Bagian
1
Wanita Pahlawan
Telah lama berakar dan tumbuh pandangan, bahwa martabat wanita kurang beruntung, terutama dalam sistem pembagian kerja. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin telah lama hidup dan dipraktikkan masyarakat. Dalam berbagai wilayah, terjadi pembagian kerja yang dibatasi dengan pertimbangan martabat pria dan wanita, yang keduanya berbeda. Dalam kurun waktu yang panjang, wanita Indonesia terbelenggu oleh pandangan umum: wanita sudah sewajarnya hidup dalam lingkungan rumah tangga. Tugas ini ialah tugas yang diberikan alam kepadanya. Wanita ditugaskan oleh alam untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak dalam rumah tangga. Wanita juga ditugaskan untuk memasak dan memperhatikan suami agar sebuah rumah tangga tenteram. Pria memiliki tugas lain, yaitu pergi ke luar mencari makan untuk keluarganya. Martabat wanita, dengan demikian, ditentukan oleh pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Ungkapan wanita hanyalah konco wingking, wanita hanyalah suwarga nunut neraka katut. Kenyataan ini ialah contoh perendahan martabat wanita. Hal itulah, antara lain yang menggugah semangat kaum wanita untuk menggerakkan pendidikan wanita. Pada sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul sejumlah pemuka wanita Indonesia sebagai perintis emansipasi kaumnya. Kesadaran akan perlunya tingkat pendidikan yang tinggi bagi wanita Indonesia, mendorong mereka untuk maju. Para pejuang itu antara lain Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Dahlan, dan sejumlah nama lainnya yang tercatat sejarah. Wanita Pahlawan
7
Mereka dengan cara masing-masing, berjuang menaikkan martabat wanita Indonesia. Pada awalnya, mereka berjuang di tingkat lokal dan lama-kelamaan mereka menyadari, bahwa kenasionalan perjuangan diperlukan. Dalam perkembangannya, banyak daerah melahirkan wanita pejuang. Bahkan dalam kurun 15 tahun (1912—1927), di Indonesia berdiri berpuluh-puluh perkumpulan/organisasi wanita yang bertujuan meningkatkan martabat kaummnya dengan berbagai cara. Adapun nilai manfaat yang patut diteladani dari kaum wanita pejuang ialah semangat perjuangan mereka, baik secara fisik (turut berjuang mempertahankan harga diri kaum dan bangsa Indonesia dari penjajahan) maupun yang bergerak dalam organisasi pendidikan. Setidaknya gagasan dan semangat (kepahlawanan kaum wanita) yang dirintis para pendahulu, mampu mendorong kaum wanita jaman sekarang untuk membuka kesempatan mengembangkan potensi diri, demi martabatnya. *** Sejarah Nusantara ternyata mencatat banyak wanita yang sukses menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan. Sejak 1.300 tahun yang lalu, wanita telah berhasil menjadi pemimpin salah satu negara di Nusantara yang sangat dihormati, bahkan ditakuti kekuatan dan keperkasaannya. Bukti-bukti sejarah ini seharusnya membuka mata sebagian kecil warga bangsa yang juga masih meremehkan kemampuan wanita dalam berbagai bidang. Siapakah wanita yang patut diteladani kepahlawanannya itu?
Wanita Kepala Negara Sejarah Nusantara Kuno mencatat adanya 15 orang wanita yang dipercaya menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan negaranegara Nusantara kuno. Dua orang yang lain, bahkan dipercaya menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Negara, atau satu orang yang lainnya lagi dipercaya menjabat sebagai menteri keuangan.
8
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Berikut wanita Nusantara kuno yang sempat tercatat dalam sejarah. 1. Ratu Sima dari Kerajaan Kalingga (Keling) adalah raja wanita pertama yang memerintah pada kurun waktu 1.300 tahun yang lalu. Berita Cina dari Dinasti Tang mengatakan, bahwa kerajaan Ho-Ling di. Pulau Jawa ini sangat kuat. Orang Ta-Shih pada tahun 674 M mengurungkan niatnya untuk menyerang negara ini sebab keperkasaan Kalingga. Diberitakan pula, bahwa di bawah pemerintahan Ratu Sima, Kerajaan Kalingga menjadi negara yang menjunjung tinggi hukum. Bahkan saudara sang ratu sendiri terpaksa harus dihukum karena berani melanggar peraturan. 2. Syri Iayanattunggawijaya memerintah Kerajaan Medang pada tahun 947 M. Dia naik tahta menggantikan ayahnya, Mpu Sindok (929–947) M. Ratu ini juga dikenal sebagai Dewi Kilisuci yang kem udian mengundurkan diri sebagai pertapa. 3. Cri Sanggamawijayatunggawarman memerintah Kerajaan Sriwijaya. Sayangnya pada 1025 M, Ratu Sriwijaya ini ditaklukan dalam peperangan dan dikalahkan oleh Rajendrachola I Raja Kerajaan Cola. 4. Putri Nurul A’la menjadi perdana menteri wanita di Kerjaan Islam Perlak (Aceh), mendampingi suaminya Sultan Makhdum Alaiddin Ahmad Syah Jauhan Berdaulat (1108–1134) M. Sebagai perdana menteri atau kepala pemerintahan, seluruh urusan pemerintahan di bawah tanggung jawab sang putri. Pada saat itu yang memegang keuangan negara (menteri keuangan) juga seorang wanita, Putri Nurul Qodimah. 5. Laksamana Maharani dari Kerajaan Seudu yang masuk agama Islam setelah mendapatkan dakwah dan Sultan Makhmud Alaiddin Muhammad Syah Jauhan Berdaulat (1170–1196) dari Kerajaan Islam Perlak.
Wanita Pahlawan
9
6. Wanita Islam Nusantara pertama yang tercatat menjadi Ratu adalah Syah Alam Barinsyah (1196–1225) yang memerintah Kerajaaan Islam Perlak. Dia naik tahta menggantikan ayahnya, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Jauhan Berdaulat yang jatuh sakit lumpuh. Dalam melaksanakan pemerintahan dibantu adiknya Abdul Aziz Syah sebagai perdana menteri. 7. Dyah Gayatri (Rajapatni) tercatat sebagai ratu yang sukses di Kerajaan Majapahit. Dyah Gayatri adalah istri raden Wijaya pendiri dan Raja I Majapahit. Dia naik tahta setelah wafanya RaJa Majapahit II, Jayanegara (1309–1328). Akan tetapi, karena pada saat itu dia telah menjadi seorang pertapa, urusan pemerintahan diserahkan kepada putrinya, Sryi Gitarya Tribhuanattunggadewi Jayawisnu Wardhani (1328–1350) M. Pemerintahan Dyah Gayatri berhasil mempersiapkan Majapahit menjadi negara terkuat di Nusantara, setelah Hayam Wuruk (1350–1389) diangkat menjadi Raja Majapahit IV. Tujuan menjadi negara yang kuat itu pun dapat terlaksana dengan lebih mudah. Pada masa pemerintahannya, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang sangat terkenal. Selanjutnya, baru pada masa pemerintahan Hayam Wuruk tercapai apa yang menjadi Sumpah Gajah Mada. 8. Dyah Suhita (1400–1447) menjadi Ratu di Kerajaan Majapahit. Dyah Suhita adalah cucu Hayam Wuruk. Selama tahun (1401– 1429), Dyah Suhita dibantu ayahnya Wikrama Wardhana dalam menjalankan pemerintahan dan memadamkan pemberontakan Bhre Wirabhumi (1401–1406). 9. Sultanah Nahrasiyah (1405–1406) adalah ratu ketujuh dari Kerajaan Islam Samudra Pasai. 10. Ratu Anchesiny (1530–1549)) istri Sultan Husin II yang menjadi ratu menggantikan suaminya yang meninggal dunia dalam peperangan melawan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Qohhar (1537–1536) dari
10
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Aceh Darussalam. Setelah menikah lagi dengan Sultan Alauddin Riayat Syah II dari Kerajaan Malaka, berhasil merebut kembali negaranya dari Aceh Darussalam selama beberapa waktu. 11. Ratu Putri Hijau (Ratu Putri Aru) (1564–1621) dari Kerajaan Aru, ibu kota Deli Tua (Sumatera Timur), menyerah saat diserang oleh Sultan Iskandar Muda (1607–1636) dari Aceh Darussalam. Negaranya sangat kuat, bahkan baru takluk tahun 1612 setelah pada tahun 1564 diserang oleh Sultan Alauddin Riayah Syah Al Qohhar (1537–1568) dari Aceh Darussalam. 12. Seorang wanita lain tercatat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata yang sangat dihormati, bahkan oleh armada perang Eropa. Dia adalah Laksamana Keumalahayati (1589–1604) dari Aceh Darussalam. Wanita laksamana ini hidup pada masa Sultan Saidil Mukammil (1589–1604). Dalam sejarah, tercatat beliau memimpin satu armada yang terdiri lebih dari 100 kapal perang laut yang sangat kuat dengan 400 prajurit siap tempur. Sejarah mencatat, pada 21 Juni 1599 laksamana ini berhasil menewaskan pemimpin armada kerajaan Belanda, Cornelis de Houtman dan menawan adiknya, Frederick de Houtman. Kehebatan armada perangnya bahkan telah membuat pemerintah Belanda pada tahun 1601 meminta maaf secara resmi kepada Aceh Darussalam dan sekaligus membayar upeti dan ganti rugi sebagai tanda penghormatan atas kekuatan Kerajaan Islam Aceh Darussalam. 13. Sri Putri Alam Permaisuri Sultan Tajul’ Alam Safiatuddin Syah (1641–1675) memerintah di Kerajaan Islam Aceh Darussalam. Dia naik tahta di Kerajaan Aceh Darussalam menggantikan suaminya Raja Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Thani yang meninggal (1636–1641). Dalam sejarah, terkenal dengan nama Ratu Safiatuddin.
Wanita Pahlawan
11
14. Setelah Ratu Safiatuddin, ada tiga ratu lagi yang berturut-turut memimpin Aceh Darussalam, yakni Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin Syah (1675–1678), Sultanah Inayat Zakiyyatuddin Syah (1678–1688), dan Sultanah Kamalat Syah (1688–1699). Dari deretan wanita perkasa tersebut, tercatat delapan orang ratu (61,5% lebih) memerintah Kerajaan Islam, empat orang wanita memerintah kerajaan bercorak Hindu dan seorang menjadi ratu di kerajaan bercorak Buddha. Tercatat pula satu dari dua wanita yang menjadi kepala pemerintahan (perdana menteri) di negara bercorak Islam.
12
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Bagian
2
Mengenal Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang (1752–1828) adalah Pahlawan Nasional, sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 063/TK/TH 1975, tanggal 9 Agustus 1875. Bernama asli R.A. Kursiah Retno Edhi. Dia lahir pada pada 1752 di Serang, dekat Purwodadi, Jawa Tengah. Sebagai putri dari Pangeran Natapraja yang pernah mendampingi Sultan Hamengkubuwono I, dia bertempur melawan Belanda. Perang itu berakhir dengan ditandatangganinya Perjanjian Gianti pada 1755, tetapi Pengeran Natapraja tetap memelihara pasukannya. Oleh karena itu, Belanda menyerang daerah Serang. Waktu itu Kursiah sudah dewasa dan turut memimpin pasukan menahan serangan Belanda. Dalam pertempuran itu, dia tertawan dan dibawa ke Yogyakarta, tetapi kemudian dikembalikan lagi ke Serang. Mengapa Nyi Ageng Serang memberontak? Saat di Yogyakarta, terjadi kegelisahan akibat berbagai tindakan pemerintah Belanda yang merendahkan harga diri dan kehrmatan raja-raja Jawa. Dalam istana muncul dua golongan yang anti dan pro Belanda. Kalau sudah begini, rakyatlah yang menjadi korban. Tanah mereka banyak yang diambil paksa oleh Belanda untuk dijadikan perkebunan yang dikelola orang Eropa. Hal inilah yang menyebabkan Perang Diponegoro (1825–1830). Pada waktu perang itu terjadi, Nyi Ageng sudah berusia 73 tahun. Namun karena sejak dahulu sudah membenci Belanda, bersama cucunya, R.M. Papak, dia bergabung dengan pasukan Diponegoro dan diangkat sebagai pinisepuh di samping Pangeran Mangkubumi. Berbagai nasihatnya selalu didengar oleh pasukan Diponegoro. Mengenal Nyi Ageng Serang
13
Gambar 2.1 Pangeran Diponegoro
Dengan pasukan Nataprajan, dia bergerak di daerah Serang, Purwodadi, Gundih, Kudus, Demak, Juwana, dan Semarang. Pernah pula pasukan tersebut ditugasi oleh Pangeran Diponegoro untuk mempertahankan daerah Prambanan. Walau usianya sudah lanjut, dengan cara ditandu Nyi Ageng tetap terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda. Atas anjuran Nyi Ageng, pasukan Diponegoro memakai daun limbu dalam pertempuran. Daun itu dapat dipakai sebagai pelindung kepala dan juga untuk menyamar agar tidak mudah diketahui oleh pasukan Belanda. Karena usianya yang makin lanjut dan kondisi makin lemah, Nyi Ageng mengundurkan diri dari medan perang. Dia kembali ke keluarga Nataprajan di Yogyakarta sampai meninggal dunia pada 1828.
14
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Bagian
3
Mengenal Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu (1801—1818) diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969.
