WACANA AHL AL-KITAB DALAM KITAB HADITH SHAHIH AL-BUKHARI Implikasi bagi Kerukunan Umat Beragama Umi Sumbulah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Abstract: There are at least 25 hadith of Muhammad SAW in the Shahih al-Bukhari books of the People of The Book (ahl al-Kitab). The books can be classified into two categories. First category is the hadith which textually emphasized on negative values and images toward ahl-al-Kitab. Second category is hadith which shows appreciation, honor and recognition upon the existence of ahl al-kitab. Rasullah SAW himself on the one hand puts his respects to the community of ahl al-kitab, but brings up his critics on them on the other hand, especially related to issue of the non-political manner of ahl-alh-Kitab. Muhammad’s attitudes toward ahl al-kitab have produced different statements in the hadith. The hadith with negative nuance towards ahl al-kitab will potentially create disharmonious relation amongst religious communities. The hadits with positive nuance towards ahl al-kitab will have significant role in the creation of harmony and peaceful relations between Moslem and ahl al-kitab. The study will expose discourse of Ahl al-Kitab and its implication to harmony among the faithful. Keywords: hadith, ahl al-kitab, Shahih al-Bukhari.
Di samping memiliki keterpautan teologis berupa kesamaan ajaran untuk menyerukan monoteisme, agama-agama Ibrahim (Abrahamic Religions), yakni Islam, Kristen dan Yahudi, memiliki keterpautan genealogies berupa asal keturunan yang sama, yakni keturunan Ibrahim dari jalur Ishaq untuk Kristen dan Yahudi, dan keturunan Ibrahim dari jalur Ismail bagi Islam. Kesinambungan risalah Islam dengan agama-agama sebelumnya, khususnya Yahudi dan Kristen, yang dalam bahasa al-Qur’an sering disebut dengan nama ahl al-kitab, telah terjadi sejak awal pertumbuhan agama yang dibawa oleh Muhammad SAW tersebut. Posisi Islam sebagai 92
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
penerus risalah Nabi-nabi terdahulu ini dikukuhkan dalam al-Qur’an, 33:7, 40:78 dan 33:40. Dalam konteks keterkaitan Islam dengan ahl al-kitab ini, Nabi bahkan mengilustrasikan dalam hadith tentang sebuah bangunan yang belum sempurna karena kurang satu bata. Ibarat bangunan, Islam itu telah selesai dibangun oleh para Nabi yang mendahuluinya dan hanya kurang satu bata yang belum terpasang di salah satu sudutnya. Orang-orang yang mengelilingi bangunan itu merasa kagum atas keindahannya. Namun mereka menyayangkan karena ada bagian yang belum dipasang batanya. Nabi Muhammad menyatakan bahwa dia adalah bata yang kemudian dipasang di sudut yang kurang itu, yang akhirnya membuat banguan itu sempurna.1 Ilustrasi tentang posisi Muhamad di antara para Nabi terdahulu tersebut, mengandung beberapa pemahaman. Pertama, risalah Islam lahir dalam konteks risalah Nabi-nabi terdahulu, yang dalam konteks awal-awal kelahiran dan pertumbuhan Islam, kontak Nabi dan para sahabat lebih intens dengan umat Yahudi dan Kristen daripada umat-umat lain. Kondisi ini berlanjut hingga Negara Madinah sekalipun, belum memiliki hubungan yang menjangkau daerah-daerah non-Arab seperti India dan Cina. Karena itu pula, logis jika sebutan ahl al-kitab lebih khusus ditujukan untuk umat Kristen dan Yahudi, dua komunitas yang telah hidup dan berkembang di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Relasi harmonis ketiga agama Ibrahim tersebut juga banyak digambarkan dalam sejarah perjalanan hidup dan perjuangan Nabi Muhammad, misalnya ketika beliau meminta perlindungan kepada Raja Negus dari kekejaman kafir Makkah, keterlibatan unsur Yahudi dalam perumusan Piagam Madinah, serta kerjasama umat Islam dengan kedua agama tersebut membangun peradaban. Bahkan dalam al-Qur’an juga digambarkan apresiasi positif terhadap kedua komunitas tersebut. Namun demikian, fluktuasi relasi Islam dan kedua agama Ibrahim ini, juga kritik negatif al-Qur’an terhadap perilaku mereka, mencerminkan bahwa pada kedua komunitas tersebut dinilai tidak selalu berjalan dalam koridor kemurnian risalah yang diemban para Nabinya. Tidak hanya dalam al-Qur’an, apresiasi positif dan kritikan negatif kepada ahl al-kitab juga terdapat dalam sejumlah teks hadith Nabi. Di antara apresiasi positif dimaksud adalah pengakuan Nabi Muhammad atas posisi beliau sebagai penyempurna bangunan yang indah namun kurang batanya, perintah agar umat Islam menjawab salam ahl al-kitab sebagaimana salam yang mereka ungkapkan, isyarat Nabi kepada umat Islam agar tidak menolak atau menerima tanpa melakukan verifikasi atas informasi yang berasal dari ahl al-kitab. 1
Al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, IV, 196.
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
93
1.
Wacana Ahl Al-kitab dalam Kitab Hadith Shahih al-Bukhari Ahl al-kitab adalah sebutan umum bagi penganut agama Kristen dan Yahudi. Sebutan ahl al-kitab yang menunjuk kepada dua komunitas umat beragama ini, juga bisa dicermati dalam diskursus tentang studi-studi agama yang berkembang dalam dunia Islam, yang membuat kategori agama pada dua macam, yakni agama wahyu dan agama bukan wahyu atau agama buatan manusia. Namun dua kategori agama tersebut sebenarnya tidak ditemukan dalam diskursus studi agama-agama pada umumnya. Agaknya, kategori agama wahyu dan bukan wahyu ini, didasarkan secara historis-empiris pada agama semitik dan non-semitik, bukan pada tataran telogis, di mana yang satu dinilai lebih baik daripada yang lainnya.2 Di dalam kitab Shahih al-Bukhari terdapat paling tidak 25 teks hadith yang mengulas tentang ahl al-kitab. Hadith-hadith tersebut, jika dipahami ada yang memberikan kesan negatif terhadap ahl al-kitab, namun di sisi lain ada juga hadith yang bernuansa positif dan menghargai komunitas ahl al-kitab. Hadith yang bernada negatif dan pejoratif misalnya dapat dilihat pada teks-teks sebagai berikut: Pertama, larangan kepada umat Islam untuk mendahului mengucapkan salam kepada ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani).3 Terdapat sekelompok umat Islam, seperti Hizb al-Tahrir (HT) dan Majelis Mujahidin (MM), menilai bahwa salam dengan al-salam ’alaykum merupakan salam khas Islam yang hanya boleh diucapkan oleh umat Islam kepada mereka yang beragama Islam. Hal ini berbeda dengan cara pandang para eksponen pluralisme agama. Menurut kelompok yang disebutkan terakhir ini, salam merupakan bentuk ungkapan do’a keselamatan. Keselamatan itu tidak hanya terbatasi pada umat Islam tetapi juga kepada umat agama lain. Menurut Quraish Shihab, 4 ibn ‘Abbas, salah seorang sahabat Nabi, membolehkan umat Islam mengucapkan salam kepada non-muslim. Bahkan jika mereka mengucapkan salam terlebih dahulu, wajib hukumnya bagi umat Islam untuk menjawabnya. Pendapat ini didasarkan kepada teks Hadith Nabi yang di-takhrij oleh al-Bukhari, yang menyatakan: “Bahwa Nabi SAW. bersabda: “Apabila ahl al-kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka katakanlah wa’alaykum.”5
2
Ismatu Ropi, “Wacana Inklusif Ahl al-Kitab” dalam Paramadina: Jurnal Pemikiran Islam, volume 1, Nomor 2, 1999, 288-101.
4
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996, 359. Diterjemahan dari Hadith yang di-takhrij oleh Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari”, dalam alMaktabah al-Shamilah (CD-ROM), versi 1.0, Makkah: Global Islamic Software, 1999.
5
94
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
Kedua, Orang-orang Yahudi dan Nasrani akan masuk neraka karena pengingkarannya terhadap kerasulan Muhammad.6 Ketentuan hadith tersebut tampaknya memiliki kesesuaian dengan keterangan dalam AlQur’an, surat Ali Imran (3) : 19 dan 85, dan al-Maidah (5). Menurut Fauzan al-Ansori, ayat al-Qur’an, 5: 3 tentang kesempurnaan Islam sebagai agama penutup, memberikan pemahaman bahwa: pertama, Nabi Muhammad telah sempurna menyampaikan risalah Islam sebagaimana diwahyukan Allah kepadanya, sehingga tidak perlu ditambah atau dikurangi; kedua, Shari’at Islam yang dibawa Muhammad yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadith wajib diikuti oleh semua pihak yang mengaku sebagai umatnya sepanjang zaman, serta melarang mereka mengikuti aturan hawa nafsu (akal); ketiga, Shari’at Islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad SAW wajib diimani sebagai bagian dari keimanan kita kepada para rasul dan kitab-kitab mereka. Namun demikian, keimanan tersebut tidak untuk dijalankan.7 Ketetapan teks al-Qur’an tersebut memperkuat bahwa Islam memiliki posisi superior atas agama-agama lain, sebagaimana dalam al-Qur’an, 3: 19 dan 85. Menurut Ibn Kathir, al-Qur’an, 3: 19 ini menjelaskan bahwa tidak ada agama yang diterima di sisi Allah kecuali Islam, dengan cara mengikuti agama yang dibawa oleh para Nabi dan disempurnakan oleh Muhammad SAW. Dengan demikian, orang yang mengetahui Shari’at Allah setelah diutusnya Muhammad namun tidak mengikutinya, maka tidak akan diterima oleh Allah, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an, 3: 85.8 Teks di atas dipahami secara literal oleh Imam Samudera misalnya, dengan mengaitkan fenomena ambruknya sistem khilafah, yakni Khilafah Usmaniyah sebagai lambang supremasi politik Islam yang tumbang tanggal 23 Maret 1924, yang digantikan oleh Turki sekuler di bawah rezim Mustafa Kemal Attaturk. Kemal diklaim sebagai agen Zionisme dan Salibisme. Praktis sejak saat itulah pembantaian, keganasan dan kekerasan terhadap kaum Muslimin merajalela.9 Menurut Ibn Kathir, al-Qur’an, 3: 85 yang memiliki kesesuaian dengan teks hadith di atas, menjelaskan bahwa barang siapa mencari jalan kecuali melalui Shari’at Allah, maka tidak akan diterima. Tafsir senada juga dapat
7
Al-Anshori, Melawan Konspirasi, 35-40.
