II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PROSES PEMBEKUAN Pembekuan adalah proses penurunan suhu dari suatu bahan sampai mencapai suhu di bawah titik bekunya. Proses pembekuan ditandai dengan terjadinya perubahan fase air menjadi padat (kristal-kristal es). Prosesnya terjadi secara bertingkat dari permukaan sampai ke pusat termal bahan. Pusat termal bahan adalah titik yang terletak paling jauh dari media pembeku. Pada titik ini proses pembekuan berlangsung paling lambat. Pembekuan merupakan suatu usaha untuk mempertahankan mutu bahan pangan. Bahan pangan beku memiliki masa simpan yang jauh lebih panjang dari pada bahan pangan dingin. Dalam proses pembekuan terjadi pelepasan panas dari dalam produk dan selanjutnya produk akan mengalami penurunan suhu seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Suhu
A B
Tf
D
S
C tf
Ts
E F
Waktu Gambar 1. Grafik suhu-waktu pada pembekuan. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1, Fellows (2000) membagi pembekuan menjadi enam bagian sebagai berikut: AS : Bahan pangan didinginkan hingga mencapai suhu di bawah titik bekunya (Tf). Pada titik S, air masih berada dalam fase cair meskipun berada dalam kondisi di bawah titik beku. Fenomena ini dikenal sebagai periode supercooling. SB : Peningkatan suhu bahan hingga mencapai titik beku. Terjadinya peningkatan suhu diakibatkan karena adanya pelepasan panas laten bahan.
3
BC : Pelepasan panas laten bahan. Pada tahap ini, suhu bahan cenderung konstan, dan terjadi penurunan titik beku dengan semakin meningkatnya konsentrasi larutan pada bagian air yang tak terbekukan. Periode ini merupakan periode pembentukan kristal es. CD : Salah satu komponen yang terdapat dalam larutan menjadi sangat jenuh (supersaturated) dan mengalami kristalisasi. Pelepasan panas laten kristalisasi mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu sampai mencapai suhu eutectic dari komponen tersebut. DE : Kristalisasi air dan larutan pada bahan pangan terus berlangsung. EF : Penurunan suhu bahan pangan hingga mencapai suhu pembekuan yang diinginkan. Pada kondisi yang sangat rendah, masih terdapat air yang tak terbekukan pada bahan pangan. Jumlah air yang tak terbekukan dipengaruhi oleh komposisi bahan pangan yang dibekukan. Kristalisasi air mengakibatkan peningkatan konsentrasi larutan yang tersisa dan penurunan titik beku pada bagian tersebut. Proses ini berlangsung secara kontinu bersamaan dengan terbentuknya kristal es. Seiring dengan penurunan suhu, masing-masing zat terlarut akan mencapai titik jenuh dan mengalami kristalisasi. Suhu pada saat terjadinya kristalisasi dari masing-masing zat terlarut mengalami kesetimbangan dengan es dan cairan tak terbekukan disebut dengan suhu eutectic. Identifikasi titik eutectic untuk masing-masing larutan pada bahan pangan sulit dilakukan, oleh karena itu digunakan istilah suhu akhir eutectic. Suhu akhir eutectic adalah suhu eutectic terendah dari masingmasing larutan yang terdapat di dalam bahan pangan (Fellows, 2000). Pada saat suhu bahan berada di bawah titik beku, fraksi tertentu dari air masih berada dalam keadaan cair. Besarnya fraksi ini akan berkurang dengan menurunnya suhu. Namun demikian masih terdapat air yang tidak membeku pada suhu yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena terdapat dua macam air yang terdapat dalam bahan pangan, yaitu air terikat dan air bebas. Definisi air terikat adalah air yang tidak dapat membeku pada suhu –20.5°C. Sedangkan air bebas adalah air yang menunjukkan sifat-sifat fisis dan kimia yang sesuai dengan kondisi larutannya (Heldman dan Singh, 1980). Pengurangan air bebas dalam
4
bahan pangan diharapkan dapat memperbaiki kualitas bahan pangan yang dibekukan (Desrosier, 1988).
