PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DAERAH: KASUS MITRA PROYEK UNDP DI WILAYAH JAWA DAN LAMPUNG
WAHYU FATHURRAHMAN RIVA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutup dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini. Bogor, Mei 2009
Wahyu Fathurrahman Riva A 153044145
ABSTRACT WAHYU FATHURRAHMAN RIVA. The Role of Non-Governmental Organizations in Community-Based Forest Management Program in Regional Development Contexts: Cases on the UNDP Grantees in Java Island and Lampung Region. Under direction of PARULIAN HUTAGAOL and PATRICE LEVANG The increasing rate of forest degradation and lack of local communities access to forest, have been a significant stimulus for the implementation of community-based forest management (CBFM). The CBFM has an objective to achieve sustainable forest management and prosperity for rural community adjacent to forest area. To pursue the objective several local communities work closely with non-governmental organizations (NGOs) to get financial support from international funding agencies . There is a need to improve the role of NGOs and their strategy in order to work effectively with the local communities. The thesis provides analytical methods to evaluate the role and strategy of the NGOs, namely performance approach and institutional development approach. The research was conducted by analyzing 9 (nine) NGOs, which are partners of the UNDP project in 2005-2007 and located in Jawa island and Lampung province. NGOs undertake its programs in 3 mainstream scope of works, first, conservation; second, technical assistance; and third, advocacy program. Each of main issues have a approach and various methods of assistance. There are many lesson learnt got by NGOs collaborating with UNDP in a particular project commenced 2005 to 2007. A part of NGOs achieved the key role in conducting the project and otherwise getting a high performance of expected target. In the some location of the project, now it has become a show window to see how they conduct the best practices in CBFM. There are 3 NGOs successfully undertakeing best ways, namely Persepsi in achieving broad CBFM certification, Watala in getting HKm status, and Masta that successfully facilitating communities to collabotare with Perhutani through signing an MoU. The other one is still on going process in building local goverment regulation about CBFM in Indonesia. In general, CBFM programs facilitated by the NGOs have similar goal, which is pursuing government recognition on local community access to the forest area. A gap in terms of knowledge regarding forest management and the effectiveness of advocacy may become an obstacle in achiving the objective of CBFM. The most intriguing result of the research is that the succesfulness of NGOs program in CBFM relies on the hand of government. It is up to local and central government regulations may or may not recognizes the access of local community to the forest. Key-word: Community-based forest management, organization,local communities, local goverment
non-governmental
RINGKASAN WAHYU FATHURRAHMAN RIVA. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung. Dibimbing oleh PARULIAN HUTAGAOL dan PATRICE LEVANG Tingkat kerusakan hutan yang cenderung meningkat dan melemahnya kapasitas masyarakat sekitar hutan akibat kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan telah memicu munculnya paradigma baru yaitu pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). PHBM ini bertujuan untuk mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, masyarakat dibantu LSM yang sebagian besar mendapatkan pendanaan dari lembaga donor luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM serta merumuskan strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM. Penelitian ini dilakukan pada 9 LSM mitra proyek UNDP periode 2005-2007 di wilayah Jawa dan Lampung. Penelitian ini menggunakan 2 metode analisis, yaitu analisis kinerja LSM dalam program PHBM dan analisis pengembangan kelembagaan institusi lokal. Dalam menjalankan programnya, LSM terbagi menjadi 3 isu utama, yaitu isu konservasi, pendampingan teknis, dan isu advokasi. Setiap isu utama mempunyai pendekatan dan metode pendampingan yang beragam. Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar LSM mempunyai peran utama untuk membantu masyarakat dapat memperoleh hak akses terhadap sumberdaya hutan. Selain itu juga berperan bersama masyarakat untuk mengusung kelestarian sumberdaya hutan dan sebagian kecil fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hanya sebagian kecil LSM yang berperan untuk melakukan ketiga tujuan tersebut secara bersamaan. Dalam menjalankan programnya di bidang konservasi, LSM memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan bidang pendampingan teknis dan advokasi. Hal ini disebabkan ukuran keberhasilan terhadap program yang bersifat konservasi baru dapat dipetik dalam hitungan jangka panjang. Sementara masyarakat lebih menginginkan adanya program yang bersifat jangka pendek dan dapat segera dinikmati hasilnya. Peran lain yang dilakukan oleh LSM adalah dalam bentuk pendampingan teknis yang meliputi pendampingan pada teknis pengelolaan hutan milik masyarakat, pendampingan dalam mengembangkan pola kemitraan, dan pendampingan dalam mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat. Masyarakat merasa mendapatkan manfaat dari pendampingan yang dilakukan oleh LSM meskipun dirasakan belum optimal. Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat bersama dengan LSM untuk terus maju dan memperjuangkan aspirasi masyarakat melalui adanya pengakuan yang kongrit dari pemerintah daerah untuk memberikan hak akses kepada masyarakat yang memang telah lama tinggal dan hidup di hutan adat tersebut. Selain itu pendampingan teknis yang dilakukan oleh LSM juga berperan membantu masyarakat dalam peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam pengelolaan hutan serta penguatan kelembagaannya.
Dalam melakukan proyek UNDP, LSM banyak bersentuhan dengan pemerintah daerah. Keterlibatan pemerintah daerah mempunyai keragaman metode dan pendekatan yang dilakukan bersama dengan LSM. Pemerintah daerah yang terlibat dalam program diantaranya adalah Dinas Kehutanan Kabupaten dan Propinsi, Taman Nasional, Taman Hutan Raya (Tahura), Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi, Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). LSM berperan penting dalam proses negosiasi dan advokasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan, misalnya dalam proses penyusunan kebijakan pemerintah daerah. Peran LSM dalam pendampingan masyarakat di Lampung difokuskan pada upaya memperoleh kepastian pengelolaan kawasan hutan lindung, melalui ijin hutan kemasyarakatan (HKm). Kebijakan HKm yang menempatkan masyarakat sekitar sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam selain bertujuan untuk perbaikan fungsi lingkungan juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui skema HKm, masyarakat membuat rencana pengelolaan dan melaksanakan kegiatan pemulihan sumberdaya hutan, menjaga kawasan yang masih berhutan secara swadaya serta melakukan pengamanan terhadap areal yang menjadi tanggung jawab masyarakat. LSM juga telah berperan penting dalam proses pendampingan masyarakat sekaligus juga berperan dalam melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerahnya. Peran LSM masih perlu ditingkatkan untuk isu pendampingan teknis, misalnya dalam sertifikasi PHBM. Sampai saat ini memang belum muncul insentif yang signifikan yang diterima oleh masyarakat melalui sertifikasi ekolabel. Insentif ini seharusnya muncul dari berbagai pihak khususnya dari pemerintah daerah. Hal ini disebabkan hutan-hutan yang ditanami oleh masyarakat tersebut merupakan lahan milik yang memang dari sisi aturan hukum tidak dibebani menjadi hutan. Atas kesadaran dari masyarakat sendiri, mereka telah mampu menghutankan kembali hutannya sehingga dapat memberikan nilai tambah baru bagi masyarakat sebagai pengelola hutan. Peran LSM diharapkan lebih besar dalam pengembangan pemasaran dan tata niaga perdagangan kayu yang bersertifikat ekolabel. Banyak pelajaran berharga yang diperoleh oleh LSM-LSM yang menjadi mitra proyek UNDP mulai tahun 2005-2007. Beberapa LSM telah berperan penting dan berhasil sesuai dengan harapan yang diinginkan bahkan ada LSM yang dapat melebihi target yang ingin dicapai. Beberapa lokasi proyek juga telah menjadi best practices bagi wilayah lainnya dalam program PHBM karena besarnya peran LSM. Terdapat 3 LSM yang berhasil dan dapat dijadikan best practices, yaitu Persepsi dengan sertifikasi ekolabel, Watala dengan perolehan HKm, dan Masta yang berhasil memfasilitasi masyarakat untuk menandatangai MoU dengan Perhutani. Sebagian lagi masih menyusun draf Peraturan Daerah (Perda) tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Penelitian ini menyimpulkan beberapa hal, (1) pada prinsipnya peran LSM dalam proyek UNDP adalah untuk membantu masyarakat dalam memperoleh pengakuan dalam bentuk terbukanya akses terhadap sumberdaya hutan dari pemerintah, (2) peran LSM dalam mengusung program di bidang konservasi lebih sulit diterima oleh masyarakat dari pada program di bidang ekonomi, (3) masih adanya gap pengetahuan dan pemahaman tentang teknis kehutanan dan advokasi
baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat LSM, (4) sebagian besar (5 LSM) mempunyai kinerja yang baik dalam pelaksanaan program PHBM yang didanai UNDP dan sebanyak 2 LSM masing-masing memiliki kinerja yang cukup baik dan kurang baik, (5) pengembangan institusi lokal dipengaruhi oleh faktor kondisi sumberdaya lokal, faktor ekonomi-politik internasional, nasional dan lokal, serta faktor sosial-politik lokal, dan (6) keberhasilan atau kegagalan kinerja LSM tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja LSM-nya saja, namun juga oleh kinerja pihak lainnya, terutama pemerintah. Strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan PHBM dalam konteks pembangunan daerah dapat dilakukan melalui beberapa hal, yaitu pengembangkan kapasitas dan kelembagaan LSM, pengembangan pemberdayaan kapasitas dan kelembagaan masyarakat dampingan, pengembangan advokasi pada pemerintah daerah, dan pengembangan usaha masyarakat dampingan bersama pihak swasta. Kata kunci: pengelolaan hutan berbasis masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, strategi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DAERAH: KASUS MITRA PROYEK UNDP DI WILAYAH JAWA DAN LAMPUNG
WAHYU FATHURRAHMAN RIVA
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penulisan tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir: Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S.
Judul Tugas Akhir
Nama Mahasiswa NRP
: Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung : Wahyu Fathurrahman Riva : A 153044145
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Patrice Levang Anggota
Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S Ketua
Diketahui Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Sc
Tanggal Ujian:
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, anugerah, dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan November – Desember 2008 ini adalah Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS dan Bapak Dr. Patrice Levang selaku dosen pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Lala M Kolopaking sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh temanteman LSM dan masyarakat dampingannya yang telah bersedia bekerja sama dengan penulis dan telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh teman-teman seperjuangan saya di Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), tempat dimana saya bekerja sekaligus belajar. Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh civitas akademika dan rekan-rekan mahasiswa MPD-IPB yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan sejak awal sampai terselesaikannya Tesis ini. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada CIFOR melalui Bapak Dr. Patrice Levang yang telah banyak membantu penulis, baik dari dukungan pendanaan pendidikan dan penelitian ini, maupun waktu beliau yang selalu tersedia bagi penulis untuk berdiskusi dengan intensif dan produktif. Secara khusus penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua saya, Bapak Koesjairi dan Ibu Nadlifah yang tiada henti-hentinya mendoakan dan memberikan kasih sayangnya. Terakhir, kepada istriku tercinta: Eny Kadarti, yang selalu memberikan dukungan dan motivasi yang tinggi yang diiringi dengan doa-doanya, serta kepada putri-putriku: Salma Nisrina Riva (6) dan Avia Fathina Riva (3,5), yang telah memberikan semangat dan inspirasi yang besar bagi penulis, kepadanya Tesis ini dipersembahkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2009 Wahyu Fathurrahman Riva
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tuban, Jawa Timur pada tanggal 16 Juni 1974, sebagai anak bungsu dari pasangan Koesjairi dan Nadlifah. Pada tahun 1993, penulis lulus SMA Negeri Jatirogo, Tuban dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah diperoleh pada tahun 2007. Penulis bekerja pada Bagian Sertifikasi dan Akreditasi Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), sebuah organisasi berbasis konstituen yang mengembangkan sistem sertifikasi ekolabel pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Di LEI, penulis pernah menjadi Project Manager untuk Program Development Facilities (PDF) pada Small Grand Programme to operation Promoting Tropical Forest (SGP PTF) - UNDP bekerja sama dengan LEI tahun 2005 – 2007 dengan tema Implementasi PHBM di Indonesia untuk wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Program ini telah banyak menginspirasi penulis untuk melakukan penelitian ini. Penulis juga aktif melakukan penelitian dan audit untuk sertifikasi pengelolaan hutan lestari, sertifikasi lacak balak, dan melakukan penilaian dampak sosial pada beberapa perusahaan. Penulis juga sering menjadi narasumber pada berbagai seminar, lokakarya, dan pelatihan yang berkaitan dengan topik PHBM. Beberapa hasil penelitian dan tulisannya telah dipublikasikan di beberapa media dan buku.
DAFTAR ISI Daftar Tabel ........................................................................................................... Daftar Grafik .......................................................................................................... Daftar Gambar........................................................................................................ Daftar Lampiran .....................................................................................................
iv v vi vii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian.......................................................................
1 1 6 6 7 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 2.1. Kerangka Teoritis.................................................................................... 2.1.1 Karakteristik LSM ......................................................................... 2.1.2 Sejarah Perkembangan LSM di Indonesia…… ............................. 2.1.3 Strategi Penggalangan Dana …… ................................................. 2.1.4 Perkembangan Lembaga Donor di Indonesia ................................ 2.1.5 Praktik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat .......................... 2.1.6 Pengukuran Peran LSM ................................................................. 2.2. Kajian Penelitian Terdahulu....................................................................
9 9 9 11 14 17 22 26 32
III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian............................................................... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 3.3. Pendekatan Penelitian ............................................................................. 3.4. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 3.5. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data............................................ 3.5.1 Analisis Kinerja............................................................................. 3.5.1.1. Penentuan Elemen Kinerja................................................ 3.5.1.1. Pembobotan Elemen Kinerja.................................................. 3.5.2 Analisis Pengembangan Institusi Lokal ........................................ 3.6. Metode Perancangan Program ................................................................
37 37 42 43 43 45 45 45 47 49 52
IV. GAMBARAN UMUM LSM ......................................................................... 4.1. Sejarah Berdirinya LSM .......................................................................... 4.2. Visi dan Misi LSM...................................................................................
54 54 56
4.3. Program PHBM oleh LSM bersama UNDP ...........................................
60
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 5.1. Elemen Kinerja LSM dalam Program PHBM ......................................... 5.1.1. Relevansi Visi dan Misi terhadap Program PHBM ....................... 5.1.2. Kinerja Pelaksanaan Program PHBM............................................ 5.1.3. Kinerja Pengelolaan Keuangan dalam Program PHBM ................ 5.1.4. Kinerja Tata Laksana dalam Program PHBM ............................... 5.1.5. Kinerja Administrasi dalam Program PHBM ................................ 5.1.6. Legitimasi Sosial dalam Program PHBM ...................................... 5.2. Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM....................................... 5.2.1. Penilaian Kinerja untuk Setiap Elemen.......................................... 5.2.2. Penilaian Kinerja untuk Setiap LSM.............................................. 5.3. Analisis Pengembangan Institusi Lokal................................................... 5.3.1. Pengaturan Tata Kuasa Tenurial dan Tata Guna Lahan................. 5.3.2. Pengaturan Tata Produksi .............................................................. 5.3.3. Pengaturan Tata Konsumsi ............................................................ 5.4. Peran UNDP dalam Program PHBM....................................................... 5.5. Strategi Peningkatan Kinerja LSM dalam Pembangunan Daerah ...........
64 64 65 67 80 83 86 90 92 92 94 102 102 104 105 109 110
VI. RESPON MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN PHBM ...... 6.1. Respon Masyarakat pada Isu Konservasi ................................................ 6.2. Respon Masyarakat pada Isu Pendampingan Teknis .............................. 6.3. Respon Masyarakat pada Isu Advokasi ..................................................
113 113 115 117
VII. PERAN PEMERINTAH DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PHBM DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DAERAH .................. 120 7.1. Kasus di Lampung Barat ......................................................................... 121 7.2. Kasus di Jawa Tengah ............................................................................. 123 VIII. RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS............................................. 8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM ........................................ 8.2. Prioritas Program Strategis ..................................................................... 8.2.1. Perencanaan dan Pelaksanaan Program ...................................... 8.2.2. Monitoring dan Evaluasi .............................................................
127 127 128 128 131
IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .................................... 9.1. Kesimpulan ............................................................................................. 9.2. Implikasi Kebijakan ................................................................................ 9.3. Rekomendasi ...........................................................................................
140 140 140 141
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 142 LAMPIRAN ........................................................................................................... 148
DAFTAR TABEL Tabel 1. Identifikasi LSM Kehutanan yang Menjadi Fokus Penelitian ................... 43 Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Penelitian............................................................... 45 Tabel 3. Bentuk Lembaga dan Tahun Berdiri LSM ............................................... 54 Tabel 4. Analisis Terhadap Fokus Visi Setiap LSM................................................. 57 Tabel 5. Analisis Terhadap Misi Setiap LSM........................................................... 57 Tabel 6. Identifikasi Visi dan Misi LSM.................................................................. 58 Tabel 7. Analisis Fokus dan Lokasi Proyek UNDP ..................................................61 Tabel 8. Tujuan dan Fokus LSM sebagai Mitra dalam Proyek SGPPTF UNDP Periode 2005 – 2007............................................................................... . . 63 Tabel 9. Penilaian Kinerja Elemen Visi dan Misi..................................................... 66 Tabel 10. Hasil Penilaian Kinerja Elemen Program.................................................. 67 Tabel 11. Pengalaman LSM di Lokasi Proyek dan Fokus Proyek UNDP................ 70 Tabel 12. Manfaat Proyek UNDP yang Dirasakan oleh Masyarakat......................... 75 Tabel 13. Penilaian Kinerja Elemen Keuangan.......................................................... 81 Tabel 14. Penilaian Kinerja Elemen Tata Laksana..................................................... 85
Tabel 15. Penilaian Kinerja Elemen Administrasi..................................................... 87 Tabel 16. Penilaian Kinerja Elemen Legitimasi......................................................... 91 Tabel 17. Instrumen yang digunakan LSM untuk Masyarakat dalam Memperoleh Pengakuan................................................................................................... . 92 Tabel 18. Peringkat Kinerja LSM dalam Program PHBM......................................... 97 Tabel 19. Kelebihan dan Kelemahan LSM dalam Program PHBM.......................... 98 Tabel 20. Instrumen Pengakuan yang dikembangkan LSM dan Tujuan Utama Proyek UNDP ...................................................................................................... 103 Tabel 21. Capaian LSM dalam Proyek UNDP periode 2005-2007......................... 103 Tabel 22. Bentuk Kelembagaan di Masyarakat yang Dikembangkan LSM ........... 106 Tabel 23. Matrik Perencanaan Program .................................................................. 133 Tabel 24. Rencana Kegiatan Program ..................................................................... 138
DAFTAR GRAFIK Grafik 1. Rekapitulasi Penilaian Kinerja Berdasarkan Elemen Kinerja.................... 93 Grafik 2. Rekapitulasi Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM.................... 95 Grafik 3. Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM......................................... 96
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian............................................................... 41 Gambar 2. Kerangka Konseptual Pengembangan Institusi Lokal ............................ 51 Gambar 3. Diagram Alur Metode Logical Framework Approach (LFA)................. 53
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Identifikasi fokus proyek dari LSM Kehutanan yang Menjadi Mitra SGPPTF UNDP periode 2005 – 2007 ............................................. 148 Lampiran 2. Pedoman Pertanyaan Umum untuk LSM ........................................... 149 Lampiran 3. Kuesioner untuk Responden Penelitian.............................................. 150
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumberdaya alam hayati yang tinggi baik dalam jumlah maupun keanekaragamannya. Dalam hal ini Indonesia merupakan negara mega-biodiversity di peringkat dua dunia setelah Brazilia. Keanekaragaman biodiversitas tersebut tercermin dari 90 tipe ekosistem hutan dengan beragam kekayaan spesies flora dan fauna yang dimiliki (Bappenas, 2003). Selain ekosistemnya, didalam dan disekitar hutan juga terdapat masyarakat yang tinggal dan hidup didalamnya.
Masyarakat yang tinggal di dalam dan
disekitar hutan ini mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Secara umum wilayah tersebut mempunyai aksesibilitas yang rendah terhadap pendidikan, kesehatan dan pasar. Kebijakan pemerintah selama kurang lebih tiga dekade terakhir yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin telah membuat masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar hutan semakin termarjinalkan. Mereka juga tidak dapat menikmati pemanfaatan hasil hutan dari kegiatan logging. Menurut Brown (2004), masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan di luar Pulau Jawa sekitar 48,8 juta orang. Dari jumlah itu, 10, 2 juta orang miskin (Sunderlin, 2000) tinggal dan hidup di sekitar hutan alam serta sekitar 6 juta kepala keluarga telah melakukan perladangan bergilir secara turun temurun. Banyak masyarakat yang hidup secara tradisional dengan menerapkan strategi ekonomi melalui kombinasi antara kegiatan berladang untuk mendapatkan padi, menanam tanaman palawija, berburu, memanen dan menjual kayu, mengumpulkan dan menjual hasil hutan bukan kayu (non timber forest products) seperti rotan, madu, dan getah. Hasil dari kebun karet, kopi, dan tanaman lainnya juga penting sebagai sumber pendapatan masyarakat (FWI/GFW, 2001). Disisi lain, kegiatan penebangan hutan di Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan
hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia, berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Dephut, 2003). Berdasarkan data terbaru dari Departemen Kehutanan (2007), rata-rata laju kerusakan hutan dalam 5 tahun terakhir sebesar 1.089.500 ha/tahun. Kerusakan hutan Indonesia tidak hanya menyedot perhatian di tingkat nasional maupun regional, namun telah sampai pada tingkat dunia Internasional. Manifestasi
dari
kehancuran
hutan
Indonesia
ini
dibuktikan
dengan
dipecahkannya rekor Guinnes World Record yang menetapkan Indonesia pada 2007 sebagai Negara penghancur hutan tercepat. Sebagai salah satu dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, Indonesia meraih tingkat laju penghancuran tercepat antara 2000 – 2005, yakni dengan tingkat 1,871 juta hektar atau sebesar 2 persen setiap tahun atau 51 kilometer persegi per hari, atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya (SKEPHI, 2007). Namun realitasnya, kebijakan kehutanan yang diimplementasikan bagi pengelolaan hutan di Indonesia dirasakan tidak mampu secara efektif menghambat laju kerusakan hutan. Hutan Indonesia juga merupakan paru-paru dunia, yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi ini.
Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat
terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat. Beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM/community-based forest management) menjadi salah satu pilihan dalam sebuah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat.
Seiring
dengan perubahan tersebut, banyak LSM yang terlibat aktif dan intensif dalam mendampingi masyarakat menuju PHBM.
Pengembangan kapasitas dan
penguatan kelembagaan masyarakat di sekitar hutan telah menjadi agenda utama dari banyak LSM Kehutanan.
Program-program yang diusung oleh LSM ini mendapat dukungan yang besar dari lembaga donatur terutama dari international funding agency yang concern terhadap pengembangan PHBM.
Bentuk dukungan yang diberikan
lembaga donatur dalam program community forestry diantaranya adalah program pemberdayaan masyarakat dan program pengembangan kemitraan (partnership). Sejak tahun 1990-an, perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia sangat luar biasa, bagai jamur di musim hujan, terutama sejak runtuhnya rezim Orde Baru. Namun tidak ada data yang pasti berapa jumlah LSM di Indonesia. Malik (2004) mencatat bahwa pada awal tahun 1990-an, LSM di Indonesia mengalami puncak perkembangannya yang berjumlah 13.500. Menurut Ibrahim (2004), jumlah LSM sebagai komponen yang paling visible dan vocal dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang hanya beberapa ribu, di masa Orde Baru telah meningkat menjadi puluhan ribu. Kehadiran LSM di Indonesia, menurut Culla (2006), dipicu oleh faktor kesempatan politik dan beroperasinya lembaga-lembaga donor internasional yang menjadi pendorong lahirnya banyak LSM, juga disebabkan oleh kekecewaan sebagian tokoh/pemimpin terhadap pemerintah yang menunjukkan indikasi penyimpang dari komitmen awal untuk membangun tatanan masyarakat berkeadilan dan demokratis lebih baik ketimbang era sebelumnya. Tumbuh dan menjamurnya LSM di era Reformasi merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati. Menurut Abidin (2004a), pertumbuhan LSM itu di satu sisi bisa diangap sebagai simbol kebangkitan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya.
Masyarakat mulai kritis dan
mampu menampilkan wacana tandingan terhadap wacana dan kebijakan yang disodorkan oleh negara. Banyaknya LSM yang bergerak dalam bidang pengembangan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan suatu kawasan hutan, mempunyai keragaman program, metodologi, sebaran wilayah yang luas dan pendekatan yang berbedabeda pula. Pada dasarnya program yang dijalankan oleh LSM ini bertujuan untuk mengembangkan institusi lokal pada tingkat masyarakat dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
Menurut Afiff (2007), isu yang sering diangkat oleh LSM ini diantaranya adalah tentang kepastian akan akses dan kontrol terhadap lahan dan sumberdaya hutan. Masalah kepastian tenurial banyak dipersoalkan karena mayoritas dari kawasan kelola masyarakat seringkali tumpang tindih dengan kawasan yang diklaim oleh negara sebagai kawasan hutan. Program pengembangan masyarakat (community empowerment) yang dilakukan oleh LSM diantaranya adalah mengembangkan kapasitas dan keahlian komunitas yang secara signifikan dapat mengurangi tekanan pada sumberdaya hutan. Selain itu juga untuk membangun kapasitas dan jaringan kerja pemangku kepentingan para komunitas untuk
mencapai pengelolaan hutan yang ramah
lingkungan dan ramah komunitas sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasa-jasa lainnya. Tumbuhnya perhatian, pengakuan, dan dukungan dari para peneliti dan aktivis LSM terhadap pola-pola PHBM merupakan satu gejala positif. Paling tidak semua itu telah membuka wawasan dan harapan baru bagi terwujudnya sistem PHBM yang berkelanjutan di masa yang akan datang, yang akan mampu menggantikan pola pengelolaan yang sangat exploitatif selama ini (Lubis, 2000). LSM juga dituntut untuk dapat mengembangkan inisiatif lokal dalam mempromosikan pemanfaatan dan penggunaan hutan secara berkelanjutan dan inisiatif lainnya untuk mengembangkan ekonomi lokal yang akan memberikan nilai tambah terhadap komunitas yang hidupnya bergantung pada hutan. Pada saat yang sama inisiatif ini juga diharapkan menjaga pemanfaatan lestari dari sumberdaya hutan (Abidin, 2004b). Namun disisi lain, kadang beberapa program yang dilakukan oleh LSM belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam penyusunan
proposal, terkadang masyarakat tidak dilibatkan dari awal sehingga terjadi lack/gap antara kebutuhan masyarakat dan kepentingan LSM itu sendiri. Terkadang masyarakat hanya dijadikan sebagai alat justifikasi untuk memperoleh dukungan finansial dari lembaga donor. Pertumbuhan LSM yang sangat pesat di Indonesia ini juga belum diikuti dengan terciptanya suatu ukuran keberhasilan yang jelas. Hal ini berbeda dengan organisasi privat yang mempunyai tolak ukur yang lebih jelas seperti keuntungan
finansial. Hal ini disebabkan karena LSM sebagai organisasi nirlaba seringkali menetapkan tujuan yang sangat jangka panjang yang tidak memungkinkan untuk dicapai dalam waktu yang singkat. Padahal kebutuhan ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dan kinerja sama pentingnya antara organisasi nirlaba dan organisasi privat. Secara umum, LSM yang ada saat ini juga cenderung memiliki citra negatif. LSM yang ada saat ini memiliki manajemen yang tertutup serta orientasi proyek. Alokasi penggunaan dana sering kali tidak tepat sasaran baik dikarenakan ketidakjelasan program kerja maupun ketiadaan koordinasi yang baik antar-LSM yang berada dalam satu wilayah (Abidin, 2004b). Tantangan mengenai pentingnya akuntabilitas yang harus dihadapi LSM sesungguhnya tidak lepas dari tanggungjawabnya. Secara umum, tanggungjawab LSM dapat dibagi ke dalam tiga kategori.
Pertama, tanggung jawab
organisasional, termasuk diantaranya transparansi dalam pembuatan keputusan dan keuangan, efisiensi dan efektivitas dalam bekerja serta penghormatan terhadap hukum hak asasi manusia dalam setiap kegiatan dan tindakan LSM. Kedua, tanggung jawab untuk melaksanakan apa yang tercantum dalam misi organisasi seperti melindungi hak-hak kaum miskin dan tertindas, pengentasan kemiskinan, perlindungan lingkungan hidup, dan sebagainya. Ketiga, tanggung jawab terhadap semua pemangku kepentingan (stakeholders) yang dipengaruhi atau terlibat dalam aktivitas LSM. Secara umum, banyak LSM yang belum mempunyai sistem penilaian kinerja yang sifatnya menyeluruh.
LSM biasanya hanya melakukan evaluasi
terhadap audit keuangan beserta aktifitasnya berdasarkan proyek yang telah dilaksanakan. Penelitian ini difokuskan pada beberapa LSM yang mendapatkan dana dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) yang didukung oleh Komisis Eropa (European Commission/EC) melalui program Pendanaan Kecil untuk Menunjang Pelestarian Hutan Tropis di Indonesia (Small Grants Programme for Operations to Promote Tropical Forest/SGP PTF) di Indonesia pada periode 2005 – 2007. Melalui program ini telah diberikan sejumlah dana kepada 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Tema utama SGPPTF ini adalah
pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang terpadu. Untuk itu, penelitian ini akan melakukan analisis penilaian kinerja yang menyeluruh terhadap beberapa LSM dalam program pengembangan PHBM yang menjadi mitra SGP PTF UNDP. 1.2. Rumusan Masalah Kerusakan hutan yang cenderung meningkat dan kebijakan pemerintah yang tidak mendukung terwujudnya kelestarian sumberdaya hutan, mendorong terjadinya perubahan paradigma dari state-based forest management (pengelolaan hutan berbasis negara) ke paradigma PHBM. Dalam pelaksanaan PHBM ini, masyarakat mengalami kendala.
LSM sebagai lembaga pendorong dan agen
perubahan berupaya membantu masyarakat menuju tujuan PHBM lestari dan masyarakat sejahtera. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka rumusan masalah pertama adalah bagaimana peran LSM dalam program PHBM? Program yang dilakukan LSM mempunyai keragaman metode, pendekatan, dan sebaran yang berbeda-beda.
Pendampingan ini juga bersentuhan dengan
pemerintah dan piha-pihak lainnya.
Terkait dengan kondisi tersebut, maka
rumusan masalah kedua adalah bagaimana strategi peningkatan peran LSM dalam program PHBM di Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengkaji dan menganalisis peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM. 2. Merumuskan strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM di Indonesia
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi LSM Kehutanan, hasil penelitian ini memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan kinerjanya dalam program pengembangan masyarakat. Hasil penelitian ini juga dapat dipergunakan sebagai salah satu instrumen untuk memantau dan mengukur pencapaian kinerja LSM sesuai dengan pencapaian visi dan misinya 2. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan dan masukan dalam mengukur dan merumuskan strategi pengorganisasian, penataan, dan konsolidasi, khususnya pada LSM-LSM yang saat ini ada dan akan semakin berkembang ke depan guna mendukung tujuan pembangunan daerah dalam jangka panjang.
Hasil penelitian ini juga dapat menjadi
masukan kepada pemerintah untuk menyusunan kebijakan bagi tercapainya kemitraan antar stakeholders, khususnya dengan LSM Kehutanan. 3. Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi kajian pengembangan pengetahuan tentang LSM dan pengembangan masyarakat 4. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan wahana sekaligus sarana dalam mempraktekkan pengetahuan Manajemen Pembangunan Daerah yang ditekuni.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada tingkat organisasi pelaksana LSM-LSM Kehutanan di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung yang ditujukan untuk menghasilkan sejumlah rekomendasi dalam rangka pencapaian kinerja LSM Kehutanan yang optimal di masa yang akan datang. Pemilihan responden terpilih ini didasarkan pada beberapa hal, diantaranya adalah: 1. Pola pendampingan oleh LSM Kehutanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat sekitar hutan; 2. Mengangkat isu hutan berbasis masyarakat dan pengembangan masyarakat sebagai fokus programnya;
3. Isu yang diangkat bersifat khas dan fokus pada isu lokalitas; dan 4. Wilayah kerjanya berada di hutan negara dan/atau hutan milik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Karakteristik LSM Istilah LSM di Indonesia sesungguhnya adalah pengganti istilah nongovermental organization (NGO) atau Ornop. Menurut Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik (2004), istilah ini diperkenalkan pada awal tahun 1980-an, karena istilah NGO dapat menimbulkan kesan dan interpretasi sebagai antipemerintah, sesuatu yang tidak disukai rezim Orde Baru pada waktu itu. Istilah LSM menunjuk pada beberapa bentuk organisasi atau kelompok dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah (nongoverment) dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan (non-profit). Menurut Eldridge (2006), terdapat tiga model pendekatan yang dilakukan oleh Ornop Indonesia dalam rangka menjali hubungan dengan pemerintah. Pertama, high-level partnership: grassroots development. Ornop ini menekankan kerjasama dalam program-program pembangunan pemerintah seraya berusaha memperngaruhi rancangan maupun implementasi program-program ini agar bergerak ke arahyang lebih partisipatoris serta menyentuh dan melibatkan akar rumput.
Kedua, high level politics: grassroots mobilization.
mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam kegaitan politik.
Ornop ini Ketiga,
empowerment at the grassroots. Ornop yang memusatkan perhatian pada usaha peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat, terutama di tingkat akar rumput. Menurut Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik (2004), merujuk pada kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, maka Ornop dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu: (1) Ornopyang terlibat dalam kegiatan amal (charity), (2) Ornop yang bergerak dalam bidang kegiatan yang berorientasi pada perubahan dan pembangunan serta pengembangan masyarakat, (3)
Ornop yang tidak hanya
bergerak dalam pelayanan masyarakat, tetapi juga melakukan pembelaan (advokasi). Mengutip Salamon dan Anheier, Hadiwinata (2003) mendefinisikan LSM mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Formal, artinya secara organisasi bersifat
permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya; (4) Menjalankan organisasinya sendiri (selfgoverning), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; (6) Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama; dan (7) Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu Lebih lanjut menurut Fakih (1996), Ornop dapat digolongkan menjadi tiga tipologi, yaitu: (1) Tipe konformis. Ornop ini bekerja berdasarkan paradigma bantuan karikatif yang berorientasi pada proyek dan bekerja sebagai organisasi yang menyesuaikan diri dengan sistem dan struktur yang ada; (2) Tipe reformis. Ornop ini bekerja didasarkan pada ideologi modernisasi dan developmentalism serta menekankan pada partisipasi rakyat dalam pembangunan; (3) Tipe transformatif. Ornop ini berusaha menemukan paradigma alternatif yang akan mengubah struktur dan suprastruktur yang menindas rakyat serta membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaannya. Wirasapoetra (2004) menjelaskan bahwa ada beberapa pendorong tumbuhnya LSM di Kalimantan Timur berdasarkan pengamatan selama 20 tahun terakhir ini. Pertama, LSM yang tumbuh atas dasar kepedualian terhadap kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang memperoleh perlakukan tidak adil oleh rezim Orde Baru. Kedua, LSM yang tumbuh atas dasar kepedulian terhadap kondisi masyarakat dan alam, atau sebagai tindak lanjut dari program terdahulu yang menghasilkan ikatan kerjasama antar pesertanya. Ketiga, LSM yang tumbuh atas dasar hasil kolaborasi beberapa LSM untuk menangani masalah secara spesifik. Studi yang dilakukan oleh Rochman (2002) menyimpulkan bahwa strategi advokasi LSM Indonesia umumnya berkisar pada tiga hal, yaitu: (1) memilih pengadilan sebagai arena politik; (2) menargetkan pada perubahan peraturan/UU; dan (3) menggali dukungan advokasi internasional. Strategi ini ditempuh agar mendapatkan cara yang lebih aman dan efektif. Bagi LSM, advokasi politik, seperti melalui DPR, dipandang terlalu riskan dan tidak berguna karena DPR
dikuasai pemerintah juga. Karena itu, advokasi lebih banyak dilakukan lewat bantuan media massa dan lewat pertemuan-pertemuan publik. Advokasi juga dilakukan melalui jaringan-jaringan yang ada maupun lewat pembentukan koalisikoalisi. Karakteristik LSM yang beragam ini juga diikuti dengan beragamnya pola dan metodologi pendampingan, isu-isu yang diangkat dan dikembangkan serta sebaran program yang dijalankan. Keberagaman ini akan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan di masing-masing wilayah. 2.1.2. Sejarah Perkembangan LSM di Indonesia Tradisi untuk membangun organisasi masyarakat untuk membantu dan mendorong penyelesaian krisis di masyarakat dimulai pada abad ke-17 di Inggris. Aktor-aktor utamanya berasal dari kalangan agama dan kalangan swasta profesional. Tradisi ini menguat pada saat perang dunia ke satu dan kedua pada awal abad ke-20, dengan lahirnya berbagai LSM internasional di Eropa untuk penanggulangan krisis akibat perang, seperti kelaparan, kemiskinan, pengungsi, pelarian politik, dan kekerasan yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat (Korten, 1993). Menurut Malik (2004) di Indonesia, kelahiran dari beberapa organisasi dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat atau populer disebut LSM pada tahun 1970-an dilihat dari krisis yang terjadi pada negara Indonesia, kemiskinan, kerusakan lingkungan, pelarian politik, kekerasan oleh negara, pada dasarnya tidak berbeda dengan sejarah kelahiran LSM Internasional. Pada tahun 1970-an, pembangunan di Indonesia terus melaju dengan cepat, dan dampak positifnya perkembangan ekonomi pun meningkat. pembangunan
ternyata
juga
menimbulkan
dampak
negatif,
Namun, terutama
meningkatnya kemiskinan, represi terhadap hak-hak asasi manusi, dan perusakan lingkungan hidup.
Upaya untuk menanggulangi dampak negatif kemudian
melahirkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau LSM yang semula dikenal sebagai Organisasi Non Pemerintah atau Ornop (SMERU, 2002). Istilah Ornop adalah terjemahan dari Non-Governmental Organization atau NGO
Sejak tahun 1990-an, perkembangan LSM di Indonesia sangat luar biasa, bagai jamur di musim hujan. Namun tidak ada data yang pasti berapa jumlah LSM di Indonesia (SMERU, 2000).
Namun Malik (2004) mencatat bahwa pada
awal tahun 1990-an, LSM di Indonesia mengalami puncak perkembangannya yang berjumlah 13.500. Menurut Ibrahim (2004), jatuhnya rezim otoriter Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi yang sangat parah, yang kemudian diikuti dengan proses transisi menuju demokrasi telah membawa perubahan-perubahan antara lain berupa pertumbuhan yang sangat lura biasa dari organisasi dan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang disebut dengan organisasi masyarakat sipil (OMS). Jumlah LSM sebagai komponen yang paling visible dan vocal dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang hanya beberapa ribu, di masa Orde Baru telah meningkat menjadi puluhan ribu. Berdasarkan Halim (2000), menjamurnya LSM merupakan respon atas lambatnya pemerintah dan lembaga-lembaga komersial mengantisipasi dinamika perubahan sosial kemasyarakatan. Kelambanan pemerintah dalam konteks ini, bukanlah disebabkan oleh lemahnya kemampuan teknis dan dana operasional, tetapi lebih pada lemahnya pemihakan negara (pemerintah) terhadap pemenuhan kebutuhan esensial komunitas rakyat. Tumbuh dan menjamurnya LSM di era Reformasi merupakan fenomena yang menarik untk dicermati. Menurut Abidin (2004), pertumbuhan LSM itu di satu sisi bisa diangap sebagai simbol kebangkitan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya.
Masyarakat mulai kritis dan
mampu menampilkan wacana tandingan terhadap wacana dan kebijakan yang disodorkan oleh negara. Melalui organisasi yang didirikannya, salah satunya berbentuk LSM, masyarakat mampu tampil sebagai elemen di luar struktur formal kenegaraan yang turut menjadi pihak yang melakukan kontrol terhadap proses kebijakan publik. Selain itu organisasi juga berperan sebagai lembaga non-partisan yang memiliki peluang untuk menjadi kelompok penengah.
Namun di sisi lain, berbagai penyelewengan dan perilaku miring sebagian LSM telah menodai reputasi lembaga nirlaba lainnya. Mereka menilai perilaku miring itu sebagai ancaman besar terhadap eksistensi lembaga nirlaba yang mengandalkan
kepercayaan
publik
dalam
menjalankan
program
dan
organisasinya. Dengan diberlakukannya UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan mulai tanggal 6 Agustus 2002 maka diharapkan dalam jangka panjang akan berdampak kepada pengelolaan sektor nirlaba yang didasarkan kepada prinsip-prinsip good governance. Meskipun UU ini belum diimplementasikan secara penuh, namun UU ini akan mempunyai dampak yang luas terhadap governance sektor nirlaba di Indonesia, termasuk LSM. Hal ini mengingat bahwa, menurut Ibrahim (2004) lebih dari 95% LSM di Indonesia berbadan hukum yayasan dan sedikit sekali yang mempunyai badan hukum perkumpulan. Sayangnya, pemberlakuan UU ini tertunda karena mendapatkan banyak penolakan dari kalangan LSM sendiri. Penolakan ini terjadi karena sebagian besar aktivis LSM menilai UU ini telah menempatkan LSM dalam posisi canggung, ketat dan intervensif, kurang cocok dengan peran dan fungsi ideal LSM.
Menurut Abidin (2004), UU ini juga dinilai bisa membuhun ribuan
yayasan kecil yang berada di daerah-daerah, yang secara riil memang melakukan kegiatan penyantunan dan pemberdayaan masyarakat.
Dengan keluarnya UU
tersebut, disamping menghadapi persoalan tentang citra dan jati dirinya sendiri, LSM saat ini juga menghadapi dilema status hukum yang berimplikasi pada hubungannya dengan negara. Menyikapi berbagai fenomena diatas, beberapa aktivis LSM berpendapat bahwa persoalan akuntabilitas dan transparansi sudah selayaknya diangkat menjadi agenda bersama dan urgent untuk diperbincangkan. Fenomena-fenomena itulah yang mendorong beberapa LSM berikhtiar meningkatkan akuntabilitas dan transparansi lembaganya dan LSM secara umum. Mereka memandang, hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada ternyata belum cukup mengatur dan mengatasi persoalan tersebut.
