Hak Penulis dan Penerbit dilindungi undang-undang Volume 5, Nomor 2, Desember 2012
Volume 5, Nomor 2, Desember 2012 Penanggung Jawab Siti Malaiha Dewi Redaktur Nur Mahmudah Umma Farida Siti Muflichah Penyunting/Editor Ismi Dwi Astuti Nurhaeni (Universitas Sebelas Maret Solo) Siti Syamsiyatun (UIN Suna Kalijaga Yogyakarta) Husein Muhammad (Fahmina Institute Cirebon / Komnas Perempuan Jakarta) Desain Grafis Nur Said Rini Dwi Susanti Setyoningsih Irzum Farichah Sekretariat Retno Susilowati Bunawati Dwi Sulistiono M. Zainal Abidin Alamat Redaksi PSG STAIN Kudus, Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51 Telp. 0291 432677 Fax. 0291 441613 Kudus 59322 Email & Facebook:
[email protected] Website: www.psgstainkds.multiply.com
Jurnal PALASTRèN diterbitkan oleh Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus enam bulan sekali pada bulan Juli dan Desember. Redaksi menerima tulisan baik berupa hasil riset, kajian teks maupun telaah buku yang terkait dengan isu-isu gender atau persoalan perempuan terkini. Tulisan diprioritaskan yang memberi jalan keluar bagi persoalan ketidakadilan gender. Teknik penulisan merujuk pada acuan terlampir. Redaksi berhak memperbaiki susunan kalimat tanpa merubah substansi. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Pengantar Redaksi
PENGANTAR REDAKSI Syukur Alhamdulillah, tim redaksi panjatkan kepada Allah SWT sehingga Jurnal PALASTRèN dapat terus menyapa pembaca dengan berbagai artikel, hasil riset dan bedah buku secara kontinu. Diseminasi gagasan tentang kesadaran kesetaraan gender dan ragam problem yang melingkupinya dihadirkan pada volume kali ini baik dalam dataran teoritis maupun realitas empiris, dalam ranah konseptual dan praksis. Berbagai tulisan diorientasikan untuk meneguhkan perjuangan keadilan dan kesetaraan gender yang hingga saat ini masih menyisakan banyak pekerjaan rumah baik bagi banyak pihak. Artikel pembuka ditulis oleh Dewi Laily Purnamasari yang mendedah tantangan bagi perempuan dalam era wikinomics. Perempuan musti berpartisipasi secara aktif sebagai pemimpin untuk memperluas peran strategis perempuan dalam bidang ekonomi dan bisnis untuk kesejahteraan bersama. Perempuan dapat berkaca pada model kepemimpinan perempuan dalam bidang ekonomi yang telah ditulis sejarah dengan tinta emas. Tantangan bagi perempuan dalam bidang dakwah disajikan oleh Farida Ulyani dengan mengambil model manajemen pemberdayaan perempuan oleh perempuan berbasis dakwah Islam yang dilakukan oleh Muslimah Center (MC) di Pesantren Daarut Tauhid Bandung. Langkah MC dalam beberapa hal dapat menjadi model bagi partisipasi publik perempuan di pesantren meski dengan segmentasi terbatas. Wacana keadilan dan kesetaraan gender dalam bidang pendidikan ditelisik oleh Retno Susilowati yang memfokuskan kajianya pada pendidikan inklusif bagi penderita disleksia. Sebagai siswa yang berkebutuhan khusus, penderita disleksia dapat dibantu untuk mengatasi kebutuhan belajarnya melalui pendidikan inklusif yang memberlakukan secara adil dan setara penyandang disleksia laki-laki maupun perempuan. Isu pendidikan lain dikemukakan Ismanto yang menyoal adanya ketimpangan gender dalam evaluasi pendidikan. Kesadaran dan kemampuan untuk penyusunan instrumen evaluasi yang tidak bias gender menjadi hal penting. Pendidik dituntut harus
iii
iv
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
mampu menghilangkan adanya sejumlah faktor yang mengakibatkan kesenjangan performans antara laki-laki dan perempuan terkait respon terhadap soal tes. Upaya pemenuhan keadilan gender bagi perempuan dalam dunia kerja menjadi concern tiga artikel berikutnya. Hasanatul Jannah memberikan kajian tentang upaya mewujudkan keadilan gender bagi perempuan di dunia kerja secara umum melalui pemberdayaan. Sementara Briliyan mengetengahkan argumentasi perlunya regulasi khusus yang mengatur hubungan kerja dan menjamin perlakuan yang adil dan setara bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam hukum positif di Indonesia. UU tentang PRT ini melengkapi UU Ketenagakerjaan dan UU PKDRT atau peraturan daerah yang belum secara khusus mengatur persoalan hubungan kerja. Dalam lingkup pekerja perempuan di luar negeri, Umi Qodarsasi menginvestigasi adanya kendala implementasi konvensi CEDAW terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia di Malaysia. Kendala implementasi ini dipengaruhi oleh beberapa aspek yang mempengaruhi efektivitas konvensi CEDAW, yaitu aspek obligasi, presisi, serta delegasi. Analisis dari ketiga aspek tersebut menunjukkan bahwa tingkat efektivitas konvensi CEDAW tergolong rendah sehingga belum mampu sepenuhnya mengatasi permasalahan diskriminasi terhadap perempuan di berbagai belahan dunia. Isu lain yang dicoba diangkat oleh Moh. Rosyid berkaitan dengan pandangan kaum santri terhadap fenomena gay di kabupaten Kudus. Terdapat tiga pandangan yang mengemuka yaitu penolakan, masa bodoh dan simpati. Sementara isu gender dalam buku sebagai bagian pergulatan mewacanakan kesetaraan kali ini menghadirkan dua buah buku. Ahmad Suhendra menulis ”Menelaah Ulang Hukum Aborsi (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)” sebagai refleksi terhadap buku Aborsi dan Hak-Hak Reproduksi dalam Islam karya Istibsjaroh (2012). Menurut Ahmad, buku ini setidaknya dapat dijadikan sebagai pengantar bagi pengkaji hukum aborsi dalam hukum positif di Indonesia dan hukum Islam. Namun, uraian dan analisa yang ditawarkan terkait aborsi dalam buku ini masih perlu pengayaan dengan buku lain dalam hal tidak ditemukannya pembahasan secara mendalam mengenai korelasi antara aborsi dan kesehatan reproduksi dan kajian atas pendapat-pendapat para ulama atau sarjana muslim
Pengantar Redaksi
yang cenderung memandang aborsi sebagai sebuah pilihan (prochoice). Demikian juga Muhammad Kharis yang menulis “Potret Perjuangan Organisasi Perempuan Indonesia” sebagai refleksi atas buku Peta Gerakan Perempuan Islam Pasca-Reformasi (2012) yang ditulis ulang dari laporan penelitian Lies Marcoes-Natsir dan kawankawan. Buku ini memotret perjuangan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan isu–isu kontemporer tentang perempuan di Indonesia dalam lima organisasi yaitu Aisyiyah, Fatayat Nahdlatul Ulama (FNU), Bidang Kewanitaan Partai Keadilan Sejahtera (BK PKS), Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI), dan Fahmina-Institute. Pilihan penulis untuk tidak mengupas satu tema besar yang sama kemudian dibedah dan dikomentari oleh lima organisasi dan hanya beberapa cuplikan tema-tema yang sama seperti kesehatan reproduksi yang dikomentari banyak organisasi perempuan bisa jadi belum memuaskan bagi sebagian pembaca. Namun demikian, secara umum, buku ini berhasil menyuguhkan kepada pembaca untuk menganalisa secara utuh, perjuangan dari masing-masing organisasi perempuan yang meski berbeda, ternyata hadir dan memiliki semangat yang sama, yakni memberdayakan perempuan Indonesia. Sebagai kata akhir, redaktur menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung penerbitan edisi ini terutama para penulis yang telah menyiapkan tulisannya untuk diterbitkan. Juga kepada mitra bestari yang banyak memberikan masukan serta para pembaca yang tetap kami tunggu saran konstruktifnya. Kepada mereka semua redaktur menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Akhirnya kami sampaikan SELAMAT MEMBACA. Kudus, Desember 2012 Redaktur
vi
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
DAFTAR ISI
IDE UTAMA Mencari Model Perempuan Pemimpin di Era Wikinomics Dewi Laily Purnamasari ─ 160-184 Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga Briliyan Erna Wati ─ 185-197 Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan dalam Dunia Kerja Hasanatul Jannah ─ 198-210 Menyoal Kesetaraan Gender dalam Evaluasi Pembelajaran Ismanto ─ 211-225 RISET Model Baru Peran Publik Perempuan di Pesantren: Studi Kasus di Muslimah Center di Pesantren Daarut Tauhid Bandung Farida Ulyani ─ 226-247 Keadilan dan Kesetaraan dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia Retno Susilowati ─ 248-267 Pandangan Kaum Santri di Kabupaten Kudus Terhadap Kaum Gay Moh. Rosyid ─ 268-288
Daftar Isi
Kendala Implementasi Konvensi CEDAW PBB 1979 Dalam Upaya Penyelesaian Kasus Kekerasan Terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia di Malaysia Umi Qodarsasi ─ 289-307 REVIEW BUKU Potret Perjuangan Organisasi Perempuan Indonesia Muhammad Kharis ─ 308-317 Menelaah Ulang Hukum Aborsi (Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif) Ahmad Suhendra ─ 318-325
vii
MENCARI MODEL PEREMPUAN PEMIMPIN DI ERA WIKINOMICS Oleh: Dewi Laily Purnamasari*)
ABSTRACT: Human-based economic development as a concept of Islamic economics and its application is followed by the need to optimize the dignity of life in all areas of the Indonesian nation. Muhammad is the right model, he provides guidance and direction on how the economic activities carried out, also economic actors as a business manager. The role of women in nation-building can not be separated from education which is believed to increase the access of women to the labor market and improve certain skills, including expertise in economics and leadership. Wikinomics is a new force that unites people on the internet to create a giant brain. Impact wikinomics quite impressive, the concept itself has become a word in everyday conversation. Wikinomics word (with a ‘w’ small) is used in the manner and by some unexpected groups, in many different countries and companies use wikinomics to form a community and collaborative innovation. Keywords: wikinomics, women’s role, female leader
A. Pendahuluan Perbincangan tentang perempuan, kepemimpinan, ekonomi Islam, era digital, dan kolaborasi global berbasis web yang disebut wikinomics bagi perkembangan bisnis di masa depan khususnya di Indonesia sangatlah menarik. Berangkat dari pemikiran bahwa perlu terus menerus diupayakan ‘affirmative action’ atau tindakan afirmatif terhadap peran perempuan yang lebih besar di segala bidang pembangunan termasuk ekonomi dan bisnis. Kebijakan perluasan akses perempuan terhadap pendidikan didukung oleh World Conference of the Internatioal Women’s Year di Meksiko tahun 1975, juga PBB pada tahun 1976 – 1985, dan oleh Beijing Platform for Action di RRC tahun 1996. Pendidikan merupakan Hak Asasi Manusia dan merupakan alat penting bagi pencapaian kesetaraan, *) Dosen Akademi Perdagangan Catur Insan Cendikia Cirebon
Mencari Model Perempuan Pemimpin Di Era Wikinomics ( Dewi Laily Purnamasari )
perkembangan, dan kedamaian. Pendidikan yang tidak diskriminatif akan menguntungkan, baik bagi perempuan maupun laki-laki, yang pada akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki dewasa. Salah satu argumennya adalah bahwa pendidikan akan mentransformasikan perempuan dari partisipan dan resipien pasif menjadi aktor sekaligus konsumen aktif dalam proses pembangunan. Bercermin pada sejarah 83 tahun lalu. Kongres Perkoempoelan Perempoean Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta yang diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia. Kongres ini adalah bentuk ‘pemberontakan kecil’ kalau tak ingin disebut sebagai ungkapan rasa kecewa terhadap Kongres Pemoeda yang menghasilkan Soempah Pemoeda pada tanggal 28 Oktober 1928. Perempuan pelopor yang menjadi panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia 1928 dan ikut dalam deklarasi Sumpah Pemuda 1928 antara lain Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari dan lainlain. Merekalah inisiator dan penggerak Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928. Organisasi yang mengikuti Kongres di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa. Faktanya, di era kekinian perempuan dan berbagai permasalahannya seperti kesehatan reproduksi, keselamatan ibu hamil dan melahirkan, HIV/AIDS, poligami, perkawinan di bawah tangan pada kelompok perempuan marjinal, pelacuran, tingkat pendidikan yang rendah, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan dan anak, upah dan hak-hak pekerja perempuan, akses terhadap kebijakan publik, minimnya perempuan di parlemen dan perempuan pemimpin masih harus diangkat dan dibahas untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya. Peran perempuan dalam ekonomi dan bisnis tentu sangat strategis demi tercapainya tujuan dari perkembangan ekonomi bagi kesejahteraan umat. Aries Mufti Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah menyatakan, selama 62 tahun Indonesia menjadikan ekonomi kapitalis sebagai tumpuan kebijakan pembangunan ekonomi, yang
161
162
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
ternyata telah gagal mewujudkan sebagaimana yang diamanatkan rakyat, terutama ketersediaan lapangan kerja yang layak bagi kehidupan. Individualisme, materialisme, dan paham kapitalis yang bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan yang islami, ternyata tidak mampu meningkatkan kesejahteraan umat. Perkembangan ekonomi Islam dalam tiga dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk kajian akademis di perguruan tinggi maupun secara praktik operasional. Demikian disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Mustafa Edwin Nasution. Dalam bentuk kajian, ekonomi Islam telah dikembangkan di berbagai Perguruan Tinggi, baik di negara-negara Muslim maupun di negaranegara Barat, seperti di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Di Inggris terdapat beberapa Perguruan Tinggi yang telah mengembangkan kajian ekonomi Islam (Islamic Economics), seperti University or Durham, University of Ports-Mouth, Markfield Institute of Higher Education, University of Wales Lampeder, dan Loughborough University. Di Amerika Serikat, pengembangan kajian ekonomi Islam dilakukan di Harvard University. Di Australia, University of Wolonggong juga melakukan hal yang sama. Don Tapscott dan Anthony William pada akhir tahun 2006 mempublikasikan sebuah buku berjudul Wikinomics, Kolaborasi Global Berbasis Web bagi Bisnis Masa Depan. Tapschott adalah penulis buku laris The Digital Economy menyatakan bahwa telah terjadi ledakan jejaring social, dimana MySpace bertumbuh dengan 2 juta pendaftar baru tiap pekannya (dan dengan lebih dari 200 juta anggota menuju angka setengah miliar). Kebanyakan mahasiswa di AS juga di Indonesia dan sebagian mereka adalah perempuan bergaul di Facebook. Satu blog baru dibuat setiap detiknya setiap hari, 24 jam per hari. Tampaknya kita benar-benar sedang mengubah dunia. B. Peran Publik Perempuan Sebagai Pemimpin Ekonomi dan Bisnis Perempuan pemimpin dalam ekonomi khususnya dalam bisnis adalah kajian menarik yang belum banyak ditekuni oleh para akademisi baik secara konvensional maupun yang berbasis ilmu keislaman.
Mencari Model Perempuan Pemimpin Di Era Wikinomics ( Dewi Laily Purnamasari )
Mengapa demikian? Menurut Hadiz dalam Jurnal Perempuan edisi 5 tahun 1998, di Indonesia, nilai-nilai gender tentang kodrat perempuan sebagai ibu dimanfaatkan negara untuk menyokong berbagai kepentingan ekonomi dan politiknya. Model pembangunan yang dijalankan pemerintah Indonesia sejak dekade 70-an dilandasi oleh paradigma modernisasi dimana pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu faktor kunci. Dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi, maka segala sumber daya perlu dikerahkan. GBHN tahun 1988 menyatakan Negara untuk pertama kalinya membenarkan partisipasi perempuan di bidang ekonomi. Dokumen ini kemudian menjadi justifikasi atas peran ganda yang harus dijalankan perempuan, yaitu sebagai pekerja non upah di sektor domestik (ibu dan istri), maupun sebagai pekerja upahan di sektor publik. Negara perlu merumuskan peran perempuan di bidang publik untuk justifikasi legal atas kerangka pembangunan yang sedang diterapkan, di samping untuk mendukung relasi ekonomi - politik dengan negara adikuasa yang mensyaratkan demokrasi dan pemenuhan hak-hak warga. Keterbelakangan, rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan, lemahnya akses informasi adalah masalah yang senantiasa dihadapi oleh perempuan di seluruh pelosok Indonesia. Sebuah contoh kasus diungkapkan oleh Wijaksana dalam Jurnal Perempuan edisi 21 tahun 2002 bahwa kenyataan ini pula yang dihadapi oleh perempuan di Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Daerah yang dikenal juga sebagai kampong laut ini adalah wilayah yang terdiri dari pulaupulau yang membentuk desa yang jauh dari sarana ekonomi, sosial, politik maupun informasi. Aktivitas keseharian mereka hampir tidak ada perbedaan dengan yang dilakukan laki-laki yang sebagian besar adalah nelayan dan petani. Bila kita amati apa yang mereka lakukan justru lebih berat dari suami atau laki-laki lainnya. Demikian pula Ka’Bati menulis dalam Jurnal Perempuan edisi 33 tahun 2004, bahwa dalam adat luhur Minangkabau posisi perempuan menjadi penguasa. Kita mengenal adanya sistem matriakhat kekuasaan di rumah tangga dan juga kaum-kaum yang dipegang oleh perempuan mereka adalah simbol kemuliaan yang harus dijaga. Tanah, rumah dan seluruh harta pusaka diperuntukkan secara turun temurun bagi kaum perempuan. Namun anak perempuan harus selalu berada di bawah
163
164
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
perlindungan famili laki-laki. Adalah suatu aib bagi keluarga dan kaum bila perempuan di dalam keluarga dan persukuan mereka hidup teraniaya dan serba kekurangan. Perubahan struktur pemerintahan dan proses modernisasi yang berlangsung pesat juga menyebabkan cara pandang masyarakat terhadap adat menjadi berubah. Perempuan Minang dituntut untuk ikut memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga mereka yang bernasib kurang baik dan hidup dalam keluarga yang kurang mampu, harus turut berpikir dan bekerja keras. Mereka pergi merantau (dulu aktivitas ini dilakukan oleh kaum laki-laki saja) untuk pergi mencari pekerjaan walupun menjadi buruh dengan bayaran yang sangat rendah. Akibatnya perempuan Minang mengemban beban ganda. Sistem matriakhat yang lebih mengarah pada kekuasaan domestik ini kemudian mulai ditinggal dan sekedar simbolik belaka. Pandangan konservatif telah membatasi perjuangan perempuan hanya dalam ruang sempit bernama keluarga, tetapi sesungguhnya pandangan tauhid, paradigma kesetaraan manusia dan keadilan, memberikan peluang kepada perempuan untuk melakukan perjuangan dalam ruang-ruang sosial, budaya, ekonomi, agama dan politik. Perjuangan membangun kebersamaan dan tanpa diskriminasi, menegakkan keadilan dan menghapus segala bentuk kezaliman. Perjuangan keadilan bagi perempuan tentu tidak melulu untuk perempuan, tetapi juga untuk kehidupan yang adil, kedamaian, kesejahteraan bagi semua, perempuan dan laki-laki. Menjadi perempuan pemimpin tentu membutuhkan kualifikasi, syarat-syarat dan kewajiban yang diembannya. Ada banyak definisi mengenai kepemimpinan tergantung pada perspektif yang digunakan. Kepemimpinan dapat didefinisikan berdasarkan penerapannya pada bidang militer, olahraga, bisnis, pendidikan, industri, dan bidangbidang lainnya. Kepemimpinan adalah proses pengaruh sosial dimana pemimpin mengupayakan partisipasi sukarela para bawahannya dalam usaha mencapai tujuan organisasi. (Scriesheim, 1992: 516). Kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi motivasi atau kompetensi individu-individu lainnya dalam suatu kelompok. (Gibson, 1991: 364). Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk membangkitkan semangat orang lain agar bersedia dan memiliki tanggung jawab total terhadap usaha mencapai atau melampaui tujuan organisasi. (Goetsch, 1994: 192).
Mencari Model Perempuan Pemimpin Di Era Wikinomics ( Dewi Laily Purnamasari )
Secara umum menurut Robbins (1991) seorang pemimpin yang baik harus memiliki beberapa karakteristik berikut : (1) Tanggung jawab yang seimbang; (2) Model peran yang positif; (3) Memiliki keterampilan komunikasi yang baik; (4) Memiliki pengaruh positif; (5) Mempunyai kemampuan untuk meyakinkan orang lain. Memimpin berarti menentukan hal-hal yang tepat untuk dikerjakan, menciptakan dinamika organisasi yang dikehendaki agar semua memberikan komitmen, bekerja dengan semangat dan antusias untuk mewujudkan hal-hal yang telah ditetapkan bersama. Memimpin juga berarti mengkomunikasikan visi dan prinsip organisasi kepada seluruh anggota organisasi. Kegiatan memimpin termasuk menciptakan budaya kultur positif dan iklim yang harmonis dalam lingkungan organisasi serta menciptakan tanggung jawab dan pemberian wewenang dalam pencapaian tujuan bersama. Gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya. Salah satu Model Kepemimpinan Partisipatif dikenal juga dengan istilah kepemimpinan terbuka, bebas, atau nondirective. Orang yang menganut pendekatan ini hanya sedikit memegang kendali dalam proses pengambilan keputusan. Ia hanya menyajikan informasi mengenai suatu permasalahan dan memberikan kesempatan kepada anggota tim untuk mengembangkan strategi dan pemecahannya. Tugas pemimpin adalah mengarahkan tim kepada tercapainya konsensus. (Tjiptono, 1994: 162). Dalam Model Kepemimpinan Kualitas dikenal pendekatan kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dimana pemimpinnya disebut pemimpin transformasional (transformational leaders) yang merupakan kombinasi yang unik dan efektif berupa keterampilan kepemimpinan dan manajemen secara bersama dalam organisasi. Perempuan maupun laki-laki bisa menjadi pemimpin transformasional. Jenis kelamin tidak menghalangi seseorang untuk mencapai kualifikasi tersebut. Sebagaimana ciri-ciri dari seorang pemimpin transformasional adalah orang yang harus melaksanakan tugas pimpinan yaitu orang yang melakukan hal-hal yang benar (people who do the right think) dan tugas manajer yaitu orang yang melakukan sesuatu secara benar (people who thinks right). (Gazper, 2003: 204). Perempuan pemimpin seharusnya bersemangat untuk menjadi pemimpin dengan model kepemimpinan apapun, baik partisipatif
165
166
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
maupun transformasional. Pemimpin harus mampu menetapkan arah dan tujuan perbaikan kualitas secara terus menerus serta membuat keputusan yang efektif tentang perbaikan kualitas organisasi agar meningkatkan kepuasan anggota organisasi. Beberapa karakteristik penting dari seorang pemimpin yaitu : (1) Memiliki kepercayaan diri yang tinggi serta selalu bersikap optimis dan tidak kehilangan akal dalam menghadapi masalah; (2) Memiliki keberanian mengambil resiko dalam merealisasikan visi yang telah diransformasikan menjadi visi bersama organisasi dan menginginkan perubahanperubahan pendekatan berupa ide-ide baru atau cara-cara baru dalam memecahkan masalah; (3) Memiliki gaya pribadi inspirasional atau daya magnetis pribadi yang kuat sehingga membuat anggota merasa dekat dan dapat memotivasi peningkatan performasi yang lebih baik dari anggota; (4) Memiliki kemampuan merangsang usaha-usaha individu dengan mengidentifikasikan potensi yang ada pada anggota dan membantu secara intelektual agar dapat berkembang. C. Konsep Islam Tentang Pemimpin Perempuan Salah satu kata kunci sukses seorang pemimpin adalah kualitas. Allah SWT berfirman : “Apabila engkau telah berazam, maka bertaqwalah kepada Allah.” (QS. Ali-Imran 3: 159). Bekerja keras dan berpikir cerdas dilakukan tidak hanya pada saat memulai sesuatu tetapi harus terus dilakukan walaupun keberhasilan telah dicapai. Sebagaimana hadits Rasulullah saw : “Barangsiapa hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dia beruntung. Jika sama dengan hari kemarin, maka dia rugi. Jika lebih buruk dari hari kemarin, maka dia celaka.” (Riwayat Dailami). Perempuan pemimpin sudah seharusnya dapat menjadi pemimpin pro-partisipatif, protransformasi, pro-reformasi, dan pro-kualitas. Tidaklah pantas bila kita menjadi pemimpin asal-asalan, apalagi jadi-jadian (sekedar asal jadi, cuma karena punya banyak pendukung). Menjadi pemimpin (keluarga, masyarakat, bahkan negara) sudah seharusnya memiliki apa yang disebut ‘Megaskills of Leadershif’ yang dikemukakan oleh Burt Nanus. Megaskills of Leadership mengungkapkan tujuh keterampilan yang harus dimiliki pemimpin adalah sebagai berikut : (1) Berpandangan
Mencari Model Perempuan Pemimpin Di Era Wikinomics ( Dewi Laily Purnamasari )
jauh ke depan adalah mata pemimpin terus memandang horizon yang jauh, meskipun kaki kita sedang melangkah ke arahnya; (2) Menguasai perubahan adalah pemimpin mengatur kecepatan, arah, dan irama perubahan dalam organisasi sehingga pertumbuhan dan evolusinya seiring dengan perubahan yang terjadi di lingkungan (lokal, nasional, maupun global); (3) Desain organisasi adalah pemimpin sebagai pembangun organisasi yang mempunyai wewenang dan mampu mewujudkan visi organisasi yang diinginkan; (4) Pembelajar antisipatoris adalah pemimpin pembelajar seumur hidup yang berkomitmen untuk mempromosikan pembelajaran di dalam organisasi; (5) Inisiatif adalah pemimpin mendemonstrasikan kemampuan untuk membuat berbagai hal menjadi kenyataan; (6) Penguasaan interdependensi adalah pemimpin menginspirasi seluruh anggota organisasi untuk saling berbagi gagasan dan kepercayaan untuk berkomunikasi dengan baik dan rutin, serta mencari pemecahan masalah secara kolaboratif; (7) Standar integritas yang tinggi adalah pemimpin bersikap fair, jujur, toleran, terpercaya, peduli, terbuka, loyal. (Nanus, 1989, 81-97). Siapapun, baik perempuan maupun laki-laki yang menjadi pemimpin haruslah memiliki sifat dasar kepemimpinan. Peran perempuan sebagai pemimpin seringkali terhalangi oleh persepsi, pemahaman, dan konstruksi sosial-budaya-ekonomi-agamapolitik yang ada di tengah masyarakat. Perbedaan jenis kelamin bukan alasan untuk meminggirkan, memarjinalkan, mendominasi bahkan mendzalimi pihak lain. Jadi, atas nama apapun tidaklah adil jika perolehan hasil usaha seseorang atau prestasi kepemimpinan diukur, dinilai, bahkan dibatasi hanya karena ada perbedaan jenis kelamin. Enam sifat yang harus dimiliki pemimpin yaitu : (1) Visioner adalah pemimpin mempunyai ide yang jelas tentang apa yang organisasi inginkan -baik masing-masing pribadi maupun bersamadan memiliki kekuatan untuk bertahan ketika mengalami kemunduran atau kegagalan; (2) Berkemauan kuat adalah pemimpin mencintai apa yang dikerjakan dan kesungguhan yang luar biasa dalam menjalani hidup, dikombinasikan dengan kesungguhan dalam bekerja menjalani profesinya; (3) Integritas adalah pemimpin tahu kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, namun tetap teguh memegang prinsip dan belajar dari pengalaman bagaimana belajar dari dan bekerjasama
167
168
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
dengan sesama anggota organisasi; (4) Amanah adalah pemimpin memperoleh kepercayaan dari anggota organisasi; (5 Rasa ingin tahu adalah pemimpin ingin selalu belajar sebanyak mungkin agar tahu segala hal yang berguna bagi organisasi; (6) Berani adalah pemimpin berani mengambil resiko, bereksperimen, dan mencoba hal-hal baru. (Bennis, 1994: 39-42). Kualifikasi sebagai pemimpin sebagaimana di atas memerlukan keberanian mengaktualisasikan pengetahuan yang miliki perempuan. Sintesa antara kecerdasan intelektual, intuitif dan emosi akan mewarnai kepemimpinan di dalam organisasi. Kepemimpinan perempuan tentu terus diperjuangkan dengan membangun komitmen terhadap pemberdayaan/pengembangan diri perempuan agar dapat berkiprah di segala lini strata sosial memang harus terus menerus diangkat. Sekali lagi, adanya keberpihakan ini, sama sekali tidak untuk kepentingan perempuan semata. Apalagi untuk merebut dan melawan laki-laki. Tetapi keberpihakan untuk kehidupan yang lebih adil dan lebih baik untuk semua, perempuan maupun laki-laki. Atau dalam bahasa lain, untuk transformasi sosial ke arah kehidupan yang lebih menghargai harkat dan martabat kemanusiaan setiap orang, tanpa membedakan jenis kelamin, suku ras, maupun suku bangsa. Hal penting lainnya yang terkait dengan kepemimpinan adalah akhlak atau moral. Akhlak atau moral merupakan faktor utama bagi kesuksesan seseorang atau perusahaan yang dapat bertahan lama. Bila kita membaca buku-buku biografi tokoh-tokoh besar dunia, kita akan mendapati bahwa mereka memiliki karakter yang kuat dan bertingkah laku baik. Mereka berpegang teguh pada nilai-nilai tertentu dalam mencapai tujuan mereka. Demikian juga perusahaan-perusahaan yang dapat bertahan puluhan tahun bahkan ratusan tahun, mereka menganut nilai-nilai inti yang dijadikan moral penggerak perilaku organisasi. (Antonio, 2007: 26). Pentingnya moral dalam meningkatkan kinerja bisnis dan suksesnya kepemimpinan seseorang dirumuskan dengan menarik oleh Doug Lennick dan Pred Kiel dalam buku mereka Moral Intelligence, Enchancing Business Performance & Leadership (2005). Mereka melanjutkan pembahasan tentang jenis-jenis kecerdasan sebelumnya seperti kecerdasan intelejensia (IQ), kecerdasan emosi
Mencari Model Perempuan Pemimpin Di Era Wikinomics ( Dewi Laily Purnamasari )
(EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), mereka mengintrodusir kecerdasan moral (moral intelegence) sebagai faktor utama dalam meningkatkan kesuksesan seseorang atau organisasi. Kecerdasan emosi (emotional intelegence) sebuah konstelasi dari self awareness, self management, social awareness, dan relationship management skills dianggap sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk menunjang kesuksesan seseorang, namun kecerdasan emosi tidak cukup bertahan dalam waktu lama. Di sinilah pentingnya kecerdasan moral. Definisi kecerdasan moral adalah kapasitas mental untuk menentukan bagaimana prinsip-prinsip kemanusiaan universal diterapkan terhadap nilai-nilai, tujuan, dan tindakan kita. Dengan kata lain, kecerdasan moral adalah kemampuan untuk membedakan antara benar dan salah sebagaimana yang didefinisikan oleh prinsip-prinsip universal. Prinsip-prinsip universal itu sendiri adalah keyakinankeyakinan tentang perbuatan manusia yang diakui secara umum oleh seluruh budaya di dunia. Dengan demikian, prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan pada semua orang, tanpa membedakan gender, etnis, agama, atau domisili. Tanpa memiliki kecerdasan moral, pemimpin bisa saja menjadi pemimpin yang kharismatik dan berpengaruh namun mereka juga dapat menjadi destruktif. Sebagaimana ditekankan bahwa kepemimpinan yang benar-benar efektif adalah kepemimpinan yang didasarkan pada sekumpulan nilai-nilai itu, bila hanya mengandalkan kemampuan kecerdasan emosional saja akan menjadi tidak efektif dalam mewujudkan kinerja yang tinggi. (Antonio, 2007: 28). Perempuan maupun laki-laki tentu dapat menjadi pemimpin dengan kecerdasan moral yang tinggi, sehingga mereka mampu mewujudkan kinerja yang tinggi di dalam menjalankan perannya masing-masing di segala bidang. Namun, bila melihat data tingkat pendidikan di Indonesia jelas terlihat angka masuk perempuan selalu lebih rendah dalam semua tingkat pendidikan, dan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin jauh perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Contoh kasus di kota Cirebon pada tahun 2002 terdapat penurunan sebesar 50% jumlah siswa perempuan dari SD ke jenjang SMP, yaitu dari 36.175 siswa perempuan di tingkat SD dan 15.468 siswa perempuan di tingkat SMP. (Sumber data kota Cirebon dalam Angka
169
170
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
BPS 2002). Hal ini menunjukkan data putus sekolah di usia 12 tahun (atau selepas SD tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP). Dan dapat dipastikan siswa perempuan akan berada di urutan pertama putus sekolah dibandingkan siswa laki-laki. Hal ini disebabkan masih kuatnya budaya patriarki, dimana anak laki-laki akan lebih diprioritaskan mendapat pendidikan. Tingkat pendidikan perempuan yang masih lebih rendah dibandingkan laki-laki jelas memberikan dampak negatif bagi perempuan. Peluang untuk ikut serta dalam pembangunan juga menjadi berkurang, seperti dalam bidang ekonomi, pekerja perempuan mendapat upah lebih sedikit dan akses promosi yang lebih sulit. Padahal di Indonesia juga sudah ada basis legal yaitu Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 : ‘Setiap warganegara, baik perempuan maupun lakilaki, mendapat kesempatan setara untuk mengecap pendidikan.’ Hal ini didukung pula oleh kerangka aksi Dakar pada Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 yaitu PuS (Pendidikan untuk Semua atau Education for All). Point 2 dan 5 jelas menunjuk perempuan sebagai prioritas : memastikan bahwa pada tahun 2015, semua anak, memiliki akses dan dapat menyelesaikan pendidikan dasar yang bermutu secara gratis (terutama perempuan, anak-anak yang terpinggirkan dan mereka yang menjadi etnis minoritas) serta penghapusan kesenjangan gender dalam akses terhadap pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005, dan mencapai kesetaraan gender pada tahun 2015. Sekarang tahun 2012, tinggal tiga tahun lagi hal ini harus terwujud. Untuk itu perlu diusulkan dan ditetapkan beberapa langkah kebijakan dalam bentuk undang-undang oleh DPR dan diturunkan dalam bentuk peraturan daerah. Memang secara nyata tidak mudah membuat kebijakan yang berlabel memiliki respon positif terhadap perempuan, salah satu penyebabnya adalah belum diterapkannya Penilaian Respons Gender pada Tata Pemerintahan di banyak tempat di Indonesia. Jika kita bicara gender, maka yang perlu disepakati adalah bahwa gender adalah sebuah relationship atau pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang seimbang dalam konteks kemitraan. Responsivitas gender dari tata pemerintahan yang terdiri dari tiga aspek yaitu : politik, ekonomi, dan administrasi juga memegang kaidah di atas. Tata pemerintahan secara ekonomi meliputi proses
Mencari Model Perempuan Pemimpin Di Era Wikinomics ( Dewi Laily Purnamasari )
pengambilan keputusan yang mempengaruhi aktivitas ekonomi sebuah negara dan hubungannya dengan ekonomi negara lain, hal ini berpengaruh besar pada ekuitas, kemiskinan, dan kualitas hidup. Indikator kunci responsivitas gender pada tata pemerintahan dapat disebutkan sebagai berikut : (1) Pemerintah menempatkan hak-hak dan kesetaraan perempuan atas hukum karena pemerintah menganggapnya sebagai hak asasi manusia; (2) Hukum nondiskriminatif atas perempuan dalam semua sektor publik dan swasta; (3) Negara mengadopsi dan mengimplementasi legislatif dan pengukuran lain yang sesuai termasuk sanksi yang sesuai, melarang semua diskriminasi atas perempuan; (4) Perempuan menikmati jaminan kebebasan untuk memilih, menyelenggarakan, public office dan menerapkan fungsi publik; (5) Terdapat kebijakan politik yang mengawasi dan mengatur pasar tenaga kerja untuk memastikan keselamatan dan perlindungan keberadaan pekerja terutama perempuan; (6) Perempuan dilindungi dari eksploitasi dalam proses pertukaran untuk meningkatkan pendapatan dalam bidang bisnis; (7) Program dan pelayanan yang spesifik diimplementasikan untuk menunjang kesehatan dan hak reproduksi perempuan sama halnya dengan mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan; (8) Perempuan diberi kesempatan yang setara untuk menjalankan hak dasarnya dalam mengakses informasi; (9) Kekerasan atas perempuan diketahui sebagai pelanggaran hak asasi manusia; (10) Terdapat usaha untuk memasukkan kesetaraan gender dalam program pembangunan dan pembuatan kebijakan. Dalam uraian di atas, terdapat tiga indikator yang terkait dengan ekonomi, bisnis dan informasi (dalam hal ini terkait dengan teknologi informasi) penting bagi perempuan. Dalam membangun tatanan masyarakat yang kompleks, maka garis-garis pembatas antara masingmasing ilmu tadi tidak dapat lagi dibedakan secara jelas antara sebab akibat, antara pendorong dan penghela. Apakah teknologi (termasuk teknologi informasi) mendorong ekonomi dan bisnis? Ternyata ya! Tapi sekaligus juga ekonomi dan bisnis menjadi pendorong kemajuan teknologi. Atau politik mempengaruhi sosial? Ternyata ya! Tapi sekaligus sosial mempengaruhi berbagai kebijakan politik. Begitulah yang disebut oleh filsuf sebagai jejaring rhizomatic.