B. PEMBEKUAN DAGING SAPI Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasi pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Berdasarkan keadaan fisiknya, daging dapat dikelompokkan menjadi: (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging beku), (4) daging masak, (5) daging asap, dan (6) daging olahan (Soeparno, 1994). Daging sapi merupakan salah satu hasil ternak yang banyak dikonsumsi manusia terutama di Indonesia. Pada umumnya daging sapi segar mempunyai komposisi dan nilai energi yang tidak jauh berbeda, yaitu: protein 17 %, lemak 20 %, kandungan air 62 %, abu 1 %, serta kalori sebanyak 250 per 100 gram (Natasasmita et al., 1987). Daging adalah komoditas yang cepat mengalami kerusakan fisik yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Salah satu metode yang umum digunakan untuk mencegah kerusakan dan menambah umur simpan daging adalah dengan metode pembekuan. Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk mengawetkan daging, karena proses pembekuan tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap warna, rasa dan kadar jus daging setelah pemasakkan, tetapi penyimpanan beku dapat mengakibatkan terjadinya penurunan daya terima dari bau dan rasa. Kualitas daging yang dibekukan dipengaruhi oleh: (a) lama waktu penyimpanan daging di dalam ruang pendingin, (b) laju pembekuan, (c) lama penyimpanan beku, (d) kondisi penyimpanan beku, (e) kondisi daging yang dibekukan (Rachmawan, 2001). Menurut
Nilsson
(1971),
ada
empat
faktor
yang
utama
yang
mempengaruhi mutu dari daging yang dibekukan, yaitu: (1) bahan baku (daging yang akan dibekukan), (2) proses pembekuan, (3) kondisi selama penyimpanan setelah pembekuan, (4) pencairan/thawing dari daging yang telah dibekukan.
5
Air yang terdapat di dalam daging tidak membeku secara sekaligus, tetapi pembekuannya berlangsung secara berangsur-angsur. Air yang membeku di dalam daging tidak dapat digunakan lagi oleh mikroorganisme dan reaksi-reaksi kimia di dalam daging. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pembekuan dapat menyimpan daging dalam jangka waktu yang lama. Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil daging beku yang baik, yaitu: (a) daging berasal dari ternak yang sehat, (b) daging berasal dari pemotongan ternak dengan cara yang baik, (c) daging telah mengalami proses pendinginan, (d) daging dibungkus dengan bahan yang kedap udara, (e) temperatur pembekuan -18oC atau lebih rendah lagi. Kerusakan kimia dan fisik pada daging dapat terjadi akibat penyimpanan beku, yaitu: (a) kehilangan zat-zat gizi pada waktu daging beku dikembalikan ke bentuk asal, (b) perubahan warna daging dari merah menjadi gelap, (c) timbulnya bau tengik pada daging (Rachmawan, 2001).
C. TITIK BEKU Titik beku suatu larutan adalah suhu yang dapat dicapai saat terjadi keseimbangan antara cairan dan padatan. Desrosier (1988), mengemukakan bahwa titik beku cairan pada bahan pangan adalah suhu dimana cairan tersebut berada dalam keadaan keseimbangan dengan bahan padatnya. Informasi ini sangat diperlukan karena selama pembekuan banyak terjadi perubahan-perubahan pada produk baik fisik, kimia maupun biologis. Estimasi titik beku beberapa bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Titik Beku Beberapa Bahan Pangan No.
