92
BAB IV MAKNA PENGUKUHAN AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN OLEH BUPATI/WALI KOTA
4.1. Otonomi Awig-awig Desa Pakraman Desa pakraman dengan hak otonomi yang diwujudkan dalam awig-awig desa pakraman bertujuan menjadikan masyarakat yang hidup bersama dalam satu wilayahnya bisa sejahtera. Menurut Rudolf Stammler, apa yang dikehendaki manusia dalam kehidupan sosial adalah hidup bersama yang teratur.1 Untuk menjamin hidup bersama yang teratur itu, perlu pengaturan segala hal yang terdapat dalam kehidupan bersama tersebut. Perbuatan mengatur itu wujudnya hukum. Hukum merupakan materi yang dibentuk untuk tujuan menciptakan hidup yang teratur. Teori yang diungkapkan Stammler ini menjelaskan hidup bersama yang teratur menghendaki adanya hukum sebagai penjamin keteraturan. Kehendak akan hukum ini yang disebut Stammler sebagai kehendak yuridis. Hukum sebagai kehendak yuridis manusia memicu kesadaran bersama dari kelompok masyarakat untuk membentuk peraturan bersama. Ada komitmen dan kesepakatan yang melampaui orang per orang. Karena sifatnya wajib, kehendak yuridis ini menuntut orang-orang menaati aturan hukum yang sudah dibuat.
1
Bernard L. Tanya, dkk, 2013, Teori Hukum. Strategi Tertib Manusia Lintas Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 113
93
Dari pemaparan teori ini menunjukkan keberadaan awig-awig desa pakraman merupakan sebuat komitmen dan kesepakatan bersama yang dijadikan aturan hukum. Aturan hukum ini wajib ditaati oleh masyarakat yang berada di wilayah tersebut. Teori ini juga diperkuat pendapat George Gurvitch yang menyatakan hukum itu kenyataan normatif. Menurutnya, hidup dalam masyarakat dapat berjalan aman, damai, dan stabil berkat hubungannya dengan keadilan.2 Gurvitch menyebut ada tiga hukum, hukum sosial yang murni dan berdaulat, hukum sosial yang murni tetapi dibawah pengawasan negara, dan hukum sosial yang murni yang diambil alih negara tetapi bersifat otonom. Secara etimologis, otonomi berasal dari bahasa Yunani, autos (sendiri) dan nomos (undang-undang). Jadi otonomi berarti hak untuk membuat undang-undang sendiri, hak untuk mengatur rumah tangga sendiri sebagaimana halnya kedaulatan bagi suatu negara.3 Hakikat otonomi dan kedaulatan bagi suatu daerah di dalam sistem administrasi menurut makna asalnya tidak memiliki perbedaan yang penting. Namun, dalam ilmu kenegaraan, tentu saja otonomi harus dibedakan dengan suatu kedaulatan. Kedaulatan merupakan cerminan kekuasaan yang lebih tinggi. Karenanya, otonomi atau hak untuk mengatur rumah tangga bukannya tanpa batas. Pembatasan perlu dilakukan demi kepentingan daerah itu sendiri untuk berkoordinasi.
2
Ibid, h. 133 HM. Agus Santoso, 2013, Menyingkap Tabir otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 12 3
94
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijabarkan tentang asas desentralisasi sebagai bentuk penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.4 Desentralisasi akan memberi peluang otonomi daerah dan akan memandirikan daerah dalam mengatur dirinya sendiri. The Liang Gie menyebutkan ada lima alasan dipilihnya desentralisasi.5 Pertama, dari sisi politik, bertujuan mencegah penumpukan kekuasaan di satu pihak saja yang pada akhirnya menimbulkan tirani. Kedua, desentralisasi dianggap tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri
dalam
mempergunakan
hak-hak
demokrasi.
Ketiga,
untuk
mencapai
pemerintahan yang efisien karena ada pembagian tugas antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Keempat, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan pada kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya. Kelima, pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan. Dalam perkembangannya, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berubah menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah atau yang dikenal juga dengan UU Otonomi. Penjelasan dari UU ini menguraikan 4
Siswanto Sunarno, 2014, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
5
Ibid.
