WACANA AGAMA DAN KEMANUSIAAN Udji Asiyah (UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Email:
[email protected])
Abstract: The life in Indonesia can not be separated from religious life in it. A Religion has become an important part in building an Indonesian civilization. Indonesian pluralistic civilization requires religious groups to have religious construction that is capable of transforming the values that encourage a spirit of tolerance and respectful of human values. The noble religious messages as sacred canopy should be institutionalized as a living teaching in a social context. Intolerance and various violence interpretations of religion are not suitable as diverse guidelines in a pluralistic society. Keywords: religion, humanity, tolerance, transformation of values, plural society
Pengantar Berbagai kekerasan yang mengatasnamakan agama belakangan ini cukup marak terjadi di negeri ini. Dalam skala yang lebih luas, kekerasan atas nama agama telah berwujud dalam perilaku ekstrem beragama berupa tindakan teroris yang telah menjadikan isu terorisme menjadi perbincangan dominan ketika menyebut kekerasan yang selalu menyertakan agama di dalamnya. Kekerasan atas nama agama kemudian berujud pula dengan adanya fenomena konfliktual antar agama, seperti terjadi di beberapa daerah. Tidak hanya berupa gesekan fisik, melainkan perusakan tempattempat ibadah agama yang berbeda. Sementara di tempat lain, dalam skala yang lebih kecil, berbagai kekerasan atas penganut beragama yang dianggap
Udji Asiyah ’menyempal’ dari konstruksi yang sudah ada juga masih sering terjadi. Kasus kekerasan yang menimpa Jamaah Ahmadiyah, komunitas Syiah, aliran Lia Taman Eden, Islam Sejati, dan sebagainya merupakan fakta tentang masih kentalnya kekerasan dijadikan sebagai satu-satunya cara menyelesaikan masalah, termasuk perbedaan keyakinan beragama. Bahkan belum lama di Cianjur, sebuah bangunan peribadatan sebuah agama dihancurkan oleh sekelompok orang dengan alasan dianggap menyalahi ijin pendirian bangunan. Berbagai fakta kekerasan yang berdimensikan Suku, Agama, dan Ras (SARA) tentunya memprihatinkan. Tidak saja karena dianggap dapat mengganggu dinamika sosial yang sudah ada, tetapi juga mencederai realitas keberagaman Indonesia, apalagi jika berbagai kekerasan tersebut sudah mulai melibatkan diskursus keagamaan. Menghubungkan kekerasan dengan ajaran agama cenderung menyederhanakan persoalan. Hal ini karena, agama – apapun- mengemban misi suci untuk menjadikan manusia terangkat derajat kemanusiaannya, baik sebagai makhluk Tuhan, sekaligus juga sebagai makhluk pribadi. Misi suci agama –apapun- adalah bagaimana membangun peradaban dunia ini menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dari era kedzaliman menuru era keadilan. Dari era kegelapan menuju era penuh ’cahaya’. Dari kebodohan menuju era kecerdasan. Dari era perbudakan menuju era kebebasan kemanusiaan. Artinya, dari pesan suci itu jelas agama tidaklah mengandung (ajaran) kekerasan di dalamnya. Agama justru menempatkan manusia dengan kemanusiaannya sebagai wakil Tuhan dibumi (khalifatullah fil ardh) agar mampu mengelola dunia menjadi lebih beradab. Peradaban agama adalah peradaban yang dibangun berdasar prinsip teologis untuk kepentingan antropologis. Dunia yang beradab adalah dunia yang nyaman untuk hidup bersama secara damai. Dunia yang di dalamnya penuh dengan ikhtiar untuk selalu berdialog menemukan solusi dari setiap masalah yang ada.
