WIDYA WRETTA MEDIA KOMUNIKASIUNIVERSITAS HINDU INDONESIA Jl. Sangalangit, Tembau, Penatih, Denpasar, TLP. 464700, 464800, 462920 Volume I Nomor 1, Bulan Mei 2017 ISSSUSUNAN DEWAN REDAKSI MAJALAH WIDYA WRETTA FAKULTAS ILMU AGAMA UNIVERSITAS HINDU INDONESIA Penanggungjawab Rektor Universitas Hindu Indonesia (Dr.Ida Bgus Dharmika, MA) Penasehat Dekan Fakultas Ilmu Agama dan Agama dan Kebudayaan (Dr. I Wayan Subrata, M.Ag) Mitra Bestari Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja. MA. (Undiksa Singaraja) Prof.Dr. Anak Agung Anom Kumara, MA. (Universitas Udayana) Ketua Penyunting Dr. I Wayan Watra, S.Ag., M. Si Wakil Ketua Penyunting Drs. I Gede Subawa mas, M. Hum. I Gde Jayakumara, SS., MA Penyunting Pelaksana I Putu Sastra Wibawa , SH. MH, Dra I Gusti Ayu Ketut Artatik, M. Si Petugas Administrasi Sang Ayu Juniati, SE., Ni Nyoman Suciati, S.Ag Ni Made Ayu Pebriyanti, S.Pd, Putu Sekarnadi, SE.
MAJALAH ILMIAH WIDYA WRETTA : Terbit dua kali setahun pada bulan April/Mei dan September/ Oktober. Menerima tulisan, artikel dan ulasan dari dalam Unhi Denpasar, serta promosi dan iklan. Iklan dapat berupa promosi produk baru, pelayanan dan jasa yang menarik para peneliti ilmu agama, kebudayaan, ekonomi dan MIPA (Matematika dan Biologi). serta Ayurweda. Copy promosi diterima redaksi paling lambat dua bulan sebelum penerbitan. Informasi biaya dan teknik pemasangan iklan dapat diperoleh langsung di Sekretariat Majalah Widya Wretta (Akademik Unhi Denpasar, Telp. 464700 dan 464800)
1i
WIDYA WRETTA
2 VOLUME II NOMOR 2 OKTOBER 2016
SAMBUTAN DEKAN FAKULTASILMU AGAMA Om Swastyastu, Atas Asung Kertha Waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa, majalah Widya Wretta terbitan periode Mei 2017 Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia Denpasar dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu melalui kesempatan ini ijinkan kami memanjatkan puji syukur kehadapan-Nya. Kehadiran Media Komunikasi Widya Wretta yang membahas tentang Agama dan Kebudayaan dengan berbagai perspektif. Sebagai lembaga keagamaan maka keberadaan tulisan-tulisan ilmiah yang merupakan hasil penelitian ataupun hasil-hasil kajian sangat diharapkan, untuk memperluas khasanah ilmu pengetahuan di bidang Agama dan Kebudayaan. Dalam terbitan ini penulis lebih banyak mengkaji persoalan Agama dan Kebudayaan berdasarkan paradigma Fungsional Struktural meskipun ada yang menggunakan paradigma kritis, dan komersialisasi. Akhirnya kami atas nama pribadi dan sekaligus sebagai Dekan Fakultas Ilmu-Agama, menyambut baik atas penerbitan edisi perdana ini, semoga menjadi wahana komunikasi yang baik bagi kaum intelektual Hindu dan menjadi salah satu usaha ilmiah yang dilakukan oleh Civitas akademika sebagai sebuah pengabdian kepada masyarakat, utamanya umat Hindu khususnya dan umat beragama pada umumnya. Om Santih, Santih, Santih Om.
Denpasar, 18 Mei 2017 Dekan Fakultas Ilmu Agama
Dr. I Wayan Subrata, M.Ag
iii 3
PENGANTAR PENYUNTING REDAKSI Om Swastyastu, Atas asung wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa Media Komunikasi Widya Wretta dapat diterbitkan menjelang yudisium Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia dan menjelang Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia Tahun 2017. Media Komunikasi Widya Wretta, terbit dua (2) kali dalam setahun, yaitu pada Bulan (April/Mei) dan (September/Oktober) menjelang yudisium Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia dan menjelang Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia. Penerbitan Widya Wretta difokuskan pada masalah “Agama dan Kebudayaan”, Bagi para penulis yang naskahnya belum dimuat periode April/Mei akan dimuat pada terbitan periode selanjutnya. Kami membuka peluang selebar-lebarnya bagi para penulis lain untuk berpartisipasi dalam jurnal ini dengan tetap mengacu pada persyaratan yang telah ditentukan redaksi. Widya Wretta dikelola oleh Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan, dimana visi dan misinya adalah mengembangkan pemikiran-pemikiran yang terkait dengan Agama dan Kebudayaan Hindu baik dari kalangan civitas akademika Universitas Hindu Indonesia, maupun masyarakat umum. Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan berusaha untuk menjadi teladan dan wadah yang terdepan, sebagai cikal bakal munculnya tunas-tunas muda yang tumbuh menjadi intelektual tangguh di bidang Agama dan Kebudayaan Dengan demikian diharapkan seluruh civitas akademika untuk membantu secara moral maupun material demi kelangsungan media komunikasi Widya Wretta dengan peradaban etika dan moralitas sebagai insan perguruan tinggi. Dewan Redaksi majalah ilmiah Widya Wertta menyajikan karya-karya ilmiah seperti yang dikemukakan oleh: 1). I Wayan Watra dalam tulisan ini mengangkat tema, tengtang akhir dari sebuah kehidupan. Dengan mengusung konsep “Trikona”, yang mempertanyakan akhir dari sebuah adalah kematian. Setelah mati roh tersebut pergi kemana?, dengan merangkumnya menjadi sebuah judul: Pendidikan Eskatologi Sosioreligius Dalam Upanisad Persfektif Filsafat Agama dan Kebuadayaan. 2). Sudadi selaku dosen pertama yang menjar filsafat di Universitas Hindu Indonesia, mengali pemikiran-pemikiran klasik orang-orang India di jaman dahulu. Kiranya dapat dipakai sebagai pedoman di dalam menjalani kehidupan di era modernisasi di abad 21, dengan merangkumnya menjadi sebuah judul, Dimensi Kreatif Dalam Pemikiran Filsafat India. 3). I Wayan Subrata mengamati sebuah perkembangan pariwisata yang terjadi di Bali, dengan memfukuskan diri pada kantong-kantong Desa
WIDYA WRETTA
iv 4 VOLUME II NOMOR 2 OKTOBER 2016
Pekraman, yang mulai dilirik oleh Wisatawan, yang dirangkum menjadi sebuah judul, Perkembangan Desa Wisata di Desa Pakraman Sumampan, Gianyar. 4). I Putu Sarjana, melihat budaya salah satu Bali yang hampir punah yaitu Gotong Royong yang perlu dilertarikan. Melalui pendidikan secara formal yang terjadi di Jembrana, yang dirangkum dalam sebuah judul, Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana. 5). I Wayan Martha, memperhatikan hak waris bagi anggota masyarakat yang pindah agama dari agama Hindu ke Agama Kristen, maupun ke agama yang lainnya. Masalah ini perlu dikaji, karena berhubungan dengan Desa Adat, terkait dengan Kayangan Tiga, yang dirangkum dalam sebuah judul, Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu Ke Agama Kristen (Di Desa Pakraman Taro Kaja) Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar. 6). Anak Agung Gede Dira, menulis tentang upacara di Sungai Sekapur Sirihi Desa Mataram di Lampung, dirangkum dalam sebuah judul, Upacara Selametan Pada Sungai Sekampuh Di Desa Mataram Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu Lampung Nilai Pendidikan Persfektif Agama Hindu. 7). Anak Agung Putra Yasa, melihat bahwa pendidikan Karakter bagi anak-anak perlu ditumbuh-kembangkan, karena karakter anak-anak di jaman sekarang sudah mulai merosot, yang dirangkum dalam sebuah judul, Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuh Kembangkan Pendidikan Karakter Anak Di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Penebel. 8). I Nyoman Putra Adnyana, memperhatikan pelaksanaan Ngaben bagi Warga Apandya Bang, sudah mulai dilakukan secara berkelompok. Sehingga dengan demikian sistem pengabenan semacam ini perlu dipakai sebagai pedoman untuk pelaksanaan berikutnya, yang dirangkum dalam sebuah judul, Pelaksanaan Upacara Ngaben Warga Apandya Bang Di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan (Kajian Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu). 9). I Ketut Winantra, memperhatikan Perilaku Generasi Muda di Lapangan belum melakukan kewajiban agamanya dengan baik dan benar, khususnya dalam Banyu Pinaruh adalah sebagai momentum Pendidikan Karakter menuju kesempurnaan sosioreligius. Akhirnya, kami segenap redaksi Media Komunikasi Widya Wretta, memohon maaf pada pembaca, jika dalam penerbitan ini terdapat kekurangan. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, demi penyempurnaan pada edisi selanjutnya. Semoga Media Komunikasi Widya Wretta, selalu hidup disepanjang jaman. Om Shanti, Shanti, Shanti Om. Denpasar, 18 Mei 2017 Hormat kami,
Dr. I Wayan Watra, S.Ag.,M.Si.
5v
PENDIDIKAN ESKATOLOGI SOSIORELIGIUS DALAM UPANISAD PERSFEKTIFFILSAFATAGAMA DAN KEBUADAYAAN Oleh: I WAYAN WATRA NI KADEK GUNAKSA
ABSTRAK Pendidikan Eskatologi dalam Upanisad pada intinya ingin mengkaji mengenai kematian, keberadaan akan jiwa serta reinkarnasi. Adanya kehidupan merupakan salah satu bentuk penciptaan yang nantinya pasti akan mengalami akhir kehidupan atau kembali kepada sang pencipta. Akhir dari kehidupan ini tiada lain mengenai akhir jaman, kematian, keberadaan jiwa serta kebangkitan kembali yang sering disebut dengan istilah Eskatologi. Secara umum Eskatologi telah banyak dibicarakan diberbagai kalangan. Dalam hal ini khusus membahas Eskatologi Hindu dalam UpanisadUpanisad Utama. Eskatologi mengupas masalah kematian, keberadaan jiwa, serta kelahiran kembali. Kematian bersifat riil, natural, imanen, esensial, universal yang merupakan bagian integral dalam kehidupan manusia. Yang berpengaruh terhadap keberadaan jiwa serta kelahiran kembali nantinya. Terkait dengan masalah tersebut peneliti tertarik untuk menelitinya dengan dua permasalahan pokok yaitu (1) Bagaimanakah pandangan para Rsi terhadap keberadaan jiwa? (2) Bagaimanakah para Rsi mentransformasikan evolusi jiwa kepada murid-muridnya? Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu untuk mengkaji permasalahan pokok dari Eskatologi Hindu dalam Upanisad Utama yaitu dengan menggunakan metode kepustakaan. Konsep kematian serta evolusi jiwa diuraikan secara umum, serta menurut ajaran Hindu yang terdapat dalam berbagai sumber khususnya UpanisadUpanisad Utama, yang memiliki tujuan untuk mengetahui pandangan para Maharsi terhadap keberadaan jiwa serta metode yang digunakan oleh para Maharsi dalam mentransformasikan ajaran evolusi jiwa. Analisis data yang digunakan yaitu dengan metode deskriptif dan metode interpretatif. Teori-teori yang dipakai untuk menganalisis adalah Teori Agama (Religi), Teori Aksi Reaksi, Teori Perubahan, dan Teori Pendidikan. Pandangan para rsi merupakan data primer dalam teks Upanisad Utama. Berdasarkan metode penelitian di atas, hasil penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: pendidikan Eskatologi dijadikan pedoman dalam mengupas permasalahan yang berkaitan dengan kematian secara filosofis religius, keberadaan jiwa serta kelahiran kembali. Kematian merupakan suatu hal yang sangat riil, yang sangat pasti dihadapi oleh yang lahir. Dengan adanya kematian berarti terpisahnya antara badan dengan jiwa. Keberadaan akan jiwa tidak hanya mengena pada setelah kematian namun juga dalam berlangsungnya kehidupan itu sendiri. Yang mana manusia mempunyai wujud kesatuan antara tubuh dengan jiwanya yang masing-masing tidak Pendidikan Eskatologi Sosioreligius dalam Agama Dan Kebudayaan I Wayan Watra Ni Kadek Gunaksa
1
dapat berdiri sendiri dalam kedaulatannya. Keberadaan jiwa setelah kematian sangat dipengaruhi oleh segala tindakan semasa hidup, yang nantinya menentukan tempat yang layak bagi jiwa itu sendiri. Serta berpengaruh pula dalam kelahirannya nanti, dalam bentuk evolusi yang meningkat ataupun menuju kemerosotan. Adanya kelahiran kembali sebagai proses evolusi disebabkan adanya beban karma yang membelenggu dalam jiwanya, sehingga diberi kesempatan untuk menikmati dalam kelahiran berikutnya. Dengan adanya perjalanan jiwa dalam berevolusi, yaitu untuk meningkatkan kwalitas jiwa tersebut untuk dapat bereinkarnasi ke dalam sebuah tubuh yang baru dan lebih baik, bahkan tidak terlahir lagi, tetapi menyatu dengan yang tunggal dan mencapai moksa. Kata kunci : Eskatologi Hindu, Upanisad-Upanisad Utama.
1. Pendahuluan. Eskatologi berasal dari kata eschalos dalam bahasa Yunani yang berarti ‘yang terakhir’, ‘yang selanjutnya’, dan ‘yang paling jauh’. Secara umum merupakan keyakinan yang berkaitan dengan kejadian-kejadian akhir hidup manusia seperti . Kematian, hari kiamat, hari berakhirnya dunia, saat akhir sejarah, dan lain-lain. Ketika kata eschalos disandingkan dengan kata logos yang menjadi eskatologi dalam bahasa Indonesia berarti ilmu atau pengetahuan tentang hal-hal akhir, hal-hal pamungkas, atau yang menyangkut realitas akhirat sebagai akhir kehidupan seperti kematian, kelahiran, pengadilan terakhir, serta kiamat sebagai akhir dunia (Phan, 2005 : 9). Istilah eskatologi pada saat sekarang ini tentunya banyak yang membicarakan dan juga tercantum diberbagai agama mengenai eskatologi. Seperti halnya dalam Eskatologi Islam dinyatakan bahwa ilmu yang mempelajari tentang al-Qiyâmah “Pengadilan Terakhir”. Eskatologi sangat berhubungan dengan salah satu aqidah Islam, yaitu meyakini hari akhir. WIDYA WRETTA
2 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Seperti agama Abrahamik lainnya, Islam mengajarkan tentang kelahiran para makhluk yang telah mati, sebagai salah satu rencana penyelesaian dari semua penciptaan Tuhan dan kekekalan dari roh-roh para makhluk. Bagi orang yang beriman akan di hadiahkan oleh Allah sebuah Surga sementara bagi orang yang tidak beriman maka akan dihukum di masukan kedalam Neraka (http:// id.wikipedia.org/wiki/Eskatologi_Islam diakses 2 juni 2009). Lain halnya dalam eskatologi Kristen yang secara harfiah berarti wacana atau pembicaraan (logos) tentang hal terakhir (eschaton) atau hal-hal terakhir (eschata). Yang dalam ilustrasinya diberikan sebuah gambaran mengenai Yesus Kristus yang wafat dan bangkit kembali, akan datang lagi untuk menghakimi orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal dan bahwa akan ada kelahiran badan dan kehidupan kekal. Hal yang sistematis dan kritis mengenai kebenaran-kebenaran tersebut yang disebut dengan eskatologi (Phan, 2005 : 29). Namun dalam eskatologi Hindu, pembahasannya tidak jauh dari apa yang
diterangkan dalam eskatologi lainnya, hanya saja penyebutan atau istilahnya saja yang berbeda. Dalam hal ini mengenai kelahiran kembali sering disebut dengan inkarnasi atau punarbhawa, serta adanya perjalanan dari jiwa itu sendiri setelah kematian yang banyak terdapat dalam teks Upanisad-Upanisad Utama yang hanya terdapat pada bagian tertentu saja.
Kematian dan kelahiran kembali adalah sebuah topik yang sangat menarik perhatian bagi banyak orang. Suatu hari atau pada kesempatan lainnya semua orang pasti akan mengalami sebuah kematian dan kelahiran kembali. Ancaman kematian membayangi kehidupan semua manusia serta kelahiran merupakan hal yang tidak bisa manusia duga kapan awal dan akhirnya.
`Hindu merupakan salah satu agama yang ada di dunia yang memiliki latar belakang sejarah yang sangat unik. Dalam buku pengantar agama Hindu untuk perguruan tinggi dijelaskan bahwa kata agama Hindu berasal dari bahsa Yunani yaitu : Hydros atau Hidos sebagai nama untuk menyebutkan kebuadayaan atau agama yang berkembang dilembah sungai Shindu, Hydros berarti air, dalam Weda air berarti tirtha. Sehingga agama Hindu di Bali berarti agama tirtha karena dalam setiap pelaksanaan upacara ritualnya menggunakan tirtha (Pudja dalam Arya, 2008 : 11)
Maka dari itu penulis ingin mengangkat mengenai Pendidikan Eskatologi Hindu dalam Upanisad-Upanisad Utama, yang tentunya dijadikan pertanyaan oleh setiap orang khususnya umat Hindu di Bali. Untuk mengungkapkan bagaimana peran pendidikan eskatolagi dalam kaitannya dengan kelahiran kembali dari jiwatman atau roh manusia itu sendiri yang terdapat dalam ajaran Upanisad-Upanisad Utama. Berkenaan dengan hal tersebut, maka permasalahan penelitian ini secara rinci dapat dirumuskan sebagai berikut : 1). Bagaimanakah pandangan para Maha Rsi terhadap keberadaan jiwa?, Bagaimanakah konsep evolusi jiwa ditransformasikan oleh para Maha Rsi kepada murid-muridnya?
Segala ciptaan Hyang Widhi adalah merupakan pancaran kemahakuasaan-Nya (Wibbuti). Yang mana wibbuti ini terpancar melalui tapa-Nya. Tapa adalah pemusatan tenaga pikiran yang terkeram hingga menimbulkan panas yang memancar. Disebabkan oleh tapa Hyang Widhi terjadilah dua kekuatan yaitu kekuatan kejiwaan dan kekuatan kebendaan yang dinamai Purusa dan Prakrti (Pradhana). Kedua kekuatan ini bertemu sehingga terciptalah alam semesta, terjadinya ciptaan ini tidaklah sekaligus malahan tahap demi tahap (evolusi), dari yang halus kepada yang kasar.
2. Pendidikan Eskatologi Hindu dalam Upanisad–Upanisad Utama Secara umum masyarakat bahwa kematian adalah suatu misteri kehidupan yang telah menyelimuti umat manusia sejak dulu kala. Namun, bukti nyata atas asal-usul kehadirannya hingga kini masih belum tersingkap. Kematian adalah suatu peristiwa yang kerap terjadi di sekeliling kita. Namun sedikit sekali di antara kita ada yang mau merenungkannya secara mendalam. Hal Pendidikan Eskatologi Sosioreligius dalam Agama Dan Kebudayaan I Wayan Watra Ni Kadek Gunaksa
3
tersebut diakibatkan karena kita sama sekali tenggelam dalam kenikmatan inderawi. Kita bahkan melupakan bahwa ada sesuatu yang disebut kematian, kita mengabaikan bahwa yang lahir harus mati (Wiarsana, 2007 : 1). Pada proses evolusi yang terus menerus berlangsung di dunia ini, kita akan mengalami dan melihat bahwa tidak ada satupun di antara sekian banyak jenis kehidupan yang tidak mengalami ketenangan dan kebahagiaan yang kekal. Semua makhluk pasti akan mengalami kematian, tanpa kecuali manusia itu sendiri baik itu yang kaya dan miskin, sehat maupun sakit, tiada satu pun yang dapat mengelakkan kematian. Yang sewaktu-waktu dapat menghampiri kita baik dimasa kanak-kanak, remaja atau dihari tua, kita sama sekali tidak mengetahui tempat dan tujuan kita nanti. Dengan adanya kematian ini tentunya yang ditinggalkan hanya mampu mengekspresikan rasa duka dengan kesedihan yang mendalam dalam bentuk linangan air mata. Menangis merupakan reaksi yang universal dalam situasi kematian. Ekspresi yang emosional tersebut dicurahkan berkenaan dengan hubungan sosial yang dibangun semasa hidup. Orang di manapun membangun hubungan saling ketergantungan yang kompleks dalam tenggang waktu yang lama, sehingga hubungan tersebut menghasilkan perasaan kedekatan yang melibatkan cinta, benci, keraguan, perpisahan yang membuat penderitaan dan diorganisasi personal. Orang menangis manakala hubungan yang melibatkan emosi terputus secara mendadak (Subagya, 2000 :116).
WIDYA WRETTA
4 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Yang dimaksud dengan mati adalah hilangnya nyawa atau tidak hidup lagi. Orang yang kehilangan nyawanya mengalami keterpisahan antara badan fisik dengan roh (Atma) dimana rohnya meninggalkan badan wadag (fisik) yang rusak. Dan proses kematian adalah runtutan atau proses berpisahnya nyawa dengan badan fisik. Kematian sama halnya dengan kelahiran yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup. Kematian itu adalah dipenuhi oleh kegelapan dan misteri yang tidak bisa kita ungkapkan. Pengamatan yang dapat dilakukan mengenai kematian bahwa pengalamannya itu sendiri bukan merupakan peristiwa yang menyedihkan dan menakutkan seperti yang biasa digambarkan oleh umum. Memang benar bahwa dalam mendekati kematian orang merasa sedih, takut namun dengan tibanya kematian rasa sedih berakhir sudah. Ketakutan kita akan kematian sebenarnya timbul karena ketidak adanya perspektif, ketidakmampuan menempatkan kematian dalam suatu kerangka yang lebih luas dan mendalam saat kita berusaha untuk memahaminya. Jika kita telah menjalani hidup dengan benar maka kematian tersebut akan menjadi suatu fenomena yag sangat indah. Kebanyakan orang cenderung menganggap kematian sebagai suatu “mimpi buruk” yang perlu segera dilupakan. Kematian dipandang sebagai momok menakutkan yang layak dihindari, dijauhkan dari pikiran, bukan sebagai suatu kenyataan yang patut dihadapi, disadari dengan kematangan batin. Mereka takut membayangkan bahwa suatu waktu nanti,
cepat atau lambat, mereka pun tidak terlepas dari cengkeraman kematian. Sesungguhnya, perasaan takut terhadap kematian itu jauh lebih buruk daripada kematian itu sendiri. Ini menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan. Ketakutan terhadap kematian memiliki dua sisi, yaitu takut meninggalkan apa yang ada di belakang dan takut menghadapi apa yang ada di depan. Selain itu kematian juga dapat menjadi menakutkan karena sering dimulai dengan adanya kesengsaraan. Kesengsaraan tersebut merupakan kesengsaraan fisik belaka yang memberi imbas terhadap kesadaran untuk bangkit dan kemudian terjaga dan sadar bahwa kematian pasti akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Selain itu ada beberapa faktor lain yang menyebabkan mansuia takut menghadapi kematian antara lain : faktor keluarga, kekayaan, kekuasaan, kesenangan, dan Awidya dan Ajnana. Faktor keluarga, merupakan penyebab utama manusia takut menghadapi kematian. Keterikatan manusia terhadap keluarga atau keturunnya membuat manusia tidak rela berpisah hanya ingin terus menerus berkumpul. Kasih sayang yang berlebihan pada keluarga terutama kepada anak cucu mengikat seseorang untuk tetap ingin hidup di dunia ini. Bagaimanapun keluarga adalah orang yang paling dekat dengan orang yang akan meninggal. Maka dari itu tidak terelakkan lagi emosi kekeluargaan akan muncul pada saat itu. Kematian memutuskan komunikasi antara orang yang meninggal dengan keluarga yang ditinggal. Sehingga terjadi perpisahan
yang bersifat abadi orang yang meninggal tidak lagi berada di tengah-tengah keluarganya. Bagi anak cucunya yang ditinggal mau tidak mau harus siap menghadapi kehidupan tanpa kehadiran orang tua. Dengan sendirinya terjadi perubahan pada keluarga yang ditinggal dalam menyikapi persoalan kehidupan yang akan dihadapi. Bila keterikatan seseorang terhadap keluarga yang dicintainya semakin lama semakin melekat, maka semakin sulitlah ia untuk berpisah, yang pada puncaknya ketika akan meninggalkan dunia ini ia akan merasa takut karena memikirkan keadaan keluarga tercinta yang akan ditinggalkannya (Wirahaji, 2007 : 58-59). Faktor kekayaan menempati urutan kedua setelah keluarga, setelah memikirkan keadaan keluarga manusia memikirkan semua harta benda, kekayaan yang menjadi miliknya baik dari warisan maupun dari usahanya sendiri. Semua kekayaan itu harus ditinggalkannya pada saat kematian, karena semua itu tidak dapat dibawa pada keberadaan berikutnya. Bahaya yang dapat ditimbulkan dari harta, kekayaan terletak pada kekuatan keterikatan inderawi. Keterikatan pada benda-benda duniawi merupakan potensi yang dapat menghancurkan hidup manusia. Manusia menjadi lupa akan jati dirinya (Wirahaji, 2007 : 63). Faktor kekuasaan, kekuasaan sebagai salah satu keterikatan terhadap duniawi, selain harta dan keluarga. Kekuasaan sering memikat dan membawa kecendrungan manusia untuk meraihnya. Fenomena menunjukkan bagaimana orang berbondongPendidikan Eskatologi Sosioreligius dalam Agama Dan Kebudayaan I Wayan Watra Ni Kadek Gunaksa
5
bondong mengejar kekuasaan, kedudukan atau pun jabatan. Dengan mendapatkan kedudukan manusia memperoleh berbagai fasilitas serta relasi yang membantu kebutuhan hidupnya sampai keturunnya. Manusia yang serakah menggunakan jabatannya sebagai kesempatan untuk menimbun kekayaan. Konsekuensinya manusia materialistis, apabila kehilangan kekuasaan berarti kehilangan segalanya (Wirahaji, 2007 : 66). Faktor kesenangan, pesta kehidupan berakhir dengan kematian. Segala macam kesenangan, kenikmatan dunia dihentikan oleh kematian. Tidak ada yang mampu mecegah atau pun membatalkan datangnya kematian, juga tidak satu pun materi yang dapat dipakai sebagai konsepsi untuk berkompromi dengan kematian. Bagi manusia yang terjerumus dan terobsesi dengan berbagai kesenangan duniawi, tentu tidak menerima akan datangnya kematian. Pencarian manusia meraih kesenangan bersifat kompleks. Keinginan manusia dikemudikan baik oleh insting maupun oleh sistem nilai personal. Dorongan insting manusia dilewatkan oleh keinginan prbadi yang luas dan bersifat berubah-ubah. Ada dua kesenangan yang menonjol yaitu; seksual dan judi. Seks adalah kebutuhan manusia yang selalu ada dalam diri setiap manusia dan bisa muncul secara tiba-tiba. Seks juga merupakan pengungkapan rasa abstrak manusia yang cinta terhadap keindahan. Wanita adalah salah satu jenis makhluk Tuhan yang diciptakan sebagai simbol keindahan. Fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat sekarang ini WIDYA WRETTA
6 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
adalah seks selalu identik dengan wanita, karena sebagai simbol keindahan tersebut. Maka setiap yang indah akan menjadi target pasar yang selalu dijadikan komoditi yang mampu mendatangkan uang. Itulah sebabnya ada saja orang yang mengumpulkan wanita dalam suatu tempat dan dijual kepada siapa saja yang membutuhkan jasa se “saat” nya (Wirahaji, 2007 : 67-68). Awidya dan Ajnana, kegelapan dan kebodohan menjadi sumber ketakutan manusia dalam menghadapi kematian. Setiap orang yang dilahirkan dari Awidya dan Ajnana, ketidaktahuannya begitu besar termasuk pengetahuannya terhadap jati dirinya. Dari kondisi demikian manusia mulai belajar dan dapat pelajaran mulai dari lingkungan keluarga sampai pendidikan formal. Awidya dan Ajnana adalah sumber segala penderitaan, Awidya dan Ajnana sebagai musuh terbesar manusia. Kualitas hidup manusia sangat ditentukan oleh seberapa banyak ia dapat mengurangi Awidya dan Ajnana yang melekat padanya. Pengalaman hidup sehari-hari memperlihatkan bahwa mwnghadapi kompleksitas permasalahan dalam hidupnya. Semakin berpengetahuan seseoarang, maka semakin siap dan bijak melakoni hidup ini (Wirahaji 2007). Mati bagi umat Hindu merupakan transisi secara bersamaan merupakan akhir dan awal. Mati adalah seperti tidur dan lahir seperti bangun dari tidur. Ketika kebenaran pokok telah dipahami dan diterima mengenai sifat-sifat jiwa dan lingkaran kelahiran, hidup,
kehidupan sesudah mati dan kelahiran kembali, maka semua prasangka dan ketakutan akan kematian akan lenyap. Bagi orang Hindu, mati adalah pengalaman yang paling alamiah yang merupakan transisi yang cepat dari dunia fisik kedunia astral. Mengetahui hal tersebut kematian merupakan sebagai sebuah kesempatan spiritual yang membawa satu level pelepasan yang sulit diperoleh dalam kehidupan yang penuh pergolakan dan satu urgensi berupaya lebih kuat lagi untuk mencari jiwa yang suci. Bagi leluhur orang Bali kematian adalah salah satu proses kehidupan yang sesungguhnya, dimana kematian dipandang sebagai proses evolusi dari kehidupan kasar menuju ke kehidupan halus. 2.1 Pandangan Para Maha Rsi terhadap Keberadaan Jiwa Dalam kehidupan yang semakin kompleks ini, manusia dalam hidupnya tidak bisa menghindarkan diri dari tindakan atau kerja, berpikir adalah suatu tindakan atau kerja. Berjalan, berbuat sesuatu dan sebagainya adalah suatu tindakan kerja. Hidup adalah suatu tindakan atau kerja. Orang tidak dapat menghindarinya. Hal tersebut lebih identik atau mengarah pada pemenuhan akan badani semata, tanpa memikirkan lebih jauh dampak yang akan ditimbulkan nanti pada jiwa yang telah menghidupi badan tersebut. Seperti yang dimaksudkan oleh Krisna bahwasanya, bukan bebas tanpa kerja, melainkan bebas dari ikatan atau belenggu kerja tersebut. Sedangkan kebebasan dan
kesempurnaan yang dimaksud bukan menghindari kegiatan kerja, melainkan menghindari nafsu keinginan untuk memperoleh pahala dari kerja tersebut. Hanya dia yang mengetahui Atman atau jiwa yang bisa terbebas dari belenggu hukum alam ini, dia yang tidak bisa menguasai nafsunya, tidak mengetahui Atman dan akan selalu terbelenggu oleh hukum alam ini (Ra, 2004 : 4). Dalam ajaran agama Hindu kita mengenal adanya lima keyakinan yang disebut dengan Panca Sradha. Dalam hal ini mengenai hukum karma yang selalu ada disekeliling kita. Hukum karma adalah hukum sebab akibat “apa yang disebar itulah yang dipungut”. Nampaknya hal tersebut sudah dipahami dan mudah dimengerti orang, tetapi penerapannya pada kehidupan sehari-hari secara terperinci, metode tentang pola kerjanya, cara menghadapinya dan akibat-akibat yang dicapai sangat sulit. Mudah dalam teori, namun sulit dalam praktiknya (Ra, 2004 : 4). Pada dasarnya karma ini adalah hukum, hukum yang kekal, tidak berubah, tidak dapat dirusak, hukum yang tidak akan mudah lekang. Persoalan mengenai hukum inilah yang tidak dengan mudah begitu saja manusia dapat pahami . hanya fenomena kehidupan yang selalu ada dalam benaknya, tanpa sedikitpun berpandangan akan akibat yang ditimbulkan nanti pada jiwa setelah kematian. Persoalan mengenai keberadaan akan jiwa di jaman sekarang ini nampaknya banyak yang kurang peduli akan hal tersebut. Sebelum lebih lanjut membahas mengenai keberadaan jiwa, kita tidak bisa terlepas begitu saja mengenai jiwa itu sendiri. Pendidikan Eskatologi Sosioreligius dalam Agama Dan Kebudayaan I Wayan Watra Ni Kadek Gunaksa
7
Ada dua macam jiwa, yaitu jiwa individu atau Jiwatman dan jiwa Agung atau Paramatman. Jiwa individu adalah suatu kesan atau bayangan dari jiwa Agung. Bagaikan matahari yang tercermin dalam berbagai pot air, begitu halnya dengan jiwa Agung tercermin dalam pikiran-pikaran berbeda dari orang yang berbeda. Jiwa adalah arwah, ia bersifat nonmaterial, ia adalah kecerdasan atau kesadaran, ia juga disebut Chaitanya. Ia adalah jiwa individu yang meninggalkan badan kasar setelah kematian dan pergi ke surga dengan indera, pikiran, Prana, kesan-kesan, keinginan dan kecendrungan. Ia dianugrahi sebuah badan astral yang halus ketika menuju surga. Bahkan ketika pikiran dihancurkan melalui meditasi, jiwa individu menyatukan diri dengan jiwa Agung atau Paramatman, yang disebut dengan tujuan hidup. Jiwa individu menjadi titik murni setelah melalui idaman, keinginan, ogoisme, kebanggaan, ketamakan, nafsu, kesukaan dan ketidaksukaan. Oleh karena itu ia bersifat terbatas, dan dianugrahi pengetahuan terbatas. Jiwa Agung tidak terbatas, maha tahu dan maha kuasa. Ia adalah perwujuadan dari pengetahuan dan kebahagiaan. Jiwa individu terikat melalui ketidaktahuan dan unsur tambahan yang membatasi sepeerti pikiran, badan dan indera. Ia hanyalah merupakan penampakan yang bersifat khayal. Jiwa yang Agung tidak berbentuk, tak tergambarkan, memenuhi semua penjuru, tak dapat dibagi, tak terhancurkan, tidak terikat ruang dan waktu. Tidak ada waktu baik siang maupun malam. Jadi demikianlah jiwa yang
WIDYA WRETTA
8 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Agung, jiwa yang tidak terbatas abadi dan tidak mati (Sivananda, 2005 :15-16). Namun seperti apa yang telah dijabarkan dalam berbagai teks , bahwa pandangan mengenai keberadaan jiwa sangatlah beragam yang menyangkut situasi sosial yang variasinya tergantung pada ajaran agama dan kepercayaan yang dianut pada masyarakat saat ini. Namun dalam hal ini penulis tidak mencantumkan secara umum pembahasan mengenai pandangan tentang keberadan jiwa, tetapi mengkhusus dalam teks Upanisad-Upanisad Utama yang merupakan ajaran dari para Rsi Mengkaji lebih jauh tentang keberadaan jiwa menurut pandangan Para Maharsi yang lebih menitik beratkan pada teks Upanisad-Upanisad Utama yang hanya mengkhusus pada bagian tertentu, mengingat teks Upanisad memiliki bagian yang cukup banyak diantaranya Brhad Aranyaka Upanisad, Chandogya Upanisad, dan Katha Upanisad. Dalam hal ini teks dijadikan sebagai sebuah sistem yang otonom dengan mengkaitkan sistem pengetahuan tersebut dalam konteks sosial masyarakat yang bersangkutan. Mengungkap tentang keberadaan jiwa sangatlah berkaitan dengan keadaan tubuh makhluk, baik dalam hidupnya maupun setelah kematiannya. Karena jiwa dengan tubuh itu sendiri memiliki hubungan yang sangat erat. Manusia itu sendiri mempunyai wujud kesatuan antara tubuh dengan jiwanya yang masing-masing tidak dapat berdiri sendiri dalam kedaulatannya. Ada beberapa
pandangan akan keberadan jiwa menurut para Rsi sebagai berikut. 2.3 Maharsi Yajnavalkya Nama Maharsi Yajnavalkya sagatlah berhubungan dengan beberapa ajaran pokok dari Upanisad. Ajaran-ajaran beliau berkembang dalam berbagai bentuk dan di berbagai tempat, di mana guru dan sisya berembuk dan memberi penjelasan tentang berbagai masalah. Dalam teks UpanisadUpanisad Utama pada bagian Brhad Aranyaka Upanisad, IV dan V Rsi Yajnavalkaya menyatakan bahwa jiwa disebut dengan panggilan nama Indha, yang berada pada mata kanan, yang biasa disebut Indra, yang tiada lain Indha adalah Atman, yang disamakan dengan diri sendiri yang bersifat fisik. Kemudian Viraj terletak pada mata kiri. Tempat pertemuan antara Indra dan Viraj dalam ruang yang berada dalam jantung, makanan mereka adalah merahnya darah yang menggumpal dalam jantung. Jiwa yang terdiri dari Indha dan viraj, seperti pemakan makanan yang lebih halus dari jiwa badani. Dengan kata lain badan halus disuburkan oleh makanan yang lebih halus daripada badan kasar. Beliau juga menyatakan badan dalam keadaan tidur dengan mimpi, jiwa disamakan dengan badan halus. Beliau juga menegaskan bahwa jiwa merupakan sesuatu yang tidak bisa dimengerti, sebab dia tidak pernah dimengerti. Dia tidak bisa dihancurkan sebab dia tidak bisa hancur. Dia tidak terikat sebab dia tidak pernah mengikatkan dirinya dan dia tidak terbelenggu sebab dia tidak pernah menderita atau terluka. Beliau juga
memaparkan sinar manusia adalah jiwa atau atma-Nya, sebab dengan jiwa sebagai sinarnya, seseorang dpat duduk, bergerak, melakukan pekerjaannya dan kembali. Inilah pandnagan beliau tentang keberadaan jiwa dalam tubuh (Radhakrishnan, 2008 :189-19). Pernyataan beliau mengenai keberadaan jiwa pada saat kematian, seperti sebuah kereta sarat muatan berjalan terseokseok, demikianlah jiwa yang ada dalam tubuh yang ditumpangi oleh kecerdasannya bergerak terseok–seok ketika seseorang bernafas dengan susah. Jiwa yang ada dalam tubuh di mana badan halus bergerak antara dunia ini dengan dunia berikutnya sebagai pula antara keadaan terjaga dengan keadaan mimpi, melalui kematian dan kelahiran, berturut-turut dalam hubungnnya dengan perpisahannya dengan tubuh dan bagianbagiannya. Ketika badan ini menjadi kurus, karena tua atau karena penyakit, seperti juga buah mangga membebaskan dirinya dari ikatannya, demikian pula makhluk ini melepaskan diri dari anggota tubuhnya dan kembali lagi ketempat dari mana dia mulai hidup baru. Bahwasanya orang yang akan meninggal melepaskan dirinya dari badan kasarnya. Dan pergi kembali kepada tempat asalnya dengan jalan yang sama ketika dia datang dan di sana dia memproleh tubuh baru untuk memulai hidup baru (Radhakrishnan, 2008 : 201-202). Beliau juga menegaskan pada saat kematian segala prana dan indera tetap tidak bekerja karena menyertai jiwa yang meninggalkan badan. Jiwa ditemani oleh udara Pendidikan Eskatologi Sosioreligius dalam Agama Dan Kebudayaan I Wayan Watra Ni Kadek Gunaksa
9
vital tertinggi (Mukhya Prana), organ-organ dan indera dan pikiran membawa serta Avidya, perbuatan baik dan buruk dan kesan-kesan yang ditinggalkan oleh keberadaannya sebelumnya, meninggalkan tubuh sebelumnya dan memproleh tubuh yang baru. Ketika jiwa melewati satu tubuh ke tubuh yang lain ia diselimuti oleh bagianbagian halus dari unsur-unsur yang merupakan benih-benih tubuh yang baru. Atman itu sesungguhnya adalah Brahman yang terdiri dari kecerdasan, pikiran, yang hidup, penglihatan, pendengaran, bumi, air, angkasa, udara, sinar, dan nafsu. Sesuai dengan bagaimana seseorang bertindak, sesuai dengan bagaimana seseorang berkelakuan, menjadi itulah dia. Pelaku hal-hal yang baik akan menjadi baik, pelaku hal-hal yang jahat akan menjadi jahat. Seseorang menjadi mulia karena tindakan yang mulia, buruk karena tindakan buruk. Bagaimana nafsunya demikian pulalah keinginannya ; bagaimana keinginannya, begitu pulalah perbuatan yang dilakukan, tindakan apapun yang dia lakukan, itu pulalah yang dia peroleh. Obyek kepada hal apa pikiran kita terikat, badan halus akan pergi bersama-sama dengan perbuatan. Menghabiskan semua hasil dari pekerjaan apapun yang telah dia lakukan di dunia ini, kemudian dia akan kembali lagi dari dunia itu ke dunia ini untuk memulai perbuatan baru. Inilah orang yang memiliki nafsu. Tetapi untuk orang yang tanpa nafsu, yang tersebas dari nafsu, yang nafsunya adalah Atman; nafasnya tidak akan meninggalkannya. Karena dia Brahman
WIDYA WRETTA
10 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
maka dia akan kembali kepada Brahman (Radhakrishnan, 2006 :203-205). Setelah seseorang meninggalkan dunia ini, jiwanya pergi ke udara. Udara terbuka dengan sendirinya untuk dia disana, seperti lobang pada roda kereta. Melalui lobang itu dia menuju ke atas. Dia pergi ke matahari, disana pun terbuka untuknya seperti lubang sebuah lambara. Melalui hal ini dia terus menuju ke atas, dan dia mencapai bulan dan sampai pada lubang sebuah genderang, dengan lubang inilah dia terus menuju ke atas dan dia menuju dunia yang terbebas dari kesedihan, bebas dari salju. Di sana dia bermukim dalam tahun-tahun abadi (Radhakrishnan, 2008 :223). Demikianlah pandangan Rsi Yajnavalkya tentang keberadaan jiwa, yang lebih mengarah pada tindakan yang dilakukan semasa hidup, sehingga berpengaruh besar terhadap keadaan jiwa nantinya. Apakah perbuatan yang baik maupun yang buruk, yang nantinya akan menentukan akan kembali untuk menikmati hasil yang diperbuat, atupun menyatu dengan Brahman dalam tahun-tahun keabadian. 2.4 Dalam Chandogya Upanisad, V Rsi Uddalaka Aruni memberikan pandangan tentang keberadaan jiwa, beliau menyatakan wujud yang terlihat pada mata itulah Atman, dialah yang kekal, tanpa takut, itulah Brahman. Sebab semua hal yang dikehendaki akan datang kepadanya yang mengerti akan hal ini, sebab dia membawa semua hal yang dikehendaki. Dia yang mengerti hal ini akan
membawa hal yang dikehendaki. Beliau juga menegaskan tentang pelaksanaan upacara pembakaran mayat yang akan menuntun sang jiwa pada jalan Brahman. Inilah jalan ke arah dewata, jalan kepada Brahman. Mereka yang mengikuti jalan ini tidak akan kembali kepada keadaan berupa manusia, dan mereka tidak akan kembali. Maharsi menerangkan keberadaan jiwa diawali dengan asal mula kehidupan yang diawali dengan yadnya atau kurban. Dari tapa Brahman ini menimbulkan api yadnya yang menghasilkan elemen-elemen antara lain api dan matahari yang akhirnya berubah menjadi kehidupan atau manusia. Hasil dari yadnya ini adalah produksi Soma, yaitu air kehidupan, lalu Soma dituangkan ke dalam Parjanya yaitu kekuatan yang menyebabkan hujan, hasilnya adalah air diatas tanah yang mengahasilkan makanan. Ketika makanan disuguhkan kepada manusia dan apabila ia mencernanya ia akan menghasilkan cairan vital yang disebut Reta. Apabila Reta memasuki tubuh seorang wanita maka menghasilkan janin dan selanjutnya melahirkan anak. Ketika terlahir, di sepanjang hidupnya, dan ketika dia meninggal mereka membawa dia ke tempat yang telah ditentukan untuk api pembakaran mayat, dari mana dia datang dan dari mana dia bangkit (Radhakrishnan, 2008 : 330-332). Oleh karena tubuh manusia terdiri dari empat elemen tersebut, maka ia akan hancur menjadi elemen-elemen tersebut setelah meninggal dunia. Tentang keberadaan jiwanya, sangat bergantung pada prilaku dan pengetahuannya. Apabila ia memperoleh pengetahuan spiritual sejati, ia akan pergi
melalui Devayana yaitu jalan penerangan, ia tidak akan kembali lagi ke dunia material. Tetapi apabila ia mengarahkan hidupnya dengan keinginan-keinginan di luar kebaikan, jiwanya pergi melalui Pitrayana, yaitu jalan kegelapan, ke surga dan tetap tinggal di sana sampai kebaikannya habis. Lalu ia kembali kedunia lahir sesuai dengan hakikat umum dari prilaku hidup sebelumnya (Suamba, 1994 :93-94). Pandangan beliau tentang keberadaan jiwa lebih menekankan pada unsur-unsur pembentuk dari jiwa itu sendiri yaitu api yadnya, dan saat mereka meninggal dia akan di bawa kembali pada tempat yang di tentukan pada api pembakaran mayat. Namun tidak terlepas juga dari segala prilaku serta pengetahuan yang dilakukan sebelumnya, yang sangat menentukan keberadaan akan jiwanya nanti, serta jalan apa yang nantinya di tempuh apakah melalui devayana atau melalui pitrayana. Pernyataan beliau sangat sesuai dengan ajaran veda yang menunjukan dua jalan terbuka untuk diikuti oleh roh yaitu: devayana dan pitrayana yang satu mengarah ke kosmik Brahmapuram, dan yang lain jalan yang kembali dari Brahmapuram. Devayana dilukiskan sebagai jejak sinar terang sebagai kendaraan para Dewa, sedangkan pitrayana merupakan batas geraknya ke waktu yang terbatas di yamaloka, yang dikenal juga dengan sebuatan “rumah kematian”. Ajaran suci Veda menasihatkan kepada mereka yang telah mati untuk mencoba dan mengambil langkah pembentukan kembali setelah, tentunya, terlebih dahulu mereka membebaskan diri dari segala bentuk rintangan fisik (Titib, 2006 : 82). Pendidikan Eskatologi Sosioreligius dalam Agama Dan Kebudayaan I Wayan Watra Ni Kadek Gunaksa
11
3.
Cara Para Maharsi Mentransformasikan Konsep Evolusi Jiwa kepada Muridnya
Kehidupan saat ini ibarat menulis permohonan untuk perjalanan kehidupan yang akan datang. Kita bersyukur kalau kehidupan nanti masih bisa menggunakan badan manusia, jangan sampai memakai badan binatang. Oleh karena itu harus diingat bahwa semua indrya ini adalah pinjaman dari Hyang Widhi; termasuk tubuh ini. Sehingga kalau kita tidak mampu memelihara “barang” pinjaman ini, maka kita pasti akan diberikan badan yang lebih jelek lagi; misalnya badan binatang atau tumbuh-tumbuhan. Menyadari akan hal tersebut sudah seharusnya manusia memikirkan atas segala prilaku dalam hidupnya. Namun kenyataan yang ada bahwa manusia tidak serta merta peduli akan hal tersebut. Yang sudah diyakini bahwa segala tindakan yang dilakukan semasa hidupnya akan berpengaruh besar terhadap jiwa setelah kematiannya. Jiwa adalah Atman yang terbungkus oleh Andamaya Kosha dan Vijnanamaya Kosha, inilah yang pada nantinya akan berinkarnasi, lahir berulang- ulang. Disini dibedakan kata ber-evolusi yang berarti kemajuan dengan cepat dan ber-evolusi yang berarti kemajuan secara perlahan-lahan (Ra, 2008 :12). Hukum evolusi mendesak umat manusia untuk maju terus. Maju disini berarti makin terealisasikannya sifat Tuhan yang sejatinya bersemayam di dalam manusia. Manusia berusaha berkarya untuk evolusi Tuhan, berarti berkarya untuk rencana Tuhan.
WIDYA WRETTA
12 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Ini berarti berkarya untuk evolusi manusia. Dengan adanya evolusi berupa kelahiran kembali yang berjalan sesuai dengan waktu dan hukumnya sendiri. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh karma wesana dari jiwa itu sendiri. Hukum karma tidaklah berada di luar diri individu. Hakimnya bukan berada di luar melainkan di dalam. Hukum dimana kebjikan akan memberikan kemenangan dan perbuatan yang jahat akan mendapatkan ganjarannya yang merupakan pengungkapan dari hukum tentang keberadaan kita. Cara kerja karma benar- benar tidak memihak, tidak kejam maupun pemaaf. Walaupun kita tidak bisa melepaskan diri dari bekerjanya azaz, aka nada harapan, karena bila manusia dapat memutuskan apa yang ingin di perbuat, dia bisa membuat dirinya menjadi apa yang diinginkan. Kepercayaan akan kelahiran kembali terus bertahan sejak jaman Upanisad. Setelah menceritakan tentang pemencaran dari tubuh manusia pada saat kematian, mata manusia kembali pada matahari, nafas kepada angin, wicara kepada api, pikiran kepada bulan, telinga kepada ruangan surga, tubuh kepada bumi dan jiwa kepada angkasa, rambut kepada pepohonan dan tumbuhan, darah dan bibit kepada air. Dalam kebenarannya seeorang akan menjadi baik karena perbuatan baiknya, dan menjadi jahat karena perbuatan jahatnya. Hidup kita menitiskan sifat kita (Radhakrisnan, 2008 :78-79). Dengan pemaparan yang ada dalam Upanisad-Upanisad Utama mengenai evolusi jiwa yang hanya mengkhususkan pada
bagian tertentu saja, mengingat Upanisad mempunyai banyak bagian, maka ada beberapa cara atau metode yang digunakan oleh Maharsi dalam menstransformasikan ajaran evolusi jiwa kepada muridnya. Metode yang digunakan tentunya sangatlah beragam, sebab setiap para Maharsi memiliki cara pandang dan versi yang berbeda-beda dalam penyampaian ajarannya tersebut. Adapun metode yang digunakan dalam penyampain ajarannya antara lain sebagai berikut. 3.1 Metode Dharma Tula Kata Tula berasal dari bahasa sansekerta artinya perimbangan, keserupaan, dan bertimbang. Secara harfiah dharma tula dapat diartikan dengan bertimbang, berdiskusi atau berembug atau temu wicara tentang ajaran agama Hindu dan Dharma. Secara tradisional dharma tula itu dilaksanakan berkaitan dengan dharma gita. Biasanya untuk memperoleh pemahaman atau pengertian yang lebih jelas dari bagian-bagian dharma gita yang mengandung ajaran falsafah. Biasanya seluruh peserta aktif berperan serta memberikan ulasan atau membahas apa yang menjadi subyek pembicaraan (http:// www.parisada.org/index.php?option= com_content&task=view&id=769&Itemid=79). Metode dharma tula merupakan metode yang digunakan oleh maharsi Yajnawalkya pada bagian Brhad Aranyaka Upanisad dalam menyampaikan berbagai ajarannya kepada murid-muridnya beliau menggunakan teknik berembug atau diskusi. Teknik yang beliau lakukan terpapar jelas pada saat Raja Janaka melaksanakan upacara kurban. Beliau akan menyarahkan hadiah
tersebut kepada siapa yang mampu mengalahkan yang lain dalam perdebatan. Maharsi Yajnawalkya lalu maju ke depan, seorang pendeta tinggi bernama Aswala bertanya, namun dengan sikap tenang beliau dapat menjawab dengan tepat. Kemudian dilanjutkan dengan seorang penanya gadis yang bernama Gargi, semua pertanyaan yang di lontarkan dapat pula terjawab dengan tepat. Dengan kenyataan tersebut bahwasanya dalam penyampaian pengetahuanya tersebut beliau menggunakan teknik tanya jawab, hal tersebut beliau lakukan pada salah seorang muridnya yang bernama Jaratkarawa. Beliau banyak memaparkan tentang keberadaan jiwa, serta tentang kelahiran kembali sebagai proses evolusi jiwa. Maharsi berkata melalui perbuatan dosa, timbullah dosa dan melalui perbutan bajik, timbulah kebajikan dengan kata lain sesungguhnya seseorang menjadi baik karena perbutan baik dan menjadi jahat karena berbuat jahat. Dengan adanya perbutan (karma) inilah yag nantinya membawa akibat yang menghasilkan kelahiran kembali (Radhakrishan, 2008 : 162). Atma yang berinkarnasi sesuai dengan sifat dan karmanya, kemudian memilih tubuh sebagai wujudnya yang kasar (binatang, tumbuhan) atau yang halus (manusia). Dia menjadi nampak berkeadaan berbeda dari satu penjelmaan ke penjelmaan berikutnya. Dengan demikian bahwa karma seseoarang akan mempengaruhi penjelmaannya di kemudian hari. Itulah wejangan Yajnawalkya tentang kelahiran kembali. Pendidikan Eskatologi Sosioreligius dalam Agama Dan Kebudayaan I Wayan Watra Ni Kadek Gunaksa
13
3.2 Metode Praktik Langsung Metode praktik langsung merupakan suatu proses pendidikan dalam membimbing peserta didik secara sistematis dan terarah dengan terlibat langsung dalam bentuk praktik. Metode praktik langsung ini bertujuan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan peserta dalam mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya. Tentunya dengan pengalaman nyata yang diperoleh bisa langsung dirasakan oleh peserta, sehingga dapat memicu kemampuan peserta dalam mengembangkan kemampuannya. Metode praktik langsung ini sangat sesuai dengan cara maharsi Uddalaka Aruni dalam memberikan wejangan kepada muridnya yang bernama Swetaketu dalam Chandogya Upanisad. Hal tersebut terpapar dengan jelas bahwa beliau menyampaikan pengetahuan halusnya kepada Swetaketu melalui ilustrasi-ilustrasi dalam wujud kebendaan. Ilustrasi tersebut merupakan sesuatu yang riil yang penerapannya bisa di praktikkan secara langsung. Pada saat penyampaian pengetahuannya tersebut maharsi menyuruh muridnya untuk mengambilbijibuahberingindanmembagisampai kelihatan bijinya, biji tersebut kemudian dibagi lagi menjadi sekecil-kecilnya sampai tidak tampak oleh kasat mata. Selain itu beliau juga menyuruh Swetaketu untuk mengambil garam lalu diletakkan di sebuah wajan yang berisi air. Dengan praktik itulah beliau menyampaikan hakikat dari roh yag halus. Kemudian Svetaketu banyak mempertanyakan tentang keadaaan jiwa, jalan apa yang dilalui oleh jiwa
WIDYA WRETTA
14 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
serta kelahiran kembali. Teknik yang beliau lakukan sangatlah sesuai untuk membedah ajaran yang mengandung falsafah. Beliau menjelaskan tentang dua jalan yang terbuka untuk makhluk yang fana, yang bercahaya dan yang gelap, jalan dewata dan jalan leluhur. Mereka yang menjalankan keyakinan dan penebusan dosa akan memasuki jalan yang bercahaya dan tidak akan kembali kepada lingkaran keberadaan manusia. Mereka yang hanya bersifat etis, menjalankan pekerjaan untuk umum, akan pergi melalui jalan berasap, bersemayam di dunia leluhur, sampai datang waktunya bagi mereka untuk turun kembali sesuai dengan pahalanya. Beliau juga menyatakan “Tiga masa depan dijelaskan pelaku yajna akan mencapai bulan dengan melewati jalan leluhur, dan setelah menikmati buah dari perbuatannya, mereka akan kembali lagi dengan sisa dari karma mereka. Yang tidak menjadi pelaku yajna akan langsung menuju kekerajaannya Yama, mereka yang mengambil jalan penerangan akan pergi kepada jalan dewata, dari sini mereka tidak akan kembali lagi”. Perbedaan dari kedua jalan ini adalah salah satu dari dua sistem kebudayaan, jalan perbuatan dan jalan pengetahuan, yang mempunyai akibat kerohanian yang berbeda. Serta menjelaskan tentang kelahiran kembali “Mereka yang melakukan perbuatan baik di sini akan segera memproleh kelahiran yang baik, kelahiran sebagai brahman, kelahiran sebagai seorang ksatrya atau kelahiran sebagai vaisya. Tetapi mereka yang
perbuatannya di sini jahat akan terlahirkan sebagai anjing, babi atau candela”. Tetapi tiada satupun dari jalan ini di mana makhluk kecil itu akan tetap berputar, dilahirkan kembali dan meninggal. Jalan mereka adalah jalan yang ketiga. Dengan jalan ini ternyata dunia menjadi penuh, kerena itu biarkanlah seseorang melindungi dirinya (Radhakrishnan, 2008 : 332-334 ) Kelahiran kembali adalah nasib manusia sampai dia memproleh pengetahuan yang sesungguhnya. Dengan berbuat kebajikan dia membawa evolusinya lebih jauh. Pahala perbuatan baik adalah berkembang dalam lingkungan yang baik. Pahala yang berkembang dalam hati yang murni adalah memproleh visi yang lebih terang dari realitas. Pengetahuan tentang realitas akan menuntun kepada pembebasan. Jiwa sebelum memproleh kelahiran kembali mengalami perolehan pahala atas hukuman perbuatannya pada tempat yang tepat (Radhakrishnan, 2008 : 79-80). 3.3 Metode Dharma Wacana Dharma Wacana adalah metode penerangan Agama Hindu yang disampaikan pada setiap kesempatan Umat Hindu yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan penerangan semacam ini dimasa lalu disebut Upanisad. Terminologi Upanisad atau Upanisad mengandung arti dan sifatnya yang “Rahasia”. Pada masa lalu ajaran Upanisad sering dihubungkan dengan “Pawisik” yakni ajaran rahasia yang diberikan oleh seorang guru kerohanian kepada siswa atau muridnya dalam jumlah yang sangat
terbatas (http://www.parisada.org/ index.php?option=com_content&task=view&id=769&Itemid=79). Metode dharma wacana ini digunakan oleh Maharsi Samkara pada bagian Katha Upanisad, karena pada bagian ini memakai tema cerita. Dimana beliau menceritakan kepada muridnya tentang seorang anak Brahmana bernama Naciketa. Beliau menceritakan perjalanan Naciketa muda, kemudian bagaimana Naciketa dikirim kepada Batara Yama oleh ayahnya. Dengan cerita Naciketa dikirim kepada Yama inilah beliau menyampaikan ajaran tentang evolusi jiwa kepada muridnya “Dengarkan, aku akan menjelaskan kepadamu rahasia Brahman, yang abadi, dan juga bagaimana keadaan jiwa setelah mencapai kematian”, bahwasanya Sang Brahmana mengajarkan pengetahuan evolusi tersebut melalui percakapan yang sangat rahasia, yang diawali dengan keberadaan akan hukum karma, dikatakan bahwa kita terlahir sesuai dengan perbuatan kita. Bila seseorang bisa mengertikan dia, sebelum badan terjatuh dia akan bebas dari penderitaan, bila tidak maka memang pantas diberikan tubuh dalam dunia ciptaan-Nya. Kemudian beliau melanjutkan ajaran tentang “Beberapa jiwa memasuki kandungan untuk ditubuhkan; yang lain memasuki obyek-obyek diam sesuai dengan perbuatan dan pikiran mereka”. Di sinilah hukum karma berlaku bahwa yang terlahir sesuai dengan segala perbuatan sebelumnya. Dan juga beliau menuyatakan bahwa “Mereka yang sadar ketika yang lain tertidur,
Pendidikan Eskatologi Sosioreligius dalam Agama Dan Kebudayaan I Wayan Watra Ni Kadek Gunaksa
15
membentuk keinginan demi keinginan, dia sesungguhnya, adalah murni. Itulah adalah Brahman, itu sesungguhnya disebut yang abadi. Di dalamnya semua dunia beristirahat dan tiada seorangpun pernah pergi melewatinya” (Radhakrishnan, 2008 :495496). Hukum karma disini berlaku dalam dunia samsara, dimana perbuatan kita akan menuntun kita ke dalam tempat yang lebih tinggi atau lebih rendah yang sangat ditentukan pada pengetahuan, kelakuan dan perbuatan semasa hidup kita dalam dunia waktu atau dengan datangnya evolusi yang secara bertahap dari waktu ke waktu. Hukum karma disebut juga dengan hukum sebab akibat. Hukum sebab akibat ini mengatur segalanya, yang tidak dapat di cegah atau dihentikan. Tuhan tidak menghukum siapapun, manusia memetik pahala dari karmanya, ia memetik panenan kesenangan dari perbuatan yang baik. Ia menderita dan mengalami kesengsaraan dan penyakit, kehilangan miliknya karena perbuatannya yang tidak baik. Insting adalah akibat dari pengalaman masa lalu. Pengalaman masa lalu dalam kematian tetap berada dalam pikiran bawah sadar atau chitta dalam suatu keadaan yang tersembunyi dan seolah-olah dalam keadaan tidur (Sivananda, 2005 : 64). Suatu hal yang sangat sering di dengar bahwa tubuh manusia merupakan sebuah pakaian dan tempat tinggal jiwa yang kekal. Jiwa itu tentunya dapat menghuni kembali
WIDYA WRETTA
16 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
tempat tinggal yang lain dan mengenakan pakaian yang lain untuk dapat mengembangkan dan menyadari dengan lebih baik dari sebelumnya. Dengan pernyataan tersebut sudah barang tentu setiap makhluk mengalami evolusi. Evolusi yang terjadi pada setiap makhluk hidup adalah untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Evolusi berjalan menuju tingkatan yang lebih tinggi dan bukan suatu kemerosotan ke tingkat yang lebih rendah, namun hal ini merupakan hukum dan prinsip alam pada umumnya. Jiwa yang dilengkapi sedikit kebaikan dan ketuhanan yang diperoleh pada kehidupan sebelumnya, memasuki kehidupan yang lain guna meningkatkan, mengembangkan dan membuat kondisi lebih baik yang sebelumnya itu (Sivananda, 2005 : 76). Ketika mati, manusia meninggalkan karmanya perbuatan baik atau buruknya. Badan kasar mungkin mati dan terurai, tetapi kesan-kesan dari tindakannya tidak mati, ia harus mengambil kelahiran lagi untuk menikmati pahala dari tindakan-tindakan ini. Tidak ada kehidupan yang pertama, karena ia merupakan pahala dari perbuatan sebelumnya, dan tidak ada juga yang terakhir, karena perbuatannya harus diperbaiki pada kehidupan berikutnya. Oleh karena itu samsara atau keberadaan fenomenal adalah tanpa awal dan akhir (Sivananda, 2005 : 80). Dengan segala kesan yang dibawa oleh sang jiwa ketika meninggalkan badan kasarnya, maka hal tersebut sangat
menentukan bentuk kehidupan selanjutnya. Kelahiran kelak bagi sang jiwa adalah akibat dari perbuatan masa lalu, dan teori karma dan reinkarnasi memainkan peran penting dalam menentukan hal yang sama. Hukum sebab akibat. Aksi reaksi berlaku juga dalam kasus hukum karma (Sivananda, 2005 : 87). Gambaran ini merupakan gambaran perjalanan roh melalui punarbhawa yang tiada habisnya, sampai ketika suatu saat semua beban-beban yang memberatkan sang roh hilang lenyap, maka ia tidak akan jatuh lagi, tetapi menyatu dengan Hyang Widhi menuju moksa. Dengan demikian proses reinkarnasi akan terus menerus terjadi sampai akhirnya sang jiwa memproleh tempat yang paling sempurna serta manunggalnya dengan yang Agung, sehingga terputusnya pula proses evolusi yang selalu ada bagi setiap makhluk, dalam pencapaian kemanunggalannya. 5.Simpulan Pendidikan Eskatologi merupakan ilmu atau pengetahuan tentang hal-hal akhir atau hal yang menyangkut realitas akhirat sebagai akhir kehidupan dan reinkarnasi. Kematian, keberadaan jiwa di akhirat dan reikarnasi merupakan hal yang pokok dalam
penelitian ini. Dari analisis yang di lakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1). Secara filosofis religious pandangan para maharsi terhadap keberadaan jiwa, sebenarnya memiliki hakikat yang sama. Pada intinya keberadaan jiwa di akhirat sangat ditentukan oleh pengetahuannya (vidya), karakter dan perbuatannya (karma) pada masa hidupnya. 2). Pemahaman masyarakat harus dibangun bersarkan kepada sraddha, kemudian barulah dipergunakan sebuah system, atau cara seperti yang digunakan oleh maharsi dalam mentransformasikan konsep ajaran evolusi jiwa, tentunya juga sangat beragam, disesuaikan dengan seni masing-masing. Cara yang digunakan, yaitu dengan metode dharma tula, praktik langsung dan metode dharma wacana. Konsep evolusi jiwa yang dituangkan dalam metode dharma tula, diaplikasikan dengan mengadakan diskusi atau tanya jawab. Dan metode praktik langsung dilakukan dalam bentuk kegitan langsung dengan memberikan contoh yang riil yang bisa dipraktikkan. Sedangkan metode dharma wacana penerapannya dilakukan dengan memberikan penjelasan dengan cara bercerita.