h.123
95
pada hakikatnya otonomi daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah dan dalam pelaksanaanya dilakukan oleh kepala daerah (Bupati/Wali Kota). Tugas dan kewenangan kepala daerah diatur dalam pasal 65 ayat (1) Kepala daerah mempunyai tugas: a) memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b) memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; c) menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahasa bersama DPRD serta menyusun dan menetapkan RKPD; d) menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama; e) mewakili daerahnya di dalam atau di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; f) mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan g) melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ayat (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah berwenang: a) mengajukan rancangan Perda; b) menetapkan rancangan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; c) menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah; d) mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat
96
dibutuhkan oleh daerah dan atau masyarakat; e) melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mengenai kewajiban kepala daerah diatur dalam Pasal 67, Kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi: a) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b) menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan; c) mengembangkan kehidupan demokrasi; d) menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah; e) menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; f) melaksanakan program strategis nasional; dan g) menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah. Dari pengaturan ini sudah menunjukkan kepala daerah memiliki tugas memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Karena desa pakraman yang ada di Bali sudah memiliki awig-awig sebagai alat mengatur ketertiban, posisi kepala daerah dalam hal ini Bupati/Wali Kota hanya menjadi murdaning pamikukuh untuk memberi legalitas dari awig-awig tersebut. Namun, sebelum Bupati/Wali Kota membubuhkan tanda tangan sebagai pemikukuh tentu sudah harus dipastikan bahwa awig-awig itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demi keutuhan serta kesatuan nasional, peraturan-peraturan yang dibuat daerah, termasuk desa pakraman tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
97
nasional. Beberapa negara menetapkan bahwa tiap peraturan daerah memerlukan pengesahan dari pemerintah pusat. Jadi kekuasaan perundang-undangan pusat itu mengatasi peraturan-peraturan daerah. Otonomi daerah sebagai suatu prinsip merupakan penghormatan terhadap kehidupan regional menurut riwayat, adat, dan sifat-sifat sendiri dalam kadar negara kesatuan. Hal ini menunjukkan tiap daerah memiliki sejarah dan sifat yang berbedabeda. Karena itu, pemerintah harus menjauhkan usaha untuk menyeragamkan seluruh daerah menurut satu model.6 Secara teori, hak-hak otonomi menjadi ada kalau dasar-dasar dari keberadaan otonomi itu tersedia dan terpelihara. Dasar otonomi itu adalah apabila desa memiliki modal dasar berupa hak atas wilayah sendiri dengan batas-batas yang sah, hak untuk memilih dan mengangkat kepala atau majelis pemerintahannya sendiri, hak mengurus dan mengatur pemerintahannya sendiri, hak mempunyai dan mengurus/mengelola aset-aset desa dan keuangannya sendiri, hak atas tanah desanya sendiri, dan hak untuk memungut iuran/pajak lokal sendiri. Semua inilah yang menjadi modal dasar untuk bisa menegakkan otonomi asli desa.7 Otonomi daerah sudah diatur dalam UUD NRI 1945 pasal 18 ayat (2), Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Ayat (6), Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan 6 7
Ibid., h.15 Daddi H. Gunawan, op. cit., h.232
98
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Dalam hal ini yang dimaksud negara adalah termasuk pemerintahan daerah. Karena itu pemerintahan daerah ikut bertanggung jawab untuk mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat di daerahnya. Dalam perspektif teori hukum yang dikemukakan H.L.A. Hart, pengakuan berkaitan meta kaidah yakni kaidah pengakuan, kaidah perubahan, dan kaidah kewenangan.8 Kaidah pengakuan adalah kaidah yang menetapkan perilaku dari sebuah masyarakat hukum tertentu yang harus dipatuhi. Jika dikaitkan dengan pengakuan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, maka pengakuan bermakna pemberian status hukum kepada kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, termasuk hukum adatnya.9 Desa pakraman yang didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di provinsi Bali mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Mengurus rumah tangga sendiri ini diwujudkan dengan membuat aturan sendiri yang sesuai desa, kala, patra yang dihimpun dalam sebuah awig-awig desa pakraman. Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau 8
Marhaendra Wija Atmaja, “Konstitusionalitas Desa Adat: Memahami Norma Hukum Desa Adat dalam UUD NRI 1945” , Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Kedudukan Desa Adat dalam Sistem Ketatanegaraan RI yang diadakan Ikatan Alumni Universitas Udayana Komisariat Fakultas Hukum bekerja sama dengan Pusat Kajian Hukum dan Ideologi (PKHI) dan Pemerintah Provinsi Bali di Denpasar 28 Juni 2014 9 Ibid.
99
krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana, sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama desa pakraman/banjar pakraman masing-masing. Walaupun dibuat dan disepakati oleh krama desa pakraman, keberadaan awigawig tetap mendapat perhatian pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pengaturan mengenai awig-awig desa pakraman. Dalam hal pengaturan tentang awigawig terdapat dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Awig-awig desa pakraman sebagai produk otonomi dari desa pakraman sejatinya sudah dapat diberlakukan begitu awig-awig itu disahkan krama desa dalam paruman. Mekanisme pengukuhan itu dilakukan setelah awig-awig disahkan karena yang akan menjadikan awig-awig itu pedoman adalah krama desa pakraman bersangkutan. Awig-awig desa pakraman sebagai bagian dari hukum adat yang mencakup norma-norma dan nilai-nilai adat yang sangat dipatuhi dan dipegang teguh oleh masyarakat adat. Hukum adat ini berperan sebagi neraca yang dapat menimbang kadar baik atau buruk, salah atau benar, patut atau tidak patut, pantas atau tidak pantas suatu perbuatan atau peristiwa di masyarakat.10 Eksistensi hukum adat lebih sebagai pedoman untuk menegakkan dan menjamin terpeliharanya etika kesopanan, tata tertib, moral, dan nilai adat dalam kehidupan masyarakat. 10
A. Suriyaman Mustari Pide, 2014, Hukum Adat. Dahulu, Kini, dan Akan Datang, Prenada Media Group, Jakarta, h.87.
100
Hukum adat juga diakui keberadaan oleh konstitusi. Hal ini tertuang dalam Penjelasan Umum UUD NRI 1945 paragraf kedua. “Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionnel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-undang Dasarnya (loi constitutioneel) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga sebagaimana praktiknya dan bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar itu”.11 Tap MPRS No XX/MPRS/1966 telah mengukuhkan bahwa UUD 1945 menempati derajat paling tinggi dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia. Penempatan ini mengartikan tiap peraturan perundang-undangan harus mendapat validitas melalui UUD 1945. Karena itu, keberadaan dan pemberlakukan hukum adat masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945 serta didasarkan atas UUD 1945.12 Dengan adanya pencantuman klausul ini menunjukkan terjadinya pengukuhan dan pengakuan atas hukum adat yang tidak semata-mata sebagai hukum rakyat yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa dan memancarkan nilai-nilai hukum masyarakat yang akan selalu hidup, diartikan bahwa hukum adat sebagai bagian dari rechtsidee. Dengan demikian, masyarakat hukum adat memiliki basis konstitusional untuk mempertahankan haknya sebagai mana yang termaktub dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
11 12
Tim Permata Press, 2011, UUD 1945. Amandemen I, II, III, & IV. Permata Press, h.119 A. Suriyaman Mustari Pide, op. cit., h.114
101
Mahkamah Konstitusi pun sudah menegaskan masyarakat hukum adat merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Keberadaan masyarakat adat harus tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan dalam konstitusi, antara lain masyarakat adanya masih ada, selaras dengan perkembangan zaman, dan tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.13 Pengakuan ini sebenarnya secara tersirat sudah tercantum dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945, Dalam teritoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturen de landschappen dan Volksgemenschapen seperti desa di Jawa dan Bali, negari di Minangkabau, dusun dan menga di Palembang. Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dank arena itu dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah tersebut akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.