369 | Volume 5. No. 02. September 2013
Wacana Agama dan Kemanusiaan Peter L. Beger1 seorang sosiolog Barat yang dianggap sekuler pun pernah mengatakan bahwa agama merupakan suatu kanopi suci (sacree canopy) yang melindungi manusia dari situasi khaos, yaitu situasi tanpa arti dan makna. Agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia dan yang memberikan penjelasan yang paling komprehensif tentang realitas seperti kematian, penderitaan, tragedi dan ketidakadilan. Karenanya, jika kemudian kekerasan atas nama agama itu muncul, selain jelas kontraproduktif dengan inti utama ajaran agama, juga berpotensi mencederai kesucian agama itu sendiri. Transformasi Sosial (Pesan) Agama Dalam konteks demikian, maka upaya untuk mentransformasikan pesan sosial dari agama serta menumbuhkembangkan dialog antar agama menjadi sesuatu yang layak diapresiasi. Mengapa demikian? Karena ketika dalam konteks (ruang) publik dan dinamika sosial, tampaknya sudah tidak urgen lagi untuk saling berebut truth claim (klaim kebenaran). Dalam ruang publik sosial, masyarakat harus dibebaskan dari tirani kesadaran normatif yang cenderung membenarkan diri dengan menyalahkan yang lain (the other atau liyan). Cara berpikir yang cenderung bersifat hitam putih, dengan meng’hitam’kan yang lain dan me’mutih’kan diri sendiri. Kita tidak ingin agama yang sesungguhnya ramah dan penuh dengan pesan kemanusiaan, yang turun di muka bumi buat mengatur dan menata kesejahteraan manusia itu, dipahami secara kontraproduktif menjadi sesuatu yang malah serba menakutkan. Bahwa –meminjam terminologi Mohamad Sobary2 agama memang membawa misi kebenaran, bukan agama jika tidak membawa misi ini. Bahwa agama memang menawarkan jalan Berger, Peter L. 1994, Langit Suci, Agama sebagai realitas Sosial,Jakarta: LP3ES. Hlm. 42 2 Sobary, Mohammad, 1998, Diskursus Islam Sosial, Memahami Zaman Mencaro Solusi, Bandung: Zaman. Hlm. 35 1
| 370
Udji Asiyah kebenaran, namun demikian kita tidaklah boleh merasa paling benar. Agama boleh menawarkan jalan kemenangan, tapi kita tidak boleh ingin menang sendiri. Tuhan yang memiliki agama itu, boleh bersikap serba mutlak, tapi bukankah kita sendiri cuma makhluk serba dha’if dam tidak mutlak? Bukankah berbagai fenomena konfliktual berwajahkan agama, apalagi jika mengarah pada kekerasan yang melukai manusia dan kemanusiaannya, selalu bermula dari kecenderungan untuk selalu merasa benar sendiri. Jika memang kekerasan itu bersumberkan dari agama, maka tidak salah jika Erich Fromm (1975) mengatakan bahwa semakin orang yakin akan kebenaran agamanya, maka semakin yakin bahwa orang lain adalah setan. Dan kita tidak mau pesan suci agama ternodai dari perilaku-perilaku yang merusak dan kian menguatkan phobia masyarakat yang selama ini merasa anti dengan agama, sebagaimana pernah terjadi dalam peradaban jaman pertengahan yang menganggap bahwa agama adalah ’candu’ bagi masyarakat. Itulah sebabnya, upaya mentransformasikan pesan sosial kemasyarakatan dari agama –belakangan ini- menemukan titik momentumnya. Dalam ruang publik bersama, apalagi dalam konteks kebangsaan Indonesia, membincangkan pesan sosial agama menjadi lebih produktif daripada saling berdebat tentang kebenaran agama masing-masing. Agama tidaklah hanya berfungsi membangun kesalehan ritual (pribadi) dengan ketekunan pada ibadah-ibadah personal, melainkan juga agama memiliki seperangkat nilai untuk membangun kesalehan sosial. Yakni, bagaimana menjadikan pesan agama berfungsi dalam kehidupan sosial kemanusiaan dan kemasyarakatan secara lebih riil dan kongkrit. Upaya ini merupakan suatu ikhtiar menggaet pesan-pesan langit dibawa turun ke bumi. Di bumi, ia harus dicari relevansi keduniaannya agar bisa memberi warna dalam tatanan hidup sosiokultural hingga ekonomi masyarakat. Agama dengan demikian memiliki pesan sosial untuk menjawab setiap persoalan-persoalan sosial yang hidup dan berkembang yang sedang melanda umat manusia. Agama memberikan jawaban tidak hanya normatif,
