VOLATILITAS DAN DISPARITAS HARGA BERAS STUDI DI NEGARA INDONESIA, INDIA, DAN DUNIA
SILVIA SARI BUSNITA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Volatilitas dan Disparitas Harga Beras: Studi di Negara Indonesia, India dan Dunia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014
Silvia Sari Busnita NIM H14100019
ABSTRAK SILVIA SARI BUSNITA. Volatilitas dan Disparitas Harga Beras: Studi di Negara Indonesia, India, dan Dunia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI. Isu kerawanan pangan yang melanda dunia pasca krisis global 2008 lalu membuat fluktuasi harga pangan khususnya padi-padian melonjak tajam. Pada komoditi beras, fluktuasi harga bahkan terjadi pada beberapa negara produsen utama. Padahal komoditas ini masih jarang digunakan barang substitusinya dan dikonsumsi oleh separuh penduduk dunia. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi volatilitas serta disparitas harga beras yang terjadi Indonesia, India, dan dunia serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia. Penelitian ini menggunakan data time-series bulanan dari tahun 2007:1 sampai 2013:12. Metode yang digunakan untuk menganalisis volatilitas harga beras adalah ARCH-GARCH, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya menggunakan metode VECM. Hasil analisis volatilitas menunjukkan bahwa harga beras Indonesia dan harga beras dunia merupakan variabel ekonomi yang volatil dan bervariasi antarwaktu (time varying) dengan disparitas harga setiap tahunnnya. Namun tidak untuk negara India. Hasil estimasi VECM menunjukkan pada jangka panjang variabel yang signifikan mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia adalah dari sisi supply, yaitu cadangan beras domestik, produksi padi, dan harga beras domestik, sedangkan harga beras dunia berpengaruh signifikan pada jangka pendek. Kata kunci: ARCH-GARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity), disparitas, harga-beras, VECM (Vector Error Correction Model), volatilitas
ABSTRACT SILVIA SARI BUSNITA. Price Volatility and Disparity of Rice Market: Case Study in Indonesia, India, and the World. Supervised by RINA OKTAVIANI. Food security issue after 2008 global-crisis mainly affect the fluctuations of food price, especially on the major grain price from all over the world in the last few years. Even for the rice-commodity, the price hikes also occur in some of the country's major producers. Although the rice itself is still consumed by half of the world's population. Hence, the purpose of this research is to identify the volatility and disparity of the rice price in Indonesia, India, and the world market, as well as to analyze the affecting factors of the rice price volatility in Indonesia case. By applying monthly time-series data from 2007 to 2013, this research used the ARCH-GARCH model to identify the rice-price volatility, while the VECM model is used to analyze the affecting factors of it. The results show that Indonesia and the world rice-price are volatile, time-varying variables, with the disparity per years. As for India, the result found that no volatility in Indian rice-price. The VECM estimation result shows that on the long-run the supply side significantly affect Indonesia's rice-price volatility, which are domestic rice-stock, paddy-production, and domestic rice-price. While on the short-run world rice-price variable also influenced Indonesia's rice-price volatility. Keywords: ARCH-GARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity), disparity, rice-price, VECM (Vector Error Correction Model), volatility
VOLATILITAS DAN DISPARITAS HARGA BERAS STUDI DI NEGARA INDONESIA, INDIA, DAN DUNIA
SILVIA SARI BUSNITA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Volatilitas dan Disparitas Harga Beras : Studi di Negara Indonesia, India dan Dunia Nama : Silvia Sari Busnita NIM : H14100019
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah analisis harga komoditas, dengan judul Volatilitas dan Disparitas Harga Beras : Studi di Negara Indonesia, India, dan Dunia. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai macam pihak, dan untuk itu sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Orangtua penulis (ayahanda Bustanul, SH dan ibunda Ir. Rara Yunita) dan adikadik tersayang (M. Iqbal Busra, Diazan Fajar Busra, Silvina Fitria Sari Busnita, Silvani Nur Annisa Sari Busnita) serta keluarga besar Suwarno Sutarahardja di Bogor yang selama ini telah memberikan doa, motivasi, dan kasih sayangnya. 2. Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan saran, arahan, dan motivasi kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini. 3. Dr. Yeti Lis Purnamadewi selaku dosen penguji utama pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4. Ranti Wiliasih, M.Si selaku dosen penguji dari komisi akademik pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu staf dari Kementerian Pertanian, BPS, BULOG, Kementerian Perdagangan, maupun dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang telah membantu penulis selama ini dalam pengumpulan data. 6. Para dosen, staf, dan seluruh civitas Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor atas segala ilmu, bantuan, dan kerjasamanya selama ini selama menjalani studi. 7. Rekan-rekan satu bimbingan penulis: Nicco Andrian, Dwiki Peni Abimanyu, Azmal G. Berliansyah, dan Ramdhani Budiman atas kerjasama, motivasi dan doa selama proses penyelesaian skripsi ini. 8. Sahabat-sahabat penulis di Ilmu Ekonomi 47 (Kusuma Hani Putri, Dara Ayu L., Annisa Ramadanti, Fatimah Zachra F., Bramastyo A. Wibowo, M. Fazri, dan lainnya); maupun teman-teman SUIJI IPB (M.Irfan Fadillah, Ikrom Mustafa, Naufal Rauf, Fitri Susana, dan lainnya) atas kebersamaan, semangat, bantuan, dan motivasi selama menjalankan studi. 9. Teman-teman D’Space, Tanoto Foundation IPB, kelas B.10 TPB IPB, IAAS LC-IPB, serta keluarga Felix House yang juga telah memberikan doa, dukungan serta semangat kepada penulis dalam menjalankan studi selama ini. 10. Semua pihak yang telah membantu penulis namun tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan moral maupun materilnya. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik guna perbaikan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Juli 2014 Silvia Sari Busnita -apa yang dari hati, akan sampai ke hati-
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA Landasan Teori
6 6
Penelitian Terdahulu
14
Kerangka Pemikiran
16
Hipotesis Penelitian
17
METODE PENELITIAN
17
Jenis dan Sumber Data
17
Model Penelitian
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
26
Gambaran Umum Perkembangan Harga Beras
26
Spesifikasi Model ARCH-GARCH untuk Harga Beras
28
Analisis Volatilitas dan Disparitas Harga Beras
29
Analisis Estimasi Model VECM
33
Implikasi Kebijakan Stabilisasi Harga Beras
37
SIMPULAN DAN SARAN
39
Simpulan
39
Saran
39
DAFTAR PUSTAKA
40
LAMPIRAN
42
RIWAYAT HIDUP
62
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ringkasan hasil penelitian terdahulu Variabel yang dipakai dalam penelitian Hasil uji stasioneritas dan model ARIMA terbaik variabel harga beras Hasil uji efek ARCH masing-masing variabel Hasil model ARIMA dan ARCH-GARCH terbaik variabel harga beras Distribusi subsidi dan luas areal panen India (2008-2009) Disparitas harga beras per tahunnya Hasil uji kointegrasi Hasil estimasi VECM pada model volatilitas Alokasi subsidi dari APBN pada tahun 2007-2013 (miliar rupiah)
15 17 28 28 28 29 31 32 33 38
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Perkembangan indeks harga makanan dunia Sub-indeks harga pangan internasional Negara utama penghasil padi (beras) tahun 2012 Ketidakstabilan harga beras: Indonesia dan luar negeri Pembentukan harga internasional Perkembangan harga beras dunia bulanan (2007-2013) Perkembangan harga beras Indonesia bulanan (2007-2013) Perkembangan harga beras India bulanan (2007-2013) Volatilitas harga beras dunia tahun 2007-2013 Volatilitas harga beras Indonesia tahun 2007-2013 Skema hubungan antarvariabel berdasarkan uji Granger Causality Hasil impuls response function (IRF) volatilitas harga beras Indonesia Hasil FEVD volatilitas harga beras Indonesia
1 2 2 4 9 26 27 27 30 30 32 35 37
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Model peramalan ARIMA (1,1,2) untuk harga beras dunia Hasil uji efek ARCH pada model ARIMA (1,1,2) Model ARCH/GARCH (1,0) Model peramalan ARIMA (0,1,2) untuk harga beras domestik Uji efek ARCH model ARIMA (0,1,2) Model ARCH/GARCH (1,0) Model peramalan ARIMA (2,1,0) untuk harga beras India Hasil uji efek ARCH pada model ARIMA(2,1,0) Hasil uji stasioneritas masing-masing variabel pada level Hasil uji stasioneritas nasing-masing variabel pada first difference Hasil uji selang optimal Hasil uji stabilitas VAR Hasil uji kointegrasi Hasil uji Granger causality Hasil estimasi VECM Hasil uji impulse response function (IRF) Hasil uji forecast error variance decomspositon error (FEVD)
42 42 42 43 43 44 44 45 45 47 50 50 51 52 54 58 60
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Isu strategis yang berkembang di dunia pasca krisis global 2008 lalu meliputi perubahan iklim global, kerawanan pangan, dan krisis energi. Ketiga hal ini sering disebut dengan problema food, fuel, and financial crisis (3F-crisis) yang melanda tidak hanya negara berkembang saja, namun juga negara maju. Adanya krisis pangan dan energi yang saling berkaitan satu sama lainnya ini dikarenakan negara-negara pengekspor pangan utama cenderung menahan produknya untuk dijadikan stok pangan dalam negeri. Akibatnya terjadi kenaikan harga pangan di tingkat konsumen dunia yang melonjak tajam beberapa tahun terakhir (Gambar 1). Kenaikan harga pangan ini menjadi beban bagi masyarakat miskin di negara-negara berkembang yang membelanjakan rata-rata separuh dari pendapatan rumah tangga mereka untuk makanan, khususnya komoditi serealia (beras, gandum, jagung, dan lain sebagainya). Data dari FAO (2014) pada Gambar 1 pun menunjukkan bahwa kenaikan indeks harga makanan dunia ini sebagian besar lebih didominasi oleh kenaikan harga bahan serealia. 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00
1/1993 9/1993 5/1994 1/1995 9/1995 5/1996 1/1997 9/1997 5/1998 1/1999 9/1999 5/2000 1/2001 9/2001 5/2002 1/2003 9/2003 5/2004 1/2005 9/2005 5/2006 1/2007 9/2007 5/2008 1/2009 9/2009 5/2010 1/2011 9/2011 5/2012 1/2013 9/2013
-
Food Price Index
Cereals Price Index
Sumber : FAO, 2014 (diolah)
Gambar 1 Perkembangan indeks harga makanan dunia Sejalan dengan hasil laporan Perkembangan Sektor Perdagangan Bank Dunia (2011) lalu juga menunjukkan bahwa dari beberapa sub-indeks harga pangan internasional, harga padi-padian adalah yang pertama kali mengalami kenaikan secara drastis (setidaknya dalam 30 tahun terakhir) selama periode awal krisis 2008 lalu (Gambar 2). Sedangkan pada keadaan sebelumnya harga komoditas pangan relatif stabil pasca krisis keuangan Asia dan mencapai titik terendah pada tahun 2000 dan 2001. Namun seiring dengan berkembangnya penggunaan biofuel pada dasawarsa terakhir, membuat peningkatan permintaan komoditas padi-padian ini tidak hanya untuk konsumsi langsung masyarakat dunia saja tapi juga bersaing dengan sumber bahan bakar nabati. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kenaikan harga padi-padian pasca krisis Gobal 2007-2008 lalu lebih disebabkan oleh kenaikan permintaan dunia yang tidak sepadan dengan total volume produksi dunia. Kenyataan inilah yang pada akhirnya berujung pada munculnya food & fuel crisis di berbagai negara.
2
Sumber: World Bank, 2011
Gambar 2 Sub-indeks harga pangan internasional Salah satu komoditas padi-padian yang terkena fluktuasi harga akibat krisis global adalah beras. Berbeda halnya dengan komoditas jagung dan gandum, beras memang tidak digunakan untuk memproduksi bahan bakar nabati. Meskipun demikian, kenaikan harga komoditas padi-padian lain lain telah menyebabkan pesatnya kenaikan harga beras pada dasawarsa terakhir (WorldBank 2011). Sementara itu jika dilihat dari segi penawaran, produksi padi (beras) dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia setelah jagung dan gandum (FAO 2014). Berikut beberapa negara produsen beras terbesar dunia pada tahun 2012 (Gambar 3). 250000000
Produksi (Metrik Ton)
Produksi (Int $1000)
200000000 150000000 100000000 50000000 0
Sumber : FAO 2014 (diolah)
Gambar 3 Negara utama penghasil padi (beras) tahun 2012 Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa hampir sebagian besar lumbung padi dunia berasal dari negara-negara Asia dengan posisi Indonesia pada peringkat ketiga setelah Cina dan India. Negara-negara produsen utama ini juga berpenduduk besar dengan konsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Akibatnya, hanya sebagian kecil produksi padi dunia yang diperdagangkan antar negara (5 - 6% dari total produksi dunia) dikarenakan tiap negara pun harus memenuhi kebutuhan domestiknya. Thailand merupakan eksportir padi utama (sekitar 26% dari total padi yang diperdagangkan dunia) yang diikuti oleh Vietnam (15%) dan Amerika Serikat (11%). Lalu bagaimana halnya dengan Indonesia? Posisi Indonesia sendiri merupakan pengimpor beras terbesar dunia (14% dari padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti oleh Bangladesh (4%) dan Brazil (3%) (Kemendag 2012). Sebagai salah satu negara
3
pengimpor beras terbesar di dunia, konsumsi beras masyarakat Indonesia tercatat masih cukup tinggi. Hasil survei BPS pada Susenas tahun 2011 lalu menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi rumah tangga secara nasional mencapai 6.18 kg seminggu atau 139.15 kg per kapita pertahun, sebanyak 96 persen dari total konsumsi masyarakat Indonesia. Nilai ini jauh lebih tinggi daripada konsumsi ideal menurut standar negara maju yaitu sebesar 80-90 kg per kapita selama setahun. Pada kasus di negara India misalnya, menurut data dari USDA (2014) India pada tahun 2012-2013 lalu masing-masing mengekspor sebanyak 9.6 juta ton dengan produksi tahunannya semenjak pasca krisis 2008 lalu berkisar antara 98- 103 juta ton beras. Jumlah ekspor ini memang tidak banyak jika dibandingkan dengan Vietnam maupun Thailand tadi. Namun hal yang patut dilihat disini adalah kemampuan India dalam mengontrol cadangan berasnya yang pada akhir 2013 lalu mencapai 4 kali dari yang disyaratkan oleh pemerintahnya dalam Food Security Act India. Kenyataan yang terjadi di India ini cukup berlawanan dengan Indonesia sendiri. Khususnya dalam hal penyediaan stok beras dalam negeri yang selalu menjadi perhatian pemerintah kita ketika menghadapi musim ataupun periode tertentu dalam rangka menjaga kestabilan harga beras domestik. India sebagai salah satu negara konsumen beras, namun juga mampu memproduksi padi dalam jumlah yang cukup besar yang membuat stok dalam negeri bisa melimpah. Meskipun demikian, jika ditinjau secara umum dari paparan dua negara produsen utama diatas dapat dirangkum bahwa sesungguhnya pada perdagangan dunia, pasar beras ini merupakan komoditi yang tipis (sedikit diperdagangkan), tersegmentasi atas kualitas, ekspornya terkonsentrasi dan sensitif secara politik. Hal inilah yang menyebabkan pasar beras dunia dan di negara-negara produsen beras lainnya bersifat labil. Selain juga beras merupakan salah satu bahan pangan utama yang dikonsumsi oleh hampir separuh penduduk dunia, yaitu sebanyak 476.8 juta ton pada tahun 2013 (USDA 2014). Beras seperti halnya produk pangan lainnya berperan strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan keamanan serta stabilitas politik suatu negara (Timmer 1996). Adanya ketidakstabilan beras baik dari sisi harga, stok, maupun produksi lambat laun akan mempengaruhi ketidakstabilan perekonomian, sosial, keamanan dan politik di masing-masing negara, sehingga terciptanya stabilisasi harga beras merupakan tantangan baik untuk para pelaku pasar maupun bagi para pengambil kebijakan itu sendiri. Pasar beras dunia yang tadi dipandang sebagai pasar yang terdistorsi, lemah, dan berubah-ubah ini terjadi lebih dikarenakan gejolak volatilitas harga beras yang dialami oleh negara-negara produsen utama beras. Adanya integrasi antara pasar beras dunia dengan pasar beras domestik di masing-masing negara produsen beras diduga menjadi faktor utama fluktuasi harga ini. Mengingat adanya potensi dampak negatif dari fluktuasi harga beras yang sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi rumah tangga maka adalah hal yang penting bagi para pembuat kebijakan untuk memahami faktor-faktor yang memicu fluktuasi harga dan merumuskan kebijakankebijakan yang dapat memfasilitasi upaya untuk memecahkan gelembung harga tersebut. Dalam hal ini diperlukan suatu studi analisis volatilitas harga beras di beberapa negara produsen utama beras dunia dan perbandingannya dengan volatilitas harga beras dunia itu sendiri.
Perumusan Masalah Terkait dengan isu diatas, pemerintah di negara maju dan berkembang anggota WTO (World Trade Organization) sebenarnya telah menyiasati hal ini dengan berbagai paket perjanjian pertanian yang terangkum semua dalam Agreement on
4
Agriculture (AOA) pasal 6.3 dan 7.2(b) terkait dengan dukungan setiap negara anggota dalam hal penyediaan makanan pokok tradisional. Isu ini pun menjadi salah satu bahan diskusi utama yang dibicarakan dalam Ninth Ministerial Conference negara anggota WTO di Bali 2013 lalu hingga menghasilkan “Paket Bali” yang salah satunya membahas isu food security dan penanganannya di negara berkembang (WTO 2014). Misal adanya kewajiban dan support untuk penyediaan stok bahan pangan pokok (Public Stock Holding for Main Crops) bagi pemerintah di negara berkembang maupun negara maju yang tujuan akhirnya adalah agar terbebas dari food security issue ini. Implikasinya adalah pemerintah dari setiap negara berkembang diperbolehkan untuk membuat program terkait peningkatan cadangan stok bahan makanan pokoknya melalui instansi pemerintah (BUMN) yang bertanggungjawab atas kebijakan beras. Disamping itu, dari segi harga adanya kewajiban diatas juga mengindikasikan bahwa pemerintah di tiap negara diperbolehkan mengintervensi pasar beras dalam negerinya apabila terjadi shock terhadap harga beras dunia. Salah satu contoh intervensi pemerintah pada harga beras adalah pasca krisis tahun 2008 lalu agar dengan dibukanya impor untuk memenuhi stok dalam negeri (yang kurang mencukupi pada saat itu) agar kestabilan harga dalam negeri tetap terjaga.
Sumber : Worlbank 2011
Gambar 4 Ketidakstabilan harga beras: Indonesia dan luar negeri Masalah muncul ketika adanya intervensi pemerintah di pasar beras tidak terlalu berdampak signifikan terhadap penciptaan kestabilan harga beras dalam negara tersebut. Khususnya pasca krisis global tahun 2008 lalu dimana permintaan dunia akan komoditas padi-padian melonjak tajam yang disusul dengan kenaikan indeks harga serealia (beras termasuk didalamnya). Pada kasus beberapa negara produsen utama beras, yaitu Thailand, Vietnam, Indonesia pada periode awal dan periode di saat krisis 2008 lalu (Gambar 4). Dapat dilihat bahwa ketidakstabilan harga beras Indonesia mencapai level tertinggi jika dibandingkan dengan negara lain, baik dengan negara produsen beras (Thailand dan Vietnam) maupun dengan negara bukan produsen beras utama dunia (Hongkong). Dari Gambar 4 ini juga tersirat kenyataan
5
bahwa beras pun sebagai komoditas pertanian yang “dilindungi” kestabilan harganya, menjadi berfluktuatif (volatil) pasca krisis 2008 lalu. India dan Indonesia merupakan negara produsen dan konsumen beras utama yang juga kiranya dapat dijadikan perbandingan untuk melihat seberapa besar fluktuasi dan disparitas harga beras yang terjadi, khususnya pasca krisis 2008 lalu. Apalagi posisi Indonesia disamping juga sebagai negara produsen utama beras dunia, namun di satu sisi juga menjadi salah satu negara pengimpor utama beras. Sementara India dengan statusnya yang juga sebagai produsen utama beras, dan juga bertindak sebagai net exporter utama beras. Hal ini menjadi salah satu poin yang diperhatikan dan sangat menarik bagi peneliti untuk melihat fluktuasi harga beras yang terjadi. Berbekal latarbelakang diatas dan permasalahan yang ada didalamnya, berikut dirumuskan hal-hal yang ingin diteliti, yaitu: 1. Bagaimana volatilitas harga beras yang terjadi di Negara India, Indonesia maupun dunia pada periode 2007-2013 lalu? 2. Terkait hal tersebut, seberapa besar disparitas harga beras yang terjadi di tiap Negara per tahunnya? 3. Khusus di Indonesia, apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras pada periode 2007-2013 lalu? 4. Bagaimana hubungan volatilitas harga beras Indonesia dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya tersebut?