Pengakuan dalam konstitusi ini sangat perlu karena konstitusi merupakan aturan hukum tertinggi yang dapat membentuk atau meniadakan suatu lembaga dan bahkan meniadakan suatu lembaga atau bahkan dapat membatasi kebebasan anggota masyarakat.14 Dari ketentuan konstitusi, ada kesamaan arah (paralelisasi) antara tujuan masyarakat tradisional dan tujuan organisasi modern (negara). Paralelisasi ini tersirat dalam makna pengakuan (recognition) oleh konstitusi terhadap keberadaan 13
Yance Ariona, 2014, “Dibutuhkan Pengakuan Hukum Terintegrasi: Kajian Hukum Penerapan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau”, dalam Jurnal Wacana No 33 Tahun XVI, h.143 14 Pasek Diantha, “Paralelisasi dan Kontradiksi Nilai-Nilai Tradisional dengan Aturan Formal” dalam: I Gede Janamiyana dkk (Ed), 2003, Eksistensi Desa Pakraman di Bali, Yayasan Tri Hita Karana, Bali, h.36
102
masyarakat tradisional. Sebaliknya, masyarakat tradisional mengakui keberadaan konstitusi (termasuk di dalamnya Pancasila) dan undang-undang negara.15
4.2. Posisi Desa Pakraman dalam Negara 4.2.1. Desa Pakraman dalam Perspektif Teori Semi-Autonomus Social Field Desa pakraman memiliki otonomi atau hak untuk mengatur rumah tangga namun hak itu memiliki batas. Pembatasan perlu dilakukan demi kepentingan daerah itu sendiri untuk berkoordinasi. Untuk mengupas mengenai pembatasan ini, teori yang relevan adalah teori Semi-Autonomous Social Field. Seperti yang diuraikan dalam landasan teori di Bab I, Teori yang diperkenalkan Sally Falk Moore (1978) ini menjelaskan kapasitas kelompokkelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa. Kelompok-kelompok kecil yang semiotonom ini memiliki kapasitas untuk membuat aturan-aturan dan sarana untuk menyebabkan atau memaksa seseorang tunduk pada aturannya. Aturan ini diperuntukkan bagi siapapun yang berada dalam kelompok kecil ini. Aturan ini juga memiliki sanksi yang bertujuan untuk mencegah anggota kelompok kecil ini melakukan penyimpangan. Tetapi, saat yang bersamaan, kelompok kecil ini juga berada dalam suatu kelompok yang lebih luas yang dapat dan memang dalam kenyataannya
15
Ibid, h. 37
103
mempengaruhi dan menguasainya. Kadang-kadang hal ini terjadi karena dorongan dari dalam atau bisa juga karena kehendak sendiri. Kelompok besar ini pun memiliki aturan yang berlaku bagi kelompokkelompok kecil yang ada di dalamnya. Proses yang memungkinkan aturan-aturan yang timbul dari dalam menjadi efektif, juga seringkali merupakan kekuatankekuatan yang menentukan cara tunduk atau sebaliknya tidak tunduk kepada aturansturan hukum yang dibuat negara. Salah satu cara yang paling umum yang dilakukan kelompok besar, yang sifatnya terpusat, untuk memasuki kelompok-kelompok kecil di dalam lingkungan batasnya sendiri, melalui peraturan. Dalam ketatanegaraan, negara merupakan kelompok besar yang di dalamnya terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Untuk mengatur kelompok-kelompok kecil ini, negara menggunakan aturan perundang-undangan. Perundang-undangan seringkali disusun dengan harapan dapat mengubah pengaturan-pengaturan sosial yang berlaku dengan cara-cara tertentu. Karena hukum buatan negara yang berkuasa penuh bersifat hirarkis dalam bentuk, maka tak ada kelompok dalam negara yang bisa betul-betul otonom dari sudut pandang hukum. Bidang-bidang otonomi dan cara regulasi sendiri, penting artinya tidak hanya dalam lingkungan sosial dimana ia berada, tetapi juga berguna untuk menunjukkan cara bagaimana keduanya berhubungan dengan lingkungan sosial yang lebih luas.
