WAWASAN AL-QUR‟AN MENGENAI HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI „IBADULLAH Siti Nurjanah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro E-mail:
[email protected] Abstract The Qur'an as a book of instructions emphasizes the totality of human being both internally and externally. The subject of the Qur’an is human being in term of their relationship to beliefs, attitudes, personal motivation, and individual as well as social character. Human being, within their position as creature, could never turn into a creator who absolutely control other creatures. They are the subject to the provisions of the creator (khaliq). The Qur'an insights about human nature as 'ibadullah is reflected through the verses discussing obedience and submission which basically only worth given to God. All of that lead to the essence of an 'abd. The nature of man as 'abd of Allah shall be subject and obedient to God who gives life, then all the acts in the exercise of the duties and obligations in the living world and the hereafter is inseparable relationship with Allah, The Compassionate and The Merciful. The authority and power possessed by human is not absolute just like a king who reigns in absolute terms. Human is no more than a free-controlled ruler. It implies that human nature is an 'abd allah who must be obedient and subject to Allah. Keywords : Qur’anic insights, human, ‘ibadullah A. PENDAHULUAN Al-Qur‟an merupakan petunjuk rabbani yang universal mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan manusia di alam dunia ini. Di dalamnya telah termaktub aturan-aturan, baik dalam hal ibadah, maupun dalam bidang muamalah. Aturan-aturan tersebut ada yang bersifat qath’i al-dalalah.1 Tujuan dan fungsi Al-Qur‟an adalah memberi petunjuk (hidayah), menguatkan kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (mukjizat) dan menjadi ibadah bagi yang membacanya. Al-Qur‟an sebagai hidayah, bersifat aktif operasional kepada manusia dalam segala aspek kehidupan. Sedangkan Al-Qur‟an sebagai kitab petunjuk memperhatikan totalitas keadaan manusia secara internal dan eksternal. Sebagai subyeknya adalah 1 Qath ‘I al-dalalah berarti aturan (ayat) yang sudah pasti sedemikian adanya. Tidak dapat ditambahdan dikurangi. Sedangkan dzami al-dalalah berarti aturan (ayat) yang masih memerlukan keterangan lain.
Wawasan Al-Qur‟an Mengenai Hakikat Manusia
│
110
manusia dalam kaitannya dengan kepercayaan, sikap dan motivasi kepribadian dan karakter kehidupan individu dan sosial. Berangkat dari subyek, tema, dan tujuan Al-Qur‟an akan ditemukan bahwa keseluruhan ayat-ayat Al-Qur‟an memiliki hubungan dan kesatuan yang sempurna dari awal hingga akhir dari penyajian ayatayat yang berbeda. Al-Qur‟an membicarakan tentang sifat manusia, struktur bumi dan langit, manifestasi alam semesta dan peradaban mengingatkan orang – orang beriman dan kritisi terhadap tingkah laku bangsa yang berbeda, analisa terhadap masalah metafisika dan menunjukkan banyak permasalahan lainnya. Namun tidak bertujuan inti untuk memberikan pelajaran metafisika, filsafat, sejarah serta lainnya, tetapi untuk mengembalikan kesalahfahaman tentang realita dan mengenalkan prinsip-prinsipnya. Al-Qur‟an merupakan himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagai kitab suci agama Islam yang bersikan tuntunan-tuntunan dan pedoman bagi manusia dalam mengatur kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, lahir dan batin. Al-Qur‟an membicarakannya masalah manusia seperti firman Allah: Artinya:” dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu sari pati (berasal) dari tanah, kemudian kami jadikan saripati itu air mani(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah.lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging.kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maka Maha Suci Allah Pencipta Yang Paling Baik”.(Q.S: Al-Mukminun/23:12-14) B. KAJIAN TEORI 1. Al-Qur‟an dan Kandungannya Kandungan Al-Qur‟an terhadap hal-hal- yang hubungannya dengan ilmu pengetahuannya dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Yang Maha Pencipta dan mendorong manusia supaya beruasa selalu dekat dengan Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
111
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Meskipun Al-Qur‟an mengandung berbagai macam persoalan ternyata pembicaraan dalam suatu makalah tidak tersusun secara sistematis.Metode pengungkapannya banyak bersifat universal, bahkan tidak jarang dalam penampilan suatu masalah berupa prinsip-prinsip pokoknya saja. Dengan tersebut sangat memberikan kesempatan yang luas kepada manusia untuk menggunakan kemampuannya dalam menyibak tabir pengetahuan yang tersembunyi di balik semua firmanfirmanya,sebagai firman Allah: Artinya: “ Dan dia mengajarkanya kepada adam nama-nama benda seluruhnya. Kemudian mengemukakanya kepada para malaikat lalu berfirman:sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar! Mereka menjawab: Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahuinya lagi Maha Bijaksan”.( Q.S:Al-Baqarah/2:31-32).2 Manusia dalam Al-Qur‟an menurut Dirk Bakker adalah ciptaan dan Tuhan adalah penciptanya,3 manusia adalah makhluk istimewa karena dapat mengikuti tuntunan akal dalam hal-hal yang diketahui tuntunan iman dalam hal-hal yang tidak diketahuinya.4 Islam sebagai agama dengan misi universalnya, memberi rahmat untuk semesta alam telah memberikan pandangan secara prinsip tentang Tuhan, manusia, dan alam sebagaimana firman Allah. Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”. (Q. S: Al-Anbiya/21: 107). Dapat dikatakan bahwa tema pokok Al-Qur‟an menurut Fazlur Rahman berkisar pada tiga persoalan tersebut dengan segala dialektika dan hubungan antara ketiganya.5 Memahami hubungan Tuhan, manusia,
2 Sejumlah hadis juga menyebutkan diantaranya: “Mencari ilmu wajib bagi setiap muslim lihat ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, jilid I. muqaddimat bagian 17, (Isa Al-Babi Al-Halabi Wa Syurakuhu, tanpa tahun), h. 81. 3 Dirk Bakker, Man in the Quran, (Holand: Drukkerij Holland, N. V. 1965), h. 12. 4 Al-Sayuthi, Al-Maqal fi al-Insan, (Mesir: Dirasah Qur‟aniyah, Dar al-Ma‟arif, 1966). h. 35. 5 Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran, (Chicago: Bibliotica Islamica Minneapolis, 1980), h. 101.