Gambar 3.1 Martha Christina Tiahahu
Ia seorang pahlawan putri yang belum banyak diketahui oleh rakyat Indonesia, lain halnya dengan pahlawan bernama Cut Nyak Dien yang dikenal masyarakat di daerah lain terutama rakyat Aceh itu sendiri. Memang, Marta Christina Tiahahu tidak sehebat perjuangan Cut Nyak Dien dan bentuk perjuangannya pun sangat sederhana, tetapi harus dihargai karena sikapnya yang tegas tidak mau bekerja sama dengan pihak kolonial. Kebenaran harus ditegakkan. Ini prinsip hidupnya. Siapakah Marta Christina Tiahahu? Ia adalah putri dari Paulus Tiahahu dan ibunya bernama Sina. Ia dilahirkan di daerah Nusa Laut yaitu tempat yang sangat terpencil di kepulauan Maluku, tepatnya di desa Abubu (Abobo). Dari sumber-sumber yang ada, tidak ada yang Mengenal Martha Christina Tiahahu
15
mencantumkan kapan ia dilahirkan, tetapi diperkirakan lahir pada tahun 1800. Setelah ditelusuri asal-usulnya, ia masih mempunyai hubungan garis keturunan yang disebut Kapiten Tabiwaka Tiahahu, yaitu orang tua dari Paulus Tiahahu ayahnya sendiri, berarti Marta memiliki titisan darah “kapiten” atau sifat pemberani. Masa kanak-kanak Marta kurang menguntungkan, sebab ibunya cepat meninggal dunia sehingga tanggung jawab mengasuh, mendidik serta membesarkannya seluruhnya ditangani oleh ayahnya sendiri. Karena sejak dari kecil Marta sudah dekat dengan ayahnya, apa dan bagaimana tingkah laku serta sikap ayahnya ia sangat memahami, bahkan tanpa disadarinya ia meniru seluruh tindak tanduk ayahnya itu, terutama masalah keberanian yang dimiliki oleh ayahnya. Sejarah Bangsa Indonesia mencatat jauh sebelum Marta hadir di dunia ini, daerah Maluku sudah sering dikunjungi Bangsa Eropa, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Pada awalnya, tujuan kedatangan mereka, khususnya Portugis dan Spanyol berdagang dengan cara membeli apa yang dihasilkan bumi Maluku, seperti cengkeh dan pala untuk mereka bawa dan jual di Eropa. Namun, semakin lama tujuan itu menjadi melenceng dengan adanya keinginan Bangsa Eropa itu untuk menguasai tanah Maluku, karena daerah ini dianggap sangat menguntungkan. Demikian juga dengan daerah Nusa Laut tempat Marta Christina Tiahahu dilahirkan. Belanda mencoba untuk menguasai wilayah ini dengan cara-cara kekerasan. Lewat Organisasi perdagangan yang disebut dengan VOC (Verenigde Oost Indische), Belanda berhasil mengeruk keuntungan lebih banyak lagi. Keuntungan itu Belanda peroleh dengan menggunakan sistem monopoli barang dagangan, terutama cengkeh dan pala. Sistem monopoli yang dilakukan Belanda sering dilakukan kurang manusiawi. Tujuan monopoli itu adalah untuk menjaga supaya harga rempahrempah itu tetap stabil. Sistem monopoli yang dilaksanakan itu sering juga dibarengi dengan menggunakan alat senjata, seperti pistol untuk 16
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
mencapai tujuan yang dimaksud. Cara-cara seperti itu pada dasarnya sangat menyakiti hati rakyat Maluku.
Gambar 3.2 Patung Marta Cristina Tiahahu
Untuk lebih memantapkan tercapainya maksud dan tujuan dari pihak kompeni itu, Belanda melakukan langkah-langkah yang harus ditempuh yaitu menerbitkan peraturan-peraturan seperti keharusan bagi petani untuk menebang pohon-pohon rempahnya apabila terjadi kelebihan produksi. Kemudian, jika ada yang bersalah melakukan pelanggaran monopoli perdagangan, Belanda tidak segan-segan untuk menghukum yang bersangkutan. Di lain pihak, kadang-kadang Belanda juga memaksa para penduduk untuk menanam pohon cengkeh dan pala jika situasi barang komoditas di pasar jumlahnya berkurang atau Belanda melihat ada daerah-daerah tertentu yang dianggap tanahnya subur dan cocok untuk ditanami pohon pala dan cengkeh. Cara-cara pelaksanaan aturan itu oleh kompeni disebut dengan Hongi Tochten, yaitu menyiapkan armada untuk melakukan patroli ke daerah-daerah yang ditentukan sendiri. Selain itu, untuk memperlancar Hongi Tochten, pihak VOC mengharuskan di tiap rumah tangga menyiapkan Kora-kora dan awak kapal, dengan maksud apabila dibutuhkan/diperlukan tenaga pendayung selalu siap untuk menjalanan Kora-kora. Kora-kora adalah perahu yang dipersenjatai dengan meriam dan dilengkapi akomodasi yang mewah, serta diiringi para pemusik yang memukul irama untuk para pendayung. Mengenal Martha Christina Tiahahu
17
Sikap dan tindakan kompeni itu tidak dapat ditoleransi lagi oleh penduduk di Maluku khususnya masyarakat di pulau Nusa Laut. “Si Mutiara dari Nusa Laut” Demikian predikat yang disandang Marta Christina Tiahahu, keberaniannya mulai terlihat ketika terjadi perang “Patimura” pada tahun 1817, senasib sepenanggungan dirasa bersama, demikianlah yang terjadi pada tanggal 14 Mei 1817 di hutan Saniri berkumpul seluruh rakyat Maluku, dan di sana terlihat juga Thomas Matulessy sebagai pemimpin rakyat Maluku, termasuk Paulus Tiahahu dan Marta Christina Tiahahu, mereka datang atas nama masyarakat dari Nusa Laut untuk mengikuti musyawarah di hutan Saniri.
Gambar 3.3 Thomas Matulessy
Kesepakatan yang berhasil dicapai adalah melakukan peperangan dengan sasaran benteng-benteng pertahanan Belanda, seperti Benteng Duurstede dan lain sebagainya yang ada di Maluku. Marta Christina Tiahu dan Paulus Tiahu datang terlambat ke tempat pertemuan tersebut, karena memang Paulus Tiahu tidak mengizinkan putrinya untuk ikut dalam musyawarah tersebut, mengingat selain karena ia wanita dan juga ini dianggap sangat berbahaya jika ia turut terlibat dalam pertemuan itu. Walaupun berbagai dalih sudah diterangkan oleh ayahnya, ia tetap bersiteguh ingin mendampingi ayahya. Ia ingin mengetahui kebenaran dari cerita-cerita yang pernah ia dengar dari ayahnya. Ketetapan hatinya ini membuat Paulus Tiahahu tidak berdaya, sehingga meluluskan keinginan putrinya tersebut. 18
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Ada argumentasi dan silang pendapat antara anak dengan ayah, mengakibatkan tersisanya waktu sehingga hal ini pula yang membuat mereka terlambat datang ke pertemuan itu, apalagi jarak tempuh dari Nusa Laut ke hutan Saniri (Saparua) harus melalui transportasi kapal/ perahu. Pada pertemuan itu, Marta Christina Tiahahu bisa merasakan bagaimana menggebu-gebunya perasaan rakyat Maluku untuk menentang kekuasaan yang dilakukan pihak kolonial. Rancanganrancangan dan strategi diatur sedemikian rupa dan pada saat itu semua yang hadir merasa persiapan mereka cukup matang. Marta Christina Tiahahu melihat dan mendengar sendiri bagaimana ayahnya mengungkapkan pemikiran-pemikirannya pada pertemuan di hutan Saniri itu. Ayahnya berpidato dan menyampaikan aspirasi serta pendapatnya sebagai berikut. “Thomas, raja-raja dan orang kaya, saya keberatan terhadap tindakan pemerintah Belanda yang sewenang-wenang terhadap rakyat. Oleh karena itu, saya akan turut serta dalam gerakan perlawanan terhadap Belanda. Hanya ada satu permintaan saya, ijinkan anak saya, Marta Christina Tiahahu, ikut mendampingi saya dalam medan pertemuan. Ia juga memohon dengan sangat agar diperkenankan memanggul senjata dan terus mendampingi saya”, kata Paulus Tiahahu. Kata sambutan dari Paulus Tiahahu tersebut sangat direspon oleh Thomas Matulessy. Thomas mengatakan bahwa ia mengijinkan Marta Tiahahu memanggul senjata dengan tujuan supaya berakhir kekuasaan Kolonial di tanah Bumi Maluku. Keputusan rapat yang telah disepakati itu segera terealisasi sesuai dengan front-front pertemuan yang telah diorganisasi, seperti pimpinan rakyat wilayah Nusa Laut adalah Kapiten Abubu, Paulus Tiahahu, dan Marta Christina Tiahahu serta raja Titawaoi bernama Hehanusa. Selain para pemimpin tersebut, Patimura juga mengirim panglimanya bernama Anthone Rhebok ke Nusa Laut untuk mempersiapkan dan memperkuat strategi perjuangan. Tugas utama Rhebok adalah Mengenal Martha Christina Tiahahu
19
mengkoordinasi pertahanan di Nusa Laut, serta mengangkat Paulus Tiahahu sebagai kapitan Nusa Laut. Keempat pejuang dari Nusa Laut, yaitu Paulus Tiahahu, Marta Christina Tiahahu, Hehanusa, dan Rhebok segera mengadakan serangan terhadap benteng Beverwijk di Sila Leinitu. Benteng itu berhasil direbut oleh keempat pejuang itu. Pada saat penyerangan, serdadu Belanda yang berada di dalam benteng itu seluruhnya meninggal, kecuali seorang Kopral Belanda bernama Biroe dan dua orang serdadu berbangsa Indonesia dapat menyembunyikan dirinya dengan pertolongan dua orang kaki tangan penjajah. Dalam perjuangan untuk merebut benteng tersebut, Marta Christina Tiahahu menunjukkan keberaniannya yang luar biasa. Ia telah mengobarkan semangat perjuangan dan menanam rasa permusuhan yang mendalam kepada seluruh rakyat untuk bangkit melawan Belanda. Ia adalah Srikandi dan Nusa Laut yang mempunyai sifat yang tidak takut mati dan setia kepada negerinya. Terjadinya perebutan atas benteng Beverwijk tersebut membuat Belanda menjadi marah besar. Pada tanggal 4 Juli, pemimpin Belanda yang ada di Ambon segera mengirim satu buah ekspedisi ke Saparua, terdiri dari tiga buah kapal, yaitu kapal Maria Reibersbergen, Iris, dan The Dispatch. Ekspedisi di bawah pemimpin Overste Groot ini berangkat menuju Hatawano, yaitu daerah bagian utara pulau Saparua. Pada ekspedisi kali ini, Belanda mengikut sertakan beberapa orang Ambon Borgor dan orang-orang Bugis sebagai awak kapalnya. Maksud kompeni, beberapa awak kapal tersebut akan diadu domba dengan pasukan rakyat. Kedatangan ekspedisi ini diketahui oleh Pattimura, sehingga mereka juga mempersiapkan diri menghadapi kedatangan musuh. Selain itu untuk menghadang musuh, Pattimura mengirim utusan-utusan ke negeri-negeri untuk memerintahkan para kapitan serta pasukannya bergerak ke Hatawanu. Dari tanggal 9-12 Juli, di Hatawanu terjadi pertempuran besarbesaran; suara tembakan terdengar selama beberapa hari. Di pihak Kompeni dan pasukan rakyat, sama-sama bertahan karena tidak dapat 20
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
dilumpuhkan. Oleh karena itu, pihak Overste Groot, pemimpin ekspedisi, memutuskan untuk menghentikan tembak-menembak. Pihak Belanda mengambil inisiatif menaikkan bendera merah-putih serta mengajak rakyat untuk berunding. Walaupun sudah diadakan perundingan-perundingan, pihak kompeni sering mengabaikan kesepakatan itu, sehingga menimbulkan amarah bagi rakyat. Dalam jumlah yang besar, pasukan rakyat berhasil mengalami kemenangan, sehingga sebagian daerah-daerah dapat dikuasai. Namun Jazirah Hitu bagian Barat dan pulau Haruku berhasil pula dikuasai Belanda, membuat rakyat lebih berhati-hati karena daerah Saparua akan menjadi sasaran pihak kolonial. Upaya yang dilakukan oleh pihak pasukan rakyat adalah membuat kubu-kubu pertahanan. Kubu-kubu itu didirikan di berbagai tempat dengan konstruksi cukup kuat. Kemudian di sekitar benteng, sepanjang pantai serta pinggir lautan yang diperkirakan akan dilalui musuh, digali lubang dan diberi ranjau. Sementara itu, Anthone Rhebok ditugaskan menuju daerah Nusa Laut, supaya raja Patih, para Kapiten beserta pasukan segera ke Saparua untuk memperkuat pertahanan. Upaya yang dilakukan cukup baik, namun Belanda lebih licik mengupayakan agar daerah-daerah di seluruh Maluku dapat dikuasai. Sedangkan yang dilakukan Belanda adalah memutuskan hubungan Saparua dengan Nusa Laut dan daerah Seram. Akhirnya, setelah daerah Saparua di Blokade, dari Saparua pula Belanda melakukan penyerangan secara serentak ke berbagai daerah lain. Terjadi tembak-menembak yang cukup seru, pasukan rakyat mencoba untuk bertahan namun tidak berhasil, sehingga satu per satu daerah-daerah di Maluku dapat dikuasai Belanda, bahkan daerah Porto dan Harian dibumihanguskan oleh Belanda, juga daerah Saparua dan Tiowu. Aksi pada 13 November 1817 itu mengakibatkan para pemimpin rakyat ditangkap dan ditahan pihak kolonial, termasuk Paulus Tiahahu dan Marta Christina Tiahahu. Pemeriksaan atas kedua orang ini dilakukan oleh Buyskes di atas kapal Eversten. Keputusan dari hasil Mengenal Martha Christina Tiahahu
21
pemeriksaan itu adalah Paulus divonis untuk dijatuhi hukuman mati dan tempat pelaksanaannya di daerah Nusa Laut. Mendengar berita itu, Marta sangat histeris dan tidak dapat menerima keputusan itu. Upaya yang dilakukannya adalah memohon kepada Buykes agar vonis itu dijatuhkan untuknya saja dengan alasan ayahnya sudah tua. Permintaan itu ditolak oleh Buykes dengan alasan umurnya masih terlalu muda, bahkan ia dibebaskan dari hukuman. Di daerah Nusa Laut dilakukan eksekusi terhadap Paulus, dengan alasan supaya rakyat Nusa Laut tidak berani lagi menentang Belanda. Jalannya eksekusi berlangsung sesuai dengan rencana, Paulus ditembak mati tanpa disaksikan putrinya Marta. Kepergian ayahnya itu membuat Marta tidak semangat untuk hidup, ia menjadi sering sakit. Walaupun pihak Belanda berusaha menghibur hatinya, bahkan suka mengirim obat-obatan ia tidak pernah menggubris pemberian itu. Pada 2 Januari 1818, akhirnya Marta Christina Tiahahu meninggal dunia, kemudian jenazahnya dibuang ke Laut Banda atas perintah Ver Huel. Untuk mengenang perjuangannya, ditetapkan tanggal 2 Januari sebagai hari Marta Christina Tiahahu dengan latar belakang Laut Banda. Di Kota Ambon juga didirikan patung Marta terbuat dari perunggu terdapat di daerah Karang Panjang.