Jenis Bahan
Titik Beku (°C)
1
Sayuran
-0.8 sampai -2.8
2
Buah-buahan
-0.9 sampai -2.7
3
Daging
-1.7 sampai -2.2
4
Ikan
-0.6 sampai -2.0
5
Susu
-0.5
6
Telur
-0.5
Sumber: Fellows (2000)
6
D. LAJU PEMBEKUAN Laju pembekuan akan menentukan mutu produk beku dan waktu pembekuan. Laju pembekuan ada dua macam, yaitu pembekuan lambat dan pembekuan cepat. Waktu yang diperlukan untuk melewati temperatur 0°C sampai -5°C, biasanya dipergunakan sebagai petunjuk kecepatan pembekuan. Cepat atau lambatnya suatu proses pembekuan adalah suatu pengertian yang relatif. Namun secara umum proses pembekuan lambat akan berpengaruh kurang baik terhadap mutu bahan beku. Ramaswamy dan Tung dalam Lisnawati (1996) menyatakan, lama pembekuan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh bahan pangan untuk membeku dimulai suhu permukaan mencapai 0°C sampai pusat bahan mencapai suhu tertentu. Sedangkan Heldman dan Singh (1980) menyatakan laju pembekuan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu produk pada titik yang paling lambat menjadi dingin atau beku, dihitung dari saat tercapainya titik beku awal sampai tercapainya tingkat suhu yang diinginkan di bawah titik beku produk tersebut. Menurut Lembaga Refrigerasi lnternasional dalam Kamal (2008), laju pembekuan suatu bahan pangan adalah perbandingan antara jarak minimal permukaan dengan titik pusat termal dengan waktu yang diperlukan oleh produk pangan mencapai suhu 0°C pada permukaan bahan sampai mencapai suhu -5°C pada pusat termal bahan. Tiga persamaan dasar yang digunakan untuk menghitung laju pembekuan (freezing rate) adalah
Beku
Tak beku
qkonveksi
a qkonduksi Gambar 2. Skema pembekuan (Kamal, et al., 2007) 1. Perpindahan Panas Konduksi:
q=
kA (Ta − Tmf ) ...................................................................................... (1) x
7
2. Perpindahan Panas Konveksi: q = hc A(T∞ − Ta ) ....................................................................................... (2) 3. Laju perpindahan panas pada saat perubahan fase:
q = Aaρ
dx .............................................................................................. (3) dt
Pengaturan kembali tiga persamaan di atas menghasilkan: (T − Tmf ) ⎛ 1 x⎞ ⎜⎜ + ⎟⎟dx = ∞ dt ...................................................................... (4) ρ a h k ⎝ c ⎠
Integrasi persamaan tersebut dari 0 sampai tinggi a, dimana a adalah tebal sampel menghasilkan persamaan berikut: x hc
a
0
2 1 x +2 k
a
=
T∞ − Tmf
0
aρ
tF
...................................................................... (5)
t 0
Penyelesaian persamaan tersebut menjadi: tF =
a2 ⎞ ⎟ ........................................................................... (6) ⎜⎜ + − T∞ ⎝ hc 2k ⎟⎠
ρ ⋅a ⎛ a Tmf
Sehingga laju pembekuan sebagaimana dinyatakan oleh Lembaga Refrigerasi Internasional, 1971 adalah: Lp = a ∗ 360000 / t F (cm/jam) .................................................................. (7)