Wawasan Al-Qur‟an Mengenai Hakikat Manusia
│
112
dan alam tidak terlepas dari doktrin tauhid yang memiliki tiga prinsip. 6 pertama dualitas yang menjelaskan bahwa realitas hanya terdiri dari dua jenis, Khaliq dan makhluq. Khaliq yaitu Allah sebagai pecipta, penguasa, dan pemelihara alam jagat raya ini. Sedangkan makhluk adalah yang diciptakan. Manusia sebagai bagian dari mahluknya, tidak mungkin akan menjadi pencipta yang dapat menguasai makhluk lainnya secara absolut, ia harus tunduk pada ketentuan khaliq. Kedua ideasional yang mempunyai pengertian bahwa meskipun terjadi pemisahan antara khaliq dan makhluq namun hanya bersifat ontologism. Di antara keduanya ada hubungan ideasional yang memungkinkan manusia dapat memahaminya, bukan dalam pengertian materi, tetapi hasil ciptaan_Nya yang di dalamnya terdapat ketentuan ketentuan yang aksiomatis berupa hukum alam (sunnatullah). Ketiga, teologi yang berarti bahwa pemahaman manusia yang ada dalam kerangka relasi-relasi ideasional bukan bersifat psotifistik atau metaerialistik, tetapi bersifat teologis yaitu mempunyai tujuan, melayani penciptanya, dan melakukan hal itu berdasarkan rancangan yang jelas, sebagaimana Al-Qur‟an menyatakan bahwa realitas tidak diciptakan dengan sia-sia, seperti firman Allah : Artinya : orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang perciptaan langit dan bumi secara berkata Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Q.S. Ali Imran / 3: 191). Di dalam Al-Qur‟an dijelaskan bahwa manusia selain sebagai khalifah juga sebagai abd Allah. Sebagai khalifah, manusia mempunyai kedudukan yang teramat istimewa, baik potensinya maupun kedudukannya di alam semesta daripada makhluk lainnya. Di antara potensi-potensi itu, yang paling menonjol adalah kemampuan manusia mengenal dan memahami lingkungan alam sekitarnya, sehingga dapat menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutanya gar ilmu pengetahuan dikembalikan dengan tetap mempertimbangkan ketentuan-ketentuan etika yang ada, Allah juga memberikan kemampuan yaitu merupakan satu petunjuk kasih sayang Allah kepada manusia. Dengan demikian semakin lengkaplan kemampuan yang diberikan kepada manusia. 6 Ismail Razi al-Faruqi, Tauhid: its Implication for Thought and life, (Pensylivania, USA: International Institute of Islamic Thought, Wyncote,. 1982), h.12 – 14.
113
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Kedudukan manusia sebagai khalifah dengan berbagai potensi yang dimilikinya, disempurnakan dengan kedudukannya sebagai hamba Allah. Pada kedudukan pertama manusia dituntut aktif memelihara dan memakmurkan alam dalam bentuk pembudidayaan yang konstruktif bagi kehidupan semesta. Sedangkan kedudukan kedua, manusia dituntut pasrah kepada Allah. Sebagai hamba Allah ia harus mengikuti semua perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Kedudukan kedua ini dapat tmenuntutn manusia untuk melakukan transendensi dalam merealisasikan fungsi kehkalifahannya. Sedangkan pandangan Islam tentang tantanan, dan lingkungan alam sebagaimana semua hal islami berakar di dalam Al-Qur‟an. AlQur‟an tidak hanya berbicara tentang laki-laki dan perempuan, melainkan juga kepada seluruh kosmos. Dalam satu pengertian alam mengambil bagian dalam wahyu Al-Qur‟an yang berbicara kepada bentuk-bentuk alam sebagaimana kepada manusia. Dan dalam ayat-ayat tertentu lainnya, Tuhan menjadikan anggota-anggota non manusia dari ciptaannya. AlQur‟an tidak menarik garis pemisah yang jelas baik antara yang natural dan yang supranatural, maupun antara dunia manusia dan dunia alam”. 7 Manusia alam raya, dan hubungan antara manusia dengan manusia dengan segala isisnya merupakan tiga unsur yang saling terkait, di mana salah satunya tergantung kepada yang lain. Tuhan sebagai pencipta, menciptakan segala sesuatu dalam keseimbangan dan keserasian. makhlukNya harus senantiasa memelihara keseimbangan dan kserasian agar tidak mengakibatkan kerusakan. Sebagai konsekewnsinya adalah ayat yang menyatakan bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah manusia itu sendiri. Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang dilakukan atau antara tuan dengan budak tetapi hubungan tersebut merupakan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala. Karena adanya kemampuan manusia dalam mengelola alam bukanlah akibat kekuatan yang memilikinya melainkan karena anugerah Allah, sebagaimana firmanNya : Artinya : “Allahlah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan darilangit, kemudian dia mengeluarkan dengan air 7 Seyyed Husein Nasr, Islam And the environmental crisis, Terjemahan Abbas al-Jauhari dan Ihsan Ali Fauzi, Jurnal Islamika Nomor III Januari-Maret Penerbit Mizan-MISSI, Jakarta 1994, h. 5.