Karenanya, beberapa LSM dan jaringan LSM
tengah mencoba menggagas program dan kajian yang bertujuan mengningkatkan internal governance LSM dan meningkatkan kredibilitas di kalangan konstituen
di sis lain. Mereka berpendapat LSM perlu mengatur dirinya sendiri melalui mekanisme pengaturan diri atau self-regulation mechanism. Perkembangan ini kiranya menarik untuk dicermati dan dikaji lebih dalam karena berkaitan dengan perkembangan wacana good governance. Tidak hanya pemerintah dan kelompok bisnis saja yang dituntut untuk menerapkan good government dan good corporate governance, namun keberadaan sebuah komunitas good non-govermental organization sebagai elemen penting dalam tubuh civil society menjadi sangat penting dalam menyangga keberlangsungan proses transisi demokrasi di Indonesia. 2.1.3. Strategi Penggalangan Dana Saat ini banyak LSM di Indonesia yang pendanaannya masih bergantung pada pihak asing. LSM tersebut sangat sulit melepaskan diri dari bantuan lembaga donor. Ketergantungan LSM pada pihak asing tersebut tidak baik jika berlangsung secara terus-menerus dan permanen.
Ketergantungan ini tidak hanya dapat
mengubah style LSM, akan tetapi, juga bisa mengubah paradigma dan orientasi, bahkan mungkin juga ideologi perjuangan LSM. Penelitian yang dilakukan oleh Rustam Ibrahim (2000) pada 25 Organisasi Sumberdaya Masyarakat Sipil (OSMS) menemukan bahwa mayoritas lembaga nirlaba masih mengandalkan sumber bantuan luar negeri yang mencapai 65%, dan sumber dalam negeri 35%. Secara lebih rinci, sumber dalam negeri ini terutama adalah hasil usaha sendiri (33%), sumbangan perusahaan dan dana abadi (masingmasing 17%), donasi individu menyumbang 14%, sisanya dalam jumlah yang kecil bersumber dari pemerintah (5%), sumbangan ornop (3%), dan sumber lainnya (11%). Lembaga nirlaba yang beruntung, akan mendapatkan dana dalam jumlah besar selama bertahun-tahun dari satu atau dua sumber dana, dapat terlena seolaholah dana akan tersedia terus menerus. Akibatnya, ketika sumber dana utama menghentikan bantuan maka lembaga ini dapat secara tiba-tiba dalam kondisi kritis karena tidak menyiapkan kondisi finansial yang lebih mapan. Sumber dana yang tidak bervariasi dapat menjerumuskan lembaga nirlaba (Widjajanti, 2006) Sebagai contoh, betapa kini YLBHI mengalami kesulitan pendanaan yang luar biasa setelah enam tahun bergantung pada pihak asing. Sejak 1994 YLBHI
mendapat bantuan dana dari luar negeri, khususnya dari Belanda (Novib), Belgia, dan Kanada. Bantuan itu digunakan untuk operasional YLBHI setiap bulan minimal Rp 900 juta untuk overhead dan operasionalisasi program. Setahun YLBHI membutuhkan dana lebih kurang Rp 10 Milyar. Kini setelah YLBHI tidak menerima bantuan terutama dari Novib, YLBHI kemudian mengalami kesulitan untuk membayar gaji para karyawan dan operasionalisasi program. Karena itu, mulai diupayakan penggalangan dana publik. Namun, ternyata tidak mudah menggalang dana publik, sebab publik pun pasti menuntut akuntabilitas dan transparansi pembukuan. Ironinya, LSM yang memposisikan diri untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap lembaga pemerintahan, namun selama ini tidak ada mekanisme kontrol publik atas pembukuan LSM itu sendiri (Kompas, 26 April 2007). Menurut Abidin (2004), sebagian besar LSM yang beradvokasi menggalang dana (fundraising), khususnya dana lokal, adalah pekerjaan yang sulit. Sebagian kalangan aktivis LSM berpendapat bahwa penggalangan dana lokal mustahil dilakukan karena kapasitas menyumbang masyarakat terbilang kecil. Selain itu, mereka berpandangan bahwa masyarakat cenderung menyumbang program atau kegiatan yang bersifat karikatif atau penyantunan.
Ini bisa dilihat dari
melimpahnya dukungan pendanaan kepada lembaga yang bergerak dibidang pengentasan kemiskinan, penyantunan anak yatim piatu dan jompo, atau membantu korban bencana. Sementara lembaga sosial yang bergerak di bidang penegakan hukum dan HAM, penyelamatan lingkungan, advokasi kebijakan publik, pemberdayaan perempuan, dan bidang-bidang advokasi lainnya kurang mendapatkan dukungan. Mengingat minimnya dukungan pendanaan dari sumber daya lokal, LSM yang bergerak di bidang advokasi lebih suka menggalang dana dari lembaga donor internasional. Upaya ini dalam jangka pendek memang bisa menyelesaikan persoalan pendanaan yang dihadapi LSM. Namun, dalam jangka panjang pola pendanaan semacam ini juga akan menimbulkan masalah baru.
Selain
menciptakan ketergantungan, dana asing dinilai mematikan kreatifitas LSM, dan menjauhkan mereka dari konstituennya.
Karena mudahnya mendapatkan
dukungan dari lembaga donor, LSM lebih suka meminta dukungan kepada
lembaga donor ketimbang menggalangya dari masyarakat. Akibatnya, berbagai program dan agenda perubahan yang diusung oleh LSM tidak banyak didukung oleh publik dan dinilai sebagai agenda lembaga donor asing (Abidin, 2004). Hal ini sejalan dengan Kuswardono (2004), yang mengatakan bahwa di sisi penerima dana, persoalan pendanaan adalah persoalan yang genting dan cenderung kronis. Dalam keberadaannya yang lebih dari 30 tahun, ornop-ornop di Indonesia, terutama golongan yang biasa disebut dengan LSM, amat bergantung pada dana negara-negara Utara. Menurut Widjajanti (2006), strategi mobilisasi sumber daya sangat beragam. Ketersediaan sumber dana yang beragam memerlukan kreatifitas strategi untuk menggalangnya. Kreatifitas yang terhambat tidak akan menghantar lembaga ke berbagai sumber daya yang dapat diakses. tergantung pada lembaga dana.
Banyak lembaga nirlaba masih
Sumber lain kerap kali sulit dijangkau,
memerlukan lebih banyak kerja keras, dan sering kali memberikan dalam jumlah dan waktu erbatas. Akibatnya lembaga dana masih menjadi sumber utama dari hidupnya lembaga nirlaba. Gagasan untuk menciptakan dana sendiri melalui unit usaha bukan tidak populer di kalangan aktivis LSM, namun isu ini masih menjadi perdebatan. Secara teknis banyak LSM yang tidak terbiasa mengelola usaha yang komersial atau profit oriented. Namun dalam kenyataannya, beberapa organisasi mengelola unit usahanya secara profesional dalam badan usaha yang komersial dan merekrut tenaga-tenaga ahli di bidangnya.
Sementara beberapa organisasi lain juga
membuat unit usaha, namun pengelolaannya masih dilakukan secara semi profesional dan melibatkan pengurus maupun staf lembaga yang notabene nirlaba (Saidi, 2004a). Hasil survei di sebelas kota dan studi kasus di 18 lembaga sosial yang dilakukan oleh PIRAC (Saidi, 2004b) menemukan bahwa LSM pada umumnya belum mendapatkan dukungan dana dari masyarakat umum.
Ini nampaknya
berkaitan dengan motif (98% responden menyatakan dilandasi agama), tetapi juga soal kepercayaan (trust), dengan angka responden yang menyatakannya mencapai 46%. Sebaliknya, alasan masyarakat menolak sumbangan, sekitar 51% berkaitan
dengan ketidakpercayaan, terutama kepada penggalang dana/fund raiser (34%), organisasinya (9%), maupun kegiatan/misi organisasi yang bersangkutan (8%). Menurut Saidi (2004a), program kerja yang disusun dengan baik dan logis akan meringankan persoalan klasik tapi pelik bagi lembaga nirlaba seperti LSM dan yayasan yaitu pendanaan.
Pengelola lembaga harus mampu menyusun
rencana program yang baik dan logis sehingga dapat dipahami secara baik oleh pelaksana dan donor. Program yang koheren dan logis akan meyakinkan donor untuk mendukungnya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip penyusunan program yang terstruktur dan logis, LSM dan yayasan dapat lebih mudah mengakses lembaga donor. Dengan demikian, LSM dan yayasan dapat mendiversifikasi donor sehingga tidak tergantung pada satu lembaga pemberi dana saja.
Selama ini tidak jarang
dijumpai kesulitan LSM mengakses donor, karena program yang disusun tidak dapat dipahami dengan baik (Saidi, 2004a). Untuk itu, LSM perlu memiliki manajemen finansial yang sehat dan staf yang handal menjalankan program agar dapat menarik kepercayaan dari para pendukungnya. Kepercayaan itu harus dibuktikan dengan keberhasilan program dan laporan finansial yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya program yang menunjukkan kemajuan dan perubahan pada kelompok sasaran, serta laporan finansial yang memenuhi standar akuntabilitas dan transparansi akan memiliki kesempatan untuk terus menambah dukungannya. Tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi maka reputasi lembaga
akan dipertanyakan sehingga
kemungkinan mengakses sumber dana dan sumber daya lainnya akan sulit. 2.1.4. Perkembangan Lembaga Donor di Indonesia 2.1.4.1. Gambaran Umum Lembaga Donor di Indonesia Dalam pengembangan LSM menuju lembaga yang mandiri dalam memperjuangkan visi dan misi yang sudah menjadi komitmen dalam lembaga, sangat memerlukan pola pengembangan lembaga agar lembaga bisa tetap eksis. Eksistensi ini tidak serta merta berdiri sendiri, namun jalinan kerja sama maupun hubungan dengan lembaga lain, khususnya lembaga donor sangat diperlukan.
Hal ini sangat disadari bersama karena sebagian besar LSM yang ada di Indonesia masih banyak yang menggantungkan lembaganya pada lembaga donor, baik lembaga donor nasional maupun lembaga donor internasional. Ada lima kategori lembaga donor asing yang memberikan bantuannya kepada LSM Indonesia. Pertama, donor bilateral, yaitu lembaga pemerintahpemerintah lura negeri yang menyalurkan bantuannya kepada LSM baik melalui pemerintah Indonesia atau langsung kepada LSM bersangkutan. Kedua, yayasanyayasan internasional.
Ketiga, LSM-LSM internasional yang memperoleh
dananya dari pemerintah atau publik di negaranya masing-masing kemudian melakukan aktivitas di Indonesia bekerja sama dengan LSM Indonesia. Keempat, lembaga-lembaga
keuangan
internasional
seperti
Bank
Dunia,
Bank
Pembangunan Indonesia, dan sebagainya yang memberikan pinjaman kepada pemerintah Indonesia kemudian mengontrakkan kepada LSM untuk program pengembangan
masyarakat.
Kelima,
lembaga-lembaga
pembangunan
internasional yang bernaung dibawah PBB seperti UNDP, UNICEF, dan lain-lain (Ibrahim, 2004). Menurut Kuswardono (2004), terdapat tiga tipe donor internasional. Pertama organisasi donor sukarela yang memiliki karakter, (1) aktif memperjuangkan penghapusan kemiskinan struktural, (2) sebagai kontraktor pelayanan umum, (3) sebagai penyandang dana bagi organisasi-organisasi di negara Dunia Ketiga.
Kedua, organisasi donor privat yang didirikan oleh
perusahaan-perusahaan atau kaum elit Utara yang memiliki semangat filantropi yang tinggi. Ketiga, organisasi donor atau agensi pemerintah untuk bantuan luar negeri. Organisasi ini memperoleh dana langsung dari pemerintah suatu negara untuk didistribusikan sebagai hibah kepada negara penerima demi kepentingan pembangunan. Dalam Direktori Funding Agency (2006), Yapim mencatat terdapat 295 lembaga donor yang beroperasi di Asia, termasuk 90 lembaga donor yang berada di Indonesia. LP3ES (2001) mencatat terdapat sekitar 40 organisasi donor luar negeri beroperasi dan membiayai proyek-proyek di Indonesia, dan beberapa lainnya tidak langsung maupun tidak membiayai proyek dari luar Indonesia.
Menurut Sumarto (2003), tidak kurang dari 11 lembaga internasional penting yang memiliki program besar berkaitan dengan isu-isu partisipasi dan good governance di Indonesia. Selain World Bank (Bank Dunia) dan ADB, dapat disebtukan UNDP, USAID – termasuk di dalamnya CSSP, dan NRM-GTZ, CIDA, JICA, DFID, British Council, Ford Foundation, dan Tifa Foundation. Sedangkan ornop-ornop internasional yang memiliki program partisipasi dan good governance yang cukup penting di Indonesia saat ini adalah NDI, Pact, CARE, dan The Asia Foundation. Selama dua dekade terakhir, sudah lebih dari 1 milyar dolar AS yang diinvestasikan lebih dari 40 donor dalam bantuan pembangunan kehutanan Indonesia. Akan tetapi, faktanya manajemen dan tata kelola kehutanan tetap buruk. Kerusakan hutan masih terus berlanjut sampai detik ini (Kompas, 22 Februari 2007). Sementara setiap tahun, Bank Dunia membagi-bagi rata-rata 22,5 milyar dolar AS bantuan pembangunan kepada penguasa korup dan untuk berbagai proyek besar yang merusak lingkungan dan memperlebar kesenjangan sosial (Hadar, 2004). Sejak tahun 1955, Asia Foundation juga telah bermitra dengan berbagai lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta. Selama lebih dari lima dekade, Asia Foundation ikut berkontribusi menjawab kebutuhan Indonesia melalu serangkaian program seperti reformasi ekonomi, pengentasan kemiskinan, pendidikan, serta dukungan pada masyarakat sipil yang kuat dan dinamis. Asia Foundation saat ini mengelola dana hibah dan bantuan teknis sebesar 60 juta dolar AS (The Asia Foundation, 2008). Menurut GEF SGP (2007), distribusi dana dampingan untuk inisiatif masyarakat secara keseluruhan mencapai lebih dari 3,6 juta dolar AS untuk mendukung 221 proyek berbasis komunitas di seluruh Indonesia. Program ini juga memobilitasi dana pendamping sebesar 2,8 juta dolar AS, berupa kontribusi masyarakat dan kemitraan dengan donor lain. Dana hibah yang diberikan sebagai dukunag berkisar antara 2.000 hingga 50.000 dolar AS dengan masa program 2 – 24 bulan dengan rata-rata dana hibah 25.000 dolar AS per proyek. Program ini memproriritaskan kemitraan langsung dengan organisasi berbasis komunitas dan organisasi non pemerintah pendamping masyarakat.
Donatur dan pemerintah lebih berminat mendukung LSM yang mengadakan campur tangan dalam pemberian bantuan peringanan dan kesejahteraan yang secara langsung menghilangkan penderitaan daripada mendukung LSM yang berupaya mengadakan perubahan struktural mendasar (Korten, 2001). Menurut Ibrahim (2004), terdapat sekurang-kurangnya empat alasan penting mengapa lembaga donor mau bekerja sama dengan kalangan LSM. Pertama, lembaga donor sangat mendukung pelayanan yang efektif dan efisien, dimana kalangan LSM kadang-kadang dipandang lebih efektif dan efesien dalam penggunaan dana dibandingkan dengan pemerintah. Kedua, unsur-unsur layanan yang diberikan LSM, di samping program pengembangan masyarakat, juga mencakup pembangunan infrastruktur sosial dan politik dalam bentuk advokasi untuk kepentingan rakyat. Ketiga, LSM mendukung pengembangan civil society dengan memperjuangkan demokrasi, HAM, dan sebagainya.
Keempat, LSM
mendukung upaya perubahan kebijakan. Lembaga donor yang berasal dari berbagai negara dengan keragaman kepedulian melalui berbagai program yang dimiliki dimaksudkan untuk membantu membuka jalan bagi berbagai kelompok masyarakat dalam mencari peluang untuk mengembangkan kegiatannya. 2.1.4.2. SGP PTF UNDP sebagai Lembaga Donor Berdasarkan dokumen Pemangilan Proposal (SGP PTF, 2005), pada awal tahun 2005, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) yang didukung oleh Komisis Eropa (European Commission/EC) dengan penanggungjawab kegiatan adalah SEARCA (SEAMEO Regional
Center
for
Graduate
Study
and
Research
in
Agriculture)
menyelenggarakan program Pendanaan Kecil untuk Menunjang Pelestarian Hutan Tropis di Indonesia (Small Grants Programme for Operations to Promote Tropical Forest/SGPPTF) di Indonesia.
Sekretariat SGPPTF kemudian
mengundang para mitra yang bergerak di bidang penguatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk terlibat dalam program SGPPTF. SGPPTF
bertujuan
mempromosikan
pengelolaan
hutan
secara
berkelanjutan melalui kemitraan langsung dengan stakeholders lokal di wilayah-
wilayah yang telah ditentukan. SGPPTF berpandangan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan, memberdayakan individu dan komunitas dalam mengelola hutan dan kehutanan, menghasilkan manfaat yang adil dari barang dan jasa kehutanan yang dihasilkan dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Para mitra yang layak mengajukan proposal adalah komunitas yang bergantung pada hutan termasuk komunitas adat dan traditional, lembaga swadaya masyarakat, organisasi rakyat dan usaha kecil berbasis masyarakat yang bekerja untuk dan dengan komunitas adat dan hutan. Mitra dapat mengajukan proposal atau konsep proposal yang menangani aktifitas-aktifitas layak sebagai berikut:
Pengembangan
inisiatif
alternatif
dan
kehidupan
berkelanjutan,
pengembangan kapasitas dan keahlian komunitas yang akan secara signifikan mengurangi tekanan pada sumber daya hutan;
Membangun kapasitas dan jaringan kerja pemangku kepentingan para komunitas untuk pengelolaan yang ramah komunitas sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasa-jasa lain; dan
Menunjang kemantapan hak pemanfaatan/penggunaan lahan dan sumber daya
alam
lain,
dan
dengan
demikian
memperbaiki
akses
penggunaan/pemanfaatan sumber daya alam lestari. Aktifitas-aktifitas tersebut di atas harus mempunyai tema umum kehidupan berkelanjutan dari komunitas yang bergantung pada hutan termasuk komunitas adat dan orang asli. Tema spesifik meliputi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Komunitas Secara Terpadu, Membangun Prakondisi bagi terciptanya lingkungan hidup yang berkelanjutan dan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan. Rentang pendanaan dari jumlah minimum sebesar € 20.000 (sekitar dua ratus Juta Rupiah) hingga jumlah maksimum sebesar €100,000 (sekitar 1 Milyar Rupiah) bagi setiap proyek untuk periode 2 tahun (2005 – 2007). Jumlah yang diajukan harus secara jelas menggambarkan tujuan dan pencapaian dalam periode waktu tersebut. SGP PTF akan mendanai 80% dari biaya total proyek dan 20% dari dana harus dilengkapi oleh mitra pengaju proposal dalam bentuk dana
maupun aset. Proyek yang diajukan harus merupakan kelanjutan dari proyek yang ada dan sudah memiliki struktur pengelolaan dasar. Melalui seleksi yang ketat yang dilakukan oleh Sekretariat SGP PTF UNDP ini telah terpilih 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah untuk mendapatkan dukungan dana. Besarnya jumlah dana dan rentang waktu pelaksanaan program yang dilakukan oleh LSM sangat beragam. SGPPTF ini aktif berjalan mulai tahun 2005 – 2007. 2.1.5. Praktik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan salah satu diantara negara di dunia yang mempunyai sumber daya hutan yang besar dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Bersamaan dengan meningkatnya pengetahuan mengenai
sumberdaya hutan dan apresiasi mengenai manfaat sumberdaya hutan, terlihat adanya keterkaitan dalam kerangka perkembangan sosial-budaya masyarakat bagi baik lokal maupun global.
Hal ini menimbulkan paradigma baru yaitu
pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari (sustainable forest management/SFM) Saat ini, perhatian publik terhadap pengelolaan hutan lestari telah mengalami kemajuan yang pesat. Dalam kerangka itu, pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) muncul sebagai salah satu alternatif model pengelolaan hutan di Indonesia. Makna kehutanan masyarakat seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang di lapangan.
Komunitas hanya dilihat seperti sekumpulan masyarakat yang
memegang teguh hukum adat atau kearifan lokal yang sudah turun temurun sejak dulu kala. Komunitas masih dianggap mempunyai tingkat bargaining position yang rendah, kemampuan yang lemah dan tanpa adanya leverages untuk merubah menuju kearah yang lebih baik. Kondisi seperti itu masih diperparah dengan lemahnya dukungan dan lindungan dari pemerintah. Namun kenyataan yang sebenarnya adalah komunitas pengelola hutan telah terbukti mampu menjaga dan memelihara sumberdaya hutan yang menjadi tumpuan hidupnya. Pengakuan atas kemampuan dan kearifan komunitas dalam mengelola sumberdaya hutannya itu telah dibuktikan dengan banyaknya hasil kajian di berbagai lokasi dan telah lama dilakukan.
Menurut Suharjito (2000), Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual/rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan individu/rumahtangga dan masyarakat, serta diusahakan secara komersial ataupun sekedar untuk subsistensi. Keragaman PHBM di Indonesia menunjukkan variasi berdasarkan asal-usul prakarsa pengelolaannya, status lahan yang dijadikan areal pengelolaan, fungsi kawasan dari lokasi lahan pengelolaan, jenis produk utama yang diusahakan, dan kelembagaan atau organisasi sosial yang terbentuk (atau dibentuk) sebagai institusi pengelolaan hutan (LEI, 2001). Ada tiga dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang berbasis masyarakat, yaitu pengembangan institusi yang terkait dengan pengaturan tata kuasa dan tata guna lahan, pengembangan institusi yang terkait dengan tata produksi, dan pengembangan institusi yang terkait dengan tata konsumsi.
Upaya dan strategi pengembangan institusi di
tingkat lokal ini pada dasarnya dipengaruhi oleh sedikitnya tiga hal utama yaitu kondisi fisik dan sumberdaya alam setempat, faktor-faktor ekonomi politik pada tingkat internasional, nasional, maupun daerah, dan faktor dinamika sosial politik lokal (Tim Karsa, 2007) Dalam Tambun, W et.al (2007), yang memuat kumpulan pengalaman pelaksanaan PHBM dan pendampingan oleh LSM yang tersebar di wilayah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur, menjelaskan bahwa praktik-praktik pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Indonesia merupakan suatu kenyataan yang telah berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, tersebar di banyak tempat dan mampu mempertahankan kondisi hutan sehingga dapat berfungsi dengan baik. Hal senada juga dijelaskan Suharjito (2006), yang memuat kumpulan pendampingan oleh LSM dalam pelaksanaan PHBM yang tersebar di wilayah Jawa Barat, Jogjakarta, Jambi, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat, bahwa kegiatan pendampingan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan telah berlangsung cukup lama. Kegiatan pendampingan tersebut dilakukan oleh
beragam LSM maupun universitas/perguruan tinggi.
Kegiatan pendampingan
tersebar di berbagai daerah dengan konteks sosial budaya yang berbeda-beda. Sumberdaya hutan yang menjadi arena pergumulanpun berbeda-beda, baik fungsi utamanya: hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung, maupun ragam produknya: buah-buahan, rotan, dan kayu.
Pihak-pihak yang terlibat dalam
pergumulan sumberdaya hutan tersebut juga beragam kepentingan. Social Forestry (SF) merupakan salah satu kebijakan Pemerintah dibidang kehutanan yang memberikan akses langsung kepada masyarakat dalam mengelola hutan
dengan
tujuan
untuk
membangkitkan
ekonomi
kerakyatan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa disekitar hutan.
dan
Perguliran
kebijakan SF ini membuktikan bahwa pemerintah telah melakukan koreksi yang selama ini memposisikan masyarakat sekitar hutan termarjinalkan dengan melatakkan
paradigma
pembangunan
kehutanan
berbasis
pemberdayaan
masyarakat (Departemen Kehutanan, 2005). Dari aspek kebijakan, akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan sudah cukup terbuka.
Selain SF, pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa
kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Namun dalam implementasinya kebijakan ini kurang berjalan dengan baik, antara lain akibat belum berubahnya paradigma sebagian besar aparat kehutanan dan para pihak terkait serta belum terbangunnya sistem pelayanan pemerintah untuk pengembangan sistem pengelolaan berbasis masyarakat lokal tersebut. Masyarakat lokal dan kelompok-kelompok lokal lainnya sering mempunyai kepentingan-kepentingan terhadap hutan yang saling berbeda, atau bahkan bertentangan. Kendati demikian, banyak pemrakarsa upaya partisipatif tidak peka terhadap perbedaan-perbedaan antara kelompok, tidak mengetahui bagaimana menangani konflik, atau tidak memiliki cara untuk mendorong kerjasama. Jadi, tantangan terbesar dalam upaya partisipatif adalah ketidakmampuan pelaksana upaya-upaya tersebut dalam menghadapi tuntunan-tuntunan yang beragam atas hutan melalui kolaborasi (Kusmanto, 2006). Dari perkembangan pendekatan partisipatif dalam pengelolaan hutan di Indonesia, kita dapat melihat bahwa yang telah terjadi adalah proses pembelajaran
coba dan ralat (trial and error) antara berbagai kelompok kepentingan. Pembelajaran ini masih berlangsung sampai saat ini. Namun pembelajaran telah terjadi, laju pembelajaran tersebut berjalan lamban dan partisipasi masih dilihat terutama sebagai cara untuk memastikan agar hutan tetap dapat dijadikan sumber pendapatan dan kekayaan bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Di lain pihak, praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat, meskipun dibawah tekanan-tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan, masih bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya alam.
Namun realisasi dari dorongan
pergeseran tersebut belum juga terwujud dalam praktek akibat hambatanhambatan antara lain berupa perbedaan persepsi dan sikap pemerintah termasuk pihak akademisi yang masih relatif lebih kuat (Suharjito, 2000). Pada umumnya pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal mempunyai karakteristik ketahanan yang tinggi terhadap krisis ekonomi, sekaligus mampu memelihara fungsi lingkungan sehingga praktik-praktik ini merupakan alternatif pengelolaan hutan di masa mendatang yang paling tepat dikembangkan tatkala pertumbuhan penduduk terus meningkat.
2.1.6. Pengukuran Peran LSM 2.1.6.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja LSM Kinerja suatu organisasi secara periodik perlu di evaluasi secara menyeluruh. Maksud dari evaluasi tersebut adalah untuk mendapatkan informasi penting sebagai umpan balik apakah organisasi telah menjalankan strateginya atau belum sehingga masuk sebagai kontrol dari seluruh proses pelaksanaannya (implementation control). Implementasi strategi terjadi dalam tahapan-tahapan, program-program, investasi dan inisiatif yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Dalam menjalankan suatu strategi para manager mengkonversikan rencana-rencana garis besar menjadi langkah-langkah kongkrit dengan menjalankan program-program tertentu, menempatkan dan menyesuaikan personel dengan kebutuhannya, serta mengalokasikan sumberdaya. Menurut Yuwono, et al. (2006), pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivias dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik dimana perusahaan memerlukan penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian. Menurut Gaspersz (2005) pengukuran merupakan suatu cara memantau dan menelusuri kemajuan-tujuan-tujuan strategis. Berdasarkan Ibrahim (2004), kalangan donor menilai bahwa LSM akan dinilai dari empat hal yang masing-masing tidak bisa diabaikan dan saling berkaitan, yaitu dari aspek manajemen teknis, legitimasi, akuntabilitas dan transparansi LSM.
Untuk itu, ada sekurang-kurangnya empat faktor penting
untuk dapat dikembangkan oleh kalangan LSM adalah: 1. Internal governance.
Faktor ini mencakup aspek pengambilan
keputusan, perbedaan dan pembagian peran antara pengurus dengan badan pelaksna,
pertanggungjawaban kepada
konstituen, dan kejelasan mengenai visi, misi dan tujuan LSM. 2. Akuntabilitas. Akuntabilitas ini tidak hanya terhadap pemerintah tetapi juga terhadap publik yang lebih luas. Selama ini LSM hanya berusaha untuk akuntabel terhadap donor yang memberikan bantuan pendanaan
bagi mereka dalam bentuk naratif dan keuangan proyek. Sudah saatnya LSM mengembangkan mekanisme akuntabilitas kepada publik yang lebih luas. 3. Pengembangan hubungan antar LSM.
LSM harus melakukan
pengembangan hubungan yang intensif baik dengan sesama LSM mapun dengan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi beneficiaries program-program LSM selama ini. 4. Management LSM.
Hal ini menyangkut perencanaan strategis,
manajemen program, manajemen keuangan serta pengembangan SDM. Ada tiga indikator yang dapat dijadikan ukuran apakah LSM mempunyai legitimasi.
Pertama, pengakuan, apakah LSM diakui keberadaannya oleh
pemerintah atau pihak lain yang melibatkannya dalam proses penyusunan kebijakan.
Kedua, pembenaran, apakah kegiatan-kegiatan LSM mendapat
sambutan dari masyarakat dengan memberikan dukungan moral.
Ketiga,
dukungan, apakah LSM memperoleh bantuan berupa dana, tenaga, dan sebagainya dari masyarakat maupun pihak-pihak lainnya (Ibrahim, 2004). Sementara itu ada tiga sumber legitimasi bagi LSM. Pertama, legitimasi moral, yang menyangkut kesesuaian antara apa yang dilakukan oleh LSM dengan nilai-nilai norma. Kedua, legitimasi hukum, merupakan pengakuan dari negara akan keberadaan LSM serat dukungan berupa regulasi bagi LSM dalam melaksanakan kegiatannya.
Ketiga, legitimasi sosial, berupa pengakuan dari
masyarakat kepada LSM karena dianggap bermanfaat bagi masyarakat (Ibrahim, 2004). Secara umum keberadaan setiap organisasi cenderung untuk melakukan pengukuran kinerja yang diharapkan untuk menjawab akuntabilitas organisasinya. Menurut Santika (2004), pada kenyataannya paling tidak terdapat 5 (lima) aspek yang sangat umum untuk mengetahui kinerja dari suatu organisasi, yaitu aspek finansial, operasi kegiatan internal, kepuasan staf, kepuasan komunitas dan shareholders/stakeholders, dan dimensi waktu. Aspek-aspek inilah yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dan akuntabilitas LSM di Indonesia. Sejumlah LSM telah melakukan inisiatif untuk mengembangkan program akreditasi dan sertifikasi LSM. Salah satu tujuannya adalah untuk menjamin
integritas dan kredibilitas LSM itu sendiri.
Menurut Ibrahim (2004), dalam
program sertifikasi ini sekurang-kurangnya ada lima elemen yang harus diperhatikan. Pertama, visi, misi, dan tujuan LSM; kedua, internal governance; ketiga, manajemen, administrasi, dan keuangan; keempat, operasioanl program; kelima, legitimasi dengan mengembangkan indikator dan mean of verificationnya. Secara umum keberadaan setiap organisasi cenderung untuk melakukan pengukuran kinerja yang diharapkan untuk menjawab akuntabilitas organisasinya. Menurut Santika (2004), pada kenyataannya paling tidak terdapat 5 (lima) aspek yang sangat umum untuk mengetahui kinerja dari suatu organisasi, yaitu aspek finansial, operasi kegiatan internal, kepuasan staf, kepuasan komunitas dan shareholders/stakeholders, dan dimensi waktu. Aspek-aspek inilah yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dan akuntabilitas LSM di Indonesia. Melihat dari kompleksitas permasalahan yang ada, jelas hal ini harus segera mendapatkan perhatian yang serius terutama dari kalangan LSM sendiri sebagi pihak yang paling berkepentingan. Perlu adanya komitmen yang kuat dari pihak LSM untuk mengimplementasikan gagasan akuntabilitas dan transparansi tersebut sehingga secara bertahap LSM dapat kembali menampilkan citra dirinya secara lebih positif. 2.1.6.2. Indikator Penilaian Kinerja LSM Upaya LSM untuk mendapatkan pengakuan dan kepercayaan publik tidak cukup dengan menyumbang atau bekerjasama dengan konstituennya. Ada hal yang sangat esensial bagi LSM untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, yaitu LSM harus berusaha mempertanggungjawabkan apa yang sudah dan akan dilakukan dengan transparan ke publik. Menurut Ibrahim (2004), ada sekurang-kurangnya enam instrumen yang dapat digunakan untuk menjalankan akuntabilitas LSM, yaitu laporan berkala, audit publik, rapat anggota (board of trustees), mekanisme konsultasi publik, tanggap terhadap pengaduan masyarakat, dan survai pendapat umum. Lebih lanjut Kas (2005) menjelaskan bahwa ada 2 aspek penting yang menjadi pokok perhatian dalam melakukan monitoring dan evaluasi untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas LSM. Pertama, aspek organisasi, yang
meliputi visi dan misi, struktur organisasi, pola pengambilan keputusan, keberlanjutan program, keadilan dan kesetaraan gender, dan pengelolaan keuangan.
Kedua adalah aspek program, yang meliputi perencanaan dan
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi keberlanjutan program, serta sasaran pertanggungjawaban. Secara lebih rinci, Tifa (2006) 1 telah mengembangkan sebuah tools untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas LSM. Tools ini berisi 6 indikator yang dapat dijadikan sebagai elemen penilaian kinerja LSM, yaitu: 1. Elemen Visi – Misi dan Tujuan Organisasi Visi adalah cara pandang organisasi terhadap kondisi ideal atau hasil akhir yang ingin dituju. Sedangkan misi adalah alasan/sebab keberadaan organisasi; misi merupakan suatu pola dari sasaran (purpose) yang dapat digunakan untuk mengawali, mengevaluasi, dan merumuskan ulang seluruh kegiatan organisasi. Rumusan misi dianggap baik bila menunjukkan cakupan kegiatan dan masyarakat dampingan. Tujuan (Goals) adalah gambaran tentang apa yang ingin dicapai oleh organisasi dalam kurun waktu tertentu. Tujuan merupakan sasaran kinerja atau hasil akhir yang berkaitan dengan kegiatan. Visi dan Misi relatif tetap selama kurun waktu tertentu. Tetapi tujuan mungkin berubah seiring waktu dan respon terhadap kondisi lingkungan. Tujuan (goals) merupakan hasil potensial yang menggerakkan organisasi mendekati visi dan misinya. Visi-Misi dan Tujuan organisasi yang baik, senantiasa mencerminkan kebutuhan masyarakat, sesuai mandat yang diberikan masyarakat terhadap organisasi. Oleh karena itu, dalam penyusunan Visi, misi dan Tujuan organisasi, keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeholders) organisasi (Board/ dewan pendiri, jajaran manajemen, staf, kelompok dampingan, dan masyarakat) merupakan suatu keharusan. Dengan kata lain, penyusunan Visi, Misi dan Tujuan organisasi idealnya dilakukan secara partisipatif. Dalam penyusunan secara partisipatif ini, 1
Yayasan Tifa yang diresmikan tanggal 8 Desember 2000 membawa misi untuk mengembangkan masyarakat terbuka di Indonesia, yang menghormati perbedaan, menghargai hukum, keadilan dan persamaan. Visi Yayasan Tifa adalah terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi hak-hak pribadi, terutama hak dan pandangan perempuan, kelompok minoritas dan kelompok yang tidak diuntungkan lainnya. Yayasan ini juga mendukung terciptanya pemerintahan (governance) yang baik.
stakeholder yang hadir tidak sekadar terlibat secara “kehadirannya” saja, tetapi juga terlibat secara aktif dalam perumusan V – M – T. Selain disusun secara partisipatif, penyusunan V – M – T juga harus memperhatikan perspektif gender. Jika staf lembaga bergabung dengan lembaga sesudah proses perumusan V – M – T, perlu adanya usaha untuk mendiseminasi V- M – T tersebut kepada staf baru. Tentu saja, rumusan yang jelas (tertulis) mengenai Visi, Misi dan Tujuan harus diketahui oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) organisasi. Dengan demikian, seluruh aktivitas pemangku kepentingan (stakeholders) organisasi senantiasa dalam kerangka visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai bersama. 2. Elemen Tata Laksana (Governance) Tata Laksana mengacu pada tatanan organisasi dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang menuntun pelaksanaan misi dan tujuan yang ingin dicapai. Pengambilan keputusan, kepemimpinan dan kaderisasi, pertanggungjawaban, dan struktur organisasi merupakan elemen kunci dalam penyelenggaraan (governing) suatu organisasi. Semua hal yang berkaitan dengan mekanisme dalam organisasi (pengambilan keputusan, kepemimpinan dan kaderisasi, dan struktur organisasi) dilandasi kesepakatan bersama seluruh anggota organisasi (board/dewan pendiri, jajaran manajemen, dan staf). Kesepakatan ini kemudian kemudian didokumentasikan agar jelas dan dapat dijadikan pedoman yang diterapkan organisasi secara konsisten. Pada
proses
pengambilan
keputusan,
keputusan
tersebut
dapat
mempengaruhi kebijakan organisasi secara keseluruhan. Keterlibatan berbagai pihak (pengurus, direktur eksekutif, staf organisasi) dapat mempengaruhi tingkat transparansi dan akuntabilitas proses. 3. Elemen Administrasi
Administrasi berkaitan dengan penyelenggaraan atau pengelolaan organisasi setiap hari. Hal ini meliputi pembagian kerja, sistem manajemen informasi dan personalia. Organisasi perlu sistem pengelolaan (bahkan aturan main) yang baik agar efektivitas dan efisiensi dapat terwujud. Untuk menimbulkan sense of belongingdan keterlibatan semua anggota organisasi terhadap sistem pengelolaan, dilakukan penyusunan secara partisipatif. 4. Elemen Program Program merupakan jabaran dari misi yang nantinya akan diterjemahkan dalam kegiatan organisasi. Hal ini mencakup elemen integritas program, perencanaan program, pelaksanaan program dan monitoring dan evaluasi. Program organisasi senantiasa mengacu pada visi dan misi organisasi. Keterlibatan rekan jejaring dalam perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi program akan sangat membantu tercapainya visi dan misi organisasi. Tanpa program, organisasi tidak akan mempunyai kegiatan, karena kegiatan merupakan terjemahan program. 5. Elemen Pengelolaan Keuangan Pengelolaan Keuangan mengacu pada prinsip pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif dan akuntabel. Proses pengelolaan menganut prinsip keterbukaan, akuntabilitas Tahapan pengelolaan keuangan meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, pengawasan, pembuatan informasi, penggalangan dana, dan keberlanjutan keuangan. Keuangan dalam organisasi merupakan urat nadi organisasi karena tanpa dana (uang), program tidak bisa dilakukan. Namun ingat! Visi, misi dan tujuan organisasi harus selalu dijadikan pedoman dalam perencanaan, pengelolaan, pertanggungjawaban, penggalangan dana maupun keberlanjutan keuangan itu sendiri. Prinsip keterbukaan dan akuntabilitas harus dibudayakan Informasi keuangan bersifat terbuka, mudah diakses, diterbitkan secara teratur, dan mutakhir. 6. Elemen Legitimasi
Legitimasi merupakan pengakuan masyarakat yang valid bahwa LSM yang bersangkutan benar-benar merupakan organisasi yang menjalankan mandat dari masyarakat, memberi manfaat serta diakui oleh masyarakat. Legitimasi bisa dilihat dari dua elemen yaitu sosial dan hukum (legal). Untuk elemen sosial, legitimasi dapat dilihat pada bagaimana, LSM yang bersangkutan mendisseminasikan gagasan dan pemikirannya, serta pengakuan dan dukungan dari masyarakat dalam berbagai bentuknya. Prinsip-prinsip legitimasi adalah responsibilitas (cepat, tanggap, dan peka ) terhadap dinamika yang berkembang di masyarakat serta aktif memfasilitasi memfasilitasi kasus-kasus publik, dan komposisi alokasi sumber daya, baik itu sumber daya manusia ataupun anggaran harus lebih besar untuk masyarakat atau target group daripada alokasi untuk LSM itu sendiri. Indikator-indikator penilaian kinerja ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam melakukan penilaian kinerja LSM. Melalui indikator ini dapat ditentukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan peningkatan kapasitas lembaga hingga bisa menjadi sebuah lembaga yang lebih akuntabel dan transparan. 2.2. Kajian Penelitian Terdahulu Berbagai program dan kegiatan yang berkaitan dengan upaya peningkatan akuntabilitas dan transparansi LSM di beberapa kota telah memicu kesadaran para aktivis LSM lokal bahwa salah satu problem terbesar yang dihadapi mereka saat ini adalah minimnya akuntabilitas dan transparansi. Mereka mulai menyadari bahwa problem akuntabilitas LSM ini telah menjadi sorotan mayarakat dan harus segera mendapatkan perhatian jika mereka ingin tetap eksis dalam perjuangannya dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Menurut Kas (2005), berbagai survei dan analisis dilakukan berbagai pihak sebagai upaya untuk mengetahui sejauh mana perkembangan transparansi dan akuntabilitas organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk meningkatkan kinerja dan tanggung jawabnya kepada publik. Menurut
Baswir
(2004),
persoalan-persoalan
yang
dihadapi
LSM
diantaranya adalah terlihat banyak yang tidak mengerti akar persoalan yang ditangani, belum benar-benar sesuai dengan prioritas aspirasi masyarakat, dan
masih bersifat funding-driven. Hal ini sejalan dengan Saidi (2004) bahwa LSM saat ini tengah menghadapi lima persoalan mendasar, yakni legitimasi politis, akuntabilitas legal, keberlanjutan finansial, kompetensi profesionalitas, dan kredibilitas sosial. Hasil assessment yang dilakukan oleh Mercy Corps (Ibrahim, 2004), sebuah lembaga donor untuk program keuangan mikro, mengenai sejauh mana prinsipprinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas di kalangan LSM yang menjadi mitranya menemukan beberapa hal: 1. Struktur organisasi dan kepemimpinan. Di beberapa LSM ternyata tidak ada pemisahan antara board dan eksekutif.