371 | Volume 5. No. 02. September 2013
Wacana Agama dan Kemanusiaan melainkan praksis bagi manusia dalam menjawab setiap persoalan kehidupan. Agama akhirnya memiliki relevansi keduniaan, untuk tidak hanya membangun kerajaan akhirat, melainkan membangun kerajaan dunia dalam sentuhan teologis yang suci. Transformasi sosial pesan keagamaan adalah untuk mengukuhkan bahwa agama memang diturunkan oleh Tuhan untuk (ke)manusia(an) di bumi sebagai mazraatul akhirah (jembatan menuju akhirat). Meminjam pernyataan Sobary selanjutnya, selama ini yang terjadi adalah agama tidak lagi untuk manusia, melainkan oleh sebagian justru dikembalikan untuk Tuhan semata, padahal yang membutuhkan agama adalah manusia bukan Tuhan. Akibatnya, kita seperti diajak mengembalikan agama (hanya) ke dalam dimensi ritualnya, yang kalis dari dimensi gerakan, kalis dari dimensi praksis, yang bisa membebaskan manusia dari ketidakadilan sosial. Akhirnya, agama hanya bersifat elitis dalam ruang-ruang peribadatan, yang seolah ruang lain tidak menjadi bagian dari tanggungjawab agama. Mentransformasikan ajaran agama ke ranah sosial kemasyarakatan adalah bukti bagaimana umat beragama tidak memisahkan fungsi ritual agama dengan fungsi sosial agama. Kesalehan personal dalam ritual agama justru semakin berujud dalam kesalehan sosial demi kehidupan kemanusiaan yang lebih baik. Orang yang saleh secara ritual jika mempraktekkan juga praksis sosial agama akan selalu peduli dengan penderitaan, ketidakadilan sosial, kemiskinan, korupsi, tertib lalu lintas, kebersihan lingkungan, empati kepada kemanusiaan dan sebagainya. Artinya, kesalehan surgawi ternyata juga berhubungan dengan kesalehan duniawi berupa membangun kesejahteraan sosial, mengentaskan kemiskinan, melawan ketidakadilan, dan membangun harmoni sosial antar manusia tidak peduli agamanya apapun. Sebuah usulan menarik dari Abdul Munir Mulkhan3 sudah saatnya kita membangun suatu teologi baru yang mengukur pintu 3
Mulkhan, Abdul Munir, 2007, Satu Tuhan Seribu Tafsir, Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 100
| 372
Udji Asiyah surga dan kesalehan, bisa dibuka dan tidak hanya dengan kunci frekuensi pergi ke rumah-rumah ibadah saja. Pintu surga dan kesalehan bisa diukur dari jumlah orang yang dibebaskan dari penderitaan sosial, ekonomi, dan politik seperti kelaparan, sakit yang tidak punya akses kesehatan publik, anak yang tidak bisa sekolah, masyarakat yang tidak memiliki lapangan pekerjaan, lingkungan yang selalu kotor dari perilaku buruk membuang sampah, jalanan yang selalu macet dan riuh rendah dari ketidaksantunan kita di jalan raya, dan sebagainya. Bukankah kehadiran semua nabi dan rasul selalu dengan alasan keterpanggilan membebaskan manusia dari kekuasaan yang dzalim? Kondisi-kondisi tidak manusiawi seperti disebutkan tadi itulah yang sesungguhnya menyebabkan kekafiran dan bukan sebaliknya, kekafiran yang menjadi penyebab penderitaan. Fungsi dan aksi kemanusiaan otentik dan universal sesungguhnya menjadi nilai objektif masing-masing agama yang harus diperjuangkan. Pemeluk agama yang saleh haruslah melakukan aksi pembebasan penderitaan sosial, ekonomi, dan politik orang lain tanpa melihat agama yang dipeluk atau paham keagamaanya apa. Inilah yang disebut oleh Munir Mulkhan4 sebagai dematerialisasi kesadaran Ilahiah, yaitu ketika kegiatan keagamaan didasari tanpa ada batasan agamanya apa, sehingga melihat orang lain dalam konteks kemanusiaan. Fungsi praksis sosial inilah yang harus dibangun oleh setiap umat beragama. Agama dengan demikian memang selalu berkontribusi dalam setiap bidang kehidupan seharihari. Fungsi sosial ini akhirnya membawa (ajaran) agama sebagai kenyataan sehari-hari, yang selalu hadir dalam setiap persoalan kemanusiaan. Umat beragama tidak hanya sibuk berada dalam rumah-rumah ibadah, melainkan sibuk juga membangun ibadah di rumah-rumah kemanusiaan.