171
172
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Perempuan penting untuk memainkan peranan sebagai seorang cendikia yang mampu membangun dialog dengan berbagai elemen masyarakat mengenai : perspektif, metode, kaidah, dan norma atau moral, serta siap melakukan perubahan diri ketika perubahan ini dipandang perlu. Hal tersebut dilakukan dengan lapang dada, terbuka, fair, dan bertanggung jawab. Melalui proses demikian, maka cara-cara baru dapat ditemukan, kesempatan-kesempatan baru dapat dicapai, walaupun dengan segala keterbatasan yang ada. Sebenarnya sikap penting inilah yang disebut dengan aura entrepreneur atau sikap kewirausahaan dalam konteks perubahan masyarakat, termasuk di dalamnya bidang ekonomi dan bisnis. Amat banyak ayat Al Quran dan hadits Nabi saw yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada laki-laki maupun perempuan, di antaranya : ‘Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim (dan muslimah).’ (HR. Al-Thabarani melalui Ibnu Mas’ud). Para perempuan di jaman Nabi saw, menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka agar dapat menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Rasulullah saw. Kejadian itu tertuang dalam firman Allah surat Ali ‘Imran (3 : 195) : ‘Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman. Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan …’. (Shihab, 1996: 307). Pengetahuan tentang alam raya, kehidupan sosial, hukum, ekonomi juga bisnis tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga ayat di atas dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan masing-masing. Sejarah membuktikan bahwa banyak perempuan yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh laki-laki. Istri Nabi saw, Aisyah ra. adalah salah seorang yang mempunyai pengetahuan sangat dalam serta termasyhur pula sebagai seorang kritikus. Salah satu tabiat Aisyah ra. adalah memiliki rasa ingin tahu yang besar dan banyak bertanya. Benaknya tidak akan tenang jika pertanyaannya belum terjawab. Baginya, setiap hal yang tersembunyi
Mencari Model Perempuan Pemimpin Di Era Wikinomics ( Dewi Laily Purnamasari )
harus tersingkap dan diketahui. Suatu ketika Aisyah ra. bertanya tentang jihad. Sebagaimana diketahui jihad merupakan puncak perjuangan Islam, pondasi inti agama Islam yang lurus, serta kewajiban yang paling penting. Pada awalnya, Aisyah ra. beranggapan bahwa jihad juga wajib atas perempuan sebagaimana diwajibkan atas laki-laki, karena dalam kewajiban-kewajiban lainnya kedua gender tadi tidak dibedakan di mata Allah SWT. Aisyah ra. pun meminta penjelasan Rasulullah saw, tanyanya ‘Apakah perempuan wajib berjihad?’ Muhammad saw menjawab, ‘Jihad mereka adalah haji’. (Nadawi, 2007: 26). Aisyah ra. memang memiliki kedudukan dan derajat yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan wawasan, pemahaman dan kemampuan untuk cepat mengambil kesimpulan, serta kecerdasan yang luar biasa. Hal yang membedakan Aisyah ra. dari Ummul Mukminin lainnya adalah ilmunya yang sangat matang dan luas tentang segala perkara yang berhubungan dengan agama, berupa ilmu Al Quran, tafsir, hadits, dan fikih. Dia juga matang dalam melakukan ijtihad dan meneliti berbagai permasalahan. Dia pun mampu menyimpulkan hukum atas peristiwaperistiwa yang baru. Allah SWT berfirman dalan Surat Az-Zumar (39 : 9) : ‘Katakanlah (wahai Muhammad) : Apakah sama mereka yang berpengetahuan dan mereka yang tidak berpengetahuan. Sesungguhnya mereka yang menggunakan akallah yang dapat mengambil pelajaran.’ Dalam ayat lain, Allah SWT menjelaskan tentang konsep perubahan masyarakat sebagaimana bunyi Surat Ar Ra’d (13: 11): ‘Sesunggungnya Allah tidak akan merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.’ D. Belajar dari Sosok Pasangan Pebisnis Muslim dalam Sejarah: Nabi Muhammad dan Khadijah Sudah selayaknya juga kita mengambil pelajaran dari salah seorang perempuan pemimpin bisnis di jaman Rasulullah saw, perempuan itu adalah Khadijah ra. Perempuan terkemuka dari bani Quraish yang memiliki bisnis besar hingga harus mempekerjakan banyak orang untuk membawa dagangannya ke mancanegara. Khadijah adalah orang pertama di muka bumi yang beriman kepada Rasulullah saw dan memeluk agama Islam. Dia adalah sebaikbaik teman hidup dalam suka dan duka. Dia mampu memuaskan
173
174
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
rasa dahaga Muhammad saw akan kasih sayang seorang ibu, yang tidak dirasakan beliau saat usia belia. Kasih sayang dan perhatiannya sangat terasa ketika Rasulullah saw harus menghadapi gejolak yang sangat melelahkan saat menerima amanat dakwah, antara percaya atau tidak, antara maju atau mundur. Dalam kondisi seperti ini beliau sangat membutuhkan pendukung dan penyokong. Dan itu ditemukan pada diri Khadijah ra. (Nadawi, 2007: 9). Setelah menikah, Khadijah ra. dan Muhammad saw merupakan pasangan pebisnis yang handal. Afzalurrahman (2000) dalam bukunya “Muhammad as a Trader” mencatat bahwa setelah menikah tetap melangsungkan usaha perdagangannya seperti biasa. Namun sekarang beliau bertindak sebagai manajer sekaligus mitra dalam usaha istrinya. Untuk menjalankan usaha dagang tersebut, Muhammad saw melakukan perjalanan bisnis ke berbagai pusat perdagangan di seluruh penjuru negerinya dan negeri-negeri tetangga. (Antonio, 2007: 86). Kapasitas Muhammad saw dan Khadijah ra. sebagai pebisnis telah teruji dan sebagaimana yang dikemukakan oleh Abul A’la Maududi yaitu : (1) Melakukan diagnosa (pengamatan) atas penyakitpenyakit yang menghinggapi masyarakat (diagnosis of the current element), ibarat dokter yang dapat memberi obat sesuai dengan kondisi pasien; (2) Merencanakan pembentukan atau kebangkitan era baru (scheme for reformation) dan berjiwa programis; (3) Mampu membuat estimasi (penaksiran yang teliti) atas segala pembatasan dan sumber-sumber kekuatan (estimation of non’s limitations and resources); (4) Membangkitkan revolusi intelek (intellectual revolution), sebab corak kemajuan dunia dari buah pikiran kaum ilmuwan. Maka kaum pembaru menaruh minat yang besar dalam pembaruan pendidikan dan pengajaran; (5) Mampu melakukan pembentukan-pembentukan baru yang praktis (practical reform). Ide-ide itu mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat serta mudah untuk dilaksanakan; (6) Melakukan ijtihad yang tepat (ijtihad : to comprehend the fundamental principles of religion judge the temporary culture and its trend, and termine the changes to be effected); (7) Sanggup membela atau mempertahankan kebenaran dari segala pengaruh dan ancaman akhirnya menumbuhkan kekuatan baru; (8) Menggalakkan atau menghidupkan kembali sistemsistem yang mampu memecahkan segala problematika hidup yang dihadapi masyarakat, bagaimanapun keadaannya, ia mampu melawan
Mencari Model Perempuan Pemimpin Di Era Wikinomics ( Dewi Laily Purnamasari )
arus, karena percaya kepada kekuatan dan kemampuan sendiri; (9) Menggerakkan revolusi dunia. Lebih dari 1400 tahun yang lalu, Rasulullah saw mengajarkan Islam sebagai agama bagi umat manusia. Dalam sistem hukum Barat, pemisahan gereja dan negara dianggap sebagai sebuah prestasi penting dalam kerangka politik dan pemerintahan negara. Tetapi, di bawah prinsip syariah Islam (hukum islami), tidak ada pemisahan begitu. Begitupun dalam bidang ekonomi dan bisnis, Beliau mengetahui bagaimana cara agar perdagangan bisa berhasil. Beliau tahu tentang sifat-sifat yang dapat merusak atau menghambat bisnis perdagangan yang dilakukan seseorang atau merusak sistem pasar secara keseluruhan, seperti kecurangan dalam timbangan, menyembunyikan cacat barang yang dijual, riba, gharar (trading in risk) dan sebagainya. Agama Islam melarang umatnya untuk mengambil atau memberikan bunga, yang dikenal sebagai riba, terlepas tujuan untuk apa pinjaman tersebut dan terlepas dari tingkat dimana bunga dibebankan. Al Quran melarang riba dan bunga (riba). Islam juga tidak mengakui satu prinsip fundamental dari keuangan Barat, menghasilkan uang dari uang. Tetapi Allah mengizinkan perdagangan dan melarang (harrama) riba. Islam melarang para investor dan peminjam untuk bertransaksi keuangan yang mempunyai bunga tetap yang telah ditentukan, dikenal dengan riba. Sistem dunia sekarang ini menyaksikan bahwa hukum islamiah dapat berpengaruh besar dalam bisnis, khususnya dalam keuangan di negara-negara muslim. Larangan atas pembebanan dan penerimaan bunga telah berpengaruh besar pada ukuran bisnis, organisasi dalam industri perbankan, dan pembiayaan dari proyek bisnis. (Rivai, 2007, 107). Dapat dilihat bahwa hukum Islam tradisional tidak memperhatikan mengenai inflasi, yang merupakan gejala ekonomi di masa modern ini. Tidak seperti komoditas, uang tidak mempunyai nilai intrinsik tersendiri. Seorang peminjam uang membutuhkannya untuk daya belinya. Dalam kasus inflasi, walaupun si peminjam mengembalikan jumlah uang sama, kenyataannya dia mengembalikan dengan daya beli yang lebih kecil. Apakah merupakan riba jika yang meminjamkan uang meminta kelebihan untuk mengganti-kerugiannya dalam daya beli atas uang yang dipinjamkan karena inflasi? Setelah
175
176
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
bencana ekonomi di negara seperti Brazil, Argentina, dan Turki karena kehadiran sistem ekonomi berdasarkan bunga di dunia, dunia Barat harus mempertimbangkan dengan serius untuk beralih ke ekonomi bebas bunga, yang didukung oleh syariah untuk kebaikan umat manusia pada umumnya dan tidak membuat negara miskin semakin miskin dan negara kaya semakin kaya. Khadijah ra. dan Muhammad saw telah membuktikan bahwa kesuksesan dalam bisnis dapat dicapai tanpa menggunakan cara-cara bisnis yang terlarang tersebut. Di samping itu, sifat kemandirian dan senang berusaha yang telah tertanam sejak kecil di hati Rasulullah saw secara tidak langsung menyatakan bahwa mustahil beliau berdiam diri dan hidup dari pendapatan istrinya. Tidak mungkin beliau hanya berdiam di rumah saja dan menghabiskan waktu berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dalam keadaan menganggur tanpa kegiatan apapun untuk membiayai hidup sekeluarga. Perjalanan karir Muhammad saw di bidang bisnis perdagangan dapat dirumuskan sebagai berikut : Muhammad saw telah mengenal bisnis di usia 12 tahun atau diistilahkan dengan magang (internship). Hal ini terus dilakukan sampai usia 17 tahun ketika beliau telah mulai membuka usaha sendiri. Waktu itu pamannya menganjurkan beliau untuk berdagang agar beban keluarga mereka dapat berkurang. Dengan demikian pada usia ini beliau sudah menjadi seorang business manager. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika pemilik modal Makkah mempercayakan pengelolaan perdagangan mereka kepada Muhammad saw beliau menjadi seorang investment manager. Ketika beliau menikah dengan Khadijah ra. dan terus mengelola perdagangannya, maka status beliau naik menjadi business owner. Ketika usia beliau menginjak pertengahan 30-an, beliau menjadi seorang investor dan mulai memiliki banyak waktu untuk memikirkan kondisi masyarakat. Pada saat itu beliau sudah mencapai apa yang diistilahkan oleh Robert Kiyosaky sebagai kebebasan uang (financial freedom) dan waktu. (Antonio, 2007: 87). Teladan utama telah diberikan oleh Rasulullah saw, maka tak berlebihan jika Amien Rais pernah menulis bahwa kondisi kewiraswastaan pernah dimiliki secara baik oleh kaum muslim Indonesia antara tahun 1950-an hingga 1960-an. Mereka menjadi
Mencari Model Perempuan Pemimpin Di Era Wikinomics ( Dewi Laily Purnamasari )
pedagang batik, pengusaha tenun, kerajinan tangan, kerajinan perak, pemilik toko di kota-kota kabupaten, kotamadya, seperti Bekonang, Surakarta, Kota Gede Yogyakarta, Pekalongan, Tasikmalaya, juga Garut. Dan bukti tercatat banyak di antara mereka adalah perempuan. Tapi, ketika Indonesia telah masuk ke dalam ekonomi kapitalis global, banyak sekali kendala yang dihadapi oleh pengusaha muslim di antaranya : (1) bunga bank; (2) wawasan, kapasitas dan paradigma pemikiran yang masih level kotamadya atau kabupaten. Jika ada keinginan untuk menumbuhkan kembali dunia usaha di kalangan muslim Indonesia, maka haruslah dibangun kembali mentalitas atau jiwa kewiraswastaan (entrepreneurship) di kalangan generasi muda muslim, termasuk kaum perempuan. Yang dapat membangun hal itu adalah diri kita sendiri kaum muslim. (Rais, 1998: 222). Pemerintah harus memberikan dukungan dengan political willnya untuk menolong kelas kecil dan menengah ke bawah agar terangkat ke atas dengan menghilangkan monopsoni, monopoli, memberantas kolusi, dan memudahkan kredit bagi kelas bawah. Kalau kita ingin memberdayakan ekonomi umat, memang kondisi aktual adalah bahwa umat sendiri belum memiliki skill, managerial know-how yang memadai, belum punya macam-macam termasuk mental, jadi harus ada mental reconstruction (rekonstruksi mental) …! Akan tetapi, what about the policy of our own government? Perlu juga kita memberikan tekanan kepada Pemerintah untuk segera secara nyata melaksanakan berbagai kebijakan yang berpihak kepada kalangan ekonomi lemah dan menengah ke bawah. Namun lebih penting dari itu adalah bahwa kita kaum muslim harus berani untuk secara nyata menjalankan bidang bisnis atau dunia usaha tersebut. Bisnis menjadi penting karena semua manusia mempunyai kebutuhan serbaneka dan kebutuhan ini harus dipenuhi. Kebutuhan tersebut juga bergantung kepada tingkat kesejahteraan manusia. Jadi kalau ada kebutuhan makanan, maka ada bisnis makanan dari yang paling sederhana misalnya serabi sampai yang rumit seperti European food. Atau, jika ada kebutuhan kendaraan, maka akan ada kendaraan alami, semisal kuda atau unta hingga kendaraan berteknologi tinggi serupa pesawat bermesin jet. Bisnis menyediakan peluang baik bagi
177
178
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
laki-laki maupun perempuan yang harus ditangkap. Peluang bisnis tidak terbatas dan sangat menarik jika ditekuni oleh khususnya kaum muda yang energik, berani, dan penuh semangat. Bisnis menyediakan lapangan pekerjaan dari berbagai tingkatan dan lapangan. Mau jadi pekerja, atau jadi direktur, mau di bidang teknik atau perdagangan, jasa dan masih banyak lagi. Menurut Schumpeter wiraswasta atau entrepreneur adalah seorang innovator, sebagai individu yang mempunyai naluri untuk melihat benda materi sedemikian rupa yang kemudian terbukti benar, mempunyai semangat dari kemampuan pikiran untuk menaklukkan cara berpikir dan mempunyai kemampuan bertahan terhadap oposisi sosial. Bagaimana memulai usaha atau bisnis padahal tidak memiliki modal? Jika modal hanya diartikan sempit sebatas uang, maka kaum muslim akan terus tertinggal dan tidak akan berani memulai bisnis. Menurut pemahaman manajemen yang terbaru, modal itu tidak hanya uang. Keahlian yang dimiliki sebenarnya modal yang penting dan lebih penting lagi adalah modal kemauan dan kerja keras, pantang menyerah, dan selalu mencari serta menangkap peluang yang ada. Jadikan keahlian yang kita miliki sebagai modal kemudian jangan takut untuk melakukan kerjasama atau bermitra dengan orang lain yang memiliki modal yang tidak kita miliki. Sistem Islam secara pantang mundur didedikasikan kepada persaudaraan manusia yang ditemani oleh keadilan sosial, ekonomi, distribusi pendapatan yang patut, dan kepada kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial. Dedikasi ini penekanannya pada sisi spiritual dan dengan sempurna interwoven ke dalam keseluruhan norma-norma sosial dan ekonominya. (Rivai, 2007: 90). Komitmen Islam pada kebebasan individu berkarakteristik tajam bila dibandingkan dengan sosialisme atau sistem manapun yang menghapuskan kebebasan individu. Persetujuan bebas yang timbal balik menyangkut pembeli dan penjual, menurut semua sekolah hukum Islam, adalah suatu kondisi yang perlu untuk transaksi bisnis manapun. Kondisi ini berasal dari firman Allah SWT dalam Surah AnNisaa’ (4 : 29) : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu,
Mencari Model Perempuan Pemimpin Di Era Wikinomics ( Dewi Laily Purnamasari )
dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. E. Perempuan dan Tantangan Era Wikinomics Hakikat bisnis adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia, organisasi ataupun masyarakat luas. Businessman (seorang pebisnis) akan selalu melihat adanya kebutuhan masyarakat dan kemudian mencoba untuk melayaninya secara baik sehingga masyarakat menjadi puas dan senang. Dari kepuasan masyarakat itulah si pebisnis akan mendapatkan keuntungan dan pengembangan usahanya. Melihat asal katanya business berarti perusahaan, urusan atau usaha. Hugges and Kapoor menyatakan : Business is the organized effort of individuals to produce and sell for a profit, the goods and services that satisfy society’s needs. The general term business refers to all such effors within a society or within an industry. Orang yang berusaha menggunakan uang dan waktunya dengan menanggung resiko dalam menjalankan kegiatan bisnis disebut entrepreneur atau pengusaha. (Gitosudarmo, 1996: 2). Kewirausahaan (entrepreneurship) tidak terjadi begitu saja tetapi hasil dari suatu proses yang panjang dan dimulai sejak beliau masih kecil. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Collin dan Moores (1964) dan Zaleznik (1976) yang mengatakan berkesimpulan bahwa ‘The act of entrepreneurship is an act patterned after modes of coping with early childhood experience.” (Antonio, 2007, 78). Pendapat seperti ini diamini oleh kebanyakan guru leadership yang sepakat bahwa apa yang terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan kita akan membuat perbedaan yang berarti dalam periode kehidupan berikutnya. Sebuah penelitian terhadap beberapa pemimpin yang dilakukan oleh Manfred Kets de Vries (1995) berkesimpulan bahwa kerasnya kehidupan masa kecil menimbulkan dorongan untuk memimpin. ‘Because of the hardship they have encountered, many of them seem to be a mission; they are going to prove the world wrong; they are going to show everyone that they can amount to something. Many of them, suffering from what could be called the Count of Monte Cristo complex (after Alexander Dumas’s novel), go even further; they have a very strong need to get even for the wrongs done to them at earlier periods in their lives.’ (Boyett, 1998, 49).
179
180
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Rasulullah saw adalah teladan pemimpin bisnis sebagaimana yang disimpulkan dalam penelitian tersebut. Kegiatan bisnis dapat dirasakan oleh semua orang. Setiap hari orang terlibat dalam kegiatan bisnis seperti: berbelanja di pasar, membaca koran, menonton televisi, menggunakan angkutan kota, mengendarai motor, membeli makan di warung, membaca buku, searching internet, memakai baju, menghubungi teman dengan telepon genggam, dan sebagainya. Berbagai produk juga digunakan sebagai penunjang kegiatan dan pasti berhubungan dengan bisnis. Misalnya ketika menggunakan internet, kita berhubungan dengan bisnis warung internet, komputer atau laptop dan notebook (beragam merek Toshiba, AXIO, Apel, Dell, HP, dll), eksternal harddisk, provider internet (Telkom Speedy, Telkomsel, Indosat, Esia, Axis, XL, dll), listrik dari PLN, Facebook, Twitter, Google, Bank Indonesia, ATM, dsb. Puluhan bahkan ratusan bisnis terhubung hanya untuk satu aktivitas menggunakan internet. Era digital sekarang ini telah mengakibatkan perubahan besar dalam teknologi, demografi, bisnis, ekonomi, dan dunia, kita memasuki era baru ketika orang-orang terlibat dalam ekonomi secara berbeda dari sebelumnya. Partisipasi baru ini mencapai titik puncak ketika bentuk-bentuk kolaborasi massal mengubah cara produk dan jasa diciptakan, diproduksi, dipasarkan, serta didistribusikan dengan basis global. Perubahan ini adalah peluang besar bagi setiap perusahaan dan individu yang ter-connected. (Tapscott, 2008, 5). Dewasa ini, keadaan berubah. Pertumbuhan aksesibilitas teknologi informasi menghasilkan alat bantu yang diperlukan bagi kolaborasi, penciptaan nilai, dan kompetisi ‘di ujung jari-jemari’ semua orang. Hal ini membebaskan orang untuk berpartisipasi dalam inovasi dan penciptaan kemakmuran di sektor ekonomi. Jutaan orang sudah bergabung dalam kekuatan kolaborasi yang terorganisasi mandiri, yang menghasilkan produk dan jasa baru yang dinamis, bersaing dengan perusahaan-perusahaan terbesar dunia yang keuangannya mapan. Inovasi dan penciptaan nilai baru ini dinamakan peerproduction atau peering-menjabarkan apa yang terjadi ketika massa dan perusahaan berkolaborasi secara terbuka untuk memacu inovasi di industri mereka.
Mencari Model Perempuan Pemimpin Di Era Wikinomics ( Dewi Laily Purnamasari )
Beberapa contoh peer-production belakangan ini telah menjadi produk yang sangat terkenal di masyarakat. Agustus 2006, jaringan on-line MySpace telah memiliki ratusan juta pengguna –naik setengah juta dalam sepekan– dimana pemikiran, koneksi, dan profil pribadi menjadi mesin utama bagi penciptaan nilai di situs ini. MySpace, YouTube, Linux, dan Wikipedia –contoh kolaborasi massal saat ini– baru permulaan. Untuk menyebut beberapa di antaranya ‘senjata kolaborasi massal’. Infrastruktur kolaborasi biaya rendah baru –mulai telepon internet gratis, piranti lunak open source, hingga panggung outsource (alih daya) global– memungkinkan ribuan individu dan produsen kecil untuk bersama-sama menciptakan produk, mengakses pasar, dan memuaskan konsumen dengan cara yang semula hanya dapat dilakukan oleh perusahan besar. Hal ini meningkatkan kemampuan kolaboratif dan jenis bisnis baru yang akan memperkuat perusahaan yang siap dan menghancurkan mereka yang tidak dapat beradaptasi. Kekalutan yang timbul di media dan dunia hiburan adalah contoh awal tentang bagaimana kolaborasi massal menjungkirbalikkan ekonomi. Benteng profesionalisme tinggal sejarah, para pakar pencipta pengetahuan harus berbagi panggung dengan kreator amatir yang mengganggu aktivitas mereka. Puluhan juta orang akan berbagi berita, informasi, dan pandangan di blogosphere, yaitu jaringan terorganisasi mandiri atas 50 juta lebih situs komentar pribadi yang terbarui setiap detik. Beberapa weblog terbesar (disingkat blog) menerima setengah juta pengunjung setiap harinya, bersaing dengan surat kabar harian. Dewasa ini audioblog, podcast, dan mobile photo blog, menambah deras atus perubahan menit per menit yang dinamis atas berita dan informasi orang per orang yang disalurkan dengan bebas di web. Orang-orang kini berbagi pengetahuan, daya komputer, bandwidth, dan berbagai sumberdaya lainnya untuk menciptakan produk dan jasa open source gratis yang bisa digunakan atau diubahubah oleh setiap orang. Lebih lanjut, orang-orang dapat memberikan kontribusi kebersamaan digital dengan biaya murah, yang membuat aktivitas kolektif semakin menarik. Pada dasarnya, peer-production adalah aktivitas sosial. Yang dibutuhkan kita (baik laki-laki maupun perempuan) saat ini adalah komputer, koneksi jaringan, serta letupan
181
182
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
inisiatif dan kreativitas untuk ikut serta dalam ekonomi ini. Selamat bergabung menjadi pemimpin di era wikinomics. F. Simpulan Perempuan pemimpin dalam era wikonomics sangatlah dimungkinkan. Pendidikan sebagai gerbang utama bagi perempuan mendapatkan ilmu pengetahuan sesuai dengan kecenderungan masing-masing, termasuk di dalamnya ilmu ekonomi dan bisnis harus terus menerus diperjuangkan agar menjamin akses dan kesetaraan bagi perempuan. Islam menekankan pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia untuk mengembangkan ilmu dan kesejahteraan umat manusia. Pendidikan di sini dimaknai bukan dengan pengalihan pengalaman dari suatu generasi ke generasi berikutnya melainkan timbunan pengalaman dari generasi-generasi lampau mencakup semua dimensi kehidupan. Kualitas perempuan pemimpin dapat ditingkatkan melalui kesempatan mendapatkan pendidikan dan kesempatan terjun ke dunia bisnis. Nilai-nilai yang telah digariskan oleh syariat Islam tentang ekonomi Islam dan teladan dari Rasulullah saw dalam menjalankan bisnis harus menjadi landasan para pebisnis agar kesuksesan yang diraih dapat bertahan lama. Peluang untuk memanfaatkan teknologi informasi terutama internet membuka kesempatan bagi para pebisnis (baik laki-laki maupun perempuan) untuk meningkatkan kualitas produksi, pemasaran, dan jaringannya dalam skala global. Wikinomics adalah era yang sudah berada dalam genggaman kita, saat ini. Jadi siapa yang dapat memanfaatkannya, dialah yang akan menjadi pemimpin bisnis.
Mencari Model Perempuan Pemimpin Di Era Wikinomics ( Dewi Laily Purnamasari )
SUMBER RUJUKAN Afzalurrahman. 2000. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Terjemahan dari Muhammad: Encyclopedia of Seerah. Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy. Alma, Buchari. 1998. Pengantar Bisnis. Bandung : Alfabeta. Antonio, M. Syafii. 2005. Muhammad SAW, The Super Leader Super Manager. Jakarta: ProLM Centre. An-Nadawi, Sulaiman. 2007. Aisyah, The Greatest Woman in Islam. Jakarta: Qishi Bennis, Warren. 1994. On Becoming a Leader. New York: Addison Wesley. Gaspersz, Vincent. 2003. TQM. Jakarta: Gramedia. Gitosudarno, Indriyo. 1996. Pengantar Bisnis. Yogyakarta: BPFE. Ka’Bati. 2004. “Buruh Perempuan Minang dan Pergeseran Nilai Adat” dalam Jurnal Perempuan Edisi 33 Yayasan Jurnal Perempuan. Lennick, Doug and Fred Kiel. 2005. Moral Intelligence, Enchancing Business Performance and Leadership Success. New Jersey: Pearson Education. Liza, Hadiz. 1998. “Keibuan dan Konteks Ekonomi – Politiknya” dalam Jurnal Perempuan Edisi 05 Yayasan Jurnal Perempuan. Nanus, Burt. 1989. The Leader’s Edge: The Seven Keys to Leadership in a Turbulent World. New York: Contemporary Books. Rais, M. Amien. 1997. Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan. Rais, M. Amien. 1998. Tauhid Sosial, Formula Menggempur Kesenjangan. Bandung: Mizan. Rivai, Veithzal. 2010. Islamic Financial Management. Bogor: Ghalia Indonesia. Robbins, Anthony. 1997. Unlimited Power, The New Science of Personal Achievement. New York: Fireside. Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al Quran. Jakarta: Mizan.
183
184
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Tapscott, Don dan Anthony D. Williams. 2008. Wikinomics, Kolaborasi Global Berbasis Web bagi Bisnis Masa Depan. Jakarta: BIP. Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana. 1996. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi. Wijaksana, M.B. 2002. “Perempuan Sagara Anakan Cilacap (Kritik Alam Bukan Lagi Hambatan)” dalam Jurnal Perempuan Edisi 21 Yayasan Jurnal Perempuan.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA RUMAH TANGGA Oleh: Briliyan Erna Wati *)
ABSTRACT: Household Workers (PRT) are marginal groups
which are the most vulnerable to the abuse of the employer. This proved by the absence of legal clarity or protection for their work. Constitutional Guarantees as a form of state contracts in order to provide Economical and Social protection as well as justice and welfare for human including domestic workers should be a fundamental regulation since Indonesian independence. The existence of normative , legal and even practical reasons to strengthen the argument that the protection of the law for domestic workers should be regulated in the legislation specifically in Drafts or Bill on Protection of Household Workers.
Keywords: household workers, legal protection A. Pendahuluan Penyiksaan yang mengakibatkan kematian pembantu/pekerja rumah tangga (PRT) adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak dapat ditolerir lagi. Ironisnya, di Indonesia daftar korban PRT akibat kekerasan yang dilakukan oleh majikan masih terus berlangsung dari hari ke hari. Salah satu contoh kasus Mariyati (usia 15 tahun) di Tangerang yang mendapat perhatian dari berbagai lembaga karena kematiannya yang tragis dibunuh majikannya hanya karena dituduh mencuri roti dan bahkan dikubur di halaman rumahnya. Beruntung kejadian biadab tersebut diketahui sopir majikannya yang kemudian dilaporkan ke polisi. Nasib tragis Mariyati dan sekaligus Pekerja Rumah Tangga yang lain merupakan gambaran betapa dengan mudahnya majikan melakukan tindak kekerasan terhadap PRT bahkan sampai pada hilangnya nyawa seseorang yang menjadi korban. Kondisi seperti *) Dosen Tetap IAIN Walisongo Semarang
186
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
ini menunjukkan bahwa Pembantu Rumah Tangga (PRT) telah kehilangan otonomi dan kepemilikan atas dirinya dan bahkan dapat dikatakan terjebak dalam status sebagai “budak”. Dengan demikian nampak bahwa Pembantu Rumah Tangga (PRT) merupakan kelompok marginal yang paling rentan mendapatkan tindak kekerasan dari majikannya. Kekerasan tersebut antara lain penganiayaan, perkosaan, pelecehan seksual dan pembunuhan, dan bentuk kekerasan lainya yang menyentuh nilai-nilai kemanusiaan. Jumlah Pekerja Rumah Tangga di Indonesia sangat tinggi baik Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran maupun domestik yang merupakan sumber utama ekonomi keluarga miskin. Estimasi ILO tahun 2009 menunjukkan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang sebagaian besar (90 %) perempuan dan anak-anak, merupakan kelompok kerja yang secara global terdapat sekitar 100 juta di dunia, di antaranya sekitar 6 (enam) juta merupakan Pekerja Rumah Tangga migran dari Indonesia sedangkan sekitar 3 (tiga) juta pekerja domestik. Dengan banyaknya Pekerja Rumah Tangga (PRT) secara tidak langsung memberikan kontribusi bagi pendapatan negara. (http/www.hrw. org/ja/news/2010/02/12. Indonesia Jaminan hak-hak PRT th 2009) Dari sini nampak kesenjangan yang luar biasa terhadap Pekerja Rumah Tangga ( PRT ) dilihat dari satu sisi keberadaannya sangat dibutuhkan terutama dalam kehidupan keluarga dan menjadi salah satu devisa negara, namun di sisi lain keberadaan dan jasa mereka diabaikan dan dipandang sebelah mata, hal ini terbukti dengan tidak adanya kejelasan regulasi atau payung hukum yang dapat memberikan perlindungan bagi pekerjaan mereka. Dari paparan tersebut di atas, perlu untuk dikaji eksistensi dan urgensitas perlindungan hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga. B. Eksistensi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Hukum dapat diartikan sebagai ketentuan/pedoman yang digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mengatur permasalahan hidup manusia bermasyarakat/pranata sosial. Sedangkan tujuannya untuk menciptakan tatanan kehidupan bermasyarakat sehingga tercipta ketertiban, keamanan dan kelangsungan hidup bermasyarakat serta memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga ( Briliyan Erna Wati )
Menyitir pendapat Utrecht, hukum adalah himpunan peraturanperaturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. (C.ST. Kansil, 1986) Sedangkan menurut C.S.T. Kansil, hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Sehubungan dengan hal ini, Subekti menegaskan, bahwa keadilan itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati, dan jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan. (Ibid: 41) Adanya peraturan hukum membawa konsekuensi kepada masyarakat untuk senantiasa mentaatinya, oleh karena hukum itu bersifat melindungi sekaligus memaksa bagi setiap manusia (hukum sebagai pedang bermata dua). Terkait dengan Pekerja Rumah Tangga yang belum ada regulasi atau payung hukumnya maka sudah selayaknya untuk mendapatkan perhatian khusus sehingga ada hak yang dapat melindungi kepentingannya dan sekaligus kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “….. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....” merupakan jaminan konstitusi sebagai kontraktual negara dalam rangka memberikan perlindungan, kesejahteraan dan sekaligus keadilan bagi manusia termasuk PRT dan harus menjadi regulasi mendasar di Indonesia sejak merdeka. Selain dasar hukum di atas, ada juga Konvensi International, Convention International Labour Organication (ILO) Economic, Social and Cultural Rights (ECOSOC) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 11 tahun 2005 tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan konvensi Internasional, Convention on The Elimination of All Forms Against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1984
187
188
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
tentang Ratifikasi Konvensi Pengahapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Berbagai bentuk perlindungan regulasi tersebut sudah selayaknya PRT dapat menjalankan pekerjaannya secara aman, nyaman dan sejahtera, yang berarti melindungi hak ekosocnya. Kemudian, Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang UndangUndang Ketenagakerjaan, khususnya ps. 1 (1-4) tentang pengertian ketenagakerjaan, tenaga kerja, pekerja/buruh dan pemberi kerja, dari ketentuan pasal ini sudah jelas definisi hukumnya sehingga Pekerja Rumah Tangga (PRT) telah memenuhi unsur yaitu setiap orang yang mampu memenuhi pekerjaan guna menghasilkan barang/jasa dan bekerja dengan menerima upah. Namun apabila dilihat di dalam pasal 1 (5) tentang hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Di sinilah justru letak permasalahannya apakah kedudukan majikan dapat disamakan dengan pengusaha yang jelas berbadan hukum. Di samping mekanisme penyelesaian sengketanya karena lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa atau yang mempunyai kompetensi absolut dalam UndangUndang Ketenagakerjaan adalah pengadilan hubungan industrial. Dan lembaga ini tidak dapat menerima perselisihan antara Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan majikan, oleh karena terbentur penafsiran hukum yang berbeda. Terkait permasalahan tersebut, maka Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak menjangkau tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT) sehinggga ketentuan yang ada di dalamnya pun tidak dapat mengatur permasalahan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Sehubungan dengan ini Pemerintah DKI telah mempunyai regulasi tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT) yaitu Perda DKI No. 6 tahun 2004, pasal 1 (17) Pramuwisma adalah tenaga kerja yang melakukan pekerjaan pada rumah tangga dengan upah tertentu. Regulasi tersebut hanya berbentuk Perda sehingga hanya berlaku pada daerah setempat oleh karena itu tidak dapat berlaku secara nasional. Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam pasal 1 (c) yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga meliputi salah satunya orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga ( Briliyan Erna Wati )
tersebut. Sedangkan, dalam pasal 2 ditegaskan bahwa orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf (c) dipandang sebagai angggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Penegasan tersebut di atas, sebenarnya payung hukum terhadap PRT sudah ada atau sudah terlindungi dari segala bentuk kekerasan namun belum menyentuh permasalahan yang berkaitan dengan hubungan kerja, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang lebih khusus mengatur hubungan kerja (Lex Specialis derogat lex Generalis). C. Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga Sebelum masuk dalam hukum positif, ada beberapa referensi dari hukum Islam yang memberikan dukungan keberadaan Pekerja Rumah Tangga. Islam memberikan apresiasi yang tinggi kepada orang mukmin yang melakukan kebaikan, sebagai apapun dia misalkan majikan atau PRT tanpa membedakan jenis kelamin ( QS An-nahl, 16:97) “Barangsiapa mengerjakan kebaikan, laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari yang mereka kerjakan”. Kontrak kerja dan upah harus jelas di awal “idza ista”jara ahadukum ajron falya”malhu ajrahu” (apabila seorang di antara kalian mengontrak seorang ajir, maka hendaknya dia memberitahukan tentang upahnya). Di samping itu mekanisme pembayaran upah juga diatur dalam Islam di antaranya pembayaran yang baik dilakukan sesegera mungkin, bahkan sebelum kering keringatnya, sebagaimana hadits ‘a’tul ajira qabla an yajiffa ‘araquh’, artinya jangan sampai PRT teraniaya karena haknya tidak dibayarkan. Semangat ini memberikan dukungan pentingnya perlindungan hukum terhadap PRT. Banyak alasan normatif, hukum dan bahkan politis yang dapat menguatkan argumentasi bahwa perlindungan hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) sudah saatnya diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Pertama, keberadaan undang-undang tentang PRT sebagai wujud perlindungan hukum bagi PRT sebagai strating point bagi pemerintah untuk secara bertahap membawa
189
190
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
para pekerja yang berada di sektor informal menjadi pekerja formal. Pergeseran ini penting karena membawa dampak positif bagi pekerjaan PRT yang semula hanya merupakan pekerjaan domestik (mayoritas perempuan dan anak) menjadi pekerjaan yang bernilai ekonomi. Sehubungan dengan hal tersebut, Margaret Benston dalam bukunya The Political Economy for Women sebagaimana dikutip Yulianthi mengatakan, sudah saatnya pekerjaan domestik dipikirkan secara lebih serius dalam setiap analisis pekerjaan ekonomi sehingga akhirnya tidak disepelekan menjadi status marginal dan tidak eksis. Frederick Engles dalam bukunya The Origin of The Family, Private Property and State, sebagaimana dikutip Yulianthi juga menyatakan kerja perempuan menjadi tidak terlihat secara ekonomi karena berakar dari adanya pembagian kerja secara seksual dalam keluarga dan masyarakat. Selanjutnya, Mubyarto menambahkan bahwa perempuan tidak ada yang menganggur jika memasukkan kerja domestik sebagai pekerjaan. (Yulianthi Muthmainah, Kompas, 9/9/10) Pergeseran PRT ke sektor formal juga menjadi awal yang baik bagi pemerintah untuk secara bertahap menggeser pekerja di sektor informal lainnya ke wilayah formal. Kementerian Tenaga Kerja pernah mengatakan jumlah tenaga kerja informal mencapai 67% dari total tenaga kerja nasional. Dengan demikian akan memberi manfaat bagi negara yaitu terbukanya peluang peningkatan pendapatan negara setidaknya dari sektor pajak, membangun negara menjadi sinergis. Di samping itu yang terpenting adanya pengakuan secara hukum atas jenis pekerjaan PRT, kesetaraan nilai pekerjaan, kesejahteraan dan kepastian hukum yang dapat memberikan perlindungan secara langsung kepada PRT karena dijamin oleh peraturan perundangundangan. Kedua, Keberadaan undang-undang tentang PRT akan memperkuat posisi tawar (bargaining potition) Indonesia di mata negara lain terutama negara tujuan kerja (Singapura, Malaysia, Arab Saudi, dll) warga Indonesia dalam mendorong adanya regulasi yang lebih ketat terhadap perlindungan buruh migran Indonesia. Indonesia juga telah mengikuti konvensi internasional bersama negara-negara ILO untuk membicarakan standar internasional baru mengenai penyediaan kondisi kerja yang layak bagi PRT pada bulan Juni 2010,
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga ( Briliyan Erna Wati )
namun sangat disayangkan komitmen Indonesia dalam konvensi tersebut hanya sebatas rekomendasi yang berarti tidak mempunyai “kekuatan mengikat”. Sehubungan dengan hal tersebut, Shepard mengatakan “Pemerintah Indonesia berpeluang kehilangan kredibilitasnya karena mengisyaratkan keengganan memberikan dukungan terhadap keberadaan perjanjian yang mengikat, dan dengan tidak bertindak cepat dalam menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan Pekerja Rumah Tangga di luar negeri”. Dan sebaiknya Indonesia menunjukkan ketegasan kepemimpinan pada tahun 2010 ini untuk memulihkan kredibilitasnya dan segera mendukung peraturan perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) di dalam dan luar negeri “. (Kompas, Ibid) Dengan demikian kurang adanya perlindungan bagi PRT terutama buruh migran di mata negara lain, oleh karena itu PRT berada dalam posisi yang rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Kondisi ini menjadi alasan yang mendasar perlunya segera terbentuk peraturan perundang-undangan bagi PRT. Ketiga, Diskriminasi terhadap PRT itu dikarenakan mayoritas (90%) perempuan dan anak-anak, ada beberapa indikator diskriminasi terhadap PRT yaitu: kelompok marginal, kelompok sub ordinat, kelompok rentan, dan kelompok pekerja informal. Indikator diskriminasi terhadap PRT, secara sosial menunjukkan adanya stigmatisasi atau pelabelan terhadap peran PRT yaitu kelompok marginal dilihat dari status sosial ekonomi merupakan kelompok kebanyakan yang berekonomi lemah dan terpinggirkan, sedangkan kelompok sub ordinat, PRT mengalami diskriminasi berlapis, lapis dalam konteks posisi dan kondisi sebagai perempuan, lapis perspektif PRT dalam masyarakat , lapis hak warga negara. Terlebih lagi dengan adanya budaya/kultur yang sangat berpengaruh terutama budaya patriarkhi, yang menimbulkan ketidakadilan dan bias gender. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan yaitu marginalisasi, subordinasi, pembentukan stereotipe, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (doube barden) serta sosialisasi ideologi nilai dan peran gender (Mansor Fakih, 1999: 12).
191
192
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Manifestasi ketidakadilan gender ini seringkali hadir dalam keyakinan masing-masing orang, keluarga, hingga pada tingkat negara dan politik global. Pada wilayah inilah sangat perlu dimasukkan perspektif keadilan gender. Selanjutnya, ditegaskan oleh Jalaluddin Rahmat bahwa laki-laki cenderung mereproduksi hegemoni struktural gender dan seksualitas. (Hamim Ilyah, 2005) Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ilmu pengetahuan beserta teori yang dibangunnya merupakan konstruksi kaum lakilaki, terlebih lagi jika kita percaya pada apa yang dikatakan Simone de Beauvoir seperti yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat bahwa “dunia itu memang hasil karya laki-laki, dan perempuan adalah jenis kelamin kedua. Di sinilah terjadi maskulinisasi epistemologis. (Jalaluddin Rahmat, 1994: 17) PRT masuk dalam kategori kelompok rentan, fenomena sosial yang diskriminatif tersebut mengakibatkan PRT rentan terhadap kekerasan baik kekerasan fisik maupun psikologis (penganiayaan, pembunuhan eksploitasi, kompensasi yang tidak layak, tidak punya posisi tawar, dan lain-lain). PRT tidak mempunyai bergaining posisi sehingga kedudukannya sangat lemah dan tidak ada perlindungan hukum. Pekerja Rumah Tangga termasuk dalam kelompok pekerja informal, diskriminasi terhadap PRT menyebabkan pekerjaan PRT tidak bernilai ekonomi. Pekerja Rumah Tangga dianggap bertanggung jawab untuk kegiatan reproduksi (melahirkan, mengasuh anak, bekerja di wilayah domestik) dilihat dari jenis pekerjaannya dan status sosial, namun pada hakikatnya PRT sangat urgen dalam kehidupan keluarga dan sudah selayaknya mereka mendapatkan hak, perlindungan dan manfaat yang sama seperti pekerja lainnya yang bernilai ekonomi. Dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan memberikan pengakuan bahwa PRT setara nilainya dengan pekerjaan lainnya sehingga terwujud kesejahteraan bagi PRT. PRT selama ini didasarkan atas kepercayaan dan tidak tertulis oleh karena itu track record atau identitas Pekerja Rumah Tangga harus jelas baik identitasnya maupun kredibilitasnya. Hal ini untuk menghindari PRT yang “nakal” atau bahkan melakukan tindak pidana (pencurian, pembunuhan, penculikan, pelecehan seksual, pemerkosaan) yang bervariasi modus operandinya.
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga ( Briliyan Erna Wati )
Keterlibatan penyedia jasa informasi PRT harus benar-benar memberikan data yang akurat (terdokumentasi dengan baik) dan ini tertuang dalam perjanjian kerja yang menjadi dasar dalam hubungan kerja. Sistem pengawasan juga dapat dijalankan dengan lebih efektif karena ada payung hukum yang memadai bagi petugas di lapangan maupun peran serta dari masyarakat. Hal ini akan dapat terealisir dengan baik manakala ada regulasi yang menjadi payung hukumnya. D. Unsur-Unsur dalam Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah PRT Konsep atau Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan PRT telah dibuat baik versi JALA (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga) maupun versi pemerintah revisi terakhir pada bulan Juni 2010. Adapun unsur-unsur yang mendasar yang harus ada dalam Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga yaitu: Pertama, Ketentuan umum yang memuat definisi atau batasan tentang PRT, subjek hukum yang berkaitan dengan PRT misal pemberi kerja (majikan), penyedia jasa informasi PRT, serikat PRT, pemerintah (Disnaker, RW/RT), definisi/batasan hubungan kerja, anak, kesejahteraan PRT, upah, cuti, waktu kerja/jam kerja, perlindungan PRT, pemutusan hubungan kerja, perselisihan, kekerasan. Adanya definisi tersebut, maka akan ada batasan-batasan terhadap norma yang berkaitan dengan PRT. Kedua, Asas perlindungan PRT yaitu penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan gender, keadilan dan kesetaraan, kepastian hukum dan kesejahteraan. Ketiga, Tujuan dari perlindungan PRT yaitu memberikan pengakuan secara hukum atas jenis pekerjaan PRT, memberikan pengakuan bahwa pekerjaan kerumahtanggaan mempunyai nilai yang setara dengan semua jenis pekerjaan lainnya, mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, pelecehan dan kekerasan terhadap PRT, memberikan perlindungan kepada PRT dalam mewujudkan kesejahteraan dan mengatur hubungan kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan. Tujuan ini merupakan capaian yang harus dilakukan dalam rangka melindungi para PRT.
193
194
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Keempat, Menyangkut unsur-unsur yang lebih spesifik yang berkaitan dengan perlindungan PRT, misalnya penggolongan PRT yaitu seorang yang sedang bekerja sebagai PRT dan orang yang sudah selesai bekerja dan akan bekerja kembali sebagai PRT; berdasarkan waktunya yaitu bekerja paruh waktu atau bekerja penuh waktu (1 hari); berdasarkan jenis pekerjaan atau batasan/ wilayah yang menjadi pekerjaan PRT (memasak, mencuci pakaian, menjaga dan merawat anak, dll). Kemudian, hubungan kerja, hubungan kerja terjadi karena perjanjian kerja antara pemberi kerja dan PRT, dibuat secara tertulis berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan PRT, didasarkan pada kemampuan dan kecakapan kedua belah pihak dalam melakukan perbuatan hukum. Hal ini penting karena menjadi legalitas formal dari keabsahan perjanjian dalam hubungan kerja tersebut dan apabila bertentangan dapat dibatalkan. Selain itu, perjanjian kerja setidaknya memuat identitas para pihak, jangka waktu perjanjian (mulai dan berakhirnya hubungan kerja), hak dan kewajiban kedua belah pihak, syarat-syarat dan kondisi kerja yang meliputi lamanya jam kerja dalam sehari/seminggu, waktu istirahat selama jam kerja, libur mingguan, cuti, tunjangan hari raya, jaminan sosial, fasilitas kerja, besaran upah, penyelesaian perselisihan, tanda tangan kedua belah pihak dan saksi. Berakhirnya perjanjian kerja dikarenakan PRT meninggal dunia, pemberi kerja meninggal dunia, berakhirnya jangka waktu perjanjian, keluarga atau semua bagian pemberi kerja pindah tempat dan PRT tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, adanya putusan pengadilan dan putusan penyelesaian perselisihan. Adapun hak dari PRT yaitu hak yang berkaitan dengan pekerjaannya (hak untuk mendapatkan upah yang layak, tunjangan hari raya sesuai agama dan kepercayaannya, berhak atas jaminan sosial yaitu jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, melahirkan anak dan jaminan kematian). Kemudian, PRT berhak atas fasilitas yang berupa akomodasi yang memenuhi standar kesehatan, keselamatan, kenyamanan pribadi yang layak, makanan yang memenuhi standar kesehatan yang layak. PRT juga berhak atas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Selain itu PRT juga mempunyai hak yang
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga ( Briliyan Erna Wati )
berkaitan dengan privasinya yaitu hak beribadah, hak berkomunikasi, hak bersosialisasi, hak berorganisasi (Serikat Pekerja), hak politik, hak kesehatan sosial dan reproduksi, hak yang bebas dari segala bentuk kekerasan, intimidasi, tekanan, eksploitasi dan kerja berbahaya. Di samping itu PRt juga mendapatkan hak perlindungan saksi/korban, pelayanan kesehatan, pendampingan dan bantuan hukum. PRT wajib melakukan pekerjaan berdasarkan tata cara kerja yang benar dan aman dan hubungan antara pemberi kerja dan PRT wajib saling menghargai hak privasi dan hak miliknya. Untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang dipekerjakan maka peraturan ini harus memuat batas usia PRT (paling rendah) 18 tahun. Hubungan kerja antara pemberi kerja dan PRT lebih bersifat keperdataan/privat oleh karena itu bentuk penyelesaian perselisihan hubungan kerja dengan cara musyawarah mufakat dan apabila musyawarah mufakat tidak tercapai maka salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat melakukan penyelesaian melalui mediator. Keputusan mediator bersifat final dan mengikat kedua belah pihak dalam pelaksanaannya. Kelima, Ketentuan mengenai kualifikasi dari peraturan perlindungan hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga harus jelas apakah masuk dalam kategori pelanggaran atau kejahatan. Kejelasan kualifikasi tersebut akan berdampak pada pemidanaannya dan ketententuan khusus tentang percobaan karena percobaan dalam kejahatan dipidana sedangkan dalam pelanggaran tidak dipidana, dalam hal perbarengan tindak pidana (concursus) dan lain-lain. Kualifikasi tersebut akan menjadi pedoman atau rambu-rambu bagi penegak hukum dalam mengaplikasikan regulasinya, terlebih lagi banyaknya payung hukum yang ada seperti UU No. 23 tahu 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang juga mengatur tentang pekerja rumah tangga (pasal 2 UU No. 23 tahun 2004 ). Meskipun pada hakikatnya permasalahan Pekerja Rumah Tangga masuk dalam kategori hukum perdata (privat rechts), namun tidak menutup kemungkinan dalam hal tindak pidana yang berkaitan dengan Pekerja Rumah Tangga akan menjadi wilayah hukum publik (publik rechts) khususnya hukum pidana yang relatif pemidanaannya lebih berat daripada pelanggaran (misal hukuman mati, penjara
195
196
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
seumur hidup, penjara jangka waktu tertentu). Kelemahan dalam kebijakan formualasi hukum pidana akan menjadi kendala dalam penegakan hukumnya dan bersifat kriminogen. E. Simpulan Dari uraian tersebut menunjukkan urgensitas perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga perlu segera diwujudkan. Sudah saatnya masyarakat harus merubah cara pandang dan stigma tentang Pekerja Rumah tangga, di satu sisi PRT harus melek hukum dan membekali diri dengan kualitas yang lebih baik. Pemerintah sebagai penentu kebijakan harus mempunyai kemauan baik (good will) dalam rangka turut mendorong terwujudnya perlindungan hukum bagi Pekerja Rumah Tangga. Pernyataan ini juga dikeluarkan oleh Human Rughts Watch, Jala PRT, Rumpun Gema Perempuan sehingga pada tangga 14 Januari 2010 telah dicanangkan menjadi Hari Pekerja Rumah Tangga.