Pendidikan Eskatologi Sosioreligius dalam Agama Dan Kebudayaan I Wayan Watra Ni Kadek Gunaksa
17
DAFTAR PUSTAKA
Maswinara, I Wayan. 1998. Pesan-Pesan Upanisad. Surabaya : Paramita.
-, 2008. Apakah Yang Terjadi Pada Kita Jika Kita Mati : http://www. pustakahindu.info/2008/09/10/karmaantara-sorga-neraka. Diakses pada tanggal 6 Mei 2009.
Panitia Pelaksana Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu XV. 2007. Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap AspekAspek Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
-, 2007. http://pasektangkas.blogspot.com/ 2007/12/reinkarnasi-punarbhawa. html. -, http://id.wikipedia.org/wiki/Reinkarnasi -,http://www.parisada.org/index.php? option=com_content&task =view&id= 769&Itemid=79 Ananta. 2009.http://taksu.wordpress.com/ 2009/07/23/punarbhawa-atausamsara/. Diakses pada tanggal 25 Juli 2009. Astara Pri, I Gst Ngurah. 2008. Hakikat Kematian Sebagai Evolusi Jiwa Menurut Ajaran Hindu. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Brahma widya institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Gulo, W. 2002. Metodelogi Penelitian. Jakarta : Grasindo. Kamajaya, Gede. 2001. Alam Kehidupan Sesudah Mati. Surabaya : Paramita. Kamajaya, Gede.1999. Hukum Evolusi Roh (Brahma Cakra). Surabaya : Paramita Keramas, Dewa Md Tantera. 2008. Metode Penelitian kwalitatif Dalam Ilmu Agama Dan Kebudayaan. Surabaya : Paramita.
WIDYA WRETTA
18 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Pendit, Nyoman S. 2007. Filsafat Hindu Dharma Sad-Darsana Enam Aliran Astika (ortodoks). Denpasar : Pustaka Bali Post Phan. C. Peter. 2005. 101Tanya Jawab tentang Kematian dalam Kehidupan Kekal. Yogyakarta : Kanisius Prabhupada, A. C. Bhaktivedanta Sri Srimad. 2008. Coming Back Kembali Lagi Sains Reinkarnasi. Cet. 5. Perpustakaan Nasional Ri : Hanuman Sakti. Punyatmaja Oka, I. B. 1994. Cilakrama. Cet.2. Parisada Hindu Dharma Pusat Denpasar : Upada Sastra Ra, Anandas. 2004. Butir-Butir Mutiara Indah Wacana Bhgawan Sri Sathya Sai Baba Hukum Karma. Surabaya : Paramita. Ra, Anandas. 2007. Reinkarnasi Hidup Tidak Pernah Mati. Surabaya : Paramita Ra, Anandas. 2008. Evolusi Melalui Reikarnasi Dan Karma Dari Tuhan
Kembali Kepada Tuhan. Surabaya : Paramita. Radhakrishnan, S. 2008. UpanisadUpanisad Utama. Surabaya : Paramita. Suamba, IB. Pt. 1994. Upanisad dalam Cerita dan Dialog. Cet.1. Perpustakaan Nasional : Upada Sastra. Subagya, Tri. Y. 205. Menemui Ajal Etnografi Jawa tantang Kematian. Cet. 1. Yogyakarta : Kepel Prees.
Hindu Di Bali. Skripsi (tidak diterbitkan) Fakultas Ilmu Agama Institut Hindu Dharma Denpasar. Sukanddarramidi. 2006. Metode Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Meneliti Pemula. Ed.1-cet. 3. Jogyakarta : Gadjah Mada University Press. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. 3 -cet.3. Jakarta : Balai Pustaka.
Snijders, Aldelbert. 2004. Antropologi Filsafat Manusia Paradoks Dan Seruan. Jogyakarta : Kanisius.
Titib, I Made. 2006. Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Naraka, Moksa dalam Svargarohanaparva Persepektif Kajian Budaya. Surabaya : Paramita
Sudartha, Tjok Rai. 2008. Tatwa : http:// w w w. s a r a d b a l i . c o m / e d i s i 9 7 / tatwa.htm. Diakses pada tanggal 5 Mei 2009.
Titib, I Made. 1994. Untaian Ratna Sari Upanisad. Cet.1. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha
Sudharta, Tjok Rai. 1967. Upadeca Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Singaraja : Kanwil Dep. Agama Provinsi Bali. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuntitatif, Kualitatif Dan R & D. Bandung : Cv. Alfabeta. Suka Yasa, I Wayan.2004. Brahma Widya Dan Kearifan Lokal Dalam Tattwa Jnana. Tesis (tidak diterbitkan) Program Magister (S2) Ilmu Agama Dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia Denpasar. Sunarti, Ni Ketut. 1989. Tinjauan Terhadap Mati Ngulah Pati Dalam Hubungannya Dengan Agama
Usman, Husaini. 2008. Metodelogi Penelitian Sosial. Ed. 2-cet. 1. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Wiarsana, I Ketut. 2007. Kematian dan Perjalanan Atma dalam Narasi Kelepasan. Denpasar : Panakom Publishing. Wirahaji, Ida Bagus. 2007. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Manusia Takut Menghadapi Kematian Menurut Pandangan Sulinggih Di Denpasar. Tesis (tidak diterbitkan) Program Studi Magister (S2) Ilmu Agama Dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia Denpasar.
Pendidikan Eskatologi Sosioreligius dalam Agama Dan Kebudayaan I Wayan Watra Ni Kadek Gunaksa
19
DIMENSI KREATIF DALAM PEMIKIRAN FILSAFAT INDIA Oleh : Sudadi Abstrak Secara geografis India sebagian besar dibatasi oleh pegunungan dan samodra Hindia, yang pada masa lampau mempunyai arti penting untuk pertahanan dari kemungkinan adanya serangan dari bangsa lain, sehingga mendorong orang India untuk menggunakan pemikirannya dalam menatap kehidupan masa depan baginya. Keadaan seperti ini sudah barang tentu mendorong sebagian bangsa India menggunakan kodrat kemanusiaannya yang bebas, yaitu berupa kebebasan berpikir. Dari kebebasannya menggunakan pikiran tersebut, maka lahirlah filsafat India yang pada hakekatnya bermasud merenungkan persoalan hidup yang lebih mendalam. Aktifitas mereka dalam memikirkan persoalan hidup, dipilihnya tempat tempat yang dianggap bebas dari kebisingan dan kesibukan berbagai aktifitas, seperti pertapaan pertapaan di hutan belantara dan beberapa asrama yang telah dibuatnya. Semua sistem filsafat di India berkembang hampir bersamaan dan berdampingan satu sama lain, serta menampilkan suatu petunjuk buat hidup yang ideal, meskipun hal ini dengan cara pendekatan yang berbeda beda. Namun demikian pemikiran filsafat suatu bangsa mempunyai ciri-ciri tersendiri yang merupakan spesifikasi sesuai dengan akar budaya yang melandasinya. Filsafat India dalam tradisi pemikirannya, mempunyai berbagai macam aliran, yang kadang kadang antara aliran satu dengan aliran lainnya, mengandung perbedaan bahkan pertentangan, namun mempunyai tujuan akhir sama, yaitu kelepasan. Filsafat India secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua aliran, yaitu Hinduisme dan Buddhisme. Bila dikaji secara saksama tentang aliran Hinduisme dan aliran Buddhisme, tampak sekali perbedaannya, maka sangat kecil kemungkinannya bahwa kedua aliran dimaksud dapat bersatu. Namun di India kenyataannya tidak demikian, karena keduanya baik aliran Hinduisme maupun aliran Buddhisme mampu bersatu. Hal itu secara empiris tampaknya bahwa aliran pemikiran Buddhisme telah lenyap dari India, namun sebenarnya bahwa aliran pemikiran Buddhisme telah diberi tempat tersendiri dalam aliran pemikiran Hinduisme. Kenyataan ini karena ada beberapa faktor yang sebagai latar belakangnya sehingga menyebabkan aliran pemikiran Hindiusme menerima aliran lain seperti aliran Buddhisme. Unsur-unsur aliran Buddhisme yang dapat diterima oleh aliran pemikiran Hinduisme, yaitu antara lain prinsip cinta kasih. Prinsip cinta kasih dimaksud, ternyata dapat mengembangkan pedoman perilaku manusia terhadap diri sendiri, alam semesta, dan terhadap Realitas Tertinggi yang berada di luar diri manusia. Lebih dari hal itu, kebebasan manusia juga tumbuh, kultus individu mulai turun, dan kesewenangwenangan tampak berkurang. Jadi pemikiran filsafat India mempunyai kecenderungan bersifat spiritual, namun pada kenyataannya tidak mengabaikan sama sekali pada hal hal yang bersiwat duniawi. Kenyataan ini karena pemikiran filsafat India mempunyai tujuan akhir kelepasan sebagai kebahagiaan tertinggi, namun juga berusaha memecahkan masalah masalah yang dihadapi manusia di dunia.
WIDYA WRETTA
20 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
A. Pendahuluan Lahirnya suatu hasil pemikiran yang dapat dikatakan sebagai filsafat suatu bangsa, erat sekali hubungannya dengan kehidupan bangsa yang besangkutan, baik yang ada kaitannya dengan keadaan geografis, sosial, budaya, ekonomi maupun kepercayaan. Begitu pula dengan timbulnya filsafat India, yaitu keadaan geografis di India yang beragam, seperti sebagian tanahnya berupa dataran dengan sungai sungainya yang besar, gunung gunung yang di sela selanya terdapat bukit bukit dengan hutannya yang lebat, tanah kering berupa padang pasir, dan keadaan cuaca yang kadang kadang membuat suhu udara antara panas dan dingin perbedaannya sangat mencolok (Ghallab M, 1950: 52). Lain dari itu, secara geografis India sebagian besar dibatasi oleh pegunungan dan samodra Hindia, yang pada masa lampau mempunyai arti penting untuk pertahanan dari kemungkinan adanya serangan dari bangsa lain, sehingga mendorong orang India untuk menggunakan pemikirannya dalam menatap kehidupan masa depan baginya. Bagi sebagian penduduk India yang tidak semata mata dalam hidupnya cenderung pada persoalan duniawi, hal tersebut di atas akan memberikan kecenderungan untuk memikirkan kehidupan yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang didasari pada kerokhanian. Keadaan seperti ini sudah barang tentu mendorong sebagian bangsa India menggunakan kodrat kemanusiaannya yang bebas, yaitu berupa kebebasan berpikir (Bakker, 1976: 1). Dari kebebasannya menggunakan pikiran tersebut, maka lahirlah
filsafat India yang pada hakekatnya bermasud merenungkan persoalan hidup yang lebih mendalam, dan aktifitas mereka dalam memikirkan persoalan hidup, dipilihnya tempat tempat yang dianggap bebas dari kebisingan dan kesibukan berbagai aktifitas, seperti pertapaan pertapaan di hutan belantara dan beberapa asrama yang telah dibuatnya. B. Ciri-ciri Filsafat India Tradisi filsafat India yang berkembang di India tidak sebanyak seperti yang terdapat di Barat. Semua sistem filsafat di India berkembang hampir bersamaan dan berdampingan satu sama lain, serta menampilkan suatu petunjuk buat hidup yang ideal, meskipun hal ini dengan cara pendekatan yang berbeda beda. Namun demikian pemikiran filsafat suatu bangsa mempunyai ciri-ciri tersendiri yang merupakan spesifikasi sesuai dengan akar budaya yang melandasinya. Radhakrishnan (1957: XXII – XXX) menunjuk tujuh ciri yang memberikan warna dan sifat hampir seluruh filsafat India. Ciri ciri filsafat India dimaksud, yaitu: a. Ciri yang mempunyai motif spiritual, yaitu motif yang mewarnai usaha filsafat India maupun hidup pada umumnya. Hal ini dapat dilihat bahwa semua aliran mengakui adanya esensi spiritual, kecuali aliran materialisme hedonistis yaitu Carvaka. Jadi dalam hal ini penghayatan keagamaan dan agama amat terkait erat dengan usaha filsofis dari filsafat. b. Ciri filsafat India yang ditandai dengan sikap introspektif dan pendekatan
Dimensi Kreatif Dalam Pemikiran Filsafat India Sudadi
21
terhadap realitas. Dalam hal ini filsafat India dipahami sebagai atmavidya, yaitu pengetahuan akan dirinya. Oleh sebab itu, perhatian lebih ditekankan pada subyektivitas daripada objektivitas, sehingga psikologi dan etika dianggap lebih penting daripada ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan positif yang tetap menjadi bagian dari kesibukan mereka. c. Ciri yang ditandai dengan adanya hubungan erat antara hidup dan filsafat. Ciri semacam ini ditemukan dalam setiap sistem filsafat India. Dengan demikian, baginya filsafat bukan sekedar sport otak, tetapi merupakan suatu usaha kebenaran yang dapat membebaskan manusia. Jadi, ciri ini adalah suatu bentuk pragmatisme, namun bukan berarti bahwa kebenaran diukur dari sifat praksisnya, sebab kebenaran itu sendiri dapat membawa keselamatan. Di sini keselamatan biasanya didekati secara negatif, yaitu sebagai bebas dari penderitaan, kelahiran kembali dan sebagainya, namun secara positif bahwa keselamatan dimaksudkan sebagai pencapaian hidup yang lebih penuh dan kebahagiaan abadi. Keselamatan dalam arti positif dapat terwujud bila jiwa mencapai kemurniannya yang semula, atau bila terjadi identifikasi dengan yang absolut yaitu bersatu dengan Tuhan, atau juga bila jiwa mencapai eksistensi abadinya. d. Ciri yang membuat filsafat India lebih bersifat idealis, yaitu tampak bahwa
WIDYA WRETTA
22 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
filsafat India mempunyai tendensi introspektif. Kenyataan ini dapat dilihat bahwa tendensi filsafat India, khususnya Hinduisme mengarah kepada monisme idealis. Hal ini bukan berarti bahwa tidak ada dualisme atau pluralisme, dan kalau memang toh ada dualisme dan pluralisme, itu telah diresapi oleh ciri monistik yang kuat. e. Ciri yang menyatakan bahwa hanya intuisilah yang diakui mampu memahami kebenaran tertinggi. Ciri ini bukan berarti bahwa rasio ditolak, hanya saja rasio dan pengetahuan intelektual dianggap tidak mencukupi. Oleh sebab itu, kata yang tepat untuk filsafat adalah darsana, yaitu dari kata dasar “drs” berarti melihat dan suatu pengalaman intuitif langsung. f.
Ciri yang menerima akan adanya otoritas, meskipun demikian dalam taraf tertentu, sistem filsafat India berbeda beda dalam keterikatannya dengan sruti. Hal ini dapat dipahami bahwa tidak satu pun sistem sistem yang ada secara terang terangan mengabaikan insight intuitif yang diajarkan oleh para guru, seperti Upanisad, Budha, atau Mahavira, kecuali Carvaka.
g. Ciri yang menunjukkan adanya tentdensi untuk mendekati berbagai aspek pengalaman dan realitas dengan pendekatan sintesis. Ciri ini sejaman dengan Rg Veda yang memahami bahwa agama yang benar akan mencakup semua agama, sehingga “Tuhan itu satu”, namun manusia menyebutnya dengan banyak nama. Sebagai konskuensinya
yaitu, bahwa agama dan filsafat, pengetahuan dan perbuatan, intuisi dan pemikiran, Tuhan dan manusia, noumena dan fenomena, semua dipandang sebagai dan diletakkan dalam suatu harmoni justru karena adanya tendensi sintesis ini. Jadi, visi sintesis ini yang menyebabkan semua sistem dapat hidup dalam toleransi. Filsafat India selain mempunyai ciri ciri seperti telah disebutkan di atas, juga lahir dari agama Hindu, sehingga keduanya saling melengkapi. Kenyataan ini dapat dipahami, yaitu bila agama tidak menunjukkan dinamikanya, maka muncullah pemikiran yang sifatnya filsafati, yaitu berupa kritik untuk mempertahankan kebenaran. Lebih dari itu, apabila agama tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan karena adanya perubahan jaman, maka tampillah tokoh tokoh baru dengan maksud untuk mengadakan perubahan dalam bidang kerokhanian (Robert C. Zaehner, 1992: 69). Hal tersebut menunjukkan bahwa filsafat India bersifat kritis, sebab senantiasa mengadakan koreksi terhadap agama. Sebaliknya, meskipun agama dan tradisi sosial sangat besar pengaruhnya terhadap rakyat, namun tidak akan menghambat penyelidikan filsafat, karena orang India mempunyai kebebasan untuk menggunakan pendapatnya. Di atas juga telah disebutkan bahwa filsafat India menekankan pada faktor subjektif, ini berarti bahwa dalam membahas manusianya sendiri bermaksud untuk meningkatkan derajat manusia sampai pada tingkat yang setinggi tingginya. Jadi, filsafat India dapat mengandung makna sebagai pengatur dalam kehidupan manusianya, dan senantiasa dapat
memberikan petunjuk maupun bimbingan kepada orang India dalam melaksanakan segala macam kegiatannya. C. Aliran-aliran Filsafat India dan Perkembangannya Filsafat India sejak lahir, tumbuh, dan perkembangannya memerlukan waktu yang relatif panjang, yaitu meliputi berabad abad lamanya. Filsafat India dalam tradisi pemikirannya, mempunyai berbagai macam aliran, yang kadang kadang antara aliran satu dengan aliran lainnya, mengandung perbedaan bahkan pertentangan, namun mempunyai tujuan akhir sama, yaitu kelepasan. Filsafat India secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua aliran, yaitu Hinduisme dan Buddhisme (Radhakrishnan, 1958: 43). Hinduisme sering disebut sebagai aliran ortodox, dalam arti bahwa pemikirannya mendasarkan pada otoritas Weda, sedangkan Buddhisme biasa disebut sebagai aliran heterodox, yaitu suatu aliran yang pemikirannya tidak mendasarkan pada otoritas Weda. Di samping dua aliran tersebut, masih ada aliran heterodox yang lain, yaitu Jainisme dan Carvaka, namun kedua aliran disebut terakhir ini di India kurang berkembang dan kurang pengaruhnya. Filsafat India selain mempunyai aliran aliran seperti disebutkan di atas, masih banyak mempunyai aliran aliran lain, seperti Nyaya dan Waisesika, Sankhya dan Yoga, Purva Mimamsa, dan Uttara Mimamsa. Meskipun demikian, pada bahasan kali ini dengan sengaja hanya akan dikemukakan dua macam aliran pemikiran filsafat India, yaitu Hinduisme dan Buddhisme, karena beberapa aliran lain Dimensi Kreatif Dalam Pemikiran Filsafat India Sudadi
23
yang lebih kecil, pemikirannya bersumber pada Hinduisme atau pun Buddhisme. Tentang aliran Hinduisme dan Buddhisme dapat dipahami sebagai berikut: 1. Aliran Hinduisme, yaitu suatu aliran yang menurut Swami Vivekananda (1946: 12) bahwa Hinduisme adalah suatu agama di India yang bersifat universal, karena mendasarkan pada kitab Weda. Hal ini dapat dimengerti karena bagi pemeluknya berkeyakinan bahwa yang termuat dalam kitab Weda adalah mutlak benar, merupakan wahyu Tuhan, dan Weda merupakan kitab yang tiada awal dan tiada akhir seperti dikatakan oleh Radhakrishnan (1958: 3) sebagai berikut the Vedas give us abundant information respecting all that is most interesting in the contemplation of antiquity. Aliran Hinduisme dapat diibaratkan sebagai rimba raya yang penuh pohon-pohon rindang, sebab di dalamnya terkandung, seperti agama, bentuk bentuk kultur, mistik, kultus, etika, estetika, dan mazab mazab yang dasarnya filsafat. Dengan demikian barang siapa yang ingin mempelajari aliran Hinduisme, bila tidak paham betul, akan terjebak dalam aliran rokhani yang rumit, sehingga hampir tidak menemukan jalan (Honig, 1959: 62). Aliran Hinduisme dalam pertumbuhan dan perkembangannya, telah mengalami perubahan-perubahan, baik berupa usaha penyempurnaan maupun yang menentangnya. Sebagai konsekuensinya, maka dalam Hinduisme timbul aliran yang bermacam macam, yang
WIDYA WRETTA
24 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
di dalamnya mencakup aliran aliran agama yang berdasarkan cara pemikiran yang berlainan. Berdasar kenyataan di atas, aliran Hinduisme sering dikatakan mencakup semua agama di India, bahkan Buddhisme pun merupakan cabangnya (P. T. Raju, 1971: 31). 2. Aliran Buddhisme. Kata Buddhisme berasal dari kata “buddh” yang artinya bangun, yaitu bangun dari kesesatan (Honig, 1959: 126). Perkembangan arti selanjutnya, bahwa Buddha artinya “yang sudah dicerahi”, yaitu sebutan bagi tokoh rokhani yang pernah menjelma pada pribadi Sidharta. Jadi aliran Buddhisme adalah kebangkitan yang merupakan reaksi terhadap kebiasaan kebiasaan yang berlaku pada zaman Hindu khususnya pada zaman Brahmana yang berupa upacara keagamaan yang berlebihan. Aliran Buddhisme lahir ketika di India terjadi kekacauan politik dan kegelisahan spiritual, serta tergesernya dasar dasar keagamaan yang lama. Pada masa itu menganggap bahwa upacara korban dinilai semakin berbelit belit, sehingga orang menjadi tidak pasti terhadap upacara korban yang dimonopoli oleh para pemuka agama. Selain itu Buddhisme juga merupakan suatu reaksi terhadap pemikiran filsafati Upanisad. Aliran Buddhisme selain memuat ajaran agama dan etika, juga merupakan suatu sistem filsafat. Aliran Buddhisme mempunyai ciri ciri, yaitu (a). Pesimistik, artinya bahwa hidup yang merupakan penderitaan dipandang sebagai suatu yang
riil dan eksistensial. Pengertian pesimis di sini tidak cenderung pada sikap putus asa, sebab terkandung upaya mengatasinya; (b). Optimistik , artinya bahwa dalam hidup menolak pada hal hal yang bersifat spekulatif, dan mengesampingkan hal hal yang secara pasti tidak dapat diketahui. Oleh sebab itu, manusia dalam membebaskan dari penderitaan, harus bertolak dari fakta kehidupan, bukan dengan ritual; (c). Pragmatik, artinya bahwa hidup adalah mengutamakan hal yang bermanfaat untuk mengatasi penderitaan. Oleh sebab itu, pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan seharihari harus dijadikan titik tolak dalam mencapai kesempurnaan; (d). Saintifik, artinya bahwa pengalaman pribadi digunakan sebagai sarana untuk mencari hubungan sebab akibat; (e). Empiristik, artinya bahwa pengalaman pribadi dalam hidupnya dijadikan sebagai sesuatu yang dianggap benar; (f). Demokratis, artinya bahwa dalam aliran Buddhisme mempunyai paham yang tidak membedakan status manusia satu dengan yang lain dalam kedudukannya di masyarakat; (g). Terapeutik, artinya dalam aliran Buddhisme mempunyai pandangan bahwa bagi pengikutnya senantiasa menyembuhkan penderitaan terhadap sesama manusia. Pemikiran filsafat India tidak hanya berkembang di negaranya sendiri, melainkan juga sempat berkembang ke negara-negara lain, seperti Srilangka, Birma, Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, Tibet, Mongolia,
Jepang, Korea, Cina, dan Indonesia. Pemikiran filsafat India di negara-negara seperti disebutkan di atas, ternyata juga memberi warna pada pemikiran bangsa yang bersangkutan. Bila dikaji secara saksama tentang aliran Hinduisme dan aliran Buddhisme, tampak sekali perbedaannya, maka sangat kecil kemungkinannya bahwa kedua aliran dimaksud dapat bersatu. Namun di India kenyataannya tidak demikian, karena keduanya baik aliran Hinduisme maupun aliran Buddhisme mampu bersatu. Hal itu secara empiris tampaknya bahwa aliran pemikiran Buddhisme telah lenyap dari India, namun sebenarnya bahwa aliran pemikiran Buddhisme telah diberi tempat tersendiri dalam aliran pemikiran Hinduisme. Kenyataan ini karena ada beberapa faktor yang sebagai latar belakangnya sehingga menyebabkan aliran pemikiran Hindiusme menerima aliran lain seperti aliran Buddhisme. Faktor-faktor yang menjadi latar belakang bahwa aliran pemikiran Hinduisme menerima aliran aliran lain di India seperti aliran Buddhisme adalah sebagai berikut: a. Pandangan aliran Hinduisme menganggap bahwa sistem pandangan yang ada di India dilihat sebagai sesuatu yang saling melengkapi, sehingga hal tersebut memungkinkan adanya suatu kecenderungan pada visi sintesis yang dapat memungkinkan adanya toleransi intelektual dan religius terhadap adanya perbedaan dengan sistem-sistem yang lain. Lain dari itu, bahwa aliran Hinduisme
Dimensi Kreatif Dalam Pemikiran Filsafat India Sudadi
25
juga bukan merupakan suatu sistem yang bersifat doktriner, melainkan memiliki cakupan yang luas dan toleran terhadap berbagai pandangan (John Tondowidjojo, 1983: 18). b. Aliran Hinduisme maupun aliran Buddhisme dalam perkembangannya semakin memperlunak perbedaan perbedaan yang ada pada keduanya. Oleh karena itu dengan diterimanya pandangan aliran Buddhisme oleh aliran Hinduisme, maka hal itu dianggap sebagai kembalinya “anak nakal aliran Hinduisme” (Huston Smith, 1985: 185). c. Melihat suramnya perkembangan pengaruh aliran Buddhisme di India, maka alternatif menyatu dengan aliran Hinduisme adalah merupakan suatu pilihan yang terbaik, sebab kondisi sosial dan politik yang tidak memungkinkan sebagai akibat pasang surutnya pemerintahan di India. Latar belakang seperti telah disebutkan di atas itulah yang sebagai penyebab bersatunya antara aliran Hinduisme dan aliran Buddhisme. Unsur-unsur aliran Buddhisme yang dapat diterima oleh aliran pemikiran Hinduisme, yaitu antara lain prinsip cinta kasih. Prinsip cinta kasih dimaksud, ternyata dapat mengembangkan pedoman perilaku manusia terhadap diri sendiri, alam semesta, dan terhadap Realitas Tertinggi yang berada di luar diri manusia. Lebih dari hal itu, kebebasan manusia juga tumbuh, kultus individu mulai turun, dan kesewenangwenangan tampak berkurang.
WIDYA WRETTA
26 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Berdasar dari kenyataan di atas, dapat dikatakan bahwa penyatuan antara aliran Hinduisme dan aliran Buddhisme membawa angin sejuk bagi masyarakat India, dan menempatkan harkat maupun martabat manusia sesuai dengan kodratnya. Untuk maksud tersebut Nehru dalan Huston Smith (1985: 189) berkata bahwa bangsa India adalah bangsa yang sangat toleran dalam pemikiran atau filsafatnya, namun sangat tidak toleran dalam kehidupan sosialnya. D. Selayang Pandang Tentang Dimensi Kreatif Dalam Pemikiran Filsafat India Proses berpikir kreatif, Arthur Koestler dalam bukunya, The Art of Creativity telah mengajukan teori berpikir bisosiatif, yaitu sebagai cara melukiskan proses kreativitas. Jenis berpikir yang kreatif, divergen, dan imaginatif, yang dibedakan dari berpikir konvergen, logis, dan analitis sebagaimana menjadi tugas dan fungsi dari masing-masing belahan otak kanan dan kiri, telah dilukiskannya sebagai proses berpikir bisosiatif (Conny R. Semiawan, dkk., 1988: 67). Jadi, kalau bagi berpikir analitis berlaku peraturan yang memungkinkan suatu pendekatan logis dan vertikal, yang menuju kepada satu jawaban tunggal atau dapat diramalkan sebelumnya, maka berpikir holistik dan imaginatif merupakan proses berpikir kreatif yang mempertimbangkan berbagai kemungkinan terutama merupakan ciri, tugas, dan fungsi belahan otak kanan, Koestler menganggap bahwa dalam proses berpikir kreatif, pikiran dalam mencari jawaban terhadap suatu persoalan pada suatu
bidang mengembara sepanjang permukaan bidang itu. Dengan demikian dalam panorama dimensi kreatif pemikiran filsafat India, sekurang-kurangnya dapat dipahami melalui dimensi-dimensi sebagai berikut: 1. Dimensi Ontologis. Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada dan yang ada ini akan membuahkan pengetahuan manusia, seperti Tuhan (Surajiyo, 2008: 151). Oleh sebab itu, dalam hal ini dimensi ontologis dalam pemikiran filsafat India mengacu pada keberadaan Tuhan, sebab bagi masyarakat India, perihal keyakinan dan ketaatan kepada Sang Tunggal merupakan dasar, tujuan, dan jiwa dari pandangan kefilsafatnnya (Boekhandel Bing Sien, 1939: 30). Hinduisme dalam pemikiran filsafatinya memiliki berbagai macam istilah untuk menyebutnya, seperti untuk menyebut hakekat Realitas Tertinggi sebagai yang diperTuhan, dan hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Lin YuTang (1949) bahwa pada dasarnya rakyat India cinta terhadap Tuhan. Pada jaman Weda Kuno, orang India menyembah kepada para Dewa, karena merekalah yang dianggap dapat menolong manusia, sehingga Dewa inilah yang sangat dihormati. Hal senada seperti dikatakan oleh Suwandi Sandiwan Brata (dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, 1993: 22) bahwa dalam pelacakan peradaban Mahenjo Daro (th. 4000 SM) disebutkan telah ditemukan semacam pemujaan terhadap dewa dewa, seperti dewi kesuburan, hal ini merupakan
suatu praktik religius yang lebih berorientasi keluar, dan praktik meditasi yoga. Selanjutnya pada jaman Brahmana peranan Dewa terdesak oleh korban, namun karena dalam kehidupan keagamaan itu mengharuskan adanya sesuatu yang diperTuhan, maka timbullah banyak Dewa baru yang dipandang memiliki kasamaan sifat, sehingga muncullah pandangan bahwa segala sesuatu berasal dari satu asas (monisme). Pada jaman ini yang dianggap sebagai sebab pertama dari segala sesuatu yang ada yaitu Brahman atau Prajapati. Oleh sebab itu pada jaman Brahman yang dianggap sebagai realitas tertinggi adalah Brahman atau Prajapati. Perkembangan selanjutnya adalah jaman Upanisads, yaitu merupakan penyempurnaan dari Pantheisme, sehingga Brahman dianggap sebagai asas alam semesta, sedangkan Atman merupakan asas hidup manusia. Hal ini juga ditegaskan oleh Suwandi Sandiwan Brata (dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, 1993: 23) yang mengatakan bahwa puncak penemuannya adalah tersingkapnya sayasca ayam purusa yasca ditye sa ekah (Indonesia: dia yang ada dalam manusia dan dia yang ada dalam matahari adalah satu), dan bahwa Satyam Brahman (Inggris: the True Brahman) adalah ahah (Indonesia: cahaya) di dalam matahari dan aham (Indonesia: saya) di dalam manusia. Lebih tegasnya oleh L. D. Barnett (1913: 27) disebutkan bahwa Brahman dan Atman adalah sebagai Tuhan dan Jiwa. Akhirnya, pada jaman bangkitnya aliran pemikiran Hinduisme sesudah masa Buddhisme, muncul pula para dewa, namun dari mereka yang ada itu hanya ada satu yang dianggap tertinggi, sedang yang lain sebagai Dimensi Kreatif Dalam Pemikiran Filsafat India Sudadi
27
penjelmaannya, dan Dewa yang tertinggi tersebut disamakan dengan Brahman. Brahman dalam hal ini merupakan yang ada, yang tak berubah, melampaui ruang dan waktu, asal material dari alam raya maupun pelaku penciptaan. Sementara aliran pemikiran Buddhisme di dalamnya dinyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang tetap, namun dalam keadaan yang selalu berubah. Oleh sebab itu, semuanya serba menjadi dan menghilang lagi, sehingga hidup ini sebenarnya merupakan penjadian dan peniadaan, dan yang ada kemarin bukanlah yang ada sekarang, dan bukan yang ada besok. Teori tentang gerak yang tidak ada henti hentinya itu adalah suatu kompromi antara dua pandangan yang saling bertentangan, yaitu yang percaya akan “ada” dan “tidak ada”. Hal tentang menjadi ini dapat dibandingkan dengan di Barat pendapat salah seorang filsuf Yunani Kuno, yaitu Herakleitos yang hidup sekitar tahun 500 SM, yang mengatakan bahwa “kita ada dan kita tidak ada”. Pada bentuk paradoks ini Herakleitos mengatakan bahwa perubahan merupakan satu satunya kemantapan, seperti dengan ucapannya “It rests by changing” (Bertens, 1987: 43). Oleh karena itu menurut Herakleitos jika disimpulkan, yaitu tidak ada sesuatu pun yang betul betul “ada”, semuanya “menjadi”. Jadi sesuatu yang benar itu bukanlah “ada” dan bukan pula “tidak ada” tetapi “menjadi”. Maka dari itu, realitas tidak disangkal, tetapi realitas itu diberi arti yang lebih dinamik, dalam arti bahwa ada perubahan, tetapi tidak ada satu pun yang berubah, maksudnya bahwa tidak ada subjek
WIDYA WRETTA
28 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
permanen. Konsep Buddhisme tentang Tuhan perlu disadari bahwa kurang jelas, namun dalam perkembangan selanjutnya ada suatu pengakuan terhadap suatu misteri yang terdalam dari suatu keberadaan yang menimbulkan rasa segan, takut dan hormat manusia. 2. Dimensi Epistemologis Epistemology adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur, dan validitas atau kebenaran pengetahuan (Surajiyo, 2008: 151). Jadi pemikiran filsafat Hinduisme dalam tataran dimensi Epistemologis terkandung pemikiran bahwa pengetahuan mempunyai arti yang sangat penting, karena pengetahuan merupakan salah satu jalan untuk mencapai kelepasan atau kebebasan manusia dari penderitaan (samsara) menuju ke alam spiritual (Frans Vreede, 1953: 60). Hal ini senada dengan pendapat Thomas F. Michel (1979: 80) yang mengatakan bahwa melalui pengetahuan manusia akan menempuh jalan yang sangat pendek, tercepat, namun sangat curam, karena memerlukan kombinasi antara kekuatan intelek dengan kekuatan yang besarnya luar biasa. Manusia melalui pengetahuannya akan mampu melawan ketidak tahuannya (awidya), dan lebih tepatnya disebut dengan istilah “belum tahu”. Ketidak tahuan manusia bukanlah berarti belum tahu terhadap fenomena fenomena alam, akan tetapi belum tahu mengenai hakekat Realitas Tertinggi yang dipandang sebagai asas pertama. Jika manusia dapat mengetahui Realitas Tertinggi, maka mereka juga akan mengetahui siapakah “aku”, dan
bagaimana aka terhadapNya. Akan tetapi sebaliknya, bahwa dengan mengetahui siapakah aku, maka akan dapat diketahui pula Realitas Tertinggi. Pemikiran seperti disebutkan dalam dimensi epistemologi ini, dalam filsafat Hinduisme didasarkan pada suatu anggapan bahwa masalah kejadian alam semesta dan isimya adalah melalui proses emanasi (pelimpahan). Sedangkan dimensi epistemologi dalam pemikiran filsafat Buddhisme, disebutkan bahwa pada tubuh manusia terdapat mata, telinga, lidah, hidung, peraba, dan roh (Fernandes, 1990: 69). Oleh sebab itu unsur unsur yang telah disebutkan itu kontak dengan objek objek secara mekanis yang kemudian membentuk pengertian atau gambaran rohani yang disebut pengetahuan. Dan sebagai catatan dalam dimensi epistemologis pemikiran filsafat Buddhisme menyebutkan bahwa yang diketahui oleh manusia adalah bersifat sementara. 3 . Dimensi Aksiologis Jika dipahami secara dimensi aksiologis, maka pemikiran filsafat Hinduisme mengandung beberapa kebenaran yang hampir tidak pernah dipermasalahkan, sebab kebenaran tersebut mempunyai nilai nilai yang sangat urgen, yaitu berupa: (a). Kama, artinya suatu kenikmatan atau kesenangan duniawi. Filsafat Hinduisme secara implisit maupun eksplisit sama sekali tidak menganggap bahwa kenikmatan atau kesenangan di dunia ini merupakan tujuan tertinggi. Pada awalnya para penganut pamikiran filsafat Hinduisme mempunyai anggapan, yaitu bahwa kehidupan dalam dunia ini menyenangkan,
perkembangan lebih lanjut bahwa anggapannya itu, meskipun menyenangkan, tetapi tidak memuaskan dan tidak memberikan kebahagiaan. Memerka memandang bahwa kenikmatan di dunia ini merupakan nilai duniawi yang sifatnya sekunder, kerena itu dicarinya kenikmatan yang lebih tinggi; (b). Dharma, artinya suatu bentuk realitas yang membuat segala sesuatu menjadi sebagaimana adanya, atau sesuatu yang mengatur alam semesta dalam suatu tatanan kosmis dan mengatur manusia dalam suatu tatanan moral. Atas dasar arti seperti telah disebutkan, maka dharma dipandang sebagai suatu “hukum tang abadi” atau “hukum yang kekal”. Lebih dari hal itu, dharma juga dapat diartikan kejujuran, ketulusan hati, tidak merugikan orang lain, kebersihan, kesabaran, dan cinta kasih; (c). Reinkarnasi, artinya adalah suatu kepercayaan tentang kelahiran kembali, dan kepercayaan ini diterima oleh semua sistem filsafat India. Yang dipandang bukan sebagai dogma, melainkan sebagai fakta eksistensi. Hidup yang tidak baik dapat juga menuju reinkarnasi, namun ke dalam taraf hidup yang lebih rendah, akan tetapi sebaliknya yaitu bila hidupnya baik, maka dapat menuju ke suatu eksistensi yang baik pula. Jadi, prinsipnya bahwa reinkarnasi didasarkan pada struktur moral secara alamiah; (d). Karma, artinya adalah suatu keyakinan bahwa setiap perbuatan akan memperoleh akibat sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan. Intinya bahwa karma adalah merupakan “penaburan dan panenan” (John Tondowidjojo, 1983: 18). Karma pada prinsipnya mengandung pengertian bahwa Dimensi Kreatif Dalam Pemikiran Filsafat India Sudadi
29
perbuatan yang telah dilakukan akan menentukan bentuk yang akan diambil dalam setiap eksistensi baru. Jadi, karma merupakan hukum sebab akibat dalam kehidupan manusia, sehingga manusia melalui tingkah lakunya akan menentukan takdirnya sendiri; (e). Moksa, artinya sebagai suatu nilai abadi dan ideal spiritual yang tertinggi dalam filsafat Hinduisme. Jadi, moksa mempunyai pengertian sebagai suatu pembebasan manusia dari suatu lingkaran penderitaan yang tiada henti hentinya, baik dengan jalan yadnya (amal), bakti maupun pengetahuan. Hal di atas berbeda dengan filsafat Buddhisme, sebab dalam filsafat Buddhisme terdapat doktrin yang mencakup tiga hal yang disebut Triratna, yaitu: (A). Buddha, artinya tokoh yang berasal dari suatu asas rokhani yaitu “kebuddhaan” atau tabiat kebuddhaan yang tersembunyi dalam diri setiap orang yang menjadi Buddha termasuk Sidharta (Harun Hadiwijono, 1971: 54). Atas dasar inilah bagi penganut paham Buddhisme mempunyai anggapan bahwa Sidharta bukanlah manusia biasa, sebab di dalam dirinya terdapat “pribadi yang sebenarnya”, yang lepas dari ikatan apapun. Hal inilah yang menyebabkan Sidharta merupakan figur mempesonakan berjiwa besar dan berbudi luhur. Lebih dari hal tersebut bagi Sidharta adalah faktor kualitas pribadinya sehingga menyebabkan Buddhisme dapat berpengaruh dan berkembang di India maupun di luar India. Sidharta yang berbudi luhur dan berjiwa besar itu lahir pada kira kira tahun 563 Sebelum Masehi di suatu daerah yang terletak sekitar
WIDYA WRETTA
30 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
40 mil sebelah selatan pegunungan Himalaya (Ananda dan Nevedita, 1967: 225); (B). Dharma, artinya doktrin yang diberikan oleh Buddha setelah mencapai pencerahan. Dalam sumber berbahasa Pali disebutkan bahwa doktrin Buddha yang pertama kali disebut “Catur Arya Satyani” yang artinya empat kebenaran mulia (Y.W.M. Bakker,1976: 1) yang isinya adalah: (1). Dukha Satya, artinya hidup dalam segala bentuknya merupakan suatu penderitaan; (2). Samudaya Satya, artinya keinginan dan nafsu merupakan sebab dari penderitaan; (3). Nirodha Satya, artinya penderitaan itu dapat dilenyapkan atau dipadamkan; (4). Marga Satya, artinya adalah untuk melenyapkan atau memadamkan penderitaan. Dari uraian tentang filsafat Buddhisme di atas, dapat dipahami bahwa terdapat adanya jalan untuk memadamkan penderitaan dengan maksud mencapai kelepasan, yang merupakan tujuan akhir dari Buddhisme. Jalan dimaksud harus ditempuh dengan “jalan delapan tingkatan” atau “jalan bersifat delapan” atau “delapan jalan tengah”. Isi dari jalan delapan tingkatan yaitu: (a). Iman yang benar, artinya bahwa orang harus percaya dan mempercayakan pembebasan dari penderitaan Triratna (isinya: Budhha, Dharma, Sangha); (b). Niat yang benar, artinya bahwa tanpa niat yang benar, manusia tidak akan mampu membuat dan mengatur usahanya yang sebenarnya; (c). Kata kata yang benar, artinya bahwa manusia harus dapat menjaga atau mengatur lidahnya, yang maksudnya adalah dapat dipercaya, ramah, sopan, rendah hati, dan baik hati; (d). Perbuatan yang benar, artinya
bahwa tingkah laku manusia harus didasarkan pada maksud yang suci; (e). Hidup yang benar, artinya bahwa manusia harus mempunyai tujuan yang serasi, selaras, seimbang dan simultan antara aspek lahir dan batin; (f). Usaha yang benar, artinya bahwa manusia harus disiplin, menentang segala macam bentuk kejahatan dan mengutamakan kebajikan; (g). Pikiran yang benar, artinya bahwa bagi manusia kesadaran diri merupakan unsur yang penting dalam mencapai kelepasan; (h). Samadhi atau pemusatan pikiran yang benar, artinya bahwa manusia dapat mengenal diri sendiri tentang kebenarannya melalui meditasi dan samadhi, sehingga melalui cara demikian kelepasan akan dapat tercapai. (C). Sangha adalah suatu perkumpulan para rahib (imam = bhiksu) yang dipandang dapat menciptakan suasana kerokhanian. Peranan Sangha sangat penting, sebab amat dibutuhkan dalam Buddhisme merealisasikan ajarannya. Hal ini ditegaskan pula oleh To Thi Anh (1984: 29) bahwa dalam filsafat Buddhisme memuat nilai nilai kemasyarakatan yang tinggi, sehingga mendorong moralitasnya untuk memberikan sumbangan bagi proses humanisasi di Timur. 4. Dimensi antropologis Pemikiran filsafat India dalam dimensi antropologis tampak sekali bahwa pandangannya tentang manusia menyebutkan, bila jiwa manusia tidak dapat mati, maka manusia dalam kehidupannya harus berbuat baik, agar jiwanya kembali bersamaNya. Pada masa Brahmana disebutkan bahwa manusia terdiri dari dua hal, yaitu pertama adalah bagian yang tampak, dan yang kedua adalah bagian yang tidak tampak, oleh sebab
itu bagian yang tidak tampak inilah yang disebut jiwa yang tidak dapat mati atau kekal. Sedangkan pada jaman Upanisad, manusia dipandang terdiri dari dua hal juga, namun dua hal dimaksud adalah badan jiwa yang mengalir dari Brahman (dalam filsafat Barat proses ini disebut Emanasi). Pendek kata bahwa manusia pada hakekatnya adalah Brahman, artinya bahwa manusia sebagai mikrokosmos yang di dalamnya mengandung makrokosmos. Hal senada juga dapat dilihat dalam epos Ramayana yang di dalamnya tersirat bahwa manusia sebagai makluk yang terdiri dari jiwa dan raga. Jiwa manusia tidak dapat mati, dan tidaklah berhenti dari kelahiran kembali adalam arti reinkarnasi, namun untuk kebahagiaannya secara eksistensial adalah di Nirwana. Oleh sebab itu ketakutan akan kehilangan Nirwana dapat sebagai motivasi dan mengatur tingkah laku manusia. Dan yang perlu diketahui juga bahwa manusia itu tetap mempunyai rasa ketergantungan, namun ketergantungan dimaksud seperti dikatakan oleh Suparlan Suhartono (dalam Dasar-dasar Filsafat, 2007: 12), yakni bahwa ketergantungan manusia kepada Sang Pencipta itu bukanlah semata-mata, melainkan ketergantungan yang ber-keluluasaan. Lain halnya dengan yang tersirat dalam epos Mahabarata. Dalam Mahabarata dijelaskan bahwa manusia dipandang sebagai makluk yang terdiri dari dau hal, yaitu roh dan raga. Hubungan antara roh dan raga adalah yang menyebabkan adanya suatu aktivitas, namun aktivitas itu tetap merupakan milik raga, sedangkan roh hanya merupakan penonton.
Dimensi Kreatif Dalam Pemikiran Filsafat India Sudadi
31
Pandangan tentang manusia yang merupakan salah satu keyakinan dalam pemikiran filsafat India adalah pandangan dari Bhagavadgita. Bhagavadgita di dalamnya menyebutkan bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga, namun jiwa seolah olah senantiasa mendapat tekanan dari raga. Oleh karena itu jiwa selalu mendapat pengaruh dari hal hal yang sifatnya duniawi. Tetapi perlu diketahui bahwa dalam Bhagavadgita disebutkan, bila tujuan hidup manusia adalah untuk kembali ke asalnya yaitu Brahman, maka tujuan manusia yang seperti yang tersirat dalam Bhagavadgita itulah yang senada dengan pandangan dalam filsafat Hinduisme. Berbeda halnya dengan pandang Buddhisme tentang manusia. Buddhisme memandang bahwa pada manusia ada yang tetap, yaitu berupa pribadi, meskipun hal ini sifatnya abstrak. Dalam hal ini pribadi manusia adalah berupa kelompok “nama dan rupa”, yaitu merupakan kelompok bathiniah dan lahiriah yang dapat dibedakan dalam liwa skandha (arti: pengumpulan). Pengumpulan (skandha) yaitu, (a). Rupa (apa yang tampak); (b). Wedhana (perasaan); (c). Sanjna (pengamatan); (d). Samskara (kehendak); dan (e). Wijnana (kesadaran). Kelima hal yang telah disebutkan itu keberadaannya selalu berubah, dan tidak merupakan pribadi manusia yang substansial dan permanen. Manusia dianggap mempunyai aku yang benar ada, dan tampak sebagai sesuatu yang tetap karena ketidaktahuan (awidya) dari manusia, hal inilah menimbulkan keinginan bagi manusia.
WIDYA WRETTA
32 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
E. Refleksi Pemikiran Filsafat India di Era Kontemporer Deepak Lal (dalam Helen Hughes, 1992: 269) Guru Besar Ekonomi di University College London yang juga menjabat sebagai Penasehat Riset Bank Dunia, dan menulis buku dengan judul The Hindu Equilibrium pada tahun 1986, mengatakan bahwa jika pada tahun 1950an seseorang diminta meramalkan tentang Negara Dunia Ketiga manakah yang sangat mungkin untuk memulai revolusi industri dan mempunyai prospek terbaik pertumbuhan ekonominya, maka pilihannya pasti India, karena memiliki sarana pendukung, seperti pasaran domistik yang besar, sumber daya alam yang beragam, dan sistem birokrasi serta kepemimpinan politik yang cenderung terikat pada pembangunan. Tetapi kenyataannya menunjukkan hal yang berbeda, dan justru hasilnya malah mengecewakan bila dibanding dengan Empat Serangkai di Asia Timur, seperti Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan. Sebagai alasannya adalah faktor ideologi dan lingkungan, mengapa demikian. India memang telah menerapkan strategi industri berat, yaitu dengan melaksanakan kebijakan strategi substitusi impor, tetapi biaya sosial sebagai imbalannya terlalu mahal (Lal Deepak, 1992: 272). Hal tersebut adalah disebabkan oleh industri berat dan teknologi yang relatif besar modalnya, sehingga pengangguran dan kemiskinan tidak dapat diatasi. Lebih lebih dengan adanya prediksi bahwa nanti di awal abad ke 21 penduduk India mencapai 1 milyard orang, yang berarti peningkatan angkatan kerja dapat mencapai 420 juta orang (Thee Kian Wie,
1981: 114). Oleh sebab itu sebagai konsekuensinya bagi negeri India adalah menciptakan lapangan kerja yang memadai, sehingga kemiskinan dan pengangguran dapat berkurang. India menyadari akan suramnya prospek perekonomian negara, maka tampillah pemikiran baru dari aliran Neo Gandhiiis yang ingin kembali kepada cita cita Mahatma Gandhi, yaitu “plain living and high thingking” (Indonesia: pemikiran yang luhur dan kehidupan sederhana) dengan paradigma baru. Untuk mewujudkan di India yang pemikirannya secara filosofis, yaitu lebih mengutamakan tujuan spiritual daripada tujuan material. F. Kesimpulan Selayang pandang tentang dimensi kreatif pemikiran filsafat India menunjukkan bahwa filsafat India mempunyai kecenderungan bersifat spiritual, namun pada kenyataannya tidak mengabaikan sama sekali pada hal hal yang bersiwat duniawi. Kenyataan ini karena filsafat India mempunyai tujuan akhir kelepasan sebagai kebahagiaan tertinggi, namun juga berusaha memecahkan masalah masalah yang dihadapi manusia di dunia. Jika dilihat bahwa Pancasila yang menjadi falsafah bangsa Indonesia di dalamnya antara lain terkandung nilai kerokhanian, maka menunjukkan bahwa antara filsafat Pancasila dan pemikiran yang terkandung dalam filsafat India, bisa ada titik singgungnya, meskipun tidak seluruhnya. Titik singgung dimaksud antara lain adalah adanya persamaan, yaitu menunjuk pada nilai yang sifatnya rokhani.
DAFTAR PUSTAKA Ananda K., Comaraswamy, and Sister Nevedita, 1967, Myth of The Hindus and Buddhist, New York, Dover Publications Bakker, Y.W.M., SY., 1976, Filsafat Timur, Yogyakarta, Institut Filsafat Teologi Barnett, L. D., 1913, The Hearth of India, London, John Murray Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, Penerbit Kanisius Boekhandel “Bing Sien”, 1939, India Soetji, Surabaya Conny R. Semiawan, dkk., 1988, Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu, Bandung, Penerbit Remaja Karya Fernandes SVD., Stephanus Oziah, 1990, Citra Manusia Budaya Timur dan Barat, Flores, Penerbit Nusa Indah Frans Vreede, 1953, A Short Introduction to The Essential of Living Hindu Philosophy, London, Oxford University Press Ghallab, M., 1950, Filsafat Timur, Medan, Penerbit Saiful Harun Hadiwijono, 1971, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta, BPK Gunung Mulia ==============, 1971, Sari Filsafat India, Jakarta, Badan Penerbit Kristen Honig, A. G., 1959, Ilmu Agama, Jakarta, Badan Penerbit Kristen
Dimensi Kreatif Dalam Pemikiran Filsafat India Sudadi
33
Huston Smith, 1985, The Religions of Man, Alih Bahasa Saafroedin Bahar: Agamaagama Manusia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia Lal Deepak, 1992, Ideologi dan Industrialisasi di India dan Asia Timur. Alih Bahasa Mulyadi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama Michel, 1979, Pengantar-agama Agama Dunia, Yogyakarta, Institut Filsafat Teologi Radhakrishnan, Sarvepalli, 1957, A Source Book In Indian Philosophy, Hen Jersey, Princeton University Press Radhakrishnan, 1958, Indian Philosophy, New York, The Macmillan Company Raju, P.T., 1970, Introduction to Comparative Philosophy, Illinois, Racturus Book
WIDYA WRETTA
34 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Robert C. Zaehner, 1992, Kebijaksanaan Dari Timur, Jakarta, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Suparlan Suhartono, 2007, Dasar-dasar Filsafat, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media Surajiyo, 2008, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia, Jakarta, PT. Bumi Aksara Thee Kian Wie, 1981, Pemerataan Kemiskinan Ketimpangan, Beberapa Pemikiran Tentang Pertumbuhan Ekonomi, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan Tondowidjojo, John, 1983, Masalah Pandangan Hidup Ketimuran, Surabaya, Sanggar Bina Tama Vivekananda, Swami, 1946, Hinduisme, Mylapore, Sri Ramakrishna
PERKEMBANGAN DESA WISATA DI DESA PAKRAMAN SUMAMPAN, GIANYAR Oleh: I WAYAN SUBRATA KADEK PARSINI ABSTRAK Bali dengan wilayah yang sangat sempit, tersedia potensi kepariwisataan yang sangat besar dengan beraneka ragam keunikan, seperti upacara keagamaan, adat istiadat, budaya, seni dan keindahan panorama alam serta flora fauna yang sangat memikat kunjungan wisatawan ke Bali. Perkembangan dunia pariwisata sudah memasuki daerah-daerah pedesaan. Masing-masing desa sudah mulai memperkenalkan potensi desanya, salah satunya Desa Pakraman Sumampan. Dalam hal ini daya tarik yang dimiliki oleh Desa Pakraman Sumampan diantaranya letak georafis yang strategis, dekat dengan objek wisata dan fasilitas akomodasi yang cukup memadai. Pengaruh Desa Wisata Terhadap Kehidupan Sosial Religius di Desa Adat Sumampan secara tidak langsung mulai berkembang, dikarenakan perekonomian masyarakat lokal yang mulai mebaik, pelaksanaan kegiatan seni, budaya, agama pun mengalami peningkatan baik ke arah positif maupun negatif. Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab permasalahan: (1) Apakah landasan hukum adanya desa wisata di Desa Pakraman Sumampan?, (2) Bagaimana pengaruh desa wisata terhadap kehidupan sosial religius masyarakat di Desa Pakraman Sumampan?, (3) Manfaat apakah yang dirasakan oleh masyarakat terhadap keberadaan desa wisata di Desa Pakraman Sumampan?. Tujuan Penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui landasan hukum adanya desa wisata di Desa Pakraman Sumampan, (2) Untuk mengetahui pengaruh desa wisata terhadap kehidupan sosial religius masyarakat di Desa Pakraman Sumampan, (3) Untuk mengetahui Manfaat apakah yang dirasakan oleh masyarakat terhadap keberadaan desa wisata di Desa Pakraman Sumampan. Teori yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian ini adalah teori sistem hukum, teori fungsional struktural, dan teori nilai. Penelitian ini berbentuk rancangan kualitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik observai, wawancara, dan kepustakaan. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan teknik analisis deskriptif interpretative. Berdasarkan analisis tersebut, diperoleh simpulan sebagai hasil penelitian sebagai berikut: 1) Landasan adanya desa wisata di Desa Pakraman Sumampan Undang-Undang No. 10 pasal 4 dan 5 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, Undang-
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
35
Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 yang menekankan kepada pembangunan yang lebih difokuskan di daerah pedesaan melalui program PIR (Pariwisata Inti Rakyat) dibuat oleh Departemen Pariwisata dan mulai dijalankan pada tahun 2000. 2) Pengaruh desa wisata terhadap kehidupan sosial religius masyarakat di Desa Pakraman Sumampan yang dapat dirasakan oleh masyarakat yakni mulai bangkitnya kesadaran masyarakat akan pentingnya peranan agama dalam kemajuan pariwisata. Pariwisata di Bali lebih dominan kepada pariwisata budaya, adat-istiadat, dan agama. Hal ini terlihat dari antusianisme wisatawan mancanegara untuk terjun langsung mengikuti upacara yang dilakukan di pura khususnya di Desa Pakraman Sumampan. 3) Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat terhadap keberadaan desa wisata di Desa Pakraman Sumampan yaitu: (1) Manfaat desa wisata terhadap lingkungan, (2) Manfaat desa wisata terhadap kebudayaan, (3) Manfaat desa wisata dari aspek sosial, dan (4) Manfaat desa wisata dalam bidang politik.
Kata Kunci : Desa Wisata Sosioreligius
1. Latar Belakang Masalah Bali dengan wilayah yang sangat sempit, tersedia potensi kepariwisataan yang sangat besardengan beraneka ragam keunikan, seperti upacara keagamaan, adat istiadat, budaya, seni dan keindahan panorama alam serta flora fauna yang sangat memikat kunjungan wisatawan ke Bali. Bali yang dulu dianggap masih sangat alami dan belum tersentuh dunia luar kini berangsurangsur sudah mengalami perubahan yang signifikan.Bali yang dulu dianggap daerah yang sangat memegang teguh nilai-nilai luhur agama Hindu kini sudah mulai beralih meniru budaya barat yang dikatakan lebih modern.Ini tidak dapat dipungkiri tentu sebagai dampak dari perkembangan pariwisata yang begitu pesat di Bali.
WIDYA WRETTA
36 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Budaya Barat pun sekarang sudah menjadi hal yang sangat mutlak untuk ditiru oleh masyarakat Bali.Ini tercermin dari keseharian masyarat Bali itu sendiri.Bali menjadi sebuah daerah yang memiliki banyak kelebihan, baik dari segi kearifan lokal budaya yang sangat unik dan keadaan alamnya sehingga mereka tertarik untuk berkunjung ke Bali.Perkembangan pariwisata yang menempatkan budaya dan agama Hindu sebagai rohnya menjadi tolak ukur dari semua tindakan, dan bukannya menjual semua yang ada dengan membabi buta.Pembangunan kepariwisataan Bali diharapkan selalu memperhatikan terpeliharanya seni budaya sebagai aset pariwisata. Peningkatan peran sektor pariwisata sangat erat kaitannya dengan peluang bagi
kemajuan ekonomi dan pembinaan serta pengembangan kebudayaan membuka peluang dan prospek yang cukup baik bagi perkembangan desa wisata karena potensi dan kondisi lingkungan sosial sangat mendukung.Dampak positif yang dapat dirasakan masyarakat dalam bidang ekonomi adanya peningkatan pendapatan perkapita masyarakat meningkat.Keuntungan dengan adanya objek wisata, dibangun berbagai kemudahan untuk menjangkau lokasi, seperti pembangunan jalan, transportasi yang lancar, penginapan, kios-kios penjual cinderamata dan lain-lainnya. Disamping itu akan membuka wawasan yang lebih mantap bagi masyarakat tentang dunia luar, terutama pada daerah domisili wisatawan dan berkembangnya konsep tentang globalisasi kebudayaan yang pada hakekatnya akan menyebabkan interaksi dinamis yang sangat mantap antara wisatawan dengan masyarakat setempat. Seiring dengan perkembangan dunia pariwisata yang begitu pesat telah mempengaruhi pola hidup masyarakat Bali. Pengaruh tersebut ada yang bersifat positif maupun negatif .Pengaruh positif bagi masyarakat Bali adalah semakin terpenuhinya kebutuhan sehari-hari.Pengaruh negatif dari perkembangan pariwisata adalah mulai ditinggalkannya tradisi leluhur yang telah memberikan ciri khas dari masyarakat Bali. Perkembangan dunia pariwisata sudah memasuki daerah-daerah pedesaan.Masingmasing desa sudah mulai memperkenalkan potensi desanya, salah satunya Desa Pakraman Sumampan.Dalam hal ini daya tarik yang dimiliki oleh Desa Pakraman Sumampan
diantaranya letak georafis yang strategis, dekat dengan objek wisata danfasilitas akomodasi yang cukup memadai. Perkembangan desa wisata di Desa Pakraman Sumampan sudah mulai berkembang dari tahun 2008 dan dicanangkan pada tahun 2011 sebagai desa sadar budaya sampai saat ini.Hal tersebut juga diperkuat dengan UU. Otonomi Daerah nomor 22 tahun 1999 yang diberlakukan mulai tahun 2000 menjelaskan bahwa pembangunan akan lebih difokuskan di daerah pedesaan melalui program PIR (Pariwisata Inti Rakyat) dibuat oleh Departemen Pariwisata. Pembangunan desa wisata dilakukan untuk optimalisasi pariwisata pedesaan.Demi mendukung program pemerintah dalam pembangunan maka dijadikanlah Desa Pakraman Sumampan sebagai desa wisata. Perkembangan desa wisata di Desa Adat Sumampan telah memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap kehidupan sosial religius masyarakat lokal. Pengaruh positif yang timbul antara lain: pelestarian budaya, adat istiadat, cara beryadnya, cara hidup, kesenian, penyediaan lapangan pekerjaan dan membangkitkan perekonomian masyarakat lokal. Sedangkan pengaruh negatifnya antara lain: menyempitnya lahan pertanian yang disebabkan oleh keinginan masyarakat yang berbondong-bondong membangun villa atau guest house. Berkembangnya yadnya yang berlebihan, misalnya: beryadnya sekarang ini lebih mengutamakan kemeriahan dan kemegahan baik dari segi hiasan rumah, seragam upacara, hiburan saat upacara, makanan minuman,dsb.
