1
REDAKSI
Penanggung Jawab Asfinawati Pemimpin Redaktur Siti Rakhma Mary Herwati Redaktur Asfinawati Febionesta Arip Yogiawan Muhamad Isnur Editor Jane Aileen Tedjaseputra Siti Rakhma Mary Herwati Layout Muhamad Isnur
2
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………………...... 4 FOTO-FOTO KEGIATAN ……………………………………………………………………………………… 5 ARTIKEL PENEGAKAN HUKUM DAN REFORMASI SEKTOR KEAMANAN …………............. 11 MISKONSEPSI PENGAKUAN AGAMA DI INDONESIA …………………………………… 23 PEMILUKADA DI TENGAH REZIM PEMBANGUNAN EKONOMI…………………… 33 MENJAGA IBU BUMI, MERAWAT IBU PERTIWI ………………………………………… 42 KRIMINALISASI MASYARAKAT ADAT:ANCAMAN DAN USULAN KEBIJAKAN….. 57
PROFIL PBH ……………………………………………………………………………………………………….. 70 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………… 74
3
PENDAHULUAN
YLBHI pernah memiliki jurnal bernama “Diponegoro 74” yang pada masanya menjadi rujukan karena tidak saja mengupas teori-teori hukum dan sosial tetapi memuat fakta-fakta pelanggaran HAM langsung dari tangan pertama yaitu penyintas dan pembelanya dari 15 kantor LBH. Jurnal online edisi pertama ini merupakan “Diponegoro 74” versi digital sesuai perkembangan zaman di mana bahan cetakan/bacaan berbasis kertas menurun peminatnya dan sebaliknya dengan tulisan menggunakan medium internet. Dalam bentuknya kali ini, tulisan-tulisan ini dapat melintasi waktu dan terus menjadi rekaman jejak persoalan hukum bangsa. Pada edisi ini pembaca disajikan materi yang luas cakupannya mulai dari isu sektor keamanan, agraria yang kali ini diwakili oleh kasus Kendeng hingga kebebasan berekspresi. Pembaca juga dapat mengikuti perjalanan penuh perjuangan dari salah satu Pengabdi Bantuan Hukum yang saat ini menjadi direktur LBH Yogyakarta. Tak lupa kami sertakan resensi buku sebagai alat mengintip buku yang menarik. Terakhir, tentu saja selamat menikmati. Kami mohon maaf atas kekurangan di sana sini. Semoga pemikiran mengenai strategi advokasi baru dapat lahir melalui stimulus berupa jurnal ini. Begitu pula dengan semangat baru dan lahirnya pengabdi bantuan hukum baru melalui kisah penyintas yang kita ikuti dalam kasus-kasus yang diangkat. Salam Juang! Asfinawati
4
FOTO-FOTO KEGIATAN
Rakerda dan Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Manado
Kunjungan Asesmen YLBHI Ke LBH Bandung
Kegiatan Asesmen di LBH Jakarta
5
Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Medan
Kegiatan Asesmen YLBHI di LBH Makassar
Kegiatan Asesmen di LBH Banda Aceh
6
Kegiatan Asesmen di LBH Semarang
Kegiatan Asesmen di LBH Surabaya
Kegiatan Asesmen di LBH Bali
7
Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Pekanbaru
Kegiatan Asesmen YLBHI di LBH Padang
Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Lampung
8
Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Papua
Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Palembang
Kunjungan Asesmen YLBHI ke LBH Yogyakarta
9
KALABAHU LBH SEMARANG
KALABAHU LBH PADANG
10
ARTIKEL
PENEGAKAN HUKUM DAN REFORMASI SEKTOR KEAMANAN ASFINAWATI1
1
Ketua Umum – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
11
Konsep Sektor Keamanan (Security Sector)
Pembicaraan
mengenai
sektor
keamanan pada awalnya terfokus pada militer, tetapi kemudian terjadi perkembangan penting yang membuat definisi sektor keamanan menjadi lebih luas dan dalam. Sektor keamanan diartikan sebagai gabungan antara aktor keamanan tradisional, misalnya unit pertahanan, polisi, penjaga perbatasan, badan intelijen, lembaga peradilan, angkatan pertahanan yang tidak resmi seperti perusahaan militer, swasta, kelompok pemberontak, serta manajemen dan organ pengawas seperti kementerian atau parlemen2. Sektor keamanan saat ini meliputi transformasi sistem keamanan yang mencakup semua aktor, peran mereka, tanggung jawab, dan 2
Heiner Hänggi and Fred Tanner, ‘Promoting Security Sector Governance in the EU’s Neighbourhood’, Challiot Paper no. 80, July 2005, p. 13. And also e.g. Edward Rees, ‘SSR and Peace operations: Matching Mandate and Means’, UN Best Practices, 2005, p. 7 dalam Eirin Mobekk, Transitional Justice and Security Sector Reform: Enabling Sustainable Peace, hal. 3.
tindakan bekerja bersama untuk mengatur dan melaksanakan sistem dalam cara yang lebih konsisten dengan norma demokrasi dan prinsip pemerintahan yang baik sehingga menyumbang kepada kerangka keamanan yang berfungsi baik3. Reformasi sektor keamanan juga digambarkan secara lebih sederhana sebagai sebuah proses untuk mengembangkan struktur keamanan yang profesional dan efektif yang akan membuat warganegara hidup secara aman 4. United Nations Development Programme (UNDP) juga membuat pemahaman yang luas tentang reformasi sektor keamanan dengan mengartikannya sebagai reformasi sektor keadilan dan keamanan, dimana sektor keamanan mencakup orgnisasi peradilan kriminal dan badan pengawas, lembaga militer dan intelijen, institusi non inti seperti pabean, 3
DAC Guidelines and Reference Series, OECD/DAC Security System Reform, 2005, p. 20 dalam Eirin Mobekk, Transitional Justice and Security Sector Reform: Enabling Sustainable Peace, hal. 3. 4 Dfid, Security Sector Reform Policy Brief , 2003, p. 2 dalam Eirin Mobekk, Transitional Justice and Security Sector Reform: Enabling Sustainable Peace, hal. 3.
12
dan tenaga keamanan tidak resmi dan masyarakat sipil.5
Sektor Keamanan Pada Masa Orde Baru Orde Baru sering disebut sebagai Orde Pembangunan sehingga pembangunisme menjadi kata yang muncul beriringan dengan berlangsungnya Orde Baru6. Turunan dari pembangunan adalah stabilitas karena Orde Baru percaya investasi ditopang upah murah dan stabilitas yang menggantikan 5
UNDP, Justice and SSR, BPCR’s Programmic Approach, November 2002, p. 8. For more on SSR see e.g. Nicole Ball, ‘Spreading Good Practices in SSR: Policy Options for the British Government’, London: Saferworld, 1998. Alan Bryden and Philipp Fluri (eds.), SSR: Institutions, Society and Good Governance (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 2003). DFID, ‘Understanding and Supporting SSR, London, 2002. OECD-DAC, Security System Reform and Governance: Po licy and Good Practice , 2004. Nicole Ball, ‘Justice and SSR: A Conceptual Framework dalam Eirin Mobekk, Transitional Justice and Security Sector Reform: Enabling Sustainable Peace, hal. 3. 6 Lihat Sritua Arief, Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia : Pemberdayaan Rakyat dalam Arus Globalisasi, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998.
13
kepastian hukum dan good governance khususnya anti korupsi yang tak mampu dijalankan. Posisi ABRI (sekarang TNI) menjadi sangat kuat dengan meluasnya peran dan fungsinya melalui dwi fungsi ABRI, konsep yang dicetuskan Jenderal Nasution untuk keterlibatan militer secara langsung dalam kehidupan sosial politik pada seluruh tingkat masyarakat. Melalui konsep dwi fungsi ini ABRI bertindak sebagai alat utama untuk pengembangan dan implementasi kebijakan pemerintah juga sebagai dinamisator dan fasilitator 7 pembangunan nasional. Kuatnya posisi ABRI juga tercermin dari diserapnya polisi sebagai angkatan ke 5. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Jenderal Purnawirawan Kunarto yang saat itu menjabat sebagai Kapolri pada tahun 1991-1993. Ia menunjukkan degradasi kekuasaan polisi yang terjadi di masa Orde Baru, perampasan kekuasaan polisi oleh militer, dan tantangan-tantangan yang dihadapi Polri dalam menyelenggarakan reformasi 7
Andrew Renton-Green, Indonesia After Soeharto Civil or Military Rule? Working Paper 12/98.
terhadap suatu angkatan yang kekurangan tenaga kerja, tidak memiliki peralatan yang memadai, korup, dibenci masyarakat dan tidak memiliki ingatan kelembagaan akan kemerdekaan kelembagaan sebagai bagian dari sistem penegakan hukum yang bekerja dengan baik.8
Kondisi Terkini Sektor Keamanan Salah satu buah reformasi dan tonggak penting bagi reformasi sektor keamanan adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Bagian menimbang TAP MPR9 8
Kunarto, ‘Jangan Berharap Polri Berubah’ di ICG Asia Report No. 13, Indonesia: Reformasi Kepolisian Nasional. 9 Bagian menimbang TAP MPR VI/MPR/2000 lengkapnya menyatakan a. bahwa salah satu tuntutan reformasi dan tantangan masa depan adalah dilakukannya demokratisasi, maka diperlukan reposisi dan restrukturisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; b. bahwa dengan adanya kebijakan dalam bidang pertahanan/keamanan telah dilakukan penggabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara Republik
benar-benar menggambarkan suasana sosial politik reformasi yaitu: 1. Reposisi dan restrukturisasi ABRI adalah bagian dari demokratisasi 2. Penggabungan Polri ke dalam ABRI telah mengakibatkan kerancuan dan tumpang tindih peran fungsi TNI di bidang pertahanan dan peran fungsi Polri sebagai penjaga kemanan dan ketertiban.
Indonesia dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; c. bahwa sebagai akibat dari penggabungan tersebut terjadi kerancuan dan tumpang tindih antara peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia sebagai kekuatan pertahanan negara dengan peran dan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat; d. bahwa peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat;
14
3. Peran sosial politik dalam dwifungsi ABRI adalah penyimpangan yang mengakibatkan tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Penguatan Polri sebagai institusi reformis tampaknya berpuncak pada pemisahan dengan TNI. Dengan meningkatnya demokrasi secara perlahan-lahan TNI “kembali ke barak” menjalankan fungsinya sebagai penjaga pertahanan nasional10. Sebaliknya Polri menjadi institusi yang banyak berkiprah karena mandatanya adalah penjaga keamanan nasional11. Seiring dengan hal ini keluhan masyarakat terhadap Polri secara konsisten 10
Pasal 30 (3): “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”. 11 Pasal 30 (4): “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
15
menempati posisi tinggi di berbagai lembaga. Data pengaduan Komnas HAM menunjukkan selama 3 tahun berturut-turut sejak 2014 menunjukkan kepolisian menempati posisi tertinggi sebagai pihak yang diadukan. Mari kita lihat perbandingannya dengan institusi lain sejak tahun 2014 hingga 2016 di bawah ini.
Urutan 1.
2016 Kepolisian: 2.290
2015 Kepolisian 2734
2014 Kepolisian: 2.483
2.
Korporasi: 1.030
Korporasi: 1.231
Korporasi: 1.127
3.
Pemerintah daerah: 931
Pemerintah daerah: 1011 Pemerintah pusat Lembaga (Kementerian): 619 peradilan: 640
Pemerintah daerah: 771 Lembaga Peradilan: 641
5.
Lembaga peradilan: 436
Pemerintah pusat (Kementerian): 548
Pemerintah pusat (Kementerian): 499
6.
BUMN/BUMD: 359
BUMN/BUMD: 381
BUMN/BUMD: 463
7.
TNI: 280
TNI: 331
Lembaga Negara (Non kementerian): 282
8.
Kejaksaan: 214
9. 10.
Lembaga negara (Non kementerian): 122 Lembaga pendidikan: 108
Lembaga negara TNI: 215 (Non kementerian): 288 Kejaksaan: 252 Kejaksaan: 195
11.
Lembaga
4.
Lembaga pendidikan: 146 Organisasi: 55
Lembaga Pendidikan: 134 Organisasi: 58 16
pemasyarakatan dan / atau Rutan: 56 12.
Organisasi: 43
Lembaga pelayanan kesehatan: 44
Lembaga Pemasyarakatan dan/atau Rutan: 44
13.
Lembaga pelayanan kesehatan: 28
Lembaga Pelayanan Kesehatan: 41
14.
Pemerintah negara lain: 15 Lembaga legislatif: 4
Lembaga pemasyarakatan dan/atau Rutan: 43 Pemerintah negara lain: 9 Lembaga legislatif: 4
15.
Masalah yang diadukan ke Komnas HAM pada tahun 2015 12 adalah: 1. Proses alur penyidikan dan/atau penyelidikan 1475 (81%); 2. Penangkapan dan/atau penahanan tidak sesuai dengan ketentuan 87; 3. Penangkapan dan/atau penahanan disertai kekerasan 23;
12
Laporan Tahunan 2015 Komnas HAM, Pemulihan Hak-hak Korban Pelanggaran HAM, hal. 87.