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga ( Briliyan Erna Wati )
SUMBER RUJUKAN http://www.hrw.org/jd/news/2010/02/2/Ind PRT
Jaminan
hak-hak
Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ilyas, Hamim dkk. 2005. Perempuan tertindas? Kajian Hadis “Misoginis?”. PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan The Asia Foundation Jakarta, XXI. Kansil, CST. 1986. PIH dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Muthmainah, Yulianthi. 2011. Peneliti Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kompas. Rahmat, Jalalludin. 1994. “Dari Psikologi Antrosentris ke Psikologi Feminis’. Jurnal Ulumul Qur’an.
197
MEWUJUDKAN KEADILAN BAGI PEREMPUAN DALAM DUNIA KERJA Oleh: Hasanatul Jannah *)
ABSTRACT: Old perception that women only play a role on the
domestic sector would be a myth. Women now enter the public sector that embody the dual role. Thus, women need to set the best time in order to create a balance between public and domestic roles. In this case, there is a need for awareness for women given the opportunity to change the structure and culture, both through the social environment and through themselves. This awareness is necessary for social change that makes women independent structurally and culturally by removing the subordination style. Basically men and women have equal position. However, in reality there is often discrimination in wages for women workers (laborers). Wage of women workers are not comparable with the job because there is no justice in the amount that must be accepted.
Keywords: Women workers, wages, discrimination A. Pendahuluan Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, terdiri dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan berkedudukan sama-sama sebagai manusia (Hamka, 1973: 6). Asal kejadian manusia tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan inferior dan superior terhadap masing-masing. Indikasi tersebut mempertegas bahwa menjadi laki-laki dan perempuan memiliki persamaan dan perbedaan yang tidak perlu dipertentangkan. Persamaannya adalah baik laki-laki maupun perempuan sama-sama dikaruniai akal fikiran yang membedakan manusia dengan binatang. Sedangkan perbedaannya, laki-laki dan perempuan memiliki alat reproduksi yang berbeda. Perempuan secara alamiah berhak untuk mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Seperangkat perbedaan (distinction) merupakan keadilan dari Allah SWT sesuai dengan potensinya. Pembahasan seputar perbedaan laki-laki dan perempuan *) Penyuluh di Kementerian Agama Pamekasan Madura
Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Dalam Dunia Kerja ( Hasanatul Jannah )
berikut segala bentuk tuntutan hak, kedudukan dan peran merupakan pembahasan yang tak kunjung usai diperdebatkan. Namun, pada akhirnya muncullah perkembangan pemikiran peradaban manusia yang menghasilkan banyak wacana seputar peran, fungsi dan kedudukan laki-laki dan perempuan, baik dalam lingkup pribadi, keluarga, maupun sosial masyarakat. Perempuan ditempatkan pada posisi yang cenderung dilindungi, aman, tersembunyi dan terbelakang. Sebaliknya, laki-laki ditempatkan pada posisi strategis, yakni: terkemuka/terdepan dan pengambil keputusan. Tarik ulur seputar eksistensi relasi laki-laki dan perempuan memunculkan berbagai aliran, di antaranya: Pertama: suatu aliran yang menganggap bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan merupakan perbedaan alamiah yang sama sekali tidak perlu untuk dipersoalkan, Kedua: aliran pemikiran yang menganggap bahwa perbedaan peran merupakan harmonitas yang saling dukung mendukung di antara kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, Ketiga: aliran yang menganggap bahwa ketidakadilan yang disebabkan oleh peran gender merupakan akibat dari relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Dari ketiga aliran tersebut menimbulkan banyak persepsi dari berbagai kalangan, terutama yang getol terhadap gerakan feminisme. Mulai dari pemahaman bahwa perempuan ditempatkan pada posisi yang sudah ditentukan secara kodrati, kemudian pemahaman yang menempatkan porsi perempuan yang sudah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga melahirkan posisi yang merugikan, sampai pada pemahaman bahwa kelemahan dan kelebihan perempuan hanya untuk melengkapi kelemahan dan kelebihan laki-laki. Kemudian perdebatan seputar posisi laki-laki dan perempuan tersebut mau tidak mau juga merembet kepada dunia kerja, terlebih dalam keikutsertaan perempuan dalam dunia kerja. Dimana perempuan bekerja sudah bukan merupakan hal yang tabu lagi apalagi diperdebatkan. Kiprah perempuan sudah banyak mewarnai bahkan bermain di segala jenis pekerjaan, mulai dari kuli bangunan, perkantoran, pendidikan bahkan politik. Perempuan dipekerjakan dan menuntut untuk dipekerjakan karena perempuan dianggap mampu dalam bekerja.
199
200
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Fenomena atas ketidakadilan dan ketimpangan gender yang terjadi pada buruh perempuan, merupakan salah satu contoh kecil di antara sekian banyak kasus lainnya, seperti kasus TKW yang tak kunjung tertangani, pelecehan seksual dan kekerasan lainnya terhadap kaum hawa. Namun berbeda dalam sektor pekerjaan yang cukup bergengsi, seperti dunia politik, pendidikan, birokrasi dan lain sebagainya, yang mulai menampakkan geliat untuk menempatkan kaum perempuan lebih terhormat, walaupun perkembangannya belum cukup signifikan, namun paling tidak perjuangan kaum perempuan untuk lebih berdaya lagi mulai membuahkan hasil. B. Pilihan untuk Bekerja Bani Sadr membagi tiga macam bentuk kerja: pertama, bentuk kerja manual, kedua, bentuk kerja administrative dan ketiga, bentuk kerja innovative (Sadr, 1985: 21). Bekerja merupakan sebuah keniscayaan dan sebagai ikon utama pembentukan eksistensi manusia dalam berkehidupan. Islam sendiri menempatkan nilai suatu pekerjaan sebagai sebuah ibadah dan Al-Qur’an dengan tegas menjelaskan bahwa seorang manusia tidak akan memperoleh sesuatu selain apa yang dia kerjakan (QS. 53:39). Berbeda dengan Maisar Yasin (1997: 100) yang membatasi keinginan untuk bekerja bagi kaum perempuan dengan memberikan pertimbangan-pertimbangan berupa beberapa introspeksi diri dalam memutuskan untuk bekerja atau tidak, antara lain: a. Apakah bekerja diperlukan ataukah tidak? b. Bila diperlukan, apakah pekerjaan tersebut tidak bertentangan dengan hukum syar’i? c. Apakah jenis pekerjaan tersebut sesuai dengan fitrah sebagai perempuan? d. Apakah dengan bekerja sudah dipertimbangkan dampak positif dan negatifnya? e. Apakah dengan bekerja ini akan berpengaruh secara signifikan terhadap keluarga? Walaupun pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat personal namun sedikit banyak bersifat profokatif untuk menggugah sanubari
Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Dalam Dunia Kerja ( Hasanatul Jannah )
setiap insan. Sebagian pendapat yang lain menempatkan keputusan untuk bekerja sebagai sesuatu yang sangat urgent, sebagian lain menganggap sebagai salah satu bagian yang lumrah dalam hidup untuk dijalani. Namun banyak anggapan bahwa bekerja ditempatkan pada porsi sebagai sesuatu yang wajib dimiliki bagi setiap insan. Seorang yang bekerja akan bermental murni, dan yang tidak bekerja akan kehilangan kontaknya dengan realitas kehidupannya, sehingga kemampuan mentalnya akan berkurang dan kurang memberikan manfaat (Sadr, 1985: 22). Pekerjaan memainkan peranan yang sangat signifikan dalam proses realisasi diri manusia sebagai makhluk yang memiliki diri dalam melangsungkan kehidupannya. Menurut Franz Von Magnis (1983:79) proses realisasi diri dalam sebuah pekerjaan sebagai sebuah bentuk bukti bahwa bekerja adalah menyalurkan bakat dan cita-cita untuk menjadi manusia nyata. Namun Magnis tidak menempatkan kesibukan biasa sebagai suatu pekerjaan, melainkan yang dimaksud dengan bekerja di sini adalah segala kegiatan yang direncanakan dan memerlukan pemikiran yang khusus, dilakukan secara sungguh-sungguh sehingga mencapai suatu hasil. Tulisan ini tidak akan berpolemik seputar boleh tidaknya kaum perempuan bekerja. Namun lebih menekankan pada konsekuensi logis kenapa perempuan mesti bekerja dan bagaimanakah porsi perempuan dalam dunia kerja. Walaupun Maisar Yasin (1997: 30) begitu gamblang menguraikan tentang kapan wanita dibolehkan bekerja, dan dengan bekerjanya perempuan dapat diartikan: Menghilangkan kasih sayang dan perhatian terhadap anak-anak terutama dalam mendidik anakanaknya, akan terjadi pembauran antara laki-laki dengan perempuan, akan menggeser pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh laki-laki, dan lain-lain. Namun apapun alasan yang dilontarkan tersebut dipastikan akan memicu pro dan kontra dari berbagai kalangan dengan berbagai versi masing-masing. Pada dasarnya bekerja merupakan sebuah keniscayaan dan sebagai ikon utama pembentukan eksistensi manusia dalam berkehidupan. Ada anggapan bahwa memiliki pekerjaan merupakan suatu keharusan bahkan kalau perlu dikejar walaupun harus melintasi negara lain. Salah satu pekerjaan yang paling beresiko namun paling menjanjikan dari segi penghasilan adalah menjadi tenaga kerja wanita
201
202
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
(TKW) ke luar negeri, kuli bangunan, pembantu rumah tangga dan lain-lain. Tentu saja konsekuensi menjadi TKW ke luar negeri adalah meninggalkan keluarga, suami, dan anak. Sedangkan konsekuensi yang paling mengancam adalah keselamatan jiwa para TKW itu sendiri, terutama yang menyangkut berbagai kasus yang belakangan semakin marak menimpa para TKW Indonesia di luar negeri. Menyikapi berbagai perkembangan zaman yang marak dengan pola pragmatisme sehingga memaksa masyarakat untuk mengikuti sekaligus mencari peluang untuk mempertahankan dan mengembangkan keadaan sosial ekonominya, maka sudah semestinya juga harus diikuti dengan kondisi riil masyarakat yang masih rendah pengetahuan dan skill serta berkurangnya lapangan pekerjaan, ditambah tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan yang harus dipenuhi dengan apa yang diperoleh. Perempuan Indonesia juga sama dengan perempuan di belahan bumi lainya, mempunyai persoalan yang sama menyangkut berbagai kepentingan mulai dari persoalan alamiah hingga dalam dimensi sosial, politik, dan ekonomi. Dalam sektor domestik perempuan sangat dibebani dengan persoalan bagaimana menyekolahkan anak yang biayanya mencekik, biaya rumah sakit yang membuat takut para perempuan memeriksakan anaknya, menambah pemasukan dengan menjadi buruh di pabrik-pabrik yang tidak pernah menerapkan UMR. Meskipun demikian dan cukup membanggakan adalah perempuan Indonesia masih mampu tampil menjadi srikandi di bidangnya masing-masing baik dari level terendah sampai pada level tertinggi. Saat ini, peranan kaum perempuan mengalami ekspansi dan transformasi besar-besaran, dimana perempuan sudah terjun dalam seluruh lapangan kerja baik kantor maupun profesional bahkan tenaga kasar sekalipun. Apapun alasan perempuan memilih untuk bekerja, mereka tetap dalam satu keinginan dalam pencapaian hasil dalam pekerjaan, yakni kenyamanan, keadilan dan keamanan dalam bekerja. Karena pada dasarnya setiap orang akan berfikir dan bertindak secara logis sesuai dengan kemampuannya untuk mencapai tujuannya masing-masing. Dalam merumuskan tentang eksistensi “bekerja” menurut Pudjiwati Sajogyo (1984: XV), semestinya juga mencermati tentang
Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Dalam Dunia Kerja ( Hasanatul Jannah )
“peranan kerja” (work role) oleh pekerja tanpa melihat apakah pekerja laki-laki maupun perempuan sehingga melahirkan rumusan pokokpokok dalam bekerja, antara lain: a. Para pekerja mengeluarkan energi dalam bekerja. b. Para pekerja memberikan kontribusi dalam produksi barang maupun jasa. c. Para pekerja memperoleh status sehingga mampu digunakan dalam suatu pola interaksi sosial dengan lingkungannya. d. Para pekerja memperoleh hasil berupa “cash’ dari apa yang dikerjakannya. Bila mencermati pokok-pokok dari rumusan tersebut, jelas bahwa perempuan dalam bekerja mempunyai peranan ganda, yang tentu saja dalam setiap pekerjaan tersebut baik pekerjaan domistik maupun publik memerlukan energi tersendiri untuk digunakan dalam kelangsungan pekerjaannya. C. Perempuan Mencari Keadilan dalam Dunia Kerja Isu penting di Indonesia pada dekade 80-an adalah tentang kesejahteraan pekerja. Hal tersebut muncul berkaitan dengan meningkatnya jumlah kasus pemogokan dan perselisihan perburuhan, dan yang paling mendasar adalah persoalan upah. Demikian juga dengan kondisi riil yang menyangkut dengan kesejahteraan pekerja kaum perempuan. Persoalan ini muncul ketika perempuan yang bekerja upahnya seringkali tidak sebanding dengan pekerjaannya, hanya karena ia seorang perempuan, bukan karena foktor lain, sehingga hal tersebut menjadi layak dipertanyakan, apakah memang sudah semestinya ataupun menyangkut dari sisi manakah pertanyaan tersebut digelindingkan. Carut marut seputar pemahaman relasi laki-laki dan perempuan tersebut memunculkan berbagai gerakan-gerakan yang menginginkan interpretasi yang adil terhadap porsi laki-laki dan perempuan. Gerakangerakan tersebut memperjuangkan penghentian diskriminasi laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja. Hal tersebut menjadi sebuh ilustrasi menarik jika diperhatikan lebih detail lagi semestinya cukup mengugah untuk dicermati. Dimana dalam kejadian tersebut bukan sekedar ilustrasi ataupun
203
204
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
perumpamaan belaka, namun sebuah realita yang sering kita jumpai hampir setiap hari dan seringkali kita menganggap hal tersebut sudah lumrah dilakukan. Jika mau berpikir sejenak dalam keseharian banyak dijumpai seperti dalam pemandangan berikut: “Ketika sore menjelang, sejenak melintas sebuah mobil pick up bermuatan batu-batu kecil, mobil tersebut berhenti di depan salah satu rumah penduduk perkotaan, nampaknya akan ada renovasi rumah. Dalam pick up tersebut hanya ada seorang laki-laki sebagai sopir, yang lainnya terdapat 3 orang perempuan duduk di belakang bertengger di atas batu. Dengan spontan perempuan-perempuan tersebut turun dari atas mobil sambil dengan serta merta menurunkan batu-batu kecil untuk bangunan ke pinggir jalan. Sedangkan sang laki-laki hanya memberikan komando. Sampai maghrib akan tiba, baru pekerjaan menurunkan batu terselesaikan. Tampak dari wajah sang perempuan menyimpan kelelahan yang amat sangat, namun mereka merasa puas karena telah menyelesaikan pekerjaannya.” Betapa menurunkan batu-batu bangunan tersebut sangat melelahkan, apalagi tidak sedikit dan hanya dilakoni bertiga. Tapi perempuan-perempuan tersebut melakukannya penuh semangat, sehingga rasa pegel, nyilu dan capek tidak mereka rasakan, karena yang tergambar di benak mereka adalah “upah” walaupun sebenarnya upahnya sangat minim. Rendahnya tingkat upah seringkali dihitung menjadi satu dengan biaya produksi, sehingga biaya produksi ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin. Walaupun sebenarnya minimnya upah tersebut yang paling mendasar adalah dipicu oleh rendahnya penguasaan keterampilan perempuan, faktor pendidikan dan besarnya jumlah pencari kerja. Satu contoh lagi kita lihat, sebuah proyek pelebaran jalan raya, ada yang menarik yang bisa kita tangkap, dimana kaum hawa punya andil yang sangat besar dalam pelebaran jalan tersebut. Kebanyakan dari para pekerja adalah kaum perempuan. Perempuan-perempuan tersebut dengan telaten dan penuh semangat walaupun di tengah terik matahari menata batu-batu di sepanjang jalan. Satu persatu batu-batu diangkatnya dengan tangan lembutnya yang mulai membengkak dari tumpukan, kemudian ditatanya dengan rapi. Sambil sesekali mereka menyeka keringat yang mengaliri wajahnya. Sementara sang laki-laki
Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Dalam Dunia Kerja ( Hasanatul Jannah )
yang memiliki otot besar dan kuat duduk di belakang kendali mobil silinder untuk menggilas hasil tatanan batu para kaum hawa. Tentu saja sang laki-laki hanya sedikit merasakan terik matahari dan tentu saja pula upahnya lebih besar dari para penata batu-batu. Luar biasa memang, ketelatenan, penataan dan kerapian senantiasa diserahkan atau diidentikkan dengan kaum hawa, sementara keperkasaan dan kegagahan identik dengan kaum laki-laki. Kelumrahan tersebut telah terkonstruksi sedemikian rupa, sehingga membentuk budaya yang harus dinikmati oleh masing-masing jenis kelamin. Itu berarti bahwa perempuan masih memiliki ruang komunikasi yang sempit. Akibatnya, mereka (para buruh) tidak bisa sampai pada posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, apalagi menguntungkan. Menurut Pudjiwati Sajogyo (1984) menekankan pada masyarakat berkembang untuk memperkecil perbedaan dalam penerimaan imbalan (nafkah) antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan. Apalagi faktor pendidikan tenaga perempuan masih terbelakang, sehingga dalam kegiatan bekerja kaum perempuan terutama dalam sektor ber“produksi” masih mencerminkan yang cenderung meremehkan kontribusi perempuan dalam proses produksi. Ketidakberdayaan tersebut karena kurang optimalnya mekanisme penyaluran aspirasi dari para pekerja. Ini berarti hubungan antara pekerja dengan pekerjaannya diibaratkan seperti mesin-mesin dan perkakas lainnya. Dalam hal ini F. W. Taylor dalam Brown (1992: 124) menawarkan prinsip-prinsip scientific management dengan cara meningkatkan pendapatan baik bagi para manager maupun para pekerjanya sehingga akan menciptakan kerjasama yang harmonis di antara kedua kelompok tersebut. Ada banyak persoalan yang layak diperjuangkan bagi pekerja, utamanya tenaga kerja perempuan, dan yang paling umum sekaligus mendasar antara lain: Kesesuaian upah yang mesti diterima dengan apa yang telah dikerjakan dalam hal ini menyangkut porsi kerja. Keharmonisan dalam hubungan kerja, baik dengan sesama pekerja maupun dengan majikan. Kenyamanan dan keamanan dalam lingkungan kerja.
205
206
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Upaya peningkatan keterampilan dan peningkatan kemampuan pekerja. Jaminan kesehatan dan keselamatan. dan lain-lain. Sebenarnya bila mencari kelayakan untuk diperjuangkan nasibnya dalam konstelasi keadilan gender, sudah semestinya kaum buruh perempuan dan perempuan miskin desa yang mendapat peringkat utama untuk diperjuangkan. Mereka para perempuan miskin tersebut menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi sangatlah kompleks. Satu sisi mereka harus menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, sisi yang lain mereka harus menjadi tulang pungggung keluarga. Dalam arti “bekerjanya para perempuan tersebut bukan sekedar menyalurkan kebebasannya, bakatnya dan kepandaiannya”, namun sebuah keterpaksaan yang harus dijalaninya. Pada dasarnya perempuan atau para ibu bekerja pada zaman ini bukan sesuatu yang harus dipertentangkan. Namun yang paling hakiki untuk diperjuangkan adalah bagaimana keadilan dalam dunia kerja dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya tanpa memandang jenis kelamin, terutama yang berkaitan dengan upah/gaji, karena yang lebih penting untuk dijadikan bahan pertimbangan adalah bagaimana kualitas seseorang dalam menjalankan pekerjaannya. Sehingga ketimpangan peran dalam semua sektor kerja seperti: birokrasi pemerintahan, swasta dan lain-lain tidak akan ditemui lagi. Dan yang perlu diupayakan adalah gerakan transformatif untuk menciptakan suatu sistem yang lebih adil. Demikian juga perempuan harus mampu memberikan ruang usaha pada dirinya sendiri untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan peluang untuk membuat, mengontrol dan menggali pengetahuannya. D. Pemberdayaan Perempuan untuk Mendapatkan Keadilan Pemberdayaan (empowerment) merupakan proses peningkatan diri sebagai upaya untuk menolong dirinya sendiri sehingga mampu memenuhi kebutuhan sendiri terutama kebutuhan yang paling mendasar dan mampu menemukan solusi atas persoalan yang membelenggunya. Pemberdayaan adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan
Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Dalam Dunia Kerja ( Hasanatul Jannah )
kebudayaan. Pemberdayaan di sini tidak dalam konteks mendominasi orang lain dengan makna apa yang diperoleh perempuan membuat kesempatan laki-laki jadi berkurang, bukan seperti itu, melainkan menempatkan pemberdayaan dalam arti menumbuhkan kecakapan atau kemampuan perempuan sehingga perempuan sadar akan kemampuannya dan untuk meningkatkan kemandirian (self reliance) serta kekuatan dirinya (internal strength), maka pemberdayaan harus menjadi gerak yang tumbuh dari dalam yang dimulai dengan membangun kekuatan diri. (Prijono, 1996: 199). Onny S. Prijono membagi pemberdayaan perempuan dalam 4 bagian, yakni: pemberdayaan psikologi, sosial budaya, ekonomi dan politik, dengan menggunakan strategi pendekatan dua arah -wanita dan pria- yang saling menghormati (respect) sebagai manusia (human being), dan saling menghargai, serta melalui upaya menyadarkan, mendukung, mendorong dan membantu mengembangkan potensi yang terdapat pada diri individu sehingga menjadi manusia yang mandiri tapi tetap berkepribadian. (Prijono, 1996: 201). Pada dasarnya kesempatan ataupun peluang untuk mengembangkan diri bagi kaum perempuan telah berjalan jauh sebelum jargon-jargon feminis digaungkan, apalagi semenjak peradaban Islam digelindingkan di muka bumi, ada banyak perempuan-perempuan hebat, cerdas sekaligus bermartabat. Cerdas dan berkualitas tidak hanya diperlukan di wilayah publik, tapi di semua wilayah perempuan sudah semestinya harus cerdas, berkualitas dan berkembang secara alamiah, karena Islam sangat menekankan baik bagi laki-laki maupun perempuan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya yang mengarah pada kebaikan bersama, sehingga melahirkan pola relasi yang harmonis, dinamis, toleran, dimana pada gilirannya tidak ada yang merasa didhalimi dan mendhalimi. Madelina K. Hendytio menawarkan jenis-jenis kebijakan yang perlu diperjuangkan pemerintah menyangkut pemberdayaan pekerja, antara lain: a. Upaya perbaikan melalui perubahan institusi-institusi yang telah meletakkan pekerja pada sisi subordinasi. b. Memberikan jaminan perlakuan secara adil terhadap pekerja. c. Memberikan tingkat kesejahteraan yang memadai.
207
208
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
d. Meningkatkan kemampuan fisik dan keterampilan sesuai dengan jenis pekerjaan. e. Dan pemenuhan hak-hak pekerja lainnya (Madelina dalam Prijono, 1996: 178). Pemerintah dan semua pihak yang terkait dalam ketenagakerjaan harus mampu membuat kebijakan yang relatif aman, sebagaimana dideskripsikan Anthony Giddens tentang strategi dalam investasi sosial (Giddens, 1999: 146), karena hal tersebut menyangkut kehidupan manusia bekerja, maka perlunya dorongan kebijakan tempat kerja yang ramah keluarga (friendly workplace policies) sesuatu yang juga bisa dicapai melalui kerjasama antara sektor publik dan sektor swasta, sehingga dapat membantu mendamaikan berbagai kepentingan yang saling bertabrakan, juga mampu menciptakan keamanan perjalanan ke dan dari tempat kerja. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa beban kerja domestik dan ekonomi selalu saja memakan waktu yang tidak sedikit bagi perempuan sehingga untuk dapat ambil bagian dalam kegiatan ataupun aktivitas dalam rangka memberdayakan dirinya menjadi sangat minim. Kemudian timbul pertanyaan yang paling mendasar, dari manakah pemberdayaan terhadap perempuan harus dimulai? Sudah semestinya pemberdayaan terhadap perempuan dimulai dengan meningkatkan keilmuan dan kecerdasannya. Dengan meningkatnya kecerdasan menurut Toffler akan membantu manusia dalam menganalisis problem sehingga mampu mengintegrasikan informasi dan menjadi lebih mandiri, dan imajinatif. (Toffler, 1992: 10). Dengan demikian kemampuan kaum perempuan menyangkut problem seputar pekerjaannya bisa ditangani sendiri sehingga tidak ada yang merasa dirugikan bahkan merugikan orang lain dan memiliki pengetahuan yang komprehensif apa yang mesti menjadi haknya dan yang bukan. Bagaimanapun juga Islam juga sangat menempatkan orangorang yang berilmu dengan pengangkatan derajat yang lebih tinggi. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (Al-Mujadalah:11). Untuk itu perempuan, sebagaimana laki-laki juga dituntut untuk memperkaya diri dengan pengetahuan dan senantiasa melakukan peningkatan diri dalam berbagai sektor
Mewujudkan Keadilan Bagi Perempuan Dalam Dunia Kerja ( Hasanatul Jannah )
terutama dalam dunia kerja. Jika bekal pengetahuan telah dimiliki maka otomatis SDM para pekerja juga termasuk pekerjaannya akan semakin bermutu. Dalam hal ini Mutawalli mengecam bagi makhluk yang tidak mau meningkatkan mutunya, baginya orang yang tidak meningkatkan mutu pekerjaannya termasuk segolongan orang yang merugi, karena ia hanya mengerjakan satu pekerjaan saja dan akan membutuhkan ratusan pekerjaan kepada orang lain. Dikatakan merugi karena bila pekerjaannya tidak bermutu maka Allah akan menguasakan kepada orang lain sedangkan ia berburuh kepadanya, maka rugilah ia. Bagi Mutawalli kerja itu semua sama dan tidak ada yang lebih utama, namun yang terpenting adalah kualitas kerja itu sendiri (Mutawalli, 1990: 40). Pemberdayaan perempuan akan berlangsung baik ketika perilaku laki-laki dan perempuan berada dalam kesamaan yang kondusif sehingga hak dan kewajiban, dan kedudukannya berlandaskan untuk saling membantu, mengisi dan mengamankan. Bukan memberikan perhitungan khusus terhadap hak dan kewajibannya karena jenis kelaminnya, melainkan memperhitungkan prinsip-prinsip kemanusiaan. E. Simpulan Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 diungkapkan tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Amanah tersebut tidak membatasi atas laki-laki maupun perempuan, tiap orang yang bekerja berhak memperoleh penghasilan/upah yang cukup layak sesuai dengan porsi kerjanya. Namun dalam realitas, perempuan mengalami diskriminasi dalam perolehan gaji hanya karena dia seorang perempuan atau karena sebab lain yang berkaitan dengan ketidakadilan gender yang ia terima. Salah satu jalan keluar yang ditawarkan adalah memberdayakan perempuan dengan meningkatkan pendidikan perempuan.
209
210
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
SUMBER RUJUKAN Asy sya’rawi, Mutawalli. 1990. Rezeki. Jakarta: Gema Insani Press. Brown, R K. 1992. Sosiologi Industri. Jakarta: Rineka Cipta. Giddens, Anthony. 1999. The Third Way: Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakarta: Gramedia. Hamka. 1973. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. Magnis, Franz Von, Soerjanto pospowardojo & Bertens (red). 1983. Sekitar Manusia Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia. Jakarta: Gramedia. Prijono, Onny S. dan Pranarka. 1996. Pemberdayaan, konsep, kebijakan dan implementasi. Jakarta: CSIS. Sadr, Bani 1985. Buruh, kerja & Islam. Yogyakarta: Shalahuddin Press. Sajogyo, Pudjiwati. 1998. Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta: Yayan Obor Indonesia. Toffler, Alfin. 1992. Gelombang ke Tiga. Jakarta: Pantja Simpati. Yasin, Maisar. 1997. Wanita Karier dalam Perbincangan. Jakarta: Gema Insani Press.
MENYOAL KESETARAAN GENDER DALAM EVALUASI PEMBELAJARAN Oleh: Ismanto *)
ABSTRACT: Regarding to the evaluation of learning, until now
there are still a lot of learning outcomes instruments, whether used by teachers for daily test or by schools for general test , have not met the requirements of an ideal yet i.e., non biased and scalable standard. Learning outcomes instrument containing bias items would be detrimental to the students who has the same abilities with students who answered correctly simply because of different groups. In other words, the instruments containing bias items, do not give the same opportunity to answer correctly on the person taking the test with the same abilities, just because they come from different groups. In this case, it could mean the difference in cultures, gender, religion, and more. According to Saifuddin Azwar, four factors suspected as the causes of the performance gap between men and women in relation to responses to test questions, namely 1). Bias test questions , 2). multiple-choice format, 3). opportunity to guess, and 4) time constraints.
Keywords: learning evaluation, bias items A. Pendahuluan Perkembangan pembahasan mengenai studi perempuan berkaitan dengan paradigma yang melandasi perjuangan atau tuntutan para pemerhati persoalan gender di Indonesia, menurut Marhaeni (2008), secara garis besar terdapat empat paradigma dalam pembahasan mengenai studi perempuan, yaitu paradigma yang bekaitan dengan konsep Women in Development (WID), Women and Development (WAD) atau Gender and development (GAD), pemberdayaan perempuan (women’s empowerment), dan Pengarusutamaan Gender (PUG) atau gender mainstreaming. Pendidikan nasional Indonesia sebagai wahana dan wadah pengembangan kualitas sumber daya manusia Indonesia perlu *) Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus
212
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
berwawasan gender dalam artian tidak boleh mendiskriminasikan jenis kelamin tertentu atau bias gender, melainkan harus ada unsur keadilan, keterbukaan dan keseimbangan gender. Hal ini sesuai dengan komitmen internasional maupun nasional yang telah menyepakati untuk menghapus kesenjangan gender dalam berbagai kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Untuk merealisasikan komitmen tersebut perlu adanya perubahan dan pembaharuan pendidikan sebagai wujud reformasi dan rekonstruksi baik dalam sistem, budaya, maupun isi (content), secara memadai dengan mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan gender. Sebagai ilustrasi sekelumit tentang komponen pembelajaran, yaitu evaluasi pembelajaran, sampai saat ini banyak instrumen hasil belajar, baik yang digunakan oleh guru untuk ulangan harian maupun yang digunakan oleh sekolah untuk ulangan umum belum memenuhi persyaratan ideal, yakni nirbias dan terskala baku. Instrumen hasil belajar yang mengandung bias butir akan merugikan siswa yang memiliki kemampuan sama dengan siswa yang menjawab benar hanya dikarenakan kelompoknya berbeda. Atau dengan kata lain, instrumen yang mengandung bias butir tidak memberi peluang sama untuk menjawab benar pada peserta tes yang memiliki kemampuan sama hanya karena berasal dari kelompok yang berbeda. Dalam hal ini, perbedaan kelompok itu dapat diartikan perbedaan kultur, gender, agama, dan lainnya. Sementara itu instrumen yang tidak terskala baku, tidak mampu menghasilkan skor yang dapat dibandingkan antar wilayah, antar kelompok, dan antar tahun yang menggunakan instrumen berbeda. B. Gender and Development (GAD) Paradigma ini diperkenalkan sebagai konsep gender, dimana studi tentang perempuan dihubungkan dengan laki-laki. Dengan perspektif gender wacana tentang perempuan sekaligus dihubungkan dengan laki-laki, dimana dominasi dan subordinasi laki-laki terhadap perempuan menjadi kajian utama (Abdullah, 1998:184). Pada paradigma ini dikatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kepentingan yang berbeda, demikian pula dari sesama perempuan berdasarkan kategori sosial mereka. Pada paradigma ini disadari bahwa terjadi ketimpangan gender/hubungan gender yang tidak setara
Menyoal Kesetaraan Gender Dalam Evaluasi Pembelajaran ( Ismanto )
antara laki-laki dan perempuan yang terjadi baik di tingkat keluarga, masyarakat, maupun negara. Paradigma atau pendekatan GAD ini, melihat ketertinggalan perempuan sebagai akibat dari relasi hubungan sosial dan politik yang tidak adil pada mereka. Jadi yang menjadi fokus pembenahan adalah hubungan-hubungan tersebut, bukan perempuannya (Silawati, 2006: 77). GAD menekankan pada redistribusi kekuasaan (power) dalam relasi sosial perempuan dan laki-laki, dimana kekuasaan laki-laki di bidang ekonomi, sosial, dan budaya terus digoyang dan dipertanyakan, pendidikan dalam hal ini termasuk bidang sosial. Pendekatan ini memandang bahwa yang menciptakan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan adalah struktur dan proses sosial politik. Ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan terlihat pada akses dan kontrol terhadap sumber daya, kesempatan dan manfaat, serta dalam pengambilan keputusan (partisipasi dan representasi). Untuk itu pendekatan dalam GAD ini adalah masyarakat dan berbagai institusi mengubah cara berpikir dan praktik untuk mendukung persamaan kesempatan, pilihan, dan kesetaraan. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan lakilaki. Dalam relasi sosial yang setara, perempuan dan laki-laki merupakan faktor yang sama pentingnya dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan, baik di lingkungan keluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara. Sehingga diperlukan perspektif alternatif untuk studi atau penelitian tentang gender di masa mendatang dengan memperhatikan heterogenitas perempuan di Indonesia baik dari segi budaya, sosial, maupun ekonomi, maka perlu dilakukan penilaian kebutuhan di tingkat individu, maupun di tingkat lembaga, yang dikenal dengan istilah melakukan need assessment, untuk mengetahui apa yang dibutuhkan perempuan, dan lembaga-lembaga/ institusi pelaksana di masing-masing wilayah, sehingga diharapkan kebijakan akan menjadi lebih tepat, dan direspon oleh perempuan.