104
Desa pakraman sebagai sebuah kelompok yang semi otonom memiliki kewenangan untuk membuat aturannya sendiri. Aturan ini disesuaikan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Namun, ketika berhubungan dengan masyarakat luar, mereka memahami adanya kesadaran untuk tunduk kepada aturan lain yang ruang lingkupnya lebih luas, dalam hal ini hukum negara. Walaupun masyarakat adat ini sudah memiliki awig-awig sebagai sarana untuk menuntun mereka mencapai keharmonisan, ternyata itu hanya berlaku dalam kelompoknya saja. Karena itu, ketika bersinggungan dengan kelompok lain perlu adanya payung hukum yang disepakati bersama. Sebagai masyarakat, mereka wajib tunduk terhadap hukum yang dibuat oleh negara sebagai kelompok yang lebih besar. Dalam mekanisme kehidupan desa pakraman, warga memiliki hak antara lain hak untuk memilih pimpinan adat, ikut dalam rapat (sangkep/parum) adat, ikut serta dalam pemerintahan desa pakraman bersama, dan berhak dipilih sebagai prajuru (pengurus) adat. Kewajibannya, melaksanakan ayahan (tugas) adat dan tunduk serta taat kepada peraturan yang berlaku bagu warga desa pakraman, yakni awig-awig baik tertulis maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang berlaku. Ketaatan terhadap hukum adat ini dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama, ketaatan yang disebabkan karena adanya perintah dari pemimpin-pemimpin masyarakat. Kedua, ketaatan yang disebabkan karena seperti itulah yang dikehendaki oleh lingkungan sosial yang menghendakinya. Ketiga, ketaataan yang disebabkan
105
karena itulah yang dianggap sesuatu yang sebanding atau adil oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan itu. Awig-awig sebagai hukum adat ditaati oleh masyarakat yang berada di wilayah desa pakraman. Awig-awig ini menjadi koridor dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pelestarian budaya Bali dan agama Hindu. Dalam awig-awig pun mencantumkan pamikukuh (dasar) seperti Pancasila, UUD 1945, dan Tri Hita Karana. Ini artinya secara hirarkis, awig-awig tunduk kepada aturan yang lebih tinggi, dalam hal ini konstitusi negara. Sebelum membuat sebuah awig-awig penting bagi masyarakat untuk memahami apa saja yang termuat dalam aturan itu. Proses pembuatan awig-awig sangat demokratis karena dibuat dalam paruman dan semua krama desa memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Sepanjang yang diatur merupakan hal-hal yang menguntungkan masyarakat, mereka akan mematuhinya. Proses pembuatan awig-awig ini tidaklah instan melainkan melalui proses panjang untuk menemukan sebuah aturan yang luwes dan dinamis. Sebagai hukum yang tumbuh dari bawah, secara sosiologis awig-awig memiliki legitimasi yang kuat dalam masyarakat karena fakta menunjukkan, awigawig diterima dan dipatuhi masyarakat. Konstruksi awig-awig sebagai hukum adat juga serba jelas. Konstruksi yang serba jelas ini identik dengan visual (dapat diinderai). Artinya tiap hubungan hukum yang dilakukan menurut hukum adat terjadi jika telah ada tanda-tanda pengikatnya yang nyata.
106
Dari uraian ini nampak bahwa krama desa pakraman yang sudah memiliki aturan sendiri dalam bentuk awig-awig tetap harus mematuhi hukum negara karena desa pakraman sebagai kelompok kecil berada dalam lingkup negara sebagai kelompok besar. Kewenangan desa pakraman untuk mengatur diri sendiri (otonomi) tidak bisa diberlakukan secara penuh. Kewenangan ini memiliki persyaratan seperti yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Jika semua persyaratan ini sudah dipenuhi oleh desa pakraman, maka negara pun mengakui eksistensi desa pakraman berikut awig-awig-nya. Karena itulah desa pakraman disebut sebagai kesatuan masyarakat yang semiotonom (semiautonomous social fields) karena tetap harus tunduk kepada aturan dari luar desa pakraman, yakni negara.
4.2.2. Awig-awig Desa Pakraman dalam Perspektif Teori Pluralisme Hukum Dengan adanya penghormatan terhadap awig-awig yang sudah dibuat sebagai bagian dari hukum adat serta penghormatan kepada hukum negara, menunjukkan ada dualisme hukum. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori Pluralisme Hukum yang dikemukakan J. Griffiths yang sudah diuraikan juga di sub bab landasan teori di Bab I.
107
Pluralsime hukum menyatakan adanya penekanan dikotomi keberadaan hukum negara terlihat ada interaksi sistem-sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state law) dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama (religious law) dalam suatu komunitas masyarakat. Pluralisme hukum inilah yang kemudian digunakan sebagai alat analisa untuk memahami dua atau lebih sistem hukum. Pada dasarnya ideologi sentralisme hukum yang melekat pada sistem hukum modern menyatakan apa yang dinamakan hukum itu hanyalah merujuk pada hukum negara yang berlaku sama bagi setiap orang. Griffiths pun menegaskan pluralisme hukumlah yang menjadi realitas. Ia membedakan pluralisme ke dalam dua situasi, pluralisme yang kuat (strong legal pluralism) dan pluralisme yang lemah (weak legal pluralism). Pluralisme hukum kuat terjadi jika kita hanya menerima hukum negara yang dijalankan otoritas negara sebagaimana yang diyakini pandangan sentralisme hukum. Sementara itu pluralisme hukum yang lemah diartikan penerimaan terhadap keragaman hukum sepanjang fakta keragaman ini diakui oleh negara. Dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistemsistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hirarki sistem hukum negara. Pluralisme hukum kuat terjadi ketika negara mengakui hadirnya sistem-sistem hukum lain di luar hukum negara dan sistem-sistem hukum non-negara tersebut memiliki kapasitas keberlakukan sama kuat dengan hukum negara. Negara dan
108
hukum non-negara memiliki kekuatan yang sama dalam memberlakukan hukum. Situasi yang terjadi adalah apa yang dinamakan hukum meliputi semua sistem normatif, dan tidak selalu sistemik dan seragam sebagai mana pandangan sentralisme hukum. Sebaliknya pluralisme hukum lemah terjadi ketika negara mengakui hadirnya sistem-sistem hukum di luar hukum negara tetapi sistem–sistem hukum non-negara itu tunduk keberlakukannya di bawah hukum negara. Pluralisme hukum lemah menerima keragaman hukum yang masih terkungkung sentralisme hukum. Dalam hal ini keragaman diterima sepanjang diakui oleh negara.. Pengakuan negara dan integrasi hukum rakyat ke dalam hukum negara menjadi isu pokok. Desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki otonomi dalam mengatur dirinya dengan adanya awig-awig desa pakraman. Dalam awig-awig itu diatur tentang segala hal yang berkaitan dengan desa pakraman, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.16 Hal ini menunjukkan desa pakraman sebagai pembuat awig-awig memiliki aturan hukum sendiri tetapi tetap tunduk kepada aturan hukum negara, dalam hal ini Pancasila dan UUD 1945. Negara pun mengakui keberadaan desa pakraman menurut ketentuan pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya.
