27
WANITA DALAM KUNGKUNGAN TERALI BESI (Suatu Catatan Tentang Upaya Pemahaman Kehidupan di lembaga Pemasyarakatan Wanitar Harkristuti Harkrisnowo Napi wanita mempunyai hak yang sama dellgan napi pria dalam mendapatkan bimbingan dan pelldidikan sebagai bekal mereka bila kembali ke dalam masyarakat. Pembillaan napi wanita tersebut tidak saja selama mereka berada di dalam lembaga pemasyarakatan tetapi jllga setelall mereka kembali menjadi anggota masyarakat biasa. Tllgas tersebllt bllkan saja melljadi beban pemerilltah tetapi juga perlu partisipasi swasta dall Le11lbaga Swadaya Masyarakat. Penelitian perfu terlls dilakllkan Illltuk 11le11lodifikasi kebijaksanaan-kebijaksallaatl pe11lbinaan napi wanita. Pendahuluan
Wanita dan Penjara. Kedua kata ini memang bukan suatu pasangan kata yang serasi . Akan tetapi keberadaan penjara wanita (walaupun telah dipergunakan istilah yang lebih halus "pemasyarakatan", namun masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari kandungan kata penjara itu sendiri) bukanlah sesuatu yang baru dan luar biasa. la telah ada, atau mungkin lebih tepat bila dipakai isti lah "d iadakan " pada akhir abad ke-19. Bukan berarti bahwa sebelurnnya tidak ada wan ita yang dipenjara, akan tetapi sebelum dibukanya penjara khusus untuk wanita pada tahun 1873 di Indiana, pria, wanita dan anak-anak yang dirampas kemerdekaannya karen a melakukan tindak pidana, ditempatkan dalarn suatu bangunan yang sarna (Reid, 1987:396; Morris, 1987: 105). Untuk Indonesia sendiri , yang sampai dengan saat ini masih berpegang pad a Gestichtenreglement (Ordonansi 10 Desember 1917 No. 708) bagi
.) Disampaikan pada Seminar Nasional Tenlang Pemasyarakatan Terpidana, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia , Oktober 1993.
28
Hukum dan Pembangunan
pengaturan mengenai penjara, telah ditentukan dalam pasal 36 ayat (1) ordonansi ini, antara lain bahwa narapidana wanita harus dipisahkan dari narapidana pria. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa tidak banyak diberikan perhatian terhadap lembaga yang bertanggung jawab terhadap wanita-wanita yang harus menjalani pidana perampasan kemerdekaan. Faktor utama atas fenomena ini mungkin karena kecilnya jumlah wan ita yang dijatuhi pidana penjara, atau mungkin pula semata-mata karena hal ini tidak banyak menarik minat baik kaum praktisi, teoritisi, maupun masyarakat awam sendiri. Oengan kala lain , sadar atau tidak, di sini masyarakat telah mengadakan selective inattention, keengganan untuk memberikan perhatian pada satu segmen masyarakat yang dianggap telah menyalahi kodratnya sebagai wan ita dan norma hukum pidana. Tentunya persepsi semacam ini tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial budaya masyarakat yang menganggap bahwa wan ita adalah kaum yang berperasaan halus, lembut, jauh dari kekerasan, baik fisik maupun psikis . Namull bahwa wallita juga dapat melakukan tindak pidana tentunya tidak dapat diingkari sebagai suatu fakta dalam kehidupan manllsia. Yang perlu diingat adalah bahwa para napi wanita ini tidak banyak berbeda dengan wanita-wanita lainnya, yang tetap mempunyai status sebagai isteri , ibu, kekasih, kakak atau adik anggota masyarakat; bahwa ia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan seperti layaknya manusia biasa, yang perlu untuk dipenuhi. Hak-haknya sebagai manusia bebas memanglah dibatasi, karena ia tak berkuasa untuk menentukan waktu dan bentuk aktivitas yang ingin ia lakukan, misalnya. Akan tetapi , terlepas dari sekian restriksi yang ada dalam lembaga, eksistensinya sebagai manusia harus tetap dihargai. Konsep pemasyarakatan di Indonesia sebagaimana dicanangkan pertama kalinya oleh Sahardjo, yang kemudian juga dicantumkan dalam Rancangan KUHP pasal 47 ayat (1) sub 2, bertujuan untuk: disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidiknya menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna (Sahardjo, 1963: 21). Dasar filsafat yang berupa rehabilitasi tercermin dalam konsep ini , dengan titik berat pada usaha agar napi bertobat dan dididik. Ini mengingatkan kita pada Edward Rhine yang mengatakan bahwa rehabilitasi haruslah merupakan bagian integral suatu sistem pemidanaan yang rasional: hukumlah yang bersalah, akan tetapi jangan biarkan mereka duduk-duduk saja dalam kungkungan lembaga pemasyarakatan tanpa dilatih untuk melakukan hal yang Februari 1994
Wanita Dalam Kungkungan
29
positif.