Wawasan Al-Qur‟an Mengenai Hakikat Manusia
│
114
hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rejeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendakNya dan Dia telah menundukkan bagimu sungaisungai”. (Q.S; Ibrahim/14 : 32) Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam. Interaksi ini bersifat harmonis sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyuwahyuNya, dan yang harus ditemukan kadndungannya oleh manusia dengan mempertimbangkan perkembangan dan situasi lingkungannya. 2. Manusia dan Fungsinya Al-Qur‟an melukiskan alam sebagai makhluk yang pada intinya merupakan ciptaan Tuhan yang menyelubungi dan sekaligus menyingkap keagungan Tuhan. Bentuk-bentuk alam merupakan manifestasi kekuasannya, tak terbilang kayanya yang menyembunyikan berbagai qudrah ilahiyah, tetapi pada saat yang sama juga menyibakkan kualitaskualitas (qudrah) itu bagi mereka yang mata hatinya belum dibutakan oleh kesombongan dan jiwa yang penuh nafsu (al-nafs-al-amarah). Al-Qur‟an bagi umat Islam adalah merupakan pedoman hidupnya karenanya ia menjadi pusat kehidupan Islam dan dunia di mana Islam itu hidup. Al-Qur‟an adalah serat yang membentuk tenunan kehidupannya, ayat-ayatnya adalah benang yang menjadi rajutan jiwanya.8 Sesungguhnya Al-Qur‟an menempati posisi yang amat sentral dalam pandangan hidup seorang muslim namun demikian pedoman hidup yang termuat dalam Al-Qur‟an hanyalah akan dapat dimengerti dan dipedomani jika ada upaya untuk berpikir betapa pentingnya komunikasi antara Al-Qur‟an dan akal secara terus-menerus. Dengan adanya komunikasi itu maka Al-Qur‟an sebagai pedoman hidup dapat dimengerti dan dikhayati serta dapat dijadikan pedoman dalam menghadapi berbagai persoalan hidup manusia. Komunikasi itu berarti adanya hubungan akal dan Al-Qur‟an secara fungsional, bukan struktural. Al-Qur‟an berfungsi sebagai pedoman dan akal sebagai sarana untuk memahaminya. Manusia sebagai eksistensi pada dasarnya merupakan soal pokok yang menjadi bahasan dalam filsafat antropologi baik eksistensi manusia sebagai ciptaan maupun eksistensi manusia sebagai anggota lingkungan hidup.9 Membicarakan manusia sebagai ciptaan, mau tidak mau akan berhadapan dengan realitas lain yaitu yang menciptakan manusia. Dalam bahasan agama pada umumnya pencipta itu disebut Tuhan. Oleh karena Seyyed Husein Nasr, Ideals and Ralisties of Islam, terjemahan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: LAPPENAS, 1981), h. 21. 9 Paul Edwards (Ed.), The Encyklopedia of Philosophy, Jilid VI, (New York: Macmillan Publishing, co. inc. and the free Press, 1972), h. 160. 8
115
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
itu dalam filsafat juga dikenal adanya filsafat antropologi yang bercorak teologis, yaitu pembahasan manusia yang didasarkan kepada kitab suci. Membicarakan manusia sebagai ciptaan, mau tidak mau akan berhadapan dengan realitas lain yaitu yang menciptakan manusia. Dalam bahasan agama pada umumnya pencipta itu disebut Tuhan. Oleh karena itu dalam filsafat juga dikenal adanya filsafat antropologi yang bercorak teologis, yaitu pembahasan manusia yang didasarkan kepada kitab suci.10 Manusia pertama-tama dipandang sebagai khalifah, tetapi pada saat yang sama ia juga sebagai hamba Allah. Sebagai khalifah manusia wajib aktif menjaga konsekwensinya menjadi pusat alam. Tetapi sebagai hamba Allah manusia harus pasif, tunduk kepada Tuhan, dan menerima rahmat yang mengalir padanya. Sama halnya dengan Tuhan yang menghidupkan dan merawat alam, manusia harus merawat alam sekelilingnya. 11 Al-Qur‟an dalam pembahasan ini menjadi pembahas dalam pembahasan mengenai wawasan Al-Qur‟an mengenai hakikat manusia sebagai „ibadullah. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Manusia Sebagai “Abd Kata „abd dipakai untuk menyebut manusia pada umumnya, karena manusia pada dasarnya adalah ciptaan dan menjadi „abd atau hamba bagi penciptanya. Dalam masyarakat yang mengenal system perbudakan, maka „abd artinya adalah budak, hamba sahaya yang dapat diperdagangkan menjadi milik pembelinya. „Abd adalah lawan kata hurr artinya orang yang merdeka. „Abd berasal dari kata „abada artinya tunduk, taat, atau patuh. Kata ibadah dipakai untuk ketaatan, ketundukan dan kepatuhan manusia terhadap perintah Tuhannya. 12 Ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan manusia, pada dasarnya hanya layak diberikan kepada Tuhan, yang tercermin pada ketaatan, kepatuhan dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan. Semua itu merupakan essensi ‟abd. Dalam kaitan itu, kata ‟abd mempunyai arti yang positif yaitu seorang yang tunduk taat dan patuh kepada Tuhannya. Namun abd dalam kehidupan masyarakat yang memakai sistem perbudakan, mempunyai arti yang negatif, karena dengan perdikat budak yang disandangnya telah mengakibatkan hilangnya kemerdekaan bagi seseorang dan adanya penindasan terhadap manusia sesamnya.
