TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ADAT KEWARISAN MASYARAKAT SAMIN DI DESA SAMBONG REJO KECAMATAN SAMBONG KABUPATEN BLORA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) Dalam Ilmu Syari’ah Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah
Oleh:
Siti Nur Azizah NIM. 2102156
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2009
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab peneliti menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 14 Januari 2009 Deklarator,
Siti Nur Azizah NIM. 2102156
viii
ABSTRAK
Siti Nur Azizah (NIM. 2102156). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Kewarisan Masyarakat Samin di Desa Sambongrejo Kecamatan Sambong Kabupaten Blora. Skripsi. Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2009. Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mendeskripsikan praktik pembagian warisan pada masyarakat Samin di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora. (2) Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam mengenai praktik pembagian warisan pada masyarakat Samin, di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif lapangan dimana data diperoleh dari wawancara, observasi dan dokumentasi sehingga diketahui bentuk kewarisan suku samin, setelah data terkumpul lalu dianalisis dengan deskrptif yang mengacu pada analisis data induktif, analisis ini peneliti gunakan untuk menganalisis bentuk pembagian kewarisan sedulur sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora dan kemudian peneliti kaitkan dengan hukum Islam Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Tradisi pembagian warisan masyarakat sedukur sikep lebih dikenal dengan istilah tinggalan, mereka tidak mengenal metode hijab dan mahjub, tidak ada perbedaan pembagian antara laki-laki dan perempuan meskipun semua warga sedulur sikep di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora mayoritas beragama Islam, anak yang sudah keluar dari samin tetap mendapat warisan, begitu juga kepada anak angkat, sedulur sikep mempunyai kepercayaan bahwa semua keturunan manusia yang bukan dari keluarga pewaris bisa menjadi ahli waris dan mendapat warisan. Proses pembagian harta warisan pada masyarakat Sikep dengan kewenangan orang tua sebagai pemilik dan orang yang berhak membagi adalah dengan jalan perdamaian atau Islah. (2) Tradisi pembagian warisan masyarakat sedukur sikep lebih dikenal dengan istilah tinggalan, mereka tidak mengenal metode hijab dan mahjub, Proses pembagian harta warisan pada masyarakat Sikep dengan kewenangan orang tua sebagai pemilik dan orang yang berhak membagi adalah dengan jalan perdamaian atau Islah. Cara perdamaian atau Islah merupakan jalan pintas untuk membagi harta warisan bila satu sama lain saling suka rela dan sepakat dengan bagian yang telah ditentukan oleh orang tua atau ketika ada sisa harta peninggalan mereka bermusyawarah untuk menyerahkan harta itu kepada salah seorang saudaranya. Jadi kalau dilihat dari pemaparan di atas, pertimbangan harta waris masyarakat Sedulur Sikep di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora yang didasarkan pada proses perdamaian dan musyawarah adalah tidak bertentangan dengan hukum Islam, karena mereka mengutamakan rasa saling menerima. Baik karena pesan orang tua sebagai pewaris maupun ajaran-ajaran Samin yang telah dijadikan falsafah hidup bagi mereka
ix
MOTTO
ن َوﻟِﻠ ﱢﻨﺴَﺎ ِء َ ن وَا ْﻟَﺄ ْﻗ َﺮﺑُﻮ ِ ك ا ْﻟﻮَاِﻟﺪَا َ ﺐ ِﻣﻤﱠﺎ َﺗ َﺮ ٌ ل َﻧﺼِﻴ ِ ﻟِﻠ ﱢﺮﺟَﺎ ﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻪ َأ ْو ن ِﻣﻤﱠﺎ َﻗ ﱠ َ ن وَا ْﻟَﺄ ْﻗ َﺮﺑُﻮ ِ ك ا ْﻟﻮَاِﻟﺪَا َ ﺐ ِﻣﻤﱠﺎ َﺗ َﺮ ٌ َﻧﺼِﻴ َآ ُﺜ َﺮ َﻧﺼِﻴﺒًﺎ َﻣ ْﻔﺮُوﺿًﺎ “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” (QS. An-Nisa’: 7)
iv
PERSEMBAHAN Dengan segala kerendahan hati baik sebagai hamba Allah dan insan Akademis karya tulis yang sederhana ini penulis persembahkan kepada: Ayahanda Rasmo dan Ibunda Siti Sulasmini tercinta yang telah berjuang dan tiada hentinya selalu mendoakan dengan tulus selama penulis studi. Kakak-kakakku tercinta yang selalu memberikan motivasi serta mendukung penulis baik moril dan materiil (Mas Abdul Aziz Zuhri, S.Ag, Mas Musafak dan Mbak Siti Zumroh, dan Mas Sutikno. Keponakan-keponakanku (Fuad, Alfi, Ririf, Naqfi) yang selalu setia menanti kesuksesanku.
v
KATA PENGANTAR
أﺷﻬﺪ ان ﻻ,اﻟﺤﻤﺪ ﷲ رب اﻟﻌﻠﻤﻴﻦ وﺑﻪ ﻧﺴﺘﻌﻴﻦ ﻋﻠﻰ أﻣﻮر اﻟﺪﻧﻴﺎ واﻟﺪﻳﻦ اﻟﻠﻬﻢ ﺻﻠﻰ,اﻟﻪ اﻻ اﷲ وﺣﺪﻩ ﻻ ﺷﺮﻳﻚ ﻟﻪ وأﺷﻬﺪ أن ﻣﺤﻤﺪا ﻋﺒﺪﻩ ورﺳﻮﻟﻪ . أﻣﺎ ﺑﻌﺪ,ﻋﻠﻰ ﻣﺤﻤﺪ وﻋﻠﻰ أﻟﻪ وﺻﺤﺒﻪ وﻣﻦ ﺗﺒﻌﻪ ﺑﺈﺣﺴﺎن اﻟﻰ ﻳﻮم اﻟﺪﻳﻦ Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar, shalawat dan salam selalu tercurah kepada baginda Muhammad Saw., keluarga, sahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jejaknya. Dalam proses penyusunan skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Kewarisan Masyarakat Samin Di Desa Sambongrejo Kecamatan Sambong Kabupaten Blora”. Usaha dalam menyelesaikan skripsi ini memang tidak bisa lepas dari berbagai kendala dan hambatan akan tetapi dapat penulis selesaikan juga walaupun masih banyak kekurangan yang ada, oleh karena itu penulis panjatkan rasa syukur yang tidak terhingga kepada Allah Swt. dengan rahman dan rahimNya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa pula penulis skripsi baik secara emosional, akademis, moral, material serta keterlibatan yang lain terutama kepada: 1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang
dan
yang
telah
membimbing
penulis
dalam
menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Arif Budiman, M.Ag, Selaku Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah 3. Ibu Antin Latifah, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah 4. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 5. Bapak Sutopo Selaku Kepala Desa Desa Sambongrejo Kecamatan Sambong Kabupaten Blora. 6. Bapak Pramugie Prawirowijoyo, selaku Ketua Komunitas Sedulur Sikep, Mbah Karmidi selaku Sesepuh Sedulur Sikep 7. Civitas Akademik Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Kepada semuanya, peneliti mengucapkan terima kasih disertai doa semoga budi baiknya diterima oleh Allah SWT, dan mendapatkan balasan berlipat ganda dari Allah SWT.
Semarang, 14 Januari 2009
SITI NUR AZIZAH NIM: 2102156
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Allah swt mensyari’atkan hukum baik yang mengatur tentang hak yang bisa dimiliki oleh seseorang atau hak yang harus ditunaikan ataupun mengenai ucapan dan perbuatannya baik secara kelompok maupun secara perorangan, jasmaniah maupun rohani, di dunia maupun di akhirat dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hidupnya. Oleh karena itu penerapan hukum tersebut sangat memperhatikan perkembangan dan keadaan manusia baik fisik maupun akalnya. Dengan kata lain hukum Islam dalam memberlakukan ketentuan-ketentuan hukumnya kepada manusia disesuaikan dengan kemampuan badan dan akalnya.1 Allah swt telah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, agar mereka bisa melaksanakan apa yang diperintahkan serta meninggalkan apa yang dilarang-Nya, sesuai dengan firman-Nya yang berbunyi:
ن َﻟ ُﻬ ُﻢ َ ن َﻳﻜُﻮ ْ ﻦ َوﻟَﺎ ُﻣ ْﺆ ِﻣ َﻨ ٍﺔ ِإذَا َﻗﻀَﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َو َرﺳُﻮُﻟ ُﻪ َأ ْﻣﺮًا َأ ٍ ن ِﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ َ َوﻣَﺎ آَﺎ ﺿﻠَﺎﻟًﺎ ُﻣﺒِﻴﻨًﺎ َ ﻞ ﺿﱠ َ ﺺ اﻟﱠﻠ َﻪ َو َرﺳُﻮَﻟ ُﻪ َﻓ َﻘ ْﺪ ِ ﻦ َﻳ ْﻌ ْ ﻦ َأ ْﻣ ِﺮ ِه ْﻢ َو َﻣ ْ ﺨ َﻴ َﺮ ُة ِﻣ ِ ا ْﻟ 2
﴾36:﴿اﻻﺣﺰاب
Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
hlm. 1.
1
Zakiah Daradjat dkk. Ilmu Fiqh, cet. II (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf,1995),
2
Al-Ahzab ( 33 ): 36.
1
2
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. AlAhzab: 36). Diantara hukum Islam yang jelas dan rinci diterangkan oleh Allah swt dalam al-Quran adalah hukum tentang kewarisan. Masalah-masalah yang menyangkut tentang kewarisan sudah ada ketentuan yang jelas, sehingga dimungkinkan tidak akan menimbulkan bermacam-macam interpretasi. kewarisan adalah salah satu pokok yang sering dibicarakan dan hampir semua orang mengalaminya, al-Quran pun banyak membicarakanya tentang hal ini, dari seluruh hukum yang berlaku di dalam masyarakat maka kewarisan ini yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan.3 Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar karena pembagian
warisan
sering
menimbulkan
akibat-akibat
yang
tidak
menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluriah manusia yang menyukai harta benda tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk didalamnya harta peninggalan pewarisnya sendiri. Sebagaimana firman Allah swt:
ﻦ َ ﻄ َﺮ ِة ِﻣ َ ﻦ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِء وَا ْﻟﺒَﻨِﻴﻦَ وَا ْﻟ َﻘﻨَﺎﻃِﻴ ِﺮ ا ْﻟ ُﻤ َﻘ ْﻨ َ ت ِﻣ ِ ﺸ َﻬﻮَا ﺣﺐﱡ اﻟ ﱠ ُ س ِ ﻦ ﻟِﻠﻨﱠﺎ َ ُز ﱢﻳ ﺤﻴَﺎ ِة َ ع ا ْﻟ ُ ﻚ َﻣﺘَﺎ َ ث َذِﻟ ِ ﺤ ْﺮ َ ﺴ ﱠﻮ َﻣ ِﺔ وَا ْﻟَﺄ ْﻧﻌَﺎ ِم وَا ْﻟ َ ﻞ ا ْﻟ ُﻤ ِ ﺨ ْﻴ َ ﻀ ِﺔ وَا ْﻟ ﺐ وَا ْﻟ ِﻔ ﱠ ِ اﻟ ﱠﺬ َه ﴾14 :ب ﴿ال ﻋﻤﺮان ِ ﻦ ا ْﻟ َﻤَﺂ ُﺴ ْﺣ ُ ﻋ ْﻨ َﺪ ُﻩ ِ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ وَاﻟﱠﻠ ُﻪ
4
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak3 4
Ali Parman, Kewarisan Dalam al-Quran (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm. 17. Ali Imran (3):14.
3
anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Kewarisan adalah suatu hal yang pasti terjadi dalam kehidupan manusia, yang dalam hukum Islam kewarisan terjadi sesudah kematian seseorang. Menyangkut sejarah hukum Islam di Indonesia tentunya berkaitan erat dengan masuknya Islam di Nusantara tidak bisa dipungkiri bahwa sebelum Islam datang ke Nusantara yang dibawa oleh para saudagar Arab, Gujarat dan India pada saat itu masyarakat Nusantara telah mempunyai nilainilai dan kepercayaan yang telah mendarah daging dan mengakar dalam masyarakat. Sebagai konsekuensinya dari adanya nilai-nilai dan kepercayaan yang telah ada hukum Islam harus berasimilasi dan beradaptasi dengan budaya lokal dan adat istiadat setempat, sehingga hukum Islam dapat diterima dan hidup dalam masyarakat waktu itu. Strategi inilah yang dipakai para ulama’ terdahulu dalam rangka syi’ar Islam, begitu pula dengan hukum kewarisan Islam yang banyak menyesuaikan diri dengan hukum waris adat yang ternyata begitu kuat bahkan sulit bagi hukum kewarisan Islam untuk masuk apalagi merubahnya dengan ketentuan yang ada dalam hukum kewarisan Islam. Negara Indonesia ini kaya raya akan adat, termasuk di dalamnya hukum waris adat yang beraneka ragam yang dianut oleh berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda dan mempunyai bentuk–bentuk
4
kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda pula.5 Fatchur Rohman dalam bukunya “Ilmu Waris” mengatakan Di Indonesia sampai sekarang ini belum terdapat suatu kesatuan hukum tentang hukum warisan yang dapat diterapkan untuk seluruh warga Indonesia. karena itu hukum warisan yang diterapkan kepada seluruh warga Negara Indonesia masih berbeda-beda, mengingat masih adanya penggolongan dari warga Negara. 6 Diantara
bentuk-bentuk atau sistem kekerabatan dan sistem
keturunan yang terdapat di Indonesia, yaitu sistem keturunan patrilinial, matrilineal dan sistem keturunan parental atau bilateral, serta ada pula beberapa sistem kewarisan, yaitu: sistem individu, kolektif, mayorat, kewarisan Islam dan kewarisan barat. Sistem kewarisan parental atau bilateral itu sudah sesuai dengan sistem kewarisan Islam, hal ini disebabkan ayat-ayat al-Quran di wilayah kewarisan dan perkawinan mencerminkan suatu bentuk sistem kekeluargaan yang bilateral.7 Sistem kewarisan memiliki asas yang berkenaan dengan hukum kewarisannya, suatu asas hukum kewarisan pada umumnya didasarkan pada sistem
kekerabatan
lebih
mendasar
lagi
ditentukan
oleh
struktur
kemasyarakatan yang berlaku. Sistem kehidupan masyarakat banyak ditentukan oleh sistem kekeluargaan yang bermula dari bentuk perkawinan. Bentuk kekeluargaan itu berpengaruh terhadap pemikiran dan cara pemilikan atas harta serta cara penyelesaian peralihan harta tersebut. Hal ini nampak 5
Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan A. Soehardi (Bandung: Sumur, 1979), hlm.11-12. 6 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, edisi 2 (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm.27. 7 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan Hadis, edisi ke-5 (Jakarta: Tinta mas,1981), hlm.14.