Gambar 3.4 Patung Marta Christina Tiahahu 22
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Bagian
4
Mengenal Nyai Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan
Nyai Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan (1872—1946) diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 042/TK/TH 1971, tanggal 22 September 1971. Kecintaan terhadap Aisyiyah bertitik-tolak dari pengorbanan yang tiada tara dari istri pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, yaitu Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah) dengan iman dan tauhid yang mendalam. Hajjah Siti Walidah berhasil membimbing dan memimpin kaum wanita Islam Indonesia mencapai cita-cita kemerdekaan In-donesia. Sejarah mencatat, Nyai Dahlan lahir pada 1872 di Desa Pesantren Kauman, Yogyakarta. Ayah beliau Kiai Penghulu Haji Muhammad Fadhil bin Kiai Pen-ghulu Haji Ibrahim, ulama besar yang disegani masyarakat. Haji Muhammad memangku jabatan Penghulu Keraton Dalem Yogyakarta Hadiningrat. Tidak pernah diam bergandengan tangan dua sejoli, terus mengembangkan Muhammadiyah dan Aisyiyah, serta melakukan dakwah ke pedalaman-pedalaman seputar Jawa dan Sumatera. Siti Walidah selalu setia mendampingi sang suami mengemban misi keumatan, walaupun di sana-sini terdapat rintangan dari pihak-pihak yang tidak senang dengan pembaruan.
Mengenal Nyau Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan
23
Nyai Dahlan adalah pemuka agama terkenal. Dia tidak bosan mernberi ceramah dan pengajian, walaupun kehidupan keluarga cukup sederhana-demi tegaknya ajaran Islam dan terangkatnya harkat serta martabat kaum wanita Indonesia. Menurut sejarah, pengorbanannya terhadap perjuangan Islam dan organisasi besar sekali, apalagi terhadap kemerdekaan Indonesia.
Nurani Ibu Ksatria Dalam usia yang lanjut, dia masih bersemangat dan berpidato dengan cekatan. Pada 1930, Nyai Dahlan mulai dikenal dalam tubuh Muhammadiyah dan Aisyiyah serta masyarakat Indonesia. Ketika memimpin Muktamar Aisyiyah di kota sejuk Bukt Tinggi, dalam usia 58 tahun, amat bersemangat memberikan pokok pikiran yang brilian. Beliau pun membaktikan diri ke desa-desa terpencil untuk membuktikan jiwa kerakyatan dengan semangat kekeluargaan. Itikad baik yang mendalam bagi beliau adalah sewaktu berkunjung tablig akbar di Purwokerto yang banyak mendapat kunjungan pemuda Hizbul Wathan (HW). Dalam ceramahnya, dia berpesan secara tegas agar daerah Purwokerto di masa datang, hendaknya menjadi daerah pencontohan Muhammadiyah dan Aisyiyah. Ternyata, semakin hari daerah tersebut terus berkembang dengan paham pembaruan. Soedirman (kelak Panglima Besar) turut aktif sebagai tokoh HW dan murid Sekolah Guru Muhammadiyah. Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Nyai Dahlan memotivasi kaum wanita/santri untuk selalu mewaspadai segala bentuk penindasan dan kesewenangan kaum kolonial. Sarana pondok pesantren digerakkannya sebagai alat perjuangan.
24
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Dalam bidang pendidikan, beliau menganjurkan organisasi Muhammadi-yah di mana pun berada mendirikan sekolah-sekolah umum. Pelajaran bukan saja masalah agama, melainkan mata pelajaran lain diikutsertakan juga. Dalam perjuangan kemerdekaan, ceramahnya selalu menjadikan hati pen-dengar terdetak bangkit jihad dalam menumpas penjajah. Kelembutan dan kerasnya suara beliau adalah dari hati sanubari seorang ibu ksatria yang cinta kemerdekaan dan kebangkitan Islam. Ketika waktu berpisah telah tiba dengan suami tercinta (tepatnya 23 Februari 1923) menghadap Sang Khaliq, namun tekad baja jihad fisabilillah yang telah ditanamkan sang suami dalam mengangkat harkat, martabat bangsa dan kaum wanita selalu ia pegang dan camkan dalam-dalam. Sejarah juga mencatat pada pesta akbar Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah di Surabaya 1926, Siti Walidah berpidato menggemparkan rakyat Surabaya dan sekitarnya. Surat kabar waktu itu Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po memuat penuh acara tersebut. Media massa itu kagum akan keberhasilan dan pengaruh yang dalam dari Nyai Dahlan. Sejak peristiwa itu, Nyai Dahlan dianggap lebih dari seorang wanita serigala podium yang dapat membangkitkan semangat perjuangan sekaligus wanita ulet dan gesit membuat Belanda harus membuat perhitungan dengannya, dengan ancaman dan peringatan. Siti Walidah sering memberi sejumlah tawaran pemikiran kepada Kongres Wanita Utomo, Wanita Taman Siswa, Puteri Indonesia, Wanita Katolik, Jong Java Wanita, dan organisasi lainnya.
Mengenal Maria Walanda Maramis
25
Berselang setahun usia kemerdekaan RI ia geluti, beliau dipanggil Allah swt., tepat tanggal 31 Mei 1946. Tanggal bersejarah kepulangan Nyai Dahlan menghadap Sang Khaliq membuat bangsa Indonesia kehilangan salah seorang ibu berhati baja, sejati, pelopor kebangunan Islam di Indonesia sekaligus prajurit agung wanita Indonesia, selain Cut Nyak Dien (Aceh), Martha Christina Tiahahu (Nusa Laut), Raden Ayu Ageng Serang (Semarang), Cut Nyak Meutia (Aceh), R.A. Kartini (Demak), Maria Yosephine Catherina Maramis (Sulawesi Utara), Dewi Sartika (Jawa Barat), dan Hajjah Rasuna Said (Padang).
26
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Bagian
5
Mengenal Maria Walanda Maramis
Maria Walanda Maramis (1872—1924) merupakan Pahlawan Pergerakan Nasional. Dia dikukuhkan sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969. Maria Yosephine Maramis dilahirkan di Kema, Sulawesi Utara, pada 1 Desember 1872. Pada usia enam tahun sudah menjadi anak yatim piatu dan sejak saat itu diasuh oleh seorang pamannya. Pendidikan di sekolah hanya ditempuh sampai Sekolah Dasar. Pada waktu itu, gadis-gadis Minahasa tidak diizinkan bersekolah di sekolah yang lebih tinggi dari Sekolah Dasar. Mereka harus tinggal di rumah untuk menunggu saat menikah. Maria banyak bergaul dengan orang terpelajar, seperti Pendeta Ten Hove. Karena pergaulan itu, pengetahuannya bertambah luas, lalu bercita-cita untuk memajukan kaum wanita Minahasa. Mereka harus memperoleh pendidikan yang cukup agar kelak dapat mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak. Perkawinan dengan Yoseph Frederik Calusung Walanda, seorang guru HIS Manado pada 1890, membuka kemungkinan yang besar untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dengan bantuan suami dan beberapa orang terpelajar lainnya, pada Juli 1917, ia mendirikan organisasi yang diberi nama Percintaan Ibu kepada Anak Turunannya (PIKAT). Tujuan organisasi ini ialah mendirikan sekolah-sekolah rumah tangga untuk mendidik anak-anak perempuan yang telah menamatkan Sekolah Dasar. Tujuan baik itu mendapat sambutan luas dan berkat kerja keras, dalam waktu singkat, cabang-cabang PIKAT berdiri di beberapa tempat. Di Jawa dan Kalimantan, terdapat cabang-cabang PIKAT. Mengenal Maria Walanda Maramis
27
Kegiatan organisasi diperkenalkan kepada masyarakat melalui karangan-karangan yang dimuat dalam beberapa surat kabar. Bantuan terhadap PIKAT mulai mengalir. Sekolah PIKAT yang pertama berdiri pada Juli 1918. Dalam sekolah itu, diajarkan caracara mengatur rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan keterampilan lainnya. Guru-guru tidak digaji. Mereka bekerja sukarela untuk memajukan kaum wanita. Dari tahun ke tahun, PIKAT semakin berkembang. Namun, halangan banyak pula yang dihadapi, terutama dalam masalah biaya untuk mengongkosi sekolah. Untunglah Maria tidak patah hati. la terus berusaha sekuat tenaga mengatasi setiap kesulitan. Pada 1920, Gubernur Jenderal Belanda mengunjungi sekolah PIKAT dan memberikan sumbangan uang. Kepada murid-murid ditanamkan rasa kebangsaan. Mereka dianjurkan agar selalu memakai pakaian daerah. Kepada anak-anaknya Maria berpesan, “Pertahankanlah bangsamu!” Beliau meninggal dunia pada Maret 1924 dan dimakamkan di Maumbi, Sulawesi Utara.
28
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Bagian
6
Mengenal Rasuna Said
Hj. Rasuna Said (1910–1965) digelari Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974, tanggal 13 Desember 1974. Rasuna Said dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat, pada 14 September 1910. Setelah menamatkan Sekolah Desa di Maninjau, dia meneruskan pelajaran ke Diniyah School di Padang Panjang. Selain itu, dia belajar pula di sekolah rumah tangga untuk anak-anak perempuan dan di sekolah Thawalib. Di dalam dunia pergerakan, Rasuna Said termasuk kaum muda yang berpikiran maju. Mula-mula memasuki Sarekat Rakyat dan diangkat sebagai sekretaris cabang. Pada 1930, dia memasuki Permi (Persatuan Muslimin Indonesia, kemudian menjadi Partai Muslimin Indonesia) yang berhaluan Islam dan nasionalisme. Dalam Permi itu, dia menjabat anggota Pengurus Besar. Dia terkenal pandai berpidato. Karena pidato-pidato itu selalu berisi kecaman terhadap Pemerintah Belanda, sering dihentikan oleh alat-alat kekuasaan kolonial sewaktu berpidato. Karena dianggap membahayakan Belanda, dia ditangkap pada1932 dan dipenjarakan di Semarang. Selain bergerak di bidang politik, dia giat pula memajukan pendidikan dan berjuang untuk mencapai persamaan hak antara lakilaki dan wanita. Rasuna Said mendirikan sekolah Thawalib di Padang dan memimpin Sekolah Kursus Putri. Setelah Permi bubar pada 1937, dia pindah ke Medan dan berjuang di bi-dang pendidikan antara lain dengan mendirikan Perguruan Putri. Selain itu, dia menjadi pemimpin majalah Menara Putri.
Mengenal Rasuna Said
29
Pada jaman pendudukan Jepang, dia turut mendirikan Pemuda Nippon Raya di Padang. Organisasi itu digunakan untuk menggembleng para pemuda agar berjuang untuk mencapai kemerdekaan. Akibatnya, Pemuda Nippon Raya dibubarkan oleh Jepang. Dalam masa Perang Kemerdekaan, Rasuna banyak menyumbangkan tenaga untuk perjuangan. Dia duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatra sebagai wakil daerah Sumatera Barat, di samping menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Bahkan kemudian diangkat sebagai anggota Badan Pekerja KNIP. Sesudah Pengakuan Kedaulatan, dia diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR-RIS) dan kemudian menjadi anggota DPR Sementara. Selain giat bergerak di bidang kewanitaan, antara lain dalam Perwari, pada 1959 dia diangkat pula menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Beliau meniggal dunia di Jakarta pada 2 November 1965 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
30
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Bagian
7
Mengenal Raden Dewi Sartika
Raden Dewi Sartika (1884–1947) dikukuhkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 252 Tahun 1966, tanggal 1 Desember 1966. Siapakah tokoh yang disebut sebagai Permata Pasundan ini?