Ibid., h. 164. Seyyed Husein Nasr, Ideals and...,1994, h. 20. 12 Ibnu Manz}ur, Lisan al-‘Arab, (Digital Library, al-Maktabah al-Sya>milah al-Is}da>r alS}a>ni>, 2005), Jilid IV, h. 259 – 262. 10 11
Wawasan Al-Qur‟an Mengenai Hakikat Manusia
│
116
Adapun kata ‟abd dalam Al-Qur‟an dipakai dalam arti ”hamba sahaya”. Allah berfirman : Artinya : Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rizki yang baik dari kami. Lalu dia menafkahkan sebagian rizki itu secara sembunyi dan terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji bagi Allah, tetapi banyak diantara mereka tiada mengetahui (Q.S. An-Nahl/ 16:75). Kemudian Al-Qur‟an menegaskan perlunya perbudakan itu dihapuskan, yaitu dengan cara menetapkan denda atau suatu pelanggaran terhadap ketentuan agama dengan memerdekakan budak itu. Allah berfirman : Artinya : Orang-orang yang menceraikan istrinya dengan dzihar, kemudian ingin menarik kembali perkataannya maka wajiblah ia memerdekakan seorang hamba sebelum mereka berdua bersentuhan. Demikianlah yang diajarkan kepadamu. Allah maha mengetahui dari apa yang kamu kerjakan (Q.S Al-Mujadalah/ 58:3). Selanjutnya diperjelaskan dengan ayat Al-Qur‟an : Artinya : Dan tidak layak seorang mukmin membunuh seorang mukmin lainnya kecuali suatu kesalahan, maka barangsiapa melakukan pembunuhan semacam itu hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya beriman dan membayar diat, yang diserahkan kepada terbunuh, kecuali keluarga itu melakukan sedekah. Jika y ang terbunuh memerdekakan
117
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
hamba sahaya yang beriman. Namun bila si terbunuh itu dari kaum kafir yang ada perjanjian damai antara mereka dengan kamu, maka memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya maka hendaknya si pembunuh berpuasa dua bulan berturut-turut untuk menerima taubat dari Allah. Sesunggunya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana ( Q.S. An-Nisa/4 : 92). Dan diterangkan pula oleh ayat Al-qur‟an : Artinya : Allah tidak menghukum kamu disebabkan oleh sumpahsumpah yang tidak sungguh-sungguh tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disegaja, maka sebagai kafaratnya ahíla m emberi makan sepuluh orang memberi makan kepad mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa kafarat bagimu jira melanggar su mpah. Maka peliharalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan keapdamu tanda-tanda kebesarannya agar kamu selalu beryukur (Q.S: Al-maidah/5 : 89). Oleh sebab itu, Allah dianggap orang yang ingkar terhadap orang yang tidak mau memerdekakan budak, bahkan dianggap orang yang ingkar terhadap tanda-tanda kebesaran Allah. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur‟an : Artinya : Tahukah kamu apakah jalan yang termal itu? Ialah membebaskan budak dari perbudakan atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat atau orang miskin yang sangat fakir. Karenanya ia (tiada) tergolong orang beriman yang saling menasehati supaya bersabar dan berkasih sayang. Mereka (yang bersifat demikian) itulah orang-orang golongan kanan. Tetapi orang
Wawasan Al-Qur‟an Mengenai Hakikat Manusia
│
118
yang ingkar akan ayat-ayat kami mereka itulah orang-orang golongan kiri. ( Q.S : Al-Balad/ 90 : 12 – 19). Kata ‟abd yang berarti ”budak”, merupakan persepsi yang berkonotasi negatif, karena kata budak dipakai oleh masyarakat yang memakai sistem perbudakan. Namun di samping pengertian yang negatif, kata ‟abd juga mempunyai pengertian positif, yaitu dalam hubungan antara manusia dan penciptanya ialah Tuhan Seorang hamba Tuhan adalah orang-orang yang taat dan patuh terhadap perintahNya dan laranganNya. Dalam hal ini tentunya sangat serasi dengan tujuan Tuhan menciptakan manusia ke alam dunia ini adalah untuk mengabdi kepadaNya. Allah berfirman : Artinya : dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan mereka supaya mengabdi kepadaKu. (Q.S: Az-Zariyat/ 51 : 56) Oleh karena itu , kata ‟abd dipakai untuk menyebut Nabi-Nabi seperti untuk Nabi Nuh‟alaihi al-salam dalam firman Allah : Artinya : (Yaitu) keturunan orang-orang yang Kami bawa bersama Nabi Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba yang banyak bersyukur ( Q.S: AlIsra‟ / 17:3) Untuk Nabi Sulaiman ‟alaihi al-salam dalam firman Allah : Artinya : Dan Kami karuniakan Sulaiman kepada Daud seorang hamba yang amat baik, ia selalu kembali (penuh taubat) kepada Kami. (Q.S Shad/ 38 : 30) Jama‟ dari ‟abd adalah ‟ibad dan ‟abid. Dalam Al-Qur‟an kata „ibad dipakai untuk menyebut ”hamba sahay. Sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur‟an:
119