8
Ibn Kathir, “Tafsir Ibn Kathir”, dalam Barnamij al-Qur’an al-Karim (CD-ROM), versi 6.0, Makkah: Sakhr, 1999. Samudera, Aku Melawan Teroris, 160.
9
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
95
disimak pada al-Tabari yang juga dirujuk Ibn Kathir, serta pada tafsir alQurtubi.10 Al-Qurtubi memberi makna leksikal din dalam konteks ayat al-Qur’an, 3: 85 tersebut berarti ketaatan dan keyakinan; kata islam bermakna iman dan keta’atan. Al-’Udaini mengkritik keras pendapat Qaradhawi bahwa panggilan al-Qur’an kepada ahl al-kitab dengan sebutan ya ahl al-kitab, sebagai kewajiban berkasih sayang kepada kaum non-Muslim. Bagi al’Udaini, panggilan Allah dengan ungkapan-ungkapan tersebut, sama sekali tidak menuntut adanya kecintaan dan kasih sayang kepada mereka. Hubungan dan kekerabatan yang disebutkan Qaradhawi telah diputuskan oleh Allah dengan diutusnya Rasulullah dan diwahyukannya al-Qur’an, berarti menghapus seluruh shari’ah dan agama sebelumnya, sebagaimana dalam al-Qur’an, 3: 85 dan 5: 48. Al-Qur’an, 3: 19 dan 85, juga memperkuat bahwa hanya Shari’at Islam yang berlaku dan diterima di sisi Allah. Dengan demikian, ayat ini sesungguhnya sejalan dengan makna substantif dari al-Qur’an, 5: 48, yang dipahami oleh kelompok Islam liberal yang dinilai sering memelintir teks dan pendapat para ulama. Abdurrahman11 , seorang aktivis HT, mengutip kekeliruan kelompok Islam liberal dalam memaknai ayat tersebut. Dengan mengutip pendapat Ibn ‘Aqil yang dikutip al-Tabari (menurut Abdurrahman sebenarnya pendapat Ma’mar dari Qatadah), bahwa ungkapan ”agama itu satu sedangkan shari’ah beragam” (al-din wahid wa al-shari’ah mukhtalifah), digunakan oleh kelompok liberal untuk menolak shari’ah dan membenarkan pendapat mereka yang liberal dan plural. Menurut Abdurahman12 , al-Tabari menukil pendapat Ma’mar tersebut dalam kerangka menafsirkan al-Qur’an, 5: 48.13 Ibn Abi Hatim dan Abu Shaikh menuturkan dari Qatadah, maksud tafsir ayat tersebut, bahwa bagi Taurat ada shari’ah dan bagi Injil ada shari’ah. Akan tetapi agama adalah satu, yang hanya menerima kemurnian tawhid, yang dibawa oleh Rasulullah SAW.14 Berdasarkan tafsir al-Tabari dan al-Suyuti di atas, Abdurrahman memandang ayat tersebut sebagai pemberitahuan Allah kepada umat Islam bahwa Dia memberikan shari’ah yang tidak sama bagi setiap agama samawi. Namun demikian, didukung dengan penjelasan nas-nas lain, sejak
10 Al-Qurtubi, “Tafsir Al-Qurtubi”, dalam Barnamij al-Qur’an al-Karim (CD-ROM), versi 6.0, Makkah: Sakhr, 1999. 11 Yahya Abdurrahman.“Kesalahan Metodologi Kelompok Liberal” dalam Jurnal Al-Wa’ie no. 58 Tahun V, 1-30 Juni (2005), hal.23-26. 12 Ibid. 13 Imam al-Tabari, Tafsir al-Tabari, vi, Beirut: Dar al-Fikr, 1405, 270. 14 Imam al-Suyuti, al-Dur al-Manthur, iii, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, 96.
96
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
Muhammad diutus, shari’ah selain Islam telah kehilangan masa keberlakuannya dan tidak akan diterima di sisi Allah, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, 3: 85.15 Berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani ini, juga telah lebih dahulu dijelaskan oleh Ibn Kathir. Al-Qur’an, 2: 62 menyangkut agama-agama lain ini, terkait dengan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan kondisi kaum kafir, kaum munafiq, kaum Yahudi, yang telah banyak melakukan penyimpangan terhadap aturan Allah sehingga Allah menimpakan kepada mereka siksa yang pedih.16 Dengan pendapat demikian, sebenarnya al-Qur’an, 2: 62 yang seakanakan mendukung teologi inklusif, sebenarnya justru memperkuat pandangan bahwa keimanan yang absah menurut konteks ayat ini adalah keimanan Islam. Dengan demikian, berarti ayat ini tidak bertentangan dengan al-Qur’an, 3: 19 dan 85, tentang keabsahan Islam sebagai satusatunya agama yang menawarkan keselamatan. Senada dengan interpretasi di atas, Jaiz menyatakan bahwa al-Qur’an, 3: 19 dan 85 yang berisi tentang monopoli keselamatan Islam, memberikan pemahaman bahwa Allah telah menunjukkan dustur (undang-undang dasar) yang kokoh bagi setiap muslim. Al-Qur’an merupakan Shari’at-Nya yang paling agung. Islam adalah agama Allah, agama yang haq, agama yang diterima dan agama penutup, berdasarkan pada Hadith: “Tidak ada Nabi lagi sesudahku”.17 Ketiga, kecaman terhadap orang Islam yang murtad atau berkonversi menjadi Yahudi dan Nasrani.18 Al-’Asqalani menyatakan bahwa seorang muslim yang berkonversi menjadi Yahudi dan Nasrani akan masuk neraka. Bahkan di akhirat kelak, dosa-dosa umat Islam akan ditimpakan juga kepada umat Yahudi dan Nasrani. Hadith ini juga memberikan pelajaran bahwa nanti di akhirat, akan ada dua tempat, yakni syurga dan neraka. Syurga hanya akan ditempati oleh orang yang beriman (mu’min) sedangkan sebaliknya neraka hanya akan menjadi tempat bagi mereka yang kafir. Dengan demikian, ahl al-kitab dalam konteks pengertian dari cakupan hadith ini, menurut al-’Asqalani disamakan dengan kelompok kafir, yang akan menempati neraka karena kekafiran mereka.19
15 Abdurrahman “Kesalahan Metodologi,” 26. 16 Ibn Kathir, “Tafsir Ibn Kathir”, dalam Barnamij al-Qur’an al-Karim. (CD-ROM), versi 6.0, Makkah: Sakhr, 1999. 17 Jaiz, Ada Pemurtadan, 130-131. Teks Hadith dimaksud dapat dilihat pada lampiran.
19 Syarah hadith Imam al-Bukhari, dalam al-Maktabah al-Shamilah (CD-ROM), versi 1.0, (Makkah: Global Islamic Software, 1999),.
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
97
Sekalipun Islam adalah agama misi (convert seeker), murtad (conversion) dalam agama Muhammad ini sangat dibenci. Sikap kebencian yang dipilih oleh Islam ini tidak saja karena argumen teologis, tetapi yang lebih penting lagi adalah alasan sosiologis dan psikologis. Kemurtadan dipandang sebagai suatu proses yang membuat si murtad mengalami kelimbungan psikologis. Hal ini karena sang murtad akan mengalami “penjungkirbalikan” kebiasaan yang sudah dibentuk oleh konstruksi tradisi dan setting ajaran agama lama yang dipeluknya, namun kemudian harus berubah karena mengikuti konstruksi dan setting agama baru yang dianutnya. Karena itu pulalah, logis jika dalam perjalanan sejarah umat Islam, tidak ada seorangpun khalifah Islam yang berbuat tiranik kepada pemeluk agama lain. Dasar normatif berupa teks hadith yang mendukung dilarangnya konversi agama adalah hadith yang tercantum dalam kitab Shahih al-Bukhari, pada bab al-jihad wa al-sayr.20 Konsepsi tidak ada pemaksaan dalam (memasuki) agama (Islam), tampaknya telah menjadi komitmen keagamaan yang demikian tinggi, yang dijunjung dengan sangat terhormat oleh para penguasa Muslim era klasik dan era pertengahan. Ekspresi sejarah paling toleran misalnya adalah tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh penguasa Turki Usmani (Ottoman Chalif) terhadap komunitas Yahudi Savardik Spanyol yang sedang mengalami perang pemusnahan ras (ethnic cleansing war) dari kaum Kristen Spanyol seusai penaklukan kembali Spanyol (reconquista). Seandainya penguasa Turki Usmani tidak memberikan suaka politik (political asylum) kepada mereka, niscaya bangsa Yahudi Savardik sudah punah dari muka bumi ini.21 Keempat, Ahl al-kitab dinilai telah melakukan penyimpangan, pemalsuan dan penggantian terhadap kitab mereka.22 Berdasarkan teks dalam al-Qur’an, 2: 120, para aktivis HT dan MM menyatakan bahwa agama Yahudi dan Kristen merupakan agama yang memiliki kedekatan hubungan dengan Islam. Hal ini didasarkan misalnya dalam al-Qur’an, 5: 82, bahwa semua agama samawi, Islam, Kristen dan Yahudi sama-sama menyerukan tawhid. Namun, berdasarkan informasi tekstual al-Qur’an, 9: 30, penganut kedua agama, Yahudi dan Kristen dinilai telah melakukan penyimpangan, terutama dalam doktrin teologis. Pada tradisi Nasrani, misalnya ’Isa dianggap sebagai anak Allah. Demikian pula dalam tradisi Yahudi,
21 Thoha Hamim, NU di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer: Dialektika Kehidupan Politik, Agama, Pendidikan dan Sosial Masyarakat Muslim, Surabaya: Diantama, 2003, 209.