Beberapa organisasi
menunjukkan bahwa kepemimpinan organisasi didominasi oleh satu orang yang biasanya menjadi pendiri dari LSM tersebut. Ia biasanya menduduki jabatan sebagai ketua pengurus juga sebagai direktur pelaksana. Kalaupun ada anggota pengurus yang lain, maka biasanya juga mereka terlibat sebagai pelaksana program, sementara staf kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan di dalam organisasi. 2. Partisipasi masyarakat. Beberapa LSM ternyata tidak pernah meminta masukan dari kalangan intended benefeciaries-nya. Sebagian lagi tidak melibatkan masyarakat secara intensif dalam seleksi dan merancang kegiatan. Beberapa LSM hanya meminta pendapat dari tokoh-tokoh masyarakat secara informal ketika akan merencanakan suatu proyek dan hal ini membuat masyarakat tidak cukup dilibatkan secara luas. Seringkali LSM merancang dan kegiatan mereka hanya berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki tentang daerah tertentu atau yang menurut mereka paling baik untuk masyarakat. Kegiatan ini akhirnya akan merupakan campur-tangan yang bersifat top-down. 3. Akuntabilitas dan transparansi.
Sebagian besar LSM masih banyak
mempunyai kelemahan dalam akuntabilitas dalam arti mekanisme, prosedur dan kemampuan untuk mempertanggungjawabkan program dan kegiatan serta dana yang diperolehnya kepada publik yang lebih luas.
Sebagian LSM tidak mempunyai sistem dokumentasi dan
informasi yang jelas mengenai program yang dilaksanakan. Sebagian
tidak
mempunyai
prosedur-prosedur
keuangan
yang
transparan
mengenai penerimaan dan pengeluaran dana serta sistem akuntansi. Sebagian besar LSM tidak pernah membuat laporan program dan laporan keuangan tahunan untuk dapat diketahui oleh publik yang lebih luas. 4. Ukuran keberhasilan.
Beberapa LSM ternyata tidak mempunyai
ukuran-ukuran dan kriteria mengenai keberhasilan program yang dilakukannya. Berdasarkan penelitian National Democratic Institute (NDI) dalam Kas (2005) mengenai Persepsi Masyarakat terhadap Ornop, menghasilkan penemuan penting. Pertama, meskipun LSM seringkali dipersepsikan sebagai organisasi non profit yang berkiprah dalam bidang sosial kemasyarakatan namun sebagian besar responden yang diwawancarai beranggapan bahwa LSM-LSM saat ini lebih berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah untuk meligitimasi program-program pemerintah dalam rangka mendapatkan bantuan dari luar negeri. Kedua, masyarakat seringkali justru merasa skeptis terhadap programprogram yang dilakukan oleh LSM. Beberapa jenis LSM seperti LSM politik cenderung mendapatkan apresiasi yang sangat rendah.
Mereka bahkan
berpendapat bahwa jenis LSM ini sepertinya tidak diperlukan mengingat fungsi pendidikan politik (political education) dapat dilakukan oleh media massa. Masyarakat memiliki kekhawatiran bahwa keberadaan LSM politik justru dapat mempertajam konflik yang terjadi di masyarakat karena dapat dipergunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Lembaga Demos, dalam sebuah penelitiannya yang dipublikasikan pada Majalah Tempo edisi 13 Desember 2004, memaparkan sebuah fakta menarik. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 363 responden di 29 propinsi, dari Aceh hingga Papua, terungkap fakta bahwa meskipun partisispasi warga negara dalam organisasi independen, kelompok kewargaan dan gerakan sosial menjadi lebih baik (72%) namun hanya sekitar 58% responden yang menyatakan bahwa transparansi, akuntabilitas dan demokrasi-tidaknya OMS menjadi lebih baik pascapemilu 1999.
Lebih lanjut ditemukan fakta bahwa apabila sikap responden tersebut kita bandingkan dengan item pertanyaan lain yang dikelompokkan sebagai sub-bagian hak dan institusi demokrasi seperti: kebebasan berbicara, berserikat dan berorganisasi (79%), kebebasan mendirikan serikat buruh (70%), kesetaraan serta emansipasi gender (63%), maka permasalahan transparansi dan akuntabilitas OMS tersebut mendapatkan tingkat kepercayaan yang lebih rendah. Survei ini menjadi semakin menarik apabila kita memperhatikan latar belakang para responden sebagai aktivis Ornop yang bekerja dalam gerakangerakan advokasi masyarakat. Sekilas hasil survei tersebut telah menunjukkan munculnya kesadaran dari kalangan LSM sendiri mengenai perlunya self-critism terhadap kinerja mereka selama ini. Survei yang dilakukan oleh PIRAC pada tahun 2004 dengan responden sebanyak 2.500 orang dalam Prihatna (2005), diantaranya menemukan beberapa hal.
LSM belum mendapatkan dukungan yang cukup besar dari masyarakat
dalam hal pendanaan, meskipun sebanyak 75% responden mengaku pernah mendengar kata LSM.
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh masyarakat
adalah mengapa tidak mau menyumbang ke LSM diantaranya adalah karena tidak tertarik pada program yang dijalankan (13%), tidak merasakan manfaat dari program yang dijalankan oleh LSM (22%), dan sebagian besar lagi mengatakan karena LSM tidak pernah meminta dana dari masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Bayunanda (2008) tentang kinerja Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan, dengan menggunakan ukuran kinerja balanced score card (BSC) menemukan bahwa
hasil
pembobotan
perspektif
pelanggan
mendapat
bobot
27%,
pembelajaran dan pertumbuhan 26%, finansial 25% dan proses internal 22%. Dari pengukuran indeks rata-rata kinerja organisasi mendapatkan angka 96.1% atau masuk ke dalam performance range yang tidak baik. Diantara keempat perspektif balanced scorecard, LEI perlu memperbaiki kinerjanya pada perspektif finansial, pertumbuhan dan pembelajaran, dan pelanggan. Untuk perspektif proses internal kinerja lembaga paling baik di bandingkan 3 aspek yang lain hal ini merupakan modal.
Berdasarkan Alimaturahim (2002), suatu kegiatan pembangunan yang dikelola oleh Ornop maupun OMS pada hakekatnya dituntut agar dapat memberikan kepuasan politik (political satisfaction) kepada empat kelompok utama yang terkait, yaitu: (1) masyarakat yang menerima manfaat (beneficiaries) atau kelompok sasaran (target groups) serta pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders); (2) pihak penyandang dana atau lembaga donor; (3) pemerintah selaku administratur pembangunan; dan (4) para pengelola pembangunan itu sendiri (Ornop/OMS).
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Permasalahan mendasar yang terjadi di dunia kehutanan diantaranya adalah kerusakan sumberdaya hutan yang tinggi sementara kapasitas masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan masih rendah. Salah satu penyebab adanya kerusakan hutan yang begitu tinggi salah satunya disebabkan oleh kegagalan kebijakan kehutanan yang tidak berpihak pada masyarakat dan juga tidak berpihak pada kelestaraian sumberdaya hutannya itu sendiri.
Kondisi ini kemudian
memunculkan banyak inisiatif dalam pengelolaan hutan khususnya pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM/community-based forest management) menjadi salah satu pilihan dalam sebuah sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat menuju pengelolaan hutan yang lestari. Seiring dengan perubahan tersebut, banyak LSM yang terlibat aktif dan intensif dalam mendampingi masyarakat menuju pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat.
Pengembangan kapasitas dan penguatan kelembagaan
masyarakat di sekitar hutan telah menjadi agenda utama dari banyak LSM Kehutanan. Pemerintah juga telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang berhubungan dengan PHBM. Kebijakan yang telah dikeluarkan diantaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.26/Menhut-II/2005 tentang Pemanfaatan Hutan Hak, Permenhut No. P.23/Menhut-II/2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat, Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, dan terbaru adalah Permenhut No. P.49/Menhut-II/2007 tentang Hutan Desa.
Kebijakan
pemerintah ini sebagai upaya untuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk memperoleh hak-haknya dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Meskipun dalam pelaksanaannnya masih menemui kendala, termasuk belum tersedianya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Selain kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, dibeberapa lokasi, misalnya di Propinsi Jambi, pemerintah daerah juga mengeluarkan sejumlah
peraturan desa (Perdes) maupun peraturan daerah (Perda) dan Surat Keputusan (SK) Bupati untuk memberikan sejumlah hak-hak masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutannya yang memang telah terbukti mampu menjaga hutannya. Di sisi lain, banyak LSM Kehutanan yang bergerak dalam bidang pengembangan PHBM yang bersentuhan langsung dengan suatu kawasan hutan, mempunyai keragaman program, metodologi, sebaran wilayah yang luas dan pendekatan yang berbeda-beda pula. Pada dasarnya program yang dijalankan oleh LSM Kehutanan ini yang bertujuan untuk mengembangkan institusi lokal pada tingkat masyarakat dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara adil dan berkelanjutan. Program yang dilakukan oleh LSM ini mendapatkan banyak dukungan dana dari lembaga donor, khususnya lembaga donor dari luar negeri. Bentuk dukungan yang diberikan lembaga donatur dalam program community forestry diantaranya adalah program pemberdayaan masyarakat dan program pengembangan kemitraan (partnership). Salah satu lembaga donor yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah SGPPTF UNDP yang berjalan mulai tahun 2005 – 2007. Melalui program ini telah diberikan sejumlah dana kepada 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Tema utama SGPPTF ini adalah pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang terpadu. Program pengembangan masyarakat (community empowerment) dalam bentuk program pengembangan PHBM yang dilakukan oleh LSM Kehutanan diharapkan akan mampu meningkatkan kapasitas dan keahlian masyarakat pengelola hutan. Pengembangan PHBM ini juga diharapkan secara signifikan dapat mengurangi tekanan dan kerusakan terhadap fungsi-fungsi kelestarian sumber daya hutan yang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Selain itu juga untuk membangun kapasitas dan jejaring (network) diantara pemangku kepentingan (stakeholders) untuk
mencapai pengelolaan
hutan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasa-jasa lainnya. Namun disisi lain, kadang beberapa program yang dilakukan oleh LSM Kehutanan belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam
penyusunan proposal dan mekanisme monitoring dan evaluasi program misalnya, terkadang masyarakat tidak dilibatkan dari awal sehingga terjadi lack/gap antara kebutuhan masyarakat dan kepentingan LSM Kehutanan itu sendiri. Terkadang masyarakat hanya dijadikan sebagai alat justifikasi untuk memperoleh dukungan finansial dari lembaga donor. Untuk itu, yang patut diperhatikan adalah bahwa seluruh program yang diusung oleh LSM Kehutanan seharusnya merupakan program yang memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Ini berarti bahwa selama rangkaian proses kegiatan dalam suatu program selalu melibatkan peran aktif dari masyarakat sebagai penerima manfaat (beneficiaries), mulai dari analisis sosial, penyusunan proposal, sampai dengan monitoring dan evaluasi program. Rangkaian kegiatan ini berkaitan dengan keberlanjutan program yang akan memberikan dampak langsung terhadap masyarakat. Apabila program yang dilakukan LSM telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat maka diharapkan masyarakat akan mampu mengelola hasil program itu sendiri tanpa adanya ketergantungan pendanaan dari lembaga pendampingnya maupun dari lembaga donor (funding agency). Upaya LSM untuk mendapatkan pengakuan dan kepercayaan publik tidak cukup dengan menyumbang pada atau bekerjasama dengan konstituennya. Ada hal lain yang sangat esensial bagi LSM untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, yaitu LSM harus berusaha mempertanggungjawabkan apa yang sudah dan akan dilakukan dengan transparan ke publik.
Upaya ini dilakukan dalam rangka
menuju pengelolaan hutan yang lestari dan kapasitas masyarakat meningkat. Dalam
penelitian
ini,
indikator-indikator
penilaian
kinerja
yang
dikembangkan oleh Yayasan Tifa (2006) akan dijadikan sebagai acuan dalam melakukan penilaian kinerja LSM. Ukuran kinerja akan menilai 6 elemen utama, yaitu elemen Visi dan Misi, elemen Program, elemen Tata Laksana, elemen Administrasi, elemen Keuangan, dan elemen Legitimasi. Melalui indikator ini dapat
ditentukan
tindakan-tindakan
yang
diperlukan
untuk
melakukan
peningkatan kapasitas lembaga hingga bisa menjadi sebuah lembaga yang yang mempunyai kinerja lebih baik.
Untuk melihat peran LSM dalam program PHBM terkait dengan pendekatan dengan masyarakat, dilakukan metode analisis pengembangan institusi lokal (Afiff, 2007). Ada empat dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan PHBM, yaitu: (1) pengaturan tata kuasa dan tata guna lahan, (2) pengaturan tata produksi, dan (3) pengaturan tata konsumsi. Untuk itu, penelitian ini mempunyai nilai penting dalam merumuskan pengembangan strategi dan program LSM Kehutanan dalam pengembangan PHBM di Indonesia melalui penilaian peran LSM sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dan hutannya.
Karena peran LSM
sangat penting dalam konteks pendampingan dan advokasi, maka bila kinerja LSM baik dan selalu meningkat maka harapannya akan menuju tujuan utama yaitu pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang lestari dan masyarakat sejahtera.
Pada Gambar 1 dapat dilihat kerangka pemikiran
penelitian penilaian kinerja LSM dalam program PHBM.
Paradigma Lama State-based forest management • • • •
Kebijakan pemerintah yang pro pengusaha besar (HPH dan HTI) Konsep hutan dan masyarakat terpisah Mengutamakan kepentingan ekonomi Eksploitasi besar-besaran
• • • • •
Akibatnya: Hutan rusak dan tidak lestari Tidak diakuinya kearifan lokal Konflik pemanfaatan sumberdaya hutan Tidak ada partisipasi masyarakat Kapasitas dan kelembagaan masyarakat lemah
Munculnya Paradigma Baru Community-based forest management (PHBM) • • • • •
Kebijakan Pemerintah
Tujuan: Hutan lestari dan masyarakat sejahtera Hutan dan masyarakat tidak terpisah Menumbuhkan kembali kearifan lokal Resolusi konflik Meningkatkan kapasitas dan kelembagaan masyarakat
Masyarakat pengelola hutan
LSM: agen perubahan dan lembaga pendorong hutan lestari dan masyarakat sejahtera
Analisis Kinerja dan Analisis Pengembangan Institusi Lokal
Strategi Peningkatan Peran LSM dalam program PHBM
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lembaga Donor
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan Peneliti yang selama ini bekerja dan bersentuhan langsung dengan LSM-LSM pendamping masyarakat dalam mempromosikan PHBM di Indonesia. Peneliti juga pernah menjabat sebagai Project Manager untuk Program Development Facilities (PDF) pada SGP PTF - UNDP kerjasama dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada tahun 2005 – 2007 dengan tema Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat yang Terpadu di 25 LSM Kehutanan Indonesia untuk region Jawa, region Sumatera dan region Sulawesi (lihat Lampiran 1). Penelitian ini difokuskan pada beberapa LSM yang mendapatkan dana dari Program
Pembangunan
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(United
Nations
Development Programme/UNDP) yang didukung oleh Komisis Eropa (European Commission/EC) melalui program SGPPTF di Indonesia pada periode 2005 – 2007. Melalui program ini telah diberikan sejumlah dana kepada 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Tema utama SGPPTF ini adalah pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang terpadu. Pemilihan responden terpilih didasarkan pada beberapa kriteria diantaranya adalah pola pendampingan oleh LSM Kehutanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat sekitar hutan; mengangkat isu konservasi, pendampingan teknis (technical assistant), dan advokasi; isu yang diangkat bersifat khas dan fokus pada isu lokalitas, dan wilayah kerjanya berada di hutan negara dan/atau hutan milik. Hasil identifikasi terhadap 25 LSM Kehutanan yang menjadi mitra SGP PTF UNDP menghasilkan beberapa kategori LSM berdasarkan isu pokok yang diangkat oleh LSM, yaitu konservasi (3 LSM), pendampingan teknis (6 LSM), advokasi (11 LSM), dan penelitian (3 LSM). Terdapat 2 kelompok tani yang tidak digolongkan ke dalam terminologi LSM.
LSM yang melakukan kegiatan
penelitian tidak djadikan sebagai sampel karena tidak sesuai dengan kriteria pemilihan sampel, termasuk 2 KTH yang dikategorikan bukan sebagai LSM tetapi organisasi rakyat. Pemilihan sampel ini diambil melalui metode stratified sampling yang artinya mengelompokkan populasi ke dalam beberapa kelompok yang lebih kecil, kemudian disampel secara acak dari kelompok-kelompok tersebut untuk kategori
konservasi, pendampingan teknis, dan advokasi masing-masing sebanyak 3 LSM. Pemilihan sampel ini juga didasarkan pada keterwakilan dari beberapa LSM yang mempunyai isu pokok yang sama. Jumlah sampel yang dipilih adalah sebanyak 9 LSM yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Lampung (Tabel 1). Tabel 1. Identifikasi LSM Kehutanan yang Menjadi Fokus Penelitian No
Isu Pokok
Nama LSM
Wilayah
LPPSP
Jawa Tengah
Konservasi di sabuk hijau mangrove
Lembah
Jawa Timur
Konservasi di lahan milik dan hutan lindung
3
Mitra Bentala
Lampung
4
Persepsi
Jawa Tengah
Sertifikasi ekolabel di lahan milik
Paramitra
Jawa Timur
Pola kemitraan di lahan milik dan hutan produksi
6
SHK Lestari
Lampung
7
YBL Masta
Jawa Tengah
RMI
Jawa Barat
Advokasi masyarakat adat di Taman Nasional Gunung Salak-Halimun
Watala
Lampung
Advokasi hutan kemasyarakatan di hutan lindung
1 2
5
8
Konservasi
Pendampingan teknis
Advokasi
9
Fokus proyek
Konservasi mangrove di hutan lindung
Ekowisata di Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman Advokasi tanah simpen di hutan produksi
Sumber: Diolah dari proposal 25 LSM yang menjadi mitra SGP PTF – UNDP periode 2005 2007
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November – Desember 2008 di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung. 3.3. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui faktor yang memperngaruhi kinerja LSM Kehutanan. Target ditentukan berdasarkan penilaian indikator pada ukuran kinerja LSM. Analisis kuantitatif digunakan dalam pembobotan yang menggunakan metode penilaian skor (scoring criteria) untuk setiap indikator. Hasil pembobotan digunakan untuk menentukan kinerja LSM dalam program PHBM. 3.4. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan, diolah dan dianalisis diantaranya adalah:
a. Data primer Data ini diperoleh dengan melakukan survei kuantitatif dan survei kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil pengisian kuesioner yang diisi oleh LSM Kehutanan. Sedangkan untuk data kualitatif akan dilakukan melalui 2 tahap, yaitu : Tahap 1. Melakukan wawancara dan focus group discussion (FGD) dengan pimpinan dan staf di 9 LSM Kehutanan terpilih serta melakukan wawancara dengan beberapa
tokoh LSM di Indonesia untuk
memperkaya data dan informasi, bila diperlukan. Tahap 2. Melakukan wawancara dan focus group discussion (FGD) dengan masyarakat sebagai kelompok sasaran (target goups) dan penerima manfaat (beneficiaries) dari proyek yang dilakukan oleh 9 LSM Kehutanan yang mendampingi masyarakat. b. Data skunder Data ini diperoleh melalui 2 tahap, yaitu: Tahap 1. Identifikasi fokus proyek dari 25 LSM Kehutanan yang menjadi mitra SGPPTF UNDP periode 2005 – 2007 Tahap 2.
Melakukan verifikasi dari dokumen-dokumen baik yang
dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan oleh 9 LSM Kehutanan terpilih. Untuk lebih jelasnya jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Penelitian No
Jenis dan Sumber Data
Elemen Data Primer
1
Visi dan Misi
2
Tata Laksana
3
Administrasi
4
Program
5
Pengelolaan Keuangan
6
Legitimasi
Observasi dan FGD/wawancara dengan pimpinan dan staf
Observasi dan FGD/wawancara dengan pimpinan dan staf , wawancara dengan stakeholders, dan wawancara dengan target group
Observasi dan FGD/wawancara dengan pimpinan dan staf
Observasi dan FGD/wawancara dengan pimpinan dan staf
Data Skunder Dokumen struktur organisasi, review dokumen, AD/ART, risalah rapat, dan peraturan organisasi Dokumen struktur organisasi, review dokumen, AD/ART, risalah rapat, peraturan organisasi, pola rekruitmen terbuka (iklan, mailing list), laporan tahunan keuangan dan program, newsletter, website atau home page, dokumen hasil pertemuan, dokumen hasil pengawasan pihak eksternal (laporan audit, monev, dll.) AD/ART, risalah rapat, peraturan organisasi, konfirmasi, cross check antara dokumen (struktur organisasi, uraian tugas personel), observasi, website atau home page, dokumentasi personalia, peraturan personalia, iklan dan mailing list, dan review dokumen Review dokumen tentang Visi-MisiTujuan dan program, laporan media massa, dokumen peta analisis isu dan analisis stakeholder program, dokumen perencanaan, Annual report, Project report, biodata staf, laporan keuangan, laporan visitasi/evaluasi, laporan program, laporan keuangan, laporan audit, dokumen hasil Monev, dan instrumen Monev Dokumen rencana keuangan, dokumen anggaran, dokumen peraturan organisasi, dokumen rencana keuangan, dokumen informasi keuangan, hasil audit keuangan oleh pihak ketiga, dokumen laporan keuangan, fundraising plan, daftar donatur, dokumen kebijakan, dan peraturan organisasi Undangan, hasil kunjungan untuk riset, pengaduan masyarakat, surat permintaan dampingan, publikasi media, keterlibatan dalam pengambilan keputusan publik dan konsultansi
3.5. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data 3.5.1. Analisis Kinerja 3.5.1.1. Penentuan Elemen Kinerja Penentuan elemen kinerja LSM Kehutanan didasarkan pada alat ukur (tools) yang telah dikembangkan oleh Tifa (2006). Tools ini berisi 6 elemen yang dapat dijadikan sebagai elemen penilaian kinerja LSM, yaitu: 1. Elemen Visi – Misi dan Tujuan Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu orientasi visi dan misi, proses perumusan visi dan misi, fungsi visi dan misi dalam kaitannya dengan program PHBM, dan konsistensi dalam melaksanakan visi dan misi. 2. Elemen Tata Laksana (Governance) Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu mekanisme pengambilan keputusan internal, mekanisme pertanggungjawaban kepada publik, dan aksesibilitas laporan tahunan. 3. Elemen Administrasi Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu tugas dan tanggung jawab staf, kompetensi pelaksana proyek, program pengembangan kapasitas, pendokumentasian data dan informasi, kemudahan mengakses data dan informasi, sistem perekrutan, dan evaluasi kinerja staf. 4. Elemen Program Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu perencanaan program yang sesuai dengan persoalan yang terjadi di masyarakat, terintegrasinya program PHBM dengan program yang lain, adanya perencanaan strategis yang disusun secara partisipatif, adanya identifikasi dan akses terhadap sumberdaya yang diperlukan terkait dengan program, kesesuaian perencanaan dengan proses pelaksanaan, penerima manfaat program, metodologi pelaksanaan program, pelibatan para pihak dalam program, dampak program, adanya mekanisme monitoring dan evaluasi program, adanya alat bantu pelaksanaan monitoring dan evaluasi program, adanya keterlibatan masyarakat
dalam monitoring dan evaluasi, adanya tindak lanjut dari monitoring dan evaluasi program, dan efektifitas hasil evaluasi. 5. Elemen Pengelolaan Keuangan Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu sumber pendanaan program, mekanisme pertanggungjawaban keuangan, strategi penggalangan dana, adanya upaya diversifikasi sumberdaya, dan adanya sumber dana abadi. 6. Elemen Legitimasi Pada elemen ini akan dinilai kinerja setiap LSM berdasarkan beberapa indikator yaitu diseminasi gagasan kepada publik, kepercayaan masyarakat terhadap LSM, dan dukungan masyarakat terhadap LSM Melalui penilaian terhadap indikator ini maka dapat ditentukan tindakantindakan yang diperlukan dalam bentuk rekomendasi untuk melakukan peningkatan kapasitas dan kinerja LSM dalam melaksanakan program PHBM menuju PHBML dan masyarakat sejahtera. 3.5.1.2. Pembobotan Elemen Kinerja Untuk menentukan bobot terhadap setiap elemen dan indikator kinerja dari masing-masing LSM maka dilakukan dengan penilaian dalam kuesioner. Penentuan bobot dilakukan pada setiap LSM pada lembar penilaian masingmasing dalam sebuah kuesioner.
Nilai setiap indikator yang dilakukan
pembobotan menunjukkan tingkat pencapaian kinerja LSM tersebut. Setiap LSM akan dinilai berdasarkan 3 skala intensitas atau level untuk setiap indikatornya (Tifa, 2006), yaitu: 1. Level 1 atau Kurang (K), jika setiap indikator yang sedang dinilai belum dapat dipenuhi ataupun potensinya sangat rendah untuk dapat dipenuhi dalam jangka waktu yang relatif singkat; 2. Level 2 atau Cukup (C), jika setiap indikator yang sedang dinilai dapat terpenuhi meskipun masih diperlukan sejumlah upaya untuk pemeliharaan dan keberlanjutannya secara tetap dan terus menerus; 3. Level 3 atau Baik (B), jika setiap indikator yang sedang dinilai dapat secara optimal terpenuhi dan menunjukan adanya potensi untuk pemeliharaan dan keberlanjutannya secara tetap atau terus menerus.
Bila terdapat LSM yang berada dalam kondisi di antara dua level (misalnya antara level 1 atau Jelek dan 2 atau Cukup), maka penilaian dilakukan pada kondisi yang paling mendekati diantara dua level tersebut. Dalam penelitian ini, setiap indikator mempunyai bobot yang sama. Kinerja LSM dinilai dari pembobotan setiap elemen yang diperoleh dengan menentukan nilai setiap indikator terhadap jumlah nilai secara keseluruhan indikator. Penilaian secara menyeluruh ini mengacu pada rumus dalam metode pengambilan keputusan sertifikasi PHBML yang dikembangkan oleh LEI yang diatur dalam Pedoman LEI 99 – 44 tentang Pedoman Pengambilan Keputusan Sistem Sertifikasi PHBML (LEI, 2001) yaitu: 1. Kinerja yang baik, jika B ≥ 50% x n dan C ≥ 25% x n 2. Kinerja yang cukup baik, jika B ≥ 25% x n dan C ≥ 50% x n 3. Kinerja yang kurang baik, jika selain yang diatas. dimana: B = jumlah indikator yang mendapatkan nilai baik (level 3) C = jumlah indiaktor yang mendapatkan nilai cukup (level 2) n = jumlah indikator Penilaian ini akan menentukan bentuk rumusan rekomendasi dan strategi ke depan yang diperlukan bagi peningkatan kinerja setiap LSM.
Melalui
peningkatan kinerja LSM dalam program pengembangan PHBM diharapkan dapat memberikan dampak positif yang signifikan dan manfaat yang besar bagi PHBM dan masyarakatnya. Pemerintah seharusnya juga dapat berperan dalam program PHBM ini. Peran pemerintah juga diharapkan dapat mendukung program PHBM yang dilakukan oleh LSM. Pola kemitraan dan dukungan dari semua pihak sangat diharapkan untuk mewujudkan PHBM yang lestari dan masyarakat sejahtera.
3.5.2. Analisis Model Pengembangan Institusi Lokal Penelitian ini juga menggunakan analisis model pengembangan institusi lokal yang dikembangkan oleh Afiff (2007). Pengertian institusi dalam konsep ini bukan hanya dalam pengertian umum yang berarti organisasi atau lembaga. Institusi yang dimaksud disini merupakan semua aturan baik formal maupun informal yang digunakan dan dipraktekkan oleh masyarakat di suatu tempat yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Menurut Ostrom (1990), dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, aturan-aturan ini mengatur siapa yang berhak untuk membuat keputusan tentang pemanfaatan dan pengelolaan, apa saja aktivitas yang diperbolehkan dan tidak boleh dilakukan, aturan mana saja yang akan digunakan, dan bagaimana seseorang dapat memperoleh akses terhadap sumberdaya tertentu. Berdasarkan Afiff (2007), terdapat empat dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang berbasis masyarakat. Empat dimensi tersebut adalah: 1. Pengembangan institusi yang terkait dengan pengaturan tata kuasa tenurial dan tata guna lahan. Adanya kepastian akan akses dan kontrol terhadap lahan dan sumberdaya hutan merupakan isu yang paling banyak diangkat dalam program yang mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Adanya kepastian akses atau pengusahaan adalah salah satu prasyarat penting dalam pengelolaan hutan yang lestari.
Tumpang tindih penguasaan antara lain merupakan
penyebab dari adanya ketidakpastian tenurial pada wilayah yang dikelola oleh masyarakat.
Ketidakpastian penguasaan tenurial dan akses masyarakat
terhadap hutan seringkali dilihat sebagai salah satu alasan mengapa masyarakat seringkali tidak terlalu antusias untuk mencari strategi pengelolaan sumberdaya alam untuk tujuan jangka panjang.
2. Pengembangan institusi yang terkait dengan tata produksi Ketika kepastian tenurial dapat diperoleh masyarakat, maka tantangan selanjutnya adalah mengembangkan institusi yang terkait dengan penataan produksi. Terdapat dua level strategi pengembangan yang perlu dipikirkan yaitu: (i) strategi pengembangan tata produksi pada tingakt kelompok atau komunitas, dan (ii) strategi pengembangan tata produksi pada tingkat rumah tangga. Dua strategi ini jelas saling terkait. Strategi tata produksi pada tingkat kelompok atau komunitas pada dasarnya adalah mencari bentuk usaha bersama yang melibatkan semua anggota kelompok. Sementara untuk strategi pengembangan tata produksi pada tingkat rumah tangga petani, pendekatan yang banyak didorong oleg LSM pada komunitas di sekitar hutan adalah dengan cara mendorong tumbuhnya jenis-jenis usaha ekonomi rumah tangga yang bertujuan untuk menurangi ketergantungan petani pada hutan. 3. Pengembangan institusi yang terkait dengan tata konsumsi. Perubahan pola konsumsi umumnya berpengaruh besar pada cara masyarakat menilai sumberdaya alam ini. Dengan semakin pentingnya mata uang dalam kehidupan masyarakat di pedesaan, maka sedikit banyak juga berpengaruh pada cara ereka menilai dan memaknai sumberdaya alam yang mereka miliki atau kelola.
Tanah atau lahan pertanian atau hutan pada
awalnya bukanlah komoditi ekonomi bagi masyarakat pedesaan.
Dengan
adanya perubahan nilai ini, maka tanah atau lahan sekarang berubah menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomis sehingga menjadi objek jual beli. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi ini biasanya akan mendorong adanya peningkatan ekspoitasi dari sumberdaya alam yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya dan keberlangsungan pelayanan alam dari ekosistem hutan buat masyarakat itu sendiri. Upaya dan strategi pengembangan institusi di tingkat lokal pada dasarnay dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu kondisi fisik dan sumberdaya alam setempat; faktor-faktor ekonomi politik pada tingkat internasional, nasional, dan daerah; serta faktor dinamika sosial dan politik lokal.
Pengembangan institusi di tingkat lokal dengan berbagai faktor yang mempengaruhi tersebut bertujuan untuk mencapai pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini.
Konteks Ekonomi Politik di Tingkat Internasional – Nasional - Daerah
Pengaturan Tata Kuasa Tenurial
Karakteristik Fisik dan Sumberdaya Alam Setempat
Pengaturan Tata Guna Lahan Pengaturan Tata Produksi Pengaturan Tata Konsumsi
Masyarakat Desa
Pengembangan Institusi Lokal
Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan dan Berkeadilan Sosial
Kelompok/ Komunitas
Dinamika Sosial dan Politik Lokal
Gambar 2. Kerangka Konseptual Pengembangan Institusi Lokal (Afiff,2007)
3.5.3. Metode Perancangan Program Metode perancangan program yang digunakan adalah melalui pendekatan Logical Framework Approach (LFA). Menurut Tonny (2007), LFA merupakan sebuah alat manajemen dan perencanaan dengan menggunakan teknik visualisasi yang mampu membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses perencanaan dan pengelolaan program. Melalui metode ini dapat dirumuskan tujuan-tujuan secara jelas sehingga ikut mendorong tercapainya pengambilan keputusan saat ada pendapat dan harapan berbeda dari stakeholders. Metode ini juga dapat digunakan untuk menyusun informasi secara sistematik serta dapat menghasilkan sebuah rancangan program yang konsisten dan realistis. Langkah-langkah dalam penyusunan LFA adalah: 1. Analisis Masalah Melakukan analisis terhadap masalah inti yang dihadapi dalam peningkatan peran LSM dalam program PHBM. Pada bagian ini dibahas penyebab dan akibat utama dan langsung terjadinya masalah inti. 2. Analisis Tujuan Melakukan analisis terhadap rumusan negatif dan analisis masalah menjadi keadaan positif yang layak. Pada tahap ini dianalisis pada tingkattingkat yang lebih rendah serta yang mencerminkan tindakan yang cukup operasional. 3. Matrik Perencanaan Proyek Membuat matrik perencanaan proyek yang menyajikan sebuah ringkasan sistematik yang memperhatikan kaitan-kaitan antara berbagai komponen proyek dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. 4. Rencana Pelaksanaan Rencana pelaksanaan adalah pedoman kerja yang secara rinsi mengalokasikan waktu, personil, dan sarana yang diperlukan untuk melaksanakan semua kegiatan proyek. 5. Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi (monev) adalah upaya yang harus dilakukan secara terus-menerus maupun berkala untuk menjaga agar pelaksanaan proyek sesuai dengan rencana-rencana yang telah ditetapkan.
Hasil-hasil monev
menjadi dasar penyesuaian rencana-rencana pada tahap-tahap pelaksanaan selanjutnya. Kerangka LFA dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini.
Peran LSM
Rencana Program
Monitoring dan Evaluasi
Matrik Perencanaan Program
Analisis Perumusan Strategi
Analisis Tujuan
Analisis Masalah
Gambar 3. Diagram Alur Metode Logical Framework Approach (LFA)
BAB IV GAMBARAN UMUM LSM 4.1. Sejarah Berdirinya LSM Sejarah berdirinya 9 LSM yang menjadi fokus penelitian ini menunjukkan beragam dengan rentang waktu antara tahun 1978 sampai tahun 2003. Berdirinya LSM-LSM ini dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu: tahun awal berdiri sebelum dan setelah mendapatkan legal formal dari pemerintah.
Dilihat dari awal tahun
berdiri, sebanyak 44% (4 LSM) yang ketika berdiri tidak langsung membuat landasan hukum atau legal formalnya (Tabel 3). Bentuk awal lembaga hanya berbentuk kelompok kerja atau kelompok diskusi.
Diskusinya berkembang
sehingga seluruh anggota bersepakat untuk membentuk lembaga yang lebih bersifat formal dalam bentuk badan hukum. Tabel 3. Bentuk Lembaga dan Tahun Berdiri LSM
No
Nama LSM
Wilayah
Bentuk Lembaga
Tahun berdiri Berdiri
Legal/Formal
1
LPPSP
Jawa Tengah
Yayasan
1992
1992
2
Lembah
Jawa Timur
Perkumpulan
2003
2003
3
Mitra Bentala
Lampung
Yayasan
1995
1995
4
Persepsi
Jawa Tengah
Perhimpunan
1993
1993
5
Paramitra
Jawa Timur
Lembaga
1992
2002
6
SHK Lestari
Lampung
KSM
1999
2002
7
YBL Masta
Jawa Tengah
Yayasan
1997
2001
8
RMI
Jawa Barat
Yayasan
1992
1992
9
Watala
Lampung
Perkumpulan
1978
2003
Sumber: Hasil pengolahan data
Namun sebagian besar LSM yaitu sebanyak 5 LSM atau 56% telah mendaftarkan diri untuk membentuk badan hukum dalam bentuk Yayasan atau Perkumpulan ketika berdiri. LSM yang paling lama membentuk badan hukum adalah RMI dan LPPSP pada tahun 1992 dan yang paling muda adalah Lembah yang lahir pada tahun 2003.
Bila dilihat dari rentang waktu antara tahun berdiri dengan terbentuknya badan hukum formal, Watala di Lampung mempunyai rentang waktu paling lama, yaitu selama 24 tahun. Berdasarkan wawancara dengan pengurus Watala, kondisi ini dipengaruhi oleh tuntutan untuk membentuk badan hukum formal berbentuk Perkumpulan baru pada tahun 2003. Hal ini berarti bahwa Watala memandang perlu untuk melibatkan konstituennya yang selama ini mendukung Watala untuk terlibat langsung dalam pengambilan keputusan lembaga. Wadah yang dipandang paling tepat adalah berbentuk Perkumpulan. LSM yang paling muda baik sejak berdiri maupun secara legal formal adalah Lembah. Berdirinya LSM-LSM ini sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi wilayah kerja pada saat itu dengan adanya ketimpangan-ketimpangan dan kerusakankerusakan yang terjadi, baik di tingkat masyarakat maupun pada kondisi hutannya.
Mitra Bentala di Lampung, misalnya, didirikan atas dasar adanya
kebutuhan untuk membantu memfasilitasi masyarakat di Pulau Pahawang yang telah mengalami degradasi hutan mangrove yang sudah sangat mengkhawatirkan. Begitu juga dengan Paramitra di Jawa Timur, dan LPPSP di Semarang. Seluruh LSM mengangkat isu kerusakan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya hutan. Isu ini merupakan isu yang seksi dan dapat menarik perhatian publik. Isu kerusakan sumberdaya alam ini tidak lepas dari isu internasional yang telah dimulai sejak Konferensi Stockholm pada tahun 1972 (LEI, 1998). Sejak itu, gerakan hijau di tingkat internasional telah dimulai dengan fokus pada lingkungan hidup.
Pada tahun 1980, terjadi kesepakatan mengenai Strategi
Konservasi Bumi (World Conservation Strategi) dengan fokus pada konservasi sumberdaya hayati. Puncak gerakan hijau di tingkat internasional dicapai dengan disepakatinya Deklarasi Rio, Konvensi Keanekaragaman Hayati, Konvensi Perubahan Iklim, Agenda 21, dan Prinsip-Prinsip Kehutanan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (United Nations Conference on Environment and Development) pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro (LEI, 1998). Setelah adanya serangkaian program yang telah digulirkan di tingkat internasional tersebut, beberapa negara mulai merespon dengan serius, termasuk Indonesia. Beberapa organisasi yang mengusung pengelolaan sumberdaya alam secara
berkelanjutan
diantaranya
adalah
International
Tropical
Timber
Organization (ITTO), Forest Stewarship Council (FSC), Komisi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan (United Nations Commision on Sustainable Development/UNCSD), International Organization for Standard (ISO), World Wildlife Fund for Nature (WWF), dan Center for International Forestry Research (CIFOR). Pada tahun-tahun akhir era 80-an hingga awal-awal tahun 90-an para penggiat lingkungan yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (Environmental non-government organization/ENGO) melihat bahwa upayaupaya yang dilakukan oleh pemerintah (atau para pemerintah) dalam mengurangi laju pengurangan luasan kawasan hutan ataupun untuk menghentikan laju deforestasi sangat minimal sekali, baik yang terjadi di kawasan hutan tropik maupun sub-tropik (LEI, 2001). Kondisi inilah yang menjadi salah satu alasan berdirinya LSM-LSM yang bergerak di bidang pengelolaan sumberdaya alam. 4.2. Visi dan Misi LSM Visi adalah cara pandang organisasi terhadap kondisi ideal atau hasil akhir yang ingin dituju. Sedangkan misi adalah alasan/sebab keberadaan organisasi; misi merupakan suatu pola dari sasaran (purpose) yang dapat digunakan untuk mengawali, mengevaluasi, dan merumuskan ulang seluruh kegiatan organisasi. Rumusan misi dianggap baik bila menunjukkan cakupan kegiatan dan masyarakat dampingan (Tifa, 2006). Sebagian besar LSM menjadikan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakatnya sebagai mimpi yang ingin diraih. Mimpi ini kemudian diterjemahkan ke dalam visi dan misi. Sebagai sebuah program yang telah diusung melalui proyek SGPPTF UNDP pada tahun 2005-2007, program PHBM merupakan salah satu bagian dari program yang dijalankan oleh LSM. LSM yang secara khusus menyebutkan PHBM pada visinya hanya SHK Lestari di Lampung dan YBL Masta di Jawa Tengah pada misinya. LSM yang lain visi dan misinya masih bersifat umum meskipun Mitra Bentala telah membuat visinya lebih spesifik dengan mencantumkan lokasi dampingannya yaitu berdaulatnya masyarakat pesisir-laut dan pulau-pulau kecil Lampung dalam pengelolaan sumber daya alam secara
demokratis, adil dan berkelanjutan (Tabel 4).