Moh. Mahfud MD
mengatakan pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat ini mengandung empat konsekuensi. Pertama, kesatuan masyarakat hukum adat dapat 16
I Wayan Surpha I, loc. cit.
109
bertindak sebagai subjek hukum. Kedua, terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilekatkan hak dan kewajiban serta dapat melakukan tindakan hukum dalam hal kepemilikan tertentu. Ketiga, saat terdapat pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat maka dengan sendirinya negara mengakui sistem hukum yang membentuk dan menjadikan masyarakat itu sebagai kesatuan masyarakat hukum. Keempat, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat juga dengan sendirinya berarti pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa krama desa
pakraman pun
mengakui adanya dua sistem hukum yang berlaku yakni hukum negara dalam hal ini konstitusi serta hukum adat berupa awig-awig yang sudah mereka sepakati bersama. Awig-awig yang dibuat oleh desa pakraman pun sudah diatur secara yuridis dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945, Pancasila, dan hak asasi manusia. Ini artinya awig-awig harus tunduk kepada UUD NRI 1945. Mengacu dari penjelasan tentang pluralisme hukum ini, keberadaan desa pakraman dan awig-awig desa pakraman dapat dimasukkan ke dalam kelompok pluralism hukum lemah. Posisi desa pakraman sebagai bagian dari negara menunjukkan negara lebih superior. Namun, negara masih memberi peluang kepada desa pakraman untuk menunjukkan jati dirinya, dalam hal ini desa pakraman kewenangan untuk membuat aturannya sendiri. Kewenangan itu pun dibatasi dengan
110
cara menjadikan dasar negara dan konstitusi sebagai dasar dari aturan yang dibuat desa pakraman. Kewenangan (authority) dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “the right or permission to act legally on another’s behalf; esp., the power of one person to affect another’s legal realtions by acts done in accordance with the other’s manifestation of assent; the power delegate by principal to an agent”. Di sisi lain, negara mengakui eksistensi dan otonomi desa pakraman sepanjang sesuai dengan persyaratan yang dicantumkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Pengakuan bersyarat ini menunjukkan negara memiliki kewenangan yang lebih dominan terhadap desa pakraman. Ini merupakan ekses dari tundukkan desa pakraman terhadap kekuasaan negara. Otonomi yang dimiliki desa pakraman pun bukan pemberian negara. Otonomi desa pakraman berasal dari dukungan krama. Aturan yang dibuat desa pakraman yang dituangkan dalam awig-awig merupakan kesepakatan krama karena mereka meyakini itulah yang menjadi dasar bagi krama dalam bertingkah laku. Krama pun mengakui mereka merupakan bagian dari negara yang dalam hal ini kekuasaannya didelegasikan kepada Bupati/Wali Kota.
4.3. Makna Pengukuhan Awig-awig Desa Pakraman oleh Bupati/Wali Kota Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa pengukuhan awig-awig desa pakraman bermakna bagi desa pakraman, bagi pemerintah, dan bagi pihak lain diluar desa pakraman dan pemerintah.
111
Bagi desa pakraman, ada makna
filosofis, yuridis, dan sosiologis dari
pengukuhan awig-awig oleh Bupati/Wali Kota itu. Makna filosofisnya terlihat saat penandatangan dilakukan dalam sebuah prosesi atau ritual. Proses terakhir dari upaya pengukuhan awig-awig secara niskala dilakukan pada hari baik (dewasa ayu) yang ditunjukkan sulinggih. Proses ini disebut pasupati atau pemelaspasan awig-awig.17 Pasupati dapat diartikan memberi kekuatan secara niskala kepada awig-awig desa pakraman sehingga kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam awig-awig desa pakraman menjadi lebih ditaati oleh krama desa pakraman. Pasupati ini juga menjadi salah satu dari corak hukum adat yakni bersifat keagamaan (magis religius).18 Artinya, perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan berdasarkan ajaran Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Makna yuridis dari pengukuhan ini adalah memperkuat awig-awig desa pakraman. Secara yuridis sudah dijabarkan mengenai dasar pengukuhan yang bersumber dari konstitusi, UU, hingga peraturan daerah. Tanda tangan Bupati/Wali Kota menjadi penguat (bekrachting) dari awig-awig desa pakraman. Hal ini pun akan makin membuat krama desa pakraman untuk menaati apa yang sudah mereka sepakati. Makna sosiologis dari pengukuhan ini dapat terlihat dari proses awal penyusunan awig-awig desa pakraman. Keterlibatan krama mulai dari tahap perencanaan hingga tahap akhir membuat krama menjadi paham apa saja yang 17 18
I Ketut Sudantra, op. cit., h.29 Tolib Setiady, op.cit., h.33
112
tercantum dalam awig-awig mereka. Setelah awig-awig itu disepakati dalam paruman desa dan ditandatangani Bupati/Wali Kota akan menjadikan krama taat terharap norma-norma yang sudah mereka buat, sepakati, dan diketahui kepala daerahnya. Selain itu, dengan pengukuhan Bupati/Wali Kota ini menunjukkan desa pakraman memiliki aturan (awig-awig) yang menjadi salah satu syarat pengakuan eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia. Bagi pemerintah, dalam hal ini Bupati/Wali Kota, pengukuhan awig-awig desa pakraman memberi makna bahwa pemerintah sudah melakukan pendampingan sedari awal dalam proses penyuratan awig-awig desa pakraman. Dengan adanya pendampingan yang dilakukan instansi dari Dinas Kebudayaan dan Bagian Hukum ini juga menunjukkan pemerintah mengetahui adanya proses penyuratan awig-awig desa pakraman. Rancangan awig-awig ini dapat dikoreksi oleh instansi pemerintah termasuk MDP dan akademisi. Tujuannya adalah agar rancangan awig-awig tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD NRI 1945, dan hak asasi manusia. Setelah koreksi selesai dan tidak ada norma-norma yang bertentangan dengan Pancasila, UUD NRI 1945, dan hak asasi manusia, barulah rancangan awig-awig desa pakraman ini diselesaikan menjadi awig-awig desa pakraman. Setelah awig-awig desa pakraman disahkan dalam paruman desa pakraman selanjutnya ditandatangani oleh Bupati/Wali Kota sebagai murdhaning pamikukuh dan dicatatkan atau diregister di Kantor Bupati/Wali Kota. Pencatatan ini juga
113