17
Pemerintah negara lain: 13 Lembaga legislatif: 1
4. Tindak kekerasan, pemukulan, penembakan, dan intimidasi 13; 5. Penyiksaan dalam proses pemeriksaan 102; 6. Lain – lain 120. Laporan Komnas HAM dikonfirmasi oleh data pengaduan yang dimiliki Ombudsman RI. Laporan Ombudsman menunjukkan kepolisian berada pada peringkat kedua (45 persen) dalam bentuk penundaan berlarut dengan 11 laporan per hari, institusi pemerintahan (42 persen) dalam bentuk kesalahan prosedur sebanyak lima laporan per hari, dan
praktek suap dan pungli di instansi pemerintah daerah (53 persen) dengan rata-rata dua laporan setiap harinya. Berdasarkan laporan di sektor penegakan hukum, kepolisian paling tinggi terindikasi penundaan berlarut, yaitu 51 persen. Menurut Ombudsman, suap atau pungli biasanya ditandai dengan adanya penundaan berlarut dan pelanggaran prosedur13. Penundaan berlarut dalam proses penyidikan tak terhindarkan dalam sistem hukum acara pidana Indonesia saat ini karena KUHAP memberikan peluang penafsiran yang berbeda dari semangat peradilan yang cepat, murah, dan sederhana. Meskipun Pasal 50 KUHAP mengatur bahwa: (1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum;
13
Tempo.co, Ombudsman: Pungli Tertinggi di Kepolisian dan Pemda, 16 Oktober 2016 https://m.tempo.co/read/news/2016/10/16 /063812570/ombudsman-pungli-tertinggidi-kepolisian-dan-pemda.
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; (3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan. Tetapi dalam prakteknya ketiadaan pembatasan waktu membuat pasal ini seolah tidak memiliki kekuatan hukum dan hanya mengikat secara moral. Lebih dari itu, masa penyidikan di tiap-tiap tahap sering diukur dengan masa penahanan maksimal. Meskipun ketentuan penahanan dan perpanjangan penahanan pada setiap tingkat pemeriksaan yaitu di kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan MA14 menyatakan “tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi” tapi pada kenyataannya penerapan ketentuan pasal ini nyaris tidak pernah terdengar. Penahanan di Indonesia sudah berubah dari maksud sebenarnya 14
Lihat Pasal 24 ayat (3), 25 ayat (3), 26 ayat (3), 27 ayat (3), 28 ayat (3), 29 ayat (5) KUHAP.
18
untuk mempermudah penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan15 menjadi penghukuman serta penyandera hakim agar memutuskan bersalah. Dalam praktek jarang sekali hakim membebaskan terdakwa yang sudah ditahan karena besarnya resiko jika ia menuntut aparat penegak hukum.
judge, thus keeping them in prolonged police custody for up to 61 days”. Meskipun Indonesia sudah menjadikan Kovenan Hak Sipil dan Politik (KHSP) menjadi hukum Indonesia dengan UU 12/2005 tetapi Pasal 9 KHSP tidak diikuti dengan perubahan sistem peradilan pidana di Indonesia. Pasal 9 ayat (3) menyatakan:
Komite Menentang Penyiksaan (Committee Against Torture) dalam concluding observations pada sesi keempat tanggal 28 April-16 May 2008 menyoroti lamanya penahanan dan tidak adanya mekanisme membawa tahanan segera ke depan pengadilan untuk menguji penahanannya: “Failure to bring detainees promptly before a
Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
15
Pasal 20 (1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan. (2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. (3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.
19
Kemudian mengatur:
pasal
9
ayat
(4)
Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum. Beberapa orang atau bahkan banyak orang akan berargumen praperadilan adalah bukti telah terpenuhinya ketentuan di atas. Benarkah demikian? Praperadilan bukanlah sebuah kewajiban dari negara melainkan berskema permohonan yang artinya harus dimohonkan dan tidak berlaku otomatis untuk setiap orang. Sedangkan ketentuan di atas jelas sekali menyatakan “setiap orang wajib segera dihadapkan ke pengadilan” yang artinya negara lah yang harus menghadapkan orang-orang yang ditahan tersebut dan bukan orang yang ditahan itu yang harus mengajukan permohonan.
Lamanya masa penahanan dan tiadanya kontrol atas penahanan ini membuka peluang terjadinya penyiksaan dan berujung pada mengadili orang yang salah. Tidak ada ketentuan mengenai pengeyampingan bukti yang diperoleh melalui penyiksaan (exclusionary evidence) membuat penyiksaan masih berlangsung. Pemahaman yang belum bergeser dari HIR yaitu pengakuan tersangka/terdakwa sebagai alat bukti juga membuat pengejaran pengakuan melalui penyiksaan menjadi tujuan. Padahal pengakuan tersangka tidak bisa digunakan karena yang diakui adalah yang ia katakan di sidang dan pengakuannya tidak serta merta membuat terdakwa bersalah melainkan perlu adanya alat bukti lain16. 16
Pasal 189 (1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung
20
Peradilan sesat juga ditopang tidak ada mekanisme pengawas eksternal baik oleh hakim untuk melihat kesahihan penahanan seperti di atas, ataupun penuntut sebagai pengendali perkara. Penyidik yang tidak pernah berangkat ke pengadilan dalam sistem peradilan pidana, tentu memiliki pemahaman yang berbeda tentang bukti apa yang berguna untuk pengadilan. Tiadanya kewajiban untuk mempertahankan bukti itu tentu juga membuat tanggung jawab penyidik berbeda dengan penuntut terhadap kehati-hatian penyusunan bukti-bukti. Faktor lain berlarutnya penyidikan adalah hubungan antara penuntut dengan penyidik. Tidak adanya kewajiban definitif penyidik menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain.
21
penyidikan kepada penuntut umum membuat pasal 109 KUHAP sering diakali dan pemberitahuan baru diberikan setelah penyidikan berjalan beberapa saat. Putusan MK kemudian mengkoreksi hal ini meskipun menolak permohonan lainnya dalam Putusan No. 130/PUU-XIII/2015 dengan menyatakan “..., penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”. Masalah lain adalah bolak-balik perkara antara penyidik dengan penuntut yang meskipun tersirat hanya dapat berjalan 2 kali (dilimpahkan oleh penyidik ke penuntut, dikembalikan oleh penuntut kemudian penyidik mengirimkannya kembali17 tetapi dalam prakteknya disimpangi hingga perkara bisa bolak balik lebih dari itu misal dalam kasus Abraham Samad yang dikriminalisasi saat menjadi ketua
17
Lihat pasal 110 dan 138 KUHAP.
KPK yang mengalami 4 kali bolak balilk berkas perkara18.
18
Kompas.com, Ditolak Lagi, Berkas Abraham Samad Sudah 4 Kali Dikembalikan, 28 Juli 2015. Dapat dilihat di http://regional.kompas.com/read/2015/07/ 28/15344261/Ditolak.Lagi.Berkas.Abraham.S amad.Sudah.4.Kali.Dikembalikan.
22
MISKONSEPSI PENGAKUAN AGAMA DI INDONESIA FEBIONESTA19
19
Ketua Bidang Pengembangan Organisasi-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Telah menjadi pemahaman umum bahwa Indonesia hanya mengakui enam agama yang sering pula disebut sebagai agama-agama yang resmi diakui negara. Agama-agama dimaksud
antara
lain:
Budha,
“diakui”.
Mulai
dari
minimnya
pengakuan persamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan, diskriminasi
pelayanan
publik,
pembatasan hak beragama, bahkan sampai mendorong intoleransi di tengah-tengah masyarakat.
Hindu, Kristen, Katolik, Islam, dan
Lihat saja KTP para penganut agama
Konghucu.
selain
di luar enam agama tersebut.
yang disebut barusan dipandang
Identitas keagamaan mereka tidak
bukan sebagai agama resmi yang
dapat dicatatkan ke dalam kolom
diakui di negeri ini.
agama di KTP mereka. Hal ini
Agama-agama
kemudian
berimbas
pada
diskriminasi
dalam
Diskriminasi Penganut Agama yang
perkawinan,
kelahiran,
Tidak Diakui
kematian. Tak berhenti di sini,
Pemahaman tentang agama yang
diskriminasi terhadap warga negara
“diakui” ini kemudian diadopsi ke
penganut agama tidak “diakui” juga
dalam produk legislasi dan praktek
merambah ke sektor pelayanan
birokrasi. Pemahaman ini ternyata
publik lainnya. Misalnya di sektor
berimplikasi
pendidikan; para siswa yang berasal
pada
pengecualian
pencatatan bahkan
para
dari orang tua penganut agama
penganut agama yang dinilai tidak
atau kepercayaan di luar agama
hak-hak
kewarganegaraan
yang "diakui", selama ini tidak
menyebabkan terhambatnya akses
memperoleh layanan pengajaran
layanan publik yang berkelanjutan.
agama di sekolah-sekolah negeri.
Misalnya di
Di masa lalu, demi mendapatkan layanan
kependudukan
para
penganut agama atau kepercayaan minoritas
terpaksa
mencatatkan
salah satu dari agama yang “diakui” ke dalam kolom agama di KTP-nya,
sektor pendidikan,
ketika para penganut kepercayaan mencantumkan
identitas
agama
atau kepercayaan asalnya20 sistem Data Pokok Pendidikan (DAPODIK) akan
menjawab:
“belum
diisi
dengan agama yang benar”.
meski pada kenyataannya mereka masih mempraktekan agama atau
Tak adanya pengakuan terhadap kelompok agama minoritas di luar
kepercayaan asalnya.
agama Baru pada 2006, para penganut agama atau kepercayaan minoritas mulai
dapat
memperoleh
KTP
dengan kolom agama yang tidak diisi. Meski demikian, diskriminasi tetap
saja berlangsung.
Sistem
layanan publik yang saat ini serba terkomputerisasi
seringkali
tak
dapat
mengakomodasi
25
“diakui”
dalam
administrasi kependudukan telah mendorong
aksi
masyarakat. penganut Darmo
intoleransi
Sebagai
contoh,
Kepercayaan di
Brebes
di
Sapto
mengalami
penolakan penguburan jenazah di Tempat
Pemakaman
Umum.
Sementara di Tangerang Selatan,
20
pengosongan kolom agama. Hal ini
yang
Presentasi Dewi Kanti, penganut Sunda Wiwitan.
kegiatan Majelis Luhur Kepercayaan
kepercayaan di luar agama yang
Indonesia dibubarkan paksa oleh
“diakui”. Pertanyaannya kemudian
Front
Islam.21
Pembela
Dalam
adalah apakah di dalam sistem
beberapa
peristiwa
tersebut,
hukum
tuduhan
bahwa
penganut
Indonesia
kepercayaan adalah orang-orang
dan
ketatanegaraan
terdapat
di
pengaturan
tentang agama yang “diakui”?
yang tidak beragama kerap menjadi dasar penolakan.
Sebelum diterbitkannya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Landasan
Yuridis
Pengakuan
Agama Masalah terhadap
pengakuan suatu
agama
negara atau
kepercayaan sebagai agama yang “diakui”
menunjukkan
ke-
perlakuan
dis-
cenderungan
kriminatif dan intoleran terhadap mereka
yang
termasuk
dalam
kelompok penganut agama atau 21
Periksa http://www.cnnindonesia.com/nasional/201 70106084635-20-184477/hantu-aksiintoleran-di-tahun-ayam-api/
Administrasi
Ke-
pendudukan, pengakuan terhadap lima agama yakni Kristen, Katolik, Hindu, Islam, dan Budha dapat ditemukan
dalam
pelayanan
praktek administrasi
kependudukan. Masyarakat yang berasal
dari
agama
atau
kepercayaan di luar kelima agama dimaksud, terpaksa memilih salah satunya
demi
kemudahan
dalam
memperoleh pelayanan
publik, seperti pengurusan KTP, layanan
kesehatan,
perkawinan, 26
akta kelahiran, pendidikan, atau
merujuk
pada
Undang-Undang
pemakaman.
Nomor
1/pnps/1965
tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan Praktek administrasi kependudukan
Penodaan Agama.22 Padahal jika
yang hanya mengakui lima agama
diteliti lebih seksama, penyebutan
ternyata didorong oleh adanya
enam macam agama, antara lain
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha
Republik Indonesia No. 477/74054
dan Khonghucu23 di dalam Undang-
tanggal 18 Nopember 1978 tentang
Undang
Petunjuk pengisian kolom Agama.
menjelaskan agama-agama yang
Dalam Surat Edaran itu disebutkan
dipeluk
bahwa bagi masyarakat yang tidak
penduduk Indonesia yang dilindungi
menganut salah satu dari kelima
dari potensi penyalahgunaan atau
agama yang resmi diakui oleh
penodaan agama. Namun tidak
tersebut adalah
oleh
hampir
untuk
seluruh
pemerintah, maka kolom agama pada
formulir
perdaftaran
perkawinannya cukup diisi dengan tanda garis pendek mendatar atau (–).