Gambar 7.1 Dewi Sartika
Dewi Sartika yang lahir dari keluarga “Menak” di Bandung yang dilingkungan keluarganya lebih akrab dipanggil Uwi adalah putri dari perkawinan Raden Rangga Somanagara dengan Raden Ayu Rajapermas.
Mengenal Raden Dewi Sartika
31
Dewi Sartika lahir di Bandung pada tanggal 4 Desember 1884, ketika ayahnya menjabat sebagai Patih Afdeling Mangunreja. Tujuh tahun kemudian, ayahnya dilantik menjadi Patih Bandung. Raden Rangga Somanegara adalah salah seorang putra dari perkawinan Raden Demang Suria Dipraja dengan Raden Ayu Komalanegara. Kakeknya dari garis ayah dikenal sebagai Hoofd Djaksa (Jaksa Kepala) di Bandung. Selain itu, Dewi Sartika masih keturunan Keluarga Dalem Timbanganten yang menjadi cikal bakal pendiri kabupaten Bandung. Ibunya Raden Ayu Rajapermas merupakan salah seorang putri dari Raden Aria Adipati Wiranatakusumah VI yang pernah menjabat sebagai Bupati Bandung (1846-1874) dan lebih dikenal dengan sebutan Dalem Bintang yang dikenal sebagai Bupati yang arif dan dekat dengan rakyat. Nama Dalem Bintang tetap mengakar di masyarakat Bandung hingga kini. Saat di Bandung, Dewi Sartika tinggal bersama orang tua dan saudara-saudaranya disebuah rumah besar yang terletak di Kepatihan Straat. Rumah besar itu terbuat semi permanen berhalaman sangat luas terletak persis dipinggir jalan raya. Diberanda terlihat pot-pot bunga besar berisi berisi tanaman suplir dan kuping gajah yang ditata dengan rapi. Sedangkan di halamannya yang cukup luas, ditumbuhi berbagai tanaman serta bunga yang asri, termasuk diantaranya bunga hanjuang merah yang menjadi ciri khas orang Sunda. Karena ayahnya menjabat sebagai Patih Bandung, Dewi Sartika dan saudara-saudaranya diperbolehkan mengikuti sekolah di Eerste Klasse School, yakni sekolah setingkat sekolah dasar, yang sebetulnya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan peranakan. Di situ mereka mendapat kesempatan belajar bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Sehari-harinya Dewi Sartika berpembawaan agak berbeda dari anak wanita umumnya. Gerak geriknya lincah, sigap dan berani. Bicaranya pun lugas dengan tutur kata yang tegas dan terkadang bernada keras.
32
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Kendati sehari-hari ia mengenakan kebaya dan kain panjang, boleh dikatakan Dewi Sartika berpembawaan agak tomboy. Kehidupan sehari-hari diurus dan dilayani oleh para abdi dalem yang setia, patuh, dan hormat. Mereka menerima segala perintah tanpa berani menolak. Pendek kata, Dewi Sartika bersama saudara-saudaranya jauh dari kesusahan dan kesengsaraan. Untuk acara tertentu yang cukup penting, Patih Somanagara akan menyertakan anak-anaknya. Misalnya menonton acara pacuan kuda di Tegallega, pergelaran hiburan rakyat dan sebagainya. Dari kegiatan demikian, Dewi Sartika menyerap banyak pengetahuan yang memperkaya wawasan dirinya.
Sumber Sumber: Sang Perintis: R. Dewi Sartika oleh Yan Daryono
Gambar 7.2 Dewi Sartika dan guru-guru Sakola Kautaman Istri
Pada masa penjajahan Belanda, nasib wanita pribumi dari golongan “Menak” maupun dari masyarakat kebanyakan sungguh sangat memprihatinkan. Mereka tidak diberi kesempatan untuk
Mengenal Raden Dewi Sartika
33
berkembang, hidup terkurung di dalam rumah bertugas melayani kebutuhan suami. Sangat menyedihkan, bahwa jika suaminya meninggal, sang istri tidak dapat berbuat banyak. Kaum wanita pada waktu itu sangat bergantung kepada kaum pria. Semua ini menyadarkan Dewi Sartika, bahwa selayaknya kaum pribumi mampu mandiri dan terampil supaya menjadi tiang keluarga yang kokoh. Untuk itu, perlu adanya pendidikan bagi kaum wanita dan dibina sesuai dengan fitrahnya, sehingga dikemudian hari mereka menjadi Ibu yang baik dan sanggup melindungi keluarganya. Dewi Sartika percaya bahwa dari Ibu yang baik akan lahir generasi yang baik. Itulah yang menjadi landasan Dewi Sartika mencetuskan gagasan mendirikan sekolah wanita pribumi yang pertama di Indonesia. Seperti yang diungkapnya dalam salah satu karangannya sebagai berikut. “Menurut pendapat saya, barangkali dalam hal ini bagi wanita tidak akan sangat banyak berbeda dengan pria. Di samping pendidikan yang baik, ia harus dibekali pelajaran dengan sekolah yang bermutu. Perluasan pengetahuan akan berpengaruh kepada moral wanita pribumi. Pengetahuan tersebut hanya diperolehnya dari sekolah.” Pada tahun 1902, Dewi Sartika melakukan kegiatan pendidikan dengan memberikan pendidikan kepada sanak keluarganya yang wanita. Kegiatannya, antara lain mendidik mereka merenda, memasak, jahit menjahit, membaca, menulis dan sebagainya. Kegiatan ini dilakukan di sebuah ruangan kecil di belakang rumah ibunya di Bandung. Sebagai imbalan atas pelajarannya yang diberikan Dewi Sartika, mereka yang mengikuti proses belajar membawakan Dewi Sartika dan ibunya makanan, beras, garam buah-buahan, dan sebagainya. Kegiatan Dewi Sartika tersebut lambat laun tercium oleh C. Den Hammer yang menjabat sebagai Inspektur Pengajaran Hindia Belanda
34
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
di Bandung. Pada awalnya, Den Hammer menilai kegiatan Dewi Sartika sebagai suatu kegiatan liar yang membahayakan dan patut dicurigai. Namun, pada akhirnya setelah dilihat dari dekat C. Den Hammer beranggapan, bahwa kegiatan Dewi Sartika tersebut tidak membahayakan dan bahkan dinilai positif. Den Hammer sangat terkesan dengan pemikiran dan obsesi Dewi Sartika yang sangat berhasrat mendirikan sekolah wanita untuk kaum pribumi. Namun, pendirian sekolah tersebut tidak dilakukannya dengan mudah karena masih ada pihak-pihak yang menentang gagasan tersebut dengan alasan bertentang dengan adat istiadat seperti yang diungkapkan oleh Dewi Sartika dalam salah satu artikelnya. “Sayang masih banyak di antara orang-orang setanah air saya yang rupanya selalu berusaha untuk lebih dahulu menentang segala yang baru”. Dengan adanya kejadian tersebut, Den Hammer sangat prihatin dan mengusulkan kepada Dewi Sartika untuk meminta bantuan dari Bupati Bandung R.A. Martanegara. Awalnya, Dewi Sartika merasa ragu untuk mengikuti usul C. Den Hammer. Hal itu dikarenakan Dewi Sartika belum bisa melupakan pengalaman pahit yang menimpa keluarganya sembilan tahun silam, yaitu ketika ayahnya—Raden Rangga Somanegara—harus melaksanakan hukuman buang ke Ternate hingga wafat di sana. Ayahnya dihukum buang oleh Pemerintah Hindia Belanda karena menentang pelantikan R.A. Martanegara sebagai Bupati Bandung. Dewi Sartika sudah bisa membayangkan bahwa ia akan kena marah ibunya dan mungkin akan dimusuhi oleh saudara-saudaranya. Akan tetapi, setelah ditimbang baik dan buruknya, akhirnya Dewi Sartika memberanikan diri menghadap Bupati Bandung.
Mengenal Raden Dewi Sartika
35
R. A. Martanegara sangat terkejut ketika mengetahui Dewi Sartika putri mantan Patih Bandung bermaksud menghadapnya. Ia menjadi lebih terkejut lagi, manakala mendengar uraian gagasan Dewi Sartika yang sangat ingin mendirikan sekolah bagi kaum wanita pribumi. Namun rasa haru dan kagumnya disembunyikan di dasar lubuk hatinya. R.A. Martanegara tidak langsung menyanggupi akan menolong Dewi Sartika karena ia perlu waktu untuk merundingkan gagasan tersebut dengan sejumlah sahabat serta kerabat dekatnya. Tidak lama setelah itu Dewi Sartika dipanggil agar menghadap Bupati Bandung di Pendopo Dalem. Dengan hati berdebar dan waswas, Dewi Sartika memenuhi panggilan tersebut. Pada saat inilah R.A. Martanegara mengatakan kepada Dewi Sartika. “Nya atuh Uwi, ari Uwi panting jeung kekeuh hayang mah, mugi-mugi bae dimakbul ku Allah nu ngawasa sekuliah alam, urang nyoba-nyoba nyien sakola sakumaha kahayang Uwi. Pikeun nyegah bisi aya ka teu ngeunah di akhir, sekolah teh hade lamun di pendopo wae heula. Lamun katanyaan henteu aya naon-naon, pek bae pindah ka tempat sejen”. (Terjemahan bebasnya kira-kira begini: Kalau memang tekad Uwi sudah bulat, mudahmudahan dikabulkan oleh Allah Yang Mahakuasa. Kita coba membuat sekolah sesuai dengan keinginan Uwi. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, lebih baik sekolah didirikan sementara di dalam pendopo. Kalau sudah berjalan dengan baik, silakan cari tempat yang lain). Ucapan Bupati Bandung tersebut menandakan dukungan dan perlindungan atas rencananya mendirikan sekolah untuk wanita pribumi. Maka pada tanggal 16 Januari 1904, Sakola Istri berhasil dibentuk. Tenaga pengajarnya 3 orang, yakni Dewi Sartika sendiri dibantu oleh dua orang saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi Oewid. Untuk sementara waktu, tempat belajar diperoleh dengan meminjam ruangan di Paseban Barat di halaman depan rumah Bupati Bandung. Murid yang diterima untuk pertama kalinya adalah sebanyak 60 siswi yang sebagian besar berasal dari masyarakat 36
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
kebanyakan. Pada tahun 1905, karena ruangan tidak mampu lagi menampung jumlah siswi yang terus bertambah, sekolah tersebut dipindah ke jalan Ciguriang-Kebun Cau. Lokasi yang baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, ditambah sedikit bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung.
Sumber Sumber: Sang Perintis: R. Dewi Sartika oleh Yan Daryono
Gambar 7.3 Para siswa Sakola Kautaman Istri
Kegiatan Dewi Sartika sebagai kepala sekolah memang cukup banyak menyita waktu. Ia berangkat pagi-pagi sekali dan pulang tengah hari. Begitu berlangsung setiap harinya, sehingga menimbulkan keibaan bagi ibunya, Rajapermas. Ia tak ingin melihat putrinya bertambah usia dan tidak kunjung juga menentukan suami yang mendampinginya. Dewi Sartika pada mulanya pernah dilamar oleh keluarga Pangeran Djajadiningrat dari Banten untuk nikah dengan salah satu putra dari keluarga Pangeran Djajadiningrat. Mengenal Raden Dewi Sartika
37
Namun, lamarannya ditolak dengan alasan belum pernah mengenalnya. Meskipun demikian, ibunya sangat berkenan dengan pria tersebut. Pada satu hari ketika Dewi Sartika sedang membantu menyediakan hidangan di rumah Bupati, Dewi Sartika bertemu dengan seorang pria gagah yang telah menggugah hatinya. Pria tersebut bernama Raden Kanduruan Agah Suriawinata, salah seoarang guru di Erste Klasse School di daerah Karang Pamulang. Pertemuan di rumah Bupati tersebut terus berlanjut menjadi hubungan yang lebih akrab. Pada mulanya, R.A. Rajapermas menyatakan keberatannya jika Dewi Sartika menikah dengan Raden Agah. Menurutnya, Raden Agah dianggap tidak setara untuk menjadi suami Dewi Sartika, sedangkan Dewi Sartika adalah putri seorang Patih Bandung yang sangat disegani oleh banyak pihak. Dewi Sartika kecewa dan menganggap, bahwa ibunya berpandangan kolot dan tidak realistis. Dewi Sartika merasa lebih baik menikah dengan Raden Agah yang hanya seorang guru, tetapi justru sangat dicintai dan dikaguminya. Dibandingkan apabila menikah dengan seorang keluarga Pangeran Banten yang tidak dikenal dan tidak dicintainya. Meskipun ditentang oleh ibunya, Dewi Sartika tetap saja menjalin hubungan dengan Raden Agah. Ia tidak peduli pada penilaian sebagian Menak yang mempersoalkan hubungannya dengan guru Eerste Klasse School di Karang Pamulang itu. Raden Agah merasa prihatin terhadap sikap keluarga Dewi Sartika yang tidak menyukainya hanya karena derajat kebangsawanan yang berbeda. Kemudian, Raden Agah memutuskan untuk melakukan samadi di makam R.A.A. Wiranatakusumah IV, karena almarhum adalah kakek Dewi Sartika dari garis Ibu yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai bupati arif dan bijaksana. Dalam samadi yang khusuk, Raden Agah memohon kepada Yang Mahakuasa agar hatinya dipertemukan dengan roh almarhum untuk memohon restu jika ia ingin menikahi Dewi Sartika. Ternyata Yang Mahakuasa mengabulkan doanya. Bila semula R.A.Rajapermas tidak merestui dan 38
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
mengizinkan Raden Agah untuk menikahi Dewi Sartika, kini malah berbalik menyetujui dan mengizinkannya. Pada tahun 1906, resmilah Raden Kanduruan Agah Suriawinata menjadi suami Dewi Sartika. Pernikahan dilangsungkan secara sederhana, namun banyak yang hadir untuk memberikan restu. Dewi Sartika dan Raden Agah mengalami perkawinan yang sangat bahagia. Namun pada tanggal 25 Juli 1939, Raden Agah yang sangat dicintai Dewi Sartika meninggal dunia. Meskipun demikian, perasaan sedih ditinggal oleh suaminya tidaklah mematahkan semangat Dewi Sartika, karena tugas untuk memajukan sekolah wanita belum selesai. Seperti biasa pula, sebelum waktu belajar dimulai Dewi Sartika akan berdiri di depan ruangan sekolahnya membunyikan lonceng kuningan yang nyaring sebagi tanda dimulainya waktu belajar.