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis volatilitas dan disparitas harga beras. Secara khusus tujuan dari penelitian ini, yaitu: 1. Menganalisis volatilitas harga beras yang terjadi di Negara India, Indonesia serta perbandingannya dengan volatilitas harga beras dunia pada periode penelitian tahun 2007-2013 lalu. 2. Mengukur seberapa besar tingkat disparitas harga beras Indonesia, India, dan perbandingannya dengan harga internasional untuk tiap tahunnya. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia serta menganalisis hubungan yang terjadi di antara faktor-faktot tersebut.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai literatur acuan untuk kajian dengan topik serupa di masa yang akan datang. Sementara bagi pihak pengambil kebijakan, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan di dalam pengambilan keputusan, misalnya dalam hal kebijakan stabilisasi harga beras di masa yang akan datang, ataupun sebagai bahan pertimbangan di dalam alokasi dana investasi maupun subsidi, serta perencanaan pembangunan bagi pemerintah pusat dan daerah. Semoga penelitian ini pun bisa bermanfaat pula sebagai bahan bacaan tambahan bagi masyarakat dan umum.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis volatilitas harga beras yang terjadi di Negara India, Indonesia dan dunia, sertta faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras
6
untuk kasus Indonesia. Variabel harga beras yang dipakai merupakan rata-rata harga bulanan dengan periode waktu tahun 2007-2013 lalu. Periode waktu penelitian ini diambil khususnya pasca krisis global tahun 2008 lalu seiring dengan melonjak tajamnya harga padi-padian dunia. Metode analisis ekonometrika yang digunakan untuk mengukur volatilitas harga beras adalah ARCH-GARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity-Generalized Autoregressive Condtional Heterescedasticity). Sementara itu metode VECM (Vector Error Correction Model) digunakan untuk melihat kointegrasi faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia selama periode waktu penelitian.
TINJAUAN PUSTAKA Landasan Teori Teori Harga Pada dasarnya, harga merupakan sinyal utama yang mengarahkan keputusan para pelaku ekonomi dalam mengalokasikan sumber daya yang mereka punya. Artinya, jika terjadi fluktuasi harga di suatu pasar bersaing sempurna (PPS), dan dapat segera ditangkap oleh pasar PPS lainnya maka perubahan tersebut dapat digunakan sebagai sinyal dalam pengambilan keputusan harga, baik bagi produsen maupun konsumen. Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai: a. Pemberi informasi tentang jumlah komoditas yang sebaiknya dipasok oleh produsen untuk memperoleh keuntungan maksimum; b. Penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum (Nicholson, 2002). Menurut teori ekonomi mikro permintaan dan penawaran merupakan dua hal utama yang mempengaruhi proses terbentuknya harga. Menurut Lipsey et al. (1995), hubungan antara harga dengan jumlah yang diminta pada kondisi Pasar Persaingan Sempurna (PPS) mengikuti suatu hipotesis dasar yang menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu komoditas maka semakin sedikit jumlah yang diminta, dengan asumsi variabel lain dianggap konstan (ceteris paribus), dan terjadi sebaliknya. Sementara itu hubungan antara harga suatu komoditas dengan jumlah yang ditawarkan mengikuti suatu hipotesis dasar ekonomi yang menyatakan bahwa secara umum, semakin tinggi harga suatu komoditas maka semakin besar jumlah komoditas yang ditawarkan dengan asumsi variabel lain dianggap konstan (ceteris paribus) dan terjadi sebaliknya. Untuk setiap jenis barang normal dalam suatu perekonomian bersaing, harga barang memberikan jaminan bahwa penawaran dan permintaan berada dalam keseimbangan. Harga suatu komoditas di pasar ditentukan oleh kurva permintaan dan kurva penawaran komoditi tersebut yang saling berpotongan. Pada kondisi tersebut kuantitas barang yang diminta oleh pembeli sama dengan kuantitas yang ditawarkan oleh penjual sehingga tercapai kondisi keseimbangan harga pasar (equilibrium price). Sementara itu, jika terjadi kondisi dimana kuantitas barang yang diminta oleh pembeli tidak sama dengan kuantitas yang ditawarkan oleh penjual maka harga yang terjadi pada kondisi tersebut disebut dengan harga disekuilibrium. Adanya kelebihan permintaan atau penawaran yang terjadi di pasar akan menyebabkan keadaan disekuilibrium dan harga akan terus berubah sampai kembali ke titik ekuilibrium. Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya kelebihan permintaan yang mendorong harga untuk naik atau kelebihan penawaran yang menyebabkan harga menjadi turun.
7
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku permintaan maupun penawaran dalam interaksi pembentukan harga. Pada komoditas pangan atau pertanian, pembentukan harga disinyalir lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran (supply shock) dibandingkan sisi permintaan (demand shock). Sisi penawaran lebih berpengaruh karena sisi permintaan cenderung lebih stabil dibanding sisi penawaran yaitu mengikuti perkembangan trennya. Faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawaran komoditas pangan atau pertanian cenderung sulit untuk dikontrol. Sesuai dengan teori elastisitas (Nicholson 2002) perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga. Berkaitan dengan peningkatan harga pangan dunia selain karena faktor spesifik dari setiap komoditas, yaitu resiko geopolitik, kondisi iklim dan cuaca serta gagal panen, peningkatan harga pangan suatu komoditas juga diakibatkan oleh faktor penawaran dan permintaan yang saling mempengaruhi (Maulani 2013). Faktorfaktor yang memberikan pengaruh pada peningkatan harga komoditas pangan adalah sebagai berikut: a. Adanya pertumbuhan ekonomi yang semakin mendorong permintaan akan berbagai komoditas; b. Penggunaan biofuel pada dasawarsa terakhir telah mendorong permintaan pada berbagai tanaman pangan yang dapat dikonversi menjadi biofuel, misalnya untuk jagung, gandum, dan lain sebaainya; c. Adanya respon dari sisi penawaran yang lambat dan adanya keterkaitan di antara berbagai komoditas, d. Tingkat suku bunga yang rendah di negara tersebut dan depresiasi nilai US Dollar.
Teori Transmisi Harga Terminologi analisis harga biasanya mengacu pada analisis kuantitatif dari keterkaitan antar aspek permintaan dan penawaran harga. Analisis harga sering digunakan untuk menjelaskan perilaku harga dan variabel-variabel yang berhubungan. Harga dianggap dapat memberikan gambaran tentang pasar dan menjadi salah satu indikator tingkat penawaran dan permintaan suatu komoditas, maka analisis harga pangan utama seperti beras merupakan hal yang penting guna perumusan kebijakan stabilisasi harga dan peningkatan produksi pangan serta membuat peramalan harga. Salah satu isu penting dalam perdagangan dunia produk pertanian terkait bagaimana pasar komoditas pertanian domestik merespon perubahan harga dunia ataupun sebaliknya. Tingkat transmisi harga dari dunia ke harga domestik merupakan parameter kritis dalam model empiris perdagangan yang berusaha untuk memperkirakan besarnya dampak terhadap harga, output, konsumsi, dan kesejahteraan. Globalisasi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu secara spasial, baik secara hierarki atau simetri. Keterpaduan pasar pada umumnya direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar (Ravallion 1986). Istilah transmisi harga secara spasial melihat bagaimana harga pada pasar yang terpisah secara spasial di suatu negara berhubungan, atau bagaimana harga domestik melakukan penyesuaian terhadap harga dunia. Informasi pada kedua bentuk spasial transmisi harga tersebut sangat penting bagi pengambil kebijakan. Beberapa negara berkembang telah mengurangi peran pemerintah yang berhubungan dengan lembaga pemasaran, regulasi harga komoditas, dan kontrol terhadap perdagangan dunia (Chintia 2013). Informasi pada derajat dimana sinyal harga dunia ditransmisikan ke pasar komoditas domestik merupakan sesuatu yang penting bagi pengambil kebijakan. Sementara itu dalam istilah spasial, paradigma klasik dari hukum satu harga (law of one price) punya pengertian bahwa transmisi harga disebut
8
lengkap pada saat kondisi harga keseimbangan dari suatu komoditas terjual pada pasar bersaing di luar negeri dan domestik dibedakan hanya oleh biaya transfer ketika dikonversi ke suatu mata uang yang sudah umum digunakan dalam perdagangan dunia (Krugman dan Obstfled 2005). Model ini memprediksikan bahwa perubahan pada permintaan dan penawaran di satu pasar akan mempengaruhi perdagangan, dan oleh karena itu harga di pasar yang lain pada kondisi keseimbangan dipulihkan melalui arbitrase spasial. Fackler dan Goodwin (2002) merumuskan P1t dan P2t sebagai harga sebuah komoditas yang pasarnya terpisah secara spasial, C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. Hubungan yang terjadi antara harga tersebut adalah: P1t = P2t + C (1) Kedua pasar dikatakan terintegrasi jika hubungan dua harga terjadi seperti pada persamaan diatas. Namun kondisi ini bisa dikatakan tidak mungkin terjadi terutama pada jangka pendek. Jika sebaran bersama dari dua harga tersebut ternyata independen sepenuhnya atau tidak ada hubungan sama sekali maka dapat dikatakan bahwa tidak terjadi integrasi pasar dan tidak ada transmisi harga. Umumnya arbitrase spasial diharapkan untuk memastikan bahwa harga dari sebuah komoditas akan berbeda sejumlah tertentu atau paling besar sama dengan biaya transfer. C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. λ adalah konstanta yang besarnya antara 0 dan 1. Hubungan antara harga di dua pasar tersebut diidentifikasikan sebagai berikut: P2t – P1t = λC
(2)
Fackler dan Goodwin (2002) mengacu pada hubungan diatas sebagai kondisi arbitrase spasial dan berpendapat bahwa hubungan tersebut mengidentifikasikan sebuah bentuk yang lemah dari hukum satu harga (law of one price), bentuk yang kuat dicirikan oleh persaman (1). Fackler dan Goodwin juga menekankan bahwa hubungan persamaan (2) mewakili kondisi ekuilibrium. Harga yang diobservasi dapat berbeda dari hubungan persamaan (1), tetapi arbitrase spasial akan menyebabkan perbedaan antara kedua harga tersebut bergerak menuju biaya transfer.
Teori Harga Internasional Komoditi beras seperti halnya komoditi pangan lainnya, pada dasarnya harganya ditentukan dari permintaan dan penawaran dari negara-negara eksportir (produsen) dan negara-negara importir (konsumen). Harga internasional yang terbentuk merupakan interaksi dari permintaan dan penawaran masing-masing negara. Pembentukan harga keseimbangan internasional dapat dilihat pada Gambar 5. Salvatore (1997) menjelaskan bahwa harga internasional terbentuk dari harga domestik negara pengekspor dan pengimpor komoditi. Karena Px/Py lebih besar dari P1, maka Negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi Q (Panel a) sehingga kurva penawaran ekpornya atau S yang diperlihatkan oleh Panel c mengalami peningkatan. Di lain pihak, karena Px/Py lebih rendah dari P3, maka Negara 2 mengalami kelebihan permintaan untuk komoditi X (lihat Panel b) dan ini mengakibatkan permintaan impor negara 2 terhadap komoditi X atau Db mengalami kenaikan (lihat Panel c). Panel c juga menunjukkan bahwa hanya pada tingkat harga P2 maka kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh Negara 2 akan persis sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh Negara 1. Dengan demikian P2 merupakan Px/Py atau harga relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya perdagangan di antara kedua negara tersebut. Tapi jika Px/Py lebih besar dari P2 maka akan
9
terdapat kelebihan penawaran ekpor komoditi X, dalam hal ini akan menurunkan harga relatifnya atau Px/Py, sehingga pada akhirnya harga itu akan begerak mendekati atau sama dengan P2. Sebaliknya jika Px/Py lebih kecil dari pada P2, maka akan tercipta kelebihan permintaan impor komoditi X yang selanjutnya akan menaikkan Px/Py sehingga lambat laun akan sama dengan P2. P /P x
P /P
y
x
3
E
B’’
Ekspor P
S
P
S
3
B’
E*
E’ Impor
2
D
*
P
y
Xb
A’ ’
a
B
x
b
S P
P /P y
D
A 1
Xa D
b
a
0 Keseimbangan di negara 1 (a)
X
0
X
X 0 Keseimbangan internasional (c)
Keseimbangan di negara 2 (b)
Sumber : Salvatore (1997)
Gambar 5 Pembentukan harga internasional Misalkan pada gambar 5 diatas negara 1 adalah Thailand dan negara 2 adalah Indonesia. Pada kasus komoditi pertanian seperti beras Gambar 5 juga menunjukkan apabila tidak terjadi perdagangan maka harga yang terjadi di pasar Indonesia adalah P3 dan P1 di pasar Thailand dimana P1 < P3. Pada saat harga beras diatas P1, pasar Thailand akan mengalami excess supply, sehingga sejumlah ton beras akan tersedia untuk dijual ke pasar lain. Sedangkan impor akan dilakukan untuk memenuhi kelebihan permintaan (excess demand) di pasar Indonesia apabila harga dibawah P1. Informasi dari Gambar 5 juga dapat digunakan untuk mengembangkan model keseimbangan spasial akibat perdagangan antara dua pasar dengan menggunakan kurva excess supply dan excess demand. Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah dengan perubahan faktor kekuatan supply dan demand pada masing-masing pasar. Excess supply adalah selisih jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin tinggi dengan semakin meningkatnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar. Kurva excess supply di dasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva supply dan demand di pasar negara 1 (Thailand) pada harga diatas titik keseimbangan (titik B dikurang titik E, yang ditunjukkan oleh panel a pada Gambar 5. Grafik yang sama juga digunakan untuk menggambarkan kurva excess supply (S) yang ditunjukkan panel c. Seperti kurva supply biasa, kurva excess supply mempunyai kemiringan (slope) positif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat peningkatan harga. Excess demand adalah selisih jumlah yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu tertentu, yang semakin meningkat dengan semakin rendahnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar negara 2 (Indonesia). Kurva excess demand didasarkan pada garis datar (selisih) antara kurva supply dan demand dibawah titik keseimbangan pada pasar negara 2
10
(titik B’ dikurang titik E’, yang ditunjukkan oleh grafik bagian b pada Gambar 5). Grafik ini juga menggambarkan kurva excess demand (D) yang ditunjukkan grafik bagian panel c pada Gambar 4. Kurva excess demand mempunyai kemiringan (slope) negatif dikarenakan selisih antara supply dan demand yang makin melebar akibat penurunan harga. Kurva excess supply dan excess demand tadi akan berpotongan pada harga P2 jika tidak ada biaya transfer antara dua pasar, total komoditi beras sebanyak E* dapat dijual dari pasar Thailand ke pasar Indonesia dengan harga diantara kedua pasar akan sama yaitu sebesar P2. Sedangkan bila biaya transfer dari pasar beras Thailand ke Pasar beras Indonesia melebihi atau lebih besar dari P1 maka perdagangan tidak akan terjadi. Dalam kasus pasar beras pun, kondisi demand dan supply sama di setiap pasar dan perbedaan harga akan sangat bergantung pula dari biaya transfer. Semakin tinggi biaya transfer semakin kecil volume beras yang akan diperdagangkan. Perdagangan beras pun tidak akan terjadi jika biaya transfer sama atau melebihi harga beras di masing-masing negara. Perdagangan beras dalam hal ini akan maksimum pada E* ketika biaya transfer sama dengan nol. Selain itu adanya restriksi perdagangan seperti pajak ekspor, maupun tarif impor beras akan meningkatkan biaya transfer yang menyebabkan perdagangan akan terus berlangsung sampai biaya transfer sama dengan selisih harga. Jika biaya transfer lebih besar atau sama dengan selisih harga antar pasar maka pedagang tidak memiliki insentif untuk melakukan perdagangan. Hal ini mengakibatkan transfer excess demand maupun excess supply antara kedua pasar beras tidak terjadi dan harga beras akan bergerak secara mandiri (independence).
Teori Integritas Pasar Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi pasar yaitu adalah dengan melakukan analisis integrasi pasar. Melalui analisis integrasi pasar kita dapat mengetahui kecepatan respon pelaku pasar terhadap perubahan harga sehingga dapat dilakukan pengambilan keputusan yang tepat dan cepat. Pasar yang terintegrasi akan membentuk harga kesetimbangan yang berkaitan secara langsung (Aji, 2010). Definisi dari integrasi pasar adalah kondisi yang dihasilkan akibat tindakan pelaku pemasaran serta lingkungan pemasaran yang mendukung terjadinya perdagangan meliputi infrastruktur pemasaran dan kebijakan pemerintah, sehingga menyebabkan harga di suatu pasar ditransformasikan ke pasar lainnya. Adanya informasi pasar yang mendukung menyebabkan perubahan yang terjadi di suatu pasar seperti adanya perubahan harga akan ditransmisikan ke pasar lain dengan perubahan harga. Hal ini dapat digunakan oleh produsen sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis, integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu integrasi pasar horizontal (spasial) dan integrasi vertikal. Integrasi horizontal (spasial) merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara suatu pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial memiliki konsep bahwa pasar-pasar yang terpisah secara geografis memiliki keterkaitan harga dimana harga yang terjadi merupakan pengaruh dari harga di pasar lain yang saling berinteraksi. Dua pasar dapat dikatakan terintegrasi secara spasial jika diantara lokasi pasar terjadi perdagangan dan harga pada daerah importir sama dengan harga pada daerah eksportir ditambah dengan biaya transportasi dan biaya transfer lainnya. Pasar dikatakan terintegrasi jika dihubungkan oleh sebuah proses arbitrase. Jika perbedaan harga antara dua pasar lebih rendah dari biaya transaksi, maka seorang produsen akan berfikir untuk menghentikan perdagangan. Integrasi pasar vertikal adalah tingkat keeratan hubungan antara pasar produsen dengan pasar pedagang atau
11
ritel. Pasar produsen adalah pasar dimana penawaran produsen berinteraksi dengan permintaan dari pedagang. Sedangkan pasar ritel adalah pasar yang merupakan bertemunya permintaan konsumen akhir dengan penawaran dari pedagang. Suatu pasar dikatakan terintegrasi vertikal jika harga pada suatu lembaga pemasaran ditransformasikan ke lembaga pemasaran lain dalam satu rantai pemasaran. Integrasi pasar vertikal menunjukkan perubahan harga di suatu pasar akan direfleksikan pada perubahan harga di pasar lain secara vertikal dalam produk yang sama (Suparmin, 2005). Pada pasar yang terintegrasi secara vertikal, intervensi pada suatu pasar akan berdampak nyata terhadap pasar lainnya, atau sebaliknya pada pasar yang tidak terintegrasi vertikal intervensi pada suatu pasar tidak akan berpengaruh nyata terhadap pasar lainnya.
Stabilisasi Harga Pangan Hubungan positif antara integrasi pasar dan pembangunan ekonomi diterima secara luas di bidang ekonomi. Menurut argumen neoklasik menyatakan bahwa ekspansi dan integrasi pasar mengarah pada peningkatan produktivitas melalui penyebaran biaya tetap, skala ekonomi dan peningkatan division of labour. Akan tetapi ada hal lain yang membuat pasar yang lebih terintegrasi meningkatkan pembangunan ekonomi: yaitu melalui stabilisasi harga. Timmer (1996) menyatakan bahwa 'ketika harga pangan tidak berhasil distabilkan dan ketahanan pangan belum diwujudkan, maka stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi akan terancam' (1996: 46). Timmer (1989a, 1996) membahas sejumlah alasan mengapa stabilisasi harga pangan diperlukan (Lihat juga Dawe, 1997). a. Pertama, harga yang tidak stabil mengakibatkan pelarian investasi dalam modal fisik. Ketidakstabilan harga berarti bahwa investasi tersebut menjadi berisiko. Hal ini menyebabkan investasi yang lebih rendah daripada yang optimal oleh masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh, masyarakat (khususnya petani) akan mendapatkan keuntungan dari investasi di irigasi karena itu akan meningkatkan perkembangan teknologi. Namun dengan adanya fluktuasi harga beras, berinvestasi pada hal ini akan terlalu berisiko bagi para petani, karena ia tidak yakin akan mendapat untung di masa depan dari harga yang tak pasti ini. b. Kedua, ketidakstabilan harga mendorong adanya substitusi tabungan dan waktu bekerja untuk konsumsi dan rekreasi. Tentu saja hal ini meningkatkan kesejahteraan di keluarga petani, tetapi pergeseran alokasi waktu dan sumber daya menjadi tidak optimal bagi pertumbuhan ekonomi. c. Ketiga, ketidakstabilan harga akan menyebabkan adanya biaya transaksi dalam realokasi anggaran para konsumen ketika harga berubah. Hal ini sangat menjadi pertimbangan khususnya bagi konsumen yang tergolong berpendapatan kecil atau menengah. Misalnya, jika bahan pangan merupakan 20-30 persen dari pengeluaran konsumen, kemudian adanya kenaikan harga pangan dua kali lipat akan memerlukan realokasi seperempat dari total pengeluaran konsumen tersebut. d. Alasan keempat mengapa harga pangan yang tidak stabil dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah hubungannya nanti dengan variabel makroekonomi. Misalnya, pada awal proses pertumbuhan ekonomi Indonesia di akhir tahun 1960, beras menyumbang seperempat dari PDB dan sepertiga dari lapangan pekerjaan. Pada keadaan ekonomi seperti ini, adanya ketidakstabilan dalam harga beras bisa menjadi penyebab ketidakstabilan ekonomi makro yang pada gilirannya menurunkan pertumbuhan ekonomi.
12
Uuntuk hubungan antara ketidakstabilan ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi merujuk pada Dawe (1996) dan Barro, Sala-Martin (1995) e. Terakhir, ketidakstabilan harga mempengaruhi sektor industri. Stabilitas dari harga upah hanya bisa dicapai jika harga pangan stabil. Ketika hal ini terjadi, banyak muncul investasi padat karya sebagai peningkatan efisiensi teknologi di negara dengan upah rendah. Lebih lanjut, jika harga pangan yang stabil berkontribusi pada lingkungan politik yang stabil di mana investor dapat membentuk ekspektasi jangka panjang yang aman, peningkatan investasi secara keseluruhan bisa dicapai.