Napi Wan ita dan Napi Pria Sejauh manakah perbedaan karakteristik antara napi pria dan napi wanita, sebenarnya merupakan suatu tema penelitian yang patut dilakukan. Penulis harus mengakui bahwa keterbatasan waktu dan dana menghalangi penulis untuk melakukan penelitian lapangan mengenai LP wanita. Namun sesuai dengan perbedaan kodrati antara wanita dan pria, dapat ditarik beberapa asumsi mengenai napi wan ita berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan, dan untuk ini akan dipinjam pula temuan dari beberapa penelitian, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar Indonesia mengenai masalah ini (perl u dicatat bahwa kondisi sosial budaya yang berbeda antar negara akan dapat menghasilkan hal yang berbeda pula).
Kejadian (incidence) dan Prevalensi Tindak Pi dana Dilihat dari angka yang berhasil dikumpulkan oleh Biro Pusat Statistik (1992) untuk jumlah tambahan narapidana di seluruh LP di Indonesia pada tahun 1990, nampak bahwa dari 70.705 orang yang dipidana, "hanya" terdapat 4.481 wanita, atau 6,3% (untuk tahun 1988 dan tahun 1989 persentasenya sarna, yakni 6,91 %). Dengan demikian rata-rata per bulan terdapat kurang lebih 373 wanita yang masuk LP. Sebagai perbandingan, untuk tahun yang sama di Amerika Serikat terdapat 738.894 napi yang terdiri dari 698.410 pria dan 40.484 wan ita (5,48%), jadi sedikit lebih rendah dari persentase napi wanita di Indonesia (Bureaue of Justice Statistics, 1992: 636) Dari jumlab 4.481 wan ita yang dijatuhi pidana penjara dan kurungan pada tabun 1990 tersebut, 211 diantaranya berusia di bawah 16 tahun (dan dengan demikian tidak dibina di LP wanita). Menarik untuk diketahui bahwa 4.244 dari napi wanita tersebut -- atau 94,71 % -- dijatuhi pidana penjara kurang dari satu tahun, atau tengah menjalani pidana kurungan pengganti denda. Fakta selanjutnya menunjukan bahwa pada bulan Desember tahun 1990 tersebut, jumlah napi wan ita di seluruh LP di Indonesia adalah 631 (sedangkan jumlah napi pria 28.388). Tidak sulit, karenanya, untuk menyimpulkan bahwa turn-over rate Gumlah napi yang keluar dan masuk LP wanita) sangat tinggi, karena bila semata-mata dilihat dari jumlah tambahan napi wanita (dewasa), pada tabun 1990 saja terdapat4481-211 =4270 orang. Jika diingat bahwa ratio wanita dan pria di Indonesia adalah 52:48, proporsi wanita yang menjalani pidana penjara relatif jauh lebih kecil persentasenya Nomor J Tahun XXIV
30
Hukum dan Pembangunan
daripada pria. Tindak pidana yang menyebabkan wanita dibatasi kemerdekaannya dalam LP, nampaknya pada setengah dekade terakhir ini tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Untuk tahun 1990, misalnya, persentase terbesar adalah pencurian (rata-rata 15,78 %), diikuti oleh tindak pidana kesusilaan (7,8%), dan penganiayaan yaitu sebesar 4,22%. Untuk tabun yang sarna bagi napi pria, proporsi terbesar dari tindak pidana yang dilakukan juga pencurian (50,54%), yang diikuti dengan penganiayaan (9,64%) dan perampokan (5,07%). Dari kedua kelompok data tersehut dapat dilihat bahwa lebih banyak napi pria yang masuk ke LP karen a tindak pidana dengan kekerasan. Sayang sekali tindak pidana yang dilakukan wan ita tidak diperinci, sehingga tidak jelas bentuk tindak pidana apa saja yang mereka lakukan. Kembali ke populasi di Lembaga Pemasyarakat Wanita, ada satu fen omena yang cukup menarik yang dapat disimak dari hasil penelitiuan yang dilakukan oleh Purnianti dan Thomas Sunaryo setabun yang lalu di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang (1992). Dari 88 napi wanita yang ada di lembaga tersebut, 50% diantaranya terlibat dalam pembunuhan, 25% terlibat narkotika, sedangkan pencurian hanya 4,5% (sayang tidak sempat diungkapkan apakah ada korelasi antara pembunuhan dan narkotika). Bila dibandingkan dengan data tahun 1990 dimana napi