5
pada praktik pembagian kewarisan hampir di seluruh daerah Nusantara salah satunya adalah sistem kewarisan yang dilaksanakan oleh masyarakat Samin di Kabupaten Blora. Membicarakan masyarakat Samin tidak akan lepas dari gerakan perjuangan melawan penjajah kolonial Belanda. Dirunut ke belakang masyarakat Samin berawal dari gerakan kultur perlawanan Kyai Samin Anom alias Ki Samin Surosentiko yang meninggal di Sawah Lunto Sumatra Barat 1914. Yang menolak membayar pajak kepada penjajah kolonial Belanda. Didasarkan pada kebudayan Jawa yang religius/kejawen.8 Ajarannya tidak hanya tersebar di daerah Blora saja, tetapi tersebar di beberapa daerah lainya, seperti Pati, Rembang, Bojonegoro, Madiun, Banyuwangi, Porwodadi, Kudus, Brebes. Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan “Wong Samin” sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering mencuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Sebagian besar penganut Samin di Blora, selalu membahasakan dirinya sebagai orang ”Sikep” sebagai ganti orang “Samin”. Tapi dia menampik anggapan penggunaan sebutan “Sikep” untuk menghindarkan diri dari pencitraan buruk yang terlanjur lekat pada sebutan “Samin”. Dia menerangkan bahwa Sikep berarti kaum yang berpegang teguh dan satunya
8
Ensiklopedia Nasional Indonesia. cet. III (Jakarta : Delta Pamungkas 1997), VIII: 297.
6
kata dengan perbuatan. Ini merujuk pada pernyataan kesanggupan mereka untuk
“ngelakoni”
(mengamalkan)
ajaran-ajaran
Saminisme
dalam
kehidupan sehari-hari.9 Kebiasaan masyarakat Samin (sedulur Sikep10) ditandai oleh sikap dan prilaku atau perbuatan yang tidak (selalu) mengikuti aturan-aturan yang berlaku di desa atau masyarakat di mana mereka tinggal, hal ini diawali oleh sikap orang Samin yang berani melawan kebijakan pemerintah Belanda.11 Terbawa oleh sikapnya yang menentang pemerintah kolonial itu, pendirian orang-orang Samin membuat tatanan atau aturan sendiri, adat-istiadat dan cenderung tertutup untuk menerima adat-istiadat baru dari kelompok luar. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat Samin (sedulur Sikep) yang berbeda itu terlihat dalam tata cara yang berkaitan dengan perkawinan, kehamilan, kelahiran, kematian, dan juga cara berkomunikasi (bahasa).12 Sedangkan dalam hal warisan yang lebih dikenal dalam masyarakat mereka dengan sebutan tinggalan, mereka tidak mengenal istilah warisan, ada sebagian yang tahu tapi kata itu tidak terlalu populer atau tidak pernah digunakan dalam hal pengurusan harta orang tua atau penyebutan bagi mereka harta peninggalan orang tua. Menurut mereka kata warisan adalah bukan berasal dari tanah Jawa jadi mereka enggan untuk mengunakannya, masyarakat Sikep lebih senang memilih kata-kata yang menurutnya asli dari 9
"http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin". Sedulur Sikep berarti kaum yang berpegang teguh dan satunya kata dengan perbuatan. 11 Titi Mumfangati,dkk. Kearifan Budaya Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah, (Yogyakarta: tnp, 2004). hlm. 29. 12 Sukari, Kehidupan Masyarakat Samin di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional,1996/1997). hlm. 224. 10
7
tanah Jawa, karena budaya perlawanan terhadap kolonial Belanda menggunakan strategi bahasa dan masih dipegang kuat sampai sekarang. Dalam adat tinggalan atau warisan, kebiasaan yang sering dipraktikkan oleh masyarakat Samin di Kabupaten Blora. Berbeda dengan aturan kewarisan Islam. Warisan bagi masyarakat Samin adalah sebagai pemberian harta pusaka atau benda kepada keturunannya (baik laki-laki maupun perempuan) dan kepada sanak famili yang membutuhkan. Dalam masyarakat Samin tidak ada perbedaan pembagian dalam penerimaan warisan antara keturunan laki-laki dan perempuan (2:1) seperti dalam Islam, Semua harta warisan dibagi menjadi bagian-bagian sesuai dengan jumlah anak mereka. Masing-masing mendapat satu bagian, karena orang Sikep menganggap bahwa semua anak manusia mempunyai kedudukan yang sama yaitu semua keturunan Adam dan semua mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Menurut adat waris masyarakat Samin (Sedulur Sikep) pada dasarnya semua anak baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya, bahkan orang Samin (Sedulur Sikep) tidak mempersoalkan perbedaann agama dalam menerima warisan, karena semua manusia adalah sama-sama keturunan Adam. Sementara pelaksanaan pembagian harta warisan tersebut itu dilakukan ketika orang tua masih hidup sehingga otoritas penuh pembagian itu ada di tangan orang tua, karena dikhawatirkan nanti kalau pembagian
8
setelah dia meninggal akan merepotkan anak-anak mereka. Tetapi ada juga pelaksanaan pembagian harta warisan dilakukan ketika orang tua sudah meninggal, biasanya pelaksanaan seperti ini, jika ada harta peninggalan yang tersisa pada waktu orang tua masih hidup. Dari sinilah penyusun merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembagian harta warisan masyarakat samin di Kabupaten Blora, yang kemudian bagaimana pelaksanaan pembagian tersebut dipandang menurut perspektif hukum Islam. B.
Pokok Masalah Dari uraian latar belakang masalah, maka masalah yang perlu diteliti lebih lanjut dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana praktik pewarisan masyarakat Samin di Desa sambong rejo Kabupaten Blora? 2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktik pewarisan masyarakat Samin di Desa sambong rejo Kabupaten Blora?
C.
Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut : 1. Untuk mendeskripsikan praktik pembagian warisan pada masyarakat Samin di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora dalam penelitian ini yang termasuk dalam praktik adalah sistem pembagian waris, cara pemabagian, alasan, , tujuan dan sebagai adanya pembagian warisan 2. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam mengenai praktik pembagian warisan pada masyarakat Samin, di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora.
9
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai sumbangan informasi ilmiah pada masyarakat yang ingin menambah wawasan ke-Islaman, khususnya berkaitan dengan pembagian harta warisan. 2. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan dalam bidang Syari’ah pada khususnya dan lebih khusus dalam bidang ilmu waris. D.
Telaah Pustaka Hukum warisan merupakan aturan keperdataan yang telah diterapkan oleh syari’at Islam sebagai aturan yang paling baik dan paling lengkap bila dibandingkan dengan aturan keperdataan lainya. Berdasarkan penelusuran pustaka yang penyusun lakukan, kajian tentang kewarisan boleh dikatakan cukup melimpah. Kajian-kajian dimaksud terutama berupa pembahasan normatif menurut hukum Islam. Dalam buku hendak Kemana Hukum Islam? Hazairin menjelaskan bahwa hukum kewarisan Islam menganut sistem bilateral, yaitu sistem bilateral khas Islam. Dalam Islam menganut sistem individual yaitu setiap ahli waris yang ada mendapat bagian dan bagian-bagian itu wajib diberikan kepada mereka.13 Sementara
itu
Facturrahman
dalam
bukunya
Ilmu
Waris
menjelaskan, bahwa dalam hukum dikenal adanya rukun dalam hal mewarisi
13
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam (Jakarta: Tinta Mas, 1976), hlm. 14.
10
yaitu Maurus (Harta peninggalan), Muwaris (orang yang meninggal dunia), dan Pewaris (orang yang mewarisi harta yang ditinggal oleh muwaris).14 Hasby Ash-Shidieqy dalam bukunya Fiqhul Mawaris, hukumhukum waris dalam syari’at Islam membagi hukum waris Islam kedalam lima belas bab, yang keseluruhannya menjelaskan tentang mekanisme hukum kewarisan Islam, dasar hukum waris Islam ditambah dengan sejarah waris Islam di masa jahiliyyah.15 Sedangkan Mahmud Yunus dalam bukunya Turutlah Hukum Waris Dalam Islam, berisi tentang sebab-sebab mendapat warisan dan terhalang menerima warisan dan wajibnya mengikuti pembagian warisan yang telah ditentukan oleh Allah swt di dalam al-Qur’an.16 Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Waris Adat hanya mendeskripsikan tentang macam-macam hukum waris adat di Indonesia, penggambaran tersebut hanya terbatas pada hukum waris yang berkaitan dengan garis keturunan, disamping itu juga mengungkapkan sistem hukum waris Islam.17 R.P.A. Soerjanto Sastroatmodjo dalam bukunya yang berjudul Mayarakat Samin Siapakah Mereka? Membahas tentang identitas Samin, ajaran-ajarannya, tradisi wong kalang, yang mana wong kalang yang merupakan leluhur dari masyarakat Samin.18 14
Factur Rahman, Ilmu Waris., hlm. 36. Hasbi Ash-Shidieqy, Fiqhul Mawaris, Hukum-Hukum Waris Islam, cet. I (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm.12-30. 16 Mahmud Yunus, Turutlah Hukum Waris Dalam Islam, cet. I (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1958), hlm.5. 17 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, cet. VI, (Jakarta: Fajar Agung, 1987), hlm.11. 18 Soerjanto Sastroatmodjo, Masyarakat Samin Siapakah mereka? cet. I, (Yogyakarta: Narasi, 2003). 15
11
Sedangkan dalam buku Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah mengupas tentang deskripsi masyarakat Samin, mulai dari asal mula nama Samin dan ajarannya, kebiasaan, persebaran, simbol, kekerabatan sampai dengan hubungan sosial masyarakat Samin.19 Sedangkan dalam skripsi Meika Eliza yang berjudul Pembagian Warisan Di Kelurahan Purbayan Kecamatan Kotagede Yogyakarta Ditinjau Dari Hukum Islam, yang membahas tentang asas-asas yang tetap dipegang oleh masyarakat setempat yaitu pembagian asas segendong sepikul yang mengacu pada pembagian 2:1 dalam kewarisan Islam, asas bilateral dan individual.20 Rukayah dalam skripsinya yang berjudul Studi Pemikiran Ahmad Azhar Basri Tentang Beberapa Masalah Dalam Hukum Waris Islam. Skripsi tersebut menjelaskan masalah pokok yang digunakan Azhar Basyir dalam menyelesaikan polemik bagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan.21 Masri
dalam skripsinya yang berjudul Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Praktik Pembagian Warisan di Desa Rensing, Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur. Menjelaskan tentang mekanisme pembagian
19
Titi Mumfangati, dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah, (Yogyakarta: tnp, 2004). 20 Meika Eliza, ”Pembagian Warisan di Kelurahan Purbayan Kecamatan Kotagede Yogyakarta Ditinjau dari Hukum Islam”, Skripsi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, ttp, 2003). 21 Rukayah, ”Studi Pemikiran Ahmad Azhar Basyir Tentang Beberapa Masalah Dalam Hukum Waris Islam”. Skripsi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, ttp. 2001).
12
warisan sebelum pewaris meninggal dunia tidak boleh menurut ‘Urf yang shohih.22 Jalalul Hilmi dalam skripsinya yang berjudul Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia (Tinjauan Hermeneutik Terhadap Pembagian Waris 1:1 Menurut Prof Dr. H. Munawir Sjadzali) yang berisi tentang gagasan reaktualisasi warisan yang ditawarkan Munawir. Dalam skripsi tersebut ia mencoba mengkritisi pendekatan yang digunakan Munawir yang mengacu pada pendapat Umar Bin Khatab yang dikenal menyimpang dari nas, Jajal menolak anggapan tersebut, apabila akan melakukan reaktualisasi, pendekatan yang paling cocok menurutnya adalah pendekatan hermeneutik.23 Dari penelusuran penyusun terhadap berbagai literatur baik itu tertulis ilmiah dalam bentuk laporan penelitian maupun dalam buku, ada kesamaan dengan kesamaan dengan penelitian yang peneliti kaji yaitu tentang pembagian waris, akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup jelas anatara peneletian peneliti dengan literatur diatas yaitu terletak pada karakteristik pembagian warisan dalam sebuah masyarakat adat (komunitas Sedulur Sikep. Di Kabupaten Blora), dan itu menjadikan daya beda dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan.
22
Masri, ”Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Pembagian Warisan di Desa Rensing, Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur”. Skripsi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, ttp. 2002). 23 Jalalul Hilmi, ”Reaktualisasi Hukum Islam Di Indonesia (Tinjauan Hermeneutik Terhadap Pembagian Waris 1:1 Menurut Prof Dr. H. Munawir Sjadzali)”. Skripsi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, ttp. 2001).