Volatilitas Harga Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya Volatilitas (volatility) berasal dari kata volatil (volatile). Istilah ini mengacu pada kondisi yang berkonotasi tidak stabil, cenderung bervariasi, dan sulit diperkirakan. Konotasi kuncinya adalah keragaman (variability) dan ketidakpastian (uncertainty). Volatilitas pada suatu waktu tertentu dapat diurai menjadi dua komponen yaitu yang perilakunya dapat dipraduga (predictable), dan yang tidak dapat dipraduga (unpredictable). Secara teoritis bobot relatif masing-masing komponen itu dapat dikaji (Sumaryanto 2009). Secara umum, volatilitas di pasar keuangan menggambarkan tingkat risiko yang dihadapi pemodal karena mencerminkan fluktuasi pergerakan harga saham. Namun Sumaryanto (2009) menyebutkan bahwa analisis volatilitas harga tidak hanya relevan di pasar uang ataupun pasar saham, tetapi juga di pasar komoditas lainnya. Tidak semua variasi dari harga bermasalah, seperti ketika harga bergerak dengan kecenderungan yang halus dan mapan serta mampu mencerminkan pasar fundamental atau ketika mereka memperlihatkan pola musiman yang khas dan terkenal. Tapi variasi harga menjadi bermasalah ketika terjadi variasi yang bergerak secara fluktuatif dan tidak dapat diantisipasi (unpredictable), sebagai hasilnya dapat menciptakan tingkat ketidakpastian yang meningkatkan tingkat risiko bagi produsen, pedagang, konsumen, dan pemerintah dan dapat menyebabkan keputusan yang suboptimal. Variasi harga yang tidak mencerminkan fundamental pasar juga bermasalah karena dapat menimbulkan pengambil keputusan yang salah (FAO 2011). Volatilitas pada dasarnya terbagi atas dua jenis, yaitu: a. Transitory Volatility, artinya Volatilitas yang sifatnya sementara karena adanya ketidakseimbangan arus order, seperti terjadi kepanikan pasar, ekspektasi b. Fundamental Volatility, artinya volatilitas yang disebabkan karena faktor fundamental seperti adanya kegagalan panen. Berdasarkan sumber terjadinya volatilitas diatas, dapat diketahui bahwa volatilitas harga beras pada umumnya berjenis fundamental volatility, artinya bahwa fluktuasi harga beras ini tidakstabil antarmusim, yaitu pada musim panen dan musim paceklik, maupun tidakstabil antartahun karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya relatif sulit diramalkan. Adanya fluktuasi (volatilitas) harga beras seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan sistem tanam padi masih tergantung terhadap musim dan para petani belum memiliki kemampuan dalam teknik penyimpanan pasca panen. Selain itu, ketidakstabilan harga tersebut juga dapat merugikan produsen pada musim panen dan sebaliknya memberatkan konsumen pada musim paceklik. Disamping juga akan berakibat luas pada kondisi ekonomi makro khususnya peningkatan inflasi. Globalisasi juga
13
menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar (Simatupang, 2000). Dengan pendekatan lain, dinamika harga produk domestik dipengaruhi oleh keadaan pada tiga jenis pasar secara simultan, yaitu (1) pasar komoditas internasional, (2) pasar komoditas domestik, dan (3) pasar valuta asing. Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga (Nicholson, 2000). Fluktuasi harga beras seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan sistem tanam padi masih tergantung terhadap musim dan para petani belum memiliki kemampuan dalam teknik penyimpanan pasca panen (Chintia, 2013). Terjadinya ketidakstabilan harga pada komoditi beras, tidak hanya disebabkan oleh harga beras itu sendiri, namun juga dapat dilihat dari beberapa faktor, seperti : (a) Adanya ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik yang membuat produksi padi dalam negeri pun juga berfluktuasi; (b) Adanya ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim (suhu) seperti kekeringan atau kebanjiran; (c) Adanya fluktuasi harga beras di pasar internasional yang relatif sulit diramalkan; (d) Pendapatan per kapita juga merupakan faktor lain yang menentukan diferensial harga. Ini berkaitan dengan perbedaan kualitas komoditas yang dikonsumsi oleh rumah tangga dengan berbagai tingkat pendapatan. Jika rumah tangga yang lebih kaya membeli produk-produk yang lebih berkualitas maka hargaharga yang mencerminkan jenis produk akan lebih tinggi dibandingkan dengan harga produk yang dibeli oleh rumah tangga yang relatif lebih miskin. Dalam hal pasar beras di Indonesia, adanya program Raskin, yang digunakan oleh BULOG untuk mendistribusikan beras berkualitas rendah kepada rumah tangga miskin dengan harga subsidi, juga mempunyai dampak terhadap diferensial harga. Program ini meningkatkan pasokan beras berkualitas rendah ke pasaran di mana jumlah penduduk miskin lebih tinggi dan, akibatnya, pendapatan per kapita rata-rata lebih rendah sehingga menurunkan harga beras; (e) Kondisi cadangan beras pemerintah (CBP) masing-masing negara maupun (f) adanya restriksi perdagangan seperti tariff impor yang secara langsung akan mempengaruhi harga beras impor maupun volume beras yang diimpor oleh suatu negara. Sementara itu, menurut laporan WorldBank (2011) fakto-faktor penyebab utama volatilitas harga pangan seperti beras umumnya dipengaruhi baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Sisi permintaan: a. Permintaan komoditas pangan yang meningkat: China dan India b. Persaingan dengan permintaan akan biofuel c. Spekulasi di pasar berjangka pertanian Sisi penawaran: a. Naik turunnya produksi karena fenomena iklim, erosi topsoil (25 milyar ton/th) b. Kenaikan biaya transportasi karena kenaikan harga minyak/energi c. Cadangan stok pangan dalam negeri suatu negara tersebut d. Kebijakan perdagangan: hambatan ekspor dan tarif impor e. Rendahnya investasi dan inovasi di dunia pertanian f. Peningkatan urbanisasi: from producer to purchaser Selain itu menurut Irawan (2004) juga pada umumnya harga beras merupakan acuan bagi harga komoditas pangan lainnya dan tingkat upah pertanian, sehingga perubahan pangan lain dan upah tenaga kerja cenderung sejalan dengan perubahan harga gabah (beras). Dengan demikian seberapa jauh fluktuasi harga beras
14
mempengaruhi stabilitas ekonomi makro perlu menjadi perhatian, terutama pada kondisi pasar yang derajat liberalisasinya semakin meningkat. Dalam kaitannya antara perubahan harga komoditas seperti beras dan inflasi, Furlong dan Ingenito (1996) meyakini bahwa harga komoditas dapat dijadikan sebagai leading indicators inflasi. Alasannya adalah, pertama, harga komoditas mampu merespon secara cepat shock yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock). Kedua, harga komoditas pangan utama seperti beras juga mampu merespon terhadap non-economic shocks seperti banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya yang menghambat jalur distribusi dari komoditas tersebut.
Penelitian Terdahulu Penelitian yang membahas mengenai pasar beras maupun perdagangan beras telah banyak dilakukan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Penelitian yang dilakukan oleh Aryani (2009) menganalisis pasar beras di tiga negara yaitu Thailand, Filipina dan Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, telah terjadi integrasi dengan tingkat integrasi yang sangat lemah antara pasar beras Indonesia, Thailand, dan Filipina. Artinya apabila terjadi perubahan di dalam pasar beras suatu negara akan mempengaruhi pergerakan pasar beras negara lainnya dengan perubahan yang sangat kecil (dilihat dari nilai koefisiennya yang lebih kecil dari satu). Kondisi ini disebabkan masih adanya kebijakan pengendalian impor (baik tarif maupun nontarif) yang diterapkan oleh tiga negara ASEAN tersebut terhadap komoditi beras. Harianto (2001) berfokus pada impor beras yang merugikan produsen, namun disisi lain menguntungkan konsumen beras. Penurunan harga beras akan menguntungkan konsumen yang ada di pedesaan. Konsumen di pedesaan juga adalah petani padi akan menghadapi dilema. Turunnya harga akan menguntungkan jika konsumen adalah petani subsisten yang menjadi net buyer. Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga. Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi fluktuatifnya sisi permintaan dan atau penawaran. Sitepu (2002), menyatakan bahwa harga beras dunia selain dipengaruhi oleh jumlah ekspor dan impor beras dunia, juga dipengaruhi oleh jumlah produksi beras dunia. Dalam hasil penelitiannya, harga beras dunia tidak berpengaruh nyata secara positif terhadap jumlah impor beras dunia, dan responnya juga inelastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh jumlah ekspor beras dunia, tetapi arahnya berlawanan. Respon harga beras dunia terhadap perubahan jumlah ekspor beras dunia juga inelastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sitepu juga memasukkan faktor bedakala dalam penelitiannya. Faktor peubah bedakala menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap harga beras dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa, harga beras dunia relatif lambat untuk menyesuaikan diri kembali pada titik keseimbangannnya dalam merespon situasi perubahan ekonomi yang berkaitan dengan perberasan dunia. Penelitian lain mengenai integrasi pasar beras dilakukan oleh Hidayat (2012). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pasar beras Indonesia terintegrasi dengan pasar beras dunia dengan derajat yang sangat lemah. Perubahan di pasar dunia ditransmisikan ke pasar beras domestik namun tidak sempurna. Peningkatan harga beras dunia dapat menyebabkan kesejahteraan petani beras meningkat, sedangkan kesejahteraan konsumen mengalami penurunan. Selain penelitian diatas, berikut ringkasan hasil penelitian terdahulu yang terangkum dalam tabel dibawah ini.
15
Tabel 1 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu Judul Dealing with Commodity Price Volatility in East Asia The Challenges of Sugar Market: An Assessment from the Price Volatility Perspective and Its Implications for Romania
Role of Thin Commodity Futures Markets in Physical Market Price Making: An Analysis of Wheat Futures in India in The Post-Ban Era
Peneliti (Tahun) N.A Achsani, Rina Oktaviani, dkk. (2011) Larisa Nicoleta Popa; Mihaela Rovinarub; Flavius Rovinaruc (2013)
Nilanjan Ghosh (2010)
Metodologi ARCH-GARCH, Data Panel, CGE
EGARCH
Vector Autoregression (VAR), Granger-Causality, Autoregression (AR)
ARCH GARCH untuk estimasi Volatilitas Harga minyak dunia Analisis Dampak Volatilitas Harga Minyak Bumi Dunia terhadap Harga CPO Indonesia
Indri Mutia Maulani (2013)
Tinjauan terhadap Produksi, Konsumsi, Distribusi dan Dinamika Harga Cabe di Indonesia
Miftah Farid, Nugroho Ari Subekti (2012)
Rice Trade and Price Volatility: Implications on ASEAN and Global Food Security
Ramon L. Clarete, Lourdes Adriano, and Amelia Esteban (2013)
VECM untuk menganalisis dampak volatilitas harga minyak dunia terhadap harga CPO di Indonesia
Coefficient of Variation (CV), Analisis Net margin, Bivariate regression
Price volatility; Granger causality tests
Hasil Semua komoditi pangan utama di ASEAN+3 volatil, kecuali kedelai Pasar gula Romania bersifat volatil, sama halnya dengan pasar gula dunia. Ada indikasi terintegrasinya harga gula dunia dengan harga gula domestik di Rumania Di India, volatilitas harga di pasar berjangka komoditas tidak terlalu berpengaruh pada volatilitas pasar fisik. Level likuiditas di pasar berjangka komoditas yang rendah membuat tidak memungkinkannya jenis pasar yang “tipis” (seperti gandum, beras) untuk menentukan harga referensi pasar fisiknya. Volatilitas harga minyak dunia bervariasi antarwaktu (time varying) dengan kecenderungan yang terus meningkat. Semua variabel signifikan pada jangka panjang. Harga CPO Indonesia memberikan respon yang cenderung negatif terhadap volatilitas dan harga CPO Malaysia. Sedangkan harga CPO Indonesia menunjukkan respon yang positif terhadap harga CPO dunia. Fluktuasi harga cabe terjadi karena produksi cabe bersifat musiman. Harga cabe dapat berfluktuasi karena faktor hujan, biaya produksi dan panjangnya saluran distribusi. Disparitas harga cabe antar daerah terjadi karena pusat produksi cabe terkonsentrasi di Jawa dan kualitas infrastruktur jalan yang kurang memadai . Aktivitas perdagangan beras global rendah dan selfperpetuate justru tidak menyebabkan volatilitas harga beras yang ekstrim dalam wilayah ASEAN.
16
Diantara tiga jenis sereal (beras, jagung, gandum), fluktuasi harga terendah terdapat pada jagung
Kerangka Pemikiran Food, Fuel, Financial Crisis pasca Krisis Global 2007-2008
Munculnya Isu Kerawanan Pangan (Food Security Issue)
BERAS
Fluktuasi Harga Pangan
Harga Beras yang Fluktuatif
Pasar Internasional
Pasar Domestik (Indonesia)
Pasar India (perbandingan)
Volatilitas Harga Faktor - faktor yang mempengaruhi Volatilitas (di Indonesia): 1. Harga Beras Domestik 2. Harga Beras Internasional 3. Inflasi (CPI) 4. GDP (IPI) 5. Volume Impor Beras 6. Produksi Beras Domestik 7. Cadangan Beras Domestik 8. Iklim (Suhu)
Implikasi Kebijakan di Indonesia
Keterangan:
= Batasan yang diteliti
Disparitas Harga
17
Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu, berikut dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini, yaitu: 1. Variabel harga beras dunia, harga beras Indonesia dan harga beras India merupakan variabel ekonomi yang volatile. 2. Pada harga beras yang volatil akan terdapat disparitas harga per tahunnya dari masing-masing variabel harga beras tersebut. 3. Variabel-variabel yang mempengaruhi fluktuasi harga pangan selain dari harga pangan itu sendiri, juga lebih dipengaruhi dari sisi supply, sehingga volatilitas (fluktuasi) harga beras Indonesia akan dipengaruhi antara lain oleh harga beras domestik, harga beras dunia, produksi padi domestik, cadangan beras domestik, suhu (iklim) dan volume impor beras. 4. Terjadi integrasi antara pasar beras domestik dengan pasar beras dunia, sehingga terdapat keterkaitan volatilitas harga beras dunia dengan volatilitas harga beras Indonesia.
METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang sifatnya time-series bulanan dengan rentang waktu tahun 2007:1 sampai 2013:12. Penentuan rentang waktu ini dikarenakan sesuai dengan latar belakang dan masalah yang telah dibahas pada bab sebelumnya, penelitian ini lebih berfokus pada dampak dari adanya krisis global di akhir 2007-2008 lalu terhadap gejolak pergerakan harga salah satu komoditi pangan utama, yaitu beras. Sehingga data untuk variabel harga beras yang diambil pada masing-masing negara dimulai dari tahun 2007 awal sampai pada 2013 lalu. Berikut variabel-variabel ekonomi yang dipakai di dalam penelitian. Tabel 2 Variabel yang dipakai dalam penelitian Nama Variabel
Satuan
Simbol
Sumber
Volatilitas Harga Beras Eceran
-
VOLATILITY
Olahan
Harga Beras Eceran Domestik
Rupiah/Kg
HRGA_BRS_DOM / LN DOMRICE
BPS
Harga Beras Dunia
US$/ MT
HRGA_BRS_DUNIA / LN_WORLDRICE
World Bank
Harga Beras India
Rs/Ku
HRGA BRS INDIA
CSO India
Produksi Beras Domestik
Kuintal
LN_PRODUKSI
BPS
Cadangan Beras Domestik
Ton
LN_DOM_STOCK
BULOG
Suhu (Indeks ENSO)
°C
LN_SUHU
CPC
Volume Impor Beras
Kg
LN_VOL_IMP
BPS
Indeks Produksi Industri (proksi GDP bulanan)
-
IPI
BPS
Indeks Harga Konsumen
-
CPI
BPS
18
Penelitian ini dilaksanakan di Bogor dengan lokasi pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan di kota Bogor dan Jakarta. Adapun proses pengumpulan data dilakukan dalam rentang waktu tiga bulan, dimulai dari bulan Maret 2013 - Mei 2014. Seperti yang telah diungkapkan pada tabel diatas, data di dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi terkait seperti Laporan Bulanan Data Statistik dan Ekonomi Badan Pusat Statistik (LBDSE-BPS), Badan Urusan Logistik (BULOG), World Bank Commodity Price Data (The Pink Sheet), Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Sementara untuk kesesuaian data penulis juga mengumpulkan data dari beberapa lembaga internasional seperti FAO (Food and Agricultural Organization), IMF (International Monetary Fund), CPC (Climate Prediction Center), publikasi-publikasi ilmiah dari WorldBank, dan lain sebagainya.
Metode Analisis dan Pengolahan Data Analisis dan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan alat bantu program MS Office Excel 2013 dan software ekonomi Eviews 8. Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, untuk mencari volatilitas harga beras digunakan aplikasi model ekonometrika ARCH-GARCH, sementara untuk mencari tingkat disparitas harga beras dengan menggunakan analisis deskriptif dari volatilitas tadi. Sedangkan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia pada jangka pendek dan jangka panjang, serta pengaruh guncangan harga beras dunia terhadap harga beras Indonesia dengan menggunakan model ekonometrika Vector Error Correction Model (VECM). Berikut penjelasan model ekonomi yang dipakai dalam penelitian ini:
Model ARCH-GARCH Tujuan utama dari penggunaan model ini adalah untuk menghitung besaran volatilitas dari variabel harga beras dunia, harga beras Indonesia, dan harga beras India. Pada awalnya model ARCH (autoregressive conditional heteroscedasticity) ini dikembangan untuk menjawab persoalan adanya volatility pada data-data ekonomi, bisnis dan keuangan. Volatilitas (fluktuasi) ini tercermin dalam varians residual yang tidak memenuhi asumsi homoskedastisitas (Firdaus, 2011). Volatilitas berdasarkan model ARCH (m) mengasumsikan bahwa varians data fluktuasi dipengaruhi oleh sejumlah m data fluktuasi sebelumnya. Model ARCH kemudian digeneralisasi menjadi model GARCH oleh Bollerslev (1986). Model GARCH (r,m) mengasumsikan bahwa varians data fluktuasi dipengaruhi sejumlah m data fluktuasi sebelumnya dan sejumlah r data volatilitas sebelumnya. Adapun bentuk umum model GARCH (r,m): (3) dimana:
K
`
= Variabel harga beras pada waktu t, atau varians pada waktu ke-t = Varians yang konstan = Suku ARCH, atau volatilitas pada periode sebelumnya = Koefisien orde m yang diestimasikan = Koefisien order r yang diestimasikan = Suku GARCH, atau varians pada periode sebelumnya
19
Ada beberapa tahapan yang dilakukan untuk menghitung volatilitas harga beras melalui model ARCH-GARCH ini, namun untuk itu kita harus melihat terlebih dahulu kecenderungan data variabel harga beras ini melalui analisis grafik dengan plot time-series. Setelah itu ke tahapan selanjutnya, yaitu:
a) Tahap Identifikasi Hal-hal yang diidentifikasi pada tahap ini ada 3 macam: 1) Identifikasi terhadap kestasioneran data, 2) Identifikasi terhadap unsur musiman yang mungkin ditemui dalam data tersebut, 3) Identifikasi terhadap pola Autocorrelation Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF) untuk menentukan model sementara. Uji stasioneritas data dilakukan dengan uji Augmented Dickey-Fuller. Data dikatakan sudah stasioner (tidak mengandung unit root) apabila ADF test statistic lebih besar dari test critical values. Pada umumnya data runtut waktu (time series) memiliki unsur kecenderungan (trend) yang menjadikan kondisi data menjadi tidak stasioner di level. Sedangkan penerapan model ARMA/ ARIMA hanya dapat dilakukan pada data yang sudah stasioner. Oleh karena itu diperlukan pembedaan (differencing) yang dapat membedakan data yang belum stasioner dengan data baru yang sudah stasioner. Sementara itu, tingkat akurasi model ARIMA dapat ditingkatkan dengan memasukkan unsur musiman yang terkandung dalam data. Pendeteksian komponen musiman yang terkandung dalam data digunakan dengan menggunakan bantuan (i) plot data, (ii) plot ACF, (iii) plot PACF tadi. Setelah terpilih beberapa alternatif model sementara yang ada, penting sekali untuk mengidentifikasi data pada model tersebut mengandung heteroskedastisitas atau tidak. Pengujian keberadaan heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat keruncingan (kurtosis) data. Pengujian heteroskedastisitas yang lebih terkuantifikasi dilakukan dengan menggunakan uji ARCH-LM. Uji ARCH-LM didasarkan atas hipotesis nol tidak terdapat ARCH error. Apabila hasil pengujian menunjukan penerimaan terhadap hipotesis nol, maka data tidak mengandung ARCH error dan tidak perlu dimodelkan menggunakan ARCH-GARCH. b) Tahap Pendugaan Parameter dan Pemilihan Model Terbaik Setelah berhasil mengidentifikasi model sementara, selanjutnya adalah pendugaan parameter model sementara tersebut. Terdapat dua cara dasar yang digunakan untuk menduga parameter, yaitu : 1. Dengan cara mencoba-coba (trial and error) 2. Perbaikan secara iterative Penentuan dugaan parameter ARCH-GARCH dilakukan dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum secara iterative dengan Algoritma Marquardt. Dengan menggunakan bantuan program Eviews 8 kita bisa mengestimasi nilai parameter yang dibutuhkan. Selanjutnya, dilakukan evaluasi model terbaik berdasarkan model sementara yang ada. Terdapat 6 kriteria dalam evaluasi model Box-Jenkins (Gaynor 1994), yaitu proses iterasi harus convergence, residual (forecast error) random, kondisi invertibilitas ataupun stasioneritas harus terpenuhi, ditunjukkan oleh koefisien AR atau MA yang nyata dan kurang dari 1, parameter yang diestimasi berbeda nyata dengan nol, model harus parsimonious, model harus memiliki mean square error (MSE) yang kecil, dan terakhir memiliki ukuran kebaikan model yang besar. Terdapat dua bentuk pendekatan yang dapat digunakan sebagai ukuran kebaikan model yaitu Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwartz Criterion (SC). SC
20
dan AIC adalah dua standar informasi yang menyediakan ukuran informasi yang dapat menemukan keseimbangan antara ukuran kebaikan model dan spesifikasi model yang terlalu hemat. Nilai ini dapat membantu untuk mendapatkan seleksi model terbaik. Model yang baik dipilih berdasarkan nilai AIC dan SC yang terkecil dengan melihat juga signifikansi koefisien model. Model ARCH-GARCH terbaik juga dapat diseleksi berdasarkan asumsi non-negativity constrains yang mensyaratkan tidak boleh ada koefisien yang negatif. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi nilai varians yang negatif karena nilai yang negatif akan tidak berarti (meaningless).
c) Tahap Peramalan Ragam dan Perhitungan Nilai Volatilitas Harga Beras Setelah didapatkan model ARCH-GARCH pilihan yang baik, selanjutnya model ini digunakan untuk memperkirakan nilai volatilitas masa datang ( ) dari suatu variabel ekonomi, dimana = √h t. Peramalan ragam untuk ARCH (m) untuk periode mendatang diformulasikan sebagai berikut: (4) sementara peramalan ragam untuk GARCH (r,m) adalah:
(5) dengan K> 0, δr ≥ 0, dan αm ≥ 0 dimana: = Nilai ragam ke-t = Nilai sisaan ke-t K = Konstanta δr ; αm = Paramater-parameter
Analisis Disparitas Harga Secara kuantitatif, berdasarkan penelitian terdahulu (Farid 2012) tingkat disparitas harga beras di tiap tahunnya bisa diproyeksikan dengan menghitung coefficient of variation (CV) atau koefisien keragaman harga (KK) dari nilai volatilitas (fluktuasi) harga beras yang sudah didapat sebelumnya. Nilai CV dapat dihitung dengan: (6) dimana: = coeffisient of variation volatilitas harga beras Indonesia, India, dan dunia = standard deviation dari nilai volatilitas harga beras Indonesia, India, dan dunia = rata-rata tahunan dari nilai volatilitas harga beras Indonesia, India, dan dunia. Di dalam analisisnya, Nilai CV (per periode waktu tertentu) yang semakin kecil dapat diartikan bahwa komoditas tersebut semakin stabil atau tidak berfluktuasi sesuai periode waktu tersebut.