98
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
dinyatakan bahwa ’Uzayr diyakini sebagai anak Allah. Mereka menganggap bahwa Tuhan yang satu sama dengan tiga, dan Tuhan yang tiga sama dengan satu, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an, 5: 73. Berdasarkan teks tersebut, para aktivis HT dan MM menyimpulkan bahwa kedua agama serumpun tersebut tidak lagi murni, sehingga kedekatan keduanya terhadap Islam telah berakhir. Berdasarkan informasi itu pula, mereka meyakini bahwa ahl al-kitab yang masih murni, atau masih mentawhidkan Allah sudah tidak ada lagi di era sekarang. Bahkan, mereka juga menilai bahwa semua penganut agama Kristen dan Yahudi adalah kafir, sebagaimana diiformasikan al-Qur’an, 5: 72. Kesimpulan para aktivis HT dan MM bahwa ahl al-kitab yang murni tidak ada lagi di era sekarang, juga didasarkan kepada posisi Muhammad SAW. sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Posisi tersebut memiliki implikasi pemahaman bahwa Islam menyempurnakan agama-agama terdahulu sebagaimana diinformasikan dalam al-Qur’an, 5: 3. Konsekuensi dari keyakinan ini, bahwa agama-agama yang hadir sebelumnya, telah berakhir masa keberlakuannya. Eksistensi agama-agama terdahulu telah dihapus oleh agama Islam yang hadir belakangan. Pemahaman ini bisa dilihat pada interpretasi Qutb, yang pemikirannya banyak diadaptasi oleh para aktivis HT dan MM. Menurut Qutb, berdasarkan al-Qur’an 2: 62, bahwa iman dan amal salih merupakan syarat keselamatan bagi umat Yahudi, Nasrani dan Shabi’in. Namun hal ini hanya berlaku pada masa sebelum kerasulan Muhammad. Adapun setelah kerasulannya, hanya keimanan Islam yang dapat menyelamatkan umat manusia. Berdasarkan interpretasi itu, mereka bersikap eksklusif terhadap agama-agama lain.23 Berbeda dengan kelompok Yahudi, kaum Nasrani tidak menunjukkan permusuhannya terhadap Nabi. Al-Qur’an bahkan secara khusus mengapresiasi mereka sebagai kelompok yang bersahabat dengan Nabi. Mereka dinilai oleh al-Qur’an sebagai kelompok yang juga tidak menyombongkan diri.24 Hanya kritik persuasif al-Qur’an terhadap konsepsi teologis mereka dan kisah-kisah dramatik Nabi Isa di dalamnya memang menggambarkan sebagian mereka yang menurut al-Qur’an tidak lagi sejalan dengan tuntutan kitab Injil.25 Bahkan dalam suatu kesempatan diskusi di UIN (dulu IAIN) Jakarta, Romo Frans Magnez Suseno secara jelas mengakui keberatan pihak Kristen terhadap konsepsi al-Qur’an tentang Trinitas. Berkenaan dengan Surat Ali ‘Imran: 64, 110, 113 dan 199, Imam alWahidi menuturkan tentang dialog teologis antara Rasulullah dengan
23 Lihat Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, Juz I (Beirut: Dar al-‘Arabiyah, tt), 94. 24 QS. al-Maidah (5) : 82. 25 Lihat misalnya uraian tentang hal ini dalam QS.al-Maidah (5): 73 dan QS. Al-Tawbah (9) : 30.
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
99
serombongan (60 orang) Nasrani Najran. Dikisahkan Rasulullah mengajak mereka agar berserah diri (islam) kepada Allah. Mereka menjawab kami sudah islam lebih dahulu. Kalian dusta, kalian mengatakan Allah punya anak. “Sergah Rasulullah. “Kalau begitu, siapa bapaknya’, tanya mereka. Rasulullah kemudian memberikan argumentasi di antaranya bahwa bukankah seorang anak itu menyerupai bapaknya; kalau Allah itu Maha Pemelihara, Maha Pemberi rezeki, mengapa Isa tidak; kalau Allah itu tidak makan, tidak minum, mengapa Isa sebaliknya (makan, minum, dan dilahirkan). Seketika itu kaum Nasrani terdiam.26 Dari rekaman tertulis tentang dialog di atas, ada beberapa catatan penting; a) bahwa dalam kehidupan pluralistis, dialog teologis amat dimungkinkan terjadi sebagaimana dicontohkan Nabi SAW; b) Nabi Muhammad berusaha meluruskan paham teologis ahl al-kitab dengan menguji konsistensi keimanan mereka hingga dengan otoritas akal sekalipun; c) bahwa meski ada inkonsistensi teologis dari dialog di atas, Rasulullah diperintahkan agar tetap bersikap konstruktif, yaitu meneguhkan kebenaran ajaran Allah dan mengajak ahl al-kitab berserah diri kepadaNya: Katakanlah kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa, dan para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membedabedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri.27 Literatur-literatur tentang ahl al-kitab, amat kurang mengelaborasi tentang pentingnya ‘menemukan’ sekelompok ahl al-kitab yang konsisten itu. Sebagai butir organik, konsep ahl al-kitab konsisten ini tidak bisa diabaikan dalam pengusungan wacana pluralisme sejauh merujuk ayatayat al-Qur’an. Mengabaikannya justru akan menjebak diri dalam generalisasi yang kurang jelas arahnya. Apalagi dengan rincian mereka yang membaca ayat Allah, bersujud, bersembahyang, beramar ma’ruf, bercucuran air mata manakala mendengar al-Qur’an,28 kajian tentang ahl al-kitab belum mendapatkan arah signifikan. Betapa benderangnya alQur’an mewartakan siapa dan bagaimana mereka. Betapa perlunya kita bertemu dengan ahl al-kitab yang berkomitmen kokoh seperti Negus dan Abdullah ibn Salam. Dengan orang-orang seperti mereka kita dapat merenungi dan tunduk bersama di depan ayat-ayat Allah. Bila umat Islam tidak mau mengkaji secara jujur, kapan akan menemukan arah baru untuk mulai menerapkan pluralisme berkomitmen kokoh di Indonesia
26 Lihat Imam al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, 1968, 53. 27 Demikian sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, 3:84. 28 Periksa al-Qur’an, 5:83.
100
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
sebagaimana digagas misalnya oleh Alwi Shihab29 dan pendahulunya, Mukti Ali. Pertanyaan yang sejak dulu selalu terdengar kembali adalah apakah ahl al-kitab yang didefinisikan oleh al-Qur’an itu masih ada di era sekarang. Dalam menjawab persoalan ini, juga ada dua pendapat: a) satu kelompok berpendapat bahwa masih ada, dan menunjuk kepada kelompok agama seperti Kristen modern sebagai contohnya. Pendapat ini banyak ditolak karena agama Kristen modern dinilai telah mengalami banyak perubahan dan, terutama, berpendapat bahwa Yesus adalah Tuhan. Sebuah dogma yang secara khusus ditolak oleh Al-Quran, sehingga menjadi kontradiksi yang cukup jelas. b) satu kelompok lainnya berpendapat bahwa ahl al-kitab sebagaimana didefinisikan oleh al-Qur’an itu kini sudah tidak ada lagi. Namun demikian, pendapat kedua ini tampaknya juga lebih sulit dipahami dan diterima, karena jika satu saja dari lima milyar penduduk bumi ternyata masuk dalam definisi ahl al-kitab versi al-Qur’an, tampaknya sudah cukup untuk membuat pendapat tersebut menjadi kurang tepat. Ketentuan teks-teks keagamaan yang menyimpang dalam teologi Kristen maupun Yahudi di atas, menurut hemat penulis tidak dapat dijadikan sebagai legitimasi untuk menggeneralisir bahwa semua orang Kristen dan Yahudi melakukan hal yang sama, sebagaimana diinformasikan dalam beberapa ayat al-Qur’an yang telah disebutkan sebelumnya. Karena itu, dalam konteks ini, bisa disimpulkan bahwa meskipun para aktivis HT dan MM menyatakan bahwa mereka membela kebenaran tekstual, namun mereka juga menafikan teks-teks yang mengisyaratkan tidak monolitiknya komunitas Kristiani maupun Yahudi. Berdasarkan data di atas, kesimpulan aktivis HT dan MM bahwa semua penganut agama Kristen dan Yahudi memiliki watak yang sama dan melakukan penyimpangan teologis, merupakan generalisasi yang memerlukan verifikasi lebih lanjut. Hal ini karena dalam tradisi setiap agama, terdapat beragam pemahaman dan praktik keagamaan yang tidak monolitik, tidak terkecuali pada Islam, Kristen dan Yahudi. Di dalam beberapa teks al-Qur’an-pun juga dinyatakan bahwa ahl alkitab itu tidak monolitik. Misalnya di antara ahl al-kitab, banyak (bukan semua) yang memiliki perilaku menyimpang untuk menyesatkan umat Islam kepada kekafiran;30 di antara ahl al-kitab, mereka ada yang berperilaku lurus, membaca ayat-ayat Allah dan bersujud kepada-Nya;31 di antara ahl al-kitab juga ada yang amanah dan tidak amanah;32 di antara ahl al-kitab, juga ada yang
29 30 31 32
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997. Periksa lebih lanjut dalam al-Qur’an, 2: 109. Lebih lanjut cermati al-Qur’an, 3: 113. Periksa al-Qur’an, 3: 75.