Sebagian besar LSM tidak
menerjemahkan secara khusus pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang diusung, meskipun sebagian besar LSM banyak bergerak di bidang kehutanan dan pemberdayaan masyarakatanya. Tabel 4. Analisis Terhadap Fokus Visi Setiap LSM No
Nama LSM
Fokus Visi
1
LPPSP
Pengkajian dan pengembangan sumberdaya pembangunan
2
Lembah
Pelestarian hutan dan satwa endemik di Bawean
3
Mitra Bentala
Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Lampung
4
Persepsi
Pengembangan masyarakat di semua bidang
5
Paramitra
Pengembangan masyarakat di semua bidang
6
SHK Lestari
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan
7
YBL Masta
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan
8
RMI
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan
9
Watala
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan
Sumber: Hasil pengolahan data
Beragamnya visi dan misi LSM sangat dipengaruhi oleh kondisi pada saat LSM tersebut berdiri. Pergumulan ideologi dan kapasitas pengurus pada saat perumusan visi dan misi menjadi faktor yang penting. Melalui diskusi yang panjang dan bahkan berlarut-larut pada akhirnya mengerucut dan terumuskan dalam sebuah visi dan misi yang tertuang secara tertulis. Fokus misi LSM yang beragam mulai
dari
pendidikan,
advokasi,
konservasi,
sampai
dengan
pendampingan teknis (Tabel 5 dan Tabel 6). Tabel 5. Analisis Terhadap Misi Setiap LSM No
Nama LSM
Fokus Misi
1
LPPSP
Pelatihan, advokasi, konservasi, pengkajian, pendidikan, dan pelayanan informasi
2
Lembah
Pelatihan, advokasi, konservasi, dan pendampingan teknis
3
Mitra Bentala
Pelatihan, advokasi, konservasi, dan pendampingan teknis
4
Persepsi
Advokasi, konservasi, dan pendidikan
5
Paramitra
Advokasi, konservasi, pendampingan teknis dan pendidikan
6
SHK Lestari
Advokasi, konservasi, pendampingan teknis dan pendidikan
7
YBL Masta
Advokasi, konservasi, dan pendampingan teknis
8
RMI
Advokasi, konservasi, dan pendidikan
No 9
Nama LSM Watala
Fokus Misi Advokasi, konservasi, pendampingan teknis, dan pendidikan
Sumber: Hasil pengolahan data
Tabel 6. Identifikasi Visi dan Misi LSM No
Nama LSM
Visi
1
LPPSP
Menjadi lembaga yang handal dalam pengkajian dan pengembangan sumberdaya pembangunan berdasarkan profesionalisme dan integritas
2
Lembah
Terwujudnya masyarakat Bawean yang cinta lingkungan.
3
Mitra Bentala
Berdaulatnya masyarakat pesisir-laut dan pulau-pulau kecil Lampung dalam pengelolaan sumber daya alam secara demokratis, adil dan berkelanjutan
4
Persepsi
Terwujudnya masyarakat sejahtera, makmur, dan merata dengan tatanan kehidupan yang demokratis, berkeadilan gender, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan lingkungan
5
Paramitra
Tercapainya kondisi masyarakat yang dinamis dan berdaya dalam memperjuangkan hak-hak-nya untuk mencapai kemandirian dan kesejahteraan lahir dan batin.
6
SHK Lestari
Terwujudnya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat yang berdaulat dalam pengelolaan hutan lestari
Misi 1. 2. 3. 4.
Melakukan pengkajian, mengenai sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Melakukan pendidikan dan pelatihan bagi sumberdaya manusia Melakukan pengembangan bagi sumberdaya manusia/masyarakat. Melakukan kegiatan penerbitan dan pelayanan informasi mengenai sumberya manusia dan sumberdaya alam. 1. Mengadakan penyuluhan hukum, mengadakan penghijauan, mengadakan penangkaran DLL 2. Membantu program pemerintah, meningkatkan ekonomi masyarakt dan mengurangi pengangguran 1. Memperkuat lembaga melalui peningkatan kapasitas personil dan lembaga 2. Membangun kelembagaan masyarakat pesisir laut dan pulau-pulau kecil Lampung untuk meningkatkan kesejahteraannya dan kelestarian ekosistem. 3. Mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak pada masyarakat pesisir laut dan pulau pulau kecil Lampung melalui pelibatan publik dalam mendukung pengelolaan secara demokratis, adil dan berkelanjutan. 1. Mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan gender 2. Meningkatkan akses dan kontrol masyarakat dan sumber daya ekonomi, politik, dan budaya 3. Meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat sipil melalui pendidikan kritis dan advokasi 4. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup Mengurangi kesenjangan masyarakat yang kurang beruntung (rentan) pada kelompok masyarakat perdesaan dan perkotaan pada bidang pertanian, kehutanan, ekonomi rakyat, hak-hak anak (buruh anak, anak keluarga miskin, dan anak jalanan), kesehatan lingkungan, demokratisasi dan pendidikan politik rakyat, serta pengembangan kelembagaan masyarakat sasaran dengan cara mendayagunakan sumber daya masyarakat secara maksimal dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (HAM), kesetaraan (gender), keadilan (demokratis), dan keberlanjutan (lingkungan).
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ekonomi membaik, alternativ ekonomi tumbuh Akses jalan meningkat baik, termasuk jembatan Sarana pendidikan meningkat Ekowisata berjalan baik Manajemen radio komunitas meningkat baik Meratanya informasi kepada seluruh anggota SHK Lestari dapat mandiri
No
Nama LSM
Visi
Misi 8. SHK Lestari memiliki sayap-sayap organisasi 9. Kesehatan masyarakat meningkat 10. Pelibatan peran aktif kaum perempuan
7
YBL Masta
Pemulihan keberdayaan masyarakat miskin untuk peningkatkan kualitas penghidupan masyarakat
1. 2. 3. 4.
8
9
RMI
Watala
Terwujudkannya kedaulatan rakyat, perempuan dan lakilaki atas tanah dan sumberdaya alam serta sistem pengelolaannya yang adil, setara dan lestari.
1.
Mewujudkan lingkungan yang serasi, berkeadilan dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat
1. 2.
2.
3. 4.
Sumber: Hasil pengolahan data
Membantu meningkatkan derajat hidup masyarakat melalui peningkatan mutu lingkungan hidup, Menggugah kesadaran masyarakat untuk untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan lingkungan khususnya pengelolaan sumber daya hutan Turut serta dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup yang berasaskan keadilan, kelestarian dan demokrasi Menjaga kelestarian lingkungan serta keanekaragaman hayati dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat Memberdayakan rakyat, perempuan dan laki-laki untuk memperkuat posisi tawar mereka atas tanah dan sumberdaya alam serta sistem pengelolaannya yang adil, setara dan lestari Meningkatkan kesadaran dan kepedulian serta merubah pola pikir dan pola tindak para pengambil keputusan dan anggota masyarakat lainnya untuk menghormati dan menghargai hak-hak rakyat, perempuan dan laki-laki, atas tanah dan sumberdaya alam serta sistem pengelolaannya yang adil, setara dan lestari. Meningkatkan kapasitas anggota dan mengembangkan organisasi. Mendukung dan menggerakkan demokratisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Menumbuhkembangkan kegiatan cinta alam yang berwawasan lingkungan. Membangun kerjasama parapihak dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
4.3.
Program PHBM oleh LSM bersama UNDP Proyek SGPPTF UNDP yang berjalan mulai tahun 2005 – 2007 bertujuan
mempromosikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan melalui kemitraan langsung dengan stakeholders lokal di wilayah-wilayah yang telah ditentukan. SGPPTF berpandangan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan, memberdayakan individu dan komunitas dalam mengelola hutan dan kehutanan, menghasilkan manfaat yang adil dari barang dan jasa kehutanan yang dihasilkan dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan (SGPPTF, 2005). Program yang dapat diterima dan didanai oleh UNDP diantaranya adalah:
Pengembangan
inisiatif
alternatif
dan
kehidupan
berkelanjutan,
pengembangan kapasitas dan keahlian komunitas yang akan secara signifikan mengurangi tekanan pada sumber daya hutan;
Membangun kapasitas dan jaringan kerja pemangku kepentingan para komunitas untuk pengelolaan yang ramah komunitas sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasajasa lain; dan
Menunjang kemantapan hak pemanfaatan/penggunaan lahan dan sumber daya alam lain, dan dengan demikian memperbaiki akses penggunaan/pemanfaatan sumber daya alam lestari. Program-program tersebut di atas harus mempunyai tema umum kehidupan
berkelanjutan dari komunitas yang bergantung pada hutan termasuk komunitas adat dan orang asli. Tema spesifik meliputi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Komunitas Secara Terpadu, Membangun Prakondisi bagi terciptanya lingkungan hidup yang berkelanjutan dan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan. Melalui seleksi yang ketat yang dilakukan oleh Sekretariat SGP PTF UNDP ini telah terpilih 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah untuk mendapatkan dukungan dana.
Besarnya jumlah dana dan rentang waktu
pelaksanaan program yang dilakukan oleh LSM sangat beragam. SGPPTF ini aktif berjalan mulai tahun 2005 – 2007. Dalam penelitian ini, 9 LSM dari 25 LSM yang telah menjadi mitra UNDP yang menjadi responden telah dikategorikan menjadi 3 kategori isu yang diangkat, yaitu isu konservasi yang diusung oleh LPPSP, Lembah dan Mitra Bentala; isu pendampingan
teknis yang dilakukan oleh Persepsi, Paramitra, dan SHK Lestari; dan isu advokasi yang dijalankan oleh Masta, RMI dan Watala. Meskipun dikategorikan menjadi 3 isu pokok, sebenarnya seluruh LSM mempunyai tujuan yang sama namun dengan pendekatan yang berbeda-beda (Tabel 7). Tabel 7. Analisis Fokus dan Lokasi Proyek UNDP No
Nama LSM
Fokus dan Lokasi Proyek UNDP
1
LPPSP
Konservasi di sabuk hijau mangrove di pantai Kota Tegal
2
Lembah
Konservasi di lahan milik dan hutan lindung di Pulau Bawean
3
Mitra Bentala
Konservasi mangrove di hutan lindung di Pulau Pahawang
4
Persepsi
Sertifikasi ekolabel di lahan milik di Sukoharjo
5
Paramitra
Pola kemitraan di lahan milik dan hutan produksi di Malang
6
SHK Lestari
Ekowisata di Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman, Lampung
7
YBL Masta
Advokasi tanah simpen di hutan produksi di Purworejo
8
RMI
Advokasi masyarakat adat di Taman Nasional Gunung Salak-Halimun di Jawa Barat
9
Watala
Advokasi hutan kemasyarakatan di hutan lindung di Lampung
Sumber: Hasil pengolahan data
Semua kategori tersebut lebih mengarah kepada advokasi namun programnya dibungkus dengan kegiatan yang sifatnya lebih teknis. SHK Lestari, misalnya, yang mengangkat isu ekowisata di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdurrahman di Lampung. Isu ekowisata digunakan untuk memberikan penekanan kepada program untuk memperoleh akses bagi masyarakat terhadap hutan yang selama ini dikelola yang letaknya berada pada kawasan yang didalamnya terdapat kawasan ekowisata. Isu ekowisata ini kemudian digunakan oleh SHK sebagai alat advokasi untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah dalam bentuk pengelolaan hutan. Namun sampai saat ini – telah berjalan 6 tahun – belum juga menunjukkan hasil sesuai dengan yang diinginkan. Hal ini juga berlaku pada LSM yang mengusung isu konservasi. Misalnya, LPPSP di Semarang dan Mitra Bentala di Lampung, yang mengusung tema konservasi pada hutan mangrove di sepanjang pantai. Kegiatan yang dilakukan lebih banyak bersifat memberikan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya konservasi melalui penanaman dan pelatihan yang berkaitan dengan konservasi hutan mangrove. Namun, tujuan besarnya adalah untuk memberikan kepedulian yang lebih
besar kepada semua pihak, terutama pemerintah untuk memberikan pengakuan dan perhatian yang lebih besar akan pentingnya hutan mangrove bagi masyarakat. Bagi masyarakat, hutan mangrove mempunyai arti sangat penting yaitu memiliki fungsi ekologi dan ekonomi. Fungsi ekologi bermanfaat diantaranya untuk menahan abrasi, penyedia nutrien bagi biota laut, penyerap limbah, dan pencegah intrusi air laut. Fungsi ekonomi yang penting diantaranya adalah penyedia kayu, pemanfaatan biji dan daunnya sebagai bahan baku obat-obatan. Program-program yang dijalankan oleh LSM lebih mengarah pada pengelolaan sumberdaya hutan yang berbasis masyarakat dan pemberdayaan masyarakatnya (Tabel 8).
Program yang didukung pendanaannya oleh UNDP ini sebenarnya
mempunyai tujuan yang strategis bagi tercapainya tujuan besar bersama yaitu terciptanya pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berkelanjutan dan masyarakat sejahtera.
Tabel 8. Tujuan dan Fokus LSM sebagai Mitra dalam Proyek SGPPTF UNDP Periode 2005 - 2007 No 1
Nama LSM LPPSP
Lokasi Proyek Jawa Tengah
Tujuan Proyek UNDP 1. 2. 3. 4.
Meningkatkan sumber pendapatan masyarakat pantai khususnya petani tambak melalui usaha alternatif yang bertumpu pada pelestarian kawasan sabuk hijau pantai Mengembangkan organisasi pengelola kawasan sabuk hijau melalui proses fasilitasi dan pelatihan. Fasilitasi kepada pemerintah kota Tegal untuk pengembangan dan pengaturan pengelolaan kawasan sabuk hijau pantai. Mengembangkan kawasan sabuk hijau pantai melalui penanaman bakau sebagai model percontohan kawasan sabuk hijau pantai di Jawa Tengah
2
Lembah
Jawa Timur
1. 2. 3. 1. 2. 1.
3
Mitra Bentala
Lampung
4
Persepsi
Jawa Tengah
5
Paramitra
Jawa Timur
6
SHK Lestari
Lampung
Terciptanya sumberdaya manusia yang tangguh dan mandiri dalam mengelola sumberdaya hutan rakyat Meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan Terwujudnya kesadaran masyarakat akan fungsi hutan lindung Masyarakat desa Pulau Pahawang mengelola hutan mangrove secara arif dan berkelanjutan Hutan mangrove di Desa Pulau Pahawang terlindungi dari kerusakan Meningkatnya sumber – sumber pendapatan petani melalui perbaikan pola usahatani hutan rakyat yang bertumpu pada pelestarian hutan 2. Berkembangnya Organisasi Petani Hutan Rakyat yang siap melakukan pengajuan sertifikasi PHBML melalui proses fasilitasi, pendampingan dan pelatihan 3. Diperolehnya dukungan para pihak terkait dalam penyiapan sertifikasi PHBML, promosi pengelolaan hutan secara lestari untuk mendapatkan berbagai alternatif insentif ekonomi dan simpati kebijakan 4. Berkembangnya model pengelolaan hutan rakyat dalam perspektif DAS secara lintas kabupaten Terwujudnya system pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari, berkeadilan, dan demokratis untuk menjamin keberdayaan rakyat yang berbasis pola kemitraan dan didukung kesepakatan para pihak Pengelolaan wilayah kelola kelompok SHK Lestari secara kolaboratif melalui pengembangan ekowisata berbasis komunitas
7
YBL Masta
Jawa Tengah
1.
8
RMI
Jawa Barat
9
Watala
Lampung
Peningkatan kapasitas dan posisi tawar komunitas tanah simpen dalam pengelolaan fungsi dan manfaat SDH secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat 2. Tersusunya kebijakan yang bersifat integral dan mediatif bagi semua pihak dalam pengellaan tanah simpen yang lestari dan berbasis masyarakat 3. Peningkatan kualitas komunikasi para pihak dalam pengelolaan tanah simpen yang lestari dan berbasis masyarakat Terjalinnya dukungan dari para pihak atas pengakuan keberadaan masyarakat adapt Kasepuhan Cibedug dalam pengelolaan hutan wewengkon adat Mengembangkan potensi kawasan, agroforestry, pekarangan, peternakan melalui peningkatan kapasitas petani dan penguatan peran perempuan
Sumber: Hasil pengolahan data
64
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Elemen Kinerja LSM dalam Program PHBM Pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada sebuah lembaga. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik dimana lembaga tersebut memerlukan penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian (Yuwono, 2006). Menurut Gaspersz (2005) pengukuran merupakan suatu cara memantau dan menelusuri kemajuan terhadap tujuan-tujuan yang strategis. Dalam penelitian ini terdapat 6 elemen kinerja dengan 36 indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur kinerja LSM dalam melaksanakan program PHBM periode tahun 2005 – 2007. Jumlah indikator terbanyak pada elemen Program sejumlah 41,7% atau 15 indikator sedangkan jumlah indikator paling sedikit masing-masing pada elemen Visi & Misi dan elemen Legitimasi sejumlah 8,3% atau 3 indikator. Elemen Program memiliki jumlah indikator terbanyak diantara indikator lainnya karena hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa elemen Program merupakan bentuk penjabaran dari misi yang nantinya akan diterjemahkan dalam kegiatan organisasi. Elemen Program ini diantaranya mencakup elemen integritas program, perencanaan program, pelaksanaan program dan monitoring dan evaluasi terhadap program yang dijalankan. Menurut Tifa (2006), program organisasi senantiasa mengacu pada visi dan misi organisasi. Keterlibatan rekan jejaring dalam perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi program akan sangat membantu tercapainya visi dan misi organisasi. Tanpa program, organisasi tidak akan mempunyai kegiatan, karena kegiatan merupakan terjemahan program. Indikator kinerja merupakan kunci dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi kinerja. Dalam menyusun indikator kinerja perlu ditentukan sejumlah data yang harus dikumpulkan.
Hal ini untuk mengetahui apakah kemajuan
pelaksanaan pekerjaan yang telah dilakukan bila dibandingkan terhadap hasil perencanaan yang hendak dicapai dapat terpenuhi (Susanto, 2003). Jadi indikator-
64
indikator kinerja merupakan alat yang sangat dibutuhkan untuk melihat apakah suatu strategi, program, atau kegiatan berhasil atau gagal dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. 5.1.1. Relevansi Visi dan Misi terhadap Program PHBM Visi adalah cara pandang organisasi terhadap kondisi ideal atau hasil akhir yang ingin dituju. Sedangkan misi adalah alasan/sebab keberadaan organisasi; misi merupakan suatu pola dari sasaran (purpose) yang dapat digunakan untuk mengawali, mengevaluasi, dan merumuskan ulang seluruh kegiatan organisasi. Rumusan misi dianggap baik bila menunjukkan cakupan kegiatan dan masyarakat dampingan (Tifa, 2006). Visi dan Misi dari organisasi yang baik, senantiasa mencerminkan kebutuhan masyarakat, sesuai mandat yang diberikan masyarakat terhadap organisasi. Oleh karena itu, dalam penyusunan Visi dan Misi organisasi, keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeholders) organisasi seperti dewan pendiri, jajaran manajemen, staf, kelompok dampingan, dan masyarakat lainnya, merupakan suatu keharusan.
Dengan kata lain, penyusunan Visi dan Misi
organisasi idealnya dilakukan secara partisipatif. Dengan demikian, seluruh aktivitas pemangku kepentingan organisasi senantiasa dalam kerangka Visi dan Misi yang hendak dicapai bersama. Dalam penelitian ini, sebagian besar LSM atau sejumlah 7 LSM menyatakan bahwa orientasi kepentingan organisasi terhadap visi dan misi untuk kepentingan LSM, kelompok dampingan, dan pemangku kepentingan (Tabel 9).
Mereka
berpendapat bahwa visi dan misi merupakan mimpi dan harapan bersama yang akan diraih pada suatu saat nanti. Tanpa adanya orientasi kepentingan yang jelas, tujuan organisasi akan sulit tercapai. Hanya ada satu LSM yang mempunyai orientasi kepentingan organisasi terhadap visi dan misi untuk kepentingan LSM dan dampingannya saja. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka hanya fokus pada pemberdayanaan masyarakat dan penguatan kelembagaannya melalui pendampingan yang dilakukan oleh LSM. Mereka juga berpendapat, meskipun LSM dan masyarakat dampingan tidak mengabaikan adanya peran pemerintah dan pihak-pihak lainnya,
65
namun fokus pendampingan menjadi salah satu faktor penting dalam melakukan sebuah program. Tabel 9. Penilaian Kinerja Elemen Visi dan Misi No
Indikator
Jumlah Nilai Elemen Visi dan Misi Baik Cukup Kurang 7 1 1
Total 9
V.1
Orientasi kepentingan
V.2
Fungsi Visi dan Misi
4
5
0
9
V.3
Pengalaman dalam Program PHBM
5
4
0
9
16
10
1
27
Total Sumber: Hasil pengolahan data
Kesesuaian antara program PHBM dengan fungsi Visi dan Misi ditunjukkan dengan sejumlah 5 LSM menyatakan telah sesuai namun visi dan misi yang telah disepakati tersebut belum dijadikan sebagai pedoman atau acuan dalam pelaksanaan program PHBM. Dalam pelaksanaan program PHBM, LSM masih mengandalkan adanya program yang berkembang pada saat itu. Fokus terhadap program PHBM masih belum ditunjukkan oleh sebagian besar LSM. Namun, sejumlah 4 LSM menyatakan telah menyesuaikan antara program PHBM dengan fungsi visi dan misi organisasi dan telah menjadikan visi dan misinya sebagai acuan dalam melaksanakan program PHBM.
Hal ini
menunjukkan bahwa LSM telah mampu menerjemahkan dengan baik fungsi visi dan misi organisasi ke dalam program PHBM yang dijalankan. Hal ini juga akan berkaitan dengan pengalaman dalam melaksanakan program PHBM yang selama ini dilakukan oleh LSM. Sejumlah 5 LSM menyatakan telah berpengalaman dalam melaksanakan program PHBM lebih dari 5 tahun dan 3 LSM menyatakan berpengalaman selama 3-5 tahun. Bila dilihat dari pengalamannya, sebagian besar LSM telah melakukan pendampingan yang relatif lama yaitu lebih dari 5 tahun. Pengalaman dalam melaksanakan program PHBM ini akan sangat membantu LSM dalam melakukan segala aktifitasnya yang berkaitan dengan pola pendampingan dan pendekatan kepada masyarakat dalam PHBM.
Bahkan Mitra Bentala dan Watala telah
berpengalaman selama kurang lebih 10 tahun. Di satu sisi, pengalaman yang panjang ini akan membantu masyarakat untuk fokus pada program dan program pada lokasi yang sama, namun di sisi lain bila LSM tidak mempunyai target dan dampak yang terukur dan tujuan yang jelas, maka masyarakat dapat
66
mempertanyakan kembali eksistensi dari LSM tersebut. Misalnya, Mitra Bentala, yang sejak awal pendampingan mengusung program konservasi yang dampaknya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang. Pendekatan ekologis yang diterapkan oleh LSM dalam mengusung suatu program akan lebih sulit diterima oleh masyarakat dari pada pendekatan ekonomi yang dampaknya dapat dirasakan jangka pendek. Meski demikian, pendekatan ekologi sebenarnya juga berdampak pada aspek ekonomi dan sosial masyarakat setempat. Secara
ideal
sebaiknya
juga
secara
bertahap
didorong
untuk
mengembangkan sendiri tujuan perubahan yang lebih strategis dan kemudian melakukan penilaian perkembangan perubahan itu. Menurut Djohani (2003), visi dan misi sebaiknya bukan hanya milik lembaga, melainkan juga dikembangkan visi dan misi dari perspektif masyarakat, dan ini akan berbeda dari satu masyarakat dampingan dengan masyarakat dampingan lainnya. 5.1.2. Kinerja Pelaksanaan Program PHBM Pelaksanaan program yang dilakukan oleh LSM merupakan jabaran dari misi yang nantinya akan diterjemahkan dalam kegiatan-kegiatan yang lebih operasional. Beberapa hal yang mencakup elemen program diantaranya adalah integritas program, perencanaan program, pelaksanaan program, serta monitoring dan evaluasi.
Dalam penelitian ini, pengukuran LSM dilakukan terhadap 15
indikator kinerja LSM dalam melaksanakan program PHBM (Tabel 10). Tabel 10. Hasil Penilaian Kinerja Elemen Program No
Indikator
P.1
Kebijakan tentang perencanaan program PHBM jangka panjang Kebijakan untuk mengintegrasikan proyek UNDP dengan program lainnya Pengalaman lembaga dalam program PHBM Kebijakan tentang perencanaan program PHBM jangka panjang yang partisipatif Mendokumentasikan perencanaan dari proyek UNDP secara sistematis Pelibatan masyarakat dalam menyusun proposal proyek UNDP Identifikasi dan akses terhadap sumber daya dan sumber dana (lainnya) untuk kelanjutan dari proyek UNDP
P.2 P.3 P.4 P.5 P.6 P.7
Jumlah Nilai Elemen Program Baik Cukup Kurang 4 3 2
Total 9
5
3
1
9
2
2
5
9
4
4
1
9
5
2
2
9
4
5
0
9
5
3
1
9
67
No
Indikator
P.8
Kesesuaian perencanaan program dengan proses pelaksanaan program PHBM P.9 Pengalaman pelaksana proyek UNDP P.10 Manfaat proyek UNDP P.11 Pelibatan stakeholder dalam pelaksanaan proyek UNDP P.12 Dampak dari pelaksanaan proyek UNDP P.13 Mekanisme monitoring dan evaluasi yang partisipatif, baku dan berkala dalam pelaksanaan proyek UNDP P.14 Tindak lanjut dari monev proyek UNDP P.15 Hasil evaluasi pelaksanaan proyek UNDP telah dijadikan sebagai bahan pelajaran Total Sumber: Hasil pengolahan data
Jumlah Nilai Elemen Program Baik Cukup Kurang 5 3 1
Total 9
5 8 5
3 1 4
1 0 0
9 9 9
5 2
3 2
1 5
9 9
7 8
2 1
0 0
9 9
40
19
76
135
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar LSM yaitu 4 LSM telah mempunyai kebijakan tentang perencanaan program PHBM yang partisipatif paling tidak selama 3 tahun dan telah diterapkan secara konsisten. Persepsi, misalnya, dalam melakukan perencanaan program diawali dengan penjajagan kebutuhan melalui Participatory Rural Appraisal (PRA) untuk menentukan desain program bersama masyarakat. PRA ini juga bertujuan untuk mengenali faktor-faktor pendukung dan faktor-faktor pembatasnya, serta memetakan peran para pemangku kepentingan dalam pengelolaan hutannya.
Menurut Robert
Chambers dalam Djohani (2003), PRA merupakan sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat (pedesaan) untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan.
Dalam konteks
penggunaannya, PRA kemudian menjadi metodologi pendekatan program berbasis masyarakat (bottom-up methodology) yang oleh kalangan LSM terus menerus dimodifikasi dan diadaptasi, serta diperkaya metode dan tekniknya, terutama penggunaan metode/tekniknya, baik untuk penjajagan kebutuhan, perencanaan, monitoring dan evaluasi, maupun diskusi topikal (Djohani, 2003). Namun, sejumlah 2 LSM masih belum memiliki kebijakan tentang perencanaan program PHBM dalam jangka panjang.
Paramitra, misalnya, berdasarkan
wawancara, mereka menyatakan bahwa perencanaan ini sebenarnya sudah ada namun masih dalam bentuk pemikiran-pemikiran di internal organisasi.
68
Pemikiran-pemikiran tentang program PHBM ini belum dapat dituangkan secara tertulis dan belum dilakukan secara partisipasi dengan masyarakat. Sebuah kebijakan LSM tentang mengintegrasikan proyek satu dengan proyek lainnya penting untuk dibuat. Sebagian besar (5) LSM menyatakan bahwa mereka memiliki kebijakan internal untuk mengintegrasikan proyek UNDP dengan proyek-proyek atau program-program lainnya. RMI dan Masta, misalnya, mempunyai sebuah kebijakan internal bahwa setiap program yang berjalan harus disesuaikan dengan rencana program yang telah dilakukan untuk kemudian diintegrasikan dengan program yang sedang berjalan.
Strategi ini dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari adanya tumpang tindih adanya proyek yang dijalankan pada program dan wilayah yang sama. Selain itu, strategi ini juga bertujuan untuk melakukan percepatan pencapaian target yang pada program lain belum dilaksanakan. Keterkaitan antar program ini untuk mensinergikan kerjakerja RMI dan sesuai dengan kebutuhan yang ada di tingkat masyarakat. Sementara itu, satu LSM menyatakan bahwa lembaganya belum memiliki sebuah kebijakan yang mengintegrasikan proyek UNDP dengan program lainnya. Hal ini disebabkan proyek UNDP merupakan satu-satunya proyek yang dilaksanakan selama periode 2005-2007. Pengalaman LSM dalam melakukan program PHBM sangat beragam. Penelitian ini menemukan bahwa sebelum adanya proyek UNDP, sebanyak 5 LSM menyatakan bahwa mereka mempunyai pengalaman bersama masyarakat terlibat dalam proyek PHBM
selama 1-3 tahun pada lokasi dimana proyek
tersebut dilakukan. Sebelum adanya dukungan dana dari proyek UNDP, RMI, misalnya, menjadikan Kasepuhan Cibedug merupakan lokasi belajar yang relatif baru atas permintaan masyarakat untuk dapat dilanjutkan, dimana sebelumnya merupakan dampak dari kegiatan/program yang dilakukan RMI yang didukung oleh pihak lain.
Sebagai satu rangkaian agar
permintaan masyarakat untuk
difasilitasi RMI dalam memperkuat ruang kelolanya, maka sebelum proyek, RMI berupaya mencari dukungan pendanaan dari lembaga donor seperti Grassroot Fund
dan SPARK-VSO untuk melakukan tahapan awal program.
Bahkan,
Persepsi, baru mendapatkan dana dan memulai pendampingan untuk wilayah dampingan di Sukoharjo melalui proyek UNDP ini, meskipun sebelumnya telah
69
berinteraksi dengan masyarakat namun belum aktif. Hal ini dilakukan karena Persepsi melakukan perluasan (scalling up) program sertifikasi ekolabel setelah sebelumnya berhasil mendampingi masyarakat di wilayah Wonogiri untuk mendapatkan sertifikasi ekolabel dari LEI. Hanya sebagian kecil LSM yaitu sebanyak 2 LSM memiliki pengalaman diatas 5 tahun. Mitra Bentala dan Watala merupakan LSM yang berpengalaman kurang lebih selama 10 tahun dalam mendampingi masyarakat pada lokasi yang sama dengan proyek UNDP (Tabel 11). Tabel 11. Pengalaman LSM di Lokasi Proyek dan Fokus Proyek UNDP No
Nama LSM
Tahun LSM Mulai Masuk ke Lokasi
Fokus Proyek UNDP (Periode 2005-2007)
1
LSM 1
2000
Konservasi di sabuk hijau mangrove di pantai Kota Tegal
2
LSM 2
2003
Konservasi di lahan milik dan hutan lindung di Pulau Bawean
3
LSM 3
1998
Konservasi mangrove di hutan lindung di Pulau Pahawang
4
LSM 4
2005
Sertifikasi ekolabel di lahan milik di Sukoharjo
5
LSM 5
2002
Pola kemitraan di lahan milik dan hutan produksi di Malang
6
LSM 6
2002
Ekowisata di Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman, Lampung
7
LSM 7
2004
Advokasi tanah simpen di hutan produksi di Purworejo
8
LSM 8
2003
Advokasi masyarakat adat di Taman Nasional Gunung Salak-Halimun di Jawa Barat
9
LSM 9
1995
Advokasi hutan kemasyarakatan di hutan lindung di Lampung
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan wawancara dengan LSM dan masyarakat dampingannya, pengalaman di bidang konservasi memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan bidang pendampingan teknis dan advokasi. Bahkan, LPPSP berpendapat bahwa tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa mengembangkan kawasan sabuh hijau di pantai melalui pengembangan hutan mangrove sedemikian sulit dan membutuhkan waktu yang panjang. Menurut Kertati (2007), beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan program konservasi diantaranya adalah kepastian kawasan yang dijadikan lokasi proyek, sulitnya memberikan pengertian, kerelaan, dan motivasi kepada masyarakat untuk mandiri
70
di bidang konservasi, dukungan dan komitmen dari pemerintah, dan partisipasi penuh dari masyarakat untuk terlibat aktif dalam program. Pelibatan masyarakat dalam perencanaan sangat penting untuk dilakukan oleh LSM. pendekatannya.
Bentuk keterlibatan masyarakat ini beragam metode dan Hal ini sangat tergantung pada program pokok yang akan
diangkat, kelompok sasaran (target groups) yang akan dituju, serta bentuk keterlibatan masyarakat dalam proyek tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian,
sebanyak 5 LSM telah mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan proyek namun masyarakat juga belum terlibat secara aktif. Menurut Masta, salah satu kendala masyarakat belum dilibatkan secara aktif adalah masih seringkali terjadi kesenjangan pemikiran antara lembaga dan masyarakat dampingan. Selain itu juga permasalahan ketersediaan waktu yang dimiliki oleh masyarakat dampingan. Sehingga pada akhirnya lembaga mengambil inisiatif untuk meminta salah satu dari masyarakat atau tokoh desa untuk terlibat secara aktif. Lembah dan Paramitra juga menerapkan pendekatan yang sama dengan Masta. Mereka hanya melibatkan tokoh-tokoh kunci dari masyarakat untuk diajak berdiskusi dengan LSM dalam menginisiasi atau merencanakan suatu program. Perwakilan masyarakat inilah yang kemudian menjadi representasi dari masyarakat. Sementara sejumlah 4 LSM menyatakan bahwa mereka telah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan proyek secara aktif melalui pendekatan focus group discussion (FGD) dan PRA. Mereka berpendapat bahwa pelibatan masyarakat menjadi penting sebagai subyek inti dari proses pelaksanaan proyek. Mulai dari perencanaan bersama kebutuhan masyarakat, melakukan kajian bersama, dan melakukan dialog bersama dengan berbagai pihak untuk mendorong proses pengakuan, keberterimaan dan legitimasi dari masyarakat.
LPPSP,
Persepsi, RMI, dan Watala, misalnya telah melibatkan masyarakat dalam perencanaan proyeknya dalam bentuk PRA sebagai instrumen untuk menjaring program-program pokok dan permasalahan yang terjadi di masyarakat untuk kemudian dijadikan suatu program bersama. Mengutip Erickson dalam Kertati ( 2007 ) mengungkapkan bahwa partisipasi pada dasarnya mencakup dua bagian yaitu internal dan eksternal. Partisipasi secara internal berarti adanya rasa memiliki terhadap komunitas.
71
Sementara partisipasi dalam eksternal terkait dengan keterlibatan individu dengan komunitas luar. Lebih lanjut Emrich ( 1997 ) menjelaskan bahwa ada tiga alasan utama mengapa partipasi masyarakat mempunyai arti penting.
Pertama, partisipasi
masyarakat merupakan suatu alat untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut.
Ketiga, pastisipasi merupakan suatu hak
demokrasi, artinya masyarakat memiliki hak untuk memberikan saran dalam menentukan jenis program yang akan dilaksanakan. Untuk itu, partisipasi masyarakat dalam suatu program yang akan dan sedang dijalankan oleh LSM merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan oleh LSM. Partisipasi ini juga berarti bahwa secara mental dan emosional,
masyarakat
ikut
serta
dalam
menyumbangkan
pikiran
dan
kemampuannya dalam mencapai tujuan serta bertanggung jawab terhadap tujuan tersebut. Untuk kelanjutan program, LSM memerlukan identifikasi dan akses terhadap sumberdaya dan sumber dana.
Sebagian besar LSM (5) telah
mengidentifikasi sumber daya dan sumber dana serta telah memiliki akses terhadap sumber daya dan sumber dana tersebut. Hal ini berarti bahwa sebagian besar LSM telah memiliki jaringan untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya dan sumber dana.
Selain itu LSM-LSM tersebut telah mendapatkan
kepastian kelanjutan dari proyek UNDP ini dari lembaga donatur yang lainnya. Sejumlah 3 LSM telah mengidentifikasi sumberdaya dan sumber dananya namun mereka belum memiliki akses terhadap sumber daya dan sumber dana tersebut. Strategi yang digunakan LSM ini adalah dengan menggunakan sumber daya dan sumberdana yang tersedia untuk pendampingan di tingkat lapang.
Meskipun
konsekuensinya adalah bentuk pendampingannya tidak dilakukan secara intensif melainkan secara ekstensif.
72
Dalam pelaksanaan proyek UNDP, sebagian besar LSM (5) telah sesuai dengan rencana yang diinginkan. Bahkan Persepsi dan RMI telah melampaui target yang dibuat.
Persepsi telah mampu memfasilitasi masyarakat
dampingannya untuk memperoleh sertifikasi ekolabel dari LEI, meskipun dalam proposal yang diajukan hanya sebatas persiapan menuju sertifikasi ekolabel. Sementara RMI telah berhasil menyusun draf 4 Surat Keputusan (SK) Bupati Lebak tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dan Kasepuhan Citorek, dari rencana semula hanya sebatas memfasilitasi masyarakat adat dalam mencapai kesepakatan bersama antar masyarakat. Dalam pelaksanaan proyeknya, sejumlah 3 LSM telah sesuai dengan rencana namun hasilnya masih belum mencapai tujuan yang diinginkan. SHK Lestari, misalnya, meskipun dalam penelitian ini termasuk kategori LSM dalam pendampingan teknis, namun pada dasarnya program pendampingan tersebut hanya dijadikan alat untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah melalui Tahura Wan Abdurrahman di Lampung. Sampai dengan berakhirnya proyek UNDP, SHK Lestari bersama dengan masyarakat masih belum dapat mewujudkan adanya kesepakatan tertulis, seperti memorandum of understanding (MoU) mengenai pengelolaan kawasan ekowisata berbasis komunitas di wilayah kelola antara pemerintah dengan masyarakat yang berada di dalam kawasan Tahura tersebut. Suatu program atau proyek yang dijalankan oleh LSM dilakukan oleh staf atau pelaksana yang berpengalaman dan sesuai dengan keahliannya. Sebagian besar LSM yaitu sebanyak 5 LSM telah mempunyai pelaksana proyek atau staf yang berpengalaman dan telah memperhatikan spesialisasinya dalam program PHBM. Bila membutuhkan staf baru, proses perekrutan staf proyek dilakukan berdasarkan pada pengalaman yang dilakukan serta kesesuaian dengan minat staf. Hal ini juga mempertimbangkan keseriusan dan komitmen LSM terhadap program PHBM yang telah maupun yang sedang dijalankan. Sejumlah 3 LSM sudah mempunyai staf yang berpengalaman di bidang PHBM namun LSM tersebut belum mempertimbangkan spesialisasinya.
Hal ini dilakukan karena
beberapa staf telah berpengalaman dalam hal pendampingan dan fasilitasi dengan masyarakat, namun latar belakang pendidikannnya belum sesuai dengan yang diinginkan. Pengalaman ini dibentuk melalui berbagai pendekatan diantaranya
73
melalui keterlibatan aktif dan langsung bersama masyarakat, pelatihan, mengikuti secara aktif acara seminar, workshop, maupun diskusi-diskusi dengan tema PHBM. Namun satu LSM belum mempunyai staf yang berpengalaman. Hal ini disebabkan LSM tersebut belum pernah mendapatkan proyek seperti UNDP sebelumnya sehingga belum memiliki pemgalaman yang cukup dengan program PHBM. Selama ini, LSM ini hanya memperoleh bantuan dana dari pemerintah untuk program penghijauan yang sifatnya karitatif dan tidak dilakukan secara partisipatif. Selain itu, staf LSM ini juga tidak mempunyai basis pengetahuan dan pemahaman dasar atas program PHBM yang diusung. Hal ini menjadi persoalan mendasar karena pengetahuan dan pemahaman dasar menjadi dasar utama dalam melaksanakan proyek UNDP ini. Pelaksanaan proyek UNDP telah memberikan manfaat (Tabel 12). Sebanyak 8 LSM menyatakan proyek UNDP telah mampu memberikan manfaat kepada hutan, masyarakat dan pemerintah.
Persepsi misalnya, telah mampu
mendorong masyarakat untuk mengelola hutannya secara lestari seluas 1.179 hektar yang telah sesuai dengan kaidah-kaidah kelestarian sumberdaya hutan, tata niaga kayunya lebih tertata, bagi pemerintah daerah kabupaten memiliki icon baru dari semula sebagai pemasok beras kini menjadi salah satu pemasok kayu sertifikasi serta telah dimilikinya pusat belajar koperasi hutan rakyat. Begitu juga dengan RMI.
Melalui proyek UNDP ini masyarakat dampingan RMI dapat
melakukan proses pengakuan secara legal dari pemerintah dan mempunyai rasa tanggung jawab yang lebih tinggi dalam mengelola sumberdaya hutannya. Selain itu, ditingkat pemerintah juga terbantu dalam proses penyusunan draft kebijakan tentang pengakuan masyarakat adat dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Proyek UNDP yang dijalankan oleh Watala juga telah mampu memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, hutan, dan pemerintah. Melalui proyek UNDP ini masyarakat dampingan Watala telah berhasil memperoleh ijin definitif dari pemerintah melalui skema hutan HKm di Lampung Barat seluas 2.039,59 hektar selama 35 tahun.
Hal ini berarti bahwa melalui skema HKm baik
masyarakat, hutan, maupun pemerintah secara kolaboratif telah mengakui sepenuhnya peran dari masiing-masing pihak.
74
Tabel 12. Manfaat Proyek UNDP yang Dirasakan oleh Masyarakat No
Nama LSM
Manfaat
1
LSM 1
Penambahan pohon yang ditanam di hutan mangrove, penguatan kelembagaan, dan keterlibatan pemerintah daerah
2
LSM 2
Penambahan pohon yang ditanam di hutan milik, penguatan kelembagaan, dan keterlibatan pemerintah daerah
3
LSM 3
Penambahan pohon yang ditanam di hutan mangrove, penguatan kelembagaan, dan keterlibatan pemerintah daerah
4
LSM 4
Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan milik, penguatan kelembagaan dan keterlibatan pemerintah daerah
5
LSM 5
Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan, penguatan kelembagaan dan keterlibatan pemerintah daerah
6
LSM 6
Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan dan ekowisata, serta penguatan kelembagaan
7
LSM 7
Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan, penguatan kelembagaan, dan keterlibatan pemerintah daerah
8
LSM 8
Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan Penguatan kelembagaan dan keterlibatan pemerintah daerah
9
LSM 9
Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan, penguatan kelembagaan, dan keterlibatan pemerintah daerah
Sumber: Hasil pengolahan data
Sementara satu LSM menyatakan bahwa proyek UNDP telah memberikan manfaat kepada hutan dan masyarakatnya, namun belum memberikan manfaat bagi pemerintah. Hal ini disebabkan masyarakat bersama LSM baru mampu memperjuangkan hutan dan masyarakatnya untuk memperoleh pengakuan formal dari pemerintah.
