di perpustakaan, internet, dan di mana saja); ¾ Menulis berkelanjutan; ¾ Senangi kegiatan baca-tulis; ¾ Berbagai manfaat dapat diperoleh dengan membaca dan menulis, diantaranya : Memperluas koneksi dan jaringan untuk kepentingan karier; Memperdalam pengetahuan; Menguatkan motivasi diri dan sosial; Financial and credit-point reward; Menyambungkan dengan dunia IPTEK secara terusmenerus;
-9-
Memperbaiki kemampuan bekerja, komunikasi, dan presentasi; Meningkatkan rasa percaya diri; Membangun citra diri (”building personal image“); Memperpanjang karier dan membantu pencapaian berbagai harapan dan cita-cita; Membuka pintu-pintu masa depan yang lebih baik; Lebih siap dengan berbagai argumentasi dan analisis pada berbagai bidang; Menjalani profesi dengan lebih tepat dan lebih baik; Mengembangkan diri dan profesi, serta akan lebih mampu survive dan sukses; dan Mewariskan IPTEK kepada generasi penerus. Walhasil; sulit atau mudah, berat atau ringan, malas atau rajin, repot atau tidak repot bagi kebanyakan tenaga fungsional yang profesional dalam menulis artikel untuk dipublikasikan sangat tergantung pada kemauan dan pengalaman menulis masingmasing pribadi. Ingat !! bahwa penulis yang sukses adalah penulis yang “MAU MENULIS” dengan isi tulisan “APA SAJA YANG DISUKAI”. Akan lebih memaknai sukses yang membahagiakan penulis jika ke-IKHLAS-an tetap ada dan bersemayam kuat di dalam hati penulis yang taat menjalankan amanat membaca (iqra’) dan menulis (‘allama bil-qalam). Pada bagian akhir alinea ini, guna melengkapi bahan kajian, saya tuliskan pernyataan yang sedang ngetrend untuk dapat dicermati. Karena pernyataan itu bisa amat cepat meresap dihafalan anakanak serta kuat digandrungi kaum muda-mudi. Nah ! para penulis dan calon penulis perlu melagukan dalam rangka memanjakan masyarakat pembaca, yaitu; ……♪♫……”bila yang tertulis untukku adalah yang terbaik untukmu”…. kan jadi kenangan terindah dalam hidup….. ♫♪…(Group Band Samsons).
- 10 -
Proses publikasi pada media semi ilmiah populer. Sebenarnya tidaklah sulit mempublikasikan hasil kajian, pemikiran, gagasan, dan/atau tinjauan ke dalam bentuk artikel pada media semi ilmiah populer selama kita punya kemauan, dan mesti punya motto : ”bisa karena terbiasa”. Apalagi media publikasi yang terakreditasi (ber-ISSN / International Standard of Series Numbers) maupun yang sedang proses akreditasi atau belum diakreditasikan berada di lingkungan kita sendiri. Pusat Diklat dan Balai Diklat Kehutanan saat ini memiliki berbagai buletin/majalah, yaitu; (1) SILVIKA di Pusat Diklat Kehutanan dengan ISSN 0215-2733, (2) CAHAYA WANA di Balai Diklat Kehutanan Bogor dengan ISSN 1829-6459, (3) SAWALA di Balai Diklat Kehutanan Kadipaten dengan ISSN 1693-8909, (4) HIMBA ETAM di Balai Diklat Kehutanan Samarinda, dan (5) WARTA WIDYA yang khabarnya sedang merubah nama menjadi INDIKA di Balai Diklat Kehutanan Makassar. Proses publikasi suatu artikel di media massa pada umumnya mencakup langkah-langkah : (1) pemilihan media, (2) persiapan penulisan naskah berdasarkan "Petunjuk Penulisan (Instructions to Authors)”, (3) penyerahan naskah kepada redaksi, (4) penanganan terhadap komentar dari tim redaksi/editor/penerbit bila naskah masih membutuhkan perbaikan, dan (5) proses cek dan ricek naskah antara penulis dengan tim redaksi/tim editor/penerbit, dan (6) muara akhir adalah pada masyarakat pembaca. Hemat saya, kemampuan menulis dengan baik (“writes well”) yang mampu menembus “best seller”; disenangi, banyak dibaca, dan banyak dibicarakan serta ditanggapi para pembaca hanyalah langkah terakhir. Sedangkan tonggak awal yang menentukan penulis-penulis berhasil adalah “MAU MENULIS” dengan isi “APA SAJA YANG DISUKAI”.