wanita yang dipidana karena pembunuhan hanya merupakan 3,24% dari jumlah napi, proporsi tersebut sangat berbeda. Hal ini mungkin terjadi karena wanita yang dipidana karena pembunuhan tersebut dikonsentrasikan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang yang mungkin mempunyai fasilitas yang lebih baiuk daripada Lembaga Pemasyarakatan Wanita lainnya. Infra Struktur Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sebagai suatu program percontohan lembaga pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang dibangun berdasarkan desain yang sangat berbeda dengan bangunan "penjara" sebelumnya, karena tidak lagi terdiri atas suatu bangunan yang mengesankan "penjara" akan tetapi terdiri dari rumah-rumah/cottage yang dihuni oleh sekelompok napi wanita dan Pembina Lembaga Pemasyarakatan . Desain ini dirancang sedemikian rupa agar para napi masih dapat merasakan suasana kekeluargaan, walaupun sifatnya pseudo-familial, dengan tugas dan tanggung jawab tertentu. Keberadaan Lembaga Pemasyarakatan ini juga ditunjang oleh programprogram pendidikan bagi para napi, . yaitu merangkai bunga kering, kecantikan, sulam menyulam, menjahit, memasak dan berkebun (data dari Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Oktober 1993). Tidak Februari 1994
Wanita Dalnm Kungkungan
31
dilakukannya penelitian lapangan oleh penulis mengakibatkan tiadanya data yang dapat dipresentasikan mengenai keberhasilan program-program ini , termasuk persepsi para napi sendiri mengenai program tersebut. Dari program yang ditawarkan ini jelas bahwa yang diajarkan pada nap i wanita adalah keterampilan TUmah tangga (domestic works), yang jelas sangat berbeda dengan program pendidikan yang ditawarkan pada napi pria. Dengan kata lain, akses kaum wanita sebagai napi terhadap program pendidikan sangat terbatas, suatu hal yang berbeda dengan napi pria. Untuk golongan yang disebut terakhir ini, misalnya dilaporkan oleh Hasanuddin bahwa kursus-kursus keterampilan yang ditawarkan pada napi pria di Lembaga Pemasyarakatan Ujung Pandang meliputi antara lain bengkel mobil dan las, pembibitan tanaman , pembuatan perhiasan , pembuatan kerajinan tangan dari serbuk gergaji , kulit gelagah dan rotan, fotografi dan banyak lagi. Tidak adanya paritas dalam hal pemberian pendidikan pada napi pria dan wanita tersebut dapat dikembalikan pada persepsi masyarakat (termasuk lembaga sendiri) mengenai pembagian kerja secara seksual antara kedua kaum ini. Mengenai hal ini menarik untuk diketahui bahwa keadaan semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja, tapi juga di negaranegara lain. Di Amerika Serikat sendiri, dimana program rehabilitasi dimulai, pada tahun 1979 patut dicatat adanya kasus Glover v. Johnson, 478 F. Supp.1075 (E.D. Mich. 1979), yang diajukan pada ketika dimana napi pria memperboleh kesempatan untuk memilih dari 22 program keterampilan, sedang wanita hanya diberikan 3 pilihan (Reid, 1987: 470). Ditemukan pula oleh Pollock-Byrne bahwa sampai saat ini program keterampilan untuk napi wanita masih sangat terbatas, dan juga napi wanita mendapat kesempatan lebih kecil untuk terlibat dalam program industri di Lembaga Pemasyarakatan (Pollock-Byrne, 1990: 82). Bahwasanya napi wan ita dan napi pria mempunyai hak-hak yang sarna di negara kita sebenarnya dapat dikaitkan dengan pasal 27 ayat (1) yang tidak membedakan pria dan wanita di muka hukum, yang tentunya dalam Lembaga Pemasyarakatan perlu diterapkan pula dengan memperhatikan status mereka sebagai terpidana. Pasal 6 ayat (1) Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, secara eksplisit melarang adanya diskriminasi yang menentukan bahwa: The following rules shall be applied impartially. There shall be no qiscrimination on grounds of race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.