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
101
tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah.33 Jika para aktivis Islam “radikal” konsisten dalam membela kebenaran tekstual, semestinya mereka juga memperhatikan ayat-ayat yang memberikan penghargaan kepada kedua komunitas ahl al-kitab, Kristen dan Yahudi. Di samping dasar-dasar normatif adanya keharusan menghargai komunitas agama lain, sisi sosio-historis Islam juga menunjukkan hal yang sama. Relasi harmonis ketiga agama tersebut juga terjadi ketika masa kekhilafahan Islam di Baghdad. Mereka yang berasal dari latar belakang agama dan bangsa yang berbeda dihimpun dalam lembaga ilmu pengetahuan, yakni Bayt al-Hikmah. Di lembaga itulah mereka menterjemahkan secara besar-besaran karya-karya di bidang kedokteran, filsafat, sains Barat dan Timur, yang berbahasa Yunani, Latin, Persia, Koptik, Sanskrit dan Syiria.34 Islam Spanyol juga menunjukkan fakta historis yang sama dengan Baghdad dalam konteks pembangunan peradaban yang melibatkan komunitas tiga agama Ibrahim ini. Melalui perantaraan mereka jualah antara lain Barat memperoleh kembali khazanah intelektual Yunani yang nyaris lenyap. Kelima, Tuntutan Yahudi dan Nasrani atas karunia yang dinilai lebih atas umat Islam.35 Ide bahwa kebenaran itu tidak tunggal dan tidak menjadi monopoli suatu kelompok, sesungguhnya bisa menjadi modal dasar dalam membangun kepercayaan diri semua komunitas umat beragama yang plural dalam menciptakan kebaikan. Sikap mengakui adanya kebenaran di luar sistem keyakinannya, menjadi kearifan bagi setiap komunitas untuk menciptakan kesatuan umat dalam bingkai kemanusiaan. Dengan demikian, tidak seorangpun berhak melarang orang lain mengerjakan apa yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran. Hal ini karena kebenaran merupakan entitas yang penilaiannya menjadi hak prerogatif Tuhan Kesadaran bahwa semua umat beragama memiliki posisi yang setara di hadapan Tuhan, bisa menumbuhkan dimensi ketaqwaan yang kreatif dan dinamis. Masing-masing menjadi peserta lomba dalam memperebutkan “piala kemenangan” yang telah dipersiapkan Tuhan. Perlombaan yang fair (jujur) menuntut sikap hormat pada semua peserta lomba. Karena itu, klaim-klaim kedekatan dan kemenangan sebelum perlombaan berakhir, merupakan sebuah sikap keagamaan yang semestinya dihindari dalam konteks pluralitas. Klaim-klaim kedekatan atau kemenangan sebelum perlombaan berakhir, sebenarnya merupakan klaim-klaim keagamaan yang dimiliki 33 Lihat al-Qur’an, 3:199. 34 John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality?, Oxford: Oxford University Press, 1992, 34.
102
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
oleh setiap penganut agama. Keyakinan terhadap kebenaran mutlak agama yang dianutnya, merupakan suatu keharusan. Karena hanya dengan keyakinan itulah, semua komunitas umat beragama bisa melaksanakan ketentuan-ketentuan agama masing-masing. Hanya saja, klaim-klaim seperti itu bersifat internal atau berlaku bagi umat agama tertentu. Ketika klaim-klaim tersebut diekspresikan secara berlebihan kepada pihak lain dalam konteks masyarakat yang pluralistis, akan bisa menjadi kontraproduktif bagi penciptaan keharmonisan yang didambakan oleh setiap umat beragama. Teologi eksklusif yang melahirkan klaim-klaim kebenaran tersebut, semestinya dihindari oleh setiap kelompok, baik dalam satu agama maupun dengan kelompok yang berbeda agama. Karena hal ini akan menimbulkan kekacauan dan disharmoni. Akibatnya, tawaran-tawaran pemikiran kelompok Islam ”radikal” menjadi ”gamang”. Sebagai konsekuensinya, jangankan komunitas non-muslim menerima tawaran pemikiran mereka, yang terjadi justru mencurigainya suatu sebuah upaya Islamisasi untuk menghancurkan eksistensi mereka. Sebagai akibatnya, relasi muslim dan Kristen —yang dalam sejarah penuh dengan fluktuasi —semakin memunculkan sikap saling mencurigai, membenci dan memusuhi.36 Adapun hadith-hadith yang bernuansa positif dan menghargai komunitas ahl al-kitab antara lain dapat disimak dalam teks-teks sebagai berikut: Pertama, sikap dan penghormatan Rasulullah terhadap jenazah Yahudi.37 Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Jabir ibn ‘Abd Allah berkata: “Jenazah melewati kami, lalu Nabi berdiri dan kamipun berdiri. Kemudian kami berkata: ya Rasulullah, sesungguhnya dia jenazah Yahudi, kemudian Rasululah bersabda: jika kamu melihat jenazah maka berdirilah.”38
36 Umat Islam sering mendapat kesan bahwa orang-orang Kristen selalu hidup dalam damai di negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti di Indonesa. Sebaliknya, orang muslim sering mendapat kesan bahwa umat Islam selalu hidup tertindas di negara yang mayoritas berpenduduk Kristen seperti kasus di Filipina Selatan. Kesan yang sama sesungguhnya juga terjadi pada umat Kristen, bahwa umat Islam tidak toleran terhadap orang Kristen. Di antara bukti yang mendukung citra tersebut adalah kesulitan yang dialami umat Kristiani dalam mendirikan sarana ibadah di daerah-daerah tertentu, serta pengrusakan sejumlah gereja seperti kasus di Situbondo dan Tasikmalaya. Lihat Kautsar Azhari Noer, “Pluralisme dan Pendidikan”, dalam Th. Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2001, 223-240. Baca juga Thomas Santoso, “Kekerasan Politik-Agama di Situbondo”, Disertasi Doktor, Universitas Airlangga, Surabaya, 2002.
38 Hadith ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya namun dengan jalur sanad yang berbeda.
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
103
Dalam salah satu kitab syarah hadith karya al-Zabidi, dinyatakan bahwa menghormati jenazah dengan cara berdiri saat jenazah berlalu merupakan hal yang dianjurkan sekalipun jenazah tersebut non-Muslim bahkan kafir. Dengan demikian, penghormatan Rasulullah dan para sahabat waktu itu sebenarnya didasarkan kepada faktor dan pertimbangan kemanusiaan, dan bukan karena alasan lainya.39 Alasan tentang penghormatan ini, tampaknya sejalan dengan QS al-Isra’:70,40 tentang salah satu hak dasar manusia sebagai mahluk yang memiliki harkat dan martabat yang mesti dijunjung tinggi eksistensinya. Penjelasan di atas memiliki relevansi dengan hadith yang memberikan penghormatan terhadap agama non-muslim namun yang berstatus sebagai kafir dzimmi. Status ini diperoleh oleh non-muslim karena ketundukannya terhadap Islam, atau paling tidak, mereka tidak membangkang dan tidak mengadakan perlawanan serta tidak menampakkan permusuhan terhadap Islam. Status ini menjadikan mereka berhak untuk dihormati dan diperlakukan sebagaimana mestinya. Jiwa dan harta mereka, sama halnya dengan kaum muslimin, haram untuk dirampas. Sebaliknya harus dilindungi dan dijaga sebagaimana kewajiban menjaga harta dan jiwa kaum muslimin.41 Kedua, Perintah menjawab salam ahl al-kitab.42 Penolakan sekelompok umat Islam terhadap hal ini, juga didasarkan kepada penilaian bahwa praktik toleransi yang dikembangkan oleh para penyebar pluralisme agama melampaui batas, karena memasuki wilayah privat Islam, yakni akidah. Do’a bersama, ucapan salam dengan al-salam ’alaykum kepada non-Islam, nikah beda agama, dan perayaan Natal bersama, merupakan bukti-bukti toleransi yang dinilai melampaui batas dimaksud. Terdapat penilaian sekelompok umat Islam, bahwa salam dengan alsalam ’alaykum merupakan salam khas Islam yang hanya boleh diucapkan oleh umat Islam kepada mereka yang beragama Islam. Hal ini berbeda dengan cara pandang para eksponen pluralisme agama. Menurut kelompok yang disebutkan terakhir ini, salam merupakan bentuk ungkapan do’a keselamatan. Keselamatan itu tidak hanya terbatasi pada umat Islam tetapi
39 Abd al-’Abbas al-Zabidi, al-Tajrid al-Sharih li Ahadith al-Jami’ al-Shahih (ttp: Da>r al-Ma’arif, 1990), 428-429. 40 “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami berikan mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah Kami ciptakan” (QS. 17: 70).
104
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
juga kepada umat agama lain. Menurut Shihab,43 salah seorang sahabat Nabi, ibn ‘Abbas, membolehkan umat Islam mengucapkan salam kepada non-muslim. Bahkan jika mereka mengucapkan salam terlebih dahulu, wajib hukumnya bagi umat Islam untuk menjawabnya. Pendapat ini didasarkan kepada teks Hadith Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.44 Ketiga, apresiasi positif terhadap ahl al-kitab. 45 Muhammad Asad,46 dengan menukil al-Qur’an, al-Baqarah (2) : 62 dan mengaitkannya dengan al-Qur’an 5:48, menyatakan bahwa untuk semua agama Tuhan telah menyiapkan hukum suci yang berbeda (different divine law) dan jalan yang terbuka (an open road). Pada ayat ini, Asad menafsirkan bahwa secara harfiah, ungkapan shir’ah berarti jalan ke tempat pengairan. Hal ini digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa sistem hukum dibutuhkan bagi keselamatan masyarakat dan spiritualnya. Kata minhaj merupakan jalan terbuka, yang secara abstrak diartikan sebagai jalan hidup. Kedua kata tersebut lebih terbatas maknanya daripada kata din, yang mengandung arti tidak hanya terdiri dari hukum-hukum yang berkaitan dengan fakta agama, tetapi juga dasar tentang kebenaran spiritual yang tidak berubah, yang menurut al-Qur’an telah diajarkan oleh setiap Rasulullah, disebarkan dan direkomendasikan kepada umatnya, dengan keragaman yang sesuai dengan urgensi waktu dan perkembangan budaya masyarakat.47 Salah satu tema terpenting dari doktrin Islam, demikian lanjut Asad, adalah kontinuitas historis yang berkaitan dengan berbagai bentuk dan fase kewahyuan Ilahi. Kontinuitas dimaksud juga menyangkut esensi dari semua ajaran agama yang identik. Dengan kata lain semua agama memproklamirkan kepercayaan yang sama.48 Islam memiliki sikap yang sangat toleran dengan ahl al-kitab. Tetapi terasa sulit dibantah juga bahwa ada beberapa buku yang menyebut bahwa ada sekelompok ahl al-kitab yang memusuhi atau selalu berupaya untuk merugikan Islam. Jika ahl al-kitab
43 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 359. 44 Dari Anas ibn Malik berkata: “Bahwa Nabi SAW. bersabda: “Apabila ahl al-kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka katakanlah wa’alaykum”. Terjemahan dari Hadith yang di-takhrij Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari”, dalam al-Maktabah al-Shamilah (CD-ROM), versi 1.0, (Makkah: Global Islamic Software, 1999).