Masyarakat yang telah lama tinggal dalam kawasan hutan
konservasi tersebut masih belum memperoleh kesepakatan bersama antar masyarakat dan pemerintah sampai berakhirnya proyek UNDP ini. Hal ini terjadi pada SHK Lestari di Lampung. Salah satu kendala utama adalah lokasi yang ditempati dan dikelola hutannya tersebut termasuk pada kawasan konservasi yang sulit untuk diperjuangkan. Namun masyarakat berpendapat bahwa paling tidak melalui proyek UNDP ini, posisi tawar masyarakat meningkat dihadapan pemerintah karena melalui proyek ini intensitas diskusi dan pertemuan dengan pemerintah menjadi intensif. Pelibatan para pihak
(stakeholder) yang terkait dengan proyek UNDP
penting untuk dilakukan. Sejumlah 5 LSM menyatakan bahwa proyek UNDP
75
telah melibatkan pihak-pihak yang seharusnya terlibat dalam proyek ini secara aktif, terutama pemerintah.
Watala dan Masta, misalnya, sejak awal telah
melibatkan pemerintah dalam menjalankan program bersama masyarakat. Pelibatan sejak awal ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan secara penuh terhadap proyek yang akan dijalankan.
Peran pemerintah bagi LSM yang
berkecimpung di bidang advokasi ini sangat penting karena salah satu tujuan utama dari perjuangan mereka adalah membantu masyarakat dalam memperoleh legalitas atau pengakuan dari pemerintah. Sementara 4 LSM menyatakan bahwa mereka telah melibatkan pemerintah namun pemerintah belum terlibat secara aktif. RMI dan SHK Lestari, misalnya mengatakan bahwa para pihak yang terkait dalam proses negosiasi pengakuan masyarakat diantaranya adalah pemerintah daerah, DPRD, Taman Nasional dan Taman Hutan Raya.
Namun pihak
pemerintah ini belum secara aktif terlibat dalam proyek UNDP ini.
Proses
negosiasi ini juga dimediasi oleh beberapa pihak seperti dari Perguruan Tinggi setempat. Dinamika situasi politik yang ada juga telah membuat pasang surut keseriusan para pihak tersebut untuk mendukung proses negosiasi. Menurut Djohani (2003), dampak adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat akibat adanya intervensi yang akan mempengaruhi suatu kondisi. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar LSM yaitu 5 LSM menyatakan bahwa proyek UNDP telah berdampak pada hutan, masyarakat, dan stakeholders lainnya.
Persepsi, misalnya, selain hutan dan masyarakatnya,
pemerintah daerah juga memperoleh dampaknya. Hal ini ditunjukkan dengan terlibatnya pemerintah daerah dalam merancang adanya program serupa untuk beberapa desa di kecamatan lain, dan juga menghubungkan antara masyarakat dengan kalangan industri pengolahan kayu yang akan menampung dan membeli kayu bersertifikasi. Dampak secara langsung masih belum dirasakan oleh masyarakat dampingan LSM yang mengusung program konservasi (LPPSP, Mitra Bentala, dan Lembah).
Penanaman pohon yang dilakukan di pinggir pantai untuk
membuat hutan mangrove, misalnya, belum dapat dirasakan dampaknya secara langsung oleh masyarakat. Meskipun masyarakat maupun LSM menyadari bahwa perlu waktu yang cukup lama untuk menikmati hasil kerja dari proyek ini namun
76
mereka tetap optimis bahwa suatu saat nanti dampaknya akan dapat dirasakan oleh masyarakat.
LSM bersama masyarakat juga sedang merencanakan
mengembangkan wilayah kelola itu menjadi ekowisata maupun lokasi untuk penelitian sebagai bagian dari pengembangan gagasan ke depan. Sementara 3 LSM menyatakan bahwa proyek UNDP ini telah berdampak pada hutan dan masyarakatnya, namun belum memberikan dampak pada stakeholder secara keseluruhan.
RMI, misalnya menyatakan bahwa salah satu dampak yang
dirasakan oleh masyarakat dengan adanya proyek UNDP ini adalah adanya rasa tenang dari masyarakat dalam mengelola hutannya dari yang sebelumnya masih menyisakan permasalahan mendasar yaitu adanya pengakuan dari pemerintah. Meski demikian, masyarakat masih khawatir dengan kondisi sekarang ini bila bentuk legalitas dari masyarakat yang mengelola hutan di dalam Taman Nasional Gunung Halimun-Salak belum terwujud. Sehingga dampak yang dirasakan baru pada hutan dan masyarakatnya saja. Hal lain yang perlu diantisispasi adalah adanya pihak-pihak dari luar yang mencoba untuk mengusik ketenangan masyarakat dan mengganggu proses yang selama ini dilakukan. Berdasarkan wawancara dengan RMI dan masyarakat dampingan, indikasi adanya pihak luar yang mengganggu proses itu telah terjadi akhir-akhir ini. Pihak luar tersebut berusaha untuk menjarah dan mengambil kayu di kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat secara tidak sah (illegal). Ancaman ini sekaligus dapat dijadikan sebagai tantangan bagi masyarakat adat untuk tetap mempertahankan hutannya melalui aturan-aturan hukum adat yang telah diterapkan sejak lama. Kekuatan hukum adat akan terus diuji melalui serangkaian upaya yang dilakukan oleh pihak lain yang akan mengganggu proses untuk memperoleh legalitas dari pemerintah. Menurut Djohani (2003), dalam jangka panjang, program yang dikembangkan sebaiknya bisa mencapai dampak di masyarakat berupa peningkatan kesejahteraan dalam arti luas yaitu dimensi ekonomi, sosial-budaya, politik, lingkungan dan individu. Seperti juga proses perencanaan, monitoring dan evaluasi (monev) merupakan bagian dari pengelolaan program. Monev merupakan kegiatan yang harus disintegrasikan dengan perencanaan sejak awal.
Merencanakan monev
yang diperlukan dalam pengembangan program, merupakan bagian dari
77
perencanaan yang baik. Menurut Djohani (2003), monev adalah kegiatan yang mencerminkan bagaimana suatu lembaga menjalankan proses-proses yang terbuka, setara, partisipatif, dan demokratis bersama masyarakat dan pihak-pihak yang terkait.
Monev merupakan forum pengambilan keputusan bersama
mengenai apa yang ingin dan akan dilakukan oleh masyarakat dalam berkegiatan dan mengembangkan program. Dalam penelitian ini, sebagian besar LSM yaitu 5 LSM menyatakan belum memiliki mekanisme monev yang partisipatif, baku dan berkala dalam pelaksanaan proyek UNDP. Kegiatan monev dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan program yang telah dimasukkan ke dalam proposal proyek. Paramitra dan SHK Lestari, misalnya, menyatakan bahwa lembaga belum mempunyai mekanisme dan alat untuk monev. Namun alat yang digunakan untuk melakukan monev adalah deskripsi kerja (job describtion) dan tata waktu (timeline) serta kegiatan-kegiatan yang direncanakan pada saat proyek berjalan. LSM yang sudah mempunyai mekanisme monev dan telah dilakukan secara konsisten sejumlah 2 LSM sementara LSM yang sudah mempunyai mekanisme monev dan belum dilakukan secara konsisten dalam pelaksanaan proyek juga sejumlah 2 LSM.
Hal ini disebabkan oleh sejak awal LSM telah memiliki
kesadaran dan pemahaman yang lebih baik terhadap pelaksanaan program sehingga LSM merasa membutuhkan mekanisme monev untuk dapat memberikan umpan balik terhadap proyek yang telah dijalankan, meskipun kadang masih belum diterapkan secara konsisten. Dalam pelaksanaan proyek UNDP, terdapat 2 kegiatan monev, yaitu monev yang dilakukan oleh LSM sendiri yang tertuang dalam proposal (monev secara internal), dan monev yang dilakukan oleh Perkumpulan Karsa (PKM) yang dipilih oleh UNDP untuk melakukan monev secara independen (monev oleh pihak eksternal). Monev yang dilakukan oleh PKM bersifat berkala, yaitu setiap tiga bulan (triwulan), setiap enam bulan (semester) dan setiap tahun. Sebagian besar LSM yaitu 7 LSM menyatakan bahwa hasil monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan proyek UNDP sudah digunakan untuk memperbaiki jalannya program. Hasil monev ini dapat digunakan sebagai perbaikan kinerja pelaksanaan proyek dan digunakan sebagai bahan pelajaran untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Menurut Masta dan RMI, karena proyek UNDP ini memiliki nilai
78
penting untuk memperoleh dukungan dari semua pihak, maka LSM sangat ketat dalam mempertimbangkan segala hal yang diperoleh dari hasil monev. Programprogram yang diusung oleh LSM yang bersifat sensitif akan membuat pelaksanan proyek sangat responsif dalam menindaklanjuti hasil monev. Sementara 2 LSM manyatakan bahwa belum menggunakan hasil monev untuk memperbaiki jalannya proyek. Hal ini disebabkan adanya ketidakpahaman dan tidak adanya basis pengetahuan yang cukup untuk membedah dan mempelajari hasil monev sebagai sebuah saran dan masukan untuk memperbaiki jalannya proyek. Hasil dari evaluasi terhadap pelaksanaan proyek UNDP seharusnya dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pelajaran penting untuk lembaga. Sebagian besar LSM yaitu 8 LSM menyatakan bahwa hasil evaluasi dari pelaksanaan proyek sudah menunjukkan adanya pelajaran yang dapat dipetik. Proses evaluasi dilakukan untuk dijadikan lesson learned lembaga dan perencanaan proyek berikutnya. Ini tercermin dari proses-proses lanjutan yang dilakukan oleh LSM. Salah satu yang dapat dirasakan oleh Masta, misalnya adalah adanya peningkatan hubungan yang lebih baik antara LSM dan masyarakat dampingan. Menurut Djohani (2003), pada kegiatan evaluasi yang luas, penilaian dilakukan bukan hanya untuk aspek pencapaian kegiatan teknis, melainkan juga pencapaian berbagai tingkatan tujuan yaitu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, bahkan sampai kepada penilaian visi dan misi. Program yang dijalankan oleh LSM biasanya tidak berjalan sendiri-sendiri. Program yang dijalankan bersifat meneruskan dari program sebelumnya. Sehingga untuk satu program yang dijalankan tidak dapat di-claim oleh lembaga donor bila pada saat itu memang mengalami kesuksesan. Misalnya, pada proyek UNDP ini ada beberapa LSM yang menuai kesuksesan atau sesuai dengan target yang selama ini diharapkan, misalnya Watala yang dampingannya mendapatkan ijin definitif dari Pemerintah dalam bentuk ijin HKm selama 35 tahun, Persepsi yang sukses mendampinga masyarakat mendapatkan sertifikasi ekolabel dari LEI, dan Masta yang sukses memfasilitasi mayarakat dalam kesepakatan memperoleh hak akses terhadap hutan dengan berhasilnya penandatanganan MoU antara masyarakat dengan Perhutani.
79
5.1.3. Kinerja Pengelolaan Keuangan dalam Program PHBM Pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh LSM dalam program PHBM seharusnya mengacu pada prinsip pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif dan akuntabel.
Proses pengelolaan keuangan ini mestinya
menganut prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Tahapan pengelolaan keuangan meliputi:
perencanaan,
pelaksanaan,
pertanggungjawaban,
pengawasan,
pembuatan informasi, penggalangan dana, dan keberlanjutan keuangan. Data dan informasi yang berkaitan dengan keuangan bersifat terbuka, mudah diakses, diterbitkan secara teratur, dan mutakhir (Tifa, 2006). Pihak UNDP telah menetapkan aturan dalam pengelolaan keuangan. UNDP akan memberikan dana sebanyak 80% dari total biaya proyek dan sebanyak 20% dari dana yang harus dilengkapi oleh LSM sebagai mitra UNDP dalam bentuk dana maupun aset lembaga (SGPPTF, 2005). Hal ini berati bahwa sebagian besar dana yang diberikan UNDP kepada LSM terserap untuk kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Hanya sebagian kecil dana dari LSM untuk memberikan kontribusi terhadap program yang dijalankan. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar LSM yaitu 5 LSM menyatakan bahwa LSM telah memiliki pendanaan untuk pelaksanaan program PHBM sebelum adanya proyek UNDP namun belum sesuai dengan harapan yang diinginkan. Sumber dana memang telah tersedia untuk pelaksanaan proyek pada lokasi yang sama sebelum masuknya proyek UNDP namun belum dialokasikan secara khusus untuk kegiatan PHBM. Selain itu, pendanaan sebelum proyek UNDP hanya berkomitmen pada pencapaian salah satu output tertentu, namun LSM masih memerlukan dukungan dari pihak lain untuk mencapai output yang lain.
Sementara hanya 2 LSM yang menyatakan bahwa pendanaan untuk
pelaksanaan program PHBM sebelum adanya proyek UNDP telah sesuai dengan harapan.
Hal ini disebabkan adanya lembaga donor yang telah memberikan
bantuan secara penuh sesuai dengan yang direncanakan oleh LSM dalam program PHBM pada lokasi yang sama dengan proyek UNDP ini. Namun hanya satu LSM yang menyatakan bahwa lembaga tidak memiliki pendanaan untuk pelaksanaan program PHBM sebelum masuknya proyek UNDP. Hal ini disebabkan sebelum masuknya proyek UNDP, LSM bersama masyarakat mengembangkan dana
80
swadaya dari masyarakat dalam program PHBM pada lokasi yang sama dengan proyek UNDP (Tabel 13). Tabel 13. Penilaian Kinerja Elemen Keuangan No
Indikator
K.1
Pendanaan untuk pelaksanaan program PHBM sebelum adanya proyek UNDP K.2 Revisi anggaran yang diajukan ke lembaga donor dalam proyek UNDP K.3 Mekanisme pertanggungjawaban keuangan lembaga dalam proyek UNDP K.4 Kebijakan dan strategi tentang rencana penggalangan sumber dana setelah proyek UNDP berakhir K.5 Sumber dana mandiri Total Sumber: Hasil pengolahan data
Jumlah Nilai Elemen Keuangan Baik Cukup Kurang 3 5 1
Total 9
2
5
2
9
8
1
0
9
2
5
2
9
3 18
4 20
2 7
9 45
Dalam pelaksanaan proyek UNDP, pihak lembaga donor memberikan kelonggaran bagi LSM untuk mengajukan revisi anggarannya apabila dalam perjalanan melakukan kegiatannya ada hal-hal yang belum sesuai dengan proposal yang diajukan. Sebagian besar LSM yaitu 5 LSM menyatakan telah melakukan revisi terhadap anggarannya dan revisi tersebut telah disetujui oleh pihak lembaga donor. Revisi terhadap anggaran ini dilakukan karena ada perubahan terhadap beberapa kegiatan yang berimplikasi terhadap perubahan alokasi dana, meskipun dari sisi jumlah total dana yang diterima oleh LSM tidak mengalamai perubahan. Sementara sejumlah 2 LSM menyatakan bahwa tidak ada revisi anggaran dan telah sesuai dengan proposal yang diajukan. Namun sejumlah 2 LSM menyatakan telah mengajukan revisi anggaran namun tidak disetujui oleh UNDP. Hal ini disebabkan LSM tidak dapat memberikan justifikasi yang jelas terhadap perubahan anggaran sehingga pihak UNDP belum dapat menerima perubahan atau revisi anggarannya.
Namun pihak UNDP memberikan solusi untuk
melakukan silang pos anggaran pada kegiatan yang lain dengan syarat tidak merubah jumlah total anggaran yang diterima LSM. Adanya mekanisme pertanggungjawaban keuangan LSM dalam proyek UNDP merupakan salah satu indikator dalam penilaian kinerja LSM. Sebagian besar LSM yaitu 8 LSM menyatakan sudah mempunyai mekanisme
81
pertanggungjawaban keuangan lembaga dalam proyek UNDP dan mekanisme tersebut telah sesuai dengan standar akuntasi yang berlaku. Hal ini disebabkan pihak UNDP telah menunjuk lembaga akuntan publik yang independen untuk melakukan audit keuangan terhadap LSM sehingga laporan audit yang dikeluarkan oleh LSM telah sesuai dengan standar akuntasi. Namun, sejumlah 1 LSM masih belum memiliki mekanisme pertanggungjawaban keuangan lembaga dalam proyek UNDP. Hal ini disebabkan tidak adanya basis pengetahuan dasar yang cukup dari pelaksana atau staf lembaga untuk menyusun laporan keuangan meskipun LSM tersebut telah mendapatkan pendampingan dari pihak luar. Kebijakan dan strategi LSM tentang rencana penggalangan sumber dana setelah proyek UNDP berakhir merupakan salah satu faktor untuk melihat keberlanjutan program. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar LSM yaitu 5 LSM telah memiliki kebijakan dan strategi penggalangan sumber dana setelah proyek UNDP namun masih terbatas pada satu sumber (donor). Peluang untuk menyusun propsal yang diajukan kepada lembaga donor lain terbuka dengan lebar. Bahkan, Masta, misalnya, telah menjalin komunikasi yang intensif dengan lembaga donor lainnya yang telah berkomitmen untuk mendanai program PHBM pada lokasi yang sama dengan proyek UNDP. Sejumlah 2 LSM sudah memiliki kebijakan dan strategi rencana penggalangan sumber dana dari berbagai sumber.
Sementara sejumlah 2 LSM lainnya menyatakan tidak memiliki
kebijakan dan strategi penggalangan dana. Ketergantungan yang tinggi terhadap lembaga donor membuat sejumlah LSM belum dapat mengembangkan sumber dana mandiri seperti iuran anggota, usaha komersial, atau dari masyarakat sendiri.
Sebagian besar LSM (4)
menyatakan sudah memiliki sumber dana mandiri namun belum menunjukkan kontribusi terhadap lembaga.
RMI, misalnya, telah mendirikan unit bisnis
tersendiri dalam bentuk Fasilitas Kampung Pendidikan Lingkungan sejak tahun 2002 dan Kedai Halimun yang dikembangkan pada tahun 2006. Selain itu RMI juga mengembangkan program-program aktif dalam bentuk pelatihan yang bersifat komersial. Selain modal yang masih sangat terbatas, pengelolaannya juga masih belum terlihat profesional karena masih dikerjakan oleh tenaga yang kurang berpengalaman dalam bidang bisnis dan kadang masih dirangkap oleh staf LSM.
82
Sementara 3 LSM menyatakan telah memiliki sumber dana mandiri dan telah berkontribusi terhadap lembaga, misalnya dari iuran anggota dan dana swadaya dari masyarakat. Namun sejumlah 2 LSM masih belum memiliki sumber dana mandiri sehingga sampai saat ini masih mengandalkan lembaga donor terutama lembaga donor dari luar negeri. Ketergantungan LSM kepada lembaga donor masih sangat besar. LSM masih mengandalkan bantuan dari lembaga donor dengan alasan lebih besar hasilnya dan dapat diperoleh dengan cepat bila lulus seleksi. Kedekatan antara pengurus LSM dengan pihak-pihak yang mempunyai akses terhadap lembaga donor juga sangat mempengaruhi kinerja pendanaan.
Pengurus LSM yang
mempunyai hubungan baik dan sudah kenal baik dengan pihak yang mempunyai akses pendaaan akan lebih mudah untuk memperoleh pendanaan. Penggalangan dana kerap kali masih dilakukan secara sporadis, tidak direncanakan secara matang, dan tidak diarahkan secara jangka panjang. Metode yang digunakan biasanya juga terbatas pada pengiriman proposal kepada lembaga donatur internasional. Pola penggalangan dana seperti ini terjadi karena adanya gap kapasitas pengetahuan dan pemahaman pengelola organisasi sosial terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan penggalangan dana. Semua
hal
yang
berkaitan
dengan
dana
tentunya
membutuhkan
pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman. Organisasi harus cukup informasi ke tempat mana dana bisa dicari, kemudian harus punya cukup keahlian dan kreativitas, agar dana tersebut dapat mengucur ke lembaganya.
Setelah itu
dibutuhkan pengetahuan, ketrampilan dan komitmen agar dana dapat dikelola dengan baik, transparan, serta terjaga akuntabilitasnya. 5.1.4. Kinerja Tata Laksana dalam Program PHBM Tata Laksana mengacu pada tatanan organisasi dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang menuntun pelaksanaan misi dan tujuan yang ingin dicapai.
Pengambilan
keputusan,
kepemimpinan
dan
kaderisasi,
pertanggungjawaban, dan struktur organisasi merupakan elemen kunci dalam penyelenggaraan (governing) suatu organisasi (Tifa, 2006).
83
Semua
hal
yang
berkaitan
dengan
mekanisme
dalam
organisasi
(pengambilan keputusan, kepemimpinan dan kaderisasi, dan struktur organisasi) dilandasi kesepakatan bersama seluruh anggota organisasi. Kesepakatan ini untuk kemudian didokumentasikan agar jelas dan dapat dijadikan pedoman yang diterapkan organisasi secara konsisten.
Pada proses pengambilan keputusan,
misalnya, keputusan tersebut dapat mempengaruhi kebijakan organisasi secara keseluruhan. Keterlibatan berbagai pihak (pengurus, direktur eksekutif, staf organisasi) dapat mempengaruhi tingkat transparansi dan akuntabilitas proses. Penelitian ini menunjukkan bahwa 4 LSM menyatakan sudah mempunyai mekanisme pengambilan keputusan seperti apabila ada masalah penting di lapangan yang harus diselesaikan dalam proyek UNDP ini dan telah diterapkan secara konsisten oleh lembaga. Pengambilan keputusan tergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi.
Keputusan-keputusan yang biasanya berhubungan
dengan kelembagaan, maka diperlukan diskusi dengan para pengambil keputusan tertinggi di lembaga, dan dilakukan secara berjenjang. Terkait dengan proyek UNDP, biasanya Koordinator Proyek harus mendiskusikan kepada penanggung jawab proyek.
Namun, jika ada persoalan di lapangan, tim di lapang dapat
mengambil keputusan sendiri bila diperlukan keputusan yang cepat dan tidak terlalu terkait dengan persolan mendasar lembaga, prinsip dasar. Semua hal yang terjadi di lapang dan informasi-informasi lain terkait proyek dikomunikasikan secara berkala pada rapat koordinasi setiap bulan, serta laporan tertulis dalam bentuk publikasi maupun tulisan catatan proses.
Persepsi, misalnya, telah
menetapkan aturan internal terkait dengan pengambilan keputusan ini.
Ada
tingkatan pengambilan keputusan dengan mekanismenya masing-masing, yaitu: tingkat lapangan di kendalikan dan diselesaikan oleh Tim Pelaksana Proyek melalui Rapat Koordinasi bulanan, tingkat program Manajemen
dan stakeholder oleh
Program melalui Rapat Direksi dan tingkatan nasional dan
internasional oleh Pengurus Perhimpunan melalui Rapat Umum Anggota (RUA). Sementara 1 LSM belum memiliki mekanisme pengambilan keputusan dalam proyek UNDP. Pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat dampingan tanpa ada aturan khusus yang dibuat lembaga (Tabel 14).
84
Tabel 14. Penilaian Kinerja Elemen Tata Laksana No T.1
Indikator
Mekanisme pengambilan keputusan dalam proyek UNDP T.2 Mekanisme pertanggungjawaban dan aksesibilitas laporan tahunan program dan keuangan untuk proyek UNDP T.3 Ketersediaan ruang untuk mempublikasikan pertanggungjawaban laporan tahunan program dan keuangan proyek UNDP kepada publik Total Sumber: Hasil pengolahan data
Jumlah Nilai Elemen Tata Laksana Baik Cukup Kurang 4 4 1
Total 9
2
5
2
9
4
4
1
9
10
13
4
27
Mekanisme pertanggungjawaban dan aksesibilitas laporan tahunan dan keuangan merupakan salah satu indikator yang penting dalam tata laksana sebuah LSM. Sebagian besar LSM yaitu 5 LSM menytakan bahwa lembaga mempunyai laporan program dan keuangan dan berkala namun hanya untuk kalangan terbatas yaitu untuk lembaga donor. Mekanisme pertanggungjawaban penggunaan dana proyek dilakukan secara berjenjang. Dana yang digunakan oleh tim proyek untuk pelaksanaan proyek dilaporkan kepada bagian keuangan lembaga. Selanjutnya bagian keuangan akan melaporkan secara berkala (setiap 3 bulanan) kepada UNDP. Pelaporan ini juga disertakan laporan substansi yang berjalan setiap 3 bulanan, 6 bulanan dan laporan akhir. Sementara untuk laporan keuangan masih ditujukan kepada lembaga donor, namun bisa tetap terbuka untuk publik karena tidak ada perjanjian tertulis antara UNDP dan LSM untuk mempublikasikan laporan tahunan program dan keuangan kepada publik. Sejumlah 2 LSM telah menyampaikan laporan program dan keuangan secara berkala untuk publik. Semua laporan program dan keuangan ini dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, lembaga donor dan pihak-pihak lainnya dan disebarkan melalui beberapa media, misalnya, buletin dan laporan tahunan lembaga. Ketersediaan ruang untuk mempublikasikan pertanggungjawaban laporan tahunan program dan keuangan kepada publik menjadi faktor penting dalam pelaksanaan proyek UNDP. Sebanyak 4 LSM menyatakan bahwa telah tersedia ruang untuk mempublikasikan pertanggungjawaban laporan tahunan program dan keuangan dalam proyek UNDP dan telah dikelola dengan baik. Ruang-ruang
85
yang disediakan beragam, misalnya, pencetakan publikasi media kampanye, seperti buku, buletin, film, poster menjadi bahan/alat yang digunakan untuk diskusi dan dialog dengan para pengambil kebijakan dan para pihak lainnya. Media lainnya adalah melalui website yang dikelola lembaga sebagai media penyebarluasan informasi. Sementara 1 LSM menyatakan bahwa belum tersedia ruang bagi lembaga untuk mempublikasikan pertanggungjawaban laporan tahunan program dan keuangan dalam proyek UNDP kepada publik. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan lembaga dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan laporan tahunan kepada publik. 5.1.5. Kinerja Administrasi dalam Program PHBM Administrasi berkaitan dengan penyelenggaraan atau pengelolaan organisasi setiap hari. Hal ini meliputi pembagian kerja, sistem manajemen informasi dan personalia. Organisasi perlu sistem pengelolaan (bahkan aturan main) yang baik agar efektivitas dan efisiensi dapat terwujud. Untuk menimbulkan sense of belongingdan keterlibatan semua anggota organisasi terhadap sistem pengelolaan, dilakukan penyusunan secara partisipatif (Tifa, 2006). Dalam penelitian ini, sejumlah 7 LSM menyatakan telah mempunyai uraian tugas (job describtion) untuk setiap pelaksana yang menjalankan proyek UNDP. Uraian tugas ini disampaikan pada saat mengawali proyek berjalan melalui rapat managemen program.
Uraian tugas ini kemudian menjadi acuan tim proyek
dalam menjalankan tugas dan fungsinya di dalam tim proyek sekaligus sebagai acuan evaluasi kinerja tim proyek. Sementara satu LSM juga menyatakan bahwa uraian tugas telah dibuat namun masih belum dijalankan dengan konsisten. Sementara sejumlah 1 LSM menyatakan tidak mempunyai uraian tugas secara khusus.
Apabila
ada
masalah
yang
berkaitan
dengan
proyek
akan
dimusyawarahkan dengan pengurus dan pelaksana proyek (Tabel 15).
86
Tabel 15. Penilaian Kinerja Elemen Administrasi No A.1
Indikator
Adanya uraian tugas untuk setiap pelaksana yang menjalankan proyek UNDP A.2 Intensitas rapat koordinasi dalam menjalankan proyek UNDP A.3 Mendokumentasikan data-data seperti data internal, data program, data kegiatan, dan data keuangan untuk proyek UNDP A.4 Kemudahan dalam mengakses data dan informasi hasil pelaksanaan proyek UNDP A.5 Sistem perekrutan pelaksana proyek UNDP A.6 Program pengembangan SDM bagi lembaga dan/atau pelaksana proyek dalam proyek UNDP A.7 Kebijakan tentang sistem evaluasi kinerja pelaksana proyek UNDP Total Sumber: Hasil pengolahan data
Jumlah Nilai Elemen Administrasi Baik Cukup Kurang 7 1 1
Total 9
5
4
0
9
9
0
0
9
0
9
0
9
4
2
3
9
3
5
1
9
5
3
1
9
33
24
6
63
Rapat koordinasi dalam pelaksanaan proyek yang dilakukan secara periodik penting untuk dilakukan. Sebagian besar LSM yaitu 5 LSM menyatakan telah melakukan rapat koordinasi secara periodik dengan melibatkan pimpinan dan pelaksana proyek. Rapat ini dianggap penting karena dapat dijadikan sebagai wahana evaluasi dan menjaga konsistensi proyrk yang dijalankan.
RMI,
misalnya, menjelaskan bahwa rapat koordinasi antara tim proyek dan penanggung jawab proyek (pimpinan lembaga) dilakukan setiap bulan. Hasil rapat koordinasi tersebut juga akan disampaikan kepada staf di RMI untuk diketahui kerja-kerja yang dilakukan oleh tim proyek UNDP. Selain itu, Masta, misalnya, menyatakan bahkan beberapa kali juga melibatkan masyarakat dampingan.
Sementara
sejumlah 4 LSM telah melakukan rapat koordinasi secara periodik namun hanya melibatkan pimpinan lembaga dan pelaksana proyek saja, tanpa melibatkan seluruh staf lembaga. Biasanya rapat program dilakukan 1 bulan sekali untuk membahas program di tingkat pimpinan dan pengelola program dan 1 bulan sekali juga di tingkat anggota yang dikemas dalam bentuk diskusi komunitas. Dokumentasi terhadap data dan informasi terkait dengan pelaksanaan proyek penting untuk dilakukan oleh LSM. Seluruh LSM menyatakan bahwa lembaga
87
telah mendokumentasikan data-data seperti data internal, data program, data kegiatan, dan data keuangan untuk proyek UNDP.
Dokumen dan data-data
proyek SGPPTF masih menjadi acuan bagi pengurus untuk melaksanakan program selanjutnya terutama dalam memperoleh hak akses terhadap hutan secara resmi. Dokumentasi dilakukan secara rutin dalam bentuk laporan proses kegiatan dan keuangan. Ada laporan bulanan di tingkat pelaksana lapang, 3 bulanan di tingkat kepala proyek, dan semesteran dan tahunan di tingkat direksi, baik untuk program maupun keuangan.
Data-data yang ada dikemas kedalam media
publikasi, seperti buletin, buku, poster, data base, film, data keuangan, dan data lainnya terkait dengan proyek.
Data-data tersebut digunakan sebagai bahan
evaluasi lembaga sekaligus sebagai perencanaan, analisis dan penyusunan laporan lembaga.
Hal tersebut menjadi salah satu indikator keberhasilan program
sekaligus untuk mempermudah lembaga dalam melakukan pengawasan dan evaluasi. Kemudahan dalam mengakses data dan informasi hasil pelaksanaan sebuah proyek seharusnya dapat dengan mudah diperoleh oleh publik. Penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh LSM telah menyediakan data dan informasi di lembaga dan dapat diakses oleh publik secara luas. Beberapa publikasi yang sudah dipublikasikan oleh lembaga dapat dengan mudah diperoleh di internal lembaga.
Namun beberapa publikasi yang belum dipublikasikan hanya bisa
dibaca atau di-photocopy saja. SHK Lestari, misalnya, mempunyai aturan khusus yaitu data dan informasi ini dapat diakses namun harus melalui persetujuan pimpinan organisasi dengan maksud untuk mengetahui lebih lanjut penggunaan data dan informasi tersebut.
Hal ini juga senada dengan Paramitra, yang
menerapkan aturan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengakse data dan informasi tersebut namun harus mengajukan surat secara resmi kepada lembaga. Mekanisme ini bertujuan untuk mengontrol data dan informasi yang akan digunakan oleh yang berkepentingan. Sistem perekrutan bagi pelaksana proyek diperlukan untuk mencari staf yang sesuai dengan kualifikasi dan kebutuhan proyek, bila diperlukan. Berdasarkan penelitian ini, sebanyak 4 LSM sudah memiliki sistem perekrutan staf yang baku dan telah dilakukan secara konsisten. Persepsi, misalnya, telah
88
memiliki aturan bahwa perekrutan dilakukan melalui serangkaian tahapan proses, yaitu selesksi secara
administratif, tes tertulis, wawancara, dan ujicoba lapang
selama 3 bulan. Jika dalam waktu 3 bulan dinilai kinerjanya bagus, maka yang bersangkutan dapat diterima sebagai staf baru. Namun sejumlah 3 LSM tidak mempunyai sistem perekrutan yang baku. Sistem perekrutan dilakukan langsung oleh pimpinan lembaga, baik secara tertulis maupun lisan. Pengembangan SDM bagi pelaksana proyek merupakan faktor penting dalam pelaksanaan sebuah program. Sebagian besar LSM yaitu 5 LSM sudah memiliki program pengembangan SDM dalam proyek UNDP namun program ini belum diterapkan oleh lembaga secara konsisten. dilakukan berdasarkan kebutuhan lembaga.
Pengembangan SDM ini
Apabila membutuhkan keahlian
tertentu maka lembaga akan berusaha untuk diikutsertakan dalam pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, baik yang dilakukan oleh internal LSM maupun
yang
diselenggarakan
oleh
pihak
luar.
Menurut
Paramitra,
pengembangan SDM dilakukan melalui diskusi proses dan evaluasi terhadap personel secara berjenjang, selanjutnya dilakukan asistensi dan pengkaderan terhadap SDM potential.
Sementara satu LSM menyatakan tidak memiliki
program pengembangan SDM karena keterbatasan dana dan sebagian besar pelaksana proyek UNDP telah memiliki kapasitas sesuai dengan yang diinginkan. Sistem evaluasi kinerja terhadap pelaksana proyek merupakan salah satu faktor penting dalam pelaksanaan sebuh program. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagain besar LSM yaitu 5 LSM telah memiliki kebijakan tentang sistem evaluasi kinerja pelaksana proyek UNDP dan telah diterapkan secara konsisten. Menurut Persepsi, ada standar penilaian kinerja staf, dan standar penilaian kinerja pelaksanaan program sebagaimana dituangkan di dalam Matrik Perencanaan Program (MPP atau Logical Framework).
Untuk tingkat lembaga dilakukan
kajian dampak (impact studies) untuk mengukur pengaruh proyek terhadap perubahan akses dan kontrol masyarakat pada pengelolaan sumberdaya dan kebijakannya. RMI berpendapat bahwa evaluasi kinerja secara tidak langsung dilakukan bersamaan dengan rapat koordinasi setiap bulannya. Penilaian juga dilakukan berdasarkan capaian-capaian yang dihasilkan selama proyek berjalan. Hanya satu LSM tidak memiliki kebijakan tentang sistem evaluasi kinerja
89
pelaksana proyek. Evaluasi kinerja dilakukan tidak hanya pada proyek UNDP namun dilakukan secara menyeluruh dan sifatnya tidak mengikat. 5.1.6. Legitimasi Sosial dalam Program PHBM Legitimasi merupakan pengakuan masyarakat yang valid bahwa LSM yang bersangkutan benar-benar merupakan organisasi yang menjalankan mandat dari masyarakat, memberi manfaat serta diakui oleh masyarakat. Legitimasi bisa dilihat dari dua elemen yaitu sosial dan hukum (legal). Untuk elemen sosial, legitimasi dapat dilihat pada bagaimana, LSM yang bersangkutan mendisseminasikan gagasan dan pemikirannya, serta pengakuan dan dukungan dari masyarakat dalam berbagai bentuknya. Prinsip-prinsip legitimasi adalah responsibilitas (cepat, tanggap, dan peka ) terhadap dinamika yang berkembang di masyarakat serta aktif memfasilitasi memfasilitasi kasus-kasus publik, dan komposisi alokasi sumber daya, baik itu sumber daya manusia ataupun anggaran harus lebih besar untuk masyarakat atau target group daripada alokasi untuk LSM itu sendiri (Tifa, 2006). Kebijakan dan strategi untuk menyebarluaskan rencana, pelaksanaan dan hasil pelaksanaan program kepada publik perlu dilakukan oleh LSM sebagai upaya untuk menyebarluaskan gagasannya kepada publik.
Penelitian ini
menemukan bahwa sebagian besar LSM yaitu 7 LSM telah memiliki kebijakan dan strategi untuk menyebarluaskan rencana, pelaksanaan, dan hasil pelaksanaan proyek UNDP kepada publik namun belum dilakukan secara konsisten (Tabel 16). Penyebaran informasi ini dilakukan melalui berbagai media, misalnya melalui media buletin dan radio komunitas.
Hanya sebagain kecil LSM yaitu 2 LSM
yang menyatakan telah mempunyai kebijakan dan strategi untuk menyebarluaskan rencana, pelaksanaan dan hasil pelaksanaan proyek UNDP kepada publik dan telah dilakukan secara konsisten. Persepsi, misalnya, telah memiliki kebijakan untuk melakukan perluasan dampak terhadap program ini yang akan dilakukan pada lokasi yang berbeda dan telah memiliki komitmen dengan pihak lain untuk pendanaannya.
90
Tabel 16. Penilaian Kinerja Elemen Legitimasi No
Indikator
L.1
Kebijakan dan strategi untuk menyebarluaskan rencana, pelaksanaan dan hasil pelaksanaan program kepada publik L.2 Tingkat kepercayaan dan pengakuan masyarakat dampingan terhadap keberadaan lembaga L.3 Peran pemerintah dalam mendukung proyek UNDP Total Sumber: Hasil pengolahan data
Tingkat
kepercayaan
Jumlah Nilai Elemen Legitimasi Baik Cukup Kurang 2 7 0
masyarakat
Total 9
5
4
0
9
4
5
0
9
11
16
0
27
terhadap
LSM
sebagai
lembaga
pendamping pada dasarnya terletak pada keberlanjutan mandat yang diberikan kepada lembaga tersebut.
Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
LSM yaitu 5 menyatakan telah sepenuhnya mendapatkan dukungan dari masyarakat dan beragam bentuk, yaitu dukungan tenaga, dana, dan barang. Prinsip keterbukaan dan keberpihakan yang jelas serta tidak memiliki motif-motif lain, misalnya, ambisi politik dan ekonomi, membuat kepercayaan dari masyarakat tumbuh dengan sendirinya.
Namun sejumlah 3 LSM belum
sepenuhnya mendapatkan dukungan dari masyarakat sehingga sebagai bentuk respon terhadap mandat yang diberikan kepada LSM, maka LSM tersebut akan berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi mandat itu melalui dukungan peningkatan kapasitas, tenaga serta sumberdaya lainnya. Dalam pelaksanaan program PHBM melalui proyek UNDP ini, LSM juga berusaha untuk memberikan dukungan penuh terhadap masyarakat melalui berbagai program.
Setiap LSM mempunyai metode dan pendekatan yang
berbeda-beda sesuai dengan kondisi geografis dan sosial budaya masyarakat setempat. LSM menggunakan berbagai instrumen untuk memperoleh pengakuan dari para pihak, khususnya dari pemerintah. LSM yang mengusung konservasi menggunakan instrumen hutan mangrove dan satwa endemik sebagai basis instrumen untuk melakukan advokasi (Tabel 17).
91
Tabel 17. Instrumen yang digunakan LSM untuk Masyarakat dalam Memperoleh Pengakuan Instrumen untuk Memperoleh Pengakuan
No
Nama LSM
Wilayah Kerja
1
LSM 1
Jawa Tengah
Hutan Mangrove
2
LSM 2
Jawa Timur
Satwa Endemik
3
LSM 3
Lampung
Hutan Mangrove
4
LSM 4
Jawa Tengah
Sertifikasi Ekolabel
5
LSM 5
Jawa Timur
Kemitraan
6
LSM 6
Lampung
Ekowisata
7
LSM 7
Jawa Tengah
Tanah Simpen
8
LSM 8
Jawa Barat
Wewengkon Kasepuhan
9
Lampung LSM 9 Sumber: Hasil pengolahan data
Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Persepsi, Paramitra, dan SHK Lestari mesing-masing menggunakan instrumen sertifikasi ekolabel, kemitraan, dan ekowisata sebagai sebuah gagasan yang diusung untuk memperoleh dukungan dari berbagai pihak, khususnya dari pemerintah.
Sementara Masta, RMI dan Watala masing-masing mengunakan
instrumen tanah simpen, wewengkon adat, dan HKm sebagai landasan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat untuk memproleh pengakuan dari pemerintah. Meskipun setiap LSM mempunyai instrumen yang berbeda-beda namun pada dasarnya semua fokus pada kegiatan tujun advokasi untuk memperoleh dukungan dari semua pihak.
Dukungan ini diperlukan untuk
meningkatkan akuntabilitas dan legitimasi yang lebih besar bagi semua pihak, secara khusus bagi pemerintah. 5.2. Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM 5.2.1. Penilaian Kinerja untuk Setiap Elemen Penilaian kinerja LSM dalam program PHBM yang menyeluruh dan terukur merupakan faktor yang penting dan menjadi kebutuhan bersama.
Penilaian
kinerja berarti melakukan berbagai pengukuran dan penilaian yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada sebuah lembaga. Penilaian kinerja yang dilakukan oleh LSM dalam pelaksnaaan program PHBM yang dilakukan secara periodik dan terukur ini juga perlu dievaluasi secara
92
menyeluruh. Selain sebagai manajemen kontrol, umpan balik ini juga dibutuhkan lembaga untuk menentukan arah dan strategi LSM menuju keberlanjutan lembaga dan keberterimaan publik yang lebih tinggi. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar LSM yaitu 63% telah memiliki kinerja yang baik terkait dengan elemen visi dan misi dari lembaga sementara sebagian kecil LSM yaitu 3,7% masih kurang memiliki kinerja yang baik terkait dengan relevansi visi dan misi terhadap program PHBM yang dijalankan (Grafik 1). Rekapitulasi Penilaian Kinerja LSM Berdasarkan Elemen Kinerja 100%
14,8%
15,6%
33,3%
70% % Jumlah Indikator
9,6%
14,1%
90% 80%
0,0%
3,7%
38,1%
29,6%
60%
46,7%
48,1%
37,8%
37,0%
55,6%
50% 40% 30%
63,0% 56,3%
52,4% 44,4%
20% 10% 0% Visi dan Misi
Program
Keuangan
Tata Laksana
Administrasi
Legitimasi
Nama LSM Jumlah Nilai Baik
Jumlah Nilai Cukup
Jumlah Nilai Kurang
Grafik 1. Rekapitulasi penilaian Kinerja LSM Berdasarkan Elemen Kinerja Dalam pelaksanaan program, sebagian besar LSM (55,6%) telah melakukan kinerjanya dengan baik, sementara 14,1% LSM masih belum melakukan kinerjanya dengan baik (kurang baik). Dalam melakukan pengelolaan keuangan, sebanyak 46,7% LSM berkinerja cukup baik dan sebagain kecil yaitu 15,6% berkinerja kurang baik . Kondisi pengelolaan keuangan hampir sama dengan elemen pengelolaan tata laksana.
