Vol.02 No.02 Desember 2016
Vol. 02 No. 02 Desember 2016
ISSN 2527-497X
Jurnal
INFRASTRUKTUR Pusdiklat Manajemen dan Pengembangan Jabatan Fungsional Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jurnal INFRASTRUKTUR
i
Vol.02 No.02 Desember 2016
Jurnal INFRASTRUKTUR Susunan Redaksi Jurnal Infrastruktur Jurnal Jabatan Fungsional Aparatur Sipil Negara
Pengarah
:
Dr. Ir. Andreas Suhono, M.Sc. Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Penanggung Jawab
:
Ir. Asep Arofah Permana, MT., MM. Kepala Pusdiklat Manajemen dan Pengembangan Jabatan Fungsional
Mitra Bestari
:
Aine Kusumawati, ST., MT., Ph.D (Institut Teknologi Bandung) Prof. Dr. Muhammad Yamin Jinca, MS.Tr. (Universitas Hasanuddin Makassar) Prof. Dr. Ir. Nieke Karnaningroem, M.Sc. (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya) Dr.techn. Umboro Lasminto, ST., M.Sc (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya)
Redaktur
:
Yusdiana Caya
Dewan Penyunting
:
Yusdiana Caya Haris Marzuki Susila Diana Febrianti
Redaksi Desain
:
Luthfi Ainuddin Lamtiur Gustina Mardian Syah
Sekretariat
:
Luthfi Ainuddin
Distribusi dan Sirkulasi
:
Luthfi Ainuddin Imam Syahid Izzatur Rahim M. Riza Firmansyah
Email
:
[email protected]
Alamat
:
Pusdiklat Manajemen dan Pengembangan Jabatan Fungsional Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jl. Sapta Taruna Raya Komplek PU Pasar Jumat Jakarta Selatan 12330 Telp. 021-759 08822
ii
Jurnal
Volume
No
Hal
Jakarta
ISSN
INFRASTRUKTUR
02
02
001 - 086
Desember 2016
2527-497X
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
DAFTAR ISI
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
iii
Pedoman Penulisan Jurnal Profesional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
iv
Pengantar Redaksi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
v
1. MENJAWAB TANTANGAN JALAN TOL 1000 KM
1-1
Herry Trisaputra Zuna 2. ANALISIS KEGAGALAN KONSTRUKSI PADA BANGUNAN GEDUNG DI PROVINSI JAWA BARAT
1 - 10
Rina Rusdiani 3. IDENTIFIKASI KEBOCORAN PIPA PDAM KOTA MALANG DENGAN METODE STEP TEST
1 - 16
Zahra Aulia Syahidah dan Suprapti Bintari 4. PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KETERJANGKAUAN DAYA BELI MASYARAKAT MENGGUNAKAN CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM) Studi Kasus : PDAM Kota Bukittinggi, Sumatera Barat Ricky Fernandez dan Suprihanto Notodarmojo 5. UPAYA TEKNIS PERBAIKAN DEFISIENSI KESELAMATAN AKIBAT KETIDAKTEPATAN GEOMETRIK JALAN DAN PENYALAHGUNAAN RUANG BAGIAN JALAN (Studi Kasus: Ruas Jalan Nasional Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates)
1 - 22
1 - 24
1 - 31
Tisara Sita dan M. Fathoni Jalaluddin 6. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CONTRACT CHANGE ORDER (CCO) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PELAKSANAAN PROYEK KONSTRUKSI PEMBANGUNAN BENDUNG
1 - 40
Aceng Maulana 7. PENERAPAN TELEMETRI BERBASIS WEBSITE PADA PEMANTAUAN DEFORMASI PERMUKAAN BENDUNGAN SERMO
1 - 52
Ajat Sudrajat 8. KAJIAN STRATEGI PERCEPATAN PENGHUNIAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA) BERDASARKAN SISTEM PENGADAAN DAN PENGHUNIAN
1 - 60
Dahlan Prayogo Midian dan Iwan Kustiwan 9. ASPEK DESAIN PEMECAH GELOMBANG DAN DERMAGA TERAPUNG DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM MODULAR Irham Adrie Hakiki dan I Putu Samskerta
1 - 67 1 - 76
10. REKONTRUKSI JALAN INSPEKSI TARUM TIMUR DENGAN LAPIS PONDASI CTRB DAN CHIP SEAL Syaeful Anwar
Jurnal INFRASTRUKTUR
iii
Vol.02 No.02 Desember 2016
PEDOMAN PENULISAN JURNAL PROFESIONAL 1. Judul. Ditulis dengan spesifik, jelas, ringkas, informatif. 2. Nama. Ditulis dengan Jabatan, Unit Kerja dan alamat email. 3. Abstrak. Berisi tentang: permasalahan, tujuan, metode, hasil, kesimpulan dan kata kunci. Ditulis 1 spasi maksimal setengah halaman (maksimal 300 kata). Ditulis dalam Bahasa Inggris. 4. Pendahuluan. Ditulis tentang Latar Belakang, Permasalahan/ Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian 5. Tinjauan Pustaka. Ditulis teori-teori yang mendukung atau yang relevan dengan kegiatan penelitian yang dilakukan. Penyajian scientific method atau landasan teori memerlukan acuan pustaka yang kuat, tajam dan mutakhir. 6. Metode Penelitian. Memuat jenis penelitian, waktu, tempat, populasi/ sampel, alat dan bahan, metode pengolahan data, serta informasi lain yang dibutuhkan atau relevan dengan jenis penelitiannya. 7. Hasil. Menampilkan hasil dalam bentuk ilustrasi: gambar, tebel, grafik, foto, diagram, dll. Memberikan interpretasi terhadap data hasil. Dapat berupa hasil analisis fenomena di wilayah penelitian yang relevan, hasil yang diperoleh dapat berupa deskriptif naratif, angka-angka, gambar / table, suatu alat. Penelitian kualitatif penulisan hasil berbentuk interpretasi, sedangkan penelitian kuantitatif hasil dalam bentuk statistik. Hasil harus menyajikan data permaslahan dan tujuan penelitian. 8. Hasil. Pembahasan ditulis dengan ringkas dan fokus kepada interpretasi dari hasil yang diperoleh, BUKAN pengulangan dari hasil. Pembahasan dengan acauan pustaka dimunculkan bila harus membandingkan hasil atau publikasi sebelumnya. Arah pembahasan untuk menjawab tujuan penelitian. Akhir dari uraian pembahasan harus mampu menunjukan pernyataan kesimpulan 9. Pembahasan. Pembahasan ditulis dengan ringkas dan fokus kepada interpretasi dari hasil yang diperoleh, BUKAN pengulangan dari hasil. Pembahasan dengan acauan pustaka dimunculkan bila harus membandingkan hasil atau publikasi sebelumnya. Arah pembahasan untuk menjawab tujuan penelitian. Akhir dari uraian pembahasan harus mampu menunjukan pernyataan kesimpulan 10. Pembahasan. Diperoleh dari hasil analisis dan pembahasan, disampaikan secara singkat dalam bentuk kalimat utuh. Harus menjawab pertanyaan dan permasalahan riset yang diungkapkan pada pendahuluan. 11. Saran. Berisi rekomendasi akademik atau tindak lanjut nyata dari kesimpulan yang diperoleh. 12. Daftar Pustaka. Ditulis nama, tahun publikasi, judul artikel/ buku, lokasi penerbit, nama penerbit (berdasarkan referensi model APA).
iv
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan, karena hanya berkat karunia dan pertolongan-Nya saja kami dapat menerbitkan Jurnal Infrastruktur untuk edisi yang ketiga. Pada edisi kali ini, kami tetap berupaya menghadirkan ke ruang baca Anda kesatuan gagasan tentang upaya menghadirkan tulisan bidang infrastruktur pekerjaan umum dan perumahan rakyat melalui sepuluh ragam karya ilmiah buah tangan para Pejabat Fungsional dan Karyasiswa dari lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Karya ilmiah dalam Jurnal Infrastruktur kali ini terdiri dari 5 kajian : Bidang Sumber Daya Air akan diwakili tulisan yang membahas tentang desain bangunan pantai dengan system modular, dan metode pemantauan deformasi permukaan bendungan. Untuk kajian bidang jalan, menyajikan tentang rekonstruksi jalan inspeksi, gometrik dan penyalahgunaan ruang milik jalan, serta gagasan upaya menjawab tantangan membangun jalan tol 1.000 km. Untuk tema Bidang Perumahan dan Permukiman dikupas kegagalan konstruksi bangunan gedung, penghunian rumah susun sederhana sewa. Bidang Penyehatan Lingkungan mengangkat tema mengenai identifikasi dan pengembangan sistem penyediaan air minum. Terakhir, dari Jasa Kostruksi mengambil judul terkait contract change order dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan proyek konstruksi. Kami sangat senang dapat menghadirkan Jurnal Infrastruktur Edisi Ketiga ini, sebab edisi ini akan menjadi pintu masuk bagi Jurnal Infrastruktur untuk mendapatkan akreditasi, sekaligus membuka jalan proses mewujudkan pengelolaan Jurnal Elektronik atau e-Jurnal. Untuk itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada para kontributor yang telah merelakan tulisannya kami muat pada jurnal ini, juga kepada para Mitra Bestari dari berbagai akademisi yang dengan tekun memeriksa naskah yang kami sampaikan. Terima kasih juga kami sampaikan pada seluruh kerabat pengelola Jurnal Infrastruktur yang tak henti berupaya untuk menerbitkan edisi pertama hingga edisi ketiga. Semoga seluruh upaya kita dan seluruh pengorbanan kita dalam menghadirkan Jurnal Infrastruktur ini mendapatkan balasan kebaikan dan keberkahan dari Allah SWT. Aamiin. Pada kesempatan berikutnya kami senantiasa akan selalu mengajak seluruh pegawai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, khususnya para Pejabat Fungsional untuk dapat memanfaatkan jurnal ini sebagai sarana untuk meningkatkan kompetensi diri. Manfaat lainnya bagi para kontributor adalah akan dapat mengoptimalkan perannya sebagai Pejabat Fungsional untuk turut berkontribusi dalam penyelenggaraan infrastruktur PUPR melalui karya tulis atau karya ilmiah. Akhir kata, saya ucapkan selamat membaca jurnal ini. Semoga langkah awal kami dalam pembinaan jabatan fungsional menuju profesionalisme akan mendapatkan kesempatannya. Kritik dan saran guna penyempurnaan jurnal ini, sangat kami nantikan. Redaksi Jurnal INFRASTRUKTUR
Jurnal INFRASTRUKTUR
v
Vol.02 No.02 Desember 2016
1 - vi
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
MENJAWAB TANTANGAN JALAN TOL 1000 KM
Herry Trisaputra Zuna Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
[email protected]
Abstract Interconnected and integrated infrastructure system is a necessity to ensure better mobility and accessibility among people and goods. Toll Road Strategic Planning is conducted to increase connectivity in supporting competitiveness through development of more than 1000 km new toll roads and improvement of toll road user satisfaction by providing reliable service. To fulfill the plan, toll road development policies are directed by conducting 4 (four) main actions which are focusing in Public Private Partnership (PPP), namely: new PPP scheme; procedure simplification; government supportsare guaranteed; and land acquisition acceleration. This basic direction in toll road policy could improve more conducive investment climate to support acceleration in toll road development and providing better toll road service. Keywords:Infrastructure, Toll road, PPP,Toll road service. Abstrak Infrastruktur yang terkoneksi dan terintegrasi dapat memastikan kelancaran pergerakan manusia dan barang. Hal ini berdampak langsung pada efisiensi, peningkatan daya saing dan kelancaran kegiatan sosialekonomi. Rencana strategis jalan tol dilaksakanakan dalam rangka meningkatkan dukungan konektivitas bagi penguatan daya saing melalui pembangunan lebih dari 1000 km jalan tol baru dan meningkatkan kepuasan pengguna jalan tol yang dipenuhi dengan pelayanan jalan tol yang handal. Untuk mencapai tujuan tersebut, arah kebijakan pengembangan jalan tol dilaksanakan melalui 4 (empat) kegiatan utama dengan menitikberatkan pada pola Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), yaitu mencari skema KPBU baru, penyederhanaan prosedur, penambahan dukungan pemerintah, dan percepatan pengadaan lahan. Arahan dasar kebijakan sektor jalan tol tersebut dapat menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif yang mendukung program percepatan pembangunan jalan tol dan menyediakan pelayanan jalan tol yang lebih baik. Kata kunci: Infrastruktur, Jalan tol, KPBU, Pelayanan jalan tol.
Jurnal INFRASTRUKTUR
1-1
Vol.02 No.02 Desember 2016
1. PENDAHULUAN 1.1. TARGET 1000 KM JALAN TOL Sesuai program Nawa Cita butir Dimensi Pembangunan Pemerataan dan Kewilayahan, tantangan utama dalam pengembangan wilayah untuk pemerataan pembangunan adalah mengurangi kesenjangan antarwilayah yang ditunjukkan dengan semakin besarnya kontribusi wilayah luar Jawa melalui akselerasi pertumbuhan ekonomi di luar Jawa. Tantangan lainnya adalah mendorong pembangunan pusatpusat pertumbuhan (industri) untuk meningkatkan nilai tambah sektor unggulan yang diprioritaskan berada di luar Jawa dan Kawasan Timur Indonesia
menjadi pendorong peningkatan kualitas logistik di Indonesia. Jalan tol dikembangkan sebagai tulang punggung transportasi darat pulau-pulau besar di Indonesia.