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
37
Sehubungan dengan perkembangan desa wisata di Desa Adat Sumampan, secara umum kebudayaan-kebudayaan, adat istiadat, agama dan seni yang diwariskan nenek moyangnya masih terjaga kelestariannya, walaupun sudah berbaur dengan budaya asing namun kebudayaan asli masyarakat tersebut masih rutin dilakukan oleh masyarakat setempat. Penulis membahas tentang Pengaruh Desa Wisata Terhadap Kehidupan Sosial Religius di Desa Adat Sumampan pada penelitian ini karena semenjak adanya desa wisata di Desa Adat Sumampan kehidupan sosial religiusnya secara tidak langsung mulai berkembang, dikarenakan perekonomian masyarakat lokal yang mulai mebaik, pelaksanaan kegiatan seni, budaya, agama pun mengalami peningkatan baik ke arah positif maupun negatif. Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mengkaji Pengaruh Desa Wisata Terhadap Kehidupan Sosial Religius di Desa Adat Sumampan. Dari uraian di atas dapat dikemukakan rumusan Rumusan Masalah sebagai berikut: 1). Apakah landasan hukum adanya desa wisata di Desa Pakraman Sumampan? 2). Bagaimana pengaruh desa wisata terhadap kehidupan sosial religius masyarakat di Desa Pakraman Sumampan? 3). Manfaat apakah yang dirasakan oleh masyarakat terhadap keberadaan desa wisata di Desa Pakraman Sumampan? 2. G ambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Pakraman Sumampan termasuk wilayah Kecamatan Sukawati,
WIDYA WRETTA
38 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali yang memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia maupun Kelembagaan yang ditunjang sarana prasarana yang ada, cukup mendukung dalam rangka program pembangunan. 2.1 Sejarah Singkat Desa Pakraman Sumampan Desa adat Sumampan diperkirakan sudah ada sejak kepemerintahan Dalem Bedahulu yang bernama” Sri Arta Sura Ratnabhumi Banten” (Sri Gajah Wktra ) tahun 1246 atau 1342 masehi.Dari zaman dahulu sungai Petanu dinamakan daerah “Karurak” di selatan Desa Karurak Desa “Wanasari” dan sekarang dinamakan daerah Kemenuh semua daerah tersebut bernama Desa Sumampan, Tengkulak, sampai daerah Batur dikuasai oleh Dalem Sukawati yang bernama Ida I Dewa Agung Anom Sirikan, tahun 1764 atau tahun 1864 masehi. Ida I Dewa Agung Anom Sirikan mempunyai tiga anak laki-laki, yang pertama bernama Ida I Dewa Agung Jambe yang tinggal di Puri Guwang, yang kedu abernama Ida I Dewa Agung Karna yang tinggal di Puri Ketewel, yang paling kecil Ida I Dewa Agung Gede yang tinggal di Puri Timbul (Puri Sukawati), tahun 1768 atau tahun 1864 masehi Ida I Dewa Agung Gede yang di Puri Timbul mempunyai tiga putra, yang pertama bernama Ida I Dewa Agung Gede Sukawati yang tinggal di Puri Timbul (Puri Sukawati), putra kedua bernama Ida I Dewa Agung Panji yang tinggal di Puri Peliatan, yang paling kecil bernama Ida I Dewa Agung Gede Karang
Puri di Negara Batuan tahun 1783 atau tahun 1861 masehi. Dari Tahun 1783 sebenarnya sungai Petanu dibagi menjadi dua yaitu: dari tepi laut Gumicik sampai wilayah Medahan yang dikuasai oleh Ida I Dewa Agung Karang yang tinggal di Puri Negara Batuan Disisinya dibatasi oleh sungai Petanu, disisi selatan dibatasi oleh Sungai Ayung. Ida I Dewa Agung Panji yang tinggal di Puri Peliatan menguasai dari Desa Sumampan, Batu sepih sampai kedaerah Batur, batas di sisi utara sungai Petanu batas disisi selatan Sungai Ayung, tahun 1812 atau tahun 1890 masehi dan berubah menjadi batu yaitu Ida I Dewa Agung Negara yang bernama Ida Cokorda Oka Karang kepada Ida Cokorda Gede Sukawati yang tinggal di Puri Peliatan. Pada Tanggal 30 Agustus 1890 Puri Peliatan diserang oleh Puri Negara, tempat perang di sawah subak “penambenan” dan akhirnya kalah Ida Cokorda Gede Sukawati di Subak Penambenan , Semenjak Ida Cokorda Sukawati menjadi inget Ida Cokorda Karang dikutuk menjadi prasda Ida diserang oleh pasukan Peliatan dan akhirnya Ida meninggal di Penambenan. Tanggal 18 Januari 1891 masehi Puri Negara diserang dan dibakar oleh pasukan Peliatan sebagai akhir pasukan Peliatan Ida Cokorda Gede saking Puri Ubud. Jadi wilayah yang dikuasai oleh Puri Negara diambil alih oleh Ida Cokorda Puri Peliatan disaat itulah dijadikan satu jagat Medahan dijagat Sumampan dan Batu Sapih dan dijadikan satu Desa Adat yang bernama Desa Adat Sumampan sampai sekarang, yang dinamakan
Desa Adat Sumampan, yang sekarang ditetapkan dengan nama Desa Adat Sumampan. 2.3 Letak Geografis Desa Pakraman Sumampan dengan posisi memanjang dari selatan keutara dengan luaas 4,5 km2 adalah salah satu Desa dari 12 (dua belas) Desa di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar dengan batas-batas sebagai berikut : -Sebelah Utara -SebelahTimur
: Desa Peliatan : Sungai Petanu Desa Blahbatuh -Sebelah Selatan : Desa Sukawati, Desa Batuan Kaler -Sebelah Barat : Desa Mas Dengan luas wilayah 734 Ha walaupun alih fungsi lahan pertanian sangat marak tetapi luas lahan pertanian yang terhampar sebagai lahan hujan masih 250 ha, lahan pertanian tersebut terbagi kedalam 14 (empat belas subak) di Kecamatan Sukawati seperti : 1. Subak Tegenungan 2. Subak Wasan Desa Kemenuh 3. Subak Uma Jero Kemenuh 4. Subak Pengiyangan 5. Subak Gunung Sari 6.Subak Tebe 7.Subak Alas 8.Subak Enggong 9.Subak Tengkulak 10.Subak Gandalangu 11.Subak Bedulu 12.Subak Sekembang 13.Subak Kemenuh 14. Subak Babakan Kepuh Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
39
Dari 734 ha luas wilayah Desa Pakraman Sumampan dibagi kedalam penggunaan lahan sebagai berikut : - Tanah Persawahan
:
250 ha
- Pemukiman
:
74,965 ha
- Tegalan
:
235,9 ha
- Tempat Suci (Pura) :
48,97 ha
-Kuburan
3,601 ha
:
-Dan Fasilitas Umum Lainnya
: 120,564 ha
Tabel 1 Luas Tanah dalam Wilayah Desa Pakraman Sumampan \
Sumber: Desa Sumampan, 2013 Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa luas wilayah di Desa Pakraman Sumampan untuk tanah persawahan atau lahan pertanian mencapai 250ha yang masih produktif guna memenuhi kebutuhan dalam pangan.Sedangkan lahan untuk permukiman, dan tegalan luasnya berada dibawah lahan pertanian sehingga mendukung program pemerintah untuk program pertanian.
WIDYA WRETTA
40 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Di Desa Pakraman Sumampan tidak ada hutan dan perkebunan yang dikelola dalam skala kecil (pohon jati, kakao, kelapa) masih ada sebagai hak milik orang lokal Sumampan.Secara geografis Desa Pakraman Sumampan termasuk daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 1520 meter diatas permukaan laut. Beriklim trofis dengan temperature 31 º C dan 33 °C dan sepanjang tahun 2013 dengan curah hujan 121.7 ml dengan puncak penghujan antar bulan Desember - Maret setiap tahun, dengan kemiringan antara 1-20 kearah Selatan. Desa Pakraman Sumampan terletak di tengah-tengah Kabupaten Gianyar dan di sebelah selatan Kota Madya Denpasar dan sebagai gerbang barat Kabupaten Gianyar menuju Bali Timur, Tengah dan Utara memiliki jarak ke pusat-pusat pemerintahan dan kawasan wisata sebagai berikut : - Jarak Desa Pakraman Sumampan ke Kota Kecamatan : 5 Km - Jarak Desa Pakraman Sumampan Ke Kabupaten : 10 Km - Jarak Desa Pakraman Sumampan Ke Kota Provinsi : 25 Km - Jarak Desa Pakraman Sumampan Ke Kawasan Kuta : 20 Km - Jarak Desa Pakraman Sumampan Ke Bandara Ngurah Rai: 22 Km - Jarak Desa Pakraman Sumampan Ke Nusa Dua : 35 Km - Jarak Desa Pakraman Sumampan Ke Ubud : 5 Km
- Jarak Desa Pakraman Sumampan Ke Sanur : 25 Km Berdasarkan jarak tempat seperti di atas dan ditunjang dengan kualitas jalan serta modal transportasi yang memadai adalah peluang yang sangat besar untuk Sumampan memacu kegiatan pembangunannya.
Tabel 2 Keadaan Penduduk Menurut Umur
2.4. Kependudukan, Pendidikan dan Mata Pencaharian Penduduk memiliki pengaruh yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan pembangunan, sehingga penduduk merupakan sumber daya sebagai salah satu faktor penentu pembangunan, berhasil tidaknya pembangunan tersebut tergantung dari kwalitas sumber daya manusia masing-masing desa. Penduduk berdasarkan gender pada tahun 2013 adalah 4702 orang lakilaki dan 4606 orang perempuan. Pada tahun 2013 menjadi 9308 orang dan pada tahun 2014 laki-laki 4917 orang dan 4822 orang wanita, yang jumlahnya 9739 itu artinya telah terjadi peningkatan dengan kenaikan yaitu 431 orang atau 4,6 %. Jumlah Kepala Keluarga di Desa Pakraman Sumampan tahun 2013 : 1861 KK sedangkan tahun 2014 berjumlah 1964 KK, dengan rata-rata setiap keluarga dihuni oleh 5 orang. 126,8 jiwa/km2 (setiap kilometer persegi) tahun 2013, dan 133 jiwa/ km2 pada tahun 2014.
Sumber: Desa Sumampan, 2013 Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa keadaan penduduk menurut umur di Desa Pakraman Sumampan usia 15-56 Tahun merupakan warga atau karma yang aktif dalam kegiatan baik untuk desa pakraman serta untuk kegiatan yang lain dalam kegiatan untuk mewakili dalam kegiatan sosial lainnya. Sedangkan usia 0-12 Bulan berada paling rendah namun demikian tingkat kesehatan balita sangat diperhatikan dengan adanya kegiatan posyandu.
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
41
Tabel 3
Tabel 4
Keadaan Penduduk Menurut Pendidikan
Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Sumber: Desa Sumampan, 2013 Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Pakraman Sumampan jenjang pendidikan penduduk sebagain besar hanya sampai pada jenjang SLTA. Selain itu, jumlah penduduk yang hanya menyelesaikan sampai jenjang SD maupun SLTP lebih sedikit.Lulusan Perguruan Tinggi mencapai jumlah 10 orang.
WIDYA WRETTA
42 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Sumber: Desa Sumampan, 2013 Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa mata pencaharian penduduk di Desa Pakraman Sumampan sebagian besar adalah bermata pencaharian sebagai petani. Sedangkan pekerjaan penduduk lainnya pegawai Koperasi, Bank dan karyawan swasta lainnya.
2.5 Landasan Adanya Desa Wisata di Desa Pakraman Sumampan Di era yang semakin maju semakin pula banyak cara dan strategi untuk mengangkat potensi wisata di suatu daerah. Masing-masing daerah memiliki kekhasan atau penonjolan karakteristik alam maupun sosio kultural dan aspek lainnya.Desa memiliki segudang potensi yang bisa diangkat menjadi komoditas dan dipoles dengan manajemen strategi yang tepat untuk menjadi desa wisata. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan berbunyi Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah .Landasan desa wisata yang diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan menjadikan Desa Pakraman Sumampan mampu bersaing dengan desa yang lainnya. Ketut Karsana (Wawancara, 19 Juli 2016). Perkembangan desa wisata di Desa Pakraman Sumampan juga diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 yang menekankan kepada pembangunan yang lebih difokuskan di daerah pedesaan melalui program PIR (Pariwisata Inti Rakyat) dibuat oleh Departemen Pariwisata dan mulai dijalankan pada tahun 2000. Dulunya Desa Pakraman Sumampan merupakan tujuan wisata, karena adanya Pokdarwis (kelompok desa wisata) yang diketuai oleh Bapak Sila, Desa Pakraman Sumampan mengikuti lomba dan berhasil meraih juara I di tingkat Nasional,
hingga pada saat itu Desa Pakraman Sumampan diakui keberadaan pariwisata oleh provinsi Bali.Desa Pakraman Sumampan yang awalnya menjadi tujuan wisata berubah menjadi desa wisata sampai saat ini.Berkembangnya desa wisata di Desa Pakraman Sumampan juga berimbas kepada ekonomi masyarakat menjadi lebih baik karena antusias masyarakat dalam menyambut perubahan sangat tinggi dan dorongan untuk memajukan Desa Pakraman Sumampan agar dikenal oleh dunia menjadi kenyataan.Ketut Lasia (Wawancara, 10 Agustus 2016). Sesuai dengan Undang-Undang Tahun 2009 Pasal 4, kepariwisataan bertujuan untuk: a. b. c. d. e.
meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan kesejahteraan rakyat; menghapus kemiskinan; mengatasi pengangguran; melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; f. memajukan kebudayaan; g. mengangkat citra bangsa; h. memupuk rasa cinta tanah air; i. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan j. mempererat persahabatan antarbangsa. Tujuan pariwisata sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun2009 Pasal 4 secara tidak langsung sudah diterapkan oleh Desa Pakraman Sumampan untuk memajukan desa khususnya dalam bidang kepariwisataan. Karena komitmen yang dimiliki oleh Desa Pakraman Sumampan sangat tinggi dalam menyamakan pendapat, persepsi dan Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
43
mengangkat potensi desa guna dijadikan desa wisata maka komitmen itulah yang menjadi dukungan terkuat untuk terwujudnya dan keberlangsungnya desa wisata. Komitmen yang sangat kuat yang dimiliki oleh Desa Pakraman Sumampan mampu menggandeng Pemerintah Daerah dan pihak swasta dalam memajukan pariwisata di Desa Pakraman Sumampan. Ketut Lasia (Wawancara, 25 Juli 2016) Dan Undang-Undang No 10 Tahun 2009 Pasal 5 tentang prinsip diselenggarakannya kepariwisataan berbunyi: a. Menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan; b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal; c. Memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat,keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas; d. Memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup; e. Memberdayakan masyarakat setempat; f. Menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antar pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan; g. Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan. memperkukuh
WIDYA WRETTA
44 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa Wisata merupakan suatu bentuk intergrasi antara atraksi akomodasi dan fasilitas pendukung yang tersaji dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1993: 2-3). Desa wisata juga dapat dimaknai sebagai suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial religius, sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan. Undang-Undang No 10 Tahun 2009 Pasal 5 tentang prinsip diselenggarakannya kepariwisataan sesuai dengan Konsep Tri Hita Karana dalam ajaran agama Hindu. Konsep Tri Hita Karana merupakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta (Parhyangan), hubungan harmonis antara manusia dengan manusia (pawongan) dan hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan (palemahan).Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta diwujudkan dalam kegiatan religius di Desa Pakraman Sumampan seperti melakukan persembahyangan purnama tilem di purapura, melaksanakan odalan, menjalankan tradisi ngedeblagsetiap sasih ke-5sebagai ciri khas desa dan perayaan hari-hari besar
agama Hindu. Hubungan harmonis antara manusia dengan manusia diwujudkan dalam sikap sosial di masyarakat yang mampu meningkatkan Sumber daya manusia (SDM) yang lebih baik.Hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan dapat dilihat dari penataan ruang di Desa Pakraman Sumampan yang hijau dan asri yang menjadi daya tarik wisatawan asing datang ke Desa Pakraman Sumampan. Lingkungan yang asri dan hijau merupakan aset utama dalam pembangunan desa wisata, sehingga Desa Pakraman Sumampan sadar akan kebersihan dan penataan lingkungan. Desa Pakraman Sumampan juga membentuk bank sampah yang bertujuan mengurangi sampah plastik demi terwujudnya Desa Pakraman Sumampan clean and green. Nyoman Parwata (wawancara, 25 Juli 2016).
2.6 Pengaruh Desa Wisata Terhadap Kehidupan Sosial Religius Masyarakat di Desa Pakraman Sumampan Setiap desa memiliki potensi untuk dijadikan komoditas wisata unggulan. Keindahan dan keunikan alam akan menjadi wisata alam. Jika desa tersebut memiliki keunikan tradisi dan budayanya bisa menjadi destinasi wisata budaya.Jika desa tersebut memiliki menu makanan dan minuman khas tradisional yang unik baik dari bahan, rasa dan penyajiannya, bisa dijadikan destinasi wisata kuliner desa.Jika desa tersebut memiliki kerajinan-kerajinan khas dan unik bisa menjadi destinasi wisata suvenir desa.Atau
jika desa tersebut memiliki peninggalanpeninggalan yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi atau situs sejarah/prasejarah bisa menjadi tujuan wisata sejarah desa. Bahkan jika desa itu memiliki keunggulan hasil bumi atau hasil laut misalnya pertanian, perkebunan, perikanan dan lain-lain (contoh wisata petik apel, petik strawberry, petik tomat, cabai dan sayuran lain). Dunia wisata dalam kekinian banyak mengalami perkembangan yang cukup signifikan.Apapun bisa dijadikan wisata yang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi warga sekitar, asal jeli melihat dan memanfaatkan peluang.Sunarta (Wawancara, 19 Juli 2016). Di dalam pengembangan suatu desa menjadi desa wisata, disamping identifikasi terhadap unsur-unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan pemahaman karakteristik serta tatanan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa tersebut. Wilayah yang bisa dikembangkan di desa wisata adalah wilayah yang baik dari segi ekonomi, sosial religius, sosial budaya, lingkungan fisik alam,mempunyai ciri khas yang non urban, dan mempunyai ciri kehidupan tradisional yang unik. Di Desa Pakraman Sumampan pengaruh desa wisata terhadap kehidupan sosial religius masyarakat sangat baik.Pengaruh pariwisata banyak memberi dampak positif khususnya dalam bidang sosial religius.
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
45
Foto 4.1
Foto 4.2
Tradisi Medeblagan
Wisatawan Sedang Mendokumentasikan Prosesi Upacara
Kegiatan religius yang dapat dirasakan oleh masyarakat yakni mulai bangkitnya kesadaran masyarakat akan pentingnya peranan agama dalam kemajuan pariwisata. Pariwisata di Bali lebih dominan kepada pariwisata budaya, adat-istiadat, dan agama.Hal ini terlihat dari antusianisme wisatawan mancanegara untuk terjun langsung mengikuti upacara yang dilakukan di pura khususnya di Desa Pakraman Sumampan. Banyak wisatawan yang datang dan berkunjung ke Desa Pakraman Sumampan merasa kagum dan senang akantradisi yang ditawarkan, bahkan kebanyakan dari mereka ingin menetap dan tinggal di Desa Pakraman Sumampan. Wayan Lingga (Wawancara, 25 Juli 2016).
WIDYA WRETTA
46 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Selain itu setiap hari suci purnama dan tilem masyarakat Desa Pakraman Sumampan melakukan persembahyangan bersama untuk memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas anugerah yang dilimpahkan oleh Beliau.Selain itu tujuannya untuk meningkatkan rasa persaudaraan antar warga desa.Pada saat persembahyangan purnama tilem berlangsung tidak jarang terlihat wisatawan asing ikut andil dalam persembahyangan.Mereka berpakian layaknya umat Hindu di Bali.Hal ini mencerminkan bahwa agama Hindu tersendiri sudah memiliki nilai positif dimata warga asing yang berkunjung ke Bali.Secara tidak langsung sosial religius juga berpengaruh terhadap pencitraan agama Hindu dan berdampak pada ekonomi masyarakat.Wayan Lingga (Wawancara, 25 Juli 2016).
Foto 4.3 Wisatawan Ikut Terlibat Dalam Persembahyangan di Pura
Pengaruh lain desa wisata terhadap kehidupan sosial religius yang dapat dirasakan yakni dengan adanya desa wisata ekonomi desa menjadi lebih stabil dan pada saat pelaksanaan upacara piodalan di pura-pura masyarakat tidak lagi meturunan (iuran) untuk melaksanakan upacara piodalan, karena iuran villa dan home staydikumpulkan oleh pengurus desa untuk kegiatan upacara dan kesejahteraan masyarakat di Desa Pakraman Sumampan.Nyoman Parwata (Wawancara, 25 Juli 2016) Dengan adanya desa wisata di Desa Pakraman Sumampan maka setiap sehari menjelang hari raya penyepian masyarakat merayakan hari raya pengrupukan dengan diselingi fragmentari ogoh-ogoh yang dijadikan daya tarik oleh masyarakat Desa Pakraman Sumampan untuk menarik warga asing datang ke Desa Pakraman Sumampan.Peserta dari kegiatan fragmentari juga melibatkan warga asing yang tinggal di Desa Pakraman Sumampan, hal ini membuat
warga asing merasa dihargai dan dihormati tinggal di Desa Pakraman Sumampan. Dengan terlibatnya warga asing dalam pementasan fragmentari, maka masyarakat Desa pakraman Sumamapn dirasa terbuka untuk kedatangan wisatawan. Dengan demikian wisatawan yang datang ke Desa Pakraman Sumampan dan melihat secara langsung pementasan fragmentari yang dilakukan maka wisatawan tersebut akan merasa lebih nyaman dan nantinya bisa menyampaikan pesannya kepada wisatawan yang lain terhadap keindahan budaya yang dimiliki Desa Pakraman Sumampan dan dapat menarik minat wisatawan lain untuk berkunjung ke Desa Pakraman Sumampan. Foto 4.4 Wisatawan Asing Ikut Terlibat Dalam Kegiatan Fragmentari Pada Hari Raya Pengrupukan
Pariwisata budaya yang dijiwai agama Hindu dengan aktualisasi masyarakat
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
47
dalam upacara keagamaannya merupakan modal dasar dalam pengembangan kepariwisataan di Bali.Upacara merupakan suatu kejadian penting dalam kehidupan masyarakat Bali dan diadakan pada tanggaltanggal dan hari-hari menurut penanggalan Bali (Susana, 1997:8).Kondisi ini menunjukan bahwa nilai-nilai ajaran Agama Hindu yang dianut telah dijadikan dasar dalam berfikir, berkata dan berbuat.Sementara itu keyakinan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, keyakinan terhadap ajaran karma phala.Keyakinan terhadap ajaran Atman, Punarbawa dan keyakinan terhadap ajaran Moksa (kelepasan) berada pada katagori baik.Keyakinan yang cukup mantap ini tentunya menjadi dasar munculnya sikap keagamaan dan akhirnya mempengaruhi perilaku keagamaan masyarakat Hindu pekerja pariwisata dalam kehidupan sehari-hari. Sikap sosial masyarakat Hindu di Desa Pakraman Sumampan menunjukan adanya kematangan kesadaran beragama. Pengalaman kehidupan beragama yang telah dilalui sedikit demi sedikit mantap dalam diri masyarakat di Desa Pakraman Sumampan sebagai satu unit yang otonom dalam kepribadiannya, sebagai hasil peranan fungsi kejiwaan terutama motivasi, emosi dan intelegensi yang dimiliki oleh masyarakat Desa Pakraman Sumampan. Kesadaran beragama ini merupakan dasar dan arah bagi kesiapan untuk memberikan tanggapan, reaksi dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari luar.Perilaku keagamaan yang ditampilkan oleh masyarakat merupakan manifestasi dari sikap keagamaan dan kesadaran beragama.
WIDYA WRETTA
48 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Kondisi ini tercermin dalam kehidupan beragama masyarakat Desa Pakraman Sumampan.Pada dasarnya pengetahuan diperoleh oleh pekerja semenjak dalam keluarga, sekolah sampai mereka berstatus sebagai pekerja.Sepanjang kehidupan pekerja sedikit banyak memperoleh tambahan pengetahuan keagamaan yang diperoleh sepanjang kehidupan telah terinternalisasi dalam diri masyarakat Desa Pakraman Sumampan dan member efek terbesar dalam pembentukan sikap keagamaan. Pendidikan yang diterima seseorang dalam keluarga merupakan sebagian dari seluruh proses kehidupannya. Keteladanan merupakan cara yang dapat ditempuh untuk menanamkan sikap positif terhadap agama sejak dini. Sikap keagamaan memberikan sumbangan efektif yang paling besar terhadap pembentukan prilaku keagamaan.Hal ini menunjukan adanya konsistensi antara sikap keagamaan dengan prilaku keagamaan masyarakat Desa Pakraman Sumampan. Semakin kuat sikap keagamaan dengan keagamaan maka akan semakin konsisten perilakunya dengan ajaran Hindu. Temuan ini membuktikan bahwa ajaran Hindu menyatakan bahwa keyakinan (Sradha) ialah mengakui atau menyakini dalam hati (sikap) mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan (prilaku).Ajaran ini menuntut konsistensi antar sikap, niat prilaku seseorang. Wayan Lingga (Wawancara, 25 Juli 2016). Pengaruh desa wisata terhadap kehidupan sosial religius di Desa Pakraman
Sumampan agar tidak memudarnya nilai-nilai agama yang terkandung di dalamnya maka masyarakat berinisiatif mengingatkan warganya untuk melakukan puja trisandhya sebanyak tiga kali dalam sehari dengan memutar kasetpuja trisandhya.Hal ini dirasa penting karena pengaruh dunia barat di tengah gencarnya arus perkembangan pariwisata mampu merubah sikap dan prilaku masyarakat.Karena arus moderenisasi segalanya di ukur dengan materi hal tersebut membuat pentingnya mengingatkan warganya untuk melakukan puja trisandhya agar kewajibannya sebagai umat Hindu tidak dilupakan. Ketut Lasia (Wawancara, 25 Juli 2016). Globalisasi suatu proses luluhnya batas batas bangsa seakan tanpa batas merasuk dan membuat unsur-unsur budaya luar masuk atau merembes dengan mudah ke budaya suatu masyarakat dewasa ini. Dalam hal ini aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan. Terkait dengan kebudayaan, kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (value ) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal, atau kebudayaan juga dapat didefinisikan sebagai wujudnya, yang mencakup gagasan atau ide, kelakuan dan hasil kelakuan. Dimana hal hal tersebut terwujud dalam kesenian tradisional kita.Oleh karena itu nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek aspek kejiwaan atau psikologi dan sosial religius. Dampak globalisasi terhadap masyarakat menurut Yunan dkk (1996:140)”goncangan budaya yang ditimbulkan oleh masuknya budaya baru
diterima oleh masyarakat yang lambat laun merubah budaya lama”. Dari pendapat tersebut jelas bahwa dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi terhadap masyarakat sangat dominan sekali. Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah proses Modernisasi yang tidak bisa dibendung, akibat dari modernisasi tersebut adalah terjadinya proses perubahan sosial dan budaya di tiap daerah yang melibatkan semua kondisi atau nilai-nilai dan kebudayaan, maka dari itu kita harus menyadari dan memahami, bahwa manakala salah satu aspek atau unsur sosial atau kebudayaan mengalami perubahan, maka unsur-unsur yang lainnya yang telah berubah terlebih dahulu. Karena itu mesti dipahami dan disadari bahwa sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan ada yang berkualifikasi norma dan nilai. Ketut Karsana (Wawancara, 20 Juli 2016). Secara sosial pengaruh negatif dalam segi prilaku seringkali interaksi antara penduduk lokal dengan wisatawan secara tidak langsung mempengaruhi masyarakat setempat terutama generasi muda mulai suka minum-minuman keras, terjadi gesekangesekan seperti pertengkaran antar pemuda maupun masyarakat karena pengaruh minuman alkohol. Untuk meminimalisir terjadinya tindakan sosial di masyarakat maka desa adat membuat awig-awig dan pararem atas persetujuan bersama bahwa setiap tindakan yang mengancam keamanan di lingkungan Desa Pakraman Sumampan dikenakan sangsi adat berupa “Mecaru” di setiap pura Khayangan Tiga dan di tempat terjadinya tindakan kekerasan.
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
49
Pengaruh negatif perkembangan desa wisata juga terlihat dari cara berpakian kaum muda yang mulai bergeser. Banyak ditemui busana kepura yang digunakan menyimpang dari norma-norma etika berbusana adat ke pura. Inisiatif yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pergeseran nilai-nilai etika berbusana ke pura, maka Desa Pakraman Sumampan juga mengeluarkan awig-awig aturan memakai busana ke pura. Selain aturan awig-awig yang mengingat, kesadaran dalam diri juga sangat dibutuhkan dalam hal ini agar tidak adanya pencitraan yang negatif dari masyarakat non hindu. Selain itu pengaruh desa wisata juga dirasakan dari sikap religius masyarakat Desa Pakraman Sumampan. Sikap religius masyarakat cenderung menurun akibat meningkatnya pendapatan masyarakat karena perkembangan desa wisata. Segala setuatu yang dikerjakan dinilai dengan materi, oleh karena itu desa adat menyelenggarakan kegiatan purnama tilem tiap bulannya di Pura Khayangan Tiga, Pura Dadya, dan Paibon untuk lebih memberi kesadaran pada masyarakat tentang pentingnya sikap religius ini dalam menghadapi tuntunan hidupnya, dan dapat memberikan ketenangan lahir maupun bathin. Dan untuk anak-anak SD dalam meningkatkan Sradha dan Bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa maka prajuru desa melaksanakan pasraman kilat demi memupuk kesadaran beragama sejak usia dini. WIDYA WRETTA
50 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
2.8 Manfaat Yang Dirasakan Oleh Masyarakat Terhadap Keberadaan Desa Wisata di Desa Pakraman Sumampan Desa wisata merupakan salah satu jenis industri padat karya yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi karena dapat menyediakan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup dan menstimulasi sektor-sektor produksi lainnya sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi itu sendiri merupakan proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu wilayah. Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Dari sudut ekonomi, sedikitnya terdapat delapan keuntungan pengembangan desa wisata yaitu peningkatan kesempatan usaha, kesempatan kerja, peningkatan penerimaan pajak, penerimaan pendapatan, percepatan pemerataan pendapatan, peningkatan nilai tambah produk kebudayaan, memperluas pasar produk, meningkatkan dampak multiplier effect dalam perekonomian akibat pengeluaran wisatawan, investor maupun perdagangan keluar negeri. Nyoman Parwata (Wawancara, 25 Juli 2016). `Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan Salah satu tujuan penyelenggaraan kepariwisataan adalah untuk
meningkatkan pendapatan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, juga memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja serta mendorong pembangunan daerah. Untuk itu sudah selayaknya pariwisata dapat dijadikan alternatif penggerak perekonomian hingga sedemikian rupa menjadi sumber pendapatan bagi setiap daerah yang memiliki potensi untuk menyelenggarakannya, dalam upaya memperoleh atau meningkatkan pendapatan daerah. Salah satu pembangunan ekonomi dalam bidang pariwisata adalah melalui pengembangan desa wisata.Pengembangan desa wisata tersebut adalah pengembangan perekonomian masyarakat yang diangkat melalui kegiatan pariwisata, dimana pariwisata dikembangkan berdasarkan unsur-unsur kegiatan yang telah ada serta ciri khas budaya setempat sehingga sumber daya lokal memiliki kemampuan dan daya saing dalam dunia pariwisata.Selain itu pengembangan desa wisata merupakan salah satu bentuk usaha pelestarian wisata budaya yang bertujuan menarik wisatawan untuk berkunjung di desa wisata tersebut. Proses pembangunan pariwisata harus berjalan seiring dengan peningkatan “Sadar Wisata” masyarakat. Tugas aparat pemerintah adalah untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan terwujudnya peran serta masyarakat dengan cara-cara yang mudah dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat. Sadar Wisata dikalangan masyarakat tidak tumbuh dengan sendirinya, masyarakat lebih
mudah memahami apa yang mereka lihat, apa yang mereka rasakan. Pembangunan pariwisata yang manfaatnya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat akan menciptakan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya sadar wisata dikalangan masyarakat. Tujuan wisatawan datang ke suatu daerah antara lain didorong oleh keingian untuk mengenal, mengetahui atau mempelajari daerah dan kebudayaanmasyarakat lokal. Selama ditempat wisata , wisatawan pasti berinteraksi dengan masyarakat lokal diberbagai bidang. Bidang Pariwisata dalam hal interaksi dengan masyarakat luas ini semakin intensif kalau jenis pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata budaya dan alam, karena kedua pariwisata ini merupakan hal yang langsung dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.Daya tarik wisatawan pada suatu daerah tujuan wisata sangat dipengaruhi oleh penerimaan masyarakat setempat yang ramah, kearifan lokal, mempunyai karakter alam yang berbeda dengan daerah lain, kondisi yang aman, serta sarana transportasi yang lancar. Dengan kondisi tersebut wisatawan akan merasa nyaman seolah-olah milik mereka sendiri dan yang paling utama ketika mereka merasakan kenyamanan tersebut menuntut untuk datang kembali ke daerah wisata tersebut.Ketut Lasia (Wawancara, 25 Juli 2016). Pembangunan desa wisata mempunyai manfaat yang sangat luas baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, lingkungan dan lain-lain.Secara ekonomi, pembangunan desa wisata mampu meningkatkan
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
51
perekonomian nasional, regional, dan masyarakat lokal, di bidang sosial mampu membuka lapangan kerja dan lapangan berusaha bagi masyarakat di desa. Selain itu di bidang pendidikan, keberadaan desa wisata mampu memperluas wawasan dan cara berfikir orang-orang desa, mendidik cara hidup bersih dan sehat serta meningkatkan ilmu dan teknologi bidang kepariwisataan. Dalam kehidupan sosial budaya, pembangunan desa wisata dapat menggali dan mengembangkan kesenian serta kebudayaan asli daerah yang hampir punah untuk dilestarikan kembali. Pembangunan desa wisata juga merupakan bentuk kesadaran industri yang berorientasi lingkungan karena dianggap mampu menggugah kesadaran masyarakat akan arti pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan bagi kehidupan manusia kini dan di masa datang. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh Desa Pakraman Sumampanuntuk pembangunan desa wisata yaitu: 1. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Pelaksanaan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) bisa dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, seminar, diskusi, dan lain sebagainya khususnya di bidang-bidang kepariwisataan. Pendidikan diperlukan sebagai modal tenaga-tenaga yang akan dipekerjakan dalam kegiatan manajerial, sedangkan pelatihan perlu tugas menerima dan melayani wisatawan dan tenaga kerja produksi
WIDYA WRETTA
52 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
2. Kemitraan Pola kemitraan atau kerjasama dapat saling menguntungkan antara pihak pengelola desa wisata dengan para pengusaha pariwisata di kota atau pihak pembina desa wisata dalam hal ini pihak dinas pariwisata daerah. Bidangbidang usaha yang bisa dikerjasamakan, antara lain seperti: bidang akomodasi, perjalanan, promosi, pelatihan, dan lain-lain. 3. Promosi Desa wisata harus sering dipromosikan melalui berbagai media, oleh karena itu desa atau kabupaten harus sering mengundang wartawan dari media cetak maupun elektronik untuk kegiatan promosi tersebut. 4. Festival / Pertandingan Kegiatan yang bisa menarik wisatawan atau penduduk desa lain untuk mengunjungi desa wisata tersebut, misalnya mengadakan festival kesenian, pertandingan olah raga, dan lain sebagainya dapat dilakukan secara berkala untuk meningkatkan kunjungan wisatawan. 5. Membina Organisasi Warga Masyarakat dapat diorganisir dan dibina untuk memajukan desa wisata mereka.Hal itu dapat dilakukan dengan mengembangkan organisasi kemasyarakatan. Fenomena kemasyarakat semacam ini perlu didorong dan dikembangkan untuk memajukan desa wisata. 6. Perbaikan infrastruktur pariwisata Untuk memperkaya Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di suatu desa
wisata, dapat dibangun berbagai infrastruktur sebagai antara lain pembangunan homestay agar memenuhi persyaratan akomodasi wisatawan, atau membangun guest house berupa, bamboo house, traditional house, log house, dan lain sebagainya, pembangunan jalan, sumber energi, sarana olahraga, sarana pendidikan, gedung pertunjukan, tempat pembuangan limbah dan sampah, sarana komunikasi, terminal dan lain-lain. 2.9 Manfaat Desa Wisata Terhadap Lingkungan Industri desa wisata memiliki hubungan erat dan kuat dengan lingkungan fisik.Lingkungan alam merupakan aset desa wisata dan mendapatkan dampak karena sifat lingkungan fisik tersebut yang rapuh (fragile), dan tak terpisahkan (Inseparability). Bersifat rapuh karena lingkungan alam merupakan ciptaan Tuhan yang jika dirusak belum tentu akan tumbuh atau kembali seperti sediakala. Bersifat tidak terpisahkan karena manusia harus mendatangi lingkungan alam untuk dapat menikmatinya. Lingkungan fisik adalah daya tarik utama kegiatan wisata.Lingkungan fisik meliputi lingkungan alam (flora dan fauna, bentangan alam, dan gejala alam) dan lingkungan buatan (situs kebudayaan, wilayah perkotaan, wilayah pedesaan, dan peninggalan sejarah). Secara teori, hubungan lingkungan alam dengan desa wisata harus sejalan dan bermanfaat.Wisatawan menikmati keindahan alam dan pendapatan yang
dibayarkan wisatawan digunakan untuk melindungi dan memelihara alam guna keberlangsungan pariwisata.Hubungan lingkungan dan desa wisata tidak selamanya simbiosa yang mendukung dan menguntungkan sehingga upaya konservasi, apresiasi, dan pendidikan dilakukan agar hubungan keduanya berkelanjutan, tetapi kenyataan yang ada hubungan keduanya justru memunculkan konflik.Pariwisata lebih sering mengeksploitasi lingkungan alam. Dampak pariwisata terhadap lingkungan fisik merupakan dampak yang mudah diidentifikasi karena nyata. Manfaat terhadap lingkungan yang dirasakan oleh Desa Pakraman Sumampan dengan berkembangnya desa wisata dilihat dari keasrian dari alam yang ditawarkan.Desa Pakraman Sumampan menyadari bahwa pentingnya menjaga lingkungan agar tetap asri dan bersih.Dalam ajaran agama Hindu menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan disebut dengan palemahan.Jika manusia tidak bersahabat dengan lingkungan maka lingkunganpun juga tidak bersahabat dengan kita.Hal ini sering dilihat dari bencana alam seperti banjir, tanah longsor, erosi, dan lain sebagainya.Itu merupakan ciri dari kemurkaan alam kepada manusia.Selain itu di Bali sendiri melakukan upacara kepada tumbuhtumbuhan setiap enam bulan sekali yang dinamakan tumpek wariga karena tumbuhan atau tanaman adalah makhluk yang paling banyak gunanya dan manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
53
Foto 4.5 Villa di Persawahan
Home Stay maupun villa banyak dibangun pada daerah persawahan, karena masyarakat Desa Pakraman Sumampan menyadari bahwa lingkungan persawahan jauh dari polusi. Wisatawan yang tinggal disana langsung dapat menikmati keindahan alam pada saat beristirahat dan udara yang dihirup juga masih segar. Di lingkungan persawahan wisatawan juga langsung bisa berbaur dengan para petani dan melihat bagaimana proses bercocok tanam. Foto 4.6 Pemandangan Persawahan Dekat Villa
WIDYA WRETTA
54 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
2.10. Manfaat Desa Wisata Terhadap Kebudayaan Dampak yang ditimbulkan oleh desa wisata terhadap kebudayaan tidak terlepas dari pola interaksi di antaranya yang cenderung bersifat dinamika dan positif.Dinamika tersebut berkembang, karena kebudayaan memegang peranan yang penting bagi pembangunan berkelanjutan pariwisata dan sebaliknya pariwisata memberikan peranan dalam merevitalisasi kebudayaan.Ciri positif dinamika tersebut diperlihatkan dengan pola kebudayaan mampu meningkatkan pariwisata dan pariwisata juga mampu memajukan kebudayaan.(Geriya, 1996: 49). Paparan di atas menandakan perkembangan desa wisata dapat memberikan dampak yang positif terhadap kebudayaan.Dengan demikian akulturasi kebudayaanakan terjadi, karena adanya interaksi masyarakat lokal dengan wisatawan. Di samping itu, kebudayaan-kebudayaan daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional Indonesia akan terus berkembang. Ini disebabkan oleh adanya wisatawan (orang asing) yang datang berkunjung untuk melihat dan mengenal lebih dekat kebudayaan asli khususnya yang ada di Desa Pakraman Sumampan.Hal ini tentunya juga menyebabkan terjadinya penggalian nilai-nilai budaya asli untuk dikembangkan dan dilestarikan. Dengan demikian pola kebudayaan tradisional seperti tempat-tempat bersejarah, monumenmonumen, kesenian, dan adat istiadat akan tetap terpelihara dan lestari.
Desa Pakraman Sumampan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan yang menjadi warisan adi luhung hingga saat ini masih tetap eksis dijalankan oleh masyarakat.Pariwisata yang dijiwai oleh budaya lebih memiliki nilai jual yang tinggi dimata wisatawan.Karena kebudayaan mampu membawa pariwisata dapat dikenal sampai ke mancanegara.Hal tersebut menjadikan Desa Pakraman Sumampan menjadi desa wisata yang dijadikan tujuan berwisata ke Bali.Wisatawan yang berlibur di Desa Pakraman Sumampan juga dapat menyaksikan pertunjukan tarian kecak yang dibawakan oleh masyarakat setempat.Tarian kecak yang dipentaskan secara tidak langsung dapat memperkenalkan kebudayaan kesenian tarian Bali dapat dikenal oleh wisatawan mancanegara. Foto 4.7 Pementasan Tari Kecak
terhadap kebudayaan dapat dilihat pada halhal berikut: a. Merupakan perangsang dalam usaha pemeliharaan monumen-monumen budaya yang dapat dinikmati oleh penduduk setempat dan wisatawan. b. Merupakan dorongan dalam usaha melestarikan dan menghidupkan kembali beberapa pola budaya tradisional seperti kesenian, kerajinan tangan, tarian, musik, upacara-upacara adat, dan pakaian. c. Memberikan dorongan untuk memperbaiki lingkungan hidup yang bersih dan menarik. d. Terjadinya tukar-menukar kebudayaan antara wisatawan dan masyarakat lokal. Misalnya, wisatawan dapat lebih banyak mengenal kebudayaan serta lingkungan yang lain dan penduduk lokal juga mengetahui tempat-tempat lain dari cerita wisatawan. e. Mendorong pendidikan di bidang kepariwisataan untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia di bidang kepariwisataan yang handal. Perkembangan pariwisata yang sangat pesat dan terkosentrasi dapat menimbulkan berbagai dampak. Secara umum dampak yang ditimbulkan adalah dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dari pengembangan pariwisata meliputi;
Dampak positif pariwisata terhadap kebudayaan seperti disebutkan di atas secara garis besar dampak positif pariwisata
1) memperluas lapangan kerja 2) bertambahnya kesempatan berusaha
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
55
3) meningkatkan pendapatan 4) terpeliharanya kebudayaan setempat 5) dikenalnya kebudayaan setempat oleh wisatawan. Ketut Karsana (Wawancara, 15 Agustus 2016) Foto 4.8 Wisatawan Asing Sedang Belajar Musik Tradisional Bali
Dampak positif dari kegiatan pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal antara lain; munculnya kreativitas dan inovasi budaya, akulturasi budaya, dan revitalisasi budaya. Sedangkan dampak negatif yang sering dikawatirkan terdapat budaya masyarakat lokal antara lain; proses komodifikasi, peniruan, dan profanisasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dampak pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal sebagaimana tersebut di atas disebabkan oleh tiga hal yakni:
WIDYA WRETTA
56 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
a. masyarakat lokal ingin memberikan hasil karya seni atau kerajinan yang bermutu tinggi kepada pembeli (wisatawan); b. untuk menjaga citra dan menunjukkan identitas budaya masyarakat lokal kepada dunia luar; c. masyarakat ingin memperoleh uang akibat meningkatnya komersialisasi. Dampak positif sosial budaya pengembangan pariwisata dapat dilihat dari adanya pelestarian budaya-budaya masyarakat lokal seperti kegiatan keagamaan, adat-istiadat tradisi, diterimanya pengembangan objek wisata dan kedatangan wisatawan oleh masyarakat lokal. Bali sebagai salah satu objek wisata utama di Indonesia merupakan barometer perkembangan pariwisata nasional.Oleh karena itu, Bali memegang peranan yang penting dalam perkembangan pariwisata di Indonesia.Sebagai daerah tujuan utama bagi wisatawan, tentu Bali tidak terlepas dari dampak pengembangan pariwisata dari segala aspek kehidupan termasuk kebudayaan. Pengembangan pariwisata di Bali yang bertumpu pada kebudayaan Bali yang pada dasarnya bersumber pada agama Hindu, menimbulkan adanya kegairahan penggalian, pemeliharaan, dan pengembangan aspekaspek kebudayaan terutama kesenian, monumen-monumen peninggalan sejarah, dan adat istiadat.Tentu saja hal ini memberikan efek ganda yaitu bertambahnya pendapatan masyarakat lokal dari kegiatan ini sebagai konsumsi bagi wisatawan dan dapat menjaga kelestarian aspek-aspek kebudayaan itu
sendiri.Misalnya, pertunjukan berbagai kesenian untuk wisatawan, adanya museum untuk menyimpan benda-benda bersejarah yang juga sebagai daya tarik wisatawan, dan berbagai kegiatan adat istiadat yang bersifat unik. Adanya dampak positif pariwisata terhadap kebudayaan menunjukkan adanya keselarasan ungkapan yang mengatakan “Pariwisata untuk Kebudayaan”.Artinya, pengembangan pariwisata benar-benar memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan kebudayaan dalam arti yang luas.Ini artinya, perkembangan pariwisata secara positif dapat memperkokoh kebudayaan Indonesia. Perkembangan pariwisata memang dapat menumbuhkembangkan aspek-aspek kebudayaan seperti kesenian dan adat istiadat di Bali khususnya yang ada di Desa Pakraman Sumampan.Akan tetapi, di balik itu ternyata juga muncul permasalahan akibat terlalu tereksploitasinya aspek-aspek tadi. Misalnya, munculnya berbagai kesenian yang awalnya hanya dipentaskan untuk kepentingan upacara agama, kemudian dipertunjukkan untuk kepentingan wisatawan.Demikian juga dijadikannya tempat suci sebagai objek wisata.Ini merupakan fakta terjadinya komersialisasi budaya dalam pariwisata, karena berubahnya atau bertambahnya fungsi di samping fungsi utamanya. Di samping terjadinya komersialisasi, tampaknya yang perlu juga menjadi pemikiran kita bersama, yaitu pola pembinaan
kebudayaan dalam arti luas sebagai pendukung kepariwisataan. Sudah menjadi kenyataan devisa yang dihasilkan dari pengembangan pariwisata, digunakan oleh negara untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang. Devisa itu dibagi-bagi ke semua aspek pembangunan, sehingga dirasakan sangat kecil kembali pada bidang kebudayaan. Padahal secara nyata kebudayaan itulah sebagai penopang paling besar dalam pariwisata untuk mendatangkan devisa. Oleh karena itu, ada kesan “budaya untuk pariwisata”.Dengan demikian, kebudayaan di sini tereksploitasi secara besarbesaran dan hanya digunakan sebagai bahan promosi tanpa adanya usaha untuk menjaga dan melestarikannya.Ketut Karsana (Wawancara, 15 Agustus 2016) 2.10 Manfaat Desa Wisata dari Aspek Sosial Manfaat sosial dari segi kepariwisataan yang dirasakan oleh Desa Pakraman Sumampan yakni: 1. Struktur sosial Sebagai akibat pengembangan pariwisata dalam bidang sosial, maka akan terjadi: a) Transaksi kesempatan kerja dari sektor pertanian ke sektor pelayanan. b) Modernisasi dalam cara-cara pertanian dan penjualan hasil panen. c) Pemerataan pendapatan masyarakat d) Berkurangnya perbedaan dalam pendidikan dan kesempatan berusaha atau pekerjaan.
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
57
2. Modernisasi keluarga a) Kaum wanita memperoleh status baru dari petani tradisional berubah menjadi pedagang acungan, pemilik toko cendera mata, restoran atau bekerja pada kerajinan tangan dan karyawan hotel. b) Terjadi kelonggaran perlakuan orang tua terhadap anak-anak dari disiplin ketat menjadi anak yang bebas memilih sesuai dengan yang dicita-citakannya c) Peningkatan dalam wawasan masyarakat d) Terjadinya perubahan tingkah laku kearah yang positif, terutama dalam etika dan cara komunikiasi antar sesama. e) Dapat menghilangkan prasangkaprasangka negatif terhadap etnis lain Desa wiata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat yang dituju, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat.Oleh karena desa wisata banyak dikatakan sebagai perubah yang luar biasa, mampu membuat masyarakat setempat mengalami perubahan dalam berbagai aspek. Dalam perubahan yang diakibatkan oleh desa wisata mengelompokkan dampak desa wisata terhadap sosial budaya ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu: a) dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;
WIDYA WRETTA
58 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
b) dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat; c) dampak terhadap dasar-dasar organisasi/ kelembagaan sosial; d) dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata; e) dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat; f) dampak terhadap pola pembagian kerja; g) dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial; h) dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan; i) dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan j) dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat. Dampakdesa wisatadi atas mampu merubah aspek sosial masyarakat Desa Pakraman Sumampan kearah yang positif, bahwa daerah tujuan wisata akan merasakan pengaruh yang luar biasa dari wisatawan yang datang ke Desa Pakraman Sumampan. Kesamaan jender antara laki-laki dan perempuan di Bali membuat perempuan Bali memiliki nilai tambahan dimata keluarganya karena perempuan Bali tidak hanya sebagai ibu rumah tangga bagi keluarganya namun mampu membuka lapangan pekerjaan seperti membuat mohe stay maupun villa untuk menambah penghasilan di kelurga.Hal tersebut juga dirasakan oleh perempuan yang disudah menikah di Desa Pakraman Sumampan. Banyak dari mereka bekerja dibidang pariwisata seperti Guide,bekerja di Villa, Hotel maupun di restaurant. Sunarta (Wawancara, 10 Agustus 2016).
2.11 Manfaat Desa Wisata Dalam Bidang Politik Untuk lebih memahami manfaat dari desa wisata di bidang politik , kita perlu mengetahui definisi dari politik . politik berasal dari bahasa yunani (politikos) yang berarti kota wilayah, atau yang berkaitan dengan warga Negara politik merupakanproses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang berupa proses pembuatan keputusan , khususnya dalam Negara. Definisi ini adalah gabungan dari berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.Politik juga merupakan suatu seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan konstitusional maupun nonkonstitusional, berikut beberapa definisi dari politik : 1. Politik adalah usaha yang ditempuh warga Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama(aristoteles) 2. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelengaraan pemerintahan dan Negara. 3. Politik merupakan kegiatan yang diarah kan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dimasyarakat. 4. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Politik memiliki definisi yang luas, kegiatan politik tidak hanya sekedar mencakup mempertahankan dan mendapatkan kekuasaan saja, tetapi politik juga mencakup pengaruh ideologi dan peranan suatu negara dalam bidang ekonomi,
sosial budaya. Sehingga munculah istilah HI atau hubungan internasional . HI merupakan salah satu cabang ilmu dari ilmu politik yang memuat hubungan antar Negara baik secara birateral, dan multilateral. Dalam berbagai aspek seperti ekonomi, politik, pariwisata, budaya, pendidikan,dan lain lain. Kejasama antar Negara sering dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan di negaranya, kesamaan nasib, kesamaan geografis, ketergantungan Negara lain ,dan untuk menunjukan keunggulan Negara. Secara tidak langsung NegaraNegara tersebut sudah melakkan kegiatan politik. Dengan kemajuan teknologi dan globalisasi dunia hubungan kerjasama antar Negara sangat sering dilakukan dan membentuk organisasi organisasi multinasional seperti APEC, ASEAN , UNI EUROPA dan lian-lain. Organisasi-organisasi ini sering melakukan konfrensi di suatu Negara, sehingga dapat meningkatkan pamor dari Negara itu sendiri. Sehingga memajukan perkembangan industri, terutama industri pariwisata Negara tersebut. Dalam industri pariwisata keamanan adalah hal yang sangat penting dimana para wisatawan datang berlibur dan berkunjung untuk menikmati destinasi yang mereka kunjungi. Sehingga jika daerah wiasta aman maka para wisatawan akan tenang menikmati daerah tujuan wisatanya dan ini tentu mengangkat pamor dari daerah wisata itu sendiri. Banyak kegiatan multinasional dilakukan di daerah tujuan wisata seperti Bali.Karena Bali dianggap aman, dengaan keramah tamahan penduduknya.Sehingga
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
59
mengangkat pamor Bali dimata dunia. Dan dari pariwisata akan dapat meningkatkan devisa Negara sehingga baik untuk perekonomian . Dampak positif desa wisata dalam bidang politik 1. Terjalinnya hubungan baik dengan negara-negara lain. 2. Saling berkunjung dan saling mengenal antar penduduk sehingga dapat mempererat kesatuan dan persatuan 3. Lebih banyak mengenal keindaha dan kekayaan tanah air , melalui kunjungan wisata sehingga memunculkan keinginan untuk memelihara, menjaga dan rasa cinta terhadap tanah air 4. Terjaganya hubungan baik internasional dalam hal pengembangan pariwisata mancanegara, sehingga terjadi saling kunjung antar bangsa sebagai wisatawan . sebagaimana halnya dalam pariwisata pada poin pertama 5. Terjadi kontak kontak langsung yang akan menumbuhkan rasa saling pengertian terhadap perbedaan 6. Akan menimbulkan inspirasi untuk selalu mengadakan pendekatan dan rasa saling menghormati. 7. Pemerintah mendapat defisa tambahan non migas 8. Adanya pemberlakuan kebijakanbebas visa terhadap Negara tertentu, untuk menarik wisatawan untuk berkunjung
WIDYA WRETTA
60 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
3.
Simpulan
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam penelitian mengenai Pengaruh Desa Wisata Terhadap Kehidupan Sosial Religius Di Desa Pakraman Sumampan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Landasan adanya desa wisata di Desa Pakraman Sumampan diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan yang menjadikan Desa Pakraman Sumampan mampu bersaing dengan desa yang lainnya. Perkembangan desa wisata di Desa Pakraman Sumampan juga diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 yang menekankan kepada pembangunan yang lebih difokuskan di daerah pedesaan melalui program PIR (Pariwisata Inti Rakyat) dibuat oleh Departemen Pariwisata dan mulai dijalankan pada tahun 2000.Tujuan pariwisata sesuai dengan UndangUndang No. 10 Tahun2009 Pasal 4 secara tidak langsung sudah diterapkan oleh Desa Pakraman Sumampan untuk memajukan desa khususnya dalam bidang kepariwisataan. Undang-Undang No 10 Tahun 2009 Pasal 5 tentang prinsip diselenggarakannya kepariwisataan sesuai dengan Konsep Tri Hita Karana dalam ajaran agama Hindu. Konsep Tri Hita Karana merupakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta (Parhyangan), hubungan harmonis
antara manusia dengan manusia (pawongan) dan hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan (palemahan). 2. Pengaruh Desa Wisata terhadap kehidupan Sosial Religius masyarakat di Desa Pakraman Sumampan sangat baik. Pengaruh pariwisata banyak memberi dampak positif khususnya dalam bidang sosial religius. Kegiatan religius yang dapat dirasakan oleh masyarakat yakni mulai bangkitnya kesadaran masyarakat akan pentingnya peranan agama dalam kemajuan pariwisata. 3. Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat terhadap keberadaan desa wisata di Desa Pakraman Sumampan yakni mampu mendorong pertumbuhan ekonomi karena dapat menyediakan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup dan menstimulasi sektor-sektor produksi lainnya sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi. Manfaat desa wisata terhadap lingkungan Manfaat terhadap lingkungan yang dirasakan oleh Desa Pakraman Sumampan dengan berkembangnya desa wisata dilihat dari keasrian dari alam yang ditawarkan. Desa Pakraman Sumampan menyadari bahwa pentingnya menjaga lingkungan agar tetap asri dan bersih. Dalam ajaran agama Hindu menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan disebut dengan palemahan.Manfaat desa wisata terhadap kebudayaandi Desa Pakraman Sumampan sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai kebudayaan yang menjadi warisan adi luhung hingga saat ini masih tetap eksis dijalankan oleh masyarakat. Pariwisata yang dijiwai oleh budaya lebih memiliki nilai jual yang tinggi dimata wisatawan. Karena kebudayaan mampu membawa pariwisata dapat dikenal sampai ke mancanegara. Hal tersebut menjadikan Desa Pakraman Sumampan menjadi desa wisata yang dijadikan tujuan berwisata ke Bali. Manfaat desa wisata terhadap aspek sosial dapat dirasakan dari kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat yang dituju, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Oleh karena desa wisata banyak dikatakan sebagai perubah yang luar biasa, mampu membuat masyarakat setempat mengalami perubahan dalam berbagai aspek. Manfaat desa wisata terhadap aspek politikdilihat dari Kejasama antar Negara sering dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan di negaranya, kesamaan nasib, kesamaan geografis, ketergantungan Negara lain ,dan untuk menunjukan keunggulan Negara. Secara tidak langsung Negara-Negara tersebut sudah melakkan kegiatan politik.
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
61
DAFTAR PUSTAKA Adisusilo, Sutarjo. 2012. Pembelajaran Nilai-Karakter Konstruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: PT. Raaja Grafindo Persada. Bimo Walgito,1994.Psikologi Sosial. Yogyakarta:Andi Offset. Darmadi, Hamid. 2007. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung : Alfabeta Hadi, Y. Sumandio. 2006. Seni Dalam Ritual Agung. Yogyakarta : Buku Pustaka Iqbal, Hasan. 2002. Pokok-pokok Materi Penelitian Dan Aplikasi Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia ====
,1987.Sejarah Antropologi I.Universitas Indonesia.
===== ,1980.Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia.Jakarta: Percetakan Sapto Dadi. Mahsun.2010.Metode Penelitian Bahasa Tahapan,Strategi,Metode dan Tekniknya. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada. Manuaba,Ida Bagus Gede.2008. Dampak Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Budaya dan Pendidikan Agama Hindu di Kecamatan Kuta
WIDYA WRETTA
62 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Selatan.(skripsi). Denpasar:Universitas Hindu Indonesia. Muhadjir, 2006. Metode Penelitian. Surabaya : Gramedia. Mendrawan,I Wayan dan Nanang Sutrisno.2009. Pura Dalem Gandalangu None , 2013.Kemenuh desa wisata budaya.Pokdarwis Desa Kemenuh. Nuryati,Wiendu.1993.Concept, Perspective and Challenges,Makalah Bagian Dari Laporan Konferensi Internasional Mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pitana, Gde,dkk.2005.Sosiologi Pariwisata . Yogyakarta:CV.Andi Offset. =====.2009.Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta:CV.Andi Offset. Satori, Djam’an. Komariah, Aan. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : CV Alfabeta Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitaf Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Subadra,I Nengah.Dampak Sosial Budaya Pengembangan Pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi Kabupaten Lombok Barat (artikel).Denpasar:Bali Tourism Watch.
Siswantoro.2010.Metode Penelitian Sastra.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Undang-undang nomor 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan
Soelaeman,Munandar.1995.Ilmu Sosial Dasar.Badung PT.Eresco.
Undang-undang Otonomi Daerah nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.
Soekanto,2004.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali. Radar Jaya Offset Jakarta. Wardiyanta.2006.Metode Penelitian Pariwisata.Yogyakarta:Andi Offset.
Undang-undang nomor 10 pasal 4 dan pasal 5 tentang tujuan pariwisata dan prinsip diselenggarakannya pariwisata.
LAMPIRAN-LAMPIRAN DATA NAMA INFORMAN 1. Nama
: I Ketut Lasia
Umur
: 64 tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
Alamat : Br. sumampan, desa kemenuh Jabatan : Wakil Bendesa Adat Desa Pakraman Sumampan Pekerjaan 2. Nama
: Karyawan Swasta : I Ketut Karsana
Umur
: 47 tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
Alamat : Br. Sumampan, Desa Kemenuh Jabatan : Kelian Adat Desa Pakraman Sumampan Pekerjaan
: wiraswasta
Perkembangan Desa Wisata di Desa pakraman Sumampan, Gianyar I Wayan Subrata Kadek Parsini
63
3. Nama
: I Made Sunarta
Umur
: 47 tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
Alamat : Br. Sumampan, Desa kemenuh Jabatan : Wakil Kelian Adat Desa Pakraman Sumampan Pekerjaan 4. Nama
: wiraswasta : I Nyoman Parwata
Umur
: 47 tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
Alamat
: Br. Sumampan, Desa Kemenuh
Jabatan : Kelian Dinas Br.Sumampan dan Wakil Kelian Adat Desa Sumampan Pekerjaan 5. Nama
: wiraswasta : I wayan Lingga
Umur
: 60 tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
Alamat
: Br. Sumampan, Desa Kemenuh
Jabatan
: Kelian Banjar Dalem Desa Pakraman Sumampan
Pekerjaan
: wiraswasta SKRIPSI
PENGARUH DESA WISATA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL RELIGIUS MASYARAKAT DI DESA PAKRAMAN SUMAMPAN
WIDYA WRETTA
64 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Pakraman
NILAI PENDIDIKAN BUDAYA GOTONG ROYONG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DESA PERGUNG KECAMATAN MENDOYO KABUPATEN JEMBRANA Oleh : I PUTU SARJANA NI KADEK INDAH SURI ASTUTI ABSTRAK Skripsi yang berjudul “ Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana” ini pada intinya ingin mengkaji tata cara pelaksanaan Gotong Royong yang dilihat dari nilai pendidikan Agama Hindu. Terkait dengan pelaksanaan Gotong Royong ini peneliti tertarik untuk menelitinya dengan dua permasalahan pokok, yaitu (1) Bagaimana pelaksanaan gotong royong dalam kehidupan sosial masyarakat di Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jemrana? (2) Bagaimana usaha untuk mempertahankan nilai pendidikan budaya gotong royong yang telah lama tertanam dalam kehidupan sosial masyarakat di Desa Pergung, Kecamtan Mendoyo, Kabupaten Jembrana? Penelitian yang dilakukan untuk skripsi ini adalah penelitian lapangan dengan pendekatan eksploratif kualitatif, yaitu dengan observasi langsung kelokasi yang menjadi objek penelitian ini. Dalam usaha mengembangkan teori berdasarkan data lapangan, metedo obsevasi ( pengamatan) juga digunakan dalam penelitian ini, di samping metedo wawancara, dan studi kepustakaan sehingga paling tidak ada peluang untuk melakukan pengecekan data secara silang ( triangulasi) dengan demikian akurasi data menjadi lebih terjamin. Berdasarkan metode penelitian diatas, hasil penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: pelaksanaan budaya gotong royong di Desa Pergung diklasifikasikan kedalam dua tipe yaitu tipe gotong royong tolong menolong, dan tipe kerja bakti. Gotong royong tolong menolong jenis meselisih bau dan meselisi dalam bidang pertanian adalah kegiatan spontanitas yang didasari atas kebersamaan dan pambrih dan timbal balik yang hidup serta berlangsung di pedesaan. Ngayah merupakan aktivitas kegiatan gotong rotong , khususnya dalam bidang realigi dan kepercayaan dan yang didasari atas kewajiban sosial sebagai warga masyarakat. Perkembangan penduduk dan majunya ilmu pengetahuan mempengaruhi bergesernya nilai budaya gotong royong. Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana I Putu Sarjana Ni Kadek Indah Suriastuti
65
Usaha -usaha dalam mempertahankan nilai budaya terutama sistem gotong royong dalam kehidupan sosial masyarakat pedesaan khususnya warga Desa Pergung yaitu: melalui pola pelembagaan sistem gotong royong dalam organisasi sosial tradisional seperti Banjar, dan Desa. Karena banjar adalah merupakan suatu kesatuan sosial atas dasar wilayah yang lebih kecil dari desa. Banjar menjalankan tugas-tugas yang bersifat krama juga bertugas dalam bidang yang lebih bersifat sekunder. Yang semua dilakukan dengan sistem gotong royong yang tercakup dalam organisasi sosial tradisiaonal seperti “ Banjar”. Nilai pendidikan yang terkandung dalam pelaksanaan budaya gotong royong adalah pada nilai pendidikan sosial,nilai sosial yang terkandung dapat diambil dari prilaku dan tatacra hidup sosial.Perilaku sosial berupa sikiaf seseorang terhadap peristiwayang terjadi disikitarnya yang ada hubungannya dengan sosial bermasyarakat anatar individu. Nilai pendidikan sosial yang ada dalam karya seni dapat dilihat dari cermin kehidupan masyarakat yang diinterprestasikan untuk mewujudkan Desa yang lestari dan harmonis.
Kata Kunci: Nilai Pendidikan pada Gotong Royong 1. Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya sebagai mahluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial dalam kesehariannya saling ketergantungan suatu dengan lainnya.Ini dapat ditemukan sejak kehidupan masyarakat manusia purba yang ditandai oleh kebutuhan dasar yang didorong oleh nalurinya samapai dengan tahapan kehidupannya yang ditandai oleh fungsi nalurinya. Kehidupan beragama mempunyai tempat tersendiri yang utama dan perlu mendapat perhatian khusus dan serius sebagai konsekwensi logis dari pemenuhan kebutuhan atau keperluan dari masyarakat beragama itu sendiri,guna memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani(sekala dan niskala),baik sebagai mahluk individu maupun sebagai makhluk social yang hidup secara bersama, hidup yang saling mementingkan antara satu dengan yang lain.Kehidupan yang
WIDYA WRETTA
66 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
bersifat individu dengan kehidupan yang bersifat komunal sesesungguhnya saling kait mengait,saling mengisi,dan saling membutuhkan satu sama lain.( Denda, 2009 : 1 – 2 ) Kondisi kebersamaan itulah yang nyata berpengaruh pada cara dan pandangan hidup manusia bahwa merasa saling membutuhkan diantara satu dengan lainya,sehingga manusia bahwa saling mampu membentuk kelompokkelompok yang nantinya dapat diandalakan dalam menghadapi kehidupan sebagai makhluk sosial. Kebersamaan itulah yang menjadi penjamin terjadinya cara dan kebiasaan-kebiasaan atau budaya tolong menolong,yang dalam masyarakat pedesaan dan sistem pengarahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa sibuk disebut “ Gotong Royong”.( Koentjaraningrat,1 984 : 57).