Pengakuan terhadap lima agama disebutkan di dalam Surat Edaran Menteri 27
Dalam
Negeri
dengan
22
Undang-Undang Nomor 1/pnps/1965 awalnya merupakan Penetapan Presiden yang kemudian telah ditingkatkan menjadi Undang-Undang melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969. 23 Khonghucu sempat mengalami pelarangan di era orde baru berdasarkan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Baru pada 2000, Presiden Abdurahman Wahid menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang intinya mencabut Inpres larangan terhadap Khonghucu.
sekali
pun
mengatur
Undang-Undang adanya
ini
pengakuan
Edaran Menteri Dalam Negeri yang membatasi
pengakuan
terhadap keenam agama tersebut.
terhadap
Hal ini juga dipertegas di dalam
memiliki dasar alasan hukum yang
Undang-Undang
sah.
dengan
lima
hanya
agama,
tidak
menjelaskan bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zaratustrian, Shinto, atau Thaoism, tidak dilarang
Ketentuan dalam Undang-Undang
dan
Administrasi Kependudukan
mendapat
jaminan
penuh
untuk tetap berada di Indonesia.
Beberapa bahwa
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya
140/PUU-VII/2009 bahwa
Nomor
berpendapat
Undang-Undang
Nomor
1/pnps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Agama pengakuan
tidak atau
dan
Penodaan membatasi
perlindungan
hanya terhadap enam agama akan tetapi mengakui semua agama yang dianut oleh rakyat Indonesia. Dengan demikian jelas bahwa Surat
kalangan Putusan
menyebut Mahkamah
Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009 hanya berlaku pada Penetapan Presiden
tentang
Penyalahgunaan
dan
Pencegahan Penodaan
Agama, tetapi tidak berdampak pada Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Undang-Undang
Sementara
itu,
Administrasi
Kependudukan secara khusus di dalam Pasal 61 (2) dan 64 (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 atau Pasal 64 (5) Undang28
Undang Nomor 24 Tahun 2013
kependudukannya. Walhasil, para
mengatur bahwa keterangan kolom
penganut agama atau kepercayaan
agama
demikian kerap kali dipersepsikan
atau
elemen
data
kependudukan tentang agama bagi
tidak
beragama
di
kalangan
penduduk yang agamanya belum
masyarakat.
diakui sebagai agama berdasarkan
Meskipun
ketentuan peraturan perundang-
Administrasi Kependudukan me-
undangan atau bagi penghayat
nyebut istilah “agama yang belum
kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap
diakui” namun jika kita telisik lebih
dilayani dan dicatat dalam database
jauh,
kependudukan.
tidak jelas mengatur apa yang
Undang-Undang
Undang-Undang
dimaksud
dengan
tersebeut
agama
yang
Mengacu pada ketentuan Undang-
belum diakui. Tidak ditemukan, baik
Undang
di dalam batang tubuh maupun
Administrasi
Kependudukan tersebut, meskipun
penjelasannya,
tetap
agama yang diakui atau yang belum
dilayani,
para
penganut
agama atau kepercayaan di luar
diakui.
enam
menyebut
agama
“diakui”,
tidak
mencantumkan kepercayaan
yang
agama sesuai
dianggap dapat
29
elemen
Undang-Undang bahwa
atau
tidak
agama diakui
yang itu
didasarkan
yang
peraturan perundang-undangan.
data
pada
hanya
atau
diyakininya di dalam kolom agama atau
diakui
macam-macam
ketentuan
Persoalannya
adalah,
ketentuan
perundang-undangan yang mana
Sebaliknya, Undang-Undang Dasar
yang dimaksud sebagai mengatur
justru mengatur di pasal 28E (1) dan
pengakuan agama? Satu-satunya
(2) dan Pasal 29 (2)-nya mengenai
perundang-undangan
me-
jaminan bagi setiap orang untuk
yang
nyebut
macam-macam
agama
memeluk agama atau kepercayaan,
adalah
Undang-Undang
Nomor
serta beribadah menurut agama
1/pnps/1965 tentang Pencegahan
atau
Penyalahgunaan
masing.
dan/atau
kepercayaannya Jaminan
kembali
Penodaan Agama. Namun, perlu
ditegaskan
kembali ditegaskan, sebagaimana
Undang-Undang Nomor 39 Tahun
dijelaskan
Mahkamah
1999 tentang Hak Asasi Manusia
Kontitusi, bahwa Undang-Undang
dan Pasal 18 Konvensi Hak Sipil dan
ini tidak membatasi pengakuan
Politik yang telah disahkan menjadi
atau perlindungan hanya terhadap
hukum
enam agama akan tetapi mengakui
domestik.
oleh
di
ini
masing-
dalam Pasal
yang
berlaku
22
secara
semua agama yang dianut oleh rakyat Indonesia. Dengan demikian,
Terlebih, baik Konstitusi maupun
praktek administrasi kependudukan
berbagai instrumen hukum yang
yang
mengatur
hanya
mengakomodasi
tentang
hak
asasi
pengisian kolom agama terhadap
manusia atau peraturan perundang-
enam agama, tidak memiliki dasar
undang
yang sah menurut hukum.
menjamin hak setiap orang untuk
sektoral
lainnya
telah
30
dapat menikmati hak asasinya dan
serta
memperoleh perlakuan yang sama
Konstitusi, beragam agama atau
di muka hukum, pemerintahan,
kepercayaan yang ada di Indonesia
serta
sudah
pelayanan
publik
tanpa
pembedaan
(diskriminasi)
berdasarkan
latar-belakang
Putusan
Mahkamah
semestinya
mendapat
jaminan pengakuan, perlakuan, dan perlindungan yang sama.
identitas apapun termasuk agama. Dari Dengan
melihat
realitas
sosial
masyarakat Indonesia, agama yang hidup dan dianut oleh masyarakat tidak terbatas pada enam agama saja. Agama atau kepercayaan di luar enam agama, seperti Sikh, Bahai,
Sunda
Wiwitan,
serta
beragam agama atau kepercayaan lainnya benar-benar ada dan dianut oleh
masyarakat
Indonesia
meskipun populasinya relatif lebih kecil dari para penganut enam agama. Konstitusi
Dengan dan
merujuk
di
atas
dapat
disimpulkan bahwa pemahaman yang selama ini berkembang di masyarakat administrasi ngenai
praktek
kependudukan
“agama
merupakan mahaman
dan
yang
miskonsepsi hukum
dan
me-
diakui” pepraktek
birokrasi. Dalam hal ini, secara jelas dan tegas menurut hukum yang berlaku, konsepsi ”agama yang diakui” tidak memiliki landasan sosiologis dan yuridis.
pada
peraturan
perundang-undangan yang berlaku 31
uraian
Dengan
demikian,
praktek
administrasi kependudukan yang
hanya mengakomodasi pengakuan
intoleransi atau tindakan-tindakan
terhadap
pelanggaran
enam
merupakan
praktek
diskriminatif dengan
agama
yang
hukum,
saja yang
bertentangan bahkan
dapat
hak
asasi
yang
berangkat
dari
miskonsepsi
pemahaman
ini,
harus
segera
dihapuskan.
Pemerintah
perlu
mendorong tindak intoleransi dan
memperbaiki sistem dan perilaku
berbagai pelanggaran hak asasi
aparat
lainnya atas dasar agama. Oleh
kependudukan dan menegakkan
karena
hukum
itu,
miskonsepsi
di
bidang
untuk
administrasi
melindungi
para
pemahaman tentang “agama yang
penganut agama yang menjadi
diakui”
segera
korban akibat dari miskonsepsi
ditinggalkan. Demikian pula segala
pemahaman tentang “agama yang
tindakan
diakui” ini.
ini
harus
diskriminatif
serta
32
PEMILUKADA DI TENGAH REZIM PEMBANGUNGAN EKONOMI ARIP YOGIAWAN24
24
Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
33
Agenda pembangunan
ekonomi
di Indonesia kian mengkhawatirkan dengan mengedepannya investasi sebagai pilar utama dengan mengabaikan hak-hak rakyat. Sejak berkuasanya Presiden SBY, pemerintah telah merumuskan blue print pembangunan ekonomi Indonesia yang diberi nama Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam dokumen tersebut Indonesia dibagi-bagi menjadi enam koridor ekonomi yaitu koridor Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku-Papua. Setelah Jokowi berkuasa, agenda pembangunan ekonomi dapat dilihat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dalam RPJMN 2015-2019 khususnya di bidang infrastruktur, rencana pembangunan Jokowi tak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Jokowi juga tetap meneruskan proyek MP3EI masa SBY. Presiden Jokowi fokus pada pembangunan ekonomi. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa agenda Konferensi Tingkat Tinggi, misalnya dalam KTT APEC di Beijing, Jokowi mengundang negara-negara dan investor untuk berinvestasi di Indonesia. Begitu pula dalam KTT G 20 di Brisbane dan KTT G 20 di Guangzhou, Presiden Jokowi mengundang para investor untuk berinvestasi di Indonesia25. Pembangunan ekonomi dengan berbagai mega proyek tersebut tak sepenuhnya memberi manfaat kepada rakyat, justru sebaliknya malah menimbulkan kerugian. Misalnya, penolakan masyarakat atas pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang. Masyarakat protes hingga memasung kaki-kaki mereka dengan semen di depan “beranda” istana sang Presiden. Contoh lain adalah penolakan masyarakat terhadap proyek reklamasi di Bali. Reklamasi tak hanya terjadi di Bali, tetapi juga di Jakarta dan Makasar. Sedangkan penolakan masyarakat terhadap 25
Periksa http://www.dw.com/id/pidato-jokowidi-forum-ktt-apec-di-beijing/a18055685.
pembangunan infrastruktur juga terjadi dalam kasus pembangunan PLTU tenaga batu bara di Batang, Indramayu, dan Cirebon. Dalam proyek-proyek pembangunan tersebut, keterlibatan pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas di daerah, terutama dalam mengeluarkan izin menjadi signifikan. Kita dapat melihat peran Ganjar Pranowo dalam pem-bangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng atau peran Basuki Tjahaya Purnama dalam reklamasi Jakarta. Kepala daerah menjadi kunci penting antara lain dalam konteks perizinan dalam pembangunan proyek-proyek pembangunan. Oleh karena itu, posisi Kepala Daerah menjadi rebutan banyak orang. Kepala daerah menjadi posisi yang “basah” karena massifnya pembangunan proyekproyek besar yang menjadi agenda pembangunan ekonomi di Indonesia. Pemilihan Umum Kepala Daerah yang merupakan bagian dari proses demokrasi di Indonesia dikhawatirkan justru kehilangan makna dalam mengimplemen35
tasikan demokrasi substansial. Pilkada memperkuat dugaan akan langgengnya demokrasi prosedural yang pada akhirnya terpisahkan dari substansi demokrasi itu sendiri.
Pemilihan Umum Kepala Daerah Sebelum 2005, Pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tetapi sejak diterbitkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Kepala Daerah langsung dipilih oleh penduduk dalam suatu wilayah administrasi. Awalnya, hal tersebut dinilai sebagai kemajuan demokrasi di Indonesia, karena rakyat dapat memilih langsung kepala daerah. Bahkan dimungkinkan adanya seorang calon kepala daerah dari perseorangan atau lebih dikenal dengan istilah calon independen, yaitu calon kepala daerah yang tidak diusung oleh suatu partai politik atau gabungan partai politik. Hal tersebut juga sering dianggap sebagai “deparpolisasi”, karena seseorang dapat saja mencalonkan diri menjadi kepala daerah tidak
melalui partai politik, padahal partai politik merupakan infrastruktur politik. Dalam praktek, pemenang Pemilukada dari jalur independen masih amat sedikit. Pemilukada tahun 2017 ini dilaksanakan secara serentak di 101 daerah, 76 kabupaten, 18 kota, dan tujuh provinsi yaitu Aceh, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat26. Pilkada DKI Yang Fenomenal Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017 merupakan Pilkada yang paling banyak disorot oleh media baik nasional maupun internasional. Besarnya sorotan media kepada Pilkada DKI seolah menenggelamkan pemberitaan pilkada di daerah-daerah lain. Pilkada DKI Jakarta kali ini diikuti oleh 3 pasangan calon diantaranya adalah Pasangan Agus Harimurti dan Sylviana Murni nomor 1, Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Syaiful 26
Periksa http://pilkada.liputan6.com/read/2436 435/ini-101-daerah-yang-gelar-pilkadaserentak-2017.
Hidayat nomor urut 2 serta Anis Baswedan dan Sandiaga Uno nomor urut 3. Salah satu Calon Gubernur yaitu Basuki Tjahaja Purnama kemudian tersandung dengan persoalan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 156 a KUHP jo pasal 28 ayat (2) UU NO 11 tahun 2008 tentang Transaksi Elektronik. Kasus itu memicu banyaknya aksi penolakan terhadap calon Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Terlebih pasal yang dikenakan adalah pasal penodaan agama, yang mana dalam konteks pe-nyelenggaraan Pilkada menjadi sangat sensitif, terlebih Ahok tidak beragama Islam dan berasal dari etnis Tionghoa. Berbagai gelombang aksi dengan tema “bela islam” digelar menuntut agar Ahok segera dihukum. Dengan jumlah massa jutaan memasuki Jakarta tentu saja menjadi suatu berita yang fenomenal tentang Pilkada DKI. Begitu massifnya aksi tersebut sehingga berdampak terhadap aspek keamanan Ibu Kota menjelang penyelenggaraan Pilkada. Hal lain, karena konten pemberitaan lebih Jakarta sentris, 36
tentu saja penyelenggaraan Pilkada Jakarta Jauh lebih banyak dibahas dan diperhatikan orang dibanding 100 Pilkada lainnya.