21
Model VAR/VECM Penelitian ini menggunakan model empiris multivariate vector autogression (VAR) atau vector error correction model (VECM) untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras di Indonesia. Terkait dengan hal itu, model VAR/VECM dipilih karena memenuhi 4 hal penting yang ingin diperoleh dari pembentukan sebuah sistem persamaan ekonomi, yaitu: deskripsi data, peramalan, inferensi struktural, dan analisis kebijakan. Model VAR/VECM ciptaan Sims (1972) pada dasarnya menyediakan alat analisa kuantitatif bagi keempat hal tersebut, yaitu: a) Forecasting, ekstrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel, b) Granger Causality Test, untuk mengetahui hubungan sebab akibar antar variabel, c) Impulse Response Function (IRF) untuk melacak respon saat ini dan di masa depan setiap variabel sebagai akibat dari perubahan (shock) suatu variabel tertentu, d) Forecast Error Decomposition of Variance (FEDV) untuk memprediksi kontribusi persentase varians setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu. Model Vector Autoregression (VAR) Pemodelan VAR adalah bentuk pemodelan yang digunakan untuk multivariate time series. Pada metode VAR, variabel eksogen dan endogen tidak dapat dibedakan secara apriori karena model VAR menjadikan semua variabel bersifat endogen (variabel yang nilainya ditentukan dalam model). Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang (lag) yang digunakan dalam model. Sesuai dengan Sims (1972), variabel yang digunakan dalam persamaan VAR dipilih berdasarkan teori ekonomi yang relevan dan hanya variabel endogen yang masuk dalam analisis. VAR sebagai sistem persamaan yang mampu memperlihatkan setiap perubahan sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Peubah penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh peubah tak bebas dalam sistem Asumsi yang harus dipenuhi dalam metode VAR yaitu semua variabel tak bebas harus bersifat stasioner (mean, variance dan covariance bersifat konstan) dan semua sisaan bersifat white noise yakni memiliki rataan nol, ragam konstan dan saling bebas. Secara matematis model VAR dapat ditulis dalam bentuk persamaan umum seperti dibawah ini (Enders, 2004): ∑ (7) dimana: = Vektor variabel tak bebas yang berukuran (n x 1) = Vektor dari variabel-variabel eksogen, termasuk konstanta (Intersep) dan tren yang berukuran (n x 1) = Jumlah lag dalam sistem persamaan, atau ordo dari model VAR = Vektor sisaan berukuran (n x 1 = Matrik parameter berukuran n x n untuk setiap i = 1, 2 …
Pada penelitian ini, model VAR yang digunakan adalah sebagai berikut: a) Model Umum: olatilityt = (D
CEt ,
D CEt ,P
b) Model Umum (Notasi Matriks)
Dt ,S
C t ,S
t,
Pt , P t , CP
t
22
Adapun model persamaan umum VAR diatas dalam bentuk notasi matriks:
(8)
[
[
]
[
]
Keterangan: (
]
[
]
[
]
= Konstanta = error term (sisaan) = Koefisien lag peubah ke-j untuk persamaan ke-i
Model Vector Error Correction (VECM) VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi (restricted VAR). Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Data time series pada umumnya tidak stasioner pada level. Jika data tidak stasioner di tingkat level namun stasioner pada proses diferensi data, maka harus diuji apakah data yang digunakan dalam model mempunyai hubungan jangka panjang atau tidak. Adanya tidaknya hubungan jangka panjang antar variabel di dalam sistem VAR dapat diketahui dengan melakukan uji kointegrasi. Istilah kointegrasi disebut juga dengan istilah error, karena deviasi terhadap ekuilibrium jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui series parsial penyesuaian jangka pendek. Apabila terdapat kointegrasi, maka model yang digunakan adalah model Vector Error Correction Model (VECM). Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendek. Berikut persamaan umum VECM secara matematis: ∑ (9) Dimana: = koefisien hubungan jangka pendek = koefisien hubungan jangka panjang = kecepatan menuju keseimbangan (speed of adjustment)
Model VECM yang digunakan pada penelitian ini adalah:
[ Keterangan: -
]
[
]
[
= Konstanta = error term (sisaan)
]
[
]
[
]
23
-
(
= Koefisien lag peubah ke-j untuk persamaan ke-i
Pengujian Praestimasi Sebelum melakukan estimasi VAR/VECM, ada beberapa tahapan pengujian yang harus dilakukan, yaitu: Uji Stasioneritas Data (unit root test) Data ekonomi time series pada umumnya bersifat stokastik atau memiliki tren yang tidak stasioner artinya data tersebut mengandung akar unit. Kondisi non stasioner akan menciptakan kondisi spurious regression yang ditandai oleh tingginya koefisien determinasi R2 dan t statistik tampak signifikan, tetapi penafsiran hubungan seri ini secara ekonomi akan ambigu dan menyesatkan (Enders 2004). Untuk dapat mengestimasi suatu model menggunakan data tersebut maka langkah pertama yang harus dilakukan masalah uji stasioneritas data atau dikenal dengan unit root test. Uji akar unit dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF). Berikut model umum dari ADF yang digunakan dalam penelitian ini: ∑ (10) Dengan: = Variabel yang diamati = Jika nilai t-statistik ADF lebih kecil daripada McKinnon critical value maka keputusannya adalah tolak H0 yang berarti bahwa tidak terdapat unit root sehingga dapat disimpulkan data deret waktu tersebut stasioner. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Solusi yang dapat dilakukan apabila data tidak stasioner pada uji ADF adalah dengan melakukan difference non stasionary processes. Uji tersebut dilakukan untuk meningkatkan akurasi dari analisis apabila data yang diamati tidak stasioner. Uji ini hanya merupakan pelengkap dari analisis VAR, karena tujuan dari analisis VAR adalah untuk menilai adanya hubungan timbal balik di antara variabel yang diamati. Hasil series stasioner akan berujung pada penggunaan VAR dengan metode standar. Sementara series non stasioner akan berimplikasi pada dua pilihan VAR, yaitu VAR dalam bentuk difference atau VECM. Keberadaan variabel non stasioner meningkatkan kemungkinan keberadaan hubungan kointegrasi antar variabel. Maka pengujian kointegrasi diperlukan untuk mengetahui keberadaan hubungan tersebut.
Penentuan Lag Optimal Uji kointegrasi sangat peka terhadap panjang lag, maka penentuan lag yang optimal menjadi salah satu prosedur penting yang harus dilakukan dalam pembentukan model (Enders 2004). Guna memperoleh panjang lag yang tepat, maka perlu dilakukan beberapa pengujian secara bertahap. Panjang lag optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Jika kriteria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat selang, maka kandidat tersebutlah yang optimal. Jika diperoleh lebih dari satu kandidat, maka yang dipilih adalah kandidat yang memberikan nilai lag terpendek. Hal ini dimaksudkan untuk menyederhanakan model yang digunakan dalam penelitian. Penentuan lag optimal dalam analisis VAR sangat penting dilakukan karena dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen (Enders 2004). Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Penelitian ini menggunakan kriteria Schwarz Information Criterion (SIC). Besarnya lag optimal
24
ditentukan oleh lag yang memiliki kriteria SIC terkecil sebagai berikut: SIC = AIC (q) + (q/T)(logT-1), dimana q merupakan jumlah variabel, T adalah jumlah observasi.
Uji Stabilitas Hasil estimasi sistem persamaan VAR yang telah terbentuk perlu diuji stabilitasnya melalui VAR stability condition check yang berupa roots of characteristic polynomial terhadap seluruh variabel yang digunakan dikalikan dengan jumlah lag dari masing-masing VAR. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil (stasioner) jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak didalam unit circle. Sebelum masuk pada tahapan analisis yang lebih jauh, Stabilitas VAR perlu diuji karena jika hasil estimasi stabilitas VAR tidak stabil maka analisis IRF dan FEVD menjadi tidak valid. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh akar atau roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu. Uji Kointegrasi (Johansen Cointegration test) Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang meskipun secara individual tidak stasioner, tetapi kombinasi linier antara variabel tersebut dapat menjadi stasioner (Engel dan Granger 1987). Salah satu syarat agar tercapai keseimbangan jangka panjang adalah galat keseimbangan harus berfluktuasi sekitar nol. Dengan kata lain error term harus menjadi sebuah data time series yang stasioner. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk melakukan uji kointegrasi, seperti Engle-Granger cointegration test, Johansen cointegration test, dan Cointegration regression Durbin-Watson test. Suatu data time series dikatakan terintegrasi pada tingkat ke-d atau sering disebut I(d) jika data tersebut bersifat stasioner setelah di-difference sebanyak d kali. Uji kointegrasi Johansen dapat ditunjukkan oleh persamaan berikut : ∑ (11) Komponen dari vektor dapat dikatakan terkointegrasi bila ada vektor ) sehingga kombinasi linier bersifat stasioner. Vektor disebut vektor kointegrasi. Rank kointegrasi pada vektor adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas, rank kointegrasi ini dapat diketahui melalui uji Johansen. Pengujian hubungan kointegrasi dilakukan dengan menggunakan selang optimal sesuai dengan pengujian sebelumnya. Sementara penentuan asumsi deterministik yang melandasi pembentukan persamaan kointegrasi didasarkan pada nilai kriteria informasi AIC. Berdasarkan asumsi deterministik ini akan diperoleh informasi mengenai banyaknya hubungan kointegrasi antar variabel sesuai dengan metode Trace dan Max (Maulani 2013). Jika trace statitstic > critical value, maka persamaan tersebut terkointegrasi (Firdaus, 2011) Uji Granger Causality Uji kausalitas Granger (Granger Causality Test) dilakukan untuk melihat apakah dua variabel memiliki hubungan timbal balik atau tidak. Dengan kata lain, apakah satu variabel memiliki hubungan sebab akibat dengan variabel lainnya secara signifikan, karena setiap variabel dalam penelitian mempunyai kesempatan untuk menjadi variabel endogen maupun eksogen. Uji kausalitas bivariate pada penelitian ini menggunakan VAR Pairwise Granger Causality Test dan menggunakan taraf nyata sepuluh persen.
25
Impulse Response Function (IRF) VAR merupakan metode yang akan menentukan sendiri struktur dinamisnya dari suatu model. Setelah melakukan uji VAR, diperlukan adanya metode yang dapat mencirikan struktur dinamis yang dihasilkan oleh VAR secara jelas. Uji ini dilakukan untuk menguji struktur dinamis dari sistem variabel dalam model yang diamati yang dicerminkan oleh variabel inovasi (innovation variable). Salah satu bentuk dari uji ini adalah IRF yang menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF dapat juga mengidentifikasikan suatu kejutan pada satu variabel endogen sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan yang tidak diharapkan dalam variabel mempengaruhi variabel lainnya sepanjang waktu. Oleh karena itu IRF dapat digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. Analisis IRF adalah metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap gejolak variabel tertentu (Amisano dan Gianinni 1997). IRF juga digunakan untuk melihat pengaruh gejolak satu variabel terhadap variabel yang lain dan berapa lama (periode) pengaruh tersebut berlangsung. Hasil IRF sangat sensitif terhadap pengurutan (ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pengurutan variabel yang didasarkan pada faktorisasi cholesky. Variabel yang memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan di depan berdampingan satu sama lainnya, sedangkan yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan paling belakang. Kemudian variabel lainnya diletakkan diantara kedua variabel tersebut berdasarkan nilai matriks korelasi yang menyatakan tingkat korelasi paling besar. Dalam penelitian ini yang akan diteliti adalah pengaruh shock dari harga beras domestik, harga beras dunia, harga beras dunia, cadangan beras domestik, produksi padi, suhu, IHK dan IPI Indonesia. Ordering bisa juga dilakukan melalui uji kausalitas Granger, dimana urutan variabel didasarkan pada variabel yang paling banyak signifikan mempengaruhi variabel lain. Selain itu, IRF juga digunakan untuk mengetahui berapa lama pengaruh shock dari satu variabel terhadap variabel yang lain tersebut terjadi. IRF juga bertujuan untuk mengisolasi suatu guncangan agar lebih spesifik artinya variabel ekonomi lainnya dipengaruhi oleh shock atau guncangan tertentu saja. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka shock spesifik tersebut tidak dapat diketahui dan yang dapat diketahui adalah shock secara umum. Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Analisis FEVD digunakan untuk menghitung dan menganalisis seberapa besar pengaruh gejolak acak (random shock) dari variabel tertentu terhadap variabel endogen (Amisano dan Gianinni, 1997). FEVD menghasilkan informasi mengenai relatif pentingnya masing-masing inovasi acak (random innovation structural disturbance) atau seberapa kuat komposisi dari peranan variabel tertentu terhadap variabel lainnya dalam model VECM. FEVD dapat memberikan informasi mengenai variabel inovasi yang relatif lebih penting dalam VAR. Metode ini dapat digunakan untuk melihat seberapa besar perubahan dalam suatu variabel makro, yang ditunjukkan oleh perubahan variance error yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini juga dapat mencirikan struktur dinamis dalam model VAR. Metode ini juga dapat menunjukkan kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang (how long / how persistent).
26
Dekomposisi varians merinci varians dari error peramalan (forecast) menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Dengan menghitung persentase squared prediction error k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain, dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya. Uji ini dilakukan untuk memberikan informasi mengenai bagaimana hubungan dinamis antara variabel yang dianalisis. Selain itu, FEVD ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh acak guncangan (random shock) dari variabel tertentu terhadap variabel endogen. FEVD menghasilkan informasi mengenai relatif pentingnya masing-masing inovasi acak (randominnovation structural disturbance) atau seberapa kuat komposisi dari peranan variabel tertentu terhadap lainnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Perkembangan Harga Beras Dunia, India, dan Indonesia Perkembangan harga beras dunia selama periode 2007:1-2013:12 disajikan pada Gambar 6. Harga ini mengacu pada harga beras Thai Medium 5%. Berdasarkan gambar diketahui bahwa harga beras dunia terus bergerak naik pada periode Januari awal sampai mencapai puncaknya pada bulan Mei 2008. Pada periode tersebut harga beras dunia bahkan berfluktuasi sampai tiga kali lipat dari harga normal, yaitu pada level 900US$ per metrik ton (MT). Hal ini melampaui harga komoditas padi-padian lainnya (Worldbank 2011). Pada pertengahan tahun 2009 dan setelahnya harga beras dunia relatif stabil kembali, namun dengan keseimbangan harga yang baru (dibandingkan tahun 2007 dan sebelumnya), yaitu berada pada kisaran US$ 500-600 per metrik ton per bulannya. US$/MT
2007M01 2007M04 2007M07 2007M10 2008M01 2008M04 2008M07 2008M10 2009M01 2009M04 2009M07 2009M10 2010M01 2010M04 2010M07 2010M10 2011M01 2011M04 2011M07 2011M10 2012M01 2012M04 2012M07 2012M10 2013M01 2013M04 2013M07 2013M10 2014M01
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Sumber Commodity World Price 2014 (diolah)
Gambar 6 Perkembangan harga beras dunia bulanan (2007-2013) Menurut Kementerian Perdagangan Dalam Negeri Thailand, adanya lonjakan harga ini terjadi setelah diberlakukannya kebijakan pembelian beras besar-besaran sebanyak 5.4 juta ton dari sekitar 700 ribu petani oleh pemerintah Thailand pada awal tahun 2008 lalu. Hal ini juga terkait dengan berakhirnya kekuasaan Thaksin Shinawatra sehingga diberlakukannya kebijakan rice-pledging scheme ini. Akibatnya harga beras lokal dan ekspor Thailand meningkat tajam dan mencapai puncaknya
27
pada April-Mei 2008 lalu. Selain itu, adanya kebijakan pembatasan ekspor oleh negara pengekspor utama dunia pada saat itu, yaitu India, China, dan Vietnam membuat harga beras dunia menjadi semakin tajam lonjakan peningkatannya. Perkembangan harga konsumen eceran beras medium Indonesia dapat dilihat pada Gambar 7 yang menunjukkan adanya trend yang cenderung meningkat, khususnya pada tahun 2010 ke atas. Dari sisi supply, adanya peningkatan harga beras eceran domestik ini dikarenakan produksi padi nasional pada tahun 2010-2011 lalu yang tidak terlalu bagus kenaikannya, bahkan cenderung menurun. Dengan populasi masyarakat Indonesia yang terus bertambah setiap tahunnya menyebabkan peningkatan konsumsi terhadap beras meningkat. Akibat tidak bisa dicapainya swasembada beras pasca tahun 2010 ke atas, membuat terjadinya peningkatan volume impor beras sehingga mendistorsi harga dalam negeri. Hasilnya harga beras domestik pun terpengaruh dan berfluktuasi seperti pada gambar 7.
Rp/kg 14000,00 12000,00 10000,00 8000,00 6000,00 4000,00 2000,00 2007M01 2007M04 2007M07 2007M10 2008M01 2008M04 2008M07 2008M10 2009M01 2009M04 2009M07 2009M10 2010M01 2010M04 2010M07 2010M10 2011M01 2011M04 2011M07 2011M10 2012M01 2012M04 2012M07 2012M10 2013M01 2013M04 2013M07 2013M10 2014M01
0,00
Sumber BPS Indonesia 2014 (diolah)
Gambar 7 Perkembangan harga beras Indonesia bulanan (2007-2013) Pada harga beras India, penulis dalam hal ini menggunakan data variety-wise prices of rice yang melambangkan harga penjualan beras secara grosir (wholesale) oleh para pedagang beras di pasar Mandi (pasar komoditas utama) di India. Berdasarkan gambar 8, dapat dilihat adanya kontrol terhadap harga yang dicerminkan pada beberapa garis yang cenderung stabil pada periode tertentu. Meskipun secara keseluruhan harga beras India ini tetap menunjukkan trend yang meningkat setiap tahunnya.