213
214
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
C. Gender dan Pendidikan Ketidakadilan gender yang terjadi pada pendidikan formal di sekolah seringkali tidak disadari oleh para pendidik yaitu para guru, orang tua dan murid-murid. Pada umumnya para guru merasa telah memperlakukan semua murid perempuan dan laki-laki secara adil. Mereka tidak mengetahui dan tidak memperhatikan apakah bukubuku pelajaran yang mereka pakai dan diwajibkan dipakai benarbenar adil gender. Apakah kurikulum yang diterapkan termasuk ekstra kurikuler telah diberlakukan secara adil. Pembedaan perlakuan antara murid perempuan dengan murid laki-laki juga terjadi pada upacara-upacara yang digelar di sekolah. Anak laki-laki karena suaranya keras selalu dipilih sebagai pemimpin upacara, mereka tidak menyadari bahwa murid perempuan juga ada yang bersuara keras, bersuara lantang dan pantas sebagai pemimpin upacara. Terjadinya pembedaan perlakuan tersebut dianggap wajar, sehingga akses menjadi pemimpin upacara yang tidak diberikan pun tidak dipedulikan karena dianggap yang pantas menjadi pimpinan upacara adalah laki-laki. Isu kesenjangan gender dalam pendidikan yang paling menonjol menurut Widodo (2010) dalam penelitiannya ditemukan bahwa: 1) semakin tinggi jenjang pendidikan makin lebar kesenjangan gendernya; 2) kurangnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan kebijakan dan terbatasnya pemahaman para pengelola dan pelaksana pendidikan akan pentingnya kesetaraan gender; 3) masih terjadi gejala segregasi gender (gender segregation) dalam pemilihan jurusan atau program studi di Sekolah Menengah Umum, Sekolah Menengah Kejuruan; 4). di daerah pedesaan anak perempuan didorong untuk menikah dan meninggalkan sekolah. Keseteraan gender dalam bidang pendidikan menjadi sangat penting mengingat sektor pendidikan merupakan sektor yang sangat strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender (Marzuki, 2008: 10). Di Indonesia kita bisa mengetahui sekarang bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan memberi arah pada terciptanya kesetaraan gender. Kesempatan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia baik laki-laki maupun perempuan tidak dibedakan. Upaya pemerintah dalam mengembangkan SDM melalui
Menyoal Kesetaraan Gender Dalam Evaluasi Pembelajaran ( Ismanto )
pendidikan di Indonesia terus dilakukan, tetapi mengalami hambatan pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia. Dampak krisis ekonomi ini tidak saja kepada daya beli masyarakat tetapi juga berdampak kepada kemampuan orang tua untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Tidak ada kebijakan yang bias gender terkait dengan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di Indonesia mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). Kalaupun terjadi perbedaan jumlah laki-laki dan perempuan pada jurusan-juruan tertentu baik di SMA, SMK, maupun di PT, seperti yang dikemukakan oleh Suryadi dan Idris (2004: 114), bahwa terjadinya ketimpangan menurut gender yang tercermin dalam proporsi jumlah peserta didik yang tidak seimbang menurut jurusan-jurusan atau program-program studi yang ada pada pendidikan menengah dan tinggi disebabkan adanya asumsi perbedaan kemampuan intelektual dan keterampilan antara laki-laki dan perempuan. Penyebabnya, selain mungkin peserta didik itu sendiri kekurangan informasi untuk menentukan pilihan jurusan atau program studi, juga adanya faktor keluarga dengan berbagai persepsinya yang sudah bias gender. Sering kali dalam memilih jurusan, mereka mendapat intervensi dari orang tua mereka, padahal jurusan yang dipilih di sekolah akan berakibat lanjutan kepada kesempatan meneruskan pendidikan atau memilih pekerjaan. Hal senada dalam tulisan Mufidah (2012), masih terjadi kesenjangan gender berdasarkan kepantasan untuk memilih jurusan yang pantas diikuti laki-laki atau perempuan. Siswa perempuan masih mendominasi program studi Bisnis dan Manajemen, Seni, dan Kerajinan. Sebaliknya, laki-laki lebih mendominasi program studi Teknik. Hal ini juga terjadi di jurusanjurusan atau program-program studi di perguruan tinggi (PT). Sementara bahan ajar yang digunakan serta proses pengelolaan pendidikan masih bias gender, sebagai akibat dominasi laki-laki sebagai penentu kebijakan pendidikan (Soemartoyo, 2002). Hasil penelitian Logsdon (1985), serta Astuti, Indarti, dan Satriyani (1999) dalam Dewiki dan Mutiara (2008) juga menunjukkan bahwa buku-buku teks yang digunakan di SD, baik untuk pelajaran Bahasa Indonesia maupun pelajaran yang lain ternyata memuat bias gender, yaitu memuat pemilahan antara laki-laki dan perempuan. Ayah digambarkan bekerja
215
216
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
di sektor publik seperti kantor, kebun dan sejenisnya, sedangkan ibu digambarkan di sektor domestik, seperti dapur, memasak, mencuci, mengasuh adik, dan sejenisnya. Penanaman posisi yang bias gender tersebut terus diacu sebagai suatu hal yang wajar oleh peserta didik perempuan (siswi, mahasiswi) maupun laki-laki (siswa, mahasiswa). Senada dengan penelitian yang dilakukan Markhamah, Suwandi, dan Sudirdjo (2006: 29-33) dengan melihat perkembangan yang telah dilakukan oleh peneliti yang ditelaah, di antara beberapa buku pelajaran yang digunakan di SD, buku yang paling banyak mengandung bias gender adalah buku pelajaran Bahasa Indonesia. Dari pengamatan peneliti ditemukan bahwa buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk SLTP cukup banyak mengandung bias gender. Dengan temuan tentang persepsi pengambil kebijakan beserta para guru terhadap model materi ajar dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berperspektif kesetaraan gender itu diperlukan inovatif sesuai dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi, sesuai dengan program pemerintah, jelas, sederhana, mudah diaplikasikan, dan merupakan model yang menantang. Temuan ini juga didukung oleh temuan bahwa perilaku dan sosialisasi pengembangan model pembelajaran demokratis pada tiga mata pelajaran (Bahasa Indonesia, IPS dan PPKn) yang dilakukan oleh Zuriah (2004) pada para guru bidang studi tersebut, maka pemahaman konsep-konsep, nilai-nilai demokrasi dan kesetaraan dan keadilan gender dalam proses pembelajaran mulai menampakkan hasil yang cukup signifikan. Kondisi ini tentu saja memprihatinkan dan menjadi perhatian di kalangan pendidik sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah kondisi seperti ini juga terdapat dalam buku-buku yang digunakan di perguruan tinggi. Namun demikian penelitian Dewiki dan Mutiara (2008) mendeskripsikan bahwa bahan ajar cetak sebagian besar (76,19%) dapat dikatakan netral dan tidak mengistimewakan salah satu gender. Selain itu prosentase terbesar (44,10%) dari semua ilustrasi yang dibuat adalah netral, atau tidak mengacu ke bentuk manusia secara eksplisit. Adapun pada beberapa bahan ajar cetak penggambaran lakilaki sebagai subjek dalam ilustrasi lebih mendominasi dibandingkan dengan perempuan. Gambar laki-laki terutama digunakan untuk olahraga yang mengandalkan kekuatan fisik, sedangkan gambar
Menyoal Kesetaraan Gender Dalam Evaluasi Pembelajaran ( Ismanto )
perempuan digunakan untuk mengilustrasikan contoh olahraga yang ringan, membutuhkan kelenturan dan keluwesan. Apabila dilihat dari segi bahasa, kata atau penyebutan untuk peserta didik di setiap jenjang pendidikan dalam bahan ajar, para penulis umumnya menggunakan kata siswa yang memang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa Depdiknas, 2001) berarti murid atau pelajar, dan para penulis bahan ajar tersebut tidak menggunakan padanan kata siswi untuk menunjukkan murid perempuan. Seiring dengan pendapat Hanafi (2011: 158) berpendapat persoalan substansi materi dan/atau kajian analisis mata kuliah keagamaan (Islam), bukan eranya lagi disiplin ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (sosial sciences), dan humaniora, namun mengandung muatan ilmu-ilmu kealaman, sosial, dan humaniora kontemporer, seperti: hermeneutik, cultural and religious studies, HAM, sensitivitas gender, filsafat ilmu. Jika tidak, mahasiswa akan menderita (suffer) ketika mereka keluar kampus dan berhadapan dengan realitas sosial-kemasyarakatan dan realitas sosial keagamaan yang begitu kompleks. Padahal berdasarkan berbagai penelitian oleh Kimbal (1981:119) menyimpulkan bahwa perbedaan kemampuan alamiah kecil sekali. Hal ini sependapat bahwa seseorang dapat mengembangkan secara penuh baik sifat maskulin maupun sifat feminin pada dirinya, sehingga mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya secara penuh. D. Gender dan Pembelajaran Sosialisasi kepekaan gender melalui jalur struktural yang dipandang lebih efektif adalah melalui pendidikan, yakni dengan mengintegrasikan ke dalam manajemen pendidikan responsif gender, pembelajaran inklusif gender dan didukung pula oleh kebijakan pendidikan yang responsif gender. Pembelajaran inklusif gender adalah pembelajaran dengan mengintegrasikan gender ke dalam materi/bahan ajar yang berkesetaraan dan keadilan gender dengan menggunakan metode pembelajaran yang menghindari terjadinya diskriminasi gender. Demikian pula dengan melalui strategi yang sama juga berlaku pada materi dan metode penyampaian pesan-pesan keagamaan inklusif gender yang dilakukan oleh pemuka agama (pendidikan nonformal,
217
218
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
informal). Hal ini penting artinya dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui jalur kultural yang dinilai lambat tapi terintegrasi langsung dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Kegiatan pembelajaran lazimnya melibatkan berbagai komponen yang saling berinteraksi, seperti metode, kurikulum, guru, siswa dan sarana. Pertama; metode, dalam proses pendidikan mempunyai kedudukan sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena menjadi sarana dalam menyampaikan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan, sehingga dapat dipahami dan diserap oleh peserta didik. Dengan kata lain perbedaan penggunaan atau pemilihan suatu metode mengajar disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1) tujuan; 2) karakteristik siswa; 3) situasi dan kondisi; 4) perbedaan pribadi atau gender dan kemampuan guru; dan 5) sarana dan prasarana (Usman, 2002:73). Kedua, kurikulum, merupakan salah satu faktor yang menjadi bahan pertimbangan dalam mempertahankan mutu pendidikan sebagai suatu produk atau konstruksi sosial, dengan demikian pendidikan juga mempunyai andil bagi terbentuknya relasi gender di sekolah/ madrasah. Implementasi kurikulum terjadi proses pengejawantahan pengalaman belajar kepada peserta didik, seperti yang dinyatakan oleh Ghufron (2009) bahwa implementasi kurikulum berbasis gender adalah model implementasi kurikulum yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik tanpa diskriminasi dalam memperoleh kesempatan belajar sebagaimana tertera dalam kurikulum yang berlaku. Setiap peserta didik diberi hak, tanggung jawab, kesempatan, perlakuan, dan penilaian yang sama dalam proses pembelajaran. Ciri-ciri implementasi kurikulum berbasis kesetaraan gender, yaitu: 1) Semua peserta didik memperoleh kesempatan belajar sebagaimana tertera dalam kurikulum yang berlaku; 2) materi pembelajarannya dikembangkan dari berbagai sumber dan tidak bias gender; dan 3) menekankan pada partisipasi yang sama semua peserta didik dalam proses transmisi dan transformasi pengalaman belajar di sekolah. Ketiga, guru dan siswa. Dalam aktivitas pembelajaran, guru memegang peranan utama sebagai pemegang kendali dalam aktivitas pembelajaran, dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang beberapa konsep dasar materi, pembelajaran dan psikologi
Menyoal Kesetaraan Gender Dalam Evaluasi Pembelajaran ( Ismanto )
perkembangan peserta didik. Pemahaman guru dan siswa tentang konsep gender tersebut dalam aktivitas pembelajaran adalah; terimplementasi pada tujuan pembelajaran yang mengarah pada kesadaran kesamaan tugas manusia di muka bumi ini dan untuk mengarahkan pada upaya menghargai perbedaan gender, penggunaan metode pembelajaran yang berbasis pada metode teacher and student centered, metode pembelajaran yang mengembangkan keterampilan sosial, kognitif, dan mosional, dan metode yang memadukan kemandirian dan kerjasama siswa (Rahmawati, 2008). Selain itu berimplikasi pula pada pengelolaan aktivitas pembelajaran; yang mencakup dalam hal keaktifan subjek belajar (guru dan siswa/lakilaki dan perempuan) di kelas, pembelajaran berpusat pada kompetensi dan pluralitas siswa (perbedaan gender), guru sebagai fasilitator dan motivator yang sensitif gender, dan adanya kerjasama yang harmonis di antara subjek belajar. Keempat, sarana dan prasarana, merupakan segala sesuatu yang diperlukan untuk dapat mendukung dan memperlancar kegiatan pembelajaran. Selain itu berimplikasi pula dalam pemanfaatan sumber belajar yang berprinsip dengan memanfatkan sumber daya sekolah dan sumber daya di lingkungan sekolah, seperti: pemanfaatan media ruang kelas banyak dipajangkan gambar laki-laki dan perempuan dan sejumlah buku teks yang digunakan sebagai media pembelajaran. Guru dapat dikatakan memiliki sensitivitas gender yang tinggi, keaktifan siswa (laki-laki dan perempuan) di kelas, iklim belajar yang kondusif, dan perpustakaan sekolah yang menyediakan buku-buku yang memadai sebagai bahan referensi. E. Kesetaraan Gender Dalam Evaluasi Pembelajaran Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa salah satu prinsip penilaian adalah adanya unsur keadilan. Adil dalam arti bahwa penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender. Penilaian yang adil jika instrumen penilaian bebas dari adanya unsur bias item/butir tes yang disebabkan adanya differential item
219
220
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
functioning (DIF). Akar dari adanya bias tes adalah terdapatnya itemitem dalam tes yang tidak berfungsi sama terhadap kelompok yang berbeda, lepas dari fakta bahwa kedua kelompok tersebut sebenarnya memiliki kemampuan yang setara. Bentuk bias item yang dikenal dengan nama DIF ini terjadi bilamana dua orang yang memiliki tingkat kemampuan setara tapi berasal dari kelompok yang berbeda tidak memiliki peluang yang sama untuk memilih jawaban yang benar. Deteksi bias butir dapat diselidiki menggunakan beberapa metode seperti metode Mantel-Haenzel, sibtest, regresi logistik (Budiyono, 2005: 95-99). Childs (1990: 208) mengatakan bahwa bias jenis kelamin dapat bersumber dari (a) materi atau referensi yang ofensif terhadap lakilaki atau terhadap perempuan, (b) referensi objek dan gagasan yang lebih akrab bagi perempuan dan kurang akrab bagi laki-laki, atau sebaliknya, dan (c) representasi yang tak seimbang antara laki-laki dan perempuan sebagai aktor dalam item atau peranan gender yang bersifat stereotipe. Jadi timbulnya bias adalah sebagai reaksi subjek yang berbeda terhadap isi dan karakteristik item yang secara sistematis ikut berpengaruh terhadap peluang keberhasilan subjek dalam menjawab soal yang bersangkutan. Dari segi deteksi bias item, yang dalam hal ini dilacak berdasarkan jenis kelamin, ternyata untuk tes matematika semisal 1) Seorang kontraktor hendak membuat kolam renang seluas lapangan sepak bola ukuran standar. Jika kedalaman kolam rata-rata 1,2 meter, berapa liter air yang dibutuhkan untuk mengisi kolam renang secara penuh?, dan 2) Ibu menyuruh Santi membeli 3 macam sayuran dan 4 macam buah-buahan. Jika rata-rata satu jenis sayur dan buah seharga masingmasing Rp 3.500,- dan Rp 8500,-, berapa uang yang harus diberikan ibu kepada Santi? Item nomor 1 yang lebih mudah untuk kelompok lakilaki dan ada satu item yang lebih mudah untuk kelompok perempuan. Namun, jika dilihat dari karakteristik item yang diujikan tanpa adanya kasus yang terkait karakteristik gender, tampaknya lebih berkait dengan faktor lain yang masih perlu diselidiki lebih lanjut. Faktor lain yang perlu diperhatikan bahwa ternyata di lapangan masih ada guru yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai dalam mengembangkan instrumen. Dengan demikian, perlu adanya
Menyoal Kesetaraan Gender Dalam Evaluasi Pembelajaran ( Ismanto )
inhouse training untuk meningkatkan kemampuan guru terlebih dalam hal mendeteksi bias butir agar dapat menghasilkan butir/item tes hasil belajar yang nirbias. Menurut Saifuddin Azwar, beberapa hal berikut diduga ikut menjadi penyebab adanya kesenjangan performans antara laki-laki dan perempuan terkait respon terhadap soal tes. Pertama, soal tes yang bias, dimana soal tes yang jawaban benarnya berkaitan dengan perbedaan gender yang besar selalu menguntungkan laki-laki sekalipun prestasi akademik perempuan tinggi (Rosser, 1989). Serta umumnya perempuan lebih baik dalam menjawab soal mengenai hubungan, estetika, dan humanitas sedangkan laki-laki lebih berhasil dalam menjawab pertanyaan mengenai olah raga, IPA, dan bisnis. Kedua, format pilihan-ganda, dimana menurut hasil penelitian bersama oleh ETS dan The College Board menyimpulkan bahwa bentuk soal pilihanganda berpotensi bias terhadap perempuan. Serta ditemukan bahwa kesenjangan skor antar gender berkurang atau hilang sama sekali pada semua bentuk soal lain (seperti jawaban-pendek, esai, dan respon terpola). Ketiga, peluang menebak, dimana laki-laki cenderung lebih berani mengambil resiko dan akan menebak bila mereka tidak mengetahui jawaban, sedangkan perempuan cenderung menjawab hanya bila mereka yakin betul bahwa jawaban mereka adalah benar dan cenderung tidak menebak. Semisal, tes pilihan-ganda dengan lima pilihan yang memberlakukan guessing penalty, yaitu mengurangi skor dengan seperempat bagi setiap jawaban yang salah dan memberi skor nol bagi pertanyaan yang tidak dijawab, dimaksudkan agar peserta tes yang tidak merasa pasti dengan jawabannya tidak membuat tebakan sembarang karena spekulasi dalam menjawab mengandung resiko kerugian skor. Keempat, keterbatasan waktu, yaitu adanya kesenjangan jenis kelamin adalah unsur keharusan bekerja cepat dalam merespon tes atau sifat speeded pada tes. Bukti menunjukkan bahwa perempuan memiliki pendekatan pemecahan masalah yang berbeda dari lakilaki. Pada umumnya perempuan cenderung melihat problem secara menyeluruh, mempertimbangkan lebih dari satu kemungkinan jawaban yang benar dan memeriksa jawaban mereka. Berbagai studi
221
222
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
menemukan bahwa bila ujian diberikan tanpa tekanan keterbatasan waktu maka skor perempuan akan meningkat tajam sedangkan skor laki-laki tidak banyak berubah dibanding dengan ujian yang harus diselesaikan dalam waktu terbatas yang menimbulkan rasa tertekan (The National Center for Fair & Open Testing, 2007). F. Simpulan Setiap peserta didik diberi hak, tanggung jawab, kesempatan, perlakuan, dan penilaian yang sama dalam proses pembelajaran. Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa salah satu prinsip penilaian adalah adanya unsur keadilan. Adil dalam arti bahwa penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender. Penilaian yang adil jika instrumen penilaian bebas dari adanya unsur bias item/butir tes yang disebabkan adanya differential item functioning (DIF), hal ini terjadi bilamana dua orang yang memiliki tingkat kemampuan setara tapi berasal dari kelompok yang berbeda (satu di antaranya gender) tidak memiliki peluang yang sama untuk memilih jawaban yang benar. Jadi timbulnya bias adalah sebagai reaksi subjek yang berbeda terhadap isi dan karakteristik item yang secara sistematis ikut berpengaruh terhadap peluang keberhasilan subjek dalam menjawab soal yang bersangkutan. Satu di antara faktor yang perlu adanya inhouse training untuk meningkatkan kemampuan guru terlebih dalam hal mendeteksi bias butir agar dapat menghasilkan butir/item tes hasil belajar yang nirbias.
Menyoal Kesetaraan Gender Dalam Evaluasi Pembelajaran ( Ismanto )
SUMBER RUJUKAN A. A. I. N. Marhaeni. 2008. Perkembangan Studi Perempuan, Kritik, dan Gagasan Sebuah Perspektif untuk Studi Gender ke Depan. Jurnal Piramida dalam ejournal.unud.ac.id. diakses 25 Oktober 2012 . Abdullah, Irwan. 1998. Rekonstruksi Gender terhadap Realitas Perempuan, dalam Bainar (ed): Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan. Yogyakarta : PT.Pustaka Cidesindo. Azwar, Saifuddin. Keputusan Seleksi Dalam High Stake Exams: Wacana Psikometris. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Psikometri Pada Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Budiyono. 2005. Perbandingan metode mantel-haenzel, sibtest, regresi logistic, dan perbedaan peluang dalam mendeteksi keberbedaan fungsi butir. Disertasi Program S-3 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan UNY. Yogyakarta: Program Pascasarjaa UNY. Childs, R.A. 1990. Gender Bias and fairness. ERIC Digest. ERIC Clearinghouse on Tests Measurement and Evaluation. Washington DC: American Institutes for Research. Dewiki, Santi dan Dewi Mutiara. Perspektif Gender dalam Bahan Ajar Cetak Pada Pendidikan Jarak Jauh: Studi Kasus: Bahan Ajar Cetak Program Studi D2 Pendidikan Olahraga FKIP-UT. Dalam Jurnal Pendidikan Terbuka Dan Jarak Jauh, Volume 9, Nomor 1, Maret 2008, 41-50. Dewi, Sinta R.. 2006. Gender Mainstreaming Feminisme, Gender dan Transformasi Institusi, dalam Jurnal Perempuan, No. 50. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Ghufron, Anik. 2009. Implementasi Kurikulum Berbasis Kesetaraan Gender dalam makalah Seminar Nasional “Gender dalam pendidikan Formal” Hima Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, tanggal 17 Desember 2009.
223
224
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Hanafi, Yusuf. 2011. Bias-Bias Dikotomi dalam Buku Ajar Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dalam Jurnal Islamica, Vol. 6, No. 1, September 2011, 153-167. Kimbal, M. M. 1981. Women and Science: Acitique of Biological Theories, in International Journal of Womenns Studies. Vol. 4, No.4. Markhamah, Sarwiji Suwandi, dan Sudirdjo. 2006. Persepsi Pengambil Kebijakan dan Guru terhadap Pengembangan Model Materi Ajar dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SLTP Berperspektif Kesetaraan Gender. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 1, 2006: 19 – 38. Marzuki. 2008. Studi Tentang Kesetaraan Gender Dalam Berbagai Aspek dalam Makalah Sosialisasi Kesetaraan Gender Kegiatan KKN Mahasiswa UNY Di PKBM“Sekar Melati” Sinduadi Mlati Sleman tanggal 24 Desember 2008. Mufidah Ch. 2012. Rekonstruksi Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Konteks Sosial Budaya dan Agama. Jurnal Egalita dalam ejournal.uinmalang.ac.id. diakses 26 Oktober 2012. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Pusat Bahasa Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rahmawati, Ika. 2008. Pemahaman Guru dan Siswa Tentang Konsep Gender dan Implikasinya dalam Aktifitas Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta. Skripsi Program Sarjana Strata-1. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Silawati, Hartian. 2006. Pengarusutamaan Gender: Mulai Dari Mana, dalam Jurnal Perempuan, No. 50. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Suryadi, Ace dan Ecep Idris. 2004. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Bandung: PT. Genesindo.
Menyoal Kesetaraan Gender Dalam Evaluasi Pembelajaran ( Ismanto )
Usman, M. Basyiruddin. 2002. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat Pres. Usman, Moh. User & Lilis Setiawati. 1994. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar (Bahan Kajian PKG, MGBS,MGMP). Bandung: Remaja Rosda Karya. S.R. Seomartoyo. 2002. Pemberdayaan Perempuan di Indonesia dan Peluang Untuk Pemberdayaan Ekonomi Perempuan. Disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan pada The ACT Seminar and Summit. Japan-Indonesia: Dinamic Relationship for Regional Development. Widodo, Wahyu. 2010. Analisis Situasi Pendidikan Berwawasan Gender di Propinsi Jawa Timur. Jurnal Humanity dalam ejournal.umm. ac.id. diakses 24 Oktober 2012. Zuriah, Nurul. 2004. Studi Perilaku Proses Pembelajaran Demokratis Berbasis Kesetaraan dan Keadilan Gender di Sekolah Dasar Muhammadiyah Kota Malang – Jawa Timur. Program Penelitian Unggulan (P2U) Universitas Muhammadiyah Malang.
225
MODEL BARU PERAN PUBLIK PEREMPUAN DI PESANTREN Studi Kasus di Muslimah Center di Pesantren Daarut Tauhid Bandung Oleh: Farida Ulyani *)
ABSTRACT: Men and women are different, but this should
not make a reason for discrimination in providing space for selfactualization, including in matters of dakwah. So that was happening in the gait of women in a Muslimah center (MC) Pesantren Daarut Tauhiid (DT) Bandung. This study explains why women in the MC community could get up in boarding school DT helped to empower women through missionary activities and how the patterns of empowerment is done. The research also elaborates the pesantrenbased feminist movement. Interpretative phenomenological approach to research and interpret the cultural phenomenon that is found in the female community in the MC. The findings were: (1) The presence of MC in boarding DT has given color and pattern in the sociology of urban schools that have provided public space for Muslim women to actualize themselves through propaganda and women’s empowerment, (2) The rise of the women’s movement which was institutionalized in the MC could not be separated from key figure of Aa Gym that originally gave a special role to his wife, Teh Ninih and santriwati (Islamic women students) to participate in the pursuit of social propaganda to women who have penetrated the patriarchal culture, (3) the pattern of movement on problem based Islamic preaching especially on strengthening the economic family. In women community of MC has sought to empower the people with their own perspective or borrow Vandana-Shifa referred to the women’s way of knowing (1997).
Keywords: Dakwah culture, Muslimah Center, Women empowerment A. Pendahuluan “… saya bingung pada kebiasaan suami saya yang selalu suka menunda shalatnya, yang tapi pada akhirnya dia sholat juga...” (Rofani, Wiraswasta di Semarang) *) Dosen Universitas Muria Kudus
Model Baru Peran Publik Perempuan Di Pesantren ( Farida Ulyani )
Jawaban Teh Ninih: “Rumah tangga yang penuh tantangan bagi istri adalah jalan paling pintas menuju surga, maka dari itu kesabaran dalam mengingatkan suami adalah kuncinya. Semakin besar tantangan, semakin dekat dengan surga, sekali-kali dapat diingatkan; Mas, kita tidak tahu usia kita sampai jam berapa, maka selagi ada kesempatan segeralah tunaikan tugas dari Allah, toh kita dihidupkan oleh Allah, diberi makan oleh Allah, semuanya dari Allah, masa iya Allah nyuruh shalat aja kita sudah enggan. Selamat berjuang” (www.dpu-online.com) Sedikit kutipan di atas adalah salah satu contoh penggalan suara hati seorang perempuan yang sedang curhat dengan Hj. Ninih “Teh Ninih” Muthmainnah, Direktur Muslimah Center, Pesantren Daarut Tauhid (DT) Bandung, yang tak lain adalah istri pertama Kyai kondang Aa Gym. Bahasanya sederhana, komunikatif dan tidak menekankan pada dalil-dalil teks yang membingungkan meskipun di dalamnya sarat dengan nilai-nilai Islam. Islam sebagai ajaran Islam memang tak lepas dari sumber utama Al Qur’an dan Hadits yang dipegang teguh oleh para pemeluk Islam. Namun seringkali dalam banyak kasus di berbagai institusi sosial atau ormas keagamaan ceramah agama yang mengedepankan dalil-dalil secara tekstual-normatif dengan berbagai ayat Al Qur’an ataupun Hadits, ternyata tidak juga membawa perubahan. Jamaah biasanya sadar sesaat ketika pengajian itu berlangsung, namun begitu pengajian selesai, maka kesadaran itu hilang begitu saja. Sehingga banyak pengajian umum diselenggarakan, namun tak memberikan efek yang merubah. Namun apa yang dilakukan oleh komunitas perempuan yang dipimpin oleh Teh Ninih di bawah lembaga “Muslimah Center” (MC) Pesantren DT Bandung ada fenomena yang menarik dan berbeda sehingga paguyuban muslimah di MC telah menjadi komunitas perempuan yang kuat dalam menghadapi berbagai masalah ekonomi, rumah tangga hingga masalah ibadah. Komunikasi yang dibangun cenderung menghubungkan dengan kasus-kasus riil yang dihadapi oleh kehidupan manusia dengan bahasa sosial yang akrab, profan meskipun di dalamnya memiliki nilai
227
228
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
sakralitas mulai dari pengajian, pelatihan hingga pendampingan dan pemberdayaan terhadap perempuan. Fenomena komunitas MC menjadi menarik karena di saat peran perempuan di pesantren yang umumnya masih cenderung sebagai kanca wingking (the second class), sebagai Nyai yang sekedar mengikuti Kyai, tapi tidak demikian dengan di MC. Perempuan di MC justru memiliki peran yang jelas dan terlembaga sehingga programprogramnya sangat mendukung kegiatan Pesantren DT Bandung, pimpinan Aa Gym. Bahkan meski di tengah perjalanan sejarah Teh Ninih mengalami nasib dipoligami, namun MC justru semakin berkibar dan semakin mendapat simpatik dari para audien. Komunitas MC di DT semakin menunjukkan perannya dalam memberdayakan perempuan dari dalam (insider). Tampaknya komunitas perempuan di MC telah membangun konstruksi epistemologi tentang keperempuannya yang dalam terminologi Vandana Shiva sebagai women’s way of knowing, yaitu perlunya epistemologi non reduksionisme, dengan cara memproduksi pengetahuan berdasarkan pada prinsip feminitas. (Vandana Shiva, 1997). Artinya perlu menempatkan kaum perempuan yang dari dulu cenderung menjadi objek utama perubahan, justru sebagai pusat dan pelaku proses perubahan itu sendiri. Dengan pertimbangan tersebut, artikel ini menelisik beberapa persoalan latar belakang pemberdayaan komunitas perempuan di MC Pesantren DT Bandung dapat bangkit dan berkiprah berbasis kegiatan dakwah islamiah, budaya dakwah komunitas perempuan di MC Pesantren DT Bandung dan model pemberdayaan perempuan dalam membangun identitas sosok feminis berbasis pesantren. Penelitian ini akan menempatkan laki-laki dan perempuan dalam bingkai –meminjam istilah Shiva- subsistensi, sehingga antara laki-laki dan perempuan harus saling berbagi peran demi kehidupan harmonis dan berkelanjutan di planet bumi ini tanpa membelenggu secara mutlak dalam ruang domestik atau ruang publik. (Rosemary Putnam Tong, 1998: 396-397). Kedua, Secara sosial, riset ini akan memberikan tawaran model pesantren yang menempatkan perempuan sebagai agen perubahan baik dalam ruang publik maupun domestik.
Model Baru Peran Publik Perempuan Di Pesantren ( Farida Ulyani )
B. Konstruksi Budaya Dalam Komunitas Muslimah Center Pesantren Daarut Tauhid Hubungan antara figur (individu) dan masyarakat dalam mengkonstruksi budaya/subkultur sebagaimana terjadinya budaya dakwah komunitas perempuan di MC Pesantren DT sangat menarik merujuk pada karangka teori Peter L. Berger yang secara jeli melihat relasi manusia dengan masyarakat sebagai yang berinteraksi melalui tiga momen dialektis yaitu eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, manusia mengekpresikan diri membangun dunianya. Expresi ini memanifestasikan suatu realitas objektif setelah melalui proses objektivikasi. Demikian pula realitas objektif juga akan berpengaruh kuat bagi pembentukan perilaku manusia, setelah manusia tadi melewati tahap internalisasi. (Peter. L. Berger, 1967: 2-4) Dengan perspektif ini proses sosial konstruksi budaya dalam komunitas MC di Pesantren DT tak lepas dari interaksi dialektis figur kunci yakni Teh Ninih yang kesadaran kognitifnya tereksternalisasikan dalam bentuk ceramah, penampilan, tulisan serta keteladanan baik dalam berbusana, bersedekah hingga sikap dalam menghadapai berbagai persoalan hidup termasuk ketika dipoligami. Pada saat yang sama komunitas perempuan di MC juga melakukan proses internalisasi hingga terbentuk realitas objektif dalam suatu subkultur (budaya) (Abdurrahman Wahid, 2001: 7) dakwah perempuan di MC tersebut. Wacana yang disampaikan oleh Teh Ninih melalui berbagai media secara bertahap akan mengkonstruksi pengetahuan tertentu tentang Islam (baca: Muslimah), sehingga hal ini secara tak disadari akan menjadi kuasa bagi audien yang mampu mendisiplinkan tubuh, pikiran dan emosi. (Foucoult, 1972-1977). Karena itu fenomena ini juga tak lepas dari teknologi disiplin tubuh sebagaimana dibangun oleh Faucoult. (Faucoult, 1997). Dalam mengurai kecenderungan semangat pemberdayaan perempuan ini di MC Pesantren DT sangat menarik menggunakan bantuan perspektif Vandana Shiva yang menghubungkan penindasan perempuan dan relasinya terhadap kerusakan alam menggunakan cara pandang dua ideologi yang berlawanan. Yakni antara prinsip ‘maskulinitas’ dan prinsip ‘feminitas’. Prinsip ‘feminitas’ bercirikan
229
230
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
kedamaian, keselamatan, kasih dan kebersamaan. Sebaliknya, maskulinitas bercirikan persaingan, dominasi, eksploitasi dan penindasan, yaitu prinsip penghancuran. Feminitas sebagai suatu prinsip tidak mesti hanya dimiliki oleh kaum perempuan, demikian pula sebaliknya. Maka mencermati gerakan perempuan oleh perempuan di MC Pesantren DT yang lebih menonjol adalah prinsip ‘feminitas’ yang lebih mengedepankan kebersamaan, kedamaian, keselamatan dan kemauan untuk berbagi peran. (Rosemary, 1997: 392-398). C. Muslimah Center Pesantren Daarut Tauhid Keberadaan Muslimah Center (MC) tak lepas dari lintas sejarah Pesantren DT yang kehadirannya tak lepas dari tokoh fenomenal Yan Gymnastiar (KH. Abdullah Gymnastiar) atau populer dipanggil Aa Gym. Pada tahun 1990-an Aa Gym adalah fenomena baru di dunia dakwah Islam. Meskipun usianya tergolong muda untuk tanggung jawab dan ilmu agama, namun ia memiliki program sangat modern dan visi jauh ke depan untuk perbaikan nasib bangsa melalui Pesantren Daarut Tauhid (DT) yang dirintisnya. Sejak awal Pesantren DT terbuka baik untuk santriwan maupun santriwati, namun mereka dalam hal ini dalam kapasitasnya sebagai santri yang belajar. Namun ruang atau institusi yang secara khusus mewadahi santriwati atau muslimah untuk aktualisasi diri belum ada. Seiring dengan tuntutan santriwati yang semakin hari semakin bertambah, sementara pada saat yang sama kalangan muslimah yang usia dewasa atau bahkan lanjut usia juga belum mendapatkan peluang belajar yang lebih intensif. Maka untuk memenuhi berbagai kebutuhan akan studi (pengajian) Islam intensif terutama yang secara khusus diperuntukkan perempuan, maka muncullah suatu tahapan proses sehingga terbentuk apa yang sekarang dikenal dengan Muslimah Center (MC) Daarut Tauhid (DT). MC muncul bermula dari aktivitas sekelompok akhwat yang rutin dan intensif mengikuti kegiatan, pembinaan dan tausiyah khusus dari Aa Gym. Saat itu bergabunglah para akhwat untuk mengontrak beberapa kamar sebagai tempat aktivitas belajar dan “mesantren” dengan nama “Daarul Akhwat”, berdiri tahun 1989 dengan aktivitas belajar berbagai ilmu setiap hari mulai dari fiqih, aqidah, akhlak dan
Model Baru Peran Publik Perempuan Di Pesantren ( Farida Ulyani )
ilmu agama lainnya dan tausiyah khusus dari Aa Gym yang diadakan setiap hari Sabtu. Saat itu Daarul Akhwat masih menempati kontrakan di lantai dasar Masjid DT.
Sekitar tahun 1995, Daarul Akhwat menempati kawasan asrama (Asrama Khodijah, Fatimah dan Zaenab) tepatnya di depan Rumah Aa Gym, saat itu kegiatan Daarul Akhwat masih berkutat sepanjang aktivitas belajar, namun seiring perkembangan Pesantren DT yang terus melesat, berdatanganlah akhwat-akhwat lain ke DT yang berprofesi sebagai karyawati di DT, maka dibuatlah Daarul Amaliyah sebagai wahana belajar karyawati akhwat. Untuk menjembatani kedua kelompok akhwat tersebut, dibuatlah departemen Muslimah sebagai pusat kegiatan Muslimah di DT baik untuk kalangan internal maupun eksternal. Pada tahun 2003 Daarul Muslimah berkembang menjadi sub bagian di departemen pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, dan tahun 2005 Daarul Muslimah menjadi bagian dari departemen dakwah dan sosial dengan dua sub bagian pendidikan & pemberdayaan dan sub bagian pelayanan & pemberdayaan. Tahun 2004 ide Muslimah Center ditindaklanjuti oleh Aa Gym dan Jamaah Umroh untuk realisasi pembangunan. Maka pada tahun 2005 akhirnya selesailah pembangunan gedung tersebut sehingga sejak saat itu MC telah memiliki ruang khusus untuk mewadahi kiprah para santri muslimah di Pesantren DT dengan visi utama: Menjadi lembaga muslimah yang unggul dalam mewujudkan muslimah yang berakhlak mulia melalui implementasi nilai-nilai tauhid. MC dalam hal ini menjadi pusat penempaan muslimah dengan konsep model pendidikan, pelatihan, pembinaan dan konsultasi untuk menggali, mengembangkan dan mengoptimalkan potensi muslimah, sehingga memiliki jiwa kepemimpinan, kemandirian dan wirausaha. MC juga dimaksudkan untuk mengangkat citra muslimah sebagai SDM yang berkualitas dan mampu menjalankan fitrahnya secara benar. Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits, Keberadaan MC tidak hanya untuk anak-anak remaja tetapi juga memberi ruang bagi semua muslimah termasuk kelompok manula untuk mendapatkan bimbingan agama.
231
232
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
D. Menejemen Qalbu Sebagai Basis Manajemen Muslimah Center Perkembangan Muslimah Center Pesantren DT Bandung hingga sekarang tak lepas dari spirit “Manajemen Qolbu (MQ)” yang dipopulerkan oleh Aa Gym. (Bambang Trim (ed), 2006). Basis utama MQ adalah QS Asy-Syams, ayat 9-10: qad aflaha man zakkaahaa, wa qad khaaba man dassaaha (amat beruntung orang yang menyucikan dirinya dan merugi yang mengotorinya). Dari kedua ayat tersebut lalu didukung dengan sebuah hadits yang sering dikutip oleh Aa Gym: Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim). Dari kedua dasar teologis tersebut kemudian Aa Gym menerjemahkan dalam bahasa keilmuan tata kelola (manajemen) dalam meraih sukses hidup mulia dengan berbasis pada hati yang yang selamat (qolbun salim). Logika yang dibangun cukup sederhana bahwa ketika hati sebagai pusat kendali jasad dan akal bersih, maka hal tersebut akan mempengaruhi kejernihan otak dalam berpikir dan menggerakkan perilaku sehingga membuahkan kepribadian yang unggul dengan mengedepankan akhlak yang mulia. Tahapan nalar MQ tersebut kemudian diperjelas dengan 5 (lima) tahap jalan kehidupan yakni: (1) Pengenalan diri; yakni hanya dapat dimulai dengan langkah pertama dan utama pengenalan diri dengan mempertanyakan beberapa poin terkait: “Siapakah aku sebenarnya? Untuk apa aku di dunia ini? Siapa yang menciptakan aku? Untuk apa Dia menciptakan aku? Apa yang bisa aku perbuat untuk kehidupan duniaku? Apa yang bisa aku perbuat untuk kehidupan akhiratku? Apa kelemahanku? Apa kelebihanku?” (Ibid, 13)
Model Baru Peran Publik Perempuan Di Pesantren ( Farida Ulyani )
Jawaban tersebut hanya bisa didapatkan dengan mendalami hati, berbicara dengan nurani dibarengi dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Di samping itu juga perlu dukungan langkah praktis dengan selalu terbuka menerima kritik dari pihak manapun termasuk keluarga. Karena itu semakin terbuka menerima kritik dan berinteraksi dengan orang lain maka akan semakin cepat mengenal diri sendiri. (2) Pembersihan hati; Pembersihan hati menurut Aa Gym, bukanlah sesuatu yang sulit asal ada tekad (niat) yang membara dalam jiwa. Karena itu tipe pembersihan hati setidaknya membutuhkan (lima) kunci: (a) tekad, (b) “ilmu” memahami diri, (c) alokasi waktu untuk mengevaluasi diri, (d) memberi kesempatan orang lain menilai diri, (e) mengenali perilaku orang lain. (3) Pengendalian diri; Hal ini sebagai sebuah kesadaran bahwa ternyata hal yang paling perlu diwaspadai adalah diri sendiri (baca: nafsu) sebagai dikedepankan oleh Rasululluh pasca Perang Badar bahwa musuh terbesar umat manusia adalah melawan nafsu, karena itu perlu jihat melawan nafsu (jihad an- nafsi) dan ternyata hal tersebut merupakan jihad akbar. Karena itu dalam pengendalian diri ini harus mampu; (a) mengelola perasaan baik yang bersumber dari amarah, ucapan, pendengaran, pandangan maupun selera makan; (b) mengelola stres baik yang bersumber dari keluarga, hubungan antar personal, pekerjaan, tetangga, persoalan hukum, maupun kondisi fisik. Maka Aa Gym berpesan: “alangkah ruginya seseorang yang hidup sekali, namun dipenuhi dengan pikiran tegang”; (c) mengelola waktu dengan pertimbangan waktu adalah amanah. (Ibid: 58) (4) Pengembangan diri; Sudah jamak diyakini bahwa pengembangan diri adalah sesuatu yang mutlak untuk menuju pribadi yang unggul. Sehingga banyak orang yang berusaha mengembangkan dirinya dengan membaca buku, mengikuti kursus atau pelatihan dan seterusnya. Namun dalam perspektif MQ semua itu tidak ada dampaknya kalau tidak bermula dari “rumah hati”. Karena itu perlu melakukan terlebih dahulu pengenalan diri dan pembersihan hati. Setelah pengenalan diri dan pembersihan hati telah terlewati, maka MQ merekomendasikan untuk melakukan
233
234
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
upaya-upaya antara lain: (a) Membina kepercayaan diri. Kepercayaan diri seringkali pudar hanya karena keadaan tubuh, pekerjaan, keadaan keluarga, status sosial, pendidikan yang belum seperti yang diinginkan. Padahal semua yang diberikan Allah kepada manusia merupakan kelebihan. Di balik kekuragan pasti ada kelebihan. MQ hanya mengedepankan kemualiaan hanya bisa dilihat dari tingkat iman dan ketaqwaannya. Kalau hal ini dipegangi tentu tak ada alasan untuk pesimis, tetapi selalu optimis untuk pengembangan diri sebagai wujud syukur kepada Allah SWT dan hal ini sekaligus sebagai wujud kesadaran transendental; (b) Membangun kredibilitas dan kabilitas; Hal ini bisa dilakukan dengan membangun kejujuran yang terbukti dan teruji, menggalang kecakapan, dan mengembangkan kreasi dan inovasi; (c) Menjadi pribadi unggul; Pribadi yang unggul berbanding lurus dengan prestasi dalam hidup. Prestasi dapat dipetakan menjadi 3 K (Q) yakni kecepatan (quick), kualitas (quality), dan kuantitas (quantity). Yang menarik MQ juga memberikan 3 (tiga) prasyarat untuk mencapai 3 K tersebut yakni: (1) Kemampuan mengoreksi sikap mental, (2) berada dalam lingkungan dan sistem yang kondusif, (3) sering bersilaturrahmi. (5) Makrifatullah; yakni upaya dengan sungguh-sungguh untuk mengenal Allah SWT sebagai ikhtiar untuk tetap pada jalan cinta kepada-Nya agar mendapatkan ridla-Nya. Untuk kepentingan ini dibutuhkan kecerdasan ruhaniah sehingga jiwanya akan selalu berbinar. Ciri-ciri orang yang teranugerahi puncak kecerdasan, yakni kecerdasan ruhaniah yakni: 1) Mengalami perubahan yang dahsyat; yakni perubahan yang diterangi cahaya iman sehingga kehadiran diri menjadi penyejuk hati bagi sekelilingnya. 2) Menjadi orang yang merdeka; Orang yang merdeka tidak disibukkan dengan kekecewaan akibat ulah orang lain. Tidak juga berharap pujian. Semuanya akan dikembalikan kepada Allah SWT. 3) Merasakan pengiring; Tidak pernah merasa kesepian, karena meskipun sendiri sesungguhnya selalu ada dalam iringan Allah SWT dalam hidupnya.
Model Baru Peran Publik Perempuan Di Pesantren ( Farida Ulyani )
4) Menjadi optimis; Kehidupan dijalaninya dengan penuh kesungguhan dan semangat yang membawa karena memiliki kebulatan tekad bahwa Allah akan senantiasa memberi petunjuk bagi orang yang sungguh-sungguh. 5) Memiliki akhlak yang baik; Hal ini merupakan dampak dari kejernihan hati yang selalu tertata sehingga mewujud pada kepribadaian (character building) bagi setiap individu yang menjalaninya. (Ibid: 140-142) Kelima langkah dalam upaya MQ tersebut juga perlu dibarengi dengan sebuah nilai yang substansial yakni ikhlas, yakni segalanya dilakukan bersih dari segala maksud-maksud pribadi, bersih dari segala pamrih dan riya, dan bebas dari segala yang tidak disukai oleh Allah SWT. Orang-orang yang telah melakukan lima tahap MQ dengan dibarengi rasa ikhlas, maka ia akan mengalami quantum qolbu, yakni sebuah ledakan dahsyat, pembalikan qalbu yang berhasil menuju kebersihan dan kebeningan hati. Maka semua akan datang pada diri hamba yang bening hati tersebut tanpa diundang. Diri yang bening hati tersebut akan menjadi sentral kehidupan laksana magnet yang menyedot segala kebaikan di jagat raya ini karena ledakan qolbu yang begitu dahsyat yang kemudian bermuara pada basis Al-Qur’an Surat As-Syu’araa: 88-89; “Akan ada hari dimana tiada bermanfaat harta benda dan anak-anak, kecuali siapa yang datang kepada Allah dengan qolbun salim (hati yang selamat).” (Cucu, 2010). Karena itu ketika manusia sudah sampai pada level qolbun salim maka mereka akan terbimbing untuk menuju jalan yang lurus sebagaimana fitrah manusia sejak dilahirkan adalah mendapatkan potensi agama yang lurus (addin al qoyyim) tidak hanya pada tingkat iman, tetapi juga hingga pada level amal sholeh sehingga menjadi karakter kepribadiannya. Cara pandang MQ seperti itu juga yang dijadikan dasar dalam pengembangan manajemen dan program di MC-DT. Dalam rangka menjalankan peran dan fungsi tersebut maka dalam upaya optimalisasi perannya, Muslimah Center memiliki konsep visi dan misi yang tegas yang selanjutnya dirumuskan dalam
235
236
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
program-program unggulan. Adapun Visi Muslimah Center adalah: “Menjadi lembaga muslimah yang UNGGUL dalam mewujudkan muslimah yang BERAKHLAK MULIA melalui IMPLEMENTASI NILAI-NILAI TAUHID”. Dari tiga poin “kata kunci” tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Unggul dalam pengertian visi di atas adalah: a) Muslimah Center menjadi lembaga yang memiliki konsep model pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan konsultasi sehingga menjadi rujukan dan penelitian untuk memberi solusi bagi muslimah yang membutuhkan. b) Muslimah Center mampu menggali potensi positif menjadi kekuatan dan potensi negatif untuk diperbaiki atau dihilangkan, agar menjadi: Muslimah yang tidak hanya mampu berkarya namun juga mampu membuka lapangan pekerjaan. Muslimah yang mandiri dan mampu memimpin usaha dan kegiatan perekonomian lainya. 2) Berakhlak mulia dalam pengertian visi di atas adalah mampu menjalankan fitrah muslimah sesuai tuntutan Rasulullah saw. 3) Implementasi nilai-nilai tauhid, bermakna: Semua bersumber dari Allah, mengabaikan makhluk atau sarana sebagai penyebab suatu kejadian sehingga dekat dengan tawakal dan ridha-Nya, selalu merasa bersama dan diawasi oleh Allah dan yakin akan ada pertanggungjawaban setelah kematian. Sedangkan Misi Muslimah Center adalah: 1) Menjadi pusat penempaan muslimah dengan konsep model pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan konsultasi. 2) Menggali, mengembangkan, dan mengoptimalkan potensi muslimah sehingga memiliki jiwa kepemimpinan, kemandirian dan wirausaha. 3) Mengangkat citra muslimah sebagai sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu menjalankan fitrahnya secara benar menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Model Baru Peran Publik Perempuan Di Pesantren ( Farida Ulyani )
Sebagai upaya merealisasikan berbagai formulasi visi dan misi dari Muslimah Center tersebut maka para pengelola/pengurus Muslimah Center menjabarkan menjadi program-program unggulan yang dikemas sesuai dengan tugas dan tanggung jawab pokok Muslimah Center. Program-program unggulan tersebut pada pokoknya dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok besar yang meliputi: 1. Program Bimbingan Program bimbingan adalah program yang bersifat pendampingan intensif dan berkesinambungan dengan lama pendidikan minimal 40 hari dan maksimal 6 bulan. Tujuan umum kegiatan ini adalah meningkatkan wawasan keislaman dan keilmuan muslimah yang aplikatif. Program tersebut diwujudkan dalam tiga bentuk kegiatan, yaitu; (1) Bimbingan Muslimah Masa Keemasan (BM2K), (2) Bimbingan Intensif Muslimah (BIM), dan (3) Prifet dan Konsultasi Muslimah. 2. Program Pelatihan Program ini merupakan program yang bersifat pemberian pengetahuan dan skill yang biasanya dikemas dalam bentuk seminar dan pelatihan, dengan lama kegiatan minimal 2 jam, maksimal 1 minggu, dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan peran muslimah agar tetap produktif di tengah menjalankan peran dan fungsinya di samping sebagai ibu rumah tangga juga berhak memiliki profesi sesuai pilihannya. Kegiatannya meliputi: (1) Bimbingan Jelang Nikah (BJN), (2) Smart Muslimah, (3) Spiritual Mom, (4) Sanlat Muslimah, (5) Sanlat Ramadhan, 3) Program dakwah/pembinaan. 3. Program Dakwah atau Pembinaan Program dakwah merupakan kegiatan yang menonjol dalam kegiatan Muslimah Center yang bertujuan untuk memberi dan meningkatkan keilmuan dan wawasan kemuslimahan serta penguatan dan pembaruan dasar ruhiyah muslimah, serta menjalin ukhuwah di antara sesama muslimah. Pembinaan atau dakwah ini dilakukan secara rutin. Program kegiatan ini meliputi: (1) Kajian Muslimah atau Kamus, (2) Kajian Ummahat atau Kaum, (3) Malam Muhasabah Muslimah atau M2M, (4) Pembinaan Majlis Ta’lim, (5) Menjalin hati, (6) Muslimah on air di MQFM.