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Artinya : Kawinkanlah orang-orang yang bersendiri diantaramu, dan orang-orang yang shaleh dari hamba sahayamu laki-laki dan hamba sahaya perempuanmu. Bila mereka, maka Allah akan memberi mereka kemampuan dari karuniaNya. Allah Maha Mengetahui. ( Q.S. An-Nur/24 : 32). Kemudian kata „ibad juga dipakai untuk menyebut Nabi-Nabi Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‟an : Artinya : Dan ingatlah hamba-hamba Kami, Ibrahim, Isaac dan Ya‟kub yang mempunyai tangan-tangan (yang kuat) dan pengelihatan (yang tajam). (Q .S Shad/38 : 45). Lalu kata „ibad dan „abid juga dipakai untuk menyebut semua manusia, seperti firman Allah : Artinya : Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendakiNya. Dan ia menyempitkan (rizki). Sesungguhnya Ia Maha Mengetahui dan Maha Melihat atas hamba-hambanya. (Q.S : Al-Isra‟/ 17 : 30). Artinya : (Kepadanya dikatakan) bahwa “ini disebabkan karena perbuatan tangan-tanganmu. Dan karena Allah tiada menganiaya hamba-hambaNya (Q.S: Al-Hajj/ 22: 10). Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa „abd dapat dipakai dalam dua pengertian yang dapat menimbulkan perbedaan. Pertama hádala untuk menusia dalam statu kehidupan masyarakat ia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendaknya, ia sebagai hamba sahaya yang dapat diperjualbelikan tuannya sekehendak hati yang memilikinya. Sedangkan kedua, dipakai dalam hubungannya dengan Tuhan yang menempatkan manusia pada posisi yang harus tunduk dan patuh, sebagai kepatuhan dan ketundukan ciptaan lepada Penciptanya. Ketaatan dan kepatuhan manusia kepada Tuhan, merupakan cermin dari kesadaran diri yang teramat dalam, sebagai buah dari penghayatan keagamaan dan ini merupakan suatu hal yang positif. Sedangkan adanya sistem perbudakan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat merupakan cermin kehidupan social yang tidak adil, karena adanya sistem social yang timpang menindas. Gambaran ini merupakan cermin kehidupan masuarakat yang negatif. Sistem kehidupan yang timpang, akan membawa dampak yang kuat semakin kuat, dan yang lemah menjadi semakin lemah. Kekuatan
Wawasan Al-Qur‟an Mengenai Hakikat Manusia
│
120
membawa kekuasaan yang menimbulkan berbagai penindasan terhadap kelemahan. Orang-orang yang lemah menjadi budak yang kuat, sehingga kehidupan sangat bergantung kepada belas kasih yang kuat. Seharusnya perhambaan itu hanya layak terjadi antara manusia dengan Tuhan. Manusia harus menghamba kepada Tuhan, karena Dia yang telah menciptakannya. Sebaliknya keengganan manusia mengahamba kepada Tuhan, akan membawa akibat manusia itu menghamba kepada dirinya sendiri atau menghamba kepada hawa nafsunya. Kesadaran manusia untuk menghamba kepada Tuhan yang telah menciptakannya dengan sepenuh hati, akan mencegah perhambaan manusia terhadap manusia, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap sesamanya. Kesadaran manusia untuk menghamba kepada Tuhan, merupakan ketaatan dan kepatuhan yang penuh kepada Tuhan. Artinya kesetiaan dan keteguhan untuk berbuat berkehendak baik, dan tidak pernah berbuat dzalim kepada manusia sedikitpun. Adapun ketaatan dan kepatuhan yang penuh kepada Tuhan merupakan essensi perhambaan manusia kepada Tuhan. Ketaatan dan kepatuhan manusia kepada Tuhan, seringkali diartikan sebagai ketaatan dan kepatuhan seseorang kepada ajaran agama yang dimengerti seara formal, sebagaimana ketentuan-ketentuan peribadatan yang telah digariskan. Pemahaman yang teramat formal terhadap ajaran agama dalam suatu masyarakat akan mengakibatkan kepada mereka atas ketentuanketentuan formal tersebut dan mengabaikan kepentingan sosial dan moral. Sehingga menimbulkan pengertian bahwa peribadatan kepada Tuhan hanya akan diterima jika sesoerang telah memenuhi ketentuan formalnya tanpa meperhatikan realitas sosial dan kepekaan moral padahal peribadatan itu tidak terlepas dari kaitannya dengan realitas sosial dan perilaku moral seseorang. Sempitnya pemahaman terhadap ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan hanya mementingkan kepatuhan dan ketaatan terhadap ketentuan formal saja, akan mengakibatkan sikap a-sosial dan a-moral dalam kehidupan masyarakat bergama ajaran-ajaran formal keagamaan dapat membawa kepada perbuatan syirik, apabila terjadi penyalahgunaan. 2. Hakikat Manusia Sebagai ”Ibadullah Manusia adalah makhluk material dan spiritual yang memiliki banyak persamaan dengan jenis binatang, akan tetapi pada saat yang sama ia dipisahkan dari jenis makhluk binatang dengan jurang perbedaan yang mendasar dan mencolok. Dimana masing-masing menunjukkan bahwa manusia adalah merupakan makhluk dengan dimensi tersendiri.