2. KEBUTUHAN INFRASTRUKTUR JALAN TOL Jaringan jalan merupakan salah satu infrastruktur utama dalam pengembangan suatu kawasan atau daerah. Adanya kemudahan akses menuju suatu daerah akan memudahkan mobilitas barang dan orang, sehingga mampu memicu pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Dengan dua per tiga jaringan jalan nasional sudah mengalami kemacetan dan lalu
Gambar 1. Perkiraan Kondisi Lalu Lintas pada Pulau Jawa Tahun 2035 (Indonesia Infrastructure Initiative, 2016)
sebagai motor penggerak perekonomian wilayah yang didukung dengan peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur dasar dan pendukung. Dalam program pembangunan jalan, salah satu prioritas yang mendukung agenda Nawa Cita tersebut adalah rencana pembangunan 1000 km jalan tol pada 2015-2019 sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka menengah Nasional (RPJMN) Tahun 20152019 yang telah dicanangkan pemerintah.1 Jalan tol direncanakan untuk dibangun di Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi dan Kalimantan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial. Pembangunan jalan tol merupakan strategi peningkatan mobilitas pada koridor-koridor utama di Indonesia. Selain itu, pembangunan jalan tol juga diharapkan dapat mengurangi waktu tempuh koridor-koridor utama serta 1 RPJMN 2015-2019 ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. Dokumen tersebut terdiri dari : strategi pembangunan nasional, kebijakan publik, program-program kementerian dan lembaga dan antar K/L, kawasan dan antarkawasan, kerangka ekonomi makro yang terdiri dari situasi ekonomi secara keseluruhan, arahan rencana aksi kebijakan fiskal dalam bentuk kerangka regulasi dan pagu indikatif. 1-2
Jurnal INFRASTRUKTUR
lintas diperkirakan akan tumbuh dua kali lipat dalam 15 tahun mendatang. Diperlukan infrastruktur jalan tol untuk memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat yang semakin meningkat seiring pertumbuhan dan perkembangan kegiatan perekonomian di Indonesia. Menurut Indonesia Infrastructure Initiative (2016) seluruh jaringan jalan baik tol maupun non tol di Pulau Jawa saat ini berada pada situasi yang membutuhkan penanganan segera. Hasil kajian menunjukkan apabila tidak segera dilakukan penambahan jaringan baru, Pulau Jawa akan mengalami kelebihan kapasitas (over capacity) pada tahun 2035. Apabila jalan tol Trans Jawa dari Merak sampai dengan Banyuwangi terwujud pada tahun 2019, jalan non tol akan lebih terurai tetapi pada kondisi yang sama pada tahun 2035 sebagian besar jaringan mengalami kejenuhan. Penambahan jalan tol di bagian utara dan selatan Jawa dapat meningkatkan pelayanan dikarenakan lalu lintas dapat terdistribusikan melalui jalan tol maupun non tol dengan baik.
Vol.02 No.02 Desember 2016
Perkembangan infrastruktur dibutuhkan dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan diseluruh daerah, juga untuk persaingan dalam pasar internasional (Omirin, 2011). Kualitas infrastruktur di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Dalam hasil survey yang dilakukan World Economic Forum (2016), Indonesia berada pada peringkat 41 dari 138 negara dengan nilai 4,52 skala 7 dalam Global Competitiveness Index (GCI) dan peringkat 60 dengan nilai 4,24 dalam hal perkembangan infrastruktur. Meski dengan nilai yang sama, peringkat Indonesia turun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu peringkat 37 dari 140 negara. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia perlu memajukan pembangunan salah satunya dalam hal infrastruktur sehingga dapat membantu meningkatkan perekonomian negara. 3. PERMASALAHAN JALAN TOL Dalam rangka mewujudkan 1000 km jalan tol sampai dengan tahun 2019, terdapat berbagai tantangan mendasar antara lain lambatnya progress delivery yang hanya mencapai 100 km/5 tahun atau sama dengan 20km/tahun. Permasalahan utama yang menjadi hambatan dalam pengusahaan jalan tol adalah ketersediaan tanah. Pemerintah berkewajiban menjamin ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum beserta peraturan-peraturan turunannya. Akan tetapi dengan kesiapan tanah yang relatif belum tersedia dan kebutuhan dana tanah yang sangat besar membuat target penyediaan tanah sulit untuk dicapai. Permasalahan lainnya adalah kelayakan proyek yang tidak sepenuhnya komersial, sementara skema pengusahaan jalan tol hanya terbatas pada BOT dan OM sehingga mengakibatkan transaksi sulit ditawarkan kepada sektor swasta. Kondisi ini diperberat dengan belum tersedianya jaminan pemerintah serta kelangkaan dukungan pemerintah. Disisi lain, proses pengadaan investasi membutuhkan waktu lama dan tidak final sehingga perlu waktu 2 sampai 3 tahun sejak pengadaan sampai dengan konstruksi dimulai. Penyediaan jalan tol bersifat monopoli dan bukan merupakan pasar yang kompetitif sehingga faktor kualitas pelayanan kurangberpengaruh terhadap keputusan pengguna jalan tol. Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan tol telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2014, sebagai usaha pemerintah untuk melindungi pengguna jalan tol. Pelayanan jalan tol secara umum masih belum maksimal baik disebabkan oleh kurangnya usaha dari BUJT maupun disebabkan oleh SPM jalan tol yang belum sepenuhnya mencerminkan keinginan pengguna.
1.4. Maksud dan Tujuan Penulisan Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran tentang permasalahan, tantangan dan upaya pemerintah mendukung program 1000 km jalan tol dan meningkatkan pelayanan jalan tol. 1.5. Metode Penulisan Tulisan ini adalah penelitian kualitatif dengan studi pustaka. Penelitian ini berusaha memecahkan masalah dengan menggambarkan problematika yang terjadi. Studi pustaka digunakan untuk membuktikan bahwa penelitian yang dilakukan menjawab rumusan masalah yang ada, meruntutkan alur penelitian dan memperkuat latar belakang (Gay, et al, 2006). Penulis ingin memahami, mengkaji secara mendalam serta memaparkannya dalam tulisan ini mengenai bagaimana upaya pemerintah untuk mewujudkan program pembangunan jalan tol 1000 km, kendala apa yang dihadapi serta jalan keluarnya. Karena tujuan tersebut, maka relevan jika penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. 4. KPBU JALAN TOL 4.1. Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU) atau public-private partnership (PPP) merupakan kontrak jangka panjang antara pemerintah dengan perusahaan swasta untuk menyediakan servis dan aset untuk masyarakat, perusahaan swasta yang menanggung resiko dan bertanggung jawab dalam manajemennya (World Bank, 2014). Menurut European Commission (2003) KPBU dianggap sebagai suatu metode alternatif yang efektif untuk mengatur modal tambahan dan keuntungan yang didapat dari sektor swasta. KPBU pada dasarnya bukan merupakan sumber pendapatan, bukan privatisasi sektor publik, tidak dapat digunakan untuk seluruh proyek, bukan jawaban untuk segala masalah infastruktur, tidak bebas dan mudah diimplementasikan, serta tidak menjamin keberhasilan (IPD Academy, 2013). Kebijakan menyangkut KPBU yang berlaku di Indonesia tercantum pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Dalam Peraturan pemerintah Nomor 15 Tahun 2005, disebutkan bahwa pengusahaan jalan tol dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan. Dari ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pengusahaan jalan tol dapat dilakukan oleh Pemerintah, Badan Usaha atau Pemerintah dan Badan Usaha. Pengusahaan jalan tol oleh Pemerintah terutama diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak secara ekonomi tetapi belum layak secara finansial, pengusahaan jalan Jurnal INFRASTRUKTUR
1-3
Vol.02 No.02 Desember 2016
tol oleh Badan Usaha diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak secara ekonomi dan finansial, sedangkan pengusahaan jalan tol oleh Pemerintah dan Badan Usaha diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak secara ekonomi tetapi keseluruhan proyek tidak layak secara finansial. Skema kemitraan Pemerintah-Swasta ini dapat disebut dengan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partneship (PPP). Model yang digunakan sampai dengan tahun 2014 adalah Build Operation Transfer (BOT), Subsidize Build Operation Transfer (SBOT) dan Operation and Maintenance (OM). Skema ini terus didorong oleh pemerintah karena masih ada celah yang perlu diperbaiki. 4.2. Jalan Tol Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan, Jalan tol merupakan jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol atau tarif yang telah ditentukan. Jalan tol berguna untuk memperlancar lalu lintas di daerah yang berkembang, meningkatkan hasil dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa agar menunjang pertumbuhan ekonomi, meringankan beban dana pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan, serta dapat meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan. Keuntungan dari jalan tol dibanding dengan jalan non tol adalah pelayanan yang diberikan. Dengan biaya yang dikeluarkan, pengguna jalan dapat menghemat waktu tempuh perjalanan, mendapat fasilitas seperti tempat beristirahat, hingga pertolongan darurat ketika dibutuhkan. Sesuai data Badan Pengatur Jalan Tol (2014),sejarah jalan tol di Indonesia dimulai pada tahun 1987 dengan dioperasikannya jalan tol Jagorawi2 dengan panjang 59 km (termasuk jalan akses. Pembangunan jalan tol yang dimulai tahun 1975 ini, dilakukan oleh pemerintah dengan dana dari anggaran pemerintah dan pinjaman luar negeri yang diserahkan kepada PT. Jasa Marga (persero) Tbk. sebagai penyertaan modal. Selanjutnya PT. Jasa Marga ditugasi oleh pemerintah untuk membangun jalan tol dengan tanah yang dibiayai oleh pemerintah. PT. Jasa Marga kemudian bertindak sebagai regulator dan operator jalan tol. Mulai tahun 1987 swasta mulai ikut berpartisipasi dalam investasi jalan tol sebagai operator jalan tol dengan menanda tangani perjanjian kuasa pengusahaan (PKP) dengan PT Jasa Marga. Pada periode 1995 hingga 1997 dilakukan upaya percepatan pembangunan jalan tol melalui tender 19 ruas jalan tol sepanjang 762 km. Namun upaya ini terhenti akibat adanya krisis moneter pada Juli 1997 yang mengakibatkan pemerintah harus menunda program pembangunan jalan tol dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 39/1997. Akibat penundaan tersebut pembangunan jalan tol di Indonesia men2 1-4
Jagorawi kepanjangan dari Jakarta-Bogor-Ciawi Jurnal INFRASTRUKTUR
galami stagnansi, terbukti dengan hanya terbangunnya 13,30 km jalan tol pada periode 1997-2001. Pada tahun 2004 diterbitkan Undang-Undang No.38 tahun 2004 tentang Jalan yang mengamanatkan pembentukan BPJT sebagai pengganti peran regulator yang selama ini dipegang oleh PT Jasa Marga. Proses pembangunan jalan tol kembali memasuki fase percepatan mulai tahun 2005 dengan penerusan terhadap 19 proyek jalan tol yang pembangunannya ditunda pada tahun 1997 kembali dilakukan. Selama tahun 2005-2014, panjang jalan tol yang telah dioperasikan adalah 213,64 km, sehingga panjang jalan tol yang beroperasi sampai Oktober tahun 2014 adalah sepanjang 816 km. 5. ARAH KEBIJAKAN KPBU SEKTOR JALAN TOL Dalam rangka meningkatkan pelayanan dan perwujudan industri Jalan Tol yang sehat dalam mendukung Program Pembangunan Jalan Tol (1000 Km), disusunlah arahan dasar kebijakan KPBU sektor jalan tol. Arahan tersebut diwujudkan dalam empat kegiatan utama yaitu Skema KPBU baru, Penyederhanaan Prosedur, Penambahan Dukungan Pemerintah dan Percepatan Pengadaan Tanah. 5.1. Skema KPBU baru Arahan tersebut dilaksanakan untuk mencari model pengusahaan jalan tol alternatif. Model pengusahaan yang sekarang digunakan adalah pada praktek Build Operation Transfer (BOT) konvensional dan Supported Build Operational Tender (SBOT) dan kontrak konstruksi. Strategi pendanaan Jalan Tol, diupayakan menggunakan dana non APBN, dimana proyek harus layak secara ekonomi dan finansial. Apabila kelayakan finansial rendah/marjinal, perlu diupayakan dukungan pemerintah (government support) baik berupa Viability Gap Funds (VGF) maupun dukungan konstruksi melalui kontribusi pinjaman lembaga bilateral/multilateral atau APBN. Saat ini telah dikembangkan skema-skema baru dalam penyediaan infrastruktur melalui kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU) atau PPP untuk mensiasati terbatasnya alokasi dana pemerintah untuk pembangunan dan menarik lebih banyak investor untuk bekerja sama dalam penyediaan infrastruktur (BAPPENAS, 2015). Skema baru yang dimaksud adalah Performance-Based Annuity Scheme/Annuity Payment (PBAS/AP) dan penugasan BUMN untuk proyek-proyek infrastruktur tertentu. Pelaksanaan skema PBAS/ Availability Payment dalam pengusahaan jalan tol telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2015 tentang KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.08/2015 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan dalam rangka