Kebiasaan- kebiasaan yang telah mengkristal dan melekat dalam kehidupan sosial masyarakat akan dapat menjadi warisan budaya generasinya yang mendatang. Budaya tradisional akan dapat menopang keudayaan nasional, seperti apa yang termuat dalam pasal 32 BAB III UUD 1945 bahwa “ Kebudayaan Bangsa adalah “ Kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya”. Pengembangan kebudayaan Nasional, masyarakat tidak perlu ingkar terhadap pluralisasi kebudayaan tradisional, seralas bersikap terbuka dalam pertemuan duta budaya yang beraneka itu. Usaha memperkaya kebudayaan harus menuju kearah kemajuan abad budaya dan persatuan,dengan tidak menolak bahanbahan baru dari kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat peradaban kemanusian Bangsa Indonesia. Dalam pasal 32 BAB III UUD 1945 dan penjelasannya itu menegaskan komitmen Nasional merupakan perwujudan cita-cita kebangsaan yang berlandasan dalam tatanan kehidupan bersama yang disertai penghayatan senasib sepenanggungan yang subyektif dan kolektif. Pentingnya kerukunan hidup umat beragama,sesuai dengan pola konsep Hindu arah kerukunan terdiri dari tiga unsur yaitu:kerukunan intern umat beragama ,kerukunan antar umat beragama,dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.Ketiga pola ini diupayakan umtuk terciptanya kerukunan secara global dari masa kemasa demi kesinambungan pembangunan
nasional.Sesuai dengan ketiga pola pembangunan kerukunan umat beragama tersebut maka umat Hindu berkewajiban pula menciptakan dan memelihara kerukunan intern dan antar umat beragama demi kesinambungan pembangunan nasional. Konsep ajaran Tri Hita merupakan sarana yang mutlak, di mana konsep tersebut harus dimiliki oleh setiap Desa.Konsep tersebut menghaturkan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan.Konsep tersebut diarahakan untuk dapat mencapai tujuan terwujudnya Moksartam Jagathita Ya Ca Iti Dharma.Untuk mencapai tujuan tersebut di perlukan kesatuan gerak dan pandangan serta kepercayaan yang sama bagi setiap organisasi adat yang tercangkup di dalam Desa itu sendiri.Melaksanakan ajaran Tri Hita Karana yang diatas mendorong kita untuk bias hidup nyaman,aman dan tentram. Kita dituntut bisa hidup berdampingan baik dengan sesama umat beragama,antar umar beragama maupun dengan lingkungan sekitar lingkungan yang bersih.(Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti 2014:41- 42). Pembangunan yang giat dilaksanakan dewasa ini pada hakekatnya merupakan proses pembaharuan di segala bidang kehidupan. Proses itu dengan sendirinya menuntut perubahan kebudayaan dalam masyarakat.Diantara unsur kebudayaan yang berpengaruh oleh perubahan itu adalah bentuk gotong royong baik yang bersifat spontan, yang berpamrih atau yang bersifat memenuhi kewajiban sosial.
Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana I Putu Sarjana Ni Kadek Indah Suriastuti
67
Dalam proses kebudayaan, khususnya di pedesaan,terjadi pergeseran nilai- nilai budaya. Hal ini mempengaruhi bentuk dan sifat gotong royong yang ada pada masyarakat yang bersangkutan, terutama sekali pada masyarakat pedesaan.Kerja sama dengan asas timbal balik menyebabkan adanya keteraturan sosial dalam masyarakat. Keteraturan sosial itu terwujud karena memang unsur-unsur yang ada dalam gotong royong itu sudah dan sedang dihayati oleh masing-masing individu dan kelompok. Apabila unsur itu tidak d hayati, tidak akan ada keteraturan maka sistem itu berubah atau hilang sama sekali.
masyarakat dan kebudayaan Bali sedang mengalami perubahan khususnya karena modenisasi dan pembangunan. Atas dasar logika edukatif, perubahan suatu masyarakat dan kebudayaan pada hakekatnya akan membwa implikasi perubahan subsistem masyarkat yang bersangkutan baik sistem ekonomi,sistem teknologi,sistem kemasyarakatan maupun sistem religi, eksistensi gotong royong sebagai suatu unsur sosial budaya masyarakat,dari sudut pendekatan fungsional pada hakekatnya berada dalam hubungan terjaring (inter dependensi) dengan unsur-unsur lain dalam rangka kehidupan masyarakat.
Suatu asumsi dasar yang di jadikan patokan dalam pemahaman tentang sistem gotong royong adalah:” Bentuk kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu dengan asas timbal balik yang mewujudkan adanya ketentuan sosial dalam kehidupan masyarakat.( Griya 1986 :3).
Disuatu pihak generasi muda sangat rentan terhadap budaya baru,sering menentang dan menolak nilai- nilai budaya yang telah tertanam. Maka terjadilah pencemaran budaya lama atau asli. Perkembangan dan penguasaan ilmu dan teknologi memang merupakan urgensi yang tidak bias ditangguhkan dalam mempengaruhi tradisi atau budaya yang telah melekat dalam kehidupan sosial masyrakat, sehingga akhirnya menggeser dan dapat melemahakan budaya yang telah mengakar.
Didalam bentuk- bentuknya, wujud gotong royong itu dapat pula dilandasi oleh spontanitas, pamrih atau karena memenuhi kewajiban sosial, walaupun landasannya yang pokok adalah asas timbal balik itu. Antara ketiga hal itu banyak terlihat perbedaanperbedaan tingkatan yang mendasar. Didalam kehidupan masyarakat Bali ada bentuk kerja sama yang di golongkan sebagai gotong royong ini pada pokoknya dilandasi oleh spontanitas atau pamrih. Bentuk kerja sama yang lain adalah yang dapat d golongkan sebagai gotong royong kerja bakti, yang dapat terwujud sebagai kegiatan untuk memenuhi kewajiban sosial. Dewasa ini
WIDYA WRETTA
68 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Atas dasar ungkapan di atas, maka diupayakan melestarikan nilai-nilai budaya yang semakin mengalami pergeseran. Seberapa jauh perubahan dalam sistem gotong royong dalam kaitan proses pembangunan dan masa depan masyakat. Berdasarkan paparan yang di atas dan untuk melengkapi urian di atas, maka dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti Gotong Royong dalam Masyrakat, yang
berjudul “Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana dari penelitian ini diharapkandapat menjawab apa yang menjadi fokus dalam penelitian ini yakni, 1). Bagaimana pelaksanan gotong royong dalam sistem kehidupan sosial masyarakat desa pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jemrana; 2). Bagaimana usaha untuk mempertahankan nilai pendidikan budaya gotong royong yang telah lama tertanam dalam kehidupan sosial masyarakat Desa Perung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana. Dalam hai ini dapat menumbuhkan rasa kerbersamaan. Terkait dengan penelitian ini akan dibahas beberapa permasalahan sesuai dengan fokus penelitian. Berdasarkan atas pemahaman latar belakang masalah diatas, maka untuk mendapakan gamabran yang lebih jelas serta lebih dapat mengrahakan pembahasan materi sebagai dengan yang dimagsud maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1). 1. Bagaimana pelaksanaan gotong royong dalam kehidupan sosial masyarakat di Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jemrana? 2). Bagaimana usaha untuk mempertahankan nilai pendidikan budaya gotong royong yang telah lama tertanam dalam kehidupan sosial masyarakat di Desa Pergung Kecamtan Mendoyo Kabupaten Jembrana? 2. Pelaksanaan Budaya Gotong-Royong. Dalam kehidupan sosial masyarakat pedesaan telah lama tertanam dari sebagian
besar warga masyarakat tentang hidup bersama yang di landasi dengan nilai budaya, memgingat manusia itu tidak hidup sendiri di dalam ini, tetapi dikelilingi oleh komunitinya dan alam semestanya. Didalam sistem sosial, mereka merasakan bahwa dirinya hanya suatu unsur kecil saja dari dalam ini. Kerena itu ia harus berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya dengan tergolong oleh jiwa sama rata, sama tinngi, dan sama rendah. Azas kebersamaan inilah memotivasi masyarakat untuk lebih berorintasi terhadap sesama, sehinnga tercipta nilai budaya yang berkembang dalam bermacammacam kegiatan gotong royong. Atas dasar konsep-konsep tersebut di atas, maka konsep gotong royong agaknya mengimplikasikan dalam kehidupan gotong royong tersebut terbagi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat pedesaan. Konsep gotong royong merupakan konsep yang erat kaitanya dengan kehidupan masyarakat pedesaan, baik sebagai pengarahan tenaga maupun sebagai sistem nilai budaya yang kental dengan aktivitas dalam rangka kehidupan sosial budaya masyarakat bali Sebuah sumber menyebutkan bahwa: “Gotong Royong adalah bentuk kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu dengan azas timbal balik yang menyujudkan adanya kententuan sosial masyarakat”.(Griya I Wayan, 1986:23). Dari urian di atas dapat terungkap bahwa di dalam bentuk-bentuk gotong royong itu dapat pula dilandasi oleh spontanitas, pambrih dank
Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana I Putu Sarjana Ni Kadek Indah Suriastuti
69
arena memenuhi kewajiban sosial, walaupun landasanya yang pokok adalah azas timbal balik. Dengan demikian, maka ada dua jenis tipe gotong royong dalam kehidupan sosial masyarakat yakni : “Gotong royong tolong menolong, bentuk gotong royong ini pada pokoknya dilandasi oleh spontanitas atau pamrih dan bentuk gotong royong kerja bakti yaitu pada pokoknya dilandasi sebagai kegiatan untuk memenuhi kewajiban sosial sebagai masyarakat.”(Griya I Wayan,1986;26) Atas dasar konsep tersebut diatas, maka konsep gotong royong agaknya mengimplikasikan dalam kehidupan masyarakat desa Pergung yang secara keseluruhan mengklasipikasikan kedalam kedua tipe dan masing-masing jenis diuraikan dan dijelaskan eksestensinya maupun perkembangannya dalam empat jenis bidang kehidupan masyarakat Pergung yaitu: - bidang ekonomi dan mata pencaharian - bidang teknologi dan perlengkapan hidup - bidang kemasyarakatan - bidang relegi dan kepercayaan Kemudian terkait dengan penelitian tentang sistem gotong royong di Desa Pergung, Kecamtan Mendoyo, Kabupaten Jembrana akan dibahas yakni: untuk gotong royong dalam bentuk tolong menolong akan di uraikan tentang “Meselisi Bau dan Meselisi”, dan untuk gotong royong dalam bentuk kerja bakti akan di uraikan “ tentang Ngayah”.
WIDYA WRETTA
70 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
2.1 Meselisi Bau Tradisi yang sangat unik ini, telah berlangsung di dalam kehidupan sosial masyarakat Desa Pergung. Meselisi Bau merupakan kegiatan gotong royong yang klasifikasinya merupakan kegiatan gotong royong tolong menolong pada bidang ekonomi dan mata pencaharian masyarakat. Menurut sebuah sumber mengungkapakan bahwa kata Meselisi Bau tersusundari kata dasar yaitu: selisih dan bau. Selih artinya pinjam dan Bau artinya harfiahnya adalah bau dan dalam kontek itu, bau yang di magsud adalah bau binatang ternak. Ternak yang umumnya dipergunakan dalam kegiatan pengolahan tanah di bidang pertanian yaitu seperti: sapi, dan kerbau. Dengan demikian maka istilah meselisih bau mempunyai arti saling pinjam atau saling memberikan binatang ternaknya seperti sapid dan kerbau. Masingmasing, sehingga terwujud sepasang ternak yang siap di pergunakan untuk menarik bajak sawah dalam pengolahan tanah di sawah. (Griya I Wayan,1986:26). Menurut I Nyoman Sumada mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu seorang petani memberikan seekor ternaknya dari petani yang lain. Sepasang ternak yang terwujud, berkat adanya kerja sama tersebut. Siap dipakai secara silih berganti diantara mereka dan bentuk kerja sama seperti itu akan berulang berkali di pergunakan petani dalam musim pengolahan lahan persawahan mereka. I Nyoman Sumada menambahkan bahwa jenis gotong royong menolong melalui penggabungan tenaga ternak seprti itu telah
dikenal dari masa yang jauh lampau. Khusunya semenjak tenaga binatang merupakan sumber tenaga penting di bidang pertanian.Pada desa-desa pertanian di Bali potensi tenaga ternak masih merupakan sumber tenaga yang penting. Kegiatan meselih bau tersebut masih terwujud sebagai yang murni. Kemudian dalam perkembangan berikutnya sering dimanfaatkan oleh desadesa yang lain yang sudah mengenal dan terbiasa dengan sistem upahan. Pasangan ternak yang berwujud sebagai kerja sama seperti itu dapat diupahkan pada pihak ketiga.(Wawancara tanggal 2 januari 2015). I Wayan Sukadana kelian subak Desa Pergung menjelaskan bahwa bentuk kegiatan “ Meselisih Bau” berlaku dibidang pertanian, baik pertanian sawah di maupun pertanian tegalan.Tujuanya adalah untuk pengolahan tanah yang penarik bajak dan fungsi tenaga ternak tersebut adalah sebagai tenaga penarik bajak.Kelompok kecil,umunya terdiri dari dua orang petani pemilik ternak dan penggarap tanah.Petani yang berselisih bau itu biasanya berdekatan rumah tempat tinggalnya satu sama lain,sehingga memudahkan mereka dalam hal saling meminjamkan dan memberikan ternaknya.( Wawancara tangal 2 Januari 20015). I Gede Saksi seorang petani yang merupakan pasang Meselisih Bau dengan I Nyoman Sumada menjelaskan tentang peserta-peserta meselisih bau itu biasanya terdiri dari dua orang petani.Dengan cara demikian akan terwujud akan dapat terwujud sepasang ternak penarik bajak,dimana
masing-masing peserta memberikan seekor ternaknya.Dalam tradisi pemakain bajak di Desa Pergung bajak tersebut ditarik oleh sepasang sapi atau kerbau.Sapi atau kerbau penarik bajak itu jumlahnya dua ekor.Dapat terdiri dari keduanya jantan dan keduanya betina,dan juga bisa digunakan satu ekor jantan dan satu ekor betina.Ikatan pettani yang meselisih bau itu dapat berlangsung dalam jangka waktu beberapa kali musim tanam sepanjang kedua pasangan ternak itu mampu diandalkan tenaga kerjanya.Apabila ternak salah seorang petani anggota itu tidak mampu dikerjakan lagi karena ternaknya tua atau dijual maka bentuk kerja sama itu bisa bubar dan petani yang ternaknya masih itu membangun silih bau dengan petani lain dan begitulah seterusnya.(Wawancara tanggal 2 januari 2015). I Nyoman Sumada menambahkan dalam meselih bau itu batasan pesertanya yang saling penting antara petani dandengan pemilik ternak dan rumah tepat tiingal mereka saling berdekatan dan ikatan kekerabatan tidak amat menentukan. Faktor difrensasi sosial ada pengaruhnya dalam menentukan pesertanya, karena meselih bau sekurang-kurangnya menurut adanya jenis pekerjaan yang sejenis diantara pesertanya. Tidak mungkin petani meselisih bau dengan pegawai atau pedagang, karena dua jenis pekerjaan yang berlakangan bukan pekerjaan yang sejenis dengan petani dan juga pegawai atau dagang adalah bukan pemeliha ternak. (Wawancara tanngal 2 Januari 2015). Menurut penjelasan I Gede Saksi ada ketentuan-ketentuan yang telah disepakti dan
Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana I Putu Sarjana Ni Kadek Indah Suriastuti
71
berlaku pada kegiatan Meselisih Bau, yakni kewajiban yang paling pokok dari anggota peserta, dalam jenis kegiatan yang paling pokok dari anggota peserta, dalam jenis Meselisih Bau adalah saling memberikan ternak mereka untuk dipakai dalam pengolahan tanah sebagai tenaga penarik bajak.Disamping itu,kadang-kadang ikut serta pula jenis-jenis peralatan yang relevan dengan pekerjaan pengolahan tanah tersebut atau tenaga petani itu sendiri.Dengan demikian,apabila seseorang petani akan mengolah tanahnya dengan bajak,dan mempergunakan tenaga ternak pasanganya,maka yang diajak membangun silih bau.Sering pula petani pasang itu ikut serta dalam menghartakan sapi atau kerbaunya ketempat kerja,lalu ikut membantu kerja,sebagai imbalan terhadap kerja,sebagai imbalan terhadap kerja seperti itu, maka petani yang punya kerja yang punya kerja biasanya menyugukan makan dan minum menurut tradisi yang berlaku. (Wawancara tanggal 4 Januari 2015). I Nyoman Sumada menambahkan sebaiknya apabila nanti pasangannya mempunyai kerja, maka menjadi kewajiban.Bagi yang pertama untuk berbuatyang sama seperti apa yang telah pernah dilakukan pasangannya yang terdahulu. Demikian terwujud suatu kegiatan gotong royong,tolong menolong antara kedua petani melalui ikatan ternak mereka.Hal itu biasnya terdapat suatu keseimbangan dalam proses bantu membantu.Dalam arti jumlah kerja dan luas garapan ysng terjadi pada petani yang satu,hamper sama dengan yang lain yang
WIDYA WRETTA
72 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
menjadi pasangannya. Dengan demikian ada kecendrungan dasar pertimbangan yang cukup rasioanal dalam hal pemilihan pasangan yang diajak membangun selisih bau itu. Petani yang membangun silih bau adalah antar petani yang luas garapanya relatif sama,sehingga dengan demikian yang satu tidak diekploitasi oleh yang lain. Dalam hal meselisih bau itu,memang ditutut adanya keiklasan dan kewajiban moral,untuk saling membantu secara berimbang antara sesame anggota peserta. Apabila ternyata bahwa kewajiban yang pernah diberikan (kewajiban melalui tenaga ternak) tidak seimbang dengan hak yang diterima dari pasangannya, maka pasangan tersebut dapat bubar dan bahkan dapat terjadi ketegangan tertentu serta petani mengalih pasangan yang lain. Suatu ketentuan yang penting pula dalam hal meselisih bau adalah,bahwa pasangan ternak itu adalah kombinasi dari peranan yang berbeda, yaitu ternak yangsatu menempati yang sebelah kiri dan satu yang lagi posisi sebelah kanan, sehinnga dapat berfungsi secara harmonis. (Wawancara 3 Januari 2015). Menurut I Gede Saksi mengatakan bahwa pelaksanaan meselih bau dapat berlangsung dalam jangka waktu bebrapa musim tanam.Untuk satu tahap pekrjaan, prosenya berlangsung sebagai berikut: Mulamula petani yang punya kerja member tahu pasangannyasatu ada dua hari sebelumnya bahwa dia akan melakukan pekerjaan membajak dan sapi atau kerbau
pasangannya akan dipekergunakan.Dalam hal pebriatahuan itu biasanya dipertegas, apakah ternaknya saja yang akan diminta atau sekaligus dengan bantuan tenaga kerja dari petani pasangannya itu. Pada hari yang telah ditentukan, maka ternak atau bersama petani pasangannya itu,digarapkan pekrjaan dari petani yang punya kerja itu. Pekerjaan membajak melalui meselih bau itu umumnya berlangsung pada pagi hari sekitar selama setengah hari (dari jam 05.00 samapi dengan 10.00 pagi) setelah pekerjaan itu selesai maka ternak dari pasanganya itu di kembalikan oleh yang punya kerja atau apabila pasangannya itu ikut membantu kerja,maka dia sendiri yang mengantarkanternaknya kembali.Dengan demikain pula dikemudian hari, apabila petani ini mendapat giliran,maka beralaku pula tata pelaksanaan seperti tersebut di atas. ( Wawancara pada tanggal 3 januari 2015). Dari uraian di atas dapat terungkap bahwa hasil dari kegaitan gotong royong meselisih bau itu di terutama tertuju untuk kepentingan individu yang sedang punya kerja. Dengan adanya jenis gotong royong ini, maka seorang petani cukup memiliki seekor ternak saja (sapi dan kerbau) dengan bantuan seekor ternak lagi dari petani lain, maka terwujudlah pasangan ternak yang siap dipergunakan sebagai tenaga penarik bajak dalam pengolahan tanah pertanian mereka. Dalam hal ini hasil tampak pertama-tama adalah hasil bentuk fisik yaitu pasangan ternak sebagai tenaga kerja, pasangan petani yang menjadi peserta meselisih bau, dan
penggabungan tenaga kerja yang terwujud sebagai kerja sama seperti itu akan mampu mempercepat proses pengolahan tanah pertanian. Terungkap pula bahwa kehidupan komoniti petani adalah suatu kehidupan dimana sifat hubungan personal merupakan cirri yang cukup menonjol maka disamping hasil yang berbentuk fisik diatas pada hakekatnya diantara para petani peserta meselisih bau. Itu kadang-kadang tumbuh pula suatu ikatan batin tertentu, dan rasa keterikatan itu terwujud dalam berbagai jenis gotong-royong yang lain antar sesame, sepertimeselisi, ngerembo, ngopin dan lain-lain. 2.2 Meselisi Tradisi yang telah berlangsung lama ini merupakan kegiatan gotong-royong tipe tolong menolong dalam bidang pertanian dan mata pencaharian. Sistem sosial budaya masyarakat di Bali, hanya tingkat intensitas dan frekuensinya berbeda-beda menurut bidang kehidupan dan tingkat perkembangan masyarakat desa yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan kegiatan gotong-royong tersebut. Hal ini berati bahwa jenis gotongroyong yang sama mungkin akan diaktifkan dengan tingkat intensitas dan frekuensi yang berbeda dalam bidang kehidupan dan tingkat perkembangn desa yang berlainan. Kemudian terkait dengan penelitian tentang sistem sosial masyarakat desa Pergung. Kegiatan gotong royong jenis meselisi merupakan tradisi yang telah berlangsung dalam kehidupan sosial masyarakat petani. Sebuah sumber menjelaskan bahwa “ Meselisi” terbentuk dari kata dasar slisi. Sebagai suatu jenis gotong royong, meselisi berati berganti-ganti
Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana I Putu Sarjana Ni Kadek Indah Suriastuti
73
membantu. Kata slisian berati orang yang diajak bantu membantu dalam bekerja.(Drs I Wayan Geriya,1986 :36).
yang lain yang diajaknya meselisi dalam hal penjualan hasil kerajinan dan nanti begitu sebaliknya. ( Wawancara 6 Januari 2015).
Menurut I Nyoman Peres Kepala Desa Pergung menjelaskan bahwa jenis gotong royong ini sangat popular dibidang pertanian dan dapat dipandang sebagai jenis kegiatan arisan bertani. Diluar bidang pertanian meselisi juga dikenal dalam bidang kerajinan dan bidang kemasyarakatan.
Bentuk kegiatan “ Meselisi” itu seperti disebutkan diatas umumnya berlaku dalam bidang mata pencaharian, yaitu pertanian, kerajinan dan dalam bidang kemasyarakatan. Dalam penjelasan yang disampaikan oleh I Ketut Nonik seorang petani yaitu dalam bidang pertanian seperti kegiatan mencangkul atau menanam, tujuannya adalah untuk menghimpun tenaga kerja tambahan, sehingga dengan demeikian proses pekerjaan dapat berlangsung secara lebih cepat. Dalam lingkungan kehidupan petani yang mengenal sistem upahan, maka kegiatan meselisi itu pada umumnya dilakukan antara sesama petani yang kurang mampu memakai tenaga upahan dalam pengaarahan tenaga tambahan yang diperlukan itu. ( Wawancara Tanggal 6 Januari 2015).
Dibidang pertanian, kegiatan meselisi diantara sesama petani telah dikenal dan dipraktekan sejak masa yang lampau terutama tatkala sistem upahan belum menyentuh kehidupan para petani. Tatkala kebutuhan akan tenaga kerja tambahan sangat diperlukan terutama pada tahap-tahap pekerjaan tergolong berat dan memelukan tenaga tambahan seperti : mencangkul, menanam, maka sejumlah petani menghipun diri melalui tukar menukar tenaga dan bantu membantu satu sama lain. Himpunan itu secara silih berganti menyambung tenaga kerja mereka terhadap anggota himpunan sampai mencapai suatu siklus, dimana setiap anggota pernah membnatu dan dibantu diantara sesamanya. (Wawancara 4 Januari 2015). Dalam bidang kerajianan seperti informasi yang disampaikan oleh I Ketut Reda seorang pengerajin bide(ulatan bambu) di Pergung. Meselisi terwujud dalam hal pertukaran materi hasil kerajinan. Apabila ada seseorang pembeli ingin membeli suatu barang (Bedeg)dari seorng pengerajin yang kebetulan dia tak mempunyai persediaan jenis barang yang ingin dibeli tersebut, maka pengerjian
WIDYA WRETTA
74 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Dalam bidang kemasyarakatan adanya bentuk kegiatan “ Meselisi” memberikan peluang bagi seseorang untuk mengalihkan suatu kewajibannya kepada kawanya yang lain. Sehingga sesorang itu dapat memfokuskan kegiatanya kepada bidangyang lain, yang dari sudut kepentingan oarng tersebut menurut suatu prioritas tanapa dia dianggap melalaikan kewajiban sosilnya. Kelompok yang terlibat dalam kegiatan meselisi itu pada umumnya adalah kelompok yang bersifat sementara dan kemudian dapat berganti dengan orang lain setelah satu siklus.Setiap anggota telah pernah membantu dan dibantu satu sama lain.
Meselisi dibidang pertanian, umumnya terjadi diantara petani tetanggaan meselisi dibidang kemasyarakatan umumnya diantara sesama dalam satu kelompok sosial tertentu yaitu satu banjar, satu seka, satu subak, satu dadia.(Wawancara dengan I Wayan Sukadana, Kelian Subak Desa Pergung). Kelian Subak I Wayan Sukadana menambahkan bahwa peserta-peserta kegiatan meselisi, yang terpenting adalah orang-orang tersebut asal dari pekerja sejenis, dalam artian ini bahwa mereka adalah samasama petani, sama-sama pengerajin dan seterusnya.Dalam bidang pertanian jumlah peserta dalam satu himpunan peselisian biasanya sekitar 2-5oarang. Jumalah yang relatif kecil seperti itulah yang lebih memberikan kemudian dapat tercapainya satu siklus untuk satu musim tanam, dimana setiap anggota pernah membantu dan dibantu satu sama lain diantara sesama mereka. Para petani yang ikut serta dalam satu peselisian umunya adalah dari kalangan pria dan mereka dapat terdiri dari kategori golongan usia dewasa maupun tua. Ada kecendrungan bahwa mereka memilih anggota dari golongan usia relatif sebaya. Batas-batas bagi peserta dalam kegiatan meselisi dibidang pertanian tidak harus diikat oleh sistim kekerabatanatau sistim kesatuan hidup setempat (banjar, desa). Peserta-peserta itu pada umunya terdiri dari petani -petani tetangga atau anggota suatu subak tertentu. Karena mereka pada umumnya adalah himpunan dari pekerjapekerja yang sejenis. Adanya kencendrungan di antra mereka memilih anggota dari golongan
usia yang sebaya dan dengan luas garapan yang rata- rata seimbang. Maka dapat dikatakan bahwa dalam kegiatan meselisi peserta-pesertanya adalah asal dari strata sosial yang sama. (Wawancara tanggal 2 Januari 2015). I Nengah Mista seorang petani penggrap mengatakan bahwa ada ketentuanketentuan dalam kegiatan meselisi yakni pada pokoknya kewajiban peserta dalam kegiatan meselisi adalah saling memberikan tenaga kerja, atau memberikan tenaga kerja, atau materi bagi anggota peserta yang telah membutuhkan bantuan tersebut.Dalam hal ini misalnya satu himpunan peselisian dalam hal mencangkul terdiri dari 5 orang peserta dan salah seorang anggota sedang mempunyai kerja, maka empat anggota lainya berkewajiban datang membantu mencangkulkan tanah pertanian anggota tersebut, sampai tanah garapan selesai dikerjakan. Dalam hal seperti itu, maka anggota peserta yang telah menyelenggarakan kerja dan menerima bantuan dari empat orang anggota peserta lainya, akhirnya mempunyai suatu kewajiban pula untuk nantinya mengembalikan bantuan tersebut, dalam bentuk bantuan tenaga kerja kepada sesama anggota terdapat suatu hak dan kewajiban untuk saling memberikan bantuan, baik berupa tenaga maupun materi, dalam suatu bentuk maupun jumlah yang hampir seimbang. Dalam contoh kasus himpunan kegiatan meselisi, lima petani pecangkul diatas, maka dalam setiap pekerjaan mengcangkul untuk anggota himpunan selalu ditemukan satu bentuk kerja sama tolong menolong yang
Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana I Putu Sarjana Ni Kadek Indah Suriastuti
75
pada hakekatnya bersifat tertutup, dalam arti diselenggarakan oleh anggota peserta dan untuk kepentingan anggota peserta yang bersangkutan. ( Wawancara tanggal 7 Januari 2015). I Ketut Suka menambahkan bahwa kegiatan meselisi itupun adalah digerakkan oleh prinsip timbal balik. Karena itu hampir selalu ditutut adanya keseimbangan antara hal yang pernah diterima dan kewajiban yang harus diberikan.Apabila ada diantara anggota peserta tidak disiplin dalam arti lebih mengutamakan hak dari pada kewajiban, maka orang tersebut segera harus menerima suatu penelian jelek atas dirinya. Prilaku dijadikan fokus buah bibir diantara sesame petani. Karena prinsip kehidupan umumnya lebih didasrkan pada solidaritas mekanis, maka hal seperti itu mudah menjalar dan diketahui oleh lingkungan petani yang lebih luas, dan nantinya orang seperti itu tidak akan mau lagi diajak kerja sama dan mudah terisolasi. ( Wawancara pada tanggal 5 Januari 2015). Menurut I Ketut Suka pelaksanaan kegiatan meselisi umumnya diawali oleh suatu kontak dan pembicaraan yang bersifat informal. Sejumlah petani menyatakan kesepakatanmereka untuk menghimpun diri dalam satu bentuk himpunan peselisihan. Hal ini dilakukan biasanya pada awal musim tanam. Dengan tercitanya kesepakatan tersebut, maka merekpun pada hakekatnya mulai terkaitoleh adanya hak dan kewajiban antara sesame mereka. Apabila salah satu anggota peserta telah menetapkan punya kerja, maka yang WIDYA WRETTA
76 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
punya kerja itu menghubungi sasama anggota himpunannya. Dalam hal ini tidak ada pemimpin himpunan dan juga tidak ada aturan-aturan pasti, misalnya tentang giliran atau sangsi-sangsi bagi yang tidak disiplin. Segala musyawarah dan resiprositas. Dalam hal kerja tersebut diatas, maka menurut hari dan tempat ,yang telah ditetapakan oleh yang punya kerja, maka seluruh anggota peserta datang untuk melakukan kerja. Dalam bentuknya yang paling murni, kegiatan meselisi seperti ini, bahkan berlangsung tanpa adanya kompensasi apapun yang punya kerja. Masa kini mulai adanya suguhan seperti minuman, rokok, dan sebagainya. Satu dari proses meselisi berakhir apabila telah tercapai satu siklus, dimana anggota peserta telah pernah memberikan kewajiban dan menerima hak mereka. Ikatan meselisi itu dapat bubar untuk satu musim tanam dan kadang-kadangkadang dapat berlangsung untuk beberapa musim tanam. ( Wawancara tanggal 6 Januari 2015). Dari urain di atas dapat terkuap bahwa hasil dari kegiatan, yang pada gilirannya nanti dapat dinikmati oleh seluruh anggota peserta. Karena dalam kegiatan meselisi itu pada umumnya menyangkut tenaga kerja dan materi, maka hasil yang segera terwujud adalah dalam bentuk fisik. Dengan adanya jenis gotong royong ini maka dalam bidang pertanian para petani dapat memperoleh tenaga tambahan tanpa mengubah dan pekrjaan dapat terselaisaikan secara lebih cepat, karena dianggap oleh satu himunan tenaga kerja secara bersama-sama. Dalam bidang kemasyarakatan jenis gotong
royong ini menyebabkan seseorang dapat menularkan atau melimpahkan suatu kewajiban sosial secara sementara kepada temannya yang lain, tanpa dia dianggap melalaikan kewajiban sosil. 2.3 Ngayah Kegiatan gotong royong sejenis “ Ngayah” merupakan tradisi yang hidup dan telah berlangsung dalam kehidupan sosial masyarakat Desa Pergung. Ngayah merupakan tipe gotong royong kerja bakti dibidang kehidupan yang secara klasifikasi merupakan bidang realigi dan kepercayaan. Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa, kata ngayah mempunyai arti kegiatan untuk melaksanakan pekerjaanbagi kepentingan orang atau kelompok yang lebih tinggi derajat atau statusnya. ( I Wayan Geria, 1986 : 88). Dalam sumber lain juga disebutkan bahwa : Ngayah ialah suatu aktivitas sosial yang bertujuan menyebutkan tenaga untuk kegiatan yang bersifat suci atau sakral yang kadangkadang bersifat kemeriahan. (Drs. I Ketut Sudana Astika, 1986 : 88) Istilah atau pemakaian ngayah ini sudah di kenal lama terutama pada masa kerajaan-kerajan dahulu, dimana anggota masyarakat melakukan kegiatan ini bagi kepentingan kerajaan atau keluarga saja. sampai sekarang masih ada perbedaan struktur masyarakat, yang terwujud dalam tingkat kasta. Istilah ngayah masih terpakai untuk suatu aktifitas sumbangan tenaga dari suatu golongan masyarakat kepada golongan masyarakat yang lebih tinggi tingkatannya. Istilah “Ngayah juga terpakai untuk suatu
aktifitas pengarahan tenaga untuk kepentingan persiapan atau pelaksanaan upacara di pura, di banjar atau di desa. Pengarahan tenaga lainnya di tempat yang sama untuk suatu hal yang berhubungan dengan keramaian, perayaan atau kegiatan lainnya oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Bentuk kegiatan gotong royong jenis “ngayah” ini yaitu : dengan pengertian suatu kegiatan yang berhubungan dengan sumbangan tenaga yang harus diberikan oleh suatu golongan masyarakat yang lebih rendah tingkatannya kepada golongan masyarakat yang lebih tinggi tingkatannya, maka gotong royong ini bias berbentuk suatu kewajiban sosial diantara golongan masyarakat dengan pelaisan social seperti kasta. Kegiatan gotong royong ini juga membentuk suatu pola hubungan yang pasti antara suatu golongan masyarakat dengan gotong royong masyarakat dengan warga kelompoknya yang dapat dikatakan sebagai hubungan “Patron Kloin” seperti : - Banjar dengan anggota banjar - Sanggah /Pura dengan anggota dadia/ penyungsung - Puri dengan sama carik/Samakarang - Puri/Jero dengan panjak/parekan - Geriya dengan sisianya Pada kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan keramaian atau kemeriahan di Pura, Puri maupun Banjar, aktivitas gotong royong ini akan berbentuk suatu cetusan spontanitas dari para warganya untuk memenuhi kewajiban sosial dalam menyumbang tenaga bagi kepentingan bersama.
Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana I Putu Sarjana Ni Kadek Indah Suriastuti
77
Menurut I Nengah Peres bendesa Adat Desa Pergung mengatakan bahwa peserta-peserta kegiatan gotong royong seperti ngayah ini melibatakan para warga suatu kelompok sosial tertentu, yang tercipta adanya struktur sosial dimasyarakat atau kalangan warga kelompok tersebut. Para peserta kegiatan ini bias semua warga suatu banjar atau kegiatan desa, atau sebagian saja dari para warga tersebut. Pola hubungan yang tercipta karena adanya hubungan yang baik seperti Karena bentuk gotong royong ini terwujud sebagai kewajiban sosial dari suatu kelompok atau golongan masyarakat lainya.Maka kadang-kadang juga tewujud suatu kewajiban yang timbal balik anatara keduanya. Bagi yang mendapat sumbangan tenaga, berkewajiaban untuk memberikan sekedar imbalan yang berupa hidangan atau imbalan lainya. Tetapi ketentuan ini tidak perlu mengikat, karena pada kewajiban menyumbang tenaga dari para anggota suatu kelompok yang bernama “ banjar atau desa”,dan tidak ada suatu keharusan tersedianya hidangan tersebut. Ketentuan yang lain ialah yang berhubungan dengan sangsi yang dikenakan kepada para peserta, karena suatu hal tidak dapat ikutserta dalam kegiatan gotong royong ini. Karena aktifitas ini sebenarnya lebih banyak berdasarkan pada spontanitas, sehingga ditutut adanya pengertian dan kesadaran tinggi. Maka sangsi-sangsi yang juga lebih banyak berupa sangsi sosial diantara para warga lainya, bahkan akibat yang lebih fatal lagi ialah pengucilan dari para warga sendiri, jadi sangsi ini sebenarnya datang dari para
WIDYA WRETTA
78 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
warga sendiri dan bukan dari pihak yang diberikan sumbnagan tenaga. ( Wawancara pada tanggal 9 Januari 2015). Pelaksanaan dari aktifitas gotong royong “ngayah” ini biasanya didahului denganpamong banjar, desa, dadia atau pengurus desa adat dan pengurus desa adat setempat.Menurut I Wayan Renden banjar Petan Kelod Desa Pergung untuk memelihara dilingkungan Pura Puseh dan Pura Desa dan lingkungan sekitar, telah dijadualkan itu setiap bulan yaitu minggu pertama telah dijadualkan, secara bergilir dari anggota banjar Petapan Kelod yang masing-masing kelompok terdiri dari lebih 40 orang mengadakan kegiatan pembersihan. Kemudian bulan berikutnya dilaksanakan oleh kelempok Banjar lainya karena Desa Pegung terdiri dari 6 Banjar yaitu Banjar Petapan Kelod, Banjar Petapan Kaja, Banjar Pangkung Lubang, Banjar Pangkung Apit, Banjar Baler Pasar dan Banjar Dauh Pasar. Kegiatan ngayah ini dilakukan secra rutin dan terpimpin oleh Kelian Banjar masingmasing banjar. Kemudian dalam hal permanen seperti perbaikan bangunan maupun persiapan menyambut piodalan maka semua banjar melakukaan kerja bakti dan ngayah secara bergiliran. Kegiatan ini merupakan gotong royong untuk memenuhi kewajiaban sebagai warga masyarakat Desa Pergung. ( Wawancara pada tanggal 10 Januari 2015). I Wayan Renden menambahkan pengaturan pemakaian tenaga yang datang juga mendapat perhatian dari para ketua kelompok dan langsung menjadi pemimpin kelompok kerja. Pengaturan yang paling penting adalah pengaturan konsumsi untuk
persiapan Krama yang ngayah, biasnya jumlahnya sangat besar pada saat-saat puncak upacara atau puncak karya piodalan di Pura Khayangan Tiga Desa Pergung. Dijelaskan pula oleh Bendesa Adat bahwa sampai upacra atau suatu kegiatan berakhir, maka kewajiban menyumbangkan tenaga ini belumlah berakhir seluruhnya. Karena untuk membereskan sisa-sisa pekerjaan dan Persiapan maka rencana kegiatan yang akan datang juga harus diatur jauh sebelunya dan kegiatan tersebut dilakukan dengan rasa tulus ihklas penuh pengabdian.Pelaksanaan ngayah itusangat melekat dalam sanubari masing-masing warga masyarakat, sehingga aktivitas gotong rorong jenis ngayah ini merupakan suatu yang dianggap wajib oleh masyarakat Desa Pergung.( Wawancara pada tanggal 10 Januari 2015). Dari uraian diatas dapat terungkap bahwa hasil utama yang dapat dicapai dari aktivitas “Ngayah” ini adalah berhasilnya suatu pekerjaan dilaksanakan berkat adanya sumbangan tenaga dari para warga suatu kelompok. Disamping itu juga tetap terjalin hubungan yang berpola “patro-klien” antara satu golongan masyarakat dengan segolongan masyarakat lainya. Disamping itu bagi para warga suatu kelompok yang mempunyai kewajiban menyumbangkan tenaganya bagi kelompok lainnya, juga merasakan telah memenuhi kewajibannya sebagai imbalan dari pada hak yang telah ia terima sebelunya. Suatu kewajiban sosial bertujuan untuk menyambungkan tenaga dari segolongan warga masyarakat tertentu, telah
terwujud dari satu aktivitas yang bernama “ Ngayah”. 3.
Usaha Dalam Mempertahankan Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong.
Dalam pandangan hidup masyarakat pedesaan yang masih homogin sangat dipengaruhi dan dijiwai oleh kebudayaan Bali yang sarat dengan norma agama yaitu Agama Hindu.Dalam sistim kepercayaan masyarakat Desa Pergung bakti itu diwujudkan dalam bentuk “Pengorbanan yang tulus ikhlas terhadap sesamanya, maupun terhadap makhluk lain. Jiwa sepengangguran inilah yang mampu mempertahankan nilai budaya yang ada di Bali umunyanya di Desa Pergung. Pandangan hidup rasa bakti dan sepengguran telah mengkristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat diyakini keberannya dan karena itu mengakibatkan tekad para warga masyarakat untuk mewujudkannya. Azas kebersamaan memotivasi masyarakt Desa Pergung untuk lebih beorientasi terhadap sasamanya. Azas berbakti membangkitkan loyalitasnya. Sistem kepercayaan masyarakat untuk rasa bakti itu diwujudkan dalam bentuk manusia suci yang ditujukan baik terhadap sesamaa makro kosmos ini. Ada lima jenis korban suci yang tewujud sebagai upacraa yana memotivasi kehudupan warga,dan hal ini dikenal “ Panca Yadnya” yaitu Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusia Yadnya. Pandangan hidup seperti itulah yang menandai pedoman masyarakat Desa Pergung untuk dapat mengerakkan dan
Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana I Putu Sarjana Ni Kadek Indah Suriastuti
79
mewujudkan perbuatan kongkritdalam bentuk kegiatan gotong royong, tolong menolong maupun dalam bentuk kegiatan kerja bakti lainya berbagai bidang kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi, teknologi.kemasyarakatan dan realigi. Atas dasar itu faktor pandangan hidup dapat dikatagorikan sebagai yang lain fungsi mempertahankan sistem gotong royong dalam kehidupan masayarakat Desa Pergung. Usaha-usaha mempertahankan budaya dilakukan melalui pola pelembagaan sistem gotong royong yaitu melalui jalur organisasi sosial tradisional seperti banjar, desa dan subak. Dan tidak melelui jalur organisasi sosial tradisional. Dalam pengembangan banjar, desa dan subak sistem gotong royong merupakan sub sistem dari organisasi tersebut dalam kehidupan masyarakat Bali pada umunya, baik di banjar maupun di desa. Kalau di kota tidak ada yang tergantung dalam organisasi banjar maupun sosial orang Bali terpenuhi oleh pelembagaan organisasi banjar maupun desa, karena juga mencngkup suatu sangsi dalam sistem tertentu. Dalam bidang pertanian organisasi subak sistem gotong royong terorganisasi dan di tertata melalui awigawaig subak. Sistem gotong royong sangat kuat seperti perbaiakan irigasi, jalan dan ini dilakukan bersama-sama dalam anggota karma subak serta bergotong royong. Awig-awig subak menurut atutan secara sangsi yang mengikat anggota subak, sehingga sistem gotong royong yang merupakan nilai budaya yang perlu dilestarikan. Terkait dengan penelitian nilai budaya di Desa Pergung dalam usaha pelestariannya sitem
WIDYA WRETTA
80 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
gotong royong berdesa Pergung menjelaskan bahwa “ Konsep Tri Hita Karana yang merupakam pedoman hidup warga masyarakat Desa Pergung telah terealisasi dalam awig-awig desa adat maupun awig-awig karma subak Desa Pergung. Seperti konsep parahyangan, memuntun warga masyarakat dalam bidang realigi dan kepercayaan untuk mempertahankan gotong royong kerja bakti jenis “ngayah”. Kemudian konsep pawongan telah menuntun warga bahawa dalam hidup selalau ketergantungan dengan sasama sehinnga setiap warga lebih menghargai kepentingan bersama. Sebuah sumber mengatakan bahwa “ Hakekat hubungan manusia dengan manusui bervariasi atas: Hubungan horizontal atau berorientasi kearah sasamanya, hubungan vertical atau berorientasi individual dan masalah hakekat hubungan manuasi dengan alam bervariasi atas: manusia selaras alam, manusia tunduk terhadap alam, manusia menguasai alam. (Koentjaraningrat, 1980:104). Atas dasar variasi-variasi kerangka di atas, maka gotong royong agaknya berkaitan erat dengan sistem nilai budaya mengenai hubungan horizontal dan vertical atar sesame manusia dan mengenai hungungan manusia selaras dengan alam. Profesor Koentjaraningrat menjabarkan sistem nilai budaya yang merupakan latar belakang kehidupan gotong royong Indonesia kedalam konsep-konsep kehidupan masyarakat. Kemudian konsep Tri Hita Karana dalam bidang Palemahan juga telah menuntun
warga Desa Pergung menghargai lingkungan atau wilayah desa yang harus dijaga dan dirawat secara bersama-sama. Atas dasar konsep-konsep tersebut diatas, maka konsep gotong royong agaknya mengimplikasikan dua dimensi sistem nilai budaya sebagai latar belakang kegiatan gotong royong dan sistem tidakan yang terwujud sebagai peran sosial seperti bidang kehidupan, ekonomi, bidang kemasyarakatan serta bidang realigi dan kepercayaan dan sistem ini di sebut sistem sosial. 3.1 Gotong Royong Sebagai Nilai Pendidikan. Banyak denifinisi yang berkenan dengan budaya karena kedudayaan meliputi semua aspek kehidupan manusia. Namun demikian ada satu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu proses belajar yang artinya kebudayaan tidak datang dengan sendirinya tetapai harus dipelajari sejak manusia masih berusia dini,bahkan sejak manusia masih berupa janin. Hal itu tercermin dari adanya pantangan- pantangan ketika sesorang berdan dua ( hamil).Maka dari itu ada upacara kehamilan dalam umur kandungan tujuh bulan,yang penuh dengan simbol- simbol yang bermakna. Semua itu dimagsudkan agar sang cabang bayi kelak memiliki watak dan keperibadian yang sesuai dengan masyarakat ketika anak masih berusia dini. Lingkungan keluarga merupakan wahana pemblajaran budaya pendidikan. Dari kedua orang tua ia akan belajar dan diajari budaya yang ditumbuh kembangkan oleh masyarakat dan setelahbesekolah ia akan memperoleh
pengetahuan budaya pendidikan dari gurunya. Selain itu lingkungan yang tidak kalang pentingnya adalah lingkungan masyarakat. Melalui masyarakat seorang anak dapat meniru budaya dan tradisi yang ditumbuh kembangkan oleh masyarakatnya. Fungsi budaya pendidikan dalam suatu masyarakat adalah sebagai pedomandalam menghadapi lingkungan seperti alam, sosial dan budaya (Suparlan.1995). Mengingat fungsinya sedemikian vital, maka setaiap masyarakat termasuk masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana memiliki dan berusaha untuk melestarikan, melindungi, mengembangkan dan memanfaatkanya. Dalam rangka pelestarian itulah pendidikan budaya menjadi penting. Pendidikan budaya pada dasarnya adalah suatu kegiatan penanaman nilai-nilai yang dijadikan acuan dalam bersikap dan bertingkah laku bagi suatu masyarakat. Penanaman nilai- niali itu dapatdilakukan oleh keluarga ( melalui kedua orang tua), sekolah (melalui para guru) dan masyarakat ( melalui warga). Ini artinya bahwa penanaman nilainiali tidak hanya di lingkungan keluarga dan sekolah,tetapi juga masyarakat. Suatu tradisi yang ada di kalangan masyarakat Desa Pergung yaitu gotong royong,baik gotong royong yang menyangkut kepetinganin individual( perseorangan) maupun kepentingan bersama. Gotong royong dalam kerja bakti untuk melestarikan desa termasuk dalam katagori gotong royong yang menyangkaut kepentingan bersama. Gotong royong sebagaimana telah disinggung
Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana I Putu Sarjana Ni Kadek Indah Suriastuti
81
bagaian depan,adalah nilai budaya sebagai suatu sistem nilai dan bersifat abtrak,oleh karena sifat itu yang demikian maka ia tidak dapat dilihat, difoto dan diraba. Gotong royong baru dapat diamati manangkala telah berwujud aktivitas ( sistem sosail). Disini dapat dilihat bagaimana desa gotong royong dalam bentuk kerja bakti untuk melestarikan desa. Gotong royong sebagai mana telah di singgung pada bagian atas, jika diamati secara seksama, tidak hanya mengandung nilai, ketergantungan dengan sesamnya bersamaan dan musyawarah, tetapi juga kerjasama. Nilai-nilai tersebut sangat mengandung kehidupan bersama dalam suatu masyarakat dan karenanya gotong royong dalam menunjukankepentingan bersama tersebut, secra tidak langusung merupakan wahanadalam pendidikan budaya. Dalam gotong royong ini berjiwa sosial yang penting yang harus ditambahkan pada anak-anak, anak muda,orang tua maupun warga masyarakat, Karena mengajarkan anak untuk memiliki jiwa sosial,gotong royong dan saling membantu hal ini dapat diemplementasikan di masyarakat dengan organisasi-organisasi yang dibentuk untuk mengajak masyarakat untuk melestarikan desa dan untuk mendidik anak secra dini untuk melatih jiwa sosial si anak untuk melestarikan desa. Hal ini sangat berkaitandengan kehidupan kelompok manusia yang dilatarbelakangi oleh kondisi keterbatasan kemampuan-kemampuan yang di miliki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disisi lain kebutuhan hidup manusia selalu berubah dan berkembang serta akal pikiran yang dimiliki menjadikan selalu terjadi proses belajar pada
WIDYA WRETTA
82 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
diri manusia oleh karena itu hidup berkelompok manusia bersifat dinamis. Didorong oleh adanya kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri dan dibantu oleh akal pikiran yang dimiliki, manusia membentuk kelompokkelompok sosisl. Mereka merasakan banyak manfaat keuntungan dari kerja sam dalam kelompok. Pengalaman hidup dalam kelompok kemudian menumbuhkan berbagai kepentingan kelompok. Nilai-nilai yang terkandung di dalam keyakianan agama mereka masing-masing anggota masyarakat yang kemudian terfrekuensi dalam falsafah dan idiologi bangsa yakni Pancasila. Nilai-nilai ketuhanan yang terkandung di dalamnya hendaknya menjadi spirit yang terimplemasikan dalam pola pikir, pola sikap dan pola prilaku anggota warga masyarakat dengan membiasakan atau membudayakan saling menjaga nilai-nilai kebaikan kemanusian, berperilaku adil terhadap diri sendiri keluarga atau sesama, menjadikan diri sebagai pemimpin yang bertangung jawab dengan lebih mementingkan kepentingan bersama ketimbang pribadi atau golongan yang bermuara pada berkembangnya budaya gotong royong dalam segala aspek. Nilai-nilai yang harus menjadi sumber kwalitas kehidupan berbangsa dan bemasyarakat dalam rangka menumbuhkan budaya gotongroyong, yaitu spirit dan niali-nilai keimanam, ketakwaan, kejujuran, keterbukaan, semangat hidup menyadari sendiri dan keberadaan orang lain.persatuan dan kesatuan bersikap dan prasangka positif, disiplin diri, tamggung jawab dan kebersamaan. Hal ini sangat berpengaruh pada nilai pendidikan sosial,nilai sosial yang terkandung
dapat diambil dari prilaku dan tatacra hidup sosial.Perilaku sosial berupa sikaf seseorang terhadap peristiwa yang terjadi disikitarnya yang ada hubungannya dengan sosial bermasyarakat anatar individu. Nilai pendidikan sosial yang ada dalam karya seni dapat dilihat dari cermin kehidupan masyarakat yang diinterprestasikan untuk mewujudkan Desa yang lestari dan harmonis. Upaya yang dilakukan adalah membentuk dan pengembangan pos-pos pemberdayaan keluarga( posdaya) di berbagai tempat di lingkungan sekitar yang bias dilakukan dibalai banjar. Posdaya merupakan wadah, forom silahturahmi dan wadah untuk membangkitkan kembali budaya gotong royong di masyarakat di lingkungan kita. Dalam posdaya kelurga-kelurga diajak secara muswarah dan memecahkan masalah dilingkungan dengan seksama dan belajar untuk perpendapat secara logis sehingga masalah dapat dipecahakan. Dengan diawali musyawarah di tingkat akar rumput,budaya saling mengenal maka akan tercipta budaya hidup gotong royong yang secara nyata dilakukan. Gotong royong bukan sekedar diomongkan di publik,tetapai benerbener dilaksankan dengan cara seksama dan tulus iklas yang di kerjakam besama-sama.Hal ini diciptakan adanya bentuk saling menghargai dan menghormati sesama anak bangsa. Dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sangat penting untuk mendidik dan menumbuhkn rasa kerja bakti pada anak sejak dini. Dalam hal ini kebersamaan yang sangat penting dan akan tibul rasa kasih saying dan semua akan merasakan rasa kebersamaan di lingkungan orang tua, anak (muda mudi).
4. Simpulan Berdasarkan pembahasanpembahasan pada bab terdahulu maka bagian akhir dari tulisan ini, penulis temukan beberapa kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalan yang dibahas yaitu sebagi berikut. a). Pelaksanaan budaya gotong royong di Desa Pergung diklasipikasikan kedalam dua tipe yaitu tipe gotong royong tolong menolong, dan tipe gotong royong kerja bakti.Gotong royong jenisnya Meselisi Bau merupakan kegiatan gotong royong yang klasifikasinya merupan kegiatan gotong royong tolong menolong pada bidang ekonomi dan mata pencaharian. Dan kegiatan meselisi bau itu kegiatan spontanitas yang didasari atas kebersamaan dan pambrih dan timbal balik yang hidup serta berlangsung di pedesaan. b). Usaha untuk mempertahankan nilai pendidikan budaya gotong royong yang telah lama tertanam dalam kehipuan sosial masyarakat Desa Pergung. Dilakukan melalui pola pelembagaan sistim gotong royong melalui pola pelembagaan sistem gotong royong dalam organisasi sosial tradisional seperti Banjar, Desa Perekraman, karena banjar adalah merupakan suatu kesatuan sosial atas dasar wilayah yang lebih kecil dari Desa. Banjar menjalankan tugas-tugas yang bersifat religius juga bertugas dalam bidang yang lebih bersifat sekuler. Semua dilakukan dengan sistem gotong royong yang tercangkup dalam organisasi sosial tradisional.
Nilai Pendidikan Budaya Gotong Royong dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Pergung Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana I Putu Sarjana Ni Kadek Indah Suriastuti
83
DAFTAR PUSTAKA
Muhajir. 2002. Metode Penelitian Kualitatif III. Surabaya: Raka Sarasin.
Departemen Agama Republik Indonesia. 1986.Upadesa
Marzuki. 1977. Tehnik Observasi.
Griya, I Wayan. 1986. Sistim Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Iventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Hall, Caplin S.Dkk.1993. Teori-Teori Holostik (Organismikfenomenologis). Yogyakarta: Kainisius Hasan, Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Indonesia Ghalia.
Nawawi, H. Hadari. 1993. Metodologi Penelitian Bidang Sosial: Jogyakarta. Gajah Mada University Pre. Poloma,M. Margaret. 2003.Sosiologi Kontemporer ( Tim Penerjemah). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Tim Penyusun. 2014. Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Tingkat SD Kelas V. Bali Batang Kemdikbud : Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Riduwan. 2004. Metode dan Teknik Penyusunn Tesis. Bandung: Alvabeta.
Jalaludin. 2002. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Saifuddin, Azwa. 1999. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
James, A. Black dan Dean J. Champion. 1999. Metode dan Masalah PenelitianSosial. Bandung: Refika Adi Tama.
Walgito, Bimo. 2003. Pengantar Pikologi Umum. Yogyakarta : ANDI Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Mentalis dan Perkembgangan. Jakarta: penerbit PT Gramedia. . 1990. Beberapa Pokok Antropoligi Sosial, Dian Rakyat. . 1993.Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Resda Karya.
WIDYA WRETTA
84 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK WARIS AKIBAT KONVERSI AGAMA HINDU KE AGAMA KRISTEN (DI DESA PAKRAMAN TARO KAJA) DESA TARO, KECAMATAN TEGALLALANG, KABUPATEN GIANYAR Oleh: I WAYAN MARTHA I NYOMAN SURTANA ABSTRAK Konversi agama Hindu menjadi agama lain merupakan masalah yang serius yang di hadapi oleh masyarakat Bali saat ini. Seiring berkembangnya pola pikir masyarakat Hindu Bali akibat globalisasi, yang tidak diikuti oleh keseimbangan ekonomi dan lemahnya teologi/pemahaman agama Hindu, menjadikan masyarakat Bali sering kali mempertanyakan keyakinannya terhadap keadaan yang menghimpit kehidupannya, sehingga sering kali keadaan tersebut menjadikan seseorang memilih melakukan konversi agama yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat adat di Bali sehingga menimbulkan implikasiimplikasi/akibat terhadap pelaku konversi agama. Dalam Karya Ilmiah Yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Konversi Dari Agama Hindu ke Agama Kristen, (Di Desa Pakraman Taro Kaja) Desa Taro, Kecamatan Tegallalang Kabupaten Gianyar”. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah: (1) Mengapa konversi agama Hindu ke agama Kristen di Desa Pakraman Taro Kaja bisa terjadi? (2) Bagaimanakah Proses Konversi Agama Hindu ke agama Kristen di Desa Pakraman Taro Kaja?, (3) Bagaimana Implikasi Konversi Agama Hindu ke agama Kristen Terhadap Hak Waris di Desa Pakraman Taro Kaja? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor, Proses dan Implikasi Konversi agama Hindu ke agama Kristen terhadap waris. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analistis. Maksudnya adalah suatu analisis data yang didasarkan pada penelitian kepustakaan yang dikaji dengan teori hukum yang bersifat khusus di bidang Desa Pakraman, Hukum Adat dan Hukum Hindu.
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
85
Untuk memudahkan pemahaman dalam pengkajian permasalahan penelitian ini digunakan tinjauan pustaka berupa buku-buku dan skripsi dengan beberapa konsep yaitu: (1) Koversi Agama (2) Implikasi (3) Waris (4) Hukum Hindu (5) Desa Pakraman (6) Awig-awig. Teori yang digunakan adalah teori konversi agama, teori proses konversi agama, dan teori konflik dan integrasi Metode pengumpulan data yang di gunakan (1) Obserpasi, (2) Wawancara, dan (3) Studi Kepustakaan. Metode analisis data digunakan metode kualitatif. Penyebab terjadinya konversi dari agama Hindu ke agama Kristen di Desa Pakraman Taro Kaja antara yaitu: (1) Faktor ekonomi, (2) Lingkungan tempat tinggal, (3) Pengaruh kondisi pendidikan, dan (4) Kurangnya pemahaman ajaran agama Hindu. Proses Terjadinya konversi agama Hindu ke agama Kristen di Desa Pakraman Taro Kaja. Mengalami proses yang panjang dimulai dari sejak I Nyoman Simon Nadhi tinggal dipanti asuhan kurang lebih 15 tahun dalam kurun waktu itu ia menjalani proses ketekisasi (pendidikan Kristen) sebelum melakukan babtis (pernyataan) masuk agama Kristen. Implikasi yang ditimbulkan akibat melakukan konversi agama dari agama Hindu ke agama Kristen di Desa Pakraman Taro Kaja, adalah: (1) Tidak diakui lagi sebagai warga (masyarakat) Desa Pakraman Taro Kaja. Sesuai dengan awigawig/aturan yang berlaku. (2) Dilepaskannya mereka dari hak dan kewajiban di dalam anggota Desa Pakraman Taro Kaja, terutama hak-hak/waris yang terikat dengan Ayahan Desa Pakraman (kewajiban dalam masyarakat adat), seperti Tegal Ayahan Desa dan Karang Desa (ladang dan pekarangan milik adat), semua hak itu kembali menjadi milik Desa Pakraman. Pengambilan hak-hak ini bukan tanpa alasan, pengambilan ini dilakukan untuk menjaga keberlangsungan masyarakat Desa Pakraman Taro Kaja, dalam pemeliharaan kahyangan/pura, upacar-upacaranya dan kegiatan adat lainnya. Seiring terputusnya hak-hak di dalam desa Pakraman maka terputus juga kewajiban mereka di dalam desa Pakraman. Sedangkan hak-hak mereka yang bukan atau tidak ada hubungan degan ikatan desa Pakraman Taro Kaja, seperti harta guna kaya (harta atas nama pribadi /hak milik) keputusannya dikembalikan kepada keluarga bersangkutan untuk memutuskan sesuai dengan aturan yang berlaku. Tentunya semua aturan itu diberlakukan untuk menjaga eksistensi adat dan agama Hindu di lingkungan Desa Pakraman Taro Kaja kedepan, dan tidak lupa mempertimbangkan dalam pembuatan awig-awig (aturan) dan pelaksanaannya supaya tidak bertentangan dengan UUD.RI,1945 (Undang Undang Dasar Republik Indonesia, Tahun 1945), Hukum Adat Bali, dan Hukum Hindu. Hasil penelitian ini ialah Hak dan kewajiban yang menyangkut Ayahan Desa terhadap krama/warga masyarakat yang melakukan konversi dari agama Hindu ke agama lain di Desa Pakraman Taro Kaja hak dan kewajiban dalam Desa Pakraman dicabut. Karena dengan berpindah agama maka kewajiban-kewajiban dalam Desa Pakraman Taro Kaja yang berlandaskan ajaran agama Hindu tidak dapat dilakukan.
Kata Kunci: Konversi Agama, waris,dan Implikasi.