121
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Sebagai makhluk material, manusia membentuk satu dimensi jasmani dan sebagai makhluk spiritual, memberntuk dimensi tersendiri yaitu dimensi rohaniah keduanya berpadu dan membentuk hayat. Tubuh manusia berasal dari tanah dan roh berasal dari substansi immateri ghaib. Tubuh kapeada akhirnya kembali menjadi tanah, dan roh akan kembali ke alam ghaib. Sifat-sifat manusia sebagai khalifah terdapat dalam unsur rohaniah (immateri) Allah memberi manusia beberapa potensi atau kebolehan sesuai dengan sifat-sifanNya. Kebolehan manusia berpotensi atau berkebolehan sesuai dengan sifat –sifat Tuhan itu merupakan anugerah dari Allah. Sifat-sifat tersebut dalam Al-qur;‟an disebut dengan nama-nama yang indah (al-Asma alHusna) yang menggambarkan Allah sebagai Yang Maha Pengasih (Alrahman), Yang Maha Tahu (al-Alim) Yang Maha Suci (al-Kuddus), Yang Maha Hidup (al-Muhyi), Yang Maha Tahu (al-Alim) Yang maha Berkuasa) (al-Qadir), Yang Maha Pencipta (al-Khalik) dan lain-lain. Berkenaan dengan amanah dan kekhalifahan manusia di atas bumi, maka sifat-sifat Allah yang hanya diberikan kepada manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas. Sebab kalau tidak demikian maka manusia akan merasa sebagai Tuhan dan mengaku dirinya sebagai Tuhan. Sifat-sifat tersebut bagi manusia harus dianggap sebagai amanah yaitu merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Untuk melaksanakan pengembangan dan menolong manusia menyebah Allah dengan cara yang lebih baik, maka manusia diberi kekuasaan dan memberi rizki kepadanya. Firman Allah mengatakan : Artinya : Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan Amat sedikitlah kamu bersyukur (Q.S: Al-A‟raf /7 : 10). Semua itu berarti, bahwa amanah itu sekurang-kurangnya ada dua macam pertama, kesanggupan manusia mengembangkan sifat-sifat Allah yang ada pada dirinya. Kedua, berkenaan dengan cara pengurusan sumber-sumber penghidupan yang ada di bumi. Amanah yang akhirnya ditanggung oleh manusia terlebih dahulu diajukan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Akan tetapi mereka ngan untuk diterimaya lalu diterima oleh manusi karena manusia bersifat aniaya dan bodoh, ahal ini menunujukkan bahwa manusia telah menyalahgunakan amanah itu. Oleh sebag itu som bang dan congkak, mengaku tahu segala-galanya serta menjalankan kekuasaan yang tidak adil pada orang lain apa kata mereka. Bahkan kata Sya‟rawi bahwa
Wawasan Al-Qur‟an Mengenai Hakikat Manusia
│
122
manusia bersifat bodoh karena membebankan dirinya dengan masalah yang sangat besar. 13 Persoalan mengapa manusia menyalahgunakan amanah yang diberikan kepadanya, berkatian dengan aspek-aspek kejiwaan yang ada pada manusia berupa dorongan hawa nafsu yang berasal dari godaan setan, firman Allah : Artinya :” Lalu setan membisikan pikiran jahat kepada mereka yang berkata kepada mereka ”hai”. Adam maukah saya tunjukkan kepadamu pohon kuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa.” (Q.S : Thaha/ 20: 120). Kekekalan manusia dan kekuasaan mutlaknya di bumi menunjukkan dua kencendrungan dasar pada manusia. Kehinginannya ingin hidup selama-lamanya di duni menyebabkan ia lupa bahwa pada akhirnya pada kekuasaanya itu tidak kekal. Fungsi kekhalifahan tidak terlepas dari amanah yang telah diterima manusia sebagai firman Allah : Artinya : Sesunggunya kami telah mengemukakan amanat pada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya engan untuk memikul amanat itu dan mereka akan khawatir akan menghianatinya, dan dipikulah amanat itu oleh manusia. Sesunggunya manusia itu amat dholim dan amat bodoh. (Q.S : Al-Ahzab: /33 : 72) Oleh sebab itu ada dua macam amanat yang diterima manusia. Pertama, kesangupan manusia mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada dirinya. Manusia harus berthalluq bi akhlaq Allah atau berperilaku seperti akhlak Allah dalam batas-batas kemanusiaan. Maka disinilah manusia disatu sisi sebagai ‟abd Allah, yang nilai-nilainya sebagai ibadah, dengan tujuan diciptakannya. Firman Allah : Artinya : ” Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan mereka untuk menyembahku. (Q.S Al-Dzariat/ 51 : 56) Kedua, berkenaan cara pengurusan sumber-sumber yang ada di bumi menyembah yang pada mulanya hanya berati mengembangkan potensi sifat-sifat Tuhan pada diri manusia, ini bertambah luas 13
h. 57.