13
E.
Metode Penelitian Dalam metode penelitian ini, metode yang digunakan penyusun adalah: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yaitu data berasal dari hasil observasi dan interview mengenai fenomenafenomena yang terjadi di masyarakat dan terkait dengan topik penelitian. 2. Sumber Data a. Data primer Sumber data primer adalah data otentik data langsung dari tangan pertama tentang masalah yang diungkapkan, secara sederhana data tersebut disebut data asli24. Sumber data primer yang menjadi acuan pokok dari studi ini yaitu: hasil wawancara dengan kepala desa Desa sambong rejo Kabupaten Blora, ketua kelompok sedulur sikep Desa sambong rejo Kabupaten Blora, dan dokumentasi yang ada pada komunitas sedulur sikep. b. Data sekunder Sumber data sekunder adalah data yang mengutip dari sumber lain sehingga tidak bersifat otentik karena diperoleh dari sumber kedua atau ketiga yaitu berupa literatur pendukung 3. Pengumpulan data Dalam melaksanakan riset ini penyusun menggunakan baberapa cara untuk mengumpulkan data, antara lain: a. 24
Interview (wawancara)
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Yogyakarta:: Rineka Cipta, 1996), hlm. 80.
14
Wawancara yang digunakan adalah bebas terpimpin dengan pertanyaan-pertanyaan
yang
sudah
disiapkan.
Wawancara
dilaksanakan secara bebas terkendali dengan maksud agar suasana wawancara tidak baku. Adapun pihak-pihak yang diwawancarai adalah kepala suku, sejarawan, para tokoh masyarakat seperti pemuka agama dan tokoh-tokoh lain yang dipandang tahu tentang masalah yang peneliti bahas dalam penelitian ini. b.
Observasi Peneliti melakukan pengamatan secara langsung di desa untuk mendapatkan data dan fakta sebagi sumber laporan penelitian.
c.
Dokumentasi Mengumpulkan dan mempelajari dokumen atau catatan yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas yang didapat dari lokasi penelitian.25
4. Pendekatan Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penyusun menggunakan dua pendekatan yaitu : a. Pendekatan Normatif: pendekatan ini digunakan untuk memahami konsep tentang fakta yang terjadi di lapangan khususnya mengenai praktik kewarisan yang terjadi di masyarakat Samin di Kabupaten Blora, kemudian dianalisa dengan menggunakan hukum Islam,
25
63.
Koentjoraningrat, Metodologi Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm.
15
sehingga dengan pendekatan ini dapat diketahui adanya kontradiksi antara kewarisan masyarakat Samin dengan hukum kewarisan Islam. b. Pendekatan Sosio Historis pendekatan ini digunakan untuk mengetahui latar belakang sosio kultural dan sosio politik seseorang.26 Penyusun menggunakan pendekatan kesejarahan ini dalam mengungkap ajaran-ajaran tentang masyarakat Samin. Pendekatan sejarah ini menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu, kemudian peristiwa-peristiwa tersebut dianalisa dengan meneliti sebab akibat. Kemudian dirangkum kembali sehingga dapat diperoleh pengertian dalam bentuk sintesis yang dapat memberi penjelasan mengenai aspek-aspek bagaimana deskripsi kewarisannya. 5. Analisis data Metode analisis data yaitu data yang dikumpulkan berupa katakata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.27Analisis data adalah mengatur urutan data, mengorganisasikanya kedalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Sehingga dapat di temukan tema, dan dapat dirumuskan hipotesis (ide) kerja seperti yang disarankan data.28 Untuk memperjelas penulisan ini maka peneliti menetapkan metode analisis deskriptif yaitu 26
87.
27
Sutrisno Hadi, Metode Research, Jilid I, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1975), hlm.
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: P.T. Remaja Rosda Karya, 2002). Cet. 16, hlm. 7 28 Ibid, hlm. 103
16
menyajikan dan menganalisis fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi.29 Metode deskriptif yang peneliti gunakan ini mengacu pada analisis data secara induktif, karena: 1). Proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak yang terdapat dalam data, 2). Lebih dapat membuat hubungan peneliti dengan responden menjadi eksplisit, dapat dikenal dan akuntabel, 3). Lebih dapat menguraikan latar belakang secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya, 4). Analisa induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan, 5). Analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian struktur analitik30 Dalam hal ini peneliti menganalisis bentuk pembagian kewarisan sedulur sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora dan kemudian peneliti kaitkan dengan hukum Islam.
7.
29
Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 6-
30
Lexy. J. Moleong, Op. Cit., hlm. 10
17
F.
Sistematika Penulisan Skripsi Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini, agar lebih mudah dan sistematis sesuai dengan yang diharapkan, maka dibuat sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab pertama, merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Selanjutnya untuk memberikan penjelasan tentang hukum kewarisan Islam agar pembahasan lebih mengarah maka, pada bab kedua, dibahas mengenai deskripsi hukum kewarisan Islam. Dalam bab ini akan dijelaskan pengertian kewarisan, dasar hukum waris
Islam, penghalang kewarisan,
asas-asas kewarisan Islam, sebab-sebab menerima, penghalang menerima warisan, macam-macam ahli waris dan bagiannya. Selanjutnya untuk mendapatkan pemaparan yang jelas mengenai daerah penelitian, karena penelitian ini merupakan penelitian lapangan, maka digambarkan tentang kewarisan masyarakat Samin di Desa sambong rejo Kabupaten Blora yang terdiri dari tiga sub yaitu meliputi, pertama dijelaskan tentang gambaran umum Desa Sambong Rejo, penjelasannya mengenai kondisi geografis dan demografis serta sejarah perkembangan Samin dan kondisi sosial budaya. Pada bagian kedua dijelaskan mengenai sejarah masuk dan berkembangnya tradisi Samin di Kabupaten Blora. Pada bagian ketiga dijelaskan tentang praktik kewarisan masyarakat Samin Desa sambong rejo Kabupaten Blora meliputi; pengertian pewarisan, pewaris dan ahli waris serta
18
harta warisan, sebab-sebab dan penghalang kewarisan, bagian-bagian ahli waris, waktu pembagian warisan serta akibat kewarisan. Pada bab selanjutnya merupakan pembahasan inti, memuat analisis hukum Islam terhadap pelaksanaan kewarisan masyarakat Samin di Kabupaten Blora. Dalam pembahasan pada bab ini banyak menerangkan analisis
kewarisan masyarakat Samin diantaranya kesatu, sebab-sebab
menerima warisan meliputi sebab-sebab menerima warisan. Sedangkan pada bagian kedua penghalang warisan. Sedangkan pada bagian ketiga pelaksanaan pembagian waris, meliputi waktu pembagian, pelaksanaan pembagian warisan, pewaris, ahli waris dan bagiannya, serta harta warisan. Dan selanjutnya bagian keempat, kewajiban bagi penerima warisan. Yang kesemuanya dipanadang dari sudut pandang hukum Islam Untuk mengetahui kesimpulan akhir dalam penulisan skripsi ini, penyusun menyajikannya di dalam bab kelima yang sekaligus merupakan penutup, yang berisi kesimpulan pembahasan bab-bab sebelumnya dan saransaran yang menjadi semacam agenda pembahasan lebih lanjut di masa mendatang tentang kewarisan samin bagi masyarakat.
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam Warisan atau kewarisan yang sudah populer dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab yaitu :
وارﺛﺔ- ورﺛﺎ- ﻳﺮث- ورثyang berarti
pindahnya harta si Fulan (mempusakai harta si Fulan).1 Bisa juga diartikan dengan mengganti kedudukan, seperti firman Allah SWT : 2
(16 : )اﻟﻨﻤﻞ......ن دَاوُو َد ُ ﺳَﻠ ْﻴﻤَﺎ ُ ث َ َو َو ِر
Artinya “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud” (QS. An-naml: 16) Dalam ayat lain berarti memberi atau menganugerahkan, seperti :
(74: )اﻟﺰﻣﺮ.ﺚ ُ ﺣ ْﻴ َ ﺠ ﱠﻨ ِﺔ َ ﻦ ا ْﻟ َ ض َﻧ َﺘ َﺒ ﱠﻮُأ ِﻣ َ َوَأ ْو َر َﺛﻨَﺎ ا ْﻟَﺄ ْر Artinya “Dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki”. (QS Az-Zumar : 74)3 Dalam kitab-kitab fikih, warisan lebih sering disebut dengan farâ’id
( ) ﻓﺮاﺋﺾmufradnya ( ) ﻓﺮﻳﻀﺔyang berarti ketentuan. Pengertian ini didasarkan atas firman Allah SWT :
ﺿ ُﺘ ْﻢ ْ ﻒ ﻣَﺎ َﻓ َﺮ ُ ﺼ ْ ﻀ ًﺔ َﻓ ِﻨ َ ﺿ ُﺘ ْﻢ َﻟ ُﻬﻦﱠ َﻓﺮِﻳ ْ َو َﻗ ْﺪ َﻓ َﺮ Artinya “Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu” (QS. Al-Baqaqrah: 273)4
496. hlm. 321
1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta : PT Hidakartya Agung, 1989), hlm.
2
Soenarjo, dkk, Al Quran dan Terjemahnya, (Jakarta : Departemen Agama RI, 1999),
3
Ibid. hlm. 456 Ibid. hlm. 34
4
19
20
Farâ’id dalam arti mawâris|, hukum waris muwaris, dimaksudkan sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris menurut ketentuan syara’.5 Untuk lebih jelasnya tentang pengertian hukum kewarisan, ada beberapa pengertian yang diberikan fuqaha, antara lain :
ااﻟﻔﻘﻪ اﻟﻤﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻹرث وﻣﻌﺮﻓﺔ اﻟﺤﺴﺎب اﻟﻤﻮﺻﻞ اﻟﻰ ﻣﻌﺮﻓﺔ اﻟﻘﺪر 6 اﻟﻮاﺟﺐ ﻣﻦ اﻟﺘﺮآﺔ ﻟﻜﻞ ذى ﺣﻖ Menurut Asy-Syarbini Fikih Mawaris ialah fikih yang berkaitan dengan pembagian warisan, pengetahuan tentang tata cara penghitungan yang dapat menyampaikan pada pembagian harta warisan dan pengetahuanpengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.
ﻋﻠﻢ ﻳﻌﺮف ﺑﻪ ﻣﻦ ﻳﺮث وﻣﻦ ﻻﻳﺮث وﻣﻘﺪار آﻞ وارث وآﻴﻔﻴﺔ اﻟﺘﻮزﻳﻊ Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian kewarisan Islam adalah seperangkat aturan-aturan pemindahan hukum tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, mengatur kedudukan ahli waris yang berhak dan bagian masing-masing secara adil dan sempurna sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’at.7 Adapun dasar hukum kewarisan mempunyai tiga sumber, yaitu :8 5 6
III: 3.
7
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 2. M. asy-Syarbini Al-Khâtib, Mugnil Muhtâj (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1958),
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm. 4. 8 Fathur Rahman, Ilmu Waris Islam (Bandung: PT al-Ma’arif, 1981), hlm. 33.
21
1. Al-Qur’an Dalam sistem hukum Islam, hukum kewarisan menempati posisi strategis. Ayat-ayat kewarisan secara eksplisit paling banyak dibicarakan dalam al-Qur’an.9 Angka-angka pecahan tersebut sangat jelas dan pasti.10 Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang memberikan tentang masalah kewarisan adalah an-Nisa (4) : 7, 8, 11, 12, 13, dan 176 serta surat al-Ahzab (33) : 6. 2. Hadist Meskipun al-Qur’an telah membicarakan tentang kewarisan secara jelas, namun ada beberapa bagian yang memerlukan ketentuan lebih rinci. Hadis Rasulullah adalah penguat bagi ketetapan Allah (al-Qur’an), dalam arti Rasulullah diberi hak interpretasi berupa hak untuk menjelaskan, baik berupa perkataan (qaûl), perbuatan (fi‘il), maupun dengan cara lain (suqut taqrîr). Di antara hadist Rasulullah yang membicarakan masalah kewarisan yaitu: 11
.أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺟﻌﻞ ﻟﻠﺠﺪة اﻟﺴﺪس إذا ﻟﻢ ﺗﻜﻦ دوﻧﻬﺎ أم
3. Ijtihad
9
Helmi Hakim, Pembaharuan Hukum Waris Islam Persepsi Metodologis (Jakarta: AlFajar, 1994), hlm. 11. 10 A. A. Basyir, “Reaktualisasi Pendekatan Sosiologis Tidak selalu Relevan”, dalam Iqbal Addurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, hlm. 112. 11 Abu Dâwud Sulaimân Ibn al-Asy’âs, Sunan Abi Dâwud, “Kitâb al-Farâ’id,” “Bâb fî alJaddati” (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), III: 7, Hadis nomor 2895. Hadis dari Muhammad bin ‘Abdul ‘Azîz bin Abî Riz|mah dari ‘Ubay dari ‘Abdullah (Abu al-Munîb al-Atki) dari Ibnu Buraidah dari Bapaknya. Hadis riwayat Abu Dâwud
22
Ijtihad para sahabat dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan dan sumbangsih yang tidak kecil terhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nas-nas yang sharih. Misal, status saudara-saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakek. Di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan. Yang dijelaskan ialah status saudarasaudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak lakilaki yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapat apa-apa lantaran terhijab kecuali dalam masalah kalalah mereka mendapatkan bagian. Menurut
pendapat kebanyakan sahabat dan imam-imam mazhab yang
mengutip pendapat Zaid bin S|abit, saudara tersebut bisa mendapat pusaka secara muqasamah dengan kakek.12 B. Sebab-sebab, Rukun-rukun, Syarat-syarat dan Penghalang Kewarisan 1. Sebab-sebab Terjadinya Kewarisan Dalam hukum islam, sebab-sebab menerima warisan ada 3 yaitu: a. Hubungan Kekerabatan (al-qarabah) Dalam ketentuan hukum Jahiliyah, kekerabatan yang menjadi sebab mewarisi adalah terbatas pada laki-laki yang telah dewasa. Islam datang memperbaharui dan merevisinya. Laki-laki dan perempuan, termasuk didalamnya anak-anak, bahkan bayi yang masih di dalam kandungan diberikan
hak untuk mewarisi, sepanjang hubungan
kekerabatannya membolehkan. Artinya, ada keketentuan bahwa kerabat yang dekat hubungannya, dapat menghalangi kerabat yang jauh. Adakalanya menghalangi (meng-hijab) sama sekali, ayau hanya sekedar 12
Fathur Rahman, op.cit, hlm. 33.