Dalam pengelolaan tata laksana lembaga,
sebanyak 48,1% LSM berkinerja cukup baik dan sebagian kecil LSM lainnya yaitu 14,8% berkinerja kurang baik.
93
Untuk kinerja yang terkait dengan elemen administrasi, sebagian besar LSM yaitu 52,4% berkinerja baik sementara sebagian kecil LSM (9,6%) masih berkinerja kurang baik. Sementara terkait dengan elemen legitimasi, penelitian ini menunjukkan bahwa sebagain besar LSM (55,6%) mempunyai kinerja cukup baik sementara 4 LSM memiliki kinerja baik. 5.2.2. Penilaian Kinerja untuk Setiap LSM Hasil penelitian ini menunjukan bahwa LSM 1 dan LSM 2 mempunyai jumlah total nilai baik yang tinggi yaitu masing-masing sebanyak 88,9% dan 72,2% (Grafik 2). Sementara LSM lainnya berkisar antara 30 – 50%. Namun LSM 6 memiliki jumlah nilai baik yang paling sedikit yaitu sebanyak 16,7% dan memiliki nilai kurang baik tertinggi diantara LSM lainnya yaitu sejumlah 36,1%. LSM 3 dan LSM 1 bahkan tidak memiliki nilai kurang baik sementara yang lainya memiliki nilai kurang baik berkisar antara 2 – 30%. Keberagaman hasil penilaian kinerja LSM dalam pelaksanaan program PHBM ini menunjukkan bahwa tingkat kapasitas, pengetahuan, dan jaringan yang dikembangkan oleh LSM sangat beragam.
Kondisi wilayah, sebaran lokasi pendampingan, metode serta
pendekatan yang dilakukan oleh LSM mempengaruhi kinerja LSM yang bersangkutan.
Program pokok yang diusung oleh LSM bersama dengan
masyarakat juga memberikan pengaruh terhadap kinerja sebuah lembaga dalam proses pendampingan dengan masyarakat.
94
Rekapitulasi Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM
100%
0.0%
0.0%
2.8%
5.6%
8.3%
5.6%
8.3% 90%
19.4% 25.0%
27.8%
36.1%
38.9%
80%
36.1%
38.9%
70%
% Jumlah Indikator
50.0% 60% 50.0%
41.7%
50% 88.9% 40%
47.2% 72.2% 61.0%
30%
58.3%
55.6%
41.7%
20% 33.3%
30.6% 10%
16.7%
0% LSM 1
LSM 2
LSM 3
LSM 4
LSM 5
LSM 6
LSM 7
LSM 8
LSM 9
Nama LSM Jumlah Nilai Baik
Jumlah Nilai Cukup
Jumlah Nilai Kurang
Grafik 2. Rekapitulasi Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM Dalam penelitian ini, setiap indikator mempunyai bobot yang sama. Kinerja LSM dinilai dari pembobotan setiap elemen yang diperoleh dengan menentukan nilai setiap indikator terhadap jumlah nilai secara keseluruhan indikator. Jumlah indikator yang digunakan untuk menilai kinerja LSM dalam program PHBM ini berjumlah 36 indikator.
Berdasarkan rumus dalam metode pengambilan
keputusan sertifikasi PHBML yang dikembangkan oleh LEI, maka: Kinerja yang baik, jika B ≥ 18 indikator dan C ≥ 9 indikator Kinerja yang cukup baik, jika B ≥ 9 indikator dan C ≥ 18 indikator Kinerja yang kurang baik, jika selain yang diatas. Berdasarkan rumus tersebut sebagian besar LSM yaitu 5 mempunyai kinerja yang baik dalam pelaksanaan program PHBM dan sebanyak 2 LSM masing-masing memiliki kinerja yang cukup baik dan kurang baik (Grafik 3).
95
Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM
22,2%
55,6% 22,2%
Baik
Cukup baik
Kurang baik
Grafik 3. Penilaian Kinerja LSM dalam Program PHBM Berdasarkan hasil penilaian kinerja LSM dalam menjalankan program PHBML, diperoleh peringkat kinerja berdasarkan tingkat kinerja dan kategori fokus proyek UNDP (Tabel 18). LSM 4 yang termasuk dalam kategori fokus proyek dalam pendampingan teknis memiliki kinerja paling baik dibandingkan dengan LSM lainnya. Sementara LSM 6 yang mengusung pendampingan teknis juga, menjadi LSM yang paling kurang baik kinerjanya dalam melaksanakan program PHBM dibandingkan dengan LSM yang lainnya. Dapat disimpulkan bahwa kategori fokus proyek dalam UNDP tidak mempengaruhi kinerja LSM dalam menjalankan proyek UNDP.
Faktor-faktor lainnya misalnya basis
pengetahuan tentang program PHBM, pengalaman pelaksana dan lembaga dalam program PHBM, pendekatan yang dilakukan, serta besar kecilnya permasalahan yang terjadi di masyarakat merupakan sebagian dari faktor penentu kinerja LSM.
96
Tabel 18. Peringkat Kinerja LSM dalam Program PHBM No
Nama LSM
1 LSM 4 2 LSM 1 3 LSM 3 4 LSM 8 5 LSM 9 6 LSM 7 7 LSM 2 8 LSM 5 9 LSM 6 Sumber: Hasil pengolahan data
Tingkat dan Peringkat Kinerja Baik Baik Baik Baik Baik Cukup baik Cukup baik Kurang baik Kurang baik
Kategori Fokus Proyek Pendampingan teknis Konservasi Konservasi Advokasi Advokasi Advokasi Konservasi Pendampingan teknis Pendampingan teknis
Dalam pelaksanaan proyek UNDP, penelitian ini menemukan beberapa kelebihan dan kelemahan dari setiap LSM dalam program PHBM (Tabel 19). Temuan adanya kelebihan dapat dijadikan secara pemicu untuk lebih meningktakan kinerjanya. Sementara adanya kelemahan terhadap lembaga dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga (lesson learned) sehingga kinerjanya lebih dapat
ditingkatkan.
97
Tabel 19. Kelebihan dan Kelemahan LSM dalam Program PHBM No 1
Nama LSM LSM 1
Kelebihan dalam Program PHBM • Lembaga dan pelaksana proyek mempunyai pengalaman yang panjang dengan program konservasi pantai (hutan mangrove) • Memiliki kedekatan dengan pihak pemerintah daerah
• • • •
2
LSM 2
• Program yang diangkat spesifik dan unik serta hanya ada di lokasi proyek ini • Telah melakukan kerjasama dengan Departemen Kehutanan dan kalangan akademis setempat
• • • • • • •
3
LSM 3
• Lembaga dan pelaksana proyek mempunyai kompetensi tentang kelola pesisir dan pulau-pulau kecil dalam program konservasi (hutan mangrove) • Program yang diangkat spesifik serta fokus pada isu pesisir dan pulau-pulau kecil • Pembuatan Kebun Rakyat yang dikelola secara kelompok
• • •
Kelemahan dalam Program PHBM Lokasi proyek di pantai yang sudah terdegradasi parah dan memiliki kesulitan yang tinggi untuk merehabilitasinya Karena programnya konservasi, masyarakat sulit memahami manfaatnya Karena dampak yang dirasakan jangka panjang sehingga masyarakat tidak dapat langsung memperoleh dampaknya dalam jangka pendek Munculnya isu tenurial yaitu konflik antara masyarakat dengan pemerintah daerah yang muncul terkait dengan tanah timbul (tanah yang muncul akibat degradasi pantai) Pengalaman lembaga dan pelaksana proyek terhadap program PHBM masih lemah Lembaga dan pelaksana proyek tidak mempunyai basis pengetahuan dasar dan pemahaman yang cukup terkait dengan program PHBM Pelaksanaan proyek belum sepenuhnya mencerminkan konsep dasar dan makna yang sesungguhnya tentang partisipasi dan PHBM Dalam prakteknya, tidak terdapat proses pengorganisasian masyarakat Lembaga tidak mengembangkan konsep kelembagaan yang kuat Karena programnya konservasi, masyarakat sulit memahami manfaatnya Karena dampak yang dirasakan jangka panjang sehingga masyarakat tidak dapat langsung memperoleh dampaknya Adanya indikasi saling ketergantungan antara masyarakat dan lembaga karena pendampingannya telah berlangsung sekitar 10 tahun Karena programnya konservasi, masyarakat sulit memahami manfaatnya Meski sudah berlangsung selama 10 tahun namun dampak yang
98
No 4
Nama LSM LSM 4
• • •
• • • 5
LSM 5
• •
6
LSM 6
Kelebihan dalam Program PHBM dan telah memberikan manfaat bagi masyarakat Lembaga dan pelaksana proyek mempunyai pengalaman yang panjang dengan program sertifikasi ekolabel di hutan milik Program yang diangkat spesifik, khas serta fokus pada sertifikasi ekolabel Dukungan yang penuh dari pemerintah daerah (Dinas Kehutanan dan Lingkungan), perguruan tinggi dan pihak swasta (pengusaha kayu) terkait dengan sertifikasi ekolabel Mampu melakukan kolaborasi yang intensif antara LSM, pemerintah dan kalangan bisnis (pengusaha) Bekerja pada hutan milik yang secara legalitas tidak menjadi masalah utama Berhasil menfasilitasi masyarakat untuk memperoleh sertifikasi ekolabel dari LEI Lembaga dan pelaksana proyek mempunyai pengalaman yang panjang dengan program pola kemitraan di wilayah proyek Memiliki kedekatan dengan pihak pemerintah daerah
• Lembaga mempunyai pengalaman yang panjang dengan pendampingan di masyarakat di dalam kawasan hutan negara (Tahura) • Program yang diangkat spesifik, khas serta fokus pada lokasi tertentu • Mengangkat isu ekowisata sebagai strategi untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah agar masyarakat memperoleh akses terhadap sumberdaya hutannya • Mampu menaikkan posisi tawar (bargaining power) dihadapan pemerintah karena interaksinya cukup intensif
Kelemahan dalam Program PHBM dirasakan oleh masyarakat masih belum sepenuhnya terasa • Kesulitan dalam menyampaikan ide sertifikasi ekolabel karena dampaknya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang • Masyarakat belum memiliki pengalaman dalam melakukan proyek yang berorientasi pada bidang konservasi
• Belum tersedianya road map yang jelas atas pelaksanaan proyek • Belum adanya runtutan pemikiran yang lebih praktis yang dapat menjadi acuan • Masih belum ada koneksitas yang jelas antara tujuan proyek dengan basis pengorganisasian masyarakat yang selama ini menjadi bagian dari sebuah gerakan • Kesulitan dalam memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah karena status hutan negara dengan fungsi konservasi (Tahura) • Masyarakat belum memahami dengan benar tentang gagasan ekowisata sebagai instrumen untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah • Produksi hasil hutan dan pertanian belum dapat dikembangkan lebih lanjut (pengolahan pascapanen dan pemasarannya) • Peran pemerintah desa belum optimal dalam mendukung program PHBM • Sistem kelembagaan internal masih lemah
99
No 7
Nama LSM •
LSM 7
• • • •
• 8
LSM 8
•
• • • 9
LSM 9
• • • •
Kelebihan dalam Program PHBM Lembaga dan pelaksana proyek mempunyai pengalaman yang panjang dengan program tanah simpen di kawasan hutan negara (Perum Perhutani) Program yang diangkat spesifik, khas serta fokus pada lokasi tertentu Keterlibatan dengan pemerintah daerah cukup intensif Berhasil memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya hutan melalui MoU dengan Perhutani Menggunakan metode pendekatan penggalian status tanah dan penggunaannya sesuai dengan perspektif sejarah lokal sebagai dasar untuk menata ulang kepemilikan dan pengelolaan hutan Mampu memfasilitasi kelembagaan di tingkat masyarakat sehingga menjadi kuat Lembaga dan pelaksana proyek mempunyai kapasitas dan pengalaman yang panjang dengan program advokasi kebijakan untuk masyarakat adat di kawasan Taman Nasional Program yang diangkat spesifik, khas serta fokus pada lokasi tertentu Keterlibatan dengan pemerintah daerah cukup intensif Dukungan dari masyarakat sangat besar untuk mewujudkan tujuan bersama Lembaga dan pelaksana proyek mempunyai pengalaman yang panjang dengan program HKm Program yang diangkat spesifik, khas serta fokus pada lokasi tertentu Berhasil memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya hutan melalui ijin definitif HKm Lokasi proyek dijadikan sebagai kampung belajar dari pihak lain karena keberhasilannya
Kelemahan dalam Program PHBM • Wilayah dampingan termasuk ke dalam kawasan hutan negara (Perhutani) • Batas-batas yang tidak jelas antara kawasan hutan negara (Perhutani) dengan kawasan hutan yang diklaim oleh masyarakat (tanah simpen) sehingga menimbulkan konflik • Perhutani mempunyai bukti legalitas yang lebih kuat dibandingkan dengan masyarakat
• Produksi hasil hutan dan pertanian belum dapat dikembangkan lebih lanjut (pengolahan pascapanen dan pemasarannya) • Belum adanya titik temu tentang perbedaan kepentingan tenurial antara masyarakat adat dengan pihak Taman Nasinal • Tujuan untuk membuat peraturan daerah (Perda) tentang hak kelola hutan ulayat masih belum terwujud • Lokasi proyek yang mempunyai jarak yang jauh dari pusat pemerintahan daerah sehingga menyulitkan kerja advokasi • Belum membuat strategi pemasaran sosial (social marketing) untuk melakukan perluasan dampak proyek di lokasi lainnya • Belum melibatkan pihak perguruan tinggi dan swasta untuk mengembangkan hasil hutan dan hasil pertanian
100
No
Nama LSM • • • • •
Kelebihan dalam Program PHBM Mampu memfasilitasi kelembagaan di tingkat masyarakat sehingga menjadi kuat Keterlibatan dengan pemerintah daerah cukup intensif Dukungan dari masyarakat sangat besar untuk mewujudkan tujuan bersama Mampu membangun kolaborasi dengan lembaga internasional (ICRAF) dalam mengembangkan proyek Berhasil mengembangkan pola pertanian organik
Kelemahan dalam Program PHBM
101
5.3. Analisis Pengembangan Institusi Lokal Untuk melihat peran LSM dalam program PHBM terkait dengan pengembangan institusi lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat, terdapat 4 dimensi pengembangan institusi yaitu pengaturan tata kuasa tenurial dan pengaturan tata guna lahan, pengaturan tata produksi, dan pengaturan tata konsumsi. 5.3.1. Pengaturan Tata Kuasa Tenurial dan Pengaturan Tata Guna Lahan. Isu kepastian dalam memperoleh akses dan kontrol terhadap lahan dan sumberdaya hutan merupakan isu yang paling banyak diangkat oleh LSM dalam proyek UNDP.
Adanya kepastian akses atau pengusahaan adalah salah satu
prasyarat penting untuk menuju pengelolaan hutan yang adil dan lestari. Permasalahan kepastian tenurial sebagian besar dipersoalkan pada kawasan yang dikelola oleh masyarakat yang difasilitasi oleh LSM dalam proyek UNDP ini menunjukkan adanya tumpang tindih dengan kawasan yang diklaim oleh negara sebagai kawasan hutan. Tumpang tindih penguasaan antara lain merupakan penyebab dari adanya ketidakpastian
tenurial
pada
wilayah
yang
dikelola
oleh
masyarakat.
Ketidakpastian penguasaan tenurial dan akses masyarakat terhadap hutan seringkali dilihat sebagai salah satu alasan mengapa masyarakat seringkali tidak terlalu antusias untuk mencari strategi pengelolaan sumberdaya alam untuk tujuan jangka panjang. Mengingat sebagian besar LSM bekerja dengan masyarakat yang mempunyai permasalahan tumpang tindih penguasaan lahan kelola, maka sebagian besar fokus kegiatan dari pendukung PHBM adalah mencari strategi agar ada kepastian tenurial bagi masyarakat yang mereka dampingi. Ruang lingkup dari persoalan kepastian tenurial ini antara lain mencakup kepastian kepemilikan dan kepastian akses masyarakat atas hutan di sekitar mereka hidup. Juga didalamnya terkait dengan seberapa penting masyarakat menjadi penentu dari kesepakatan model pengembangan komoditi dan pengelolaan sumberdayanya, kepastian waktu usaha, dan kesepakatan pembagian manfaat hasil hutan secara lebih adil (Afiff, 2007). Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar LSM mempunyai tujuan utama untuk membantu masyarakat dapat memperoleh hak akses terhadap
sumberdaya hutan dengan berbagai metode dan instrumen pengakuan. Beberapa instrumen yang dijadikan sebagai alat perjuangan diantaranya adalah melalui pendekatan ekologis, misalnya hutan mangrove dan kawasan ekowisata serta pendekatan historis kawasan, misalnya tanah simpen dan wewengkon adat. Selain itu, LSM juga mengusung kelestarian sumberdaya hutan dan sebagian kecil fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hanya sebagian kecil LSM yang berusaha untuk melakukan ketiga tujuan tersebut secara bersamaan dalam proyek UNDP ini (Tabel 20). Tabel 20. Instrumen Pengakuan yang dikembangkan LSM dan Tujuan Utama Proyek UNDP LSM
Wilayah
Instrumen pengakuan
Tujuan utama proyek UNDP Kelestarian Kesejahteraan Akses ke hutan masyarakat hutan √ √ √
LSM 1
Jawa Tengah
LSM 2
Jawa Timur
LSM 3 LSM 4 LSM 5 LSM 6
Lampung Jawa Tengah Jawa Timur Lampung
Hutan Mangrove Satwa Endemik dan Hutan Milik Hutan Mangrove Sertifikasi Ekolabel Kemitraan Ekowisata
LSM 7
Jawa Tengah
Tanah Simpen
√
LSM 8
Jawa barat
√
LSM 9
Lampung
Wewengkon Kasepuhan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
√ √ √
√ √ √ √
√
√
√
Sumber: Diolah dari data penelitian
Apabila dilihat dari capaian LSM dalam proyek ini, maka terlihat sebagian besar LSM bersentuhan dengan pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan masyarakat dalam memperoleh akses terhadap sumberdaya hutan.
Bentuk
kegiatan yang dilakukan diantaranya melalui penyusunan draf Peraturan Daerah (Perda) terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan. LSM berpendapat bahwa dengan melalui instrumen Perda ini, masyarakat akan lebih mudah memperoleh akses terhadap sumberdaya hutan secara legal (Tabel 21). Tabel 21. Capaian LSM dalam Proyek UNDP periode 2005-2007 No
Isu Pokok
1 2 3
Nama LSM
LSM 2
Rehabilitasi kawasan mangrove dan budidaya tambak udang di hutan lindung Rehabilitasi kawasan hutan milik dan budidaya ternak rusa
LSM 3
Rehabilitasi kawasan mangrove di hutan lindung
LSM 1 Konservasi
Capaian LSM dalam Proyek UNDP
No
Isu Pokok
4 5
Pendampingan teknis
Nama LSM
Capaian LSM dalam Proyek UNDP
LSM 4
Memperoleh sertifikasi ekolabel dari LEI selama 15 tahun Penyusunan draf Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengelolaan Hutan Pola Kemitraan Penyusunan draf MoU tentang Pengelolaan Kawasan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Tahura Wan Abdurrahman Penandatanganan MoU antara masyarakat dengan Perhutani di hutan produksi Perhutani tentang pemanfaatan tanah simpen Penyusunan draf 4 Surat Keputusan (SK) Bupati Lebak tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dan Kasepuhan Citorek di Taman Nasional Halimun-Salak Memperoleh ijin definitif HKm dari pemerintah daerah selama 35 tahun
LSM 5
6 LSM 6 7 Advokasi
LSM 7
8 LSM 8 9
LSM 9
Sumber: Diolah dari data penelitian
Terdapat 3 LSM yang berhasil dan dapat dijadikan best practices terkait dengan pengaturan tata kuasa tenurial dan pengaturan tata guna lahan, yaitu Persepsi dengan sertifikasi ekolabel di hutan milik, Watala dengan perolehan HKm di hutan lindung, dan Masta yang berhasil memfasilitasi masyarakat untuk menandatangai MoU dengan Perhutani di hutan produksi.
.3.2. Pengaturan Tata Produksi Apabila kepastian tenurial dapat diperoleh masyarakat, maka tantangan berikutnya adalah mengembangkan institusi yang terkait dengan penataan produksi.
Terdapat dua level strategi pengembangan institusi terkait dengan
pengaturan tata produksi yaitu, pertama, strategi pengembangan tata produksi pada tingkat kelompok atau komunitas, dan kedua, strategi pengembangan tata produksi pada tingkat rumah tangga (Afiff, 2007). Strategi tata produksi pada tingkat kelompok atau komunitas pada dasarnya adalah mencari bentuk usaha bersama yang melibatkan semua anggota kelompok. Di sektor kehutanan, salah satu strategi yang saat ini banyak mendapatkan dukungan adalah membangun tata niaga produksi kayu rakyat maupun hasil hutan bukan kayu (non-timber forest product/NTFP) yang berwawasan lingkungan. Sebagai contoh, dalam proyek UNDP ini, Persepsi telah melakukan pendampingan bersama masyarakat untuk pengaturan tat produksi melalui
instrumen sertifikasi ekolabel di hutan milik.
Konsep sertifikasi ekolabel
merupakan suatu standar pengelolaan hutan yang memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian sumberdaya hutan berdasarkan fungis produksi, fungsi ekologi, dan fungis sosial. Ketiga kelestarian fungsi hutan ini tidak dapat terpisahkan satu dengan lainnya. Dalam konteks ini, masyarakat difasilitasi untuk membentuk usaha bersama melalui tata niaga kayu rakyat yang telah disertifikasi ekolabel. Pengaturan tata produksi juga terjadi pada Watala. LSM ini berupaya untuk mengembangkan hasil pertanian organik. Pertanian organik yang dikembangkan ini merupakan salah satu kebutuhan masyarakat, baik digunakan untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk dijual. Sementara untuk strategi pengembangan tata produksi pada tingkat rumah tangga petani, pendekatan yang banyak didorong oleg LSM pada komunitas di sekitar hutan adalah dengan cara mendorong tumbuhnya jenis-jenis usaha ekonomi rumah tangga yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan petani pada hutan. Para pendukung program ini beranggapan bahwa dengan cara inilah maka penyelamatan hutan dapat dilakukan. LPPSP misalnya, mengembangkan budidaya tambak ikan nila sebagai pendapatan alternatif. Pengembangan tambak ikan ini dimaksudkan untuk mengurangi kerusakan hutan mangrove akibat adanya konversi dari hutan mangrove menjadi tambak ikan.
Kegiatan ini sekaligus
bertujuan untuk menyelamatkan hutan mangrove yang telah maupun sedang dirintis. 5.3.3. Pengaturan Tata Konsumsi. Perubahan pola konsumsi umumnya berpengaruh besar pada cara masyarakat menilai sumberdaya alam ini. Dengan semakin pentingnya mata uang dalam kehidupan masyarakat di pedesaan, maka sedikit banyak juga berpengaruh pada cara mereka menilai dan memaknai sumberdaya alam yang mereka miliki atau kelola. Jual beli tanah, misalnya, adalah salah satu contoh dari perubahan yang tengah berlangsung saat ini dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang sebagian dipengaruhi oleh masuknya budaya uang ini. Tanah atau lahan pertanian atau hutan pada awalnya bukanlah komoditi ekonomi bagi masyarakat pedesaan. Dengan adanya perubahan nilai ini, maka tanah atau lahan
sekarang berubah menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomis sehingga menjadi objek jual beli (Afiff, 2007). Kebutuhan-kebutuhan hidup awalnya cukup dapat dipenuhi dengan cara barter sekarang diganti dengan alat tukar uang untuk mendapatkannya. Derasnya arus modernisasi yang masuk ke pedesaan telah merubah pola hidup dan pola konsumsi masyarakat kampung. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi ini biasanya akan mendorong adanya peningkatan ekspoitasi dari sumberdaya alam yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya dan keberlangsungan pelayanan alam dari ekosistem hutan buat masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, pendampingan yang dilakukan oleh Mitra Bentala. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perlindungan dan kelestaraian hutan magrove memang masih rendah. Hal ini terbukti dengan tidak adanya aturan mengenai pengalihfungsian lahan hutan mangrove menjadi tambak, keramba, maupun tempat mengambilan cacing.
Secara nyata, akibat rusaknya hutan
mangrove dirasakan oleh masyarakat nelayan dengan menurunya potensi perikanan. Masyarakat cenderung melakukan tindakan-tindakan yang menurut mereka
lebih
memberikan
keuntungan
ekonomi
jangka
pendek
tanpa
memperhitungkan resiko-resiko ekologis dan ekonomi jangka panjang. Dalam penelitian ini, LSM-LSM juga telah membentuk kelembagaan baru atau memberikan penguatan kepada lembaga yang berada di masyarakat. Bentuk kelembagaan yang dikembangkan oleh LSM ini beragam sesuai dengan konteks dan kebutuhan masyarakat (Tabel 22).
Kelembagaan di masyarakat ini
merupakan salah satu bentuk wadah yang dapat menampung aspirasi masyarakat sendiri sehingga masyarakat tidak selalu bergantung pada LSM yang selama ini mendampinginya.
Selain itu, kelembagaan ini diperlukan untuk membentuk
kemandirian masyarakat setelah LSM berhasil mendampingi masyarakatnya. Tabel 22. Bentuk Kelembagaan di Masyarakat yang Dikembangkan LSM No
Nama LSM
Bentuk Kelembagaan
1
LSM 1
Paguyuban Pengelola Sumber Daya Berbasis Komunitas (PSBK) di tingkat Desa
2
LSM 2
Tidak ada
No
Nama LSM
Bentuk Kelembagaan
3
LSM 3
Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) di tingkat Desa
4
LSM 4
Organsasi Petani Hutan Rakyat (OPHR) di tingkat Desa
5
LSM 5
Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Sumberdaya Hutan (LKDPH) di tingkat Desa
6
LSM 6
Kelompok Tani Hutan (KTH) di tiap Dusun
7
LSM 7
Lembaga Kerjasama Antar Desa Hutan (LKADH) dibentuk dari beberapa desa
8
LSM 8
Wewengkon Adat di tingkat Desa
9
Kelompok Tani Hutan (KTH) di tingkat Desa LSM 9 Sumber: Hasil pengolahan data
Upaya dan strategi pengembangan institusi lokal sangat dipengaruhi oleh setidaknya tiga faktor utama yaitu: 1. Faktor kondisi fisik dan sumberdaya alam setempat. Pengembangan model pengelolaan hutan dan kelembagaan yang dibangun oleh masyarakat bersama LSM dapat berbeda-beda dari tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Hal ini sangat diperngaruhi oleh kondisi fisik dan sumberdaya alam yang terdapat di tempat tersebut (Afiff, 2007). Sebagai contoh, peluang dan tantangan yang dilakukan oleh SHK Lestari dengan mengusung pengembangan kawasan ekowisata dengan Persepsi yang mengangkat tema pelestarian sumberdaya hutan di lahan milik yang tandus akan berbeda. Perbedaan ini akan berpengaruh terhadap pola pendampingan, metode, dan pendekatan yang dilakuakn terhadap masyarakat dan pihak-pihak lainnya yang terkait. 2. Faktor ekonomi politik di tingkat internasioanl, nasional dan daerah Menguatnya isu indigenous people di tingkat internasional telah memberikan
peluang
untuk
beberapa
kelompok
masyarakat
dalam
megorganisisr diri untuk melakukan klaim lahan hutan dalam rangka gerakan masyarakat adat (Li, 2001).
Dalam konteks ekonomi politik di tiingkat
nasional maupun daerah yang dianggap penting dan berpengaruh pada dinamika pengembangan institusi di tingkat lokal adalah belum adanya beberapa kebijakan yang dianggap cukup kuat mendukung model-model PHBM (Afiff, 2007).
Beberapa LSM dalam menjalankan proyek UNDP berupaya agar ada perubahan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah untuk dapat lebih menjamin terwujudnya PHBM. Di tingkat nasional, upaya yang dilakukan melalui cara memperngaruhi perubahan kebijakan dan perundangundangan di bidang kehutanan. Sementara dengan pemerintah daerah melalui pembuatan aturan-aturan daerah yang memperluat kedudukan atau legitimasi pengelolaan sumberdaya hutan.
Upaya ini melibatkan dan diharapkan
memberikan manfaat untuk kepentingan masyarakat setempat.
Namun
kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah masih menjadi kendala utama dalam proses penyelesaian konflik antara masyarakat dan pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan, terutama berkaitan dengan masalah tumpang tindih status kawasan. Menurut Afiff (2007), selain kebijakan-kebijakan pemerintah, faktorfaktor lain yang berpengaruh antara lain adalah fluktuasi harga komoditi, permintaan pasar, tata niaga, dan pergantian kepemimpinan di tingkat daerah dan nasional. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah memetakan faktorfaktor makro ekonomi dan politik baik di tingkat nasional maupun daerah untuk melihat seberapa jauh pengarunya terhadap upaya pemberdayaan isntitusi lokal di suatu wilayah. 3. Dinamika sosial dan politik lokal Dinamika sosial dan politik lokal berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Adanya tokoh masyarakat setempat yang kharismatik dan jelas akuntabiltasnya pada rakyat setempat, misalnya, seringkali merupahan faktor yang penting dalam mengembangkan isntitusi lokal. Menurut Afiff (2007), dalam hal ini termasuk didalamnya adalah karakteristik masyarakat yang menjadi basis pengorganisasian.
Perbedaan ini akan berpengaruh
terhadap model dari gerakan dan institusi lokal yang dibangun.
Namun
sebaliknya, pengembangan institusi lokal akan sulit dilakukan dan akan membutuhkan waktu yang panjang bila masyarakatnya mengalami perbedaan kepentingan. Sejarah klaim lahan dan sumberdaya hutan oleh masyarakat juga berpengaruh terhadap perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan dan
tawaran tentang model pengelolaan hutan yang akan diadvokasi. Aliansi dan konflik antara masyarakat dengan pihak-pihak lainnya seperti pemerintah, swasta, maupun dengan LSM juga berpengaruh terhadap pengembangan institusi lokal. 5.4. Peran UNDP dalam Program PHBM SGPPTF UNDP merupakan lembaga donor yang memberikan bantuan pendanaan bagi 25 LSM untuk pengembangan PHBM untuk periode 2005-2007 yang tersebar di region Jawa, region Sumatera dan region Sulawesi Tengah. SGPPTF UNDP
bertujuan mempromosikan pengelolaan hutan secara
berkelanjutan melalui kemitraan langsung dengan stakeholders lokal di wilayahwilayah yang telah ditentukan. SGPPTF UNDP berpandangan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan, memberdayakan individu dan masyarakat dalam mengelola hutan dan kehutanan, menghasilkan manfaat yang adil dari barang dan jasa kehutanan
yang dihasilkan dengan
mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Para mitra UNDP ini adalah masyarakat yang bergantung pada hutan termasuk komunitas adat dan traditional, LSM, organisasi rakyat dan usaha kecil berbasis masyarakat yang bekerja untuk dan dengan masyarakat adat dan hutan. Aktivitas-aktivitas yang mendapatkan dukungan pendanaan sebagai berikut: •
Pengembangan
inisiatif
alternatif
dan
kehidupan
berkelanjutan,
pengembangan kapasitas dan keahlian masyarakat yang akan secara signifikan mengurangi tekanan pada sumber daya hutan; •
Membangun kapasitas dan jaringan kerja pemangku kepentingan para komunitas untuk pengelolaan yang ramah masyarakat sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasajasa lain;
•
Menunjang kemantapan hak pemanfaatan/penggunaan lahan dan sumber daya
alam
lain,
dan
dengan
demikian
memperbaiki
akses
penggunaan/pemanfaatan sumber daya alam lestari. Tema umum yang disusung oleh UNDP melalui proyek ini adalah kehidupan berkelanjutan dari masyarakat yang bergantung pada hutan termasuk
masyarakat adat dan orang asli. Tema spesifik meliputi pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat secara terpadu, membangun prakondisi bagi terciptanya lingkungan hidup yang berkelanjutan dan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Selama periode proyek UNDP mulai tahun 2005-2007, banyak pelajaran berharga yang diperoleh oleh LSM-LSM yang menjadi mitranya. Beberapa LSM telah berhasil sesuai dengan harapan yang diinginkan bahkan ada LSM yang dapat melebihi target yang ingin dicapai. Beberapa lokasi proyek dapat menjadi best practices bagi wilayah lainnya dalam program PHBM. Banyaknya mitra UNDP ini dengan keberagaman program dan sebaran lokasi yang cukup luas merupakan aset berharga yang patut untuk di-managed dengan baik.
Kondisi ini tentunya dapat dijadikan sebagai modal dalam
membangun dan memperkuat jaringan khususnya untuk stakeholder yang ada di tingkat lokal, regional, maupun nasional. Keberlanjutan program menjadi poin penting yang dapat didiskusikan lebih lanjut. Agenda ini semestinya menjadi agenda bersama untuk menguatkan kembali jaringan-jaringan dengan stakeholder yang selama ini telah dibangun bersama guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari dan masyarakat sejahtera.
5.5. Strategi Peningkatan Peran LSM dalam Pembangunan Daerah Berdasarkan hasil analisis terhadap penelitian ini, diperlukan beberapa strategi peningkatan peran LSM dalam pembangunan daerah yang berkaitan dengan pengembangan program PHBM. Beberapa strategi yang dapat dilakukan dan dikembangkan oleh LSM dalam program PHBM diantaranya adalah: 1. Pengembangan Kapasitas dan Kelembagaan LSM Ada beberapa peran yang dapat dijalankan oleh LSM untuk mengembangkan kapasitas dan memantapkan posisi LSM dalam program PHBM, diantaranya adalah: a. Membentuk forum komunikasi antar LSM yang mempunyai visi dan persepsi yang sama;
b. Membentuk jaringan kerja (networking) antar LSM yang fokus pada program PHBM; c. Membangun sikap LSM yang transparan, akuntabel dan kompeten; d. Mempraktekkan prinsip good governance; 2. Pengembangan Pemberdayaan Kapasitas dan Kelembagaan Masyarakat Dampingan Beberapa peran yang dapat dilakukan oleh LSM dalam rangka memberdayakan, memperkuat, dan memperluas akses masyarakat untuk terlibat aktif dan partisipatif dalam program PHBM diantaranya adalah: a. Sosialisasi dan aktualisasi yang sistematik dan teratur terhadap visi, misi dan prinsip-prinsip LSM kepada mayarakat; b. Memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan pengembangan pola pikir dan perilaku masyarakat dengan tujuan untuk pemberdayaan masyarakat untuk mencapai kesejahteraannya dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan; c. Berpartisipasi aktif, inovatif, dan mengembangkan kreatifitas; d. Merencanakan,
melaksanakan,
dan
mengontrol
program-program
pengembangan masyarakat dan pengelolaan hutan; e. Menjadi penyalur aspirasi (agenda setter) bagi masyarakat; f. Membangun dan mengembangkan akses informasi seluas-luasnya kepada semua publik. 3. Pengembangan Advokasi pada Pemerintah Daerah Beberapa peran LSM untuk mendorong keterlibatan secara aktif Pemerintah Daerah terkait dengan program PHBM, diantaranya adalah: a. Mendorong pemerintah daerah (diantaranya Dinas Kehutanan, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Bupati, Gubernur, dan DPRD) untuk lebih proaktif, kreatif dan produktif; b. Mendorong pemerintah daerah untuk lebih profesional, transparan, dan berpegang pada prinsip serta mekanisme akuntabilitas publik; c. Mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan iklim demokratis dan terbuka;
d. Mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan, kesejahteraan
masyarakat,
dan
efisiensi
dalam
penyelenggaraan
pemerintah; e. Mendorong pemerintah daerah untuk mempraktekkan good governance; f. Mendorong pemerintah daerah untuk turut serta dalam mengembangkan kelestarian sumberdaya alam. 4. Pengembangan Usaha Masyarakat Dampingan bersama Pihak Swasta Peran LSM pada pihak swasta terkait dengan program PHBM diantaranya adalah: a. Mendorong pelaku ekonomi untuk secara aktif melibatkan dan mengembangkan
kegiatan
usaha
masyarakat
melalui
mekanisme
kemitraan dan pola kerjasama yang saling menguntungkan; b. Mendorong pelaku ekonomi untuk turut serta dalam mengembangkan kelestarian sumberdaya alam.
BAB VI RESPON MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM PHBM 6.1. Respon Masyarakat pada Isu Konservasi Hasil FGD dan wawancara dengan masyarakat dampingan LSM dapat disimpulkan bahwa pengalaman melakukan kegiatan atau program di bidang konservasi memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan bidang pendampingan teknis dan advokasi.
Hal ini disebabkan ukuran keberhasilan
terhadap program yang bersifat konservasi baru dapat dipetik dalam hitungan jangka panjang. Sementara masyarakat lebih menginginkan adanya program yang bersifat jangka pendek dan dapat segera dinikmati hasilnya. Kegiatan rehabilitasi lahan melalui penanaman pohon yang ditanam pada kawasan hutan mangrove, hutan milik maupun hutan negara merupakan suatu program yang hasilnya baru dapat dinikmati dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu minimal 5 tahun ke depan. Kegiatan yang mengusung isu konservasi ini kemudian berimplikasi terhadap keberhasilan dan kelancaran programnya. Kasus penanaman pohon di hutan mangrove di Jawa Tengah, misalnya, dari sisi program cukup bagus karena berupaya untuk memperbaiki lingkungan dan kesejahteraan masyarakat melalui pembuatan tambak ikan.
Namun dalam pelaksanaannya,
seringkali masyarakat tidak dilibatkan secara penuh dalam menyusun, melaksanakan dan memonitor program tersebut.
Masyarakat lebih banyak
dipekerjakan sebagai pekerja upahan sehingga belum tercipta rasa memiliki terhadap program tersebut. Kesulitan memberikan pemahaman terhadap program yang mengusung isu konservasi ini memang berimplikasi juga terhadap kejenuhan masyarakat dampingan. Kasus di Lampung, misalnya, LSM telah mendampingi masyarakat selama kurang lebih 10 tahun dan selalu konsisten dalam mengusung program konservasi. Pada satu sisi, fokus pendampingan memang diperlukan untuk jangka waktu tertentu. Namun fokus pendampingan yang tidak berujung dan sulit diukur akan membuat masyarakat merasa bosan dan menjenuhkan. Salah satu indikasi adanya kejenuhan di tingkat masyarakat misalnya yang terjadi adalah sulitnya masyarakat diajak untuk bekerja bersama dalam melakukan program. Namun bila
program yang dijalankan tersebut merupakan program yang memang menjadi kebutuhan masyarakat, biasanya masyarakat akan dapat menerima dengan baik dan lebih mudah untuk diajak bekerja sama. Hal ini sejalan dengan pendapat Kertati (2007) bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan program konservasi diantaranya adalah kepastian kawasan yang dijadikan lokasi proyek, sulitnya memberikan pengertian, sifat kerelaan yang muncul ketika diminta untuk terlibat dalam suatu program, dan munculnya motivasi dari masyarakat untuk mandiri di bidang konservasi, dukungan dan komitmen dari pemerintah, dan partisipasi penuh dari masyarakat untuk terlibat aktif dalam program. Ukuran keberhasilan lainnya yang sulit diukur adalah penguatan kelembagaan di tingkat masyarakat. Penguatan kelembagaan ini mencerminkan seberapa kuat kelembagaan yang telah dibangun masyarakat bersama LSM dapat memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusannya baik di tingkat lokal maupun di tingkat regional.
Kasus di Jawa Tengah, misalnya, masyarakat
bersama dengan LSM membentuk Paguyuban Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Komunitas (PSBK) di masing-masing desa yang menjadi dampingan LSM. Sementara di Lampung, bersama dengan LSM, masyarakat membentuk Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) di masing-masing desa yang menjadi fokus program.
Sejauh ini kelembagaan ini masih belum berjalan
optimal dan masih terlihat menggantungkan pada peran LSM sebagai lembaga pendampingnya. Kemandirian sebuah kelompok masyarakat yang terbentuk melalui sebuah kesepakatan bersama dan dilakukan secara partisipatif akan dapat mendorong efektifitas kelembagaan tersebut. Gagasan dan pelaksanaan serta keberlanjutan dari kelembagaan masyarakat harus didorong berdasarkan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Proses-proses pembentukan dari kelembagaan masyarakat tersebut juga merupakan respon positif dari masyarakat sendiri sehingga masyarakat sebagai pelaku utama mampu untuk menjaga, mempertahankan bahkan dapat meningkatkan
posisi
serta
peran
kelembagaan
masyarakat
itu
sendiri.
Ketergantungan pendampingan yang dilakukan oleh LSM justru akan menjadi permasalahan yang serius apabila hal ini tidak diantisipasi sejak diawal.
Ketergantungan ini akan menimbulkan dampak yang lebih besar ke depannya karena tidak selamanya LSM akan berada pada lokasi dampingan tersebut. LSM sendiri juga harus mempunyai strategi untuk membuat masyarakat tidak bergantung pada LSM. Program-program yang telah lama dijalankan pada suatu lokasi dengan isu dan fokus yang sama mestinya diarahkan untuk membuat kemandirian bagi masyarakat untuk mengelolanya sendiri. Selain rehabilitasi lahan, program yang dijalankan juga berupaya meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan budidaya ternak dan tambak.