Calon Tunggal Melawan Kotak Kosong Dalam penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2017, ada 9 daerah yang hanya memiliki calon tunggal sehingga calon kepala daerah akan melawan kotak kosong. Daerahdaerah yang hanya memiliki calon tunggal dan harus melawan kotak kosong diantaranya adalah Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kabupaten Pati, Kabupaten Landak, Kabupaten Buton, Kabupaten Maluku Tengah, Kota Jayapura, Kabupaten Tanbrauw dan Kota Sorong.27 Sempat tersiar informasi di Kabupaten Pati bahwa pemenang Pilkada adalah kotak kosong, walaupun kemudian KPUD mengumumkan bahwa calon
tunggal yaitu Hariyanto dan Saiful Arifin dinyatakan sebagai pemenang. Suara yang diperoleh oleh pasangan calon sebanyak 519.675 suara, sedangkan kotak kosong mendapat 177.762 suara sehingga total suara sah 697.437, sedangkan DPT Kabupaten Pati mencapai 1.034.256 suara. Dengan demikian, tingkat partisipasi sebesar 68,9%.28 Terlepas di sembilan wilayah ini para pasangan calon menang dari kotak kosong, tetapi hal ini sangat menarik. Angka 177.762 pemilih yang memilih kotak kosong adalah angka yang cukup besar. Dalam kondisi tersebut biasanya orang sepintas menilai bahwa kaderisasi partai tidak berjalan sehingga tidak mampu menimbulkan calon-calon kepala daerah. Terbukti calon kepala daerah hanya satu pasangan saja, tidak ada yang mencalonkan dari jalur perseorangan atau indepeden. Di bawah ini adalah para pengusung 28
27
Periksa https://news.detik.com/berita/342407 6/mereka-yang-berjaya-melawankotak-kosong.
37
Periksa https://kumparan.com/anandawardhiati-teresia/real-count-kpupilkada-pati-dimenangkan-paslonbukan-kolom-kosong.
para calon kepala daerah tunggal tersebut29: 1. Umar Zunaidi Hasibuan dan Oki Doni Siregar, pasangan calon Walikota Tebing Tinggi Sumatera Utara, diusung oleh NasDem, Demokrat, Hanura, Gerindra, PKB, Golkar, PDIP dan PPP; 2. Umar Ahmad dan Fauzi Hasan, pasangan calon Bupati Tulang Bawang Barat Lampung, diusung oleh PKS, Demokrat, PPP, PDIP, Gerindra, Golkar, PAN, PKB, Hanura dan NasDem; 3. Hariyanto dan Syaiful Arifin, pasangan calon Bupati Pati, diusung oleh PDIP, Gerindra, PKS, PKB, Demokrat, Golkar, Hanura, dan PPP; 4. Karolin Margaret Natasa dan Herculanus Heriadi, pasangan calon Bupati Landak, diusung oleh PDIP, Demokrat, PKB, Golkar, Hanura, NasDem, Gerindra, PAN;
29
Periksa https://news.detik.com/berita/342407 6/mereka-yang-berjaya-melawankotak-kosong.
5. Samsul Umar Abdul Samiun dan La Bakry, pasangan calon Bupati Buton, diusung oleh PKB, PKS, NasDem, PAN, Demokrat, Golkar, dan PBB; 6. Tuasikal Abua dan Martlatu Leleuroy, pasangan calon Bupati Maluku Tengah, diusung oleh Partai Gerindra, Golkar, Hanura, Demokrat, NasDem, PAN, PBB, dan PDIP; 7. Benhur Tomi Mano dan Rustan Saru, pasangan calon Walikota Jayapura, diusung oleh partai PKB, Hanura, PAN, NasDem, Golkar, PDIP, dan Gerindra; 8. Gabriel Asem dan Mesak Metusala Yekwan, pasangan calon Bupati Tambrauw, diusung oleh NasDem, PDIP, Golkar, Demokrat, Gerindra, PKS, PKB dan Hanura; 9. Lamberthus Jitmau dan Pahima Iskandar, pasangan calon Walikota Sorong, diusung oleh partai Golkar, Demokrat, PDIP, PAN, NasDem, Gerindra, Hanura, dan PKB. Kesembilan pasangan calon ini ratarata didukung oleh delapan partai pengusung. Partai-partai pengusung 38
yang terlibat di sembilan daerah tersebut hampir semuanya adalah partai besar atau partai terkenal. Selanjutnya, yang menggelitik adalah partai-partai besar ini sudah berada dalam suatu koalisi sehingga kekuatan di parlemen untuk kepala daerah terpilih sangat kuat. Di samping itu juga menggambarkan kekuatan politik satu koalisi. Koalisi tersebut terbangun dengan proses yang tidak singkat karena sudah ada pembagian peran dan sudah terselesaikannya kompromi politik di antara mereka. Pertanyaan berikutnya adalah apa yang akan terjadi setelah terpilih jadi kepala daerah dengan dukungan mayoritas partai-partai besar. Saya menganalisis bahwa antara eksekutif (kepala daerah) dan partai-partai pendukung akan menguasai parlemen. Sehingga ruang untuk menjadi oposisi atau kontrol dalam ruang-ruang formil ketatanegaraan menjadi tertutup. Kaitan antara Pilkada dengan proses pembangunan yang sedang berjalan tersebut amat menarik. Untuk mempertajamnya, kita bisa melihat contoh Pilkada melawan 39
kotak kosong yaitu yang terjadi di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Di Pati tengah terjadi perlawanan masyarakat atas rencana pembangunan pabrik semen PT Sahabat Mulia Sakti. Bupati terpilih di Pati adalah petahana yang didukung oleh 8 partai. Sementara komposisi di DPRD Pati ada 9 partai yang mendapat kursi, di antaranya Nasdem 4 kursi, PKB 6 Kursi, PKS 5 Kursi, PDIP 8 Kursi, Golkar 6 Kursi, Gerindra 8 Kursi, Demokrat 6 kursi, PPP3 Kursi, dan Hanura 4 Kursi. Total keseluruhan ada 50 kursi30. Sementara itu, pengusung Bupati ada 8 partai kecuali NasDem. Suara NasDem sendiri hanya 4 kursi. Artinya 46 kursi di parlemen adalah pengusung Bupati terpilih. Terdapat 8 partai atau setara dengan 46 kursi di Parlemen yang menjadi pendukung dari Bupati terpilih. Maka, kebijakan-kebijakan baik kebijakan politik maupun kebijakan ekonomi Bupati akan berjalan mulus tanpa oposisi dari parlemen. 30
Periksa http://www.patinews.com/daftarjumlah-perolehan-kursi-dprdkabupaten-pati-per-partai/.
Kekerasan dalam Pilkada Selain fakta-fakta di atas, cerita berbeda tersaji di tanah Papua. Setelah rapat pleno KPU Intan Jaya, terjadi kerusuhan di Sugapa, ibu kota Kabupaten Intan Jaya. Tiga orang dikabarkan meninggal. Selain itu, 90 orang mengalami luka-luka dan kantor KPU Intan Jaya mengalami kerusakan. Peristiwa ini merupakan catatan penting tentang penyelenggaraan Pilkada yang masih saja menimbulkan tindak kekerasan dan melahirkan korban 31.
Pemilukada, Demokrasi, Pembangunan Ekonomi
dan
Penyelenggaraan Pemilukada, fenomenalnya pemilihan Gubernur DKI Jakarta, fenomena calon tunggal melawan kotak kosong, dan kerusuhan di Intan Jaya Papua menggambarkan bahwa arus politik, kekuasaan, dan dampak terhadap masalah keamanan masih 31
Periksa https://www.merdeka.com/peristiwa/t iga-tewas-dan-90-luka-saat-rusuhrekapitulasi-pilkada-intan-jaya.html.
menjadi masalah utama di negeri ini. Kepala daerah hendaknya tak hanya menjadi kontestasi antar para calon yang nantinya akan berkuasa. Pilkada semestinya menjadi ajang bagi rakyat untuk menentukan masa depan bangsa ini. Kontestasi di Pilkada semestinya adalah kontestasi tokoh-tokoh yang nantinya akan menjadi pelayan rakyat dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan, pemenuhan hak, dan perwujudan keadilan. Jika para tokoh itu sudah bersikap adil secara procedural maka akan mudah mencapai adil secara substansial. Pilkada menjadi signifikan karena situasi pembangunan ekonomi yang gencar membangun proyek-proyek raksasa. Tentu saja akan berdampak terhadap kehidupan sehari-hari warga. Kepala Daerah yang dipilih dengan sistem demokrasi yang adil, jujur, dan tidak transaksional tentu akan melahirkan Kepala Daerah yang peduli terhadap rakyatnya. Sehingga sederas apapun agenda pembangunan ekonomi, ia akan memikirkan bagaimana pemenuhan hak rakyat, bagaimana rasa 40
keadilan rakyat, dan yang utama berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Jika harapan-harapan di atas dapat diwujudkan maka demokrasi akan
41
menemukan maknanya. demokrasi substansial berpihak kepada rakyat.
Yaitu yang
Perjuangan Warga Pegunungan Kendeng Menjaga Alam dan Melestarikan Lingkungan
MENJAGA IBU BUMI, MERAWAT IBU PERTIWI MUHAMAD ISNUR32
32
Ketua Bidang Advokasi- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)., 2017-
2021.
42
S
ore itu, Jumat 11 Maret 2017 ada
panggilan suara melalui whatsapp call. Kang Gun (panggilan keseharian Gunretno) rupanya. Di ujung telepon dia bersuara “Nur, iki dulur-dulur wis rembukan, Senen sesok (14 Maret 2017) aksi cor kaki yo, Minggu dulurdulur datang nang YLBHI”. Gelagapan dan terkaget mendengarnya, saya balas tanya “mau berapa lama Kang?”, dia menjawab “pokoke sampai KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) selesai, rencanaku seratus orang dicor”. Entah harus menjawab apa lagi kemudian saya hanya mengiyakan dan menyatakan siap membantu. Kabar ini sangat tiba-tiba, tak ada rapat persiapan dan perencanaan sama sekali sebelumnya. Saya hanya melihat Jumat siang Kang Gun membagikan foto ada semacam kumpul keluarga, ada Muhnur dan Sobirin (dua orang pegiat Kendeng) disana. Saya langsung kontak Muhnur, ia tak bisa menjelaskan apaapa, ia meminta agar tanya Sobirin. Ketika ditanya Sobirin hanya menjawab “Yo wis ayo siapkan”. Walau ini adalah aksi cor kaki dengan semen yang kedua, tetap saja sangat mengagetkan bagi saya. Terlebih para pegiat kendeng dan pendamping yang
biasanya mendampingi dan berpengalaman pada saat aksi cor pertama sedang pada berangkat ke Kongres Aiansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Medan. Aksi yang direncanakan Senin (14 Maret 2017) siang itu hingga Senin pagi sama sekali belum siap pendukung apapun, perangkat cor (semen, pasir dan batu split), perangkat kesehatan (gypsona, perban, dan Dokter), perangkat transportasi, menghubungi media dan lain-lain belum dilakukan. Dulur-dulur kendeng datang hanya bermodal badan, beberapa potong baju, dan kotak-kotak balok kayu untuk mengecor kaki. Untuk mempersiapkan banyak kebutuhan itu kemudian diantara para pegiat/pendamping yang ikut rapat saling bertanya siapa yang punya uang, agar bisa dipakai dulu untuk membeli semua keperluan. Aksi “Dipasung Semen Jilid 2” yang dimulai 14 Maret 2017 sampai 20 Maret 2017 adalah aksi yang cukup berbahaya, membutuhkan energi yang sangat besar, membutuhkan kerjasama, bantuan, serta melibatkan sangat banyak aktor di lapangan. Aksi ini dilakukan tanpa persiapan panjang, tanpa intervensi dari LSM dan pendamping lainnya. Walau belum tau bagaimana kebutuhan diatas mereka
langsung bergerak, datang ke YLBHI dan memutuskan aksi. Keputusan seperti ini pun kerap dan biasa dalam aksi-aksi lain seperti Cor Kaki Jilid 1, Aksi Pukul Lesung Depan Istana 1 dan 2, dan aksi-aksi lainnya. Keputusan sepenuhnya di tangan warga. Para pendamping kemudian memberi masukan dan membantu segala hal yang diperlukan. Walaupun ada dinamika, masukan dan pandangan dari pendamping, tapi secara umum ide-ide selalu datang dari warga. Jika biasanya dalam kasus-kasus lain warga diorganisir oleh pendamping, dalam kasus kendeng justru pendamping yang diorganisir oleh warga.