23
mengurangi bagian si terjihab. Yang pertama, atau hanya sekedar mengurangi bagian di terhijab. Yang pertama, seharusnya ahli waris bisa
menerima
bagian
karena
ada
hijab
(ahli
waris
yang
menghalanginya) berakibat tertutup sama sekali hak warisnya. Yang kedua seperti suami, sedianya menerima bagian ½, tetapi karena ada anak atau cucu, berkurang bagiannya menjadi ¼. a. Firman Allah SWT :
(75: )اﻻﻧﻔﺎل.ب اﻟﱠﻠ ِﻪ ِ ﺾ ﻓِﻲ ِآﺘَﺎ ٍ ﻀ ُﻬ ْﻢ َأ ْوﻟَﻰ ِﺑ َﺒ ْﻌ ُ َوأُوﻟُﻮ ا ْﻟَﺄ ْرﺣَﺎ ِم َﺑ ْﻌ Artinya : Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal: 75)13 b. Hubungan Perkawinan (al-musaharah) Perkawinan yang sah, menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan isteri. Yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi, baik secara agama maupun administratif. Tentang syarat administrarif ini, masih terdapat perbedaan pendapat pendapat. Ada yang menyebutnya sebagai syarat yang apabila tidak dipenuhi berakibat tidak sah perkawinannya. Hukum perkawinan di Indonesia, memberi kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan administrasi, tetapi ketentuan agama. Firman Allah SWT
13
Soenarjo, dkk. op. cit, hlm. 134.
24
ن َﻟ ُﻬﻦﱠ َ ن آَﺎ ْ ﻦ َﻟ ُﻬﻦﱠ َوَﻟ ٌﺪ َﻓِﺈ ْ ن َﻟ ْﻢ َﻳ ُﻜ ْ ﺟ ُﻜ ْﻢ ِإ ُ ك َأ ْزوَا َ ﻒ ﻣَﺎ َﺗ َﺮ ُ ﺼ ْ َوَﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻧ .ﻦ ٍ ﻦ ِﺑﻬَﺎ َأ ْو َد ْﻳ َ ﺻ ﱠﻴ ٍﺔ ﻳُﻮﺻِﻴ ِ ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ َو ْ ﻦ ِﻣ َ َوَﻟ ٌﺪ َﻓَﻠ ُﻜ ُﻢ اﻟﺮﱡ ُﺑ ُﻊ ِﻣﻤﱠﺎ َﺗ َﺮ ْآ (12 : )اﻟﻨﺴﺄ Artinya “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak”. (QS. An-Nisa’ : 12)14 c. Hubungan karena sebab al-wala’ Al-wala’
yaitu
hubungan
kewarisan
akibat
seseorang
memperdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terakhir, agaknya jarang dilakukan jika malah tidak ada sama sekali. Adapun al-wala’ yang pertama disebut dengan wala’ al’ataqah atau ‘usubah sababiyah dan yang kedua disebut wala’ al-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian perwalian. Orang yang memerdekakan hamba sahaya, jika laki-laki disebut mu’tiq, jika perempuan mu’tiqah. Wali penolong disebut maula dan orang yang ditolong disebut dengan mawali.15
2. Rukun-rukun Kewarisan
14 15
Ibid, op.cit, hlm. 112. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris,(Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 1998), hlm.34-36
25
Rukun-rukun kewarisan ada tiga yaitu:16 a. Muwarris (orang yang memberi warisan), yakni mayat dimana orang lain berhak mewarisi dari padanya akan apa saja yang ditinggalkan sesudah matinya. b. Wâris (penerima warisan), yakni orang yang berhak mewarisi dengan sebab yang telah dijelaskan, seperti : kekerabatan, pernasaban, perkawinan dan sebagainya. c. Maurûs (benda yang diwariskan), yaitu sesuatu yang ditinggalkan mayat, seperti : harta, kebun dan sebagainya. Maurûs ini juga disebut irsun, turâsun dan murâs|un yang kesemuanya merupakan sebutan untuk segala sesuatu yang ditinggalkan mayat ahli waris. 3. Syarat-syarat Kewarisan Syarat-syarat kewarisan ada tiga yaitu:17 a. Meninggalnya pewaris Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris baik secara hakiki ataupun secara hukmiy ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaanya. Sebagai contoh orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal. Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya manusia yang masih hidup tetap dianggap 16 17
Muhammad Ali ash-Shabuniy, op.cit, hlm. 56. Ibid., hlm. 56-58.
26
mampu untuk mengendalikan seluruh hartanya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun kecuali setelah ia meninggal. b. Masih hidupnya para ahli waris Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syari’at benar-benar masih hidup sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi. c. Diketahuinya posisi ahli waris Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, isteri dan sebagainya. Sehingga pembagi mengetahui masing-masing ahli waris. Sebab dalam hukum kewarisan perbedaan jauh dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dijelaskan apakah ia saudara kandung, seayah atau seibu. Mereka masing-masing hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai z|awî alfurûd}, ada yang ‘as}abah, ada yang terhalang tidak mendapatkan warisan (mahjûb). 4. Penghalang Kewarisan Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘alirs adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-muwarris. Adapun hal-hal yang dapat menghalangi tersebut, yang disepakati Ulama ada tiga, yaitu: 1. Pembunuhan, 2. Berlainan Agama, dan, 3 Berlainan Negara.18 a. Pembunuhan 18
Fathur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 83.
27
Pembunuhan terhadap pewaris oleh ahli waris menyebabkan tidak dapat mewarisi harta yang ditinggal oleh orang yang dibunuh meskipun yang dibunuh tidak meninggalkan ahli waris lain selain yang dibunuh. Sabda Rasul : 19
اﻟﻘﺎ ﺗﻞ ﻻ ﻳﺆﺛﺮ
“ Pembunuh tidak termasuk orang yang mendapatkan warisan” b. Berlainan agama Keadaan berlainan agama menghalangi memperoleh harta warisan. Dalam hal ini yang dimaksud ialah antara ahli waris dengan muwarris berbeda agama. Sabda Rasul : 20
.ﻻ ﻳﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻاﻟﻜﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ
Dalam urusan dunia dan akherat hubungan antara dua kerabat yang tidak seagama hanya sebatas dalam hal-hal berbuat baik saja dalam pergaulan dunia dan tidak menyangkut soal agama. Hak kewarisan merupakan soal agama karena ketentuan pelaksanaannya atas kehendak Allah SWT.
c. Berlainan Negara Ditinjau dari segi agama orang yang mewariskan dan orang yang mewarisi, berlainan negara diklasifikasikan menjadi dua :
19
At-Tirmiz|î, Sunan at-Tirmiz|î, “Bâb Mâ Jâ’a fî Ibtâl Mirâs| al-Qâtil” (Beirût: Dâr alFikr, 1988), hlm. 370. Hadis riwayat dari Abu Hurairah. 20 Al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, “Kitâb al-Farâ’id”, “Bâb lâ Yaris al-Muslim al-Kafir walâ al-Kafir al-Muslim, VIII: 14. Hadis riwayat Usamah ibn Zaid
28
1) Berlainan negara antar orang-orang non Muslim Menurut Abu Hanifah dan sebagian ulama Hanabilah sebagaimana dikutip Fatchur Rahman dalam bukunya Ilmu Waris, bahwa berlainan negara antar orang-orang non muslim menjadi penghalang saling mewarisi diantara mereka, karena terputusnya ‘ismah dan tidak adanya hubungan perwalian. Memberikan pusaka kepada ahli waris yang berbeda negaranya dengan negara muwarris berarti memberikan harta pusaka kepada musuhnya atau musuh keluarganya.21 2) Berlainan negara antar orang Islam Berlainan negara antar orang Islam tidak menjadi penghalang untuk saling mewarisi. Sebab negara-negara Islam itu dianggap sebagai negara kesatuan. Hubungan kekuasaan (‘ismah) antar negaranegara tersebut tidak putus, bahkan terjalin rasa solidaritas antar warga negaranya satu sama lain. Lebih jauh dari itu bahwa negaranegara tersebut menjalankan fungsi yang sama yaitu hukum Islam, walaupun tiap-tiap negara itu mempunyai perbedaan mengenai bentuk kenegaraannya, sistem pemerintahannya, politik yang dianutnya, peraturan-peraturan yang dijalankan dan sebagainya.22 C. Asas-Asas Kewarisan Islam Asas-asas hukum kewarisan dapat ditemui dari keseluruhan ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an dan penjelasan yang diajarkan oleh Rosulullah dalam
21 22
Fathur Rahman, op.cit, hlm. 198. Ibid., hlm. 109.
29
sunnahnya, disini akan dijelaskan lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan tersebut yaitu: 1. Asas Ijbari Kata
Ijbari
secara
leksikal
mengandung
arti
paksaan
(Compulsory), yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku sendirinya menurut kehendak Allah swt tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak ahli waris atau pewaris cara seperti ini disebut ijbari. Adanya unsur Ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak akan memeberatkan orang yang akan menerima waris, karena menurut ketentuan hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan oleh pewaris. Adanya asas ijbari dalam hukum Islam dapat dilihat dari segi peralihan harta (bahwa harta orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah swt), segi jumlah pembagian (bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu) dan segi kepada siapa harta warisan itu beralih (bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara
30
pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia yang dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak).23 2. Asas Bilateral Asas ini membicarakan tentang kemana arah peralihan harta itu di kalangan ahli waris. Asas bilateral dalah hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah, hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak waris dari kedua belah pihak garis keturunan, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.24 3. Asas Individual Asas individual artinya bahwa dalam sistem hukum kewarisan Islam, harta peninggalan yang ditinggal oleh orang yang meninggal dunia dibagi secara individual langsung kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.25 Pembagian secara individual ini didasarkan kapada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang dalam istilah ushul fiqh disebut Ahliyat al-Wujub.26
23
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm.92. 24 Amir Syarifuddin, op.cit, hlm.20. 25 Idris Ramulyo, op.cit., hlm. 93. 26 Abdul Wahab Khalaf, Ushūl al fiqh, Dewan Dakwah Islam Indonesia, (Jakarta: 1974), hlm.136.
31
Pembagian secara individual ini adalah ketentuan mengikat dan wajib dijalankan oleh setiapmuslim dengan sanksi yang sangat berat di akhirat bagi yang melanggarnya sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 13 dan 14. 4. Asas Keadilan Berimbang Asas keadilan berimbang dala hukum kewarisan, secara sadar dapat dikatakan bahwa laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak tampil sebagaiahli waris yang mewarisi harta peninggalan. Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saatmenerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. 5. Asas semata akibat kematian Asas ini berati bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Ini juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung, maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk kedalam istilah kewarisan menurut hukum Islam. Asas kewarisan akibat kematian ini mempunyai kaitan erat dengan asas ijbari .pada hakekatnya, seseorang yang telah memenuhi syarat sebagai subyek hukum dapat menggunakan hartanya secara penuh untuk memenuhi keinginannya dan kebutuhan sepanjang hayatnya.