Nomor J Tahun XXIV
32
Hukum dan Pembangunan
Berkaitan dengan hal di atas, dikatakan oleh Allison Morris bahwa program keterampilan yang diberikan di lembaga pemasyarakatan wanita di Inggeris diupayakan untuk dapat menanamkan pada para napi citra tentang rumah yang baik, dan bagaimana mewujudkannya. Sebagai konsekwensinya, latihan-Iatihan yang diberikan adalah keterampilan rumah tangga/domestik, dengan. tujuan agar napi tersebut menjadi ibu rumah tanggga yang baik (Moris. 1978 : \06-I09)Dengan demikianm,simpul Moris,yang juga senada dengan opini pollck-byrne,lembaga pemasyarakatan sebenarnya tidak banyak mendidik para napi wanita untuk masuk ke dalam Iingkungan tenaga kerja industri, tetapi hanya menandaskan kembali fungsi wanita dalam rumah tangga. Meningkatnya partisipasi wanita dalam angkatan kerja pada dekade terakhir ini dapat dijadikan landasan bagi para pembuat kebijakan dalam LP wan ita untuk memperkenalkan ketrampilan-ketrampilan yang laku jual misalnya administrasi perkantoran, sales dll, untuk dapat memberi bekal bagi napi wanita bila keluar dari LP nanti.Ini juga selaras dengan tujuan pemasyarakatan yang dicanangkan oleh Saharjo diatas,yang setidaknya dapat membantu napi untuk menemukan pekerjaan yang memadai. Tentunya harus dipikirkan pula bahwa pendidikan keterampilan semacam ini tidak dapat ditawarkan untuk seluruh penghuni, karena harus pula dilihat kebutuhan, kemampuan dan juga lamanya napi tersebut berada di Lembaga Pemasyarakatan. Kendala klasik yang akan dihadapi tentunya dana untuk memungkinkan terselenggaranya program semacam ini. Membebankan semuanya pada Pemerintah tentunya bukan suatu solusi yang tepat; karenanya diperlukan bantuan dan kerjasama berbagai pihak seperti LSM dan juga perusahaan-perusahaan swasta maupun BUMN yang melllPunyai kepedulian sosial yang tinggi.