menjadi data bagi Kantor Bupati/Wali Kota mengenai jumlah desa pakraman yang ada wilayah masing-masing. Pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh Bupati/Wali Kota ini menjadi penting karena secara yuridis ada aturan hukumnya, mulai dari UUD NRI 1945, UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Jika hal ini tidak dilakukan, pengakuan dari negara terhadap keberadaan desa pakraman menjadi tidak jelas. Karena itu pengakuan yang ditunjukkan dengan dengan adanya tanda tangan dan stempel Bupati/Wali Kota dalam awig-awig desa pakraman menunjukkan pengakuan secara de jure dan de facto keberadaan desa pakraman. Bagi pihak di luar desa pakraman dan pemerintah, seperti masyarakat, kalangan swasta, dan akademisi, pengukuhan awig-awig desa pakraman maknanya adalah mereka bisa mengetahui tentang adanya awig-awig desa pakraman tersebut serta bisa mendapatkan awig-awig tersebut untuk dipelajari. Awig-awig yang sudah di-pasupati bukanlah barang keramat yang tidak boleh dibuka apalagi tidak boleh dibaca.19 Adanya pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh Bupati/Wali Kota juga dapat dimaknai sebagai pengakuan negara kepada eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat. Tindakan pengakuan hukum sepenuhnya berbeda dari tindakan politik. Dalam hukum internasional, tindakan hukum adalah prosedur yang ditetapkan oleh 19
I Ketut Sudantra, loc.cit.
114
hukum untuk menetapkan fakta suatu negara dalam kasus. Bahwa negara mengakui suatu komunitas sebagai negara berarti negara yang disebut pertama menganggap komunitas tersebut adalah negara menurut pengertian hukum internasional.20 Pengakuan secara de jure dan de facto bisa menjadi hal yang dikaitkan dengan pengakuan oleh negara. Secara umum, pengakuan de jure bersifat final sedangkan pengakuan de facto bersifat sementara.21 Pengertian lainnya adalah pengakuan de jure merupakan pengakuan secara hukum sedangkan pengakuan de facto merupakan kenyataan yang terjadi di lapangan. Pengertian kedua jika diaplikasikan dalam pengakuan negara terhadap desa pakraman dapat diartikan sebagai pengakuan de jure karena adanya tanda tangan dan stempel Bupati/Wali Kota di bagian akhir sebuah awig-awig. Pengakuan secara de facto terlihat ketika Bupati/Wali Kota melakukan penandatanganan di hadapan masyarakat. Situasi ini biasanya dilakukan ketika Bupati/Wali Kota diundang ke desa pakraman untuk penandatanganan awig-awig. Kewajiban negara tidak hanya mengakui dan menghormati, tetapi juga melindungi dan memenuhi hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat sebagai hak asasi manusia.22 Pengakuan berarti mewajibkan negara untuk memberikan status hukum kepada kesatuan masyarakat hukum adat sehingga dapat tampil sebagai subjek hukum. Penghormatan berarti mewajibkan negara untuk tidak mengambil 20
Hans Kelsen, 2011, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, h.
21
Ibid., h.320 Marhaendra Wija Atmaja, loc. cit.
317 22
115
tindakan yang mengakibatkan tercegahnya akses atas hak-hak dari kesatuan masyarakat hukum adat. Perlindungan berarti mewajibkan negara untuk menjamin tidak adanya pelanggaran hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat oleh pihak ketiga dan memberikan sanksi terhadap pihak ketiga yang melanggarnya. Pemenuhan berarti mewajibkan negara untuk melakukan tindakan-tindakan legislatif, administratif, anggaran, yudisial, dan semua tindakan lain yang memadai guna pemenuhan sepenuhnya hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat. Berdasarkan teori tradisional, rakyat ialah manusia-manusia yang mendiami territorial negara. Mereka dianggap satu kesatuan. Negara memiliki satu territorial sebagai satu kesatuan hukum. Kesatuan hukum ini dibentuk oleh kesatuan tatanan hukum yang berlaku bagi para individu yang dianggap sebagai rakyat negara tersebut. Rakyat pun diatur oleh tatanan hukum nasional. Sebagai warga negara, warga berhak untuk dilindungi oleh negaranya sebagaim imbalan dari kesetiaan.23 Warga negara yang memiliki kesetiaan terhadap negara berhak atas perlindungan negara. Kesetiaan dan perlindungan tidak menunjukkan apa-apa selain kewajiban yang dibebankan tatanan hukum kepada warga negara yang menjadi subjeknya. Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa krama desa pakraman merupakan warga desa sekaligus warga negara karena wilayah desa pakraman berada dalam territorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan desa pakraman sudah
23
Hans Kelsen, op.cit.,h.336
116
diakui negara berdasarkan putusan MK dan telah memenuhi ketentuan pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengamanahkan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi desa adat dengan persyaratan24: a. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat territorial, geneologis, maupun fungsional. Artinya, masyarakat hukum adat tersebut harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok, pranata pemerintahan adat, harta kekayaan dan atau benda adat, serta perangkat norma hukum adat. b. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Artinya, masyarakat hukum adat tersebut keberadaannya telah diakui undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun sektoral, serta substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan lebih luas dan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. c. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, kesatuan masyarakat hukum adat itu tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia dan substansi norma hukum adatnya tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan. Desa pakraman beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip negara kesatuan dan tidak mengganggu eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dalam arti, keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas negara kesatuan Republik Indonesia, substansi norma 24
Moch. Solekan, 2014, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi Masyarakat, Setara Press, Malang, h.54
117
hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Desa pakraman dan hak tradisionalnya sesuai dengan perkembangan masyarakat karena diakui juga berdasarkan Undang-undang Perda, substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh desa pakraman bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Desa pakraman telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaanya, penjelasan pasal 18 UUD 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa, dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemmenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah tersebut akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. Karena adanya jaminan itu, keberadaan desa pakraman wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis, sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat adil, makmur, sejahtera. Dalam pelaksanaan hak-hak tradisionalnya, desa pakraman dilengkapi dengan kekuasaan mengatur kehidupan warganya sehingga segala kepentingan dapat
118
dipertemukan dalam suasana yang menjamin rasa aman dari
setiap warga.