4
Ibid, hlm 101
373 | Volume 5. No. 02. September 2013
Wacana Agama dan Kemanusiaan Mendorong Peran Aktif Kaum Muda Dari berbagai perspektif di atas, lalu dimana peran yang bisa dibangun oleh kaum muda? Pertanyaan ini penting dikemukakan, karena belakangan negeri ini sedang disibukkan dengan suatu fenonema upaya radikalisasi agama di kalangan anak-anak muda, dari soal sweeping, penutupan rumah ibadah, dan terorisme. Anakanak muda kita saat ini sedang berada dalam situasi dilematis karena sedang menjadi sasaran dari ajaran agama yang skripturalis yang bersifat ekstrem baik terhadap negara maupun terhadap agama yang berbeda. Berbagai peristiwa kekerasan dan konflik berdimensikan agama seringkali disulut oleh perilaku ekstrem kaum muda kita. Karenanya, pertanyaan tersebut di atas penting diberikan. Membangun praksis sosial ajaran agama mau tidak mau perlu melibatkan kaum muda sebagai agent of social change dari transformasi sosial tersebut. Selain berfungsi sebagai kaderisasi cara beragama yang inklusif dan terbuka, juga penting dalam rangka menciptakan generasi agama yang sadar terhadap misi suci agama membangun kesalehan sosial. Bukankah masa depan ajaran agama seringkali tergantung juga dari bagaimana anak muda sekarang ini terlibat atau dilibatkan untuk menejermahkan agama dalam konteks sosial secara baik dan benar? Kaum muda harus berperan secara aktif dalam setiap kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan. Kaum muda dari berbagai lintas agama harus selalu berada di garda terdepan menerjemahkan ajaran agama dalam praksis sosial secara objektif dan universal bagi kepentingan kemanusiaan yang adil dan beradab. Itulah sebabnya, perlu suatu kegiatan bersama yang dilakukan oleh setiap pemeluk umat beragama yang bertujuan membangun empati kemanusiaan terhadap berbagai ketidakadilan sosial, kemiskinan, kesehatan publik, lingkungan sosial dan lingkungan hidup, dan ranah sosial lainnya. Kegiatan bersama ini harus tidak bersifat karikatif, yang hanya muncul setelah ada suatu kejadian besar, melainkan suatu
| 374
Udji Asiyah kegiatan objektif berlangsung. Kaum muda lintas agama harus selalu dibangun paradigma transformatifnya sebagai masyarakat dialog yang selalu mengedepankan nilai kemanusiaan, nilai kebenaran, dan nilai keadilan sosial. Dengan demikian, generasi muda lintas agama dalam melakukan suatu kegiatan harus diletakkan dalam konteks kemanusiaan dan kebangsaan Indonesia. Praksis sosial ajaran agama adalah bukti bahwa agama memiliki ajaran yang bersifat objektif bagi kemanusiaan dan kebangsaan. Kegiatannya tidak boleh berada dalam sekat-sekat agama atau paham keagamaan, karena yang demikian justru kian menempatkan pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya tidak berada dalam suatu kesatuan organis. Jika kaum muda kita mampu menerjemahkan ajaran agama dalam ranah sosial secara berkelanjutan, niscaya peradaban kemanusiaan kita adalah peradaban atas dasar cinta kepada sesama. Beragama yang berbeda menjadi suatu mozaik yang memperindah