46 Muhammad Asad, The Message of the Quran (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 167. 47 Mukti Ali. “Pluralisme: Budaya Belajar Memahami Ajaran Agama,” dalam Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan. Nomor 1 Tahun III/Januari-Juni 2003, 2-15. 48 Asad. The Message,168.
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
105
itu memahami secara benar kitab-kitab suci mereka, pastilah mereka akan bersikap toleran terhadap agama lain. Seperti juga umat Islam, jika benarbenar memahami al-Qur’an, mereka pasti akan bersikap toleran terhadap agama lain. Namun demikian, tetap saja ada umat Islam yang tidak toleran dengan agama lain, juga penganut agama lain ada yang tidak toleran terhadap umat Islam, karena minimnya pemahaman mereka terhadap kitab suci. Karena itu, di dalam al-Qur’an dikatakan “laysu sawa’an min ahl alkitab: yang berarti “ahl al-kitab itu tidak sama, ahl al-kitab itu tidak monolitik, ada yang baik ada juga yang tidak, ada yang bersahabat dengan Islam, namun ada pula yang memusuhi. Karena itu, selayaknya umat Islam tidak berpikiran negatif kepada semua ahl al-kitab. Masih ada ummatun qa’imatun yatlun ayatillah (ummat yang membaca dan memahami ayat Tuhan siang dan malam, bersujud kepada Tuhan dan beriman kepada Allah dan hari Akhir). Ya’muruna bi al-ma’ruf wa yanha ‘an al-munkar (yang menyeru kepada kebaikan dan menjauhi kemunkaran). Orang-orang seperti ini dijamin oleh Allah akan masuk surga. Jadi, sebenarnya intinya adalah bagaimana kita bisa menjalankan ajaran kita sendiri sehingga kita bisa berbuat baik kepada penganut agama lain. Sebelum kita menjalankan, kita harus memahami secara benar ajaran agama kita. Banyak orang yang rajin menjalankan ritualitas agamanya, namun tidak memahami substansi ajaran kitab sucinya. Karenanya, perlu pemahaman dan penghayatan secara mendalam, sehingga dapat terefleksikan dalam konteks kehidupan sosial. Bisa dilihat dalam kenyataan empiris bahwa dalam setiap agama selalu ada klaim agamanyalah yang paling benar. Persoalan truth claim and salvation claim ini adalah hal yang biasa. Misalnya Yahudi menolak klaim agama Kristen yang datang sesudahnya. Juga ada orang Nasrani yang menganggap agamanyalah yang paling benar ketimbang Islam yang datang belakangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang umat Islam juga bersikap demikian, tidak mau mengakui yang lain dan merasa paling benar. Yang paling penting adalah, pada saat kita mengklaim kitalah yang paling benar, kita harus memiliki alasan dan argumentasi yang logis. Dalam konteks ini, al-Qur’an mengatakan: fa’tu burhanakum in kuntum shadiqin (berilah argumen kalian jika kalian merasa benar). Karena itu, barangkali semua komunitas umat beragama bisa duduk dan berdialog secara terbuka. Seringkali terdapat kelompok umat Islam yang menolak agama lain, namun pada saat yang sama mereka menutup dialog dan tidak mau melihat kebenaran di pihak lain. Persoalan teologis ini kemudian juga merambah kepada persoalan fiqih, misalnya soal perkawinan dengan ahl al-kitab. Ada yang mengatakan bahwa sekarang ini, sudah tidak ada lagi yang namanya ahl al-kitab. Soal boleh tidaknya menikah antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl alkitab, masalah ini bisa dilihat dalam al-Qur’an surat al-Maidah (5) ayat 5. Di dalam ayat tersebut, secara tegas disebutkan halal menikah dengan 106
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
perempuan ahl al-kitab. Sementara kalau seorang perempuan muslimah menikah dengan laki-laki ahl al-kitab, masih terjadi perdebatan di antara ulama. Hal ini karena, persoalan ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Jadi inti dari al-Maidah ayat 5, tidak ada perbedaan pendapat (khilafiah) di antara para ulama. Hal ini dibolehkan karena para sahabat sekalipun juga banyak yang melakukan pernikahan dengan perempuan ahl al-kitab. Misalnya ‘Usman dan Thalhah pernah menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani. Demikian juga mendiang Yaser Arafat, mantan pemimpin PLO Palestina, yang juga menikahi seorang perempuan Kristen, dan sejumlah tokoh muslim lainnya. Permasalahan yang terkait dengan anggapan bahwa di era sekarang tidak ada lagi ahl al-kitab, juga perlu mendapatkan verifikasi ilmiah lebih lanjut. Orang Nasrani sudah melakukan penyimpangan semenjak abad keempat masehi. Kitab suci mereka sudah mengalami perubahan sejak sebelum Islam muncul pada abad ke-7 M. Namun demikian, di dalam alQur’an dikatakan bahwa orang Nasrani sudah percaya kepada trinitas pada waktu al-Qur’an turun. Walaupun mereka sudah percaya kepada trinitas, al-Qur’an tetap meminta umat Islam untuk percaya kepada ahl al-kitab. Meskipun mereka sudah menyimpang, mereka tetap dipanggil dengan sebutan ahl al-kitab. Karena itu tidak ada perbedaan substansial dalam istilah ahl al-kitab pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya hingga era sekarang, karena mereka tetap percaya kepada Nabi-nabi dan kitab suci.49 Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa orang-orang non-Islam sekarang bisa disebut ahl al-kitab, karena mereka masih mengakui adanya Nabi dan kitab suci. Yang tidak dibolehkan adalah menikahi orang musyrik. Hal ini bisa dilihat pada ketentuan al-Qur’an, 2: 22. Dalam ayat itu secara jelas disebutkan “jangan menikahi wanita-wanita musyrik.” Musyrik dalam konteks ayat ini adalah kaum musyrik Mekkah, karena mereka sama sekali tidak mempercayai adanya Nabi-nabi dan kitab-kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi mereka. Dalam al-Qur’an, dari awal hingga akhir ada tiga golongan yang disebut: pertama, ahl al-iman, yang spesifik menunjuk kepada pengikut Muhammad (umat Islam), kedua, ahl al-kitab (yang secara umum menunjuk kepada Yahudi dan Nasrani, meskipun kemudian terjadi perluasan makna dari kedua komunitas tersebut) dan ketiga, musyrik. Karena itu, al-Qur’an membedakan antara ahl al-kitab dengan kaum musyrik. Dalam surah alBayyinah, al-Qur’an menegaskan: “bukanlah ahl al-kitab orang-orang musyrik.” Isyarat ayat ini menunjukkan adanya perbedaan secara substansial antara kedua komunitas tersebut. Karena itu, al-Qur’an melakukan pembedaan secara kategoris antara ahl al-kitab dengan kaum musyrik.
49 Ibid.
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
107
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut dalam pembahasan ini: a) keberadaan kitab suci al-Qur’an yang menyebutkan tentang adanya ahl al-kitab, tentunya telah dijelaskan bahwa dalam ayat lain maupun hadith lain bahwa yang dimaksud ahl al-kitab ialah mereka yang beriman terhadap kitab-kitab yang oleh Allah diwajibkan kepada kita mengimani bahwa kitab kitab tersebut pernah ada dan diturunkan kepada para Rasulullah sebelum Muhammad. Kitab-kitab yang wajib kita imani tersebut adalah Kitab Zabur, Taurat dan Injil, yang kemudian melahirkan agama Nasrani dan Yahudi. Karena agama ini milik Allah maka Dia jualah yang berhak menentukan dan memberi tahu kita lewat al-Qur’an tentang kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul atau Nabi siapa yang wajib kita imani. b) agama yang ada pada waktu itu sebenarnya tidak hanya Nasrani dan Yahudi, tetapi tampaknya sudah ada banyak agama, termasuk Majusi atau Shabi’in. Namun penyebutan ahl al-kitab untuk kedua komunitas tersebut disebabkan mereka mayoritas, mungkin juga kurang tepat. Hal ini karena sebenarnya komunitas Yahudi pun sangat sedikit, tentu jauh lebih besar penganut Hindu atau Budha di nusantara pada abad yang sama saat itu. c) bahwa rasul dan Nabi sangat banyak dan meninggalkan jejak yang sangat banyak tentang kebaikan dan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan ada juga Nabi yang tidak memiliki umat atau pengikut, ada yang disebutkan dan ada juga yang tidak disebutkan.50 Keempat, perintah menda’wahkan Islam secara damai kepada ahl alkitab. 51 Berdasarkan Hadith tersebut, menurut Jaiz bahwa Muhammad sebagai pengemban risalah, memiliki kewajiban untuk menyampaikannya kepada seluruh umat manusia di dunia ini. Oleh karena itu, banyak fakta sejarah tentang da’wah beliau kepada sejumlah raja dan kaisar yang beragama Nasrani dan Majusi. Untuk hal ini misalnya dapat disebut surat da’wah Nabi kepada raja Negus di Habashah, Heraklitus penguasa Romawi, kaisar Kisra di Persia, Raja Muqauqis di Mesir, dan Raja al-Harith al-Ghassani di Yaman.52 Menurut Jaiz, logikanya jika mereka yang memeluk agama Yahudi, Nasrani atau Majusi tetap dipersilahkan menjalankan agamanya, apa gunanya Rasulullah menda’wahi mereka agar memeluk Islam. Fakta sejarah peng-Islaman yang dilakukan Rasulullah tersebut, justru memperkuat doktrin bahwa hanya melalui Islam-lah seseorang bisa selamat. Bahkan, lanjut Jaiz, jika ada orang yang setelah mendengar seruan Muhammad
50 Noviyanto, Penganut Hindu dan Budha adalah ahlul kitab, Jakarta, 24/07/2006 03:07, lihat http:/ / islamlib.com., diakses tanggal 11 September 2008.