Interaksi dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Semua personel yang bekerja pada Lembaga Pemasyarakatan, baik Lembaga Pemasyarakatan wanita maupun pria sebenarnya mengemban tugas untuk membina dan memasyarakatkan para napi Qadi bukan hanya mereka yang ditugaskan sebagai "pembina" saja). Peranan para pembina memang sangat menentukan karena merekalah yang mengikuti kehidupan pada napi wan ita ini pada setiap waktu, dan laporan mereka mengenai "kemajuan" atau "kemunduran" atau "stagnasi " napi dalam pembinaan memegang peranan penting. Dapat diperhatikan di sini apa yang dikatakan Erving Goffman, bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan suatu "total institution ", yang Febl1J1Jri 1994
Wanita Dalam Kungkungan
33
membatasi waktu dan interest penghuninya, dan menciptakan suatu "selfexisting world" (Goffman, 196\: 18). Setiap facet kehidupan penghuni dilakukan dalam lokasi yang sarna dan tunduk pada satu otoritas yang sarna pula. Goffman menunjuk pada fungsi lembaga pemasyarakatan, sebagai suatu "social hybrid" (sebagai suatu komunitas pemukiman dan sekaligus organisasi formal) untuk memenuhi kebutuhan p •.. napi dan sekaligus personel lembaga. 8agaimanapun, akan selalu ad" _tegangan antara dua kepentingan kelompok yang berbeda: di satu pihak administrator lembaga yang menginginkan kondisi yang tertib dan "aman", sedang di pihak lain, napi yang merasa sebagai .kelompok yang interior, bersalah dan lemah, merasa perlu untuk mempertahankan "in-group feeling" mereka. Hilangnya peran aktif mereka sebagai anggota keluarga, lingkungan dan masyarakat memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan para napi pria, karena para umumnya kaum wan ita lebih dekat dengan keluarga -- terutama anak-anaknya -- daripada kaum pria. Rasa kehilangan ini dapat saja dimanifestasikan dalam bentuk "silent hostility" terhadap pertugas Lembaga Pemasyarakatan, yang di mata mereka merupakan representasi dari sistem peradilan pidana yang telah menyebabkan mereka terkungkung dalam tembok Lembaga Pemasyarakatan. Faktor ini pulalah yang memperkuat "in-group feeling" tadi, yang sering dilihat oleh personel Lembaga Pemasyarakatan sebagai sikap pembangkangan. Untuk dapat memahami lebih lanjut mengenai bentuk pembinaan yang tepat bagi para napi wanita, tentunya para petugas LP dan pembuat kebijakan haruslah terlebih dahulu mendalami dan memahami "field of psychology" dari para napi wanita ini. Keberadaan seorang wanita sebagai napi belumlah banyak diteliti oleh para pengamat dan penekun masalah sosial di Indonesia (demikian pula halnya dengan napi pria). karya klasik mengenai sub-budaya penjara ini misalnya pernah ditulis oleh Gresham Sykes (The Society of Captives, 1958) dan Donald Clemmer (The Prison Community, 1958), ¥ang pada dasarnya mengungkapkan bahwa sebagai suatu komunitas, para napi mempunyai seperangkat aturan-aturan yang sudah mapan dan seringkali juga dengan sanksi-sanksi yang dijalankan oleh para napi sendiri. Mengikut sertakan para "boss" napi untuk membantu jalannya lembaga peniasyarakatan (di Texas dikenal dengan nama "Building Tender") merupakan suatu kebijakan yang banyak diperdebatkan, karena walau di satu pihak mereka banyak membantu pelaksanaan tugas petugas LP (termasuk mengawasi napi lainnya), di pihak lain dikhawatirkan ada kecenderungan untuk menciptakan raja-raja kecil dalam lembaga, yang pada gilirannya dapat mengancam keamanan lembaga itu sendiri.
Nomor I Tahun XXIV
34
Hukum dan Pembangunan
Uraian-uraian singkat di atas merupakan beberapa contoh kasus yang harus difahami oleh para pembina, termasuk di LP Wanita. Adalah tugas mereka untuk dapat menciptakan suatu suasana yang kondusif untuk meningkatkan ,motivasi napi untuk kembali ke masyarakat sebagai seorang yang memperhatikan dan menghormati norma-norma yang berlaku. Perlu diingat pula bahwa penciptaan suatu suasana yang kondusif ini seyogyanya berlangsung dengan melibatkan peran-aktif petugas-petugas LP sendiri. Kelompok ini perlu menampakan kesan bahwa mereka termotivir untuk melaksanakan tugas selaku pembina yang sungguh-sungguh mengutamakan meningkatnya motivasi para napi untuk menghormati normanorma masyarakat "di luar" LP melalui pengalaman-pengalaman kongkret selama di dalam LP. "Impression management" ini perlu dilakukan agar petugas dapat "meletakkan" diri mereka dalam strata hubungan interpersonal yang tepat dengan kelompok binaan mereka: dekat namun tetap menjaga jarak demi tegaknya kepatuhan tanpa menimbulkan "hostility" lebih dalam lagi (yang secara bertahap haruslah dikikis dari dalam perbendaharaan pengalaman para napi); penuh empathy tapi perlu tidak mengkristalkan "ingroup feeling" yang dalam hal ini akan dapat menghambat pencairan perasaan bersalah dan inferior serta rasa tersisihkan mereka dari kelompok asalnya. Sekali lagi, napi wanita, bagaimanapun, cenderung lebih dekat dengan masalah efek, emosi, perasaan, dan sensitivitas dibandingkan dengan kaum napi pria, yang pada gilirannya dapat "dimanfaatkan" untuk mencapai secara efektif tumbuhnya keinginan untuk "conform" dan mau mematuhi norma yang-berlaku secara sukarela.