dan mempercantik peradaban kemanusiaan kita. Jika ini bisa dilakukan maka tesis Hutington dalam The Clash Civilization, bahwa akan terjadi perang peradaban antara satu ajaran dengan ajaran lainnya akan runtuh dengan sendirinya. Atau juga akan menggugurkan tesisnya Miller, bahwa kehidupan demokratis sulit dibangun dalam masyarakat yang beragama dan berkeyakinan berbeda. Karenanya, kita harus percaya bahwa agama masa depan adalah agama yang membawa cinta, terutama cinta kepada kemanusiaan untuk meneguhkan keyakinan terhadap Tuhan. Mencintai Tuhan adalah diwujudkan melalui cinta kita kepada kemanusiaan. Penutup Diskursus agama dan kemanusiaan sesungguhnya menjadi penting dalam membangun peradaban yang berpihak pada kepentingan kemanusiaan. Peradaban masa depan harus diisi oleh pesan-pesan agama yang mammpu mentranfsormasikan pesan kemanusiaan. Bukankah agama diturunkan di muka bumi dalam
375 | Volume 5. No. 02. September 2013
Wacana Agama dan Kemanusiaan rangka menata kehidupan manusia menjadi lebih manusiawi dan beradab? Justru karena itulah, maka menata masa depan dunia menjadi penting dilakukan melalui bagaimana umat beragama masing-masing memiliki kesanggupan membuka diri dan melembagakan nilai-nilai yang objektif berupa nilai keadilan, nilai kebenaran dan nilai kemanusiaan, demi dan dan untuk masa depan kemanusiaan. Artinya, agama jelas memiliki peran penting dan absolut dalam rangka membawa umatnya untuk menghidupkan dan mempraksiskan pesan-pesan langit untuk kepentingan duniawi, agar hidup manusia tidak lagi diliputi oleh prasangka sosial atas nama agama. Agama yang begitu mulia diturunkan oleh Tuhan, tidak boleh dicederai dengan tafsiran-tafsiran yang justru kontraproduktif dengan kemuliaan tersebut. Dalam konteks demikian, maka pesan John D. Caput5o perlu dijadikan renungan bahwa agama masa depan adalah agama cinta. Hanya (tafsiran) agama-agama yang menawarkan cinta kasih bagi sesama akan menjadi agama yang berperan penting dalam membangun peradaban kemanusiaan. Tafsiran agama yang menganjurkan kekerasan dan mematikan akal sehat untuk mencintai kemanusiaan akan menjadi tafsiran beragama yang tidak layak dijadikan referensi utama kehidupan beragama masa depan. Wallahua’lam bis showab.
Daftar Pustaka
Berger, Peter L. 1994, Langit Suci, Agama sebagai realitas Sosial,Jakarta: LP3ES. Caputo, John. D., 2001, Agama Cinta, Agama Masa Depan, Bandung, Mizan.
5
Caputo, John. D., 2001, Agama Cinta, Agama Masa Depan, Bandung, Mizan. Hlm. 12
| 376
Udji Asiyah Effendy, Bachtiar, 2001, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Yogyakarta: Galang Press Hefner, Robert W., ed., 2007, Politik Multikulturalisme, Menggunggat Realitas Kebangsaan, Yogykarta, Kanisius dan Impulse Hikam, Muhammad AS., 1996, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES. Mulkhan, Abdul Munir, 2007, Satu Tuhan Seribu Tafsir, Yogyakarta: Kanisius Sobary, Mohammad, 1998, Diskursur Islam Sosial, Memahami Zaman Mencaro Solusi, Bandung: Zaman.
377 | Volume 5. No. 02. September 2013