Rs/Ku
2007M01 2007M05 2007M09 2008M01 2008M05 2008M09 2009M01 2009M05 2009M09 2010M01 2010M05 2010M09 2011M01 2011M05 2011M09 2012M01 2012M05 2012M09 2013M01 2013M05 2013M09
3000,0000 2500,0000 2000,0000 1500,0000 1000,0000 500,0000 0,0000
Sumber CSO (Central Statistics Office) India 2014 (Diolah)
Gambar 8 Perkembangan harga beras India bulanan (2007-2013)
28
Spesifikasi Model ARCH-GARCH untuk Harga Beras Sebelum menganalisis volatilitas dan disparitas harga beras, ada 2 tahapan utama yang harus dilakukan: 1) Identifikasi dan penentuan model rataan (mean equation) ;2) Identifikasi dan penentuan model ARCH-GARCH. Tahapan (1) meliputi pengujian kestasioneran data, penentuan model tentatif ARIMA hingga pendugaan parameter dan pemilihan model ARIMA terbaik. Berikut tabel hasil uji stasioneritas data dan model ARIMA terbaik: Tabel 3. Hasil uji stasioneritas dan model ARIMA terbaik variabel harga beras Variabel
ADF t0,05 Critical Statistic Values Harga Beras Dunia -5.908214 -2.897223* Harga Beras Indonesia -8.108576 -3.466248* Harga Beras India -10.93679 -2.897678* Keterangan : *) Stasioner pada taraf nyata 10%
Prob* 0.0000 0.0000 0.0001
Model ARIMA Terbaik ARIMA (1,1,2) ARIMA (0,1,2) ARIMA (2,1,0)
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai ADF test statistic dari setiap variabel harga beras lebih kecil dari critical value pada taraf nyata 10%, serta nilai probabilitasnya lebih kecil dari nilai kritis 0,1. Implikasinya hipotesis nol ditolak sehingga harga beras tidak mengandung akar unit dan telah stasioner (lihat lampiran 9 dan 10). Setelah data harga beras ini stasioner, dilakukan penentuan model tentatif ARIMA berdasarkan pola Autocorrelation Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF). Setelah memperoleh beberapa model ARIMA tentatif dilanjutkan dengan memilih satu model ARIMA terbaik berdasarkan kriteria AIC dan SIC. Berdasarkan skema ini didapat model ARIMA terbaik pada tabel diatas untuk selanjutnya diperiksa residualnya (lihat Lampiran 1, 4, dan 7). Tabel 4. Hasil uji efek ARCH masing-masing variabel Variabel
F-statistic
Prob. F*
Harga Beras Dunia 4.727978 0.0327* Harga Beras Indonesia 7.800352 0.0065* Harga Beras India 0.240959 0.6249 Keterangan : *) signifikan pada taraf nyata 10%
Ada/ Tidak Efek ARCH Ada Ada Tidak
Berdasarkan hasil pengolahan data yang tersaji pada Tabel 4 diketahui bahwa terdapat efek ARCH pada model untuk variabel harga beras dunia dan variabel harga beras Indonesia (lihat lampiran 2 dan 5). Namun, tidak terdapat adanya efek ARCH tersebut pada variabel harga beras India (lihat Lampiran 8). Hal ini ditunjukkan pada nilai prob.F yang lebih besar dari nilai kritis 0,1. Artinya, aplikasi model ARCHGARCH hanya bisa dilakukan untuk variabel harga beras dunia dan harga beras Indonesia saja, sedangkan pada variabel harga beras India tidak bisa dilakukan. Selanjutnya adalah tahapan (2) yaitu estimasi dan pemilihan model ARCHGARCH. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemilihan model ragam dilakukan dengan mempertimbangkan nilai SC dan nilai AIC terendah, memiliki koefisien yang signifikan, nilai koefisien tidak lebih besar dari satu dan non-negatif. Berdasarkan sejumlah kriteria tersebut maka model ragam (ARCH-GARCH) terpilih dari variabel harga beras ini disajikan dalam Tabel 5 (lihat Lampiran 3 dan 6). Tabel 5. Hasil model ARIMA terbaik dan model ARCH- GARCH variabel harga beras Variabel
Model ARIMA terbaik Harga Beras Dunia ARIMA (1,1,2) Harga Beras Indonesia ARIMA (0,1,2) Keterangan: *) signifikan pada taraf nyata 10%
Model ARCH-GARCH Terbaik ARCH (1,0) ARCH (1,0)
29
Berdasarkan model ARCH-GARCH yang diperoleh tadi maka dapat diketahui volatilitas variabel harga beras yang dianalisis. Ukuran volatilitas ini ditunjukan oleh nilai standar deviasi bersyarat (conditional standard deviation), yang merupakan akar dari ragam model ARCH-GARCH yang diestimasi.
Analisis Volatilitas dan Disparitas Harga Beras
Harga Beras India Berdasarkan hasil uji efek ARCH pada Tabel 4 diatas, diketahui bahwa harga beras India untuk level grosiran kepada para pedagang tidak berfluktuasi. Artinya kebijakan stabilisasi harga pangan utama (seperti beras) berhasil dipraktekkan di India. Menurut analisa penulis, kebijakan perdagangan India semenjak tahun 2007 lalu yang membatasi ekspor berasnya disatu sisi membuat cadangan beras dalam negeri India cukup stabil sehingga membuat tidak terjadinya fluktuasi harga beras yang berarti. Hal ini juga ditunjukkan oleh konsistensi India pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 WTO yang dilaksanakan di Bali, Desember 2013 lalu dimana India bersikeras untuk meningkatkan cadangan pangan domestik dari 10% menjadi 15% dari total produksi pangan dengan waktu subsidi tidak terbatas. Terkait dengan subsidi pertanian, pemerintah India pun dari segi kebijakan fiskal gencar memberikan subsidi pertaniannya kepada para petani di beberapa hal, seperti subsidi pupuk, benih, subsidi irigasi, dan lain sebagainya. Berikut disampaikan data lengkapnya sejak tahun 1980-an lalu pada Tabel 6. Tabel 6. Distribusi subsidi dan luas areal panen India (2008-2009) Subsidi/ Tahun
Pupuk Irigasi (Crores Rs)* (Crores Rs)* 1980-1981 471.88 399.10 1985-1986 1,804.80 1,667.21 1990-1991 4,638.56 3,917.41 1996-1997 8,148.41 10,404.73 2000-2001 13,724.05 14,711.71 2008-2009 101,180.68 Keterangan: * 1 Crores Rs = Rs 10.000.000,Sumber : CSO India (2008)
Listrik (Crores Rs)* 357.56 1,324.15 4,621.00 15,594.00 26,904.00 14,771.52
Luas Areal Panen (ribu ha) 173,324 177,526 185,403 188,601 186,565 175,678
Total Susidi (Crores Rs)* 1,228.54 4,796.16 13,176.97 34,147.14 55,339.76 115,952.20
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa subsidi pupuk menempati presentase tertinggi dari semua jenis subsidi, yaitu diatas 35% setiap tahunnya. Selain itu, jumlah subsidi untuk pertanian (irigasi misalnya) juga terus mengalami peningkatan selama tiga dekade terakhir. Meskipun total luas areal panen di India tidak mengalami peningkatan secara berarti (cenderung turun), akan tetapi adanya perbaikan pada sistem irigasi dan manajemen produksi serta pemberian subsidi pupuk dan benih yang kontinu pada tiga dekade terakhir membuat produktivitas padi di India yang besar (dan surplus) membuat harga beras domestik menjadi lebih stabil.
Harga Beras Dunia Volatilitas harga beras dunia pada Gambar 9 menunjukkan variasi yang tinggi pada bulan-bulan awal tahun 2008, dicirikan oleh puncak grafik yang menjulang tinggi pada bulan April 2008. Setelah periode tersebut, nilai-nya kembali menurun hingga stabil pada posisi mean (rataan). Diduga fluktuasi yang tajam pada periode awal tahun 2008 ini disebabkan oleh kenaikan harga padi-padian sebagai bahan bakar nabati (biofuel), yang disertai juga dengan perubahan produksi atau stok beras dunia. Selain juga adanya pembatasan perdagangan yang diterapkan oleh beberapa Negara produsen utama beras semakin memperburuk keadaan ini.
30
250 200 150 100 50 2007M01 2007M04 2007M07 2007M10 2008M01 2008M04 2008M07 2008M10 2009M01 2009M04 2009M07 2009M10 2010M01 2010M04 2010M07 2010M10 2011M01 2011M04 2011M07 2011M10 2012M01 2012M04 2012M07 2012M10 2013M01 2013M04 2013M07 2013M10
0
Volatility
Mean
(+)2StDev
(+)4Stdev
Gambar 9 Volatilitas harga beras dunia tahun 2007-2013 Hal ini dilakukan oleh beberapa negara produsen sekaligus eksportir utama beras seperti India, Thailand, Vietnam, dan China. Selain itu kebijakan pemerintah Thailand dengan rice-pledging scheme nya pada awal 2008 lalu diduga menjadi salah satu faktor pemicu tingginya volatilitas harga beras dunia. Adanya pengumuman dan keputusan dari negara eksportir beras untuk menghentikan pembatasan ekspor diakhir 2009 lalu menghasilkan penurunan (penstabilan) harga beras di tingkat dunia. Pengalaman ini menggambarkan bagaimana pembatasan perdagangan yang diterapkan untuk mengatasi kenaikan harga domestik dapat menciptakan gelembung harga yang justru memperburuk situasi harga komoditas di pasar dunia.
Harga Beras Indonesia Sementara itu, nilai volatilitas harga beras Indonesia lebih menunjukan adanya variasi antar waktu yang cukup beragam (time varying). Fluktuasi harga beras selama periode Januari - April 2007 lalu dan 2008 lalu diduga selain karena pengaruh krisis pangan dunia juga karena fenomena peningkatan permintaan pada hari Raya Natal dan Tahun Baru. Intervensi pemerintah untuk menstabilkan harga beras melalui operasi pasar sepertinya berhasil pada jangka pendek. Namun pada awal 2010 sampai pada penghujung 2011 lalu (Gambar 10) kembali berfluktuasi tajam hingga nilainya mencapai dua kali lipat dari standar deviasinya.
2007M01 2007M04 2007M07 2007M10 2008M01 2008M04 2008M07 2008M10 2009M01 2009M04 2009M07 2009M10 2010M01 2010M04 2010M07 2010M10 2011M01 2011M04 2011M07 2011M10 2012M01 2012M04 2012M07 2012M10 2013M01 2013M04 2013M07 2013M10
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Volatility
Mean
(+)2StDev
(+)4Stdev
Gambar 10 Volatilitas harga beras Indonesia tahun 2007-2013 Mulai stabilnya harga beras di penghujung tahun 2008 lalu lebih disebabkan oleh kecukupan produksi dan cadangan stok beras domestik untuk memenuhi
31
kebutuhan masyarakat kala itu. Namun semenjak dihentikannya pembatasan ekspor beras yang dimulai pada tahun 2009 akhir yang diiringi dengan dibukanya arus beras impor ke dalam negeri membuat harga beras domestik berfluktuasi sepanjang tahun 2010 dan 2011 lalu. Selain di satu sisi juga produksi padi nasional pada tahun 2010 dan 2011 lalu tidak mengalami peningkatan yang berarti jika dibandingan dengan kebutuhan akan konsumsi beras yang meningkat terus setiap tahunnya.
Analisis Disparitas Harga Beras (Indonesia dan Dunia) Terkait dengan fluktuasi harga beras diatas yang dilihat secara bulanan, selanjutnya dipaparkan tingkat disparitas harga beras per tahunnya (periode penelitian). Berikut perbandingan disparitas harga beras Indonesia dan dunia dalam bentuk tabel 7. Tabel 7. Disparitas harga beras per tahunnya Variabel / Disparitas Harga (%) Harga Beras Dunia Harga Beras Indonesia
2007
2008
2009
Tahun 2010 2011
2012
2013
49.57 72.6*
92.11* 48.67
37.30 21.55
19.42 50.96
27.27 34.95
12.20 30.56
29.95 53.83
Keterangan * menunjukkan tingkat disparitas harga tertinggi
Pada harga beras dunia tingkat disparitas (kesenjangan) harga tertinggi terjadi pada tahun 2008 lalu sebanyak 92.11%, sementara tingkat disparitas harga beras Indonesia tertinggi pada tahun 2007 lalu sebanyak 72.6%. Pada harga beras dunia, tingkat disparitas harga tertinggi pada tahun 2008 lalu lebih disebabkan oleh perubahan tingkat harga beras dunia pada tahun 2008 lalu yang meningkat tajam hingga tiga kali lipat dari harga biasa (hingga mencapai US$ 900/MT). Sementara pada harga beras Indonesia tingkat disparitasnya sesuai dengan gambaran volatilitas harga beras domestik seperti ditampilkan pada Gambar 10 diatas. Hal ini diduga karena adanya perubahan keseimbangan harga beras dari tahun 2006 lalu menuju rata-rata keseimbangan harga beras yang baru di tahun 2007, dengan lonjakan harga yang tajam per periode bulanannya selama tahun 2007 ini. Tingkat kesenjangan harga beras domestik yang cukup tinggi juga dapat dilihat pada tahun 2010 dan 2011 lalu, yang mencapai nilai diatas 50%. Artinya terdapat perubahan kenaikan harga beras hingga mencapai 50% dari rata-rata perubahan harga beras biasa. Sesuai dengan nilai volatilitas pada gambar 10 tadi, adanya tingkat kesenjangan harga beras ini salah satunya disebabkan oleh masuknya beras impor ke pasar domestik. Sesuai dengan teori harga pangan sebelumnya, tingginya tingkat kesenjangan antara harga beras domestik yang telah bercampur dengan harga beras impor tadi akan membentuk suatu keseimbangan harga domestik yang baru dan tentunya berbeda-beda jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Hasil Uji Praestimasi Data Pengujian praestimasi dilakukan sebelum estimasi model VAR/VECM. Berdasarkan hasil uji akar unit pada level menggunakan uji ADF menunjukkan hasil bahwa beberapa variabel tidak stasioner di level, kecuali variabel volatilitas, cadangan beras domestik, suhu, volume impor beras, dan harga beras dunia yang masing-masing stasioner di level (lihat lampiran 9). Sehingga selanjutnya dilakukan uji akar unit pada first difference dengan hasil semua variabel stasioner pada taraf 10% (lihat lampiran 10). Kemudian berdasarkan pengujian lag optimum, kriteria pengujian yang didasarkan pada nilai SIC minimum menunjukkan model optimum di lag 2. Pengujian stabilitas VAR juga menunjukkan semua akar unit fungsi polinomial
32
memiliki nilai kurang dari 1. Hal ini berarti bahwa model VAR sudah stabil sehingga analisis Impulse Respone Function dan Forecast Error Decomposition (FEVD) dianggap valid. Setelah terpilih nilai lag optimum, selanjutnya dilakukan metode uji Granger Causality untuk melihat hubungan sebab akibat Volatilitas Harga Beras Indonesia dengan beberapa variabel lain yang diduga sebaga faktor yang mempengaruhinya. Uji kausalitas Granger ini dilakukan pada kondisi data first difference. Berikut skema hubungannya: D(DOM STOCK) D(CPI) D(LN WORLD RICE)
D(LN VOL IMP)
D (LN DOMRICE )
D(VOLATILITY) D(LN PRODUKSI)
D(IPI)
D(LN SUHU)
Gambar 11 Skema hubungan antarvariabel berdasarkan uji Granger Causality Berdasarkan skema diatas terdapat beberapa hubungan kausalitas dua arah yang harus diperhatikan, yaitu hubungan antara: (1) Produksi padi nasional (D LN PRODUKSI) dengan harga beras domestik (D LNDOMRICE), (2) Volatilitas (D VOLATILITY) dengan Cadangan Beras Domestik (LN DOM STOCK). Selain hubungan kausalitas dua arah, ada pula hubungan searah yang terjadi antara variabel harga beras domestik dengan volatilitas misalnya. Hal ini sesuai dengan teori bahwa volatilitas harga beras tentunya akan sangat dipengaruhi oleh harga beras itu sendiri. Kondisi yang sama juga terjadi pada hubungan antara cadangan beras domestik dengan volume impor beras Indonesia. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa jumlah atau besarnya cadangan beras dalam negeri akan sangat mempengaruhi total impor beras Indonesia. Selain itu variabel produksi padi pun juga mempengaruhi cadangan beras dalam negeri, bahkan harga beras dunia juga mempengaruhi volatilitas harga beras domestik. Setelah melakukan uji Granger Causality, tahap praestimasi berikutnya adalah Johansen Cointegration test. Berdasarkan hasil uji ini terdapat 2 persamaan yang memiliki nilai trace statititic > critical value 10%. Tabel 8 Hasil uji kointegrasi Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic Critical Value None * 0.621590 296.0401 228.2979 At most 1 * 0.606035 226.2137 187.4701 At most 2 * 0.415501 153.0476 150.5585 At most 3 0.357618 109.5506 117.7082 *Terdapat tiga persamaan yang terkointegrasi pada level 10%
Prob.** 0.0000 0.0006 0.0359 0.1464
Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat terdapat kointegrasi pada model penelitian sehingga VECM dipilih sebagai alat estimasi untuk menjawab tujuan penelitian.
33
Analisis Estimasi VECM Berdasarkan hasil estimasi VECM model pertama, diketahui bahwa pada jangka pendek ada beberapa variabel yang signifikan terhadap volatilitas harga beras Indonesia pada lag 1 saja, yaitu harga beras domestik, produksi padi nasional, suhu, dan Indeks Produksi Industri (IPI). Sementara pada lag 2 variabel yang signifikan mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia pada jangka pendek adalah volume impor beras. Variabel cadangan beras domestik maupun harga beras dunia sama-sama berpengaruh signifikan baik pada lag 1 maupun lag 2, sedangkan variabel lainnya tidak signifikan (Tabel 9). Selain itu dari model ini juga bisa dilihat bahwa adanya dugaan parameter error correction (variabel Cointeq1) yang signifikan membuktikan adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang. Besaran penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang yaitu sebesar -0.85 persen. Tabel 9 Hasil estimasi VECM pada model volatilitas Variabel CointEq1 D(VOLATILITY(-1)) D(VOLATILITY(-2)) D(CPI(-1)) D(CPI(-2)) D(IPI(-1)) D(IPI(-2)) D(LN_DOM_STOCK(-1)) D(LN_DOM_STOCK(-2)) D(LN_DOMRICE(-1)) D(LN_DOMRICE(-2)) D(LN_PRODUKSI(-1)) D(LN_PRODUKSI(-2)) D(LN_SUHU(-1)) D(LN_SUHU(-2)) D(LN_VOL_IMP(-1)) D(LN_VOL_IMP(-2)) D(LN_WORLDRICE(-1)) D(LN_WORLDRICE(-2)) C Variabel VOLATILITY(-1) CPI(-1) IPI(-1) LN_DOM_STOCK(-1) LN_DOMRICE(-1) LN_PRODUKSI(-1) LN_SUHU(-1) LN_VOL_IMP(-1) LN_WORLDRICE(-1) @TREND(07M01) C
Jangka Pendek Koefisien -0.859129 -0.165362 -0.109107 15.18958 6.212743 -4.588076 -1.867533 143.4646 -123.7822 1920.775 429.2864 33.37672 -42.77087 1324.617 316.0304 -10.33857 17.51828 -197.6224 200.7376 -28.22013 Jangka Panjang Koefisien 1.000000 0.000000 0.000000 203.3957 625.1309 184.1053 -455.1140 -10.51906 1.323876 -6.837487 -9941.478
Ket: * signifikan pada taraf 10% Nilai t-ADF untuk nilai kritis sepuluh persen sama dengan 1.66
t-Statistik -5.3460* -1.30621 -1.15277 1.50943 0.61631 -2.06125* -1.00834 2.56047* -2.05717* 4.22330* 0.89998 1.85097* -1.28262 1.86054* 0.48433 -0.67935 2.32743* -2.28274* 2.21779* -2.78097 t-Statistik
6.59754* 2.46121* 5.83244* -1.72967* -0.88073 0.03544 -2.81486
34
Pada jangka panjang ada beberapa variabel yang berpengaruh signifikan terhadap volatilitas harga beras Indonesia, yaitu cadangan beras nasional, produksi padi nasional, harga beras domestik dan suhu dunia. Ketiganya sama-sama berpengaruh positif terhadap volatilitas harga beras Indonesia kecuali untuk kondisi suhu dunia. Ketika terjadi kenaikan sebesar satu persen cadangan beras nasional, maka akan meningkatkan volatilitas harga beras sebanyak 203.39 satuan. Begitu pula jika terjadi peningkatan harga beras domestik sebanyak 1% akan meningkatkan volatilitas harga beras sebanyak 625.13 satuan. Kedua hal ini sesuai dengan teori, dimana adanya kenaikan cadangan beras pemerintah oleh BULOG mengindikasikan bahwa produksi beras nasional saat itu dirasa kurang mencukupi untuk memenuhi demand masyarakat, sehingga pada saat keadaan ini terjadi (dalam jangka pendek maupun panjang) tentunya harga beras akan berfluktuasi. Variabel harga beras yang meningkat juga tentunya akan membuat volatilitas harga beras pun meningkat, cateris paribus. Selanjutnya, adanya kenaikan produksi padi sebanyak satu persen akan meningkatkan volatilitas harga beras sebanyak 184.10 satuan. Hal ini agak berlawanan dengan teori, mengingat semakin tinggi supply padi (beras) membuat harga akan cenderung turun atau setidaknya stabil pada jangka panjang, cateris paribus. Pada jangka pendek, salah satu hasil estimasi menunjukkan adanya kenaikan harga beras dunia 1% pada 1 bulan sebelumnya, maka akan menurunkan volatilitas harga beras domestik sebesar 197.62 satuan pada bulan sekarang. Hal ini mengindikasikan hubungan negatif antara volatilitas harga beras Indonesia dengan harga beras dunia pada jangka pendek. Hal ini bisa saja terjadi dikarenakan kenaikan harga beras dunia mengindikasikan jumlah yang diperdagangkan (pasokan beras) untuk masyarakat di luar negeri berkurang, akibat produksi padi domestik di negaranegara produsen beras utama terpakai habis hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam negerinya saja termasuk Indonesia, cateris paribus. Selain itu, pada pasar dunia beras memiliki skala pasar yang sempit (thin market). Artinya, hanya sedikit volume beras yang diperdagangkan oleh setiap negara produsen beras di pasar dunia. Hal ini terjadi karena pada hakikatnya, komoditi beras merupakan komoditi pokok di negara-negara pengekspor, sehingga tujuan utama setiap negara adalah untuk memenuhi kebutuhan negaranya terlebih dahulu baru kemudian sisanya di ekspor. Kondisi “thin market” ini menyebabkan jika terjadi sedikit saja shock di pasar dunia, akan mempengaruhi harga beras Indonesia. Berdasarkan temuan ini diduga adanya transmisi harga pada jangka pendek (yang terjadi baik pada lag 1 maupun lag 2) antara harga beras dunia dengan harga beras Indonesia. Artinya, pada jangka pendek fluktuasi (volatilitas) harga beras nasional terintegrasi dengan harga beras dunia. Namun dalam hal ini belum diketahui pasti berapa level speed of adjustment dari transmisi harga di antara dua pasar ini.
Analisis Impulse Response Function (IRF) Analisis IRF digunakan untuk melihat respons suatu variabel endogen terhadap guncangan (shock) tertentu, baik yang ditransmisikan oleh variabel itu sendiri maupun oleh variabel lain. Analisis ini juga dapat digunakan untuk mengukur pengaruh suatu guncangan pada suatu waktu kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan di masa yang akan datang. Adapun analisis respon volatilitas harga beras Indonesia ini jangka waktu yang diproyeksikan adalah 36 bulan (3 tahun) kedepan. Dalam hal ini, variabel yang di analisis lebih lanjut dalam IRF adalah yang variabel yang signifikan dalam jangka panjang berdasarkan model VECM diatas. Berikut disajikan dalam bentuk gambar.