32
Namun, setelah meninggal dunia, ia tidak lagi memiliki kebebasan tersebut.27
D. Kewajiban Ahli Waris Sebelum Mendapat Warisan Bagi ahli waris, merupakan suatu kewajiban untuk mengurus harta peninggalan pewarisnya. Sebelum harta tersebut dibagikan kepada para ahli warisnya, harta warisan terlebih dahulu diambil guna pemenuhan dan pengurusan pewaris, membayar hutang-hutangnya dan pemenuhan wasiat bagi pewarisnya. Syarat yang harus ada bagi ahli waris untuk dapat menerima harta peninggalan adalah masih dalam keadaan hidup pada saat pewarisnya meninggal, baik secara hakikat maupun menurut penetapan hakim.28 Masih hidupnya ahli waris dapat dibuktikan dengan persaksian dan keterangan pengadilan. Adapun ahli waris yang dianggap dalam keadaan hidup, seperti anak dalam kandungan kemudian gugur karena suatu tindak pidana terhadap ibunya, akan tetapi telah sempurna bentuk kejadiannya, maka ia dapat mewarisi bagian dari harta pusaka. Apabila terjadi meninggalnya pewaris, maka suatu kewajiban yang harus dilakukan ahli waris terhadap pewaris tersebut adalah sebagai berikut: 29 1. Biaya perawatan Jenazah Yakni pengurusan terhadap segala yang diperlukan oleh pewaris sejak dari wafat sampai menguburkannya, seperti: pengeluaran untuk 27
Amir Syarifuddin, op.cit., hlm.28. Hasbi Ash-Shidieqy, Fiqhul Mawaris, Hukum-Hukum Waris Islam, cet. I (Jakarta: Bulan Bintang, 197), hlm.33. 29 Ahmad Rofiq, op.cit, hlm. 37-47 28
33
pemenuhan kebutuhan si mayit, memandikannya, mengkafankannya, menguburkannya,
dan
segala
sesuatu
yang
diperlukan
sampai
dikuburkannya. Hak ini harus didahulukan dengan mengambil harta peninggalan sebelum harta tersebut diambil guna pemenuhan hak-hak lainnya. Berkenaan dengan pengeluaran untuk kebutuhan simayit, haruslah memperhatikan apa yang dipandang ma’ruf
oleh agama, yakni tanpa
berlebih-lebihan dan tanpa terlalu menyedikitkan. Hal ini berbeda-beda menurut keadaan orang yang meninggal dunia. Mazhab
Ibnu
Hambal
berpendapat,
keperluan
ini
harus
didahulukan dari pada membayar hutang, walaupun hutang itu berkaitan dengan sesuatu benda, seperti hutang orang yang menggadaikan barangnya. Sementara menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanifiyah lebih mendahulukan pembayaran hutang yang berkaitan dengan pembayaran benda, setelah itu barulah diambil untuk keperluan tajhiz. Namun
menurut
Muhammad
bin
Hasan
asy-Syaibaniy
berpendapat, bahwa pengurusan jenazah dari keluarga seseorang tidak dibebankan kepada hartanya sendiri, tetapi dibebankan kepada harta keluarganya. Bila keluarga itu tidak mempunyai harta, maka biaya itu ditanggung
oleh
walinya,
kematiannyan itu. 2. Dibayarkan hutang-hutangnya.
karena
hubungannya
terputus
dengan
34
Utang dari seseorang yang telah meninggal tidak menjadi beban ahli waris, karena utang itu dalam Islam tidak diwarisi. Utang tetap menjadi tanggung jawab yang meninggal yang dibebankan kepada harta yang ditinggalkan. Kewajiban ahli waris atau orang yang ditinggal hanya sekedar menolong membayarkan hutang tersebut dari harta yang ditinggalkannya itu. Tidak dibebankannya utang kepada ahli warisnya itu dapat dipahami dari Firman Allah SWT.
(38 : … )اﻟﻨﺠﻢ.ﺧﺮَى ْ َأﻟﱠﺎ َﺗ ِﺰ ُر وَا ِز َر ٌة ِو ْز َر ُأ Artinya : (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (QS. An-Najam : 38).30 Untuk itu sebelum harta dibagikan semua hutangnya harus dilunasi semua terlebih dahulu. Mazhab Hanafiyah berpendapat hutang-hutang yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal dunia kepada Allah yang tidak dimintakan tanggung jawabnya kepada manusia, seperti: mengeluarkan zakat, membayar kafarat, memenuhi nazar tidak perlu dilaksanakan oleh ahli warisnya. Sementara jumhur berpendapat hal tersebut wajib dipenuhi sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli warisnya. 3. Melaksanakan Wasiat Jika sesudah mengeluarkan biaya jenazah dan membayarkan utang, harta peninggalan masih ada maka tindakan selanjutnya adalah membayarkan atau menyerahkan wasiat yang dibuat pewaris sepanjang 30
Soenarjo, dkk. op.cit, hlm. 343
35
tidak melebihi sepertiga (1/3) bagian dari harta peninggalan. Adapun kadar wasiat yang melebihi sepertiga dari harta peninggalan, maka diperlukan adanya persetujuan dari ahli warisnya. Adapun tingkatan-tingkatan ahli waris adalah sebagai berikut: a. Golongan ahli waris yang mempunyai bagian tetap (Asabul Furud) Yakni ahli waris yang mendapat harta warisan dengan ketentuan seperti yang telah ditentukan al-Qur’an, hadis} dan ijma’. Golongan ini mendapat giliran pertama dalam perolehan harta warisan. b. Golongan Asabah Nasabiyah Yakni orang-orang yang mendapat bagian dari kelebihan harta warisan setelah dibagikan kepada orang-orang yang mendapat bagian tetap (As}abul Furud). Golongan ini memperoleh seluruh harta warisan jika tidak ada golongan ahli waris lainnya, yang termasuk golongan ini seperti: anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) jika tidak ada anak laki-laki. 4. Mengembalikan kelebihan harta warisan kepada Zawil Furud Jika terdapat kelebihan harta warisan, tetapi tidak ada golongan ahli waris yang menerima harta warisan berdasarkan sistem kelebihan (As}abah Nasabiyah), maka kelebihan itu diberikan kepada Zawil Furud sesuai dengan bagiannya masing-masing, kecuali suami-istri. Suami-istri tidak termasuk golongan ini karena mereka menerima warisan hanya karena adanya hubungan perkawinan. 5. Membagi harta warisan kepada Zawil Arham
36
Yakni kerabat pewaris tetapi tidak termasuk kelompok Zawil Furud maupun As}abah. Golongan ini dapat menerima bagian harta warisan dengan ketentuan tidak adanya kedua golongan tersebut. 6. Mengembalikan harta warisan kepada Suami-Istri Pengembalian harta warisan kepada salah seorang diantara suamiistri dapat dilakukan karena adanya ikatan hubungan perkawinan. 7. Mendapatkan bagian harta warisan karena Suatu Sebab Seseorang dapat memperoleh harta warisan karena adanya suatu sebab, yaitu sebab memerdekakan budak (As}abah Sababiyah), baik lakilaki maupun wanita. Akan tetapi pada zaman sekarang ahli waris ini tidak ada lagi, hanya sebagai wacana. 8. Mendapat bagian harta warisan karena Wasiat Seseorang dapat memperoleh bagian harta warisan karena adanya pemberian wasiat dari pewaris. Kadar maksimal wasiat ini adalah sepertiga (1/3) dari harta pusaka. Perolehan kadar lebih dari sepertiga (1/3) dapat diperbolehkan jika pewaris meninggal tanpa adanya ahli waris atau dengan persetujuan para ahli warisnya. 9. Menyerahkan harta peninggalan kepada Kas Kaum Muslimin. Jika seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris seorangpun, maka harta peninggalan diserahkan kepada kas keuangan kaum muslimin (Baitul Mal), harta tersebut kemudian digunakan untuk kemaslahatan umat. E. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya
37
Kata ahli waris yang secara bahasa berarti keluarga tidak otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan saudaranya yang meninggal dunia. Ada dua macam ahli waris, yaitu: 1. Ahli waris nasabiyah, karena hubungan darah 2. Ahli waris Sababiyah, timbul karena: -
Perkawinan yang sah (al-musaharah)
-
Memerdekakan hamba sahaya (al-wala’) atau karena perjanjian tolong menolong. Apabila dilihat dari bagian-bagian yang diterima, dapat dibedakan
kepada: 1. Ahli waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang telah ditentukan besar kecilnya, seperti ½, 1/3, atau 1/6. 2. Ahli waris ‘asabah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta dibagikan kepada ahli waris ashab al-furu. 3. Ahli Waris zawi al-arham yaitu ahli waris karena hubungan darah tetapi menurut ketentuan Al-Qur'an tidak berhak menerima warisan. Apabila dilihat dari hubunga kekerabatan (jauh-dekat)nya sehingga yang dekat lebih berhak menerima warisan daripada yang jauh dapat dibedakan. 1. Ahli waris hijab, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi yang jauh, atau karena garis keturunannya menyebabkannya menghalangi orang lain. 2. Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada. Jumlah keseluruhan ahli waris yang secara hukum berhak menerima warisan, baik ahli waris nasabiyah atau sababiyah, ada 17 orang, terdiri dari 10 orang laki-laki dan 7 orang perempuan. Apabila dirinci seluruhnya ada 25
38
orang, 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan. Agar lebih mudah dipahami, uraian selanjutnya digunakan jumlah ahli waris 25 orang.31 1. Ahli Waris Nasabiyah Ahli
waris
nasabiyah
adalah
ahli
waris
yang
pertalian
kekerabatannya kepada muwarris berdasarkan hubungan darah. Ahli waris nasabiyah ini terdiri
13 orang laki-laki dan 8 orang perempuan.
Seluruhnya 21 orang. Ahli waris laki-laki, berdasarkan urutan kelompoknya sebagai berikut: a. Anak laki-laki (al-ibn) b. Cucu lakilaki garis laki-laki c. Bapak d. Kakek dari bapak e. Saudara laki-laki sekandung f. Saudara laki-laki seayah g. Saudara laki-laki seibu h. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung i. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah j. Paman. Saudara bapak sekandung k. Paman seayah l. Anak laki-laki paman sekandung m. Anak laki-laki paman seayah Dari ahli waris nasabiyah tersebut di atas, apabila dikelompokkan menurut tingkatan kekerabatannya adalah sebagai berikut: a. Furu ‘al-waris yaitu ahli waris anak keturunannya di mati, atau disebut kelompok cabang (al-bunuwwah). Kelompok inilah yang terdekat, dan mereka yang didahulukan menerima warisan. Ahli waris kelompok ini adalah: 1) Anak perempuan 2) 31
Cucu perempuan garis laki-laki
Ahmad Rofiq, op.cit, hlm. 49-50
39
3)
Anak laki-laki cucu laki-laki garis laki-laki
b. Usul al-waris yaitu ahli waris leluhur di mati. Kedudukannya berada setelah kelompok furu’ al-waris. Mereka adalah: 1) Bapak 2) Ibu 3) Kakek garis bapak 4) Nenek garis ibu 5) Nenek garis bapak c. Al-Hawasyi, yaitu ahli waris kelompok saudara, termasuk di dalam paman dan keturunanya. Seluruhnya ada 12 orang yaitu: 1) Saudara perempuan sekandung 2) Saudara perempuan seayah 3) Saudara perempuan seibu 4) Saudara laki-laki sekandung 5) Saudara laki-laki seayah 6) Saudara laki-laki seibu 7) Anak saudara laki-laki sekandung 8) Anak saudara laki-laki seayah 9) Paman sekandung 10) Paman seayah 11) Anak paman sekandung 12) Anak paman seayah 2. Ahli Waris Sababiyah Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang berhubungan pewarisnya timbul karena sebab-sebab tertentu, yaitu: a. Sebab perkawinan, yaitu suami atau isteri b. Sebab memerdekakan hamba sahaya Sebagai ahli warisan sababiyah, mereka dapat menerima warisan apabila perkawinan suami-isteri tersebut sah. Begitu juga hubungan yang
40
timbul sebab memerdekakan hamba sahaya, hendaknya dapat dibuktikan menurut hukum yang berlaku.32 3. Al-Furud Al-Muqaddarah dan Macam-macamnya Kata al-furud adalah bentuk jamak dari kata fard artinya bagian (ketentuan). Al-Muqaddarah artinya ditentukan. Jadi al-furud almuqaddarah maksudnya adalah bagian-bagian yang telah ditentukan besar kecilnya di dalam Al-Qur'an. Bagian-bagian itulah yang akan diterima oleh ahli waris menurut jauh-dekatnya hubungan kekerabatan. Macam-macam al-furud al-muqaddarah yang diatur di dalam AlQur'an ada 6, yaitu: a. Setengah/separoh
(1/2 = al-fisf)
b. Sepertiga
(1/3 = al-sulus)
c. Seperempat
(1/4 = al-rubu’)
d. Seperenam
(1/6 = al-sudus)
e. Seperdelapan
(1/8 = al-sumun)
f. Dua pertiga
(2/3 = al-sulusan ‘alsulusain)
4. Ahli Waris Ashab al-Furud dan Hak-haknya Pada penjelasan dibawah ini tidak dipisahkan lagi antara ahli waris nasabiyah dan sababiyah. Pertimbangannya mereka sama-sama sebagai ashab al-wurud. Pada umumnya ahliwaris ashab al-wurud adalah perempuan, sementara ahli waris laki-laki yang menerima bagian tertentu adalah bapak, atau kakek, dan suami. Selain itu, menerima bagian sisa (‘asabah). Adapun hak-hak yang diterima ahli waris ashab al-furud adalah.33 a. Anak perempuan, berhak menerima bagian: ½ jika sendirian tidak bersama anak laki-laki 2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama anak laki-laki b. Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima:
32 33
Ibid., hlm. 54 Ibid.,hlm. 55-56
41
½ jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub (terhalang). 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub. 1/6 sebagai pelengkap 2/3 jika bersama seorang anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan dua orang atau lebih ia tidak mendapatkan bagian. c. Ibu, berhak menerima bagian: 1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far’u waris) atau saudara dua orang atau lebih. 1/6 jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih.1/3 x sisa, dalam masalah Garrawain, yaitu apabila ahli waris terdiri dari: suami/isteri, ibu dan bapak. d. Bapak berhak menerima bagian: 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki 1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki. Jika bapak bersama ibu: -
Masing-masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.
-
1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang lebih.
-
Ibu menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk suami atau isteri.
e. Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian: 1/6 jika seorang 1/6 dibagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya. f. Kakek, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian: 1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki
42
1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki. 1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain. 1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain. g. Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian: ½ jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung. 2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung. h. Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian: 2/3 seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah. 2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki seayah. 1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap 2/3. i. Saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan kedudukannya sama. Apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian: 1/6 jika seorang diri 1/3 dua orang atau lebih bergabung menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris sunni dan ibu (musyarakah) j. Suami, berhak menerima bagian: ½ jika tidak mempunyai anak atau cucu. ¼ jika bersama dengan anak atau cucu. k. Isteri, berhak menerima bagian: ¼ jika tidak mempunyai anak atau cucu. 1/8 jika bersama anak atau cucu. 5. Ahli Waris ‘Asabah dan Macam-macamnya ‘Asabah adalah bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab al-furud. Sebagai penerima bagiansisa, ahli waris ‘asabah, terkadang
43
menerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang menerima sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena habis diambil ahli waris ashab al-furud. Adapun macam-macam ahli waris ‘asabah ada tiga macam, yaitu:34 a. ‘Asabah bin nafsi, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ‘asabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (perempuan yang memerdekakan sahaya), yaitu: 1) Anak laki-laki 2) Cucu kali-laki dari garis laki-laki 3) Bapak 4) Kakek (dari garis bapak) 5) Saudara laki-laki sekandung 6) Saudara laki-laki seayah 7) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung 8) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah 9) Paman sekandung 10) Paman seayah 11) Anak laki-laki paman sekandung 12) Anak laki-laki paman eayah 13) Mu’tiq
dan
atau
mu’tiqah
(anak
laki
atau
perempuan
memerdekakan hamba sahaya) b. ‘Asabah bi al-Gair, yaitu ahli waris yang menerima sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang menerima bagian sisa. Apabila ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu (tidak menerima ’asabah). Ahli waris ‘asabah bi al-gair tersebut adalah:35 1) Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki.