WIDYA WRETTA
86 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
1.1 Latar Belakang Bali merupakan pulau kecil di Indonesia, tetapi Bali memiliki keunikan tersendiri yang lain daripada pulau-pulau manapun di Indonesia bahkan di dunia, Kekhasan Pulau Bali sendiri dapat dilihat dari begitu banyaknya julukan yang diberikan dunia luar terhadap Bali, diantaranya pulau surga, pulau dewata, pulau seribu pura dan banyak sebutan lainnya. Selain julukan tersebut Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang ramah, adatnya kuat serta budayanya yang khas, dan tidak lepas dari implementasi ajaran agama yang dianut mayoritas masyarakat Bali yaitu agama Hindu. Landasan agama Hindu yang paling menonjol dan menjadi penerapan atau yang menjadi tuntunan dalam pola kehidupan sehari-hari masyarakat Bali yakni, konsep Tri Hita Karana yaitu tiga penyebab kebahagian yang terdiri dari: Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Wiana, (2007,8) menyebutkan bahwa Parahyangan adalah media umat Hindu utuk menghubungkan diri dengan Tuhan, Pawongan adalah media untuk membangun hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, dan Palemahan Adalah media utuk membangun hubungan yang harmonis dengan alam /lingkungan. Dari konsep Tri Hita Karana terlihat bahwa umat Hindu Bali sangat taat dengan konsep tersebut, dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu Bali tidak dapat terlepas dari kegiatan upacara agama. Mulai dari manusa yadnya seperti nelu bulanan (tiga bulanan), otonan
(wetonan), mesangih (potong gigi), pawiwahan (perkawinan), pengabenan (kremasi jenasah) dan sebagainya hingga upacara dewa yadnya baik dalam sekala besar maupun kecil. Selain itu, ritual mecaru, mepakelem sering digelar. Bahkan tidak jarang ritual itu dilakukan dengan serba mewah, mendatangkan sulinggih dalam jumlah banyak, membeli banten yang besar, membuat peralatan yang banyak serta waktu yang dihabiskan berhari-hari (Setia,2006:27). Dalam pelaksanaan tersebut tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar sehingga memerlukan pengeluaran ekstra dalam pelaksanaan tersebut. Di pihak lain, masyarakat dan pemerintah daerah Bali semakin gandrung dengan membina dan mengembangkan kesenian ataupun melaksanakan upacara yang besar (Ardika, 2004:22). Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan, apakah dengan upacara seperti itu umat Hindu akan dapat menyelesaikan persoalan mereka setelah kematian ini. Atau akan menambah beban, karena upacara besar tersebut juga tidak urung menimbulkan keluhan setelah selesai upacara, karena banayak oranag memaksakan diri membuat upacara besar yang berakibat banyak harta benda yang terjual serta diikuti oleh persoalan penyelesaian hutang karena menyelesaikan upacara. Apakah itu tujuan hidup manusia, tentu pertanyaan ini akan dijawab oleh para pembuat ritual-ritual besar (Surpi, 2011:1). Selain itu katanya desa adat atau desa Pakraman yang merupakan implementasi dari sukerta tata pawongan pembinaan hubungan yang baik antar sesama manusia,
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
87
juga terkenal sangat kuat. Darmayudha (2001:13) mengatakan desa Pakraman sejak awal sudah ditata untuk menjadi desa yang religius. Hal ini menurut Dharmayudha dapat dibuktikan realitas historie dimana dapat dibuktikan desa Pakraman dibentuk berdasarkan konsep-konsep dan nilai-nilai filosofis agama Hindu. Antropolog C.Geert dalam (Ashrama dkk,2007:43). menemukan kokohnya keterikatan orang Bali terhadap tujuh tatanan sosioreligio-kultural. Ketujuh tatanan tersebut adalah (1) keterikatan orang Bali terhadap pura pemujaan Tuhan dan leluhur, (2) terhadap rumah tinggal, (3) terhadap Banjar dan desa Pakraman, (4) terhadap organisasi sekaa, (5) terhadap lembaga subak, (6) terhadap kasta serta hubungan kerabat melalui darah dan perkawinan, dan (7) terikat pada Desa Dinas sebagai bagian dari NKRI. Hal menunjukan adanya keterikatan emosional dan fisik ditengah dinamika kebudayaan yang merupakan fenomena khas. Selain ikatan sosioreligio-kultural sebagaimana yang dikemukakan Geertz tersebut, masih ada lagi kearifan lokal Bali yang sangat tinggi nilainya seperti yang dijelaskan oleh Geria (dalam Ardana, 2005:39 ) yakni konsepsi desa kala patra, karma phala, taksu, dan jengah, sabhayantaka, paras paros sarphanaya, wirang dan tindih, satyam sivam sundaram, asih punya bhakti, Desa Amawacara Nagara Amawa Tata serta konsep Tri samaya (Atita-WartamanaAnagata). Selain konsep tersebut, Kerepun (2007:106) menguraikan konsep Tri Hita
WIDYA WRETTA
88 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Karana telah mengakar dan dikenal dalam kehidupan masyarakat Bali. Bahkan sering disampaikan dalam pidato para pejabat, seolah tanpa menyinggung konsep Tri Hita Karana pidatonya kurang lengkap dan tidak berbobot. Orang Bali juga terkenal dengan kebersamaan dan kegotong-royongan atau konsep ngayah yang dilakukan secara turun temurun. Semestinya dengan apa yang dilakukan atau dengan intensifnya praktek ritual, kuatnya ikatan dengan lembaga adat dan sosial serta kearifan lokal serta nilai yang dianut oleh masyarakat Bali, orang Bali akan menjadi lebih kuat, baik dari sisi agama dan spiritual serta tidak ada keinginan untuk lepas dari ikatan sosialnya yang memberi perlindungan dan kenyamanan (Surpi,2011:3). Ditambah lagi dalam masyarakat Hindu di Bali, sorang anak dapat pula kehilangan hak mewarisnya jika anak tersebut mempunyai tingkah laku dan perbuatannya merugikan atau mengancam kedudukan pewarisnya. Misalnya seorang anak yang driwaka (durhaka) terhadap orang tua dan leluhurnya atau pewarisnya. Demikian pula seorang anak akan kehilangan hak warisnya apabila ia meninggalkan agama leluhurnya atau pewarisnya. Hal ini diberlakukan karena anak tersebut tidak dapat melakukan kewajiban sebagai seorang anak yang suputra (baik) terhadap leluhur dan orang tuanya, seperti melakukan yadnya serta kewajiban-kewajiban sosial dalam masyarakat dan keluarganya. (Gelgel,2006:149). Akan tetapi, di Desa Pakraman Taro Kaja, Desa Taro,
Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, yang merupakan salah satu desa tua di Bali. Ada beberapa orang warga masyarakatnya melakukan konversi agama (berpindah agama), dari agama Hindu ke agama Kristen. Konversi agama di Desa Pakraman Taro Kaja tersebut tentu saja menimbulkan dampak sosial di tengah masyarakat, karena di dalam awig-awignya (aturan adat) sudah tercantum, apabila ada masyarakatnya berpindah agama, maka mereka tidak lagi dianggap sebagai krama/warga Desa Pakraman Taro Kaja seperti yang tertulis pada Tritya Sargah,sukerta Tata Pakraman (Bab III, tentang hubungan antar masyarakat), Palet I Indik krama (bagian I tentang warga), Pawos 4 (1) (pasal 4, ayat 1). Yaitu: Sane kabawos Krama Desa Pakraman Taro Kaja inggih punika kaluarga sane maagama Hindu saha ngamong Tegal Ayahan Desa, Karang Desa lan Karang Guna Kaya utawi jenek mapaumahan ring sawidangan Desa Pakraman Taro Kaja. Artinya: Yang disebut sebagai warga masyarakat adat Taro Kaja ialah orang yang beragama Hindu yang menduduki ladang, pekarangan milik desa adat dan pekarangan hak milik pribadi atau tinggal menetap di lingkungan desa Pakraman Taro Kaja. (Awig-awig lan pararem Desa Pakraman Taro Kaja, 2002:4)
Begitu pula terhadap hak waris, hak mewarisnya krama desa/warga masyarakat Desa Pakraman Taro Kaja, akan hilang apabila ada warga masyarakat Desa Pakaraman Taro Kaja melakukan konversi agama. Seperti kutipan awig-awig Desa Pakraman Taro Kaja berikut, yang tertulis dalam Pancama Sargah ( Bab V ), Palet 4, indik warisan ( bagian 4, tentang warisan), Pawos 66,ca,angka (1) dan (2) (pasal 66 hurup ca) yaitu: 1. Nilar Kawitan Lan Sasananing Agama (Hindu) 2. Alpaka Guru Rupaka Artinya: 1. Meninggalkan kepatutan (hak waris) dan tidak melakukan kewajiban beragama (hindu). 2. Durhaka terhadap orang tua dan leluhur. (Awig-awig lan Pararem Desa Pakraman Taro Kaja,2002:61). Dari pengertian diatas bahwa hilangnya hak waris seseorang atau seorang anak apabila, meninggalkan kepatutan (hak waris), durhaka kepada orang tua atau leluhur, meninggalkan kewajiban beragama/ pindah dari agama Hindu ke agama lain dan keluar dari keluarga asal masuk ke rumpun keluarga lain melalui proses perkawinan atau diangkat anak oleh orang lain. Sehingga dengan demikian maka, ahli waris tidak dapat lagi melanjutkan kewajiban orang tuanya baik kewajiban sosial di masyarakat maupun kewajiban beragamanya. Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
89
mengenai “Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Terhadap Akibat Konversi Agama Dari Agama Hindu ke Agama Kristen (Di Desa Pakraman Taro Kaja) Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar”.
Desa Pakraman Taro Kaja tertulis dalam Purana Pura Agung Gunung Raung (2012 : 2-36) Disana diceritakan mengenai babad (sejarah) berdirinya serta asal mula nama Desa Taro. Berikut adalah sejarah singkatnya :
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan sejumlah sumber tertulis seperti purana, prasasti, usan, babad, pamancanah dan tatwa, pada jaman dulu kala Pura Gunung Raung yang berlokasi di Desa Pakraman Taro Kaja, Tegallalang, konon dibangun berkat kehendak seorang rsi yang maha mulia bergelar Maharsi Markandeya. Beliau merupakan seorang mahayogi yang sangat utama berasal dAri keturunan wangsa Bregu. Disebutkan bahwa Bhagawan Bregu sebenarnya adalah keturunan dari Sang Hyang Jagatnatha yang juga bergelar Sang Hyang Ratnamaya. Beliau disebutkan merupakan putra dari Sanghyang Tunggal yang menjaga atau menguasi dunia seluruhnya.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut : 1. Mengapa konversi agama Hindu ke agama Kristen di Desa Pakraman Taro Kaja Bisa Terjadi ? 2. Bagaimanakah proses konversi agama Hindu ke agama Kristen di Desa Pakraman Taro Kaja ? 3. Bagaimana Implikasi yuridis konversi agama terhadap hak waris di Desa Pakraman Taro Kaja ? PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK WARIS KONVERSI AGAMA HINDU KE AGAMA KRISTEN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Sejarah Desa Desa Pakraman Taro Kaja, merupakan Desa Pakraman yang terletak di Kecamatan Tegallalang, serta masih menjadi bagian dari Desa Dinas Taro. Seperti desadesa lainnya. Desa Pakraman Taro Kaja juga memiliki asal-usul sampai daerah/desa ini diberi nama Taro. Sejarah singkat mengenai WIDYA WRETTA
90 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Diceritakan sekarang sebagai pendahuluan dari purana ini, konon pada jaman dulu ada salah satu keturunan beliau Sang Hyang Jagatnatha bernama Sang Hyang Rsiwu beliaulah seorang maharsi yang sangat cakap/bijaksana mempunyai putra bergelar Sanghyang Meru. Setelah lama menikah beliau mempunyai dua putra laki-laki, yang sulung bernama Sang Ayati dan adiknya bernama Sang Niata. Sang ayati kemudian mempunyai putra Sang Prana, dan Sang Niata juga mempunyai seorang putra bernama Sang Markanda.Sang Markanda kemudian memperistri seorang gadis yang sangat cantik dan sempurna bernama Dewi Maswini.
Setelah lama beliu bersuami istri, lahirlah putra beliau yang diberi gelar Sang Maharsi Markandeya.berikutnya diceritakan beliau Maharsi Markandeya sangat tampan mempunyai banyak ilmu, faham terhadap isi sastra yang utama. Setelah lama membujang akhirnya beliu memperistri seorang gadis yang bernama Dewi Dumara. Beliu mempunyai seorang putra yang bergelarHyang Rsi Dewa Sirah. Hyang Dewa Sirah memperistri Dewi Wipari,yang kemudian beranak banyak. Demikianlah ceritra para rsi terdahulu. Hentikan ceritanya sejenak. Adapun Sang Maharsi Markandeya beliu juga dikatakan sebagai titisan Bhatara Surya, memang benar dari Negara Bharatawarsa (India). Kemudian ada keinginan beliau untuk mengembara / melanglang buana, yang diiringi oleh muridmurid setia beliau, akan membengun daerah beru dengan merabas hutan menuju daerahdaerah yabg ada disebelah selatan dari India, dibagian timur Nusantara. Tidak diceritakan dalam perjalanan sempailah beliau di Gunung Damalung di wilayah Gunung Di Hyang yang disebut juga Gunung Hyang atau Gunung Dewata.Namun disana sudah ada pertapaan Sang Ila putra dari Sang Rsi Tresnawindu,yang merupakan murid dari Sang Hyang Maharsi Agastya yang telah terlebih dahulubertapa di wilah pulau Jawa, dan telah berbaur dengan tujuh rsi (sapta rsi) di sana. Selain itu Sang Aridewi dan Sang Anaka juga bertapa di Gunung Di Hyang yang disebut Gunung Dieng sekarang.Itulah sebabnya Maharsi Markandeyapergi ke Gunung Raung di Jawa Timur.
Wukireng rawung yoghanam, Sritawyan satyan dharmanah Tamanloke Tyranjitah, Markandhiy Bhisekanam
Sang
Setiba beliau di Gunung Raung disuruhlah murid-murid beliau merabas hutan untuk dibanun pasraman dan pondokpondok. Disana beliu tinggal untuk bertapa, menyucikan diri, menghilangkan dosa yang diakibatkan oleh sepuluh indria (dasendriya) dan mempengaruhi dunia ini. Entah berapa lama beliau melaksanakan pertapaan beryoga semadidi sana, tiba-tiba terlihat sinar menyala-nyala menjulang ke angkasa.Pada saat itu juga terdengar ada sabda yang turun dari leluhur beliu yakni Sang Hyang Jagatnatha, agar beliu Sang Maharsi pergi kea rah timurmenuju Bali pulina di sebelah timur pulau Jawa,kerena disana sudah ada stana para dewa yakni di Gunung Tohlangkir (Gunung Agung) yang disebut Giri Raja dan konon gunung itu merupakan pucak Gunung Maha Meru yang dibawa kebali oleh Sang Hyang Pasupati dahulu, sebagai pemangku dunia (Bali), agar supaya kokoh sewilayah pulau Bali ini. Kemudian Sang Hyang Maharsi Markandeya pergi kea rah timur meninggalkan Gunung Raung sesui dengan petunjuk Sang Hyang Dewata (leluhur beliu),diiringi oleh 800 orang murid.Beliu berkehendak berdharmayatra menyebarkan ajaran-ajaran Trisakti Paksa, terutama waisnawa Paksa dengansegala aturan dan tatacara upacara dan upakaranya. Tolangkir Girirupam, Durmanggaleng sisyântakem,
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
91
PanÞcadatuh sìuddalokam, Bhasukih Swastyam kayuh. Tidak diceritakan perjalanan beliau di tengah jalan,segera tiba di Gunung Tohlangkir. Disana beliau Sang Maharsi diiringi oleh murid-murid beliau merabas hutan pegunungan. Namun pekerjaan beliu mendapat rintangan yang sangat berat. Banyak pengikut beliau yang terkena penyakit yang mematikan. Akhirnya beliau Sang Maharsi Markandeya kembali ke Gunung Raung ke tempat pasraman beliau dahulu.kemudian beliau bertapa dan bersemedi, memohon keselamatan dan panjang umur juga terhadap murid-murid beliau yang berada di Pulau Bali. Tidak dikisahkan, setelah beliau mendapat anugrah dari Hyang Sesuhunan, seketika itu beliau pergi meninggalkan Gunung Raung kemudian kembali lagi ke Gunung Tolangkir diiringi oleh murid-murid beliau sebanyak 400 orang,yang berasal dari orang-orang pegunungan (wwang aga), yang sudah mempunyai kepercayaan masing-masing kepercayaan tersebut bersumber dari Agama Brahma, yang dinaggap sebagai pengetahuan yang sangat mulia, yang mereka bawa dari jawa dan telah diamalkan sejak dahulu. Tidak diceritakan mereka di tengah perjalanan, tibalah mereka di wilayah Gunung Tolangkir. Disana beliau disambut oleh muridmurid beliau dahulu yang telah mempunyai pondokan di daerah itu. Namiun murid-murid beliu yang sebagian telah meninggal karena terkena penyakit. Segeralah Sang Maharsi Markandeya menenam pancadatu di wilwyah gunung tolangkir, disertai puja mantra sang brahmana agung. Adapun penanaman
WIDYA WRETTA
92 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
panca datu itu sebagai penolak segala rintangan, dilengkapi juga dengan penyelenggaran upacara bhuta yajna dan jug menanam Tirta Pangentas sesuai dengan tatacara pelaksanaan upacar yadnya.Tempat menanam pancadatu itu kemudian dinamakan Bhasukih. Apa sebabnya demikian?, karena bahasa ‘bhasukih’ berarti selamat, dan terhidar dari segala jenis marabahaya. Barang siapa yang tinggal menetap di sekitar Gunung Raja (GunungAgung) semoga mendapat keselamatan. Demikianlah tujuan serta harapan beliau Sang Maharsi. Giriwanah wakramcanam, yayangbratahparamartham, Sang Markandhya waklokan, purwakandesìah prakasitam Entah berapa lama beliau berada disana, kemudian beliau Maharsi Markandeya berkeliling meninjau suasana sekitar, sambil memilih tempat merabas hutan kearah barat. Tanpa diduga terlihatlah oleh beliau bukit kecil memanjang membujur dari arah utara ke selatan. Kemudian beliau Sang Mahayoghi diiringi murid-murid beliau terdiri dari orangorang Aga (Gunung Raung) mencari bukit kecil itu. Tidak diceritrakan ditengah perjalanan akhirnya beliau dan rombongan sampai di bukit kecil itu. Disanalah beliau Maharsi Markandeya yang juga diiringi oleh para Rsi dari Jawadwipa istirahat sejenak, berkumpul, berjejer-jejer terlihat dari kejauhan. Disana kemudian Sang Mahayoghi beryoga-semadhi memohon kepada para Hyang agar dianugrahi kelancaran dalam
pekerjaan merabas atau membuka hutan yang keramat tersebut, juga merencanakan untuk membuka lahan yang luas yang ada di sebelah barat tempat tersebut. Tempat beliau Sang Mahayoghi beristrirahat (madehetan) kemudian dibangun pura (parhyangan) yang mretiwi (tanpa pelinggih) dalam pelaksanaan tata cara upacaranya. Pura tersebut dikenal dengan nama Pura Sabang Dahet sampai sekarang. Lokasi pura tersebut sekarang ada di tengah hutan termasuk wilayah Desa Pakraman Pwakan. Adapun bukit kecil itu kemudian disebut munduk Taro. Oleh karena rendah keadaannya, maka bukit tersebut disebut juga munduk Gunung Lebah, demikianlah disebutkan. Mengenai sungai yang ada di sebelah timur munduk itu disebut Wos Lanang dan sungai yang berada di sebelah barat munduk disebut sungai Wos Wadon. Kedua sungai tersebut bertemu di hilir (ujung selatan) bukit. Tempat pertemuan sungai tersebut disebut pecampuhan sampai sekarang. Setelah beliau Sang Pandya merencanakan merabas hutan, semak belukar, kemudian membuka berbagain jenis lahan untuk berbagai kepentingan. Pada saat iti Sang Maharsi menitahkan kepada muridmurid beliau merabas hutan dan semak belukar yang ada di sekitar tempat itu, dan ada juga yang suruh oleh beliu pergi kea rah selatan untuk menelusuri sungai yang mengapit munduk Taro tersebut. Sunagai itu bertemu di ujung hilir munduk iti. Tempat pertemuan sungai itu kemudian disebut pacampuhan (campuhan) sampai sekarang. Disanalah
beliau Sang Mahayoghi bertapa yoga semadhi, mohon kesejahteraan dunia. Tempat beliau beryoga tersebut kemudian dibangun tempat suci (parahyangan) yang diberi nama Pura Payogan atau disebut juga Pura Gunung Lebah sampai sekarang. Hentikan ceritanya sejenak. Adapun murid-murid beliau yang dititahkan oleh Sang Maharsi untuk meneruskan merabas hutan/semak-semak di hulu bukit itu, segala penjuru mereka merabas hutan dan membuka lahan untuk berbagai kepentingan yang kawasan sangat luas itu. Entah berapa bulan lamanya mereka membuka hutan, sudah banyak dapat membuka lahan.Disana kemudian Sang Mahayoghi membagi-bagi lahan tersebut diperuntukan sebagai pondok-pondok, lading, kebun, sawah, dan lahan kering (pagagan), juga sawah (pertanian tanah basah). Disamping itu juga dipersiapkan untuk tempat pura dan halaman-halamannya, bangunan suci lainnya, dan kuburan.adapun podok-pondokannya diatur berjejer-jejer atau berderet-deret, di kemudian hari deretan (banjaran) itu disebut banjar sampai sekarang. Adapun kumpulan banjar yang besar dinamai wanua/banua atau thani, juga desa tersebut tuha-tuha yakni tuha wanua/ banua,tuha thani dan tuha desa. Wilayah desanya disebut parimandala tersebut dinamai pangjahit. Selanjutnya mengenai bangunan suci yang dibangun ada yang disebut Hyang Api dan Hyang Karimana, bangunan suci (pura) tersebut konon merupakan asal dari adanya Tri Kahyanganyang ada di setiap desa seperti
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
93
sekarang. Kemudian gabungan dari sawah disebut subak atau suwak, tempat dari subaksubak itu disebut kaswakan. Pemimpin dari kawasan itu disebut ser atau pakaser. Demikianlah yang tertulis dalam prasasti. Pada saat itu Sang Maharsi kembali memohon kepada Hyang Sesuhunan, agar tegal, ladang, kebun dan sawah yang digarap oleh murid-murid beliau berhasil dengan baik. Demikian juga para pengikut beliau sengat rajin mengerjakan lahan pertaniannya, yang selalu disertai dengan pemujaan kepada Ida Hyang ( Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa), Yang menyebabkan kehidupan mereka di dunia menjadi sejahtera. Setelah semuanya berhasil, daerah ini kemudian dinamai Desa Pwakan sampai sekarang. Karena ‘pwakan’ berarti membagi, dan kata ‘pwakan’ itu berasal dari kata ‘wakan’ yang berarti: merabas, membagi-bagi, membagi secara adil tanah di wilayah. Demikianlah ceritranya dahulu. Sarwwoâdâ Patrahlokam, Sarwwoâdâh patrahlokam, Hyang Giriraung puspitanam, Jagadpadah Eko Sìiwalokam Lama kelamaan setelah selesai membuka lahan, berkat doa-doa Sang Pandya suburlah kawasan tersebut. Tumbuh segala yang ditanam, dan berhasil dipanen segala yang berbuah. Oleh demikian kenyataannya, kemudian kawasan itu dinamai Sarwwada, ‘sarwwada’ makanya segala diingini atau dikehendaki beliau Maharsi ada di daerah itu. Di kemudian hari kawasan Sarwwada disebut juga Desa Taro sampai
WIDYA WRETTA
94 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
sekarang. Apa sebabnya dinamai ‘taro’ karena desa itu berasal dari kehendak (ajnana) beliau Maharsi Markandeya. Ajnana kata lain dari kahyun (keinginan), kata kahyun kemudian menjadi kayu, pupon nama lainnya, kemudian ‘taru’, pupon nama lainnya, kemudian ‘taru’ menjadi Taro. Demikian asal-muasal nama Desa Taro itu, menurut beberapa tatwa. Setelah sejahtera desa-desa yang ada di hulu munduk Taro kemudian beliau Sang Pandya mengumpulkan para pemimpin subak, dan para bragmana, rsi pengikut beliau dari Gunung Rawung dahulu. Ada keinginan beliau Sang Pandya memindahkan pasraman beliau yang ada di Gunung Rawung, untuk dibangun kembali tempat beliau sekarang (Desa Taro). Kemudian murid-murid beliau bersama-sama para brahmana, rsi semuanya sepakat untuk memindahkan dan membangun kemudian diupacarai sesuai dengan tata-cara pelaksanaan upacara dewa yadnya.setelah selesai melaksanakan upacara, maka mulai saat itu bangunan suci itu dinamai Parhyangan (pura) Gunung Raung. Nama tersebut diambil dari nama tempat pasraman beliau dahulu yakni Gunung Raung. Sekarang kahyangan tersebut diberi nama Pura Agung Gunung Raung, dikenal oleh umat sebagai sungsungan atau kahyangan jagat. Demikianlah sejarah Desa Pakraman Taro Kaja berdasarkan Purana Pura Agung Gunung Raung, Desa Pakraman Taro Kaja yang terletak di Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar. Desa Pakraman inilah yang dijadikan lokasi penelitian, mengingat Desa
Pakraman Taro Kaja merupakan salah satu desa tua di Bali, mengingat dan merupakan pasraman (pusat pendidikan Agama Hindu) pada masa kedatangan Sang Hyang Maharsi Markandeya dahulu, kini dimasa modern ini ada beberapa warga masyarakatnya melakukan konversi Agama, dari Agama Hindu ke Agama Kristen. Atas dasar kejadian tersebut Desa Pakraman Taro Kaja dijadikan lokasi penelitian.
1. Satu Desa Dinas meliputi beberapa Desa Pakraman 2. Satu Desa Pakraman terdiri babarapa Desa Dinas 3. Satu Desa Dinas meliputu beberapa Desa Pakraman dan salah satu banjar yang berlokasi di Desa Pakraman tersebut, menjadi warga Desa Pakraman yang lain, di desa dinas yang bersangkutan.
Secara sruktur administrasi pemerintahan, Desa Pakraman Taro Kaja merupakan bagian dari Desa Dinas Taro, Desa Dinas Taro Terdiri dari 14 (empat belas) Desa Pakraman yaitu ; (1) Desa Pakraman Taro Kaja, (2) Desa Pakraman Taro Kelod, (3) Desa Pakraman Tatag, (4) Desa Pakraman Ked, (5) Desa Pakraman Pwakan, (6) Desa Pakraman Pakuseba, (7) Desa Pakraman Belong, (8) Desa Pakraman Patas, (9) Desa Pakraman Pisang Kaja, (10) Desa Pakraman Pisang Kelod, (11) Desa Pakraman Let, (12) Desa Pakraman Tebuana, (13) Desa Pakraman Sangkaduan, dan (14) Desa Pakraman Alas Pujung. Hal Ini sangat memungkinkan Karena di Provinsi Bali ada dua system pemerintahan desa ,Yakni Desa Dinas dan Desa Pakraman. Karena syarat dan dasar pembentukan antara Desa Dinas dan Desa Pakraman berbeda, Windia dan Ketut Sudantar (2006 ; 14) menyebutkan akan terdapat beberapa kemungkinan, yaitu:
Mengenai batas-batas wilayah, Desa Pakraman Taro Kaja dapat dilihat dalam awig-awig Desa Pakraman Taro Kaja yang berbunyi seperti berikut:
Satu desa dinas mempunyai luas wilayah dan jumlah penduduk yang sama dengan satau Desa Pakraman.
2. Sebelah Barat berbatasan dengan Tukad Wos Ulu;
“ Jabar kakuwuh wawidanganya mawates nyatur” Ha. Sisish Wetan ring Desa Pakraman Bonjaka; Na. Sisih Kulon ring Tukad Wos Ulu; Ca. Sisih Lor Desa Pakraman Belong; Ra. Sisih Kidul Desa Pakraman Tatag. Yang artinya; Batas-batas desa memiliki empat perbatasan antara lain; 1. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pakraman Bonjaka;
3. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pakraman Belong;
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
95
4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pakraman Tatag. (Awig-awig Desa Pakraman Taro Kaja,2002:2) Sementara itu, Desa Pakraman Taro Kaja dibagi menjadi empat tempek(bagian), sesuai dengan bunyi Awig-awig Desa Pakraman Taro Kaja antara lain: 1. Tempek Kaja: 2. Tempek Tengah Dajanan; 3. Tempak Tengah Delodan; 4. Tempek Kelod. (Awig-awig Desa Pakraman Taro Kaja,2002:2) Menurut informasi terbaru yang didapat, krama desa/peduduk asli Desa Pakraman Taro Kaja berjumlah 463 KK dengan jumlah orang sebanyak 2.297 jiwa, dimana jumlah krama desa/penduduk lakilaki sebanyak 1.146 jiwa, dan krama desa/ penduduk perempuan sebanyak 1.151 jiwa. Sumber data: Data penduduk Br Taro Kaja tahun 2012. 4.2 Penyebab Terjadinya Konversi Agama Hindu Ke Agama Kristen Di Desa Pakraman Taro Kaja Para ahli agama menyatakan bahwa faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk Tuhan. Sementara para sosiolog mengatakan bahwa konversi agama terjadi karena adanya pengaruh sosial baik yang bersifat persuasif maupun koersif (kekerasan). Adapun para psikolog menyatakan faktor-faktor psikologis-lah yang mempengaruhi terjadinya konversi tersebut.
WIDYA WRETTA
96 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Konversi agama dibaca sebagai bentuk pembebasan diri dari tekanan batin yang timbul dari dalam diri (intern) maupun dari lingkungan (eksternal). 4.2.1 Faktor Internal Faktor internal (endogenos origin) yaitu proses perubahan yang terjadi dalm diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi yang disebabkann oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang diambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih. 4.2.2 Faktor Eksternal Eksogonus origin (unsur dari luar diri) yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok sehinga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan. Sedangkan berbagai ahli berbeda pendapat dalam menentukan faktor yang menjadi pendorong konversi (motivasi konversi). Sementara itu para ahli pendidikan berpandangan bahwa konversi agama terjadi karena pengaruh kondisi pendidikan. Tampaklah dari uraian diatas bahwa masing-
masing pendapat muncul selaras dengan disiplin keilmuan yang ditekuni oleh masingmasina ahli tetapi secara umum, konversi konversi agama mengandung dua unsur sebagaimana dikemukakan oleh Penido, yaitu: Tekanan hebat dari misi Kristen dalam beberapa dekade membuat Bali sedikit tergetar. Walau kegagalan konversi terjadi pada waktu yang sangat panjang, tidak menyurutkan misi Kristen di Bali. Gempuran demi gempuran terus diberikan dengan strategi, metode dan taktik yang berbeda. Upaya dan strategi itupun akhirnya berhasil mengkristenkan beberapa orang Bali, dari wilayah perkotaan sampai ke pelosok desa, seperti yang terjadi di Desa Pakraman Taro Kaja. Keberhasilan Penginjilan itu tidak terlepas dari kodisi warga Desa Pakraman Taro Kaja saat itu.
laki-laki 38 tahun saat diwawancara di rumahnya di Mawang Kangin, Br Puakan, Desa Taro. Mengatakan :
Seperti yang dialami oleh keluarga I Nyoman Nadhi yang diawali dengan ditinggal oleh ke dua orang tuanya, bapaknya meninggal dunia. Menjadikan I Nyoman Nadhi dan kakaknya I Made Laba harus hidup dengan kakeknya. Sementara itu, karena keterbatasan ekonomi untuk merawat dan menyekolahkan I Nyoman Nadhi dirasa sulit oleh sebab itu atas saran dari salah satu anggota Gereja yang ada di Banjar Pakuseba, Desa Taro Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar sang Kakek menitipkan I Nyoman Nadhi di Panti Asuhan Kristen, yang ada di Tabanan, Nama Panti Asuhan tempat I Nyoman Nadhi tinggal adalah Panti Asuhan Salam, sedangkan I Made Laba tinggal dengan kerabatnya di Payangan. Seperti penuturan I Nyoman Simon Nadhi
Saat itu, usia saya kurang lebih tiga setengah tahun, sayapun tinggal dan sekolah disana dengan kehidupan dan rutinitas kehidupan sehari-hari dibina dan dibesarkan dengan ajaran agama Kristen, saya tingal di Panti Asuhan kurang lebih 15 tahun. Setelah beranjak dewasa saya sempat pulang kembali ke desa asal saya (Taro Kaja), sayapun ikut bergaul dengan teman-teman sebaya saya dan ikut sembahyang kepura seperti yang lainnya, karena saat itu walaupun lama saya tinggal di Panti Asuhan Salam saya belum memutuskan untuk masuk ke Agama Kristen. Tetapi dalam pergaulan ini saya merasa kosong karena kepuranya juga jarang, ataupun sembahyang ke Gereja juga juga tidak, jadi secara bathin saya
“Saat saya masih kecil saya dan kakak saya ditinggal oleh orang tua kami, bapak kami meninggal dunia, karena ditinggal bapak kami. Dari saat itulah kami dirawat oleh kakek, dan kakek kamipun merasa sulit untuk merawat kami dengan keadaan ekonomi kami saat itu, namun atas saran dari seseorang yang merupaka salah satu anggota dari Gereja yang ada di Banjar Pakuseba menyarankan kakek saya untuk menitipkan saya di Panti Asuhan Kristen di Tabanan yang bernama Panti Asuhan Salam, Kakek sayapun menyetujui saran tersebut dan menitipkan saya disana, sedangkan kakak saya tinggal di Payangan dengan kerabat kami di payangan.
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
97
tidak merasa atau menemukan kenyamanan. Akhirnya saat usia saya 17 tahun saya dan kakak saya I Made Laba, memutuskan untuk di Babtis masuk Kristen. Dari saat itu saya memeluk Agama Kristen dan mendapat nama Baptis nama saya semula I Nyoman Nadhi menjadi I Nyoman Simon Nadhi sedangkan Kakak saya Semula Bernama I Made Laba sekarang Menjadi I Made Laba Yunus. Saya masuk Kristen karena saya merasa menemukan kenyamanan secara batin di dalam agama Kristen”. Kata Simon Nadhi. (Wawancara,17 April 2014) Dari hasil wawancara diatas cukup jelas bahwa ada beberapa Faktor pendorong terjadinya konversi Agama Hindu ke Agama Kristen di Desa Pakraman Taro Kaja diantaranya; 1. Faktor ekonomi; 2. Lingkungan Tempat Tinggal; 3. Pengaruh kondisi Pendidikan; 4. Kurangnya Pemahaman Teologi (Ajaran Agama) Hindu. Pemahaman teologi agama merupakan hal yang sangat mutlak dan penting untuk dipertimbangkan seiring dengan pergeseran pola pikir, umat manusia dewasa ini yang lebih mengutamakan menggunakan akal. Hal tersebut telah lama disikapi matang oleh umat lain seperti Kristen, Katolik, Islam maupun Budha. Kristen bahkan telah menyempurnakan teologinya melaluai WIDYA WRETTA
98 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
perspektip ilmu-ilmu sosial, sehingga pemahaman umat Kristen terhadap teologinya sangat mapan (Donder, 2006:1). Dari kasus di atas lemahnya pemahaman teologi/pengetahuan keagamaan umat hindu ditunjukan oleh I Made Laba Yunus, dimana konversi terhadap dirinya tidak dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal dan pengaruh kondisi pendidikan karena dari sejak dia tinggal di dalam keluarga Hindu dan bergaul dalam lingkungan Hindu, berbeda dengan apa yang dialami oleh Simon Nadhi yang dari kecil tinggal di panti asuhan Kristen. Kurangnya pemahaman dalam masyarakat Hindu juga dirasakan oleh Ni Rusniati, 37 tahun (istri Simon Nadhi), yang semula beragama Hindu dan memeluk Kristen setelah dia kawin dengan Simon Nadhi. Berikut penjelasannya pada wawancara di rumah I Nyoman Simon Nadhi di Mawang Kangin, Br Puakan, Desa Taro. (Wawancara 17 April 2014) Mengatakan “ di masyarakat Hindu mok (mbak) merasa sangat jarang adanya penyuluhanpenyuluhan tentang keagamaan sehingga mok merasa sangat sedikit sekali mengetahui pengetahuan agama Hidu yang mok (mbak) ketahui. Sedangkan di agama Kristen Mok selalu di beri pemahaman keagamaan baik secara langsung maupun diberikan buku, sehingga mok (mbak) merasa lebih paham terhadap agama yang mok (mbak) yakini sekarang. (Wawancara 17 April 2014)
4.2.3
Konversi Agama: Akumulasi Banyak Faktor
Thouless (2000:189) menggolongkan penyebab awal onversi agama menjadi konversi intelektual, moral dan sosial. Tetapi, perbedaan di antara konversi itu tidak tegas. Sebab setiap perubahan intelektual mengandung berbagai implikasi terhadap perilaku dan kesetiaan sosial, dan tidak seorang pun bisa merubah kesetiaan sosialnya dalam bidang agama atau motivasi perilaku tanpa adanya perubahan atas keyakinan. Starbuck dalam Thouless (2000:200203) yang melakukan penelitian ilmiah tentang konversi pada akhir abad ke-19 menemukan bahwa konversi adalah gejala adolensi. Dia menganalisis sejumlah laporan dan pengalaman konversi serta menyimpulkan tifikat konversi kedalam tiga fase berurutab yakni; (1) keputusasaan, (2) kesedihan sebagai suatu titik peralihan, dan (3) kegembiraan dan kedamaian. Starbuck juga melakukan kajian komparatif mengenai beberapa konversi yang terjadi dalam beberapa kegiatan regular gereja dan konversi yang timbul karena kegiatan penginjil propesional. Lebih dalam Starbuck juga melakukan kajian komparatif mengenai jumlah orang yang mengalami konversi secara tiba-tiba dengan orang-orang yang menunjukan perkembangan spiritual secara berangsur-angsur tanpa mengalami krisis konversi. Kesimpulan Starbuck, walau ada perbedaan dalam kehidupan keagamaan pada kedua kelompok ini secara umum sejalan. Situasi ini dapat dipahami dari intensifnya siar keagamaan dan pemahaman
intelektual serta penanaman iman dalam lingkungan gereja. Kondisi ini jauh berbeda dengan komunitas hindu yang pembinaan keagagamaan tidak se intensif agama Kristen. 4.3 Proses Konversi Agama Hindu Ke Agama Kristen di Desa Pakraman Taro Kaja Penerimaan warga Desa Pakraman Taro Kaja terhadap kekristenan lebih banyak karena terjadi goncangan, baik goncangan sosial (faktor dari luar diri) maupun dari dalam diri berupa krisis individu. Jarang terjadi yang mana seseorang yang langsung memutuskan untuk beralih kepercayaan tanpa suatu proses yang panjang. Secara umun seseorang atau sekelompok orang awalnya mengalami krisis dan persoalan dalam hidupnya, hal tersebut menimbulkan kegamangan. Dalam kondisi ini tidak sedikit yang mempertanyakan kebenaran agama yang yang dianut serta Tuhan yang dipuja. Krisis ini akan mepertanyakan keberadaan Tuhan dan kebenaran yang dianut. akhirnya terbuka ruang untuk nilai-nilai baru atau hal-hal baru dalam hidupnya. Seseorang atau sekelompok orang ingin mendapat makna baru dalam hidupnya. Seseorang atau sekelompok orang yang ingin mendapatkan makna baru dalam hidup sekaligus komunitas baru yang membuatnya nyaman. Sampai di sini pun merupakan proses yang penting baik berupa penerimaan maupun penolakan terhadap ajaran atau nilai baru yang dikenal atau ditawarkan. Proses ini lebih banyak berupa debat teologis yang akhirnya mempertanyakan
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
99
agama lama yang dianut dan komunitas lama, sehubungan dengan krisis dan persoalan yang dihadapi. Debat ini berakhir pada penerimaan terhadap konsep baru yang berupa harapan keselamatan yang ditawarkan oleh agama Kristen. Selain itu, perbedaan komunitas Kristen dan pola kerjasama dalam desa adat menjadi daya tarik tersendiri. Pada termin ini tidak jarang komunitas Kristen memiliki keunggulan kultur yang memungkinan seseorang dihargai dan diterima. Harapan akan kehidupan yang lebih baik dengan ajaran baru, membuat seseorang atau sekelompok berketetapan untuk menerima ajaran baru yang ditawarkan. Tidak berhenti pada penerimaan, mereka terus mendapatkan pembinaan hingga akhirnya dilakukan upacara pembabtisan. Adapula proses lain yang berlangsung tanpa disadari keimanan Kristen tumbuh dalam diri. Misalnya seseorang disekolahkan atau dilingkungannya sendiri sering mendapatkan pendidikan Kristen baik formal maupun informal melalui dialog atau bahan bacaan yang luas tersedia. Semakin lama seiring dengan pemahamannya yang luas dan mendalam tetntang Kristen, seseorang seseorang dapat menerima kekristenan tanpa proses yang panjang, dengan atau tanpa krisis yang dialami. Melaui pendidikan atau pergaulan, kekristenan tanpa disadari telah berproses pada diri seseorang. Ketika terjadi kegoncangan dalam hidupnya yang membuatnya mengingat kembali tentang ajaran Kristen yang pernah dikenalnya, sehingga timbul niatnya untuk melakukan konversi agama.
WIDYA WRETTA
100 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Mereka yang bersekolah di sekolah Kristen dan menjadi pengikut Kristen baru sering mengalami proses panjang ini. Juga ada kelanya untuk menjadi seorang Kristen membutuhkan waktu yang panjang, yakni berupa pemantapan pembelajaran agama Kristen yang diselenggarakan oleh gereja. Salah satunya, Simon Nadhi mengatakan ia mengikuti pendidikan Kristen atau ketekisasi selama kurang lebih lima belas tahun seperti yang dikutip dalam wawancara pada tanggal 17 April 2014, mengatakan : “saya belajar tentang agama Kristen sejak saya tinggal di panti asuhan Kristen, saat itu saya berusia kurang lebih tiga setengah tahun, dan saya tinggal di panti asuhan Kristen kurang lebih lima belas tahun dan saya memutuskan untuk di babtis masuk menjadi pemeluk agama Kristen pada umur 17 tahun”. Sedangkan menurut Ni Wayan Rusniati 37 Tahun mengatakan: “Mok (mbak) melakukan babtis saat menikah dengan suami mbak, dan upacara babtis dilakukan di sungai yang ada di Br Pakuseba,Taro. Dengan dibenamkan dalam air, sedangkan harinya bukan pada hari natal tetapi hari-hari biasa, dan Mok (mbak) di beri pemahaman ajaran kekristenan selama kurang lebih satu bulan setelah dibabtis”. (Wawancara,06. Agustus.2014) Jadi proses konversi di Desa Pakraman Taro Kaja terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama sebelum benar-benar mereka dibabtis untuk menjadi jemaat Kristen.
4.4 Implikasi Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Terhadap Hak Waris di Desa Pakraman Taro Kaja Keputusan yang diambil oleh beberapa warga masyarakat Desa Pakraman Taro Kaja, dalam hal ini oleh Inyoman Simon Nadhi dan Kakaknya Made Laba Yunus, yang sebelumnya beragama Hindu dan memutuskan pindah ke agama Kristen tentu saja, menimbulkan beberapa masalah terhadap masyarakat, karena dalam awig-awig (aturan adat) Desa Pakraman Taro Kaja yaitu, dalam Tritya Sargah Tata Pakraman (Bab III, tentang hubungan antar masyarakat), Palet 1 Indik Krama (bagian1 tentang warga), Pawos4 (1) (pasal 4 ayat 1) menyebutkan bahwa; “Sane kabawos Krama Desa Pakraman Taro Kaja inggih punika kaluarga sane magama Hindu saha ngamong Tegal Ayahan Desa, Karang Desa lan Karang Guna Kaya utawi jenek mapaumahan ring sawidangan Desa Pakraman Taro Kaja”, artinya: Yang disebut sebagai Warga Desa Pakraman Taro Kaja ialah keluarga yang beragama Hindu juga bertangung jawab atas Tegal Ayahan Desa (ladang milik masyarakat adat), Karang Desa, dan Karang Guna Kaya dan tinggal menetap di wilayah Desa Pakraman Taro Kaja. (Awig-awig dan pararem, 2002:4). Begitu pula menurut keterangan yang diberikan oleh beberapa tokoh masyarakat Desa Pakraman Taro Kaja berikut ini, yang pertama keterangan dari I Made Suwersa, 60 Tahun mengatakan: Berdasarkan awig-awig kami(Desa Pakraman Taro Kaja) bahwa apabila ada
salah satu warga Desa Pakrama Taro Kaja yang berpindah agama maka, mereka tidak lagi diajak atau diakui lagi sebagai mayarakat adat desa Pakraman Taro Kaja. Begitu pula terhadap waris yang bersifat Ayahan Desa seperti Karang dan Tegal Ayahan Desa dialihkan kepada keluarga yang masih meagama (beragama) Hindu”, (Wawancara 01, Agustus. 2014). Tindakan yang diambil dari Desa Pakraman tersebut juga tidak terlepas dari Aturan Adat yang mengatur keberlangsungan Desa Pakraman Taro Kaja, yang mengatur tentang Hak seorang ahli waris dan sebabsebab mereka tidak mendapatkan warisan, yang tentunya awig-awig tersebut juga telah disesuaikan dengan Hukum Adat Bali dan juga Hukum Hindu. 4.4.1
Implikasi Yuridis Hak Waris Menurut Hukum Adat Bali
Ahli waris adalah orang yang menerima warisan. Mengenai ahli waris, dalam hukum adat dikenal adanya penggolongan ahli waris berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti. Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan dalam di antara golongan-golongan keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan dari golongan yang lain. Garis pokok pengganti adalah garis hukukmyang bertujuan untuk menentukan siapa di antara kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Dalam menentukan ahli waris berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis pengganti ini harus
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
101
diperhatikan dengan seksama system kekeluargaan yang berlaku. (Soerjono Soekanto, 2002: 261). Dengan garis garis pokok keutamaan tadi, maka orang-orang yang memiliki hubungan darah dibagi dalam golongan-golongan,yaitu; a. Kelompok keutamaan pertama adalah keturunan pewaris; b. Kelompok keutamaan kedua adalah orang tua waris; c. Kelompok keutamaan ketiga adalah saudara-saudara pewaris,dan keturunannya; d. Kelompok keutamaan ke empat adalah kakek dan nenek pewaris, dan seterusnya. Dalam hukum adat Bali yang berdasarkan pada sistem kekeluargaan kepurusa, orang-orang yang dapat diperhitungkan sebagai ahli waris dalam garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti adalah para laki-laki dalam keluarga yang bersangkutan,sepanjang tidak terputus haknya sebagai ahli waris. Kelompok orangorang yang termasuk dalam garis keutamaan pertama sebagai ahli waris adalah keturunan ahli waris kencang ke bawah, adalah anak kandung laki-laki atau anak perempuan yang ditingkatkan statusnya sebagai peneris keturunan (sentana rajeg) dan anak angkat (sentana paperasan). Sentana Rajeg dan sentana Paperasan mempunyai hak yang sama dengan anak kanduna laki-laki terhadap harta warisan. Anak perempuan dan janda bukan lah ahli waris, tetapi apabila anak perempuan itu tidak kawin (deha tua) maka ia berhak atas pembagian harta orang tuanya
WIDYA WRETTA
102 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
sebagai nafkah hidupnya (pengupa jiwa). (Gde Panetja,1989:164). Apabila ahli waris dari golongan keutamaan pertama tidak ada, maka yang berhak atas harta warisan adalah golongan ahli waris keutamaan kedua, yaitu orang tua pewaris, jika masih ada. Setelah itu barulah diperhitungkan saudara-saudara pewaris sebagai kelompok keutamaan ketiga dan keturunannya sebagai ahli waris pengganti. Pewarisan dalam Hukum Adat Bali bukan semata-mata hanya berisi hak ahli waris terhadap warisan, lebih dari itu yang terpenting adalah kewajiban ahli waris terhadap pewaris. Sebagai konsekuensi dari hak yang diterima, seorang ahli waris memiliki kewajibankewajiban tertentu, yaitu: (1) (2)
(3) (4)
Memelihara pewaris pewaris dalam keadaan pewaris tidak mampu; Menguburkan jenazah pewaris dan atau menyelenggarakan pengabenan (upacara pembakaran jenazah) bagi pewaris dan menyemayamkan arwahnya di sanggah/ merajan (tempat persembahyangan keluarga), Menyembah arwah leluhur yang bersemayam di sanggah/merajan; Melaksanakan kewajiban-kewajiban (ayahan) terhadap banjar/desa.
Kelalaian terhadap kewajibankewajiban diatas dapat di jadikan alasan untuk memecat seseorang sebagai ahli waris (VE Korn,1972,19). Dalam Diskusi Hukum Adat Waris Bali (1971) disabutkan bahwa ahli waris terputus haknya menerima harta warisan antara lain disebabkan:
(1) (2)
(3)
Anak laki-laki kawin nyeburin Anak laki-laki yang tidak melaksanakan dharmaning anak, misalnya durhaka terhadap leluhur, durhaka terhadap orang tua; Sentana rajeg yang kawin keluar.
Pada dasarnya Hukum Adat Bali menyatakan bukan hanya semata mata berisi hak, tetapi ada juga kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dalam upaya mendapat warisan dan apabila salah satu kewajiban diabaikan maka dapat menimbulkan terputusnya hak untuk menerima warisan. Pengertian Hukum adat Bali diatas menjadi dasar penulisan awig-awig Desa Pakraman Taro Kaja, berikut kutipan awig-awig mengenai waris, ahli waris, pewaris dan hilangnya hak waris krama/warga Desa Pakraman Taro Kaja: (1)
Warisan inggih punika tetamian artha brana saha ayah-ayahan ngupadi kasukertan sekala-niskala kaluhurannia ring turunannya. Artinya:
(2)
Kang sinanggeh Warisan luwire:
Ha Due tengah, makadi tegal, ayahan desa, khayangan pusaka siwa pakarana lan sapanunggalannya.
Yang disebut sebagai warisan diantaranya
(a) Harta milik bersama, seperti ladang, kewajiban desa Pakraman/adat, harta pusaka seperti tempat suci dan yang lainnya (b) Pura Keluarga (mrajan/sanggah) (c) Penghasilan Hasil jerih payah, harta benda bekal perkawinan dan hutang piutang. (3)
Wawu kengin kabawos wararisan prade wenten;
(ha) Sang mapiturun (pawaris) (na) Katurunan( ahli waris) (ca) Artha brana miwah tategenan (ayah-ayahan) makacihna waris Artinya; (3)
Warisan adalah peninggalan baik berupa harta benda maupun kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan untuk menjaga keharmonisan lahir dan batin dari leluhurnya terhadap ahli warisnya. (2)
Na. Pamrajan Ca. Pangunakaya, tadtadan/jiwa dana, hutang piutang Artinya:
Bisa disebut waris apabila sudah ada;
(a) Pewaris (orang yang meninggalkan warisan) (b) Keturunan (ahli waris/yang menerima warisan) (c) Artha benda dan juga kewajiban atau tanggung jawab sebagai bukti waris Pawos 64 (pasal 64) (1)
Ahli waris luire
(ha) Pratisentana purusa
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
103
(na) pratisentana wadon (sentana rajeg)
pangupakarania miwah nyeledihin ayah-ayahan pawaris.
(ca) Sentana paperasan lanan/wadon Prade tan wenten sakadi ring ajeng, kang sinanggeh ahli waris.
(na) Ngabenang pawaris saha ngelanturang upacar-upacara pitra.
(a) Turunan purusa pernah ngunggahang rerama lanang pekak selantur ipun rerama misan, mindon.
(ca) Naurin hutang-hutang pawaris manut pangalogika.
(b) turunan purusa kesamping pernah kesamping minakadi kaponakan miwah misan, keponakan.
Kewajiban seorang ahli waris:
(2)
Artinya; (a)
Menerima dan menguasai bagian warisan dari pewarisnya, seperti memelihara sanggah, Pura serta segala upacaranya dan juga meneruskan kewajiban pewaris.
(b)
Melakukan upacara pitra yadnya (ngaben) untuk pewaris serta melanjutkan upacara-upacar pitra yadnya
(c)
Membayar hutang-piutang pewaris sesuai ketentuan.
Artinya: (1) Ahli waris adalah (a) Anak lelaki (b) Anak perempuan(sentana rajeg) ialah anak perempuan yang statusnya dijadikan anak lelaki (c) Anak angkat lelaki/ perempuan (2)
Apabila tidak ada seperti yang diatas, maka yang disebut ahli waris iala:
(a) Keturunan lelaki yang memiliki hubungan garis keturunan ke atas orang tua lelaki, kakek dan kebawah seperti paman. (b) Keturunan lelaki yang memiliki hubungan menyamping seperti keponakan dan sepupu. Pawos 65 (pasal 65) Swadarmaning ahli waris (ha) Nerima saha nguasayang tetamian pahan saking kaluhurannia, makadi ngarempon sanggah ,Pura saha
WIDYA WRETTA
104 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Pawos 66 (pasal 66) Pangepahan warismanut sekadi ring sor: (Ha) Risampun kalaksanayang Pitra Yadnya lan hutang-hutang pawaris buntas. (Na) Para ahli waris polih pahan sangkaning pangunakaya, saha tegal/karang ayahan desa kaemong olih waris, kang sinanggeh Krama Ngarep. (Ca) sinalih tunggil ahli waris kengin tan polih pahan prade: 1) Nilar kawitan lan sasananing agama
2) Alpaka guru rupaka. 3) Sentana rajeg, kesah mawiwaheutawi pratisentana nyeburin soang-soang kabawos ninggal kadaton. (Ra) Boya ahli waris, kengin muponin hasil manut dudonan,luire: 1) Santana luh, salami during kesah mawiwaha. 2) Balu luh wiadin muani nyeburin (soang-soang boya sentana). 3) Mulih deha utawi truna, riantukan ring pawiwahan pecak sampun kabawos ninggal kedaton. Artinya: Pembagian waris sepatutnya seperti dibawah: (b)
Sesudah pelaksanaan ngaben dan pelunasan hutang-hutang leluhur selesai dibayar.
(c)
Para ahli waris dapat bagian atas harta guna kaya atau harta kekayaan leluhur, dan karang/tegal ayahan desa kaemong olih ahli waris ,yang disebut Krama Marep.
(d)
Salah satu penyebab ahli waris tidak mendapatkan bagian waris: 1) Meninggalkan kepatutan (Hak waris) dan meninggalkan kewajiban beragama atau pindah agama (hindu). 2) Durhaka terhadap leluhur.
3) Ahli waris perempuan, kawin keluar atau ahli waris laki-laki kawin nyeburin atau nyentana masing-masing disebut ninggal kedaton atau meninggalkan hak warisnya. (Awig-awig miwah Pararem Desa Pakraman Taro Kaja,2002:58-60) Dari kutipan awig-awig di atas sudah sangat jelas diatur bahwa orang yang tidak melaksanakan kewajiban beragama (hindu) maka hak-hak dan kewajiban dalam Desa Pakraman ditiadakan. Namun hak-hak yang merupakan harta kekayaan keluarga diluar statusnya Ayahan Desa atau hak yang menyangkut Desa Pakraman Taro Kaja. Keputusan untuk memutuskan memberikan atau tidak hak-hak itu, di kembalikan kepada kebijakan keluarga masing-masing seperti; Tanah hasil pembelian orang tua tanpa ada hubungan dengn ayah-ayahan desa Pakraman, mobil dan yang lainnya (harta guna kaya) keluarga yang memutuskan. Begitu pula keterangan yang didapat oleh penulis pada saat wawancara dengan: I Ketut Madia 53 tahun.Yang mengatakan: “Ada beberapa hal yang menyebabkan orang yang berpindah agama kehilangan hak warisnya, ada beberapa alasan kenapa krama/warga tersebut kehilangan waris. Desa Pakraman Taro Kaja memiliki begitu banyak kahyangan/pura yang harus dipelihara keberlangsungannya baik secara fisik maupun upaca-upacaranya maka, untuk menjaga itu semua masyarakat Taro Kaja pada jaman dahulu diberi bagian-bagian
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
105
karang (pekarangan) dan tegal (ladang) kemudian disebut Tanah Ayahan Desa (tanah adat). Tanah tersabut digunakan sebagai tempat tinggal dan digunakan untuk menopang kehidupan masyarakat. Tanah pemberian tersebut juga digunakan sebagai dasar menjadi anggota desa Pakraman dengan tanggung jawab ngayum (memelihara) Kahyangan yang ada di Desa Pakraman Taro Kaja. Dengan alasan tersebut maka apabila ada warga masyarakat yang berpindah ke agama lain maka hak waris yang ada sagkut pautnya dengan Tanah Ayahan Desa dicabut haknya karena dengan berpindah agama maka mereka tidak dapat lagi melakukan kewajibannya sebagamana masyarakat Hindu di Desa Pakraman Taro Kaja. Saya kira itu alasannya, kalau tidak seperti itu maka kemungkinan, banyak warga yang berpindah agama lalu siapa yang akan memelihara kahyangan yang ditinggalkan leluhur kami. Tetapi kalau menyangkut waris yang tidak ada kaitannya dengan Desa Pakraman silahkan dibicarakan di dalam keluarga bersangkutan”, (Wawancar, 01, Agustus.2014). Informan yang lain juga mengungkapkan hal yang sama mengenai alasan hilangnya hak waris di Desa Pakraman Taro Kaja. Seperti yang diungkapkan oleh I Ketut Rapia.S.H. 48 Tahun, di rumahnya Banjar Taro Kaja mengatakan: “Orang atau warga desa Pakraman Taro Kaja akan kehilangan hak warisnya. Terutama yang menyangkut Ayahan Desa, yang
WIDYA WRETTA
106 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
disebabkan karena orang tersebut berpindah agama, dan tidak bisa melanjutkan tanggung jawab/kewajiban agama leluhurnya (Hindu). Tetapi jika ada hak guna kaya (harta/waris hak milik) keluarga yang bersangkutan yang memutuskan” (Wawancar 08 Agustus 2014). Keterangan para informan diatas juga di benarkan oleh I Made Laba Yunus, lakilaki 40 tahun ini mengatakan di rumahnya Mawang Kangin: “setelah saya memeluk agama Kristen saya tidak tinggal di Taro Kaja, saya dan adik saya Simon Nadhi tinggal di mawang kangin Br Puakan Taro, di tanah yang merupakan tanah kesugihan (guna kaya) dari leluhur kami. Walaupun saya sudah tidak lagi beragama Hindu tetapi, apabila ada upacara di sanggah, saya selalu ikut dalam acara tersebut baik secara pendanaan maupun pekerjaan, seperti yang kamai lakukan beberapa bulan lalu, di sanggah kami mengadakan perbaikan dan upacaranya. Secara pendanaan saya membayar sesuai dengan warisan yang saya terima dan dengan melakukan pekerjaanpekerjaan namun saya ngayah di luar kegiatan keagamaan disanggah seperti, menyambut tamu undangan dan membantu mempersiapkan hidangan didapur untuk keluarga yang nyayah disanggah” (Wawancara 06 Juni 2014). 4.4.2
Implikasi Yuridis Terhadap Hak Waris Menurut Hukum Hindu
Sebelum kita membicarakan tentang ahli waris sangat penting diketahui terlebih dahulu mengetahui tentang pewaris. Pewaris
adalah orang yang meninggalkan warisan, sedangkan ahli waris adalah orang yang menerima warisan (harta milik pewaris) dari pewaris. Dalam Hukum Waris Hindu ditentukan bahwa pewaris hakekatnya adalah orang tua (bapak),sedang kan ahli waris tang terpenting adalah anak laki-laki, artinya warisan turun dari bapak kepada anak lakilakinya.Hal ini diatur dalam Pasal 156, 157,158, 159, dan 185. Bab IX. Kitab Manawa Dharmasastra. Samawarnaýsu ye jatah sarwe putraú dwijanmanam uddharam jya yase datwa bhajeran nitare samam. (MD.IX.156) Artinya: Semua anak-anak dari orang dwijati yang lahir dari istri sederajatkan memperoleh bagian yang sama dari harta warisan setelah satu dengan yang lainnya memberi bagian tambahan kepada saudara tertuanya. Putrandwadaca yanaha nrnam swa yambhuwo manuh tesam sad badha dayadah sad dayadha bandhawah. (MD. IX. 158).
dayada bandhawaç casat. (MD. IX. 159) Artinya: Anak sah dari sesorang ,anak yang lahir dari hubungan dengan istri, anak yang lahir dengan rahasia, anak yang dibuang adalah anak yang mewaris dan keluarga. Kanincca sahodhacca kritah paunarbhawasttha swayam dattaçca çaudracca sad dayada bandhawah. (MD. IX. 160). Artinya: Anak dari wanita yang tidak dikawini, anak yang diterima bersama istri, anak yang dibeli, anak dari wanita yang kawin lagi, anak yang menyerahkan diri dan anak dari seorang sudra yang tidak dinikahi adalah keluarga bukan pewaris. Isanasah pitrvittsya rayah. (Rgveda: I. 73.9) Artinya: Anak laki-laki mewarisi milik (harta) leluhurnya. Prajabhyah pustim wibhajanta aastate (Rgveda: I.13.4). Artinya:
Artinya: Sesungguhnya ada duabelas anak dari seseorang menurut Manuswayambhu, enam diantaranya adalah mewaris dan keluarga, sedangkan yang lainnya hanyalah keluarga. Aurasah ksetrajaçcaiwa datah krtrima ewaca gudhotpanno pawidhaçcah
Para orang tua memberikan bagian mereka kepada anak laki-laki. Dari bunyi sloka-sloka di atas, anak yang termasuk ahli waris dalam Hukum Hindu adalah anak laki-laki, baik itu anak kandung maupun anak angkat. Sedangkan anak yang bukan ahli waris tetapi masih sebagai keluarga
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
107
adalah, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah (tidak dinikahi), anak yang dapat dari membeli, anak yang menyerahkan diri (anak pungut).
5) Anak orang lain yang minta diakui sebagai anak. 6) Anak hamba yang berasal dari keturunan rendah, yang diakui anak.
Pasal 198 Kutara Manawa, yang mengacu pada kitab Manawa Dharmasastra ada enam anak yang sebagai ahli waris.
Disamping anak laki-laki anak, anak perempuan berhak mendapat waris.
Enam anak yang akan mendapat warisan itu adalah: 1) Anak yang lahir dari perkawinan pertama. 2) Anak yang lahir dari istri kedua (perkawinan mendapat persetujuan orang tuanya). 3) Anak pemberian saudara,anggota keluarga . 4) Anak yang diminta dari orang lain. 5) Anak yang diperoleh dari istri yang atas perintah suaminya bercampur dengan iparnya. 6) Anak buangan yang dipungut dan diakui sebagai anak. Sedangkan enam anak yang tidak mendapat warisan adalah: 1) Anak yang tidak diketahui siapa bapaknya, diperoleh ibinya ketika masih gadis 2) Anak campuran orang (dihamili oleh banyak laki-laki). 3) Anak seorang istri yang telah diceraikan,kemudian kawin lagi dengan aki-laki lain. Setelah laki-laki kedua meninggal ia kembali lagi kepada suami pertama dengan membawa kandungan dari suami kedua. 4) Anak yang diperoleh karena pemberian.