Sumber Sumber: Sang Perintis: R. Dewi Sartika oleh Yan Daryono
Gambar 7.4 Dewi Sartika dan suaminya, R. Kanduruan Agah Suriawinata
Mengenal Raden Dewi Sartika
39
Pada 5 November 1910, persisnya hari Minggu pukul 19.00 WIB, Perkumpulan Kautamaan Istri dibentuk oleh Residen Periangan W.F.L. Boissevain dikediamannya (sekarang dikenal dengan dengan nama Gedung Pakuan). Hadir dalam peresmian itu, antara lain Inspektur Pengajaran J.C.J. Van Bemmel, Bupati Bandung R.A.A. Martanegara dan 2 orang Raden Ayu, Dewi Sartika dan Raden Agah, serta sejumlah pejabat Belanda dan para istrinya. Tujuan Perkumpulan Keutaman Istri itu ialah untuk mendukung pengembangan dan pembangunan sekolah wanita pribumi yang dipimpin Dewi Sartika. Tugas perkumpulan tersebut adalah berusaha menghimpun dana dari para dermawan Belanda maupun pribumi, agar dapat membantu usaha pembinaan pendidikan di sekolah wanita pribumi yang dipimpin Dewi Sartika.
Sumber Sumber: www.indonesiamedia.com
Gambar 7.5 Dewi Sartika ketika dalam sebuah pertemuan
Perkumpulan Keutamaan Istri yang dipimpin oleh istri Residen Periangan dalam waktu singkat telah membuahkan hasil, sehingga dari dana yang dihimpun mereka dapat mendirikan cabang Sakola
40
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Kautamaan Istri di daerah Sumedang, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Purwakarta, dan berbagai kota lainnya di Jawa Barat. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Sakola Kautamaan Istri menyesuaikan kurikulumnya dengan kurikulum Tweede Klasse School. Namun, bidang studi keterampilan wanita masih tetap menjadi acuan utama. Pada peringatan 35 tahun berdirinya Sekolah Raden Dewi itu, persisnya pada tanggal 16 Januari 1939, Dewi Sartika mendapat bintang emas dari Pemerintah Belanda sebagai penghargaan atas jasa-jasanya bagi masyarakat. Sebelumnya, Dewi Sartika juga memperoleh bintang perak dari Pemerintah Belanda sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Dengan demikian, Dewi Sartika tidak hanya dihargai bangsa sendiri, tetapi juga oleh bangsa yang menjajahnya. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1966, Presiden Soekarno menetapkan Dewi Sartika sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional karena jasa-jasanya sebagai pemimpin Indonesia di masa silam, yang semasa hidupnya karena terdorong oleh rasa cinta tanah air dan bangsa, memimpin suatu kegiatan yang teratur menentang penjajahan di bumi Indonesia.
Sumber Sumber: www.bandung.co.id
Gambar 7.6 Monumen Dewi Sartika menghiasai salah satu taman kantor walikota Bandung saat ini Mengenal Cut Nyak Meutia
41
Dewi Sartika meninggal pada tanggal 11 September 1947 dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu, Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian, dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar Bandung.
42
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Bagian
8
Mengenal Cut Nyak Meutia
Cut Nyak Meutia (1870–1910) dikukuhkan sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 107 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Cut Nyak Meutia dilahirkan di Perak, Aceh, pada 1870. Tiga tahun sebelum perang Aceh dan Belanda meletus, suasana perang itu mempengaruhi perjalanan hidup selanjutnya. Ayahnya merupakan hulubalang Perak, bernama Teuku Ben Daud. Waktu masih kecil, dia dipertunangkan dengan Teuku Syam Syarif, tetapi dia lebih tertarik kepada Teuku Muhammad. Akhirnya, keduanya menikah. Teuku Muhammad adalah seorang pejuang yang lebih terkenal dengan nama Teuku Cik Tunong. Sekitar tahun 1900, para pejuang Aceh yang terkenal sudah banyak yang gugur. Gerakan pasukan Belanda sudah sampai ke daerah pedalaman Aceh. Pada waktu itu, Cut Nyak Meutia bersama dengan suaminya memimpin perjuangan gerilya di daerah Pasai. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasuk-an Belanda. Bahkan, markas Belanda di Idie pernah pula diserang. Melalui pihak keluarga, Belanda berusaha membujuk supaya Meutia me-nyerahkan diri kepada Pemerintah Belanda. Namun, bujukan itu tidak berhasil. Dia termasuk pejuang yang pantang menyerah. Pada Mei 1905, Teuku Cik Tunong ditangkap Belanda dan kemudian dijatuhi hukuman tembak. Sesuai dengan pesan suaminya, Meutia kemudian kawin dengan Pang Nangru, seorang teman akrab dan kepercayaan Teuku Cik Tunong. Bersama dengan suami yang baru itu, dia melanjutkan perjuangan melawan Belanda.
Mengenal Cut Nyak Meutia
43
Karena kepungan Belanda semakin ketat, mereka masuk lebih jauh lagi ke rimba Pasai berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menghindarkan diri agar jangan sampai tertangkap. Namun, pasukannya tetap menyerang patroli-patroli pasukan Belanda yang lewat di tempat-tempat yang terpencil. Pada September 1910, Pang Nangru tewas dalam pertempuran di Paya Cicem. Cut Meutia masih dapat meloloskan diri. Beberapa orang teman Pang Nangru kemudian menyerahkan diri kepada Belanda. Meutia dibujuk supaya menyerah pula, tetapi tetap menolak. Dengan seorang anaknya yang berumur sebelas tahun, bernama Raja Sabil, dia berpindah-pindah di pedalaman rimba Pasai. Tempat persembunyiannya akhirnya diketahui juga oleh pasukan Belanda. Padat 24 Oktober 1913, tempat persembunyian Cut Meutia akhirnya terkepung Belanda. Cut Nyak Meutia mengadakan perlawanan dengan menggunakan sebilah rencong. Tiga orang tentara Belanda melepaskan tembakan. Sebuah peluru mengenai kepala dan dua buah mengenai dada Cut Meutia. Beliau gugur pada saat itu juga.
44
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Bagian
9
Mengenal Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien (1850—1908) dikukuhkan sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 106 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.
Gambar 9.1 Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dien dilahirkan di Lampadang, Aceh Besar, pada 1850. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, hulubalang VI Mukim. Dia dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda. Situasi itu berpengaruh terhadap dirinya. Dia menikah pada usia muda dengan Teuku Cik Ibrahim Lamnga. Waktu perang Aceh dan Belanda meletus pada 1873, kedua pasangan suami-istri itu sudah dikaruniai seorang anak. Pada Desember 1875, daerah VI mukim diduduki Belanda. Cut Nyak Dhien mengungsi ke tempat lain, berpisah dengan suami dan ayahnya yang terus melanjutkan perjuangan. Ibrahim Lamnga tewas dalam pertempuran di Gle Tarum pada Juni 1878. Mengenal Cut Nyak Dhien
45
Cut Nyak Dhien bersumpah hanya akan kawin dengan laki-laki yang bersedia membantu untuk menuntut balas kematian suaminya. Pada 1880, dia menikah untuk kedua kalinya dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Teuku Umar adalah seorang pejuang Aceh yang terkenal pula dan banyak mendatangkan kerugian kepada pihak Belanda. Pada 1893, Teuku Umar bekerja sama dengan Belanda, sebagai taktik untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Tiga tahun kemudian, berbalik dan memerangi Belanda kembali. Dia gugur dalam pertempuran di Meulaboh pada 11 Februari 1899.
Gambar 9.2 Teuku Umar
Sesudah itu, Cut Nyak Dhien melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia termasuk salah seorang pejuang yang pantang tunduk dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Ahli sejarah Belanda, Zentgraaf, menyebut Cut Nyak Dhien sebagai de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan sesungguhnya dalam perang besar di Aceh). Enam tahun lamanya Cut Nyak Dhien bergerilya, Pasukan Belanda berusaha menangkapnya, tetapi tidak berhasil. Lama kelamaan jumlah pasukannya semakin berkurang. Bahan makanan 46
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
sulit diperoleh. Umur semakin tua, mata mulai rabun dan penyakit encok mulai pula menyerang. Anak buahnya merasa kasihan melihat ke-adaan yang demikian itu. Pang Laot, seorang panglima perang dan kepercayaan Cut Nyak Dhien melaporkan keadaan tersebut kepada Belanda. Sesudah itu, pasukan Belanda datang untuk menangkap. Sewaktu akan ditangkap, Cut Nyak Dhien mencabut rencong dan berusaha melawan. Namun, tangannya dapat dipegang oleh Letnan van Vuuren, lalu ditawan dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana, dia masih saja berhubungan dengan para pejuang lain yang belum tunduk. Karena itu pada 11 Desember 1906, Cut Nyak Dhien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Di Sumedang ini, tidak banyak orang mengenal perempuan tua dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tidak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda. Perempuan renta itu, lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat ketaatan beragama Cut Nyak Dhien, bupati tidak menempatkannya di dalam penjara, tetapi di rumah Haji Ilyas, seorang pemuka agama Islam, tepatnya di belakang Kaum (Masjid Besar Sumedang). Di rumah itulah Cut Nyak Dhien tinggal dan dirawat. Sebagai tahanan politik, Cut Nyak Dhien—yang kemudian oleh masyarakat digelari “Ibu Perbu” (Ratu)—jarang keluar rumah. Namun, banyak sekali kaum ibu dan anak-anak setempat yang belajar mengaji kepadanya. Walau dalam keadaan rabun, banyak sekali ayat suci yang dihapalnya. Selain mengajarkan al-Quran, kegiatan Cut lainnya adalah berzikir di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas. Dia terus mendekatkan diri kepada Allah. Banyak kaum ibu dan anak-anak yang bersimpati kepada Cut Nyak Dhien, sehingga makanan dan pakaian diberikan kepadanya, Mengenal Cut Nyak Dhien
47
walaupun Cut sering menolak pemberian itu. Karena usia dan penyakit yang kian parah, Cut akhirnya meninggal dunia pada 6 November 1908. Kemudian, dia dimakamkan secara terhormat di Gunung Puyuh, sebuah kompleks pemakaman kaum bangsawan Sumedang. Hingga wafatnya, masyarakat Sumedang belum banyak yang tahu tentang Cut Nyak Dhien. Barulah pada 1960-an, saat masyarakat Sumedang mulai melupakan “Ibu Perbu”, berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda, diketahui bahwa Cut Nyak Dhien, seorang wanita pahlawan dari Aceh yang telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag, 1907: 12). Seketika itu, masyarakat Sumedang menjadi semakin tahu, bahwa perempuan renta itu adalah manusia terhormat. Beliau diasingkan ke Sumedang dengan seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Tengku Nana berusia 15 tahun.
48
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Bagian
10
Mengenal Raden Ajeng Kartini
Raden Ajeng Kartini (1879–1904) merupakan tokoh Pahawan Pergerakan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Bagaimanakah perjuangan Kartini yang membela kaum wanita?
Gambar 10.1 R.A. Kartini
Kartini dilahirkan pada 21 April 1879 di Desa Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Sosroningrat, Bupati Jepara. Ibunya bernama Ngairah, putri seorang kiai yang berasal dari Teluk Amur, Jepara.
Mengenal Raden Ajeng Kartini
49
Kartini adalah anak kelima dari 11 orang bersaudara. Kesepuluh saudara Kartini lainnya adalah Raden Mas Sosroningrat, Pangeran Adipati Sosrobusono, Raden Ajeng Sulastri, Raden Mas Sosrokartono, Raden Ajeng Sukmini, Raden Ajeng Kardinah, Raden Ajeng Kartinah, Raden Mas Sosromuljono, Raden Ajeng Sumantri, dan Raden Mas Sosrorawito. Keluarga RA Kartini adalah keluarga bupati. Selain bapaknya, Kakek Kartini yang bernama Pangeran Ario Tjondronegoro IV juga adalah Bupati Demak. Pada saat itu, Pangeran Ario Tjondronegoro IV termasuk dari sedikit bupati yang telah berpikiran maju, terutama dalam hal pendidikan. Pada 1846, di saat belum banyak orang Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat, Pangeran Ario Tjondronegoro IV mendatangkan seorang guru pribadi untuk mengajar anak-anaknya. Berkat berpendidikan pula, empat orang putra Pangeran Ario Tjondronegoro IV tersebut kelak diangkat menjadi bupati, yaitu putra pertama Raden Mas Adipati Tjondronegoro V menjadi Bupati Kudus, putra kedua Raden Mas Adipati Proboningrat menjadi Bupati Semarang, putra ketiga, ayah Kartini, Raden Mas Adipati Sosroningrat menjadi Bupati Jepara, dan putra keempat Pangeran Ario Hadiningrat menjadi Bupati Demak. Selain menjadi Bupati Jepara, ayah Kartini, Raden Mas Adipati Sosroningrat juga diangkat menjadi ketua perhimpunan bupati di seluruh Jawa-Madura. Sebagaimana halnya dengan kakek Kartini, ayah Kartini juga orang yang telah berpikiran maju. Pada 1886, ketika berumur tujuh tahun, Kartini mulai bersekolah. Ia menjadi murid di Sekolah Kelas Dua Belanda di Kota Jepara. Di sekolah tersebut, hanya anak-anak pribumi dari keluarga bangsawan, Belanda-Indo, dan Belanda asli yang diterima. Adapun anak-anak orang biasa kebanyakan tidak dapat diterima menjadi murid. Bahasa pengantar yang digunakan di sekolah tersebut adalah bahasa Belanda.