237
238
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
4. Program Sosial Program sosial ini diselenggarakan dilatarbelakangi dari adanya realitas masyarakat tertentu yang mengalami keterbatasan akses belajar/ dakwah Islamiyah di sekitar Muslimah Center baik secara sosial (masyarakat umum) maupun institusional. Program ini dilakukan dalam bentuk kunjungan, pendampingan dan pembinaan bagi komunitas saudara muslimah yang memiliki: (a) keterbatasan jasmani seperti tuna netra, tuna rungu dan sebagainya, (b) keterbatasan ruhani seperti lembaga pemasyarakatan (penitentiary), PSK (prostitusi dan lainya. (c) mereka yang membutuhkan bantuan sosial seperti panti asuhan yatim piatu, lanjut usia dan mereka yang terkena bencana. Di antara kegiatannya pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. 5. Program Penguatan Ekonomi Program ini diselenggrakan dengan tujuan agar mustahik menjadi muzzakki sehingga bisa menjadi mandiri dan memberi manfaat. Program ini biasanya dilakukan dengan memberikan pelatihan keterampilan (life skill) seperti program baby sitter bagi remaja perempuan kurang mampu atau sejenisnya. Keseluruhan program yang ditawarkan oleh Muslimah Center dapat dilihat dalam tabel berikut: No 1
2
Tabel 1. Program Muslimah Center Jenis Program Kegiatan Bimbingan
Seminar & Pelatihan
-
Bimbingan intensif muslimah/BlM
-
Bimbingan muslimah masa keemasan/BM2K
-
Privat dan konsultasi Muslimah
-
Bimbingan jelang nikah
-
Smart muslimah
-
Spiritual mom
-
Sanlat muslimah
-
Sanlat ramadhan
Model Baru Peran Publik Perempuan Di Pesantren ( Farida Ulyani )
3
Pembinaan/dakwah
- Kajian muslimah/kamus - Kajian ummahat/kaum - Malam muhasabah muslimah - Pembinaan majelis ta’lim - Menjalin hati
4
Program sosial
Pembinaan di LP
5
Pemberdayaan
Baby Sitter
Sumber: Diolah dokumen susunan program MC, 2010. Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa beberapa faktor yang mendorong jamaah perempuan Pesantren DT dalam turut serta memberdayakan perempuan dalam bingkai dakwah Islamiyah dapat dilihat dalam perspektif dialektika sosial Peter L. Berger. Berger menegaskan bahwa hubungan antara figur (individu) dan masyarakat dalam mengkonstruksi budaya/subkultur sebagaimana terjadinya budaya dakwah komunitas perempuan di Muslimah Center Pesantren DT yang berinteraksi melalui tiga momen dialektis yaitu eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan diri membangun dunianya. Expresi ini memanifestasikan suatu relitas objektif setelah melalui proses objektivikasi. Demikian pula realitas objektif juga akan berpengaruh kuat bagi pembentukan perilaku manusia, setelah manusia tadi melewati tahap internalisasi. (Peter L. Berger, 1967:2-4), (Kuntowijoyo, 2006: 81-89). Dengan perspektif ini bangkitnya gerakan perempuan yang terinstitusionalisasi dalam Muslimah Center tak lepas dari figur kunci Aa Gym yang semula memberi ruang khusus kepada istrinya Teh Ninih untuk turut serta dalam kiprah dakwah Islamiyah dengan segmentasi terutama kepada kaum perempuan. Pemberian ruang khusus kepada seorang istri yang dalam kultur Jawa/Sunda sering diposisikan sebagai the second class karena masih kuatnya budaya patriarchal, dalam hal ini menjadi menarik karena akhirnya perempuan di Pesantren DT memiliki ruang aktualisasi diri secara bebas. Kiprah Teh Ninih sejak kemunculan Muslimah Center sangat berpengaruh bagi bangkitnya jamaah santri perempuan di Pesantren
239
240
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
DT. Apalagi pada saat-saat masa kejayaan Pesantren DT dimana Aa Gym sangat begitu populer bisa diterima di berbagai kalangan termasuk umat non-muslim. Apa yang dilakukan Teh Ninih dalam kiprah sosialnya secara tidak langsung memberikan kesadaran kognitifnya yang tereksternalisasikan dalam bentuk ceramah, penampilan, tulisan serta keteladanan baik dalam berbusana, bersedekah hingga sikap dalam menghadapai berbagai persoalan hidup termasuk ketika dipoligami. Pada saat yang sama komunitas perempuan di Muslimah Center juga melakukan proses internalisasi hingga terbentuk realitas objektif dalam suatu subkultur (budaya) (Abdurrahman Wahid, 2001: 7) dakwah perempuan di MC tersebut. Kalau dilihat dalam perspektif ilmu sosial profetik Kuntowijoyo kebangkitan gerakan pemberdayaan perempuan di Muslimah Center Pesantren DT sebagai langkah proses objektivikasi yaitu upaya menjadikan Islam dengan nilai-nilainya bersifat subjektif, maka perlu diobjektifkan agar dapat diterima oleh umat yang lain. Objektivikasi merupakan suatu usaha aktif dari orang Islam untuk menjadikan ajaran agamanya dapat memberikan rahmat pada semua. Objektif yang diinginkan oleh Islam bukan saja berperilaku objektif secara pasif namun juga secara aktif. Objektif secara pasif merupakan menerima kenyataan objektif yang telah disodorkan kepada umat. Misalkan untuk kaum muslim bekerja di mana saja, maka ia dapat berkerja di mana pun secara jujur dan bertanggung jawab dan tak pernah menanyakan agama orang yang datang. Sedangkan perilaku objektif secara aktif merupakan usaha aktif agar Islam sebagai rahmat tanpa memandang, ras, warna kulit, dan agama. Misalkan ketika melihat berbagai pelayanan sosial di kompleks DT yang diselenggarakan oleh Muslimah Center ataupun santri lainnya mereka harus berbuat adil terhadap siapa pun dan tanpa pandang bulu. Objektivikasi berasal dari internalisasi nilai Islam, tidak dari subjektivikasi kondisi objektif. Objektivikasi merupakan penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya maupun keagamaan. Nilai-nilai Islam terinternalisasi kemudian tereksternalisasi mengalami objektivikasi dan menjadi gejala objektif, kemudian menjadi subjektivikasi dan
Model Baru Peran Publik Perempuan Di Pesantren ( Farida Ulyani )
terus berdialektik. Eksternalisasi merupakan konkreatisasi keyakinan yang dihayati secara internal, lalu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Misalkan pada contoh zakat, zakat timbul dikarenakan zakat untuk membersihkan harta yang dimiliki, dan kemudian membayar zakat merupakan eksternalisasi, jadi eksternalisasi merupakan ibadah. Objektivikasi menempuh prosedur yang sama dengan eksternalisasi, tapi ada tambahan. Tambahan dalam objektivikasi perbuatan tersebut harus sewajarnya dan natural, tidak sebagai suatu perilaku keagamaan. Perbuatan ini diharapkan menjadi objektif dapat diterima oleh siapa pun tanpa memandang asal dari mana, dan dengan objektivikasi dapat dirasakan oleh siapa pun baik kaum muslim maupun non-moslem. (Kuntowijoyo, 2006:81-89) Maka tak mengherankan kalau di Pesantren DT menjadi sangat menonjol justru syiar jamaah perempuan yang Islami daripada santri laki-laki yang biasa terlihat pada pesantren pada umumnya. Bahkan dengan proses dialektika sosial seperti itu telah menjadikan banyak pihak dari kalangan non-moslem yang masuk agama Islam (mu’allaf). Maka hampir setiap malam Jum’at dalam forum pengajian rutin yang berpusat di Masjid DT seringkali terdapat sejumlah orang yang mengikrarkan syahadat sebagai pertanda kesadaran untuk memeluk agama Islam. Sejak tanggal 11 Desember 2010 dengan Muslimah Center menambah satu progam unggulan yang khusus diperuntukkan para muslimah muallaf yang disebut dengan “Forum Bimbingan Muallaf Muslimah”. Forum ini memiliki tujuan demi terbinanya para muallaf menuju kemandirian spiritual, emosional dan finansial.
Apa yang dilakukan oleh komunitas perempuan di Muslimah
Center menunjukkan bahwa antara dakwah dan pemberdayaan bisa berjalan begitu sinergis. Dakwah dan pemberdayaan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan karena sebagaimana diurai para pakar ilmu dakwah, bahwa dakwah bukanlah sekedar kegiatan menyeru kepada jalan Islam yang dilakukan sesekali saja (tanpa persiapan yang matang), tetapi ia merupakan kegiatan yang sungguh-sungguh dan dilakukan secara sistemik. Karena itu dalam dakwah ada sub-sistem yang dilakukan secara berurutan dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan antara input, proses, dan output. (Enjang&Aliyudin, 2009, M.Ali Aziz, 2009: 11).
241
242
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Kalau digambarkan dalam bentuk bagan dapat dicermati sebagai
berikut:
Gambar 2: Sistem Dakwah Ketika dakwah dicermati sebagai sistem sebagaimana bagan di atas, hal ini menuntut adanya manajemen yang baik agar memiliki nilai manfaat bagi solusi problem kehidupan. Tujuan akhir dari dakwah adalah perubahan (transformasi sosial) sebagaimana tergambar dalam outputnya yaitu perilaku madz’u (objek dakwah) agar memiliki perilaku yang selaras dengan ajaran Islam. (Nurcholish Majid, 1992). Demikian juga dalam konsep pemberdayaan intinya adalah pemanusiaan dengan memutus segala sistem kekuasaan yang membuat manusia atau kelompok manusia itu tergantung. Karena itu dalam pemberdayaan ada upaya memandirikan masyarakat/ komunitas dengan melibatkan potensi yang dimilikinya. (Bagong Suyanto, 2005: 170). Konsep pemberdayaan dapat dilihat dari tiga sisi: Pertama, pemberdayaan dengan menciptakan suasana atau iklim yang berkembang; Kedua, pemberdayaan untuk memperkuat potensi ekonomi atau daya yang dimiliki masyarakat; Ketiga, pemberdayaan melalui ekonomi rakyat yaitu dengan melindungi dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat. (Ibid) Dengan demikian dakwah pemberdayaan dalam konteks ini merupakan upaya menjadikan nilai-nilai Islam -atau meminjam istilah Kuntowijoyo- sebagai pesan profetik yang meliputi humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (tu’minu billah). (Kuntowijoyo, 2006: 81-89). Dakwah pemberdayaan justru menemukan legitimasi pembenaran teoritis karena dakwah sebagai sebuah sistem gerakan yang sarat dengan nilai-nilai (Islam) sebagaimana dalam inputnya, sementara proses dan outputnya merupakan pengejawantahan dari konsep pemberdayaan yang harus memiliki dampak perubahan.
Model Baru Peran Publik Perempuan Di Pesantren ( Farida Ulyani )
E. Analisa Gender dalam Aktivitas Dakwah Muslimah Center Berbagai program yang ditawarkan oleh MC selalu berubah seiring dengan tuntutan zaman dan masalah yang dihadapinya. Yang jelas melalui MC Pesantren DT telah memposisikan para santri muslimah tak sekedar sebagai konco wingking (the second class), tetapi masing-masing bisa berkiprah sesuai dengan potensi, keterampilan dan kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Dengan demikian, sudah menjadi pemandangan biasa di Pesantren DT banyak santri muslimah terlibat dalam berbagai ruang publik seperti sebagai penceramah agama, konselor, pengisi acara di radio, telivisi dan juga menjadi pedagang di sekitar lingkungan pesantren. Dengan demikian komunitas MC di DT semakin menunjukkan perannya dalam memberdayakan perempuan dari dalam (insider). Secara tidak langsung mereka para muslimah di Pesantren DT secara tidak langsung telah membangun konstruksi epistemologi tentang keperempuannya yang dalam terminologi Vandana Shiva sebagai women’s way of knowing, yaitu epistemologi non reduksionisme, dengan cara memproduksi pengetahuan berdasarkan pada prinsip feminitas. (Vandana Shiva, 1997:). Artinya mereka telah menempatkan kaum perempuan yang dari dulu cenderung menjadi objek utama perubahan, justru sebagai pusat dan pelaku proses perubahan itu sendiri secara konsisten dan berkesinambungan. Kalau dilihat dalam perspektif pemberdayaan hal ini dapat dilihat dengan perspektif Gunawan Sumodiningrat sebagaimana dikutip oleh Suyanto yang mencermati gerakan pemberdayaan dari tiga sisi: Pertama, pemberdayaan dengan menciptakan suasana atau iklim yang berkembang; Kedua, pemberdayaan untuk memperkuat potensi ekonomi atau daya yang dimiliki masyarakat. Upaya ini dapat dilakukan dengan peningkatan pendidikan, kualitas kesehatan maupun akses terhadap sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar; Ketiga, pemberdayaan melalui ekonomi rakyat yaitu dengan melindungi dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dengan yang belum berkembang. (Ibid)
243
244
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Karena itu apa yang dilakukan oleh jamaah perempuan Muslimah Center di Pesantren DT telah memenuhi tiga sisi pemberdayaan; 1) Dalam kaitan pemberdayaan dalam pengertian menciptakan suasana atau iklim yang berkembang dimana ruang perempuan dalam aktualisasi begitu tampak menonjol, maka Muslimah Center cukup memberikan peran yang sangat strategis. Melalui jamaah Muslimah Center Pesantren DT telah menampakkan syi’ar Islam yang begitu kuat. Sementara hampir setiap hari loronglorong Masjid DT juga terdapat keseimbangan antara jamaah lakilaki maupun perempuan. Melalui Muslimah Center iklim budaya atau meminjam bahasa Gus Dur sebagai sub-kultur dakwah di Pesantren DT telah tidak bisa meninggalkan peran perempuan. Posisi jamaah Muslimah Center menjadi sangat dominan ketika dalam momentum Muslimah Center mempunyai gawe sebagaimana terjadi pada bulan 30 November sampai 11 Desember 2010 yang mampu menyedot perhatian publik dari berbagai pihak. Di antara kegiatan Muslimah Center Expo yang mengangkat tema “Muslimah, The Real Action” antara lain: nikah massal, donor darah, bakti sosial Merapi Jogja. 2) Pemberdayaan dalam sisi kedua dapat dicermati dengan upaya memperkuat potensi ekonomi atau daya yang dimiliki masyarakat. Upaya dilakukan dengan peningkatan pendidikan, kualitas kesehatan maupun akses terhadap sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar. Beberapa program yang telah dilakukan oleh jamaah Muslimah Center misalnya dengan membuka berbagai bimbingan dan pelatihan muslimah, training yang berbasis life skill seperti baby sitter, menjahit, keterampilan sulam pita, boneka Felt, sulam benang dan sejenisnya. Berbagai pelatihan tersebut tentu akan membuka peluang usaha yang mampu membuat para muslimah lebih produktif.
3) Pemberdayaan juga dapat dicermati dalam dengan melindungi dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dengan yang belum berkembang. Hal ini dapat terlihat dengan upaya Muslimah Center yang berusaha membangun jaringan dan membuat/menghubungkan akses sumber ekonomi dengan menjalin
Model Baru Peran Publik Perempuan Di Pesantren ( Farida Ulyani ) silaturrahmi para muslimah pengusaha yang sudah terbukti dan teruji kiprahnya dalam masyarakat sebagai seorang pengusaha sukses. Hal ini dimaksudkan akan terbangun kemitraan antara muslimah pemula dengan pengusaha muslimah yang sudah maju, sehingga monopoli yang berdampak sosial; “yang kaya makin kaya, yang miskin semakin miskin” bisa terhindari.
E. Simpulan Keberadaan Muslimah Center di Pesantren DT telah memberi warna dan corak pesantren dalam sosiologi urban yang telah memberikan ruang publik bagi muslimah (santriwati) untuk beraktualisasi diri melalui unit lembaga pesantren yang telah terinstitusionalisasi secara lebih sistemik. Fenomena ini tentu akan memberikan harapan baru bagi pesantren dalam perspektif masa depan. Bangkitnya gerakan perempuan yang terinstitusionalisasi dalam Muslimah Center dapat dibaca sebagai pergeseran nilai pada masyarakat pesantren dimana seorang istri yang dalam kultur Jawa/Sunda sering diposisikan sebagai the second class karena masih kuatnya budaya patriarchal telah diberikan ruang aktualisasi diri secara bebas sehingga turut mengkonstruksi kesadaran komunitas santri perempuan dalam Jamaah Muslimah Center sehingga menjadi agen budaya dakwah pemberdayaan yang saling menguatkan. Pola gerakan dakwah Muslimah Center berbasis pada hadap masalah dari soal pembagian peran hingga penguatan ekonomi keluarga. Model pemberdayaan perempuan pada MC meminjam Vandana Shiva disebut sebagai women’s way of knowing, yakni sudut pandang perempuan menjadi bagian penting dalam mengambil keputusan dengan tetap membangun relasi dengan kaum laki-laki secara etis dan harmonis.
245
246
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
SUMBER RUJUKAN Abdurrahman, Wahid. 200. Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren, Yogyakarta: LKIS Aziz, Moh. Ali. 2009. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009Berger Peter L., (1967) The Sacred Canopy, Doubleday: Garden City, New York Brooks, Ann. 1997. Posfeminisme & Cultural Studies, Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra Cucu. 2010. Model Dakwah Terhadap Perempuan Perkotaan: Penelitian pada Muslimah Center Daarut Tauhiid Bandung. Tesis Prodi Ilmu Agama Islam. Konsentrasi Ilmu Dakwah. Universitas Agama Islam (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Danim, Sudarwan, 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia Emiyati, Sri, Dra. M.Si. 2002. Reproduksi Struktur Patriarki, Kajian Tentang Stagnasi Perubahan Kemasyarakatan dari Gerakan Feminisme di Sumatara Utara, Makalah, Seminar Hasil Akhir RUKK I, Menristek RI. Enjang dan Aliyudin. 2009. Dasar-dasar Ilmu Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran Faqih, Mansour, 2004. Analisis Gender & Transformasi Sosial, Cet.VIII, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Faucoult, Michel. 1997. Disiplin Tubuh, Benkel Individu Modern, Yogyakarta: LKIS ------------------, 2002. Power/Knowledge, Wacana Kuasa /Pengetahuan, terjemahan Power/Knowledge, Selected Interviews and Other Writing 1972-1977 (Yudi Santoso, pent.), Yogyakarta: Bentang Budaya. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Culture, New York: Basic Books Gymnastiar Abdullah. 2005. Jagalah Hati Step by Step Manajemen Qolbu. (cet.X). Bandung. MQ Khas Gymnastiar, Abdullah. 2006. Aa Gym, Apa Adanya, Bandung: MQS
Model Baru Peran Publik Perempuan Di Pesantren ( Farida Ulyani )
Hafiduddin, Didin dan Ihsan Tanjung. 2004. Menejemen Syari’ah dalam Praktek. Jakarta: Gema Insani Press Hernowo & M. Deden Ridwan. 2005. Aa Gym dan Fenomena Darut Tauhid,cet. XIV, Bandung: Mizan Holstein, James A. dan Gubrium, Jabber F. 1994. “Phenomenology, Ethnomethodology, and Interpretative Practice”, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds.), Handbook of Qualitative Research, London: Sage Publication Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu. Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiarawacana Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin Dan Peradaban. (Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina Mustika, M. Shodiq, dkk. (ed). 2007. Seandainya Saya Istri Aa Gym, (Bandung: Hikmah Populer Mutmainnah, Ummu Ghaida. 2006 Curhat Muslimah, Bandung: MQS Said, Nur. 2005. Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media --------------. 2009. Model Pendidikan Wawasan Kebangsaan Dalam Komunitas Santri Melalui ‘Gerakan Membangun Nurani Bangsa’ (GEMA NUSA). Jakarta. Laporan Penelitian Puslitbang Lektur dan Keaagamaan --------------, dkk. 2010. Dimensi-dimensi Kultur dan Struktur dalam Inovasi Kurikulum Pesantren Berbasis Pengembangan Karakter. Ditpertais Depag Shiva, Vandana. 1997. Bebas Dari Pembangunan,Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India, Penerjemah; Hira Jhamtani, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Sztompka, Piotr. 1994. The Sociologi of Social Change. Cambridge USA: Blacwell Tong, Rusemaries Putnam. 1998. Feminist Thought; Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta; Jalasutra. Trim, Bambang (ed.). 2006. Aa Gym Apa Adanya, Sebuah Qolbugrafi (cet. XI). Bandung: MQ. Khas.
247
KEADILAN DAN KESETARAAN DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PENGIDAP DISLEKSIA Oleh: Retno Susilowati *)
ABSTRACT: Dyslexia means difficulty associated with
words or symbols written. So dyslexia is a learning disability on a person’s condition caused by the child’s difficulties in performing activities of reading and writing. Dyslexia is a difficulty learning or learning difficulties syndrome components in words and sentences and learn everything related to time, direction, and time. This can be seen when the child is asked to read the letter and number of the child having difficulty. For people with dyslexia when he was ignored then they will feel marginalized, hopeless and have no ideals. With the birth of inclusive education it is helping people with dyslexia to overcome the shortcomings, so they can help their parents and teachers to be able to read and write. Patience and perseverance are also needed for psychologists where they become meaningless. They facilitated par with other children, and treated equality. Equality in words and deeds. Thus, equality and justice for people with dyslexia sufferers for both boys and girls are treated fairly as possible so that the purpose of forming a qualified child will be realized.
Keyword: Equality, Dyslexia, inclusion A. Pendahuluan Kebijakan pemerintah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun disemangati oleh seruan International Education For All (EFA) atau yang diterjemahkan dengan Pendidikan untuk Semua (PUS) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global di Dakkar, Senegal tahun 2000. PUS pada dasarnya sangat relevan dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UUSPN No 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan dan Layanan Khusus. *) Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
Sedangkan pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi pernyataan Salamanca tahun 1994. Melalui pendidikan inklusi ini diharapkan sekolah-sekolah reguler dapat melayani semua anak terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus. Di Indonesia melalui SK Mendiknas NO.002 /U/1986 telah dirintis pengembangan sekolah regular yang melayani penuntasan wajib belajar bagi anak berkebutuhan khusus. Anak Berkebutuhan khusus menurut SK Mendiknas di atas adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan atau penyimpangan baik itu dari segi fisik, mental-intelektual, sosial dan emosional dibanding dengan anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Sekolah merupakan suatu wadah atau tempat bagi setiap anak belajar secara formal untuk mendapatkan layanan pendidikan sebagai bekal bagi mereka dalam menghadapi masa depannya. Setiap anak menginginkan mereka dapat diterima dan menjadi bagian dari komunitas sekolah baik itu di kelas, dengan guru, dan teman sebaya. Penerimaan yang baik di lingkungan sekolah akan membantu anak untuk dapat bersosialisasi dalam lingkungan yang lebih luas yakni dalam lingkungan masyarakat. Hal ini juga berlaku pada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dewasa ini, sebagian anak yang berkebutuhan khusus sudah ada yang mengikuti pendidikan di sekolah regular, namun karena ketiadaan pelayan khusus bagi mereka, akibatnya mereka berpotensi tinggal kelas yang pada akhirnya akan putus sekolah. Akibat lebih lanjut, program wajib belajar pendidikan 9 tahun akan sulit tercapai. Untuk itu, perlu dilakukan terobosan dengan memberikan kesempatan dan peluang kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan di sekolah regular yang disebut dengan istilah “pendidikan terpadu menuju pendidikan inklusi”. Sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua pesarta didik baik yang normal maupun berkelainan di kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. Sekolah inklusi merupakan tempat setiap anak untuk dapat
249
250
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
diterima menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu dengan guru, teman sebaya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Setelah kurikulum pendidikan inklusi ini selesai dikembangkan dan dimodifikasi sesuai dengan jenis kelainan peserta didik, maka langkah pokok berikutnya adalah menyiapkan atau mengadakan serta mengelola sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mengembangkan potensi anak. Agar tidak terlalu memberatkan maka setiap kelas sekolah inklusi hanya menampung peserta didik yang mengalami kelainan jenis. Pengadaan dan pengelolaan sarana dan prasarana dapat menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, orang tua dan masyarakat, serta pihak-pihak terkait yang sifatnya tidak mengikat dengan melibatkan komite sekolah. Untuk kepentingan pendidikan inklusi, peserta didik yang memiliki kelainan dapat dikelompokkan menjadi: tunanetra atau gangguan penglihatan; tunarungu atau gangguan pendengaran; tunawicara atau gangguan komunikasi; tunagrahita atau gangguan kecerdasan; tunadaksa atau gangguan fisik dan kesehatan; tunalaras atau gangguan perilaku dan emosi; anak kesulitan belajar; dan autis. Kemudian, berdasar tingkat kecerdasan peserta didik terdapat peserta didik yang memiliki kecerdasan di bawah normal, di atas normal, dan kesulitan belajar. Anak yang memiliki kecerdasan di bawah normal yaitu peserta didik yang lamban belajar (Slow leaner) dan tunagrahita, sehingga untuk menyelesaikan materi pelajaran tertentu membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding peserta didik seusianya. Peserta didik yang memiliki kecerdasan di bawah normal diantaranya: tunanetra, tunarungu termasuk peserta didik yang mengalami gangguan komunikasi, tunadaksa, tunalaras. Adapun anak berkesulitan belajar diantaranya: berkesulitan belajar dalam membaca (Disleksia); berkesulitan belajar dalam menulis (Disgrafia); berkesulitan belajar dalam berhitung (Diskalkulia). Peserta didik yang memiliki kecerdasan di atas normal yaitu peserta didik yang memiliki kondisi sebagai berikut: tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah; kesulitan bergaul atau
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
bersosialisasi dengan teman; kemampuan membaca yang rendah; tidak mampu memusatkan perhatian; prestasi belajar jauh dibawah teman-teman sekelasnya; gangguan mobilitas atau gangguan kondisi fisik dan lain-lain. B. Kesulitan Belajar Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai dengan hambatan-hambatan tertentu, dalam mencapai tujuan belajar. Kondisi ini ditandai kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh problem-problem neurologis, maupun sebabsebab psikologis lain, sehingga prestasi belajarnya rendah, tidak sesuai dengan potensi dan usaha yang dilakukan. Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifiestasi tingkah laku (bio-psikososial) baik secara langsung atau tidak, bersifat permanen dan berpotensi menghambat berbagai tahap belajar siswa. Tidak seperti cacat lainnya, sebagaimana kelumpuhan atau kebutuhan gangguan belajar (learning disorder) adalah kekurangan yang tidak tampak secara lahiriah. Ketidakmampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang berbeda dengan orang normal lainnya. Kesulitan belajar adalah keterbelakangan yang mempengaruhi kemampuan individu untuk menafsirkan apa yang mereka lihat dan dengar. Kesulitan belajar juga merupakan ketidakmampuan dalam menghubungkan berbagai informasi yang berasal dari berbagai bagian otak mereka. Kelemahan ini akan tampak dalam beberapa hal, seperti kesulitan dalam berbicara dan menuliskan sesuatu, koordinasi, pengendalian diri atau perhatian. Kesulitan-kesulitan ini akan tampak ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan sekolah, dan menghambat proses belajar membaca, menulis, atau berhitung yang seharusnya mereka lakukan. Kesulitan belajar dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Bebarapa kasus memperlihatkan bahwa kesulitan ini memengaruhi banyak bagian dalam kehidupan individu, baik itu di sekolah, pekerjaan, rutinitas sehari-hari, kehidupan keluarga, atau bahkan terkadang dalam hubungan persahabatan dan bermain. Beberapa penderita menyatakan bahwa kesulitan ini berpengaruh pada
251
252
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
kebahagiaan mereka. Sementara itu, penderita lainnya menyatakan bahwa gangguan ini mengahambat proses belajar mereka, sehingga tentu saja pada gilirannya juga akan berdampak pada aspek lain dari kehidupan mereka. Dari sejumlah pendapat tersebut, kesulitan belajar mempunyai pengertian yang luas dan terjabarkan dalam istilah-istilah, seperti: a) Learning Disorder (ketergantungan belajar), adalah keadaan di mana proses belajar siswa terganggu, karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya siswa, yang mengalami gangguan belajar seperti ini, prestasi belajarnya tidak terganggu, akan tetapi proses belajarnya yang terlambat, oleh adanya respon-respon yang bertentangan. Dengan demikian, hasil belajar yang dicapai akan lebih rendah dari potensi yang dimiliki; b)
Learning Disabelities (ketidakmampuan belajar), adalah ketidakmampuan seorang siswa, yang mengacu kepada gejala di mana siswa tidak mampu belajar (menghindari belajar), sehingga hasil belajarnya di bawah potensi intelektualnya.
c) Learning Disfunction (ketidakfungsian belajar), adalah gejala di mana proses belajar tidak berfungsi dengan baik, meskipun pada dasarnya tidak ada tanda-tanda subnormalitas mental, gangguan alat indra atau gangguan-gangguan psikologis yang lainnya. d) Under Achiever (pencapaian randah), yang mengacu kepada anakanak atau siswa yang memiliki tingkat potensi intelektual di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Terbukti, pada hasil belajar (sekolah) yang buruk. e) Slow Learner (lambat belajar), adalah siswa yang lambat dalam proses balajarnya, sehingga membutuhkan waktu lebih lama, dibandingkan dengan anak-anak yang lain memilih taraf potensial intelektual yang sama. Mengenali kesulitan belajar jelas berbeda dengan mendiagnosis penyakit cacar air atau campak. Cacar air dan campak tergolong penyakit dengan gejala yang dapat dikenali dengan mudah. Berbeda dengan kesulitan belajar (learning disorder) yang sangat rumit dan meliputi begitu banyak kemungkinan penyebab, gejala-gejala, perawatan, serta penanganan. Kesulitan belajar yang memiliki beragam gejala ini,
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
sangatlah sulit untuk didiagnosis dan dicari penyebab secara pasti. Hingga saat ini belum ditemukan obat atau perawatan yang sanggup menyembuhkan mereka sepenuhnya. Faktor hereditas (genetik) dan lingkungan (environmental) siswa, sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajarnya. Artinya, potensi intelligensi, bakat, minat, motivasi, kurikulum, kualitas dan model pembelajaran guru, turut memberikan andil bagi keberhasilan anak didiknya di sekolah. C. Macam-Macam Kesulitan Belajar Siswa Tidak semua kesulitan dalam proses belajar dapat disebut learning disorder. Sebagian anak atau siswa mungkin hanya mengalami kesulitan dalam mengembangkan bakatnya. Kadang-kadang, seseorang memperlihatkan ketidakwajaran dalam perkembangan alaminya, sehingga tampak seperti penderita berkesulitan belajar, namun ternyata hanyalah keterlambatan dalam proses pendewasaan diri saja. Sebenarnya, para ahli telah menentukan kriteria-kriteria pasti dimana seseorang dapat dinyatakan sebagai penderita kesulitan belajar. Kriteria yang harus dipenuhi sebelum seseorang dinyatakan menderita kesulitan belajar, tertuang dalam sebuah buku petunjuk yang berjudul DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder). Diagnosis yang didasarkan pada DSM umumnya dilakukan ketika individu mengajukan perlindungan asuransi kesehatan dan layanan perawatan. Wood (2005), menyebutkan kesulitan belajar dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, diantaranya: a) Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa; b) Permasalahan dalam hal kemampuan akademik; c) Kesulitan lainnya, yang mencakup kesulitan dalam mengordinasi gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar yang belum dicakup oleh kedua kategori di atas. Masing-masing kategori itu mencakup pula kesulitan-kesulitan lainnya yang lebih spesifik, dan pada makalah ini akan dipaparkan tentang kesulitan belajar membaca (disleksia).
253
254
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
D. Pengertian Disleksia Istilah disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys yang berarti sulit dalam dan lex berasal dari legein, yang artinya berbicara. Jadi secara harfiah, disleksia berarti kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Kelainan ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata secara tertulis. Jadi disleksia merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada anak tersebut dalam melakukan aktifitas membaca dan menulis. Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti karena ada masalah dengan penglihatan, tapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu menulis pada anak disleksia. Bryan & Bryan (dalam Abdurrahman, 1999: 204), menyebut disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatau yang berkenaan dengan waktu, arah dan masa. Sedangkan, menurut Lerner seperti di kutip oleh Mercer (1979: 200), mendefinisikan kesulitan belajar membaca sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan fungsi otak. Pada kenyataannya, kesulitan membaca dialami oleh 2-8 persen anak sekolah dasar. Sebuah kondisi, di mana ketika anak atau siswa tidak lancar atau ragu-ragu dalam membaca, membaca tanpa irama (monoton), sulit mengeja, kekeliruan mengenal kata; penghilangan, penyisipan, pembalikan, salah ucap, pengubahan tempat, dan membaca tersentak-sentak, kesulitan memahami; tema paragraf atau cerita, banyak keliru menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan; serta pola membaca yang tidak wajar pada anak. Ada empat kelompok karakteristik kesulitan belajar membaca, yaitu kebiasaan membaca, kekeliruan mengenal kata, kekeliruan pemahaman, dan gejala-gejala serba aneka (Mercer, 1983).
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
Kebiasaan membaca anak yang mengalami kesulitan belajar membaca sering tampak hal-hal yang tidak wajar, sering menampakkan ketegangannya seperti mengernyitkan kening, gelisah, irama suara meninggi, atau menggigit bibir. Mereka juga merasakan perasaan yang tidak aman dalam dirinya yang ditandai dengan perilaku menolak untuk membaca, menangis, atau melawan guru. Pada saat mereka membaca sering kali kehilangan jejak sehingga sering terjadi pengulangan atau ada baris yang terlompat tidak terbaca. Dalam kekeliruan mengenal kata ini memcakup penghilangan, penyisipan, penggantian, pembalikan, salah ucap, perubahan tempat, tidak mengenal kata, dan tersentak-sentak ketika membaca. Kekeliruan memahami bacaan tampak pada banyaknya kekeliruan dalam menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan, tidak mampu mengurutkan cerita yang dibaca, dan tidak mampu memahami tema bacaan yang telah dibaca. Gejalanya tampak seperti membaca kata demi kata, membaca dengan penuh ketegangan, dan membaca dengan penekanan yang tidak tepat. Gejala disleksia, anak memiliki kemampuan membaca di bawah kemampuan yang seharusnya dilihat dari tingkat inteligensia, usia dan pendidikannya. Hal ini dikarenakan keterbatasan otak mengolah dan memproses informasi tersebut. Disleksia merupakan kesalahan pada proses kognitif anak ketika menerima informasi saat membaca buku atau tulisan. Jika pada anak normal kemampuan membaca sudah muncul sejak usia enam atau tujuh tahun, tidak demikian halnya dengan anak disleksia. Sampai usia 12 tahun kadang mereka masih belum lancar membaca. Kesulitan ini dapat terdeteksi ketika anak memasuki bangku sekolah dasar. Disleksia dapat diamati dengan timbulnya beberapa gejala berikut: Sulit mengeja dengan benar, satu kata bisa berulangkali diucapkan dengan bermacam ucapan; Sulit mengeja kata atau suku kata yang bentuknya serupa, misal: b-d, u-n, atau m-n; Ketika membaca anak sering salah melanjutkan ke paragraph berikutnya atau tidak berurutan; Kesulitan mengurutkan huruf-huruf dalam kata;
255
256
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Kesalahan mengeja yang dilakukan terus-menerus. Misalnya kata pelajaran diucapkan menjadi perjalanan. Banyak faktor yang menjadi penyebab disleksia antara lain genetis, problem pendengaran sejak bayi yang tidak terdeteksi sehingga mengganggu kemampuan bahasanya, dan faktor kombinasi keduanya. Namun, disleksia bukanlah kelainan yang tidak dapat disembuhkan. Hal paling penting adalah anak disleksia harus memiliki metode belajar yang sesuai. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki metode yang berbeda-beda, begitupun anak disleksia. Solusi bagi gangguan belajar yang dialami oleh penderita disleksia dalam kegiatan pemelajarn di kelas diawali dengan adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru. Anak duduk di barisan paling depan di kelas; Guru senantiasa mengawasi/ mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50; Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas); Anak disleksia yang sudah menunjukkkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup; Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama; Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: g, c, o, d, a, s, q, bentuk zig zag: k, v, x, z, bentuk linear:j, t, l, u, bentuk hampir serupa: r, n, m, h;
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal. Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding temantemannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat perbedaan yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan self-esteem yang rendah dan tidak percaya diri. Jika hal ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekalisekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia. Ketika belajar menulis, anak-anak disleksia melakukan hal-hal berikut: 1. Menuliskan huruf-huruf dengan urutan yang salah dalam sebuah kata; 2. Tidak menuliskan sejumlah huruf-huruf dalam kata-kata yang ingin ia tulis; 3. Menambahkan huruf-huruf pada kata yang ingin ia tulis; 4. Mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, sekalipun bunyi huruf-huruf tersebut tidak sama; 5. Menuliskan sederetan huruf yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan bunyi kata-kata yang ingin ia tuliskan; 6. Mengabaikan tanda-tanda baca yang terdapat dalam teks-teks yang sedang ia baca. E. Faktor Penyebab Disleksia 1. Faktor keturunan Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi bahwa 80% dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal. Tim peneliti Jerman dan Swedia
257
258
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
menernukan gen DCDC2 di daerah kromosom 6. Diduga, faktor penting penyebab disleksia, karena mempengaruhi migrasi sel saraf pada otak Selama beberapa tahun, psikolog anak dan remaja di Universitas Marburg dan Wurzburg mencari keluarga dengan keluarga (setidaknya satu orang anak) yang mengalami disleksia. Gen tersebut diindikasikan ilmuwan dari Amerika Serikat dan Inggris terletak di daerah koromosom 6. Tetapi kelompok peneliti Jerman dan Swedia telah mengidentiflkasikan suatu gen tunggal di daerah tersebut, yang ditemukan di antara anak-anak Jerman, yang merupakan faktor penting penyebab disleksia. Gen tunggal tersebut, menurut tim, dikenal sebagai gen DCDC2. 2. Memiliki masalah pendengaran sejak usia dini Problem pendengaran sejak usia dini, Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan. Apabila dalam lima tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli. 3. Faktor kombinasi kedua faktor di atas Faktor kombinasi ini menyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa. Ada dua faktor lingkungan lingkungan yang telah dikaji pengaruhnya terhadap gangguan belajar pada anak, yaitu timbal dan cahaya udara. Bagaimana dengan lingkungan sekolah? Para peneliti telah mempelajari tiga faktor secara khusus, yaitu: ruangan
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
kelas yang terbuka, pencahayaan dan kualitas udara. Sekalipun demikian, sampai saat ini belum ada riset yang memiliki bukti kuat yang membenarkan faktor pencahayaan atau pemasangan generator ion di dalam kelas benar-benar bisa mempengaruhi prestasi belajar siswa. F. Macam-macam Disleksia Macam-macam disleksia adalah sebagai berikut: 1. Disleksia Murni, yang meliputi: 1) Disleksia visual, Disebabkan oleh gangguan memori visual (penglihatan yang berat). Anak dengan gangguan ini ditandai dengan sama sekali tidak dapat membaca huruf atau hanya dapat membaca huruf demi huruf saja. Membaca atau menulis huruf yang mirip bentuknya sering terbalik, misalnya: b dengan p, p dengan q. 2. Disleksia auditorik, Disebabkan gangguan pada lintasan visual (penglihatan), auditorik (pendengaran), dalam hal ini bentukbentuk tulisan secara visual tidak mampu membangkitkan imajinasi bunyi atau pengucapan kata-kata apapun atau sebaliknya dimana bunyi kata tidak mampu membangkitkan bayangan huruf/kata tertulis. 3. Disleksia Tidak Murni. Sebagai akibat dari gangguan aspek bahasa (difasia). Disleksia tipe tersebut dinamakan disleksia verbal, yang ditandai dengan terganggunya kemampuan membaca secara cepat dan benar, serta kurangnya pemahaman arti yang telah dibacanya, sehingga tampak disamping kurang lancar dalam membaca, banyak tanda baca yang diabaikan begitu saja, hal ini juga sebagai isyarat bahwa sebenarnya dia kurang memahami apa yang tengah dibacanya. Menurut kategori lain macam-macam disleksia adalah sebagai berikut: a. Disleksia Primer, ada kesukaran membaca terutama dalam mengintegrasikan simbol-simbol huruf atau kata-kata, disebabkan kelainan biologis, 10 persen dari anak berintelegensi normal menderita disleksia primer, perbandingan anak laki-laki dan perempuan adalah 5:1.
259
260
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
b. Disleksia Sekunder, kemampuan membaca terganggu karena dipengaruhi oleh kecemasan, depresi, menolak membaca, kurang motivasi belajar, gangguan penyesuaian diri atau gangguan kepribadian. Dasar teknik membaca masih baik, tetapi kemampuan membaca tersebut digunakan secara kurang efektif karena dipengaruhi faktor emosi. Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tersebut diduga menderita kesukaran belajar dalam bahasa tertulis (menulis dan membaca) yang disebut disleksia. Disleksia yaitu kesukaran belajar atau suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponenkomponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu,arah,dan masa. Hal tersebut dapat dilihat ketika anak tersebut disuruh membaca huruf dan angka sang anak mengalami kesulitan.Pada dasarnya ada berbagai variasi tipe disleksia. Penemuan para ahli memperlihatkan bahwa perbedaan variasi itu begitu nyata, hingga tidak ada satu pola baku atau kriteria yang betul-betul cocok semuanya terhadap ciri-ciri seorang anak disleksia. “Misalnya, ada anak disleksia yang bermasalah dengan kemampuan mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada pula yang ingatannya justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli (psikolog) sangat diperlukan untuk menemukan pemecahan yang tepat, antara lain melakukan serangkaian tahapan sebagai berikut: 1. Mengelaborasi lebih jauh pertanyaan-pertanyaan seputar kemungkinan bahwa anak pernah mengalami keterlambatanketerlambatan perkembangan ketika masih kanak-kanak yang mana hal ini akan berpengaruh terhadap prestasi sekolah sang anak; 2. Menguji kemampuan membaca anak untuk mengetahui pada tingkat berapa sebenarnya ia berada; 3. Memberikan tes matematika tertulis. Jika permasalahannya pada membaca soal, tidak terhadap materi dan isi soal matematika itu, berarti ia mengalami gangguan dalam membaca; 4. Melihat catatan dan laporan dari pihak sekolah. Ketika setiap mata pelajaran yang melibatkan kemampuan membaca secara individu, bukan lagi membaca dalam sebuah kelompok atau lainnya,
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
penderita disleksia mulai mengalami kesulitan menyelesaikan pekerjaannya; 5. Menemukan kemungkinan riwayat keluarga si anak. Bisa jadi ada kaitannya dengan faktor keturunan; 6. Mengetahui lebih jauh mengenai kapasitas anak dalam memberikan perhatian kepada aktivitas-aktivitas yang ia senangi, seperti hobi seni, kerajinan tangan, dan game. Aneka Keterlambatan yang Mengarah ke Disleksia Peristiwa pada anak yang dapat memperkuat dugaan disleksia ini adalah: 1. Lambat bicara jika dibandingkan kebanyakan anak seusianya. 2. Lambat mengenali alfabet, angka, hari, minggu, bulan, warna, bentuk dan informasi mendasar lainnya. 3. Sulit menuliskan huruf ke dalam kesatuan kata secara benar. 4. Menunjukkan keterlambatan ataupun hambatan lain dalam proses perkembangannya. 5. Ada anggota keluarga yang juga mengalami masalah serupa, atau hampir sama. 6. Perhatian mudah teralihkan dan sulit berkonsentrasi. 7. Mengalami hambatan pendengaran. 8. Rancu dalam memahami konsep kiri kanan, atas-bawah, utaraselatan, timur-barat. 9. Memegang alat tulis terlalu kuat/keras 10. Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, dan sebagainya. 11. Mengalami kesulitan dalam mengatakan waktu. 12. Sulit mengikat tali sepatu. 13. Sulit menyalin tulisan yang sudah dicontohkan kepadanya. 14. Mempunyai masalah dengan kemampuan mengingat jangka pendek berkaitan dengan kata-kata maupun instruksi tertulis. 15. Sulit mengikuti lebih dari sebuah instruksi dalam satu waktu yang sama. 16. Tidak dapat menggunakan kamus atau pun buku petunjuk telepon.
261
262
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
G. Ciri-Ciri Anak Disleksia Gangguan disleksia biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu. Sebelumnya, di TK, kemampuan membaca anak tidak menjadi tuntutan, itulah mengapa gejalanya sulit diketahui sejak usia dini. Inilah ciri-cirinya: 1. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional. 2. Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya kata “saya” urutan hurufnya adalah s ¬ a ¬ y ¬ a. 3. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata. 4. Sulit mengeja secara benar. Bahkan bisa jadi anak tersebut akan mengeja satu kata dengan bermacam ucapan. Walaupun kata tersebut berada di halaman buku yang sama. 5. Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Bisa terjadi anak dengan gangguan ini akan terbalik-balik membunyikan huruf, atau suku kata. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk, seperti d - b, u - n, m - n. Ia juga rancu membedakan huruf/fonem yang memiliki kemiripan bunyi, seperti v, f, th. 6. Membaca suatu kata dengan benar di satu halaman, tapi keliru di halaman lainnya. 7. Bermasalah ketika harus memahami apa yang dibaca. Ia mungkin bisa membaca dengan benar, tapi tidak mengerti apa yang dibacanya. 8. Sering terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata, misalnya “hal” menjadi “lah” atau “Kucing duduk di atas kursi” menjadi “Kursi duduk di atas kucing.” 9. Rancu terhadap kata-kata yang singkat. Misalnya, ke, dari, dan, jadi. 10. Bingung menentukan harus menggunakan tangan yang mana untuk menulis. 11. Lupa mencantumkan huruf besar atau mencantumkannya pada tempat yang salah. 12. Lupa meletakkan titik dan tanda-tanda seperti koma, tanda seru, tanda tanya, dan tanda baca lainnya.