Muhammad Mutawali Sya‟rawi, Al-Tarbiyah Al-Islamiah, (Kairo: Maktabah Turats, t. th.),
123
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
mengandung juga pengertian mengurus dengan benar amanah itu. Dengan demikian ibadah adalah mengembangkan sifat-sifat Tuhan merupakan fungsi utama sedangkan pengurusan sumber-sumber yang ada dibumi merupakan unsur pelengkap. Kedua fungsi tersebut mempunyai perluasan sebagai berikut: a. Beribadah Ibadah meliputi segala bentuk perbuatan (perbuatan dan perkataan) yang dilakukan oleh setiap muslim dengan tujuan untuk mencari keridhoan Allah pada prakteknya ibadah.14. dari segi pelaksanaanya dapat dibedakan menjadi 3 macam : 1) Ibadah jasmaniah ruhaniyah yaitu ibadah yang pelaksanaanya memerlukan kegiatan fisik (anggota badan) disertai penuh dengan keikhlasan dan kekusu‟an pada Allah seperti sholat. 2) Ibadah ruhaniah maliah yaitu ibadah yang pelaksanaanya dengan harta. 3) ibadah jasmaniah ruhaniah maliah yaitu ibadah yang pelaksanaannya disamping memerlukan kekuatan fisik dan mental juga memerlukan materi, seperti haji.15 Pada dasarnya tujuan melakukan ibadah tidak mempunyai kepentingan bagi yang memerintahnya, akan tetapi mempunyai kepentingan sendiri bagi manusia yang melaksanakannya baik secara individu atau bersama. Oleh karena itu dilihat dari kepentingannya, ibadah dibagi menjadi ibadah fardhu yaitu ibadah yang nilai limpah dan manfaat, ternyata disamping oleh orang-orang yang melakukannya dapat juga dirasakan manfaatnya oleh orang lain, seperti zakat dan memperdalam suatu ilmu pengetahuan. b. Kekuasaan Yang diserahi khalifah yang syah dan benar bukanlah perseorangan, keluarga atau kelas tertentu, tetapi komonitas secara keseluruhan yang meyakini dan menerima prinsip dan gagasan khalifah yang berdasarkan kepada hukum-hukum Allah. Menurut Al-Maududi kekuasaan tertinggi tetap pada kekuasaan Allah. Atas keinginan dan sukarelaNya, kekuasaan manusia dibatasi oleh perundang-undangan Allah. 16.
Ibadah dibagi menjadi ibadah Mahdlah (murni) atau ibadah Khashshah di mana ibadah madhlah adalah menyangkut segala kegiatan yang ketentuannya ditetapkan oleh Nash dan tidak menerima perubahan dengan menambah atau menguranginya, seperti sholat. Ibadah ghairu mahdlah atau ibadah muamalah yaitu kegiatan diluar ibadah madlah yang dilakukan untuk memperoleh ridho Allah. Kedua macam ibadah tersebut dalam islam mempunyai prinsip tersendiri. 15 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ensiklopendi Islam Indonesia, 1997, h. 345. 16 Al- Maududi, Khalifah dan Kerajaan, Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, (terj) (Bandung: Mizan, 1996), h. 67. 14
Wawasan Al-Qur‟an Mengenai Hakikat Manusia
│
124
Kekuasaan menurut Islam harus mempunyai nilai Uluhiyah yakni kekuasaan yang dapat menghantarkan keyakinan akan ke-ahad-an Allah. Yaitu Allah sebagai Rabb dalam hubungan penciptaan penyempurnaan, pemberian aturan, dan petunjuk dengan segenap alam ciptanya dan menusia dalam kapasitasnya (Tauhid Uluhiyah). Dengan demikian konsep kekhalifahan dalam islam menjadikan setiap individu dalam kelompok kaum muslimin adalah sekutu dalam khalifah, firman Allah : Artinya : Apakah kamu tiada melihat bahwasannya Allah menunjukkan bagimu apa yang ada dibumi dan bahtera dilautan dengan perintahnya. Dan dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izinNya.? Sesunggunya Allah benar-benar maha Pengasih lagi Maha Penyayang pada manusia (Q.S Al-Hajj/ 22 : 65). Manusia harus pandai-pandai mempergunakan nikmat-nikmat yang telah dianugrahkan kepadanya berupa alam tempat berpijak jiwa dan ragaNya harus dimanfaatkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kemanusiaan itu sendiri. Hubungan semua manusia adalah sama berdasarkan keadilan dan kejujuran. Dalam agama tidak ada keistimewaan apapun untuk seseorang, siapapun dia, dan bagaimanapun keadannya. Tetapi sistem sosial menghendaki adanya institusi kepemimpinan yang layak berjalan untuk membina masyarakat sekitar, karena tanpa adanya pemimpin tidak mustahil akan mengkibatkan terjadinya berbagai kerusakan di muka bumi. Maka kepemimpinan itu selaykanya untuk menjembatani hubungan manusia secara vertikal kepada allah dan secara horizontal kepada sesama manusia. Oleh sebab itu ulil haruslah orang-orang yang benar-benar mampu menerima tanggung jawab, bukan orang-orang bodoh, dungu, dzalim, fasik, sertafajir. Akan tetapi haruslah orang-orang yang berilmu, arif, dan amanah. Firman Allah : Artinya : Katakanlah, masing-masing orang berbuat dengan kemampuanya. Dan Tuhanmu mengetahui siapa yang paling terpuji jalannya”. ( Q .S: Al-Isra‟ 17:84). Ayat tersebut menjelaskan kaitan perbuatan manusia dengan kemampuan yang dimilikinya. Dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat, terdapat perbedaan kemampuan antara satu dengan lainnya.