WIDYA WRETTA
108 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Amajur iva pitroh saca sati samanada ã asadasas tvaam iye bhagam kridhi praketam upa masya bhara daddhi bhagam tanvo yanemamahah (Rgveda: II.17.7). Artinya: Seorang anak selalu tiggal dengan orang tuanya, seperti seorang wanita yang tingal menjadi orang tua dirumah, meminta uang kepada orang tuanya. Semoga orang tuanya memikirkan itu. Perhitungkan dan berikan bagiannya kepadanya untuk perawatan dan untuk melayani para tamu. Yataiwãmã tathã putra putrena duhitã soma tasyãmãtmani tishantayam kathamanyo dhanam haret (MD:IX.130) Artinya: Seorang anak sama dengan dirinya sebagaimana seorang anak perempuan sama dengan anak laki, bagaimana mungkin orang lain memperoleh harta warisan sedangkan anak perempuan yang ditunjuk, seorang yang ditunjuk yang sama dengan dirinya masih hidup. Mãtusu yautakam yat syãtkumara bhãga ewash dauhita ewa ca hareda putrasyãkhilam dhanam (MD.IX.131)
Artinya: Tetapi apapun juga harta sendiri milik ibu harta itu adalah satu-satunya merupakan bagian anak perempuan; dan anak wanita yang diangkat ststusnya menjadi anak lakilaki menerima seluruh warisan orang tuanya yang tidak berputra laki. Dari bunyi pasal diatas dapat diketahui bahwa seorang anak perempuan berhak mendapatkan warisan orang tuannya baik ibu maupun dari bapaknya, lebih-lebih jika anak perempuan itu diangkat statusnya menjadi laki-laki (putrika), ia berhak atas harta kekayaan peninggalan orang tuanya. Seorang anak disamping berhak atas harta warisan orang tuanya, mereka memiliki kewajiban yang harus dipikul sebagai seorang anak (Gelgel,2006:145) Yasya putro vasibhuto bhãryãchandãnugãni vibhave yasca santustas tasys svarga ihaiva hi (Nitisastra:II.3) Artinya: Kalau seorang anak bakti kepada orang tuanya, sang istri penurut, merasa puas terhadap harta benda yang dimiliki, sebenarnya kesenangan surga dinikmati oleh orang-orang tersebut di dunia. Te putrã ye pitur-bhaktãh sa pita pasokah tam mitram yatra visvasah sã bhaãryã yatra nirvrtih. (Nitisastra:II.4). Artinya: Yang disebut putra adalah mereka yang bhakti terhadap bapak, yang disebut
bapak adalah ia yang menanggung, memelihara anak-anaknya. Yang disebut teman adalah ia yang percaya dan dapat dipercaya, dan seorang istri adalah ia yang selalu bisa memberikan kebahagiaan. Mãtãpitribyãm jãmbhirbhrãtrã putrena bhãryayã, duhitrã dãsa wargena wiwadam na samacaret (MD:IV.180). Artinya: Janganlah ia sampai berkelahi dengan ayah bundanya sendiri, dengan keluargakeluarga perempuannya, dengan abangabangnya, dengan anak dan istrinya, dengan putrinya dan dengan pelayanpelayannya sekaligus. Tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang anak laki-laki atau seorang anak wanita yang berstatus laki (putrika), sebagaimana bunyi sloka-sloka diatas adalah: a. Melakukan upacara-upacara ritual untuk para leluhurnya. b. Menghormati leluhur, orang tua, kakak dan juga para gurunya dan senantiasa menyenangkan hati mereka. c. Menghindari perselisihan, perkelahian dengan orang tua dan keluarganya. d. Selalu berbakti kepada orang tuanya. A. Hilangnya Hak Mewaris Dalam Hukum Hindu Setiap ahli waris sebenarnya mendapatkan hak waris dari prang tuannya (pewaris), namun ada kalanya seseorang kan kehilangan hak warisnya disebabkan kerena perbuatannya yang bertentangan dengan
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
109
norma-norma hukum yang berlaku, baik itu hukum agamanya ataupun hukum adatnya (Gelgel,2006:148). Perbuatan yang memungkinkan hilangnya hak mewaris terhadap harta warisan disebabkan oleh beberapa hal: a. Membunuh atau berusaha menghilangkan nyawa pewaris atau anggota anggota pewaris atau anggota keluarga. b. Melakukan penganiayaan atau berbuat merugikan kehidupan pewaris. c. Berbuat tidak baik ataupu menjatuhkan nama baik pewaris atau kerabat pewaris karena perbuatan tercela. d. Meninggalkan agamanya atau berpindah agama atau kepercayaannya. (Gde Wiranata,2005:265). Dalam Hukum Hindu seorang ahli waris akan kehilangan hak warisnya atautidak berhak mewaris seperti apa yang diatur dalam pasal 201, 214 Bab IX. Kitab Manawa Dharmasastra adalah jika: 1. Ahli waris menolak untuk mewaris. 2. ahli waris durhaka terhadap pewaris atau leluhurnya. 3. ahli waris diangkat anak oleh orang lain. 4. ahli waris kawin dengan putrika (anak wanita yang berstatus purusa) 5. ahli waris menderita penyakit jiwa dan tidak sempurna indrianya. Dalam masyarakat Hindu di Bali, seorang anak dapat pula kehilangan hak warisnya jika anak tersebut mempunyai tingkah laku dan perbuatannya merugikan atau mengancam kedudukan pewarisnya. Misalnya seorang anak yang driwaka WIDYA WRETTA
110 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
(durhaka) terhadap orang tua dan leluhurnya. Demikian pula seorang anak akan kehilangan hak mewarisnya apabila ia meninggalkan agama leluhurnya atau pewarisnya. Hal ini diberlakukan karena seorang anak yang berpindah agama tidak dapat melaksanakan kewajiban leluhurnya sebagai seorang anak yang suputra (baik) terhadap leluhur,orang tuanya, seperti melakukan yadnya serta kewajiban-kewajiban sosial dalam masyarakat dan lingkungan keluarganya. B. Harta Warisan Dalam Hukum Hindu Harta warisan adalah segala harta benda yang ditinggalkan atau yang menjadi hak meilik orang yang telah meninggal dunia atau pewaris, baik yang menyangkut harta yang akan(dapat) dibagi ataupun harta yang belum (tidak dapat) dibagi. Harta warisan ini dapat berupa harta bendaberwujud dan dapat pula berupa harta benda yang tdak berwujud. Harta warisan dalam Hukum waris Hindu dikenal dengan nama Dravivya/drvya/ drasvya. Harta warisan dalam Hukum Hindu dapat digolongkan menjadi: a. Harta warisan yang dapat dibagi. b. Harta warisan yang tidak dapat dibagi. a. Harta warisan yang tidak berwujud. Harta warissan yang mempunyai nilai ekonomis, seperti tanah,uang, rumah, emas dan sebagainya. Sedangkan harta warisan yang tidak dapat dibagi-bagi disebut harta pusaka sepertikeris, tempat pemujaa/suci (rumah ibadah), benda-benda yang memiliki nilai religius magis, seperti pratima dan sbagainya. Harta warisan yang ti berwujud adalah harta warisan yang dapat dilihat dan
diraba secara fisik material,sedangkan harta warisan tidak berwujud berupa hak dan kewajiban. (MD.X.115) Sapta witãgamã dharmyã dãyo lãbhah krayo jayah, prayoga karmayogacca satpratigraha ewa ca. Artinya : Ada tujuh cara yang sah dalam memperoleh hak milik yaitu: pewarisan, perjumpaan, atau hadiah persahabatan, pembelian, penaklukan, peminjaman dengan bunga,melakukan pekerjaan menerima hadiah dari orang-orang saleh.
4.4.3 Implikasi Menurut Hukum Nasional (Positif) Indonesia Kebebasan beragama di indonesia sangat dijunjung tingagi karena Negara menjamin kebebasan beragama seluruh warga Negara sesuai dengan bunyi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Pasal 29 (1) dan (2) tentang agama yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 AGAMA (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari bunyi sloka115 Bab.X. Manawa Dharmasastra di atas, ada tujuh cara sah atau cara yang dibenarkan untuk memperolah warisan dalam Hukum Hindu yaitu:
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
a. b. c. d. e. f. g.
Berdasarkan pejelasan UndangUndang diatas maka sangat jelas tidak ada implikasi dari tindakan atau perbuatan berubah/berpindah agama.
Pewarisan Pembelian Penaklukan Penjumpaan Peminjaman dengan bunga Melakukan pekerjaan Penerimaan dari orang yang saleh.
BAB V. PENUTUP 2.1 Kesimpulan
Jadi dari hasil uraian di atas dapat ditarik benang merah terhadap waris menurut Hukum Hindu. Bahwa orang yang tidak dapat melakukan/melanjutkan kewajiban orang tua atau pewaris. Menurut Hukum Hindu, maka tidak dibenarkan untuk mendapatkan Waris dari pewarisnya, Sama halnya dengan orang yang berubah/berpindah agama dari agama Hindu Ke agama lain.
Setelah penulis menguraikan secara maksimal tentang “Implikasi Konversi Agama Terhadap Hak Waris Menurut Hukum Hindu (Studi Kasus di Desa Pakraman Taro Kaja). Maka dapat ditarik beberapa kesimpulan seperti berikut. 1. Terjadinya konversi agama di Desa Pakraman Taro Kaja disebabkan oleh beberapa Faktor sebagai berikut: -
Lemahnya ekonomi, yang mengakibatkan mudahnya pengaruh agama lain untuk memasukan
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
111
pengaruhnya dengan menjanjikan kehidupan yang lebih baik, dengan cara perekrutan anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk tinggal dipanti asuhan, mempasilitasi pendidikan yang lebih layak. Dengan demikian secara mudah mereka ditanamkan atau dididik dengan ajaran-ajaran agama Kristen yang dimulai dari lingkungan atau tempat tinggal mereka yang baru sehingga lambat laun mereka melupakan agama lama (Hindu) dan masuk ke agama baru (Kristen). Karena pembangunan teologi mereka sudah disrahkan ke teologi agama baru (Kristen) mereka. -
Lemahnya pemahaman teologi agama Hindu, lemahnya pemahan teologi ini mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh agama Kristen mengingat teologi mereka memang sudah disempurnakan sehingga sangat mudah dipahami, kegoncangan individu atau krisis individu dari masyarakat Hindu dapat dengan cepat dimanfaatkan oleh agama lain untuk perekrutan jemaat baru.
2. Proses konversi agama Hindu ke agama Kristen yang terjadi di Desa Pakraman Taro Kaja memang mengalami proses yan ganagat panjang dari mulai melakukan perekrutan dan memberikan ajaran kekristenan (ketekisasi), sebelum benarbenar siap untuk masuk agama Kristen memerlukan waktu puluhan tahun karena pendidikan mereka yang sangat terstruktur dan terorganisasi dengan baik
WIDYA WRETTA
112 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
meka mereka mempersiapkan jemaatnya dengan sangat baik sebelum akhirnya dilakukan pembabtisan (masuk Kristen). 3. Implikasi ditimbulkan oleh tindakan konversi agama atau berpindah agama di Desa Pakraman Taro Kaja memeiliki beberapa implikasi: -
Tidak diakui lagi sebagai warga (mayarakat) Desa Pakraman Taro Kaja. Sesuai dengan awig-awig (aturan) yang berlaku.
-
Dilepaskannya hak dan kewajiban mereka di dalam anggota Desa Pakraman Taro Kaja. Terutama hak-hak/waris mereka yang terikat dengan ayahan Desa Pakraman, seperti Tegal Ayahan Desa dan Karang Desa, kembali menjadi milik Desa Pakraman. Pengambilan hakhak ini bukan tanpa alasan, pengambilan ini dilakukan untuk menjaga keberlangsungan masyarakat Desa Pakraman Taro Kaja. Sedangkan hak-hak mereka yang bukan merupakan atau tidak ada hubungannya dengan tanggung jawab ke Desa Pakraman seperti harta guna kaya (waris atas nama pribadi/hak milik) dikembalikan kepada keluarga bersangkutan untuk memutuskan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sedangkan dalam kewajiban terhadap Desa Pakraman, seiring dengan terputusnya hak-hak mereka karena berpindah agama maka kewajiban mereka juga dihentikan, baik
kewajiban untuk ngayah di Pura dan kegiatan sosial di masyarakat. Tentunya semua aturan tersebut diberlakukan untuk menjaga eksistensi adat dan agama Hindu di lingkungan Desa Pakraman Taro Kaja kedepan, dan tidak lupa mempertimbangkan dalam pembuatan awig-awig (aturan) dan pelaksanaannya tidak berlawanan dengan UUD Republik Indonesia, Hukum Adat Bali, dan Hukum Hindu. 2.2 Saran-Saran 1. Untuk mengurangi faktor-faktor terjadinya konversi agama Hindu ke agama Kristen dan agama lainnya hendaknya pemerintah terkait dalam hal ini Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan para pemuka agama Hindu untuk melakukan berbagai langkahlangkah guna mengatasi turunnya jumlah umat Hindu yang mulai kmenurun di jaman sekarang, dengan memberikan pemahaman tentang ajaran agama Hindu
yang lebih mudah di pahami dan dimengerti oleh umat Hindu terutama generasi muda dan anak-anak agar paham tentang teologi agamanya sendiri (Hindu) sejak dini. 2. Demikian pula penulis himbau kepada segenap warga masyarakat dan pemukapemuka adat di Desa Pakraman Taro Kaja. Kita sebagai warga yang baik hendaknya dalam mengatasi faktor-faktor penyebab konversi agama hendaknya memberikan pembinaan pembinaan mental dan sepiritual guna mempersiapkan generasi muda yang siap menghadapi gempuran agama lain, di era sekarang ini akibat globalisasi, dan sangat penting dalam memutuskan suatu kebijakan hendaknya sesuai dengan aturan yang berlaku sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku di Republik Indonesia dan Hukum Adat yang sesuai dengan Hukum Hindu sebagai landasan dasar Hukum adat di Bali.
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
113
DAFTAR PUSTAKA Abdel Salam, EL Fatih., 2008. Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik. Bahan Kuliah di Islamic Revealed Knoledge and Human Sciences Internasional, Islamic Universiti Kuala Lumpur. Ardana, I Gusti Gede, 2007. Pemberdayaan Kearifan Lokal Masyarakat Bali Dalam Menghadapi Budaya Global. Denpasar: Fustaka Tarukan Agung-Fakultas Sastra Universitas Udayana Ardika, I Wayan, 2004. Pariwisata Bali: Membangun Pariwisata Budaya dan mengendalikan budaya periwisata. Dalam I.N Darma Putra (e.d.), Bali Menuju Jagadhita:Aneka Perspektif: Pustaka Bali Post. Ashrama, B.,I Gede Pitana dan I Wayan Windia (Eds). 2007. Bali is Bali Forever Ajeg Dalam Bingkai Tri Hita Karana. Denpasar Bali Travel News bekerja sama dengan Pemerintah Propinsi Bali dan PT. Bali Post. Astiti, Tjok Istri Putra.2005.Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali. Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana. Bugin, B.2001. Metode Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press. Dharmayasa I Made, Canakya Niti Sastra ,Dharma Naradha, Denpasar, 1995. Dharma Yudha,I Made Suastawa,2001.Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum
WIDYA WRETTA
114 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Adat di Propinsi Bali. Denpasar: Upada Sastra. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka,h.1269. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2012. Purana Pura Agung Gunung Raung Taro Donder, I Ketut, 2006 Brahmavidya: Teologi Kasih Semesta. Kritik Terhadap Epistimologi Teologi, Klaim Kebenaran, Program Misi, Komparasi Teologi dan konversi. Surabaya: Paramitha. Ekasana, I Made.2012. Dharma Bandhu,Hukum Keluarga Hindu. Paramita Surabaya. Gelgel, I Putu.2006. Hukum Hindu. Universitas Hindu Indonesia dan Penerbit Widya Dharma. Hendropuspito,D., 1983.Sosiaologi Agama Jakarta Kanisius dan BPK Gunung Mulia. Indra Nolin, 2011. UUD RI 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen. Penerbit Pustaka Tanah Air. qbal Hasan, 2002. Pokok-pokok Metodelogi dan Aplikasi. Bandung Gali Inddonesia. Jalaluddin, H., 2002. Psikolog Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kerepun, Kembar M,2007. Kelemahan dan Kekeuatan Manusia Bali (Sebuah Otokritis). Denpasar Panakon. Korn, VE, 1972. Hukum Adat Waris di Bali diterjemahkan serta diberi catatan-
catatan oleh I Gde Wajan Pangkat, Denpasar, Fakltas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana. Nasution.2008. Metode Risearch. Jakarta: PT Bumi Putra Akasa. O’DEA.Thomas, 1966. Sosiologi Agama. Terjemahan oleh Tim Penerjemah Yasogama.1985. Jakarta Rajawali. Panetje,Gde,1989. Aneka Catatan Hukum Adat Bali. Denpasar, Guna Agung Parimarta,I Gde.1998 “Desa Adat Dalam Perspektif Sejarah”, Dinamika Kebudayaan Vol.1. Denpasar Universitas Udayana. Puja I Gde., Tjok Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, Departemen Agama RI, Jakarta,1978. Ramayulis, 2002. Psikolog Agama. Jakarta: Kalam Mulia. Setia, Putu, 2006. Bali Yang Meradang. Denpasar: Pustaka Manikgeni. Subagyo.1997.MetodelogiPenelitian Pendidikan.Jakarta: Rineka Cipta. Soepomo,1977. Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta,Pradnya Paramita. Soekanto, 1996. Meninjau Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat. Jakarta, Raja Grafindo, Cetakan ketiga. Sudantra, I Ketut. 1999. Formalisasi Forum Komunikasi Antar Desa Adat dalam Kontek Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum yang Dihadapi Desa Adat.Kerta Patrika
NO. 72 Th. XXIV. Denpasaa: Fakultas Hukum Universitas Udayana. Sugiono,Prof.Dr. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif,Kualitatif dan R&D. Bandung:CV Alfabeta. Surpi, Ni, Kadek., 2011. “Membedah Kasus Konversi Agama Di Bali” , Kronologi Metode Misi dan Alasantindkan Konversi Agama dari Hindu ke Kristen dan Katolik di Bali serta Pernik-pernik Keagamaandi dunia. Paramita Surabaya. Susan, Novri, 2003. Teori Konflik Struktural dan Krisis (positivisme dan Sosial Krisis). (online), (http:// .skripps.ohio.edu/ news/cmdd/artikel ef.htm, diakses 23 September 2008). Thouless, Robert H, 2000. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta:Raja Grafindo Persada. Warjana, 2009.Materi Pokok Dharmagita. Jakarta:Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Budha. Wiana, I Ketut, 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita. Windia,Wayan P. dan I Ketut Sudantra. 2006. Pengantar Hukum Adat Bali. Penerbit: Lembaga Dokumentasidan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana. Wiranata, I Gde., Hukum Adat Indonesia Perkembangan Dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Akibat Konversi Agama Hindu ke Agama Kristen Di Desa Pakramaan Taro Kaja Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar I Wayan Martha, INyoman Surtana
115
UPACARA SELAMETAN PADA SUNGAI SEKAMPUH DI DESA MATARAM KECAMATAN GADING REJO KABUPATEN PRINGSEWU LAMPUNG NILAI PENDIDIKAN PERSFEKTIF AGAMA HINDU Oleh: Anak Agung Gede Dira Lindia Winardika ABSTRAK Masyarakat Suku Jawa yang tinggal di Desa Mataram, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung memiliki tradisi unik yaitu Upacara selametan pada Sungai Sekampuh. Upacara selametan tersebut dilaksanakan setiap satu tahun sekali yaitu jatuh pada hari Jumat Kliwon, pada bulan suro menurut perhitungan kalender Jawa. Hal ini sangat menarik karena Upacara selametan tersebut di dilaksanakan di pinggir aliran Sungai yaitu Sungai Sekampuh karena itulah oleh warga disebut dengan Upacara selametan Sungai Sekampuh. Upacara selametan tersebut diikuti oleh warga yang beragama Hindu maupun Non-Hindu, namun jika dilihat dari pelaksanaan Upacaranya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ajaran agama Hindu, sehingga peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai hubungan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh tersebut dengan Ajaran Agama Hindu. Dalam penelitian yang kemudian tersusun menjadi karya ilmiah yang di beri judul Upacara Selametan Pada Sungai Sekampuh Di Desa Mataram, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung (Kajian Pendidikan Agama Hindu). Dalam penelitian ini penulis menemukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: (1) Mengapa warga Desa Mataram melaksanakan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh?, (2) Bagaimana proses pelaksanaan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh?, (3) Nilai-nilai pendidikan Agama Hindu apa saja yang dapat dipetik dalam pelaksanaan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh?. Rumusan masalah diatas di bedah dengan menggunakan beberapa teori dan metode. Teori yang digunakan yaitu: (1) Teori Religi dan (2) Teori Pendidikan Konstruktivisme. Sedangkan metode yang digunakan yaitu: (1) Metode Observasi, (2) Metode Wawancara, (3) Metode Pengumpulan Data, dan (4) Metode Analisis Data. WIDYA WRETTA
116 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai Nilai-nilai pendidikan Agama Hindu yang terkandung di dalam pelaksanaan Upacara selametan pada Sungai tersebut. Dalam Pelaksanaan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh tersebut menggunakan berbagai saran upakara seperti: Tumpeng robyong, ayam panggang, ayam engkung, kelapa muda hijau, kemenyan, komaran, bunga wangi, kinangan, ambengan, wedangan, ancak, pisang raja hijau, kepeng, telur ayam kampung mentah, jajan pasar, bubur dua warna (abang/putih), kupat selamet, lepet, dan perahu debok. Prosesi pelaksanaanya sendiri melalui beberapa tahapan yaitu tahap persiapan, upacara puncak, dan acara hiburan. Dari hasil penelitian di lapangan peneliti dapat menyimpulkan beberapa Nilai-nilai pendidikan Agama Hindu yang terkandung didalam pelaksanaan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh yaitu: Nilai pendidikan tattwa, nilai pendidikan etika, nilai pendidikan sosial dan nilai pendidikan upacara.
Kata-kunci : Upacara, Selametan, Sungai. 1. Latar Belakang Masyarakat Jawa yang tinggal di pedesaan pada umumnya sebagai masyarakat agraris, yang sehari-harinya hidup sebagai petani dan sangat kental dengan budaya gotong-royongnya. Hal itu merupakan kebudayaan nenek moyang yang telah di wariskan secara turun-temurun yang perlu di lestarikan keutuhannya, sehingga tidak mudah hanyut karena perkembangan zaman. Dalam kehidupan berkomuniti pada masyarakat Jawa di pedesaan, keadaan saling tolongmenolong antar individu dan individu atau antara keluarga dan keluarga dapat dilihat dalam kegiatan menanam padi, menyiangi, panen, memperbaiki rumah, menggali sumur, serta dalam upacara yang di adakan oleh suatu keluarga maupun warga desa. Prilaku masyarakat desa di atas merupakan usaha dalam menciptakan keharmonisan di dalam lingkungan
masyarakat, di dalam agama Hindu keharmonisan hubungan itu tertuang dalam ajaran Tri Hita Karana yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia lainya, dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam lingkunganya atau mahluk hidup lainya Sarvaprani Hitankara/semua mahluk sejahtera. (Titib, 1996 : 21) Umat Hindu dalam mempertahankan keharmonisan sebagai upaya penguat, pengikat, sekaligus sebagai identitas diri umat Hindu dalam kebertahanannya terhadap budaya lokal dengan tetap mempertahankan konsep Tri Hita Karana melalui kegiatan ritual atau upacara. Upacara atau ritual adalah salah satu bagian dari tiga kerangka agama Hindu selain tattwa dan susila, yang ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat di pisahkan antara yang satu dengan
Upacara Selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu Lampung, Nilai pendidikan Persfektif Agama Hindu Anak Agung Gede Dira, Lindia Winardika
117
yang lainya. Bagi umat Hindu dalam setiap pelaksanaan Upacara harus selalu di landasi dengan ketulusan hati, persembahan yang dilandasi dengan ketulusan hati ini disebut dengan yadnya. Jika di teliti secara seksama, maka tujuan yadnya adalah mendidik manusia untuk mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa, Pelaksanaan yadnya sesunguhnya di dasarkan atas adanya hutang (Rna). Hutang atau Rna itu ada tiga macam yaitu, Dewa Rna merupakan hutang kepada para Dewa sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Rsi Rna merupakan hutang kepada Rsi atau Guru (Guru pengajian, Guru rupaka, Guru wisesa), Pitra Rna merupakan hutang kepada para leluhur. Hutang jasa tersebut tidak di bayar dengan uang melainkan dengan jasa melalui upacara yadnya. Kata upacara dalam bahasa sansekerta berarti bergerak, yakni mendekat, mendekatkan diri kepada alam, sesama, dan yang paling utama kepada Tuhan, itulah landasan tattwa aneka Upacara yadnya (Wiana, 2004 : 49). Masyarakat yang tinggal di Desa Mataram memiliki Upacara yang unik yaitu Upacara selametan pada Sungai Sekampuh. Bagi masyarakat Desa Mataram keberadaan Sungai Sekampuh memiliki peranan yang penting dalam kehidupan mereka, sebab sungai tersebut di jadikan sebagai sumber air pada saat musim kemarau, sebagai sumber air untuk irigasi sawah, serta dijadikan sebagi sumber penambangan pasir dan batu. Namun di sisi yang lain masyarakat setempat juga percaya bahwa Sungai sekampuh tersebut di huni oleh mahluk gaib, oleh masyarakat
WIDYA WRETTA
118 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
setempat di sebut Danyang. Masyarakat meyakini bahwa Danyang penghuni sungai tersebut sewaktu-waktu akan meminta tumbal (korban), hal itu ditandai dengan adanya orang yang terkena musibah atau celaka yang menyebabkan orang tenggelam atau meninggal di Sungai Sekampuh, untuk menghindari adanya tumbal tersebut masyrakat setempat melaksanakan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh. Upacara selametan yang di laksanakan di Sungai tersebut merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan atas segala anugrah yang telah di berikanNya, serta sebagai persembahan kepada Danyang yang menghuni sungai agar tidak mengangu masyarakat yang beraktifitas di sungai tersebut. Selametan berasal dari kata “selamet” yang artinya terbebas dari segala rintangan, selametan berarti upacara sedekah makan serta doa bersama yang bertujuan untuk memohon keselamatan. (Purwadi, Djoko, Siti, Mahmudi, dkk. 2005 : 490). Upacara selametan sungai di laksanakan oleh masyarakat yang tinggal di Desa Mataram, khususnya warga yang tempat tinggalnya tidak jauh dari aliran Sungai Sekampuh atau warga yang kesehariannya bersinggungan dengan sungai tersebut, seperti warga yang memiliki sawah maupun ladang yang lokasinya tidak jauh dari sungai, serta warga yang bekerja sebagi penambang pasir maupun batu. Upacara selametan telah dilaksanakan selama bertahun-tahun namun belum ditemukan sumber yang jelas mengenai kepercayaan masyarakat dalam melaksanakan Upacara selametan yang
mengunakan berbagi macam sarana berupa sesaji. Pada umumnya warga setempat hanya mengatakan bahwa Upacara tersebut merupakan tradisi yang telah di wariskan oleh para pendahulu mereka yang menganut faham Kejawen. Bila di dilihat lebih seksama maka pelaksanaan Upacara selametan lebih identik dengan ajaran Agama Hindu di mana dalam setiap kegiatan upacara selalu mempergunakan sarana upakara atau banten sebagai persembahan yang tulus (yadnya). Hal inilah yang menarik untuk di teliti, sehingga nantinya di harapkan dapat menemukan gambaran yang lebih jelas mengenai Upacara selametan pada Sungai Sekampuh. Dari uraian di atas dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1). Mengapa masyarakat di Desa Mataram, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung, melaksanakan Upacara selametan Pada Sungai Sekampuh.? 2). Bagaimana proses pelaksanaan Upacara selametan Pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung.? 3). Nilai filosofi pendidikan Agama Hindu apa saja yang dapat dipetik dalam Upacara selametan Sungai Sekampuh di Desa Mataram, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung.? 2.1.Upacara Selametan Pada Sungai Sekampuh Di Desa Mataram Desa Mataram adalah salah satu Desa yang ada di daerah Lampung, yang penduduknya adalah mayoritas suku Jawa yang dahulu bertransmigrasi dari daerah
sekitaran Jawa Tengah. Meskipun telah tinggal di luar pulau Jawa namun warganya masih tetap menjaga tradisi leluhur mereka, akan tetapi sebagian tradisi tersebut telah disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra). salah satunya yaitu tradisi selametan. Menurut Sagio salah seorang Sesepuh Desa Mataram, mengatakan bahwa : Wong Jowo kuwi ojo nganti lali karo tradisi leluhur, ne sampe lali berati dudu Wong jowo. Tradisi dilakoni ben uripe ora nyasar mengkone bene dadi tetep eling mareng Gusti, penjaluke Wong Jowo kuwi ora akeh mung pingin waras selamet, mulane kuwi Wong Jowo neng ndi wae manggon tetep eling karo tradisi selametan. Terjemahan: Orang Jawa itu jangan sampai lupa dengan tradisi leluhur, kalau sampai lupa berarti bukan Orang Jawa. Tradisi dilaksanakan supaya dalam menjalani hidup tidak tersesat dan nantinya juga supaya tetap ingat dengan Gusti (Tuhan). Permintaan Orang Jawa itu tidak banyak yaitu hanya ingin sehat dan selamat (tidak terkena musibah), karena itulah dimanapun Orang Jawa tinggal tetap ingat dengan tradisi Selametan. (Sagio, wawancara tangal 17 Desember 20011) Dari penuturan Sagio tersebut dapat menjelaskan mengapa tradisi selametan begitu penting bagi Orang Jawa oleh sebab itu Orang Jawa tidak akan pernah melupakan atau meningalkan Upacara selametan. Upacara
Upacara Selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu Lampung, Nilai pendidikan Persfektif Agama Hindu Anak Agung Gede Dira, Lindia Winardika
119
selametan merupakan tradisi dari para leluhur sebagai sarana memahami serta selalu mengingat ajaran Tuhan sehingga manusia tidak tersesat di dalam menjalani hidup ini. Dari situ dapat di pahami bahwa tradisi yang di maksud adalah tradisi yang berasal dari faham Kejawen, sedangkan faham kejawen sendiri banyak di pengaruhi oleh ajaranajaran dari Agama Hindu tapi karena sudah menjadi suatu tradisi sehingga di katakan sebagai faham atau keyakinan Kejawen. Ciri dari faham Kejawen sendiri salah satunya yaitu masih mengunakan persembahan atau sesaji Dalam pelaksanaan Upacara maupun ritual, dan salah satu contoh nyatanya yaitu dalam pelaksanaan Upacara selametan Sungai. Upacara selametan Sungai Sekampuh yaitu Upacara selametan yang lokasi pelaksanaanya diadakan di pinggiran Sungai Sekampuh. Dalam pelaksanaan Upacara selametan sungai mengunakan berbagi macam sesaji yang di persembahkan kepada Tuhan sebagai ungkapan rasa syukur serta diperuntukan bagi Danyang yang mendiami Sungai dilokasi tersebut. Upacara Selametan sungai merupakan sebuah sarana untuk memohon keselamatan bagi warga yang sering beraktifitas di sekitar sungai supaya tidak terkena suatu musibah apapun. Menurut Parmo (seorang guru agama Hindu) mengatakan bahwa Upacara selametan Sungai Sekampuh merupakan tradisi yang sesuai dengan konsep ajaran agama Hindu yaitu Tri Hita Karana yaitu tiga hubungan yang menyebabkan kebahagiaan, yaitu hubungan manusia dengan Ida Sang
WIDYA WRETTA
120 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Hyang Widhi Wasa, Hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Dimana hal ini terlihat pada pelaksanaan Upacara selametan yang mengunakan Sesaji serta mantra suci sebagi wujud bhakti yang tulus kepada Tuhan Yang Maha Esa, hubungan harmonis antara manusia dengan sesamanya terlihat dari kegiatan gotong royong dan kebersamaan dalam pelaksanaan Upacara selametan tersebut, dan hubungan yang harmonis dengan Alam dan mahluk hidup lainya yaitu terlihat dari lokasi yang digunakan yaitu di sebuah sungai serta memberi persembahan kepada Danyang yang ada di sungai tersebut. Dengan terjalinya hubungan yang harmonis tersebut maka akan diperoleh kebahagiaan lahir dan batin. (Suparmo, hasil wawancara tangal 18 Desember 2011). 2.2
Waktu Dan Tempat Pelaksanaan Upacara Selametan Pada Sungai Sekampuh
2.2.1. Waktu Pelaksanaan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram dilaksanakan setiap satu tahun sekali yang jatuh pada hari Jumat Kliwon, pada bulan Suro, berdasarkan penangalan Jawa. Perhitungan dalam kalender Jawa mengunakan sistem perputaran bulan (Candra Sengkala) dimana dalam satu bulan terdiri dari 30 hari dimulai dari tanggal 1sampai tanggal 30, dan dalam satu hari terdiri dari 24 jam dimulai dari pukul 18.00 sampai pukul 18.00 hari esoknya. Dalam perhitungan Jawa yang paling umum di gunakan yaitu hari tuju (Dino Pitu),
hari lima (Pasaran Limo), dan bulan dua belas (Wulan Rolas). 1) Dino pitu (sapta wara) terdiri dari Soma (senin) , Anggoro (selasa), Budho (rabu), Respati (kamis), Sukro (jumat), Tumpek (sabtu), dan Radite (minggu). 2) Pasaran Limo (panca wara) terdiri dari Legi, Paing, Pon, Wage,dan Kliwon. 3) Wulan Rolas terdiri dari Suro, Sapar, Mulut, Bakdo Mulut, Jumadi Lawal, Jumadi Lakir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Selo, dan Besar. Pelaksanaan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh menggunakan perhitungan Dino pitu, Pasaran Limo dan Wulan Rolas yaitu hari Jumat Kliwon, bulan Suro, namun jika di dalam bulan Suro tidak terdapat hari Jumat Kliwon maka sudah di sepakati bersama bahwa hari yang di gunakan yaitu Anggoro Kasih, yang berarti Hari Selasa Kliwon. (Kandari, Wawancara Tanggal 22 Desember 2011). 2.2.2. Tempat Pelaksanaan Lokasi yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh yaitu di pinggir Sungai Sekampuh lebih tepatnya berada disekitar tempat penyeberangan. Pada zaman dulu orang-orang menyeberang masih mengunakan perahu yang terbuat dari kayu, namun pada sekitaran tahun 1999 masehi, oleh pemerintah di bangun sebuah jembatan penyeberangan. Meski tempat penyeberangan telah diganti dari mengunakan perahu menjadi mengunakan jembatan, akan tetapi tempat melaksanakan Upacara selametan sungai tetap berada di lokasi yang sama, hal ini karena jembatan penyeberangan tersebut
dibangun di lokasi yang sama dengan tempat penyeberangan yang mengunakan perahu pada zaman dahulu. (Sagio, Wawancara tanggal 21 Desember 2011). 2.2.3 Sarana Dalam Upacara selametan Pada Sungai Sekampuh Pelaksanaan suatu upacara keagamaan tidak terlepas dari sarana upacara keagamaan itu sendiri. Dalam ajaran agama Hindu sarana yang di gunakan biasa disebut denga banten atau sesaji, upacaranya sendiri lebih dikenal dengan sebutan upacara yadnya. Banten atau sesaji tersebut merupakan bentuk yadnya yang dipersembahkan secara tulus iklhas sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Sarana atau upakara tidak dapat dipisahkan dalam suatu tujuan untuk mencapai suatu upacara yadnya. Karena itu akan di bahas lebih dahulu sarana atau upakara yang di gunakan dalam Upacara selametan pada Sungai Sekampuh. 2.2.4. Sesaji Dalam Upacara Larung Sesaji Sarana yang digunakan dalam upacara larung sesaji yaitu sebagai berikut: 1. Tumpeng Robyong adalah nasi yang di bentuk kerucut seperti sebuah gunung yang di tempatkan pada sebuah wadah (bakul), kemudian di sekitarnya di beri bermacam-macam lauk dan sayuran, dan di atasnya di tancapkan cabe merah. 2. Engkung adalah ayam yang di bentuk seperti orang bersemedi yang di masak dengan cara di rebus mengunakan santan
Upacara Selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu Lampung, Nilai pendidikan Persfektif Agama Hindu Anak Agung Gede Dira, Lindia Winardika
121
kelapa, ayam yang digunakan adalah ayam kampung jantan yang masih muda yang baru keluar lancirnya atau bulu ekor ayam yang panjang. 3. Perahu Debok adalah perahu yang di buat dari pohon pisang, pohon pisang dipotong-potong kemudian di tancap mengunakan kayu dan diikat hingga berbentuk seperti perahu persegi empat. 4. Pisang Raja Hijau satu sisir. 5. Kelapa Muda Hijau satu buah. 6. Wedangan adalah minuman yang terdiri dari kopi, teh, dan air putih yang di dalamnya diisi daun towo atau dap-dap. 7. Kinangan adalah kapur sirih dan rokok yang di bungkus menjadi satu. 8. Lepet dan Kupat Slamet, yaitu lepet adalah ketan yang dicampur kelapa di bungkus dengan daun kelapa yang di lilit, sedangkan kupat selamet adalah ketupat yang dibuat dengan satu helai daun kelapa yang biasanya digunakan dalam upacara selametan. 9. Bubur Abang Putih adalah bubur beras yang diberi gula merah (abang), dan bubur beras yang polos (putih), bubur abang dan putih di tempatkan pada daun pisang yang di picuk. 10. Telur ayam kampung yang masih mentah satu. 11. Komaran adalah alat-alat untuk berhias yang di jadikan dalam satu kotak, seperti bedak, kaca, sisir, gunting, minyak cemcem, lulur.dll 12. Jajan Pasar adalah aneka macam kue yang biasa di jual di pasar.
WIDYA WRETTA
122 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
13. Kembang Wangi adalah bunga tiga macam jenis dan warna, yang berbau harum dan di beri minyak wangi. 14. Kemenyan 15. Kepeng adalah uang yang terdiri dari uang kertas dan uang logam. 16. Ancak adalah tempat menaruh sesaji yang terbuat dari bambu yang di anyam berbentuk persegi empat yang di atasnya di alasi daun pisang. 2.2.5. Sesaji Dalam Upacara Kenduri Sesaji yang di gunakan dalam Upacara kenduri yaitu sebagai berikut: 1. Tumpeng Robyong adalah nasi yang di bentuk kerucut seperti gunung yang di tempatkan pada sebuah bakul, dan di sekitarnya diberi berbagai macam laukpauk, sayuran dan diatasnya di tancapkan cabai merah. 2. Ambengan adalah nasi yang di tempatkan pada bakul yang di atasnya di isi berbagi macam lauk-pauk dan sayuran. 3. Ayam Panggang adalah ayam yang di masak dengan cara di panggang, ayam yang di gunakan adalah ayam kampung jantan. 2.2.6.
Proses Pelaksanaan Upacara Selametan Pada Sungai Sekampuh
Proses pelaksanaan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram, melalui beberapa tahapan yaitu, Persiapan Upacara, Upacara Puncak, dan Acara Hiburan.
2.2.7. Tahap Persiapan Tahap awal atau persiapan ini adalah tahapan dimana warga mulai menyiapkan segala sesuatu yang perlu dalam melaksanakan Upacara selametan sungai seperti, pengadaan musyawarah, pembuatan sarana upakara atau sesaji dan mengundang beberapa tokoh dari desa tetangga untuk ikut hadir dalam Upacara selametan sungai Musyawarah diadakan di rumah Kepala Dusun (Bayan), warga masyarakat yang akan ikut dalam pelaksanaan upacara tersebut di undang. kemudian dalam rapat ini yang di bahas adalah mengenai pembentukan panitia pelaksana dan menentukan berapa besar iuran yang akan dibebankan pada masing-masing KK. Hasil dari iuran tersebut nantinya akan dipakai dalam pelaksanaan kegiatan Upacara selametan tersebut. Tugas pembuatan sesaji biasanya di serahkan kepada para Ibu-ibu, dimana dalam pengerjaanya di awasi atau di pandu oleh mereka yang lebih mengerti mengenai jenisjenis sesaji yang akan di pergunakan dalam Upacara selametan tersebut. Pada pagi harinya tugas seorang Juru Kunci atau Sesepuh Desa adalah meneliti sarana upakara tersebut apakah sudah lengkap atau belum, jika sudah lengkap maka selanjutnya sesaji akan dibawa menuju lokasi di laksanakannya Upacara selametan. Selain menyiapkan sarana upakara atau sesaji, panitia upacara juga menyiapkan daftar para tamu undangan, undangan biasanya di berikan kepada Kepala Desa dan beberapa Tokoh dari Desa Tetangga.
Undangan ini dimaksudkan bahwa waraga Desa Mataram akan melaksanakan sebuah hajat yaitu Upacara selametan sungai. 2.2.8. Upacara Puncak Upacara puncak yaitu kegiatan inti dimana Upacara selametan sungai dilangsungkan yang di awali dengan Upacara larung sesaji dan di lanjutkan dengan Upacara kenduri. 1. Upacara Larung Sesaji Upacara selametan pada Sungai Sekampuh ini dilaksanakan pada pagi hari, setelah warga berkumpul di tempat berlangsungnya Upacara selametan, yaitu di pingiran sungai sekampuh dan lebih tepatnya di sekitaran tempat penyeberangan. Para sesepuh dan tamu undangan duduk bersama di sebuah tikar yang sudah di siapkan sedangkan warga pelaku upacara yang lainya berkumpul disekitaran tempat tersebut dan mengikuti upacara tersebut dengan hikmat. Pertama-tama yang dilakukan yaitu menyiapkan sesaji yang di perlukan dalam Upacara larung sesaji. Setelah sesaji sudah siap maka seorang Sesepuh Desa atau Juru Kunci akan menghaturkan sesaji dan sebagian dari sesaji tersebut nantinya akan di larung atau di hanyutkan disungai. Setelah membakar kemenyan maka Juru Kunci mulai mengucapkan mantra-mantra atau doa-doa. Mantra yang dipakai tidak memiliki sumber yang jelas, mantra tersebut diwariskan dari para leluhur atau pendahulu-pendahulu mereka. Sebelumnya mantra ini tidak di tulis tapi di sampaikan secara lisan oleh para
Upacara Selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu Lampung, Nilai pendidikan Persfektif Agama Hindu Anak Agung Gede Dira, Lindia Winardika
123
Sesepuh mereka, hal ini terjadi kemungkinan karena zaman dahulu banyak warga yang tidak dapat membaca dan menulis. Tapi kemudian oleh Mbah Kandari selaku Juru kunci, akhirnya mantra tersebut di salin atau di tulis pada buku untuk di jadikan sebagai arsip yang nantinya akan di berikan kepada penerusnya yang lain, hal ini dilakukan dengan pertimbangan agar tidak hilang ataupun lupa. Mantra yang di gunakan di bagi menjadi dua, yang pertama Mantra (doa) Agung, di rapalkan dengan cara dilagukan lirih seperti kidung dan yang kedua adalah Mantra Pasrahan atau haturan di rapalkan dengan cara bersuara lirih atau berkomat-kamit, yaitu sebagai berikut: Mantra Pertama: Wiji sawiji mulane dadi Apan pencar saisineng jagad Kasambadan dening date Kang maca kang angrungu Kang anurat kang nyimpeni Kang ngalakoni kang mituturi Dadi ayuning badan Kinarya sesembur Teguh ayu luputa ing lelara Luputa bilahi kabeh Welas asih pandulune Dadya sarira tunggal Sakabehing lara pan samnya bali Sakehing braja luput Kadi kapuk tibaning wesi Sakehing wisa tawa Sato galak lulut Temahan rahayu kabeh Apan sarira ayu Ingideran kang widyadara-widyadari WIDYA WRETTA
124 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Terjemahan: Kejadian berasal dari biji yang satu Kemudian berpencar ke seluruh dunia Terimbas oleh zatnya Yang membaca dan yang mendengarkan Yang menyalin dan yang menyimpan Yang melaksanakan serta memberitahu (mengajarkan) Menjadi keselamatan badan Jika dibacakan dalam air Kukuh selamat terbebas dari penyakit Terbebas dari malapetaka Yang di pandang dengan kasih sayang Menjadi satu dalam tubuh ku Semua penyakit bersama-sama kembali Semua senjata lenyap Seperti kapas jatuhnya besi Semua racun menjadi hambar Binatang buas menjadi jinak Pada akhirnya semua selamat Semua sejahtera Dikelilingi widyadara dan widyadari Mantra Kedua: Panjaluk kiambak sedanten mareng Gusti Kang Moho kuoso Mugi mugi waras selamet sadulur kiambak sedanten Mugi mugi rahayu lan derajat mulya urip kiambak sedanten Mogi mogi gusti mareng nyekseni lelaku kiambak sedanten Panjaluk kiambak sedanten mareng mbah dhanyang kali sekampuh……? Kiambak matur sesaji daharan jajan pala picis komaran aruman
Isi sesaji ora sepiro neng cokop kanggo nali sedulur Seduluran oraono ganggu ing keselametan, oraono ganggu ing tentrem ayem Terjemahan: Permintaan kami semua (yang mengikuti upacara) kehadapan Tuhan Yang Maha Kuasa Semoga saudara-saudara kami semua dalam keadaan sehat dan selamat Semoga hidup kami semua penuh dengan berkah dan di berkati kemuliaan Semoga Tuhan berkenan menyaksikan yang kami semua sedang kerjakan Permintaan kami semua kepada mahluk gaib yang menguasai wilayah sungai sekampuh ………? Bahwa kami mempersembahkan sesaji berupa makanan, kue, buah, uang, perhiasan, dan wewangian Persembahannya tidak seberapa, tetapi akan cukup untuk mengikat tali persaudaraan Sesama saudara tidak akan mengangu keselamatan, sesama saudara tidak akan menganggu ketentraman dan kedamaian (Kandari, wawancara tanggal 20 Desember 2011) Dengan melihat mantra di atas maka jelas bahwa mantra yang pertama atau mantra Agung tersebut ditujukan sebagai pemujaan kehadapan Tuhan, agar di restui kegiatan yang akan dilaksanakan oleh masyarakat, yaitu
dengan menyatakan bahwa sesunguhnya semua yang ada di alam semesta ini berasal dari Tuhan, dan semua perbedaan yang terjadi karena sudah menjadi takdir atau kodratnya masing-masing. Bagi siapa saja yang melaksanakan ajaran Tuhan dan mengajarkanya kepada orang lain akan membawa keselametan bagi dirinya. Jika manusia melaksanakan ajaran-ajaran Tuhan maka semua mahluk di dunia ini pasti akan di pandang dengan kasih sayang, hal ini menyatakan bahwa dalam pelaksanaan upacara yang akan di gelar tidak ada lagi rasa benci, permusuhan, dan tindakan-tindakan kejahatan karena yang ada hanya rasa cinta kasih. Harapan yang diinginkan yaitu agar semua berada dalam kasih Tuhan sehinga mendapat kebahagiaan lahir dan batin. Dalam mantra yang ke dua atau mantra Haturan menyatakan bahwa warga Desa Mataram melaksanakan Upacara selametan sungai. Pertama kali yang dilakukan yaitu memohon kepada Tuhan agar berkenan menyaksikan pelaksanaan Upacara tersebut, serta memohon agar seluruh warga dihindarkan dari segala marabahaya. Kepada Danyang yang menghuni Sungai dimohon agar tidak menganggu masyarakat Desa Mataram sebab semua adalah saudara sehingga tidak boleh saling menganggu, sebagai wujud persaudaraan itu maka wajib saling berbagi, dan tindakan nyata yang dilakukan yaitu dengan memberikan sesaji atau pesembahan berupa berbagi jenis makanan, minuman, wewangian,dan perhiasan yang kemudian di larung atau dihanyutkan ke sungai.
Upacara Selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu Lampung, Nilai pendidikan Persfektif Agama Hindu Anak Agung Gede Dira, Lindia Winardika
125
Setelah Juru Kunci selesai membacakan mantra, maka kegiatan dilanjutkan dengan menyiapkan sesaji untuk di larung. Beberapa sesaji yang akan dilarung antara lain: Ujung dari tumpeng robyong yang telah dipotong, engkung, komaran, kelapa muda ijo, kepeng, kembang wangi, telur ayam mentah, bubur abang/ putih, kinangan, kupat, lepet, dan jajan pasar. Semua sesaji tersebut di tempatkan pada sebuah perahu yang terbuat dari pohon pisang, dan dialasi dengan ancak. kemudian perahu yang telah diisi dengan sesaji tersebut di larung atau di hanyutkan kesungai. Sesaji larungan ini di persembahkan bagi Danyang sungai, dengan harapan agar tidak mengangu masyarakat Desa Mataram. Menurut Marwoto (kepala Desa Mataram), dalam sambutanya menyatakan bahwa meski dalam pelaksanaan Upacara selametan Sungai mengunakan berbagi macam sesaji ia mengatakan dengan tegas bahwa hal ini bukan berarti kami menyembah setan, jin, demit dan jenis mahluk halus lainya, dan sangat tidak tepat jika menyembah meraka, karena menurut keyakinannya jika menyembah mahlukmahluk seperti itu akan menimbulkan dosa yang besar. Lebih lanjut Beliau menyatakan bahwa yang kami sembah hanya Gusti Kang Moho Agung (Tuhan), dan sudah selayaknya bahwa kita wajib memberikan sedikit rezeki yang kita peroleh untuk di berikan kepada Danyang yang menunggu Sungai dengan harapan agar tidak
WIDYA WRETTA
126 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
menganggu, hal inilah yang di ajarkan oleh para leluhur kita, maka Upacara selametan ini harus tetap di lestarikan, karena disini kita di ajarkan untuk tetap “eling lan waspodo” yang artinya kita harus selalu ingat kepada Tuhan (eling/ingat), dan menjauhi segala godaan yang dilarangnya (waspodo/ waspada). (Marwoto, pidato sambutan tanggal 23 Desember 2011). Senada dengan yang dikatakan oleh Marwoto menurut Mariono ( seorang Pemangku), Beliau menyatakan bahwa sesungguhnya mahluk gaib atau mahluk halus itu memang ada, namun mahlukmahluk seperti itu tidak nampak karena mereka berada di alam gaib. Alam gaib yang tak kasat mata di dalam agama Hindu disebut dengan Niskala sedangkan alam nyata ini disebut Sekala. Umat Hindu selalu di ajarkan untuk bisa hidup berdampingan dengan mahluk-mahluk gaib tersebut dengan harmonis, salah satunya dengan memberikan sesaji tetapi itu bukan menyembah melainkan untuk menghormati karena mereka juga mahluk ciptaan Tuhan. Sesaji yang di persembahkan kepada Danyang yang ada di sungai tujuanya juga sama yaitu untuk menghormati, sekali lagi bukan menyembah karena yang patut kita sembah hanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Persembahan sesaji tersebut diharapkan dapat memberikan hubungan timbal balik, dimana jika kita tidak menganggu maka mereka juga tidak akan menganggu. (Mariono, Wawancara tanggal 23 Desember 20011
Gambar : 01. Sesaji dihaturkan di pinggir sungai (Dokumentasi : Winardika, 2011)
Gambar: 03. Tampak sesaji yang sudah hanyut di sungai pada saat upacara larung sesaji (Dokumentasi : Winardika, 2011) 2. Upacara Kenduri
Gambar: 02. Sesaji dilarung ke sungai (Dokumentasi : Winardika, 2011)
Setelah larung sesaji selesai, kemudian dilanjutkan dengan Upacara Kenduri. Upacara kenduri ini di buka oleh Kepala Desa atau yang mewakili dengan memberikan sambutan yang di tujukan kepada masyarakat beserta para tamu undangan yang hadir pada upacara tersebut. Kemudian setelah sambutan selesai di lanjutkan dengan pembacaan doa, doa yang dimaksud adalah segala harapan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan Upacara selametan. Seorang Kami Tuo atau Modin di percayakan untuk memimpin doa, seluruh warga yang hadir dalam upacara tersebut ikut berdoa sesuai dengan agama dan kepercayaanya masing-masing. Setelah selesai berdoa banten atau sesaji yang sudah di haturkan atau di doakan tersebut selanjutnya di bagi-bagikan kepada seluruh warga untuk di santap bersama-sama.
Upacara Selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu Lampung, Nilai pendidikan Persfektif Agama Hindu Anak Agung Gede Dira, Lindia Winardika
127
Suasana yang tadinya penuh dengan hikmat langsung berubah menjadi riuh ramai penuh kegembiraan. Warga percaya bahwa makanan yang telah di doakan itu akan membawa berkah kepada mereka, oleh karenanya masyarakat menyebutnya “Sego Berkat” artinya nasi berkah, karena itu sebagian makanan akan disisakan untuk dibawa pulang yang nantinya akan dinikmati bersama keluarga masing-masing. Upacara kenduri ini menurut Martono (Kepala Dusun Margoyoso I) yaitu merupakan perayaan atau pesta dari Upacara selametan sungai, dimana kenduri itu berarti sedekah makan atau makan bersama dalam dengan memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai rasa syukur atas terlaksananya Upacara selametan, dan segala makanan dari sisa sesaji itu merupakan berkah yang diterima, oleh karena itu makanan tersebut akan di sedekahkan atau di bagikan kepada seluruh warga yang hadir untuk dinikmati bersama-sama. (Martono, wawancara tanggal 23 Desember 2011). Dalam ajaran Agama Hindu sendiri menikmati makanan sisa banten atau persembahan sudah tidak asing lagi, karena sisa persembahan dalam setiap upacara keagamaan akan di ambil atau dilungsur, karena itu makan sisa persembahan disebut dengan lungsuran. Dalam kitab Bhagawad Gita, Bab III Sloka 13 dan 15 di sebutkan sebagai berikut: Yajna-sistasinah santo Mucyante sarva-kilbisaih Bhunjante te tv agham papa Ye pacanty atma-karanat Artinya: WIDYA WRETTA
128 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Ia yang memakan sisa yajna akan terlepas dari segala dosa, (tetapi) Ia yang memasak makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesunguhnya makan dosa. Karma brahmodbhavam viddhi Brahmaksara-samudbhavam, Tasmat sarva-gatam brahma Nityam yajne pratisthitam Artinya: Ketahuilah, adanya karma adalah karena Brahma yang ada dari Yang Maha Abadi, karena itu Brahma yang melingkupi semua ini selalu berkisar di sekitar persembahan. Dari kutipan diatas jelas dikatakan bahwa manusia yang memakan sisa persembahan akan terbebas dari dosa dan di tegaskan juga bahwa Brahma (Tuhan sebagi pencipta), akan selalu berada di sekitaran persembahan, penjelasan ini tentu saja sejalan dengan kepercayaan masyarakat yang melaksanakan Upacara selametan bahwa makanan sisa dari sesaji merupakan sebuah berkah.
Gambar: 04 Sesaji Ambengan (Dokumentasi : Winardika, 2011)
Gambar: 05 Kepala desa sedang memberikan sambutan (Dokumentasi : Winardika, 2011)
Gambar: 06 Doa bersama dipimpin oleh seorang Modin (Dokumentasi : Winardika, 2011)
Gambar: 07 Tampak warga yang beragama Hindu mengikuti doa bersama (Dokumentasi : Winardika, 2011)
Gambar: 08 Sisa sesaji dibagikan kepada warga untuk dinikmati bersama (Dokumentasi : Winardika, 2011)
Upacara Selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu Lampung, Nilai pendidikan Persfektif Agama Hindu Anak Agung Gede Dira, Lindia Winardika
129
2.2.4. Acara Hiburan Setelah serangkaian Upacara selametan sungai telah selesai, maka perwakilan dari panitia akan mengumumkan apakah akan di adakan acara hiburan atau tidak. Pengadaan acara hiburan sifatnya tidak wajib karena pada umumnya pengadaanya didasarkan pada besarnya uang hasil iuran warga yang tersisa, serta jika ada warga yang mau menyumbang lebih atau donatur. Jika uang yang terkumpul cukup maka akan di adakan suatu hiburan bagi warga yang biasanya di adakan di rumah salah satu Kepala Dusun. Hiburan yang di tampilkan pada umumnya berupa kesenian-kesenian daerah seperti kuda lumping, wayang kulit, ketoprak dan sebagainya. Ada atau tidaknya acara hiburan akan di umumkan setelah Upacara selametan tersebut selesai, setelah pemberian pengumuman tentang acara hiburan selesai warga di persilakan untuk pulang kerumah masing-masing. 3. Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu Dalam Upacara Selametan Pada Sungai Sekampuh 1.1. Nilai Pendidikan Perspektif Filsafat (Tattwa) Ciri paling utama dalam kebudayaan kejawen adalah sifatnya yang religius, dan pada umumnya orang jawa sangat percaya dengan adanya Tuhan. Dalam pandangan kejawen persepsi tentang Tuhan di lukiskan dengan kata-kata “tan kena kinayangapa”, yang artinya tidak dapat di lukiskan atau digambarkan, sehingga sebutan tentang Tuhan hanya menujuk pada sifat-sifat Tuhan itu
WIDYA WRETTA
130 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
sendiri seperti Gusti Ingkang Moho Agung, Gusti Ingkang Moho Kuoso, Gusti Ingkang Moho Asih, Gusti Ingkang Murbeng Dumadi dan masih banyak lagi yang lainya. Gusti ini merupakan penghormatan yang sangat tinggi kepada Tuhan, Tuhan di percaya sebagi penguasa alam semesta beserta isinya, Tuhan adalah Maha segala-galanya, sehingga Tuhan di jadikan sebagai sesembahan yang paling utama. Persepsi tentang Tuhan yang tergambar dalam ungkapan tan kena kinayangapa ini mengandung suatu makna bahwa setiap orang mencoba melukiskan atau menjelaskan tentang hakikat Tuhan, maka meskipun begitu penjelasan itu sendiri sebenarnya tidak dapat mengambarkan Tuhan secara seutuhnya. Upaya untuk menggapai Tuhan sendiri tidak lebih dari ibarat orang-orang buta yang meraba gajah. Ada yang memegang gading, ada yang memegang perut, ada yang memegang kaki dan ada pula yang memegang ekor. Masing-masing mempunyai pandangan dan penghayatan yang berbeda tentang gajah tersebut. Semuanya memang benar, mengahayati dan merasakan apa yang dirabanya dan mengira bahwa itu gajah. Tetapi mereka sebenarnya tidak tahu wujud dan bentuk sesungguhnya gajah itu. Demikian pulalah kiranya yang dapat digapai oleh manusia tentang Tuhan. Meski Tuhan itu tan kena kinayangapa namun orang Jawa meyakini keberadaan Tuhan, keyakinan terhadap Tuhan tersebut di tuangkan dalam kata-kata “sangkan paraning dumadi” yang artinya Tuhan adalah asal mula dan tujuan hidup.
Setelah menyadari bahwa asal manusia dari Tuhan dan tujuan manusia adalah kembali kepada Tuhan maka hal ini menyebabkan manusia harus menemukan jalan menuju Tuhan, dan melaksanakan ajaran-ajaran yang luhur merupakan salah satu jalan manusia menuju Tuhan. Sehingga hal ini membuat orang jawa tidak melupakan tradisi leluhurnya.
Artinya:
Keyakinan kejawen tentang Tuhan tidak berbeda dengan keyakinan tentang Tuhan dalam ajaran agama Hindu. Dalam ajaran agama Hindu Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa disebut juga Sang Hyang Acintya, yang artinya tidak terpikirkan. Manusia tidak mampu memikirkan bagaimana wujud dan bentuk Tuhan yang sebenarnya. Umat Hindu sangat percaya tentang Tuhan sebagai pencipta dan pengatur seluruh isi alam semesta. Hal ini sangat jelas dapat dilihat dalam Bhagawad Gita, Bab VII sloka 6 dan 7 sebagai berikut:
Dari kutipan di atas, jelaslah dipaparkan bahwa Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa, merupakan sumber dari segala kehidupan dan segala yang ada di muka bumi ini. Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah Sangkan Paraning Dumadi, asal mula dan tujuan akhir dari segala yang ada. Tidak ada kekuatan dan keesaan yang dapat melebihi Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Demikianlah hakikat yang diyakini oleh umat Hindu.
‘etad-yonini bhutani sarvanity upadharaya, Aham krtsnasya jagatah prabhavah pralayas tatha. Artinya: Ketahuilah bahwa semua makhluk mempunyai asal kelahiran disini Aku adalah asal mula dari seluruh alam semseta ini, demikian pula penyerapannya kembali. “matatah parataram nanyat kincid asti dhamanjaya, Pranavah sarva-vedesu sabdah khe paurusam nrsu.
Tak ada sesuatupun yang lebih tinggi dari pada-Ku, wahai Dhananjaya (Arjuna), semua yang ada disini terikat dengan-Ku bagaikan untaian permata pada seutas tali (benang).
Dengan adanya keyakinan terhadap keberadaan Tuhan seperti yang dipaparkan diatas, maka masyarakat kejawen yang ada di Desa Mataram dalam melaksanakan Upacara selametan tidak pernah terlepas dari persembahan dan pemujaan kepada Tuhan. Persembahan yang diwujudkan dalam bentuk banten (sesaji) yang berasal dari bumi, dan pemujaan yang disampaikan melalui mantra dan doa, merupakan suatu bukti adanya kesadaran bagi masyarakat kejawen untuk melakukan kewajiban-kewajiban yang mulia sebagai hamba Tuhan. Persembahan dan pemujan kepada Tuhan dapat dilihat dengan jelas dalam prosesi Upacara selametan yang dilakukan sebagai wujud bhakti dan ucapan terima kasih atas segala anugerah yang dilimpahkanNya. Dengan di sertai permohonan keselamatan, kesejahteraan dan
Upacara Selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu Lampung, Nilai pendidikan Persfektif Agama Hindu Anak Agung Gede Dira, Lindia Winardika
131
kebahagiaan hidup di dunia (jagadhita), tidak lupa memohon maaf dan pengampunan atas segala kekurangan, kesalahan dalam pelaksanaan Upacara selametan. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pelaksanaan Upacara selametan merupakan pemujaan dan persembahan yang dilakukan dengan hati murni dan tulus ikhlas, untuk memohon suatu penyucian, keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia. Adanya kesadaran untuk melakukan pemujaan dan persembahan sebagai wujud bhakti ini menunjukan adanya nilai pendidikan tattwa (ketuhanan) yang sangat jelas dalam pelaksanaan Upacara selametan. Melalui pendidikan seperti inilah diharapkan seluruh keturunan dalam keluarga dan masyarakat, untuk memiliki keyakinan tentang kebesaran Tuhan melalui pelaksanaan-pelaksanaan ritual. 1.2. Nilai Pendidikan Etika Dalam kehidupan bermasyarakat setiap orang dituntut untuk berbuat atau bertingkah laku yang baik hal ini sebagai upaya untuk menciptakan suatu keselarasan dan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah laku yang menilai sebuah tindakan itu apakah di katakan baik atau buruk bagi masyarakat dikenal sebagai ajaran Susila atau Etika, dengan demikian dalam etika kita akan memperoleh pengetahuan tentang perbuatan yang baik dan yang buruk dan hendaknya supaya kita melakukan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan yang buruk. Menurut Sagio (Sesepuh Desa), prilaku-prilaku yang harus dihindari saat
WIDYA WRETTA
132 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
pelaksanaan Upacara selametan yaitu berkata-kata yang kasar, jorok dan tidak sopan dan juga tidak boleh mencicipi sesaji yang belum di persembahkan karena perbuatan seperti itu di anggap telah mencemari kesucian sesaji tersebut. Upacara selametan merupakan upacara yang sakral, sehingga ketika upacara sedang berlangsung kita tidak diperbolehkan mengucapkan katakata serta melakukan perbuatan yang tidak baik karena dapat menimbulkan “kuwalat” yang artinya terkena musibah yang disebabkan karena perbuatan maupun perkataan yang kurang baik. (Sagio, Wawancara tanggal 21 Desember 2011). Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa nilai pendidikan Etika dalam pelaksanaan Upacara selametan diwujudkan melalui prilaku-prilaku yang baik. Dalam ajaran agama Hindu prilaku-prilaku yang baik tertuang dalam konsep Tri Kaya Parisudha yaitu pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik atau yang benar. Dengan berpikir yang baik maka ucapan-ucapan kita yang keluar adalah ucapan-ucapan yang baik pula, dan dengan didasari oleh pikiran dan perkataan yang baik maka di harapkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan juga mencerminkan kebaikan. Pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik tentu saja baik bukan hanya bagi diri sendiri akan tetapi juga baik menurut orang lain. 1.3. Nilai Pendidikan Sosioreligius Manusia adalah homo sosius yang tidak pernah lepas dari teman, manusia tidak dapat hidup sendirian dan selalu bersama-
sama dengan manusia lain. Manusia hanya dapat hidup dengan baik dan mempunyai arti apabila ia hidup bersama-sama manusia lain dalam masyarakat. Tidak dapat di bayangkan apabila manusia hidup sendiri tanpa manusia, tanpa bergaul dan berhubungan dengan sesama manusia. Hanya dalam hidup bersama manusia dapat berkembang dengan wajar, hal ini menunjukkan bahwa sejak lahir sampai meninggal manusia memerlukan bantuan orang lain untuk kesempurnaan hidupnya. Bantuan yang diperlukan tidak hanya untuk kebutuhan jasmani, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan rohani. Manusia sangat memerlukan pengertian, kasih sayang, pengakuan dan tanggapan-tanggapan emosional yang sangat penting artinya bagi pergaulan dan kelangsungan hidup yang sehat. Semua kebutuhan baik yang bersifat jasmani dan rohani hanya dapat diperoleh dalam hubungannya dengan manusia lain dalam bermasyarakat. Hal ini merupakan kodrat manusia sebagai mahkluk sosial. Dalam pandangan hidup masyarakat Jawa untuk mencapai keselarasan hidup bermasyarakat kita harus memahami kata saling “Asah, Asih, dan Asuh”. Asah yaitu sebuah perbuatan yang didasari dengan kerelaan, saling memberi, atau saling harga menghargai satu sama lain, Asih yaitu perbuatan yang didasari oleh rasa sayang atau memandang semua mahluk dengan pandangan cinta kasih, Asuh yaitu perbuatan yang didasari oleh rasa untuk saling melindungi atau selalu menjaga kedamaian satu dengan yang lainya. Jika setiap orang melakukan segala perbuatanya dengan dasar asah, asih,
dan asuh maka keselarasan dalam hidup bermasyarakat akan tercapai Dalam pelaksanaan Upacara selametan pada Sungai di Desa Mataram, jiwa sosial manusia sangat jelas terlihat yaitu kebersamaan dan saling ketergantungan antara satu dengan yang lainya Semua itu tercermin dalam pelaksanaan Upacara selametan yang melibatkan orang banyak serta mengundang beberapa warga desa tetangga untuk hadir dengan tujuan untuk lebih mempererat tali persaudaraan. Dalam aktifitas seperti inilah akan muncul rasa saling asah, asih, dan asuh dari setiap warga yang mengikuti Upacara selametan tersebut. Dari uraian di atas maka sudah jelas bahwa dalam pelaksanaan Upacara selametan tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan Sosial yaitu membimbing kepada seluruh masyarakat untuk mengembangkan rasa solidaritas, kebersamaan, saling menghargai satu sama lain, tolong-menolong, semangat gotong royong, dan saling berbagi dalam keadaan suka maupun duka, sehingga tercapai tujuan dalam hidup bermasyarakat yaitu Jagad Hita yang berarti keselarasan dan kesejahteraan hidup di dunia. 1.4. Nilai Pendidikan Upacara Upacara selametan Sungai merupakan Tradisi yang diwariskan dari para leluhur yang memiliki makna yang tinggi. Masyarakat Desa Mataram memiliki sebuah keyakinan bahwa melalui pelaksanaan Upacara selametan sungai dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan cara mempersembahkan berbagi sesaji sebagi
Upacara Selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu Lampung, Nilai pendidikan Persfektif Agama Hindu Anak Agung Gede Dira, Lindia Winardika
133
wujud syukur atas segala anugrah yang telah di berikan yang berupa kebahagiaan dan keselamatan. Melalui upacara warga juga mendapat melampiaskan emosi keagamaan sehingga memperoleh kepuasan rohani dan ketenangan. Hal inilah yang mendorong Masyarakat untuk tetap melaksanakan kegiatan Upacara selametan tersebut. Dalam pelaksanaan Upacara selametan sungai terkandung nilai-nilai pendidikan upacara, dimana di dalam pelaksanaan Upacara selametan tersebut mengunakan berbagai macam peralatan dan perlengkapan banten persembahan sebagai sarana Upakara. Selain pengunaan sarana Upakara dalam Upacara selametan tersebut juga mengunakan mantra dan doa sebagai media konsentrasi untuk dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa nilai-nilai pendidikan dalam pelaksanaan Upacara selametan Sungai adalah mendidik masyarkat untuk tetap melaksanakan kegiatan Upacara selametan, sebagai upaya melestarikan tradisi leluhur, ungkapan rasa syukur dan sebagai upaya untuk mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Umat Hindu di Desa Mataram sangat menyadari dan meyakini bahwa pelaksanaan Upacara selametan merupakan salah satu jalan mencapai Moksartam Jagat Dhita Ya Ca Iti Dharma yaitu kebahagiaan hidup di dunia dan kelepasan.