50
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Gambar 10.2 R.A. Kartini dengan dua saudaranya
Ayah Kartini memang mencintai kemajuan. Ia ingin agar anakanaknya berpengetahuan seperti halnya anak-anak Belanda. Meskipun demikian, ia juga menginginkan anak-anaknya tetap memegang adat-istiadatnya sendiri. Untuk memenuhi tujuan tersebut, ayah Kartini sengaja mendatangkan guru khusus untuk mengajarkan bahasa dan adat-istiadat Jawa kepada putra-putrinya di rumah. Bekal keterampilan seperti memasak, menjahit, dan mengurus rumah tangga juga diajarkan, terutama untuk anak perempuan. Selain pengajaran yang berkaitan dengan pendidikan duniawi, ayah Kartini juga mendatangkan guru khusus untuk memberikan pengajaran pendidikan agama, khususnya agama Islam. Tiap sore, Kartini dan saudara-saudaranya secara tekun belajar huruf Arab dan mengaji al-Qur’an. Masa bersekolah adalah masa yang menyenangkan bagi Kartini. Kartini banyak mempunyai teman, sahabat, dan kenalan. Ia bebas dan lincah dalam pergaulan. Tidak ada hal yang dipikirkannya kecuali sekolah dan bermain-main. Pada 1898, ketika berusia 12 tahun, Kartini sudah tamat Sekolah Dasar. Kartini berharap akan melanjutkan pelajaran ke sekolah menengah. Akan tetapi, hal tersebut tidak terwujud. Pada waktu itu, kesempatan mengenyam pendidikan untuk kaum perempuan berbeda. Mengenal Raden Ajeng Kartini
51
Menurut kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku saat itu, seorang anak gadis bangsawan yang telah berusia 12 tahun sudah dianggap dewasa. Dia tidak boleh lagi bebas bepergian kemana-mana. Dia tidak dapat lagi keluar rumah untuk bersekolah. Dia harus tetap di rumah dan bersiap-siap untuk menjadi ibu rumah tangga. Kebiasaan atau adat istiadat serupa itu dinamakan pingitan. Masa pingitan akan berakhir manakala seorang pria bangsawan datang meminang anak gadis tersebut untuk dijadikan seorang istri. Demikain pula halnya yang dialami oleh Kartini. Sejak usia 12 tahun, ia terpaksa meninggalkan masa kanak-kanak yang bebas riang gembira itu dan masuk ke dalam masa pingitan. Kartini seorang anak yang pintar dan suka belajar. Dia haus akan ilmu pengetahuan. Namun, karena kebiasaan dan adat istiadat yang lama, dia harus berhenti sekolah. Meskipun demikian, dia tidak berputus asa dan tetap ingin menambah pengetahuan, seperti halnya teman-temannya di sekolah. Dalam masa pingitan, suatu pagi Kartini berbicara kepada ayahnya. Dia menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan sekolah seperti halnya teman-teman Kartini bangsa Belanda yang semuanya meneruskan sekolah. Ayah Kartini, Raden Mas Adipati Sosroningrat menjadi terharu mendengar keinginan putrinya tersebut. Dalam hati kecilnya, dia membenarkan permintaan Kartini. Namun, sebagai seorang bangsawan dia masih terikat pada kebiasaan dan adat istiadat. Kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku saat itu tidak membenarkan seorang gadis bertindak terlalu bebas. Meskipun ayah Kartini telah menerapkan pikiran majunya dalam hal pendidikan terhadap putranya yang laki-laki dengan cara menyekolahkannya ke Negeri Belanda, terhadap anak-anak perempuannya, ia belum berani melanggar kebiasaan dan adat istiadat. Dengan hati yang sangat berat, Raden Mas Adipati Sosroningrat menolak keinginan Kartini. Beliau menyatakan, bahwa meskipun 52
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
keinginan tersebut sangat baik, kebiasaan dan adat istiadat belum mengizinkan hal tersebut. Mendengar keputusan ayahnya, Kartini merasa sangat sedih. Citacitanya untuk melanjutkan ke sekolah menengah tidak bisa terwujud. Akan tetapi, Kartini juga seorang anak yang patuh pada orangtuanya. Oleh karena itu, meskipun dengan hati yang gundah, Kartini akhirnya menerima takdirnya untuk hidup ditentukan oleh kebiasaan dan adat istiadat menjalani pingitan. Tentu tidak mudah bagi Kartini yang masih berusia belia hidup dalam dunia pingitan. Ia merasakan hidup dalam kurungan. Serba terbatas dan tidak bebas. Seperti halnya seekor burung yang berada dalam sangkar emas. Meskipun salah seorang teman Belanda Kartini di sekolah dasar yang bernama Lesty masih setia dan sering datang ke rumah, itu tidak lama karena temannya tersebut harus pulang ke Negeri Belanda mengikuti keluarganya yang dipindahkan. Keberangkatan Lesty menambah kesedihan dan kesepian hati Kartini. Pada suatu hari, seorang mantan gurunya yang berbangsa Belanda di sekolah dasar mengunjungi Kartini. Dia ingin mengucapkan selamat tinggal kepada Kartini karena akan pulang ke Negeri Belanda. Rupanya, gurunya tersebut belum mengetahui bahwa Kartini hidup dalam pingitan. Guru itu kemudian bertanya kepada Kartini tentang rencana meneruskan ke sekolah menengah dan belajar di Negeri Belanda. Kartini menjawab pertanyaan bekas gurunya tersebut dengan sedih. Dia mengatakan bahwa dirinya memang sangat ingin melanjutkan sekolah, apalagi sekolah ke Negeri Belanda. Namun, menurutnya kebiasaan dan adat istiadat bangsanya yang berlaku saat ini tidak memperbolehkan hal tersebut. Orangtuanya, menurut Kartini, tidak mau melanggar kebiasaan dan adat istiadat tersebut. Sebagai anak, Kartini menyebutkan bahwa dia tentunya harus mematuhi kehendak orangtua, meskipun hal itu sangat berat.
Mengenal Raden Ajeng Kartini
53
Walaupun batinnya menjerit karena adat-istiadat leluhurnya, Kartini tetap tabah dan rajin membaca. Salah satu buku bacaan yang sangat berkesan dalam dirinya adalah Minnerbrieven karangan Multatuli yang juga pengarang Max Havelaar. Dari buku tersebut kartini mengetahui akibat buruk penindasan Belanda terhadap bangsa Indonesia. Ia lebih prihatin lagi akan nasib bangsanya saat dia membaca tulisan tentang berbagai kemanjuan di banyak negara Barat yang juga mencakup kemajuan di bidang pendidikan kaum perempuan di sana. Buku De Vrouw en Socialisme (Wanita dan Sosialisme) karangan August Bebel menyadarkan Kartini akan kodrat yang sama antara perempuan dan pria sebagai manusia. Kartini pun tidak menutup mata terhadap kehidupan rakyat kecil di sekelilingnya. Pada masa pingitannya, Kartini menulis artikel berjudul Van een Vergeten Uithoekje (Dari Pojok yang Dilupakan) untuk membela para pengukir kayu di Jepara yang terancam kehilangan pekerjaannya pada saat itu. Dalam artikel itu, Kartini memperkenalkan ukiran kayu Jepara dan bagaimana karya seni indah itu dibuat. Kerajinan batik juga mendapat yang perhatian besar dari Kartini. Ketika pada 1898 di Den Haag, Belanda, diadakan pameran berbagai karya perempuan, sebuah stand Jawa ikut serta memperkenalkan proses pembuatan batik. Kartini menulis artikel pengantar untuk pameran tersebut, yaitu berjudul Handschrift Japara. Artikelnya tersebut kemudian dimuat sebagai pedoman tentang batik dalam buku De Batikkunst in Nederlandsch-Indie en Hare Geschiedenis (Seni Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya). Berlainan dengan ayah dan kakaknya, Sosrokartono, kakak Kartini yang tertua, yaitu Raden Mas Adipati Sosroningrat, tidak menyetujui cita-cita Kartini. Raden Mas Adipati Sosroningrat baru lulus dari sekolah dan kemudian diangkat sebagai pegawai di Jepara. Pada awalnya, Kartini gembira sekali dengan kedatangan kakaknya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama setelah Kartini mengetahui 54
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
bahwa kakaknya tidak setuju dengan cita-citanya. Raden Mas Adipati Sosroningrat menyatakan, bahwa perempuan itu tidak sama derajat dan kedudukannya dengan pria. Menurutnya, perempuan sudah ditakdirkan hanya mengurus masalah-masalah rumah tangga dan melayani suami. Sementara masalah di luar itu, prialah yang akan mengurusnya. Oleh karena itu, menurut Raden Mas Adipati Sosroningrat anak perempuan tidak perlu menambah pengetahuan dengan cara bersekolah. Kartini tentu saja tidak sependapat dengan pendapat kakaknya. Dia tidak menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa perempuan lebih rendah derajatnya daripada pria. Menurut Kartini, perempuan sama derajatnya dengan pria. Wanita berkesempatan yang sama untuk menambah pengetahuan dan bersekolah serta mengurus masalahmasalah lainnya. Ayah Kartini yang melihat adanya perbedaan pendapat di antara anak-anaknya, kemudian memberikan jalan tengah. Dia tetap menjalankan kebiasaan dan adapt istiadat pingitan, tetapi memberikan kesempatan kepada Kartini untuk berhubungan dengan berkirim surat kepada teman-temannya yang berada di Negeri Belanda untuk dapat memperlancar bahasa dan menambah pengetahuan. Sejak saat itu, Kartini mulai menulis banyak surat. Setelah menjalani pingitan, beberapa tahun kemudian Kartini mendapat kegembiraan baru. Adik perempuannya, Rukmini dan Kardinah, sudah cukup umur pula untuk dipingit. Kartini mendapat teman baru dalam kehidupannya walaupun mereka adalah adikadiknya sendiri. Ketiga bersaudara itu sangat dekat hubungan kasih sayangnya. Termasuk pandangannya tentang cita-cita dan kemajuan perempuan. Setelah menginjak usia agak besar, pingitan Kartini, Rukmini, dan Kardinah diperlonggar. Mereka mulai diijinkan keluar rumah pada pagi hari. Sekali-kali mereka juga diizinkan menghadiri pesta. Namun, bagi Kartini kebebasan yang dirindukan bukan acara jalanMengenal Raden Ajeng Kartini
55
jalan ke luar rumah, bermain di taman, atau menghadiri pesta. Kartini menghendaki lebih dari itu, yaitu kebebasan untuk menuntut ilmu dan meneruskan sekolah ke sekolah yang lebih tinggi. Pada 1895, ketika Kartini menginjak usia 16 tahun, kakak perempuannya yang bernama Sulastri, menikah. Namanya kemudian berganti menjadi Raden Ajeng Tjokrohadisosro. Sejak saat itu, Kartini menjadi perempuan tertua di rumah. Mulailah terasa suasana baru di rumahnya. Pergaulannya dengan adik-adiknya yang selama ini kaku, mulai diubah oleh Kartini. Pada 1898, Kartini bersama dengan kedua adik perempuannya dibebaskan dari pingitan oleh orangtuanya. Mereka diperkenankan pergi ke daerah lain untuk melihat-lihat keadaan. Pada saat itu, hal seperti itu tidak akan dialami oleh gadis-gadis yang lain, apalagi gadis bangsawan. Tindakan keluarga Kartini ini menjadi bahan perbincangan di kalangan para bangsawan. Mereka ada yang mencela, ada pula yang menyetujui. Namun, Kartini tidak menghiraukan hal tersebut dan tetap pada pendiriannya. Walaupun telah mendapatkan banyak kebebasan, dia belum diijinkan oleh orangtuanya untuk melanjutkan pelajaran. Pada 1900, Kartini berkenalan dengan Direktur Pengajaran Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon dan Nyonya Abendanon yang datang berkunjung ke Jepara. Dengan gembira, Kartini menceritakan cita-citanya kepada tamunya itu. Tuan dan Nyonya Abendanon menyetujui cita-cita Kartini. Mereka mengatakan bahwa hal itu merupakan cita-cita yang bagus. Mereka juga menyuruh Kartini untuk meneruskan cita-cita dan berjanji akan membantu usaha perempuan Indonesia mendapat pendidikan dan memperoleh kemajuan. Dalam perkembangannya, tuan dan Nyonya Abendanon banyak memberikan tambahan pengalaman, pengetahuan, dan bimbingan kepada Kartini dan adikadiknya.