Pendahuluan Pegunungan Kendeng Utara (atau yang dikenal sebagai Zona Rembang menurut van Bemmelen 1949) membentang dari Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Rembang, dan Kabupaten Blora di Jawa Tengah; hingga ke Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten
Lamongan di Jawa Timur33. Sebagai kawasan bentang alam karst, kawasan ini berlimpah sumber daya air dan dikenal sebagai kawasan imbuhan, resapan, dan penyimpanan air. Kawasan ini juga merupakan sumber pembelajaran akademik dan wisata. Tetapi selain itu kawasan ini juga kaya akan batu gamping dan tanah liat yang merupakan bahan baku utama semen. Potensi inilah yang menjadi incaran banyak perusahaan semen untuk mengeksploitasi dan menambang. Sejak 2007 hingga kini, warga Pegunungan Kendeng Utara terus konsisten menolak pembangunan pabrik semen dan penambangan. Penambangan tersebut akan merusak ekosistem karst dan 33
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan Tahap I (Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih & Sekitarnya, Kabupaten Rembang), Tim Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017.
44
berdampak luar biasa bagi ruang hidup, alam dan pertanian. Penolakan terus berkembang lintas wilayah yang melibatkan warga di lima kabupaten (Pati, Rembang, Blora, Grobogan, dan Kudus) dan lintas komunitas, dimana banyak aktor lintas isu dan sektor seperti guru besar, seniman, aktivis, akademisi, dan organisasiorganisasi non pemerintah. Di tengah gempuran kepentingan korporat/pemodal dan juga aparat pemerintah di berbagai wilayah dan sektor seperti tambang, perkebunan, dan properti yang mengancam ruang-ruang hidup warga di berbagai penjuru nusantara, perjuangan warga Pegunungan Kendeng Utara dengan konsistensi dan ketahanan dalam berjuang menjadi oase di tengah padang tandus beratnya ancaman dan tumpulnya advokasi. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam sebuah wawancara mengatakan: “Pabrik (semen) itu banyak, Holcim di Nusa Kambangan, silakan di-browsing, 45
apakah ada penolakan atau tidak? Kedua, ada semen Bima di Ajibarang, sudah jalan, silakan dibrowsing, ada enggak penolakan? Sekarang ada kurang lebih 12 yang masuk….” “Aneh saja, emang ada orang demo di Cibinong?” Ketika ditanya anda tahu perumahan di Cibinong itu mengeluh soal kualitas air? “Whatever lah, saya sudah tidak peduli aja. Itu ada fakta kamu demo atau enggak. Kenapa di sini, kenapa tidak di situ?”34. Maka menjadi menarik untuk diangkat mengapa perlawanan begitu kuat dari Kendeng. Pembangunan semen sangat banyak di mana-mana, tetapi perlawanan di Kendeng begitu hebat dan memiliki ketahanan yang baik. Jaringan Advokasi Tambang mencatat Pulau Jawa memiliki luasan karst paling kecil, yaitu 1.124 hektar dari 15,4 ribu hektar dari wilayah karst di Indonesia. Artinya, jika merujuk pada luasan kawasan 34
Wawancara dengan jurnalis tirto.id, 4 Januari 2017, lihat di https://tirto.id/kalaumau-tutup-tutup-saja-pabrik-semenindonesia-cefw.
karst, selama ini Pulau Jawa telah mendapatkan beban sangat berat karena populasi terbesar tinggal di pulau Jawa. Saat ini sudah ada 21 pabrik semen berskala besar beroperasi di Jawa. Jumlah izin tambang di pulau Jawa kini mencapai 1.131 izin pertambangan yang berarti Bertambahnya tambang gamping dan pabrik semen akan memperburuk kualitas lingkungan di Pulau Jawa35. Pembangunan Pabrik Semen dan Perlawanan Warga Kasus bermula di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah pada tahun 2007 ketika ada desas-desus calo-calo tanah berusaha membeli tanah dengan murah kepada warga. Ternyata, kejadian ini merupakan rencana pembangunan pabrik semen PT Semen Gresik. Masyarakat dan para aktivis kemudian bergerak. Di tengah berbagai tekanan, stereotype, bahkan kriminalisasi, 35
Lihat https://www.jatam.org/2017/04/03/kende ng-ora-didol-izin-tidak-untuk-diobral/.
warga bersama beberapa pegiat lingkungan hidup melakukan advokasi, konsolidasi dan mobilisasi. Diwakili kuasa hukumnya LBH Semarang, gugatan pembatalan Izin Eksplorasi diajukan oleh WALHI yang memiliki legal standing mengajukan gugatan lingkungan hidup. PTUN Semarang kemudian membatalkan Izin Eksplorasi PT Semen Gresik tersebut, dan setelah melalui banding, dan kasasi, putusan ini berkekuatan hukum tetap melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 103/K/TUN/2010. Upaya dan putusan ini berhasil membuat PT. Semen Gresik Tbk (Persero) hengkang dan menyatakan berhenti dari rencana pembangunan pabrik semen pada 2009 dan kemudian pindah ke Tuban. Dari Tuban, PT Semen Gresik pindah ke Rembang pada 2012 dan berganti nama menjadi PT Semen Indonesia.
Pada 2014, Bupati Pati mengeluarkan kembali izin lingkungan kepada PT Sahabat 46
Mulia Sakti, anak perusahaan Indocement. Warga kembali bergerak. Mereka menolak keberadaan Surat Keputusan Bupati tersebut dan menggugatnya ke PTUN Semarang. Gugatan ini menang di PTUN Semarang, tetapi kalah pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Meski demikian, pembangunan pabrik belum dimulai. Akan halnya kasus PT Semen Indonesia di Rembang, setelah dikalahkan di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jawa Tengah, warga bersama WALHI sebagai penggugat serta kuasa hukum dari LBH Semarang dan para advokat yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Peduli Lingkungan berhasil memenangkan gugatan di Mahkamah Agung melalui upaya Peninjauan Kembali (PK) pada 2016. Izin lingkungan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia dibatalkan. Dengan 47
aksi-aksi
yang
‘mengagetkan’ dan kreatif seperti memukul lesung, jalan kaki sejauh 150 km lebih, dan mengecor kaki di depan Istana Negara, Presiden Joko Widodo pun menemui warga. Pertemuan dengan Presiden menyepakati penundaan segala jenis pembangunan dan izin-izin tambang di Pegunungan Kendeng. Presiden kemudian memerintahkan Kantor Staf Presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di Wilayah Pegunungan Kendeng dengan melibatkan para pakar. KLHS tahap 1 untuk wilayah Rembang pun selesai. KLHS ini menyimpulkan dan merekomendasikan bahwa wilayah Cekungan Air Tanah Watuputih dimana ada sekitar 23 perusahaan yang mendapat konsesi tambang termasuk PT Semen Indonesia di Rembang adalah Kawasan Bentangan Alam Karst (KBAK) dan Kawasan Lindung yang tidak boleh ditambang. Meski rekomendasi KLHS melarang
penambangan, kenyataan di lapangan sebaliknya. Berdasarkan keterangan warga yang menyaksikan langsung, bukti-bukti fisik dan foto, PT Semen Indonesia Tbk (Persero) memulai mengebom kawasan CAT Watuputih untuk membuat akses conveyor belt dan memulai produksi semen. Ketidakpatuhan PT Semen Indonesia ini belum mendapatkan tindakan apapun dari pemerintah.
perjuangan petani dan sedulurdulur Kendeng dengan judul “Samin Vs Semen”. Penolakan pembangunan pabrik semen dipelopori dan dipimpin oleh Sedulur Sikep38 atau Masyarakat Samin39. Ali Nursahid, seorang pegiat lingkungan dari Pati menjelaskan bahwa lapisan gerakan Kendeng Lestari terdiri dari Wong Sikep/Samin, petani, akademisi, budayawan, seniman, aktivis LSM, 38
Prinsip, Nilai, dan Sejarah Perlawanan Sedulur Sikep Penulis36 memiliki kesamaan pandangan dengan Watchdoc37 ketika membuat film tentang 36
Diskusi bersama dengan Ali Nursyahid, Sobirin, dan Dhyta Caturani dalam yang sudah bertahun-tahun mendampingi Warga Kendeng, dalam Tour #AkuKendeng, 11 – 14 Mei 2017. 37
Rumah produksi audio visual yang berdiri sejak 2009, lebih lengkap lihat http://watchdoc.co.id.
Komunitas Sedulur Sikep, barangkali merupakan masyarakat petani yang paling banyak diteliti dalam sejarah Indonesia modern. Sejak zaman kolonial Belanda, dengan diawali oleh laporan Residen Tuban J. E. Jasper, banyak peneliti baik dari Indonesia maupun luar negeri telah menulis puluhan artikel, makalah, buku dan laporan riset untuk membahas komunitas masyarakat ini. Lihat Amrih Widodo, “Untuk Hidup Tradisi Harus Mati”, dalam Majalah Basis, edisi September-Oktober tahun 2000. Yogyakarta: Yayasan B.P Basis. 2000, hal. 16. 39
Disebut Masyarakat Samin karena komunitas ini pertama kali didirikan oleh Samin Surasentiko (1859-1914) di desa Klopodhuwur, Randublatung, Blora, Jawa Tengah pada pertengahan tahun 1890-an. RPA. Soerjanto Sastroatmodjo, Masyarakat Samin: Siapakah Mereka?, Yogyakarta, Narasi, 2003. hlm. 59.
48
jurnalis, dan aktor pemerintah yang berpihak. Seluruh pengambilan keputusan ada di tangan Sedulur Sikep. Sesepuh Sedulur Sikep seperti Mbah Tarno40 atau tokohtokoh muda sedulur sikep seperti Gunretno41, Gunarti, Sapari dan lainnya merupakan aktor sentral dalam advokasi penolakan semen. Advokasi ini diwadahi dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Ada juga Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Simbar Wareh yang mengkonsolidasikan gerakan perempuan sehingga dapat “tampil” dan menjadi duta advokasi Kendeng. Kepeloporan Sedulur Sikep dalam penolakan pabrik semen tak lepas dari prinsip keyakinan/ajaran, sejarah perlawanan, dan nilai-nilai yang tertanam secara intrinsik 40
Tokoh kharismatik Sedulur Sikep asal Dusun Kalioso, Desa Karangrowo, Undakan, Kudus yang kemudian bermukim di Dusun Ngawen, Sukolilo. Meninggal di usia seratus tahun lebih pada 4 Juni 2009. 41
Sebelum terbentuk JMPPK, Gunretno juga memimpin Serikat Petani Pati.
49
dalam keseharian mereka. Penolakan kaum Samin atau Sedulur Sikep terhadap rencana eksplorasi dan eksploitasi semen di kawasan Pegunungan Kendeng merupakan salah satu ekspresi dari sikap hidupnya untuk menghargai keseimbangan alam. Pegunungan Kendeng yang membujur dari Pati sampai Blora menyimpan jutaan kubik karst berfungsi untuk menyimpan air, resapan air hujan dan rumah bagi flora fauna. Mereka bisa melihat dan merasakan langsung, perusakan oleh tambang liar di beberapa titik kawasan pegunungan Kendeng menyebabkan banjir bandang di Sukolilo dan Kayen, Pati, pada 3 Desember 201142. Salah satu keyakinan pandangan hidup mereka adalah pekerjaan mengolah tanah atau menjadi petani merupakan satu-satunya 42
Munawir Aziz , Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama, Dan Adat Dalam Pro-Kontra Pembangunan Pabrik Semen Di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, Jurnal Kawistara, Volume 2 no. 3, 22 Desember 2012 hal. 225-328.
pekerjaan yang demunung (jelas perkaranya atau asal-usulnya). Keyakinan ini bersumber dari ajaran keharusan menjalankan perilaku dengan jujur, lugu, dan murni. Perilaku jujur, lugu, dan murni ini juga harus dipraktekkan dalam hal usaha memenuhi kebutuhan sandang dan pangan yang mereka sebut sebagai tata nggauto (tata cara mencari nafkah). Keyakinan bahwa hasil kerja keras untuk memenuhi sandang dan pangan haruslah berasal dari sesuatu yang demunung. Dalam kaitan dengan konsep demunung inilah pekerjaan mengolah tanah atau menjadi petani merupakan satu-satunya pekerjaan yang demunung bagi mereka43. Menjadi petani dengan cara-cara yang alami dan organik serta sangat mengandalkan air yang mengalir dari mata air karst adalah
tradisi mereka. Maka lingkungan yang lestari, air melimpah yang selama ini dialiri dari mata air-mata air yang keluar dari perbukitan karst menjadi prasyarat utama dalam tata kehidupan mereka. Perjuangan melestarikan lingkungan merupakan prinsip dasar yang harus dilakukan, karena adanya pabrik semen dan penambangan akan merusak lingkungan, ekosistem dan tradisi pertanian mereka.
43
Addi Mawahibun Idhom, Resistensi Komunitas Sedulur Sikep Terhadap Rencana Pembangunan Tambang Semen Di Pegunungan Kendeng, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah , Skripsi Pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta , 2009, hal. 89.