34 35
Ibid., hlm. 60 Ibid., hlm. 61
44
2) Cucu perempuan garis laki-laki, bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki. 3) Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki sekandung. 4) Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah. c. Asabah ma’al-Ghair, ialah ahliwaris yang menrima bagian ‘asabah karena bersama ahli waris lain bukan penerima bagian ‘asabah. Apabila ahli waris tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu. ‘asabah ma’ al-Gair ini diterima ahli waris: 1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) karena bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau bersama degan cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih). 2) Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih). Misalnya seorang meninggal, ahli warisnya terdiri dari seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki, dan dua orang saudara perempuan seayah.36 6. Ahli Waris yang terhijab Hijab secara harfiyah berarti satir, penutup atau penghalang, dalam fiqih mawaris istilah hijab digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang jauh hubungan kekerabatannya yang kadang-kadang atau seterusnya terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat. Orang yang menghalangi disebut hajib dan orang yang terhalang disebut mahjub, keadaan menghalangi disebut hijab. Hijab ditilik dari akibatnya dibagi menjadi dua macam, sebagaimana berikut:37 a. Hijab Nuqshan
36 37
Ibid., hlm. 62 Ibid, hlm. 72-75
45
Hijab Nuqshan yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub, seperti suami yang seharusnya mendapat bagian ½ karena bersama anak baik laki-laki maupun perempuan, bagiannya terkurang menjadi ¼. Ibu yang sedianya menerima bagian 1/3, karena bersama dengan anak, atau bersama dua saudara atau lebih maka bagiannya terkurang menjadi 1/6. Berikut rinciannya dalam tabel No 1
Ahli Waris
Bagian
Ibu
Terkurang Oleh
Menjadi
1/3
- Anak atau cucu
1/6
1/3
- 2 saudara atau
1/6
lebih 2
Bapak
’Ashabah
- Anak laki laki
- 1/6
’Ashabah
- Anak perempuan
- 1/6+Ashabah
3
Isteri
¼
- Anak atau cucu
1/8
4
Suami
½
- Anak atau cucu
¼
5
- Saudara perempuan
- ½
- Anak atau cucu
- Ashabah
sekandung/seayah - Saudara perempuan
perempuan - 2/3
2 atau lebih 6
Ma’a Ghair
- Anak atau cucu
- Ashabah
perempuan
Cucu (pr) garis Lk-lk
½
Ma’a Ghair
- Seorang anak
1/6
(pr) 7
Saudara (pr) seayah
½
- Seorang saudara
1/6
(pr) kandung Keterangan: Ahli waris nenek jika tidak mahjub oleh ibu atau bapak, mendapat bagian 1/6 (kedudukannya hampir sama dengan ibu). Demikian juga kakek jika tidak ada bapak, kedudukannya sama dengan bapak, kecuali dalam masalah Al-Jadd ma’a Al-Ikhwah. b. Hijab Hirman Hijab
Hirman
yaitu
menghalangi
secara
total
yang
mengakibatkan hak-hak ahli waris yang termahjub tertutup sama sekali
46
dengan adanya ahli waris yang menghalangi. Misalnya, saudara perempuan sekandung yang semula berhak menerima bagian 1/2 , akan tetapi karena bersama dengan anak laki-laki menjadi tertutup sama sekali dan tidak mendapat bagian. Saudara seibu yang pada dasarnya mendapat bagian 1/6 karena bersama dengan anak perempuan maka menjadi tertutup sama sekali baginya untuk memperoleh warisan. Berikut rinciannya dalam tabel No
Ahli Waris
Bagian
Terhalang oleh
1
Kakek
1/6
Ayah
2
Nenek garis ibu
1/6
Ibu
3
Nenek garis Ayah
1/6
Ayah dan ibu
4
Cucu (lk) garis laki-laki
‘Ashabah
Anak (laki-laki)
5
• Cucu (pr) garis laki-
½
Anak (laki-laki),
2/3
2 anak (pr) atau lebih
‘Ashabah
Anak (lk), cucu (lk),
sekandung
½
dan ayah
• Saudara (pr)
2/3
laki • 2 Cucu (pr) garis lakilaki atau lebih 6
• Saudara (lk)
sekandung • 2 saudara (pr) sekandung atau lebih 7
• Saudara (lk-lk) seayah
‘Ashabah
Anak (lk), cucu (lk),
• Saudara (pr) seayah
½
ayah, saudara (lk)
• 2 Saudara (pr) seayah
2/3
sekandung, saudara (pr) sekandung
atau lebih
bersama anak/cucu perempuan. 8
• Saudara lk/pr seibu
1/6
Anak (lk) dan anak
47
• 2 Saudara lk/pr seibu
1/3
(pr), Cucu (lk) dan cucu (pr), ayah dan
atau lebih
kakek. 9
Anak (lk) dari saudara
‘Ashabah
(lk) sekandung
Anak (lk), cucu (lk), ayah atau kakek, saudara (lk) sekandung atau seayah, saudara (pr) sekandung atau seayah yang menerima Ashabah ma’a alGhair
10
Anak (lk) dari saudara
‘Ashabah
Seayah
Anak atau cucu (lk), ayah atau kakek,saudara (lk) sekandung atau seayah, anak (lk) dari saudara (lk) sekandung, Saydara (pr) sekandung atau seayah yang menerima ’Ashabah Ma’a alGhoir
11
Paman Sekandung
‘Ashabah
Anak atau cucu (lk), ayah atau kakek,saudara (lk) sekandung atau seayah, anak (lk) dari saudara (lk) sekandung,
48
Saudara (pr) sekandung atau seayah yang menerima ’Ashabah Ma’a alGhoir 12
Paman seayah
‘Ashabah
Anak atau cucu (lk), ayah atau kakek,saudara (lk) sekandung atau seayah, anak (lk) dari saudara (lk) sekandung, Saydara (pr) sekandung atau seayah yang menerima ’Ashabah Ma’a alGhoir dan paman sekandung
13
Anak (lk) dari Paman sekandung
‘Ashabah
Anak atau cucu (lk), ayah atau kakek,saudara (lk) sekandung atau seayah, anak (lk) dari saudara (lk) sekandung, Saudara (pr) sekandung atau seayah yang menerima ’Ashabah Ma’a alGhoir dan paman
49
sekandung/seayah 14
Anak (lk) dari Paman seayah
‘Ashabah
Anak atau cucu (lk), ayah atau kakek,saudara (lk) sekandung atau seayah, anak (lk) dari saudara (lk) sekandung, Saydara (pr) sekandung atau seayah yang menerima ’Ashabah Ma’a alGhoir, paman sekandung/seayah dan Anak (lk) dari Paman sekandung
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN MASYARAKAT SAMIN DI DESA SAMBONG REJO KABUPATEN BLORA
Hukum Islam disyariatkan oleh Allah dengan tujuan utama merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun masyarakat. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam itu menyangkut
seluruh
aspek
kepentingan
manusia.
Maqasid
al-Syari’ah
mengandung empat aspek: 1. Kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat. 2. Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami. 3. Syariat sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan. 4. Tujuan syariat membawa manusia ke dalam sebuah hukum. Kemaslahatan itu dapat diwujudkan bila lima unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara, kelima unsur itu adalah : Agama, Jiwa, Keturunan, Akal, dan Harta (Usul al-Khamsah). Aspek-aspek kepentingan manusia itu menurut para ulama’, dapat diklarifikasikan menjadi tiga aspek, yaitu: daruriyat (Primer), hajjiyat (sekunder), tahsiniyat (stabilitas sosial). Tahsiniyat adalah aspek yang paling asasi dalam kehidupan manusia. Apabila aspek ini terganggu maka kehidupan akan kacau.1 Aspek-aspek mu’amalah (interaksi sosial) adalah jenis hukum yang mengatur secara khusus
1
Said Agil Husain al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta: Penamadani, 2004), hlm. 19.
79
80
hubungan hamba dengan sesamanya. Aspek-aspeknya diantaranya adalah munakahat (perkawinan), mawaris (kewarisan), ba’i (jual beli) dan lain-lain. Hukum kewarisan yang mengatur peralihan harta benda dari orang yang sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup adalah termasuk ke bidang mu’amalah, lebih khusus lagi termasuk kedalam bidang hukum keluarga.2 Menurut Basyir, inti dari persoalan kewarisan adalah bagaimana harta peninggalan itu diberlakukan, kepada siapa ia akan dialihkan dan bagaimana cara peralihannya.3 Masyarakat Sedulur Sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora menggunakan cara yang hampir mirip dengan cara yang dilakukan oleh masyarakat sebelum Islam yang menggunakan tiga sebab untuk dapat mewarisi: sebab pertalian darah (qarabah), janji setia (muhalafah), adopsi (tabaniy). Kekerabatan bagi masyarkat Sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora adalah hal utama dalam menentukan warisan. Mereka menggunakan pertalian ini untuk menyatukan tali kekeluargaan juga termasuk ahli waris. Sedangkan bagi keluarga yang tidak mempunyai keturunan, mereka bisa mengadopsi anak dari kerabat terdekat. Dan anak tersebut pun mendapat semua harta warisan. Padahal dalam hukum Islam anak yang dipungut tidak mendapat warisan, jika ada ahli waris atau orang tua kandung yang masih hidup. Semua pertalian ahli waris yang ada hubungan darah, baik laki-laki maupun perempuan, saudara dan anak-anak diberi hak untuk menerima bagian
2
Hazairi, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Quran dan Hadis (Jakarta: Tinta Mas, 1982), hlm.27. 3 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 1990), hlm.2.
81
menurut jauh dekatnya. Kekerabatan yang dipakai dalam kewarisan Islam adalah sistem kekerabatan bilateral dan parental. Artinya penentuan hubungan kekerabatan dihubungkan pada garis ibu dan garis ayah.4 Hubungan kekerabatan dalam Islam dijelaskan dalam firman Allah :
(75: )اﻻﻧﻔﺎل.ب اﻟﱠﻠ ِﻪ ِ ﺾ ﻓِﻲ ِآﺘَﺎ ٍ ﻀ ُﻬ ْﻢ َأ ْوﻟَﻰ ِﺑ َﺒ ْﻌ ُ َوُأوﻟُﻮ ا ْﻟَﺄ ْرﺣَﺎ ِم َﺑ ْﻌ. Artinya : Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal: 75) Masyarakat sedulur sikep juga menetapkan suami Istri sebagai ahli waris. Penetapan ini sesuai dengan hukum Islam. Namun mayoritas suami istri pada masyarakat Sikep memberikan harta mereka kapada ahli waris sebelum mereka meninggal dan jika salah satu dari suami istri meninggal, maka harta tersebut langsung menjadi milik ahli waris yang telah ditunjuk oleh suami atau saudarasaudara melalui musyawarah. Sedangkan untuk mencukupi kehidupan mereka ditanggung oleh ahli waris tersebut. Mengenai dasar hukum sebab perkawinan diterangakan dalam al-Qur’an:
ن َﻟ ُﻬﻦﱠ َوَﻟ ٌﺪ َ ن آَﺎ ْ ﻦ َﻟ ُﻬﻦﱠ َوَﻟ ٌﺪ َﻓِﺈ ْ ن َﻟ ْﻢ َﻳ ُﻜ ْ ﺟ ُﻜ ْﻢ ِإ ُ ك َأ ْزوَا َ ﻒ ﻣَﺎ َﺗ َﺮ ُ ﺼ ْ َوَﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻧ : )اﻟﻨﺴﺄ.ﻦ ٍ ﻦ ِﺑﻬَﺎ َأ ْو َد ْﻳ َ ﺻ ﱠﻴ ٍﺔ ﻳُﻮﺻِﻴ ِ ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ َو ْ ﻦ ِﻣ َ َﻓَﻠ ُﻜ ُﻢ اﻟﺮﱡ ُﺑ ُﻊ ِﻣﻤﱠﺎ َﺗ َﺮ ْآ (12 Artinya “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istriistrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari 4
hlm.339.