WIDYA WRETTA
134 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
2. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka secara umum dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagi berikut: 1. Masyarakat suku Jawa yang tinggal di Desa Mataram, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung melaksanakan Upacara selametan pada Sungai sekampuh sebagai perwujudan dari rasa syukur dan bhakti kepada Tuhan, disamping itu juga sebagai sarana untuk menghormati dan memohon kepada Danyang penghuni Sungai Sekampuh agar tidak menganggu. Dengan dilaksanakan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh diharapkan warga Desa Mataram berharap mendapatkan berkah dan keselamatan sehingga dapat tercapai kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan rohani. 2. Terdapat tiga rangkaian pokok dalam pelaksanaan Upacara selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram yaitu Persiapan Upacara, Upacara Puncak, meliputi Upacara larung sesaji dan Upacara kenduri. Dan yang terakhir adalah Acara Hiburan. 3. Dalam pelaksanaan Upacara selametan Pada Sungai Sekampuh mengandung beberapa nilai-nilai pendidikan yaitu nilai pendidikan Tattwa, Etika, Sosial, dan Upacara.
DAFTAR PUSTAKA
Jendra, I Wayan.1998. Cara Mencapai Moksa Di Zaman Kali. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha.
Amirin. 1990. Ilmu dalam Perspektif ; Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum. Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa Suatu Pendekatan Antropologis. Jakarta : Murai Kencana Conny, R. Semiawan. 1999. Ensiklopedi Populer jilid 6. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve Ekosusilo. 1993. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : Hanandita. Eriyanto.2003. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LKiS Faisal. 1990. Filsafat Agama. Jakarta : PT Bulan Bintang Geertz, Clifford. 1981.Terjemahan “Ambangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa”. Judul Asli “The Religion of Java”. Jakarta : Pustaka Jaya.
Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Antropologi I. Jakarta : UI Press ——————————.1981. Metode Penelitian. Singaraja : Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan ——————————.1997. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Dian Rakyat ——————————.1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka Mas Putra, Nyonya I Gusti Agung. 1982. Upacara Yadnya. Denpasar : Pengadaan Buku Penuntun Agama Hindu (Pemerintah Provinsi Bali). Narbuko, Cholik. 2001. Metodelogi Penelitian. Jakarta : Bumi Aksara Nasution. 2008. Metode Research (penelitian ilmiah). Jakarta : Bumi Aksara Nawawi, H. Hadari. 1993. Metodelogi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada Universitas Press
Hasbullah. 2005. Belajar dan Pembelajaran(edisi Revisi). Jakarta : Balai Pustaka
Pudja, Gde. 1999. Bhagawad Gita (pancama veda). Surabaya : Paramitha
Iqbal. 2002. Metode Penelitian Dan Aplikasinya. Jakarta : Ghalia Indonesia
PHDI, Pusat. 2003. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV. : PHDI Pusat.
Upacara Selametan pada Sungai Sekampuh di Desa Mataram Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu Lampung, Nilai pendidikan Persfektif Agama Hindu Anak Agung Gede Dira, Lindia Winardika
135
Purwadi, Dkk.2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Bina Media. —————. 2003. Sosiologi Mistik (R. NG.Ronggowarsito). Yogyakarta : Persada
1996).Denpasar : Yayasan Manikgeni Dharma Sastra. ————————. 1998. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya : Paramitha
Saba. 2001. Metodelogi Penelitian. Jakarta : Grasindo
Wiana, I Ketut. 2004. Mengapa Bali di Sebut Bali. Surabaya : Paramitha.
Sagala, Saiful. 2008. Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta
Widana, I Gusti Ketut. 1997. Menjawab Pertanyaan Umat. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha.
Sanjaya, Wina.2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Semiawan, Conny.R. 1999. Ensklopedi Populer Jilid 6. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Soehadha. 2008. Orang Jawa Memaknai Agama. Yogyakarta : Kreasi Wacana Sugiyono.2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta. Suwardani, Ni Putu. 2005. Pendidikan Agama Hindu Dalam Tradisi Kontruktivisme. Denpasar : Widya Wretta Tabrinni. 2001. Metode penelitian kualitatif. Bandung : Rineka Cipta Tim Penyusun Kamus. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Titib, I Made.1996. Tri Hita Karana Menurut Kitab Suci Veda (artikel), Pustaka Hindu Radhitya (No.5/
WIDYA WRETTA
136 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Wikarman, I Nyoman Singgih. 1998. Caru Palemahan Dan Sasih. Surabaya : Paramitha. WWW. Siklus Air. Com (Tanggal 20 Mei 2011).
POLA PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM MENUMBUH KEMBANGKAN PENDIDIKAN KARAKTER ANAK DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) NEGERI 2 PENEBEL Oleh: ANAK AGUNG PUTRA YASA MADE AGUS SUDIANA ABSTRAK
Sekripsi yang berjudul “Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuh Kembangkan Pendidikan Karakter di sekolah SMP N 2 Penebel”, ditinjau dari pendidikan agama Hindu pada intinya ingin mengkaji bagaimana pola dan pelaksanaan Pendidikan Agama Hindu di Sekolah SMP N 2 Penebel. Terkait dengan Munculnya berbagai fenomena kenakalan remaja, penyimpanganpenyimpangan prilaku tentunya tidak lepas dari lemahnya pendidikan agama terhadap para remaja. Pendidikan di sekolah maupun di keluarga tidak sepenuhnya berhasil membentuk moral yang baik. Sehubungan dengan lemahnya pendidikan karakter, eksistensi guru agama khususnya guru agama Hindu sebagai ujung tombak pembentukan karakter pada peserta didik di SMP N 2 Penebel menjadi hal menarik untuk diteliti. Berdasrkan latar belakang yang diuraikan pada bab penelitian, ada tiga permasalahan yang diteliti yaitu: (1).Bagaimanakah pelaksanaan pendidikan Agama Hindu di SMP Negeri 2 Penebel? (2).Bagaimanakah pola pendidikan Agama Hindu di kelas VIII a dalam menumbuh kembangkan pendidikan karakter peserta didik di SMP Negeri 2 Penebel? (3). Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh guru mata pelajaran agama Hindu dalam menumbuh kembangkan karakter pada peserta didik di SMP N 2 Penebel? dalam penyajian hasil penelilitian ada beberapa prosedur yang hedak diperhatikan yaitu, kajian pustaka, konsep-konsep dan teori-teori pada hakekatnya untuk memperjelas apa yang sesungguhnya hendak dibicarakan Sehubungan dengan uraian tersebut landasan konseptual dalam hal ini memuat pengertian-pengertian atau konsep-konsep yang relevan dengan variabel-variabel yang menjadi topik penelitian ini, sehingga diperoleh pemahaman
Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter Anak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Penebel Anak Agung Putra Yasa, Made Agus Sudiana
137
yang komprehensif terhadap permasalahan yang dikemukakan. Konsep-konsep yang berusaha untuk dipahami yaitu, “Konsep pola pendidikan” Kata pola berarti model. Pola juga mengandung arti corak. Sedangkan pola dalam pendidikan merupakan program kegiatan atau program yang hendak disajikan kepada siswa oleh peserta didik. Jadi pengertian pola pendidikan yang dimaksud yaitu rangkaian kegiatan atau prosedur atau program belajar yang relative tetap terdiri dari unsur yang secara teratur saling berkaitan akan dilaksanakan dalam usaha mencapai suatu tujuan tertentu yang disajikan kepada siswa oleh lembaga pendidikan. Selanjutnya pengertian Pendidikan agama Hindu, adalah proses pengembangan kompetensi siswa-siswi untuk menikmati hidup (life skill) yang bertumpu pada nilai-nilai kedamaian, jujur, adil, hormat, kerjasama, sederhana, dan bahagia. Dan selanjutnya konsep kata menumbuh kembangkan secara etimologis berasal dari dua kata yaitu menumbuhkan dan mengembangkan. Kata menumbuhkan berarti: memelihara, merawat supaya tumbuh (bertambah besar, sempurna, Dan sebagainya) Dan kata mengembangkan berarti menjadikan berkembang atau menjadi lebih luas dan lebih sempurna. Dengan demikian, kata menumbuh kembangkan dapat didifinisikan sebagai kegiatan memelihara supaya bertumbuh dan berkembang menjadi lebih dewasa. Terkait dengan teori pendidikan agama belum bisa menemukan teori yang relevan, namun teori yang mendekati adalah teori Operant conditioning atau stimulus respons Teori ini diperguanakan karena pendidikan akan memberikan rangsangan (stimulus) pada peserta didik dengan pengetahuan yang telah ada padanya, sehingga menimbulkan tanggapan atau balasan (respons) yang terkesan pada jiwanya. Rangsangan diciptakan untuk memunculkan tanggapan kemudian dihubungkan antara keduanya dan terjadilah asosiasi. Selanjutnya teori kognitif model Gestalt oleh Mex Wertheimenr tahun 1880-1943. Menurut teori Gestalt, belajar adalah proses pengembangan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian didalam suatu situasi permasalahan, atau kemampuan menangkap dan kemudian berproses pengamatan, penafsiran dan memberikan arti obyek atau rangsangan yang masuk melalui indriaindria seperti mata dan telinga. Selanjutnya teori konvergensi yang dikemukan oleh Wilian Stern (dalam Yatim Rianto 2010:86) yang beranggapan bahwa perkembangan pribadi manusia dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor pembawaan (faktor dalam atau faktor endogen) dalam faktor lingkungan (faktor luar atau faktor eksogen).
Kata kunci : Pola Pendidikan dan Karakter
WIDYA WRETTA
138 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
1. Latar Belakang Pada hakikatnya, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya, pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, Pasal 3). Mengingat fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang demikian mulia, pendidikan agama menjadi sangat vital dan mendesak untuk diupayakan sesegera mungkin. Alasannya, melalui pendidikan agama, peserta didik dibentuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Mengingat kurikulum pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama (UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, penjelasan pasal 37 ayat 1). Selain itu, ada tiga alasan yaitu ; Pertama, pendidikan agama adalah merupakan tuntunan idiil dari kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Kedua, pendidikan agama perlu dikembangkan/diperkokoh karena merupakan konsekwensi logis dari keberadaan serta hakikat manusia sebagai mahluk sosial dan berbudaya. Ketiga, Pendidikan agama sangat penting diberikan karena makin derasnya pergeseran-
pergeseran nilai sebagai akibat perkembangan iptek dan teknologi yang dialami masyarakat saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan karakter pada peserta didik lebih ditekankan melalui pendidikan agama. Agar terbentuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan mata pelajaran agama wajib diberikan pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan perguruan tinggi. Pemberian pendidikan ini disesuaikan dengan agama yang dianut oleh peserta didik. Namun demikian, perkembangan teknologi dan komunikasi yang sangat pesat dewasa ini menyebabkan hubungan antara negara di dunia sangat cepat seakan tanpa batas. Kondisi yang demikian lebih dikenal dengan era globalisasi, ini mengakibatkan suatu Negara tidak dapat menutup diri dari pergaulan antar bangsa. Akhirnya, banyak masalah sosial bermunculan. Masalah sosial tersebut antara lain: Tingkah laku yang dianggap tidak cocok, melanggar norma dan adat istiadat, atau tidak teritegrasi dengan tingkah laku umum (Kartono, 2001:2). Dampak dari masalah sosial tersebut adalah terjadinya degradasi moral dan etika di kalangan remaja. Para remaja cenderung melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang antara lain melakukan hubungan seks pranikah dan tawuran. Dikrenakan, para remaja sangat mudah mendapatkan informasi sesuai dengan keinginannya termasuk yang semestinya belum patut mereka nikmati seperti film porno dan tindak kekerasan. Selain itu, apa yang ditayangkan di televisi
Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter Anak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Penebel Anak Agung Putra Yasa, Made Agus Sudiana
139
akan menjadi prasangka buruk bagi sebagian besar kalangan remaja sehingga mereka cendrung terdorong untuk melakukan atau meniru perbuatan tersebut karena dianggap suatu hal yang lumrah/biasa. Kondisi ini sangat memprihatinkan apalagi bentuk kenakalan remaja telah bergeser ke arah tindakan kriminal yang mengancam taraf keselamatan dan ketentraman masyarakat (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 2001:30) Fenomena kenakalan remaja dewasa ini dapat dikategorikan sebagai masalah sosial. Sebagai bukti, dilihat dan didengar dari pemberitaan media masa. Ternyata, kurun waktu beberapa tahun terakhir ini kenakalan remaja semakin marak dan meningkat. Bukan saja dengan frekuensinya, tetapi juga dalam variasi dan intensitasnya. Adapun permasalahnya antara lain; Pertama, data yang cukup mengejutkan dipaparkan oleh Dr. Pangkahila pada seminar sehari “Bahaya HIV/ AIDS, penyalahgunaan obat-obatan terlaarang (narkoba) dan seks bebas dikalangan remaja dan dewasa” di Gianyar kamis 23 Desember 2004. Pangkahila mengatakan bahwa sekitar 2,5 juta wanita Indonesia melakukan aborsi (pengguguran kandungan) setiap tahunnya. Ironisnya lagi kasus aborsi itu didominasi kaum remaja yang angkanya mencapai 1,5 juta/tahun. Kedua, berdasarkan hasil penelitian di kabupaten buleleng, disebutkan selama tahun 2004 penghidap HIV/AIDS positif di bali utara ini berjumlah 55 orang yang hampir semuanya dari kalangan remaja dan usia produktif. Selain itu yang mengejutkan lagi banyak
WIDYA WRETTA
140 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
remaja yang diindikasikan menghidap penyakit menular seksual (PMS), hanya mereka malu untuk menceritakannya apalagi untuk berobat ke rumah sakit (Bali Post,1812-2004). Ketiga, demikian juga dalam prilaku penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang (Narkoba) di berbagai kota di Indonesia termasuk dibali, para remaja dewasa ini juga disinyalir telah banyak menjadi pengedar dan malah pecandu mulai sejak usia sekolah dasar (SD). Keempat, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para remaja merupakan perbuatanperbuatan yang merugikan dirinya sendiri dan masyarakat. Misalnya, suka bolos di sekolah, jam sekolah nongkrong di warung minumminuman keras (miras), anak suka berdusta pada guru dan orang tuanya, melakukan pelecehan seks, menipu, mencuri, berjudi, berkelahi dengan teman sebaya dan perbuatan lain yang merusak keindahan serta kelestarian lingkungan (Conduct Disorder) (Sudarsono, 1990:8). Kelima, dari media elektronik Lativi dan acara “brutal” pada tanggal 10 juli 2005 diberitakan adanya kasus pemerkosaan yang melibatkan anak- anak dibawah umur yang bernama bunga (nama samaran) yang baru berumur 7 tahun baru kelas 1 SD di kota Bandung. Diperkosa oleh lima orang anak berumur rata-rata anak berumur 5 sampai 6 tahun. Pemerkosaan ini diakibatkan oleh anak-anak yang bersangkutan di ajak bersama menonton video porno oleh orang tuanya, sehingga pada saat adanya kesempatan terjadilah pemerkosaan tersebut. Keenam, tata krama, etika dan kreativitas siswa saat ini disinyalir kian turun akibat melemahnya pendidikan budaya dan karakter
bangsa. Padahal ini telah menjadi kesatuan kurikulum pendidikan yang diimplementasikan dalam kegiatan belajar mengajar disekolah. “Pendidikan budaya dan karakter bangsa ini cenderung pada implementasi, harus diperaktikan sehingga titik beratnya bukan pada teori. Karena itu, pendidikan ini seperti ‘hidden curriculum”ujar Direktur Pembinaan SMP kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), Didik Suhardi, kepala pers, jumat (15/1). Hal tersebut disinyalir tidak lepas dari lemahnya pendidikan agama terhadap para remaja. Pendidikan di sekolah maupun di keluarga tidak sepenuhnya berhasil membentuk moral yang baik. Sehubungan dengan lemahnya pendidikan karakter/ pendidikan agama di sekolah, eksistensi guru agama khususnya guru agama Hindu sebagai ujung tombak pembentukan karakter pada peserta didik di SMP N 2 Penebel menjadi hal menarik untuk diteliti. Berdasrkan latar belakang tersebut, ada tiga permasalahan yang diteliti yaitu: Bagaimanakah pola pendidikan Agama Hindu di kelas VIII a dalam menumbuh kembangkan pendidikan karakter peserta didik di SMP Negeri 2 Penebel?, 2). Bagaimakah pelaksanaan pendidikan Agama Hindu di kelas VIII a sekolah SMP Negeri 2 Penebel?, dan 3). Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh guru mata pelajaran agama Hindu dalam menumbuh kembangkan karakter pada peserta didik di SMP N 2 Penebel?
2. Pembahasan. 2.1 Pola Pendidikan Agama Hindu Yang Dilaksanakan di kelas VIIIa SMPN 2 Penebel Disebutkan bahwa dalam pelaksanaan suatu pola pendidikan telah mencangkup keseluruhan dari proses pembelajaran yaitu strategi, metode, serta manajemen seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran. Didalam suatau proses pembelajaran terdapat berbagai macam metode yang dapat digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran. Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai dengan optimal (Martinis,2009:37). Selanjutnya strategi merupakan garis-garis besar dalam rangka untuk merelisasikan suatu metode. Kemp,(1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dengan demikian, bisa terjadi satu strategi pembelajaran digunakan beberapa metode. oleh karenanya strategi berbeda dengan metode. Strategi merujuk pada perencanaan untuk mencapai sesuatu, sedangkam metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi. Dick and Carey (1985) juga menyebutkan bahwa strategi pembelajaran itu adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa. (Wina
Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter Anak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Penebel Anak Agung Putra Yasa, Made Agus Sudiana
141
Sanjaya,2006:126). Dalam hal ini hasil wawancara dengan guru mata pelajaran agama Hindu Dra Ni Made Sudiari mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran diterapkan beberapa metode pembelajaran yang biasa digunakan yaitu, metode ceramah, metode penugasan, metode diskusi dan metode kisah dengan strategi yang digunakan yaitu, strategi ekspositori dan strategi pembelajaran kooperatif. Metode dan strategi merupakan satu rangkaian dalam pembelajaran dalam hal ini metode dan strategi yang diterapkan Dra Ni Made Sudiari selaku guru mata pelajaran pendidikan agama Hindu yaitu dengan mengkombinasikan atau memilih beberapa metode-metode pembelajaran yang efektif/relefan dan sesuai dengan tujuan yang ingin di capai. Dengan demikian pola pendidikan agama Hindu di sekolah SMP N 2 Penebel, khususnya di kelas VIIIa sebelum melaksanakan proses belajar mengajar guru membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Didalam RPP tercantum juga metode pembelajaran dan strategi yang digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar di kelas. Metode dipilih berdasarkan atas pertimbangan dan alasan di atas yang nantinya tujuan dari pembelajaran agama Hindu dapat tercapai yaitu bertujuan untuk menumbuh kembangkan karakter dan meningkatkan Sraddha (iman) Bhakti (ketakwaan) dari peserta didik kehadapan Brahman (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) melaluai pemberian, pemupukan, penghayatan dan pengalaman ajaran agama Hindu sehingga menjadi insan yang suputra/dharmika dan
WIDYA WRETTA
142 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
mampu mewujudkan cita-cita luhur Moksartham jagadhita ya caiti dharma. Berikut adalah metode dan strategi pembelajaran yang digunakan oleh Dra Ni Made Sudiari (guru mata pelajaran SMPN 2 Penebel) dalam proses pembelajaran pendidikan agama Hindu di kelas VIIIa, yaitu: 2.1 Metode Ceramah Metode ceramah adalah sebuah metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Metode ceramah juga dapat diartikan sebagai cara menyajikan materi pelajaran melalui penuturan secara lisan atau penjelasan langsung kepada sekelompok siswa. Metode ceramah merupakan metode yang sampai saat ini sering digunakan oleh setiap guru atau instruktur. Hal ini selain disebabkan oleh beberapa pertimbangan tertentu, juga adanya faktor kebiasaan baik dari guru ataupun siswa. Dalam hal ini metode ceramah biasanya guru memberikan uraian mengenai topik tertentu di tempat tertentu dan dengan alokasi waktu tertentu pula (Pupuh,2007:61). Metode ini digunakan oleh Ibu Dra Ni Made Sudiari untuk menyampaikan materi pelajaran agama Hindu kepada siswa/siwi, alasannya adalah: Dikarenakan metode ini tidak dapat diabaikan, sebab setiap proses pembelajaran, metod ini merupakan pendukung setiap metode-metode lain yang akan digunakan. Selain itu sudah menjadi kebiasaan pula bagi guru menggunakan metode tersebut dalam
menyampaikan materi pelajaran, dengan metode ceramah ini saya selaku guru dapat mengontrol keadaan kelas. Didalam suatu proses mengajar tidak akan terasa mengajar apa bila kita tidak menggunakan metode ceramah, karena metode ceramah melengakapi setiap metode lain yang hendak kita gunakan didalam suatu proses pembelajaran. Selain itu metode ini sangat membantu dalam menyelesaikan materi yang banyak dalam jumlah waktu yang sedikit. Artinya materi yang banyak dapat disampaikan dengan waktu yang singkat. \ (wawancara,2 February 2016) Dalam pelaksanaanya, metode ceramah dapat dikatakan sebagai metode tradisional, karena sudah menjadi kebiasaan guru untuk mengunakan metode ceramah. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa metode ceramah lebih menekankan pada keaktifan guru dalam penyampaian suatu materi agar dapat diterima dengan baik oleh peserta didik sehingga proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien. Berikut adalah materi yang di jelaskan oleh guru dengan menggunakan metode ceramah: Anak-anak sekarang ibu mau menjelaskan tentang sejarah agama Hindu, agama Hindu masuknya ke Indonesia. Agama Hindu yang kita kenal sekarang lahir dan berkembang pertama laki di India, yaitu daerah
Punjab (di lembah Sungai Sindhu). Dan dalam Perkembangannya sampai ke daerah lembah Sungai Gangga dan Yamuna. Dan nama Hindu berasal dari kata Sindhu yaitu nama sungai di India Barat Daya yang sekarang dikenal dengan nama Punjab. Nama Hindu di berikan oleh orang-orang Eropa yang datang ke India. Dan selanjutnya agama Hindu masuk ke Indonesia dan perkembangannya sebagai berikut: 1. Kerajaan Kutai. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan Hindu pertama di Indonesia. Kerajaan kutai terletak di Kalimantan Timur daerah Muara Kaman di tepi sungai Mahakam. Kerajaan Kutai memiliki peninggalan yaitu 7 (tujuh) prasasti yang ditulis dengan huruf Pallawa, dengan bahasa Sansekerta. Semua prasasti yang ditulis pada yupa, yaitu tugu batu yang berfungsi sebagai tiang untuk mengikat hewan yang akan dikurbankan. Maka kutai dikenal dengan “Negeri Tujuh Yupa”. Prasasti Kutai tersebut kurang kurang lebih pada abad keempat masehi. Isi prsasti tersebut adalah: a. Berisi silsilah: Kundungga berputra Aswawarman yang seperti Dewa Matahari (Ancuman) menumbuhkan keluarga. Aswawarman berpurta tiga seperti Api tiga.Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan), mengdakan
Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter Anak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Penebel Anak Agung Putra Yasa, Made Agus Sudiana
143
kurban, maka didirikanlah tugu oleh para Brahmana. b. Tempat sedekah: Sang Mulawarman,Raja yang mulia dan terkemuka telah memberikan sedekah 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana di tempat tanah yang suci “Waprakeswara”. 2. Kerajaan Taruma Negara, terletak di Jawa Barat yaitu, Kerawang, Jakarta, Bogor. Peninggalannya tujuh prsasti dengan berhuruf Pallawa berbahasa Sansekerta ditulis kurang lebih pada abad kelima Masehi. Sumbernya prasasti dan berita dari luar negeri terutama dari Cina. Nama ketujuh prasasti tersebut yaitu: a. Prasasti Ciaruteum terletak di kota Bogor, ada gambar bekas dua kaki. b. Prasasti Kebun Kopi, gambar bekas tapak kaki gajah sang raja. c. Prasasti Jamu. d. Prasasti Tugu, merupakan prasasti terpanjang dan terpenting. e. Prasasti Lebak. f. Prasasti Pasir awi. g. Prasasti Muara Cianten. 3. Kerajaan Kaling atau Holing, terletak di Jawa Tengah. Nama
WIDYA WRETTA
144 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Klaing berasal dari kata Kalinga, nama sebuah kerajaan di India Selatan, pada tahun 674 M. Diperintah oleh Ratu Simha. Memerintah dengan sangat tegas, jujur, dan bijaksana. 4. Kerajaan Kanjuruan, kerajaan Kanjuruan ini ditulis dalam prasasti Dinaya, yang ditemukan disebelah barat laut Malang, Jawa Timur. Tertulis dengan hurup Kawi dengan bahasa Sansekerta angka tahunnya tertulis dengan Candra Sengkala yang berbunyi: Nayanma Vayurasa=682 Caka= 760 M. isinya mencertakan bahwa pada abad ke 8 ada kerajaan yang berpusat di Kanyuruhan dengan rajanya yang bernama Dewa Simha dibawah lindungan api Puti Keswara ia mempunyai seorang putera yang bernama Liswa, setelah naik tahta dan mulai upacara Abhiseka. Liswa bernama Gajayana. Liswa mempunyai putrid yang bernama Utteyana yang menikah dengan Janania. System pemerintahan dengan agama yang dianut yaitu sekte Siwa.Gajayana mendirikan pemujaan untuk Dewa Agastya. Bangunan tersebut sekarang bernama candi Badut. Semula arca tersebut terbuat dari kayu cendana dan kemudian diganti dengan batu hitam, persmiannya dilakukan pada tahun 760 M. Begitulah anak-anak, mengenai perkembangan agama
Hindu yang kita kenal sekarang masuk ke Indonesia. Dan nanti akan dilanjutkan lagi sampai perkembangannya di Bali. Namun sebelumnya apakah ada yang mau ditanyakan, apa bila ada yang ingin mau ditanyakan ibu persilakan ……… (proses pembelajaran pada tgl,3 Februari 2016) 2.2 Metode Penugasan Metode penugasan tidak saja dengan memberikan pekerjaan rumah, tetapi jauh lebih luas. Tugas yang diberikan bisa saja dikerjakan dirumah, di kelas dan diperpustakaan. Metode penugasan bertujuan untuk merangsang anak aktif belajar secara individual maupun berkelompok. Oleh karena itu, tugas dapat dikerjakan secara individual maupun secara komunal (Pupuh,2007:64). Tugas merupakan suatu pekerjaan yang harus diselesaikan. Pemberian tugas sebagai suatu metode mengajar merupakan suatu pemberian pekerjaan oleh guru kepada siswa untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Dengan pemberian tugas tersebut siswa belajar mengerjakan tugas (Wiryawan,1994:13) dalam melaksanakan kegiatan belajar siswa diharapkan memperoleh suatu hasil yaitu perubahan tingkah laku tertentu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Tahap terakhir dari pemberian tugas adalah resitasi yang melaporkan atau menyajikan kembali tugas yang telah dikerjakan atau dipelajari. Metode
ini dipergunakan oleh Ibu Dra Ni Made Sudiari alasannya adalah: Metode penugasan atau pemberian tugas bertujuan untuk melatih siswa lebih bertanggung jawab, meningkatkan motivasi belajar siswa, untuk bembantu siswa agar lebih aktif, karena jika hanya menggunakan metode ceramah saja, siswa menjadi terlalu pasif yang hanya mampu menerima tanpa mampu mengolah atau memahami materi dengan baik. Dengan metode penugasan ini diharapkan siswa akan menjadi lebih aktif dan menjadikan siswa mampu belajar mandiri. Dalam pemberian tugas saya biasanya memberikan tugas yang berkaitan materi yang telah saya ajarkan diakhir pembelajaran. Tugas yang biasanya diberikan adalah tugas membuat rangkuman, mengerjakan LKS dan soal-soal yang saya buat. Dengan demikian siswa belajar dengan aktif. (wawancara,2 February 2016) Berdasarkan alasan pemilihan metode diatas maka dapat dikatakan bahwa seorang guru dalam memilih suatu metode tidak hanya berdasarkan kemampuannya saja dalam menerapkan metode tersebut tetapi juga berdasarkan kegunaanya dalam proses belajar mengajar. Dengan menggunakan metode tersebut diharapkan mampu mengembangkan minat dan kemampuan siswa. lingkungan sangat berpengaruh terhadap keaktifan dan minat belajar siswa. Hal ini sejalan dengan teori konvergensi
Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter Anak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Penebel Anak Agung Putra Yasa, Made Agus Sudiana
145
menurut Wilhelm (dalam Muchlisin, 1973) bahwa selain anak sudah mempunyai bakat dan kemampuan ini akan dipengaruhi oleh lingkungan sekolah. Disinilah guru berperan sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran. Guru dalam penyampaian materi yang diajarkan dapat diterima dengan baik oleh siswa. Guru merupakan bagian dari lingkungan sekolah, dimana guru mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak didik. Guru hendaknya mampu mengembangkan bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh anak didiknya. Anak-anak, sekarang ibu akan memberikan tugas yang berkaitan dengan apa yang telah anak-anak pelajari. Sekarang bukalah halaman 25 pada buku LKS kalian, tolong dikerjakan di rumah boleh dengan cara kelompok maupun sendiri. Ibu akan memerikasa pekerjaan kalian pada pertemuan minggu mendatang. (wawancara,2 February 2016) Didalam proses pembelajaran, memberikan tugas sangatlah penting untuk membantu siswa belajar lebih aktif dan mandiri, baik dirumah maupun sekolah. Dan pemberian tugas didalam suatu proses pembelajaran siswa untuk meningkatkan motifasi belajar siswa dan juga dapat meningkatkan intelegensi peserta didik. Untuk itu sebagai guru hedaknya sangat bijaksana dalam menentukan metode pembelajaran yang relefan, efektif dan sesuai dengan tujuan pengajaran. Dalam melaksanakan kegiatan
WIDYA WRETTA
146 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
belajar, siswa diharapkan memperoleh suatu hasil yaitu perubahan tingkah laku tertentu sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan. 2.3 Metode Diskusi Metode diskusi adalah adalah metode pembelajaan yang menghadapkan siswa pada suatu permasalahan. Diskusi merupakan interaksi antara siswa dan siswa atau siswa dengan guru untuk menganalisis, memecahkan masalah, menggali atau memperdebatkan topik atau permasalahan tertentu. Metode diskusi adalah cara penyampaian bahan pelajaran dimana guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternative pemecahan masalah (Seneng Dkk, 2008:219). Metode diskusi adalah metode yang dipergunakan untuk memecahkan suatu permasalahan, menjawab pertanyaan, menambah, memahami pengetahuan siswa, serta membuat keputusan (Killen 1998:dalam Sanjaya,2006:154) Dalam hal ini metode diskusi diguanakan dalam proses pembelajaran di kelas VIIIa SMP negeri 2 Penebel alasannya adalah: Metode diskusi digunakan dalam pembelajaran Pendidikan agama hindu dengan tujuan agar siswa terlatih untuk bicara atau berargumentasi mengenai pendapatnya. Disamping itu Siswa juga dapat termotifasi untuk memberikan gagasan dan ide-ide, kecakapan untuk memecahkan masalah. Bagi siswa, metode diskusi merupakan latihan untuk peranan
kepemimpinan serta peranan peserta dalam kehidupan dimasyarakat, karena peserta terasah pikirannya untuk menemukan ide-ide atau pemikiranpemikiran untuk pemecahan masalah. Dalam proses pembelajaran dengan metode diskusi siswa juga dapat menambah wawasan, memecahkan suatu permasalahan, menjawab pertanyaan dan menambah pengetahuan. (wawancara,2 February 2016). Dalam hal ini Ibu Dra Ni Made Sudiari memberikan sejumlah permasalahan kepada siswa yang berkisar seputar permasalahan agama, untuk selanjutnya didiskusikan oleh masing-masing kelompok siswa. Hal ini diharapkan pula agar siswa ikut berperan serta terhadap berjalannya proses kegiatan belajar mengajar. Akan tetapi metode ini memerlukan waktu yang relative cukup panjang, padahal alokasi waktu pelajaran agama Hindu sangat singkat, sehingga dengan keterbatasan ini tidak mungkin menghasilkan sesuatu secara tuntas. Metode ini hanya digunakan oleh Dra Ni Made Sudiari setelah materi pelajaran telah habis, artinya metode ini biasanya digunakan pada akhir semester pada saat mendekati ujian tengah semester dan akhir semester. Adapun permasahan yang diberikan kepada siswa mengenai materimateri yang telah dipelajari atau materi sebelumnya dan siswa diberi kesempatan bertanya dan siswa yang lainnya memberikan tanggapan. Setelah guru menjelaskan gambaran umum tentang permasalahan, selanjutnya siswa diminta untuk
mendiskusikannya pada kelompoknya yang telah dibentuk. Dengan metode ini siswa akan memperlihatkan keaktifanya dalam proses pembelajaran berlangsung. Berikut adalah permasalahan yang diberikan oleh guru dalam penerapan metode diskusi: Anak-anak, karena telah terbentuk kelompoknya masing-masing maka ibu sekarang membacakan permasalahannya yang akan kalia diskusikan. Sekarang sediakan peralatannya untuk mencatat. adapun permasalahan yaitu, 1.bagaimanakah perkembangan agama Hindu hingga sampai masuk ke Indonesia hingga akhirnya sampai di Bali. 2.Berikan penjelasan mengenai dampak yang ditimbulkan masuknya agama Hindu yang terdiri dari sektesekte. 3.apa yang mengakibatan keruntuhannya kerajaan besar hindu seperti Kutai dan Majapahit. (wawancara,2 February 2016). Persoalan yang komplek sering kita jumpai dalam kehidupan masyarakat, karenanya dibutuhkan pemecahan atas dasar kerja sama. Dalam hal ini diskusi merupakan jalan yang banyak memberi kemungkinan proses pembelajaran lebih aktif. Diskusi dapat melatih siswa untuk belajar mengeluarkan pendapat untuk memecahkan masalah, siswa bisa belajar mencari jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh guru maupun pertanyaan dari temannya. Penggunaan metode dalam proses pembelajaran dapat merangsang kreatifitas anak didik dalam bentuk ide, gagasan dalam pemecahan masalah. Menurut Wina Sanjaya, (2008) dalam bukunya yang
Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter Anak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Penebel Anak Agung Putra Yasa, Made Agus Sudiana
147
berjudul “strategi Pembelajaran” Secara umum ada dua jenis diskusi yang biasa digunakan dalam proses pembelajaran. Pertama, diskusi kelompok. Diskusi ini dinamakan diskusi kelas. Pada diskusi ini permasalahan disajikan oleh guru dan dibahas oleh kelas secara keseluruhan. Yang mangatur jalannya diskusi adalah guru itu sendiri. Kedua, diskusi kelompok kecil. Pada diskusi ini siswa dibagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 3-7 orang. Setiap kelompok memecahkan sub masalah yang disampaikan guru. Proses diskusi diakhiri dengan laporan setiap kelompok. Menurut Bridges (dalam Wina Sanjaya, 2008) apapun jenis diskusi yang digunakan, dalam proses pelaksanaannya guru harus mengatur kondisi agar: (1)setiap siswa dapat berbicara mengeluarkan gagasan dan pendapatnya, (2)setiap siswa saling mendegar pendapat orang lain, (3)setiap siswa saling memberi respon, (4)setiap siswa harus dapat mengumpulakan atau mencatat ide-ide yang dianggap penting, (5)melalui diskusi setiap siswa harus dapat mengembangkan pengetahuannya serta memahami isu-isu yang dibicarakan dalam diskusi. Kondisi ini harus dipertahankan dan dikembangkan, karena melalui pembelajaran diskusi dalam bentuk tim kelompok kecil maupun diskusi secara keseluruhan kelas siswa didorong untuk melalakukan tukar-menukar (sharing) informasi dan pendapat, mendiskusikan permasalahan secara bersama, membandingkan jawaban mereka, dan mengkoreksi hal-hal yang kurang tepat. Strategi ini diharapkan dapat mendorong
WIDYA WRETTA
148 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir serta dapat mengembangkan pengetahuan siswa. 2.4 Metode kisah Metode kisah adalah penyampaian pesan dengan menceritakan kisah-kisah religius kisah para dewa, kisah orang suci, dan kisah kepahlawanan. Dalam kisah itu tersimpan nilai-nilai pedagogis-religius yang memungkinkan anak didik mampu meresapinya. Metode kisah ini dapat membuka kesan pada jiwa peserta didik sehingga dapat merangsang hati nuraninya dan berupaya melakukan hal-hal yang baik. Menurut Al-Nahwali dalam A.Tafsir (2004:140) metode kisah amat penting di dalam pembelajaran pendidikan agama, karena: a. Kisah dapat memikat, karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti pristiwanya, merenungkan maknanya. Selanjutnya makna-makna itu akan menimbulkan kesan didalam hati. b. Metode kisah melibatkan pembaca atau pendengar kedalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional. c. Metode kisah memberikan kesan mendidik rasa keimanan dengan cara Ø Membangkitkan berbagai perasaan dan emosi seperti terharu, cinta, dan perasaan terkesan. Ø Mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu puncak, yaitu kesimpulan kisah.
Ø Melibatkan pembaca atau pendengar kedalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional.
berkaitan dengan cerita-cerita yang memiliki makna religius dan susila. Melalui metode kisah siswa diharapkan memiliki pengalaman batin melalui kisah-kisah yang diceritakan.
Metode kisah memberikan sebuah penomena yang dapat di jadikan bentuk pengalaman bagi peserta didik secara tidak langsung. Metode ini digunakan oleh Dra Ni Made Sudiari alasannya adalah:
(wawancara,2 February 2016)
Ketika metode yang telah dijelaskan diatas adalah metode yang diterapkan guru pendidikan agama Hindu di SMPN 2 penebel dalam proses belajar mengajar, dengan metode diatas diharapkan kekurangan maupun kelebihan dapat diisi. Setelah proses pembelajaran berlangsung guru memberikan suatu evaluasi terhadap proses pembelajaran tersebut. Apakah materi yang disampaikan oleh guru dapat diterima/terserap oleh siswa atau tidak. Metode mengajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran akan tergantung dari strategi mengajar guru, efektifnya pengunaan metode mengajar dan kompetensi guru. Metode mengajar yang diterapkan dalam suatu pembelajaran dikatakan efektif bila metode tersebut dapat menghasilkan sesuatu sesuai dengan yang diharapkan, atau dengan kata lain tujuannya tercapai.
Pendidikan dengan metode kisah dapat memberikan kesan dalam jiwa seseorang atau anak Didik, sehingga dapat mengubah hati nuraninya dan berupaya melakukan halhal yang baik dan menjauhkan dari perbuatan yang tidak baik sebagai dampak dari kisahkisah itu, apalagi penyampaian kisah-kisah tersebut dilakukan dengan cara yang menyentuh hati dan perasaan. Metode kisah dapat memberikan pengetahuan kepada peserta didik tentang perilaku yang baik dan sesuai dengan dharma. Karena kisah-kisah yang diceritakan merupakan kisah-kisah yang
Pola pendidikan berkenan tidak hanya dengan metode yang digunakan akan tetapi juga dengan strategi guru. Strategi murupakan garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran. Tidak ada suatu strategi pembelajaran yang dianggap lebih baik dibandingkan dengan strategi pembelajaran yang lain. Baik tidaknya suatu strategi pembelajaran bisa dilihat dari efektif tidaknya strategi tersebut dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Dengan demikian, pertimbangan pertama penggunaan strategi pembelajaran
Kisah atau cerita lebih mudah diingat dibandingkan materi pelajaran yang dihapal. Jadi dengan menyelipkan sebuah kisah atau cerita pada pembelajaran agama Hindu siswa dapat mengerti sebuah makna kisah atau cerita, seperti kisah-kisah kepahlawanan, kisah orang suci, kisah para dewa untuk dijadikan cermin kehidupan dan berprilakunya. Siswa akan memiliki kesan didalam dirinya melalui kisah atau cerita yang dibaca atau didengarnya.
Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter Anak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Penebel Anak Agung Putra Yasa, Made Agus Sudiana
149
adalah tujuan apa yang harus dicapai. Dalam hal ini guru pengempu mata pelajaran pendidikan agama Hindu di SMPN 2 Penebel khususnya di kelas VIIIa mengunakan pendekatan/strategi pembelajaran ekspositori. 2.5 Strategi ekspositori Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan pada proses penekanan penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi secara optimal. strategi ekspositori dalam hal ini lebih dominan terjadinya komunikasi searah dari guru/dosen kepada peserta didik, dimana pendidik mengexpos informasi, pengetahuan dan lainnya yang terkait dengan metode ceramah (Roy Killen 1998). Terdapat beberapa karakteristik strategi ekspositori. Pertama, strategi ekspositori dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara liasan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini, oleh karena itu sering orang mengindentikannya dengan ceramah. Kedua, biasanya materi yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang. Ketiga, tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. Artinya setelah proses pembelajaran beakhir siswa diharapkan memahaminya dengan benar dengan cara yang dapat mengungkapkan kembali materi
WIDYA WRETTA
150 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
yang telah diuraikan. Roy Killen (1998) menamakan strategi ekspositori dengan istilah strategi pembelajaran langsung (direct instruction). Karena dalam strategi ini materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi tersebut. Materi pelajaran seakan-akan sudah jadi. Oleh karena strategi ekspositori menekankan pada proses bertutur, maka sering juga dinamakan istilah trategi “chalk and talk” keberhasilan penggunaan strategi ekspositori sangat tergantung pada kemampuan guru untuk bertutur atau menyampaikan materi pelajaran. Ada beberapa langkah dalam penerapan strategi ekspositori yaitu: (1) persiapan/preparation, (2) penyajian/ presentation, (3) menghubungkan/ corelation, (4) menyimpulkan/ generalization, (5) penerapan/apliction. Pertama, tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran dan juga persiapan guru dalam mengajar. Langkah persiapan merupakan langkah penting. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan strategi ekspositori sangat tergantung pada langkah persiapan. Kedua, langkah penyajian adalah langkah penyampaian materi pelajaran sesuai dengan persiapan atau perencanaan yang telah dilakukan. Yang harus dipikirkan oleh setiap guru dalam penyajian ini adalah bagaimana agar materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa. Ketiga, langkah korelasi adalah langkah
menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal yang memungkinkan siswa dapat menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. Langkah korelasi dilakukan tiada lain untuk memberikan makna terhadap materi pelajaran, baik makna untuk memperbaiki struktur pengetahuan yang telah dimiliknya maupun makna untuk meningkatkan kualitas kemampuan berpikir dan kemampuan motorik siswa. Keempat, menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami inti (core) dari materi pelajaran yang telah disajikan. Langkah penyimpulan merupakan langkah yang sangat penting dalam strategi ekspositori, sebab melalui langkah menyimpulkan siswa akan dapat mengambil inti sari dari proses penyajian. Menyimpulkan juga berarti memberikan siswa tentang kebenaran suatu materi. Kelima, langkah aplikasi adalah langkah unjuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru. Strategi ini digunakan oleh Dra Ni Made Sudiari alasannya adalah: Dengan strategi pembelajaran ekspositori guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran, dan mengetahui sampai sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran. Strategi ini sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai siswa sangat luas dan waktu sangat sedikit. Strategi ini bisa digunakan pada jumlah siswa dalam ukuran kelas yang besar. Dan dapat dilakukan tanpa alat bantu/media.
Dalam penggunaan strategi pembelajaran ekspositori ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh setiap guru, yaitu: (1) Tujuan, sebelum penggunaan strategi pembelajaran ini guru harus merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas dan terukur seperti kriteria pada umumnya, tujuan pembelajaran harus dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang dapat diukur atau berorientasi pada kompetensi yang harus dicapai oleh siswa. (2) komunikasi, sebagai suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses penyampaian, maka prinsip komunikasi merupakan prinsip yang sangat penting untuk diperhatikan. Artinya bagaimana upaya guru untuk menghindari dan menghilangkan setiap gangguan (noise) yang bisa menggangu proses komunikasi. Sistem komunikasi dikatakan efektif manakala pesan itu dengan mudah dapat ditangkap oleh penerima pesan secara utuh. (3) kesiapan, sebelum menyampaikan informasi terlebih dahulu kita yakinkan apakah dalam otak anak sudah tersedia file yang sesuai dengan jenis informasi yang akan disampaikan. (4) berkelanjutan, proses pembelajaran ekspositori harus dapat mendorong siswa untuk mau mempelajari materi pelajaran lebih lanjut. Pembelajaran bukan hanya berlangsung pada saat itu tetapi juga untuk waktu selanjutnya. Penggunaan strategi yang berhasil adalah manakala melalui penyampaian dapat membawa siswa pada situasi kurang puas atau ketidak seimbangan (disequilibrium), sehingga mendorong mereka untuk mencari dan menemukan atau menambah wawasan melalui belajar mandiri.
(wawancara, 3 February 2016) Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter Anak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Penebel Anak Agung Putra Yasa, Made Agus Sudiana
151
2.5.1
Strategi kooperatif
Strategi pembelajaran kooperatif merupakan rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan dengan cara kelompok, metode ini berkaitan dengan metode diskusi, yang aktivitas belajar dilakukan dalam kegiatan kelompok. Strategi pembelajaran kooperatif berkaitan dengan hal yang menyebabkan anggota bekerja sama, selain memiliki dampak pembelajaran, yaitu berupa prestasi belajar peserta didik (Student achievement) juga mempuyai dampak pengiring seperti relasi sosial. Upaya belajar strategi pembelajaran koopertif adalah segala aktivitas siswa untuk meningkatkan kemampuannya yang telah dimiliki maupun meningkatkan kemampuan baru, baik kemampuan dalam asfek pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Ada empat unsur yang penting dalam strategi pembelajaran kooperatif (SPK) yaitu, (1) adanya peserta dalam kelompok, (2) adanya aturan kelompok, (3) adanya upaya belajar setiap anggota kelompok, dan (4) adanya tujuan yang harus dicapai. Peserta adalah siswa yang yang melakukan proses pembelajaran dalam setiap kelompok belajar. Pengelompokan siswa dapat ditetapkan berdasarkan beberapa pendekatan, diantaranya pengelompokan yang didasarkan atas later belakang kemampuan, pengelompokan yang didasarkan atas campuran. Upaya belajar dengan strategi kooperatif adalah segala aktivitas siswa untuk meningkatkan
WIDYA WRETTA
152 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
kemampuannya yang telah dimiliki maupun meningkatkan kemampuan baru, baik kemampuan dalam aspek pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Aktivitas pembelajaran tersebut dilakukan dalam kegiatan kelompok, sehingga antara peserta dapat saling membelajarkan melalui tukar pikiran, pengalaman, maupun gagasan-gagasan. Strategi pembelajaran kooperatif mempunyai dua komponen utama, yaitu komponen tugas kooperatif (coopertive task) dan komponen struktur insentif kooperatif (cooperative insentve structure). Tugas kooperatif berkaitan dengan hal yang menyebabkan anggota bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompok, sedangkan struktur insentif kooperatif merupakan sesuatu yang membangkitkan motivasi individu untuk bekerja sama dengan mencapai tujuan kelompok. Struktur insentif dianggap sebagai keunikan dari pembelajaran kooperatif, karena melalui struktur insentif setiap kelompok anggota bekerja keras untuk belajar, mendorong dan memotivasi anggota lain menguasai materi pelajaran, sehingga mencapai tujuan kelompok. Jadi, hal yang menarik dari SPK adalah adanya harapan selain memiliki dampak pembelajaran, yaitu berupa peningkatan prestasi belajar (student achievement) juga mempunyai dampak pengiring seperti relasi sosisal, penerimaan terhadap peserta didik yang dianggap lemah, harga diri, norma akademik, penghargaan terhadap waktu, dan suka memberi pertolongan pada yang lain. (Wina Sanjaya, 2006:241-243). Dalam hal ini Strategi kooperatif digunakan oleh Dra Ni Made Sudiari alasannya adalah:
Dengan pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar, dapat meningkatkan kemampuan siswa mengunakan informasi, dapat meningkatkan motivasi, dapat membantu untuk resfek pada orang lain. (wawancara, 3 February 2016)
sesuai dengan jadwal, sebagai berikut; pada hari senin, jam ke 3 di kelas VIIIa. hari selasa, jam ke 3 di kelas VIIIc. hari rabu, jam ke 4 dan 5 di kelas VIIIe. hari kamis, jam ke 2 dan 3 di kelas VIIId. hari sabtu, jam ke 4 di kelas VIIIe. selanjutnya akan diuraikan secara singkat proses pelaksanaan pembelajaran agama Hindu di kelas VIIIa di sekolah SMP Negeri 2 Penebel.
2.6 Pelaksanaan pendidikan agama Hindu di Kelas VIIIa sekolah SMPN 2 Penebel
Dalam suatu proses pembelajaran pendidikan agama Hindu yang dilaksanakan dikelas VIIIa SMPN 2 Penebel guru (Dra Ni Made Sudiari) ada beberapa tahapan pembelajaran yaitu:
Di sekolah SMPN 2 Penebel memiliki jumlah siswa yang mayoritas beragama Hindu, sehingga pendidikan agama Hindu menjadi wajib diberikan kepada siswa/ peserta didik. Bahkan siswa yang beragama muslim dan Nasrani juga ikut serta mengikuti pelajaran agama Hindu, karena disekolah SMP N 2 Penebel tidak memiliki guru agama Islam dan Nasrani, sehingga siswa yang beragama Islam dan Nasrani mengukiti pelajaran agama Hindu. Khususnya pada kelas VIII terdapat siswa yang beragama Hindu sebanyak 176, Siswa Muslim sebanyak 6 Orang yang terbagi lima kelas yaitu kelas A,B,C,D,E. Seluruh siswa kelas VIII A,B,C,D,E jam belajarnya dimulai Jam 11:30 wita dan berakhir pada jam 16:45 wita. Karena gedung ruang belajar tidak cukup menampung siswa kesekuruhan mulai dari kelas VII, VIII dan IX maka siswa kelas VIII ditempatkan pada siang hari dan kelas VII dan IX belajar pada pagi hari mulai dari jam 07:30 wita sampai 11:45 wita. Siswa di kelas VIII mendapat mata pelajaran agama Hindu
4.3.1. Tahap pemula (pra-instruksional) Tahap pra-instruksional adalah tahapan persiapan guru sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Dalam hal ini kegiatan yang dilakuakan guru antara lain: 1. Mengucapkan doa bersama “Om Swasty Astu” 2. Memeriksa kehadiran siswa. 3. Menanyakan materi sebelumnya (Preset) dengan maksud memberikan rangsangan (stimulus) ingatan siswa. 4. Apersepsi (mengulas kembali secara singkat materi sebelumnya) dengan maksud mengingatkan kembali materi sebelumnya. 4.3.2. Tahap pengajaran (instruksional) Tahap instruksional adalah langkahlangkah yang dilakukan saat pembelajaran berlangsung. Tahap ini merupakan tahap inti dalam proses pembelajaran, guru menyajikan materi yang telah disiapkan, kegiatan guru antara lain:
Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter Anak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Penebel Anak Agung Putra Yasa, Made Agus Sudiana
153
1. Menjelaskan tujuan pengajaran siswa. 2. Menuliskan pokok-pokok materi yang akan dibahas. 3. Membahas pokok-pokok materi yang telah ditulis. 4. Menyimpulkan hasil pembahasan dari semua pokok materi. 4.3.3. Tahap penilaian dan tindak lanjut (evaluasi) Tahap evaluasi adalah penilaian atas hasil belajar siswa setelah mengikuti pelajaran dan tindak lanjutnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh guru antara lain: 1.
Mengajukan pertanyaan pada siswa tentang materi yang telah dibahas. 2. Mengulas kembali materi yang belum dimengerti siswa. 3. Memberi tugas atau pekerjan rumah pada siswa. 4. Mengimformasikan pokok materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya. Dalam proses pembalajaran yang diterapkan oleh guru di kelas VIIIa sekolah SMPN 2 Penebel seperti uraian diatas merupakan mengorganisasikan pembelajaran dengan desain pembelajaran elaborasi. Yaitu pembelajaran yang lebih memerhatikan pemahaman, pengubahan dan penerapan metode-metode pembelajaran. proses dimulai dengan mengajarkan ide-ide secara umum sederhana dan mendasar. Pada pelaksanaannya, setelah diberikan gambaran secara utuh, maka dilanjutkan dengan memilah-memilah pokok bahasan tersebut menjadi yang terperinci (dari umum ke rinci). Alasannya dengan cara ini siswa dapat diarahkan pada pemahaman materi yang
WIDYA WRETTA
154 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
optimal dan memungkinkan tidak terjadi pengulangan-pengulangan bahan ajar yang dirasa tidak perlu. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam (Reigeluth, 1993:338), menyatakan bahwa desain pembelajaran elaborasi lebih memerhatikan pada pemahaman, improvisasi, dan penerapan metode-metode instruksional. Desain pembelajaran elaborasi merupakan proses instruksional yang dimulai dengan mengadakan overview yang mengajarkan ide-ide secara umum, sederhana dan mendasar (tetap bukan abstrak) cara pengorganisasian ini (dari umum ke detail) akan mengarahkan Si belajar untuk belajar terhadap perkembangannya. Si belajar akan selalu sadar akan konteks dan pentingnya hubungan antara topik yang dipelajarinya serta pentingnya perbedaan topik yang telah dipelajarinya serta pentingnya hubungan antara topik yang telah dipelajari (Merril dan Twitchell, 1994:81-82). Dalam memberikan pelajaran Pendidikan agama Hindu guru mempersiapkan (preparasi) bahan selengkapnya secara sistematis dan rapi, melalui program kerja pelaksanaan pembelajaran, atau rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang menjadi pedoman langkah-langkah guru yang akan dilakukan dalam proses pembelajaran. terkait dengan hal ini disajikan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang menjadi panduan mengajar guru pendidikan agama Hindu di sekolah SMP negeri 2 Penebel pada lampiran bab penulisan skripsi ini. Didalam proses pelaksanaan pembelajaran stratrgi pembelajaran dan metode pembelajaran digunakan untuk mengimplementasikan perencanaan yang telah ditetapkan.
2.7
Penerapan Strategi dalam pembelajaran di kelas VIII a SMPN 2 Penebel
Didalam penerapan strategi pembelajaran guru mata pelajaran pendidikan agama Hindu di kelas VIIIa SMPN 2 Penebel menggunakan beberapa strategi, yaitu strategi pembelajaran ekspositori dan strategi pembelajaran kooperatif. Didalam penerapan strategi pembelajaran ekspositori ada beberapa prosedur yang harus diikuti, yaitu (1)merumuskan tujuan yang ingin dicapai, (2)menguasai materi pelajaran, (3)mengenal medan dan hal yang mempengaruhi proses penyampaian. Pertama, merumuskan tujuan merupakan langkah pertama yang harus dipersiapkan guru. Karena tujuan dapat memperjelas arah untuk bertindak, melalui tujuan yang telah dirumuskan dengan jelas guru akan fokus terhadap materi, artinya dalam penyajian, materi tidak melebar atau keluar dari materi semestinya. Kedua, penguasaan materi merupakan syarat mutlak dalam penggunaan strategi ekspositori. Penguasaan materi yang sempurna, akan membuat kepercayaan diri guru meningkat sehingga guru akan mudah mengelola kelas. Agar guru dapat menguasai materi pelajaran. Pertama, pelajari sumber-sumber belajar mutakhir. Kedua, persiapkan masalahmasalah yang mungkin muncul dengan cara menganalisis materi pelajaran. Ketiga, membuat garis-garis besar materi pelajaran yang akan disampaikan untuk memandu dalam penyampaian agar tidak melebar.
Ketiga, mengenali lapangan atau medan merupakan hal penting dalam langkah persiapan. Beberapa hal yang berhubungan dengan medan yang harus dikenali diantaranya, pertama, latar belakang audiens atau siswa yang akan menerima materi, misalnya kemampuan dasar atau pengalaman belajar siswa sesuai dengan materi yang akan disampaikan, minat dan gaya belajar siswa dan lain sebagainya. kedua, kondisi ruangan, baik menyangkut luas dan besarnya ruangan, pencahayaan, posisi tempat duduk maupun kelengkapan ruangan itu sendiri. Selanjutnya, didalam penerapan strategi pembelajaran kooperatif terdapat beberapa prosedur pembelajaran yaitu: (1) penjelasan materi, (2) belajar dalam kelompok, (3) Penilaian dan (4) pengakuan tim. Pertama, tahap penjelasan materi diartikan sebagai proses penyampaian pokokpokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuannya adalah agar siswa paham terhadap materi pelajaran, pada tahap ini guru memberikan gambaran umum tentang matrei pelajaran yang harus dikuasai yang selanjutnya siswa akan memperdalam materi dalam pembelajaran kelompok. Kedua, setelah guru menjelaskan gambaran umum tentang pokok-pokok materi pelajaran, selanjutnya siswa diminta untuk belajar pada kelompoknya masing-masing yang telah dibentuk sebelumnya. Pengelompokan dalam SPK bersifat heterogen, artinya kelompok dibentuk berdasarkan perbedaan-perbedaan setiap anggotanya, baik perbedaan gender, kemampuan akademik.
Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter Anak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Penebel Anak Agung Putra Yasa, Made Agus Sudiana
155
Ketiga, setelah proses pembelajaran kelompok selesai, dengan batas watu yang telah ditentukan selanjutnya dilakukan dengan penilaian dengan tes atau kuis. Tes atau kuis dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok. Tes individual nantinya akan memberikan informasi kemampuan setiap siswa. Dan tes kelompok akan memberikan informasi kemampuan tiap kelompok. Keempat, pengakuan tim (team recognition) adalah penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah. Pengakuan dan pemberian penghargaan tersebut diharapkan dapat memotivasi tim atau kelompok. Terkait dengan strategi pembelajaran maka yang menjadi implementasinya adalah metode, karena metode merupakan realisasi dari sebuah strategi. Dengan demikian, bisa jadi satu strategi pembelajaran digunakan beberapa metode, misalnya untuk pelaksanaan stertegi ekspositori bisa digunakan metode ceramah sekaligus metode tanya jawab atau bahkan metode diskusi dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia termasuk menggunakan media pembelajaran. Oleh karena strategi merujuk pada perencanaan untuk mencapai suatu tujuan sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi. Dikarenakan Penerapan metode pembelajaran oleh seorang guru berbeda-beda antara guru satu dengan yang lainnya. Pemilihan metode pembelajaran harus disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan atau yang berlaku yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebelum melakukan proses belajar mengajar guru membuat Rencana Pelaksanaan
WIDYA WRETTA
156 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Pembelajaran (RPP), didalam RPP tercantum juga metode pembelajaran yang nantinya akan digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar dikelas. Metode yang digunakan oleh guru dipilih berdasarkan alasan diatas yang nantinya tujuan dari pembelajaran agama hindu dapat dicapai. 5. Simpulan. Berdasarkan pembahasanpembahasan pada bab terdahulu maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1). Pola pendidikan agama Hindu yang diterapkan di sekolah SMPN 2 Penebel dengan menggunakan strategi ekspositori, kooperatif, sedangkan metode yang digunakan adalah metode ceramah, metode diskusi dan metode penugasan. Materi pendidikan agama Hindu dengan sistem LKS disampaikan dengan metode ceramah kemudian didiskusikan dan selanjutnya ada penugasan 2). Pelaksanaan Pendidikan agama Hindu di SMPN 2 Penebel diarahkan untuk membangun kualitas mental pribadi siswa/siswi agar memiliki visi yang jelas dalam hidup, wawasan dan pengetahuan yang kontektual, tujuan yang jelas, komitmen terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup yang tinggi, rasa harga diri, rasa kompeten, kemampuan hidup secara harmonis dan kreatif dalam masyarakat yang pluralistik, kepedulian terhadap lingkungan, serta kompetensi teknik sesuai dengan swadharma hidupnya. 3). Kendala-kendala yang di hadapi dalam pelaksanakan pola pendidikan agama Hindu adalah kurangnya pasilitas penunjang seperti alat peraga dan LCD/UHP, terbatasnya buku pelajaran dan terbatasnya waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Budhi Pekerti Hindu. Surabaya: Paramita.
Budiastra,2009. Metode Pembelajaran Agama Hindu Pada Kelas III Sekolah Dasar No 4 Ketewel, Sukawati, kab. Gianyar. Denpasar: UNHI Dhaki, Zohrah, 2001. Pendidikan Budhi pekerti SMP kelas 8. Jakarta: penerbit Grassido.
Ngurah, IB dkk. 2005. Dharma Prawerti, Bahan Ajar Pendidikan Budhi Pekerti. Bali: Tri Agung. Sudirga IB, dkk. 2005 Panduan Pendidikan Budhi Pekerti. Denpasar: Dwi Jaya Mandiri.
Dandtes, I Nyoman. 1987. Penilaian layanan Bimbingan dan Konseling.
Sunarno, 2003. Model Pengintergrasian Budhi Pekerti ke dalam Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Dayaksini dan Hudaniah, 2003. Psikologi Sosial (Edisi Revisi). Malang: Univerdsitas Muhamaddyah Malang.
Titib, 1996. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Partamita.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995. Kamus Besar BahasaIndonesia. Edisi Kedua.Jakarta: Balai Pustaka.
Wardana, dkk. 2003. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Pusat PendidikanUniversitas Terbuka.
Endang Setiawati,2010. Efektivitas pola pendidikan agama hindu di SMPN 1 Tegalidlimo kab. Banyuwangi. Denpasar: UNHI
Wirowidjojo, Sutjipto. 1988. Pengantar Ilmu Pendidikan. Singaraja: Penerbitan FKIP Universitas Udayana.
jiwandonno, Sri Esti Wuriani. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasido.
Wisnawati Ayu, 2010. Pola interaksi Pembelajaran dalam pendidikan agama hindu di kelas V SD .1 sembung , Kecamatan Mengwi Kab. Badung
Juniati,dkk,2002. Pendidikan Budhi Pekerti Untuk SMA kls XI. Jakarta: penerbitGarasido.