King dalam Ruliyana (2004), membagi laju pembekuan ke dalam 3 golongan yaitu: 1) Pembekuan lambat, bila pembekuan adalah 30 menit atau lebih untuk 1 cm bahan yang dibekukan, 2) Pembekuan sedang, bila waktu adalah 2030 menit untuk 1 cm bahan yang dibekukan, dan 3) Pembekuan cepat, bila waktu adalah kurang dari 20 menit untuk 1 cm bahan yang dibekukan. Laju pembekuan dapat diatur dan sangat menentukan sifat dan mutu produk beku yang dihasilkan. Sifat produk yang diakibatkan oleh pembekuan yang sangat cepat sangat berbeda dari produk yang dihasilkan dari pembekuan lambat. Pembekuan yang sangat cepat akan menghasilkan kristal es yang kecil tersusun secara merata pada jaringan. Sedangkan pembekuan lambat akan menyebabkan terbentuknya kristal es yang besar yang tersusun pada ruang antar sel dengan ukuran pori yang besar. Dari segi kecepatan berproduksi, pembekuan secara sangat cepat dianggap menguntungkan, selama mutu produk yang
8
dihasilkan tidak dikorbankan (Heldman dan Singh, 1980). E. KAJIAN ENERGI
Prinsip pembekuan suatu bahan adalah penurunan suhu bahan tersebut sampai di bawah titik bekunya, sehingga air di dalam bahan akan membeku. Dari termodinamika telah diketahui bahwa penurunan suhu merupakan suatu pengambilan energi dalam bentuk panas (Tambunan, 2001). Energi yang dilepaskan untuk mendinginkan bahan sampai titik bekunya adalah: Qsensibel >Tb = mbahan x Cp1 x (Ti − T f ) ....................................................... (8)
Energi yang dilepaskan untuk mengubah fase cair menjadi padat (kristalkristal es) adalah
Qlaten = γ x mair x Lair ........................................................................... (9) Energi yang dilepaskan untuk menurunkan suhu bahan dari titik beku sampai suhu akhir yang dikehendaki adalah Qsensibel
Dengan demikian energi total yang dilepaskan untuk membekukan bahan pangan dan menurunkan suhunya sampai mencapai suhu penyimpanan beku adalah Q p = Qsensibel >Tb + Qlaten + Q sensibel
F. KAJIAN EKSERGI
Konsep eksergi pertama-tama digunakan oleh Ront dari Jerman yang berarti bagian energi yang berguna (Abdullah, et al., 1991). Tingkat kegunaan energi tersebut adalah bagian dari energi yang dapat dikonversikan menjadi kerja mekanis. Analisis eksergi menunjukkan terjadi pengurangan signifikan pada total eksergi yang hilang dan eksergi masukan berupa panas yang harus dipindahkan selama tahap pembekuan. Hal ini dapat diperoleh dengan mengamati sebaran suhu sumber pendingin ketika tahap pembekuan berlangsung. Sebaran suhu sumber pendingin seharusnya memberikan penghematan yang berarti dalam penggunaan energi selama tahap pembekuan (Bruttini R, Crosser O.K, dan Liapis A. I. dalam Hapsoro, 2006).
9
Bruttini R, Crosser O.K, dan Liapis A. I. dalam Hapsoro (2006) mengemukakan bahwa perubahan entalpi dan entropi selama tahap pembekuan bisa dihitung dari persamaan 12 dan 17 sebagai berikut: ΔH f = Qsensibel >Tb + Qlaten + Qsensibel
ΔHfs = mdr (1+y) [Cp1 (Tphc - Ta)] – γ(mdr ) y ΔHf + mdr (1+y) [Cp2 (Tspds – Tphc)] .............................................. (13)
S1 – S2 = ΔSfs =
∫
∫
dH fs T
dH fs T
.................................................................................. (14) ..................................................................................... (15)
ΔSfs =
∫m
dr
(1 + y) [Cp1 (Tphc - Ta )] - ∫ γ (m dr ) y ΔH f + ∫ m dr (1 + y) [Cp 2 (Tspds - Tphc )]
........................................................................................................ (16) ΔSfs = ⎡ ⎛ T phc mdr (1 + y ) ⎢Cp1 ⎜⎜ ln ⎝ Ta ⎣⎢
⎡ ⎡H ⎤ ⎛ T ⎞⎤ ⎟⎟⎥ − γ (mdr ) y ⎢ f ⎥ + mdr (1 + y ) ⎢Cp 2 ⎜ ln spds ⎜ T ⎢⎣ phc ⎠⎦⎥ ⎣⎢ T phc ⎦⎥ ⎝
⎞⎤ ⎟⎥ ⎟⎥ ⎠⎦
........................................................................................................ (17) mair = mawal bahan x KA
dimana:
mdr = mawal bahan – mair
y=
mair mdr