Vol.02 No.02 Desember 2016
Gambar 2. Pemilihan Skema KPBU Sektor Jalan Tol (Badan Pengatur Jalan Tol, 2016)
Gambar 3. Skema Metode Availibility Payment PPP (Deloitte Research, 2013)
KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur. Skema ini muncul untuk menjawab tantangan besarnya dukungan Pemerintah untuk membiayai model SBOT dan besarnya dukungan pemerintah di awal untuk model Design and Build. Seperti yang dikatakan oleh Smith,et al. (2015) pendanaan pemerintah dibayar setiap tahunnya dengan jumlah bergantung dengan kinerja atau ketersediaan aset sesuai skema. Skema Modified PBAS untuk jalan tol dilaksanakan dengan mekanisme BOT dengan AP dan BOT dengan AP dan Pinjaman Jangka Panjang. John Lee (2015)
menjelaskan bahwa salah satu manfaat terpenting dari skema PBAS/AP yaitu memberi insentif pada mutu siklus hidup dalam pelaksanaan pengoperasiannya. Pilot Proyek Modified PBAS adalah jalan tol Serang-Panimbang. Terdapat dua tipe KPBU berdasarkan metode pembayaran yang digunakan yaitu, Revenue Based PPP dan Availability Based PPP (PPIAF, 2009). Secara garis besar pengembalian investasi RevenueBased PPP dilakukan melalui pembayaran oleh pengguna jalan tol selama masa konsesi. Sementara dalam Jurnal INFRASTRUKTUR
1-5
Vol.02 No.02 Desember 2016
metode Availability Payment PPP pengembalian investasi dilakukan secara langsung oleh pemerintah berdasarkan capaian kinerja yang telah disepakati dalam perjanjian. Selain skema PBAS, model baru pengusahaan jalan tol dilaksanakan melalui optimalisasi penugasan BUMN. Penugasan BUMN dilaksanakan pada proyek yang bertujuan untuk mendorong pengembangan wilayah dengan kondisi terbatasnya pendanaan Pemerintah untuk proyek tersebut. Pembiayaan proyek jalan tol yang dibiayai melalui skema penugasan BUMN adalah proyek jalan tol Trans Sumatra antara lain Medan-Binjai, Pekanbaru-Dumai, Palembang-Indralaya, dan Bakaheuni-Tebanggi Besar. 5.2. Penyederhanaan Prosedur Penyederhanaan prosedur untuk percepatan pengusahaan jalan tol dilaksanakan melalui percepatan proses pelelangan. Proses pelelangan yang tadinya selama ±12 bulan dipersingkat menjadi ±5 bulan. Pada proses ini, para pemangku kepentingan, yaitu
1000 km jalan tol baru. Dukungan tersebut berupa Viability Gap Funds (VGF) yang diatur dalam peraturan Presiden Nomor 13 tahun 2010, atau berupa pelaksanaan sebagian konstruksi (meliputi ruas Cileunyi-Sumedang-Dawuan, Ngawi-Kertosono, Manado-Bitung, Balikpapan-Samarinda)dan atau pembiayaan bersama. VGF diberikan dengan tujuan meningkatkan kelayakan finansial proyek guna menimbulkan minat dan partisipasi swasta, meningkatkan kepastian pengadaan/lelang proyek infrastruktur sesuai kualitas dan waktu yang ditentukan serta mewujudkan layanan infrastruktur publik dengan tarif yang terjangkau oleh masyarakat (Surachman,2014). Pilihan pembiayaan lain adalah fasilitas pembiayaan oleh PT. SMI dan fasilitas penjaminan oleh PT PII. Fasilitas Pembiayaan yang dapat disediakan oleh PT. SMI antara lain: Long Term Tenor: 25 Tahun, dengan 10 Tahun grace period; A B Loan: Pinjaman dengan tenor lebih panjang, dan struktur pembayaran lebih fleksibel (Senior Loan); Cash Deficiency Support: Untuk mendukung pada periode awal operasi;
Gambar 4. Skema Penugasan Proyek Jalan Tol Trans Sumatra (Badan Pengatur Jalan Tol, 2016)
pemberi pinjaman (bank), kontraktor, PT. SMI dan PII (penjamin) juga dilibatkan lebih awal dan peserta lelang wajib mencantumkan nama kontraktor yang akan melakukan konstruksi dan nama pemberi pinjaman untuk pelaksanaan proyek. Penyempurnaan peraturan tersebut dilaksanakan untuk menjamin kepastian konstruksi dan kepastian pembiayan proyek. Sebelum proses pelelangan, dilaksanakan juga competitive dialogantara panitia lelang dengan peserta untuk membahas dokumen lelang; negosisasi Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) dan biaya penjaminan juga dibahas pada tahapan ini. Competitive dialog dilaksanakan dengan maksud agar Request for Proposal (RFP) yang dikirimkan peserta lelang sudah final. 5.3. Dukungan yang Beragam Pemerintah akan menyediakan dukungan yang semakin beragam dalam rangka mewujudkan program 1-6
Jurnal INFRASTRUKTUR
Mezzanine Loan & Subordinated Loan: Pinjaman dengan prioritas bayar lebih rendah (Junior Loan); dan Equity. Sedangkan fasilitasPenjaminan PT. PII terdiri atas: Risiko Politik Tradisional, yang terdiri dari Pengadaan Tanah, PenyesuaianTarif, Perubahan Peraturan, danTerminasi; serta Risiko terkait Bankability, yaitu Risiko “Ramp Up Period” (Periode awal Operasi). 5.4. Percepatan Pengadaan Tanah Proses percepatan pengadaan tanah diwujudkan dengan keluarnya Undang-Undang No 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan ketiga Atas Perpres No. 71 / 2012 Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan demi Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015.Keluarnya peraturan tersebut membuka keran debottlenecking untuk proses pengadaan tanah dalam penyediaan infrastruktur jalan tol. Kebijakan baru yang diatur pada peraturan tersebut
Vol.02 No.02 Desember 2016
yaitu: pengadaan tanah yang lebih awal sesuai tahapan, pengadaan tanah terintegrasi dengan rencana tata ruang dan kawasan, pelaksanaan dan pembiayaan pengadaan tanah ditanggung oleh pemerintah, dan dioptimalkannya peran Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara (BLU LMAN) sebagai Land Banking. Pendanaan tanah dilakukan melalui skema dana talangan BUJT yang nantinya akan diganti oleh BLU LMAN ketika sudah beroperasi penuh. Saat ini dana talangan tanah yang disediakan oleh BUJT sebesar 32 Triliun dengan dana yang sudah dibayar sebesar 4,4 Triliun. 6. PELAYANAN JALAN TOL Dalam hal pengawasan, Pemerintah sebagai regulator jalan tol, menetapkan dua kebijakan mengenai penyediaan jalan tol untuk melindungi pengguna jalan tol, yaitu standar pelayanan minimum jalan tol yang harus dipenuhi oleh operator dan keputusan penyesuaian tarif tol yang akan diberlakukan kepada pengguna jalan tol.
Terdapat sembilan atribut yang perlu menjadi prioritas dalam pelayanan jalan tol dan menjadi ukuran kepuasan pelanggan, yaitu: kelancaran lalu lintas, keselamatan berkendara, kerataan permukaan jalan, keamanan dari tindak kriminal, jumlah dan fasilitas gardu tol, rambu lalu lintas, penerangan jalan, penanganan kecelakaan, ketanggapan perbaikan jalan yang rusak. (Zuna et al, 2015). Merespon atribut-atribut tersebut, pemerintah telah menerapkan beberapa kebijakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan jalan tol, yaitu integrasi gerbang tol dan penggunaan e-payment. Integrasi gerbang tol dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan antrian pada barrier gate di ruas jalan tol antarkota. Dengan sistem ini, pengguna jalan tol hanya perlu melaksanakan transaksi masingmasing 1 kali pada saat masuk dan keluar jalan tol. Penerapan integrasi gerbang tol dilaksanakan pada gerbang tol Cikarang Utama sampai Brebes Timur pada ruas jalan tol Jakarta-Cikampek, Cikopo-Palimanan, Palimanan-Kanci, Kanci-Pejagan, PejaganPemalang; dimana pada ruas-ruas jalan ini pengguna tol cukup melaksanakan transaksi pengambilan kartu tol pada gerbang tol masuk dan membayar tol sesuai tarif di gerbang keluar tol tujuan. Tujuan penggunaan e-payment adalah untuk mempercepat transaksi pembayaran tol di gerbang tol dan mengurangi antrian kendaraan di gerbang pembayaran sehingga tidak menimbulkan kemacetan di badan jalan.
Gambar 5. Rekapitulasi Kebutuhan Dana Talangan Tanah
Pemerintah juga sedang mengembangkan Intelligent Transportation System (ITS) yang terencana dan berkesinambungan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas layanan kepada pengguna jalan tol. Pengembangan ITS dilakukan demi terciptanya pelayanan jalan tol yang efektif, efisien, aman dan nyaman serta berkeselamatan dengan berbasis teknologi informasi. Ruang lingkup ITS sendiri terdiri dari : Sistem Informasi Lalu Lintas, Sistem Transaksi Tol, Sistem Informasi Keadaan Darurat, Sistem Pengendalian Angkutan Berat, Sistem Manajemen Aset dan Ruang Kendali.
(Badan Pengatur Jalan Tol, 2016)
Gambar 6. Atribut Standar Pelayanan Minimum
Gambar 7. Road Map ITS
(Badan Pengatur Jalan Tol, 2016)
(Badan Pengatur Jalan Tol, 2016) Jurnal INFRASTRUKTUR
1-7
Vol.02 No.02 Desember 2016
7. PROGRESS PEMBANGUNAN 1000 KM JALAN TOL Dua tahun setelah dikeluarkannya rencana jangka menengah untuk program pembangunan 1000 km jalan tol, progress pelaksanaan pembangunan jalan tersebut mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Jalan tol yang sudah beroperasi pada tahun 2015 adalah sepanjang 132.35 km, meliputi jalan tol Gempol-Pandaan (12.05 km); jalan tol Porong-Gempol (3.55 km), dan jalan tol CikampekPalimanan (116.75 km). Pada tahun 2016 sendiri direncanakan untuk membangun sebanyak 14 ruas jalan tol dengan total ruas sepanjang 105.13 km. Sampai denganSeptember 2016 jalan tol yang sudah beroperasi sepanjang 38.67 km, yaitu jalan tol Surabaya-Mojokerto seksi IV (18.47 km) dan jalan tol Pejagan-Pemalang Seksi I dan II (20.20 km). Hingga saat ini, terdapat 176 km jalan tol yang berarti 17,6% dari rencana 1000 km. Terlihat dari data, konstruksi jalan tol mencakup 30 PPJT dalam
panjang jalan yang dibangun. Namun demikian, belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru dan berkomitmen untuk mewujudkan program pembangunan jalan tol dimaksud. Selama 2 tahun pelaksanaan program, terlihat bahwa upaya yang dilakukan pemerintah tersebut menampakkan kemajuan yang signifikan, dengan bertambahnya panjang jalan tol yang beroperasi, jumlah jalan tol konstruksi, jumlah PPJT yang telah ditandatangani, dan jumlah jalan tol yang sedang dilelang. Selain itu, upaya untuk peningkatan kualitas layanan jalan tol juga sedang digalakkan dengan tujuan akhir meningkatkan kepuasan layanan jalan tol bagi pengguna. Pemerintah secara perlahan-lahan berbenah untuk menyediakan infrastruktur jalan tol yang bisa diandalkan dan menciptakan iklim yang lebih kondusif untuk industri jalan tol yang lebih sehat. Kebijakankebijakan yang dikeluarkan diharapkan dapat menarik lebih banyak investor untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam penyediaan infrastruktur bagi kepentingan umum.
Gambar 8. Progress Pembangunan Jalan Tol 2015-2016 (Badan Pengatur Jalan Tol, 2016)
pembangunan 1.299 km, dan didukung rencana pelelangan 9 proyek dengan panjang total 1.158 km. Target ini juga termasuk dengan PPJT yang belum melalui proses konstruksi sebanyak 18 proyek dengan panjang 621 km dan dua diantaranya masih dilakukan ground breaking. 8. PENUTUP Program pembangunan 1000 km jalan tol bisa jadi merupakan program yang ambisius mengingat praktek pengusahaan jalan tol pada masa sebelumnya yang dianggap kurang berhasil dari segi capaian
1-8
Jurnal INFRASTRUKTUR
DAFTAR PUSTAKA Badan Pengatur Jalan Tol. (2014). Peluang Investasi Jalan Tol di Indonesia. Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2015). Public Private Partnership Infrastructure Project Plan in Indonesia 2015. Jakarta. Deloitte Research. (2013). Partnering for Value: Structuring Effective Public-Private Partnership for Infrastructure.
Vol.02 No.02 Desember 2016
European Commission. (2003). Guidelines for Successful Public-Private Partnerships. Directorate-General Regional Policy. Gay, L. R., Mills, G. E., & Airasian, P.W. (2006). Educational Research: Competencies for analysis and applications (8th edition). Upper Saddle River, NJ: Merrill Prentice Hall. Gay, pp29-44. Indonesia Infrastructure Initiative. (2016). Innovative Program Delivery Academy. (2013). WebBased Course: Introduction to Public-Private Partnership. Federal Highway Administration. Lee, John. (2015). Indonesia’s Road Infrastructure: Accelerating the Private Sector Contribution. Prakarsa, 22: 22-27. Omirin, M.N. (2011). Infrastructure Provision and Private Lands Acquisition Grievances: Social Benefit and Private Cost. Journal of Sustainable Development, 4 (6). Public-Private Infrastructure Advisory Facility. (2009). Main Types of PPP. Toolkit for PublicPrivate Partnership in Roads and Highways. Surachman, E.N. (2014). Dana Dukungan Tunai Infrastruktur (Viability Gap Fund): Harapan Baru Pembangunan Infrastruktur. http:// www.kemenkeu.go.id/kemenkeu/artikeldanopini (diakses Oktober 2016) Smith, J., Agung, W., dan Tim, B. (2015). Building Indonesia’s Future-Unblocking The Pipeline of Projects. Prakarsa, 22: 11-16. World Bank. (2014). Public Private Partnership : Reference Guide (ver. 2.0). Washington D.C. World Economic Forum. (2016). The Global Competitiveness Report 2016-2017. Geneva. Zuna, H. T., Hadiwardoyo, S., Rahadian, H. (2015). Atribut Pelayanan Jalan Tol dalam Peningkatan Kualitas Berkendara di Jalan Tol Makassar. Jurnal HPJI, 1(2), 115-126.