52 Jaiz, Menangkal Bahaya JIL.
108
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
namun tidak mengindahkannya lalu ia mati, maka ia tidak saja masuk neraka namun menjadi penghuni tetap neraka, sebagaimana Hadith yang diriwayatkan Muslim dari jalur sanad Abu Hurairah: “Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar padaku seseorang dari umat ini, baik dia itu Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan tidak beriman dengan (Islam) yang aku diutus dengannya kecuali dia termasuk penghuni-penghuni neraka.” 53 Hal ini karena mereka yang mengingkari ayat-ayat Tuhan dihukumi kafir.54 Kelima, anjuran untuk bersikap kritis terhadap ahl al-kitab, yakni tidak menerima atau menolak secara mentah-mentah informasi yang berasal dari ahl al-kitab, dan keharusan melakukan verifikasi informasi berdasarkan pada keimanan dan ajaran Islam.55 Secara historis, umat Islam memiliki keterkaitan dengan agama-agama sebelumnya. Data sejarah yang memperkuat bukti tersebut di antaranya adalah; 1) kebiasaan rihlah yang dilakukan oleh orang-orang Arab (khususnya Qurays) yang senantiasa melakukan rihlah atau pelancongan di musim dingin dan panas. Pelancongan mereka lakukan ke Syam dan Yaman. 56 Kedua tempat yang menjadi tujuan rihlah tersebut adalah kantong-kantong Yahudi dan Nasrani. Sehingga dengan demikian, terjadilah akulturasi budaya antara Arab dengan Yahudi dan Nasrani. Pada saatnya hal ini mempengaruhi cara pandang dan konstruksi orang Arab setelah menjadi muslim, terhadap kedua komunitas ahl al-kitab tersebut; 2) secara teologis, Islam memiliki keterkaitan dengan agama Yahudi dan Nasrani terutama dalam konteks misinya menyerukan kalimat tawhid, sebagaimana dibawa oleh bapak para Nabi, Ibrahim. Ketiga, banyak di antara rahib dan pemuka agama Yahudi dan Nasrani yang kemudian masuk Islam. ‘Abdullah ibn Salam, ‘Abdullah ibn Suriya, Ka’b al-Akhbar, dan Wahbah ibn Munabbih dapat disebut di antaranya. Setelah menjadi muslim, mereka juga berpartisipasi sebagai transformer ajaran Islam, terutama hadith-hadith Nabi. Karena itu pula, logis jika Nabi menyatakan bahwa mereka tidak boleh dipandang sebelah mata. Mereka juga perlu mendapatkan perhatian terutama dari sisi berita yang dibawanya, agar tidak serta merta dibantah, namun pada saat yang sama berita itu juga tidak serta merta dibenarkan, sebelum dilakukan reservasi dengan ketentuan dan ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam teks hadith di atas.
53 Hadith ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Lihat pula ulasan mengenai hal ini dalam alQur’an, 98: 6. 54 Jaiz, Menangkal Bahaya JIL, 41-42.
56 Ketentuan ini dapat dilihat pada al-Qur’an, surat Qurays: 1-2.
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
109
Keenam, Ahl al-kitab tidak monolitik, ada yang beriman dan ada juga yang kafir.57 Ahl al-kitab, baik secara teologis maupun empiris tidaklah monolitik. Terdapat dua varian tentang ahl al-kitab ini, yakni ahl al-kitab yang konsisten dan ahl al-kitab yang tidak konsisten. Di dalam al-Qur’an surat Ali Imran: 113-115 dijelaskan bahwa mereka itu tidak sama dan tidak monolitik. Di antara ahl al-kitab ada golongan yang berlaku lurus (konsisten), mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (bersembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera kepada kebaikan. Apa saja kebaikan yang mereka kerjakan, maka sekalikali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS. 3: 113-115).
Contoh sikap konsisten pada komunitas ahl al-kitab ini didapatkan pada sosok Abdullah ibn Salam. Tokoh kharismatik dan rahib Yahudi ini langsung menyatakan keimanannya kepada Muhammad tatkala ia mengetahui Nabi yang dijanjikan itu hijrah dan tiba di Madinah. Sikap Abdullah tersebut merupakan komitmen keimanannya terhadap Taurat yang memberitakan kedatangan dan menyebutkan nama Nabi akhir zaman ini.58 Di kalangan Nasrani, sikap serupa didapatkan pada seorang Negus. Raja Ethiopia yang saleh ini sebelumnya sempat menginterogasi rombongan hijrah kaum muslimin yang dipimpin oleh Ja’far ibn Abi Thalib. Namun setelah diketahuinya common platform antara Islam dan Nasrani sebagai agama wahyu, ia pun menerima dan melindungi kaum muslimin. Tampak kontras dengan contoh di atas adalah kelompok kedua, yakni ahl al-kitab yang tidak konsisten. Ketika figur Abdullah ibn Salam beriman dan masuk Islam, kalangan Yahudi menjadi lebih sengit dalam melancarkan permusuhannya terhadap Nabi dan para pengikut beliau. Permusuhan yang menurut cendekiawan Mesir, Muhammad Husein Haekal, lebih sengit ketimbang konfrontasi orang-orang kafir Quraisy Mekah ini, disebabkan kedengkian Yahudi terhadap Nabi terakhir yang bukan berasal dari golongan mereka. Nabi yang terakhir itu semula diperkirakan berasal dari bangsa Israel, namun ternyata dari bangsa Arab yang telah lama menjadi seteru mereka. Di antara pelanggaran paling buruk yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi adalah “mengkorupsi” kitab suci, melanggar hari Sabbath, membunuh Nabi-nabi mereka, dan menyimpang dari ajaran tawhid yang lurus dan sebenarnya.59
58 Periksa lebih lanjut tentang hal ini misalnya dalam QS. 7:157. 59 John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 1, Bandung: Mizan, 2000, 79.
110
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
Secara teologis, agama-agama Ibrahim menyerukan akidah yang sama, yakni mentawhidkan Allah. Dengan fokus seruan yang sama-sama berasal dari Allah pula, ketiga agama ini memiliki kedekatan. Namun demikian, kedekatan itu terhenti sejak agama Kristen dan Yahudi melakukan penyelewengan dan penyimpangan atas sistem teologinya, sehingga tidak lagi mewarisi seruan atas ketawhidan. Dalam kedua agama yang secara genealogis berasal dari jalur Ishaq ke Ibrahim ini, yakni Kristen dan Yahudi, dalam beberapa hal terdapat penyimpangan dan manipulasi terhadap ajaran agama. Penyelewengan teologis ini kemudian diabadikan dalam kitab suci yang diyakini oleh sekelompok umat Islam sebagai kebenaran mutlak yang tidak perlu diinterpretasikan. Berdasarkan ketentuan normatif al-Qur’an, 2: 120, dinyatakan bahwa kedua agama, Yahudi dan Kristen merupakan agama yang masih memiliki kedekatan hubungan dengan Islam. Hal ini didasarkan misalnya dalam al-Qur’an, 5: 82, bahwa semua agama samawi, Islam, Kristen dan Yahudi sama-sama menyerukan tawhid. Namun, berdasarkan informasi tekstual al-Qur’an, 9: 30, penganut kedua agama, Yahudi dan Kristen dinilai telah melakukan penyimpangan, terutama dalam doktrin teologis. Pada tradisi Nasrani, misalnya ’Isa dianggap sebagai anak Allah. Demikian pula dalam tradisi Yahudi, dinyatakan bahwa ’Uzayr diyakini sebagai anak Allah. Mereka menganggap bahwa Tuhan yang satu sama dengan tiga, dan Tuhan yang tiga sama dengan satu, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an, 5: 73. Berdasarkan teks tersebut, ada sebagian umat Islam yang menyimpulkan bahwa kedua agama serumpun tersebut tidak lagi murni, sehingga kedekatan keduanya terhadap Islam telah berakhir. Berdasarkan informasi itu pula, mereka meyakini bahwa ahl al-kitab yang masih murni, atau masih mentawhidkan Allah sudah tidak ada di era sekarang. Bahkan, mereka juga menilai bahwa semua penganut agama Kristen dan Yahudi adalah kafir, sebagaimana diiformasikan al-Qur’an, 5: 72. Kesimpulan sekelompok umat Islam bahwa ahl al-kitab yang murni tidak ada lagi di era sekarang, juga didasarkan kepada posisi Muhammad SAW. sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Posisi tersebut memiliki implikasi pemahaman bahwa Islam menyempurnakan agama-agama terdahulu sebagaimana diinformasikan al-Qur’an, 5: 3. Konsekuensi dari keyakinan ini, bahwa agama-agama yang hadir sebelumnya, telah berakhir masa keberlakuannya. Eksistensi agama-agama terdahulu telah dihapus oleh agama Islam yang hadir belakangan. Pemahaman ini bisa dilihat pada interpretasi Qutb, yang pemikirannya banyak diadaptasi oleh para aktivis HT dan MM. Menurut Sayyid Qutb, berdasarkan al-Qur’an 2: 62, bahwa iman dan amal shalih merupakan syarat keselamatan bagi umat Yahudi, Nasrani dan Shabi’in. Namun hal ini hanya berlaku pada masa sebelum kerasulan Muhammad. Adapun setelah kerasulannya, maka keimanan Islam sajalah yang dapat menyelamatkan seluruh umat manusia. Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
111
Berdasarkan interpretasi itu pula, mereka bersikap eksklusif terhadap agama-agama lain.60 Apresiasi al-Qur’an tentang tidak monolitiknya ahl al-kitab ini, misalnya dapat disimak dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) : 109. Merupakan fakta yang terasa sulit dibantah bahwa banyak kesaksian tentang pemalsuan Alkitab yang dilakukan oleh elit agama Kristen dan Yahudi. Hanya saja permasalahannya adalah apakah perbuatan mengubah pelaksanaan aturan doktriner itu yang menjadikan mereka dikritik oleh al-Qur’an sehingga diberikan label kafir, dzalim dan fasiq, atau karena halhal lain. Permasalahan-permasalahan seperti ini kurang dikaji secara mendalam sebelum memberikan justifikasi tertentu. Jika teks al-Qur’an menyatakan demikian, maka disimpulkan bahwa semua penganut Yahudi dan Nasrani adalah kafir. Ketentuan teks-teks keagamaan yang menyimpang dalam teologi Kristen maupun Yahudi di atas, menurut hemat penulis tidak dapat dijadikan sebagai legitimasi untuk menggeneralisir bahwa semua orang Kristen dan Yahudi melakukan hal yang sama, sebagaimana diinformasikan dalam beberapa ayat al-Qur’an yang telah disebutkan sebelumnya. Karena itu, dalam konteks ini, bisa disimpulkan bahwa meskipun para aktivis Islam “radikal” menyatakan bahwa mereka membela kebenaran tekstual, namun mereka juga menafikan teks-teks yang mengisyaratkan tidak monolitiknya komunitas Kristiani maupun Yahudi. Berdasarkan data di atas, kesimpulan bahwa semua penganut agama Kristen dan Yahudi memiliki watak yang sama, dan telah me-lakukan penyimpangan teologis, merupakan generalisasi yang memerlukan verifikasi lebih lanjut. Hal ini karena dalam tradisi setiap agama, terdapat beragam pemahaman dan praktik keagamaan yang tidak monolitik, tidak terkecuali pada Islam, Kristen dan Yahudi. Di dalam beberapa teks alQur’an dan juga hadith di atas dinyatakan bahwa ahl al-kitab itu tidak monolitik. Misalnya di antara ahl al-kitab, banyak (bukan semua) yang memiliki perilaku menyimpang untuk menyesatkan umat Islam kepada kekafiran;61 di antara ahl al-kitab, mereka ada yang berperilaku lurus, membaca ayat-ayat Allah dan bersujud kepada-Nya;62 di antara ahl al-kitab juga ada yang amanah dan tidak amanah;63 di antara ahl al-kitab, juga ada yang tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah.64 Jika para aktivis Islam “radikal” konsisten dalam membela kebenaran tekstual, 60 Lihat Sayyid Qut}b, Fi Zhilal al-Qur’an, Juz I, Beirut: Dar al-‘Arabiyah, tt, 94. 61 Al-Qur’an, 2: 109. 62 Al-Qur’an, 3: 113. 63 Al-Qur’an, 3: 75. 64 Al-Qur’an, 3:199.