35
Response of VOLATILITY to LN_DOM_STOCK
Response of VOLATILITY to VOLATILITY 60
60
50
50
40
40
30
30
20
20
10
10
0
0
-10
-10 -20
-20 5
10
15
20
25
30
5
35
10
15
20
25
30
35
Response of VOLATILITY to LN_VOL_IMP
Response of VOLATILITY to IPI 60
60
50
50
40
40
30
30
20
20 10
10
0
0
-10
-10
-20
-20 5
10
15
20
25
30
5
35
10
15
20
25
30
35
Response of VOLATILITY to LN_SUHU
Response of VOLATILITY to LN_DOMRICE 60 60 50 50 40 40 30 30 20 20 10 10 0 0 -10 -10 -20 -20
5 5
10
15
20
25
30
35
10
15
20
25
30
35
Response of VOLATILITY to LN_PRODUKSI
Response of VOLATILITY to CPI 60
60
50
50
40
40
30
30 20
20
10
10
0
0
-10
-10 -20
-20 5
10
15
20
25
30
5
35
10
15
20
25
Response of VOLATILITY to LN_WORLDRICE 60 50 40 30 20 10 0 -10 -20 5
10
15
20
25
30
35
Gambar 12 Impuls response function (IRF) volatilitas harga beras Indonesia
30
35
36
Menurut Gambar 12, dapat dilihat bahwa apabila terjadi guncangan pada masing-masing variabel sebesar satu deviasi akan menyebabkan volatilitas harga beras Indonesia mengalami perubahan. Berikut penjelasan per variabel yang signifikan pada jangka panjang. 1. Guncangan pada cadangan beras domestik Indonesia direspon negatif oleh volatilitas harga beras Indonesia dan akan stabil pada jangka panjang. Bulan ke-5 merupakan periode yang memiliki respon tertingggi yaitu sebesar -16.29 persen. Setelah itu responnya akan cenderung berkurang dan stabil di level -8 persen. 2. Guncangan pada harga beras dunia secara umum direspon positif namun berfluktuatif oleh volatilitas harga beras Indonesia. Pada bulan pertama guncangan harga beras dunia ini direspon negatif oleh volatilitas harga beras domestik yaitu sebesar -11.99 persen, sekaligus dengan nilai tertinggi. Namun pada periode selanjutnya, guncangan akan direspon positif namun berfluktuasi hingga mencapai stabilnya pada periode bulan ke 20 di level 8 persen. 3. Adanya shock pada harga beras domestik akan direspon positif oleh volatilitas harga beras Indonesia. Pada bulan ke-2 adanya guncangan harga beras domestik mampu mempengaruhi volatilitas harga beras domestik sebanyak 21.42 persen. Nilai ini merupakan nilai tertinggi, dan selanjutnya pada jangka panjang akan stabil di level 2 persen. 4. Adanya guncangan pada variabel produksi padi domestik akan direspon positif pada dua bulan awal, namun selanjutnya fluktuatif negatif oleh volatilitas harga beras Indonesia. Pada bulan ke-2, berpengaruh sebanyak 2.75%, namun pada bulan ke-3 dan selanjutnya akan berpengaruh negatif dengan mencapai puncaknya pada bulan ke-5 dengan nilai -19.44 persen. Dari keseluruhan hasil IRF ini dapat di simpulkan bahwa respon terbesar dari kesemua variabel ini justru berasal dari guncangan volatilitas harga beras itu sendiri, yaitu sebanyak 44.78 persen pada bulan 1 dan mengalami penurunan di periode selanjutnya. Hal ini sesuai dengan random walk theory dari pergerakan harga beras ini yang memiliki distribusi dan interdependensi satu sama lain. Artinya volatilitas harga beras memang dipengaruhi oleh volatilitas harga beras domestik itu sendiri. Pada ramalan lima bulan awal, harga beras domestik yang paling memberikan pengaruh terbesar untuk volatilitas harga beras. Sementara pada periode selanjutnya ada cadangan beras dan suhu yang mempengaruhi fluktuasi harga beras domestik ini.
Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Hasil simulasi FEVD (gambar 12) menunjukkan bahwa secara keseluruhan dalam jangka pendek kontribusi varian yang paling dominan dalam menjelaskan volatilitas harga beras Indonesia adalah guncangan volatilitas harga itu sendiri, sebanyak lebih dari 63 persen pada periode 5 bulan awal, dan selanjutnya akan stabil pada level 47 persen. Sementara, beberapa variabel kunci yang juga berkontribusi dalam terjadinya volatilitas harga beras (dalam jangka pendek) ini adalah harga beras domestik, cadangan beras, dan produksi padi. Masing-masing berkontribusi di kisaran 10-14 persen. Sementara pada jangka panjang, kontribusi varian yang juga agak dominan menjelaskan volatilitas harga beras Indonesia adalah variabel iklim yaitu suhu dunia sebanyak 18 persen maupun harga beras dunia sebanyak 7 persen. Berdasarkan hasil analisis FEVD dapat dilihat bahwa kontribusi variabel produksi padi, suhu, cadangan beras domestik, dan harga beras dunia dalam menjelaskan volatilitas harga beras domestik ini merupakan variabel utama dari segi supply. Hal ini sesuai dengan teori
37
dasar permintaan dan penawaran untuk komoditas pangan, dengan kontribusi nilainya Decomposition of VOLATILITY cenderung meningkat terus Variance setiap pertambahan bulannya (dalam jangka panjang). 110 100 90 80 70 60 50 40 5
10
15
VOLATILITY IPI LN_DOM_STOCK LN_SUHU LN_WORLDRICE
20
25
30
35
CPI LN_DOMRICE LN_PRODUKSI LN_VOL_IMP
Gambar 13 Hasil analisis FEVD volatilitas harga beras Indonesia
Implikasi Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan Peran pemerintah sebagai pemantau dan pengatur keseimbangan antara permintaan dan penawaran produk pangan adalah untuk mencegah terjadinya inflasi dan deflasi akibat fluktuasi harga pangan. Kebijakan yang diambil pemerintah dalam rangka menjaga kestabilan harga pangan ini bisa saja kebijakan fiskal maupun moneter. Khusus dalam bentuk kebijakan fiskal, wujud kebijakannya meliputi operasi pasar, penerapan pajak, dan pemberian subsidi (Sujai 2011). Berdasarkan hasil penelitian ini, perlunya stabilisasi harga pangan sangat ditentukan oleh peran pemerintah sebagai regulator kebijakan pangan nasional. Hal ini dapat dilihat pada penelitian ini variabel cadangan beras nasional signifikan dalam mempengaruhi volatilitas harga beras domestik. Artinya BULOG dalam hal ini diminta untuk lebih giat lagi meningkatkan cadangan pangan utama di Indonesia. Jika dikaitkan dengan studi di India tadi, maka tidak mengherankan apabila India pada KTT tingkat Menteri WTO ke IX lalu tetap bersikukuh pada usulan meningkatkan cadangan pangan dari 10 persen menjadi 15 persen dari total produksi pangan dan dengan pemberian waktu subsidi pertanian yang tidak terbatas, karena hal ini sangat erat kaitannya dalam mengatasi kerawanan pangan maupun menstabilkan harga pangan domestik di negara berkembang. Seharusnya dalam hal cadangan beras ini, pemerintah Indonesia bisa meniru langkah yang dilakukan oleh pemerintah India jika ingin mencapai kestabilan harga beras dalam negeri. Kita tahu bahwa cadangan pangan sejatinya adalah hak setiap negara untuk menjamin ketahanan pangan pada tingkat keluarga atau individu. Menurut Rachman (2003) cadangan merupakan salah satu sumber pasokan untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan pangan dalam negeri dan fungsinya sebagai antisipasi masalah pangan. Cadangan pangan harus terukur secara kuantitas agar dapat tersusun strategi yang tepat untuk memenuhinya. Hadirnya Paket Bali pada akhir tahun 2013 lalu membentuk kesepakatan terkait dengan cadangan pangan maksimal sebesar 10 persen dari total produksi pangan dalam rangka stok untuk ketahanan pangan meskipun besaran tersebut belum pernah terlampaui oleh Indonesia (Harianto 2013).
38
Meskipun belum pernah tercapai secara kuantitas, seharusnya Pemerintah Indonesia mempertimbangkan fungsi dan pentingnya cadangan pangan bagi masyarakat. Indonesia sebagai negara rawan bencana alam dan rentan terhadap status geopolitk, sangat bergantung dari ketersediaan cadangan pangan untuk menghidarkan dari kerawanan pangan. Produksi pangan pokok nasional seperti beras yang belum mencukupi kebutuhan penduduk, menujukkan kuantitas cadangan pangan yang kurang mencukupi apabila dihitung dari 10 persen produksi nasional. Tabel 10. Alokasi subsidi dari APBN pada tahun 2007-2013 (miliar rupiah) Jenis
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
A. Energi 1. Subsidi BBM 2. Subsidi Listrik B. Non Energi 1. Subsidi Pangan 2. Subsidi Pupuk 3. Subsidi Benih 4. PSO 5. Kredit Program 6. Subsidi Minyak Goreng 7. Subsidi Pajak 8. Subsidi Kedelai 9. Subsidi Lainnya Jumlah
116.865,9 83.792,3 33.073,5 33.348,6 6.584,3 6.260,5 479,0 1.025,0 347,5 24,6
223.013,2 139.106,7 83.906,5 52.278,2 12.095,9 15.181,5 985,2 1.729,1 939,3 103,3
94.585,9 45.039,4 49.546,5 43.496,3 12.987,0 18.329,0 1.597,2 1.339,4 1.070,0 -
139.952,9 82.351,3 57.601,6 52.754,1 15.153,8 18.410,9 2.177,5 1.373,9 823,0 -
255.608,8 165.161,3 90.447,5 39.749,4 16.539,3 16.344,6 96,9 1.833,9 1.522,9 -
202.353,2 137.379,8 64.973,4 42.723,1 20.926,3 13.958,6 129,5 2.151,4 1.293,9 -
274.743,0 193.805,2 80.937,8 42.475,6 17.197,9 16.228,8 1.454,2 1.521,1 1.248,5 -
17.113,6 1.514,0 150.214,5
21.018,2 225,7 275.291,4
8.173,6 138.082,2
14.815,1 192.707,0
3.411,8 295.358,2
4.263,4 245.076,3
4.825,1 317.218,6
Sumber : Data Pokok APBN 2007-2013 Kementerian Keuangan (2014)
Selain itu, salah satu alternatif terdekat pencukupan kuantitas cadangan pangan dan stabilisasi harga pangan dapat ditempuh melalui pengoptimalan subsidi pangan untuk menjamin peningkatan kualitas dan kuantitas produk pangan. Menurut Wisnu (2013), subsidi pangan dapat diwujudkan dalam dua cara, yaitu: (1) Pembelian komoditas dari petani secara langsung atau (2) Memberikan subsidi biaya produksi seperti pupuk, obat-obatan tanaman, dan sebagainya. Berdasarkan Tabel 10 bisa dilihat bahwa di Indonesia alokasi untuk subsidi pertanian per tahunnya pasca krisis global 2007-2008 lalu, menunjukkan besaran yang berfluktuatif namun belum disertai dengan peningkatan yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya perhatian pemerintah pada subsidi non-energi seperti pupuk, benih jika dibandingkan dengan subsidi energi (seperti BBM). Padahal bagi negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara Eropa, anggaran subsidi pertanian dari APBNnya justru lebih besar daripada subsidi lainnya. Pada studi kasus India misalnya, pada Tabel 6 sebelumnya diberikan data besaran subsidi untuk pertanian disana. Satu hal yang menarik adalah di India tidak hanya subsidi langsung seperti pupuk dan benih saja yang diberikan, akan tetapi subsidi tidak langsung seperti subsidi penyuluhan, pembangunan sistem manajemen produksi terpadu, subsidi air irigasi dan pemberian intensif bagi petani konsisten dilakukan semenjak beberapa dekade yang lalu. Di Indonesia subsidi tidak langsung seperti yang disebutkan sebelumnya dirasa masih kurang optimal pelaksanaannya di lapang. Khususnya untuk pembangunan irigasi di daerah-daerah sentra produksi maupun non-sentra produksi padi. Akibatnya peningkatan produksi padi di daerah-daerah pun terhambat. Terkait dengan implikasi kebijakan public stockholding pasca Paket Bali lalu di Indonesia, adapun subsidi yang mendukung keberhasilan paket Bali ini adalah subsidi yang berorientasi jangka panjang seperti pemberian bantuan untuk pembangunan sarana pendukung produksi pertanian, maupun bentuk subsidi tidak langsung lainnya yang dijaga keberlanjutannya secara bersama (pemerintah dan masyarakat).
39
Pemberian subsidi yang tepat sesuai dengan Paket Bali ini dilakukan untuk mencapai pertanian Indonesia yang berdaya saing tinggi, dengan jumlah cadangan pangan yang cukup dan harga pangan nasional yang stabil. Hadirnya kebijakan cadangan pangan minimal sebesar 10 persen dari produksi pangan nasional maupun subsidi pangan untuk stabilisasi harga pangan (termasuk beras) haruslah bisa dioptimalkan dengan baik oleh Indonesia.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan terjadi fluktuasi (volatilitas) pada harga beras dunia dan Indonesia yang bervariasi antarwaktu (time varying). Harga beras dunia menunjukkan trend yang terus meningkat pada awal tahun 2008 hingga pertengahan tahun 2009, setelah itu kembali normal dengan keseimbangan harga yang baru hingga 2013 lalu. Sementara harga beras Indonesia terlihat berfluktuasi sekali pada awal tahun 2010 hingga 2011 lalu. Tingkat disparitas harga beras dunia yang tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebanyak 92.11%, sementara tingkat disparitas harga beras Indonesia tertinggi pada tahun 2007 sebanyak 72.6%. Namun volatilitas harga beras tidak terjadi pada kasus Negara India. Hal ini disebabkan salah satunya oleh kebijakan dalam negeri pemerintah India semenjak tahun 2007 terkait kontrol harga beras domestiknya dan pemberian subsidi pertaniannya yang konsisten. Berdasarkan hasil estimasi Vector Error Correction Model (VECM) pada jangka pendek beberapa variabel yang signifikan terhadap volatilitas harga beras Indonesia, yaitu harga beras domestik pada periode sebelumnya dan harga beras dunia yang signifikan pada lag 1 dan 2. Sedangkan pada jangka panjang variabel yang berpengaruh signifikan terhadap volatilitas harga beras Indonesia adalah cadangan beras nasional, produksi padi nasional, dan harga beras domestik. Berdasarkan hasil Impulse Response Function (IRF), respon terbesar dari kesemua variabel justru dari guncangan volatilitas harga beras itu sendiri, selain juga guncangan dari produksi padi, harga beras domestik dan harga beras dunia juga berperan. Berdasarkan analisis Forecast Error Variance of Decomposition (FEVD) sampai periode 3 tahun mendatang, tampak volatilitas harga beras itu sendiri yang mendominasi dalam memengaruhi volatilitas harga beras Indonesia. Variabel lain seperti suhu, harga beras dunia domestik dan dunia, produksi padi domestik, dan cadangan beras domestik juga memiliki kontribusi dalam volatilitas harga beras, namun dibutuhkan periode yang lebih panjang. Sedangkan variabel seperti total volume impor Indonesia maupun IHK dan IPI tidak terlalu memberikan kontribusi yang besar dalam volatilitas harga beras Indonesia.
Saran Berdasarkan hasil analisis, faktor harga lebih besar dalam mempengaruhi volatilitas harga beras domestik dibanding faktor non harga pada jangka pendek. Selain itu faktor cadangan beras nasional pun juga memainkan peranan penting dalam terciptanya stabilisasi harga beras ini. Oleh sebab itu, disarankan pemerintah harus lebih mengutamakan efisiensi kebijakan stabilisasi harga beras sebagai salah satu pengendali harga khususnya pada waktu-waktu dimana terjadi lonjakan harga beras kerap terjadi. Usulan terkait Paket Bali yang memuat aturan cadangan stok pangan
40
domestik (public stockholding) sudah seharusnya dipertimbangkan kembali untuk implikasinya di Indonesia. Selain itu, untuk program jangka panjang yang telah ada seperti program peningkatan produktivitas maupun swasembada padi, diharapkan dapat dioptimalkan dengan baik. Selain pemberian subsidi pertanian yang terus ditingkatkan, pemerintah juga disarankan memberi dukungan terhadap para petani melalui pelatihan-pelatihan yang membantu petani dalam adopsi teknologi secara merata di seluruh lokasi wilayah panen, maupun dalam hal manajemen pengelolaan produksi, agar produktivitas padi merata di seluruh wilayah lokasi panen di Indonesia. Saran untuk penelitian selanjutnya agar bisa dimasukkan variabel kebijakan ke dalam model seperti subsidi pertanian maupun tarif impor beras. Selain itu untuk proksi harga beras India disarankan menggunakan data retail price atau consumer price beras itu sendiri agar bisa lebih “mewakili” harga yang terjadi di tingkat konsumen.
DAFTAR PUSTAKA Achsani NA, Oktaviani, Rina. 2011. Dealing with Commodity Price Volatility in Asia. Bogor (ID): Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Amisano G, Giannini C. 1997. Topics in Structural VAR Econometrics. Ed ke-2. New York: Springer Verlag. Aryani D. 2009. Integrasi Pasar Beras dan Gula di Thailand, Filipina, dan Indonesia [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bollerslev, T. 1986. Generalised Autoregressive Conditional Heteroskedasticity. Journal of Econometrics, 31 (3). pp. 307–327. Amsterdam: North Holland and Elsevier Science Publishers B.V. Burhani, Fadila Jzuqynova. 2013. Analisis Volatilitas Harga Daging Sapi Potong dan Daging Ayam Broiler di Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Departemen Agribisnis, IPB. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi 20072013. Jakarta (ID): BPS. _________________. 2013. Tanaman Pangan: Tabel Luas Panen, Produktivitas, Produksi Tanaman Padi Provinsi Indonesia tahun 1983-2013. Statistika Tanaman Pangan. Jakarta (ID): BPS. Chintia, Santi. 2013. Dampak Guncangan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Harga Beras Domestik (Suatu Analisis Kointegrasi). [Tesis]. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Enders W. 2004. Applied Econometric Time Series. Ed ke-2. New York: John Willey and Sons, Inc. Engle RF, Granger CWJ. 1987. Co-Integration and Error Correction: Representation, Estimation, and Testing, Econometrica 55(2): 251-276. Fackler P, B Goodwin. 2002. Spatial Price Analysis. Di dalam: B Gardner, G Rausser, editor. Handbook of Agricultural Economics. Vol. 1B. Amsterdam: Elsevier Farid, Miftah. Nugroho. 2012. Tinjauan terhadap Produksi, Konsumsi, Distribusi, dan Dinamika Harga Cabe di Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol.6 No.2, Desember 2012 [FAO] World Food and Agiculture Organization. FAO Statistical Yearbook 2011. [diunduh April 2014]. Tersedia pada: http://fao.org/ Firdaus, M. 2008. Swasembada Beras dari Masa ke Masa: Telaah Efektivitas Kebijakan dan Perumusan Strategi Nasional. Bogor: IPB Press.
41
_________. 2011. Aplikasi Ekonometrika Untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB Pr. Furlong F, Ingenito R. 1996. Commodity Prices and Inflation. Federal Reserve Bank of San Francisco (FRBSF) Economic Review No. 2: 27-47. Gosh, Nilanjan. 2010. Role of Thin Commodity Futures Markets in Physical Market Price Making: An Analysis of Wheat Futures in India in the Post-Ban Era. Takshashila Academia of Economic Research Working Paper No.6 (2010) International Monetary Fund (IMF). 2014. Primary Commodity Prices Database. Krugman, Paul R. Obstfeld M. 2005. International Economics: Theory and Policy. Fifth Edition. New York: Addison Wesley. Maulani, Indri Mutia. 2013. Analisis Dampak Volatilitas Harga Minyak Bumi Dunia terhadap Harga CPO Indonesia. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor: Bogor Nicholson W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan. Ed ke-8. Jakarta (ID): Erlangga. Popa, Larisa N, Mihaela R, Flavius R. 2013. The Challenges of Sugar Market: An Assessment from the Price Volatility Perspective and Its Implications for Romania. Procedia Economics and Finance 5 (2013) 605 – 614 doi: 10.1016/S22125671(13)00071-3 Rachman, HPS, Purwoto A, Hardono GS. 2005. Kebijakan Pengelolaan Cadangan Pangan Pada Era Otonomi Daerah Dan Perum Bulog. Forum Penelitian Ekonomi. Vol. 23 No.2, Desember 2005: 73-83 Ravallion M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural Economics. 68(1):102-109. Sims C. 1972. "Money, Income and Causality". American Economic Review 62(4): 540-552. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional, Edisi Kelima. Jilid 1. Munandar H, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari International Economics, Fifth Edition. Timmer, C.P., 1996. Does Bulog Stabilise Rice Prices in Indonesia? Should It Try? Bulletin of Indonesian Economic Studies 32 (2), 45–74. [USDA] United States Department of Agriculture. Berbagai Terbitan [Internet]. [diunduh April 2014]. Tersedia pada: http://usda.gov/ [WB] World Bank. 2011. Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia. Jakarta: World Bank.