Jurnal INFRASTRUKTUR
1-9
Vol.02 No.02 Desember 2016
ANALISIS KEGAGALAN KONSTRUKSI PADA BANGUNAN GEDUNG DI PROVINSI JAWA BARAT Rina Rusdiani1 Sarwono Hardjomuljadi2
Karya Siswa Magister Manajemen Proyek Konstruksi Universitas Parahyangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email :
[email protected],
[email protected]
Abstract The failure of construction may negatively impact on the quality of building construction, especially for the service user/owner as owner. This study aims to determine the dominant factors causing the failure of efforts to reduce the construction and construction failure. Using multivariant analysis and factors with the help of the program Statistical Package for Social Science (SPSS) version 22.0 for Windows. From the results of calculation of Relative Importance Index (RII) obtained the main factors causing the failure of construction, namely: aspects of service providers/ contractors (Related Skills/Training Training and sloppiness of Labor as well as the use of materials under Standart), aspects of planning consultants (Design & Specifications Not Available Standart technical & Rules) and the General Conditions aspect is Legal. Measures to reduce construction failure, namely: Need held a training and certification of construction of buildings to increase the ability and skills of the workforce in construction building of buildings should be to increase the competence of work in the construction world to improve the quality of Human Resources (HR) in the field of construction owned company, which will also be improve the quality of the construction company, to achieve quality objectives, the project design planning must be detailed to facilitate implemantion of construction. Completion of the Act and the Regulations on Construction Failure needs to be done immediately. Review the design needs to be done by the service providers / contractors to facilitate the implementation of construction contractors and Routine Monitoring should be done Engineer / Consultant supervisor so that the quality and the quality of building construction as expected. Keywords: Failure Construction, Dominant Factor, Relative Importance Index (RII) Abstrak Terjadinya kegagalan konstruksi dapat memberikan dampak buruk pada kualitas bangunan konstruksi, terutama bagi pengguna jasa/ owner sebagai pemilik. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor dominan penyebab kegagalan konstruksi dan usaha mengurangi kegagalan konstruksi,menggunakan analisis Multivariant dan faktor dengan bantuan program Statistical Package for Social Science (SPSS) for Windows version 22.0. Dari hasil Perhitungan Relative Importance Index (RII) diperoleh faktor utama penyebab terjadinya kegagalan konstruksi yaitu: aspek penyedia jasa/ kontraktor (terkait Keterampilan/Pelatihan dan Kecerobohan Tenaga Kerja serta penggunaan Material di bawah Standart), aspek konsultan perencana (Desain & Spesifikasi Tidak Sesuai Standart Teknis & Peraturan) dan aspek Ketentuan Umum adalah Masalah Hukum. Tindakan-tindakan untuk mengurangi kegagalan konstruksi yaitu : Perlu di adakan pelatihan dan sertifikasi tenaga konstruksi gedung untuk menambah kemampuan dan keterampilan tenaga kerja di bidang konstruksi banguan gedung Perlu peningkatan kompetensi kerja dalam dunia konstruksi untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang konstruksi yang dimiliki perusahaan, yang juga akan meningkatkan kualitas perusahaan jasa konstruksi, Untuk mencapai sasaran mutu proyek maka perencanaan desain harus mendetail untuk memudahkan dalam pelaksanaan konstruksi. Penyempurnaan Undang-undang dan Peraturan tentang Kegagalan Konstruksi perlu dilakukan segera. Review desain perlu dilakukan oleh penyedia jasa/ kontraktor untuk memudahkan kontraktor dalam pelaksanaan konstruksi dan Pengawasan Rutin harus dilakukan Engineer/Konsultan pengawas agar mutu dan kualitas bangunan konstruksi sesuai dengan yang diharapkan. Kata Kunci: Kegagalan Konstruksi, Faktor Dominan, Relative Importance Index (RII) 1 - 10
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
1. PENDAHULUAN
2. TINJAUAN PUSTAKA
Sekarang ini, semakin meningkatnya kebutuhan akan banguanan gedung sebagai tempat permukiman, perkantoran, industri, fasiliatas-fasilitas umum lainnya. Oleh karena kebutuhan bangunan gedung tersebut maka berkembang pula perusahaan jasa konstruksi. Namun industri jasa konstruksi tersebut mengalami berbagai kendala atau masalah dalam pelaksanaannnya. Masalah yang terjadi merupakan penyebab kegagalan konstruksi pada bangunan gedung yang sedang dibangun. Hal ini mendorong Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagai payung hukum terhadap kegiatan jasa konstruksi.
2.1 Pengertian Kegagalan Konstruksi
Industri Jasa konstruksi merupakan industri yang sangat berisiko, karena pekerjaannya dilakukan di alam terbuka, sehingga cuaca dan kondisi alam sangat berpengaruh dalam tahap pelaksanaan konstruksi. Kualitas yang buruk atau cacat mutu pada proses pembangunan gedung yang telah selesai atau dalam tahap pelaksanaan pembangunan akan mengakibatkan kegagalan konstruksi. Kegagalan konstruksi yang berupa robohnya bangunan gedung sehingga menimpa gedung lainnya yang ada di sekitar bangunan gedung tersebut dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Dalam pembangunan suatu gedung harus sesuai kontrak perjanjian yang telah disepakati oleh pengguna jasa konstruksi dan penyedia jasa konstruksi. Apabila terjadi kegagalan konstruksi akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang terlibat langsung dalam proses pembangunan maupun pihak luar yang tidak terlibat. Besarnya kebutuhan akan sarana gedung sebagai tempat industri, perkantoran, hotel, dan lain sebagainya maka diadakan proyek konstruksi yang melibatkan pihak konsultan perencana, pengguna jasa,/ owner, penyedia jasa / kontraktor dan konsultan pengawas/ engineer. Apa faktor dominan ap penyebab kegagalan konstruksi pada bangunan gedung di provinsi Jawa Barat menurut persepsi pengguna jasa dan penyedia jasa? Tujuan penelitian adalah menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor dominan penyebab kegagalan konstruksi pada bangunan gedung di provinsi Jawa Barat. .Tindakan-tindakan apa saja yang perlu lakukan untuk mengurangi terjadinya kegagalan konstruksi pada banguanan gedung tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pelaku industri konnstruksi dalam mengurangi terjadinya kegagalan konstruksi, terutama pada konstruksi bangunan gedung yang akan datang.
Menurut N. Ananda Coomarasamy, Senior Civil Engineer, Construction and Maintenance Department Port of Singapore Authority, “Construction Related Structural Failures”, International Conference on Struktural Failure, ICSF 87, Singapore, 31-31 March 1987 mengemukakan, Struktural failure may be defined as the behaviour or performance of a structure not in agreement with the expected condition of stability and desired service. Failure can also refer to total collapse and defects of such nature that are irrepairable or uneconomical to repair for proper usage. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pasal 31 mendefinisikan kegagalan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaaan sebagaimana yang disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat dari kesalahan dari pengguna jasa atau penyedia jasa. Pada tahun 2001 HAKI mencoba mendefinisikan kegagalan konstruksi yang dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, definisi umumnya yaitu suatu bangunan baik sebasgian maupun keseluruhan dinyatakan mengalami kegagalan bila tidak mencapai atau melampaui nilai-nilai kinerja tertentu (persyaratan minimum, maksimum, dan toleransi) yang ditentukan oleh Peraturan, Standar dan Spesifikasi yang berlaku saat itu sehingga bangunan tidak berfungsi dengan baik. Lembaga Perlindungan Konsumen dan Industri Jasa Konstruksi Indonesia (LKJK-I) juga menerangkan definisi kegagalan konstruksi sebagai rendahnya mutu yang meliputi cacat fisik dan cacat prosedur hingga terjadi keruntuhan konstruksi, disfungsi bangunan, high cost economics, dimana dapat menimbulkan sengketa konsumen jasa konstruksi, yang berujung pada kerugian masyarakat secara materil, imateril, ekonomi, cacat hingga kematian. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kegagalan konstruksi merupakan bukti dan indikator tindak pidana korupsi di sektor konstruksi. 2.2. Penyebab Kegagalan Konstruksi
Menurut Feld dan Carper (1997), struktur bangunan
apabila terjadi kegagalan konstruksi bisa disebabkan oleh : 1. Pemilihan lokasi yang berisiko: daerah yang rawan gempa, angin yang cukup kencang atau perbedaan ketinggian tanah, atau kondisi tanah yang labil atau ekspansif. Meskipun demikian selama risiko tersebut dapat diidentifikasi secara tepat, misalnya dengan dilakukan penyeledikan-
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 11
Vol.02 No.02 Desember 2016
penyelidikan khusus (tambah biaya) dan selanjutnya diperhitungkan secara baik pula maka tentunya hal tersebut tidak menjadi masalah. 2. Ketentuan proyek yang tidak jelas: akibat tidak terjadinya komunikasi yang baik antara pemilik dan pelaksana proyek maka dapat terjadi bahwa ekspektasi pemilik ternyata berbeda dengan yang dia harapkan pada awal mulanya. 3. Kesalahan perencanaan: akibat gambar dan spesifikasi yang tidak lengkap, pemilihan sistem struktur yang rentan kerusakan atau detail yang rawan terhadap kerusakan jangka panjang (misal rangka atap menggunakan baja ringan, penutup atapnya menggunakan genteng pelentong), atau karena perencananya sendiri tidak mempunyai kompetensi yang cukup (asal dapat menjalankan program komputer rekayasa dan langsung mengadopsi hasil, meskipun sebenarnya mengandung kesalahan). 4. Kesalahan pelaksanaan: misal pada penggalian tanah, kecelakaan alat, urutan pelaksanaan atau metode pelaksanaan yang tidak disesuaikan dengan perencanaannya, atau mengganti spesifikasi dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan yang tidak halal. 5. Material yang tidak bermutu: meskipun ada sampel material yang diuji dan telah memenuhi spesifikasi teknis yang ada tetapi dapat saja terjadi cacat yang tidak terdeteksi dan baru ketahuan setelah ada kegagalan sehingga tidak bisa dikategorikan kesalahan perencana atau pelaksana. 2.3. Tugas dan Tanggung Jawab Para Pihak Bila Terjadi Kegagalan Konstruksi Menurut Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan jasa Konstruksi Pasal 32 yang berkaitan dengan kegagalan konstruksi beisi sebagai berikut : 1. Perencana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. 2. Pelaksana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi, dan pengawas konstruksi. 3. Pengawas konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi, dan pelaksana konstruksi. 1 - 12
Jurnal INFRASTRUKTUR
4. Penyedia jasa wajib mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan penyedia jasa atas biaya sendiri. 2.4. Pengertian Bangunan Gedung Pengertian bangunan gedung menurut Peraturan Pemerintah No 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 2.5. Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian terdahulu tentang kegagalan kegagalan konstruksi yang terjadi pada proyek konstruksi yang dilakukan oleh 21 peneliti baik dari dalam negeri maupun di luar negeri seperti Nigeria, Palestina,Uni Emirat Arab , Australia, United State dan Negara lainnya. Contoh penelitian Fran Achermann et al. (2005) menggunakan metode GSS (Sport System Group) pada proyek-proyek besar dan kompleks di barat. Dengan mengunakan analisis forensik menemukan adanya kegagalan dalam kontruksi terutama klaim karena keterlambatan proyek dan Janet K. Yates et al. (2002) Penelitian tentang kegagalan konstruksi dengan metode forensic engineering pada OSHA, suatu organisasi yang bergerak dalam bidang Keselamatan dan Administrasi Kesehatan. Hasil investigasi kegagalan konstruksi diselidiki lebih mendalam dan di dokumentasikan sebagai data hasil penelitian. Hasil penelitian tentang kegagalan konstruksi adalah kegagalan yang terjadi selama konstruksi berlangsung dari sistem struktur yang tidak sesuai dengan spesifikasi. 3. METODE PENELITIAN Dengan melihat pada tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor penyebab kegagalan konstruksi pada bangunan gedung di provinsi Jawa Barat yaitu sifatnya objektif, terukur, terbatas, dan data yang hendak diambil adalah melalui kuesioner/survei, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dikuantitatifkan dengan analisis deskriptif. Kuesioner yang dibuat digunakan untuk menganalisis tingkat kepentingan (importance) faktor penyebab/yang mempengaruhi standar, pedoman dan manual pada kegagalan konstruksi banguanan gedung di provinsi Jawa Barat. Responden juga akan diminta pendapatnya tentang seberapa pengaruhya dalam pengalamannya dalam kegagalan konstruksi banguanan gedung tersebut. Sebelum dilakukan penyebaran kuesioner, maka sebelumnya dilakukan pengujian terhadap validitas dan reliabilitas dari kuesioner tersebut. pengujian reliabilitas instrumen
Vol.02 No.02 Desember 2016
dilakukan dengan metode Alpha. Apabila validitas dan reliabilitas dari kuesioner sudah terpenuhi maka dilanjutkan dengan penyebaran kuesioner kepada responden.
jasa/kontraktor yang berada di provinsi Jawa Barat. Setelah uji validitas dan reliabilitas terpenuhi digunakan Skala Likert untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial, dalam penelitian, gejala sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian. (Riduwan, 2007). Tahap Akhir menggunakan Analisis Relative Importance Index (RII) dan Analisis Mann- Whitney, U Test.