56
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Kartini meneruskan kebiasaan membaca karena bacaan merupakan hiburan baginya dan jembatan ke dunia luar. Dari membaca buku yang berasal dari dalam dan luar negeri, dia mengetahui keadaan perempuan di negara lain. Dia kemudian membandingkan perkembangan perempuan di negara lain tersebut dengan perkembangan perempuan di Indonesia. Dari hasil perbandingan tersebut, Kartini mengambil kesimpulan bahwa perempuan Indonesia belum bebas, belum dapat berdiri sendiri, dan masih tertinggal jauh. Dengan membaca buku itu pula, Kartini menyadari bagaimana tindakan pemerintah Hindia Belanda yang bersikap tidak adil terhadap penduduk pribumi. Kartini pun menyadari betapa buruknya kebijakan pemerintah jajahan dalam soal kepegawaian dan pendidikan. Selain membaca, Kartini juga menyediakan waktu untuk menulis karangan dalam majalah dan surat kabar. Karangannya makin lama makin berisi. Kartini lalu banyak menerima permintaan untuk menulis karangan dalam berbagai majalah dan surat kabar. Salah satu karangannya adalah tentang perkawinan suku Koja di Jepara. Karangan itu diterbitkan dalam majalah Bijdrage tot de Taat, Land an Volkenkunde Van Nederlandsch Indie, sebuah majalah tentang kebudayaan yang terkenal. Majalah Echo juga sering memuat tulisan Kartini tentang kebudayaan. Pernah suatu saat, karangan Kartini dimuat sebagai laporan dengan nama samaran “Tiga Saudara”. Karangan itu mengisahkan tentang kunjungan ke pesta besar untuk menghormati kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Rooseboom yang memerintah dari 1899 hingga 1907. Kartini bercita-cita pergi ke Belanda atau ke Jakarta untuk masuk di sekolah dokter. Kepada temannya, Stella, ditulisnya surat bahwa ia ingin benar pergi ke Belanda. Dia juga mengharapkan agar pemerintah mengijinkan dan memberi bantuan. Stella menaruh perhatian terhadap cita-cita Kartini. Dia menerima Kartini dengan tangan terbuka jika benar-benar datang ke Belanda. Mengenal Raden Ajeng Kartini
57
Pada suatu hari, Kartini berkenalan dengan anggota volksraad (DPR) Belanda yang bernama Van Kol. Tuan dan Nyonya Van Kol juga setuju dengan cita-cita Kartini. Tuan Van Kol berusaha dengan sekuat tenaga agar cita-cita Kartini tercapai. Mereka berusaha agar Kartini dapat belajar di Belanda. Pada akhir 1902, mereka mendapat janji dari Menteri Jajahan Belanda, bahwa Kartni dan Rukmini diberi tugas belajar di Negeri Belanda. Namun, atas pertimbangan Tuan Abendanon yang secara khusus datang ke Jepara pada awal 1903, tugas belajar ke Belanda tersebut dibatalkan. Perjuangan Van kol tentu saja memakan waktu dan melalui perdebatan yang sengit. Sebelum ada jawaban dari pemerintah Belanda, adiknya, Kardinah telah menikah. Dia telah menjadi istri Bupati Tegal R.A.A. Reksonegoro. Dia meneruskan cita-cita Kartini. Di Tegal, dia mendirikan sekolah untuk gadis-gadis, bernama Wisma Pranawa. Tuan Abendanon kemudian memberi petunjuk kepada Kartini untuk mengirimkan surat permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda agar diberi izin untuk belajar di sekolah guru, di Batavia. Namun karena alasan lamanya menunggu balasan dari Batavia, Kartini disarankan oleh Tuan Abendanon untuk mendirikan sekolah sendiri. Akhirnya, pada 1903 bersama Rukmini, Kartini mendirikan Sekolah Kartini yang pertama di Indonesia. Sekolah Kartini tersebut khusus untuk anak perempuan dan memberikan pelajaran yang khusus pula untuk perempuan. Apabila sekolahnya telah mendapatkan pengesahkan dari pemerintah, Kartini akan membuka sekolah di Magelang atau di Salatiga. Di sana hawa sejuk, banyak dokter, dan rumah sakit. Para pengajarnya adalah dokter dan yang akan memimpin adalah Kartini. Pada 1902, adik Kartini yang paling kecil, Kardinah menikah. Kejadian itu pada mulanya melemahkan hati Kartini. Ketika Kardinah meninggalkan Kabupaten Jepara, Kartini dan Rukmini
58
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
merasa kekosongan yang amat dalam. Memang Kartini menyayangi semua kakak dan adiknya, tetapi dengan Rukmini dan Kardinah, Kartini memiliki hubungan yang amat erat dan khusus. Pada Februari dan Maret 1903, Kartini jatuh sakit. Dia menderita berbagai macam penyakit. Orangtua dan adik-adiknya tidak meninggalkan sisi tempat tidurnya. Mereka menjaga Kartini dengan penuh kasih sayang. Apalagi Rukmini sangat cinta kepadanya.
Gambar 10.3 Kartini dengan Suaminya
Perhatian Kartini terhadap pekerjaannya terpaksa berkurang. Setelah penyakitnya agak sembuh, Kartini mulai lagi mengajar muridnya. Pada umumnya, semua murid Kartini adalah perempuan anak pegawai negeri, bahkan ada anak asisten wedana.
Mengenal Raden Ajeng Kartini
59
Sementara itu, di saat awal pendirian sekolah yang baru dirintis, Rukmini menikah. Hal ini membuat Kartini terpaksa mengambil langkah untuk perjuangan selanjutnya. Ia harus mempunyai pendamping yang dapat membantu mewujudkan cita-citanya. Pendamping yang paling tepat bagi seorang gadis ialah suaminya sendiri yang mengerti akan tujuan hidupnya. Oleh karena itu, Kartini kemudian menerima lamaran dari Bupati Rembang Raden Adipati Djojoadiningrat untuk dijadikan istri. Pada 7 Juli 1903, ketika Kartini sedang sibuk menyiapkan pernikahanya, ia menerima surat. Isinya ialah jawaban pemerintah Hindia Belanda terhadap permohonannya untuk melanjutkan sekolah. Pemerintah Hindia Belanda mengabulkan permohonan Kartini dan menyediakan beasiswa sebesar 4.800 gulden, suatu jumlah yang tidak sedikit pada waktu itu. Namun, kesempatan yang diidamkan-idamkannya itu datang pada saat yang tidak tepat karena Kartini sudah harus menikah. Kartini kemudian membuat surat balasan kepada pemerintah Hindia Belanda yang berisi ketidaksediaan dirinya menerima beasiswa tersebut dan usulan agar beasiswa itu sebaiknya diberikan kepada Agus Salim, seorang pemuda yang berasal dari Sumatera Barat. Sepengetahuan Kartini, Agus Salim adalah seorang anak yang pandai. Dalam ujian akhir HBS, ia mendapat peringkat satu. Ia bintang pelajar pada saat itu. Agus Salim sendiri tidak tahu-menahu tentang surat permohonan Kartini. Dalam kenyataannya, Agus Salim tidak pergi belajar ke Negeri Belanda. Ia kelak malah aktif di organisasi pemuda dan kemudian menjadi salah seorang pemimpin bangsa Indonesia sampai akhir hayatnya. Pada 8 November 1903, akhirnya Kartini secara resmi menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojoadiningrat. Setelah menikah, Kartini kemudian mengikuti suaminya pindah ke Rembang. Suami Kartini, Raden Adipati Djojoadiningrat adalah orang yang 60
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
baik hati, penyayang, berbudi, dan pikirannya jernih. Ia mengerti dan mendukung cita-cita Kartini. Bentuk dukungannya tersebut diwujudkan dengan cara membantu mendirikan sekolah di Rembang sesuai dengan cita-cita Kartini. Mereka berdua kemudian mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda supaya diberikan bantuan atau subsidi. Akhirnya, sebuah sekolah anak gadis mereka dirikan di rumahnya sendiri. Pimpinannya seorang guru perempuan yang berbangsa Belanda. Selain mendirikan sekolah, Kartini dan suaminya bercita-cita mendirikan sekolah pertukangan untuk laki-laki. Untuk itu, Kartini lalu mengumpulkan para seniman ukir yang menganggur untuk bekerja di tempatnya. Murid yang terpandai di antara mereka, yaitu Pak Singa diangkat menjadi pemimpin. Kartini menganjurkan mereka untuk membuat peti-peti jahitan, kotak rokok, meja kursi, dan sebagainya. Setelah barang-barang itu selesai dikerjakan, lalu dijual ke kotakota besar, seperti Semarang dan Jakarta. Dengan cara seperti itu, ukiran Jepara mulai dikenal di luar daerah. Permintaan akan barang ukiranpun makin meningkat. Usaha Kartini dan suaminya untuk mendidik para perajin telah berhasil. Ukiran Jepara makin dikenal. Nama Kartini sebagai pendidik seniman ukir menjadi terkenal pula. Bukan saja di Indonesia, tetapi di luar negeri. Para bupati mengambil keputusan untuk memintanya merancang dan mengatur pembuatan kotak jahitan. Kotak ukiran jahitan itu akan dihadiahkan pada hari perkawinan Ratu Belanda. Usia perkawinan Kartini tidak lama. Beberapa bulan setelah menikah, ia hamil dan dalam masa kehamilan itulah ia jatuh sakit. Setelah melahirkan puteranya yang pertama, bernama Raden Mas Susalit, kesehatannya terus menurun. Pada 17 September 1904, Kartini meninggal dunia dalam usia 25 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Desa Bulu, Rembang, Jawa Tengah.
Mengenal Raden Ajeng Kartini
61
Setelah Kartini meninggal dunia, surat-surat yang ditulis oleh Kartini semasa hidupnya dikumpulkan oleh Tuan Abendanon. Suratsurat yang berisi pemikiran Kartini tentang pendidikan kaum perempuan dan tentang masalah lain tersebut diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Door Duisternis tot Licht pada 1911. Buku kumpulan surat-surat Kartini itu ternyata disambut masyarakat Belanda dengan gembira, sehingga dalam waktu singkat telah habis terjual dan mengalami cetak ulang beberapa kali. Dari uang hasil penjualan buku tersebut, dibentuk Kartini Fonds atau Dana Kartini di Den Haag, Belanda. Perhimpunan itu bertujuan untuk membantu dan memperjuangan hak kaum perempuan Indonesia. Kumpulan surat Kartini yang diterbitkan oleh Tuan Abendanon itu ditulis dalam bahasa Belanda, sehingga hanya bisa dibaca oleh kalangan terbatas. Adapun sebagian besar perempuan Indonesia pada saat itu tidak dapat membaca buku itu, karena tidak belajar bahasa Belanda. Oleh karena itu, agar surat-surat itu diketahui dan dibaca oleh kalangan luas bangsa Indonesia, buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pengarang terkenal Indonesia yang bernama Armijn Pane telah menerjemahkan kumpulan surat-surat Kartini tersebut. Buku itu kemudian diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka di Jakarta. Karangan berharga itu berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Seorang pengarang Jawa, Raden Sosrosugondo menerjemahkan buku itu dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Jawa. Pada 1950, buku itu juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Agnes Louise Symmers. Judulnya ialah Letters of a Javanese Princess (Surat-Surat dari Putri Bangsawan Jawa). Meskipun Kartini telah meninggalkan kita untuk selamalamanya, hasil usaha dan cita-cita perjuangannya untuk memperbaiki nasib perempuan Indonesia telah terwujud setelah kepergiannya. Ibarat petani, Kartini adalah seorang petani yang telah menanamkan benih yang kemudian tumbuh dengan subur. 62
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Berkat kepeloporannya dalam memperjuangkan emansipasi, kaum perempuan Indonesia telah berubah menuju perbaikan dan kemajuan. Cita-cita perjuangannya telah mengilhami kaum perempuan Indonesia lainnya untuk mengubah nasib mereka ke arah yang lebih baik. Berikut beberapa contoh perkembangan kaum perempuan Indonesia setelah meninggalnya Kartini. 1. Setelah meninggalnya Kartini, sekolah yang didirikannya, yaitu Sekolah Kartini berkembang dan membuka cabang di daerahdaerah. Pada 1913, Sekolah Kartini berdiri di Jakarta, pada 1914 di Madiun, pada 1916 di Malang dan Cirebon, pada 1917 di Pekalongan, dan pada 1918 di Indramayu, Surabaya, dan Rembang. 2. Adik Kartini yang bernama Kardinah, isteri Bupati Tegal Reksonegoro, mendirikan sekolah Kepandaian Putri di Tegal. Sekolah ini didirikan pula di kota-kota lainnya, antara lain Tasikmalaya (1913), di Sumedang dan Cianjur (1916), di Ciamis (1917), dan Cicurug (1918). 3. Hampir sezaman dengan Kartini, salah seorang pelopor emansipasi yang berasal dari Bandung, Dewi Sartika mendirikan sekolah Kautamaan Isteri pada 1904 4. Pada 1912, di Jakarta berdiri Putri Mardika, sebuah organisasi perempuan yang bernaung di bawah organisasi Budi Utomo. Organisasi ini bermaksud memajukan pendidikan dan keterampilan untuk perempuan. 5. Organisasi-organisasi lain yang para pengurusnya perempuan berkembang di berbagai daerah, seperti Pawiyatan Wanito di Magelang yang berdiri pada 1915, Wanito Hadi di Jepara yang berdiri pada 1915, dan Wanito Susilo di Pemalang yang berdiri pada 1918. Sampai tahun 1920, pergerakan perempuan Indonesia hanya meliputi bidang sosial dan pendidikan. Akan tetapi, setelah tahun itu kaum perempuan Indonesia telah memasuki bidang politik. Mengenal Raden Ajeng Kartini
63
Makin lama makin banyak kaum wanita yang memasuki pergerakan kebangsaan. Secara individu mereka masuk menjadi anggota organisasi dan partai politik yang banyak berkembang pada saat itu, seperti Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Sekar Rukun, Perhimpunan Indonesia, Partai Sarekat Islam, Partai Nasional Indonesia, Muhamadiyah, dan Nahdlatul Ulama. Dalam perkembangan selanjutnya, kaum perempuan Indonesia telah secara aktif bersama-sama kaum pria bahu-membahu mengisi perjuangan bangsa. Segala hasil yang dicapai oleh kaum perempuan Indonesia adalah berkat jasa dan kepeloporan Kartini. Setiap tanggal 21 April, kaum perempuan Indonesia beserta seluruh rakyat Indonesia merayakan hari lahirnya Kartini.