50
Landasan dan nilai yang sangat menghargai Bumi sebagai Ibu nampak dalam tembang yang senantiasa mereka lantunkan: ”Ibu Bumi Wis Maringi, Ibu Bumi Dilarani, Ibu Bumi Kang Ngadili”
(Ibu Bumi telah memberi, Ibu Bumi disakiti, Ibu Bumi yang akan mengadili)
51
bersama tembang mocopat seperti Pangkur, lagu, atau syair lainnya yang senantiasa mengiringi warga Pegunungan Kendeng ketika mengecor kaki di depan Istana Negara. Demikian juga tembangtembang tersebut dibawakan saat berjalan ratusan kilometer dari Rembang dan Pati menuju Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang atau Kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang, saat aksi menabuh lesung, dan ratusan aksi lainnya. Tembang-tembang yang penuh kedalaman rasa, penghayatan jiwa, keluasan pikiran, kekuatan batin dan kekayaan pengalaman demi menjaga bumi yang merupakan ibu yang memberi, mengasuh, membesarkan, terus melimpahkan segala hal dengan anugerahnya.
Aspek Transendental Selain prinsip di atas, hal lain yang mempengaruhi perlawanan Sedulur Sikep adalah aspek transendental. Sedulur Sikep dan masyarakat lokal lainnya di Pati memiliki keterkaitan
kultural dengan Pegunungan Kendeng. Hal ini ditandai dengan simbol-simbol yang terdapat pada situs-situs di sekitar Pegunungan Kendeng seperti Situs Watu Payung. Situs ini merupakan simbolisasi dari sejarah pewayangan Dewi Kunti. Beberapa narasi pewayangan Dewi Kunti juga terartikulasikan dalam beberapa relief alam yang terdapat di Pegunungan Kendeng 44.
Warisan Perlawanan dan Spirit Perjuangan Politik identitas dan perlawanan kaum Samin pada masa kini juga dipengaruhi oleh warisan ingatan dan spirit perjuangan melawan rezim penjajah dan perlawanan 44
Diskusi dengan Sobirin di bawah Situs Watu Payung 11 Mei 2017. Sobirin adalah Direktur Yayasan Desantara, yang juga merupakan pendamping Masyarakat Pegunungan Kendeng. Hal ini juga diakui oleh Subarkah dan Anggit Wicaksono (Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus) dalam Perlawanan Masyarakat Samin (Sedulur Sikep) Atas Kebijakan Pembangunan Semen Gresik Di Sukolilo Pati (Studi Kebijakan Berbasis Lingkungan Dan Kearifan Lokal).
52
komunitas pada masa Orde Baru45. Pada masa kolonialisme, Samin Surosentiko mengajak warganya untuk menolak menyumbang untuk lumbung desa yang dikelola pemerintah kolonial, menolak menggembala ternak bersamasama, dan menolak membayar pajak46. Amrih Widodo, seorang peneliti Samin menjelaskan kemunculan ajaran dan gerakan saminisme itu dipicu salah satunya adalah kebijakan pemerintah Belanda menjadikan hutan sebagai perusahaan negara (houtvesterijen) yang menyebabkan petani di sekitar hutan tidak lagi memiliki akses untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan mereka. 47 Pada 45
Munawir Aziz, op.cit hal. 253.
46
Harri J. Benda-Lance Castles dalam King, V.T., 1973, Some Observations on the Samin Movement of the North-Central Java. BKI. Deel 129, 4e avlevering, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. 47
Amrih Widodo, “Samin In The New Order: The Politic of Encounter and Isolation”, dalam Jim Schiller dan Barbara Martin Schiller (eds.), Imagining Indonesia, Cultural Politics and Political Culture (Ohio University Press, 1997), hal. 268.
53
masa Orde Baru (1966-1998), kaum Samin dianggap sebagai antipembangunan, yang tak mau menerima bantuan dari pemerintah, serta tak dapat disentuh dalam proyek islamisasi maupun penginjilan. Kaum Samin juga menolak perangkat agama dan pemerintahan masuk dalam batas hidup komunitasnya48.
Dukungan, Kekompakan, Strategi Komunikasi
dan
Ketika saya bertanya kepada para pegiat Kendeng seperti Sobirin, Ali, Dhyta, juga beberapa pendamping mengapa mereka begitu setia dan konsisten terus mendampingi warga Kendeng, mereka menjawab. Pertama, kesetiaan warga akan nilai dan prinsip-prinsip terhadap lingkungan dan kehidupan di atas. Kedua, adanya konsep brotherhood dan sisterhood. Seluruh warga dan pendamping dianggap sebagai saudara, sedulur. Hal inilah yang kemudian sangat berdampak pada 48
Munawir Aziz, ibid.
hubungan antar aktor; bukan sekedar pendamping, akademisi yang melakukan riset, atau LSM yang melakukan advokasi, tetapi lebih dari itu menjadi hubungan persaudaraan, menjadi keluarga. Maka hingga hari ini, ratusan orang terus terlibat dan dengan senang hati terus berpartisipasi dalam advokasi serta agenda-agenda kultural yang di dalamnya dinyalakan api dan semangat perjuangan, seperti Kupatan Kendeng, Halal Bihalal, Brokohan dan lain-lain bersama dulur-dulur Kendeng. Ketiga, bagi dulur-dulur, kekompakan dan kerukunan selalu menjadi nilai-nilai yang mereka anggap harus tetap dijaga dan dipelihara. Dalam keseharian, mereka selalu menyebut teman atau tetangga dengan sebutan dulur (saudara). Meskipun yang disebut itu bukan termasuk komunitas Sedulur Sikep, asal mereka pandang tidak melukai dan membahayakan diri mereka masing-masing, mereka memanggilnya dulur. Menurut
Amrih Widodo, jika dipandang dari kacamata filsafat politik yang dianut komunitas Sedulur Sikep, konsep perwakilan ditolak karena cenderung mereduksi otonomi individu dan mensubordinasikan individu di bawah kelompok49. Oleh sebab itulah, kekompakan komunitas ini selalu tampak mengemuka dengan jelas. Hal ini karena pada tingkat komunitas, keputusan-keputusan bersama yang mengatasnamakan Sedulur Sikep selalu dihasilkan dari rapat-rapat yang melibatkan semua individu dalam komunitas Sedulur Sikep. Dalam rapat-rapat itu, semua suara anggota komunitas Sedulur Sikep ditampung dan dipertimbangkan. Maka, tak ada upaya membuat organisasi resmi, tak ada pemimpin yang ditunjuk, atau pucuk organisasi. Semua anggota bisa mewakili dan mengatasnamakan JMPPK. Keempat, adanya keluwesan dalam berkomunikasi. Pada aksi cor kaki 49
Amrih Widodo “Samin In The New Order: The Politic of Encounter and Isolation”, hal. 279.
54
jilid 1 tahun 2016, Yu Giyem, perempuan Kendeng yang dicor kakinya turut berorasi. Bagi Dhyta Caturani, orasi Yu Giyem sangat dahsyat. Yu Giyem membuka orasinya dengan memulai komunikasi dengan polisi: "Sudah sarapan? Sarapan apa? Nasi, Nasi dari mana?” Yu Giyem mengaitkan Kendeng dengan petani, air, dan kelestarian alam. Dhyta melihat Yu Giyem sangat menguasai teknik ruang dan momentum dalam berorasi. Walau seorang petani, Yu Giyem sangat bagus dalam berorasi. Keluwesan dan kemahiran berkomunikasi ini juga penulis lihat dalam berbagai kesempatan bersama dulur-dulur Kendeng. Kelihaian mereka sangat terlihat ketika menggunakan metaforametafora dan kesederhanaan dalam menjelaskan atau berargumen. Keluwesan juga terlihat mereka bertemu dengan semua lapisan dan aktor, ini diperkuar prinsip ‘dulur’ bagi semua dan kelihaian mereka dalam berkomunikasi. Kecanggihan anggota komunitas dalam berbahasa serta kekayaan 55
pemahaman metaforik menyebabkan komunitas ini disegani oleh masyarakat sekitar. Kebanyakan dari mereka mengakui bahwa nalar yang dimiliki oleh “wong samin” tidaklah rendah. Hal itu tercermin dari cara mereka membahasakan maksud ucapannya. Konsistensi anggota Sedulur Sikep untuk menjalankan ajaran leluhurnya menunjukkan keberhasilan pendidikan keluarga yang dijalankan pada generasi muda. Di samping itu, tingginya intensitas jejagongan (berkumpul) yang dilakukan generasi tua dan muda di sejumlah rumah tokoh Sedulur Sikep pada malam-malam tertentu menyebabkan transformasi ajaran sikep tak pernah putus oleh waktu50. Bagi penulis, nilai-nilai hidup yang dihayati Sedulur Sikep membuat mereka teguh melawan berbagai kekuatan yang ingin merusak alam dan menjadi pelopor bagi petani serta jaringan masyarakat lainnya dalam melawan. Perlawanan 50
Addi Mawahibun Idhom, op.cit, hal. 100.
Sedulur Sikep dan Petani serta warga Kendeng lainnya menjadi pembelajaran penting bagi komunitas-komunitas lain yang
tengah berjuang mempertahankan ruang hidup dan ketidakadilan sosial.
56
KRIMINALISASI MASYARAKAT ADAT: ANCAMAN DAN USULAN KEBIJAKAN51 SITI RAKHMA MARY HERWATI52
51
Pada mulanya naskah ini merupakan makalah yang disampaikan pada Sarasehan “Mencari Format Pembelaan dan Pendampingan Hukum untuk Masyarakat Adat”, yang diselenggarakan dalam rangka Kongres Ke-5 Masyarakat Adat Nusantara (KMAN V), Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampung Tanjung Gusta, Medan dan Deli Serdang – Sumatera Utara, 15 Maret 2017. 52 Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
57
Pendahuluan
Masyarakat-masyarakat adat di Indonesia dapat digolongkan sebagai indigenous peoples sebagaimana dimaksudkan secara khusus dalam Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang diresmikan pada tahun 2007. Selain terkandung secara khusus dalam Declaration on the Rights of Indigenous Peoples itu, hak masyarakat adat juga terkandung dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Sedangkan hak atas tanah merupakan isu yang juga tersebar di beberapa isu yang lain seperti masyarakat adat, hak atas perumahan, dan perempuan. Dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, hak atas tanah disetarakan dengan istilah right to property. Bagi masyarakat adat, hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah hak yang memberikan eksistensi bagi masyarakat adat dalam rangka memperoleh harkat dan martabatnya. Hak ekosob mencakup beberapa hal: pertama, mencakup berbagai masalah utama
yang dialami masyarakat adat sehari-hari menyangkut kebutuhan dasar dan kelangsungan hidup komunitas. Kedua, hak ekosob tak dapat dipisahkan dengan hak asasi manusia lainnya. Ketiga, hak ekosob mengubah kebutuhan-kebutuhan masyarakat adat menjadi hak yang harus dipenuhi. Hak ekosob yang paling esensial bagi masyarakat adat adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self determination) dan hak atas tanah dan sumber daya alam (right to land and natural resources). Kedua hak ini penting karena tergolong sebagai hak-hak kolektif yang menjadi dasar/landasan perjuangan masyarakat adat. Hak kolektif itu terkait dengan tiga hal berikut ini: kepentingan untuk mempertahankan identitas budaya dan bahasa dari suatu komunitas tertentu, kepentingan untuk mendapatkan perlindungan atas hak atas tanah dan sumber daya alam, dan penentuan nasib sendiri yang bersifat politis dan hukum (Saleh, 2007).
Hak-hak tersebut terkandung dalam bagian pertama pasal 1 ayat 1 Kovenan Ekosob: “Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri atas kekuatan itu, mereka dengan bebas menentukan status politiknya dan bebas mengejar perkembangan ekosob mereka sendiri” Sedangkan hak atas sumber daya alam terdapat dalam bagian I pasal 2 ayat 2: “Semua bangsa dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumberdaya mereka sendiri, tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul dari kerjasama ekonomi internasional. Tidak dapat dibenarkan suatu bangsa merampas upaya penghidupan rakyatnya sendiri”. Kedua hak kolektif tersebut terdapat dikuatkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 1803 (XVII) 1962 yang menyatakan bahwa kedaulatan permanen atas sumber daya alam merupakan konsekuensi logis dari hak penentuan nasib sendiri.