125
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Perbedaan kemampuan itu mungkin secara alamiyah, seperti kemampuan untuk melahirkan anak atau perbedaan tingkat pendidikan dalam lingkungan mereka. Anjuran Al-Qur‟an untuk berbuat sesuai dengan kemampuan pada dasarkan dapat dianggap sebagai anjuran yang bermakna etik, karena seseorang yang berbuat tidak sesuai dengan kemampuannya seringkali berakibat mencalakakan dirinya sendiri. Bahkan seringkali terjadi dalam kehidupan masyarakat bahwa seseorang menderita oleh pekerjaannya bahkan nyaris jatuh total. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh ketidaktahuan atas kemampuannya atau memaksakan diri untuki berbuat di luar kemampuannya. Dengan demikian kekuasaan harus memegang prinsip keadilan, tepat dalam menempatkan segala sesuatunya pada fungsi dan proporsinya. Tidak berlaku aniaya terhadap alam karena hal itu pada hakekatnya akan merusak keserasian sistem alam yang harmonis yang dampaknya akan mempengaruhi unsur alam yang lain yang berada pada siklus sunnatullah. Kekuasan manusia sebagai khalifah sedikitnya meliputi kekuasaan terhadap dirinya sendiri, kekuasaan terhadap alam, dan kekuasaan terhadap sesama manusia. Kesemuanya itu bersifat limpahan dari Allah yang terbatas oleh hukum-hukum Allah dan akan menghantarkan kepada manusia untuk menyadari bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman Allah, karena kemampuan manusia itu tidak lain kecuali sebagai amanah. Sehingga setiap nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia akan diminta pertangungjawabannya. Maka manusia tidak boleh angkuh terhadap ciptaan Allah lainnya, tetapi dituntut harus memperhatikan apa yang menjadi kehendak pencipta, sehingga terjadi keselarasn hubungan vertikal dan harisontal, sebagaimana Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan dalam sabdanya tentang tanggung jawab kepemimpinan seseorang yakni; setiap kamu semua adalah penguasa dan akan diminta pertanggungjawabannya, seorang suami berkuasa terhadap keluarganya dan akan diminta pertanggungjawabannya, istri berkuasa terhadap urusan rumah tangga suaminya dan akan diminta pertanggungjawabannya, begitu juga seorang pembantu berkuasa menjaga harta taunnya dan akan diminta pertanggungjawabannya (H.R. Bukhari).17 Oleh sebab itu hubungan manusia di samping sebagai khalifah fi al-ardl ia juga sebagai ‟abd Allah. Kedudukan sebagai khalifah diwujudkan dalam ketaatan yang sepenuh hati kepada Tuhan. ”abd atau hamba Allah mempunyai arti yang positif, seperti nabi-nabi Allah yang hidup sepenuhnya untuk merealisasikan hukum-hukumNya, kebenaran-
17
Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Istanmbul: Nur Asia, 1981), Jilid I h. 215.
Wawasan Al-Qur‟an Mengenai Hakikat Manusia
│
126
kebenaran yang ada dalam setiap ciptaanNYa dan mewujudkan kebersamaan hidup dalam prinsip keadilan. Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai ‟abd Allah bukanlah dua hal yang bertentangan tetapi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kekhalifahannya adalah realisasi dari pengabdiannya kepada Tuhan yang menciptakannya. Manifestasi amal perbuatan manusia sebagai khalifah fi al-ardl adalah ketekunannya mengembangkan konsep-konsep dalam realitas kehidupan masyarakat. Sedangkan manifestasi amal perbuatan seorang hamba Allah adalah ketaatan dan kepatuhannya yang iklas atas perintahperintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangannya. D. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : 1. Wawasan Al-Qur‟an mengenai hakikat manusia sebagai ‟ibadullah tercermin dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan manusia, pada dasarnya hanya layak diberikan kepada Tuhan, yang tercermin pada ketaatan, kepatuhan dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan. Semua itu merupakan essensi ‟abd. 2. Hakikat manusia sebagai ‟abd Allah harus tunduk dan patuh kepada tuhan yang memberi kehidupan, maka segala perbuatannya dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat tidak terlepas hubungannya dengan yang Maha Rahman dan yang Maha Rahim. 3. Kewenangan dan kekuasaan yang diperuntukkan kepada manusia tidaklah mutlak sebagaimana layaknya raja yang berkuasa secara absolut. Tetapi manusia lebih merupakan seorang penguasa yang ”bebas terkendali”. Adapun makna bebas terkendali adalah ketika manusia sebai ‟abd allah yang harus taat, patuh, dan tunduk, kepada sang pencipta yaitu Allah SWT, karena hanya Dia yang Maha Mutlak. DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Istanmbul: Nur Asia, 1981 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ensiklopendi Islam Indonesia, 1997. Dirk Bakker, Man in the Quran, Holand: Drukkerij Holland, N. V. 1965.
127
│
TAPIS Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2014
Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran, Chicago: Bibliotica Islamica Minneapolis, 1980. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, jilid I. muqaddimat bagian 17, Isa Al-Babi Al-Halabi Wa Syurakuhu . tanpa tahun. Ibnu Manz}ur, Lisan al-‘Arab, Digital Library, al-Maktabah al-Sya>milah al-Is}da>r alS}a>ni>, 2005. Ismail Razi al-Faruqi, Tauhid: its Implication for Thought and life, Pensylivania, USA: International Institute of Islamic Thought, Wyncote,. 1982. Al- Maududi, Khalifah dan Kerajaan, Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, (terj) Bandung: Mizan, 1996. Muhammad Mutawali Sya‟rawi, Al-Tarbiyah Al-Islamiah, Kairo: Maktabah Turats, t. th. Paul Edwards (Ed.), The Encyklopedia of Philosophy, Jilid VI, New York: Macmillan Publishing, co. inc. and the free Press, 1972. Al-Sayuthi, Al-Maqal fi al-Insan, (Mesir: Dirasah Qur‟aniyah, Dar al-Ma‟arif, 1966. Seyyed Husein Nasr, Ideals and Ralisties of Islam, terjemahan Abdurrahman Wahid, Jakarta: LAPPENAS, 1981. Seyyed Husein Nasr, Islam And the environmental crisis, Terjemahan Abbas alJauhari dan Ihsan Ali Fauzi, Jurnal Islamika Nomor III Januari-Maret Penerbit Mizan-MISSI, Jakarta 1994.