Ahmad Rofiq, Hukum Waris Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995),
82
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak”. (QS. An-Nisa’ : 12) Dalam ayat itu digunakan kata azwaj. Penggunaan kata azwaj yang secara leksikal berarti pasangan (suami/istri), menunjukkan dengan gamblang hubungan kewarisan antara suami dan istri. Bila hubungan kewarisan berlaku antara mempunyai hubungan karena kekerabatan, adanya hubungan alamiah di antara keduanya, maka adanya hubungan kewarisan antara suami istri disebabkan adanya hukum suami dan istri.5 Sedang masalah adopsi, masyarakat Sikep menyebut adopsi atau pengangkatan anak dengan istilah mupu. Pengangkatan anak atau adopsi dalam kamus Indonesia-Jawa berarti pamupuning anak.6 Pengertian anak angkat menurut kamus Hukum adalah anak orang lain yang dijadikan anak sendiri sejak kecil, pengangkatannya dengan adopsi.7 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.8 Dalam ajaran Islam, pengangkatan anak disebut dengan istilah tabanni. Istilah tersebut untuk menyebutkan suatu kebiasaan yang berlaku pada masa jahiliyah. Maksudnya, bila seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri, maka berlakulah terhadap anak ini hak yang berlaku atas anak kandung. Ali Yafie berpendapat dalam Islam tidak dikenal istilah anak angkat dan tidak ada sejarahnya. Dalam hukum Islam hanya ada empat jenis anak, yaitu: anak kandung, 5
Amir Syarifuddin, op.cit, hlm.188. Sudaryanto, dkk., op.cit, hlm.3. 7 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum (Semarang: Aneka, tt.), hlm.66. 8 Pasal 171 (h) KHI. 6
83
anak pungut (laqit), anak akuan, anak asuhan.9 Hukum Islam menolak lembaga anak angkat dalam arti terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang tua asalnya dan beralih ke dalam kekerabatan orang tua angkatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
ﺟ ُﻜ ُﻢ اﻟﻠﱠﺎﺋِﻲ َ ﻞ َأ ْزوَا َ ﺟ َﻌ َ ﺟ ْﻮ ِﻓ ِﻪ َوﻣَﺎ َ ﻦ ﻓِﻲ ِ ﻦ َﻗ ْﻠ َﺒ ْﻴ ْ ﻞ ِﻣ ٍﺟ ُ ﻞ اﻟﱠﻠ ُﻪ ِﻟ َﺮ َ ﺟ َﻌ َ ﻣَﺎ ﻋﻴَﺎ َء ُآ ْﻢ َأ ْﺑﻨَﺎ َء ُآ ْﻢ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َﻗ ْﻮُﻟ ُﻜ ْﻢ ِ ﻞ َأ ْد َ ﺟ َﻌ َ ن ِﻣ ْﻨ ُﻬﻦﱠ ُأ ﱠﻣﻬَﺎ ِﺗ ُﻜ ْﻢ َوﻣَﺎ َ ُﺗﻈَﺎ ِهﺮُو ﴾4﴿ ﻞ َ ﺴﺒِﻴ ﻖ َو ُه َﻮ َﻳ ْﻬﺪِي اﻟ ﱠ ﺤﱠ َ ل ا ْﻟ ُ ِﺑَﺄ ْﻓﻮَا ِه ُﻜ ْﻢ وَاﻟﱠﻠ ُﻪ َﻳﻘُﻮ Artinya : Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anakanak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (QS. Al-Ahzab:4) Namun sesuai asas keadilan yang dijunjung tinggi Islam, maka dalam hal kewarisan secara moral orang tua angkat dituntut untuk memberikan hibah atau wasiat atas sebagian hartanya kepada anak angkatnya yang telah berjasa merawat, membantu atau melengkapi sebuah keluarga. Di Indonesia mengangkat anak atau adopsi merupakan suatu hal yang umum dan sering terjadi. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran seorang anak bagi keluarga yang tidak mempunyai keturunan adalah sebuah kebutuhan yang sangat penting. Di Jawa status anak angkat masih mempunyai hak kewarisan dari orang tua kandungnya, namun juga berhak mewarisi harta dari orang tua angkatnya, tetapi hanya sebatas pada harta peninggalan selain barang-barang pusaka yang berasal dari warisan harus dikembalikan kepada kerabat si pewaris.10 9
Muhammad Anshari, “Wali Nikah Anak Angkat Hak Siapa?” dalam Anggun, No.5, Vol. I, 2005, hlm.18. 10 Setiawan Budi Utomo, op.cit, hlm.157.
84
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga membolehkan pengangkatan anak atau adopsi yaitu pada Pasal 171 (h). Hubungan hukum yang terjadi antara orang tua angkat dengan anak angkat hanya terbatas
pada tanggung jawab moral
kemanusiaan, yaitu saling tolong menolong sesama manusia, dan pemeliharaan anak fakir miskin. Menurut syari’at Islam seorang bapak angkat diperbolehkan memberikan wasiat wajibah dari sebagian tirkah (harta peninggalan) untuk menutupi hari depan anak angkat, sehingga kehidupanya stabil dan terjamin. Pemberian wasiat wajibah itu tidak boleh melebihi sepertiga dari harta peninggalan. Pemberian semua harta peninggalan orang tua angkat kepada anak angkatnya menjadi tradisi dalam masyarakat Sedulur Sikep memang mirip dengan budaya yang dipraktikkan pada masa jahiliyah dulu. Kepercayaan seperti ini masih dimiliki oleh masyarakat Sedulur Sikep yang masih benar-benar murni, dalam artian mereka belum masuk pada suatu agama. Namun bagi saedulur sikep yang telah masuk Islam, maka sebagian hartanya masih tetap diwariskan kapada anak angkatnya namun tidak semuanya, sebagian diberikan kepada saudara-saudaranya dan sebagian lagi biasanya diinfakkan atau diwakafkan untuk kepentingan umum.misalnya diwakafkan ke masjid atau madrasah. Selain ketiga sebab di atas masyarakat Sedulur Sikep menetapkan katurunan Adam (semua manusia) bisa mendapat warisan karena semua manusia bersaudara, yaitu keturunan Adam. Kepercayaan seperti ini masih dimiliki oleh masyarakat Sedulur Sikep yang masih benar-benar murni, dalam artian ajaran atau
85
kepercayaan mereka belum tercampuri dengan pengetahuan atau ajaran lain dari luar. Dalam Islam ada aturan yang jelas untuk mendapat warisan, tidak semua manusia bisa mendapat warisan, ada batasan-batasan tertentu untuk mendapatkan warisan, ada ukuran-ukuran tertentu tentang bagian warisan, bahkan tidak semua anggota keluarga mendapat warisan, kerena terdapatnya penghalang-penghalang kewarisan. Berangkat dari ketentuan-ketentuan itu, maka dapat dipahami Islam mengatur dengan jelas orang-orang yang berhak menerima warisan dan orangorang yang tidak berhak menerima warisan. Tegasnya tidak semua orang berhak mendapat warisan dari seorang pewaris seperti yang dianut masyarakat Sedulur Sikep. Kepercayaan masyarakat Sikep itu berdasarkan pada prinsip-prinsip ajaranajaran Samin Surosentiko, yang pada hakekatnya menyangkut tentang nilai-nilai kehidupan manusia, kehidupan yang sempurna dan juga kehidupan yang tidak sempurna. Ajaran-ajaran itu digunakan sebagai pedoman bersikap dan bertingkah laku. Mereka percaya bahwa dengan melakukan ajaran Samin Surosentiko akanterlepas dari “hukum karma”. Siapa yang melanggar akan mendapat hukuman sesuai perbuatannya. Masyarakat Sedulur Sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora ini tidak mengenal adanya ahli waris yang menghalangi (hajib/mahjub). Karena prinsip dari masyarakat Sedulur Sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora yaitu bahwa semua manusia adalah keturunan Adam, sehingga mereka tidak
86
mengenal istilah penghalang kewarisan, mereka juga mempunyai kepercayaaan bahwa semua keturunan Adam bisa mendapatkan harta warisan. Yang penting bagi mereka anak-anak dan para kerabat sudah saling merelakan, dan sudah berpindah harta orang tua kepada anak-anaknya, terutama ketika mereka sudah berumah tangga. Kebiasaan atau ‘Urf
yang shahih harus dipelihara keberadaanya dan
terhadap kebiasaan yang tidak sesuai menurut ajaran Islam, maka secara normatif itu adalah salah. Karena tidak sesuai dengan dalil-dalil atau nash yang secara jelas telah ditentukan dalam hukum Islam. Namun dengan pendekatan sosiologis terhadap kebiasaan-kebiasaan itu bisa dikatakan baik, karena dengan praktikpraktik itu mereka pun menemukan kemaslahatan berkeluarga dan bermasyarakat yang menjadi tujuan-tujuan syari’ah (Maqasid al-Syari’ah). Bagi masyarakat Sikep pembagian harta warisan dilakukan pada saat pewaris masih hidup dari pihak orang tua kepada anaknya yang sudah berumah tangga sebagai bekal hidup. Mereka langsung membagikan harta itu apa adanya, pada waktu pewaris masih hidup. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Soepomo, bahwa barang-barang asal suami dan barang-barang asal istri serta barang gonogini itu tidak ada artinya bila suami istri itu punya anak.11 Memang dalam Islam dikenal adanya kewarisan sebagai akibat adanya kematian, ini berkaitan erat dengan asas ijbari. Namun juga perlu dicatat bahwa kewarisan sebagai akibat tidak dianut olek Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara mutlak. Karena pada prinsipnya Islam membenarkan, bahkan juga menganjurkan 11
hlm.97.
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat (Jakarta: Paramadina Paramitha, 1993),
87
untuk mengatur anak-anak, keluarga, dan kerabat-kerabanya dengan membagibagi harta bendanya kepada mereka dengan sistem hibah atau wasiat. Seorang muslim juga boleh membuat wasiat untuk sebagian ahli warisnya. Firman Allah:
﴾180﴿ ﻦ َ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ َ ﺎﺣﻘ َ ِﻦ ﺑِﺎ ْﻟﻤَ ْﻌﺮُوف َ ﻦ وَا ْﻟَﺄ ْﻗ َﺮﺑِﻴ ِ ﺻ ﱠﻴ ُﺔ ِﻟ ْﻠﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ ِ ا ْﻟ َﻮ Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. AlBaqarah : 180)
Dari kutipan ayat di atas bahwa orang tua (suami/istri) boleh mengatur harta bendanya dengan sistem wasiat atau hibah. Dan demikian bukanlah penyimpangan terhadap atau menghindari fara’id, sebab tindakan-tindakan itu sesuai dengan hak asasinya dan sesuai pula dengan ajaran Islam. Bahkan dalam Pasal 211 KHI diterangkan bahwa: “Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”, jadi peralihan harta warisan itu dapat berlansung semenjak pewaris masih hidup. Dalam ilmu fara’id hal ini bisa disebut dengan takharuj atau tasalul yaitu pengunduran diri seseorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian secara syar’i.12 Dalam al-Quran disebutkan :
ن ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ِإ ﱠ َ ﺢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ ﻓَﻠَﺎ ِإ ْﺛ َﻢ َ ﺻَﻠ ْ ص ﺟَﻨَﻔًﺎ َأ ْو ِإ ْﺛﻤًﺎ َﻓَﺄ ٍ ﻦ ﻣُﻮ ْ ف ِﻣ َ ﻦ ﺧَﺎ ْ َﻓ َﻤ ﴾182﴿ اﻟﱠﻠ َﻪ ﻏَﻔُﻮ ٌر رَﺣِﻴ ٌﻢ Artinya : (Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya
12
M. Ali As-Sabuny, alih bahasa A.M. Basmalah, Pembagian Waris Menurut Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.41.
88
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(QS. Al-Baqarah : 182) Di dalam perdamaian atau musyawarah ini pun tidak ada pihak yang merasa diambil atau dirugikan dan juga tidak terdapat unsur memakan harta orang lain secara batil. Karena bila yang punya hak misalnya merelakan, maka tindakan tersebut adalah hak dan terhindar dari memakan hak orang lain. Jadi kalau dilihat dari pemaparan ayat di atas, pertimbangan harta waris masyarakat Sedulur Sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora yang didasarkan pada proses perdamaian dan musyawarah adalah tidak bertentangan dengan hukum Islam, karena mereka mengutamakan rasa saling menerima. Baik karena pesan orang tua sebagai pewaris maupun ajaran-ajaran Samin yang telah dijadikan falsafah hidup bagi mereka. Dalam pelaksanaan pembagian harta warisan, masyarakat Sedulur Sikep cenderung membagikannya ketika pewaris masih hidup (dengan sistem hibah). Namun juga ada yang membagikan ketika salah satu pewaris atau kedua pewaris meninggal dunia. Sedangkan pewaris, dalam literatur fikih disebut al-Muwarris, ialah seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal
berdasarkan
putusan
Pengadilan
Agama
Islam,
meninggalnya ahli waris dan harta peninggalan.13 Yang membedakan pewaris Sedulur Samin dengan Islam yaitu waktu peralihan harta, yang mana di dalam 13
Pasal 171 (b).