Dalam penelitian ini akan menggunakan metode simple random sampling yaitu pengambilan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Jumlah sampel sebanyak 102 responden yang berasal dari pengguna jasa sebanyak 30 responden dari SKPD dan 72 responden penyedia Tabel 1. Faktor Penyebab Kegagalan Konstruksi Bangunan Gedung
Tabel 2. Perbandingan Peringkat RII
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 13
Vol.02 No.02 Desember 2016
4. ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1. Penyebab Kegagalan Konstruksi Bangunan Gedung Di Jawa Barat. Untuk melihat penyebab kegagalan kontruksi pada bangunan gedung di provinsi Jawa Barat ,maka analisis ini menggunakan 30 penyebab kegagalan konstruksi pada bangunan gedung . Dengan asumsi bahwa ke-30 peristiwa tersebut merupakan penyebab yang ditimbulkan oleh pihak-pihak yang terlibat selama proses pelaksanaan. Peristiwa penyebab kegagalan konstruksi pada bangunan gedung diperlihatkan pada tabel 1.
dalam pelaksanaan konstruksi - Pengawasan Rutin harus dilakukan Engineer/ Konsultan pengawas agar mutu dan kualitas bangunan konstruksi sesuai dengan yang diharapkan 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data terhadap penyebab kegagalan konstruksi pada banguanan gedung di provinsi Jawa Barat dapat disimpulkan sebagai berikut :
Hasil dari kuesioner di analisis dahulu dengan menggunakan analisis Relative Importance Index (RII) yang hasilnya terlihat pada tabel 2 dari pendapat pengguna jasa dan penyedia jasa dan gabungan dari ke-2 pihak tersebut.
1. Hasil identifikasi terdapat 30 (tiga puluh) faktorfaktor penyebab kegagalan konstruksi pada bangunan gedung di provinsi Jawa Barat yang dikelompokkan menjadi 6(enem ) aspek pihak yang terlibat dalam pembangunan proyek konstruksi.
Hasil dari kuesioner di analisis dahulu dengan menggunakan analisis Relative Importance Index (RII) yang hasilnya terlihat pada tabel 2 dari pendapat pengguna jasa dan penyedia jasa dan gabungan dari ke-2 pihak tersebut.
Untuk mencegah terjadinya kegagalan konstruksi pada bangunan gedung di provinsin Jawa Barat perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
2. Lima peringkat teratas menurut persepsi Pengguna Jasa/Owner dan Penyedia Jasa/Kontraktor (gabungan kedua pihak) yaitu : Kurangnya Keterampilan/Pelatihan bagi Tenaga Kerja menempat peringkat pertama dengan nilai RII tertinggi yaitu 0,714, Desain & Spesifikasi yang Tidak Sesuai Standar Teknis & Peraturan berada diurutan ke-2 dengan nilai RII 0,712, urutan ke-3 yaitu Kecerobohan Tenaga Kerja dengan nilai RII 0,709, sedangkan peringkat ke-4 yaitu Masalah Hukum dengan nilai RII 0,703 dan Menggunakan Material di bawah Standart peringkat ke-5.
- Perlu di adakan pelatihan dan sertifikasi untuk menambah kemampuan dan keterampilan tenaga kerja di bidang konstruksi banguan gedung.
3. Penilaian kriteria terhadap kegagalan konstruksi masih perlu di kembangkan lagi untuk mereduksi subyetifitas penilai ahli.
- Jumlah tenaga ahli teknis yang dipersyaratkan dalam dokumen kontrak harus sesuai dengan yang melaksanakan pekerjaan konstruksi di lapangan.
5.2. Saran
4.2. Tindakan preventif mencegah kegagalan konstruksi
- Perlu di adakan pelatihan dan sertifikasi untuk menambah kemampuan dan keterampilan tenaga kerja di bidang konstruksi banguan gedung - Perlu peningkatan kompetensi kerja dalam dunia konstruksi untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki perusahaan, yang juga akan meningkatkan kualitas perusahaan jasa konstruksi, - Untuk mencapai sasaran mutu proyek maka peencanaan desain harus secara sistematis, terperinci dan mendetail pada setiap tahap proyek dan langkah-langkah pelaksanaan konstruksi. - Penyempurnaan Undang-undang dan Peraturan tentang Kegagalan Konstruksi perlu dilakukan segera - Review desain perlu dilakukan oleh penyedia jasa/ kontraktor untuk memudahkan kontraktor 1 - 14
Jurnal INFRASTRUKTUR
Perlu menganalisis lebih mendalam penyebab kegagalan konstruksi pada bangunan gedung yang terjadi di provinsi Jawa Barat dan untuk mengurangi harus ada sanksi yang lebih tegas lagi DAFTAR PUSTAKA Achermann, Fran and Aden, Colin, (2005) “ Using Causal Mapping with Group Support Systems to Elicit an Understanding of Failure in Complex Projects: Some Implications for Organizational Research” Barrie, D.S., and Paulson, B.C., Professional Construction Management. Mc. Graw-Hill,New York, 1992. Feld, J. and Carper, K. (1997).Construction Failure. John Wiley &Sons, New York. Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Bangunan Gedung.
Vol.02 No.02 Desember 2016
Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.29 Tahun 2006 (PERMEN PU NO 29 / PRT / 2006) tentang persyaratan Teknis Bangunan Gedung. Riduwan (2007). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung : cetakan kedelapan, Alfabeta. Tumilar, Steffie ,2006 “Latar Belakang dan Kriteria Dalam Menentukan Tolak Ukur Kegagalan Bangunan” HAKI, Jakarta , Mei 2006. Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, 2007, Bandung Citra Umbara. Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Yates K, Janet and Lockley, E . Edward ,2002 “Decumenting And Analyzing Construction Failures”.
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 15
Vol.02 No.02 Desember 2016
IDENTIFIKASI KEBOCORAN PIPA PDAM KOTA MALANG DENGAN METODE STEP TEST Zahra Aulia Syahidah1 , Suprapti Bintari2 Direktorat Jenderal Cipta Karya
[email protected];
[email protected]
Abstract PDAM Malang who has successfully served of clean water needs until 80.4 %, still face the potential loss that caused by water losses. Total water losses of PDAM Malang in 2013 are 26.92 %. One of the problem is because of pipeline leak. It is necessary to test the pipeline for identification of leak location, so that PDAM Malang can perform curative action appropriately. Pipeline leak testing conduct at District Meter Area (DMA) Wendit, on Malang City aims to identify the point of leakage and determine action for further improvement. In addition, this study aims to assess the magnitude of the losses of PDAM Malang due to water losses. The method is performed by step test method which are directly applicable on the field at night. Then the result and financial analysis are analyzed with qualitative and quantitative method. The result of step test indicate that pipeline on Amandit street are in the classes of high leak, with the value of dQ/dSR 0,1011. Priority handling of the leak will be started from this area. The usage of step test method has been assist PDAM Malang to decreasing the precentage of water losses of 3 % per month, so that it could be increasing the revenue until Rp. 1.033.000,00 per month. When the handling of water losses not taken immediately, the estimated of loss is about Rp. 32.441.472,00 per month or Rp 413.297.664,00 per year. Keywords : Step test, Pipeline leakage, District Meter Area (DMA), PDAM Malang. Abstrak PDAM Kota Malang yang telah berhasil melayani kebutuhan air bersih sebesar 80.4%, masih menghadapi potensi kerugian akibat kehilangan air. Total kehilangan air yang dialami PDAM Kota Malang tahun 2013 adalah sebesar 26.92%. Salah satu penyebab kehilangan air ini adalah kebocoran pipa. Perlu dilakukan uji identifikasi lokasi kebocoran pipa, sehingga PDAM Kota Malang dapat melakukan tindakan kuratif secara tepat. Pengujian kebocoran pipa yang dilakukan di District Meter Area (DMA) Wendit Kota Malang bertujuan untuk mengidentifikasi titik kebocoran air dan menentukan langkah perbaikan selanjutnya. Selain itu, penelitian ini bertujuan menaksir besarnya kerugian yang dialami PDAM Kota Malang akibat kehilangan air. Metode yang dilakukan menggunakan metode step test secara langsung di lapangan pada malam hari. Setelah itu dilakukan analisis hasil dan analisis keuangan secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil uji step test menunjukkan pipa yang berada di Jl. Amandit berada dalam klasifikasi kelas bocor yang tinggi, dengan nilai dQ/dSR sebesar 0,1011. Prioritas penanganan kebocoran akan dimulai dari area ini. Penggunaan metode step test telah membantu PDAM Kota Malang menurunkan presentase kehilangan air sebesar 3% per bulannya, sehingga dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp 1.033.000,00 per bulan. Jika penanganan kebocoran air tidak segera dilakukan, maka estimasi kerugian mencapai Rp 32.441.472,00 per bulan atau Rp 413.297.664,00 per tahun. Kata kunci : Step test, Kebocoran Pipa, District Meter Area (DMA), PDAM Kota Malang
1 - 16
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
1. PENDAHULUAN Sejalan dengan adanya program penyehatan PDAM di seluruh Kabupaten/Kota oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR, maka PDAM di seluruh Indonesia berupaya keras meningkatkan kinerja mereka. Untuk mewujudkan pelayanan prima dalam penyediaan air bersih, PDAM Kota Malang terus berusaha memuaskan pelanggannya. Hingga tahun 2014, PDAM Kota Malang telah berhasil melayani kebutuhan air bersih siap minum kepada masyarakat sebesar 80,4% dan saat ini PDAM Kota Malang tengah bekerja keras dalam mewujudkan program pemenuhan target 100% akses aman air minum. Namun demikian, PDAM Kota Malang masih menghadapi potensi kerugian akibat kehilangan air. Data tahun 2013, menunjukkan total kehilangan air yang dialami PDAM Kota Malang adalah sebesar 26,92% sehingga mengakibatkan potensi kerugian finansial. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kehilangan air akibat kebocoran pipa adalah menggunakan metode step test. Step test merupakan teknik untuk mencari lokasi/area dengan jumlah kehilangan air terbesar. Pencarian lokasi tersebut berdasarkan pembagian wilayah DMA (District Meter Area). DMA telah sempurna dan terisolasi dengan baik (tidak ada cross connection aliran air dengan DMA lain) menjadi faktor penting keberhasilan penaksiran kebocoran melalui metode ini. Untuk mendukung penggunaan metode ini, PDAM Kota Malang telah memasang meter induk di 130 DMA dari total 155 DMA yang telah terbentuk. Tujuan dilakukannya step test di PDAM Kota Malang adalah untuk mengidentifikasi titik kebocoran air dan menentukan langkah perbaikan selanjutnya. Pada penelitian ini juga akan ditaksir besarnya kerugian komersial yang dialami PDAM Kota Malang akibat kehilangan air. Dengan demikian, diharapkan pemeliharaan jaringan perpipaan yang dilakukan PDAM dapat terbantu dan berjalan efektif, sehingga pada akhirnya dapat menekan persentase kehilangan air fisik yang dialami PDAM Kota Malang. Selain itu, dapat pula meningkatkan produktivitas, kinerja dan meningkatkan pendapatan PDAM Kota Malang. 2. TINJAUAN PUSTAKA Sistem distribusi air minum adalah sistem yang langsung berhubungan dengan konsumen, yang mempunyai fungsi pokok mendistribusikan air yang telah memenuhi syarat ke seluruh daerah pelayanan. Sistem ini meliputi unsur sistem perpipaan dan perlengkapannya, hidran kebakaran, tekanan tersedia, sistem pemompaan (bila diperlukan), dan reservoir distribusi (Enri Damanhuri, 1989). Sistem distribusi air minum ini terdiri atas perpipaan, katup-katup, dan pompa yang membawa air dari reservoir menuju pemukiman, perkantoran dan industri yang mengkonsumsi air. Juga termasuk dalam sistem ini adalah fasilitas penampung air yang telah
diolah (reservoir distribusi), meter air untuk menentukan banyak air yang digunakan, dan keran kebakaran. Dua hal penting yang harus diperhatikan pada sistem distribusi adalah tersedianya jumlah air yang cukup dan tekanan yang memenuhi (kontinuitas pelayanan), serta menjaga keamanan kualitas air. Kehilangan air adalah selisih antara volume input sistem dan konsumsi resmi. Kehilangan air dalam suatu perencanaan sistem distribusi ini selalu terjadi. Kehilangan air terdiri dari 3 macam (Modul Ajar Sistem Penyaluran Air Minum Teknik Lingkungan ITS, 2010), yakni : 1. Kehilangan air rencana Kehilangan air yang dialokasikan untuk melancarkan operasi dan pemeliharaan fasilitas penyediaan air bersih. Kehilangan air ini akan diperhitungkan dalam penetapan harga air dimana biaya akan dibebankan pada konsumen. 2. Kehilangan air percuma Kehilangan ini menyangkut aspek penggunaan fasilitas penyediaan air bersih serta pengelolaannya. Hal ini sangat tidak diharapkan dan harus diusahakan untuk ditekan dengan cara penggunaan dan pengelolaan fasilitas air bersih secara baik dan benar. Kehilangan air percuma ini dibagi menjadi 2 macam yaitu: a. Leakage (bocor) berarti kehilangan air percuma pada komponen fasilitas yang tidak dikendalikan dengan baik oleh pengelola. b. Wastage (terbuang), berarti kehilangan air percuma pada proses pemakaian fasilitas oleh konsumen. 3. Kehilangan air insidentil Kehilangan air diluar kekuasaan manusia misalnya bencana alam. Secara umum, kehilangan air dapat berupa kehilangan fisik dan non-fisik (Malcolm Farley, et al., 2008). Kehilangan fisik berupa kebocoran pada pipa distribusi dan transmisi, kebocoran dan luapan dari tangki penyimpanan PDAM, dan kebocoran di pipa dinas hingga ke meter pelanggan. Kehilangan non-fisik berupa konsumsi tak resmi (pencurian), sambungan pipa ilegal, ketidakakuratan meter pelanggan, dan kesalahan penanganan data. Dalam merencanakan distribusi air minum ini, harus memperhitungkan kebocoran agar titik pelayanan tetap dapat terpenuhi kebutuhannya akan air. Untuk menjaga kuantitas dan kontinuitas pelayanan air minum maka diperlukan pemeliharaan jaringan perpipaan, dimana sistem perpipaan air minum tentunya tidak dapat lepas dari adanya kemungkinan
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 17
Vol.02 No.02 Desember 2016
kebocoran. Dalam mengidentifikasi kebocoran air, terdapat 2 metode identifikasi yang biasa dilakukan (Modul Ajar Sistem Penyaluran Air Minum Teknik Lingkungan ITS, 2010), yaitu:
dilakukan pemberian nomor valve secara berurutan.