42
LAMPIRAN Lampiran 1 Model peramalan ARIMA (1,1,2) untuk harga beras dunia Dependent Variable: D(HRGA_BRS_DUNIA) Method: Least Squares Date: 05/09/14 Time: 11:22 Sample (adjusted): 2007M03 2013M12 Included observations: 82 after adjustments Failure to improve SSR after 12 iterations MA Backcast: 2007M01 2007M02 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C AR(1) MA(1) MA(2)
0.940533 0.908085 -0.468577 -0.530624
2.542187 0.169255 0.202252 0.117105
0.369970 5.365172 -2.316800 -4.531183
0.7124 0.0000 0.0231 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.251077 0.222272 42.73493 142449.4 -422.2139 8.716510 0.000047
Inverted AR Roots Inverted MA Roots
.91 1.00
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1.658537 48.45841 10.39546 10.51286 10.44260 2.038542
-.53
Lampiran 2. Uji efek ARCH pada model ARIMA (1,1,2) H0: tidak terdapat efek ARCH H1: terdapat efek ARCH Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared
4.727978 4.573934
Prob. F(1,79) Prob. Chi-Square(1)
0.0327 0.0325
Nilai-p (0.0325) < alpha 10%, maka sudah ada cukup bukti untuk menolak H0. Artinya terdapat efek ARCH pada model ARIMA (1,1,2) pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%.
Lampiran 3. Model ARCH/GARCH (1,0) untuk variabel harga beras dunia Dependent Variable: D(HRGA_BRS_DUNIA) Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution Date: 05/10/14 Time: 00:41 Sample (adjusted): 2007M03 2013M12 Included observations: 82 after adjustments Convergence achieved after 68 iterations MA Backcast: OFF (Roots of MA process too large) Presample variance: backcast (parameter = 0.7)
43
GARCH = C(5) + C(6)*RESID(-1)^2 Variable C AR(1) MA(1) MA(2)
Coefficient -3.713750 -0.880326 1.514560 0.466177
Std. Error 1.486735 0.044389 0.186475 0.201873
z-Statistic -2.497924 -19.83188 8.122057 2.309262
Prob. 0.0125 0.0000 0.0000 0.0209
5.041655 3.574887
0.0000 0.0004
Variance Equation C RESID(-1)^2
354.4842 0.632731
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.323442 0.297421 40.61784 128685.1 -381.0750 1.899905
Inverted AR Roots Inverted MA Roots
-.88 -.43
70.31108 0.176993
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
1.658537 48.45841 9.440854 9.616955 9.511556
-1.08
Lampiran 4 Model peramalan ARIMA (0,1,2) untuk variabel harga beras domestik Dependent Variable: D(HRGA_BRS_DOM) Method: Least Squares Date: 05/09/14 Time: 07:15 Sample (adjusted): 2007M02 2013M12 Included observations: 83 after adjustments Convergence achieved after 15 iterations MA Backcast: 2006M12 2007M01 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C MA(1) MA(2)
60.08811 0.910247 0.302363
30.37206 0.099403 0.099928
1.978401 9.157117 3.025817
0.0513 0.0000 0.0033
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.402557 0.387621 125.3111 1256230. -517.2005 26.95195 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Inverted MA Roots
-.46-.31i
-.46+.31i
61.81928 160.1324 12.53495 12.62238 12.57008 2.235333
Lampiran 5. Uji Efek ARCH Model ARIMA (0,1,2) variabel harga beras domestik H0 : tidak terdapat efek ARCH H1 : terdapat efek ARCH
44
Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared
7.800352 7.285038
Prob. F(1,79) Prob. Chi-Square(1)
0.0065 0.0070
Nilai-p (0.0065) < alpha 10%, maka sudah ada cukup bukti untuk menolak H0. Artinya terdapat efek ARCH pada model ARIMA (0,1,2) pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%.
Lampiran 6. Model ARCH (1) variabel harga beras domestik Dependent Variable: D(HRGA_BRS_DOM) Method: ML - ARCH (Marquardt) - Generalized error distribution (GED) Date: 06/25/14 Time: 18:47 Sample (adjusted): 2007M02 2013M12 Included observations: 83 after adjustments Convergence achieved after 34 iterations MA Backcast: 2006M12 2007M01 Presample variance: backcast (parameter = 0.7) GED parameter fixed at 1.5 GARCH = C(4) + C(5)*RESID(-1)^2 Variable C MA(1) MA(2)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
41.61393 0.762411 0.160798
21.90146 0.108343 0.092798
1.900053 7.037040 1.732764
0.0574 0.0000 0.0831
2.826800 2.256123
0.0047 0.0241
Variance Equation C RESID(-1)^2
5246.014 0.900104
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.387102 0.371779 126.9216 1288727. -507.6976 1.979792
Inverted MA Roots
-.38-.12i
1855.813 0.398960
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
61.81928 160.1324 12.35416 12.49987 12.41270
-.38+.12i
Lampiran 7 Model peramalan ARIMA (2,1,0) untuk variabel harga beras India Dependent Variable: D(HRGA_BRS_INDIA) Method: Least Squares Date: 05/28/14 Time: 12:36 Sample (adjusted): 2007M04 2013M12 Included observations: 81 after adjustments Convergence achieved after 3 iterations Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C AR(1)
15.20922 -0.580557
5.568402 0.107981
2.731344 -5.376482
0.0078 0.0000
45
AR(2) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) Inverted AR Roots
-0.398026 0.289266 0.271042 99.12855 766464.6 -485.7154 15.87285 0.000002 -.29+.56i
0.108932
-3.653894
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.0005 16.71781 116.1041 12.06705 12.15573 12.10263 1.866844
-.29-.56i
Lampiran 8 Uji efek ARIMA (2,1,0) untuk variabel harga beras India H0 : tidak terdapat efek ARCH H1 : terdapat efek ARCH Heteroskedasticity Test: ARCH F-statistic Obs*R-squared
0.240959 0.246377
Prob. F(1,78) Prob. Chi-Square(1)
0.6249 0.6196
Nilai-p (0.0065) > alpha 10%, maka belum ada cukup bukti untuk menolak H0. Artinya tidak terdapat efek ARCH pada model ARIMA (0,1,2) pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10% (model sudah homoskedastis)
Lampiran 9 Uji stasioneritas masing-masing variabel pada level Null Hypothesis: VOLATILITY has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.598043 -3.511262 -2.896779 -2.585626
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-1.672932 -4.075340 -3.466248 -3.159780
0.7543
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: CPI has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
46
Null Hypothesis: LN_DOMRICE has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.106277 -4.075340 -3.466248 -3.159780
0.5343
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LN_DOM_STOCK has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.300375 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.0009
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LN_PRODUKSI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 11 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.496588 -3.524233 -2.902358 -2.588587
0.5297
t-Statistic
Prob.*
-3.569059 -3.513344 -2.897678 -2.586103
0.0085
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LN_SUHU has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
47
Null Hypothesis: LN_VOL_IMP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.651170 -3.511262 -2.896779 -2.585626
0.0067
t-Statistic
Prob.*
-3.217502 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.0225
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LN_WORLDRICE has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 10 Uji stasioneritas masing-masing variabel pada first difference Null Hypothesis: D(VOLATILITY) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.725988 -3.513344 -2.897678 -2.586103
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-7.374140 -4.075340 -3.466248 -3.159780
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(CPI) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
48
Null Hypothesis: D(LN_DOMRICE) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-8.480207 -4.075340 -3.466248 -3.159780
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LN_DOM_STOCK) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.819657 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LN_IPI) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.829449 -4.076860 -3.466966 -3.160198
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LN_PRODUKSI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 10 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-9.561107 -3.524233 -2.902358 -2.588587
0.0000
49
Null Hypothesis: D(LN_SUHU) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 7 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.683551 -3.520307 -2.900670 -2.587691
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-12.33010 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.0001
t-Statistic
Prob.*
-5.209112 -3.512290 -2.897223 -2.585861
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LN_VOL_IMP) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LN_WORLDRICE) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
50
Lampiran 11 Uji selang optimal VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: D(VOLATILITY) D(CPI) D(IPI) D(LN_DOMRICE) D(LN_DOM_STOCK) D(LN_PRODUKSI) D(LN_SUHU) D(LN_VOL_IMP) D(LN_WORLDRICE) Exogenous variables: C Sample: 2007M01 2013M12 Included observations: 76 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6 7
-280.1287 -106.8036 5.233552 73.47727 145.9053 219.4953 412.7527 663.8188
NA 301.0382 168.0558 86.20259 74.33405 58.09732 106.8002* 79.28402
1.63e-08 1.46e-09 6.99e-10* 1.23e-09 2.50e-09 7.63e-09 2.22e-09 8.39e-10
7.608649 5.179043 4.362275 4.697967 4.923544 5.118546 2.164402 -2.311021*
7.884657* 7.939122 9.606425 12.42619 15.13584 17.81491 17.34484 15.35348
7.718955 6.282104 6.458091 7.786538 9.004870 10.19263 8.231238 4.748570*
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 12 Uji stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(VOLATILITY) D(CPI) D(IPI) D(LN_DOMRICE) D(LN_DOM_STOCK) D(LN_PRODUKSI) D(LN_SUHU) D(LN_VOL_IMP) D(LN_WORLDRICE) Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Root 0.382864 + 0.767196i 0.382864 - 0.767196i 0.652556 + 0.428757i 0.652556 - 0.428757i 0.027549 + 0.733211i 0.027549 - 0.733211i -0.418305 - 0.544590i -0.418305 + 0.544590i 0.549646 - 0.332840i 0.549646 + 0.332840i 0.181522 - 0.528552i 0.181522 + 0.528552i -0.370233 + 0.348184i -0.370233 - 0.348184i -0.339878 + 0.324748i -0.339878 - 0.324748i 0.187604 0.076328
Modulus 0.857423 0.857423 0.780808 0.780808 0.733728 0.733728 0.686700 0.686700 0.642568 0.642568 0.558854 0.558854 0.508237 0.508237 0.470084 0.470084 0.187604 0.076328
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
51
Lampiran 13 Uji kointegrasi Date: 06/26/14 Time: 13:49 Sample (adjusted): 2007M04 2013M12 Included observations: 81 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: VOLATILITY CPI IPI LN_DOMRICE LN_DOM_STOCK LN_PRODUKSI LN_SUHU LN_VOL_IMP LN_WORLDRICE Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 At most 7 At most 8
0.621590 0.547768 0.415501 0.357618 0.259641 0.210067 0.169606 0.137814 0.038575
296.0401 217.3260 153.0476 109.5506 73.70232 49.35208 30.25165 15.19744 3.186402
228.2979 187.4701 150.5585 117.7082 88.80380 63.87610 42.91525 25.87211 12.51798
0.0000 0.0006 0.0359 0.1464 0.3683 0.4430 0.4874 0.5581 0.8536
Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 At most 7 At most 8
0.621590 0.547768 0.415501 0.357618 0.259641 0.210067 0.169606 0.137814 0.038575
78.71404 64.27844 43.49697 35.84830 24.35025 19.10043 15.05421 12.01103 3.186402
62.75215 56.70519 50.59985 44.49720 38.33101 32.11832 25.82321 19.38704 12.51798
0.0008 0.0074 0.2258 0.3169 0.7171 0.7218 0.6296 0.4142 0.8536
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
52
Lampiran 14 Uji Granger Causality Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/26/14 Time: 13:54 Sample: 2007M01 2013M12 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
D(CPI) does not Granger Cause D(VOLATILITY) D(VOLATILITY) does not Granger Cause D(CPI)
81
2.71836 1.64930
0.0724 0.1990
D(IPI) does not Granger Cause D(VOLATILITY) D(VOLATILITY) does not Granger Cause D(IPI)
81
0.38065 2.23607
0.6847 0.1139
D(LN_DOMRICE) does not Granger Cause D(VOLATILITY) D(VOLATILITY) does not Granger Cause D(LN_DOMRICE)
81
14.8166 1.26367
4.E-06 0.2885
D(LN_DOM_STOCK) does not Granger Cause D(VOLATILITY) D(VOLATILITY) does not Granger Cause D(LN_DOM_STOCK)
81
2.44526 2.88038
0.0935 0.0623
D(LN_PRODUKSI) does not Granger Cause D(VOLATILITY) D(VOLATILITY) does not Granger Cause D(LN_PRODUKSI)
81
2.04547 3.71508
0.1364 0.0289
D(LN_SUHU) does not Granger Cause D(VOLATILITY) D(VOLATILITY) does not Granger Cause D(LN_SUHU)
81
0.91986 2.62558
0.4030 0.0790
D(LN_VOL_IMP) does not Granger Cause D(VOLATILITY) D(VOLATILITY) does not Granger Cause D(LN_VOL_IMP)
81
1.22531 0.59555
0.2994 0.5538
D(LN_WORLDRICE) does not Granger Cause D(VOLATILITY) D(VOLATILITY) does not Granger Cause D(LN_WORLDRICE)
81
5.30827 2.35356
0.0070 0.1019
D(IPI) does not Granger Cause D(CPI) D(CPI) does not Granger Cause D(IPI)
81
0.81247 1.55782
0.4476 0.2172
D(LN_DOMRICE) does not Granger Cause D(CPI) D(CPI) does not Granger Cause D(LN_DOMRICE)
81
3.45844 0.25420
0.0365 0.7762
D(LN_DOM_STOCK) does not Granger Cause D(CPI) D(CPI) does not Granger Cause D(LN_DOM_STOCK)
81
2.92619 1.45949
0.0597 0.2388
D(LN_PRODUKSI) does not Granger Cause D(CPI) D(CPI) does not Granger Cause D(LN_PRODUKSI)
81
5.82167 0.68619
0.0044 0.5066
D(LN_SUHU) does not Granger Cause D(CPI) D(CPI) does not Granger Cause D(LN_SUHU)
81
4.61856 1.23848
0.0128 0.2956
D(LN_VOL_IMP) does not Granger Cause D(CPI) D(CPI) does not Granger Cause D(LN_VOL_IMP)
81
1.21190 1.81295
0.3033 0.1702
D(LN_WORLDRICE) does not Granger Cause D(CPI) D(CPI) does not Granger Cause D(LN_WORLDRICE)
81
2.69677 0.01075
0.0739 0.9893
D(LN_DOMRICE) does not Granger Cause D(IPI) D(IPI) does not Granger Cause D(LN_DOMRICE)
81
4.18134 0.22869
0.0189 0.7961
D(LN_DOM_STOCK) does not Granger Cause D(IPI) D(IPI) does not Granger Cause D(LN_DOM_STOCK)
81
2.68790 0.07141
0.0745 0.9311
53
D(LN_PRODUKSI) does not Granger Cause D(IPI) D(IPI) does not Granger Cause D(LN_PRODUKSI)
81
0.62680 0.18099
0.5370 0.8348
D(LN_SUHU) does not Granger Cause D(IPI) D(IPI) does not Granger Cause D(LN_SUHU)
81
6.46696 2.15073
0.0025 0.1234
D(LN_VOL_IMP) does not Granger Cause D(IPI) D(IPI) does not Granger Cause D(LN_VOL_IMP)
81
0.44744 0.13896
0.6409 0.8705
D(LN_WORLDRICE) does not Granger Cause D(IPI) D(IPI) does not Granger Cause D(LN_WORLDRICE)
81
0.05983 0.54335
0.9420 0.5830
D(LN_DOM_STOCK) does not Granger Cause D(LN_DOMRICE) D(LN_DOMRICE) does not Granger Cause D(LN_DOM_STOCK)
81
3.32979 14.0976
0.0411 6.E-06
D(LN_PRODUKSI) does not Granger Cause D(LN_DOMRICE) D(LN_DOMRICE) does not Granger Cause D(LN_PRODUKSI)
81
2.78822 6.39232
0.0678 0.0027
D(LN_SUHU) does not Granger Cause D(LN_DOMRICE) D(LN_DOMRICE) does not Granger Cause D(LN_SUHU)
81
1.00329 4.56845
0.3715 0.0134
D(LN_VOL_IMP) does not Granger Cause D(LN_DOMRICE) D(LN_DOMRICE) does not Granger Cause D(LN_VOL_IMP)
81
1.39748 2.38439
0.2535 0.0990
D(LN_WORLDRICE) does not Granger Cause D(LN_DOMRICE) D(LN_DOMRICE) does not Granger Cause D(LN_WORLDRICE)
81
5.92260 0.56210
0.0041 0.5724
D(LN_PRODUKSI) does not Granger Cause D(LN_DOM_STOCK) D(LN_DOM_STOCK) does not Granger Cause D(LN_PRODUKSI)
81
18.8918 0.56517
2.E-07 0.5706
D(LN_SUHU) does not Granger Cause D(LN_DOM_STOCK) D(LN_DOM_STOCK) does not Granger Cause D(LN_SUHU)
81
12.6844 0.84851
2.E-05 0.4321
D(LN_VOL_IMP) does not Granger Cause D(LN_DOM_STOCK) D(LN_DOM_STOCK) does not Granger Cause D(LN_VOL_IMP)
81
0.35192 5.93621
0.7045 0.0040
D(LN_WORLDRICE) does not Granger Cause D(LN_DOM_STOCK) D(LN_DOM_STOCK) does not Granger Cause D(LN_WORLDRICE)
81
0.34817 1.16534
0.7071 0.3173
D(LN_SUHU) does not Granger Cause D(LN_PRODUKSI) D(LN_PRODUKSI) does not Granger Cause D(LN_SUHU)
81
0.04613 12.0184
0.9549 3.E-05
D(LN_VOL_IMP) does not Granger Cause D(LN_PRODUKSI) D(LN_PRODUKSI) does not Granger Cause D(LN_VOL_IMP)
81
1.86728 0.20993
0.1616 0.8111
D(LN_WORLDRICE) does not Granger Cause D(LN_PRODUKSI) D(LN_PRODUKSI) does not Granger Cause D(LN_WORLDRICE)
81
0.42555 0.91136
0.6550 0.4063
D(LN_VOL_IMP) does not Granger Cause D(LN_SUHU) D(LN_SUHU) does not Granger Cause D(LN_VOL_IMP)
81
0.65173 2.80192
0.5240 0.0670
D(LN_WORLDRICE) does not Granger Cause D(LN_SUHU) D(LN_SUHU) does not Granger Cause D(LN_WORLDRICE)
81
0.17026 1.03163
0.8438 0.3614
D(LN_WORLDRICE) does not Granger Cause D(LN_VOL_IMP) D(LN_VOL_IMP) does not Granger Cause D(LN_WORLDRICE)
81
0.18849 8.49480
0.8286 0.0005
54
Lampiran 15 Hasil Estimasi VECM Vector Error Correction Estimates Date: 06/26/14 Time: 14:14 Sample (adjusted): 2007M04 2013M12 Included observations: 81 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
CointEq3
VOLATILITY(-1)
1.000000
0.000000
0.000000
CPI(-1)
0.000000
1.000000
0.000000
IPI(-1)
0.000000
0.000000
1.000000
LN_DOMRICE(-1)
625.1309 (253.994) [ 2.46121]
-10.97387 (18.3344) [-0.59854]
99.06698 (29.0312) [ 3.41243]
LN_DOM_STOCK(-1)
203.3957 (30.8290) [ 6.59754]
6.034976 (2.22538) [ 2.71189]
7.747068 (3.52373) [ 2.19854]
LN_PRODUKSI(-1)
184.1053 (31.5657) [ 5.83244]
-9.926123 (2.27856) [-4.35632]
26.66204 (3.60793) [ 7.38984]
LN_SUHU(-1)
-455.1140 (263.122) [-1.72967]
-5.370246 (18.9934) [-0.28274]
57.71444 (30.0746) [ 1.91904]
LN_VOL_IMP(-1)
-10.51906 (11.9436)
2.964497 (0.86214)
-2.684978 (1.36514)
2
[-0.88073]
[ 3.43851]
[-1.96681]
LN_WORLDRICE(-1)
1.323876 (37.3525) [ 0.03544]