112
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
semestinya mereka juga memperhatikan ayat-ayat yang memberikan penghargaan kepada kedua komunitas ahl al-kitab, Kristen dan Yahudi. Dalam wacana teks-teks hadith yang termuat dalam kitab shahih alBukhari ini, tampaknya bahwa ahl al-kitab yang dimaksud hanya mencakup dua komunitas agama samawi yang menjadi konteks munculnya agama Islam, yakni Yahudi dan Nasrani. Hal ini tampaknya memperkuat argumen sejarah bahwa pada saat Rasulullah memimpin Madinah maupun tatkala masih di Makkah, belum begitu akrab dengan komunitas agama lain, seperti Zoroaster dan Shabi’in kendati keduanya ditemukan pada tradisi agama Persia. Hal yang sama terjadi pada agama selain itu, yakni Hindu, Budha, Konghucu dan bahkan Shinto, yang secara umum telah menjadi bagian dari tradisi dan agama Cina serta bangsa-bangsa di anak benua India dan di wilayah timur jauh. 2.
Implikasi Wacana Ahl al-kitab Dalam Kitab Hadith Shahih al-Bukhari terhadap Kerukunan Umat Beragama Keharmonisan hidup dalam konteks pluralitas, dapat dibangun dengan dasar kearifan menghadapi perbedaan keyakinan. Perbenturan keyakinan akan semakin mengedepan bila keberagamaan ditampilkan secara eksklusif. Bentuk keyakinan dimaksud bisa berupa keyakinan akan eksistensi Tuhan, cara beribadah serta doktrin-doktrin keagamaan lainnya. Dasar normativitas agama yang terkesan memberikan nilai negatif dan pejoratif terhadap komunitas ahl al-kitab, boleh jadi akan berimplikasi negatif juga bagi penciptaan keharmonisan hidup dalam konteks pluralitas. Potensi konstruktif-transformatif akan berkembang bila masingmasing komunitas agama menjunjung tinggi nilai toleransi, kebersamaan dan kerukunan. Sebaliknya, kekuatan destruktif akan dominan jika sikap keberagamaan ditampilkan dengan intoleransi, eksklusif dan menganggap agamanya paling benar (truth claim). Karena sikap ini sama artinya dengan menafikan realitas pluralitas, yang mengharuskan adanya penghargaan dan keharmonisan hidup. Hadith-hadith yang bernuansa permusuhan, konfrontatif dan pejoratif tentang ahl al-kitab tersebut, akan berimplikasi baik secara teologis maupun sosiologis. Secara teologis, ajaran keselamatan tunggal dan monopoli Islam atas ahl al-kitab, sesungguhnya sama halnya dengan sejumlah doktrin yang dimiliki juga oleh setiap agama dan mengharuskan diyakini kebenarannya oleh setiap pemeluk agama. Keyakinan terhadap kebenaran doktrin ini akan menimbulkan ketaatan, kepatuhan dan ketundukan pada dirinya, yang dapat menentukan corak dan warna kehidupan dalam konteks masyarakat plural. Teks-teks yang terkesan mendiskreditkan ahl al-kitab tersebut juga dipahami oleh para ulama dengan pemahaman yang berbeda. Terdapat
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
113
sekelompok ulama, memahaminya sebagai sesuatu yang absolut, yang tidak bisa ditawar lagi bahwa semua bentuk keyakinan di luar Islam adalah salah. Sementara itu, kelompok lain berpendapat bahwa keselamatan bukan monopoli Islam. Bagi kelompok ini, umat lain tetap dimungkinkan mendapatkan keselamatan dengan substansi ajaran yang sama sekalipun secara formal simbolik, institusi agamanya berbeda. Dalam konteks ini misalnya Fazlur Rahman, menunjukkan misintepretasi yang dilakukan oleh para mufassir ketika memahami kandungan makna esensial dari al-Qur’an 2:62 dan al-Qur’an 4:69, yang memberikan kemungkinan keselamatan bagi kaum beragama selain Islam, terutama ahl al-kitab ini. Mayoritas penafsir muslim dengan sia-sia berusaha menolak maksud yang jelas, yang dinyatakan dalam dua ayat al-Qur’an itu, bahwa mereka yang beriman, dari kaum apapun, yang percaya kepada Allah dan hari akhir serta melakukan kebajikan akan memperoleh keselamatan. Para mufassir itu menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabi’in dalam ayat tersebut adalah mereka yang telah menjadi muslim. Penafsiran ini jelas keliru sebab seperti yang termaktub dalam kedua ayat tersebut, orang-orang muslim adalah yang pertama disebut di antara empat kelompok orang-orang yang percaya. Bisa jadi, lanjut Rahman, para mufassir itu beralasan bahwa yang dimaksud dengan orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang disinyalir ayat tersebut adalah orang-orang yang shalih sebelum kedatangan Rasulullah Muhammad. Bahkan, ketika orang-orang Yahudi dan Nasrani mengklaim diri mereka sebagai yang memonopoli keselamatan di akhirat, al-Qur’an menyangkal :” sebaliknya! yang berserah diri kepada Allah dan melakukan kebajikanlah, yang akan berhak mendapatkan pahala dari Allah; tiada sesuatupun yang dikhawatirkan dan ia tidak akan sedih”. Pemahaman eksklusif dan memonopoli kebenaran yang diinterpretasikan para mufassir inilah yang mengilfiltrasi pemikiran para ulama yang terklasifikasi pada konservatif.65 Sebaliknya, bagi ulama liberal66 lebih banyak terilhami oleh pemikiran yang lebih bersifat terbuka dan inklusif, sebagaimana diwakili oleh Rahman dan Asad, serta beberapa pemikir muslim kontemporer lainnya semisal Nurcholis Madjid yang diilhami oleh Ibnu Taymiyah. Mencermati karakteristik umum dari masyarakat dalam menghadapi perbedaan keyakinan, bisa jadi hal tersebut menimbulkan atau paling tidak rentan memicu konflik dan ketegangan, terlebih jika didukung dan
65 Lihat Youssef Choueiri, Islamic Fundamentalism, Boston: Twayne, 1990, 69. 66 Lebih lanjut baca Charles Kurzmann. (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001. Lihat pula Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1999.