Wina Sanjaya 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Mas, Raka. 2003. Membangun Masyarakat Berkualitas Melalui Kepedulian PadaTata Susila dan
Yatim Riyanto, 2010. Paradigma Baru Pembelajaran Jakarta: Kencana
Pola Pendidikan Agama Hindu Dalam Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter Anak di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Penebel Anak Agung Putra Yasa, Made Agus Sudiana
157
PELAKSANAAN UPACARA NGABEN WARGAAPANDYA BANG DI DESA GADUNGAN, KECAMATAN SELEMADEG TIMUR, KABUPATEN TABANAN ( KAJIAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU)
OLEH : I Nyoman Putra Adnyana I Wayan Butuantara Ni Wayan Nila Wati ABSTRAK Upacara ngaben merupakan salah satu bentuk yadnya yang dilakukan oleh umat Hindu. Di Desa Pakraman Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, ada tradisi unik yang merupakan tradisi masyarakat yaitu upacara ngaben yang dilakukan oleh warga Apandya Bang (warga peputihan, wangsa mawang). Berdasarkan observasi awal yang dilakukan tentang upacara ngaben oleh warga apandya bang menemukan beberapa keunikan , yang mana keunikan tersebut tidak ditemukan dalam upacara ngaben secara umum. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang keunikan tersebut diatas maka perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam sehingga nantinya masyarakat lebih mengetahui bagaimana bentuk, fungsi dan nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam upacara ngaben warga apandya bang yang dilaksanakan di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan. Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan yaitu : (1) Apakah fungsi dan makna Upacara Ngaben Warga Apandya Bang di Desa Gadungan Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan?, (2) Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu apa yang terkandung dalam upacara Ngaben Warga Apandya Bang di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Untuk mengetahui fungsi dan makna upacara Ngaben Warga Apandya Bang, di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan. Serta untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam Ngaben Warga Apandya Bang, di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan. Untuk menjawab permasalahan-permasalahn yang ada maka dalam penelitian ini menggunakan beberapa teori penelitian yaitu : teori fungsional struktiral, teori simbol dan teori makna. Model penelitian ini adalah penelitian
WIDYA WRETTA
158 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
kualitatif dengan pendekatan theologis, sosiologis dan religi. Jenis dan sumber data yaitu data primer yang berasal dari lapangan dan ditunjang dengan data sekunder yang diperoleh dari literatur/pustaka yang relevan dengan masalah penelitian. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan teknik deskriftif kualitatif. Dari hasil pengolahan data peneliti menemukan : (1) tradisi unik ditemukan pada bentuk pelaksanaan upacara ngaben warga apandya bang di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan yakni : pada proses pemandian jenasah tidak diletakkan pada bale tetapi di terampa (pegang) oleh sanak saudara di bale penyajnan, selain itu tidak dikenal tingkatan upacara, tidak memasang ancak saji, tidak memakai damar kurung, tidak membuat sanggar tawang, ngaskara dan ngupadesa dilakukan di pura panti, abu jenasah tidak dilarung tetapi ditanam di hulu tempat pembakaran dan abu sekah penyolasan di tanam di belakang sanggah kemulan, (2) fungsi upacara ngaben warga apandya bang yaitu fungsi keharmonisan, terwujudnya hubungan harmonis antar manusia dengan manusia, antar manusia dengan lingkungan dan antar manusia dengan Tuhan sebagai wujud penerapan falsafah Tri Hita Karana. Fungsi simbol dalam upacara ngaben warga apandya bang sebagai simbolik terdapat pada penggunaan beberapa banten yang masing-masing memiliki arti simbolik yang dipandang dapat mendukung kesuksesan upacara, (3) aspek pendidikan upacara ngaben warga apandya bang meliputi : pendidikan integrasi sosial (integrasi masyarakat) yakni terwujudnya kerjasama mulai dari individu, keluarga dan seluruh masyarakat dengan tukus ikhlas melaksanakan upacara ngaben tersebut. Aspek pendidikan kekerabatan tersercim pada hubungan yang baik di antara masyarakat dengan rasa bersaudara. Permasalahan yang bersifat pribadi justru menjadi baik kembali. Aspek pendidikan untuk menumbuhkan rasa bakthi terhadap leluhur sekaligus terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Kata Kunci : Fungsi, Nilai Pendidikan Upacara Ngaben Warga Apandya Bang 1. Latar Belakang Masalah Suku Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan sesuatu kebudayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran yang demikian namun kebudayaan Bali
mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat. Disamping itu Agama Hindu yang telah lama terintegrasikan ke dalam kebudayaan Bali, dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan kesatuan itu.
Pelaksanaan Upacara Ngaben Warga Apandyabang Di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan (Kajian Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu) I Nyoman Putra Adnyana, I Wayan Butuantara, Ni Wayan Nilawati
159
Umat Hindu di Bali dalam mengamalkan ajaran agamanya terutama dalam upacaraupacara keagamaannya memiliki perbedaan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Perbedaan itu terjadi karena didasari oleh tradisi budaya setempat. Oleh karena itu segala kegiatan agama tidak terlepas dengan “desa, kala, patra” arti desa adalah tempat dimana umat Hindu berada, kala adalah waktu, pelaksanaan upacara, dan patra adalah keadaan (Surayin, 2002:6).
Karena dalam pelaksanaannya mempunyai perbedaan yang mendasar dengan upacara ngaben pada umumnya seperti : (a) Tidak membuat pepaga (tempat untuk menidurkan jenasah saat dimandikan, (b) memandikan jenasah di bale penyadnyan, (c) tidak mengenal tingkat upacara, (d) tidak membuat damar kurung, (e) tidak membuat sanggar tawang, (f) tidak memakai ancak saji, (g) ngaskara di Pura Panti, (h) tidak melaksanakan upacara ngayud.
Dasar dari pitra yajòa adalah karena adanya kesadaran dari seseorang anak yang baik (suputra) terhadap hutangnya kepada orang tua atau leluhurnya. Perbuatan anak yang didasari atas dasar tulus ikhlas melaksanakan yajòa dan dharma akan dapat menghantarkan roh orang tuanya untuk menuju alam “sunya loka” bagi umat Hindu upacara ngaben (pitra yadnya) memiliki tujuan untuk mempercepat proses proses pengembalian unsur-unsur panca maha buta (lima unsur zat alam). Menurut Kaler (1993:7) pada hakekatnya stula sarira (badan jazad) setiap mahluk hidup termasuk manusia adalah terdiri dari benda-benda yang sama saja asalnya dengan benda-benda isi alam semesta yang ada disekitarnya. Semuanya berasal dari unsur atau elemen yang sama, yakni panca maha bhuta, yang terdiri dari : pratiwi (zat tanah), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (udara), dan akasa (ether)
Dengan demikian banyak keunikan dari upacara ngaben yang dilakukan oleh warga Apandya Bang yang ada di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan ini, maka penulis tertarik untuk meneliti dan sekaligus memberikan sandaran teoritis terhadap eksistensi upacara tersebut. Berdasarkan latar belakang diatas, ada beberapa masalah yang diajukan dan untuk dijawab dalam penelitian ini, yaitu : 1). Apakah fungsi dan makna Upacara Ngaben Warga Apandya Bang di Desa Gadungan Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan? 2). Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu apa yang terkandung dalam upacara Ngaben Warga Apandya Bang di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan?
Dalam hal ini penulis memfokuskan tentang pelaksanaan upacara Ngaben Warga Apandya Bang di Desa Gadungan, Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan.
WIDYA WRETTA
160 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
2. Prosesi Upacara Ngaben Warga Apandya Bang di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan Prosesi upacara Ngaben yang dilakukan Warga Apandya Bang adalah susunan atau rangkaian upacara ngaben yang
dilakukan oleh Warga Apandya Bang dan susunan atau bentuk upakara/bebantenan atau jenis-jenis banten yang digunakan dalam upacara Ngaben Warga Apandya Bang sebagai sarana bhakti Warga Apandya Bang terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, demikian pula bentuk yang dimaksud dalam hal ini adalah eedan (dudonan) atau proses yang dilakukan dalam pelaksanaan upacara Ngaben Warga Apandya Bang. Proses yang dimaksud dalam hal ini adalah rangkaian upacara ngaben Warga Apandya Bang dari awal sampai akhir dengan tahapan sebagai berikut : 2.1 Penentuan Dewasa Menurut Renten yang berstatus sebagai Me Dukuh (wawancara, Senin, 25 Nopember 2016) mengatakan, pelaksanaan upacara dalam Agama Hindu tidak boleh dilaksanakan pada sembarang tempat, waktu dan dengan sembarang perilaku. Pelaksanaanya mengikuti norma-norma atau aturan-aturan tertentu. Sura (2004:43) menegaskan, bahwa pelaksanaan upacara dalam agama Hindu tidak boleh dilaksanakan di sembarang tempat, waktu dengan sembarang perilaku. Pelaksanaanya mengikuti norma-norma atau aturan-aturan tertentu. Norma-norma/ aturanaturan pelaksanaan upacara agama sesuai dengan di daerah masing-masing tempat, namun inti dari upacara tersebut sama. Wiana, dkk (1985:61) menjelaskan, setiap pelaksanan upacara apapun bentuknya di Bali senantiasa ketergantungan dengan pedewasaan (hari baik dari pelaksanaan
upacara). Pada jaman dahulu sebelum dikenal adanya pengukur waktu seperti sekarang ini, orang-orang masih menggunakan cara-cara tradisional seperti menggunakan perhitungan waktu dengan istilah apanyakanan (selama orang menanak nasi), apanginangan (selama orang makan sirih), akijapan (sekejap mata). Ariani (2003 :100-101) menjelaskan bahwa sampai saat ini mencari pedewasaan untuk menemukan hari baik masih tetap menggunakan cara tradisional, karena penentuan hari yang baik bukanlah pekerjaan yang mudah dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan karena terjadi kesalahan dalam menentukan hari baik. 2.2. Upacara Pekeling Tiga hari menjelang puncak pelaksanaan upacara Ngaben diadakan upacara ngaturang pekeling (pejati) dengan upakara wangi, peras penyeneng, daksina pejati, ketipat kelanan, segehan di Kahyangan Tiga, Pura Panti, Sanggah Pemrajan. Dimana sarana dan prasaranan yang diperlukan sudah dipersiapkan dengan bantuan krama banjar (ngayah). Adapun tujuan ngaturang pakeling adalah sebagai permakluman dan simbolis pemberitahuan kehadapan Para Dewa yang bersthana di Kahyangan Tiga maupun di pura Panti, dengan harapan agar beliau nyaksi dan memberi perlindungan serta keselamatan yang akhirnya melimpahkan anugrahNya kepada orang yang diupacarai. Selain menghaturkan pejati ke Sanggah Pemrajan, tujuannya memohon kehadapan roh leluhur yang telah disucikan agar beliau memberikan perlindungan dan anugrah kepada orang yang
Pelaksanaan Upacara Ngaben Warga Apandyabang Di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan (Kajian Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu) I Nyoman Putra Adnyana, I Wayan Butuantara, Ni Wayan Nilawati
161
diupacarai dan diharapkan dapat membimbing dan mengarahkan orang yang diupacarai tersebut tidak terjerumus ke jurang neraka serta mendapat tempat yang sesuai dengan amal bhaktinya. 2.3. Upacara Ngeringkes Sehari sebelum upacara pelebon diawali dengan upacara ngeringkes (nyiramang layon) dengan perlengkapan : air penyiraman (air tawar, air kumkuman), kramas, kakrik, bablonyoh putih kuning, gadung, kapas, don intaran, bunga menur, waja, pecahan cermin, bebek, ampokampok, kwangen, monmon mirah, pengulungan, kain putih, sigsig, lenga wangi, wastra arangsukan. Adapun dudonan upacara ngeringkes adalah sebagai berikut : 1. Meras yeh Meras yeh adalah upacara penyucian air penyiraman yang akan digunakan dalam upacara nyiramang layon dengan banten :peras, daksina, dan ketipat. 2. Nyiramang layon Sri Arwati (2006:7) pada umumnya pelaksanan nyiramang layon harus dibuatkan papaga atau penungsangan yaitu suatu tempat untuk menidurkan jenasah saat dimandikan. Bentuknya menyerupai tempat tidur, dbuat dari bambu yang dipecah-pecah dengan ukuran dua jengkal lebihnya dari panjang jenasah dan lebarnya kurang lebih 80 cm atau disesuaikan dengan besarnya jenasah. Tingginya setinggi pusar kelian banjar
WIDYA WRETTA
162 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
setempat. Pepaga ini memakai galar dengan perhitungan terakhir jatuh pada hitungan ante. Urutan cara perhitungannya dimulai dari :cekur, pinggang, nyawan, galar, ante, guling. Pada pemasangan galar memakai cara khusus yaitu menyesuaikan dengan jenis kelamin jenasah. Apabila wanita maka pada perhitungan galar berada di tengah-tengah dan cara pemasangannya tengkurap (melinggeb), bila laki-laki tengadah (nungkayak). Untuk pemasangan likah jatuh pada hitungan wangke. Urutan cara perhitungannya dimulai dari lingka, wangke, wangkong. Pepaga ini memiliki empat buah tiang yang masing-masing terletak pada tiap sudutnya dan tingginya 175 cm. Ridis sebagai Ki Dukuh (Wawancara hari Selasa 26 Nopember 2013) menjelaskan bagi Warga Apandya bang prosesi nyiramang layon masih tetap berada di bale peyajnan dengan jalan di terampa bersama-sama oleh sanak keluarga. Setelah kain penutup jenasah dibuka dan sarira nya ditutupi dengan ampok-ampok berwarna hitam, pertama kali disiram dengan air tawar yang sudah diupacarai terlebih dahulu. Penyiraman dengan air tawar ini bertujuan untuk memusnahkan cemer dalam tubuhnya yakni papa, klesa, danda dan upata. Dalam tahap kedua jjenasah disiram lagi dengan air kumkuman (air asaban kayu cendana yang berbau harum bercampur dengan wangi-wangian) tujuannya untuk mensucikan roh orang yang meninggal
untuk dapat bersatu dengan alam hyang Widhi.
kesempurnaan kembalinya unsur-unsur Panca Indria. 6. Pemasangan Bebek
3. Memang Reramuan Yang dinamakan reramuan adalah saranasarana seperti gadung, kapas, wangiwangian dan lain-lain. Setelah nyiramang layon (memandikan jenasah) maka dilakukan sebagai berikut :mekerik kuku pada tangan dan kaki, mengikat kedua ibu jari kedua tangan (meitik-itik) dan dipasang kuangen, sebagai kuangen pengubaktian (satu buah), kemudian dilanjutkan dengan mesigsig dan mekramas. Maksud upacara ini untuk mempersatukan roh yang meninggal kearah tujuan yang didoakan.
Bebek adalah serbuk cendana yang merupakan bahan bedak yang ditambah dengan anget-anget, bebek ini dipasang pada perut sawa. Maksud pemasangan bebek adalah untuk dapatnya roh angisep sarining wangi yakni menikmati kesucian. 7. Memasang Lenga wangi Adalah minyak harum, bedak wangin yang dipasang pada tubuh sawa dengan tujuan untuk panuda laragati sangsara yakni membasmi segala yang bersifat sengasara bagi roh orang yang meninggal. 8. Memasang Kuangen
4. Memasang bablonyohan Bablonyohan dipasang yang putih tempatnya di kepala dan yang kunng dari badan sampai kaki. Babonyohan putih terbuat dari beras dan kencur yang dihaluskan. Bablonyohan kuning dibuat dari beras, kencur dan temutis yang dihancurkan. Tujuan pemasangan bablonyoh adalah untuk sempurnanya roh ke alam asalnya. 5. Memasang Eteh-eteh Pemasangan eteh-eteh dimulai dari : daun intaran dipasang pada kening, gadung dipasang pada dada, pusuh menur dipasang pada lubang hidung, cermin dipasang pada kedua mata, waja dipasang pada gigi, monmon mirah windusara dimasukkan ke dalam mulut. Semua hal diatas mempunyai tujuan untuk
Pemasangan kuangen pada tubuh sawa dilakukan sebagai berikut : satu buah diletakkan di kepala dengan kuangen berisi uang kepeng sebanyak 11 kepeng dan bunganya teratai (tunjung) putih. Satu buah kuangen diletakkan dihulu hati dengan kuangen berisi uang kepeng sebanyak 9 kepeng dan bunganya tunjung putih. Satu kuangen diletakkan di dada dengan kuangen berisi uang kepeng sebanyak 7 kepeng dan bunganya tunjung putih. Dua buah kuangen diletakkan di siku kiri dan siku kanan yang masing-masing berisi uang kepeng sebanyak 5 kepeng dengan bunga pusuh cempaka putih. Dua buah kuangen lagi dipasang masing-masing satu di lutut kanan dan satu dilutut kiri dengan berisi uang kepeng masing-masing 5 kepeng dengan bunga pusuh cempaka kuning. Hal ini
Pelaksanaan Upacara Ngaben Warga Apandyabang Di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan (Kajian Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu) I Nyoman Putra Adnyana, I Wayan Butuantara, Ni Wayan Nilawati
163
bertujuan untuk mengembalikan unsurunsur Panca Maha Bhuta yakni panca Tan Matra dengan cepat kembali ke asalnya. 9. Memasang Wastra Setelah semua selesai kegiatan diatas kemudian sawa itu dipasangi kain selengkapnya dan secara simbolis berfungsi akan persiapan muspa. Maksud berpakaian ini adalah untuk menyatikan bayu, sabda, idep (kesemua unsur-unsur baik yang bersifat sekala maupun niskala dan kembalinya roh pada asalnya). 10. Mebanten paotonan Adapun banten paotonan terdiri dari : jerimpen pengambaian, pangkonan (2) dulang, gibungan dan teterag. Disamping sawa diletakkan banten canang daksina dan punjung 5 buah. Pada prosesi mebanten paotonan tidak diikuti dengan acara persembahyangan oleh sanak saudara karena dengan jelas di tegaskan dalam Babad Pande bang hal 72: ……..watangannia tan ana kasembah, puput panyembahe ring Kahyangan ring pajenengan kang sinangguh ring Gedong Sinapa. Terjemahannya : ………layon tidak disembah hanya dihaturkan cukup di pejenengan Gedong Sinapa saja. 11. Metirtha Setelah selesai mebanten paotonan, kemudian jenasah diperciki tirtha (air suci)
WIDYA WRETTA
164 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
yang terdiri dari tirtha panglukatan, tirtha pabersihan, tirtha di sanggah kemulan. 12. Melelet Selanjutnya sawa dilelet atau dibungkus dengan ketentuan sebagai berikut : mulamula dilelet I dengan kain, kemudian dengan tikeh pandan, lalu dengan tali kendit (tali ketikung), ante bambu dan terakhir dengan kain putih. Tatakan watangan sebagai alas layon di bale penyajnan berbusana serba putih beralaskan galur bedeg sudamala maporong satus kutus. Hal ini diperkuat dengan pernyataan yang tercantum dalam Babad Pande Bang halaman 42 menyebutkan bahwa : “Nihan tingkahing angoeroeng watangan sedeke enoe ring oemah, maka wenang pangangenia sarwa petak, wenang sami sarwa solas, iderider solas sarwa petak, langse sarwa putih, sekar sarwa putih, canang sarwa solas magenah ring watangan. Mangkana tingkahane babatan saking kaliliran mangkana Mwah tingkahing ring arepan watangan ahapan nga, punjung saroro, pinayasin ring ahapan ika wenang katreg teken pranakania sami. Ring teben watangan ika aju pretekaning mati samangkana”. “Nihan tingkahing tatakan watangan maka palungguh mangke makamben sarwa putih, matatakan galar bedeg sudamala maporong satus akutu.s
Terjemahannya Inilah perihal penyimpanan layon pada waktu masih dirumah duka, patut menggunakan busana serba putih, semuanya patut serba sebelas, ider-ider sebelas warna putih, langse serba putih, bunga serba putih, canang serba sebelas bertempat di watangan. Demikianlah hal ikhwal bawaab yang berasal dari leluhur dahulu. Dan segala sesuatu yang harus disiapkan di arepan watangan yang disebut dengan ahapan terdiri dari punjung sasoro (sepasang, lengkap dengan hiasannya ditaruh didepan ditata berleret dengan semua perlengkapannya, di teben watangan segala sesuati yang terkait dengan upacara kematian. Demikianlah keterangannya. Inilah perihal tatakan watangan, berbusana serba putih beralaskan bedeg sudamala meporong satus kutus. Setelah selesai melelet jenasah dibaringkan kembali di balai peyajnan. Yang mana penyimpenan jenasah ini ditopang dengan tumpang salu, yakni balai-balai kecil yang berbentuk khas, dimasukkan ke dalam peti serta dikurung dengan pepelengkungan yang diselimuti kain putih seluruhnya dan diatas kain putih dipasang rurub solas (kajang yang tidak ada aksaranya hanya berbentuk patra dan wong), yang mana rurub solas ini sudah terlebih dahulu diplaspas di Pura Panti. Surayin (2002 :8) mengemukakan setelah jenasah dibaringkan kemabli di balai
penyajnan (selesai ngeringkes) maka dipasang ancak saji yaitu serpihan bambu yang pucuknya runcing sebagai pagar bale penyajnan dimana tempat mayat dibaringkan. Menurut informan Ridis sebagai Ki Dukuh (wawancara hari Sabtu, 30 Nopember 2016) bagi Warga Apandya Bang tidak perlu memasang ancak saji untuk memagari bale penyajnan. 2.4 Upacara Pemrasan Arwati (2006:16) fungsi upacara pemrasan adalah sebagai sarana untuk menjalin hubungan bila kelak menjelma kembali dapat diterima dengan banten sorohan berisi pusuh yang ditaruh di samping sawa yang bertujuan supaya roh orang yang meninggal tidak mengganggu pretisentanenya. Wikrama (1999:63-65) dalam upacara ngaben, gegitan sangat diperlukan. Umumnya gegitan yang dipakai adalah dalam bentuk kakawin, dalam bentuk kidung misalnya aji kembang, kakawinkakawin biasanya banyak dipetik dari wira carita seperti Bharata Yuda, Arjuna Wiwaha dan sebagainya. Gegitan ini mengikuti eedan upacara dimana isi gegitan disesuaikan dengan upacara-upacara seperti : ketika sawa digotong keluar digunakan wirama “Sewana Girisa” yang diangkat dari Bharata Yudha. Pada waktu mresihin (memandikan jenasah) wirama yang dipakai “Girisa yang diangkat dari Pan Brayut”. Pada waktu menyembah digunakan wirama “Indrwangsa” yang
Pelaksanaan Upacara Ngaben Warga Apandyabang Di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan (Kajian Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu) I Nyoman Putra Adnyana, I Wayan Butuantara, Ni Wayan Nilawati
165
diangkat dari Arjuna Wiwaha. Ketika niwakang tirtha pengentas digunakan wirama swandewi yang diangkat dari Ramayana. Ketika ngeseng sawa digunakan wirama “Girisha”. Rikala anyumput galih digunakan wirama “Aji Kembang”. Dan rikala nganyud digunakan wirama “Sikarini” dan sebagainya. Satriawan sebagai Ki Dukuh (wawancara hari Senin, 25 Nopember 2016) menegaskan gegitan yang digunakan pada eedan upacara ngaben bagi warga Apandya Bang sangat berbeda dengan yang kita bicarakan diatas. Gegitan yang dipakai hanya satu jenis saja baik dalam keadaan suka maupun duka yang disebut “Kidung Pangkur Sari” yang banyaknya sebelas pada, yang disebut juga “Kidung Gong Gending”. Sebelum Kidung Gong Gending dinyanyikan maka terlebih dahulu Ki Dukuh menghaturkan sesajen (banten) yang disebut dengan prasantun yang terdiri dari : pras ajuman, canang sari, daksina ketipat. Kidung Gong Gending ini tdak boleh diganti dengan kidung yang lain karena merupakan warisan leluhur dari Warga Apandya Bang dan apabila dilanggar akan kena malapetaka. Hal ini sangat jelas ditegaskan dalam Babad Pande Bang halaman 47 menyatakan sebagai berikut : Kaya iki kapatianira risapatinggalira sang atma sakeng kurungnira tan wus sira dinusangan ring salu pagenahira. Genep anuhuraken ring Hyang Kawitanira. Lwire bebantenia : ajuman
WIDYA WRETTA
166 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
atanding maduluran canang solas tanding sasantun sajiwi rantasan saparadeg saha sadulurinia “Kidung Solas Pada”. Tetep kadi pratingkahing kaya ring kuna-kuna. Mangkana tingkahe yan amanggahaken kawangan wangsa mawang; ata dumehnia, apan saking waranugrahaniapaduka Bhatara Brahma anugrahing sekancan pretisentanane sira kipangkusan Ki Mawang katekeng dlaha. Mangkana kengetakena aja lupa tutur ajali ring sepretingkahing kaya/ring dangudangu. Pewarah uga ring pratisantanasantana mara pwania pada wruh lawan kawangnia didinia nora salisuh apan dahating ila-ila, kenasodanira paduka Bhatara kasuhun mapala amanggihaken tan rahayu, sugih gawe kurang pangan:palania tan lingen lawah kalingan nahan ikang carita. Terjemahannya : Seperti inilah pada saat kematianmu setelah perginya sang atma dari kurungannya (badan kasar), selanjutnya akan dimandikan di atas tempat yang telah disiapkan upakara pemandiannya lengkap seperti yang sudah-sudah, setelah selesai metirtha pabresihan hasil nunas di Hyang Kawitan. Perlengkapan upacaranya : ajuman atanding, canang sebelas tanding, sesantun, rantasan seperadeg dilengkapi dengan “Kidung Solas pada”. Pelaksanaannya tetap seperti yang sudahsudah. Demikian caranya kalau kukuh
mengajegkan tos Ki Mawang: Sebabnya tiada lain karena berasal dari anugrah Paduka Bhatara Brahma, dianugrahkan dikemudian hari. Demikianlah untuk diingat jangan lupa, terhadap apa yang berlaku sejak dahulu, sampaikan juga kepada keturunanmu agar tahu akan soroh agar jangan tertimpa kemalangan besar terkena kutukan Paduka Bhatara Kasuhun, karena berakibat terkena kemalangan, giat bekerja tetapi kurang pangan dan sejenisnya lagi. Demikian ceritanya. Upacara selanjutnya dilaksanakan di Pura Panti, yang bertempat di Banjar Carik Kauh, Desa Gadungan yang disungsung oleh 75 KK dimana Pura Panti merupakan pura Kahyangan bagi seluruh Warga Apandya Bang yang ada di Desa Gadungan. Gunarka sebagai Ki Dukuh (wawancara hari, Senin, 25 Nopember 2016) menyatakan bahwa di Pura Panti terdapat 6 buah pelinggih yaitu pelinggih disebelah barat disebut Pemayasan, di utara mengahdap ke selatan disebut Taksu Agung, di timur Taksu Agung juga menghadap keselatan disebut Pelinggih Gedong Sinapa, di timur laut disebut Pelinggih Padmasana, ditimur menghadap ke barat disebut Pelinggih Kemulan/Kawitan rong besik dan diselatan menghadap ke barat disebut Pelinggih Bebaturan. Ridis sebagai Ki Dukuh (Wawancara Hari Selasa, 26 Nopember 2013) menyatakan, bahwa Dudonan upacara di Pura Panti sebagai berikut :
1. Ngaskara Wikarman (2002 :129) ngaskara bertujuan untuk menentramkan Sang Pitara. Sedangkan Sudarsana (2002 :110) menjelaskan upacara Ngaskara dilakukan sehari sebelum pelaksanaan upacara Pelebon atau Pekutangan yang juga disebut juga hari pembersihan karena pada hari itu dilaksanakan upcara pebersihan dan penyusian Panca Maha Bhuta. Pulasari (2007 :32) menegaskan upacara Ngaskara bertujuan untuk melakukan penyucian bagi roh orang yang diaben untuk bisa menjadi pitara. Renten sebagai Me Dukuh (Wawancara hari senin 25 Nopember 2013) yang diperkuat oleh Norsi sebagai Me Dukuh (wawancara hari senin 25 Nopember 2013) menyatakan bahwa banten atau upakara yang digunakan pada masing-masing pelinggih adalah sebagai berikut : di Pelinggih Pemayasan munggah jerimpen penagmbean apajeg, daksida gede galahan 4, suci (1) mebe bebek sebulu ukudan. Di Pelinggih Taksu Agung munggah banten : pangkonan (1), suci (1) lelauh atanding, rantasan putih kuning (1). Di Pelinggih Gedong Sinapa munggah banten : daksina gede galahan 4 (1), daksina gede galahan 8 (1), jerimpen pengambian (2), pangkonan (2), kawisan (2). Pada Gedong Sinapa ini dilengkapi dengan penunasan tirtha yaitu : Tirtha Panglukatan, pabersihan, pangentas, panembak. Dimana sarana penunasan tirtha itu terbuat dari batok kelapa yang
Pelaksanaan Upacara Ngaben Warga Apandyabang Di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan (Kajian Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu) I Nyoman Putra Adnyana, I Wayan Butuantara, Ni Wayan Nilawati
167
disebut dengan sibuh atau cabak. Hal ini diterpegas dalam Babad Pande Bang halaman 34 menyatakan sebagai berikut : Koenang rikapajananta weang maka pangentas toya atman tonangnggolongan, sirah-nrah, mwang sarwa matah mwang sarwa boengkoelan, mwang sarwa katihan poepoet pinretireka ring kabingan ring areping Gedong Sinapa. Terjemahannya “kelak pada upacara kematianmu patut menggunakan toya panglentas/toya pangentas mawadah tonangnggolongan (cabik/sibuh), sinrah-srah (diserahkan) dan segalanya serba mentah, serba bungkulan dan serba batangan cukup di prayascita (disucikan) di Kahyangan di depan Gedong Sinapa”. Adapun Banten yang digunakan nuwur tirtha sebagai berikut : ajuman putih kuning mebe taluh medadar asibak putih asibak kuning, tulung urip (1), sebagai nasi pamuun mebe taluh matah misi uyah areng. Adapun sesari daksina adalah sepaha satus. Di pelinggih Padmasana munggah banten daksina gede galahan 4 (1), jerimpen pengambian (1), suci (10, pangkonang (1). Pada saat Ngaskara ini disertai dengan melaspas kajang, rurub solas, beged sudamala maporong satus kutus. Begitu pula gong gending juga metabuh yang sudah barang tentu dengan banten pesantun terlebih dahulu.
WIDYA WRETTA
168 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
2.5. Simbol Banten Suci. Norsi sebagai Me Dukuh (wawancara hari senin, 25 Nopember 2016) menjelaskan bahwa banten suci adalah sekumpulan banten yang berfungsi sebagai pemarisudha (penyucian) Dewa, Bhuta, dan Pitara. Penyucian ini bertujuan untuk meningkatkan lesempurnaannya sehingga dapat memelihara kesejahteraan dan kedamaian dunia. Banten suci terdiri dari beberapa buah berisi buahbuahan, pala bungkah, pala wija, jajan, nasi, lauk pauk dan lain-lain. Susunannya tamas terkecil terdiri atas 1 buah dan terbesar terdiri atas 10 buah tamas. Jumlah tamas menentukan tingkat kesucian dan juga menentukan penggunaan tingkat upacara. Banten suci merupakan sesajen yang dijadikan sebagai simbol kesucian. Banten suci tersusun atas berbagai simbol aksara suci yang terangkai dalam banten merupakan media yang dijadikan sebagai perantara serta pujian terhadap Ida Sang Hyang Widhi atas segala kebesaran beliau. Adapun simbolsimbol aksara suci yang tersusun dalam banten suci antara lain : 1. Aksara “Sang” lambang janan bungan temu sebagai simbol senjata bajra. 2. Aksara “Bang” lambang janan berbentuk buah kelongkang sebagai simbol senjata gada 3. Aksara “Tang” lambang jajan kakuluban sebagai simbol senjata Naga Pasa. 4. Aksara “Ang” lambang janan berbentuk karna simbol senjata cakra. 5. Aksara “Ing” lambang jajan berbentuk dedalas simbol senjata padma.
6. Aksara “Nang” lambang jajan berbentuk kerang sebagai simbol senjata Dupa. 7. Aksara “Mang” lambang jajan berbentuk panji sebagai simbol senjata danda. 8. Aksara “Sing” lambang jajan berbentuk kebeber sebagai simbol senjata Moksala. 9. Aksara “Wang” lambang jajan berbentuk candigara sebagai simbol senjata Trisula. 10. Aksara “Yang” lambang jajan berbentuk binatang sebagai simbol senjata Dwaja.
upacara ngaben Warga Apandya Bang meliputi : pendidikan integrasi sosial (integrasi masyarakat) yakni terwujudnya kerjasama mulai dari individu, keluarga dan seluruh masyarakat dengan tukus ikhlas melaksanakan upacara ngaben tersebut. Aspek pendidikan kekerabatan tersercim pada hubungan yang baik di antara masyarakat dengan rasa bersaudara. Permasalahan yang bersifat pribadi justru menjadi baik kembali. Aspek pendidikan untuk menumbuhkan rasa bakthi terhadap leluhur sekaligus terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Kesepuluh aksara tersebut merupakan lambang pengider-ider yang melengkapi lambang alam semesta. Dalam keyakinan masyarakat Hindu seluruh penjuru mata angin dikuasai oleh seluruh manifestasi Sang Hyang Widhi dalam prabhawanya yang berbedabeda. 3. Simpulan Berdasarkan uraian yang telah disajikan, dapat disimpulkan hasil penelitian sebagai berikut : 1). Fungsi upacara ngaben Warga Apandya Bang yaitu terdiri dari : fungsi keharmonisan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan dan antara manusia dengan Tuhan sebagai wujud penerapan falsafah Tri Hita Karana. Fungsi simbol dalam upacara ngaben Warga Apandya Bang sebagai simbolik, terdapat dalam penggunaan berbagai banten yang masing-masing memiliki arti simbolik yang dipandang dapat mendukung kesuksesan upacara. 2). Aspek Pendidikan Agama Hindu
Pelaksanaan Upacara Ngaben Warga Apandyabang Di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan (Kajian Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu) I Nyoman Putra Adnyana, I Wayan Butuantara, Ni Wayan Nilawati
169
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta : Bumi Aksara
Arwati, Ni Made Sri, 2006. Upacara Ngaben Dadakan, Denpasar
Netra, I.B., 1974. Metodologi Penelitian. Singaraja : Biro Penelitian & Penerbitan
Arwati, Ni Made Sri, 2007. Upacara Memukur, Denpasar Arwati, Ni Made Sri, 2003. Beberapa Jenis Banten Kecil, Denpasar ; Upada Sastra Bungin, Burhan, 2001. Metode Penelitian Sosial Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya : Airlangga Universitas Press. Ariani, dkk, 2003. Upacara Ngaro 9Sedekah Laut) di Kelurahan Serangan Bali. Edisi 10, Denpasar : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Purwita, I.B.Putu, 1992. Upacara Ngaben. Denpasar : PT Upada Sastra.............. Putra, dkk, I.G.A.G., 1981 Wrhaspati Tattwa. Jakarta : Yayasan Dharma Sarathi Suprayoga, dkk., 2001. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung : PT Remaja Rosda Offset. Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. R dan D. Bandung : Alfabeta
Dangin, I.G., 1941. Babad Pande Bang Koeloe. Tampak Siring (Gianyar)
Surayin, Ida Ayu Putu, 2002. Bahan dan Bentuk Sesajen. Surabaya : Paramitha
Djapa, I Wayan, 2007. Terjemahan Babad Pande Bang. Tabanan
Sudarsana, I.B. Putu, 2002. Ajaran Agama Hindu (Upacara Pitra Yadnya). Denpasar : yayasan Dharma Acarya
Golo, W. 2004. Metodologi Penelitian, Jakarta : PT Gramedia Widia Sastra, Indonesia.
Soekmono, R., 1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Yayasan Kanisius
Kaler, I Gusti Ketut, 1993. Ngaben (Mengapa Mayat Dibakar), Denpasar : Yayasan Dharma Naradha.
Tim Penyusun, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cetakan Ketiga). Jakarta : Balai Pustaka
Koentjaraningrat, 1964. Tokoh-tokoh Antropologi. Jakarta: Jakarta Universitas.....
Triguna, I.B. Dede Yuda, 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma
Moleong, Lexy, 2001. Metodologi Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya Offset.
Wikarman, I Nyoman Singgin, 2002. Ngaben (Upacara Dari tingkat Sederhana sampai Utama). Surabaya : Paramitha
Mardalis, 2004. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara.
......., 1991. Kamus Bali Indonesia. Denpasar : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Dati I Bali
Mas, Ny. I Gst. Ag Putra, 1982. Upakara yadnya. Denpasar
WIDYA WRETTA
170 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
PENGELUKATAN MASAL PROSES PEMBENTUKAN KARAKTER GENERASI MUDA Oleh : I Ketut Winantra Desak Seniwati Abstrak : Pada kenyataannya generasi muda belum memahami makna Hari Suci Saraswati yang memiliki rakaian Banyu Pinaruh. Pada hari Banyu Pinaruh sebagaian besar para remaja khususnya siswa SLTP dan SLTA di Tabanan, memaknai hari Banyu Pinaruh ini dengan bersantai menikmati malam di pantai dengan berbagai kegiatan seperti : balapan sepeda motor, minum-minuman beralkohol, yang bersifat negatip. Sebagai penyebab munculnya beberapa permaslahan diantaranya: Bagaimana memberikan pemahaman kepada generasi muda agar dapat memahami makna hari Suci Banyu Pinaruh.? Tulisan menggunakan analisisis kualitataif inpretatif terhadap kenyataan yang terjadi di palapangan. Dari permasalahan yang sering terjadi dan berulang tersebut, maka muncul kegiatan Pengelukatan Masal Banyu Pinaruh yang dilakukan pada hari Minggu, Redite Paing, Sinta yang dilaksanakan di Pantai Yeh Gangga, Desa Sudimara, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, yang dilaksanakan oleh PDDS (Paiketan Daksa Dharma Sadhu) Kabupaten Tabanan, yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan. Peserta dari pengelukatan ini adalah para siswa SLTP, SLTA dan SMK yang ada di 4 kecamatan yang berdekatan dengan lokasi kegiatan. Dimana secara keseluruhan peserta yang mengikuti ppengelukatan sebanyak 1.500 orang, yang dipuput oleh 5 Sulinggih. Sehingga dengan pelaksanaan pengelukatan masal untuk kalangan remaja ini dapat mengurangi kegiatan negatip yang dilakukan selama ini. Kegiatan ini dilaksanakan secara berkelanjutan pada setiap Hari Banyu Pinaruh yang didukung sepenuhnya terhadap kegiatan tersebut. Dengan rutinitas kegiatan ini diharapkan karakter remaja Hindu akan tertata lebih baik lagi. Jadi dengan mengikuti prosesi Pengelukatan Banyu Pinaruh secara baik dan benar, dapat membentuk karakter generasi muda Hindu ke arah yang lebih baik, bermakna, bermanfaat sesuai dengan norma-norma agama Hindu. Pada akhirnya para generasi muda dapat memahami lebih memahami kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan pada hari suci Banyu Pinaruh pada rangkaian Piodalan Sang Hyang Aji Saraswati.
Kata kunci : Pengelukatan Banyu Pinaruh, Sebagai Pendidikan Karakter Bagi Generasi Muda.
Penglukan Masal Proses Pembentukan Karakter Generasi Muda I Ketut Winantra Desak Seniwati
171
1. Pendahuluan Umat Hindu di seluruh Indonesia khususnya di pulau Bali masih belum seluruhnya memahami tentang bagaimana pelaksanaan dan rangkaian hari suci keagamaan dalam hal pemaknaan dan pelaksanaannya. Hari Raya Agama Hindu sangat banyak, dan yang diakui saat ini adalah : Hari Raya Nyepi, Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Siwaratri, dan Hari Raya Saraswati. Dari empat Hari Raya Agama Hindu, yang memiliki rangkaian pelaksanaan adalah Hari Raya Galungan dan Kuningan (Sugihan Jawa, sampai dengan Hari Kuningan), dan Hari Raya Saraswati dari (Sabtu Umanis Watugunung (Saraswati), sampai dengan Buda Kliwon Sinta (Pagerwesi)). Untuk rangkaian Hari Raya Galungan khususnya di Bali sudah paham oleh semua umat Hindu , beserta rangkaiannya dan pemaknaan dari masingmasing rangkaian. Pada bagian ini akan dinahas mengenai bagian rangkaian hari raya Saraswati yang belum dilaksanakan secara maksimal yaitu : Hari Banyupinaruh yang jatuh pada hari Minggu, Pahing, Wuku Sinta. Rangkaian Hari Raya Saraswati penuh dengan makna-makna yang sangat mulia dan luhur, dikarenakan perlambang dari Ilmu pengetahuan adalah Dewi Saraswati, yang memiliki perumpamaan sangat lembu, penuh kasih sayang dan sangat disenangi oleh semua Umat.
WIDYA WRETTA
172 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Hindu mengenal 4 masa kehidupan yang disebut dengan Catur Parimita, di mana bagiannya adalah : Brahmacari, Grehasta, Wanaprasta, dan Biksuka / saniasin. Generasi muda khususnya bagi para generasi muda yang masih menapak pada masa menuntut Ilmu / masa Brahmacari, sehingga pemaknaan rangkaian Hari Raya Saraswati ini sangatlah penting ditananamkan sejak dini. Di beberapa wilayah khsusunya di Sekitaran Tabanan yang memiliki wilayah pinggir pantai seperti : Pantai Tampih, Pantai Yeh Gangga, Pantai Kedungu, Pantai Klating dan seterusnya, dimana pada malam setelah Perayaan Hari Raya Saraswati tersebut , mereka para generasi Muda khusunya anak sekolah SMP dan SMA, pada tengah malam sudah bepergian ke pantai tersebut. Adapun beberapa hal yang mereka lakukan dengan rekan atau temannya adalah tujuan melepas malam Saraswati, hampir sebagian besar kegiatan yang mereka lakukan bernuansa Negatif seperti : kebut, kebutan di pantai, minum-minuman keras, bermain judi, bahkan ada yang bermesraan dengan pasangannya. Hal ini mereka lakukan karena mereka belum mengerti dan memahami mengenai apa yang harus mereka lakukan dan apa maknanya. Dari beberapa kejadiaan inilah sebuah Organisasi Sosial Keagamaan di Kabupaten Tabanan yang terhimpun dalam suatu wadah yang di sebut PDDS (Paiketan Daksa Dharma Sadhu Tabanan), mengggas suatu kegiatan dalam penerapan Pengelukatan Banyupinaruh secara Masal dan pemaknaan Hari Hari Bayupinaruh tersebut.
2.
Arti dan Makna Pengelukatan Banyu Pinaruh
Kenapa Banyupinaruh menjadi hari yang khusus dan belum banyak umat yang memahami mengenai bangaimana makna, pelaksanaannya , dan apa tujuan dari pelaksanaan pengelukatan Banyupinaruh tersebut. Salah satu elemen penting dalam kehidupan manusia di bumi adalah air. Dimana hampir dua pertiga bagian bumi terdiri dari air, hal inilah yang menjadi perbedaan dengan planet lain yang ada di jagat raya. Tidak hanya bumi, dua pertiga dari zat yang membentuk tubuh manusia juga air. Begitu pentingnya, air sudah menjadi kebutuhan sehari-hari dan manusia tidak bisa hidup tanpa air. Di Bali, air juga dimanfaatkan untuk ritual keagamaan sebagai tirtha atau air suci anugerah Tuhan. (Sumber : Rumah Dharma – Hindu Indonesia, 9 Mei 2010)
Agama Hindu Dharma yang dianut sebagian besar masyarakat yang tinggal di Pulau Bali juga dikenal dengan sebutan Agama Tirtha (“agama air suci”). Berbeda dari tempat asalnya di India, Hindu di Bali merupakan perpaduan Hindu aliran Siwa, Waisnawa, dan Brahma dengan kepercayaan lokal orang Bali. Laut, danau, sungai dan sumber mata air dianggap penting sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Bukti pentingnya bisa dilihat dari lokasi beberapa pura yang mengambil tempat dekat dengan sumber air seperti Pura Tanah Lot, Pura Uluwatu, Pura Ulun Danu Beratan, Pura Tirta Empul, dan lainnya.
Dalam ritual umat Hindu, selain sebagai tirtha, air juga dipakai sebagai sarana pembersihan diri jasmani dan rohani pada ritual yang disebut melukat. Melukat berasal dari kata sulukat (su yang berarti baik dan lukat berarti penyuciaan), melukat berarti upacara untuk menyucikan diri guna memperoleh kebaikan. Ritual melukat telah dilakukan oleh umat Hindu secara turun temurun untuk berbagai kepentingan, namun tujuannya tetap sama yaitu penyucian diri. (Sumber : Rumah Dharma – Hindu Indonesia, 9 Mei 2010)
Beberapa diantara umat melaksanakan melukat sebagai simbol membersihkan diri dari segala kekotoran guna bisa berada dalam pikiran yang kembali bersih dan berisikan hal positip untuk melanjutkan kehidupan. Ada juga yang melakukannya untuk memperoleh kesembuhan dari penyakit, memperoleh keturunan, kewibawaan dan lainnya. Walau demikian kesemuanya merupakan permohonan yang ditujukan kepada Tuhan melalui perantara air. Tempat melukat umumnya dipilih pada sumber air yang dianggap suci seperti pada Beji Pura / Khayangan, capuhan (pertemuan antara sumber air), danau, laut dan lain sebagainya. Pelaksanaan melukat biasanya dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri dengan berbagai tujuan. Juga dijelaskan dalam adat dan budaya, melukat bertujuan untuk : pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri manusia yang dilaksanakan pada hari baik (dewasa ayu) sebagai tradisi yang
Penglukan Masal Proses Pembentukan Karakter Generasi Muda I Ketut Winantra Desak Seniwati
173
sudah dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun dan masih terus dilakukan sampai saat ini. Adapun makna dari upacara Melukat dalam setiap diri manusia mempunyai sifat buruk dan kotor, jadi sifat itu yang harus dilakukan pensucian atau dilakukan pembersihan kembali. Banyu Pinaruh memiki makna sucikan Pikiran dengan Air Ilmu Pengethuan Wuku Watugunung adalah wuku terakhir pada penanggalan Bali. Satu tahun kalender Bali menurut pawukon terdiri dari 210 hari. Minggu terakhir dari setahun penanggalan Bali adalah Watugunung, yang di tutup pada hari Sabtu-Umanis-Watugunung. Dimana pada hari tersebut Umat Hindu merayakan hari pemujaan kepadaa Sang Hyang Aji Saraswati. Nah Keesokan harinya pada hari Minggu –Pahing adalah hari pertama pada tahun baru kalender Bali, yang dimulai dengan wuku Sinta, umat Hindu pada hari ini melaksanakan rangkaian hari suci atau ritual Banyu Pinaruh. Banyu pinaruh merupakan titik awal periode wuku di Bali, sehingga akan sangat baik jika sebelum kita mengawali suatu periode yang baru dan sebelum kita mengisi diri dengan pengetahuan, alangkah baiknya kita membersikan tubuh ini dengan air suci (penglukatan). Disebutkan dalam Manawa Dharmasastra Buku V. 109 Adhirgartani cuddhyanti manah satyena, Cuddhyati widyatapobhyam bhutatma,
WIDYA WRETTA
174 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Buddhir jnanena cuddhyati. Artinya : Tubuh dibersihkan dengan air, Pikiran disucikan dengan kebenaran, Jiwa disucikan dengan pelajaran suci, kebijaksanaan, dan tapa brata, Kecerdasan dengan pengetahuan yang benar. Apa makna Banyu Pinaruh Secara Filosofis ? Secara makna filosofis dari kegiatan Banyupinaruh ini adalah bahwa Umat Hindu pada hari ini melaksanakan penyucian lahir dan batin. Mereka membawa sarana upakara berupa canang dan dupa untuk memohon penyucian lahir bathin kepada Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa, agar segala kekotoran dilebur dan oleh –Nya diberikan kesician pikiran, jiwa dan raga. Selain itu Banyu Pinaruh merupakan hari pertama dalam perputaran pawukin yang terdiri dari 210 hari yang diawali dengan wuku Sinta, ditandai dengan Hari Suci Banyu Pinaruh. Di Hari ini, disaat matahari terbit, umat Hindu memuja kebesaran-Nya, memohon perlindungan dan kesucian jiwa dan raganya. Mereka melebur keletehan / kekotoran selama perputaran pawukon menurut kalender Bali yang dilakukan di laut, di danau, atau di sumbersumber air suci agar mereka memperoleh kekuatan untuk melangkah menyongsong hari-hari berikutnya dengan bijak. Setelah ritual di laut, danau atau sumber air suci lainnya selesai, maka dilanjutkan dengan memakai air kumkuman ,
yakni iir yang berisi berbagai bunga harum. Ritual ini menimbulkan kesucian jiwa dan raga, agar harum laksana, harum wewangian bunga, dan menyejukkan seperti air.
akan terbebas dari lautan kebodohan dan dosa.”
3. Hakekat Banyu Pinaruh
Berdasarkan apa yang telah disebutkan diatas, organisasi sosial keagamaan PDDS (Paiketan Daksa Dharma Sadhu) bersinergi dengan Pemerintah Kabupaten Tabanan melakukan kegiatan Pengelukatan masal Banyu Pinaruh dan Baruna Astawa yang dilaksakan pada hari Minggu Redite Paing wuku Sinta, yang mengambil telpat di Pantai Yeh Gangga, Desa Sudimara, Tabanan. Pemerintah Kabupaten Tabanan melalui Dinas Pendidikan melakukaan koordinasi terkait dengan meelibatkan siswa SLTP, SLTA, dan SMK yang berada di 4 kecamatan yang berdekatan dengan lokasi pengelukatan. Empat kecamatan yang dimaksud adalah Kecamatan Tabanan, Kecamatan Kediri, Kecamatan Marga, dan Kecamatan Kerambitan. Dari 3 kali kegiatan yang sebelumnya diikuti sekitar 1.000 orang peserta yang terdiri dari Siswa sekolah dan masyarakat umum yang mengetahui kegiatan ini. untuk membimbing para generasi muda dalam hal ini pelajar untuk bersama memaknai akan pelaksanaan Banyu Pinaruh. Pengelukatan masal Banyu Pinaruh ini dipuput oleh 5 Sulinggih yang ada di kabupaten Tabanan, yang sekaligus sebagai menggagas dari PDDS Tabanan. Kegiatan ini dilaksanakan di Pantai Yeh Gangga, Desa Sudimara, Kecamatan Tabanan. Menurut manggaala PDDS yaitu : Ida Pandita Mpu Tri Daksa Nata Manuaba dari Kerambitan , dan Ida Pandita Rsi Siwa Putra Sanatana Daksa Manuaba, menjelaskan bahwa :
Banyu pinaruh berasal dari kata banyu yang artinya air (kehidupan), dan pinaruh yang berasal dari kata weruh atau pinih weruh. Weruh sendiri bermakna pengetahuan, sehingga dapat dikatakan banyu pinaruh adalah hari dimana kita memohon sumber air pengetahuan. Banyupinaruh adalah air ilmu pengetahuan, sebgaaimana yang diuraikan dalam pustaka Bhagawadgita sebagai berikut “ Abhir gatrani sudyanti manah satyena sudayanti”, artinya badan dibersihkan dengan air sedangkan pikiran dibersihkan dengan Ilmu pengetahuan. Itu berarti, Banyu Pinaruh bukan hanya datang berkeramas atau mandi ke pantai atau sumber air, tetapi prosesi itu bermaksud membersihkan kekotoran atau kegelapan pikiran (awidya) yang melekat dalam tubuh umat dengan ilmu pengetahuan, atau mandi dengan air ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan Bahavadgita IV.36, yang berbunyi : Api ced asi papebyah, sarwabhayah papa kar taman, sarwa jnana peavenaiva vrijnam santarisyasi’. Yang artinya : walau engkau paling berdosa diantara diantara manusia yang memiliki dosa , dengan perahu Ilmu pengetahuan , lautan dosa akan engkau seberangi.” Itu artinya Banyu Pinaruh bukan hanya berkamna simbolis belaka, tetapi sesuai dengan ajaran Hindu. “ Kita sudah dijamin dalam kitab Suci bahwa melalui mandi dan keramas dengan air ilmu pengetahuan , kita
4.
Pembahasan Kegiatan Pengelukatan Masal Banyu Pinaruh
Penglukan Masal Proses Pembentukan Karakter Generasi Muda I Ketut Winantra Desak Seniwati
175
“ Pantai Yeh Gangga merupakan pantai yang disucikan dimana sesuai dengan nama Gangga adalah sungai suci yang ada di India, sehingga secara filosofis sudah benar dan secara lokasi bahwa di pantai yeh gangga posisi sudah tertata baik karena pantai ini memang dipergunakan untuk kegiatan melasti” “ PDDS Tabanan merupakan organisasi sosial yang bertujuan untuk menambah kembali pemahaman umat Hindu di pulau Bali khususnya yang ada di Tabanan bahwa masih banyak prosesi keagamaan yang belum dipahami secara benar”. Pengelukatan masal Banyu Pinaruh ini dilaksanakan berdasarkan sastra yang telah ada yang mana secara pelaksanaannya tidak dilaksanakan secara benar. Contohnya : sebelum dilakukan kegiatan penegelukatan masal ini banyak para pelajar atau generasi muda kepantai pada tengah malam atau bahkan setelah selesai melakukan persembahyangan di malam atau sore hari, dengan beberapa kegiatan negatif seperti : minum minuman keras, merokok, berpacaran serta kebut kebutan di pantai.” Dari kegiatan pengelukatan masal Banyu Pinaruh ini yang sudah dilakukan 4 (empat) kali setiap Minggu-Pahing-Sinta, terlihat bahwa dari jumlah peserta terus mengalami peningkatan, dan peserta terbanyak adalah dari para siswa SMP dan SMTA, yang ada berdekatan dengan lokasi Pantai Yeh Gangga.” Dengan dasar inilah PDDS Kabupaten Tabanan yang mendapat dukungan dari pemerintah Kabupaten melaksanakan kegiatan pengelukatan masal
WIDYA WRETTA
176 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
ini dengan yang sudah dilaksanakan 4 kali, pada setiap hari raya Banyu Pinaruh. Pelaksanaan Upacara Pengelukatan Massal Banyu Pinaruh ini menggunakan beberapa sarana bebantenan. Dari hasil wawancara dengan Ida Pandita Mpu Rsi Siwa Putra Sanatana Daksa Manuaba, sebagai ketua Sulinggih PDDS Kabupaten Tabanan, menjelaskan untuk upakara yang dipergunakan serta makna dan fungsi dari bebantenan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Banten Pengresikan / pebersihan diantaranya : a. Pabyakaonan adapun fungsinya pembersihan menghilangkan sarwa roga, sarwa wigna, papa klesa, angilaken saluwerining sebel kandel. b. Durmanggala, adapun fungsi dan tujuannya adalah : menghilangkan segala kotoran secara niskala yang ada dalam tubuh. c. Pengulapan : anglulapi sami ring angga sarira. d. Prayascita : ameritaning lara loga, laara wigna papa klesa. 2. Ring surya : munggah cuci asoroh, pejati asoroh, daksina galah 4, soda rayunan, wastra seprengadeg, dewa-dewi. Yang dihaturkan kepada dewa surya sebagai penguasa alam agar diberikan penerangan dan sinar suci. Sor Surya : Gelar sanga, segehan agung, untuk nnyomya sehananing buta kala sehingga dapat menjadi sifat kedewataan
3.
4. 5.
6.
yang tidak mengganggu proses upacara yang dilakukan. Upakara Ring ajeng Sulinggih : Banten padudusan, untuk memohon tirta pengelukatan yang akan di percikkan atau dibagikan kepada seluruh peserta pengelukatan. Upakara ring arepan Sulinggih : Banten arepan pemuput, daksina galah 4. Ring ayaban upakara : Sekar taman pulagembal, bebangkit, ayaban tumpeng 7, banten dapetan, pajegan, teterag. Banten pemeras toyo.
Setelah penjelasan mengenai Banten / upakara yang dipergunakan selanjutnya dijelaskan pula mengenai prosesi atau urutan dari kegiatan pengelukatan ini. Prosesi dari pengelukatan masal ini adalah sebagai berikut : 1. Ngarga tirta ring suamba, ngarga tirta ring payuk pengelukatan. 2. Ngemargian tirta pembersihan pengeresikan, pengelukatan dan tirta pabyekaonan, durmanggala, pengulapan perayascita. Ring sami bebantenan utawi upakara, ngelukat upakara mangda ka dadosan banten. Wusan ring upakara utawi bebantenan ngelantur ring sami pemilet sani jagi ngelaksanayang pengelukatan. 3. Pengastawan Ring surya : adapun tujuannya adalah untuk nunas upasaksi kepada Bhatara surya yang memberikan penerangan kepada alam semesta ini. 4. Pengastawa Ring akasa : memiliki tujuan untuk nunas upenyaksi ring betara lelangit. 5. Pengastawa Ring pertiwi : memiliki tujuan untuk menghormati ibu pertiwi sebagai penguasa alam semesta / buana agung.
6. Pengastawa ring Guru stawa : memohon tuntunan kepada para guru agar diberikan petunjuk atau jalan kebenaran untuk melakukan kegiatan upacara ini. 7. Pengastawa ring kawitan stawa :bertujuan untuk memohon kekuatan / petunjuk dari para leluhur agar kegiatan berjalan secara maksimal. 8. Pangastawa Ring Sang Hyang Baruna : bertujuan untuk memohon tirta / amertha, dimana Sang Hyang Baruna sebagai manifestasi Brahman sebagai dewa air. 9. Pengastawa Ring Segara Stawa : untuk memuja dewa yang berstana di pura segara sebagai penguasa lautan. 10. Pengastawa ring Giri Stawa :Untuk memuja para dewa yang berstana di pengider-ider, sad khayangan, Dang Khayangan, memohon anugrah –Nya. 11. Pengastawa ring sang Hyang Aji Saraswati : memohon ring Ida Bhatara sami nunas panugrahan kepada Ida Bhatara Sami karena kita melakukan penglukatan Banyu Pinaruh Baruna Astawa. Ngeseng sehananing lara loga ring angga sarira. 12. Ngastawa Padudusan lantur ngemargian : Pembersihan ring upakara ring manusanta ( semua peserta yang mengikuti pengelukatan) yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi. 13. Ngayab Upakara (ngantebang upakara) yang ditujukan Surya , Sor Surya, Sekar Taman Plegembal, Nganteb Bebangkit, Nganteb ayaban tumpeng 7, ngayab banten dapetan, ngayab sesayut pengelepas lara (melepas semua kekotoran yang ada di alam buana agung
Penglukan Masal Proses Pembentukan Karakter Generasi Muda I Ketut Winantra Desak Seniwati
177
dan buana alit), ngayab sayut lara melaradan. 14. Ngemargiang tirta pemuput : yng berfungsi untuk muputan yadnya / upakara yang bersangkutan. 15. Ngemargiang pemeras toyo ring segara dilanjutkan dengan sapa mapilet utawi pamilet sane jagi nyarengan pengelukatan melebok ke segara. 16. Setelah Puja selesai dilanjutkan dengan melakukan “pengelebokan” di pantai yang dilakukan oleh semua peserta yang mengikuti penglukatan tersebut. 17. Setelah itu nunas tirta penglukatan yang telah disiapkan / diberikan mantra / puja oleh para pandita yang muput upacara tersebut. Semua tirta pengelukatan dicampur jadi satu, kemudian dibagikan ke semua sulingih untuk dipercikkan kepada semua peserta pengelukatan masal. 18. Setelah semua mendapatkan pengelukatan dari para sulinggih , dilanjutkan dengan dharma wecana dari Pinandita mengeni makna dari Pengelukatan ini, sehingga semua peserta pengelukatan memahani betapa pentingnya melakukan kegiatan pengelukatan yang sesuai dengan makna yang ada. 19. Nunas Tirta pabyakaonan, ( peserta ngayab pabyakaonan ke sor / bawah) Durmangala (Ngayab Durmangala ring dada / bwah), Pangulapan (Ngayab pengualapan ring prerai / muka , supaya muka lebih cerah), Prayascita ( Ngayab ring siwa duara/ akasa).
WIDYA WRETTA
178 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
20. Ngayab padudusan ring angga sarira : pembersihan ring buana alit secara keseluruhan (angga sarira). 21. Ngaturan sembah bhakti ( Ngaturan puja Tri Sandya ring ngaturang panca sembah). 22. Dilanjutkan dengan melakukan persembahyangan bersama. 23. Nunas Tirtha dan Bija. 24. Setelah selesai melakukan persembahyangan, maka semua nasi “yasa” / nasi “ pradnya “ yang dihaturkan di “surud” / diambil untuk dinikmati sebagai berkah dari Dewa Penguasa Lautan dan Dewa Ilmu Pengetahuan. Dari 4 kali pelaksanaan pengelukatan masal Banyu Pinaruh dan Baruna Astawa ini memperlihatkan adanya beberapa pemahaman atau peningkatan dari jumlah peserta, dimana dari sudah mulai tumbuh kesadaran para remaja untuk mengikuti kegiatan pengelukatan ini dari pada mereka harus kepantan tanpa adanya kegiatan yang dilakukan secara benar. Dari informasi pihak kepolisian yang ikut membantu kegiatan ini dijelaskan bahwa ada efek yang baik dari kegiatan ini dimana para remaja berkurang melakukan hal-hal negatif yang tidak sesuai dengan ajaran dan norma-norma agama. Ada 2 pendekatan teori pendidikan yang dipergunakan untuk menkaji yaitu teori pendidikan karakter menurut John W. Santrock, dan yang keduai Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona. Adapun penjelasan pendekatan teori karakter tersebut dapat dijelaksan sebagai berikut : Menurut John W. Santrock, 2007, dijelaskan bahwa Pendidikan karakter
merupakan pendekatan langsung untuk pendidikan moral dengan memberi pelajaran kepada peserta didik tentang pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan perilaku tidak bermoral atau membahayakan bagi diri sendiri maupun orang lain. Dari teori yang dijelaskan diatas mengenai pendidikan karakter, bahwa implikasi dapat terlihat dalam pelaksanaan kegiatan pengelukatan masal Banyupinaruh yang telah dilakukan dimana, para siswa didik / generasi muda sudah dapat merubah prilaku yang tidak bermoral atau prilaku yang mebahayan diri sendiri seperti melakukan kegiatan kebut-kebutan di pantai, pesta minuman keras, dengan melakukan kegiatan yang sesuai dengan norma / kaedah agama yaitu dengan mengikuti pengelukatan masal ini. Dari pelaksanaan pengelukatan masal ini mereka mendapatkan pendidikan mengenai apa sebenarnya yang harus dilakukan ketika ada prosesi upacara atau hari Suci keagamaan khususnya hari Banyupinaruh. Menurut Thomas Lickona dama Education For Character 1995, menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan suatu usaha yang dilakukan dengan sengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan dan melakukan nilai-nilai etika yang pokok. Dalam implikasi bahwa dari keinginan suatu Organisasi sosial keagamaan yaitu PDDS
(Paiketan Daksa Dharma Sadhu) Kabupaten Tabanan yang berada di bawah kepurusaan Griya Agung Bongkasa, melihat keprihatinan akan kondisi para generasi muda yang makin salah arah memiliki keinginan untuk melakukan sebuah kegiatan Pengelukatan Masal, yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah Kabupaten dan dukungan Dinas Pendidikan , sehingga kegiatan ini sudah dapat dilaksanakan sebanyak 4 kali, dengan antusiasme dari para peserta yang terus meningkat, dari kegiatan pertama sampai yang keempat. Sehingga Pemerintah Kabupaten Tabanan menetapkan bahwa Pengelukatan Masal Banyupinaruh ini menjadi agenda rutin yang harus terus dilakukan setiap Hari Suci Banyupinaruh, yang merupakan rangkaian pelaksanaan Hari Raya Saraswati. 5. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, Dengan mengikuti prosesi Pengelukatan Banyu Pinaruh secara baik dan benar, dapat membentuk karakter generasi muda Hindu ke arah yang lebih baik, bermakna, bermanfaat dan sesuai dengan norma-norma agama Hindu. Pada akhirnya para generasi muda lebih memahami kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan pada hari suci Banyu Pinaruh pada rangkaian Piodalan Sang Hyang Aji Saraswati.
Penglukan Masal Proses Pembentukan Karakter Generasi Muda I Ketut Winantra Desak Seniwati
179
DAFTAR PUSTAKA Wiana, Drs.I Ketut. Arti Dan Fungsi Sarana Persembahyangan. 2000. Paramita: Surabaya http://pujaantara.wordpress.com/2008/07/ 19/makna-hari-raya-saraswati/ http://www.hindubatam.com/upacara/dewayadnya/hari-saraswati.html http://ney24.wordpress.com/2013/12/17/ pemahaman-aktualisasi-bhagawadgita9-26/ John W. Santrock , Educatian Psychology. 2007 Manawa Dharmasastra Buku V. 109 Muhammad Yaumi, M Hum., M.A, Dr, Pendidikan Karakter, 2014. Thomas Lichon, Education For Character. 1995
WIDYA WRETTA
180 VOLUME I NOMOR 1 MEI 2017
Penglukan Masal Proses Pembentukan Karakter Generasi Muda I Ketut Winantra Desak Seniwati
181