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
13. Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik. 14. Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Anak dengan gangguan ini biasanya menulis dengan tidak stabil, tulisannya kadang naik dan kadang turun. 15. Menempatkan paragraf secara keliru. H. Keadilan dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia Pendidikan terpadu saat ini diarahkan menuju Pendidikan Inklusif sebagai wadah yang ideal yang diharapkan dapat mengakomodasikan pendidikan bagi semua anak terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus, yang selama ini masih belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan layaknya anak-anak lain. Sebagai wadah yang ideal, Pendidikan inklusif memiliki 4 karakteristik makna yaitu: a. Pendidikan inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman anak. b. Pendidikan inklusif berarti memperdulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan dalam anak belajar. c. Pendidikan Inklusif membawa makna bahwa anak kecil yang hadir (di sekolah) berpartisipasi dan mendapatkan hasil yang bermakna dalam hidupnya. d. Pendidikan inklusif diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan pelayan pendidikan khusus dalam belajar. Bagi pengidap disleksia pendidikan inklusif sangat diperlukan. Beberapa metode yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: a. Metode multi-sensory Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara
263
264
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf. b. Membangun rasa percaya diri Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami atau diketahui lingkungannya, termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan benar seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering dilecehkan, diejek atau pun mendapatkan perlakuan negatif, sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan. Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak. Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga permainan kata dan kalimat dalam buku-buku cerita sederhana. Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut, dalam proses yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa amannya. Jadi, berkat usaha dan ketekunan mereka, para penyandang disleksia ini dapat juga menguasai kemampuan membaca dan menulis. Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini. Menurut penelitian, mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam hal koordinasi fisik, kreativitas, dan berempati pada orang lain. Untuk membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka mengevaluasi dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai anak dengan gangguan disleksia. Anak-anak tersebut perlu diajak mencari dan mencatat semua kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka padanya. Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada mereka figur-figur orang terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat. Cara yang paling sederhana dan efektif untuk membantu anakanak yang mengalami gangguan disleksia adalah dengan memberikan pelajaran membaca dengan menggunakan metode phonic. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gittelman & Feingold memberikan kesimpulan sebagai berikut. Intervensi terhadap pelajaran membaca dalam bentuk phonic benar-benar terbukti membantu anakanak yang memiliki masalah dengan membaca. Cara yang dilakukan oleh orang tua. Orang tua dapat melakukan program phonic di rumah dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Membuat jadwal harian untuk membiasakan anak membaca; 2. Istirahat sejenak apabila terlihat kelelahan, lapar atau mulai jenuh; 3. Memberikan pelajaran terlalu lama dan banyak ketika baru pertama kali melakukannya; 4. Membuat target-target yang ingin dicapai; 5. Memberi reward & punishment pada anak setiap melakukan kemajuan dan kesalahan. 6. Membuat kesan pada kata-kata yang ada dalam cerita ketika dibacakan, anak tidak berarti harus mengulang kata. 7. Mulai dengan membaca beberapa halaman atau paragraf pertama dari sebuah cerita dengan suara keras agar anak anda terpancing untuk menyimak. 8. Membuat aktivitas-aktivitas yang variatif dengan memberikan beberapa sesi untuk mengerjakan permainan-permainan huruf di samping aktivitas membaca. 9. Membaca dengan suara keras di hadapan anak. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, pendekatan yang paling baik adalah dengan menggunakan guru kelas regular untuk anak-anak tersebut. Namun, apabila masih kesulitan, guru tersebut bisa dibantu oleh seorang spesialis, yang akan memberikan pelajaran membaca.
265
266
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Intervensi Ahli (Konselor & Psikolog) bisa memberikan terapi apabila anak penderita disleksia mengalami hal-hal berikut ini: 1) Setres karena takut belajar membaca; dan 2) Permasalahan membaca pada anak tersebut memancing terjadinya konflik dalam sebuah keluarga, atau apabila sang anak merasa terisolir dari lingkungan pergaulannya dikarenakan permasalahan membaca yang mereka alami. I. SIMPULAN Anak berkesulitan belajar (LD) adalah individu yang mengalami gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar, disfungsi sistem syarat pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalan-kegagalan yang nyata dalam pemahaman dan penggunaan pendengaran, berbicara, membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau ketrampilan sosial. Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi, tetapi dapat muncul secara bersamaan. Disleksia yaitu kesukaran belajar atau suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu,arah,dan masa. Hal tersebut dapat dilihat ketika anak tersebut disuruh membaca huruf dan angka sang anak mengalami kesulitan. Bagi pengidap disleksia ini apabila dia diabaikan maka mereka akan merasa termarginalkan, putus asa dan tidak punya cita-cita. Dengan lahirnya pendidikan inklusi maka sangat menolong pengidap disleksia untuk bisa mengatasi kekurangannya, sehingga mereka dapat dibantu orang tuanya dan gurunya untuk bisa membaca dan menulis. Kesabaran dan ketekunan para psikolog juga diperlukan agar keberadaan mereka menjadi berarti. Mereka difasilitasi setara dengan anak-anak lain, dan diperlakukan adil. Adil dalam tutur kata dan perbuatan. Dengan demikian, kesetaraan dan keadilan bagi pengidap disleksia baik itu pengidap untuk anak laki-laki maupun anak perempuan menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan, sehingga tujuan membentuk anak yang berkualitas akan terwujud.
Keadilan Dan Kesetaraan Dalam Pendidikan Inklusif Bagi Pengidap Disleksia ( Retno Susilowati )
SUMBER RUJUKAN Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Clark, Barbara. 1983. Growing up Gifted. London: Charles E. Merril. Gunarsa, Singgih D. 1981. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gunarsa, Singgih D dan Gunarsa, Yulia Singgih D. 1986). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hornsby, Beve. 1984. Overcoming Dyslexia. Singapore: PG Publising Pte.Ltd. Lerner, Janet W. 1988. Learning disabilities: Theories, Diagnosis, and Teaching Strategies. New Jersey: Houghton Mifflin Company. Suryabrata, Sumadi. 1991. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. ------------------------. 1991. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali. Winkel, W.S. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.
267
PANDANGAN KAUM SANTRI DI KABUPATEN KUDUS TERHADAP KAUM GAY Oleh: Moh. Rosyid *)
ABSTRACT: The research in the year 2008 reviews the condition
of men who have the same-sex desire in view of the islamic students in Kudus, Central Java associated to human rights perspective (HAM). although there were only two gay respondents and the interaction with them was not intensive but the actual number of gays in Kudus like an iceberg, the results showed that in facing the dominant culture, gay closed themselves because they feel marginalized. The responses of the students varied, i.e. : (1) they rejected because according to the message of religion, gay violates Islam, (2) they are indifferent as they do not want to know the affairs of others, (3) they feel pity knowing that being gay is the impact of fury hypersex and irresponsible people and not getting sweet touch of the family.
Keywords: gay, human right A. Pendahuluan Istilah komunitas sarung atau sarungan merupakan bentuk simbolisasi terhadap kaum santri yang mengenakan sarung terutama ketika mengaji. Dengan demikian, kata ’sarung’ dalam arikel ini bukan berarti merendahkan sebuah komunitas, tetapi julukan yang proporsional karena sesuai dengan realitas. Kajian terhadap komunitas sarungan selalu menarik karena, pertama, diidentikkan oleh publik sebagai calon tokoh agama. Kedua, mempunyai daya magnet bagi publik awam untuk menokohkan sebagai figur di baris depan. Ketiga, kedua kekuatan tersebut mampu menggaet massa untuk dihimpun menjadi kekuatan politik dan lainnya. Secara khusus, artikel ini memotret pandangan kaum santri terhadap komunitas gay di Kudus, Jawa Tengah kaitannya dengan hak asasi manusia (HAM). *) Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus
Pandangan Kaum Santri Di Kabupaten Kudus Terhadap Kaum Gay ( Moh. Rosyid )
Gay didefinisikan seorang lelaki dengan tubuh lelaki serta alat kelaminnya lengkap dan berfungsi dengan baik, tetapi tertarik dengan sesama jenis (lelaki) dengan gaya yang tak selalu menyerupai lelaki atau wanita. Lelaki yang berhasrat seks dengan lelaki (homo) meskipun alat seksnya lengkap, hanya kelainan psikis dampak berbagai faktor kehidupan, mendapat perhatian dalam naskah ini. Sisi lain, jumlah gay diduga semakin meningkat. Pada pemilu tahun 2004 di AS, survey membuktikan, 4% dari seluruh pemilih pria menyatakan dirinya kaum homo (gay) tetapi tidak dinyatakan secara terbuka karena tekanan sosial. Data Biro Pusat Statistik Canada menyatakan bahwa warga usia 18 s.d. 59 tahun, terdapat 1% yang homoseks dan 0,7% biseksual. Sementara ketua Gay Nusantara, Budianto menyatakan bahwa jumlah kaum gay diperkirakan mencapai 2% dari penduduk lelaki dewasa yang berusia 15 s.d. 50 tahun, yang kasat mata sebanyak lima ribuan (Suara Merdeka, 27/7/2008). Sementara di sisi lain juga ditemukan adanya perilaku psikopat (kebetulan) seorang gay pada penghujung Juli 2008 Very Idam Heryansyah (Ryan) yang melakukan mutilasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel ini mengkaji bagaimana komunitas santri (sarungan) memarginalkan komunitas gay di Kudus. Respon komunitas gay terhadap hegemoni budaya religius dan konsep HAM memandang marginalisasi gay. Secara teoretik penelitian ini memberikan kontribusi berupa proposisi (1) apabila konstruksi marginalisasi budaya religius terhadap budaya jalanan terjadi secara alamiah, maka terjadi dominasi, dan jika konstruksi tersebut terjadi secara paksa, maka akan terjadi hegemoni, (2) jika dominasi budaya religius dan kekuatan penguasa melakukan pressure, maka budaya jalanan dalam posisi termarginalkan, (3) proses marginalisasi direspon budaya jalanan dengan dua cara yakni konflik dan perlawanan terselubung. Realitas sosial menunjukkan karena budaya jalanan dalam jumlah minim, strategi agar dianggap eksis dengan gerakan menyatu di tengah komunitasnya. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara, pencatatan, dokumentasi, pengamatan terlibat, dan analisis antarkomponen (2001:105). Sumber (informan); objek data yang dapat digali penulis adalah 2 gay, satuan kajian (unit analisis) berupa persepsi kaum sarungan terhadap gay dalam pandangan HAM.
269
270
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
B. Gay Sebagai Masalah Sosial Menurut Boellstorff (2006) istilah gay di Indonesia muncul tahun 1970-an sebagai istilah dikembangkan media massa dan tayangan film impor. Mengkaji gay pada dasarnya mengkaji kondisi perubahan psikis berimbas perubahan perilaku seks, penampilan fisik seseorang akibat berbagai hal (homoseks, lesbi, transeksual, hermaprodit, dan transvestites). Gay adalah lelaki dengan tubuh lelaki, alat kelaminnya lengkap, dan berfungsi dengan baik, tetapi tertarik dengan sesama jenis. Untuk menunjukkan identitas kelamin ‘gandanya’ (lelaki menyukai lelaki), memantapkan publik melalui gerakan, ucapan, dan dandanan yang melebihi karakter ‘semi’ perempuan, seperti lebih kalem (beraktivitas tak banyak ulah dan gerak), kemayu (gerak/laku tubuh) menyerupai perempuan), menthel, dan gonhel. Lesbian adalah perempuan dengan alat kelamin sempurna, tapi tertarik dengan sesama jenis (perempuan). Transeksual adalah penggantian kelamin baru, tapi (lebih cenderung) membenci terhadap jenis kelamin yang lama. Hermaprodit yakni jenis kelamin ‘antara’ lelaki atau/dan perempuan. Islam mengenal 4 jenis kelamin yakni lelaki, perempuan, khuntsa (hermaprodit), dan mukhannits atau mukhannats. Mukhannits adalah lelaki yang mengidentifikasi diri sebagai perempuan dan ingin mengganti alat seks. Mukhannats adalah lelaki beratribut perempuan, tapi tak ingin mengganti jenis kelamin, meskipun dua istilah terakhir tak disebut dalam al-Quran (Alimi, 2004:xiii). Transvestites adalah lelaki beralat kelamin sempurna, senang mengenakan pakaian perempuan bertujuan membangkitkan nafsu seks. Transeksual menurut Soedjono, kategori penyimpangan seksual, jika menyadari perilakunya, kategori gangguan kejiwaan karena keinginan sendiri, bukan salah asuh (Jawa Pos, 29/7/2006, hlm.5). Menurut Kartono (1992:1) masalah sosial adalah aktivitas yang melanggar adat-istiadat, mengganggu, tak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan masyarakat karena faktor politik, religi, sosial budaya, ekonomi, dan faktor saling memengaruhi antarkomponen. Bentuk tingkah laku kategori masalah sosial antara lain homoseksual disebabkan sikap hidup keliru, menyimpang dari struktur sosial, deviasi, dan interaksi sosial yang keliru (1992:8). Gay dianggap penyimpangan sosial (social disorder), karakter dan perilakunya tak
Pandangan Kaum Santri Di Kabupaten Kudus Terhadap Kaum Gay ( Moh. Rosyid )
dikehendaki publik, disisihkan dari percaturan sosial. Sawitri (2005:41) tingkah laku gay terpilah 3, eksklusif, lelaki tak tertarik dengan wanita, fakultatif, tertarik dengan lawan jenis ketika situasi mendesak, misalnya di rumah tahanan, dan biseksual, kepuasan seks sejenis atau lawan jenis. C. Gay Sebagai Sebuah Konsep Psikologis Menurut Ray (1973) tingkat keterlibatan (involvement) seseorang dalam pemberitaan (isu) menentukan pembentukan sikap (attitude) dan perilaku (behavior) (Asnan, 2008:23). Jika gay diberitakan dan dicitrakan negatif, sikap yang dibentuk dan membentuknya (identik) dengan kenegatifan yang merugikan gay, solusinya merapatkan barisan dengan komunitas sejenis. Adapun sikap individu dipengaruhi latar belakang individu yang dapat dibentuk sejak usia dini (Fatur, 2006:43) bukan sebagai pembawaan, melainkan hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya yang bersifat dinamis (Tri dan Hudaniyah, 2006:117). Sikap memiliki tiga komponen yakni kognitif, afektif, dan konatif. Sikap kognitif meliputi pengetahuan, pandangan, dan keyakinan bersumber dari (keyakinan) agama (Islam) yang dipeluk oleh mayoritas warga Kudus (subjek penelitian). Sikap afektif mengandung konsep emosional berhubungan dengan rasa senang (positif) dan rasa tak senang (negatif). Sikap konatif meliputi perilaku (Bimo,2002:111). Pemahaman atas sikap diri dan sikap yang dimiliki komunitas di mana gay harus cermat, dengan harapan diterima dan dapat memosisikan diri pada posisi yang diterima publik. Motivasi berkelompok diawali kesadaran diri terhadap keterbatasan. Agar tergapai, berkelompok merupakan bagian hidup. Dalih individu berkelompok karena (i) kebutuhan seks sejenis (homo), (ii) kebutuhan fisiologis dan psikologis, (iii) harga diri, (iv) memberikan pengetahuan dan informasi, dan (v) memberikan keuntungan ekonomis (Bimo,2007:14). Tetapi di tengah kehidupan kelompok tersebut menyimpan ekses negatif yang dikenal prasangka. Berkaitan dengan pandangan masyarakat santri di Kudus terhadap gay dapat dijelaskan melalui teori persepsi sosial. Persepsi sosial muncul dari individu atas individu lainnya diawali proses penginderaan, pengorganisasian, dan penginterpretasian
271
272
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
(Bimo,2002:46). Teori persepsi sosial meliputi pembentukan kesan, atribusi, dan sikap meliputi pembentukan dan perubahan sikap. Menurut Fatur (2006:29-34) munculnya interaksi sosial untuk memberikan penilaian. Pembentukan kesan tercipta dengan perantara isyarat nonverbal, stereotipe, kategorisasi sosial, dan atribusi. Isyarat nonverbal merupakan ekses interaksi yang tak ideal, diwujudkan dengan pandangan dan wajah murung. Stereotipe adalah anggapan umum terhadap komunitas lebih bermakna negatif. Anggapan dilatarbelakangi image yang terbangun oleh persepsi. Kategorisasi sosial adalah penilaian awal seseorang terhadap orang lain imbas hallo effect yakni tendensi berpikir dipengaruhi oleh informasi awal hingga akhir. Atribusi merupakan dalih seseorang ketika beraktivitas atau penilaian terhadap orang lain. Jika persepsi sosial masyarakat terhadap komunitas gay negatif maka image dan citra yang terbangun secara komunal negatif, perlu strategi berinteraksi dengan lingkungannya memunculkan persepsi positif. Perilaku sosial adalah perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tak menguntungkan pelaku. Untuk mengubah kondisi fisik dan psikis penerima (yang diajak interaksi) dari pemahaman yang kurang baik menjadi baik. Perilaku tersebut terpetakan membagi perasaan (sharing), terciptanya kerja sama (cooperative), memberikan sokongan (donating), saling menolong (helping), terwujudnya kejujuran (honesty), terealisasinya kedermawanan (generosity), dan terwujudnya kesejahteraan (Tri Daya dan Hudaniyah, 2006:211). Jika para gay mampu memosisikan diri dalam perilaku prososial, image negatif perlahan menjadi positif. Interaksi sosial merupakan bentuk hubungan antarindividu atau antarkelompok yang saling memengaruhi, timbalbalik, meleburkan diri atau mengubahnya yang ditentukan faktor di sekelilingnya (Bimo, 2002:57). Jika gay mampu berinteraksi secara positif, eksistensi diri dipahami dan diterima komunitas majemuk. Prasangka (Prejudice) merupakan perasaan seseorang terhadap individu dalam bentuk respon negatif, akibat persepsi yang salah, dipandang sebagai pesaing, pesan agama yang diyakini berbeda dengan perilaku orang lain, dan tiada kesamaan cara pandang atas sesuatu. Gay jika ingin mendapat respon positif dari publik, idealnya memahami karakter individu dan kelompok di mana ia berada agar
Pandangan Kaum Santri Di Kabupaten Kudus Terhadap Kaum Gay ( Moh. Rosyid )
tak muncul prasangka. Bagi orang yang berkepribadian, perilakunya ditandai sikap menarik perhatian lingkungannya (Sawitri, 2008:31). Komunitas apa pun harus mampu memosisikan diri sesuai karakter diri dan karakter lingkungannya. D. Masyarakat Santri Kata ‘santri’ perpaduan dua kata, ‘san’ dan ‘tri’. ‘San’ dari kata ‘ihsan’ bermakna kebaikan/kebajikan, kata ‘tri’ bermakna tiga hal yakni (mampu) beriman, berislam, dan berihsan. Jadi ‘santri’ adalah sosok yang mampu melaksanakan tiga kebajikan. Kata ’santri’ berasal dari kata Arab yakni dari huruf ’sin, nun, ta, dan ra’. Sin dari kata satrul ’uyub (menutup aib), huruf nun dari kata nailul barokah (mencari barokah dari kiai), huruf ta dari kata tarkul ma’ashi (meninggalkan maksiyat), dan huruf ra’ dari kata riyadlotun nafs (melatih/mengatur nafsu). Jadi, santri haruslah mampu menutup/menjauhi aib diri, mampu mencari barokah dalam berilmu, mampu meninggalkan maksiyat, dan mampu melatih diri dengan cara mengendalikan nafsu negatif (Rosyid, 2008). Santri menurut Saputra adalah sekelompok masyarakat yang membentuk substruktur sosial yang tak hanya cermat dan teratur dalam beribadah, tetapi keseluruhan yang kompleks dari organisasi sosial (2007:xxxii). Menurut Zamahsyari santri terpilah santri mukim yakni santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren dan santri kalong yakni santri yang berasal dari sekitar lokasi pesantren dan tidak menetap di pesantren (1980:51). Pesantren didefinisikan tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen dengan asuhan kiai/ustad. Sebagai julukan yang melekat pada masyarakat pantura (pantai utara) Jawa khususnya kota Kudus adalah masyarakat santri, dengan indikator banyaknya pesantren dan pengasuhnya yang bertebaran di wilayahnya, meskipun indikator ini sangat lemah dan perlu kajian lanjut. Oleh masyarakat awam, santri dipahami sebagai masyarakat yang identik dengan padatnya aktivitas islami, berpenampilan ramah, dan berdandan sopan. Tetapi berseberangan dengan realitas yang (sebagian) dialami oleh komunitas gay Kudus, berupa jauh dari akhlakul karimah karena (sebagian) berprofesi sebagai penjaja seks bayaran (komersial/PSK) dan berlagak nyleneh, lelaki tetapi tak seutuhnya,
273
274
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
dalam berujar (sebagian masih tetap sebagaimana lelaki utuh), bukan lelaki tulen karena menyukai sejenis. E. Budaya Jalanan Konstruksi yang membangun budaya jalanan menurut Irwan (2006:190) terpilah dimensi simbolik, evaluatif, dan kognitif. Dimensi simbolik berbentuk materi konkret atau abstrak yang menjadi tanda dan menunjukkan sifat jalanan. Dimensi evaluatif adalah serangkaian nilai dan norma hidup yang berlaku dalam kelompok jalanan, dimensi kognitif sebagai bentuk penguasaan sistem pengetahuan dan cara pandang kelompok atau ide yang berlaku dan dapat dibedakan dengan yang lain. Misalnya memandang perbedaan seks sebagai sesuatu yang indah atau sah. Analisis Irwan budaya jalanan merupakan anak turunan yang tak diharapkan (unwanted children) karena sifat yang tak sama dengan induknya yang dianggap baku, formal, mapan, dan sebagainya. Eksisnya budaya jalanan karena adanya budaya induk, budaya ini sesuatu yang eksis dan establized dengan sifat yang mandiri dan membentuk sistem logika dan mendapatkan pengakuan, bersifat fungsional dan berkarakter yang terlegitimasi secara struktural. Budaya ini juga sebagai serangkaian sistem simbol yang memberikan identitas dan kekuatan dalam adaptasi kultural dan struktural yang dilakukan sekelompok orang di suatu tempat (2006:194). F. Budaya Religius Menurut Poerwanto kata ‘kebudayaan’ berasal dari bahasa Sansekerta, buddhayah yaitu bentuk jamak dari kata ‘buddhi atau budi-daya’. E.B Taylor (1871) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan menurut Veeger adalah hasil pengungkapan diri manusia dalam kehidupan sebatas dapat diterima dan dimiliki oleh masyarakat (Poerwanto, 2001:7 dan 52). Kebudayaan memiliki simbol dan bentuk tindakan. Religi sebagai noun mengalami proses afiksasi konfiks menjadi ‘religius’. Analisis Komaruddin, para teolog menyimpulkan antara agama dan kebudayaan tak dapat dipisahkan. Kebudayaan adalah perpanjangan dari perilaku agama, agama bagaikan ruh yang datang
Pandangan Kaum Santri Di Kabupaten Kudus Terhadap Kaum Gay ( Moh. Rosyid )
dari langit, budaya adalah jasad bumi yang siap menerima ruh agama, pertemuan antara keduanya melahirkan peradaban. Menurut madzhab positivisme agama adalah bagian dari puncak ekspresi kebudayaan, sehingga agama dan kebudayaan dikategorikan peradaban (civilization) bukan sekedar budaya (culture) (2003:27). Analisis Arifin (1998) kata ‘agama’ bermakna ‘menegakkan’, berasal dari bahasa Arab ‘aqoma’, juga dari bahasa Jawa dari kata ‘Negara Kertagama’ yang berarti peraturan tentang kemakmuran negara, juga dari kata ‘asmaragama’ bermakna tata cara yang berhubungan dengan asmara. Oleh pujangga Kristen, Saint Augustinus, kata ‘agama’ dari kata ‘religion’ (kata ‘re’ dan ‘ligere’) berarti memilih kembali dari jalan sesat menuju jalan Tuhan. Menurut Lactantius, kata ‘religion’ berasal dari dua suku kata ‘re’ dan ‘ligare’ yang bermakna menghubungkan kembali sesuatu yang telah putus atau menghubungkan kembali tali hubungan antara Tuhan dan manusia yang telah terputus oleh karena dosa manusia. Menurut Cicero, kata ‘religion’ berasal dari dua suku kata, ‘re’ dan ‘ligere’ berarti membaca bacaan suci dengan maksud agar jiwa si pembaca terpengaruh kesuciannya. G. Sikap Diri Komunitas Gay Antipati masyarakat terhadap gay berupa olok-olok dan cercaan, seperti go-go boy dan a rainbow of people karena berjenis kelamin membingungkan (sex ambigous), komunitas norak, dengan panggilan yang tidak diharapkan, seperti komunitas abu-abu, identitas ambigu, identitas tidak jelas, dsb, bahkan dikucilkan karena kategori a pathological path, sehingga membutuhkan terapi fisik maupun psikis. Langkah gay adalah menyatu bersama budaya dominan dan komunitasnya. Istilah khas pada komunitas gay meliputi ngondek (kemayu); gay yang berbicara laksana perempuan dalam hal ujaran dan gerak tubuh. Mainly; gay (pendiam atau cool) yang menyatakan diri secara terbuka (open) dengan pihak di luar dirinya. Bobor; gay yang membuka jati diri ke-gay-annya secara terbuka (I’m gay). Kalengan; gay yang membuka diri hanya pada pihak tertentu dan tertutup dengan pihak lain. Nyebong; tempat mangkal untuk dijadikan ajang transaksi seks. High class; gay yang membidik konsumen untuk kelas tinggi (berduit). Middle class; gay yang membidik konsumen untuk kelas tengahan. Sundis; gay yang
275
276
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
membidik konsumen untuk kelas bawahan. Mami; personifikasi ibu (yang dituakan) di kalangan gay. Kepong; personifikasi bapak (yang dituakan) di kalangan gay. Jeng; panggilan gay untuk usia sebaya (peer group). Baby; panggilan dari gay yang lebih tua kepada gay yang lebih muda. Brondong; julukan bagi gay yang berusia muda. Tubang; julukan bagi gay yang berusia tua. Kucing; julukan bagi gay yang menjajakan seks komersial. Perasaan dan perilaku gay ketika mendapatkan tekanan dari negara, agama, dan masyarakat bisa terlepaskan meskipun dalam ukuran sangat kecil, langkah yang dilakukan gay adalah menyatu bersama komunitasnya yang mendapatkan stigma LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual), meskipun terdapat perbedaan dalam beraction antara waria dengan gay. Jika waria terbuka menampilkan sosok dirinya, tetapi gay masih tersipu-sipu dan malumalu menampakkan sosok dirinya secara elegan pada publik. Jika kita sadari (sebagai the others), komunitas gay menyimpan persoalan batin yang tak dapat mengelaknya berupa jeritan dan emosi yang terpendam rapat-rapat dalam jiwanya karena masyarakat (di mana ia hidup) menjadi ‘penjara’ yang mengerangkeng kaum homo di tembok pengap karena masyarakat memosisikan diri pada tata nilai hitamputih sehingga mengganggap aneh (queer) (Soffa, 2008:5). Eksistensi gay pada dasarnya imbas fenomena nasional dan global yang berkaitan dengan transgender. Fenomena nasional antara lain (a) berdirinya organisasi kaum gay Indonesia dan Asia, Lambda di Kota Solo, Jawa Tengah pada tahun 1982 dan memiliki cabang antara lain di Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta yang kemudian pada 1982-1984 menerbitkan bulletin G (Gaya hidup ceria), (b) pada 1985, di Yogyakarta secara mandiri berdiri Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY), pada 1988 menerbitkan bulletin ‘Jaka’ kemudian bulletin berubah menjadi Indonesia Gay Society (IGS), (c) pada 1987 berdirinya Kelompok Kerja Lesbian dan Gay (KKLGN) kemudian dipendekkan menjadi GAYa Nusantara (GN) di Pasuruan dan Surabaya, menerbitkan majalah dan buku seri Gaya Nusantara. Pada 1992-1993 berdirilah organisasi kaum gay di Pekanbaru-Riau, Jakarta, Denpasar, Malang, Makassar, dan Bandung, (d) pada Juni 1999 dideklarasikan Gay Pride di Surabaya kerja sama antara Gay Nusantara, Persatuan Waria Kota
Pandangan Kaum Santri Di Kabupaten Kudus Terhadap Kaum Gay ( Moh. Rosyid )
Surabaya (Perwakos), dan pusat kebudayaan Prancis. Pada 1 Maret 2000 dideklarasikan sebagai hari solidaritas lesbian dan gay nasional, (e) deklarasi Dede Oetomo dengan ‘Gaya Nusantara’nya berusaha memfasilitasi komunitasnya, dan (f) langkah ‘perkasa’ Mamoto Gultom (seorang dokter) dengan Handy yang terang-terangan menikah ala gay secara resmi dengan meninggalkan tanah air ke Belanda karena sejak April tahun 2001 Belanda mengesahkan nikah sejenis, bahkan di Denmark tahun 1989 mengesahkan nikah sejenis (registered partnership) (Soffa, 2008:22-23). Pemberitaan buletin Gaya Nusantara pada 2002 bahwa ikatan gay tertebar di Surabaya, GAYA Betawi atau Ikatan Persaudaraan Orangorang Sehati (IPOOS) di Jakarta, Ikatan Gaya Arema (IGAMA) di Malang. Gaya Celebes-Harley Celebes di Makassar, GAYA Dewata di Bali, dll. Komunitas gay memiliki situs yang dapat diakses publik antara lain sobatan.com, boyzforum.com, cowogay.net, www.gessang.org, dsb. Fenomena global memberi andil dalam memengaruhi aktivitas gay Indonesia. Sejumlah hal yang menunjukkan eksistensi gay dalam pentas dunia baik dalam kegiatan periodik seperti perayaan Gay Pride Day (hari ulang tahun gay) di California, festival Queer Mardi Grass di Brazil secara periodik maupun berdirinya International Gay and Lesbian Human Rights Commision di San Fransisco pada 1990. Dukungan terhadap kaum gay oleh negara seperti regulasi yang memberi jaminan bagi gay seperti jaminan nondiskriminasi berdasarkan orientasi seks dalam UU negara di Afrika Selatan tahun 1990, pengesahan pernikahan sejenis di Iowa Washington dan Canada atau media massa yaitu chanel televisi yang dikhususkan pemberitaan gay di Canada (Soffa, 2008:811; Jawa Pos, 9/1/2007, 5). Status sosial para gay di berbagai tempat sejak masa awal hingga masa kini seperti Julius Caesar (biseksual), Oscar Wilde, Tchaikovsky, dan John Maynard Keynes, dan Iskandar Zulkarnaen (Alexander the Great) maupun terpilihnya gay sebagai anggota parlemen di London dan pejabat pemerintah di beberapa tempat lainnya. Faktor menjadi gay di kabupaten Kudus disebabkan sensasi seksologi diri gay, coba-coba (trial), lingkungan yang mengitarinya, dan adanya akses ke dunia gay. Salah satu responden menyatakan menjadi gay akibat pengalaman dan pelecehan seksual yaitu disodomi
277
278
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
oleh pamannya saat masih di SLTA dan lingkungan yang mendukung menjadi gay. Dengan demikian, gay di kabupaten Kudus bukan dilatarbelakangi faktor genetis (keturunan), tetapi karena permasalahan yang dihadapi gay berupa perekonomian, status, keluarga, batin, masa depan, dan proses sosialisasi. Permasalahan perekonomian yang ditandai dengan kemapanan hidup pelaku gay. Untuk gay di Kudus, tidak menjadi masalah karena telah mandiri. Sementara dalam status sosial diukur berdasarkan jabatan, kepedulian terhadap pihak lain, berilmu, rendah hati. Permasalahan status; cibiran dan dianggap menyalahi aturan adat, norma sosial, dan norma agama ditimpakan gay, sehingga diposisikan nista. Hanya saja, hal tersebut tak terjadi jika gay sukses dalam perekonomiannya sebagaimana penelitian Rosyid (2008) tentang waria kota Kudus. Permasalahan keluarga; seorang (gay) menyatakan, keluarganya tak mempersoalkan menjadi gay karena hidup mandiri di kabupaten yang berbeda, seorang lainnya tertutup jati dirinya terhadap keluarga dan lingkungannya yang islami karena karakter tersebut disadari ditolak. Permasalahan batin; seorang objek yang diteliti kondisi batinnya terbentur norma agama dan budayanya, objek yang satunya berkarakter open, merespon realitas sosial dalam batinnya dengan enjoy. Permasalahan masa depan; dua objek yang diteliti ini (saat penggalian data) belum berpasangan hidup, sehingga persoalan masa mendatang masih dinikmati dalam kondisi lajang. Dalam proses sosialisasi ada yang menyembunyikan karakter dirinya, maupun yang terbuka di hadapan publik. Gay di kota Kudus beraktivitas dalam beberapa bidang baik pekerja di bidang formal (kantoran), pekerja informal (tukang salon, penyiar radio, resepsionis hotel/rumah makan, dsb.), siswa, mahasiswa, bahkan sarjana. Profesi terpilah (i) high class (kelas atas) terdiri wirausahawan sukses atau aparat pemerintah, diperkirakan berjumlah 15 orang, (ii) middle class (kelas menengah) terdiri siswa, mahasiswa, pekerja nonformal diperkirakan berjumlah 80 orang, dan (iii) sundis (kelas bawah) belum memiliki status dan pekerjaan yang tetap diperkirakan berjumlah 20 orang. Hingga tahun 2008, Gay di kota Kudus belum memiliki organisasi secara formal karena secara umum para gay belum membuka jati dirinya secara utuh kepada publik karena kekhawatiran terhadap budaya dominan (masyarakat santrireligius). Lazimnya gay mengganti nama (semula lelaki) dengan nama
Pandangan Kaum Santri Di Kabupaten Kudus Terhadap Kaum Gay ( Moh. Rosyid )
baru (perempuan) bertujuan menyesuaikan diri dengan jenis kelamin barunya. Nama panggilan/julukan yang diberikan dari dan untuk gay adalah (i) brondong, gay yang berusia muda, (ii) tubang, berusia tua, dan (iii) kucing, penjaja seks komersial. Gay kucing di kota Kudus pertengahan 2008 diperkirakan 15 orang. Untuk mengetahui identitas diri gay bagi yang menginginkan kencan dengan dua cara pertama, tawar yakni menawar harga kencan bagi yang telah mengetahui bahwa diri yang dibidik adalah produsen seks (gay kucing). Kedua, interaksi alamiah karena insting batin dalam memahami pihak lain yang dianggap gay. Fenomena ‘manipulasi budaya’ berlaku pada gay Kudus dengan cara pertama, aktif di lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan, dengan harapan tak nampak bahwa dirinya gay butuh interaksi sosial agar diterima masyarakatnya. Kedua, dalam berpenampilan, berujar, dan berinteraksi, bagi gay kelas tinggi (high class), kalengan, dan gay pendiam (mainly/cool) tak nampak bahwa dirinya adalah gay yang diidentikkan kemayu (ngondek), sehingga budaya dominan responsif dengannya. Ketiga, untuk eksistensi diri dalam komunitasnya, diadakan pertemuan kondisional dan insidental sesuai kebutuhan dengan tujuan saling memberi informasi. Konstruksi budaya dominan terhadap gay terlihat dalam pandangan masyarakat. Pertama, menolak, bahwa gay dikategorikan melanggar ajaran agama (Islam) karena liwath, sebagaimana Q.s: alA’raf: 80-84, Q.s: Hud: 77-83, Q.s: asy-Syuara: 160-175, al-Hijr: 5777, an-Najm: 54, al-Anbiya’:74-75, an-Naml: 54-58, al-Ankabut:2835, ash-shaffat:133-138, al-Qamar: 33-39. Kedua, masa bodoh/cuek sebagai bentuk ungkapan batin yang tidak ingin mengetahui urusan orang lain dengan utuh. Ketiga, iba, muncul ketika menyadari latar belakang menjadi gay tak pernah mendapatkan sentuhan manis dari keluarganya atau imbas keberingasan pihak yang hiperseks dan tidak bertanggung jawab. Sementara tentang marginalisasi masyarakat terhadap gay terpetakan dalam karakter diri gay tertutup terhadap publik yang tidak dikenalnya atau tidak berposisi sebagai (calon) konsumen seksnya. Masyarakat dan pemerintahan Kudus, tak ada kebijakan yang kontraproduktif terhadapnya. Komunitas gay tak ’nyaman’ dengan julukan warga negara tanpa identitas.
279
280
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Untuk memahami posisi sosial gay, pahami posisi sosial masyarakat Jawa terdapat stratifikasi. Menurut Endraswara disebabkan peninggalan kerajaan Jawa masa lalu dan feodalisme yang ditanamkan penjajah, yang terjadi saling menjaga jarak antara priayi dan wong lumrah, wong gedhe dan wong cilik, pinisepuh dan kawula muda, santri dan abangan, sedulur dan wong liyo (2003:7). Pertama, priayi dan wong lumrah; priyayi dipersonifikasikan bagi masyarakat keturunan ningrat disimbolkan gelar keningratan, wong lumrah adalah orang yang tak memiliki kedudukan sosial, keningratan muncul karena adanya kerajaan, wong lumrah identik pekerja kasar. Posisi gay diidentikkan dengan wong lumrah. Kedua, wong gedhe dan wong cilik; wong gedhe diidentikkan orang yang berkedudukan atau kelebihan berupa kekayaan, jabatan atau keahlian khusus. Wong cilik diidentikkan dengan kebalikan dari wong gedhe. Kedudukan gay diidentikan dengan wong cilik. Ketiga, pinisepuh dan kawula muda; pinisepuh diposisikan sebagai orang yang dituakan atau dianggap tua, sehingga mendapatkan penghormatan. Kawula muda adalah generasi yang mengikuti jejak kawula tua (pinisepuh). Keberadaan gay disamakan kedudukannya dengan kawula muda yang harus taat terhadap pinisepuh. Keempat, santri dan abangan; santri identik masyarakat yang taat beragama, abangan adalah anggota masyarakat identik ketidaktaatannya terhadap agama diwujudkan oleh gay yang berperilaku patologis. Kelima, sedulur dan wong liyo; sedulur adalah komposisi komunitas yang masih kerabat, wong liyo adalah kebalikan dari sedulur. Stratifikasi sosial masyarakat Jawa versi Endraswara tersebut identik dengan stratifikasi sosial masyarakat pantura Jawa. Gay melakukan adaptasi berupa perjuangan orang jalanan dan kehidupan remang-remang, terpetakan atas hubungan dengan aparat keamanan, hubungan dengan orang jalanan, dan hubungan dengan lingkungannya. Istilah orang jalanan adalah stigma negatif, identik dengan tidak memiliki lahan hidup dan sumber hidup tetap. Stigma bersumber dari orang di luar budaya jalanan. Julukan gay antara lain: bobor, gay kucing (pekerja seks), dan gay kelas bawah (sundis). Sebagai penjaja seks komersial, ngepos di alun-alun simpang tujuh setiap malam minggu, halaman luar kantor DPRD Kab. Kudus setiap malam, pasar
Pandangan Kaum Santri Di Kabupaten Kudus Terhadap Kaum Gay ( Moh. Rosyid )
hewan jati setiap kliwonan, dan halte angkutan kota penthol. Semua tempat tersebut kategori ruang publik, meskipun gay di kota Kudus sebagian memiliki kemampuan/lahan kerja yang mapan seperti perias kemanten, tukang salon, penyiar radio, pekerja formal, informal, dsb. Orang jalanan adalah mereka yang hidup bersumber dari kehidupan jalanan, seperti pengamen, gelandangan, tukang ojek, tukang becak, dsb. Keakraban gay dengan komunitas tersebut sebatas komunikasi yang saling membutuhkan. H. Gay Perspektif HAM Terdapat beberapa persoalan seperti penggantian nama dan pencatuman jenis kelamin. Berdasarkan UU No.23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 52, 58, 65, 93, dan 94. Pasal 52 ayat (1) pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri tempat pemohon. Pergantian nama berdasarkan penetapan pengadilan negeri, tidak terjadi pada diri gay karena (a) gay tak ingin merepotkan dirinya ‘masuk’ dalam kubangan birokrasi, (b) membutuhkan dana, tenaga, dan pikiran (kiat/strategi), dan (c) persiapan mental individu gay mayoritas tertutup tak selalu siap jika menghadapi ‘pimpongan’ (baca:mondar-mandir) dengan birokrasi. Pasal 52 ayat (2) pencatatan perubahan nama sebagaimana ayat (1) wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana yang menerbitkan akta pencatatan sipil paling lambat 30 hari sejak diterimanya salinan penetapan pengadilan negeri oleh penduduk. Pilihan yang ditempuh oleh gay tak mengganti nama dalam KTP, tetapi pergantian nama hanya sebatas julukan/panggilan. Pasal 58 ayat (2) data perorangan meliputi nomor induk kependudukan, nama lengkap, dan jenis kelamin. Pencantuman jenis kelamin dalam UU merupakan intervensi negara atas ‘selera’ masyarakat/penduduk (gay). Pasal 56 surat keterangan kependudukan paling sedikit memuat keterangan tentang nama lengkap, nomor induk kependudukan, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, agama, dan alamat. Pencantuman jenis kelamin pada dasarnya adalah membatasi keinginan gay untuk memilih jenis kelamin. Karena jenis kelamin gay belum diakui sebagai jenis kelamin yang sah di negeri ini. Pasal 93 setiap penduduk yang sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada instansi pelaksana dalam melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting,
281
282
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50 juta. Hal ini semakin mengukuhkan pada gay untuk tak mengubah nama baru (nama panggilannya) dalam KTP. Pasal 94 setiap orang yang tanpa hak dengan sengaja mengubah, menambah, atau mengurangi isi elemen data pada dokumen kependudukan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp 25 juta. UU itu tak secara eksplisit menyebut jenis kelamin yang terpilah (hanya) lelaki atau perempuan. Tetapi pengakuan masyarakat, hanya dua jenis itulah (lelaki atau perempuan) yang diakui. Pemerintah pun tak memiliki kewenangan menolak atau mendiskreditkan secara tertulis. Peraturan tersebut mengindikasikan bahwa administrasi kependudukan adalah hal penting yang harus ditaati. Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Rights/ICCPR) merupakan produk Perang Dingin hasil kompromi politik kekuatan negara blok sosialis negara kapitalis. Saat itu situasi politik dunia berada dalam Perang Dingin (Cold War) mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional HAM saat digarap Komisi HAM PBB. Hasilnya pemisahan kategori hak sipil dan politik dengan hak dalam kategori ekonomi, sosial dan budaya dalam dua kovenan atau perjanjian internasional, semula diusahakan dapat diintegrasikan dalam satu kovenan. Tapi realitas politik lain, kovenan yang satu (Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya/International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights/ ICESCR) dan kovenan yang kedua dilahirkan di bawah situasi yang tak kondusif dan membawa implikasi tertentu dalam penegakan kedua kategori hak tersebut. Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) diratifikasi oleh 141 negara, artinya tak kurang dari 95% negara anggota PBB -berjumlah 159 negaramenjadi Negara Pihak (State Parties) dari kovenan tersebut. Ditinjau dari segi tingkat ratifikasi, kovenan ini memiliki tingkat universalitas yang sangat tinggi bila dibanding dengan perjanjian internasional HAM lainnya. Kovenan ini dimasukkan menjadi bagian dari International Bill of Human Rights. Indonesia telah menjadi Negara Pihak dari kovenan ini melalui UU No.12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Pandangan Kaum Santri Di Kabupaten Kudus Terhadap Kaum Gay ( Moh. Rosyid )
ICCPR memuat ketentuan pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparatur negara yang represif, khususnya negara yang menjadi Negara Pihak ICCPR. Hak-hak yang terhimpun di dalamnya disebut hak negatif (negative rights). Artinya, hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan terpenuhi bila peran negara terbatasi atau minus. Tapi bila negara mengintervensi, hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Inilah yang membedakannya dengan model legislasi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (disingkat ICESCR) yang justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila negara tak berperan secara aktif atau menunjukkan peran yang minus. ICESCR juga disebut sebagai hak-hak positif (positive rights). Terdapat dua klasifikasi terhadap hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR. Pertama hak-hak dalam jenis non-derogable yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara Pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun yakni (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (right to be free from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan (right to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak ini, mendapat kecaman sebagai negara yang melanggar serius HAM (gross violation of human rights). Kedua hak dalam jenis derogable yakni hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara Pihak. Hak dan kebebasan jenis ini (i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tulisan). Negara Pihak ICCPR diperbolehkan menyimpang atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut yang dapat dilakukan bila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tak bersifat
283
284
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
diskriminatif yaitu demi (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain. ICCPR menggariskan bahwa hak tak boleh dibatasi “melebihi dari yang ditetapkan oleh kovenan ini”. Selain diharuskan menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua Negara Pihak pada ICCPR. Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam kovenan ini di pundak negara, khususnya yang menjadi Negara Pihak pada ICCPR, ditegaskan Pasal 2 (1) Negara Pihak diwajibkan untuk “menghormati dan menjamin hak yang diakui dalam kovenan diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya” tanpa diskriminasi. Jika hak dan kebebasan yang terdapat di dalam kovenan ini belum dijamin dalam yurisdiksi suatu negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu untuk mengefektifkan perlindungan hak Pasal 2 (2) Tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban dalam ICCPR bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately). Hak yang terdapat dalam ICCPR ini bersifat “justiciable” sebagai pembeda dengan tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban versi ICESCR, yang tak harus dijalankan pemenuhannya, tetapi secara bertahap (progressively) karena bersifat non-justiciable. Kewajiban negara adalah memberikan tindakan pemulihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan yang terdapat dalam kovenan ini secara efektif. Sistem hukum suatu negara diharuskan mempunyai perangkat yang efektif dalam menangani hak korban. Penegasan tertuang pada Pasal 3 (a) menjamin bahwa setiap orang yang hak atau kebebasan sebagaimana diakui dalam kovenan ini dilanggar, mendapat pemulihan yang efektif, meskipun pelanggaran dilakukan oleh pihak resmi; (b) menjamin bahwa bagi setiap orang yang menuntut pemulihan haknya atas pemulihan tersebut akan ditetapkan oleh lembaga peradilan, administrasi, atau legislatif yang berwenang atau lembaga lain yang berwenang ditentukan oleh sistem hukum negara tersebut, dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yang bersifat hukum; (c) menjamin bahwa lembaga yang berwenang akan melaksanakan pemulihan tersebut apabila dikabulkan. Kovenan ini tak mengandung sesuatu yang bersifat “subversif” yang bakal menyulitkan
Pandangan Kaum Santri Di Kabupaten Kudus Terhadap Kaum Gay ( Moh. Rosyid )
negara yang menjadi Pihak Kovenan. Termasuk ketentuan mengenai hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) (Pasal 1), dan ketentuan mengenai kewajiban negara untuk mengizinkan kelompok minoritas (etnis, agama atau bahasa) untuk menikmati kebudayaan mereka, menyatakan atau mempraktikkan agama mereka atau menggunakan bahasa mereka sendiri dalam komunitasnya (Pasal 27). Kovenan ini tak dapat digunakan sebagai dasar untuk mensubversi integritas wilayah suatu negara (Kasim, 2011). Ketujuh hak absolut tersebut yang paling bersinggungan langsung dengan kondisi yang dialami gay di Kudus adalah hak sebagai subjek hukum. Tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban dalam ICCPR bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately). Bila dikaitkan dengan UU No.39/1999 tentang HAM Pasal 2 negara RI mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tak terpisahkan dari manusia, harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Pasal 3 (1) setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan, (3) setiap orang berhak atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Berdasarkan prinsip HAM internasional meliputi prinsip kesetaraan (perlakuan setara), prinsip diskriminasi (tak mendiskriminasi), kewajiban positif untuk melindungi HAM (tak mengabaikan hak dan kebebasan). Bila aktivitas manusia terhadap pihak lain bertentangan dengan prinsip HAM internasional, dapat dikategorikan pelanggaran HAM yakni pelanggaran negara terhadap kewajibannya yang dilakukan oleh negara (acts of commission) atau karena kelalaian negara (acts of omission) atau dengan kata lain tindakan atau kelalaian negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana nasional, tetapi merupakan norma HAM yang diakui secara internasional (Smith, dkk. 2008:69). I. Simpulan Ruh yang diusung pemerhati HAM didominasi oleh perspektif sekuler sehingga perspektif ini secara umum tidak match dengan
285
286
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
budaya Timur dan Islam. Memadukan dua kutub yang berbeda, perlu mendominasikan etika budaya. Maksudnya, gay, waria, dan homo lainnya belum bisa diterima oleh budaya Timur, konsekuensinya tidak dipaksakan untuk sejajar, masing-masing mempunyai argumen untuk mempertahankan cara pandang terhadap homo. Komunitas santri mendasarkan perspektif Islam, adapun pemerhati transjender akan berpijak pada perspektif HAM yang sekuler. Perbedaan keduanya perlu mediasi budaya yang difasilitasi oleh akademisi, negara, dan budayawan yang memerlukan waktu tidak sekejap, berkesinambungan dengan mengedepankan dialog budaya.