1. Tes Isolasi Zona
1. Alat ukur debit (Ultrasonic Flow Meter)
Sistem perpipaan dibagi kedalam zona–zona perpipaan yang disebut waste zone. Tes ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa aliran air yang masuk ke dalam zona hanya aliran yang melewati meter air pada titik tapping (satu titik tapping) pada zona jaringan tertentu.
2. Alat ukur tekanan (manometer)
2. Step Test
6. Blanko step test
Step test merupakan teknik untuk mencari area dengan jumlah kehilangan air terbesar. Pencarian lokasi tersebut berdasarkan pembagian wilayah DMA (District Meter Area). Waktu pelaksanaannya pada waktu terjadinya AMM (Aliran Malam Minimum). Bila pada malam hari dimana pada umumnya tidak ada pemakaian air oleh pelanggan, tetapi dalam pendataan melalui pemeriksaan meter air pada suatu DMA menunjukkan terdapat AMM, berarti kemungkinan terjadi kebocoran pada salah satu area. Jika lokasi kebocoran telah ditemukan (di dalam jaringan transmisi atau distribusi), pihak PDAM perlu mengetahui berbagai jenis kebocoran, dampak waktu bocor atau ALR pada total volume kehilangan fisik. Jenis dan lokasi (misalnya pipa utama atau pipa dinas) satu semburan berpengaruh pada total waktu bocor Malcolm Farley, et al., 2008), yaitu:
Kelengkapan yang diperlukan dalam uji step test ini adalah:
3. Alat buka tutup valve (spendel) 4. Alat komunikasi (HP atau HT) 5. Alat penerangan
Gambar 1. Ultrasonic Flow Meter Sumber: Dokumentasi Penulis, 2015
a. Semburan yang dilaporkan Terlihat dan biasanya dilaporkan dengan cepat oleh masyarakat atau teramati oleh staf perusahaan air minum. Waktu kesadaran pendek. b. Semburan yang tidak dilaporkan Biasanya terjadi di bawah tanah dan tidak terlihat di permukaan. Semburan seperti ini biasanya ditemukan selama survei deteksi kebocoran dan seringkali ada waktu kesadaran yang panjang tentang kebocoran. c. Kebocoran kecil (Background leakage) Akumulasi kebocoran-kebocoran yang sangat kecil yang sulit dan tidak efektif dari segi biaya untuk dideteksi dan diperbaiki satu persatu. 3. METODE PENELITIAN Metode yang dilakukan menggunakan metode step test secara langsung di lapangan. Step test ini dilakukan di District Meter Area (DMA) Wendit Malang pada tanggal 28 Oktober 2015 pada waktu pemakaian air minimum yaitu antara pukul 23.00 – 02.00 WIB. Jaringan yang akan dilakukan pengujian terdiri dari 5 valve yang berada di Jl. Kampal hingga Jl. Kapuas. Untuk mempermudah identifikasi valve 1 - 18
Jurnal INFRASTRUKTUR
Gambar 2. Skematik DMA Wendit, Kota Malang Sumber: PDAM Kota Malang, 2015 Step test dimulai dari mengukur dan mencatat debit awal yang tertera pada watermeter induk, menutup valve mulai dari lokasi valve yang terjauh dari meter induk, lalu membuka valve mulai dari lokasi
Vol.02 No.02 Desember 2016
Gambar 3. Metodologi Penelitian Sumber: Pengolahan Penulis, 2015 valve yang terdekat dari meter induk. Kemudian mencatat debit air saat valve dibuka dan ditutup. Dengan demikian, akan diketahui secara pasti lokasi yang diduga mengalami kebocoran. Data sekunder berupa peta jaringan distribusi diperoleh dari pihak PDAM Kota Malang serta untuk tarif pelayanan air minum berdasarkan Peraturan Walikota Malang Nomor 39 Tahun 2014. Analisis hasil dijabarkan secara kualitatif deskriptif, sedangkan untuk analisis keuangan dijabarkan secara kuantitatif. 3.1. HASIL STEP TEST
Data debit yang diperoleh merupakan titik stabil debit sesaat setelah valve ditutup. Losses merupakan selisih antara debit di suatu valve dengan debit di valve sebelumnya. SR (Sambungan Rumah) menunjukkan jumlah pelanggan yang terhubung dalam pipa tersebut. Nilai yang diperhatikan adalah perbandingan antara nilai debit (dQ) dengan jumlah sambungan rumah (dSR). Hasil uji step test menunjukkan pipa yang berada di Jl. Amandit (valve 4) memiliki kelas bocor yang tinggi, dengan dQ/dSR sebesar 0,1011. Tekanan dalam pipa berkisar antara 1,7 – 1,9 atm. Prioritas penanganan dan perbaikan akan dilakukan pada lo-
Tabel 1. Hasil Pengujian Kebocoran Pipa
Keterangan : Evaluasi Kelas Bocor Rendah: 0,001 - 0,0049 Evaluasi Kelas Bocor Sedang: 0,005 - 0,019 0,02
Evaluasi Kelas Bocor Tinggi: ≥
kasi ini, dilanjutkan lokasi dengan kelas bocor sedang. Hal ini dimaksudkan untuk mengefektifkan penanganan kebocoran pipa sehingga dapat menghemat biaya pemeliharaan. Untuk kebocoran dengan kelas bocor rendah, tidak dilakukan penananJurnal INFRASTRUKTUR
1 - 19
Vol.02 No.02 Desember 2016
gan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan kebocoran ini sulit dan tidak efektif dari segi biaya untuk dideteksi dan diperbaiki satu persatu. Hasil ini harus diverifikasi dengan menggunakan analisis komponen (pendekatan top-down) atau pengkajian kehilangan fisik (pendekatan bottom up). Pengujian step test di PDAM Kota Malang ini telah memenuhi syarat karena DMA yang telah sempurna dan terisolasi dengan baik (tidak ada cross connection aliran air dengan DMA lain) menjadi faktor penting keberhasilan penaksiran kebocoran melalui metode ini. Untuk mendukung penggunaan metode ini, PDAM Kota Malang telah memasang meter induk di 130 DMA dari total 155 DMA yang telah terbentuk. Kelemahan metode step test ini adalah terjadinya pemutusan aliran sementara sehingga pelanggan tidak mendapatkan air dalam waktu pengujian berlangsung. Selain itu, terdapat resiko berupa kontaminasi melalui lubang bocor pada jaringan saat pengisian air kembali ke dalam pipa. Pemakaian air oleh pelanggan pada saat step test juga tidak mudah dikontrol, oleh karena itu Net Night Flow sulit dicapai. Namun, metode step test ini sangat direkomendasikan dan dianggap masih relevan untuk diaplikasikan. 4. HASIL OBSERVASI DAN PEMBAHASAN Kebocoran pipa yang terjadi di Jl. Amandit (valve 4) ini dapat terjadi karena berbagai hal seperti kebocoran pipa itu sendiri, pemasangan aksesoris yang kurang sempurna, atau kualitas aksesoris yang rendah. Secara umum, tiga komponen utama kehilangan fisik antara lain adalah: 1. Kebocoran dari pipa transmisi dan distribusi. Kebocoran ini biasanya merupakan peristiwa besar berupa semburan-semburan. Karena ukuran dan visibilitasnya, semburan dilaporkan dengan cepat dan kemudian diperbaiki atau dimatikan segera sesudahnya. 2. Kebocoran dan limpahan dari reservoir dan tanki penyimpanan perusahaan air minum. Kebocoran ini dapat diukur dengan mengamati limpahan dan memperkirakan durasi rata-rata dan laju aliran peristiwa limpahan tersebut. Kebanyakan limpahan terjadi saat malam hari ketika kebutuhan akan air rendah dan oleh karenanya perlu untuk melakukan pengamatan rutin setiap malam terhadap setiap reservoir. Pengamatan-pengamatan ini dapat dilakukan baik secara fisik atau dengan memasang satu alat penyimpan data (data logger) yang kemudian akan mencatat tinggi permukaan reservoir secara otomatis dalam interval yang telah ditentukan sebelumnya. 3. Kebocoran pada pipa dinas hingga ke meter pelanggan. Jenis kebocoran seperti ini biasanya 1 - 20
Jurnal INFRASTRUKTUR
lebih sulit dideteksi dan menghasilkan volume kehilangan fisik yang terbesar. Untuk memastikan penyebab kebocoran tersebut, perlu dilakukan tindak lanjut dengan mendeteksi titik kebocoran menggunakan alat sebagai berikut: 1. Alat perekam suara (leak noise logger) Leak noise logger ini menyempitkan area DMA yang berisi dugaan kebocoran. Alat ditempatkan di area survei dengan setiap logger ditempatkan pada satu hidran, meter, atau surface fitting lainnya. Suarasuara yang diduga disebabkan oleh kebocoran dapat dikonfirmasikan, lalu lokasi kebocoran dapat ditemukan dibantu dengan menggunakan peralatan lain seperti ground microphone. 2. Korelator suara kebocoran (leak noise corellator) Instrumen ini menggunakan velositas suara yang diakibatkan kebocoran ketika melewati dinding pipa menuju masing-masing dari dua mikrofon yang ditempatkan pada fittings di salah satu sisi dugaan kebocoran. Keefektifan proses ini tergantung pada kekuatan suara bocor dan kemampuan bahan pipa untuk menjadi penghantar suara. 3. Ground microphone Mikrofon ini secara elektronik melipatgandakan suara kebocoran. Ia dapat dipasang untuk digunakan baik dalam mode kontak atau survei. Mode kontak untuk suara pada fitting, serupa dengan pipa suara elektronik. Mode survei digunakan untuk mencari kebocoran-kebocoran pada sisi panjang jalur pipa antara fitting. Teknik mencakup penempatan mikrofon di atas tanah pada interval-interval di sepanjang pipa dan mengidentifikasi perubahan peningkatan suara ketika mikrofon mendekati posisi kebocoran. Ketika kebocoran terdeteksi oleh alat perekam suara kebocoran (leak noise loggers) atau korelator suara kebocoran (leak noise correlator), PDAM bisa menggunakan salah satu dari dua mode untuk menentukan lokasi kebocoran. Pengurangan resiko kebocoran akibat kualitas alat dan aksesoris yang rendah, telah dilakukan PDAM Kota Malang dengan melakukan pengujian alat terlebih dahulu sebelum digunakan secara tetap, untuk memastikan agar alat dan aksesoris tersebut memiliki kualitas prima. PDAM Kota Malang melakukan uji step test sebanyak 6 kali (dalam 2 tim) setiap bulannya untuk menekan angka kebocoran pipa. Semakin cepat operator menganalisis data aliran DMA, semakin cepat semburan atau kebocoran dapat diketahui lokasinya. Sejauh ini PDAM Kota Malang telah berhasil menerapkan metode step test dengan efektif dan terus berupaya melakukan perbaikan. PDAM Kota Malang telah berhasil mengurangi kebocoran sekitar 3% per bulannya, dan bukan mustahil pada tahun 2019
Vol.02 No.02 Desember 2016
PDAM Kota Malang dapat menekan angka kebocoran hingga 0%. Hal tersebut dapat dijadikan pembelajaran dan contoh baik bagi PDAM di seluruh Indonesia.
an air tidak segera dilakukan, maka estimasi kerugian mencapai Rp 32.441.472,00 per bulan atau Rp 413.297.664,00 per tahun.