Upaya Pembinaan Sebagai Usaha Bersama Masyarakat Apa yang telah diuraikan di atas tidak dapat tidak memerlukan bantuan para pakar dari bidang-bidang tertentu seperti psikologi dan sosiologi, untuk mencapai hasil yang optimal. Nampaknya sampai kini belum dapat diwujudkan adanya suatu biro dalam LP yang ditunjang oleh kehadiran para pakar ini. Uluran tangan dari para pakar ini sangat diharapkan oleh LP bukan hanya untuk membantu para napi saja, akan tetapi juga dapat membantu para personel LP sendiri dalam kegiatannya baik sebagai pelaksana dari sub-sistem peradilan pidana maupun sebagai anggota masyarakat biaya yang dihadapkan pada berbagai masalah. Selain upaya pembinaan dalam lembaga yang memperhatikan hak-hak dan juga kebutuhan para napi wanita, perlu juga dipikirkan upaya untuk
Februari 1994
Wanita Dalam Kungkungan
35
membantu napi yang mendekati masa pembebasan dan yang sudah bebas. Konsep "Work-Release Program" dan "Halfway Houses" yang telah dikenal di negara-negara Barat bukannya tidak mungkin untuk diterapkan, dengan mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia,. "Work release", yang memungkinkan napi untuk bekerja di luar tembok menjelang waktu pembebasannya, merupakan suatu hal yang ideal. Akan tetapi perlu diantisipasi beberapa masalah yang perlu dihadapi. Pertama adalah mengenai seleksi , yakni kriteria apa saja yang perlu ditetapkan untuk dapatnya seorang napi wanita mengikuti program ini. Ini perlu ditetapkan agar napi mengetahui dengan jelas persyaratan yang dituntut darinya untuk diikutsertakan dalam program ini , dan pihak LP juga dapat menerapkannya secara obyektif. Masalah kedua adalah siapa yang dapat diminta bantuan unt\ik menyediakan pekerjaan bagi para napi . Saat ini, di mana semua orang bersaing untuk mendapatkan pekerjaan, tidak mudah untuk menghimbau pengusaha agar mempekerjakan napi. Walaupun demikian, dengan upaya dan kerjasama yang sungguh-sungguh dari banyak pihak < bukan tidak mungkin untuk mewujudkan hal ini. Wisma Persinggahan atau "Halfway House" juga dapat membantu napi dalam transisi dari kehidupan lembaga dan kehidupan bebas, yang umumnya dilaksanakan menjelang waktu pembebasannya. Lembaga yang dibangun di luar lembaga ini diharapkan dapat mempersiapkan napi untuk kembali, dengan memperkenalkan ia berkomunikasi dengan masyarakat luar, agar tidak terlampau gamang ketika ia keluar nanti. Untuk masyarakat Indonesia, dimana ikatan kekerabatan dan kemasyarakatan masih lebih kental dibandingkan dengan di negara Barat, bantuan anggota masyarakat di lingkungan asal napi seyogyanya ditingkatkan, agar sekeluarnya napi dari LP, usaha "social-adjusment" yang harus ia lakukan tidak banyak dihalangi oleh stigma yang telah melekat pada dirinya. Untuk ini keluarga dan lingkungan perlu disiapkan, agar napi tidak mer-as a dikucilkan sarna sekali dari lingkungannya. Kunjungan berkala pada keluarga dan lingkungan untuk mempersiapkan kehadiran napi kembali, dapat dilakukan , dengan bantuan BISPA, konsultan, dan juga LSM yang peduli akan masalah-masalah wanita khususnya. Bagi eks napi yang telah kembali ke masyarakat dan merasakan masih adanya kendala dalam "social-adjustment "nya, agaknya perlu dibantu dengan memungkinkan ia bertemu secara berkala dengan para eks napi lainnya untuk saling bertukar pengalaman tentang masalah yang mereka hadapi, dan dengan bimbingan seorang penasihat/consellor yang disiapkan LP, bersama-sama dicarikan upaya pemecahan masalah tersebut.