Kekuasaan tersebut antara lain: 1. Menetapkan aturan-aturan untuk menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan tentram. Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dalam suatu rapat desa (paruman/sangkep). 2. Menyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat sosial religius. 3. Menyelesaikan sengketa-sengketa yang menunjukkan adanya pertentangan kepentingan antar warga desa. Kekuasaan-kekuasaan ini tidak dapat dilaksanakan dalam arti seluas-luasnya, melainkan memiliki keterbatasan. Keterbatasan itu menyangkut dalam hal pelaksanaan aktivitas parhyangan, pawongan, dan palemahan dalam lingkungan internal desa pakraman saja.25 Apabila menyangkut kepentingan yang lebih luas, seperti kepentingan krama tamiu dan tamiu, serta kepentingan institusi di luar desa pakraman, desa pakraman tidak dapat melaksanakan kemauan sendiri atas dasar “desa mawacara”. Desa pakraman yang telah terbukti secara konsisten dan konsekuen mempertahankan jiwa Bali (parhyangan Hindu), melalui aktivitas kramanya (pawongan), dan tata kelola lingkungan alam (palemahan) yang sesuai dengan agama Hindu. Dalam hal aktivitas krama sebagai masyarakat dari suatu pemerintah, mereka memiliki rasa hormat kepada pemerintah (guru wisesa) sebagaimana yang diajarkan 25
Wayan P. Windia III, op. cit., h.68
119
dalam Catur Guru. Agama Hindu mengenal ajaran Catur Guru (empat guru yang harus dihormati). Guru Swadyaya (Ida Sanghyang Widhi Wasa), yang ditandai dengan selalu bakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan berdoa, mengikuti ajaran-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Guru Wisesa (pemerintah), yang ditandai dengan mengikuti aturan-aturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Salah satunya yang berkaitan dengan awig-awig adalah mengikuti aturan atau pedoman yang sudah dibuatkan oleh pemerintah kemudian menunjukkan penghormatan kepada pemerintah dalam hal ini Bupati/Wali Kota untuk menandatangani awig-awig yang sudah dibuat desa pakraman. Guru Pangajian (guru di sekolah), yang ditunjukkan dengan menghormati guru yang sudah memberikan kita ilmu pengetahuan agar kita bisa menjadi orang yang berguna. Guru Rupaka (orangtua), yang ditunjukkan dengan selalu hormat dan berbakti kepada orangtua yang sudah melahirkan dan merawat kita. Penghormatan desa pakraman kepada negara juga tersurat dalam awig-awig karena awig-awig menjadikan Pancasila sebagai dasar. Bahkan, Pancasila juga direfleksikan dalam isi awig-awig. Sila Ketuhanan Yang Maha Eda ditunjukkan dengan pengaturan tentang kewajiban krama desa terhadap Kahyangan Tiga yang juga menjadi dari perwujudkan konsep Parhyangan. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ditunjukkan dengan adanya pengakuan martabat yang sama sebagai krama desa. Hal ini juga menjadi bagian dari perwujudan konsep Pawongan. Sila Persatuan Indonesia diwujudkan dengan adanya kekompakan dan kesatuan sebagai pengikat krama desa. Ini pun menjadi bagian dari perwujudan konsep Pawongan. Sila Kerakyatan yang Dipimpin Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
120
Perwakilan ditunjukkan dengan adanya musyawarah/paruman dalam pengambilan keputusan. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia ditunjukkan dengan adanya unsur kesukadukaan dalam kehidupan bermasyarakat. Desa pakraman juga memiliki kewajiban moral untuk membantu suksesnya otonomi daerah terutama di tingkat desa. Bentuk batuan moral itu adalah hubungan yang setara dan sinergis antara pemerintahan desa dengan desa pakraman. 26 Desa pakraman memiliki awig-awig yang merupakan kumpulan norma-norma dan nilai-nilai yang dihormati masyarakatnya. Norma didefinisikan sebagai suatu pernyataan yang dibuat oleh anggota kelompok, tidak perlu seluruhnya, yang mengatakan bahwa para anggota seyogyanya berada dalam keadaan-keadaaan tertentu, bertingkah laku menurut cara tertentu.27 Para anggota yang membuat pernyataan itu berpendapat, adalah suatu hal yang memberikan kepuasan apabila perbuatan-perbuatan sendiri dan orang lain sampai dengan taraf tertentu akan dapat bersesuaian dengan tingkah laku ideal yang dilukiskan norma bersangkutan. Seperti halnya norma, nilai didefinisikan sebagai suatu pernyataan tentang hal yang diinginkan seseorang. Norma dan nilai menunjuk pada hal yang sama tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Norma mewakili perspektif sosial sedangkan nilai melihatnya dari perspektif individu.