2.479825 (2.69628) [ 0.91972]
-3.580688 (4.26936) [-0.83869]
@TREND(07M01)
-6.837487 (2.42906) [-2.81486]
-0.497372 (0.17534) [-2.83660]
-1.329495 (0.27764) [-4.78856]
C
-9941.478
38.09803
-1637.938
Error Correction:
D(VOLATILITY)
D(CPI)
D(IPI)
D(LN_ DOMRICE)
D(LN_ DOM_STOCK)
D(LN_ PRODUKSI)
D(LN_SUHU)
D(LN_ VOL_IMP)
D(LN_ WORLDRICE)
CointEq1
-0.859129 (0.16070) [-5.34601]
0.002616 (0.00194) [ 1.35160]
-0.003199 (0.01018) [-0.31429]
-1.64E-06 (4.8E-05) [-0.03433]
-0.001253 (0.00038) [-3.33588]
-0.000490 (0.00081) [-0.60576]
6.37E-05 (3.0E-05) [ 2.10730]
-0.003695 (0.00245) [-1.51024]
0.000121 (0.00022) [ 0.54024]
CointEq2
4.462035 (2.42465) [ 1.84028]
0.000217 (0.02920) [ 0.00742]
-0.313007 (0.15358) [-2.03807]
-0.001723 (0.00072) [-2.39771]
-0.013096 (0.00567) [-2.31054]
0.001301 (0.01221) [ 0.10656]
0.000475 (0.00046) [ 1.04163]
-0.132746 (0.03691) [-3.59605]
-0.000978 (0.00337) [-0.29029]
CointEq3
7.745992 (1.61620) [ 4.79272]
0.001693 (0.01946) [ 0.08698]
-0.004650 (0.10237) [-0.04542]
-0.000773 (0.00048) [-1.61481]
0.005134 (0.00378) [ 1.35888]
-0.014765 (0.00814) [-1.81476]
-0.000876 (0.00030) [-2.88077]
-0.003540 (0.02461) [-0.14385]
-0.001394 (0.00225) [-0.62062]
D(VOLATILITY(-1))
-0.165362 (0.12660) [-1.30621]
-0.002004 (0.00152) [-1.31439]
-0.000153 (0.00802) [-0.01912]
-1.26E-05 (3.8E-05) [-0.33532]
0.000791 (0.00030) [ 2.67152]
0.000381 (0.00064) [ 0.59850]
-3.72E-05 (2.4E-05) [-1.56030]
0.000986 (0.00193) [ 0.51175]
0.000237 (0.00018) [ 1.34751]
D(VOLATILITY(-2))
-0.109107 (0.09465)
0.000133 (0.00114)
0.007343 (0.00600)
-2.76E-05 (2.8E-05)
0.000596 (0.00022)
0.000850 (0.00048)
-2.05E-05 (1.8E-05)
0.000692 (0.00144)
1.39E-05 (0.00013)
55
56
3
[-1.15277]
[ 0.11688]
[ 1.22484]
[-0.98261]
[ 2.69286]
[ 1.78360]
[-1.15129]
[ 0.48019]
[ 0.10540]
D(CPI(-1))
15.18958 (10.0631) [ 1.50943]
0.377585 (0.12118) [ 3.11600]
0.178581 (0.63741) [ 0.28017]
0.002748 (0.00298) [ 0.92165]
0.012653 (0.02352) [ 0.53790]
0.043178 (0.05066) [ 0.85230]
-0.000759 (0.00189) [-0.40076]
0.020556 (0.15321) [ 0.13417]
-0.007930 (0.01398) [-0.56725]
D(CPI(-2))
6.212743 (10.0805) [ 0.61631]
-0.302364 (0.12139) [-2.49093]
0.774679 (0.63851) [ 1.21326]
0.002283 (0.00299) [ 0.76429]
-0.002925 (0.02356) [-0.12412]
-0.005588 (0.05075) [-0.11011]
0.001362 (0.00190) [ 0.71784]
0.363524 (0.15347) [ 2.36865]
-0.012716 (0.01400) [-0.90800]
D(IPI(-1))
-4.588076 (2.22588) [-2.06125]
0.011189 (0.02680) [ 0.41744]
-0.584408 (0.14099) [-4.14506]
0.000692 (0.00066) [ 1.04933]
-0.008485 (0.00520) [-1.63078]
0.019748 (0.01121) [ 1.76233]
0.000266 (0.00042) [ 0.63428]
0.036065 (0.03389) [ 1.06423]
0.002395 (0.00309) [ 0.77436]
D(IPI(-2))
-1.867533 (1.85209) [-1.00834]
0.010911 (0.02230) [ 0.48925]
-0.283888 (0.11731) [-2.41993]
0.000772 (0.00055) [ 1.40580]
-0.004141 (0.00433) [-0.95648]
0.011598 (0.00932) [ 1.24392]
-0.000378 (0.00035) [-1.08547]
0.064751 (0.02820) [ 2.29634]
-0.001611 (0.00257) [-0.62624]
D(LN_DOMRICE(-1))
1920.775 (454.804) [ 4.22330]
3.626432 (5.47657) [ 0.66217]
-3.955143 (28.8077) [-0.13729]
0.483088 (0.13477) [ 3.58461]
-3.649020 (1.06313) [-3.43233]
3.627830 (2.28959) [ 1.58449]
-0.122109 (0.08560) [-1.42646]
-5.804824 (6.92424) [-0.83833]
-0.626394 (0.63185) [-0.99137]
D(LN_DOMRICE(-2))
429.2864 (476.998) [ 0.89998]
-10.39870 (5.74382) [-1.81042]
-16.88533 (30.2135) [-0.55887]
-0.448801 (0.14134) [-3.17524]
-0.104845 (1.11501) [-0.09403]
5.122707 (2.40131) [ 2.13329]
0.125632 (0.08978) [ 1.39934]
1.531859 (7.26213) [ 0.21094]
-0.432227 (0.66268) [-0.65224]
D(LN_DOM_STOCK(-1))
143.4646 (56.0307) [ 2.56047]
-0.152846 (0.67470) [-0.22654]
6.557667 (3.54904) [ 1.84773]
0.005240 (0.01660) [ 0.31560]
0.349130 (0.13098) [ 2.66562]
0.769599 (0.28207) [ 2.72839]
0.002389 (0.01055) [ 0.22657]
-0.009488 (0.85305) [-0.01112]
-0.051060 (0.07784) [-0.65595]
D(LN_DOM_STOCK(-2))
-123.7822 (60.1712) [-2.05717]
-1.038755 (0.72456) [-1.43364]
-1.603108 (3.81130) [-0.42062]
-0.013042 (0.01783) [-0.73146]
0.139319 (0.14065) [ 0.99051]
0.498796 (0.30292) [ 1.64665]
0.009785 (0.01133) [ 0.86401]
-0.873412 (0.91609) [-0.95342]
-0.032272 (0.08359) [-0.38606]
D(LN_PRODUKSI(-1))
33.37672
0.136838
-0.785344
-0.005656
0.110288
0.652195
0.018514
-0.553417
0.005685
4
(18.0320) [ 1.85097]
(0.21713) [ 0.63020]
(1.14216) [-0.68759]
(0.00534) [-1.05862]
(0.04215) [ 2.61650]
(0.09078) [ 7.18457]
(0.00339) [ 5.45508]
(0.27453) [-2.01586]
(0.02505) [ 0.22692]
D(LN_PRODUKSI(-2))
-42.77087 (33.3465) [-1.28262]
-1.175466 (0.40155) [-2.92735]
-5.682060 (2.11220) [-2.69011]
-0.008219 (0.00988) [-0.83182]
0.024100 (0.07795) [ 0.30918]
-0.098250 (0.16787) [-0.58526]
0.014748 (0.00628) [ 2.34971]
-0.846760 (0.50769) [-1.66787]
-0.010187 (0.04633) [-0.21990]
D(LN_SUHU(-1))
1324.617 (711.954) [ 1.86054]
-2.179225 (8.57308) [-0.25419]
130.0171 (45.0959) [ 2.88313]
-0.128317 (0.21097) [-0.60823]
2.092518 (1.66424) [ 1.25734]
-3.541143 (3.58414) [-0.98800]
0.499633 (0.13400) [ 3.72853]
9.732309 (10.8393) [ 0.89788]
0.057151 (0.98910) [ 0.05778]
D(LN_SUHU(-2))
316.0304 (652.512) [ 0.48433]
-2.698080 (7.85729) [-0.34339]
-46.91170 (41.3308) [-1.13503]
0.060333 (0.19335) [ 0.31204]
-1.115531 (1.52529) [-0.73136]
2.452788 (3.28489) [ 0.74669]
0.030956 (0.12281) [ 0.25206]
-17.79380 (9.93428) [-1.79115]
-0.856281 (0.90652) [-0.94458]
D(LN_VOL_IMP(-1))
-10.33857 (7.74090) [-1.33558]
-0.093413 (0.09321) [-1.00214]
0.801809 (0.49032) [ 1.63529]
0.002444 (0.00229) [ 1.06539]
0.029972 (0.01809) [ 1.65638]
-0.117482 (0.03897) [-3.01472]
-0.003793 (0.00146) [-2.60338]
-0.299056 (0.11785) [-2.53754]
0.001282 (0.01075) [ 0.11919]
D(LN_VOL_IMP(-2))
17.51828 (7.52687) [ 2.32743]
0.144219 (0.09064) [ 1.59120]
0.444815 (0.47676) [ 0.93300]
0.001584 (0.00223) [ 0.71000]
0.031832 (0.01759) [ 1.80920]
-0.130245 (0.03789) [-3.43726]
-0.001581 (0.00142) [-1.11576]
-0.037846 (0.11459) [-0.33026]
-0.033798 (0.01046) [-3.23209]
D(LN_WORLDRICE(-1))
-197.6224 (86.5726) [-2.28274]
-0.207779 (1.04247) [-0.19931]
-4.012770 (5.48359) [-0.73178]
0.071691 (0.02565) [ 2.79461]
-0.348171 (0.20237) [-1.72048]
0.389893 (0.43583) [ 0.89461]
-0.006684 (0.01629) [-0.41023]
-0.484406 (1.31804) [-0.36752]
0.670448 (0.12027) [ 5.57438]
D(LN_WORLDRICE(-2))
200.7376 (90.5125) [ 2.21779]
3.161355 (1.08992) [ 2.90055]
1.202319 (5.73315) [ 0.20971]
-0.034819 (0.02682) [-1.29820]
0.427581 (0.21158) [ 2.02091]
-0.205398 (0.45566) [-0.45077]
0.014720 (0.01704) [ 0.86405]
1.132446 (1.37802) [ 0.82179]
-0.175656 (0.12575) [-1.39691]
C
-28.22013 (10.1476) [-2.78097]
0.608072 (0.12219) [ 4.97632]
0.265283 (0.64276) [ 0.41273]
0.003512 (0.00301) [ 1.16786]
0.036158 (0.02372) [ 1.52433]
-0.128381 (0.05109) [-2.51308]
-0.001284 (0.00191) [-0.67253]
-0.245737 (0.15449) [-1.59060]
0.023219 (0.01410) [ 1.64702]
57
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
0.740559 0.648216 118310.5 44.78015 8.019618 -410.0421 10.66771 11.31805 -2.085014 75.50005
0.599698 0.457217 17.15505 0.539225 4.208983 -52.07169 1.828931 2.479275 0.592346 0.731909
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
0.485493 0.302363 474.6711 2.836419 2.651090 -186.5450 5.149260 5.799604 0.339353 3.395907
0.667542 0.549210 0.010388 0.013269 5.641242 248.0078 -5.580439 -4.930095 0.006741 0.019763
0.722556 0.623805 0.646471 0.104676 7.316945 80.70834 -1.449589 -0.799244 0.019515 0.170664
0.774255 0.693905 2.998394 0.225433 9.636033 18.56906 0.084714 0.735059 -0.011221 0.407465
0.799756 0.728483 0.004191 0.008428 11.22099 284.7685 -6.488112 -5.837768 -0.000490 0.016175
1.59E-11 9.15E-13 88.25498 3.450494 10.19043
Lampiran 16 Analisis IRF (impulse response function)
Period VOLATILITY 1 2 3 4 5 6 7
44.78015 5.929646 11.66470 23.72233 18.13000 20.90026 22.02340
CPI
IPI
0.000000 15.46368 9.211945 -2.347951 -1.857986 -0.461543 3.479072
0.000000 9.323800 -3.089237 -1.884156 -6.476625 -8.858121 3.277337
LN_DOMRIC LN_DOM_ST LN_PRODUK LN_VOL_IM LN_WORLD E OCK SI LN_SUHU P RICE 0.000000 21.42839 12.15581 -0.888190 2.468200 9.095687 13.32624
0.000000 -3.760280 -15.02171 -13.34979 -16.29806 -14.07719 -9.703175
0.000000 2.758148 -6.422266 -17.24262 -19.44469 -12.50400 -5.733036
0.000000 14.01653 14.74305 12.10213 11.46572 9.413311 9.435368
0.000000 -3.239920 8.431863 -4.953659 -2.316370 7.289962 7.388866
0.000000 -11.99570 9.363045 14.80379 4.360000 2.113791 3.379756
0.505410 0.329370 27.42323 0.681763 2.870988 -71.07015 2.298028 2.948373 -0.021007 0.832514
58
5
0.514277 0.341393 0.228349 0.062212 2.974692 122.8549 -2.490244 -1.839899 0.004288 0.076658
6
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
22.20455 23.09903 21.96268 21.74206 22.73000 22.34503 21.02747 19.83998 19.14956 19.26474 19.77664 20.21093 20.44194 20.44735 20.44648 20.58342 20.68171 20.55710 20.22925 19.88865 19.72557 19.76459 19.89834 20.01715 20.08301 20.12725 20.18729 20.25245 20.27638
9.654461 11.58124 8.969843 5.317004 4.917241 7.542690 8.539291 6.447367 3.797705 2.887594 3.972196 5.703640 6.712228 6.672530 6.112266 5.803868 6.053674 6.434759 6.366579 5.782535 5.147851 4.944727 5.224621 5.654916 5.899176 5.893004 5.808164 5.818952 5.926847
5.202040 1.838170 0.671905 -0.085816 1.230149 1.798649 0.760577 0.129705 -0.476869 -0.691683 0.124677 1.148678 1.668133 1.567488 1.223732 1.160140 1.331418 1.383081 1.176142 0.823856 0.576525 0.599759 0.828103 1.069488 1.182304 1.172064 1.142885 1.161233 1.197158
11.37292 6.821209 3.882208 2.051625 2.313546 4.098317 4.515201 3.043376 1.470738 1.449238 2.893956 4.197803 4.241287 3.314423 2.371990 2.109064 2.449488 2.779710 2.670319 2.258050 2.004440 2.178581 2.608161 2.915534 2.902320 2.678751 2.489212 2.464448 2.539314
-7.897523 -7.790359 -9.215272 -10.47584 -10.02565 -8.393736 -7.136151 -7.307202 -8.575783 -9.522529 -9.279300 -8.350705 -7.750241 -7.928294 -8.480092 -8.723686 -8.441216 -7.975622 -7.780196 -7.981130 -8.325100 -8.488857 -8.386884 -8.190085 -8.108511 -8.187869 -8.304750 -8.323248 -8.229304
-4.669048 -8.479187 -9.226268 -6.590744 -4.553809 -3.916028 -5.267878 -7.896342 -9.823906 -10.04660 -8.853996 -7.659906 -7.489859 -7.849662 -7.814680 -7.179522 -6.476122 -6.343208 -6.884743 -7.654983 -8.137303 -8.151636 -7.910055 -7.729778 -7.715032 -7.729705 -7.615662 -7.383297 -7.193152
12.36578 12.99263 13.18030 13.68430 13.51110 13.53276 13.67817 13.93615 14.27140 14.04413 13.50386 13.27339 13.43627 13.76243 13.94726 13.91295 13.84186 13.86903 13.98227 14.08023 14.06433 13.94362 13.81657 13.76769 13.80312 13.86360 13.89348 13.88988 13.88644
5.381433 1.964369 1.505984 2.601343 0.836241 -0.634412 -0.016057 1.271473 2.477791 3.212708 3.558066 3.678506 3.441889 3.041855 2.694057 2.333060 1.979510 1.780042 1.831280 2.099826 2.437224 2.709830 2.867016 2.911391 2.873732 2.785275 2.660435 2.514694 2.382147
5.242986 6.443718 7.146412 9.150677 10.40033 9.698540 9.071538 9.121154 8.979209 8.394090 7.733459 7.524885 7.813587 8.237886 8.605687 8.853417 8.946694 8.948999 8.927450 8.874090 8.747361 8.553089 8.375891 8.303135 8.346739 8.454704 8.564914 8.643772 8.690994
Cholesky Ordering: VOLATILITY CPI IPI LN_DOMRICE LN_DOM_STOCK LN_PRODUKSI LN_SUHU LN_VOL_IMP LN_WORLDRICE
59
7 60
Lampiran 17 Hasil uji forecast error variance decomspositon error (FEVD)
Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
S.E.
VOLATILITY
CPI
IPI
LN_DOMRICE
44.78015 56.55317 64.95776 75.21828 82.68941 89.08709 94.36120 99.70067 104.9028 109.4534 113.6494 117.7988 121.7217 125.3007 128.6061 131.8466 135.0378 138.0935 141.0833 144.0757 147.0539 149.9874 152.8543 155.6449 158.3617 161.0068 163.5899 166.1246 168.6150
100.0000 63.79787 51.58152 48.41532 44.86898 44.15990 44.80872 45.09785 45.58451 45.89927 46.23243 46.75600 47.16079 47.32133 47.30006 47.11303 46.94785 46.94411 47.02770 47.10762 47.15222 47.18418 47.24421 47.33091 47.40595 47.43973 47.43146 47.40500 47.38902
0.000000 7.476728 7.678265 5.823796 4.869446 4.197856 3.877648 4.411126 5.203289 5.451225 5.275005 5.084179 5.145737 5.320422 5.301782 5.127335 4.933587 4.800405 4.762537 4.783809 4.797887 4.778118 4.744739 4.727399 4.731694 4.733862 4.710489 4.663866 4.613115
0.000000 2.718141 2.286441 1.767946 2.076381 2.777539 2.596357 2.597947 2.377376 2.187573 2.029077 1.899555 1.800924 1.703196 1.616874 1.539680 1.470392 1.406121 1.353784 1.311539 1.270314 1.227767 1.187905 1.153007 1.121413 1.090206 1.058584 1.027732 0.998863
0.000000 14.35705 14.38412 10.74145 8.977216 8.776554 9.817354 10.09519 9.541585 8.890490 8.278708 7.744330 7.366563 7.081595 6.778261 6.461604 6.171331 5.945156 5.784374 5.633254 5.458187 5.271781 5.094924 4.938631 4.801445 4.672487 4.545144 4.422061 4.309096
LN_DOM_STO LN_PRODUKS CK I 0.000000 0.442106 5.682921 7.388192 9.998266 11.11071 10.96081 10.44569 9.986870 9.882569 10.01595 10.04711 9.885469 9.653163 9.486176 9.448668 9.504637 9.540188 9.490461 9.389702 9.303894 9.263181 9.244690 9.210288 9.150629 9.085941 9.039286 9.016686 9.005765
0.000000 0.237860 1.157785 6.118307 10.59236 11.09565 10.25911 9.408991 9.152279 9.117626 8.793099 8.333989 7.908966 7.640355 7.629658 7.814396 8.002936 8.063768 8.020390 7.960944 7.926685 7.891118 7.818507 7.713783 7.611826 7.546626 7.529144 7.541073 7.553682
LN_SUHU
LN_VOL_IMP
LN_WORLDRI CE
0.000000 6.142810 9.807312 9.902845 10.11687 9.832476 9.763903 10.28442 10.82368 11.39247 12.01657 12.50046 12.94375 13.40653 13.90051 14.39725 14.80645 15.11468 15.36599 15.60405 15.85426 16.10487 16.33491 16.54531 16.74948 16.95783 17.16733 17.36420 17.53891
0.000000 0.328212 1.933717 1.875859 1.630670 2.074479 2.462216 2.496890 2.290453 2.122890 2.021418 1.886559 1.769634 1.669985 1.595021 1.552897 1.536971 1.536091 1.539656 1.533436 1.514740 1.488332 1.456323 1.420744 1.385050 1.352852 1.326941 1.308281 1.295749
0.000000 4.499221 5.487921 7.966287 6.869802 5.974837 5.453888 5.161907 5.039954 5.055890 5.337741 5.747821 6.018164 6.203423 6.391659 6.545137 6.625845 6.649478 6.655108 6.675652 6.721808 6.790648 6.873794 6.959929 7.042510 7.120461 7.191628 7.251103 7.295801
8
30 31 32 33 34 35 36
171.0670 173.4936 175.9026 178.2928 180.6586 182.9938 185.2953
47.39324 47.40796 47.42188 47.43329 47.44777 47.46938 47.49489
4.575094 4.554249 4.542835 4.531093 4.516561 4.503139 4.494276
0.972776 0.949555 0.928243 0.907843 0.888224 0.869726 0.852428
4.209695 4.121001 4.036126 3.951206 3.867384 3.787447 3.712723
8.989806 8.962941 8.931622 8.904647 8.884275 8.865853 8.844215
7.552498 7.541211 7.528444 7.515897 7.498046 7.470690 7.436953
17.69205 17.83034 17.96108 18.08735 18.20817 18.32255 18.43184
1.286958 1.279369 1.271258 1.261805 1.250661 1.237829 1.223797
7.327882 7.353375 7.378509 7.406867 7.438913 7.473385 7.508876
Cholesky Ordering: VOLATILITY CPI IPI LN_DOMRICE LN_DOM_STOCK LN_PRODUKSI LN_SUHU LN_VOL_IMP LN_WORLDRICE
61
62
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Silvia Sari Busnita dilahirkan di Padang pada tanggal 20 Desember 1992 lalu dari pasangan Bustanul, SH dan Ir. Rara Yunita. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Masa kecil penulis habiskan dengan keluarga di beberapa kota di Sumatera seperti Jambi, Padang, dan terakhir Lubuk Basung. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di kota Lubuk Basung, Kabupaten Agam provinsi Sumatera Barat. Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMAN 2 Lubuk Basung dan diterima pada tahun yang sama di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan di dalam kampus maupun di luar lingkungan kampus. Penulis aktif sebagai expert staff dalam divisi eksternal dan Exchange Program (EXPRO) di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) IAAS LC-IPB (International Student Association in Agricultural and Related Science, Local Committee Bogor Agricultural University) maupun IAAS Indonesia dari tahun 2011-2013. Di samping juga penulis aktif di AIESEC IPB pada tahun 2012 lalu sebagai Talent Management Staff. Selain itu, penulis juga pernah merasakan pengalaman kepanitiaan di beberapa acara dan magang kerja yang diselenggarakan oleh pihak kampus seperti ICO - IPB (IPB International Collaboration Office) sebagai guide and tour staff dalam bidang hospitality. Sementara itu, organisasi di luar kampus yang pernah diikuti penulis yaitu Forum for Indonesia (FFI) Chapter Bogor pada tahun 2013 lalu sebagai pengajar muda untuk program sekolah anak jalanan. Sedangkan untuk sekarang ini penulis sedang aktif berkecimpung di dalam gerakan Sekolah Sampah dibawah naungan Trashsure Foundation sebagai inisiator sekaligus ketua divisi eksternal yang dibentuk semenjak awal tahun 2014 lalu. Prestasi yang pernah diraih penulis selama menjadi mahasiswa diantaranya adalah penerima Tanoto Foundation Scholars tahun 2011 lalu sampai sekarang, perwakilan IPB dalam acara International Conference on Economics, Business and Management (CEBMM) pada tahun 2012, menjadi Mahasiswa Berprestasi III (Mapres III) Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB tahun 2013, perwakilan IPB dan Indonesia dalam program ASEAN Student Visit India (ASVI) tahun 2013 dan pada tahun yang sama juga mewakili IPB dalam program SUIJI-SLP (Six Universities Initiatives Japan-Indonesia – Service Learning Program) di Jepang.