59
Hak-hak masyarakat adat dalam kebijakan nasional dimuat dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, dan UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia pasal 28 I ayat 3 yang berbunyi: “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Selain itu, perlindungan terhadap masyarakat adat juga terdapat dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya pasal 6 ayat 1 dan 2. Pasal 6 ayat 1 berbunyi:”Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Sementara ayat 2 menyebutkan:”Identitas budaya
masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.” Selama Indonesia di masa Orde Baru berkuasa (1966-1998), masyarakat adat tidak diakui keberadaannya apalagi hak-haknya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru mengabaikan hak-hak masyarakat adat atas wilayah dan sumber daya alamnya. Beberapa kebijakan Orde Baru tersebut diantaranya: UU No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan, UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan UU No.11/1967 tentang Pertambangan. Pada masa ini, pemerintah juga meneruskan klaim kolonial Hindia Belanda terhadap penguasaan hutan melalui kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Pada masa ini juga dikeluarkan Inpres No. 1/1976 dan Undang‐undang No. 5/1979 tentang Desa yang bisa dibaca sebagai niat Orde Baru untuk menghilangkan hak ulayat masyarakat adat. Inpres No. 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang
Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi, dan Pekerjaan Umum. Pada bagian VI tentang Pelaksanaan Status Hak Tanah, khususnya di angka 3 dan 4 menyebutkan bahwa: “Dalam hal sebidang tanah yang dimaksud pada ad.ii terdapat tanah yang dikuasai penduduk atau masyarakat hukum adat dengan sesuatu hak yang sah, maka hak itu dibebaskan terlebih dahulu oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak tersebut untuk kemudian dimohonkan haknya, dengan mengikuti tatacara yang ditetapkan dalam peraturan perundang‐undangan agraria yang berlaku.” Sedangkan angka 4 menyebutkan: “Dalam hal pengusahaan areal Hak Pengusahaan Hutan memerlukan penetapan area sehingga mengakibatkan penduduk dan atau masyarakat hutan setempat tidak melaksanakan hak adanya, maka Pemegang Hak Pengusahaan Hutan harus memberikan ganti rugi kepada penduduk dan atau masyarakat hukum tersebut.” (sebagaimana termuat dalam 60
Rachman, dkk, 2012). Substansi Inpres ini segaris dengan paradigma pembangunan Orde Baru yang berkeinginan mewujudkan pertumbuhan ekonomi sebesarbesarnya dengan dengan memberi kemudahan kepada para perusahaan-perusahaan ekstraksi mendapatkan tanah untuk usahanya. Salah satunya dengan memfasilitasi proses pelepasan tanah-tanah ulayat secara mudah. Sedangkan UU No. 5/1979 tentang Desa mengubah desa yang beragam menjadi seragam dan mengubah masyarakat tradisional atau masyarakat adat menjadi modern. Hal ini telah melemahkan, menghilangkan, bahkan menghancurkan struktur dan susunan asli masyarakat adat dan hak ulayatnya. Proses-proses politik dan pengambilan keputusan tidak lahir dari desa tetapi dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini mengakibatkan desa kehilangan otonominya (Rachman, dkk, 2012). Pada tahun 1999, keluar kebijakan pemerintah yaitu Permenag No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat 61
Masyarakat Hukum Adat. Tetapi peraturan ini mengandung beberapa substansi yang justru merugikan masyarakat adat. Permenag ini terbit karena desakan dari satu tekanan besar kelompokkelompok masyarakat hukum adat di berbagai tempat yang menuntut pemerintah mengakui keberadaannya, termasuk hakhaknya atas tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelolanya. Tetapi, peraturan ini memiliki banyak kelemahan, salah satunya karena peraturan ini tidak bisa diterapkan di atas tanah-tanah ulayat yang sudah dimiliki perorangan atau badan hukum. Padahal justru perampasan tanah ulayat banyak dilakukan badan hukum maupun perorangan. Pada masa Reformasi, meski terdapat Undang-undang yang mengakui keberadaan masyarakat adat yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, beberapa kebijakan pemerintah masa Reformasi masih tetap menegasikan hak-hak masyarakat adat. Beberapa UU di bidang
sumber daya alam terkait adalah: UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18/2004 tentang Perkebunan. Pasal-pasal pidana dalam perundang-undangan tersebut telah berhasil memenjarakan mencerabut hakhak masyarakat adat atas tanahnya dan bahkan memenjarakan mereka. Sebagai contoh, kriminalisasi terhadap masyarakat adat Desa Silat Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat karena memberlakukan hukum adat berupa denda kepada perusahaan yang menggusur lahan masyarakat. Beberapa upaya masyarakat adat melalui AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan masyarakat sipil/NGOs untuk meninjau kembali keberadaan pasal-pasal tersebut telah berhasil. MK telah membatalkan pasal 21 dan pasal 47 ayat 1 dan 2 UU No.18/2004 tentang Perkebunan melalui Judicial Review yang dilakukan PiLNet. Sedangkan AMAN telah berhasil membuat gebrakan monumental dengan dibatalkannya pasal 1 angka 6 UU Kehutanan melalui judicial review yang dilakukan pada tahun
2012. Putusan MK telah mengkoreksi rumusan Pasal 1 angka 6 sehingga berubah menjadi: “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Pada Oktober 2015, beberapa NGO yaitu Sawit Watch, SPKS, SPI, API, FIELD, Bina Desa, dan IHCS mengajukan judicial review terhadap UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. MK kemudian memutuskan permohonan dikabulkan sebagian terkait pasal 27 ayat 3, pasal 29, pasal 30 ayat 1, pasal 42, pasal 55, dan pasal 107. Tetapi, apakah dengan dibatalkannya pasal-pasal kriminalisasi dalam UU Perkebunan tersebut mengakibatkan dihentikannya kriminalisasi? Ternyata tidak. Data AMAN menyebutkan 125 masyarakat adat di 10 wilayah menjadi korban kriminalisasi di kawasan hutan. Mereka tersebar di Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, 62
Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Masyarakat dikenakan pasalpasal pidana dalam UU No. 41/1999 dan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). UU P3H sudah bermasalah sejak awal pembuatannya. Koalisi Masyarakat anti Mafia Hutan sudah sejak awal menolak keberadaan UU ini karena selain pembahasannya secara diamdiam, juga mengandung salah kaprah secara teori hukum pidana. Undang-undang ini dirumuskan dengan ceroboh sehingga memberi ruang terjadinya over kriminalisasi, yakni dipidananya orang yang seharusnya dilindungi hukum. Selain itu, UU ini juga tidak memiliki konsep terhadap kejahatan seperti apa yang hendak dicegah, dan tidak mempunyai arah untuk mengatur mengenai hak-hak apa saja dan siapa-siapa yang hendak dilindungi (Nagara, 2014). Di luar kasus-kasus kehutanan, terdapat kriminalisasi masyarakat di sektor lain seperti perkebunan dan pertambangan. Di luar perampasan lahan melalui pemberian izin oleh Menteri Kehutanan, Badan 63
Pertanahan Nasional atau Bupati/Gubernur, modus perampasan lahan yang digunakan adalah, jika PTPN, menambah luasan atau memperluas lahan perkebunan dari luas yang tertera di sertifikat HGU. Jika kawasan hutan, dengan memasukkan wilayah kelola masyarakat adat ke dalam hutan negara. Sedangkan tindak pidana yang kerap ditujukan pada masyarakat adalah: memasuki tanah PTPN tanpa izin, pengrusakan, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin, penganiayaan, melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dan menguasai tanah tanpa izin. Selain itu, dalam beberapa kasus yang spesifik, masyarakat dituduh merintangi kemerdekaan orang dari bergerak di jalan umum, pengancaman, melakukan perbuatan tidak menyenangkan, dan menghentikan aktivitas alat berat. Sementara itu jika berkaitan dengan perlawanan dengan senjata tajam, masih juga digunakan Pasal 2 UU Drt No.12/1951 tentang kepemilikan senjata tajam.
Pasal-pasal lain yang digunakan untuk mengkriminalkan masyarakat adat adalah pasal pencurian (363 (1), jo pasal 64 (1) KUHP). Hal ini terjadi pada 9 orang masyarakat adat Kalteng yang dituduh menyadap karet PT SIL. Beberapa pasal UU 41/1999 yang kerap digunakan untuk mengkriminalkan masyarakat adat adalah: membawa, menyimpan, mengangkut hasil hutan tanpa disertai dokumen lengkap, dan merambah hutan. Sementara itu berkaitan dengan UU P3H, pasal-pasal yang kerap dikenakan pada masyarakat adalah: pasal 82 ayat (1) huruf c, pasal 12 huruf c, pasal 94 ayat 1 huruf a dan b. Dalam kasus-kasus pidana tersebut, vonis yang dijatuhkan majelis hakim rata-rata satu sampai dua tahun penjara. Kriminalisasi terhadap para pejuang agraria juga tergolong sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum. Pasal 9 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah
diratifikasi menjadi UU No. 12 tahun 2005 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang- wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. Jaminan perlindungan kepada tiap warga negara telah diatur dalam UUD 1945 yang kemudian dipertegas lagi dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 6 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memberikan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak atas tanahnya termasuk terhadap kriminalisasi yang selengkapnya berbunyi: “(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah; (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, 64
selaras dengan perkembangan zaman”. Hak-hak masyarakat atas tanah atau hak milik yang dikategorikan sebagai hak atas properti juga tertuang dalam pasal 17 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia: (1) Everyone has the right to own property alone as well as in association with others, and (2) No one shall be arbitrarily deprived of his property, ((1) Setiap orang berhak memiliki harta/milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, (2) Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena- mena). Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik yang diratifikasi oleh pemerintah
melalui
UU
No.
12/2005. Pasal 26 Kovenan ini menyebutkan sebagai berikut: “Semua orang berkedudukan sama dihadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin 65
perlindungan yang sama dan efektif bagi
semua
orang
terhadap
diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa,
agama,
politik
atau
pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, milik, kelahiran atau status lain) (Herwati, 2015). Akar Konflik Diselesaikan
Yang
Harus
Jika melihat kasus di atas, ketika terjadi kriminalisasi, praktis seluruh upaya yang dibangun sejak awal untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat menjadi berhenti. Hampir seluruh kekuatan dikerahkan untuk mendampingi masyarakat yang dikriminalkan. Baik kekuatan seluruh komunitas, para pendamping, paralegal, maupun pengacara masyarakat adat. Penanganan kasus di pengadilan sungguuh menguras tenagwa, waktu, pikiran, dan biaya. Terlebih jika perkara bergulir di pengadilan, diperlukan biaya besar bagi anggota keluarga yang dikriminalisasi untuk mondarmandir ke pengadilan menghadiri
persidangan. Belum lagi kalau yang dikriminalkan adalah tulang punggung keluarga. Kriminalisasi adalah jalan praktis dan terkadang ampuh untuk menghentikan perjuangan masyarakat adat. Proses penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian sebenarnya menentukan apakah perkara akan dilanjutkan ke tahap berikutnya atau tidak. Polisi seharusnya tidak mempergunakan pasal-pasal pidana terhadap masyarakat adat yang sedang memperjuangkan haknya. Maka, pemahaman atas kasus perampasan tanah adat menjadi keharusan bagi polisi ketika mendapat laporan dari perusahaan. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan akar konflik dan perkembangan baru kebijakan kehutanan perlu dipahami oleh aparat kepolisian: Pertama, akar konflik adalah perampasan lahan atau wilayah kelola masyarakat adat oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, pertambangan, maupun dimasukkannya lahan-lahan
masyarakat adat ke dalam hutan negara. Kedua, mengenai keluarnya putusan MK No.35/PUU/XII/2012 yang disertai dengan kebijakankebijakan penetapan hutan adat yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Di wilayah-wilayah yang diindikasikan terjadi konflik berkaitan penguasaan kawasan hutan antara masyarakat dengan hutan yang dikuasai perusahaan maupun hutan negara, harus dihentikan penggunaan pasal-pasal pidana untuk masyarakat adat dikarenakan sedang terjadi proses penyelesaian status hukum atas hutan-hutan masyarakat adat tersebut. Bahkan, terhadap wilayah-wilayah yang sudah jelas status hukumnya sebagai hutan adat, dan terdapat masyarakat adat yang dikriminalkan sebelumnya di lokasi hutan adat itu, harus ada upaya-upaya hukum untuk membebaskan mereka yang sedang disangka, didakwa, ataupun sudah dipidana karena dituduh menempati hutan negara. Ketiga, telah dibatalkannya pasalpasal pidana (pasal 21 dan 47) 66
dalam UU Perkebunan No. 18/2004 dan juga putusan judicial review UU No. 39/2014 harus menjadi catatan bagi kepolisian untuk menghentikan penangkapan-penangkapan masyarakat yang tengah berkonflik lahan dengan perusahaan perkebunan. Putusan JR UU No. 39/2014 yang berkaitan dengan masyarakat adat antara lain menyatakan anggota masyarakat hukum adat sah untuk mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan. Norma pasal 55 UU Perkebunan yang berbunyi: “Setiap orang secara tidak sah dilarang: a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan; b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai tanah masyarakat atau tanah hak ulayat masyarakat hukum adat dengan maksud untuk usaha perkebunan; c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan perkebunan; atau memanen dan/atau memungut hasil perkebunan.”