89
adat Samin pemberian harta dilakukan ketika orang tua masih hidup maupun ketika sudah meninggal, sedangkan Islam peralihan harta dari orang tua (pewaris) ke anak (ahli waris) dilakukan ketika pewaris sudah meninggal dunia. Sedangkan tentang masalah hibah Allah SWT mensyari’atkan hibah karena didalamnya terkandung upaya menjinakkan hati dan memperkuat tali kasih sayang di antara manusia, seperti hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. ”Tahadau tahabbu” yang artinya: “salinglah memberi, maka akan timbul kasih sayang”. Dalam hadist lain riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW mengatakan, “salinglah kalian memberi hadiah, karena hadiah itu dapat menghilangkan iri hati, dan janganlah menganggap sepele atas pemberian meskipun berupa kikil kambing”14. Dalam hukum islam terdapat beberapa dalil hukum/dasar hukum yang pernah disepakati oleh jumhur ulama yaitu; Al-Qur’an, Al- sunnah, ijma’ dan qiyas.15 Salah ayat yang menjadi landasan hukum dibolehkannya hibah diantaranya adalah QS. Al-Baqarah: 262
ﻻ َأذًى ﱠﻟ ُﻬ ْﻢ َ ن ﻣَﺎ أَﻧ َﻔﻘُﻮُا َﻣ ّﻨ ًﺎ َو َ ﻻ ُﻳ ْﺘ ِﺒﻌُﻮ َ ن أَ ْﻣﻮَاﻟَ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ اﻟّﻠ ِﻪ ُﺛﻢﱠ َ ﻦ ﻳُﻨ ِﻔﻘُﻮ َ اﱠﻟﺬِﻳ ن َ ﺤ َﺰﻧُﻮ ْ ﻻ ُه ْﻢ َﻳ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َو َ ف ٌ ﻻ ﺧَ ْﻮ َ ﺟ ُﺮ ُه ْﻢ ﻋِﻨ َﺪ َر ﱢﺑ ِﻬ ْﻢ َو ْ َأ Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”16
14
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, cet. Ke-4, 1983, juz 3, hlm. 389 Prof. Dr. Abdul Wahhab khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada , 1994, hlm. 18. 16 Soenarjo, dkk, Al Quran dan Terjemahnya, (Jakarta : Departemen Agama RI, 1999), hlm. 321s 15
90
Maka dapat dipahami bahwa hibah adalah perbuatan baik dan di anjurkan dalam Islam yang cara kepemilikannya harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, hibah adalah pemberian yang berdasarkan suka rela maka hukumnya sunnahnya tidak ada kewajiban didalamnya,oleh karena itu hibah yang dijadikan dasar sedulur sikep dalam pandangn Islam bukanlah ketentuan wajib dan mereka yang mendapat hibah hanya mendapat sepertiga dari warisan bahkan keseluruannya, akan tetapi orang-orang sedulur sikep mempunyai nilai kedermawaan sebagaimana yang di anjurkan dalam Islam Soal pembagian harta warisan Anak laki-laki dan anak perempuan dalam komunitas Sedulur Sikep merupakan ahli waris yang utama. Karena anak adalah yang mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta peninggalan orang tua tersebut. Bagi mereka tidak membedakan antara jenis laki-laki dan perempuan atau siapa saja yang lahir lebih dahulu mempunyai hak yang sama. Sanak famili atau Sedulur Sikep yang lain juga bisa menerima harta peninggalan, tentunnya yang diutamakan adalah mereka yang masih ada hubungan darah, dan sangat membutuhkan. Mereka bisa meminta kepada pewaris untuk memberikan sedikit harta kepada ahli waris itu. Bagian-bagian ahli waris antara laki-laki dan perempuan adalah satu banding satu (1:1), mereka menyamaratakan bagian antara laki-laki dan perempuan karena yang membedakan antara laki-laki dan perempuan adalah tingkah lakunya. Dan mengenai siapa-siapa yang mendapat warisan tidak diatur secara jelas, yang penting dan utama adalah anak-anak mereka baik laki-laki maupun perempuan.
91
Sayid Sabiq, mengatakan bahwa tidak dihalalkan bagi seseorang melebihkan pemberian antara anak-anaknya, karena hal ini mengandung usaha menabur benih permusuhan serta dapat memutuskan hubungan silaturrahmi yang justru diperintahkan oleh Allah. Pendapat ini sejalan dengan pendapat imam Ahmad, Ishaq, al-Sauri, Tawus, dan sebagian Malikiyah. Menurut mereka, melebihkan diantara anak-anak dalam pemberian merupakan tindakan batil dan menyimpang. Dalam tradisi masyarakat Samin penerima harta warisan diharuskan untuk membalas budi terhadap orang tua yang telah memberikan harta bendanya. Yaitu berupa memberikan sebagian hasil panennya ketika pewaris masih hidup dan ketika meninggal dunia, maka biaya pengurusan jenazah dibebankan kepada ahli waris yang tinggal serumah. Dalam kewarisan Islam mengenal adanya asas ijbari, artinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa bergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas ijbari ini terlihat dari segi ahli waris terpaksa menerima kenyataan pindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan.17 Dengan adanya asas ijbari ini tidak memberatkan ahli waris, karena menurut hukum Islam ahli waris tidak berarti untuk membayar hutang pewaris dari hartanya sendiri, kewajibannya adalah :
17
A. Racmad Budiono, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia ( PT. Citra Aditya, Bandung, 1999), hlm.2.
92
a. Mengurus dan menyelesaikan semua hal dalam pengurusan jenazah meliputi; pengurusan jenazah, pemakaman dan kebutuhan lainnya diselesaikan secara wajar dan ma’ruf. b. Pelunasan hutang, baik pelunasan berupa pengobatan, perawatan, menagih hutang, serta menyelesaikan wasiat pewaris. c. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak. Dengan proses pewarisan yang dilakukan sedulur sikep Desa sambong rejo Kabupaten Blora banyak hal yang tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam. dalam pandangan penulis jika pelaksanaan itu tidak melanggar dari kaidah hukum Islam dan menjadikan maslahat bagi masyarakat maka tentunya proses kewarisan dalam adat suatu adat itu diperbolehkan, karena pada dasarnya hukum kewarisan itu diperuntukkan untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan umat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian, pembahasan sekaligus analisis terhadap praktik pembagian warisan masyarakat Samin di Desa sambong rejo Kabupaten Blora yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tradisi pembagian warisan masyarakat sedukur sikep lebih dikenal dengan istilah tinggalan, mereka tidak mengenal metode hijab dan mahjub, tidak ada perbedaan pembagian antara laki-laki dan perempuan meskipun semua warga sedulur sikep di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora mayoritas beragama Islam, anak yang sudah keluar dari samin tetap mendapat warisan, begitu juga kepada anak angkat,
sedulur sikep mempunyai
kepercayaan bahwa semua keturunan manusia yang bukan dari keluarga pewaris bisa menjadi ahli waris dan mendapat warisan. Proses pembagian harta warisan pada masyarakat Sikep dengan kewenangan orang tua sebagai pemilik dan orang yang berhak membagi adalah dengan jalan perdamaian atau Islah. Cara perdamaian atau Islah merupakan jalan pintas untuk membagi harta warisan bila satu sama lain saling suka rela dan sepakat dengan bagian yang telah ditentukan oleh orang tua atau ketika ada sisa harta peninggalan mereka bermusyawarah untuk menyerahkan harta itu kepada salah seorang saudaranya. Jadi kalau dilihat dari
93
94
pemaparan di atas, pertimbangan harta waris masyarakat Sedulur Sikep di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora yang didasarkan pada proses perdamaian dan musyawarah adalah tidak bertentangan dengan hukum Islam, karena mereka mengutamakan rasa saling menerima. Baik karena pesan orang tua sebagai pewaris maupun ajaran-ajaran Samin yang telah dijadikan falsafah hidup bagi mereka. 2. Dalam praktik pembagian warisan, ada beberapa sistem praktik yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun juga ada beberapa sistem kepercayaan pemberlakuan terhadap harta waris dalam masyarakat Samin yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. a) Mereka tidak mengenal adanya hijab maupun mahjub. Kebiasaan atau ‘Urf yang tidak sesuai menurut ajaran Islam, maka secara normatif itu adalah salah. Karena tidak sesuai dengan dalil-dalil atau nash yang secara jelas telah ditentukan dalam hukum Islam. Namun dengan pendekatan sosiologis terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut bisa dikatakan baik, karena dengan praktik-praktik itu mereka pun menemukan kemaslahatan berkeluarga dan bermasyarakat yang menjadi tujuan-tujuan syari’ah (Maqasid al-Syari’ah). b) Pemberian semua harta waris kepada anak angkat dan semua manusia yang bisa menjadi ahli waris, hal ini tidak sesuai dengan Islam karena dalam Islam anak angkat tidak bisa menjadi ahli waris, tetapi secara moral orang tua angkat dituntut untuk memberikan hibah atau wasiat atas sebagian hartanya kepada anak angkatnya yang telah berjasa
95
merawat, membantu atau melengkapi sebuah keluarga, tapi tidak sebagai harta warisan. c) Bagian-bagian ahli waris antara laki-laki dan perempuan adalah satu banding satu (1:1), hal ini tidak sesuai dengan hukum kewarisan Islam yang mana di dalam hukum Islam bagian antara anak laki-laki dan perempuan adalah (2:1), dan bagian (1:1) dalam Islam dikenal degnan hibah.. B. Saran-saran 1. Bertolak dari berbagai pemaparan dalam bab-bab sebelumnya, maka bisa dikatakan bahwa masyarakat Samin patut dianggap sebagai kebanggaan budaya (cultural heritage), karena mereka masih tetap memegang kuat agama-nya di tengah perkembangan modernisasi yang kompleks ini. Sehingga pendekatan musyawarah dan kekeluargaan adalah cara yang paling tepat untuk saling bertukar informasi atau berdiskusi dengan mereka, sehingga pengetahuan-pengetahuan baru bisa mereka dapatkan. 2. Dalam kehidupan masyarakat Samin ada beberapa hal positif yaitu sikap mereka yang perlu ditiru dan dilestarikan, sikap yang baik itu ditunjukkan dalam sikap yang jujur, suka menolong, tepat janji, bertanggung jawab atas segala ucapan, tindakan, tidak suka iri hati, dan kerukunan dalam berkeluarga dan bermasyarakat. 3. Perbedaan adalah sunatullah, Islam adalah agama rahmatan lil’alamin. Sunatullah mencakup keseluruhan adanya alam semesta dan Islam merahmati semuanya. Pendekatan sosiologis terhadap produk-produk
96
hukum Islam harus terus dikembangkan agar hukum Islam tidak dipandang sebagai suatu ketetapan yang halal haram. Ijtihad menjadi suatu kepastian untuk kembali melahirkan hukum Islam yang dinamis agar hukum Islam kembali menjadi pelopor budaya yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. C. Penutup Demikian penyusunan skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa skripsi yang berada di tangan pembaca ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga perlu adanya perbaikan dan pembenahan. Oleh karena itu, peneliti dengan kerendahan hati mengharap saran konstruktif demi melengkapi berbagai kekurangan yang ada. Terakhir kalinya, peneliti memohon kepada Allah SWT. agar karya sederhana ini dapat bermanfaat, khususnya bagi pribadi peneliti umumnya untuk semua pemerhati ekonomi Islam. Wa Allahu A'lam
DAFTAR KEPUSTAKAAN Al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, “Kitâb al-Farâ’id”, “Bâb lâ Yaris al-Muslim alKafir walâ al-Kafir al-Muslim, VIII: 14. Hadis riwayat Usamah ibn Zaid Al-Khâtib, M. Asy- Syarbini, Mugnil Muhtâj Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1958. Anshari, Muhammad, “Wali Nikah Anak Angkat Hak Siapa?” dalam Anggun, No.5, Vol. I, 2005. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Yogyakarta:: Rineka Cipta, 1996.
Suatu
Pendekatan
Praktek,
Ash-Shidieqy, Hasbi, Fiqhul Mawaris, Hukum-Hukum Waris Islam, cet. I Jakarta: Bulan Bintang, 1973. As-Sabuny, M. Ali, alih bahasa A.M. Basmalah, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. At-Tirmiz|î, Sunan at-Tirmizî, “Bâb Mâ Jâ’a fî Ibtâl Mirâs| al-Qâtil” Beirût: Dâr al-Fikr, 1988. Azwar, Saifuddin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Waris Islam Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 1990. Budiono, A. Racmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1999. Daradjat, Zakiah dkk. Ilmu Fiqh, cet. II Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995. Dijk, Van, Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan A. Soehardi Bandung: Sumur, 1979 Djakfar, Idris dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam Jakarta: Pustaka Jaya, 1995. Eliza, Meika, ”Pembagian Warisan di Kelurahan Purbayan Kecamatan Kotagede Yogyakarta Ditinjau dari Hukum Islam”, Skripsi Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, ttp, 2003. Ensiklopedia Nasional Indonesia. cet. III Jakarta : Delta Pamungkas 1997. Hadi, Sutrisno, Metode Research, Jilid I, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1975.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, cet. VI, Jakarta: Fajar Agung, 1987. Hakim, Helmi, Pembaharuan Hukum Waris Islam Persepsi Metodologis Jakarta: Al-Fajar, 1994. Hazairi, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Quran dan Hadis Jakarta: Tinta Mas, 1982. Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tinta Mas, 1976. _______, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan Hadis, edisi ke-5 Jakarta: Tinta Mas,1981. http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin. Husain, Said Agil al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial Jakarta: Penamadani, 2004. Hutomo, Suripan Sadi, Tradisi dari Blora, Semarang: Citra Almameter, 1996. Khalaf, Abdul Wahab, Ushūl al fiqh, Dewan Dakwah Islam Indonesia, Jakarta: 1974. ______, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Koentjoraningrat, Metodologi Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1981. Moleong, Lexy. J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: P.T. Remaja Rosda Karya, 2002. Mumfangati, Titi,dkk. Kearifan Budaya Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah, Yogyakarta: tnp, 2004. Parman, Ali, Kewarisan Dalam al-Quran Jakarta: Rajawali Press, 1995. Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum Semarang: Aneka, tt. Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, edisi 2 Bandung: al-Ma’arif, 1981. Ramulyo, Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. ________, Hukum Waris Islam di Indonesia Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, cet. Ke-4, 1983.
Sastroatmodjo, Soerjanto, Masyarakat Samin Siapakah mereka? cet. I, Yogyakarta: Narasi, 2003. Soenarjo, dkk, Al Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1999. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat Jakarta: Paramadina Paramitha, 1993. Sukari, Kehidupan Masyarakat Samin di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional,1996/1997. Sulaimân, Abu Dâwud Ibn al-Asy’âs, Sunan Abi Dâwud, “Kitâb al-Farâ’id,” “Bâb fî al-Jaddati” Beirut: Dâr al-Fikr, t.t., Wikipedia Indonesia, Ajaran Samin, http://id. wikipedia. org/wiki/ajaraan samin. 8 Maret 2007. Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia Jakarta: PT Hidakartya Agung, 1989. ________, Turutlah Hukum Waris Dalam Islam, cet. I Jakarta: Pustaka Hidayah, 1958.