4.1. Analisis Kerugian
5.2. Saran
Biaya air yang hilang adalah nilai air yang hilang melalui kehilangan fisik maupun nonfisik. Volume kehilangan fisik harus dikalikan dengan biaya operasional yang berubah-ubah termasuk tenaga kerja, bahan kimia dan listrik. Volume kehilangan nonfisik harus dikalikan dengan tarif pelanggan rata-rata. Seiring dengan meningkatnya NRW, biaya yang ditanggung karena kehilangan air akan meningkat secara proporsional. Untuk menghitung jumlah kerugian yang dialami PDAM jika tidak melakukan penanganan kehilangan air, dapat dilakukan perhitungan sederhana. Debit air terproduksi PDAM sebesar 1660 liter/detik. Tarif air rata-rata PDAM Kota Malang untuk kelompok Rumah Tangga berdasarkan Peraturan Walikota Malang Nomor 39 Tahun 2014 Tanggal 15 Oktober 2014 adalah Rp. 2.800,- dengan pemakaian 0-10 m3 setiap SR (Sambungan Rumah). Jika kehilangan air sebanyak 26,92% setara dengan 447 liter/detik, maka kehilangan air dapat mencapai 3.862 m3/hari. Dalam 1 bulan, kehilangan air mencapai 115.862 m3. Jika dikalikan dengan jumlah tarif air Rp. 2.800,00 maka kerugian PDAM dalam 1 bulan mencapai Rp 32.441.472,00. Jumlah kerugian yang akan dialami cukup tinggi sehingga memerlukan penanganan dan tindak lanjut dengan mengupayakan perbaikan fisik dan non-fisik, meliputi perbaikan jaringan perpipaan yang bocor maupun aksesoris yang rusak, maupun perbaikan administrasi seperti pembacaan dan pencatatan meteran pelanggan yang tepat. PDAM Kota Malang yang telah berhasil mengurangi kebocoran sekitar 3% per bulannya, telah meningkatkan pendapatan sebesar Rp 1.033.000,00 per bulan.
Untuk meningkatkan kinerja penggunaan metode step test di PDAM Kota Malang, maka diperlukan penambahan pengadaan alat pendeteksi titik kebocoran seperti ground microphone, agar tindak lanjut penanganan kebocoran dapat segera dilakukan, tanpa adanya hambatan kekurangan alat. Selain itu, diperlukan penelitian lanjutan mengenai waktu efektif pembacaan watermeter saat debit mencapai titik stabil, sehingga data debit yang diperoleh lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA Agustina, Dian Vita. 2007. Analisa Kinerja Sistem Distribusi Air Bersih PDAM Kecamatan Banyumanik Studi Kasus Perumnas Banyumanik, Kelurahan Srondol Wetan. Tesis. Semarang: Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro. Damanhuri, Enri. 1989. Pendekatan Sistem Dalam Pengendalian dan Pengoperasian Sistem Jaringan Distribusi Air Minum. Bandung: Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITB. Farley, Malcolm, et al. 2008. The Manager’s NonRevenue Water Handbook: A Guide to Understanding Water Losses. Bangkok: USAID & Ranhill Tim Penulis. 2010. Modul Ajar Sistem Penyaluran Air Minum. Surabaya: Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh November.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa pengujian dengan metode step test secara efektif dapat mengidentifikasi lokasi kebocoran dengan tepat, yang selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan mendeteksi titik kebocoran menggunakan alat perekam suara (leak noise logger), korelator suara kebocoran (leak noise corellator), dan ground microphone. Pengujian step test di PDAM Kota Malang ini telah memenuhi syarat karena DMA yang telah sempurna dan terisolasi dengan baik (tidak ada cross connection aliran air dengan DMA lain) menjadi faktor penting keberhasilan penaksiran kebocoran melalui metode ini. Penggunaan metode step test telah membantu PDAM Kota Malang menurunkan presentase kehilangan air sebesar 3% per bulannya, sehingga dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp 1.033.000,00 per bulan. Jika penanganan kebocorJurnal INFRASTRUKTUR
1 - 21
Vol.02 No.02 Desember 2016
PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KETERJANGKAUAN DAYA BELI MASYARAKAT MENGGUNAKAN CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM) Studi Kasus : PDAM Kota Bukittinggi, Sumatera Barat Ricky Fernandez1, Suprihanto Notodarmojo2
1
Satker Tanggap Darurat Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya Teknik Lingkungan ITB
2
Jalan. Pam Baru I No. 1 Pejompongan Jakarta Pusat dan 2Jalan Ganesha 10 Bandung 40132
1
Email :
[email protected] dan
[email protected]
Abstract This study aims to provide recommendation alternatives of drinking water supply system in Bukittinggi city West Sumatera based on the selection of the best system and financial feasibility by the affordability of community purchasing ability consideration. Results of the CVM method shows that the value of ability to pay (ATP) is Rp. 3.732 /m3 and value of Willingness To Pay (WTP) is Rp. 7.442 /m3. The result of analysis show that system 4 has the best financial feasibility by the affordability of community purchasing ability consideration. This system use Sutijo Waters spring with capacity 300 liters/second and established in two phase: phase I (2016-2024) with capacity 100 liters/second and phase II (2024-2035) with capacity 200 liters/second. This system need total investment in phase I is Rp. 39.529.387.287 and phase II is Rp. 39.529.387.287. Investment of this system will be funded through “penyertaan modal pemerintah” program, 100% raw water unit will be funded by APBN through Directorate General of Water Resources, 70% of production unit will be funded by APBN through Directorate General of Human Settlements and 30% will be funded by APBD of Bukittinggi city, 30% of distribution network will be funded by APBD of Bukittinggi city and 70% will be funded by Bank loan. With water sales rate is Rp. 3.700/m3, this financing scheme is financial feasible with NPV Rp. 55.580.153.601, BCR 1,25 and BEP in 7 years with production cost Rp. 2.432/m3. This result of sensitivity analysis shows that this system is still feasible with risk of 10% increase in operating and capital cost, also 10% decrease in revenue. Keyword : drinking water system development, affordability of community purchasing ability, CVM, financial feasibility. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memberikan sebuah alternatif sistem pengembangan air minum di Kota Bukittinggi Sumatera Barat yang layak secara finansial dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat untuk air minum. Hasil penelitian keterjangkauan daya beli masyarakat untuk air minum dengan menggunakan Contingent Valuation Method (CVM) menunjukan bahwa nilai yang mampu dibayar oleh masyarakat (Ability To Pay/ATP) adalah sebesar Rp. 3.732/m3 sementara nilai yang mau dibayar masyarakat dengan adanya peningkatan pelayanan (Willingness To Pay) adalah sebesar Rp. 7.442/m3. Berdasarkan nilai keterjangkauan daya beli masyarakat tersebut maka sistem 4 merupakan sistem terpilih karena memiliki kelayakan finansial yang terbaik dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Sistem 4 merupakan sistem pengembangan air minum dengan menggunakan mata air Sutijo sebagai sumber air baku dengan kapasitas 300 L/detik. Pembangunan akan dilaksanakan melalui dua tahap, tahap I pada tahun 2016-2024 sebesar 100 L/detik dan tahap II pada tahun 2024-2035 sebesar 200 L/detik. Sistem ini membutuhkan biaya investasi pada tahap I sebesar Rp. 39.529.387.287 dan tahap II sebesar Rp. 64.821.997.789. Kebutuhan investasi akan didanai melalui penyertaan modal pemerintah dimana unit air baku 100% dibiayai oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, unit produksi 70% dibiayai oleh Direkrtorat Jenderal Cipta Karya dan 30% melalui pinjaman Bank sementara unit distribusi 30% dibiayai oleh APBD Kota Bukittinggi dan 70% melalui pinjaman Bank. Dengan penggunaan tarif dasar air minum sebesar Rp. 3.700/m3 maka skema pembiayaan ini layak secara finansial dengan nilai NPV, BCR dan BEP secara berurutan sebesar Rp. 55.580.153.601, 1,25 dan 7 tahun serta Harga Pokok Produksi sebesar Rp. 2.432/m3. Analisa sensitivitas menunjukan bahwa sistem ini masih layak untuk dilaksanakan dengan adanya resiko kenaikan biaya operasional, kenaikan biaya investasi, dan penurunan pendapatan air masing-masing sebesar 10%. Kata kunci : Pengembangan sistem penyediaan air minum, keterjangkauan daya beli masyarakat, Contingent Valuation Method (CVM), kelayakan finansial
1 - 22
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
1. PENDAHULUAN
sebagai berikut :
Kota Bukittinggi merupakan salah satu kota yang terletak di Sumatera Barat dengan jumlah penduduk 126.896 jiwa. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bukittinggi merupakan salah satu unit usaha milik daerah yang bertanggung jawab dalam pelayanan air bersih bagi masyarakat. Saat ini PDAM Kota Bukittinggi memiliki jumlah pelanggan ± 13.800 pelanggan aktif dan ± 3.900 pelanggan non aktif. Pelanggan non aktif adalah pelanggan PDAM yang telah diputus sambungan langsung ke tempat tinggalnya akibat sejumlah persoalan. Berdasarkan data yang didapat bahwa pelayanan PDAM Kota Bukittinggi sampai tahun 2014 baru mencapai 42.56%. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya jumlah penduduk yang semakin meningkat yang tidak sebanding dengan sumber air baku yang diolah. Peningkatan pertumbuhan penduduk yang cukup signifikan di Kota Bukittinggi membuat PDAM Kota Bukittinggi kesulitan untuk menyediakan air bersih, hal ini juga tidak didukung dengan penambahan sumber air baku baru. Akibatnya banyak pelanggan yang selalu kecewa dengan pelayanan PDAM.
1. Metode Aritmatik
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 18/PRT/M/2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyedian Air Minum menyatakan bahwa dalam perencanaan pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) perlu disusun studi kelayakan pengembangan salah satunya dengan memperhatikan keterjangkauan daya beli masyarakat. Maka dari itu dalam penelitian ini akan diketahui keterjangkauan daya beli masyarakat untuk air minum sehingga akan diperoleh alternatif pengembangan sistem penyediaan air minum yang layak secara finansial dan sesuai dengan keterjangkauan daya beli masyarakat. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metode CVM CVM menggunakan pendekatan secara langsung yang pada dasarnya menanyakan kepada masyarakat berapa besarnya Willingness to Pay (WTP) untuk manfaat tambahan dan/atau berapa besarnya Willingness to Accept (WTA) sebagai kompensasi dari kerusakan lingkungan (Merryna, 2009). Perbandingan teknik CVM dengan teknik lainnya untuk perbaikan lingkungan ditunjukan pada Tabel 1.
2. Metode Geometrik 3. Metode Regresi Linear 4. Metode Eksponensial 5. Metode Logaritmik Dari kelima metode diatas untuk memproyeksikan jumlah penduduk, harus dipilih satu metode yang paling mewakili pola pertumbuhan penduduk di wilayah perencanaan, dengan cara melakukan perhitungan faktor korelasi, standar deviasi dan keadaan perkembangan Kota/Kabupaten di masa yang akan datang. Metode proyeksi penduduk yang dipilih adalah metode yang memiliki nilai faktor korelasi yang paling besar (paling mendekati 1) dan nilai standar deviasi paling kecil. 2.3. Proyeksi Kebutuhan Air Dalam perencaan suatu Sistem Penyediaan Air Minum, perlu diketahui jumlah kebutuhan dan pemakaian air. Kebutuhan air dipengaruhi oleh jumlah populasi penduduk, musim, iklim, kebiasaan dan pola hidup masyarakat, fasilitas plumbing yang tersedia dan kegiatan industri (Andey et al. 2009 dalam Dewi 2015). 2.4. Analisa Hidrolis (EPANET) EPANET adalah program komputer yang dapat menampilkan simulasi hidrolis dan kualitas air dalam jaringan pipa bertekanan. Program ini dapat mengidentifikasi aliran air dan headloss dalam setiap pipa dan tekanan pada setiap node selama periode simulasi. EPANET adalah alat bantu analisis hidrolis yang mampu (Rossman, 2000 dalam Dewi 2015) : 1. Menganalisis jaringan seluas mungkin tanpa batasan tertentu 2. Menghitung kehilangan tekan akibat friksi dengan menggunakan persamaan Hazen-William, Darcy-Weisbach, atau Chezy-Manning 3. Menghitung headloss minor untuk bend, fitting, dan sambungan lain 4. Menghitung energi pompa dan biaya yang diperlukan
2.2. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk
5. Memodelkan berbagai jenis valve
Dalam melakukan prediksi laju pertumbuhan penduduk, dapat digunakan beberapa metode statistik
6. Memungkinkan perhitungan untuk berbagai bentuk tangki penampungan
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 23
Vol.02 No.02 Desember 2016
7. Memperhitungkan berbagai kategori demand pada setiap node dengan pola dan variasi waktu masing-masing 8. Memodelkan berbagai emitter (kepala sprinkler) 9. Dapat dioperasikan dengan sistem dasar pada tangki sederhana dan pada kontrol waktu yang lebih kompleks 2.5 Analisa Finansial Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Kelayakan Investasi Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum, dalam menganalisa kelayakan finansial suatu proyek perlu dibuat suatu proyeksi keuangan proyek yang mencakup sebagai berikut:
Rencana ini menggambarkan proyeksi tarif yang direncanakan. 5. Proyeksi Cashflow Proyek SPAM Proyeksi cashflow dilakukan dengan menghitung rencana cash-in dan rencana cash-out proyek selama periode operasional proyek. a. Rencana cash-in proyek, yaitu pendapatan penjualan air, pendapatan sambungan baru, pendapatan biaya administrasi, dan pendapatan biaya beban) b. Rencana cash-out proyek, yaitu biaya operasional (gaji pegawai, listrik, bahan kimia, pembelian air curah), biaya non operasional (penyusutan dan bunga tahun berjalan), biaya pemeliharaan, pajak, dan angsuran hutang pokok pinjaman.