67
Frasa “secara tidak sah” dalam norma pasal a quo, dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK Nomor 31/PUUV/2007. Keempat, perlunya memahami putusan MK No 95/PUU-XII/2014 tentang pengujian UU P3H dan UU No.41/1999. Amar putusan MK menyatakan bahwa pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41/1999 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. MK juga menyatakan bahwa Pasal 50 ayat 3 huruf e juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di
dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Pasal 50 ayat 3 huruf e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Pasal 50 ayat 3 huruf I bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial; Pasal 50 ayat 3 huruf i tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Pasal 50 ayat 3 huruf i berbunyi: “Setiap orang dilarang: ….i. menggembalakan ternak di dalam
kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang”, dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.” Peluang Intervensi di Kebijakan
Tataran
Pertama, akar konflik lahan antara masyarakat adat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan, tambang, hutan, dan negara adalah diberikannya konsesi-konsesi industri-industri ekstraktif tersebut. Sementara itu pemerintah daerah juga memiliki kewenangan sangat besar dengan memberikan izin-izin lokasi kepada perusahaan-perusahaan ekstraktif tersebut. Penulis memandang bahwa hal ini adalah pangkal atau akar konflik yang utama. Maka untuk menghentikannya harus dimulai dari menghentikan pemberian-pemberian izin tersebut. Selanjutnya, pemerintah harus melakukan review dan pencabutan atau pembatalan-pembatalan izin
68
atau hak atas lahan yang terkait konflik dengan masyarakat adat. Kedua, beberapa rancangan Undang-undang perlu diintervensi oleh masyarakat adat dan kelompok masyarakat sipil seperti: RUU Masyarakat Adat, RUU Kehutanan, dan RUU Pertanahan. Ketiga, mendorong lebih banyaknya pengakuan-pengakuan hukum mengenai hak atas wilayah adat dan sumber daya alam dalam bentuk peraturan-peraturan di tingkat lokal. Keempat, perlu mendorong Presiden untuk menyelesaikan konflik agraria Kelima, mendorong Presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi kepada masyarakat adat yang sedang menjalani proses persidangan maupun yang sudah dipidana. Selain itu, mendorong penghentian kasus-kasus pidana yang sedang ditangani kepolisian
69
dan membebaskan masyarakat adat dari sangkaan pidana.
Rekomendasi Masyarakat dan para pendampingnya perlu melakukan uji materi kembali untuk dua Undang-undang yaitu UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan dan Perusakan Hutan. Selain itu, harus diperluasnya bantuan hukum untuk masyarakat adat dan memperluas keberadaan paralegal atau pendamping hukum rakyat untuk masyarakat adat. Kedua, perlu ada pendidikan atau penyampaian informasi kepada kepolisian mengenai Putusan MK No. 35, UU Kehutanan, dan UU P3H, serta memberikan pendidikan hak asasi manusia kepada aparat penegak hukum.
PROFIL PBH
HAMZAL WAHYUDIN, SH DIREKTUR - LBH YOGYAKARTA
Didin, begitulah ia dipanggil. Pria berperawakan tinggi, kekar, dan bermata tajam ini adalah Direktur LBH Yogyakarta. “Saya mulai mengenal LBH Yogya ketika menjabat Gubernur BEM FH Universitas Ahmad Dahlan Yogya. Saya perhatikan, LBH kerap melibatkan mahasiswa dalam diskusi-diskusi menyikapi isu nasional ataupun mengkritisi kebijakan pemerintah. Dari situlah saya sering terlibat aksi bersama LBH”, tuturnya. LBH pun menjadi rumah bersama untuk berkonsolidasi. Didin mengamati, LBH adalah salah satu organisasi yang cukup konsisten gerakan dan keberpihakan pada masyarakat marjinal. Maka, ketika LBH mengadakan Kalabahu (Karya Latihan Bantuan Hukum), Didin pun mendaftar. Metode in class (proses membangun perspektif dan strategi keberpihakan) dan out class
(mewajibkan peserta turun ke lapangan di kantong-kantong organisasi rakyat) membuatnya tambah jatuh hati pada LBH. Ia pun melamar menjadi volunteer LBH dan diterima! Siapa sangka, Direktur LBH Yogyakarta ini dulunya adalah pekerja di kapal pesiar. Sebelum kuliah di Fakultas Hukum, Didin 70
sempat mengikuti kuliah pariwisata dengan orientasi kerja di kapal pesiar. Setelah belajar satu tahun lebih di bangku kuliah pariwisata, Didin mengikuti tes bekerja di kapal pesiar khusus wilayah Asia (Malaysia, Hongkong, Thailand, Cina) dan ia diterima kerja sebagai pekerja yang khusus di bagian Gudang. Selama bekerja di sana, ia mendapati upah buruh kapal pesiar dari Indonesia lebih rendah dibandingkan buruh Asia lainnya. Didin bekerja di kapal selama dua tahun dan lalu berkuliah dari uang hasil kerjanya. Mengabdi di LBH ternyata sesuai dengan cita-citanya. Sejak mahasiswa, Didin ingin menjadi pengacara publik yang berorientasi memperjuangkan hak-hak masyarakat miskin dan marjinal. Dalam bekerja, yang dipikirkannya hanyalah berkontribusi dan berkeyakinan untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Maka, ia tak begitu mempedulikan soal pendapatan. Menurutnya. menjadi Pengabdi Bantuan Hukum adalah bagian dari tanggung jawab moral dirinya. Ada banyak tanggung jawab dalam diri Pengabdi Bantuan Hukum yang mesti dilakukan: tanggung jawab 71
PBH sebagai aktivis untuk mengawal proses demokrasi, sosial, dan ekonomi, dan tanggung jawab melakukan perubahan hukum melalui terobosan kebijakan. Demikian pula tanggung jawab memberikan pelayanan bantuan hukum cuma-cuma terhadap masyarakat miskin dan marginal yang mengalami ketidakadilan. Mengenai hal ini, Didin bercerita tentang pengalamannya: ada satu kasus yang menarik selama dia bekerja sebagai PBH yaitu kasus pengguran masyarakat pesisir pantai Parangkusumo, Kretek, Bantul DIY. Pada 14 Desember 2016, terjadi tragedi kemanusiaan pada warga pesisir pantai Parangkusumo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul. Mereka jadi korban penggusuran paksa yang dilakukan Bupati Bantul yang katanya hanya menjalankan perintah dari Gubernur DIY. Kurang lebih 33 KK kehilangan ruang hidupnya. Adapun sumber penghidupan warga selama bermukim di pesisir pantai yaitu ada yang berjualan dengan membuka warung kecil-kecilan, penjaga parkir, peternak, dan nelayan. Tanah yang dikuasai, dikelola, dan dimanfaatkan
masyarakat terdiri atas rumah tinggal, pemilik kandang, dan penggarap dari lahan permukiman serta wisata Pantai Cemoro Sewu yang berada di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, DIY. Selama ini penentuan kawasan sebagai dasar penetapan kawasan Parangkusumo sebagai kawasan lindung didasarkan pada “Laporan Kajian Restorasi Kawasan Kagungan Dalem Gumuk Pasir” tertanggal 4 September 2015. Laporan ini adalah tindak lanjut hasil pertemuan Gubernur DIY dengan Kepala BIG dan Dekan Geografi UGM pada tanggal 12 Agustus 2015 yang menugaskan Fakultas Geografi UGM menyusun Kajian tentang tentang Restorasi Kawasan Kagungan dalem Gumuk Pasir Parangtritis. Dalam surat tersebut, wilayah itu diklasifikasikan menjadi 3 zona: Zona Inti Gumuk Pasir dengan luas 141,15 ha Zona Terbatas Gumuk Pasir (ZTGP) dengan luas 95,30 ha, dan Zona Penunjang Gumuk Pasir (ZPGP) dengan luas 176,60 ha. Tetapi, Gubernur mengeluarkan surat tertanggal 12 April 2016, tentang penanganan gumuk pasir di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul. Surat tersebut
ditujukan kepada Bupati Bantul. Dalam surat itu, pemerintah DIY meminta Bupati menjaga kelestarian gumuk pasir di Kawasan Kretek Kabupaten Bantul yang merupakan warisan geologi dan kawasan habitat alami. Berdasar peraturan tersebut, Pemerintah Bantul diharapkan menertibkan wilayah Gumuk Pasir Parangkusumo. Sedangkan K.H.P. Wahonosartokriyo Kraton Ngayogyakarta atau Panitikismo Kraton Ngayogyakarta juga mengeluarkan surat tertanggal 27 Juli 2016 yang ditujukan ke Bupati Bantul perihal Penertiban Zona Gumuk Pasir di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul. Dalam kasus ini, masyarakat berhadapan dengan negara yang memaksakan kehendak menggusur masyarakat miskin yang sudah hidup di pesisir Pantai Parangkusumo selama lebih dari 10 tahun. Sehingga selain berhadapan dengan Pemerintah DIY, masyarakat juga berhadapan dengan pihak Kraton DIY. Pihak Kraton mengklaim bahwa tanah tersebut adalah Sultan Ground. Maka, terjadilah perampasan lahanlahan yang ditempati warga
72
masyarakat pesisir yang diklaim sebagai tanah milik Kraton DIY. Didin menemukan pelanggaran hukum dan HAM oleh negara dalam kasus ini. Negara berdalih kebijakan, program, dan hukum yang menjadi legitimasi untuk menggusur, merampas, dan mengkriminalisasi rakyatnya yang sedang mempertahankan ruang hidup dan sumber penghidupannya. Melalui bantuan hukum struktural, LBH mengarahkan pola kerja advokasi hukum dan advokasi politik untuk mengontrol, mengkritisi, dan mengubah struktur atau sistem yang menciptakan ketidakadilan, ketimpangan, dan kemiskinan menjadi struktur yang adil. Bantuan hukum struktural memadukan gerakan bersama dalam segala tahapan advokasi baik advokasi hukum maupun advokasi non hukum/politik untuk meminta pertanggungjawaban negara atas tindakan sewenang-wenangnya kepada masyarakat. LBH juga
73
melakukan pendidikan hukum kritis untuk membangun organisasi rakyat agar memiliki kemampuan untuk memperjuangkan hakhaknya, membangun kekuatan politik jaringan, mahasiswa dan kampus untuk terlibat dalam gerakan bersama dalam menyelesaikan persoalan yang ada. LBH juga membangun opini publik melalui kampanye publik di berbagai media yang bertujuan mendapatkan kepedulian dan solidaritas dari masyarakat umum. “Advokasi tersebut memerlukan tenaga, pikiran, dan tekad yang sungguh-sungguh dari seorang PBH. Selain itu, PBH juga harus siap menghadapi ancaman dan intimidasi,” tutur Didin. “Maka, bukan PBH namanya jika tidak serius, fokus, dan tak mampu mengorbankan waktu dan kehidupan pribadinya, “ tutupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Munawir, 2012. Identitas Kaum Samin Pasca Kolonial. Pergulatan Negara, Agama, Dan Adat Dalam Pro-Kontra Pembangunan Pabrik Semen Di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, Jurnal Kawistara, Volume 2 no. 3, 22 Desember 2012. Benda, Harri J., dan Castles, Lance dalam King, V.T., 1973. Some Observations on the Samin Movement of the North-Central Java. BKI. Deel 129, 4e avlevering, ‘sGravenhage, Martinus Nijhoff. Idhom, Addi Mawahibun. 2009, Resistensi Komunitas Sedulur Sikep Terhadap Rencana Pembangunan Tambang Semen Di Pegunungan Kendeng, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Skripsi Pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. RPA. Soerjanto Sastroatmodjo, 2003. Masyarakat Samin: Siapakah Mereka? Yogyakarta: Narasi. Tim Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan Tahap I (Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih & Sekitarnya, Kabupaten Rembang). Widodo, Amrih, 1997. “Samin In The New Order: The Politic of Encounter and Isolation”, dalam Jim Schiller dan Barbara Martin Schiller (eds.), Imagining Indonesia, Cultural Politics and Political Culture. Ohio University Press, Widodo, Amrih, 2000. “Untuk Hidup Tradisi Harus Mati”, dalam Majalah Basis, edisi September-Oktober tahun 2000. Yogyakarta: Yayasan B.P Basis. Arizona, 2016. Masyarakat Adat dan Pembaruan Hukum. Presentasi diunduh dari https://prezi.com/m/i02fgkxjawgd/masyarakat-adat-dan-pembaruan-hukumdaerah/ Diakses 13 Maret 2017. Binadesa, 2014. Mahkamah Konstitusi Mengabulkan Sebagian Gugatan Atas UU Perkebunan. Diunduh dari: [http://binadesa.org/putusan-mahkamah-konstitusimengabulkan-sebagian-gugatan-takp/]. Diakses 13 Maret 2017.
74
Herwati, 2015. Pemberian Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi untuk Para Pejuang Agraria Demi Keadilan. Policy Paper Sayogjo Institute No. 1 tahun 2015. Diunduh dari
. Diakses [13 MAret 2017]. KOMNAS HAM, 2016. Inkuiri Nasional KOMNAS HAM: Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Jakarta: KOMNAS HAM. Rachman, dkk, 2012. Kajian Kritis Atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomo5 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kertas kerja Epistema Nomor 1/2012. Jakarta: Epistema. Nagara, G., 2014. Pokok-pokok Gugatan Masyarakat Sipil Terhadap UU P3H. Putusan Nomor 95/MK/PUU-XII/2014. Saleh, M.R., 2007. Masyarakat Adat dan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Yogyakarta: Pusham UII.
75
76