Nomor 1 Tahun XXIV
Hukum dan Pembangunan
36
Dengan demikian, apa yang dikenal dengan "community-service" atau pelayanan pada masyarakat agaknya perlu ditambahkan dengan "servicingcommunity", di mana justru masyarakatlah yang melayani (napi/eks napi) agar dapat kembali hidup bermasyarakat dengan baik, dan tidak kembali mengulangi perbuatan-perbuatan yang melanggar norma hukum pidana. Sebagai catatan akhir, penulis menghimbau pula pada kelompok akademisi dan juga kelompok praktisi untuk melakukan penelitian yang mendalam terhadap kehidupan sosial dalam LP (baik wanita maupun pria), agar dapat ditingkatkan pemahaman kita bersama mengenai pribadi-pribadi yang terlibat di lembaga tersebut, latarbelakang yang membawa mereka ke LP, dan masalah-masalah yang dijumpai berkaitan dengan keberadaan mereka di lembaga. Pemahaman yang mendalam ini pada akhirnya diharapkan dapat menbantu para pembuat kebijakan untuk dapat mengevaluasi apa yang selama ini telah dilakukan, dan jika diperlukan, dapat memodifikasi apa yang ada untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Kepustakaan
Biro Pusat Statistik (1992), Statistik Kriminil 1988-1990: Sumber Data Pengadilan Negeri. Jakarta: BPS. _ _ _ _ . (1992). Statistik Kriminil 1988-1990: Sumber Data Lembaga Pemasyarakatan. Jakarta: BPS. Bureau of Justice Statistics (1992). Sourcebook of Criminal Justice Statistics. Washington: Bureau of Justice Statistics. Clemmer, Donald (1958). The Prison Community. New York: Holt, Rinhart and Winston. Hasanuddin (1992). Terpidana Sebagai Sumber Daya Manusia dalam Pembangunan. Makalah pada Seminar Nasional tentang Pemasyarakatan Terpidana. Jakarta, 20-21 Oktober 1992. Morris, Allison (1987). Women, Crime and Criminal Justice. Oxford: Basic ~lackwell Ltd. Orland, Leonard (1975). Prison: Houses of Darkness. New York: The Free Press.
Februari 1994
Wanita Dalam Kungkungan
37
Pollock-Byrne, Joycelyn M. (1990). Women, Prison and Crime. Pacific Grove, CA: Brookes/Cole Publishing, Co. Purnianti dan Thomas Sunaryo (1992). Wan ita, Kejahatan dan Pemasyarakatan. Makalah pada Seminar Nasional tentang Pemasyarakatan Terpidana. Jakarta, 20-21 Oktober 1992. Reid, Sue Titus (1987). Criminal Justice: Procedures and Issues. St. Paul, Minn.: West Publishing Co .
-:Kami ~ memlanlu andt~ ANDA MEMBUTUHKAN BUKU DAN PENERBITAN HUKUM? Kebelulan Buku alau penerbilan yang dimaksud lidak ada di kola anda. padahal anda amal memerlukannya. Hubungi kami dengan sural damserlakan perangko balasan didalamnya. Kami akan segera membanlu anda Tala Usaha Mqjalah
JI. Cirebon 5 Telp. (021) 335432 Jakarta Pusal.
Nomor 1 Tahull XXIV