Fraksi air bebas yang merupakan air yang dapat membeku selama proses pembekuan. Fraksi air bebas (γ) dapat dihitung dengan menghitung fraksi air yang tidak dapat membeku sebagai berikut: ln Xa =
H f .air .M a ⎛ 1 1 ⎜ − ⎜ Rg ⎝ T phc air Tspds
ma Xa =
Mb =
ma
Ma
Ma m + s
⎞ ⎟ ....................................................... (18) ⎟ ⎠
......................................................................... (19)
Ms
KA − m a ...................................................................................... (20) KA
10
γ=
mb × m air ....................................................................................... (21) mbahan
Sedangkan panas (Qfs) yang harus dipindahkan selama tahap pembekuan harus sama dengan perubahan entalpi selama tahap pembekuan, sebagai berikut:
ΔQfs = ΔHfs .......................................................................................... (22) Perubahan eksergi, ΔEfs, selama tahap pembekuan didapat dari diferensial persamaan keseimbangan energi sebagai berikut:
dQ = dU + dW .................................................................................... (23) dimana dW = p dV, dan
dQ = dS , dQ = T dS, maka: T
T dS = dU + p dV ............................................................................... (24) H = U + p V ....................................................................................... (25) dH = dU + d(pV) = dU + p dV + V dp .............................................. (26) dU + p dV = dH – V dp ....................................................................... (27) T dS = dH – V dp ................................................................................. (28) V dp = dH – T dS ................................................................................. (29) V (p2 – p1) = (H2 – H1) – T(S2 – S1) .................................................... (30) V (p2 – p1) merupakan bentuk lain dari perubahan energi (E), sehingga V (p2 – p1) = ΔEfs, maka perubahan eksergi dapat dihitung dengan persamaan berikut: ΔEfs = ΔHfs – Ta ΔSfs ......................................................................... (31)
dimana eksergi input (Efs), dalam proses pembekuan, dari panas (Qfs), y ang harus dipindahkan selama tahap pembekuan, ditetapkan dari persamaan: Efs = Qfs x ηmax ................................................................................... (32) ⎡ (T − Ta ) ⎤ Efs = Q fs ⎢ cs ⎥ ........................................................................... (33) T cs ⎣ ⎦
dan keseimbangan eksergi selama tahap pembekuan diberikan dengan persamaan 34:
El,fs = Efs – ΔEfs ................................................................................... (34) Total eksergi yang hilang (El,fs), menunjukkan jumlah energi yang hilang dalam tiga tahap pembekuan seperti berikut:
11
El,fs = El,Ta→ Tphc + El,Tphc + El,fs→Tspds .................................................. (35) Untuk mendapatkan nilai El,Ta→ Tphc , El,Tphc, dan El,fs→Tspds secara terpisah dapat dihitung dengan menurunkan persamaan 36 sebagai berikut:
El,fs = Efs – ΔEfs................................................................................. (36) ⎛T −T ⎞ El,fs = Q fs ⎜⎜ cs a ⎟⎟ − (Q fs − Ta ΔS fs ) ................................................ (37) ⎝ Tcs ⎠ ⎛T −T ⎞ = Q fs ⎜⎜ cs a ⎟⎟ + Ta ΔS fs − Q fs .................................................... (38) ⎝ Tcs ⎠ ⎞ ⎛T −T = Q fs ⎜⎜ cs a − 1⎟⎟ + Ta ΔS fs ........................................................ (39) ⎠ ⎝ Tcs ⎛T −T −T ⎞ = Q fs ⎜⎜ cs a cs ⎟⎟ + Ta ΔS fs ..................................................... (40) Tcs ⎠ ⎝ ⎛ −T ⎞ = Q fs ⎜⎜ a ⎟⎟ + Ta ΔS fs ................................................................. (41) ⎝ Tcs ⎠ Q ⎞ ⎛ = Ta ⎜⎜ ΔS fs − fs ⎟⎟ ....................................................................... (42) Tcs ⎠ ⎝
Nilai El,Ta→ Tphc , El,Tphc, dan El,fs→Tspds dapat dihitung dari persamaan :
⎞⎤ ⎟⎟⎥ .................................. (43) ⎠⎥⎦
⎡ ⎛ T phc El,Ta→ Tphc = Ta Cp1 mdr (1 + y ) ⎢ln⎜⎜ ⎢⎣ ⎝ Ta
⎞ ⎛ (T phc − Ta ⎟⎟ − ⎜⎜ ⎠ ⎝ Tcs
⎡⎛ 1 El,Tphc = Ta γ (mdr y ) H f ⎢⎜⎜ ⎣⎢⎝ Tcs
⎞⎤ ⎟⎥ ......................................................... (44) ⎟⎥ ⎠⎦
⎞ ⎛ 1 ⎟⎟ − ⎜ ⎜ ⎠ ⎝ T phc
⎡ ⎛ Tspds El,fs→Tspds = Ta Cp 2 mdr (1 + y ) ⎢ln⎜ ⎢⎣ ⎜⎝ T phc
⎞ ⎛ (Tspds − T phc ⎟−⎜ ⎟ ⎜ Tcs ⎠ ⎝
⎞⎤ ⎟⎟⎥ ............................... (45) ⎠⎥⎦
Bruttini R, Crosser O.K, dan Liapis A. I. dalam Hapsoro (2006), menyatakan bahwa untuk mengoptimalkan besarnya eksergi dan mengurangi kehilangan eksergi, nilai irreversibilitas dapat dikurangi dengan memperkecil beda suhu antara media pembeku dengan bahan. Nilai irreversibilitas adalah nilai perubahan (peningkatan) entropi yang terjadi dalam proses termodinamika.
12
G. TINJAUAN ATAS PENELITIAN SEBELUMNYA
Berdasarkan hasil penelitiannya, Hapsoro (2006) mengemukakan bahwa mesin pembeku suhu bertingkat memberikan suhu evaporasi pada tingkat satu, dua, dan tiga masing-masing adalah -15.6 °C, -21.3 °C, -28.9 °C dan suhu lempeng sentuh (stainless steel) masing-masing untuk tiap tingkat -13.9 °C, 20.4 °C, -28.3 °C menghasilkan nilai COP (Coefficient of Performance) rata-rata 3.38. Laju pembekuan daging sapi pada mesin pembeku suhu bertingkat adalah 0.93 cm/jam. Laju pembekuan ini masuk dalam kategori pembekuan lambat. Daging sapi yang dibekukan menggunakan suhu media pembeku (wadah produk) masing-masing -12.8 °C, -15.8 °C dan -19.4 °C menghasilkan efisiensi eksergi 53.08 % dan total kehilangan eksergi 15.59 kJ/kg. Sedangkan jika menggunakan suhu media pembeku -7.8 °C, -12.2 °C dan -16.9 °C menghasilkan efisiensi eksergi pembekuan 59.53 % dan total kehilangan eksergi 12.25 kJ/kg. Efisiensi eksergi akan meningkat dengan naiknya suhu media pembeku dan total kehilangan eksergi akan membesar seiring menurunnya suhu media pembeku. Sedangkan menurut Kamal (2008), pengembangan sistem pembekuan dengan
suhu
bertingkat
(pembeku
eksergetik)
dari
sistem
pembekuan
konvensional dengan suhu tetap dapat diterapkan untuk model daging sapi segar, dan terbukti dapat meningkatkan efisiensi eksergi sekitar 10 – 13.0 % dari 50.9 % pada sistem pembekuan konvensional hingga sekitar 51.2 – 63.4 % pada sistem pembekuan eksergetik batch. Menurut Kamal (2008), model sistem pembekuan eksergetik yang dikembangkan dalam penelitiannya dapat mengurangi rusaknya dinding sel jika memperhatikan laju pembekuannya lebih dari 3 cm/jam yang tergolong dalam pembekuan cepat. Dibanding sistem pembekuan suhu tetap maka model sistem pembekuan eksergetik dapat menurunkan kehilangan eksergi dari semula 33.2 kJ/kg pada sistem suhu tetap menjadi 19.4 kJ/kg pada sistem suhu bertingkat. Penerapan model sistem pembeku eksergetik kontinu pada pembekuan daging sapi memberikan hasil yang signifikan dengan efisiensi eksergi berkisar antara 54.0 % hingga 61.0 %.
13