64
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Bagian
11
Renungan untuk Kaum Ibu
Ibu adalah segala-galanya. Dialah penghibur kita dalam kesedihan, tumpuan harap kita dalam penderitaan, dan daya kekuatan kita dalam kelemahan. Dialah sumber cinta kasih, belas kasihan, kecenderungan hati, dan ampunan. Barang siapa kehilangan ibunya, hilanglah sebuah jiwa murni yang memberkati dan menjagainya siang malam (Kahlil Gibran dalam Sayap-Sayap Patah). Wacana tentang kaum ibu Indonesia—sejak jaman pergerakan kemerdekaan hingga kini—tidak melulu berisi keterbelakangan, ketertindasan, dan subordinasi peran. Hanya memang, kita tidak akan mendapatkan sebuah daftar panjang cerita sukses wanita (ibu) sebagaimana yang bisa kita peroleh dari lelaki. Meski begitu, kita tetap akan menemukan dinamika potensi, dedikasi, dan prestasi kaum ibu yang membanggakan atau setidaknya masa depan wanita. Banyak kalangan berpendapat, hal itu terjadi karena latar belakang budaya tempo dahulu cenderung androsentris dan patriakal. Dominasi pria dalam hampir semua lini kehidupan—dengan sengaja atau tidak— telah mempersempit ruang gerak kaum ibu untuk mengaktualkan diri. Tidak urung, kondisi ini juga secara psikologis telah melahirkan wanita yang minder, tidak berani berkompetisi dengan kaum bapak dan bahkan tidak memiliki kemampuan advokasi. Secara eksternal sosial masyarakat mereka menjumpai batasan-batasan secrta secara internal kemampuan dan psikologis mereka terpuruk oleh ketakberdayaan. Oleh karena itu, suatu kesia-siaan mengharapkan banyak wanita menorehkan prestasi dalam kondisi demikian. Dengan analisis yang sama, kita bisa melihat kemungkinan latar belakang budaya andosentris dan patriakal tersebut telah berdampak Renungan untuk Kaum Ibu
65
juga pada kegiatan penulisan sejarah. Selama ini, penulisan sejarah di negara yang belum maju (berkembang) masih terimbas paham andosentrisme; paham yang disadari atau tidak senantiasa memposisikan kaum ibu di bawah bayang-bayang lelaki, sehingga tidak mustahil setiap langkah prestasi seorang istri dipandang sebagai keberhasilan sang suami. Demikianlah kira-kira kesan penulis tatkala menyimak sebuah buku tentang keberhasilan para ibu, Langkah Citra Wanita Indonesia: Profil Dedikasi, Prestasi, dan Potensi Wanita Indonesia (Trendi Media Jakarta, 1995). Tampaknya, sebuah misteri tentang wanita dan keberadaannya memang terus berlangsung. Kehadiran pada berbagai perusahaan dan pentas politik—sebagaimana diramalkan oleh John Naisbitt dalam buku Mega Trend 2000 atau analisis istrinya dalam Mega Trend for Woman—akan lebih banyak berperan. Namun, sambil membuktikan ramalan Naisbitt menjadi kenyataan, beragam kasus yang menimpa kaum ibu terus berlangsung dalam berbagai bentuknya. Hal ini menandakan masih lemahnya posisi kaum ibu. Andaikata kita boleh hanya memperhatikan prediksi tentang wanita yang dibuat Naisbitt dan harus menutup mata terhadap kenyataan yang dihadapi kaum ibu, oh betapa indahnya hidupmu, wanita! Akan tetapi, nyatanya tidak. Pada satu sisi, ramalan Naisbitt tentang singgasana wanita wanita pada masa depan cukup menjadi pelipur lara. Adapun pada sisi lainnya, kita masih kerap mendengar juga menyaksikan pembenarannya, pepatah “suami ke surga istri ikut, suami ke neraka istri terbawa” (suargo nunut neroko katut).
Oasis Cinta Kasih “Surga itu di bawah telapak kaki ibu” (hadis Rasulullah). Akan tetapi, masih banyak yang menafsirkan dan mengartikan kalimat tersebut dalam arti sesungguhnya. Pengertian surga di bawah telapak kaki ibu, mengandung pemaknaan yang luas. Sebenarnya, ibu memegang “kunci” demi mengantarkan anak-anaknya menuju kehidupan yang bahgaia lahir dan batin. 66
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Dalam kehidupan dunia fana ini, ibu memegang peran penting untuk keberhasilan seorang anak. Pendidikan suatu keluarga tidak pernah lepas dari pengaruh seorang ibu. Kendati sang ayah tidak begitu baik, misalnya, jika sang ibu bermoral tinggi, pembinaan anak-anaknya masih dapat berlangsung sempurna. Sebaliknya, jika sang ibu tidak baik, kemungkinan anak-anaknya akan berhasil kecil sekali. Hal tersebut pernah dibuktikan dalam riwayat Nabi Nuh, yang anak-anaknya semua pendurhaka, sebab ibu mereka (istri Nuh) juga ingkar kepada Tuhan. Kisah tentang para ibu dari dahulu hingga kini tidak pernah kerontang. Dalam kisah teladan para nabi, kita akan tahu betapa tidak terbatasnya kasih ibu. Ibunda Nabi Musa yang menangis sepanjang hari sebab harus rela menghanyutkan bayinya ke Sungai Nil. Lalu, tentang Siti Masytoh yang rela memilih masuk ke dalam kuali maha panas bersama anaknya daripada harus mengakui Raja Firaun sebagai Tuhan. Kemudian, kisah Siti Hajar (istri Nabi Ibrahim) yang berlari-lari dari bukit Safa ke Marwah guna mencari setetes air untuk menyelematkan nyawa anaknya, Ismail. Pada jaman modern ini, kita harus bersyukur sebab masih ada para ibu yang bukan saja menjadi ibu bagi anak-anaknya, melainkan juga bagi seluruh anak yang tidak mampu. Banyak diwartakan dalam media massa tentang kelembutan kasih sayang ibu yang rela menjadi “ibu asuh” atau “ibu angkat” bagi banyak anak yang kerontang secara materi atau jauh dari kasih sayang orangtuanya, sebab orangtuanya memang hidup miskin. Ny. Eleanor Roosevelt, misalnya, yang tidak hanya menjadi ibu bagi anak-anaknya sendiri, tetapi juga bagi anak-anak yang tidak mampu di setiap belahan dunia. Atau di Indonesia, ada Ibu Pandoyo yang mengasuh banyak anak jalanan di Jakarta, dengan mendirikan rumah singgah anak jalanan dan mendidik mereka agar tidak kembali ke jalan. Bagaimanakah dengan legenda Si Malin Kundang? Ada yang beranggapan, bahwa anak dan ibunya sama-sama durhaka sebab jika coba direnungkan, ibu mana yang tega mengutuk anaknya, bukankah
Renungan untuk Kaum Ibu
67
mengurus anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab ibu sebagai orangtua. Membahagiakan orangtua adalah bukti dan kewajiban sang anak. Kendati demikian, orangtuya tidak berhak menuntut balas jasa terhadap anak yang telah dengan susah payah dibesarkannya sebab anak merupakan amanah Allah Swt. Kalau sudah besar, silakan anaknya bermandiri. Seharusnya, jika mempunyai anak Si Malin Kundang, kita bukan malah mengutuknya, melainkan mendoakannya agar Tuhan membukakan hati sang anak. Kenyataan memang membuktikan, bahwa daya ingat ibu terhadap anak lebih tinggi dibandingkan dengan daya ingat anak terhadap ibu sehingga para orangtua menamsilkan: “Ibu, laksana sumur tanpa kering air (oasis) kasih sayang. Kasih sayang ibu tiada batasnya. Itu memang sering terjadi, seorang anak lupa kepada ibunya setelah ia mulai merasa mandiri dan berkecukupan, sedangkan kasih sayang ibu terus mengalir sepanjang hayat”. Pujangga sebesar Kahlil Gibran (1883—1931) pun tidak kuasa ketika ia teringat akan ibundanya. Gibran melukiskan perasaannya— yang dituangkan ke dalam roman Sayap-Sayap Patah—”Kata-kata paling indah di bibir umat manusia adalah kata Ibu, dan panggilan terindah adalah panggilan Ibuku. Itulah kata-kata yang penuh harap dan cinta, kata-kata manis dan sayang yang keluar dari relung-relung hati” (kata-kata selanjutnya, sebagaimana penulis kutip pada awal tulisan ini). Gibran lebih lanjut (1986: 103) mengumbar kata-kata indah dan simbolik, segala sesuatu di alam semesta itu memperlihatkan peran itu. Matahari adalah ibu sang bumi dan memberinya kenyamanan rasa panas, tidak pernah ia meninggalkan semesta alam raya ini di malam hari sebelum ia menidurkan sang bumi pada nyanyian laut dan lagu puji burung-burung dan bengawan-bengawan.
68
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Sang bumi pun ibu bagi pepohonan dan bunga-bungaan. Ia melahirkannya, mengasuhnya, dan menyapihnya. Pepohonan dan bunga-bungaan pun menjadi ibu-ibu yang menyayangi buah-buah dan bebijiannya yang baik. Dan ibu, sang purwa rupa dari segala yang ada adalah jiwa yang abadi, penuh keindahan dan cinta kasih. Sebenarnya, kisah itu adalah sebuah gambaran bahwa memang ibu merupakan sumber kasih sayang yang tidak kerontang. Doa ibu untuk kebaikan anak, akan selalu didengar Tuhan. Begitu pula do’a anak yang saleh.
Renungan untuk Kaum Ibu
69
Glosarium 1. Blokade (blo·ka·de) [n] : Pengepungan (penutupan) suatu daerah (negara) sehingga orang, barang, kapal, dan sebagainya tidak dapat keluar masuk dengan bebas. 2. Emansipasi (eman·si·pa·si /émansipasi/) [n] : pembebasan dari perbudakan; persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria); -- wanita : proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju. 3. Kolonialisme (ko·lo·ni·al·is·me) [n] : Paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu. 4. Martabat (mar·ta·bat) [n] : Tingkat harkat kemanusiaan, harga diri. 5. Monopoli (mo·no·po·li) [n] : Situasi yang pengadaan barang dagangannya tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurangkurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok, sehingga harganya dapat dikendalikan.
70
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Indeks A Advokasi 65 Andosentrisme 65, 66 Argumentasi 7, 63 B Blokade 59 K Kartini 49 Kolonial 21 Kompeni 18
M Martabat 8 Monopoli 16, 17 P Potensi 8 Pribumi 35 V VOC 17 Vonis 22 W Wedana 59
Indeks
71
Daftar Pustaka Gibran, Kahlil. 1998. Sayap-Sayap Patah. Jakarta: Pustaka Jaya. Hartiningsih, Maria. 2000. “Surat-Surat Kartini Tak Lekang Dimakan Zaman”. Jakarta: Kompas. Kansil, C.S.T. dan Julianto, 1986. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Erlangga. Katoppo, Mariane. 2000. “Mutiara dari Maluku dan Permata Pasundan”. Jakarta: Kompas. Pane, Armijn, 1980. Habis Gelap Terbitlah Terang. Balai Pustaka: Jakarta. Tim Penyusun. 1981. Album Pahlawan Bangsa. Jakarta: Mutiara. Warsidi, Edi. 1999. “Kaum Wanita (Ibu), Oase yang Tidak Pernah Kerontang”. Bandung: Galamedia, 21 April. Warsidi, Edi. 2005. “Ibu, Pendidik Utama. Bandung: Pikiran Rakyat, 22 Desember.
72
Kaum Wanita dalam Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Tentang Penulis Hetti Restianti, lahir di Bandung pada 15 Mei 1977. Penulis ini adalah alumnus Sastra Perancis, Universitas Padjadjaran. Aktivitasnya, selain mengurus anak juga menulis artikel tentang wanita dan karier serta ilmu pengetahuan. Sejumlah artikelnya pernah dimuat oleh Pikiran Rakyat, Bandung Pos, dan Galamedia. Beberapa buku karyanya diterbitkan oleh sejumlah penerbit. Berikut ini beberapa karya Hetti Restianti: Seri Planet (Penerbit EDwiraga Bandung, 2007) dan Bertanam Tanaman Hias (Penerbit EDwiraga, 2007), dan Menulis bagi Ibu Rumah Tangga (Penerbit EDwiraga, 2008).
Tentang Penulis
73