Kegiatan ini bertujuan untuk menjadi income generating bagi
masyarakat yang menjalankannya.
Hal ini dilakukan agar selain program
rehabilitasi lahan yang berorientasi jangka panjang, masyarakat juga dapat memperoleh hasil ekonomi lainnya dalam jangka pendek melalui budidaya ternak dan ikan. Meskipun kegiatan ini bukan merupakan kegiatan utama namun dirasa mampu memberikan perhatian dan daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Apabila pola ini dilakukan maka keberlanjutan program dari yang telah dijalankan saat ini menjadi fokus perhatian baik oleh masyarakat maupun LSM. 6.2. Respon Masyarakat pada Isu Pendampingan Teknis Bentuk pendampingan teknis yang dilakukan oleh LSM bersama dengan masyarakat meliputi pendampingan pada teknis pengelolaan hutan milik masyarakat, pendampingan dalam mengembangkan pola kemitraan, dan pendampingan dalam mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat. Respon masyarakat mempunyai jawaban yang hampir sama. Masyarakat merasa mendapatkan manfaat dari pendampingan yang dilakukan oleh LSM meskipun dirasakan belum optimal. masyarakat
telah
mampu
memperoleh
Kasus di Jawa Tengah, misalnya, penghargaan
sertifikasi
ekolabel
pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) dari lembaga independen yaitu Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) melalui penilaian yang dilakukan oleh PT Mutu Agung Lestari (MAL). Penghargaan ini dirasakan oleh masyarakat berbeda dengan penghargaan lain karena mempunyai masa berlaku yaitu 15 tahun. Melalui penghargaan ini juga akan dilakukan monitoring oleh lembaga sertifikasinya yaitu PT MAL untuk setiap 5 tahun sekali. Melalui pendampingan teknis pengelolaan hutan yang lestari, masyarakat merasa mendapatkan manfaat
yang besar karena sekarang telah mampu mengidentifikasi sumberdaya hutan yang dimilikinya.
Masyarakat telah mempu menghitung sendiri jumlah dan
potensi sumberdaya hutan baik berupa kayu maupun non kayu. Pendampingan ini juga mampu membuat masyarakat menjadi bersatu untuk mengelola sendiri hutannya. Sebelum ada pendampingan, masyarakat lebih fokus pada tanaman pertanian yang ditanam pada sela-sela pohon di hutan maupun didalam hutannya tersebut. Melalui lembaga pendampingnya, masyarakat diorganisir untuk memikirkan dan memperhatikan kondisi hutan yang dimilikinya.
Ketertarikan masyarakat
terhadap program sertifikasi ekolabel ini salah satunya didasarkan pada informasi yang diberikan oleh LSM bahwa melalui sertifikasi ekolabel, harga kayu akan menjadi naik karena telah memenuhi standar pengelolaan hutan lestari yang dinilai oleh lembaga independen. Selain itu, LSM juga memberikan informasi bahwa dengan sertifikasi ekolabel maka hutan akan tetap terjaga sampai anak cucu karena banyak pihak yang akan menaruh perhatian besar terhadap hutan tersebut. Sebenarnya banyak perusahaan besar yang berminat untuk membeli kayu bersertifikat ekolabel dengan harga tinggi tersebut namun perusahaan tersebut meminta pasokan yang berkualitas tinggi, kontinu, dan dalam jumlah yang besar. Syarat tersebut akan sulit dipenuhi oleh masyarakat karena yang belum mempunyai tingkat kualitas kayu yang diharapkan oleh perusahaan, pola penebangan yang masih berdasarkan kebutuhan masyarakat bukan kebutuhan perusahaan, dan jumlah penebangannyapun masih dalam skala kecil karena luasan hutannya juga tidak luas.
Kondisi ini membuat transaksi perdagangan yang
diharapkan belum terjadi hingga saat ini. Respon positif juga disampaikan oleh masyarakat yang mendapatkan pendampingan melalui kegiatan ekowisata berbasis masyarakat.
Masyarakat
merasa mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru mengenai cara mengelola ekowisata di daerahnya.
Namun salah satu kendala yang dilakukan dalam
mempromosikan lokasi ekowisata yang berupa air terjun pada beberapa titik lokasi adalah letak kawasan ekowisata yang relatif jauh dari pusat kota dan jalan menuju ke lokasi masih sulit untuk ditempuh terutama pada saat musim hujan.
Sampai dengan berakhirnya proyek UNDP ini, LSM bersama dengan masyarakat yang mengusung isu ekowisata telah menghasilkan draf MoU tentang Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Tahura Wan Abdurrahman di Lampung.
Penyusunan draf ini sebenarnya diharapkan dapat disetujui oleh
pemerintah daerah namun terkendala dengan adanya pergantian kepemimpinan pada Dinas Kehutanan Kabupaten. Kondisi ini membuat rencana awal untuk bisa menghasilkan MoU yang disepakati dan disetujui bersama menjadi gagal. Masyarakat kemudian merasa usaha dan kerja keras yang selama ini dilakukan bersama dengan LSM sebagai lembaga pendamping dalam memperoleh pengakuan dari pemerintah kurang memberikan manfaat nyata. Untuk itu, saat ini masyarakat telah membuat strategi baru yaitu tidak akan fokus pada advokasi untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah namun akan lebih fokus pada peningkatan ekonomi masyarakat yang berada di dalam Tahura melalui pengembangan hasil hutan nonkayu seperti kopi, kemiri, dan lain-lainnya. 6.3. Respon Masyarakat pada Isu Advokasi Untuk isu advokasi, masyarakat meresponnya dengan positif. Kasus di Jawa Tengah, misalnya, masyarakat mempunyai semangat yang tinggi dalam memperjuangkan tanah simpen yang sejak dulu memang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Pada proyek UNPD ini, bersama dengan LSM,
masyarakat telah berhasil menandatangani MoU antara masyarakat dengan Perum Perhutani tentang Pemanfaatan tanah Simpen di Hutan Produksi.
Program
advokasi di Jawa Tengah ini tergolong sukses karena sebenarnya inisiasi dan pendampingan masyarakat oleh LSM telah dilakukan sejak lama. Masyarakat merasa telah mendapatkan manfaat yang besar karena telah mendapatkan akses ke dalam hutan Perum Perhutani dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Di dalam MoU tidak dicantumkan secara tegas batas waktu pemanfaatannya.
Bagi
masyarakat, MoU ini menjadi dasar utama bagi mereka untuk melakukan kegiatan di hutan produksi milik Perhutani yang selama ini masih menimbulkan banyak konflik. Dengan MoU ini, masyarakat menjadi aman dan tidak diganggu lagi oleh pihak-pihak yang selama ini dirasakan mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan.
Respon positif juga ditunjukkan oleh masyarakat dampingan LSM di Lampung.
Pada akhir proyek UNDP ini, masyarakat telah memperoleh ijin
definitif dari pemerintah daerah dalam bentuk ijin Hutan Kemasyarakatan (HKm) selama 35 tahun. Ini berarti bahwa selama ini program advokasi yang dilakukan oleh masyarakat bersama LSM sebagai lembaga pendamping telah sukses mengantarkan masyarakat untuk memperoleh hak akses terdapat sumberdaya hutan yang selama ini selalu diperjuangkan.
Meskipun dalam prakteknya
masyarakat masih harus bekerja keras untuk memperbaiki kondisi hutannya, namun langkah awal ini merupakan bentuk hasil dari perjuangan yang panjang. Bersama dengan LSM, masyarakat tidak henti-hentinya bekerja keras untuk memenuhi persyarat dari pemerintah terkait dengan HKm.
Masyarakat telah
merasa lega dan senang dengan terbitnya ijin HKm tersebut. Masyarakat merasa mendapatkan amanah dan tanggung jawab yang besar dalam mengelola hutan justru setelah mendapatkan ijin HKm ini. Hal ini disebabkan dalam perjanjian disebutkan bahwa bila dalam waktu tertentu masyarakat tidak mampu mengelola hutannya maka pemerintah berhak menghentikan dan mencabut ijin HKm di hutan lindung tersebut. Namun aturan tersebut oleh masyarakat bahkan dijadikan sebagai cambuk yang memang harus ditaati sehingga dapat memacu semangat masyarakat dalam mengelola hutan yang lebih baik termasuk untuk memperkuat fungsi kelembagaannya. Kasus di Jawa Barat juga mendapatkan respon positif dari masyarakat. Pada akhir proyek UNDP, bersama dengan LSM, masyarakat telah menghasilkan draf 4 Surat Keputusan (SK) Bupati Lebak tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dan Kasepuhan Citorek di Taman Nasional Halimun-Salak. Sebenarnya hasil proyek UNDP ini diluar yang direncanakan. Target pada awal penyusunan program hanya membuat draf awal untuk diajukan ke pihak pemerintah daerah, namun dalam perjalanannya, program ini berjalan lancar dan dari pihak pemerintah daerah cukup akomodatif terhadap inisiasi ini. Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat bersama dengan LSM untuk terus maju dan memperjuangkan aspirasi masyarakat melalui adanya pengakuan yang kongkrit dari pemerintah daerah untuk memberikan hak akses kepada masyarakat yang memang telah lama tinggal dan hidup di hutan adat
tersebut. Masyarakat merasa mendapatkan manfaat dari adanya proyek UNDP ini karena telah berhasil untuk menegosiasikan kebutuhan masyarakat meskipun belum optimal. Program ini merupakan langkah awal untuk kembali memberikan advokasi dan pemahaman bagi pemerintah utnuk segera menyetujui MoU yang telah dibuat oleh masyarakat. Selama ini masyarakat telah terbukti dapat mengelola hutannya secara lestari berdasarkan aturan-aturan adat yang memang selama ini menjadi ramburambu dalam mengelola hutan. Masyarakat telah memiliki kearifan tradisional yang cukup kuat dan ditaati oleh seluruh warganya. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pihak independen mengenai keberadaan masyarakat hukum adat Kasepuhan.
Hal inilah yang
menjadi dasar utama dan alat advokasi bagi masyarakat dan LSM sebagai lembaga pendamping.
BAB VII PERAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM PHBM DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DAERAH Proyek UNDP yang dilakukan oleh LSM banyak bersentuhan dengan pemerintah daerah.
Keterlibatan pemerintah daerah mempunyai keragaman
metode dan pendekatan yang dilakukan bersama dengan LSM.
Pemerintah
daerah yang terlibat dalam program diantaranya adalah Dinas Kehutanan Kabupaten dan Propinsi, Taman Nasional, Taman Hutan Raya (Tahura), Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi, Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tujuan dan manfaat program PHBM akan dicapai secara optimal apabila terdapat kebijakan-kebijakan yang mendukung ke arah pencapaian tujuan dan manfaat tersebut. Kebijakan-kebijakan yang merupakan political will dari pemerintah haruslah merupakan upaya mewujudkan kepentingan publik, sekaligus melindungi hak individu dan masyarakat. Dengan demikian, kebijakan pemerintah tidak hanya menekankan untuk kepentingan publik, melainkan juga bersamaan dengan itu melindungi hak-hak individu dan komunitas. Pemerintah juga telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang berhubungan dengan PHBM. Kebijakan yang telah dikeluarkan diantaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.26/Menhut-II/2005 tentang Pemanfaatan Hutan Hak, Permenhut No. P.23/Menhut-II/2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat, Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, dan terbaru adalah Permenhut No. P.49/Menhut-II/2007 tentang Hutan Desa.
Kebijakan
pemerintah ini sebagai upaya untuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk memperoleh hak-haknya dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Meskipun dalam pelaksanaannnya masih menemui kendala, termasuk belum tersedianya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya.
Dalam konteks pembangunan daerah, pengembangan institusi yang dapat memfasilitasi berbagai proses perubahan kebijakan dalam rangka optimalisasi capaian-capaian PHBM maupun memfasilitasi PHBM yang lestari itu sendiri menjadi kebutuhan tersendiri.
Institusi yang akan mengambil peran sebagai
fasilitator di wilayah ini akan lebih baik jika dibangun dengan prinsip-prinsip keterlibatan multi pihak (multistakeholders involment), partisipatif, transparan, dan demokratis. 7.1. Kasus di Lampung Barat Pendampingan masyarakat yang dilakukan oleh LSM di Lampung ini difokuskan pada upaya memperoleh kepastian pengelolaan kawasan hutan lindung, melalui ijin hutan kemasyarakatan (HKm).
Kebijakan HKm yang
menempatkan masyarakat sekitar sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam selain bertujuan untuk perbaikan fungsi lingkungan juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui skema HKm, masyarakat membuat rencana pengelolaan dan melaksanakan kegiatan pemulihan sumberdaya hutan, menjaga kawasan yang masih berhutan secara swadaya serta melakukan pengamanan terhadap areal yang menjadi tanggung jawab masyarakat. Munculnya beberapa kebijakan pemerintah daerah tidak terlepas dari diterbitkannya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum UU tersebut disahkan, pemerintah daerah Lampung Barat telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 18 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat. Beberapa faktor pendukung dari terbitnya Perda ini diantaranya adalah adanya dukungan dari berbagai pihak, adanya kelancaran komunikasi antar pihak, serta adanya mekanisme yang tidak menyulitkan masyarakat dalam berperan serta. Sementara faktor penghambatnya diantaranya adalah kapasitas atau pengetahuan masyarakat yang minim tentang materi dan muatan peraturan daerah, belum adanya pendanaan yang kongkrit dari pemerintah, kebutuhan yang ingin diakomodir terlalu ideal dan tidak melihat realitas dari sisi pemerintah, serta tidak terlibatnya birokrasi dalam penyusunan
Perda tersebut. Semua permasalahan tersebut menjadi tantangan bagi masyarakat dan LSM untuk lebih kreatif dan tanggap. Pada saat ini masyarakat bersama LSM tengah menyusun rancangan Perda tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Kabupaten Lampung Barat. Perda ini diharapkan dapat lebih mendorong terwujudnya pembangunan yang adil, lestari, dan berkelanjutan melalui tata kelola hutan yang baik sebagai upaya pengentasan kemiskinan.
Terselenggaranya kegiatan tersebut tidak lepas dari intensifnya
dukungan dan peran aktif dari para pihak. Berkembangnya peran dan keberadaan kelompok-kelompok HKm di Lampung Barat pada akhirnya memberikan pelajaran akan pentingnya peran pemerintah desa. Ketika pengaturan pada tingkat kelompok tidak dapat mengakomodir persoalan-persoalan yang terjadi, maka peran pemerintah desa muncul sebagai lembaga yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Upaya yang dilakukan untuk melaksanakan otonomi daerah dilakukan dengan cara memperkuat otonomi desa dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui fasilitasi masyarakat dalam menyusun peraturan desa (Perdes) tentang pengelolaan sumberdaya alam. Kegiatan fasilitasi ini lebih ditekankan pada upaya belajar bersama dalam menyusun sebuah peraturan
yang
dapat
dipertanggungjawabkann
yang
mengatur
tentang
pengelolaan sumberdaya alam yan ada dalam wilayah desa. Salah satu desa yang telah berhasil membuat Perdes adalah Desa Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat. Perdes No 03 Tahun 2006 ini berisi tentang peran serta masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan dan air di pekon (desa) Gunung Terang. Dalam prakteknya, masyarakat telah terbukti mampu memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya hutan secara swadaya.
Masyarakat desa juga telah
mampu mengatur dirinya sendiri dan menyusun aturan yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Dukungan para pihak merupakan hal penting dalam
pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat. Untuk pelaksanaan otonomi desa dalam pengelolaan sumberdaya hutan, masih terdapat permasalahan, yaitu wilayah administrasi desa yang berada di luar
kawasan hutan negara. Kawasan hutan negara ini belum menjadi bagian dari wilayah administrasi desa sehingga agak sulit mengharapkan desa berperan penuh dalam pengelolaan sumberdaya hutan di sekitar wilayahnya. Melalui dasar hukum pada Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, beberapa kelompok HKm di Lampung Barat telah menerima ijin HKm secara definitif selama 35 tahun dari pemerintah daerah. Pemberian ijin kepada masyarakat ini merupakan tonggak sejarah baru di Indonesia karena untuk pertama kalinya sejak peraturan tersebut di luncurkan, pemerintah pusat dan daerah telah melaksanakan amanat peraturan tentang HKm tersebut untuk wilayah Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan DI Yogyakarta. Dalam konteks pembangunan daerah, program HKm telah memberikan beberapa solusi dalam pengelolaan sumberdaya hutan. HKm dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk memberikan pengakuan kepada masyarakat dalam mengelola hutan, serta memberikan alternatif pendapatan dari hasil hutan, baik dari hasil hutan kayu maupun non kayu. Ini berarti bahwa melalui program HKm, selain kondisi lingkungan dapat diperbaiki kualitasnya, juga mampu memberikan harapan akan tingkat kesejahteraan yang meningkat melalui usaha hasil hutan. Selain itu, melalui program HKm, terjadi kesepakatan win-win solution antara masyarakat dengan pemerintah. Masyarakat merasa mendapatkan kepastian akan berusaha dan bekerja di dalam hutan, sementara pemerintah merasa terbantu karena hutannya dapat kembali dihijaukan dan dijaga oleh masyarakat. Melalui HKm juga, terjadinya sengketa atau konflik lahan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Kondisi yang kondusif ini dapat dijadikan sebagai modal dalam mengelola hutan dalam suatu wilayah dengan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui skema HKm. Skema HKm merupakan salah satu solusi yang dapat diterapkan pada wilayah lain. 7.2. Kasus di Jawa Tengah Sertifikasi ekolabel merupakan salah satu instrumen dalam pengelolaan hutan lestari. Masyarakat di 4 desa di Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo telah sukses dalam memperoleh sertifikasi ekolabel dengan menggunakan skema dari LEI. Artinya hutan milik yang dikelola oleh masyarakat sekitar 1.700 ha
tersebut telah dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan secara lestari dengan memperhatikan kelestarian fungsi hutan yaitu aspek produksi, ekologi, dan sosial.
Melalui sertifikasi ekolabel telah dapat dijamin bahwa
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat mampu memberikan nilai tambah bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Sampai saat ini memang belum muncul insentif yang signifikan yang diterima oleh masyarakat melalui sertifikasi ekolabel. Insentif ini seharusnya muncul dari berbagai pihak khususnya dari pemerintah daerah.
Hal ini
disebabkan hutan-hutan yang ditanami oleh masyarakat tersebut merupakan lahan milik yang memang dari sisi aturan hukum tidak dibebani menjadi hutan. Atas kesadaran dari masyarakat sendiri, mereka telah mampu menghutankan kembali hutannya sehingga dapat memberikan nilai tambah baru bagi masyarakat sebagai pengelola hutan. Sertifikasi ekolabel pada hutan rakyat sebenarnya sangat strategis bila dibawa pada level pemerintah daerah dalam konteks pembangunan daerah. Melalui sertifikasi ekolabel, pemerintah dapat berperan lebih besar untuk ikut menghijaukan kembali dengan pelibatan yang penuh dari masyarakat. Dari sisi lingkungan, pemerintah daerah dapat terbantu melalui skema sertifikasi ekolabel dengan karena secara mandiri dan swadaya masyarakat telah mampu menghutankan kembali sehingga kualitas lingkungan menjadi lebih baik tanpa campur tangan dari pemerintah. Melihat kondisi ini, sampai saat ini pemerintah belum memberikan insentif yang nyata bagi masyarakat yang terbukti menjaga hutannya dengan lestari.
Dari sisi kesejahteraan sosial, melalui sertifikasi
ekolabel masyarakat telah dijamin atas kelestarian fungsi sosial dalam pengelolaan hutannya.
Ini berarti bahwa relasi sosial yang terjadi antar
masyarakat pengelola hutan telah terbukti mampu dijaga dan dipelihara bersama serta telah sepakat dan berkomitmen untuk selalu meningkatkan kualitas sumberdaya hutannya. Pemerintah juga belum berperan nyata dalam mendukung kesejahteraan sosial terhadap masyarakat pengelola hutannnya. Sampai saat ini pemerintah daerah masih belum melihat peluang yang dapat dimanfaatkan dengan adanya sertifikasi ekolabel. Dalam konteks pembangunan daerah, sertifikasi ekolabel dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang mendera masyarakat.
Sertifikasi ekolabel dapat
dijadikan sebagai salah satu solusi dalam mengatasi masalah sosial yaitu ketahanan pangan, krisis energi, kemiskinan, dan perbaikan lingkungan. Sertifikasi ekolabel merupakan jaminan bahwa kelestarian sumberdaya hutan yang dikelola oleh masyarakat senantiasa memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian fungsi hutannya, yaitu fungsi produksi, fungsiekologi, dan fungsi sosial. Dengan demikian, sertifikasi ekolabel merupakan sebuah instrumen yang mempunyai dua tujuan utama yaitu melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan saat ini oleh semua pihak dalam rangka menuju pengelolaan hutan yang lestari dan bertanggung jawab. Menurut Raharjo (2003), merujuk dari makna bahwa “berbasis masyarakat” adalah proses sebuah pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, untuk menggeser perubahan sikap dan orientasi, mekanisme institusional dan administratif, dan metode manajemen maka yang perlu dipersiapkan pada praktik-praktik pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat, seperti Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Adat, Sistem Hutan Kerakyatan, sistem pengelolaan lokal maupun social forestry adalah : 1. Kepastian wilayah kelola jangka panjang. Kepastian wilayah kelola berkaitan dengan lahan dan akses masyarakat pada kawasan yang saat ini dinyatakan sebagai Hutan Negara, serta status dan fungsi lahan dan atau kawasan. Kepastian wilayah kelola yang dimaksud bukan membagi-bagikan kepemilikan lahan (owneship) tapi lebih pada kepastian akses pengelolaan jangka panjang.
Persoalan kepastian kelola
sampai saat ini belum dituntaskan oleh Pemerintah, seperti bentuk-bentuk pengelolaan oleh masyarakat yang diamanahkan dalam UU 41 Tahun 1999. 2. Kelembagaan unit usaha PSHBM. Kelembagaan unit usaha menjadi sangat penting sebagai alat bukti bahwa PHBM dapat mempunyai aturan main yang jelas dan dapat membangun mekanisme pertanggung-jawaban atas hak kelola yang diberikan. Aspek ini menjadi prasyarat yang harus dikembangkan berdasarkan kelembagaan lokal dari praktik-praktik pengelolaan hutan yang berbasis
masyarakat. Kejelasan tata kelola hak, kewajiban dan tanggung-jawab serta insentif dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan, menjadi dasar pengembagan kapasitas kelembagaan unit usaha PHBM. 3. Kepastian unit usaha PHBM sebagai bentuk pengelolaan. Kepastian unit usaha berkaitan dengan skim ekonomi dimana modal, pengetahuan lokal, akses informasi, pengembangan komoditi, dan pasar menjadi substansi dasar dalam praktik PHBM di lapangan. Kepastian unit usaha digunakan juga sebagai instrument dalam memlakukan mandate usaha ekonomi yang layak untuk dikelola dan memberikan kepastian hasil dan peningkatan ekonomi masyarakat. 4. Kapasitas sumberdaya manusia. Dalam pengembangan PHBM maka sumberdaya manusia pengelola dan pendamping teknis menjadi kebutuhan yang kuat, baik dari skill praktik praktik ekonomi, ekologi maupun equity (dalam pembagian resiko dan manfaat). Persiapan dalam peningkatan kapasitas sumberdaya manusia adalah prasyarat mutlak karena pengelolaan berbasis masyarakat saat ini sudah tidak lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten masyarakat tetapi lebih besar pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. 5.
Mekanisme penyelesaian sengketa lahan dan sosial dalam memberikan kepastian dan perlindungan hak pengelolaan dan unit usaha kelola. Penyelesaiakan sengketa yang berkaitan dengan akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dapat dijadikan isntrument untuk melakukan tahapan pergeseran perubahan sikap dan orientasi, mekanisme institusional dan administratif, dan metode manajemen
6.
Kebijakan yang mendorong dan melindungi kepastian hak dan insentif pengelolaan jangka panjang. PHBM juga dihadapkan pada kondisi sumberdaya yang semakin terbatas dan mengemban amanah untuk memperbaiki dari kerusakan kerusakan yang telah terjadi. Lebih lanjut LEI (2001) menjelaskan bahwa kebijakan-kebijakan pokok yang menjadi prasyarat menuju PHBM yang lestari adalah:
1. Adanya kepastian dalam penetapan kawasan atau penetapan tata ruang dalam suatu lingkungan daerah (wilayah) tertentu. Penetapan kawasan secara bersama ini akan dengan jelas menentukan mana saja kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan budidaya kehutanan (KBK), kawasan non budidaya kehutanan (KBNK), dan kawasan-kawasan yang dilindungi. 2. Adanya kepastian hak penguasaan atas lahan. 3.
Perlindungan terhadap pengetahuan lokal (indigenous intelectual property rights) yang berkaitan dengan PHBM; mulai dari sistem budidaya, pengolahan produk (products processing), sampai pemasaran.
4. Perlindungan terhadap intervensi, dominasi, dan monopoli dari perusahaanperusahaan skala besar dalam sistem produksi dan perdagangan baik pada level nasional maupun internasional. 5. Mendorong persaingan yang sehat, transparan, dan berkeadilan dalam sistem perdagangan hasil-hasil hutan. 6. Menghilangkan hambatan-hambatan prosedural (bureaucracy barrier) dalam perdagangan produk-produk PHBM. Di samping sejumlah intervensi kebijakan, dalam konteks pengembangan PHBM juga diperlukan proses pendampingan masyarakat yang intensif, baik oleh lembaga-lembaga
pemerintah
maupun
non
pemerintah.
Pendampingan
masyarakat ini diperlukan untuk menutup berbagai kelemahan dalam soal penetapan kawasan, pemenuhan kriteria-kriteria kelestarian pengelolaan hutan yang lestari, hingga mendorong pihak pembuat kebijakan untuk melahirkan sejumlah kebijakan yang dapat mengoptimalkan hasil-hasil dan manfaat PHBM.
BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS 8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM dalam Program PHBM Peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM belum sepenuhnya diikuti dengan terciptanya suatu sistem penilaian dan pengukuran perannya yang menyeluruh.
LSM sebagai lembaga pendorong sekaligus sebagai lembaga
penekan atas kebijakan pemerintah, seringkali menetapkan tujuan lembaga beserta program yang dijalankan bersifat jangka panjang yang sulit untuk dicapai dalam waktu yang singkat.
Sementara kebutuhan terhadap ukuran keberhasilan
pencapaian tujuan dan kinerja lembaga mempunyai peran yang sangat penting bagi keberlanjutan lembaga dan keberterimaan publik. Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan program PHBM, LSM mempunyai keragaman metode, pendekatan, dan sebaran wilayah yang berbeda-beda. Berdasarkan pengalaman LSM, pendampingan yang mengangkat isu konservasi melalui pendekatan ekologis memiliki tingkat kesulitan yang lebih besar dibandingkan dengan isu pendampingan teknis dan advokasi.
Hal ini
disebabkan isu konservasi masih sulit dimengerti dan diterima oleh masyarakat karena manfaat dan dampaknya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa masih adanya kesenjangan (gap) kapasitas atas pengetahuan dan pemahaman tentang teknis kehutanan dan advokasi, termasuk juga tentang konservasi, baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat LSM sendiri.
Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan
pemahaman serta pengalaman yang dimiliki baik oleh masyarakat dampingan maupun oleh tim pelaksana program. Sehingga hal ini akan menghambat proses pendampingan dalam program PHBM. Kebutuhan dan permasalahan yang terjadi yang berkaitan dengan pelaksanaan program PHBM di beberapa wilayah tidak adakan semua dapat terpenuhi dan terpecahkan oleh pihak pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu di kalangan masyarakat perlu ditumbuhkembangkan institusi lokal yang murni
muncul dari inisiatif masyarakat sendiri untuk memenuhi dan memecahkan berbagai kebutuhan dan permaslahan yang mereka hadapi sendiri. LSM, dalam konteks ini, hadir dan berperan untuk mengisi kekosongan institusional yang dapat memenuhi dan memecahkan kebutuhan dan permasalahan masyarakat yang memang belum dapat dipenuhi dan dipecahkan oleh pemerintah dan pihak swasta. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa masyarakat cenderung tidak dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan publik. Peran aktif dari LSM untuk senantiasa mendampingi masyarakat agar kebijakan terkait dengan publik (public policy) selalu berorientasi pada masyarakat serta mendukung terciptanya pemerintahan yang baik (good governance). Berdasarkan permasalahan diatas, maka diperlukan suatu rancangan program strategis dengan tujuan utama untuk meningkatkan peran LSM dalam menjalankan program PHBM. Rancangan program strategis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM diantaranya adalah: 5. Pengembangan Kapasitas dan Kelembagaan LSM 6. Pengembangan Pemberdayaan Kapasitas dan Kelembagaan Masyarakat Dampingan 7. Pengembangan Advokasi pada Pemerintah Daerah 8. Pengembangan Usaha Masyarakat Dampingan bersama Pihak Swasta 8.2. Prioritas Program Strategis 8.2.1. Perencanaan dan Pelaksanaan Program Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap peran LSM dalam program PHBM, maka dapat dirumuskan beberapa prioritas program strategis berdasarkan analisis LFA yang dapat dilakukan oleh beberapa pihak, diantaranya adalah masyarakat, LSM, pemerintah, dan swasta (Tabel 23). Tujuan utama dari program ini adalah untuk meningkatkan peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM di Indonesia. Indikator dari tujuan ini adalah meningkatnya kinerja dan dan peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM. Sementara alat verifikasi yang dapat dilakukan adalah meningkatnya kinerja LSM, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, meningkatnya kelestarian sumberdaya hutan, serta meningkatnya hubungan yang sinergi antara masyarakat,
LSM, swasta dan pemerintah. Asumsi dalam melaksanakan program ini adalah adanya kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang adil dan lestari serta tidak terjadi gejolak sosial politik yang mempengaruhi kinerja program Beberapa keluaran (output) dari program ini adalah: 1. Peningkatan kapasitas LSM dalam program PHBM 2. Peningkatan kapasitas masyarakat dalam program PHBM 3. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam program PHBM 4. Peningkatan kapasitas pihak swasta dalam program PHBM Sementara indikator pencapaian dari output tersebut diantaranya adalah: 1. Peningkatan kapasitas LSM dalam program PHBM, indikatornya adalah: a. Terselenggaranya pelatihan strategi advokasi yang diikuti oleh seluruh staf b. Terselenggaranya pelatihan mobilisasi sumberdaya yang diikuti oleh seluruh staf c. Terselenggaranya pelatihan strategi penggalangan dana yang diikuti oleh seluruh staf d. Terselenggaranya pelatihan teknis kehutanan yang diikuti oleh seluruh staf e. Terselenggaranya pelatihan pengembangan kawasan konservasi yang diikuti oleh seluruh staf f. Terselenggaranya pelatihan pengembangan PHBM yang diikuti oleh seluruh staf g. Terselenggaranya kajian kebijakan terkait dengan PHBM h. Terselengganaya lokalatih penyusunan peraturan daerah yang diikuti oleh seluruh staf i. Terbentuknya jaringan kerja antar LSM yang diikuti oleh seluruh staf 2. Peningkatan kapasitas masyarakat dalam program PHBM, indikatornya adalah: a. Terlaksananya sosialisasi teratur terhadap visi, misi dan prinsip-prinsip LSM kepada mayarakat b. Terlaksananya lokakarya pengembangan unit usaha ekonomi masyarakat c. Terlaksananya Pelatihan pengembangan PHBM d. Terlaksananya pelatihan penguatan kelembagaan masyarakat
3. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam program PHBM, indikatornya adalah: a. Terlaksananya pola kerjasama dan kemitraan dengan pemerintah daerah b. Terlaksananya public hearing dan seri dialog dengan pemerintah daerah terkait dengan program PHBM, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya hutan c. Terselenggaranya lokakarya penyusunan model PHBM yang lestari berbasis pola kemitraan 4.
Peningkatan kapasitas pihak swasta dalam program PHBM, indikatornya
adalah: a. Terlaksananya pola kemitraan dan kerjasama yang saling menguntungkan dalam pengembangan usaha masyarakat; b. Terlaksananya kegiatan advokasi kepada pihak swasta untuk turut serta dalam mengembangkan kelestarian sumberdaya alam Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dari program ini adalah: 1. Peningkatan kapasitas LSM dalam program PHBM, melalui kegiatan: a. Pelatihan strategi advokasi b. Pelatihan mobilisasi sumberdaya c. Pelatihan strategi penggalangan dana d. Pelatihan teknis kehutanan e. Pelatihan pengembangan kawasan konservasi f. Pelatihan pengembangan PHBM g. Kajian kebijakan terkait dengan PHBM h. Lokalatih penyusunan peraturan daerah i. Pembentukan jaringan kerja antar LSM 2. Peningkatan kapasitas masyarakat dalam program PHBM, melalui kegiatan: a. Sosialisasi teratur terhadap visi, misi dan prinsip-prinsip LSM kepada mayarakat b. Lokakarya pengembangan unit usaha ekonomi masyarakat c. Pelatihan pengembangan PHBM d. Pelatihan penguatan kelembagaan masyarakat
3.
Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam program PHBM, melalui
kegiatan: a. Melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah (Dinas Kehutanan, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Bupati, Gubernur, dan DPRD) b. Melakukan public hearing dan seri dialog dengan pemerintah daerah terkait dengan program PHBM, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya hutan c. Lokakarya penyusunan model PHBM yang lestari berbasis pola kemitraan 4. Peningkatan kapasitas pihak swasta dalam program PHBM, melalui kegiatan: a. Melakukan kemitraan kerjasama yang saling menguntungkan dalam pengembangan usaha masyarakat; b. Melakukan advokasi kepada pihak swasta untuk turut serta dalam mengembangkan kelestarian sumberdaya alam Untuk melakukan kegiatan tersebut, beberapa alat verifikasi yang dapat digunakan diantaranya adalah daftar hadir kegiatan, catatan hasil diskusi, dokumentasi kegiatan (foto), laporan kegiatan, laporan perkembangan program, catatan hasil pelatihan, modul/makalah/alat peraga pelatihan, booklet, dan CD interaktif. Prioritas program strategis ini dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi atas penekanan program-program yang dapat dijalankan oleh berbagai pihak dalam mewujudkan PHBM yang lestari dan masyarakat sejahtera. Sementara rencana pelaksanaan prioritas program strategis tersaji dalam Tabel 24. Program ini akan dijalankan selama 20 bulan dan disesuaikan dengan kondisi masingmasing daerah. 8.2.2. Monitoring dan Evaluasi Program Monitoring dan evaluasi ini diposisikan sebagai upaya penting dalam pengelolaan program ini dengan mendasarkan pada prinsip kesepakatan, keterbukaan, kesetaraan, tanggung gugat, partisipasi, kejujuran dan keterpaduan. Monitoring dan evaluasi ini akan dilakukan secara bertingkat dan dilakukan pada interval waktu tertentu yang disepakati diantara para pihak.
Pemantauan (monitoring) dilakukan melalui refleksi bulanan di tingkat tim pelaksana program (TPP) dan pertemuan bulanan. Monitoring ini dilakukan untuk memastikan bahwa apa yang dilakukan adalah sesuai dengan yang direncanakan, dan berbagai perkembangan lapangan bisa ditindaklanjuti secara baik agar selaras dengan pencapaian tujuan program. Untuk mengefektifkan proses dan hasil monitoring maka instrumen, cara, dan waktu serta peserta monitoring akan disepakati antara TPP dan mitra. Sekaligus untuk memperbesar akses dan kontrol masyarakat pada proses ini maka perencanaan dan pelaksanaan monitoring ini sejauh mungkin didekatkan pada komunitas program. Monitoring dilakukan pada tiap semester di tingkat program. Evaluasi sebagai upaya penilaian melalui pembandingan antara hasil yang dicapai dengan hasil yang ditetapkan akan dilakukan secara bertingkat dan bertahap dalam waktu 6 bulan sekali pada tingkat program. Tingkat evaluasi dilakukan pada tingkat kelompok, program dan dengan mitra.
Tabel 23. Matrik Perencanaan Program Indikator Tujuan Meningkatkan peran LSM dalam Pelaksanaan program PHBM di Indonesia
Alat Verifikasi
Asumsi
• Meningkatnya kinerja dan dan peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM
• Meningkatnya kinerja LSM • Meningkatnya kesejahteraan masyarakat • Meningkatnya kelestarian sumberdaya hutan • Meningkatnya hubungan yang sinergi antara masyarakat, LSM, swasta dan pemerintah
• Adanya kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang adil dan lestari • Tidak terjadi gejolak sosial politik yang mempengaruhi kinerja proyek
• Terselenggaranya pelatihan strategi advokasi yang diikuti oleh seluruh staf • Terselenggaranya pelatihan mobilisasi sumberdaya yang diikuti oleh seluruh staf • Terselenggaranya pelatihan strategi penggalangan dana yang diikuti oleh seluruh staf • Terselenggaranya pelatihan teknis kehutanan yang diikuti oleh seluruh staf • Terselenggaranya pelatihan pengembangan kawasan konservasi yang diikuti oleh seluruh staf • Terselenggaranya pelatihan pengembangan PHBM yang diikuti oleh seluruh staf • Terselenggaranya kajian kebijakan terkait dengan PHBM • Terselengganaya lokalatih penyusunan peraturan daerah yang diikuti oleh seluruh staf • Terbentuknya jaringan kerja antar LSM yang diikuti oleh seluruh staf
• • • • •
• Inisiatif kegiatan didukung dan dipahami secara positif oleh seluruh pengurus LSM • Kesadaran seluruh pengurus LSM untuk menerima proses peningkatan kapasitas personel
Keluaran/Output [1] Peningkatan kapasitas LSM dalam program PHBM
• • • •
Daftar hadir kegiatan Catatan hasil diskusi Dokumentasi kegiatan (foto) Laporan Kegiatan Laporan Perkembangan Program Catatan hasil pelatihan Modul/makalah/alat peraga pelatihan Booklet CD Interaktif
Indikator
Alat Verifikasi
Asumsi • Inisiatif kegiatan didukung dan dipahami secara positif oleh masyarakat • Kesadaran masyarakat untuk menerima proses peningkatan kapasitas dalam program PHBM
[2] Peningkatan kapasitas masyarakat dalam program PHBM
• Terlaksananya sosialisasi teratur terhadap visi, misi dan prinsip-prinsip LSM kepada mayarakat • Terlaksananya lokakarya pengembangan unit usaha ekonomi masyarakat • Terlaksananya Pelatihan pengembangan PHBM • Terlaksananya pelatihan penguatan kelembagaan masyarakat
• Daftar hadir kegiatan • Daftar hadir kegiatan diskusi kelompok • Dokumentasi foto kegiatan • Catatan hasil diskusi kelompok • Catatan hasil pelatihan dan lokakarya • Modul/makalah/alat peraga pelatihan • Booklet • CD Interaktif • Laporan Kegiatan • Laporan Perkembangan Program
[3] Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam program PHBM
• Terlaksananya pola kerjasama dan kemitraan dengan pemerintah daerah • Terlaksananya public hearing dan seri dialog dengan pemerintah daerah terkait dengan program PHBM, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya hutan • Terselenggaranya lokakarya penyusunan model PHBM yang lestari berbasis pola kemitraan
• • • • • • • • •
Daftar hadir kegiatan Dokumentasi foto kegiatan Catatan hasil diskusi Catatan hasil lokakarya Modul/makalah/alat peraga Booklet CD Interaktif Laporan Kegiatan Laporan Perkembangan Program • Tersedia rumusan model PHBM yang lestari berbasis pola kemitraan
[4] Peningkatan kapasitas pihak swasta dalam program PHBM
• Terlaksananya pola kemitraan dan kerjasama yang saling menguntungkan dalam pengembangan usaha masyarakat; • Terlaksananya kegiatan advokasi kepada pihak swasta untuk turut serta dalam
• • • • •
Daftar hadir kegiatan Dokumentasi foto kegiatan Catatan hasil diskusi Laporan Kegiatan Laporan Perkembangan
• Inisiatif kegiatan didukung dan dipahami secara positif oleh pemerintah daerah • Kesadaran pemerintah daerah untuk menerima proses peningkatan kapasitas dalam program PHBM
• Inisiatif kegiatan didukung dan dipahami secara positif oleh pihak swasta • Kesadaran pihak swasta untuk menerima proses peningkatan
Indikator
Alat Verifikasi
mengembangkan kelestarian sumberdaya alam Kegiatan [1] Peningkatan kapasitas LSM dalam program PHBM a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Pelatihan strategi advokasi Pelatihan mobilisasi sumberdaya Pelatihan strategi penggalangan dana Pelatihan teknis kehutanan Pelatihan pengembangan kawasan konservasi Pelatihan pengembangan PHBM Kajian kebijakan terkait dengan PHBM Lokalatih penyusunan peraturan daerah Pembentukan jaringan kerja antar LSM
a. b. c. d.
kapasitas dalam program PHBM
Input • • • • • • • •
Sosialisasi teratur terhadap visi, misi dan prinsip-prinsip LSM kepada mayarakat Lokakarya pengembangan unit usaha ekonomi masyarakat Pelatihan pengembangan PHBM Pelatihan penguatan kelembagaan masyarakat
[2] Peningkatan kapasitas masyarakat dalam program PHBM
Program
Asumsi
Fasilitator Pengurus LSM Bahan bacaan pelatihan Perlengkapan fasilitasi (ATK) Alat peraga Transportasi Tempat pertemuan Konsumsi pertemuan
• Inisiatif kegiatan didukung dan dipahami secara positif oleh seluruh pengurus LSM • Kesadaran seluruh pengurus LSM untuk menerima proses peningkatan kapasitas personel
Masyarakat lokal Percetakan untuk Booklet Fasilitator pelatihan Transportasi Akomodasi Konsumsi Bahan-bahan pelatihan (modul dan bahan bacaan) Alat peraga
• Inisiatif kegiatan didukung dan dipahami secara positif oleh masyarakat • Kesadaran masyarakat untuk menerima proses peningkatan kapasitas dalam program PHBM
Indikator [3] Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam program PHBM a.
b.
c.
Melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah (Dinas Kehutanan, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Bupati, Gubernur, dan DPRD) Melakukan public hearing dan seri dialog dengan pemerintah daerah terkait dengan program PHBM, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya hutan Lokakarya penyusunan model PHBM yang lestari berbasis pola kemitraan
[4] Peningkatan kapasitas pihak swasta dalam program PHBM a. Melakukan kemitraan kerjasama yang saling menguntungkan dalam pengembangan usaha masyarakat; b. Melakukan advokasi kepada pihak swasta untuk turut serta dalam mengembangkan kelestarian sumberdaya alam
Alat Verifikasi
Asumsi
• • • • • •
Aparat pemerintah daerah Fasilitator Perlengkapan fasilitasi (ATK) Transportasi Tempat pertemuan Konsumsi pertemuan
• Inisiatif kegiatan didukung dan dipahami secara positif oleh pemerintah daerah • Kesadaran pemerintah daerah untuk menerima proses peningkatan kapasitas dalam program PHBM
• • • • • •
Para pengusaha Fasilitator Perlengkapan fasilitasi (ATK) Transportasi Tempat pertemuan Konsumsi pertemuan
• Inisiatif kegiatan didukung dan dipahami secara positif oleh pihak swasta • Adanya kesadaran pihak swasta untuk menerima proses peningkatan kapasitas dalam program PHBM
Tabel 24. Rencana Kegiatan Program Bulan keNo
Kegiatan 1
1
2
3
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Peningkatan kapasitas LSM dalam program PHBM a.
Pelatihan strategi advokasi
b.
Pelatihan mobilisasi sumberdaya
c.
Pelatihan strategi penggalangan dana
d.
Pelatihan teknis kehutanan
e.
Pelatihan pengembangan kawasan konservasi
f.
Pelatihan pengembangan PHBM
g.
Kajian kebijakan terkait dengan PHBM
h.
Lokalatih penyusunan peraturan daerah
i.
Pembentukan jaringan kerja antar LSM
x x x x x x x x x
Peningkatan kapasitas masyarakat dampingan dalam program PHBM a. Sosialisasi teratur terhadap visi, misi dan prinsip-prinsip LSM x kepada mayarakat b. Lokakarya pengembangan unit usaha ekonomi masyarakat c.
Pelatihan pengembangan PHBM
d.
Pelatihan penguatan kelembagaan masyarakat
x
x
x
x
x
x
x x
x
x
x
x
Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam program PHBM a. b.
c.
Melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah (Dinas Kehutanan, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Bupati, Gubernur, dan DPRD) Melakukan public hearing dan seri dialog dengan pemerintah daerah terkait dengan program PHBM, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya hutan Lokakarya penyusunan model PHBM yang lestari berbasis
x x
x
x x
x
x x
x
x x
x
x x
x
x x x
x
x x
x
x x
x
x x
x
x x
x
Bulan keNo
4
Kegiatan 2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
pola kemitraan Peningkatan kapasitas pihak swasta dalam program PHBM a.
5
1
Melakukan kemitraan kerjasama yang saling menguntungkan dalam pengembangan usaha masyarakat; b. Melakukan advokasi kepada pihak swasta untuk turut serta dalam mengembangkan kelestarian sumberdaya alam Monitoring dan Evaluasi
X
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Monev manajemen dan kunjungan lapangan
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
BAB IX KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan
hasil
penelitian peran LSM dalam program PHBM melalui proses
pengolahan data dan dengan analisis hasil yang diperkuat dengan referensi yang ada, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pada prinsipnya peran LSM dalam proyek UNDP adalah untuk membantu masyarakat dalam memperoleh pengakuan dalam bentuk terbukanya akses terhadap sumberdaya hutan dari pemerintah, 2. Peran LSM dalam mengusung program di bidang konservasi lebih sulit diterima oleh masyarakat dari pada program di bidang ekonomi, 3. Masih adanya gap pengetahuan dan pemahaman tentang teknis kehutanan dan advokasi baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat LSM, 4. Sebagian besar (5 LSM) mempunyai kinerja yang baik dalam pelaksanaan program PHBM yang didanai UNDP dan sebanyak 2 LSM masing-masing memiliki kinerja yang cukup baik dan kurang baik, 5. Pengembangan institusi lokal dipengaruhi oleh faktor kondisi sumberdaya lokal, faktor ekonomi-politik internasional, nasional dan lokal, serta faktor sosial-politik lokal 6. Keberhasilan atau kegagalan kinerja LSM tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja LSM-nya saja, namun juga oleh kinerja pihak lainnya, terutama pemerintah. 7. Strategi peningkatan peran LSM dalam pelaksanaan PHBM dalam konteks pembangunan daerah dapat dilakukan melalui beberapa hal, yaitu pengembangkan kapasitas dan kelembagaan LSM, pengembangan pemberdayaan kapasitas dan kelembagaan masyarakat dampingan, pengembangan advokasi pada pemerintah daerah, dan pengembangan usaha masyarakat dampingan bersama pihak swasta. 9.2. Implikasi Kebijakan Untuk mengimplementasikan strategi peningkatan peran LSM dalam program PHBM, maka dapat dirumuskan implikasi kebijakan sebagai berikut:
1. Kebijakan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi aparat pemerintah daerah yang terkait dengan program PHBM yang relevan dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi daerahnya masing-masing, 2. Kebijakan untuk mendukung implementasi program PHBM melalui peningkatan anggaran pemerintah daerah untuk program PHBM dengan tujuan unutk melestarikan sumberdaya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, 3. Kebijakan untuk melibatkan stakeholder lainnya (masyarakat, LSM, dan pihak swasta) dalam setiap penyusunan kebijakan yang menyangkut program PHBM dan pengembangan masyarakat, 4. Kebijakan untuk melakukan sosialisasi terhadap kebijakan yang terkait dengan program PHBM secara terus menerus dalam rangka mempromosikan pengelolaan sumberdaya hutan secara adil dan berkelanjutan. 9.3. Rekomendasi Berdasarkan analisis dan kesimpulan yang diuraiakn diatas, maka dapat dirumuskan rekomendasi sebagai berikut: 1. Bagi LSM a. perlu meningkatkan basis pengetahuan dasar, pemahaman, dan kompetensi dalam program PHBM, b. perlu mengembangkan jaringan (networking) yang lebih luas, c. perlu memperluas dampak positif dari pelaksanaan program PHBM, d. perlu mengembangkan sumber dana mandiri untuk mengurangi ketergantungan pada lembaga donor, dan e. perlu menyusun dan mengembangkan instrumen evaluasi kinerja dari pelaksanaan program-programnya 2. Bagi Pemerintah a. perlu meningkatkan kualitas pelayanan, kompetensi dan partisipasi, b. perlu membuat kebijakan mendukung hutan lestari & masyarakat sejahtera c. perlu memberikan akses ke hutan bagi masyarakat yang terbukti lestari 3. Bagi Lembaga Donor a. perlu meningkatkan perhatian pada peran LSM dan pemerintah daerah dan b. perlu membuat strategi keberlanjutan program
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Hamid ; Mimin Rukmini (editor). 2004a. Kritik dan Otokritik LSM : Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Piramedia, Jakarta. ___________ . 2004b. Akuntabilitas dan Transparansi LSM : Problem dan Ikhtiar dalam Abidin, Hamid ; Mimin Rukmini (editor). Kritik dan Otokritik LSM : Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Piramedia, Jakarta. Abidin, Hamid, dkk. 2004a. Menggalang Dana Menuju Perubahan Sosial. Seri Penggalangan Dana Advokasi. Piramedia. Jakarta. Afiff, Suraya dan R. Yando Zakaria (eds). 2007. Hutan dan Masyarakat: Mendorong Pengelolaan Hutan oleh Rakyat. KARSA kerjasama dengan SGPPTF UNDP – EC – SEAMEO. Yogyakarta Alimaturahim. 2002. Pengelolaan Pembangunan yang Akuntabel : Pengalaman Ornop di Lapangan dalam Laporan Lokakarya Akuntabilitas Publik Ornop : Isu dan Prakteknya. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta. Arifin, Johar. 2005. Aplikasi Excel dalam Statistik dan Riset Terapan. Elex Media Komputindo. Jakarta Bappenas. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020, IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) Dokumen Nasional, Pemerintah Republik Indonesia. Bappenas. Jakarta. Baswir, Revrisond. 2004. Problematika LSM di Indonesia dalam Abidin, Hamid ; Mimin Rukmini (editor). Kritik dan Otokritik LSM : Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Piramedia, Jakarta. Bayunanda, Aditya. 2008. Analisis Kinerja Terpadu Dengan Balanced Scorecard (BSC) Pada Organisasi Nirlaba: Studi Kasus Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Bogor Brown, T. 2004. Analisys of Population and Poverty in Indonesia’s Forest. Draf. Natural Resources Management Program Report, Jakarta in Wolenberg, Eva dkk. 2004. Mengapa kawasan hutan penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia? Governance Brief, Desember 2004, Nomor 4 (i). C Korten, David. 1993. Menuju Abad ke-21 Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Culla, Adi Suryadi. 2006. Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan LP3ES. Jakarta Departemen Kehutanan. 2003. Data Statistik Kehutanan Tahun 2007. Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Badan Planologi
Departemen Kehutanan. 2004. Belajar dari Praktisi Lokal. Direktorat Bina Hutan Kemasyarakatan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial kerjasama dengan Ford Foundation. Jakarta
Departemen Kehutanan. 2005. Kumpulan Laporan Studi Lapang Praktik-Praktik Social Forestry. Direktorat Bina Hutan Kemasyarakatan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan bekerjasama dengan The Ford Foundation. Departemen Kehutanan. 2007. Data Statistik Kehutanan Tahun 2007. Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Badan Planologi
Djohani, Rianingsih. 2003. Partisispasi, Pemberdayaan, dan Demokrastisasi Komunitas: Reposisi Participatory Rural Appraisal (PRA) dalam Program Pengembangan Masyarakat. Studio Driya Media untuk Konsorsium Pengembangan Masyarakat Nusa Tenggara (KPMNT). Bandung Eldridge, Philip. 2006. Ornop dan Negara dalam Culla, Adi Suryadi. Rekonstruksi Civil Society : Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. LP3ES, Jakarta. Emrich, K.R. 1997. Participation: Cure or White Wash dalam Inayatullah (ed). Approach to Rural Development: Some Asian Experiences. ADPAC. Kuala Lumpur. Fakih, Mansour. 1996. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial : Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. FWI/GFW. 2001. The state of the forest : Indonesia. Bogor, Indonesia : Forest Watch Indonesia and Washington D.C. : Global Forest Watch GEF SGP. 2007. Sumbangan Rakyat Membangun Masa Depan: Pengalaman Mengelola Dana Kecil untuk Lingkungan. Global Environment Facility Small Grants Programme. Jakarta. Hadar, Ivan A. 2004. LSM: Lobi bagi Akar Rumput dalam Dharmawan, HCB. LSM: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesejahteraan. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta Hadiwinata, B.S. 2003. The Politics of NGOs in Indonesia: Developing Democracy and Managing a Movement. London. Routhedge Curzon. Halim, Pahir (2000). Mencermati Dinamika Pergerakan Ornop Sulsel dalam Prosiding Seminar Wawasan tentang LSM Indonesia : Sejarah, Perkembangan, serta Prospeknya. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta. Herlina, Lusi. 2005. KPPM, Refleksi Pembelajaran Good NGO Governance dalam Majalah GALANG, Edisi 2 tahun IV, Desember 2004 – Februari 2005. Hermawan, Dedy. 2004. Kontrol Publik terhadap LSM dalam Abidin, Hamid ; Mimin Rukmini (editor). Kritik dan Otokritik LSM : Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Piramedia, Jakarta. Ibrahim, Rustam ; Abdi Suryaninghati ; Tom Malik. 2004. Governance dan Akuntabilitas LSM Indonesia. Diterbitkan untuk Pembentukan Kelompok Kerja Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), Jakarta. Ibrahim, Rustam. 2000. Direktori Organisasi Sumberdaya Masyarakat Sipil: Indonesia. The Synergos Institute. Series on Foundation Building in Southeast Asia. Ibrahim, Rustam; Abdi Suryaninghati; dan Tom Malik. 2004. Governance dan Akuntabilitas LSM Indonesia. Diterbitkan untuk Pembentukan Kelomok Kerja Organisasi Masyarakat Sipil. Jakarta. Kas, Bachtiar. 2005. Menuju LSM yang Transparan dan Akuntabel dalam Majalah GALANG, Edisi 2 tahun IV, Desember 2004 – Februari 2005.
Kertati, Indra dkk. 2007. Pengelolaan Kawasan Sabuk Hijau Berbasis Masyarakat Pantai. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Pembangunan (LPPSP). Semarang. Korten, David. 1993. Menuju Abad ke-21 Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Kusumanto, T., E. E. Yuliani., P. Macoun., Y. Indriatmoko., and H. Adnan. 2006. Learning to Adapt: managing Forest together in Indonesia. CIFOR. Bogor. Kuswardono, Pantoro Tri. 2004. Pengerahan Sosial dari Utara ke Selatan: Kebun Binatang atau Eksperimen Sosial? Dalam Wacana Edisi 16 Tahun IV 2004. LEI. 1998. Naskah Akademis Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam ProduksiLestari. Lembaga Ekolabel Indonesia. Bogor. LEI. 2001. Naskah Akademis Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari. Lembaga Ekolabel Indonesia. Bogor. Lembaga Demos. 2004. Majalah Tempo edisi 13 Desember 2004. Perwakilan Politik. Jakarta
Macetnya Sistem
Li, Tania M. 2001. Masyarakat adat, difference, and the limits of recognition in Indonesia’s forest zone, Modern Asian Studies 35 (3): 645-676 dalam Afiff, Suraya dan R. Yando Zakaria (eds). 2007. Hutan dan Masyarakat: Mendorong Pengelolaan Hutan oleh Rakyat. KARSA kerjasama dengan SGPPTF UNDP – EC – SEAMEO. Yogyakarta LP3ES. 2001. Direktory of Funding Agencies in Indonesia. Jakarta. Lubis, Z. B. 2000. Menyelaraskan Pola dan Ruang Pengelolaan Sumberdaya Milik Komunal. Seri Kajian Komuniti Forestri. Seri III/Tahun 2, Februari 2000. LATIN. Bogor. Malik, Ichsan. 2004. Pasang Surut LSM di Indonesia dalam Dharmawan, HCB (editor). 2004. Lembaga Swadaya Masyarakat Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan. PT Kompas Media Nusantara, Jakarta. Masduki, Teten. 2002. Public Accountability Ornop dalam Laporan Lokakarya Akuntabilitas Publik Ornop : Isu dan Prakteknya. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta. Ostrom, Elinor. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institution for Collective Action. Cambridge University Press dalam Afiff, Suraya dan R. Yando Zakaria (eds). 2007. Hutan dan Masyarakat: Mendorong Pengelolaan Hutan oleh Rakyat. KARSA kerjasama dengan SGPPTF UNDP – EC – SEAMEO. Yogyakarta Prayitno, Subagio Budi. 2005. Mengembangkan Akuntabilitas Jaringan OMS dalam Majalah GALANG, Edisi 2 tahun IV, Desember 2004 – Februari 2005. Prihatna, Andy Agung dan Kurniawati. 2005. Peduli dan Berbagi : Pola Perilaku Masyarakat Indonesia dalam Berderma. Hasil Survei di 11 Kota (2000 – 2004). PIRAMEDIA, Jakarta. Raharjo, D. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat: Wacana atau Pilihan?. Makalah Seminar ‘’Hutan Desa: Alternatif Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, 23 April 2003. Yayasan Damar. Yogyakarta. Rochman, Meuthia Ganie. 2002. An Uphill Struggle: Advocacy NGOs Under Soeharto¢s New Order. Lab. Sosio FISIP. UI. Depok
Sadewo, B Wahyu. 2005. Mengukur Tingkat Transparansi dan Akuntabilitas LSM : Sejarah Perkembangan Instrumen TANGO dalam Majalah GALANG, Edisi 2 tahun IV, Desember 2004 – Februari 2005. Saidi, Zaim. 2004a. Menuju Keberlanjutan Lembaga Nirlaba dalam Lisa Cannon. 2004. Menjadi Ornop Mandiri. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Saidi, Zaim. 2004b. Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM dalam Abidin, Hamid ; Mimin Rukmini (editor). Kritik dan Otokritik LSM : Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Piramedia, Jakarta. Saidi, Zaim; As’ad Nugroho; dan Hamid Abidin. 2004a. Merebut Hati Lembaga Donor. Kiat Sukses Pengembangan Program. Manual dan Panduan Menyusun Pproposal dengan Teknik Analisis Kerangka Logis. Piramedia. Jakarta. Saidi, Zaim; Hamid Abidin; dan Kurniawati (Penyunting). 2004 b. Membangun Kemandirian Berkarya: Potensi dan Pola Derma serta Penggalangannya di Indonesia. PIRAC didukung dengan Ford Foundation. Jakarta Santika, Adhi. 2004. Akuntabilitas dan Transparansi LSM : Beberapa Sumbangan Pemikiran dalam Abidin, Hamid ; Mimin Rukmini (editor). 2004. Kritik dan Otokritik LSM : Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Piramedia, Jakarta. Setiawan, Bonnie. 2000. Perjuangan Demokrasi dan Masyarakat Sipil: Reposisi dan Peran Ornop/LSM di Indonesia. INFID. SGPPTF. 2005. Pendanaan Kecil untuk Menunjang Pelestarian Hutan Tropis di Indonesia: Pemanggilan Proposal. Searca–EU-UNDP. Jakarta. SKEPHI. 2007. Press Release: Refleksi Akhir Tahun 2007: Perusakan Hutan Gagal Dicegah dan Dikurangi dalam http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&mediaID=M0001&ikey=2 diakses tanggal 9 Februari 2008. SMERU. 2000. Prosiding Seminar Wawasan tentang LSM Indonesia : Perkembangan, serta Prospeknya. Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta.
Sejarah,
Suharjito, D. 2006. Berbagi Pengalaman Pendampingan Masyarakat Desa dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat, Fakultas Kehutanan IPB bekerjasama dengan Debut Press Jogjakarta. Suharjito, D., K. Aziz., W.A. Djatmiko,. M.T. Sirati., dan S. Evelyna. 2000. Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. FKKM dan Ford Foundation. Jakarta Sumarto, Hetifah Sj. 2003. Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sunderlin, W.D., Resosudarmo, I.A.P., Rianto, E. and Angelsen, A. 2000. The Effect of Indonesia’s Economic Crisis on Small Farmers and Natural Forest Cover in the Outher Islands. Occasional Paper 28 (E). Bogor, CIFOR. SUSANTO, RONI DWI. 2003. PEMANTAUAN DAN EVALUASI KINERJA: TIPS MEMILIH INDIKATOR KINERJA DALAM WWW.BAPPENAS.GO.ID/INDEX.PHP?MODULE=FILEMANAGER&FUNC= DOWNLOAD&PATHEXT=CONTENTEXPRESS/&VIEW=411/ DIAKSES TANGGAL 1 DESEMBER 2008.
Tambun, W et.al. 2007. Community-based Forest management Practices: Local Effect with Global Impacts throught Contributions for Climate Change Mitigation and Adaptation. Ministry of Forestry, SMCP GTZ and Partneship for Governance Reform in Indonesia. The Asia Foundation (TAF). 2008. dalam www.asiafundation.org Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik. 2004. Mengapa LSM Membutuhkan Kode Etik ? dalam Abidin, Hamid ; Mimin Rukmini (editor). Kritik dan Otokritik LSM : Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia. Piramedia, Jakarta. Tim Karsa. 2007. Inisiatif Lokal dalam Mozaik Kehutanan Indonesia. Karsa bekerjasma dengan SGP PTF UNDP-EC-SEAMEO SEARCA. Yogyakarta. Tonny, Fredian. 2007. Metodologi Kajian Pembangunan Daerah. Bahan Kuliah SEP300. Manajemen Pembangunan daerah. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor Widjajanti, Darwina. 2006. Rencana Strategis Fundraising: 10 Langkah Praktis dalam Menyusun Dokumen Rencana Strategis Penggalangan Dana bagi Organisasi Nirlaba. Piramedia. Jakarta. Wirasapoetra, Koesnadi. 2004. Interaksi Donor-donor Kalimantan Timur dalam WACANA Edisi 16, Tahun IV 2004. Yapim. 2006. Direktori Funding Agency. Malang. Yayasan Tifa. 2006. Mengukur Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Partisipatif. Edisii Revisi. Jakarta
Suatu Metode
Lampiran 1. Identifikasi fokus proyek dari LSM Kehutanan yang Menjadi Mitra SGPPTF UNDP periode 2005 - 2007 No
Nama LSM
Wilayah
1 2 3 4 5
LPPSP Lembah Mitra Bentala Persepsi Paramitra
Jawa Tengah Jawa Timur Lampung Jawa Tengah Jawa Timur
6
SHK Lestari
Lampung
7
OPANT
Sulawesi Tengah
8
Jambata
Sulawesi Tengah
9
FKKM Sulteng
Sulawesi Tengah
10 11
YBL Masta RMI
Jawa Tengah Jawa Barat
12 13
Watala Latin
Lampung Jawa Barat
14
Peka Indonesia
Jawa Barat
15
Nastari-ICBB
Jawa Barat
16
Silvagama
Jawa Tengah
17
Walhi Sumsel
Sumatera Selatan
18
Lampung
19
Walhi Lampung PMPRD
Lampung
20
Kanopi
Jawa Barat
21
KTH Lembah Seulawah KTH Flora 2000 AMAN Huma Karsa
Aceh
22 23 24 25
Aceh Jakarta Jakarta Sulawesi Tengah
Isu pokok (fokus proyek) Konservasi di sabuk hijau mangrove Konservasi di lahan milik dan hutan lindung Konservasi mangrove di hutan lindung Pendampingan teknis sertifikasi ekolabel di lahan milik Pendampingan teknis pola kemitraan di lahan milik dan hutan produksi Pendampingan teknis ekowisata di Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman Pendampingan teknis tentang pengembangan kapasitas perempuan di Taman Nasional Lore Lindu Pendampingan teknis tentang pemanfaatan hasil hutan non kayu (HHNK) di Taman Nasional Lore Lindu Pendampingan teknis melalui agroforestry di daerah penyangga Taman Nasional Lore Lindu Advokasi tanah simpen di hutan produksi Advokasi masyarakat adat di Taman Nasional Gunung Salak-Halimun Advokasi hutan kemasyarakatan di hutan lindung Advokasi masyarakat sekitar hutan di hutan produksi Perhutani Advokasi untuk memperoleh hak kelola di hutan koridor Gunung Salak-Halimun Advokasi untuk memperoleh hak kelola di hutan lindung Sanggabuana, Perhutani Advokasi masyarakat sekitar hutan di hutan produksi Perhutani Advokasi masyarakat sekitar hutan di hutan produksi bekas pertambangan Advokasi komunitas desa hutan di Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman Advokasi masyarakat krui di kawasan hutan negara dengan tujuan istimewa (KDTI) Advokasi melalui sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai Penanaman pohon kemiri di hutan milik [kategori bukan LSM] Pembuatan kebun bibit desa di lahan milik [kategori bukan LSM] Penelitian tentang penguatan aspek sosial komunitas adat Penelitian tentang tatanan kehutanan yang berkeadilan Penelitian tentang konsepsi PHBM
Sumber: Diolah dari proposal LSM-LSM yang menjadi mitra SGP PTF – UNDP periode 2005 - 2007
Lampiran 2. Pedoman Pertanyaan Umum untuk LSM Visi dan Misi 1. Bagaimana pengalaman LSM dalam melakukan program PHBM? 2. Bagaimana relevansi Visi dan Misi lembaga dengan program PHBM? 3. Apakah selama ini pernah terjadi perubahan Visi dan Misi lembaga? Program 4. Apakah LSM mempunyai kebijakan tentang perencanaan atau desain program PHBM jangka panjang (minimal 3 tahun) yang disusun secara partisipatif dan sesuai dengan persoalan serta kebutuhan yang terjadi di masyarakat? 5. Apakah masyarakat dilibatkan dalam penyusunan proposal untuk program PHBM? 6. Bagaimana upaya LSM agar masyarakat tertarik dengan program PHBM? 7. Mengapa LSM tertarik dengan isu konservasi/pendampingan teknis/advokasi terhadap program PHBM? 8. Bagaimana sistem monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program PHBM? 9. Bagaimana strategi keberlanjutan program PHBM? Sumber Daya Manusia 10. Berapa orang yang terlibat dalam program PHBM? 11. Bagaimana pengalaman orang yang terlibat dalam program PHBM? 12. Bila orang yang terlibat dalam program PHBM tidak/kurang berpengalaman, bagaimana lembaga menyikapinya? Keuangan 13. Siapa saja lembaga donor yang mendanai program PHBM? 14. Bagaimana perbandingan anggaran antara kegiatan untuk masyarakat dengan kebutuhan LSM yang digunakan untuk program PHBM? 15. Bagaimana pola penggalangan dana untuk kelanjutan program PHBM? Governance 16. Apakah LSM menyusun laporan tahunan untuk program dan keuangan? 17. Bila ada, apakah laporan tahunan tersebut dipublikasikan? PEDOMAN PERTANYAAN UNTUK MASYARAKAT 1. Sejak kapan masyarakat melakukan praktek PHBM? 2. Apakah masyarakat tertarik dengan isu pokok yang diangkat oleh LSM (konservasi/pendampingan teknis/advokasi)? 3. Apakah program PHBM merupakan kebutuhan masyarakat? 4. Apakah masyarakat dilibatkan dalam penyusunan proposal? 5. Apakah masyarakat dilibatkan dalam monitoring dan evaluasi program PHBM? 6. Apakah program PHBM yang didampingi LSM telah memberikan manfaat bagi masyarakat?
Lampiran 3. Kuesioner untuk Responden Penelitian
PENGANTAR PENELITIAN
Bapak/Ibu/Saudara Yth, Perkenankan saya, Nama : Wahyu F Riva Institusi : Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) Alamat : Taman Bogor Baru B IV/12, Bogor saat ini sedang menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Magister Manajemen Pembangunan Daerah (MPD) Institut Pertanian Bogor (IPB). Untuk kepentingan tersebut, saya sedang mengadakan penelitian tentang Analisis Kinerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di Indonesia (Studi Kasus di Wilayah Jawa dan Lampung). Penelitian ini melibatkan 9 LSM Kehutanan yang tersebar di 4 propinsi yaitu di Jawa Tengah: Persepsi, LPPSP, dan YBL Masta; di Jawa Barat: RMI; di Jawa Timur: Paramitra dan Lembah; di Lampung: SHK Lestari, Mitra Bentala, dan Watala. Penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan proyek SGPPTF UNDP yang dilakukan antara tahun 2005 – 2007 dengan tema Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat Terpadu. Untuk itu, saya mohon kesediaan Bapak/ Ibu/ Saudara untuk berpartisipasi dalam penelitian saya ini dengan mengisi kuisioner ini secara lengkap dan benar. Demikian dari saya, atas perhatian dan kerjasama yang baik diucapkan terimakasih. Bogor, Desember 2008 Salam hormat, Wahyu F Riva Mahasiswa Program Magister MPD – IPB Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) - Bogor
LEMBAR KUESIONER Tanggal Penilaian Penilai
: ………………………….. : …………………………..
A. Bidang Umum Nama Lembaga Alamat Lembaga Sejarah berdirinya Lembaga (sebelum dan/atau sesudah mendapatkan akta notaries) Visi Lembaga
Misi Lembaga
Tujuan Lembaga
Status Lembaga saat ini Wilayah Kerja Ketua/Direktur saat ini Jumlah Karyawan Jumlah pelaksana proyek SGPPTF Sumber dana dan tahun mulai terlibat dalam program PHBM sebelum proyek SGPPTF Sumber dana dan periode tahun yang mendukung program PHBM setelah proyek SGPPTF
Yayasan/Perkumpulan/….
B. Bidang Khusus Petunjuk: 1. Berikan tanda (warna atau huruf tebal) pada jawaban yang paling tepat dan paling sesuai dengan kondisi lembaga Bpk/Ibu/Sdr. Mohon memberikan alasan/keterangan pada jawaban yang dipilih. 2. Bila terdapat kondisi dimana jawaban berada diantara 2 pilihan (antara a dan b, atau b dan c), maka mohon memberikan jawaban yang paling mendekati diantara kedua kondisi itu. 3. Mohon memberikan alasan/argumen untuk setiap jawaban, termasuk bila terjadi kondisi seperti yang dijelaskan dalam point 2 diatas. 4. Sekali lagi mengingatkan, semua jawaban merujuk pada proyek SGPPTF UNDP tahun 2005-2007 I.
ELEMEN VISI DAN MISI
1.
Bagaimana orientasi kepentingan lembaga terhadap perumusan visi, misi, dan tujuan lembaga? a. untuk LSM dan anggotanya saja b. untuk LSM dan kelompok dampingannya saja c. untuk LSM, kelompok dampingan dan masyarakat luas (stakeholder) Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________
2.
Apakah fungsi Visi dan Misi lembaga telah sesuai dengan program pengembangan PHBM? a. tidak sesuai b. sudah sesuai tapi belum dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan program PHBM c. sudah sesuai dan sudah dijadikan acuan dalam pelaksanaan program PHBM Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________
3.
Apakah sejak berdirinya lembaga ini ada perubahan Visi dan Misi? a. tidak ada b. ada rencana c. ada Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________
4.
Sudah berapa lama lembaga terlibat dalam program PHBM secara umum? a. 1 - 3 tahun b. 3 – 5 tahun c. Lebih dari 5 tahun Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________
II. ELEMEN TATA LAKSANA 1.
Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan (misalnya, bila ada masalah penting dilapangan yang harus diselesaikan) dalam proyek SGPPTF? a. belum ada aturan lembaga b. sudah ada aturan lembaga tapi belum dilakukan secara konsisten c. sudah ada aturan lembaga dan dilakukan secara konsisten Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________
2.
Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban dan aksesibilitas laporan tahunan program dan keuangan untuk proyek SGPPTF? a. ada laporan bulanan dan tahunan program dan keuangan, namun belum berkala b. ada laporan bulanan dan tahunan program dan keuangan secara berkala namun hanya untuk kalangan terbatas (misalnya, hanya untuk lembaga donor) c. ada laporan bulanan dan tahunan program dan keuangan secara berkala untuk publik Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
3.
Bagaimana kondisi ketersediaan ruang bagi lembaga dalam mempublikasikan pertanggungjawaban laporan tahunan program dan keuangan proyek SGPPTF kepada publik? a. tidak tersedia ruang untuk pertanggungjawaban publik b. tersedia ruang untuk pertanggungjawaban publik, namun belum dikelola baik
c. tersedia ruang untuk pertanggungjawaban publik dan dikelola dengan baik Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________ III.
ELEMEN ADMINISTRASI
1.
Apakah ada uraian tugas (job description) untuk setiap pelaksana yang menjalankan proyek SGPPTF? a. Tidak ada, namun sudah ada kesepakatan tidak tertulis b. Ada, namun belum dijalankan secara konsisten c. Ada dan sudah dijalankan secara konsisten Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
2.
Apakah secara periodik lembaga melakukan rapat koordinasi dalam menjalankan proyek SGPPTF? a. Ada rapat, namun tidak dilakukan secara periodik (insidental) b. Ada rapat dan dilakukan secara periodik, namun hanya melibatkan pimpinan lembaga dan pelaksana proyek c. Ada rapat, dilakukan secara periodik dengan melibatkan pimpinan dan staf Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________
3.
Apakah lembaga telah mendokumentasikan data-data seperti data internal, data program, data kegiatan, dan data keuangan untuk proyek SGPPTF? a. Tidak didokumentasikan b. Sudah didokumentasikan, namun belum dikelola dengan baik c. Sudah didokumentasikan dan dikelola dengan baik serta digunakan sebagai bahan dalam perencanaan, analisis dan penyusunan laporan Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________
4.
Bagaimana publik mendapatkan kemudahan dalam mengakses data dan informasi hasil pelaksanaan proyek SGPPTF? a. Data dan informasi hanya untuk kalangan internal b. Data dan informasi tersedia di lembaga dan dapat diakses oleh publik c. Data dan informasi telah disebarluaskan kepada publik (misalnya melalui website) Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________
5.
Bila pelaksana proyek SGPPTF adalah orang baru, bagaimana sistem perekrutannya? a. Tidak ada sistem perekrutan staf yang baku b. Sudah ada sistem perekrutan staf yang baku namun belum dilakukan secara konsisten c. Sudah ada sistem perekrutan staf yang baku dan telah dilakukan secara konsisten Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
6.
Bagaimana lembaga menjalankan program pengembangan SDM bagi lembaga dan/atau pelaksana proyek dalam proyek SGPPTF? a. Tidak memiliki program pengembangan SDM b. Sudah memiliki program pengembangan SDM namun belum diterapkan secara konsisten c. Sudah memiliki program pengembangan SDM dan telah diterapkan secara konsisten Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
7.
Apakah lembaga mempunyai kebijakan tentang sistem evaluasi kinerja pelaksana proyek SGPPTF? a. Tidak ada b. Sudah ada namun belum diterapkan secara konsisten c. Sudah ada dan diterapkan secara konsisten Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
IV. ELEMEN PROGRAM 1.
Apakah lembaga mempunyai kebijakan tentang perencanaan atau desain program PHBM jangka panjang (minimal 3 tahun) yang sesuai dengan persoalan dan kebutuhan yang terjadi di masyarakat?
a. Belum ada b. Sudah ada namun belum diterapkan secara konsisten c. Sudah ada dan diterapkan secara konsisten Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 2.
Apakah lembaga mempunyai kebijakan tentang bagaimana mengintegrasikan proyek SGPPTF dengan program-program yang lain? a. Belum ada b. Sudah ada namun belum diterapkan secara konsisten c. Sudah ada dan diterapkan secara konsisten Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
3.
Sebelum adanya proyek SGPPTF, sudah berapa lama lembaga bersama masyarakat terlibat dalam program PHBM pada lokasi proyek SGPPTF saat itu ? a. 1 - 3 tahun b. 3 – 5 tahun c. Lebih dari 5 tahun Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
4.
Apakah lembaga mempunyai kebijakan tentang perencanaan atau desain program PHBM jangka panjang (minimal 3 tahun) yang disusun secara partisipatif dan dilaksanakan bersama masyarakat? a. Belum ada b. Sudah ada namun belum diterapkan secara konsisten c. Sudah ada dan diterapkan secara konsisten Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
5.
Apakah lembaga mendokumentasikan perencanaan dari proyek SGPPTF (misalnya hasil analisis sosial, dll) yang disusun secara sistematis? a. Belum ada b. Sudah ada namun belum didokumentasikan secara sistematis c. Sudah ada dan didokumentasikan secara sistematis Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
6.
Bagaimana pelibatan masyarakat dalam menyusun proposal proyek SGPPTF? a. Tidak dilibatkan b. Sudah dilibatkan namun belum terlibat secara aktif c. Sudah dilibatkan dan sudah terlibat secara aktif Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
7.
Apakah lembaga melakukan identifikasi dan akses terhadap sumber daya dan sumber dana (lainnya) yang diperlukan terkait dengan pelaksanaan dan kelanjutan dari proyek SGPPTF? a. Belum ada identifikasi sumber daya dan sumber dana b. Sudah ada identifikasi sumber daya dan sumber dana namun belum memiliki akses terhadap sumber daya dan sumber dana tersebut c. Sudah ada identifikasi sumber daya dan sumber dana dan sudah memiliki akses terhadap sumber daya dan sumber dana tersebut Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________
8.
Bagaimana kesesuaian perencanaan program dengan proses pelaksanaan program PHBM (misalnya metodologi dan pendekatan yang digunakan lembaga) dan hasil yang dicapai dalam proyek SGPPTF? a. Tidak sesuai b. Sudah sesuai namun belum mencapai hasil yang direncanakan c. Sudah sesuai dan hasilnya sudah sesuai dengan yang direncanakan Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
9.
Apakah pelaksana proyek SGPPTF yang dilaksanakan oleh lembaga dilaksanakan oleh staf yang mempunyai pengalaman dalam program PHBM? a. Belum memiliki pengalaman
b. Sudah pengalaman namun belum memperhatikan spesialisasi pelaksananya c. Sudah pengalaman dan sudah memperhatikan spesialisasi pelaksananya Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 10. Apakah proyek SGPPTF yang dilaksanakan memberikan manfaat? a. Belum memberikan manfaat b. Sudah memberikan manfaat kepada hutan dan masyarakat c. Sudah memberikan manfaat kepada hutan, masyarakat, dan stakeholder (misalnya pemerintah) Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 11. Bagaimana pelibatan stakeholder lainnya (swasta, pemerintah, akademisi, dll) dalam pelaksanaan proyek SGPPTF? a. Tidak dilibatkan b. Sudah dilibatkan namun belum terlibat secara aktif c. Sudah dilibatkan dan sudah terlibat secara aktif Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 12. Bagaimana dampak dari pelaksanaan proyek SGPPTF (setelah proyek ini selesai 1 tahun yang lalu)? a. Belum berdampak b. Sudah berdampak namun hanya kepada masyarakat dan hutan c. Sudah berdampak kepada hutan, masyaraat dan seluruh stakeholder lainnya Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 13. Apakah lembaga mempunyai mekanisme/alat bantu/instrumen monitoring dan evaluasi yang partisipatif, baku dan berkala dalam pelaksanaan proyek SGPPTF? a. Tidak ada b. Sudah ada namun belum diterapkan secara konsisten c. Sudah ada dan sudah diterapkan secara konsisten Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 14. Bila ada hasil monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan proyek SGPPTF, bagaimana tindak lanjutnya? a. Tidak ada b. Sudah ada namun belum dapat digunakan untuk memperbaiki jalannya program c. Sudah ada dan sudah dapat digunakan untuk memperbaiki jalannya program Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 15. Apakah hasil evaluasi pelaksanaan proyek SGPPTF telah dijadikan sebagai bahan pelajaran (lesson learned) bagi lembaga? a. Belum b. Sudah ada namun belum menunjukkan lesson learned c. Sudah ada dan sudah menunjukkan lesson learned Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________ V. ELEMEN PENGELOLAAN KEUANGAN 1.
Apakah lembaga mempunyai pendanaan untuk pelaksanaan program PHBM sebelum adanya proyek SGPPTF? a. Tidak ada b. Sudah ada namun belum sesuai dengan harapan c. Sudah ada dan sudah sesuai dengan harapan Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________
2.
Apakah dalam melaksanakan proyek SGPPTF terdapat revisi anggaran yang diajukan ke lembaga donor? a. Ada revisi namun tidak disetujui oleh lembaga donor b. Ada revisi dan disetujui oleh lembaga donor c. Tidak ada revisi dan sudah sesuai dengan proposal Alasan/Keterangan: _______________________________________________________________
3.
Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban keuangan lembaga dalam proyek SGPPTF?
a. Tidak ada b. Sudah ada namun belum sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku c. Sudah ada dan sudah sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________ 4.
Apakah lembaga mempunyai kebijakan dan strategi tentang rencana penggalangan sumber dana setelah proyek SGPPTF berakhir? a. Tidak ada b. Sudah ada namun belum masih terbatas pada satu sumber (donor) c. Sudah ada dari berbagai sumber (donor) Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
5.
Apakah lembaga mempunyai sumber dana mandiri (iuran anggota, usaha komersial, atau dari masyarakat)? a. Tidak ada b. Sudah ada namun belum berkontribusi terhadap lembaga c. Sudah ada dan sudah berkontribusi terhadap lembaga Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________
VI. ELEMEN LEGITIMASI 1.
Apakah lembaga mempunyai kebijakan dan strategi untuk menyebarluaskan rencana, pelaksanaan dan hasil pelaksanaan program kepada publik? a. Tidak ada b. Sudah ada namun belum dilakukan secara konsisten c. Sudah ada dan sudah dilakukan secara konsisten Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
2.
Bagaimana tingkat kepercayaan dan pengakuan masyarakat dampingan terhadap keberadaan lembaga Anda? a. Belum sepenuhnya mendapat dukungan b. Sudah mendapatkan dukungan namun belum sepenuhnya (hanya dalam bentuk tenaga atau dana atau barang) c. Sudah mendapatkan dukungan sepenuhnya dalam bentuk tenaga, dana, dan barang Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
3.
Bagaimana peran pemerintah dalam mendukung proyek SGPPTF? a. Belum mendukung b. Sudah mendapatkan dukungan dalam bentuk tenaga atau dana atau barang c. Sudah mendapatkan dukungan dalam bentuk tenaga, dana, barang, dan kebijakan Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
4.
Bila pemerintah terlibat dalam proyek SGPTF, apa bentuk kerjasamanya? a. Kerjasama dalam penyusunan peraturan pemerintah b. Kerjasama untuk mendapatkan pengakuan terhadap sumberdaya hutan c. Kerjasama lainnya Alasan/Keterangan: _________________________________________________________________
5.
Bentuk kerjasama seperti apa yang diharapkan lembaga terhadap pemerintah? a. ........................... b. ........................... c. ........................... Alasan/Keterangan: ________________________________________________________________
C. Saran dari Lembaga Anda 1.
Bagaimana strategi lembaga untuk mewujudkan PHBM yang lestari dan masyarakat sejahtera? a. ........................... b. ...........................
d. ........................... 2.
Untuk mewujudkan jawaban 1 diatas, siapa saja yang perlu dilibatkan dan bagaimana peran dari masingmasing pihat tersebut? a. ........................... b. ........................... c. ...........................
__________________________________________________________________________________ Terima kasih banyak Bapak/Ibu/Sdr sekalian atas jawaban-jawaban yang diberikan. Jawaban yang diberikan akan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi terwujudnya cita-cita kita bersama, terciptanya pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dan masyarakat sejahtera. Sekali lagi terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya. Selamat bekerja dan sukses selalu. Salam hangat, Wahyu F Riva