114
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
ditopang kuat dengan militansi yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan sebentuk perangkat sistem nilai yang oleh Amin Abdullah67 diformulasikan sebagai fiqh toleransi, baik terhadap internal maupun eksternal agama. Fiqih toleransi merupakan fiqih yang perlu digagas dengan mengedepankan dan mengembangkan cara berfikir, cara bergaul dan cara berinteraksi dengan orang atau kelompok lain yang berbeda. Hal ini perlu dilakukan agar dalam pikiran masing-masing komunitas internal maupun eksternal agama terdapat pemahaman dan ke sadaran bahwa kelompok lain tidak harus dipandang sebagai the others dan bahkan musuh, tetapi sebagai human being yang dapat dijadikan sebagai mitra dan tempat dialog. Hal ini mengindikasikan bahwa denominasi dalam agama lain dan mazhab dalam agama Islam yang sangat beragam itu, sesungguhnya membutuhkan kearifan dan bahkan ukhuwah. Hal ini karena justru ukhuwah dibutuhkan karena perbedaan, bukan karena persamaan, yang dalam konteks ini adalah interpretasi tentang sebuah doktrin keagamaan. Berbeda dengan pandangan kategori pertama yang memosisikan ahl al-kitab sebagai komunitas yang secara teologis diyakini menyimpang, dan secara sosial telah melahirkan sejumlah perilaku destruktif, kategori kedua ini justru memandang ahl al-kitab sebagai komunitas yang perlu dihargai. Dalam sejumlah teks hadith al-Bukhari di atas, misalnya disebut bagaimana agar umat Islam menghormati jenazah Yahudi, bersikap kritis terhadap informasi yang datang dari ahl al-kitab, kewajiban menjawab salam ahl alkitab, tidak monolitiknya komunitas ahl al-kitab (ada yang beriman dan ada yang kafir), dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sesungguhnya memiliki inti ajaran untuk menyebarkan misi kedamaian dalam pesan-pesan universal. Misi rahmatan li al-’alamin dalam konteks ini, dipahami bahwa untuk mendapatkan rahmat Tuhan, tidak berarti bahwa semua manusia harus memeluk Islam, tetapi siapapun yang dapat mengamalkan misi Islam sebagai agama hanif, yang berprinsip pada monoteisme dan amal shalih, maka ia akan mendapatkan kasih sayang Tuhan.68 Sinyalemen ini, secara jelas membuktikan bahwa, kendati secara politik Islam memiliki kekuasaan, tetapi tidak memonopoli kerahmatan dan tidak pula berprinsip keselamatan tunggal. Hal ini karena, tidak hanya fakta sosiologis bahwa heterogenitas adalah kehendak Tuhan, tetapi begitulah faktanya mengenai kebenaran. Karena itulah Madjid69 mengingatkan bahwa pluralisme adalah bagian dari pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Sehingga
67 http//www.id.islamlib.com/id/page.php?page=article&id, June 16, 2003. 68 Nurcholis Madjid dalam Pengantar George B. Grose dan Hubbard, Tiga Agama Satu Tuhan, Bandung: Mizan, 1998, xxvii. 69 Jawa Pos, edisi 6 Januari 2002.
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
115
dengan demikian, diharapkan teologi agama-agama bisa menjelaskan alasan teologisnya mengapa suatu agama perlu berdialog dengan yang lain, yang akan dipahami bersama partner dialog. Prasyarat dialog bukanlah penyelarasan semua keyakinan, melainkan pengakuan bahwa setiap orang beragama memiliki keyakinan yang mutlak, dan bahwa keyakinan tersebut berbeda-beda. Orang Islam merasa terikat pada alQur’an, orang Kristen merasa terikat Allah melalui Kristus, orang Hindu berkeyakinan bahwa banyak jalan menuju satu Brahman.70 3.
Penutup Hadith-hadith shahih yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW secara ideal semestinya tidak mengandung ambiguitas dan pertentangan. Namun Hadith-hadith tentang ahl al-kitab tampaknya membuktikan sebaliknya. Di satu sisi Rasulullah memberikan penghargaan terhadap komunitas ahl al-kitab, terutama Yahudi dan Nasrani, namun di sisi lain beliau juga melakukan kritikan pedas terhadap dua komunitas tersebut. Ungkapan Rasulullah yang terkesan ambigu tersebut sesungguhnya merupakan respon atas realitas ahl al-kitab yang menurut data sejarah memang tidak monolitik. Di antara mereka ada yang memiliki ketaatan dan komitmen keagamaan yang tinggi dengan berpegang kepada prinsip tawhid, namun di antara mereka juga banyak yang tidak lagi memiliki komitmen keagaman yang tinggi. Bahkan di antara mereka telah banyak yang melakukan penyimpangan dan penyelewengan teologis. Di samping itu, fluktuasi dan ambivalensi relasi Islam dengan dua komunitas tersebut, juga menjadi bukti sejarah yang tidak terbantahkan bahwa realitas yang demikian ini menjadi konteks tersendiri bagi munculnya hadith-hadith Nabi tentang ahl al-kitab, yang bernada positif di satu sisi dan terkesan negatif pada sisi lain. Wacana ahl al-kitab dalam hadith-hadith tersebut berimplikasi pada upaya penciptaan kerukunan umat beragama dalam konteks keragaman. Hadith-hadith yang bernuansa positif, tentu menjadi potensi dan dasar teologis tersendiri untuk membina hubungan harmonis antara muslim dengan non-muslim. Dasar teologis tersebut juga menjadi legitimasi bagi realitas sosiologis bahwa keragaman adalah suatu keniscayaan, yang mengharuskan penyikapan dan pengelolaan dengan penuh kearifan. Sebaliknya, hadith-hadith yang secara tekstual terkesan bernuansa membuat permusuhan terhadap komunitas ahl al-kitab, mesti dipahami dan diposisikan sesuai dengan konteks munculnya hadith-hadith tersebut. Pembacaan ayat maupun hadith secara tekstual, hanya akan melahirkan
70 Mukti Ali, Pluralism, 3.
116
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
permusuhan Islam terhadap komunitas ahl al-kitab. Sikap seperti ini tidak equivalent dengan Islam sebagai pembawa rahmat dan perdamaian, sebagaimana terangkum dalam misi universal Islam, rahmatan li al-’alamin. Wa Allah a’lam bi al-shawab *)
Umi Sumbulah Doktor dalam bidang agama Islam dari IAIN Sunan Ampel, Surabaya; dosen di fakultas Tarbiyah di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang. Email:
[email protected]
BIBLIOGRAFI Al-Anshori, Fauzan, Melawan Konspirasi JIL. Jakarta: Pustaka al-Furqan, 2003. Al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, IV. Abdurrahman, Yahya.“Kesalahan Metodologi Kelompok Liberal” dalam Jurnal Al-Wa’ie no. 58 Tahun V, 1-30 Juni, 2005. Ali, Maulana Muhammad, The Religion of Islam, terj. R. Kalen dan HM. Bachrun, Islamologi. Jakarta: Ikhtiar Baru, 1977. Ayoub, Mahmoud M., “Religious Pluralism and the Challenges of Inclusivism, Exclusivism and Globalism: An Islamic Perspective”, dalam Comitment of Faiths: identity, Plurality and Gender (Yogyakarta: Institute of DIAN/interfidei, 2002), 143-154. Ali, Mukti, “Pluralism: The Culture of Religions Understanding”, dalam Ijtihad : Journal of Islamic Law and Humanity. Number, 1 January-June, 2003. Jurusan Syari’ah dan P3M STAIN Salatiga. Al-Qurtubi, “Tafsir Al-Qurtubi”, dalam Barnamij al-Qur’an al-Karim (CDROM), versi 6.0. Makkah: Sakhr, 1999. Al-Sharqawi, Muhammad, Talmud: Kitab Hitam Yahudi Yang Menggemparkan. Ter. Alimin, dkk. Jakarta: Sahara Publishers, 2005. Al-Syahrastani, Muhammad ibn ‘Abd al-Karim, al-Milal wa al-Nihal. Mesir: al-Matba’ah al-Adabiyah, 1899-1903. vol.1. Asad, Muhammad, The Message of the Quran. Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980. Al-Tabari, Tafsir al-Tabari, Jilid 6. Beirut: Dar al-Fikr, 1405. Al-‘Udaini, Ahmad ibn Muhammad ibn Mansur, Kesesatan Qaradhawi-Tidak Merujuk pada Salaf al-Ummah. http://www. salafi.or.id/salafy. php? menu =detil&id_artikel=647, 13 April 2005. Al-Zabidi, Ab al-’Abbas, al-Tajrid al-Sharih li Ahadith al-Jami’ al-Shahih. Ttp: Dar al-Ma’arif, 1990.
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
117
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1999. Choueiri, Youssef, Islamic Fundamentalism. Boston: Twayne, 1990. Depag R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir al-Qur’an, 1971. Esposito, John L., The Islamic Threat: Myth or Reality? Oxford: Oxford University Press, 1992. —————(editor in Chief), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New York: Oxford University Press, 1995, volume 4. Hamim, Thoha, Islam & NU Di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer: Dialektika Kehidupan Politik, Agama, Pendidikan dan Sosial Masyarakat Muslim. Surabaya: Diantama, 2004. Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari”, dalam al-Maktabah al-Shamilah (CDROM), versi 1.0. Makkah: Global Islamic Software, 1999. Jaiz , Hartono Ahmad, Upaya Pemurtadan di IAIN. Jakarta: Pustaka alKautsar, 2004. —————, Menangkal Bahaya JIL dan FLA. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004. Jawa Pos, edisi 6 Januari 2002. Kamal, Zainun, Penganut Budha dan Hindu adalah Ahl al-kitab.http://www. islamlib.com, 02/09/2001, diakses 10 September 2008. Kathir, Ibn, “Tafsir Ibn Kathir”, dalam Barnamij al-Qur’an al-Karim (CDROM), versi 6.0. Makkah: Sakhr, 1999. Kurzmann, Charles ed., Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001). Madjid, Nurcholis, dalam Pengantar George B. Grose dan Hubbard, Tiga Agama Satu Tuhan. Bandung: Mizan, 1998. Noer, Kautsar Azhari, “Pluralisme dan Pendidikan”, dalam Th. Sumartana, dkk. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: institut DIAN/Interfidei, 2001, 223-240. Noviyanto, Penganut Hindu dan Budha adalah ahlul kitab, Jakarta, 24/07/ 2006 03:07, lihat http:// islamlib.com., diakses tanggal 11 September 2008. Qutb, Sayyid, Fi Dzilal al-Qur’an, Juz I. Beirut: Dar al-‘Arabiyah, tt. Ridha, Rasyid, Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Musamma bi Tafsir al-Manar, vol.6 Kairo: al-Hay’ah al-’Ammah li al-Kitab, 1972. Ropi, Ismatu, ”Wacana Inklusif Ahl al-Kitab” dalam Paramadina: Jurnal Pemikiran Islam, volume 1, Nomor 2, 1999, 288-101. Santoso, Thomas, “Kekerasan Politik-Agama di Situbondo”. Disertasi Doktor, Universitas Airlangga, Surabaya, 2002. 118
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
Samudera, Imam, Aku Melawan Teroris. Solo: Jazera, 2004. Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan, 1997. Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Mawdhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Umi Sumbulah, Wacana Ahl Al-Kitab
119