26 27
I Ketut Wiana, 2004, Mengapa Bali Disebut Bali?, Paramita, Surabaya, h. 162 Satjipto Rahardjo, 1984, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, h. 76-77
121
Lon L. Fuller melihat hukum sebagai usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Karena ada tekanan kata usaha, maka ada risiko kegagalan. Fuller juga menjelaskan delapan prinsip legalitas yang harus diwujudkan oleh hukum28, yakni: harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, peraturan itu harus diumumkan secara layak, peraturan tidak boleh berlaku surut, perumusan peraturan itu harus jelas dan terperinci hingga dapat dimengerti oleh rakyat, hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin, diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain, peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh terlalu sering diubah, dan harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat. Dalam hal awig-awig sebagai hukum adat yang dibuat oleh desa pakraman, delapan prinsip legalitas ini sudah diaplikasikan. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, ini dibuktikan dengan mengacu kepada awig-awig sebelumnya baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Ini merupakan acuan yang didasarkan pada norman-norma dan nilai-nilai yang berkembang di desa pakraman setempat. Peraturan itu harus diumumkan secara layak, ini dibuktikan dengan adanya paruman sebelum, selama, dan sesuah pembuatan awig-awig desa pakraman. Peraturan tidak boleh berlaku surut, ini ditunjukkan dengan menerapkan awig-awig bagi pelangggar yang melakukan pelanggaran setelah adanya awig-awig. Perumusan peraturan itu harus jelas dan terperinci hingga dapat dimengerti oleh rakyat, hal ini
28
Ibid., h.78
122
ditunjukkan dengan adanya perarem untuk membuat aturan yang lebih terperinci atau jika ada hal-hal yang belum ditulis dalam awig-awig. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin, itu ditunjukkan dengan adanya norma berupa perintah, larangan yang disertai dengan sanksi bisa ada yang melakukan pelanggaran. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain, ini dibuktikan dengan mengikuti prosedur pertanggaan perundang-undangan. Hukum yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Dalam hal ini awig-awig tunduk kepada Pancasila, UUD 1945, dan undang-undang yang berlaku di Negara Kesatuan Indonesia. Ini juga membuktikan desa pakraman tunduk kepada pemerintah dan negara. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh terlalu sering diubah, ini dibuktikan dengan tidak mudahnya proses pembuatan atau perubahan awig-awig. Ada tahap pembuatan dan penulisan awig-awig, yang dimulai dari persiapan berupa paruman desa dengan agenda rencana penulisan awig-awig atau revisi awig-awig. Jika disetujui krama, dilanjutkan dengan membentuk Panitia Penulisan Awig-awig. Panitia yang sudah terbentuk ini wajib matur piuning di Pura Kahyangan Desa sebelum memulai tugasnya. Selanjutnya mereka mulai membagi diri menjadi panitia kerja yang masing-masing membahas Parhyangan, Palemahan, dan Pawongan. Panitia mempelajari awig-awig tertulis maupun tidak tertulis. Bila perlu, para ahli terkait bisa diundang untuk memberikan pencerahan dalam penyusunan draf ini. Setelah Panitia selesai merumuskan draf awal rancangan awig-awig, draf ini
123
disosialisasikan ke krama desa untuk mendapatkan masukan. Cara sosialisasi bisa melalui paruman atau sangkep. Masukan-masukan baru diolah oleh panitia. Jika sudah disetujui oleh rapat panitia penulisan awig-awig, draf awal ini dapat ditetapkan menjadi draf akhir rancangan awig-awig desa pakraman. Terakhir, penyelesaian penulisan awig-awig yang ditandai dengan meminta persetujuan krama terkait rancangan awig-awig tertulis. Awig-awig yang sudah ditetapkan ini selanjutnya harus dipatuhi oleh semua krama, termasuk prajuru. Tindakan-tindakan prajuru pun sesuai dengan yang sudah diatur dalam awig-awig. Hukum adat yang didasarkan pada proses interaksi di masyarakat ini memberi manfaat dalam pembangunan hukum, seperti yang diungkapkan Soerjono Soekanto.29 Ada cenderungan di dalam hukum adat untuk merumuskan keteraturan perilaku mengenai peranan dan fungsi. Di dalam hukum adat biasanya perilaku-perilaku dengan segala akibatnya dirumuskan secara menyeluruh, terutama untuk perilaku menyimpang dengan sanksi yang negatif. Biasanya di dalam hukum adat dirumuskan perihal penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi, yang kadang bersifat simbolis dengan mengadakan atau menyelenggarakan upacara-upacara tertentu. Menyangkut masa depan hukum adat, Mochtar Kusumaatmaja memandang hukum sebagai gejala normatif dan gejala sosiologis. Hukum tidak hanya sebagai kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat tetapi juga meliputi lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya 29
A. Suriyaman Mustari Pide, op. cit. hal.159-160
124
hukum itu. Konsep dasar yang dimaksud adalah hukum adat. Hukum adat dengan sifat dan karakteristiknya kemudian disanering dan menjelma menjadi hukum positif atau hukum nasional yang saat ini berlaku. Hukum adat sebagai hasil kesepakatan masyarakat yang diberi bentuk hukum (bersifat normatif)
diidentikan dengan hukum kebiasaan yang mengandung dua
pemahaman. Pertama, identik dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat etnis dan lingkungan hukum adat. Kedua, kebiasaan yang diakui masyarakat dan pengambil keputusan sehingga lambat laun menjadi hukum (customary law). Hukum kebiasaan ini kemudian bersifat nasional. Hukum adat yang termasuk hukum tidak tertulis ini hendaknya dimantapkan sebagai sumber hukum dengan mengingat bahwa pranata hukum kebiasaan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan pemantapan ini bukan untuk mengesampingkan peraturan perundang-undangan. Karena itulah awig-awig desa pakraman yang dibuat berdasarkan kesepakatan krama desa pakraman tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan tidak mengesampingan peraturan perundang-undang yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena desa pakraman merupakan bagian tak terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.