- 11 -
Beberapa alasan yang harus dijauhi. a. Tidak punya waktu; pernyataan tidak punya waktu karena mengejar dan menyelesaikan berbagai pekerjaan demi karier dan cita-cita adalah tidak tepat. Bagaimana mungkin tidak punya waktu untuk sesuatu yang sesungguhnya akan mewujudkan semua impian itu ? Mungkin saja waktu yang habis tersita justru disebabkan kekurangoptimalan dalam membaca, mendengar, berbicara dan menulis. Untuk itu, ingat terus pepatah bahwa menulis ibarat ; “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau akan dapat terlampaui’. b. Tidak bakat menulis; hal seperti ini tidak semestinya diungkap karena akan dapat terbangun tembok-tembok tebal pembatas pengembangan diri, yang pada gilirannya akan menutup pintu-pintu peluang baru yang sebenarnya akan mencerahkan masa depan. c. Takut ditolak; kiranya harus difahami bahwa prinsip dasar yang dilakukan redaksi media massa bukanlah penolakan. Media massa sebenarnya sangat memahami bahwa setiap pemikiran, gagasan, dan ide-ide semestinya bisa diungkapkan kepada masyarakat pembaca. Hanya saja seringkali redaksi/editor/penerbit dengan amat terpaksa dan mempertimbangkan untuk mendahulukan tulisan lainnya yang saat itu lebih cocok dipublikasikan pada edisi awal. d. Tidak percaya diri; menulis itu adalah salah satu cara terbaik yang dampaknya sangat dahsyat, baik untuk penguatan rasa percaya diri secara profesional, maupun untuk mempengaruhi masyarakat pembacanya. Karena itulah para pejabat fungsional yang profesional wajib terus menulis. e. Tidak Ada Komputer untuk Menulis; ungkapan yang repot mencarikan tanggapan, seyogyanya kita tahu bahwa banyak sekali „rental computer“, banyak tempat menyediakan jasa
- 12 -
pengetikan. Malahan sangat mungkin banyak media bisa menerima naskah dalam bentuk tulisan tangan. f. Sudah Terlambat untuk Menulis; motto “tidak ada kata terlambat“ adalah pegangan utama para pejabat fungsional, apalagi yang profesional. Makanya inilah saatnya bersyukur karena masih ada luang-luang waktu guna menuangkan segala macam ide, gagasan dan ungkapan-ungkapan pikiran demi masa depan bangsa.
Penutup. Harapan untuk para pejabat fungsional Widyaiswara (khususnya diri saya sendiri), mesti terus berusaha meraih tingkatan prestasi tertinggi nan mulia dalam kemampuan profesionalnya. Mulailah menyenangi tulis-menulis sebanyak yang dibaca, sebanyak yang didengar dan sebanyak yang dibicarakan. Hanya ada satu jalan untuk meningkatkan kemampuan menulis, yaitu “MAU MENULIS” dengan isi “APA SAJA YANG DISUKAI”. Dengan menulislah, “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau akan dapat terlampaui’. Menulis itu dampaknya bisa sangat dahsyat mempengaruhi masyarakat banyak, ingat…!...♪♫ "jika yang tertulis untukku adalah yang terbaik untukmu”…..maka jadilah kenangan terindah selama hidup di dunia…♫♪. Okey....! Bagaimana ?
Widyaiswara must start writing: “…..a piece of cake!!!” Widyaiswara harus angkat pena : “...memangnya sulit !?”
Referensi. Holid Anwar, 2005. Menulis Dengan Ikhlas. Harian Umum Republika tanggal 17 Juli 2005. Kusdamayanti, 2005. Widyaiswara Harus Bisa Menulis Dengan Baik. Silvika edisi 43/III/2005.
- 13 -
Santoso P., 2004. Karya Tulis Ilmiah Hasil Penelitian Widyaiswara Kehutanan Masih Sebatas Wacana. Buletin Silvika edisi 41/IX/2004. Santoso P., 2004. Silvika Sebagai Media Komunikasi IPTEK dan Diklat Kehutanan. Buletin Silvika edisi 42/XII/2004. Sulistyowati. Budaya Menulis di Kalangan Guru. Ditulis oleh Dra. Sulistyowati, guru SMA Negeri 20 Bandung. -------------------„Keahlian Berkomunikasi (baca: Menulis) Adalah Kunci Keberhasilan Kaum Profesional“, http://www.indodigest.com/index.html, Indonesian Digest code is PHP-Nuke copyright © 2003.
- 14 -