Pandangan Kaum Santri Di Kabupaten Kudus Terhadap Kaum Gay ( Moh. Rosyid )
SUMBER RUJUKAN Alimi, Moh.Yasir. 2004. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial dari Wacana Bangsa hingga Wacana Agama. Lkis: Yogyakarta. Abdullah, Irwan. 2006. Rekonstruksi dan Reproduksi Budaya. Pustaka pelajar: Yogyakarta. Boellstorff, Tom. 2006. Gay dan Lesbian Indonesia serta Gagasan Nasionalisme. Diterjemahkan oleh Iwan Meulia Pirous. Jurnal Antropologi Indonesia. Vol. 1 Nomor 1. Dzofir, Zamakhsyari. 1980. Tradisi Pesantren. LP3S: Jakarta.1980. Dayakisni, Tri dan Hudaniyah. 2006. Psikologi Sosial, edisi revisi. UMM Press: Malang. Endraswara, Suwardi. 2003. Hanindita: Yogyakarta.
Metodologi
Penelitian
Kebudayaan.
Faturahman. 2006. Pengantar Psikologi Sosial. Pustaka: Yogyakarta. 2006. Hidayat, Komaruddin. 2003. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi. Paramadina: Jakarta. Kartono, Kartini. 1992. Patologi Sosial. Rajawali: Jakarta. Kasim, Ifdhal. Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, Sebuah Pengantar. Makalah pada Pelatihan Dasar Dosen Hukum HAM seIndonesia yang diselenggarakan Pusham UII Yogyakarta pada 26-30 September 2011. Muhadjir, Noeng. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rakesarasin: Yogyakarta. Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Bumi Aksara: Jakarta. Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Rosyid, Moh. 2010. Potret Gay dan Waria Kota Kudus. Idea Press: Yogyakarta. Saputra, Heru. 2007. Memuja Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku using Banyuwangi. LKiS: Yogyakarta.
287
288
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Suprayogi, Imam dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Rosda: Bandung. Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Tiara Wacana: Yogyakarta. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Citra Wacana: Surabaya. Sudjarwo. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Mandar Maju: Bandung. Supartono. W. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Ghalia Indonesia: Ciawi Bogor. Smith, Rhona K.M, dkk. 2010. Hukum HAM. Pusham UII: Yogyakarta. Walgito, Bimo. 2002. Psikologi Kelompok. Andi: Yogyakarta.
KENDALA IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB 1979 DALAM UPAYA PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN TERHADAP TENAGA KERJA WANITA INDONESIA DI MALAYSIA Oleh : Umi Qodarsasi *)
ABSTRACT: Women around the world have the same problem
that is discrimination due to patriarchal perspective. Discrimination occurs in many areas of social, cultural, political, and economic. Concerns about the condition of women is present through the women’s movement that comes with international conventions to establish a legal protection for women. One is the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). CEDAW obliges ratifying countries to condemn all forms of discrimination and implement policies that eliminate discrimination against women. However, the effectiveness of CEDAW which is seen from three aspects, namely obligation, precision, and delegation relatively low. This allows the violation of the contents of the convention, Indonesia and Malaysia are still not able to resolve the cases of violence against women effectively.
Keyword : Discrimination, CEDAW, Effectiveness of International Agreement
A. Pendahuluan Perempuan dalam masyarakat umum seringkali dipandang berdasarkan kacamata patriarkhi terhadap lawan jenisnya. Perempuan dianggap tidak setara atau lebih rendah daripada laki-laki. Anggapan tersebut melahirkan berbagai tindakan diskriminasi atau ketidakadilan yang dialami oleh perempuan, antara lain; marginalisasi, subordinasi, kekerasan, maupun beban ganda terhadap perempuan. (Fakih, 1996: 32). Upaya untuk mengatasi permasalahan diskriminasi ini telah dilakukan baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Pada *) Staf Tata Usaha SMK Muhammadiyah Kudus
290
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
tahun 1979, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi sebuah konvensi yang dikenal dengan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Isi dari konvensi ini terdiri dari pembukaan dan 30 pasal yang mendefinisikan hal-hal apa yang termasuk diskriminasi terhadap perempuan serta membuat agenda untuk aksi nasional dalam upaya penghapusan diskriminasi tersebut. CEDAW memberikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki melalui menjamin akses yang sama perempuan ke, dan kesempatan yang sama dalam, kehidupan politik dan publik, pendidikan, kesehatan dan pekerjaan. Ratifikasi CEDAW merupakan puncak dari upaya internasional dalam dekade perempuan yang ditujukan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia. Dengan adanya konvensi ini maka negara-negara peratifikasi termasuk Indonesia dan Malaysia mempunyai kewajiban untuk mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, dan bersepakat dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Salah satu pembahasan dalam konvensi ini adalah mengenai ketenagakerjaan atau perburuhan perempuan dimana salah satu poin pentingnya adalah pemberian hak terhadap perempuan untuk mendapat perlindungan dan keselamatan dalam kondisi kerja. Terkait perlindungan dan keselamatan dalam kondisi kerja, Indonesia masih terganjal permasalahan pelik yakni masalah buruh migran perempuan atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia di Malaysia yang masih mengalami kasus kekerasan (Saprianti, 2003: 61-62). Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW). Hal tersebut ditunjukkan dengan data selama periode 20 tahun (19741994) jumlah tenaga kerja perempuan meningkat sebesar 116 kali lipat. Data tahun 2002 dari Departemen Tenaga Kerja RI menunjukkan jumlah Tenaga Kerja Wanita sebanyak 1.206.103 orang (Depnaker RI, 2002). Migrasi buruh legal dari Indonesia didominasi oleh perempuan pekerja rumah tangga. Menurut Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia, di tahun 2002, 76% dari 480.393 pekerja di luar negeri dari Indonesia adalah perempuan, dan 94% dari perempuan tersebut dipekerjakan
Kendala Implementasi Konvensi CEDAW PBB 1979 _ ( Umi Qodarsasi )
sebagai pekerja rumah tangga di negara-negara Timur Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Malaysia merupakan negara tujuan TKI dengan jumlah TKI yang tinggi. Data dari Kementerian Dalam Negeri Malaysia mencatat jumlah Tenaga Kerja Asing yang bekerja di Malaysia pada Desember 2006 sebanyak 63% dari total seluruh Tenaga Kerja Asing dari negara lainnya yang antara lain berasal dari Nepal, India, Myanmar, Vietnam. Peningkatan jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW) berbanding lurus dengan tingkat kerentanan yang dialami antara lain perdagangan perempuan, kekerasan terhadap buruh migran perempuan, konflik perburuhan (gaji tidak dibayar, dll), hilang kontak, deportasi, perdagangan anak perempuan, serta kematian di tempat kerja (Krisnawati, 2006 : 23). Kasus kekerasan terhadap TKW Indonesia di Malaysia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 Depnakertrans mencatat sejumlah 1.091 kasus kekerasan, sedangkan di tahun 2010 angka kekerasan mencapai 4.532 kasus. Kasus kekerasan TKW di Malaysia kembali menjadi sorotan publik dan Pemerintah Indonesia menyusul mencuatnya kasus Winfaedah, tenaga kerja wanita asal Lampung berusia 26 tahun yang dianiaya dan diperkosa majikannya, dan kemudian dibuang pelaku di jalan sebelum ditemukan warga setempat pada 13 September 2010. Sederet kasus kekerasan TKW di Malaysia juga sebelumnya mewarnai pemberitaan media, antara lain kasus kekerasan terhadap Nirmala Bonat dan Sumiati. Secara de jure, Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan Konvensi CEDAW melalui undang-undang untuk melindungi Tenaga Kerja Indonesia khususnya Tenaga Kerja Wanita berikut lembaga yang melindungi TKI di luar negeri. Pemerintah membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) sesuai dengan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, dan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI. Namun, pada realitanya payung hukum yang dibentuk Pemerintah Indonesia tersebut belum cukup mampu memberikan perlindungan dan keselamatan kerja
291
292
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
terhadap TKW Indonesia di Malaysia. Pasal 11 Konvensi CEDAW dimana salah satu poinnya adalah memberikan hak perlindungan dan keamanan kondisi kerja belum sepenuhnya dipenuhi Indonesia sebagai negara pengirim tenaga kerja. Di Indonesia sendiri masih sering terjadi pengiriman TKW secara ilegal, hal ini sangat beresiko terlebih lagi apabila tenaga kerja yang dikirim tidak mempunyai bekal keterampilan yang mendukung pekerjaannya. Sedangkan Malaysia sebagai negara tujuan Tenaga Kerja Indonesia dengan jumlah terbesar yang meratifikasi konvensi ini pada 15 Juli 1995 juga belum memberikan tindakan hukum yang tegas terhadap warganya yang menjadi pelaku kekerasan. Kedua negara yang telah meratifikasi Konvensi CEDAW ini belum bisa mengimplementasikan Konvensi CEDAW dalam menangani kasus kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia di Malaysia yang terus terjadi dalam rentang waktu yang lama. Berdasarkan latar belakang yang penulis deskripsikan di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan “bagaimana kendala implementasi Konvensi CEDAW PBB 1979 dalam Penyelesaian Kasus Kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia di Malaysia?”. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi pasal 11 dari Konvensi CEDAW terhadap TKW Indonesia di Malaysia serta bagaimana kendala implementasi konvensi ini dalam upaya penyelesaian kasus kekerasan terhadap TKW Indonesia di Malaysia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan menggunakan teknik analisis kualitatif untuk menganalisa data. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (Library Reseach), yakni dengan cara mengumpulkan data-data dari buku, literatur, dokumen, artikel, jurnal ilmiah, buletin dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini. B. Konvensi CEDAW sebagai Perjanjian Internasional dan Standar Diskriminasi Salah satu aspek yang sangat menentukan efektivitas suatu perjanjian internasional menurut Kenneth W. Abbot adalah legalisasi. Legalisasi didefinisikan Abbot sebagai the degree to wich rules are obligatory, the precision of those rules, and the delegation of some functions
Kendala Implementasi Konvensi CEDAW PBB 1979 _ ( Umi Qodarsasi )
of interpretation, monitoring, and implementation to a third party (Abbot, 2000). Derajat tiga elemen legalisasi yaitu obligasi, presisi dan delegasi menurut Abbot akan mempengaruhi efektivitas sebuah hukum internasional. Obligasi adalah aspek legalisasi yang mencerminkan tingkat kewajiban atau pengikatan negara atau aktor lain oleh sekumpulan komitmen yang akhirnya berefek pada tingkah laku dan tindakantindakan aktor tersebut sesuai dengan aturan-aturan umum, prosedur serta diskursus-diskursus hukum internasional dan juga domestik. Ada beberapa indikator yang menentukan tinggi dan rendahnya obligasi suatu perjanjian internasional. Presisi adalah aspek legalisasi yang mencerminkan derajat ketidak-ambiguan aturan-aturan yang ada, sehingga bisa secara pasti (unambigously) dijadikan sebagai suatu acuan tingkah laku yang diperbolehkan, dan dikehendaki ataupun yang dilarang bagi para aktoraktornya. Sedangkan delegasi berarti ditetapkannya pihak ketiga yang diberikan kuasa untuk mengimplementasikan, menginterpretasikan, dan mengaplikasikan peraturan-peraturan tersebut dan juga menyelesaikan persengketaan, serta adanya kemungkinan membuat aturan yang baru. Suatu perjanjian internasional dapat dikatakan memiliki tingkat legalisasi yang tinggi jika ketiga aspek dari legalisasi (obligasi, presisi, dan delegasi) tinggi, atau setidaknya aspek obligasi dan delegasinya tinggi. Begitu juga sebaliknya, jika ketiga aspek legalisasi itu rendah, maka menjadi rendah pula tingkat legalisasi suatu perjanjian internasional. Convention on the Elimination of All Form of Descrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan adalah suatu perjanjian internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan mulai belaku pada tanggal 3 Desember 1981. Pada tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara anggota PBB, merupakan negara peserta konvensi. Isi konvensi ini terdiri dari 30 pasal. Isi dari pasal tersebut mendefinisikan apa yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan dan membuat agenda untuk aksi nasional untuk mengakhiri diskriminasi tersebut.
293
294
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Diskriminasi dalam konvensi ini didefinisikan sebagai perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang-politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Dengan menerima konvensi tersebut, negara-negara berkomitmen untuk melakukan serangkaian tindakan untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk, termasuk (Ledi Ayu, 2000): a) Untuk memasukkan prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam sistem hukum mereka, menghapuskan semua hukum yang diskriminatif dan mengadopsi sesuai yang melarang diskriminasi terhadap perempuan; b) Untuk membentuk pengadilan dan lembaga-lembaga publik lainnya untuk menjamin perlindungan yang efektif bagi perempuan dari diskriminasi; dan c) Untuk memastikan penghapusan segala tindakan diskriminasi terhadap perempuan oleh orang, organisasi atau perusahaan. CEDAW adalah satu-satunya perjanjian hak asasi manusia yang menegaskan mengenai hak-hak reproduksi perempuan serta perempuan dalam budaya dan tradisi sebagai kekuatan berpengaruh membentuk peran gender dan hubungan keluarga. CEDAW menekankan bahwa pendekatan hukum formal atau program saja tidak mencukupi untuk mencapai persamaan substantif antara perempuan dan laki-laki. Selanjutnya sasaran konvensi ini juga meliputi dimensi-dimensi diskriminatif dari konteks-konteks sosial budaya di masa lampau yang masih dianut dewasa ini. Maka tujuan utama konvensi ini ialah penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
Kendala Implementasi Konvensi CEDAW PBB 1979 _ ( Umi Qodarsasi )
perempuan, termasuk sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensinya pada persamaan substantif antara perempuan dan laki-laki di seluruh dunia dan di sepanjang masa. Konvensi CEDAW merupakan perjanjian internasional tentang perempuan yang paling komprehensif, menetapkan kewajiban hukum yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi. Konvensi ini sering digambarkan sebagai International Bill of Rights ini menetapkan persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam menikmati hakhak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Diskriminasi terhadap kebijakan dan program melalui langkah-langkah hukum, kebijakan dan program, maupun melalui “tindakan khusus sementara”untuk mempercepat persamaan atau kesetaraan antara perempuan dan lakilaki dalam menikmati HAM-nya, yang diartikan sebagai tindakan non diskriminasi. Untuk melakukan pembahasan tentang perkembangan dan kemajuan situasi yang dicapai dalam pelaksanaan konvensi di berbagai negara (khususnya negara yang telah meratifikasi konvensi). Konvensi ini mensyaratkan adanya sebuah Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (selanjutnya disebut komite). Setelah ada 35 negara yang meratifikasi konvensi ini, jumlah komite terdiri dari 23 ahli. Para ahli tersebut dipilih oleh negara peratifikasi dengan kualifikasi bahwa yang bersangkutan memiliki moral yang tinggi dan kompeten di bidang yang dicakup oleh konvensi dengan mempertimbangkan pembagian geografis yang adil, dan terwakilinya berbagai peradaban yang berbeda serta prinsip sistem hukum yang beragam. Komite juga berwenang untuk memberikan saran serta rekomendasi umum berdasarkan penelitian atas laporan dan informasi yang diterima dari negara-negara yang menjadi pihak. Di samping itu komite juga berwenang untuk meminta laporan kepada badan khusus di bawah badan PBB, dan kemudian memberikan rekomendasi terhadap badan tersebut. 1. Diskriminasi terhadap Perempuan: Kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia di Malaysia Buruh Migran Perempuan atau yang lebih dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Wanita merupakan jumlah terbesar dari
295
296
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Peningkatan jumlah tenaga kerja wanita berlangsung secara besar-besaran dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja laki-laki. Selama periode 20 tahun (1974-1994) jumlah tenaga kerja perempuan meningkat sebesar 116 kali lipat, sementara jumlah tenaga kerja laki-laki hanya meningkat sebesar 17 kali lipat saja. Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menunjukkan bahwa Tenaga Kerja Wanita merupakan jumlah terbesar dari penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Hal ini tercermin dalam data sebagai berikut : Tabel: 1. Jumlah Buruh Migran Indonesia Berdasarkan Komposisi Jenis Kelamin Tahun 1967-1974 1974-1979 1979-1984 1984-1989 1989-1994 1994-1998* 1999-2002**
Perempuan d.t.t. 3,817 55,000 198,735 422,210 699,946 1,206,103
Laki-laki d.t.t. 12,235 41,410 93,527 208,962 349,681 446,120
Jumlah 5,624 15,052 96,410 292,362 650,172 1,049,627 1,652,223
Sumber : Departemen Tenaga Kerja RI, Dit Jasa TKLN 1998 dan Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, tahun 2002 Peningkatan jumlah TKW ini berkaitan erat dengan beberapa faktor, di antaranya adalah (Kartikasari, 2005 : 107) a. Meningkatnya permintaan jasa tenaga kerja/buruh migran perempuan di beberapa negara. b. Adanya kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia (khususnya dari Depnaker) yang mendorong terjadinya migrasi kerja ke luar negeri. c. Makin maraknya bisnis pengerahan tenaga kerja ke luar negeri termasuk lahirnya agen-agen pengerah tenaga kerja.
Kendala Implementasi Konvensi CEDAW PBB 1979 _ ( Umi Qodarsasi )
d. Kemiskinan di pedesaan yang kian parah, termasuk sulitnya mendapatkan penghasilan yang layak baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki, kondisi Tenaga Kerja Wanita terutama yang bekerja pada sektor Pembantu Rumah Tangga (PRT), cenderung lebih rentan terhadap proses eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan karena posisinya sebagai perempuan, sebagai buruh pada sektor informal, dan sebagai warga negara asing di negara asing, di tempat kerjanya. Di tengah budaya patriarkhi yang hidup dalam sistem sosial, sistem politik, bahkan dalam sistem ekonomi, keberadaan TKW-PRT meskipun dibutuhkan akan tetapi mereka cenderung disubordinasikan, dikecilkan maknanya, tidak terlindungi oleh hukum setempat, bahkan sering dilanggar hak-hak asasinya. Sebagian besar Tenaga Kerja Wanita Indonesia yang bekerja di Malaysia berada pada sektor informal, yakni sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pada tahun 2007, Migrant Care mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap buruh migran tertinggi terdapat di Malaysia, yakni mencapai prosentase 39%. Diikuti dengan kasus kekerasan buruh migran di Arab Saudi sebesar 38%. Kekerasan juga terjadi di Kuwait, Taiwan, Hongkong, Yordania, Brunei Darussalam, Bahrain, Singapura, dan Amerika Serikat. TKW di Malaysia memiliki persoalan yang kompleks. Menurut data imigrasi Malaysia, hampir setiap tahun sekitar 30.000 TKW lari dari majikan dan hanya sebagian kecil yang ditampung di KBRI/ KJRI Malaysia. TKW di Malaysia menghadapi banyak kasus gaji yang tidak dibayar, pelecehan seksual, penipuan agen, kekerasan fisik, hingga korban perdagangan manusia. Dari kasus-kasus baik yang ditangani oleh Depnakertrans, Perwakilan RI di luar negeri, R.S Polri maupun oleh lembagalembaga non pemerintah, terlihat adanya pelanggaran hak asasi Buruh Migran Perempuan/Tenaga Kerja Wanita Indonesia di Malaysia, di antaranya adalah : a) Hak untuk bebas bergerak memasuki negara lain atau pulang ke negara asalnya (dilanggar oleh ketentuan izin suami, penahanan paspor, dll).
297
298
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
b) Hak untuk bekerja dan upah layak, jaminan sosial, serta keamanan (dilanggar antara lain oleh kontrak kerja yang disusun sepihak oleh “kesepakatan” pemotongan upah, juga oleh sistem jaminan sosial yang tidak ramah konsumen). c) Hak atas waktu istirahat dan hak cuti dengan tetap dibayar (dilanggar oleh kontrak kerja dan kebiasaan bahwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) tidak punya batasan ruang lingkup kerja layak, tidak ada standar. d) Hak untuk bergabung dengan atau membentuk serikat pekerja. e) Hak untuk bebas dari segala bentuk kekerasan/kekejaman dan perbudakan (dilanggar oleh ketidaktersediaannya mekanisme perlindungan, terutama perlindungan aksi). Pada tahun 2007 data mengenai kasus kekerasan yang berujung pada kematian TKI ataupun TKW, di luar negeri menunjukkan angka yang sangat mengejutkan. Berdasarkan data yang di kutip dari kantor berita Antara pada tahun 2007, terjadi 45 kasus kekerasan fisik yang dilakukan. Angka kematian TKI dan TKW dalam setahun terakhir dilaporkan tercatat sebanyak 102 kasus. Tabel : 2. No 1 2 3 4 5 6 7 8
Data Tindak Kekerasan Terhadap TKI dan TKW Negara Jumlah Kasus Malaysia Arab Saudi Singapura Yordania Hongkong Taiwan Kuwait Jepang
36 18 12 7 5 9 3 3
Kekerasan terhadap TKW ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan pelanggaran terhadap isi Konvensi CEDAW.
Kendala Implementasi Konvensi CEDAW PBB 1979 _ ( Umi Qodarsasi )
2. Ketidakefektifan CEDAW dalam Upaya Penyelesaian Kasus Kekerasan terhadap TKW Indonesia di Malaysia Salah satu aspek yang sangat menentukan efektivitas suatu perjanjian internasional menurut Kenneth W. Abbot adalah legalisasi. Legalisasi didefinisikan Abbot sebagai the degree to wich rules are obligatory, the precision of those rules, and the delegation of some functions of interpretation, monitoring, and implementation to a third party (Abbot : 2000). Derajat tiga elemen legalisasi yaitu obligasi, presisi dan delegasi ini menurut Abbot akan mempengaruhi efektivitas sebuah hukum internasional. Obligasi adalah aspek legalisasi yang mencerminkan tingkat kewajiban atau pengikatan negara atau aktor lain oleh sekumpulan aturan atau sekumpulan komitmen yang akhirnya berefek pada tingkah laku dan tindakan aktor tersebut sesuai dengan aturan-aturan umum, prosedur serta diskursus-diskursus hukum internasional dan juga domestik. Presisi adalah aspek legalisasi yang mencerminkan derajat ketidak-ambiguan aturan-aturan yang ada, sehingga bisa secara pasti (unambigously) dijadikan sebagai suatu acuan tingkah laku yang diperbolehkan, dan dikehendaki ataupun yang dilarang bagi para aktor-aktornya. Sedangkan delegasi, berarti ditetapkannya pihak ketiga yang diberikan kuasa untuk mengimplementasikan, menginterpretasikan, dan mengaplikasikan peraturan-peraturan tersebut dan juga menyelesaikan persengketaan, serta adanya kemungkinan membuat aturan yang baru (Abbot : 2000). Suatu hukum internasional dapat dikatakan memiliki tingkat legalisasi yang tinggi, jika ketiga aspek dari legalisasi tersebut (obligasi, presisi, dan delegasi), atau setidaknya aspek obligasi dan delegasinya tinggi. Begitu juga sebaliknya, jika ketiga aspek legalisasi tersebut rendah, maka menjadi rendah pula tingkat legalisasi suatu hukum internasional. Implementasi dan efektivitas Konvensi CEDAW PBB 1979 dalam upaya penyelesaian kasus kekerasan terhadap TKW Indonesia di Malaysia terkendala dalam tiga hal, yakni (1) Kendala Obligasi; (2) Kendala Presisi; (3) Kendala Delegasi.
299
300
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
1) Kendala Obligasi Obligasi dalam suatu perjanjian ditunjukkan dengan adanya pasal-pasal yang mengikat negara-negara peratifikasi. Daya ikat suatu perjanjian juga ditunjukkan dengan penggunaan kata “wajib” dalam beberapa pasal di dalamnya. Dalam Konvensi CEDAW, beberapa pasal mengatur mengenai kewajiban negara-negara peratifikasi terhadap isi Konvensi CEDAW. Pasal-pasal dalam Konvensi CEDAW menunjukkan bentuk keterikatan negara peratifikasi terhadap hasil dari konvensi. Seperangkat kewajiban telah mengikat negara peratifikasi untuk diimplementasikan dalam setiap kebijakan, baik dalam level domestik maupun internasional. Dalam indikator obligasi Abbot dapat dimaknai CEDAW memiliki obligasi yang kuat. Pada pasal 27 dinyatakan bahwa konvensi ini mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal diserahkannya instrumen ratifikasi atau aksesi yang kedua puluh pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk disimpan. Dengan adanya keharusan ratifikasi berarti konvensi ini diharapkan diadopsi dalam hukum-hukum domestik tiap-tiap negara pihak sehingga memiliki konsekuensi domestik. Di samping seperangkat kewajiban yang tertuang dalam isi konvensi, terdapat pula rekomendasi dari Komite CEDAW sebagai penanggungjawab pemantauan implementasi Konvensi CEDAW di negara-negara peratifikasi. Namun jika dilihat secara keseluruhan obligasi yang dirancang, tidak adanya aturan tentang sanksi bagi pelanggar peraturan menjadikan tingkat obligasi konvensi ini lemah. Dengan ketiadaan sanksi yang jelas dalam konvensi membuat kemungkinan untuk melanggar tinggi. Hal ini akan mempengaruhi efektivitas konvensi. Ketiadaan sanksi ini tidak memperkuat seperangkat kewajiban yang ada, sehingga masih membuka kemungkinan terjadinya berbagai pelanggaran isi dari Konvensi CEDAW. Dalam tataran operasionalnya, kasus diskriminasi terhadap perempuan masih terus saja terjadi walaupun negara-negara tersebut sudah meratifikasi konvensi ini. Seperti Indonesia dan Malaysia yang masih terganjal kasus
Kendala Implementasi Konvensi CEDAW PBB 1979 _ ( Umi Qodarsasi )
diskriminasi terhadap perempuan. Kasus yang dari tahun ke tahun terus terjadi dan belum menemui titik penyelesaian adalah kasus kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia di Malaysia. Pergantian pemerintahan tak juga menghasilkan payung hukum yang efektif untuk menghapus tindak kekerasan terhadap perempuan ini. Meskipun dalam kebijakan domestik masing-masing pemerintah telah mengimplementasikan hasil Konvensi CEDAW ke dalam berbagai kebijakan/perundangundangan, namun dalam kebijakan bilateral antara Indonesia dan Malaysia belum ada kesepakatan bersama yang efektif untuk menindaklanjuti apabila terjadi pelanggaran terhadap hasil Konvensi CEDAW. Di Indonesia sendiri, implementasi Konvensi CEDAW masih belum maksimal dalam menangani keberangkatan TKI terutama TKW. 2) Kendala Presisi Convention On The Elimination of All Form of Discimination Against Women (CEDAW) jika dianalisis menggunakan indikator precicion Abbot dapat dikatakan memiliki presisi yang rendah. Aturan yang tercantum tidak detail membahas berbagai hal substansi dalam upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan cenderung membuka kemungkinan untuk perbedaan tafsir. Ada istilah di dalamnya seperti “yang tepat” terdapat dalam beberapa pasal dalam Konvensi CEDAW, salah satunya terdapat dalam pasal 11 yang berbunyi : Negara-negara pihak wajib untuk melakukan semua upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang pekerjaan dalam rangka untuk memastikan persamaan hak antara perempuan dan lakilaki terutama : a. Hak untuk bekerja sebagai suatu hak yang melekat pada semua umat manusia; b. Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi yang sama terhadap suatu pekerjaan;
301
302
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
c. Hak atas kebebasan memilih profesi dan pekerjaan, hak atas pengangkatan, keamanan bekerja dan seluruh tunjangan dan kondisi pelayanan, dan hak untuk mendapat pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang, termasuk magang, pelatihan kejuruan lanjutan serta pelatihan kembali; d. Hak atas persamaan pendapatan termasuk tunjangan, dan persamaan perlakuan sehubungan dengan pekerjaan yang sama nilainya, seperti juga persamaan perlakuan dalam melakukan evaluasi terhadap kualitas kerja; e. Hak atas jaminan sosial, terutama dalam hal pensiun, pengangguran, sakit, cacat dan lanjut usia, serta semua bentuk ketidakmampuan untuk bekerja, seperti juga hak atas masa cuti yang dibayar; f. Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan dalam kondisi kerja, termasuk atas perlindungan untuk reproduksi. Adanya istilah tersebut dapat menimbulkan keragaman tafsir di antara negara-negara peratifikasi, terutama Indonesia dan Malaysia terkait pemberian hak-hak terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia di Malaysia sehingga dapat menimbulkan persengketaan dalam implementasi konvensi tersebut. Tafsir Indonesia dan Malaysia terimplementasi dalam undang-undang yang diatur pada tiap-tiap negara. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno mengatakan tindak kekerasan yang dialami tenaga kerja Indonesia (TKI) akibat perbedaan undang-undang (UU) ketenagakerjaan kedua negara. Erman mengatakan adanya perbedaan undang-undang yang mengatur permasalahan ketenagakerjaan mengakibatkan kasus kekerasan terhadap TKI sering terjadi, dan tidak mendapatkan penanganan sesuai dengan yang diharapkan masyarakat Indonesia. Menurut Erman, perbedaan mencolok pada undang-undang tentang ketenagakerjaan dengan Indonesia yang mengakibatkan
Kendala Implementasi Konvensi CEDAW PBB 1979 _ ( Umi Qodarsasi )
tindakan kekerasan terhadap TKI, terutama berkaitan dengan unsur pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dan jaminan sosial bagi para TKI yang diatur dalam undang-undang tersebut. Pemenuhan hak asasi manusia dan jaminan sosial bagi para TKI tersebut antara lain : a. Menyimpan/memegang dokumen milik pribadi, seperti : KTP, visa, paspor. Bila paspor harus dipegang oleh majikan, maka TKI berhak meminta kartu identitas pengganti yang sah menurut peraturan negara setempat. b. Mendapatkan gaji dan hak-hak normatif lainnya sesuai dengan kontrak kerja. c. Memperoleh kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan TKI. d. Bekerja selama 8 jam dalam sehari. e. Memperoleh hari libur setiap satu hari dalam seminggu. f. Mendapat perlakuan setara, bebas dari pelecehan seksual, bebas dari eksploitasi ekonomi, bebas dari tindak kekerasan di tempat kerja. g. Mendapatkan fasilitas, perlindungan kesehatan, dan keselamatan kerja. h. Mendapatkan perlakuan wajar dan manusiawi. i. Memperoleh cuti hamil dan melahirkan. j. Membentuk organisasi kepentingan TKI.
untuk
memperjuangkan
k. Memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama dengan yang diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai peraturan perundang-undangan di negara tujuan. l. Apabila mengalami musibah atau pemutusan kontrak kerja maka TKI berhak mendapatkan santunan asuransi. Adapun kebijakan yang diatur di Malaysia antara lain (Widodo, 2005): a. Dokumen milik pribadi, seperti KTP, visa, paspor tidak diizinkan disimpan sendiri melainkan disimpan oleh majikan.
303
304
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
b. Tidak adanya waktu istirahat yang cukup dikarenakan jam kerja yang panjang melebihi delapan jam. c. Bagi pekerja domestik, tidak punya batasan ruang lingkup kerja yang layak, seperti tidak adanya hari libur setiap minggunya serta larangan berkomunikasi dengan keluarga. d. Tidak adanya kebebasan untuk berserikat dan berkumpul atau berorganisasi, sebagaimana para TKI di Hongkong. e. Mengenai cost structure dan batasan gaji minimum, Malaysia tidak mempunyai regulasi khusus baik tingkat lokal maupun nasional yang mengatur pekerja asing. Pada dasarnya, baik Indonesia dan Malaysia mendapatkan manfaat dari penempatan TKI. Bagi Indonesia, pemasukan devisa dari TKI yang didata oleh Bank Indonesia (BI) mencapai US$ 6,6 miliar atau urutan kedua setelah migas. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri juga menurunkan angka pengangguran di Indonesia. Sedangkan manfaat bagi Malaysia adalah ketersediaan tenaga kerja kasar dan bisa dibayar dengan harga yang lebih murah, seperti di sektor perkebunan, konstruksi, jasa pembantu rumah tangga dan manufaktur. Artinya, roda ekonomi kedua negara juga terbantu dengan kerjasama ini. Adanya manfaat bagi kedua belah pihak ini seharusnya diiringi dengan peningkatan perlindungan terhadap TKI terutama TKW di Malaysia. Untuk menyamakan penafsiran antara kedua negara terkait implementasi Pasal 11 Konvensi CEDAW terkait kondisi kerja TKW di Malaysia, maka Indonesia dan Malaysia menyusun Memorandum of Understanding (MoU). Penyusunan MoU ini terus mengalami revisi dikarenakan perbedaan pendapat antara Indonesia dan Malaysia. Ada beberapa kesepakatan penting yang tertera dalam MoU tersebut, di antaranya; a) Hak buruh migran untuk memegang paspor dan dokumen kerja; b) Hak buruh migran untuk mendapatkan jatah libur satu hari per minggu; c) Masalah cost-structure (struktur biaya penempatan); d) Tim gabungan perlindungan TKI. Perbedaan
Kendala Implementasi Konvensi CEDAW PBB 1979 _ ( Umi Qodarsasi )
undang-undang ketenagakerjaan membuat kesepakatan ini belum menemukan titik terang. 3) Kendala Delegasi Konvensi CEDAW mensyaratkan adanya komite yang mempunyai fungsi delegasi untuk memantau perkembangan dan implementasi Konvensi CEDAW di negara peratifikasi. Komite juga bertugas untuk mengkaji laporan dari negara peratifikasi serta berwenang untuk memberikan saran serta rekomendasi umum berdasarkan penelitian atas laporan dan informasi yang diterima dari negara peratifikasi. Dalam penyelesaian kasus perselisihan antara dua negara peratifikasi atau lebih terkait perbedaan penafsiran dan penerapan konvensi ini, Komite CEDAW menerima pengajuan arbitrase atas permohonan dari salah satu Negara yang berselisih. Hal ini sebagaimana termuat dalam pasal 29 : Setiap perselisihan antara dua atau lebih negara-negara pihak mengenai penafsiran atau penerapan konvensi ini yang tidak diselesaikan melalui perundingan, diajukan untuk arbitrase atas permohonan salah satu negara tersebut. Jika dalam waktu enam bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrase para pihak tidak dapat bersepakat mengenai penyelenggaraan arbitrase itu, salah satu dari pihak-pihak tersebut dapat menyerahkan perselisihan mereka kepada Mahkamah Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan peraturan Mahkamah tersebut. Arbitrase merupakan penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus pengadilan. Poin penting yang membedakan pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur pengadilan (judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai “hakim” dalam mahkamah arbitrase, sebagaimana
305
306
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang sedang ditangani. Mekanisme penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Malaysia masih sebatas pada perundingan antara dua negara. Salah satu negara belum mengajukan upaya arbitrase kepada Komite CEDAW. Padahal kasus kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia di Malaysia sudah terjadi dalam rentang waktu yang lama dan jumlah korban kekerasan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Namun dalam kasus penyelesaian kekerasan terhadap TKW Indonesia di Malaysia, baik Indonesia maupun Malaysia belum mengajukan permohonan arbitrase terhadap Komite CEDAW. Komite CEDAW sendiri tidak mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran isi konvensi ini serta tidak bisa menjadi arbitrator suatu kasus perselisihan tanpa diminta oleh salah satu pihak yang berselisih. Ketiadaan mekanisme dispute settlement yang kuat menjadikan implementasi Konvensi CEDAW ini belum berjalan efektif. C. Simpulan Diskriminasi terhadap perempuan merupakan masalah yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Menjawab permasalahan ini, Konvensi CEDAW hadir untuk memberikan payung advokasi terhadap perempuan. Namun dalam implementasi konvensi ini masih terdapat kendala di beberapa negara baik internal negara tersebut maupun hubungannya dengan negara lain, salah satunya adalah yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia yang masih terganjal kasus kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia di Malaysia. Penyelesaian kasus ini belum menemui titik temu, hal ini terkait dengan perbedaan sosio-kultural di berbagai negara serta perbedaan penafsiran terhadap isi Konvensi CEDAW. Kendala implementasi ini juga dipengaruhi oleh beberapa aspek yang mempengaruhi efektivitas Konvensi CEDAW, yaitu aspek obligasi, presisi, serta delegasi. Analisis dari ketiga aspek tersebut menunjukkan bahwa tingkat efektivitas Konvensi CEDAW tergolong rendah sehingga belum mampu sepenuhnya mengatasi permasalahan diskriminasi terhadap perempuan di berbagai belahan dunia.
Kendala Implementasi Konvensi CEDAW PBB 1979 _ ( Umi Qodarsasi )
SUMBER RUJUKAN Abbot, Kenneth W et.al. 2000 .“The Concept of Legalization”. Dalam International Organization 54, No. 3. Fakih Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Krisnawaty, Taty. “Mengenal Masalah-masalah yang Dihadapi Buruh Migran Perempuan”. Dalam Jurnal Konsultasi Nasional Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Pemerhati dan Pembela Hak Buruh Migran Indonesia dengan Pelapor Khusus PBB tentang Hak Asasi Migran, 2006: 23. Ledi Ayu, Astri, Efektivitas Implementasi Konvensi CEDAW Tahun 1979 terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan di Indonesia, Skripsi : Fisipol, Departemen Ilmu Politik – USU, Sumatra Utara, 2010. Saprianti, Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dari Kekerasan di Indonesia Berdasarkan ketentuan Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman 1984 (CEDAW ’84), Skripsi : Fakultas Hukum – UMY, Yogyakarta, 2003: 61-62. Wahyuni Kartikasari, “Meningkatkan Peran Perlindungan PJTKI Terhadap Tenaga Kerja Wanita”. Jurnal Pusat Studi Wanita Universitas Muhammadiyah Yogyakarta III, No. 2, 2005 : 107. Widodo, Rusman, Ignas Triyono, dan Pihri. Panduan Buruh Migran (Tenaga Kerja Indonesia/ TKI) di Malaysia. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2005.
307
POTRET PERJUANGAN ORGANISASI PEREMPUAN INDONESIA Oleh : Muhammad Kharis *)
Judul
: Peta Gerakan Perempuan Islam PascaReformasi Penulis : Lies Marcoes-Natsir dkk. Penerbit : Insitut Studi Islam Fahmina (ISIF) bekerjasama dengan Fahmina-Institute Cirebon Tahun : Januari 2012 Halaman : xv + 384
Di zaman kolonial, para pejuang perempuan di Nusantara banyak dilakukan secara perorangan, tetapi saat ini perjuangan perempuan banyak dilakukan secara kolektif dengan membentuk suatu organisasi. Perjuangan perempuan dalam bentuk organisasi ini dilakukan secara kolektif dengan tujuan pemberdayaan perempuan Indonesia. Buku Peta Gerakan Perempuan Pasca-Orde Baru karya Lies Marcoes-Natsir dkk dengan apik memotret perjuangan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan isu–isu kontemporer tentang perempuan di Indonesia. Lima organisasi dipilih para peneliti mewakili organisasi perempuan di Indonesia. Kelima organisasi tersebut adalah Aisyiyah, Fatayat Nahdlatul Ulama (FNU), Bidang Kewanitaan Partai Keadilan Sejahtera (BK PKS), Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI), dan Fahmina-Institute. Empat yang pertama merupakan organisasi masyarakat sosial dengan basis massa yang jelas, sementara urutan ke lima, yakni Fahmina merupakan lembaga yang berbasis pesantren yang konsen terhadap isu-isu perempuan terkini. Aisyiyah dan FNU, mewakili dua organisasi yang tertua yang muncul sejak masa kolonial dan terus eksis hingga sekarang. MHTI dan BP PKS mewakili dua organisasi yang lahir sejak bergulirnya era reformasi, pasca-tumbangnya Soeharto yang telah memerintah *) Alumni Prodi Tafsir Hadis Jurusan Ushuluddin STAIN
Potret Perjuangan Organisasi Perempuan Indonesia ( Muhammad Kharis )
Indonesia kurang lebih selama 32 tahun dalam masa orde baru. Era reformasi menjadi angin segar bagi keterbukaan dan kebebasan berekspresi, sehingga muncul banyak organisasi-organisasi maupun partai politik yang tentu saja memunculkan organisasi perempuan sebagai bagian di dalamnya. Organisasi perempuan yang muncul ini turut serta dalam memperjuangkan serta mewujudkan visi dan misi organisasi laki-laki sebagai induknya. Dengan jeli para penulis mengeksplorasi isu-isu perempuan dari masing-masing lima organ tersebut. Aisyiyah misalnya, perdebatan yang cukup serius digambarkan mengenai dua hal, perempuan sebagai imam dan batas usia kawin. Dengan cukup apik, buku ini mengulas bagaimana dinamika Aisyiyah, yang merupakan organisasi perempuan dari Muhammadiyah, memperdebatkan dua isu ini dalam Munas Majelis Tarjih Pra Muktamar yang diselenggarakan di Malang pada April 2010. Soal perempuan menjadi imam, perdebatan berlangsung begitu alot dengan menggunakan dalil-dalil keagamaan yang ketat. Wawan Gunawan, dosen Tafsir Hadits dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta akhirnya berhasil meyakinkan para peserta Munas untuk menetapkan bahwa perempuan boleh menjadi imam bagi lakilaki ketika perempuan memiliki kemampuan yang lebih sebagai imam dibandingkan laki-laki. Perdebatan soal batas usia pernikahan juga cukup hangat diperbincangkan bagi organisasi yang lahir secara resmi pada 17 Mei 1917 M. Sebagian menggunakan hadis Nabi saat menikahi Aisyiyah yang berusia kurang dari 9 tahun dijadikan sebagai dasar. Namun para peserta akhirnya sepakat bahwa sebagai organisasi yang muncul dan berkembang di Indonesia, maka sudah sepatutnya organisasi ini mengikuti peraturan pemerintah dalam undang-undang yang mengatur batas usia kawin perempuan adalah 18 tahun. Argumentasi yang diajukan Aisyiyah, bahwa Muhammadiyah harus mengikuti peraturan negara ini rupanya sangat berhasil. Sedang mengenai soal kesehatan Aisyiyah begitu konsen dalam hal ini. Sebelum pemerintah mengembangkan program kesehatan sampai ke desa-desa, Aisyiyah telah lama membuka sekolah perawat kesehatan dan kebidanan. Program-program ini adalah program andalan dan tulang punggung organisasi Aisyiyah. Isu kesehatan yang dikupas dalam penelitian ini antara lain persoalan KB dan persoalan aborsi. Dalam hal KB, Aisyiyah menolak dengan tegas segala bentuk pencegahan kehamilan secara permanen dan juga menolak dengan tegas aborsi. Secara resmi dalam isu aborsi Aisyiyah menggunakan hukum fiqh madzhab Syafi’i yang menggangap hukum asal aborsi
309
310
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
adalah haram, tetapi pada saat tertentu juga menggunakan adanya pengecualian, misalnya dalam soal kesehatan atau alasan kehamilan yang tidak diinginkan akibat incest, maka aborsi dapat dilakukan. Dalam praktiknya, terkadang para bidan Aisyiyah menghadapi fenomena yang berbeda dan sulit menerapkan norma tersebut di lapangan. Dalam catatan Lies Marcoes, seorang bidan di sebuah klinik Aisyiyah di Jakarta Timur memberikan saran kepada seorang ibu yang hendak melakukan aborsi dengan menunjukkan alamat klinik yang dimaksud. Menurut bidan tersebut ia hanya ingin menolong ibu tersebut karena sangat mengerti kesulitan ibu yang menolak kehamilan tersebut, sementara dirinya tidak bersedia melakukan aborsi. Program KB sendiri merupakan program yang mendapatkan perhatian sangat serius dari Muhammadiyah dan Aisyiyah. Di saat pemerintah begitu gencar dan ambisius membatasi dan mengendalikan jumlah kelahiran, Muhammadiyah saat itu memberikan ramburambu tentang tata cara penyelenggaraan KB agar tidak menyimpang dari ajaran Islam. Di tahun 80-an Muhammadiyah dan Aisyiyah menawarkan suatu konsep yang disebut “konsep keluarga sakinah”. Konsep ini pada intinya menyatakan bahwa pengaturan keluarga merupakan stratergi dan bukan merupakan suatu tujuan untuk mencapai keluarga sejahtera. Bagi organisasi ini yang harus diutamakan adalah pengaturan kelahiran tanpa harus menentukan jumlah yang terbaik untuk tiap keluarga dan bukan pembatasan atau pelarangan untuk hamil. Organisasi perempuan kedua yang diteliti adalah Fatayat Nahdlatul Ulama (FNU). Organisasi ini tidak bisa terlepas dari organisasi induknya, Nahdlatul Ulama (NU). FNU adalah satu banom NU. Selain FNU ada organisasi perempuan lain yang merupakan banom NU. Di antaranya Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) bagi kader perempuan NU yang berusia maksimal 30 tahun, dan Muslimat NU bagi kader perempuan NU yang berusia minimal 40 tahun. Sedang FNU sendiri adalah bagi mereka kader NU perempuan yang berusia maksimal 40 tahun. Pendirian organisasi perempuan di kalangan NU awalnya terjadi penentangan yang cukup keras di kalangan ulama NU. Pada Konggres XV di Surabaya tahun 1940, terjadi perdebatan sengit tentang usulan pengurus perempuan NU. Baru pada kongres ke XVI di Purwokerto tahun 1946 Muslimat NU disahkan dengan ketua terpilih Ibu Chadidjah Dahlan dari Pasuruan. Pendirian muslimat NU kemudian dirintis pendirian organisasi perempuan muda di kalangan NU. Kemudian secara resmi FNU resmi didirikan pada 14 Februari 1950 M.
Potret Perjuangan Organisasi Perempuan Indonesia ( Muhammad Kharis )
Dialektika FNU dengan NU dipengaruhi oleh kepengurusan NU secara internal. Saat NU dikomandoi oleh Gusdur, FNU praktis tidak begitu ada persoalan serius. Gusdur dirasa memberikan angin segar bagi perbedaan yang terjadi di internal NU. Gusdur seringkali memberikan dukungan kepada FNU di saat menghadapi dilema. Misalnya apakah FNU perlu mengambil tawaran funding asing untuk melakukan pemberdayaan perempuan NU ataukah sebaiknya tidak mengambil karena banyaknya larangan dari pimpinan NU yang lain. Gusdur memberikan dukungan untuk mengambil funding tersebut jika FNU meyakini ada manfaat besar bagi perempuan NU. Salah satu wujud perjuangan FNU bagi perempuan adalah persoalan kesehatan reproduksi (kespro). Persoalan kespro ini menjadi penting dan menjadi prioritas utama. Seiring hal tersebut dua langkah penting setidaknya telah diambil oleh FNU yakni dengan mendirikan PIKER (Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi) oleh pengurus pusat dan mendirikan YKF (Yayasan kesejahteraan Fatayat) oleh pengurus wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pendirian PIKER ini diawali dengan kerjasama antara BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) denga FNU pada 2005. Melalui kerjasama ini kemudian didirikan PIKER di beberapa wilayah tingkat provinsi. Ada 11 wilayah pendirian piker sebagai pilot project kerjasama ini, yaitu Sumatra Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. PIKER didirikan untuk terwujudnya kemandirian perempuan yang mampu mengangkat derajatnya dengan potensi yang dimiliki menuju kemandirian masyarakat akan pentingnya hak-hak reproduksi. Sedang misi PIKER ada lima buah yakni, meningkatkan pengetahuan, membentuk sikap dan perilaku tentang KESPRO dan HAP (Hak Asasi Perempuan), menyadarkan masyarakat tentang hak-hak KESPRO dan HAP, mengangkat derajat perempuan akan KESPRO, membangun jaringan kerjasama dengan institut lain yang concern tentang KESPRO dan HAP, serta membangun kemandirian perempuan dan kelangsungan memperjuangkan hakhak KESPRO dan HAP. Keberadaan PIKER ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan baik pemerintah maupun organisasi keagamaan. Hal ini karena keberadaan PIKER sangat membantu dalam memecahkan problem-problem perempuan. Dalam memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi PIKER menggunakan pendekatan individual, pembentukan kelompok, dialog, dan pembentukan jaringan.
311
312
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Program lain yang diluncurkan FNU adalah Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) yang berkedudukan di DIY pada 1992. YKF mempunyai semangat yang kuat untuk menolak segala bentuk ketidakadilan gender yang berbasis agama. Tujuan yayasan ini adalah untuk membentuk wadah bagi FNU untuk melakukan pendampingan, penguatan ekonomi, pemberdayaan kesehatan, hak-hak reproduksi, dan hak-hak politik perempuan, khususnya masyarakat pesantren. Penguatan yang dilakukan seringkali menggunakan berbagai kegiatan antara lain workshop, kajian rutin bagi para badal kyai, nyai pesantren, serta dengan penerbitan-penerbitan yang berisi berbagai persolan yang aktual yang menyangkut isu-isu perempuan. Isuisu kesehatan reproduksi antara lain, pernikahan dini, poligami, perjodohan, nikah mut’ah, aborsi, KDRT, dan sebagainya. Salah satu karya monumental KYF adalah novel yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama Perempuan Berkalung Surban. Novel yang berlatar belakang pesantren ini diinspirasi oleh kisah nyata seorang ibu nyai muda yang menjadi dampingan YKF. Tantangan yang nyata bagi FNU adalah fakta bahwa banyaknya anggota FNU yang berasal dari pedesaan yang berada pada tingkat ekonomi lemah. Kemiskinan memberikan problem yang bertubi-tubi bagi perempuan di tingkat grass root ini. Persoalan angka kematian ibu melahirkan, perdagangan manusia, buruh migran, adalah tantangan nyata yang dihadapi FNU. Pemberdayaan perempuan yang dilakukan FNU tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan persoalan perempuan secara personal, tetapi juga secara kultural dan struktural persoalan tersebut harus diselesaikan. Organisasi lain yang dibidik sebagai bahan penelitian dalam buku ini adalah Bidang Kewanitaan Partai Keadilan Sejahtera (BK PKS). Organisasi ini adalah bagian dari PKS, partai yang memiliki anggota perempuan dalam jumlah yang banyak. Tokoh-tokoh yang mendirikan PKS pun tidak hanya berasal dari golongan laki-laki saja, tetapi juga dari perempuan turut serta dalam pendirian partai ini. Bahkan, jumlah tokoh yang mendirikan partai yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK) ini lebih banyak tokoh perempuan ketimbang tokoh laki-laki. Untuk memotret ideologi BK PKS, kiranya tidak bisa dilepaskan dari beberapa tiga isu pokok tentang perempuan. Isu ini antara lain meliputi poligami, dan kepemimpinan perempuan. Mengenai poligami yang merupakan isu sentral, banyak kader PKS yang tidak dapat menolak ketika dipoligami. Hal ini karena berlandaskan pada alasan-alasan teologis yang berakar pada pendekatan literal terhadap
Potret Perjuangan Organisasi Perempuan Indonesia ( Muhammad Kharis )
al-Qur’an. Mereka berpandangan bahwa poligami tidak bisa dilarang karena al-Qur’an secara eksplisit mengizinkannya, namun demikian, para kader perempuan PKS sejatinya tidak menyukai poligami meski mereka tidak dapat melarang hal tersebut. Hal ini menujukkan sikap perempuan PKS memahami secara tekstual terhadap ayat al-Qur’an terhadap isu poligami. Pandangan ini berbeda dengan kelompok lain yang berpandangan secara kontekstual. FNU misalnya, dari salah satu kadernya menyatakan, poligami adalah keadaan khusus di masa Nabi Muhammad karena saat itu terdapat banyak janda yang ditinggal mati dalam perang. Sementara prinsip dasar pernikahan dalam Islam menurutnya adalah monogami, dan bahwa banyak ayat-ayat poligami seharusnya dilihat pada konteks waktu itu, bukan sekarang. Pendekatan kontekstual ini merupakan jantung ajaran Islam, karena kehidupan manusia selalu dinamis dan tentu saja hal ini membutuhkan interpretasi al-Qur’an guna merespon hal tersebut. Menurut para aktivis fatayat, Islam di masa Nabi memberi posisi yang tinggi dan terhormat bagi perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya hak waris bagi perempuan yang saat itu budayanya wanita tidak mendapatkan hak waris. Tetapi di Indoensia, umumnya budayanya adalah patriarkhis dan para kiai adalah laki-laki, maka sangat mungkin banyak ayat-ayat al-Qur’an yang diinterpretasikan dari sudut pandang laki-laki dan menguntungkan mereka. Menurut sebagian aktivis PKS, poligami ternyata memberikan dampak positif, sehingga terang-terangan ia mendukung dan mempromosikan praktik poligami. Alasannya, praktik poligami memberikan beragam pemecahan masalah sosial. Di antaranya meminimalisasi tingkat pelacuran, mengentaskan kemiskinan, memberikan waktu luas kepada istri untuk mendekatkan diri kepada Allah, memotivasi suami untuk lebih giat bekerja karena tanggung jawabnya lebih banyak, dan sebagai solusi dari problem-problem yang diakibatkan oleh jumlah perempuan yang jauh lebih banyak dari pada laki-laki. Sebagian aktivis PKS lain juga mengakui lebih menyukai dipoligami dengan suami kader PKS dari pada menikah dengan lakilaki lajang di luar kader PKS, apalagi yang perilakunya tidak bermoral. Oleh karenanya banyak dari kader PKS yang menerima dan membujuk orang tuanya agar menerima calon suami yang sudah beristri. Mengenai soal kepemimpinan perempuan, PKS memiliki sejarah tersendiri. Saat masih bernama PK (Partai Keadilan) dalam sidang MPR tahun 1999, PK menjadi bagian dari poros tengah yang mendukung KH Abdurrahman Wahid dari PKB naik sebagai presiden. Saat itu
313
314
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
pemenang pemilu adalah dari PDIP yang mendukung Megawati naik menjadi presiden. Poros Tengah berhasil membendung Megawati. Alasan-alasan politis dari PKS kenapa tidak memilih Megawati waktu itu yang muncul adalah karena Megawati merupakan representasi kalangan nasionalis-sekuler yang membahayakan dan menjadi ancaman. Namun sejatinya alasannya adalah secara ideologis, yakni Megawati adalah seorang perempuan yang tidak boleh menjadi pemimpin. Tetapi, seiring perkembangannya, Gusdur kemudian dijegal, dan PKS termasuk yang mendukung pelengseran Gusdur dan digantikan Megawati untuk naik sebagai presiden RI. Fakta tersebut menunjukkan bahwa PK telah memutuskan untuk mengambil jalur konstitusi ketimbang mengikuti pandangan politik-ideologis partai mereka. Anis Matta salah satu petinggi PK waktu itu menanggapi naiknya Megawati dengan menegaskan bahwa pria dan wanita di hadapan konstitusi adalah sama. Oleh karenanya ketimbang melihat sikap PK sebagai wujud inkonsistensi, akan lebih tepat melihat sebagai sebuah politik rasional belaka. Artinya, dalam politik praktis, pragmatisme adalah bagian dari strategi politik yang lumrah belaka. Melihat hal ini, para kader perempuan PKS menanggapi terkait kepemimpinan perempuan dengan beragam. Salah satu kader pada DPP PKS misalnya menyatakan bahwa seorang perempuan menjadi pemimpin secara normatif tidak ada larangan, akan tetapi secara realitas memang susah diwujudkan karena perempuan memiliki keterbatasan. Intinya, ia memandang bahwa soal kepemimpinan adalah soal kapabilitas dan kemampuan. Pandangan lainnya menyatakan kepemimpinan utama tetap harus diserahkan kepada laki-laki, bahwa kemudian ada perempuan yang berkarir, ia sangat mendukung. Apalagi memang bila tidak ada laki-laki yang profesional, maka perempuan harus maju. Namun demikian para kader PKS memahami bahwa peran dan fungsi wanita dalam rumah tangga adalah hal pokok dan tidak boleh ditawar. Artinya sehebat apapun wanita berkarir di luar, di dalam rumah tangga tetaplah ia seorang istri yang harus tunduk dan patuh pada kepala keluarga, suami. Muslimah Hizbut Tahir Indonesia (MHTI) adalah objek penelitian berikutnya dalam buku ini. Organisasi yang lahir dari Hizbut Tahrir Indonesia ini secara terang-terangan muncul sejak 2007 melalui kemunculan juru bicaranya yaitu Febriyanti Abbasuni, dan sekarang per 2010 diganti oleh Iffah Ainur Rochmah. Organisasi ini cukup berbeda dengan lembaga otonom dari organisasi induknya, layaknya Fatayat NU maupun Aisyiyah. Dasar pendirian MHTI lebih
Potret Perjuangan Organisasi Perempuan Indonesia ( Muhammad Kharis )
ditujukan pada bagaimana mewadahi perempuan dalam aktivitas HTI. Kongkritnya, MHTI didirikan sebagai kebutuhan untuk mengadakan halaqah dan aktivitas ta’lim HTI yang sejenis khusus untuk perempuan. HTI menganut prinsip bahwa antara laki-laki dan perempuan harus dipisahkan. Faktor kedua pendirian MHTI adalah kebutuhan untuk merespon isu-isu khusus perempuan. Dalam wacana dan sikap MHTI banyak ketidaksamaan dengan organisasi perempuan lain yang mendukung dan memperjuangkan kesetaraan gender. MHTI mengganggap bahwa kesetaraan gender itu pemikiran yang salah arah. MHTI mengganggap keberhasilan kesetaraan gender di Eropa tidak mampu mewujudkan kehormatan, perlindungan dan keamanan bagi perempuan. Ide pembebasan perempuan dan program pemberdayaan perempuan di berbagai bidang terbukti justru menghasilkan dekadensi moral, perilaku dan kesengsaraan bagi perempuan. MHTI menolak gaya pemberdayaan perempuan sekarang ini dianggap mengambil akses laki-laki dalam bidang ekonomi. Karena perebutan sumber ekonomi melibatkan banyak aktor, maka persaingan akan makin kuat. Persaingan ini memiliki efek samping banyak laki-laki yang menganggur. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, perempuan yang berdaya secara ekonomi cenderung makin merosot dalam soal kepemimpinan rumah tangga yang seharusnya menjadi jabatan mutlak laki-laki. Kesetaraan gender, menurut mereka, akan berakibat pada pengabaian pendidikan anak-anak. Sebagai solusi, MHTI menawarkan ekonomi Islam untuk melawan ekonomi liberal dan kapitalis yang berkembang pesat saat ini. Argumen ini antara lain karena Islam menciptakan suasana kondusif perkembangan usaha-usaha ekonomi yang riil dengan terhindarnya inflasi mata uang, karena sistem mata uangnya bersandar pada emas/ perak, kemudahan mendapat modal pada kas negara, serta pengolahan sungai, danau, laut, hutan, dan tambang pada negara sesuai syariah Islam. Soal pemberdayaan perempuan pada kesehatan reproduksi, MHTI mengkritik tentang aborsi yang ditawarkan sebagai solusi pergaulan bebas. MHTI menawarkan pendidikan seks versi mereka pada anakanak. Pendidikan ini dimaksudkan untuk membentengi anak-anak dari pornografi, pergaulan bebas serta seks bebas. Pendidikan ini antara lain dengan menanamkan rasa malu pada anak, menanamkan jiwa maskulin pada anak laki-laki dan jiwa feminis pada anak perempuan, memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan, mengenalkan waktu berkunjung dan meminta izin jika akan memasuki kamar orang
315
316
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
lain, mengajarkan anak untuk membersihkan alat kelamin, mendidik anak untuk menjaga pandangan mata, mendidik agar anak tidak melakukan ikhtilat (percampuran laki-laki dan perempuan), mendidik agar tidak berduaan dengan lawan jenis, dan mengajarkan tentang ikhtilam, haid, nifas dan konsekuensinya. Penelitian terakhir dalam buku ini adalah terhadap FahminaInstitue. Fahmina adalah LSM yang hadir atas pergumulan intelektual kalangan muda pesantren yang konsen terhadap masalah-masalah perempuan dan Islam. Aktivis pesantren seperti Husein Muhammad, Affandi Mochtar, Marzuki Wahid, Faqihuddin Abdul Qadir mendirikan Fahmina sejak tahun 2000. Visi organisasi ini adalah terwujudnya tatanan sosial dan masyarakat yang kritis, terbuka, bermartabat, dan berkeadilan berbasis Islam pesantren. Organisasi ini bukanlah merupakan ormas sosial yang memiliki basis massa, tetapi LSM yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan sebagai anggotanya. Yang jelas, siapa yang mau dan mampu dalam pemberdayaan perempuan akan direkruit sebagai anggota. Program-program Fahmina antara lain terkait tiga hal pokok. Pertama, Islam dan demokrasi. Kedua, Islam dan gender, dan ketiga kesetaraan gender dan demokrasi dalam Islam dan otonomi komunitas. Bagi Fahmina, Islam dan demokrasi dimaknai untuk menekankan pada perubahan tata pemerintahan yang baik dan bersih. Salah satunya dengan menerbitkan buku Bukan Kota Wali yang menggegerkan kota Cirebon (yang berjuluk kota wali) karena dianggap pemerintahan yang berjalan serta APBD saat itu (tahun 2001) tidak sejalan dengan pesan Sunan Gunung Jati “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”. Ini karena dalam studi Fahmina APBD Cirebon waktu itu tidak mencerminkan untuk mengelola dan mengentaskan yatim piatu, anak jalanan, pedagang kali lima, pengamen dan sebagainya. Bahkan Fahmina menemukan adanya APBD-gate dan ada 11 anggota DPRD Cirebon yang masuk penjara dari gerakan ini. Sedang dalam program Islam dan gender, selain dengan melakukan penerbitan buku juga melakukan kegiatan nyata dengan program penanggulangan trafficking dan pendampingan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Sedang yang ketiga, Fahmina membreakdown kesetaraan gender dan demokrasi dalam Islam dan otonomi komunitas. Hal ini dilakukan dengan mengaitkan teori dan wacana dalam praktik nyata. Program nyata dalam hal ini antara lain mendampingi kasus-kasus pedagang kaki lima, buruh migran, radio komunitas, dan kekerasan terhadap perempuan.
Potret Perjuangan Organisasi Perempuan Indonesia ( Muhammad Kharis )
Alhasil, buku yang merupakan hasil penelitian ini cukup apik mengurai dan mengeksplorasi isu-isu perempuan terkini. Masingmasing organisasi yang diteliti dengan basis visi, misi dan ideologi mereka, menjawab serta merespon isu aktual bagi perempuan dengan berbeda satu sama lain. Kendati tidak secara jelas mengeksplorasi perbedaan-perbedaan dari lima masing-masing organisasi perempuan yang diteliti di atas, tetapi buku ini telah mengulas dan menyatukan pandangan bahwa satu tujuan mereka adalah memperjuangkan nasib perempuan Indonesia. Secara kasat mata, buku ini memang tidak secara spesifik mengupas satu tema besar yang sama kemudian dibedah dan dikomentari oleh lima organisasi. Hanya beberapa cuplikan tematema yang sama seperti kesehatan reproduksi yang dikomentari banyak organisasi perempuan. Mungkin, bagi sebagian pembaca, akan lebih terpuaskan ketika satu tema besar dikomentari dengan pandangan yang pro ataupun kontra oleh kelima organisasi tersebut secara detail dan utuh. Namun demikian, secara umum, buku ini berhasil menyuguhkan kepada pembaca untuk menganalisa secara utuh, perjuangan dari masing-masing organisasi perempuan yang meski berbeda, ternyata hadir dan memiliki semangat yang sama, yakni memberdayakan perempuan Indonesia. Apalagi buku semacam ini begitu langka adanya, jadi, tak ada salahnya untuk membacanya. (*)
317
MENELAAH ULANG HUKUM ABORSI (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif) Oleh : Ahmad Suhendra *)
Judul
: Aborsi dan Hak-Hak Reproduksi dalam Islam Penulis : Istibsjaroh Penerbit : LKiS Tahun Terbit : I, 2012 Tebal : xx + 74 Halaman
Kontroversi aborsi di Indonesia masih belum menemukan titik terang, apalagi memberikan solusi yang tepat terhadap problem masyarakat yang sudah semakin kompleks. Apabila menengok hukum positif di Indonesia, setiap orang dilarang melakukan aborsi. Larangan aborsi tertera dalam Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berdasarkan Regulasi ini, maka terdapat kecenderungan mempidanakan tindakan aborsi, sehingga marak terjadi aborsi ilegal (illegal abortus atau Abortus Provocatus Criminali) yang tidak aman. Akibat pemidanaan aborsi, maka para pasien yang tidak ingin terkena hukuman akibat melanggar hukum, terpaksa merelakan mempertaruhkan nyawanya hanya untuk melakukan aborsi yang tidak aman. Negara, dalam hal ini, belum memberikan solusi yang tepat dan proporsional dalam menyikapi permasalahan aborsi. Permasalahan aborsi saat ini semakin berkembang, karena menyangkut kesehatan reproduksi. Permasalahan ini ditambah dengan, ketika ditelisik ulang, undang-undang itu masih terdapat kerancuan yang menimbulkan multitafsir. Begitu juga, ketika menengok hukum Islam (fiqh) klasik, pada dasarnya tindakan pengguguran janin ini dilarang. Hal ini disebabkan, para ulama hukum Islam (fiqh) memandang tindakan aborsi sebagai kejahatan kemanusiaan, karena mengacu pada QS. al-Baqarah ayat *) Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Menelaah Ulang Hukum Aborsi ( Ahmad Suhendra )
228, yang menerangkan bahwa manusia senantiasa tidak terjerumus ke dalam kerusakan dan kehancuran, sehingga manusia harus menjaga kehidupan. Ayat lain, yang biasanya menjadi dasar pengharaman aborsi, adalah QS. Al-An’am: 151, yang melarang untuk membunuh anak-anak kita karena takut miskin. Walaupun terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqh itu sendiri. Di sisi lain, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tergolong tinggi di dunia. Bahkan, yang lebih memprihatinkan, AKI di Indonesia mencapai angka tertinggi di ASEAN. Banyak yang melakukan aborsi secara sembunyi-sembunyi dan tidak aman menjadi salah satu penyebab AKI di Indonesia sangat tinggi mencapai 228/100.000 kelahiran hidup. Hal ini yang belum terjawab secara proporsional oleh hukum Islam klasik dan hukum positif di Indonesia. Aborsi bagi sebagian orang merupakan tindakan yang tidak bermoral, karena melakukan kejahatan dengan membunuh janin. Negara turut bercampur tangan dengan melarang perbuatan aborsi. Begitu juga dengan legitimasi hukum Islam (fiqh) yang mengharamkan tindakan aborsi. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimana hukum Islam memberikan solusi, tidak hanya benar, tetapi juga tepat (proporsional) untuk masalah-masalah sosial di era globalisasi saat ini? Aborsi Dalam Lintasan Empat Mazhab Fiqh Ulasan dalam buku ini difokuskan pada kajian hukum Islam (fiqh) klasik, terutama empat mazhab fiqh, yakni Hanafiyah, Hambaliyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah. Secara umum, para ulama mazhab yang empat mengharamkan hukum aborsi setelah peniupan ruh. Tetapi mereka berbeda pendapat aborsi yang dilakukan sebelum peniupan ruh. Perbedaan itu terletak pada kapan peniupan ruh kepada janin (calon bayi). Perbedaan itu berimplikasi pada penetapan hukum aborsi. Para ulama berbeda pendapat bahwa peniupan ruh pada janin pada 40 hari sampai usia 120 hari kehamilan. Istibsjaroh memberikan ringkasan perbedaan pendapat empat mazhab mengenai hukum aborsi, yaitu: 1. Ulama penganut mazhab al-Syafi’i (syafi’iyun) berbeda pendapat mengenai aborsi sebelum terjadinya peniupan ruh terbagi dua, yaitu membolehkan dan mengharamkan. Alasan dibolehkan, karena sebelum usia tersebut janin belum berbentuk manusia, sedangkan bagi yang mengharamkan, mereka beralasan bahwa proses kejadian manusia sudah dimulai sejak terjadinya bersatunya sperma dan ovum (konsepsi).
319
320
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
2. Pandangan ulama mazhab Hanafi (Hanafiyun) tentang aborsi sebelum terjadinya peniupan ruh hukumnya makruh. Adapun yang dijadikan alasan untuk melakukan aborsi adalah harus berkaitan dengan kemaslahatan, baik untuk ibu maupun janinnya. 3. Ulama bermazhab Maliki (malikiyun) berpendapat hukum tindakan aborsi haram meskipun belum terjadi peniupan ruh, karena dianggap merampas hak hidup adam. 4. Ulama mazhab Hambali memberikan hukum aborsi lebih longgar, dibolehkan melakukan aborsi sebelum 40 hari, jika setelah itu hukumnya diharamkan. Di antara empat mazhab tersebut, ada yang memberikan hukum aborsi secara ketat, dan ada mazhab yang memberikan hukumnya dengan beberapa kelonggaran. Namun demikian, terdapat beberapa ulama yang sangat ketat dalam memberikan hukum atas tindakan aborsi di setiap mazhab yang empat tersebut. Para ulama yang berpendapat demikian, di antaranya, adalah imam al-Ghazali dari mazhab Syafi’iyun. Imam al-Ghazali berpendapat dalam Ihya ‘Ulum al-Din, “ketika sperma telah bercampur dengan ovum di dalam rahim itu sudah proses kehidupan, maka merusaknya dipandang sebagai tindakan melanggar hukum.” Para ulama yang ketat dalam memberikan hukum aborsi dari empat mazhab itu, baik ulama yang bermazhab Hanafiyun, Hambaliyun, Syafi’iyun, maupun Malikiyun, menyatakan aborsi adalah haram mutlak. Di sisi lain, Quraish Shihab memandang bahwa tindakan aborsi, setelah atau sebelum 120 hari (ditiupkannya ruh), tetap dilarang dengan alasan apapun. Aborsi tidak berkaitan dengan masalah dosa atau tidak, tetapi ia berkaitan dengan kadar dosa dan sanksi hukum yang harus dikenakan kepada para pelaku. Namun, di akhir tulisannya, Shihab menyatakan, Ciri ajaran Islam yang moderat adalah membenarkan aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu, dengan syarat para dokter yang terpercaya menduga keras bahwa kehamilan akan membahayakan jiwa ibu. Di kalangan sementara pemikir Muslim, terbetik pandangan untuk membenarkan aborsi, lebih-lebih jika kandungannya belum mencapai usia 120 hari, apabila diduga keras bahwa janin akan lahir dalam keadaan cacat amat berat, atau mengidap penyakit yang amat serius, sehingga kelak bila lahir dan dewasa dia tidak berfungsi sebagaimana layaknya seorang manusia (Shihab, 2007: 289).
Menelaah Ulang Hukum Aborsi ( Ahmad Suhendra )
Keharaman aborsi menurut mereka tidak dilihat dari sebelum peniupan ruh atau sesudah peniupan ruh. Tetapi, aborsi merupakan tindakan membunuh manusia hal itu melanggar sunnatullah dan bertentangan dengan hukum agama. Pada umumnya, pendapat para ulama hukum Islam (fiqh) klasik saat ini cenderung bermuara pada pengharaman tindakan aborsi dengan alasan apapun. Sakralitas Islam dan Hukum Aborsi Al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam selalu relevan di mana pun dan kapan pun (shalih likulli zaman wa makan). Begitu juga dengan hukum Islam (fiqh), yang begitu elastis dalam melihat realitas dengan maqashid al-syari’ah. Walaupun, tidak dapat dipungkiri, yang namanya hukum tidak dapat lepas dari hitam-putih. Akan tetapi, proses untuk menentukan hitam putih itulah yang tidak serta-merta mendeskriminatifkan nilai-nilai kemanusiaan, atau meminjam istilah Zuhairi Misrawi, terjadi dehumanisasi sosial keagamaan. Menurut Istibsjaroh, penulis buku, sakralitas Islam disebabkan oleh transendensitas sumber-sumber agama yang berbasis wahyu yaitu divinitas al-Qur’an dan sunnah (revealed religion) yang tidak dapat diamandemen. Kendati demikian, sakralitas Islam tersebut tidak lantas menjadikan Islam sebagai agama yang tidak berdimensi sosial (hal. 10-11). Al-Qur’an dan Hadis memang tidak dapat di-utakatik, bahkan diamandemen, tetapi turunan dari keduanya (produk penafsiran) dapat direkonstruksi, direinterpretasi, atau dapat dilakukan dekonstruksi. Produk penafsiran atau produk hukum klasik yang dipraktikkan sampai saat ini merupakan hasil perkawinan sosialbudaya-politik pada masanya dengan kitab suci. Dengan demikian, produk penafsiran maupun produk hukum (fiqh) klasik yang sudah termakan masa, sebagian, untuk tidak mengatakan semua, sudah tidak relevan apabila masih diterapkan pada masa saat ini. Perlu adanya produk penafsiran maupun hukum kontemporer yang lebih dinamis dan humanis. Hal di atas disebabkan, konsepsi Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman manusia untuk mencapai kesalehan individual maupun komunal, begitu juga kesalehan ritual dan sosial, dipastikan selalu bersinergi dengan realitas sosial. Di dalam hal ini, legal rulings (hukumhukum) menjadi point penting dalam konstruksi teks-teks keagamaan. Karena objek hukum menyambung mata rantai keterkaitan manusia secara vertikal dengan Tuhan, dan secara horizontal dengan sesama manusia dan makhluk lainnya (hal. 11).
321
322
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Tindakan aborsi, seharusnya, tidak dipandang sebelah mata sebatas dikaitkan dengan masalah moral, melanggar hukum, bertentangan dengan ajaran agama, dan sebagainya. Padahal, Islam sebagai salah satu agama dalam menghadapi elemen kehidupan sosial seperti hukum, mempunyai sikap dasar agree in disagreement dan competition in good. Aplikasi konkrit kedua sikap ini akan mewujudkan kehidupan sosial yang tidak sekadar penuh harmonis-progresif, tetapi juga kerjasama yang produktif dan dinamis (hal. 6). Apabila sikap seperti ini telah menjadi landasan etik dan moral, maka akan mengkondusifkan proses kontekstualisasi dalam mengatasi masalah kemanusiaan. Dengan konsepsi itu, aborsi tidak hanya menyangkut masalah moral maupun aturan agama, jika memang hendak dikaitkan dengan keduanya, tetapi juga erat kaitannya dengan masalah kesehatan. Alasan yang disebutkan terakhir seharusnya menjadi pertimbangan masalah aborsi, sebagaimana pendapat peresensi sebelumnya, untuk mendapatkan produk hukum yang proporsional atau tepat guna. Alasannya, dampak dari aborsi yang tidak aman sangat berbahaya bagi jiwa dan kesehatan ibu. Kehamilan yang tidak diinginkan, secara psikologis, mengakibatkan kondisi keterpurukan. Instabilitas psikologis dalam tingkat-tingkat tertentu, mengimplikasikan tindakan yang pada mulanya tidak terpikirkan, namun pada akhirnya dianggap sebagai solusi final (hal. 4). Dengan begitu, aborsi berdampak signifikan terhadap keselamatan fisikis maupun psikis baik ibu yang mengandung, maupun janin. Ketika perempuan/ibu mencoba melakukan pengguguran, tetapi gagal atau berhasil digagalkan, dampaknya akan mempengaruhi pertumbuhan dan psikologis anak tersebut. Istibsjaroh mengumpulkan ada beberapa alasan yang mengakibatkan perempuan melakukan aborsi, di antaranya, sebagai berikut. Pertama, pada perempuan yang belum atau tidak menikah, alasan melakukan aborsi di antaranya bagi yang masih berusia remaja, karena pacar tidak mau bertanggung jawab, takut kepada orang tua, sementara bagi yang berstatus janda yang hamil di luar nikah, dan berstatus sebagai simpanan seseorang, mereka melakukan aborsi karena dilarang hamil oleh pasangannya. Kedua, pada perempuan yang sudah menikah, alasannya antara lain karena kegagalan alat kontrasepsi, jarak kelahiran yang terlalu rapat, jumlah anak yang terlalu banyak, terlalu tua untuk melahirkan, faktor sosial ekonomi, alasan medis, sedang dalam proses perceraian dengan suami, atau karena berstatus sebagai istri kedua dan suaminya tidak menginginkan kehadiran anak dari dirinya. (hal. 61-62)
Menelaah Ulang Hukum Aborsi ( Ahmad Suhendra )
Dengan demikian, banyak faktor yang melatarbelakangi seorang perempuan/ibu melakukan aborsi, mulai dari faktor ekonomi, kehamilan tidak diinginkan, korban perkosaan, terlalu banyak anak, sampai penyakit yang mengganggu keselamatan dirinya dan janinnya. Setiap orang memiliki alasan tersendiri untuk melakukan aborsi yang tidak dipahami orang lain. Peresensi meyakini, setiap perempuan atau ibu, secara psikologis dalam bawah alam sadarnya, tidak akan rela untuk menggugurkan janin yang ada di rahimnya, bahkan membunuh anak yang sudah dilahirkannya dengan susah payah. Namun, dorongan-dorongan eksternal itu yang memaksa perempuan/ibu untuk melakukan aborsi atau pengguguran secara sengaja. Perempuan hamil di luar nikah, misalnya, karena faktor dorongan sosial berupa mendapat stigma negatif atau bahkan didiskriminatifkan dari masyarakat, momok atau aib bagi keluarga, atau juga karena paksaan dari pasangannya yang enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Faktor-faktor eksternal itulah yang memiliki andil dalam membentuk alur pemikiran perempuan untuk menemukan jalan pintas dengan aborsi. Dan sekali lagi, yang menjadi korban dan tersiksa adalah perempuan. Akibat illegalitas abortus dalam hukum Indonesia dan kualifikasinya, sebagaimana disebutkan di atas, sebagai tindakan kriminal, maka calon ibu mencari pelaku pengguguran yang ilegal dan tidak aman, dan akhirnya menyebabkan kematian (hal. 4-5). Menurut Maria Ulfah Anshor (2006: 73), stigma negatif di atas diperparah dengan berkembangnya di masyarakat tentang aborsi bahwa perempuan yang melakukan aborsi merupakan perempuan yang hamil di luar nikah. Stigma itu justru menjadi beban berlipat bagi perempuan yang menjadi korban atas ‘kejahatan seksual’. Namun, menurut sebuah penelitian, justru prosentase terbanyak (76,6%) perempuan yang melakukan aborsi adalah perempuan yang sudah menikah. Ketidakadilan juga terjadi saat lelaki dari pasangan perempuan bersangkutan tidak terjerat hukum positif, agama, dan hukum sosial. Padahal, ketika pelaku kasus aborsi itu karena hamil di luar nikah, dorongan utama untuk melakukan aborsi adalah pasangan yang tidak bertanggung jawab. Menurut Istibsjaroh, upaya percobaan pengguguran janin bukan tidak mungkin melahirkan bayi yang justru mempunyai kualitas kesehatan dan intelegensia yang buruk. Dengan demikian, aborsi dan pengaturannya dari sudut pandang kesehatan dimaksudkan untuk melindungi kesehatan ibu dan bayi (hal. 5). Dengan demikian, perlu adanya upaya merubah sudut pandang masyarakat terhadap aborsi. Perlu juga adanya tindakan untuk mengatur aborsi yang lebih
323
324
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
proporsional, terutama dalam aspek hukum. Karena hukum, baik itu hukum positif maupun hukum Islam, merupakan salah satu ‘produk’ yang begitu rentan dan sensitif bagi masyarakat Indonesia. Pengaturan aborsi tidak berarti perempuan/ibu lantas berbondong-bondong untuk melakukan aborsi. Namun, pengaturan itu justru untuk melindungi jiwa dan kesehatan ibu serta kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Merubah sudut pandang masyarakat dapat dimulai dari merubah pola budaya masyarakat itu sendiri. Perubahan pola budaya mencakup perubahan tata nilai tentang sesuatu yang dianggap baik atau buruk. Suatu perbuatan boleh jadi dianggap tidak sesuai hukum atau tradisi pada suatu masa, tetapi kemudian dapat diterima atau bahkan dianggap baik pada masa berikutnya. Perubahan struktur sosial berarti perubahan sistem pelapisan masyarakat, dari memberikan peran besar kepada kelompok tertentu pada suatu masa menjadi peran yang lebih kecil pada masa berikutnya (Jurnalis Uddin, 2007: 149). Dari aspek teknis-administratif, menurut Maria Ulfa (2006: 145146) solusi alternatif yang diberikan adalah merumuskan aborsi yang aman (pro-choiche) dari segi agama, kesehatan, maupun psikologis. Hal itu perlu dilakukan bersama antara pembuat hukum (legislatif dan eksekutif) dengan para pakar dan praktisi di bidangnya masingmasing mengenai batasan-batasan aman dari segi kesehatan, aman dari segi kejiwaan (psikologis), aman dari sosio-ekonomis, dan aman menurut agama. Begitu juga batasan-batasan darurat dan maslahat yang sesuai dengan kaidah agama harus mengacu pada situasi dan kondisi fisik maupun psikis, tempat dan kultur yang kontekstual. Melalui proses tersebut, diharapkan ada peraturan mengenai aborsi aman yang berorientasi pada solusi untuk penguatan hak reproduksi perempuan dan upaya pencegahan terhadap kematian ibu. Dengan demikian, perempuan akan mendapatkan hak-hak reproduksinya yang dijamin oleh negara dan didukung oleh ajaran agama. Hukum positif maupun hukum hukum Islam, terutama terkait aborsi, dapat memberikan produk hukum yang lebih adil dan tidak memarginalkan terhadap perempuan. Buku ini setidaknya memberikan sebuah titik terang atas terbelenggunya hukum aborsi di Indonesia. Memang, buku ini bukan yang pertama dalam mengulas aborsi, tetapi setidaknya dengan kehadiran buku ini dapat memperkaya wacana aborsi, terutama dilihat dari perspektif hukum. Yakni, ternyata UU pelarangan aborsi masih terdapat kerancuan, sehingga dapat memunculkan multi-tafsir. Sehingga, dapat melengkapi kekurangan buku-buku sebelumnya mengenai aborsi.
Menelaah Ulang Hukum Aborsi ( Ahmad Suhendra )
Namun, uraian dan analisa yang ditawarkan terkait aborsi dalam buku ini kurang mendalam dan sangat minimalis. Dengan begitu, buku ini dapat dijadikan pengantar bagi para pemula yang hendak mengetahui atau mengkaji kompleksitas hukum aborsi. Kekurangan yang ada dalam buku ini, penulis buku ini, yang juga aktivis NU, tidak ‘berani’ mengkaji hukum aborsi secara komprehensif. Dan tidak ada pembahasan secara mendalam mengenai korelasi antara aborsi dan kesehatan reproduksi. Juga tidak menyertakan pendapat-pendapat para ulama atau sarjana muslim yang cenderung memandang aborsi sebagai sebuah pilihan (pro-choice).
325
326
PALASTRèN Vol. 5, No. 2, Desember 2012
Ketentuan Penulisan Artikel 1. Artikel berkaitan dengan gender baik secara umum maupun keislaman dalam bentuk artikel konseptual, hasil penelitian dan resensi buku.
2. Panjang artikel 20-25 halaman kwarto/A4 dengan spasi 1,5. Ketentuan margin; atas 4 cm, bawah 3 cm, kiri 4 cm, kanan 3 cm. Diketik dengan font Book Antiqua ukuran font 11. 3. Naskah resensi buku panjang 5 - 10 halaman kwarto/A4 spasi tunggal di ketik dengan font Book Antiqua font 11. 4. Artikel dilengkapi dengan abstrak sebanyak 100 - 150 kata yang diketik dengan font Book Antiqua font 10 dengan spasi tunggal. Abstrak dilengkapi dengan 3 - 5 kata kunci yang mewakili ide dasar. Abstrak artikel bahasa Indonesia ditulis dalam bahasa Inggris dan sebaliknya. 5. Nama lengkap penulis ditulis lengkap tanpa tanda gelar, beserta lembaga. Harap menyertakan alamat pos lengkap. email, no telepon dan no rekening. 6. Rujukan menggunakan catatan perut (middle note) dengan sistem APA (nama akhir penulis, tahun terbut dan nomor halaman). 7. Format artikel konseptual dan laporan penelitian: Pendahuluan, Pembahasan dan Simpulan. Pendahuluan dalam laporan penelitian berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan metode penelitian. Pembahasan dibagi dalam beberapa sub bahasan dan diberi judul. Simpulan ditulis dalam bentyk naratif bukan pointer. 8. Transliterasi menggunakan transliterasi sebagai mana terlihat dalam transliterasi Palastren. 9. Penulisan sumber rujukan secara alfabetis. Contoh buku, Nur Said. (2005). Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. Yogyakarta: Pilar Media. Contoh jurnal: T. Astuti. (2009). “Metodologi Penelitian berperspektif Gender“ dalam Jurnal studi gender “Palastren“ Vol. 2 No. 2. 10. Naskah diserahkan kepada redaksi dalam bentuk softcopy dan diserahkan ke kantor redaksi Palastren; Gedung lab. STAIN lt.2 atau via email ke
[email protected] atau nurmahmudah@ymail. com 11. Naskah yang dimuat mendapatkan 2 jurnal dan 4 buah off-print (cetaklepas)