1. Rencana Investasi Proyek
6. Valuasi Kelayakan Proyek
Rencana ini menggambarkan besaran total investasi proyek SPAM berdasarkan rencana teknis SPAM mencakup unit air baku, unit produksi, dan unit distribusi, serta tahapan pembangunannya.
Merupakan hasil perhitungan kelayakan keuangan proyek yang terdiri atas Net Present Value (NPV),Benefit Cost Ratio (BCR) dan Break Event Point (BEP) serta analisa sensitivitas proyek yang direncanakan.
2. Pembiayaan Investasi Rencana ini menggambarkan porsi pembiayaan investasi pembangunan aset-aset produktif SPAM, baik berupa porsi dana equity maupun porsi dana pinjaman. 3. Rencana Volume Air Terjual Rencana ini menggambarkan proyeksi air terjual dalam satuan m3/tahun. 4. Rencana Proyeksi Tarif
7. Proyeksi Neraca dan Rugi Laba Proyek Merupakan proyeksi perhitungan rugi laba dan neraca proyek. 3. METODE PENELITIAN Untuk mengukur nilai keterjangkauan daya beli masyarakat yakni nilai Willingness To Pay (WTP) maka digunakan metode Contingent Valuation Method (CVM). CVM merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai yang diberi-
Tabel 1. Perbandingan Metode Valuasi Ekonomi Lingkungan
Sumber : Hoevanagel dalam Merryna 2009
1 - 24
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
kan seseorang untuk memperoleh suatu barang (Willingness To Pay, WTP) (Carson dkk, dalam Zakaria, 2013). Nilai tersebut dapat ditentukan dengan bertanya kepada seseorang untuk memberikan sejumlah satuan yang ingin dibayarkan. Dalam penelitian ini kuisioner adalah teknik yang dipakai dalam penentuan nilai tersebut dengan metode permainan penawaran (bidding games). Alasan pemilihan metode bidding game karena hanya metode ini yang secara tegas mencerminkan nilai maksimum WTP. Pada metode ini responden akan ditawarkan beberapa nilai yang mau dibayar untuk peningkatan pelayanan air minum. Nilai maksimum yang mau dibayar oleh responden merupakan nilai WTP dari responden tersebut. WTP dapat diduga dengan menggunakan nilai rata-rata dari penjumlahan keseluruhan nilai WTP dibagi dengan jumlah responden. Nilai WTP dihitung dengan menggunakan persamaaan 1 (Amanda, 2009). (Pers.1)
= Nilai rata-rata WTP
Wi
= Nilai WTP ke-i
n
Penyebaran kuesioner dilakukan apabila kuesioner dinyatakan valid dan reliabel. Secara umum, ukuran sampel yang dibutuhkan dapat dihitung dengan menggunakan rumus Slovin yang ditunjukan pada persamaan III.1. (Pers.3) Keterangan : n = ukuran sampel N = ukuran populasi E = persen kesalahan pengambilan sampel (10%) Jika jumlah Kepala Keluarga Kota Bukittinggi adalah 23.652 KK maka jumlah sampel yang dibutuhkan adalah :
Dimana : WTP
responden (Afroz dkk., 2009). Analisa diskriminan bertujuan untuk mengetahui berapa faktor yang akan terbentuk dari faktor-faktor yang didapat melalui analisa faktor sehingga memberikan sebuah bentuk persamaan diskriminan dari faktor-faktor terpilih.
= 99.57 ≈ 108 sampel
= Jumlah responden
Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa pelayanan yang telah diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap ideal. Analisa ATP dibuat berdasarkan pengeluaran untuk biaya air bersih dari penghasilan per keluarga per bulan dan jumlah pemakaian air bersih per keluarga per bulan. Persamaan yang dipakai untuk perhitungan nilai ATP adalah (Nasrullah dkk, 2006) : (Pers.2) Dimana : It = Total pendapatan keluarga perbulan (Rp/bulan) Pp = % pengeluaran untuk air besih per bulan dari total pendapatan keluarga (%) Tt = Total pemakaian air bersih keluarga per bulan (m3/bulan) Untuk menentukan faktor-faktor yang apa saja yang mempengaruhi nilai kemauan membayar masyarakat maka dilakukan dengan menggunakan analisa faktor dengan menggunakan software SPSS. Analisa faktor dilakukan untuk mengetahui apakah variabelvariabel tersebut secara bersama-sama (serentak) memberi pengaruh terhadap kemauan membayar
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dimana teknik sampling dengan menggunakan acak tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam anggota populasi tersebut. Penggunaan sampling ini didasarkan pada alasan di mana besarnya WTP dan ATP yang diestimasi akan memiliki nilai yang berbeda-beda untuk masing-masing pelanggan Rumah Tangga. (Irawan,2009). Perhitungan proyeksi pertumbuhan penduduk dilakukan untuk mengetahui perkiraan jumlah penduduk di wilayah rencana pengembangan di masa yang akan datang. Perhitungan proyeksi penduduk digunakan dengen beberapa metode diantaranya metode Aritmatik, Geometrik, Regresi Linear, Eksponensial, Logaritmik. Selanjutnya dilakukan analisa kelayakan proyek yang mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Kelayakan Investasi Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Alternatif Pengembangan SPAM Dalam pemgembangan Sistem Penyediaan Air Minum di Kota Bukittinggi digunakan 6 alternatif
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 25
Vol.02 No.02 Desember 2016
sistem. Alternatif sistem 1 - 3 mempunyai perbedaan yang cukup nyata, dimana alternatif sistem 1 dengan memanfaatkan sumber mata air dengan jarak yang cukup jauh ke reservoir, sementara alternatif sistem 2 dengan memanfaatkan sumber air sungai Batang Sianok yang cukup dekat ke reservoir. Sedangkan alternatif sistem 3 merupakan gabungan antara alternatif 1 dan 2. Alternatif sistem 4 – 6 pada dasarnya sama dengan alternatif 1 – 3, namun pada sistem 4 – 6 ren-
dua tahap, dimana tahap I (2016-2024) dan tahap II (2025-2035). Sehingga nanti akan dilihat sistem alternatif mana yang layak secara finansial dan terjangkau oleh daya beli masyarakat untuk setiap tarif yang akan ditetapkan. Semua alternatif pengembangan sistem penyediaan air minum yang akan direncanakan melayani wilayah administratif Kota Bukittinggi yang terdiri dari 3 Kecamatan ; Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh, Kecamatan Guguk Panjang dan Kecamatan mandiangin Koto Selayan. Selain itu jaringan yang direncanakan dalam penelitian ini hanya sampai jaringan distribusi utama. 4.2. Analisa Teknis
Gambar 1. Aspek kuantitas air PDAM
Berdasarkan analisa hidrolis menggunakan software Epanet 2.0 didapatkan bahwa semua alternatif sistem pengembangan SPAM sudah sesuai dengan kriteria teknis SNI 06-4829-2005 mengenai kecepatan, headloss dan tekanan . 4.3. Analisa Keterjangkauan Daya Beli Masyarakat Berdasarkan hasil olahan data kuisioner, pelayanan PDAM berdasarkan aspek kuantitas, kontiniutas, kualitas serta rata-rata tagihan per bulan dari responden secara berurutan ditunjukan pada Gambar 1, 2, 3 dan 4.
Gambar 2. Aspek kontiniutas air PDAM
Gambar 3. Aspek kualitas bau air PDAM
Berdasarkan aspek kuantitas hanya sebanyak 10% responden menyatakan sangat memenuhi, 51% responden menyatakan pengaliran air 7 hari dalam seminggu dan 8% responden menyatakan pengaliran selama 24 jam, sementara dari aspek kualitas hanya sebanyak 8% responden menyatakan bahwa tidak pernah terdapat bau pada air PDAM. Berdasarkan analisa persepsi ini dapat diketahui bahwa dari aspek kuantitas, kontiniutas dan kualitas pada umumnya belum memenuhi kebutuhan masyarakat kota Bukittinggi. Dengan perhitungan statistik didapatkan nilai rata-rata tagihan air PDAM responden adalah sebesar Rp. 67.172 per bulan. 4.3.1. Nilai ATP Dari hasil kuisioner diperoleh nilai rata-rata pendapatan keluarga, rata-rata pengeluaran air bersih, serta persentase pengeluaran air bersih per bulan sehingga dapat dihitung nilai ATP rata –rata sebesar :
Gambar 4. Tagihan air PDAM per Bulan cana pengembangan SPAM akan dibagi menjadi
1 - 26
Jurnal INFRASTRUKTUR
Dari persamaan diatas didapatkan nilai ATP ratarata sebesar Rp. 4.051/m3. Jika dibandingkan den-
Vol.02 No.02 Desember 2016
gan penggunaan Upah Minimum Provinsi Sumatera Barat sebesar Rp. 1.615.000 dan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum yang menyatakan bahwa tarif air minum tidak boleh melebihi rata-rata persentase pengeluaran air bersih sebesar 4% dari total pendapatan maka didapatkan nilai ATP rata-rata adalah :
Berdasarkan hasil diatas, nilai ATP yang didapat melalui data primer dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan nilai ATP jika menggunakan Upah Minimum Provinsi (UMP), dimana nilai ATP dari data primer sebesar Rp. 3.732/m3 dan nilai berdasarkan Upah Minumum Provinsi (UMP) sebesar Rp. 3.588/ m3 dengan selisih nilai ATP sebesar Rp. 144/m3 4.3.2. Nilai WTP Hasil perhitungan rata-rata nilai WTP dari responden ditunjukan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai rata-rata WTP
membeli jasa atau barang yang ditawarkan tanpa memikirkan untuk mencari alternatif lain (Nasrullah dkk, 2006). Selain itu, nilai ATP yang didapat lebih kecil dari nilai WTP sehingga dapat dikatakan bahwa kemauan membayar masyarakat untuk membayar pelayanan PDAM lebih besar daripada kemampuannya. Jika dibandingkan dengan tarif ditetapkan oleh pemerintah saat ini adalah sebesar Rp. 800/m3 hal ini sudah sesuai dengan daya beli masyarakat. Namun apabila dilihat dari nilai ATP dan WTP dapat dikatakan bahwa masyarakat masih mampu dan mau membayar lebih dari tarif yang ditetapkan sekarang dengan harapan adanya peningkatan pelayanan. Hal ini menjelaskan bahwa ada potensi untuk meningkatkan jaringan pelayanan PDAM di Kota Bukittinggi dengan melihat kemampuan dan kemauan membayar masyarakat yang cukup tinggi. Hasil analisa faktor menunjukan bahwa faktor kontiniutas dan kualitas adalah faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kemauam membayar masyarakat dengan model persamaan sebagai berikut : WTP = 0.357 Kontiniutas + 0.228 Kualitas 4.4. Analisa Finansial 4.4.1. Kebutuhan Investasi Tabel 3. Kebutuhan Investasi
Perbandingan nilai tarif pdam, nilai ATP tahun 2009, nilai ATP berdasarkan Upah Minimum Provinsi, serta nilai ATP dan WTP berdasarkan hasil penelitian ini ditunjukan pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa tarif yang berlaku saat ini lebih kecil dari nilai ATP dan WTP. Kondisi ini menunjukan bahwa kemam4.4.2. Proyeksi Volume Air Terjual
Gambar.5 Perbandingan nilai ATP, WTP dan tarif puan masyarakat sangat baik, karena tarif yang diberlakukannya ternyata lebih kecil dari daya beli masyarakat. Pada kondisi ini masyarakat mampu
Gambar 6. Proyeksi Volume Air Terjual
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 27
Vol.02 No.02 Desember 2016
4.4.3. Proyeksi Biaya Operasional dan Pemeliharaan Tabel 4. Biaya Operasional dan Pemeliharaan
Gambar 8. Proyeksi Pendapatan Tarif III 4.4.4. Proyeksi Pendapatan
4.4.5. Proyeksi Cashflow
Tabel 5. Tarif Dasar Air Minum Berdasarkan Keterjangkauan Daya Beli Masyarakat
Gambar 9. Proyeksi Cashflow Tarif I
Gambar 6. Proyeksi Pendapatan Tarif I
Gambar 10. Proyeksi Cashflow Tarif II
Gambar 7. Proyeksi Pendapatan Tarif II
Gambar 11. Proyeksi Cashflow Tarif III
1 - 28
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
4.4.6. Valuasi Kelayakan Proyek Tabel 6. Rekapitulasi Analisa Kelayakan Finansial Untuk Setiap Alnternatif Sistem dan Tarif
detik. Nilai investasi yang dibutuhkan untuk sistem ini pada tahap I sebesar Rp. 39,529,387,287 dan pada tahap II sebesar Rp. 64,821,997,789. Skema pembiayaan terpilih adalah skema pembiayaan dimana unit air baku 100% dibiayai oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, unit produksi 70% dibiayai oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya dan 30% melalui pinjaman Bank, sementara unit distribusi 30% dibiayai oleh APBD Kota Bukittinggi dan 70% melalui pinjaman Bank. Berdasarkan analisa finansial sistem pembiayaan ini layak dengan penggunaan tarif 0–10 m3 sebesar Rp. 3.700/m3, 10-20 m3 sebesar Rp. 5.700/m3 dan >20 m3 sebesar Rp. 7.700m/3. Skema pembiayaan ini menghasilkan nilai NPV, BCR dan BEP secara berurutan sebesar Rp. 55,580,153,601, 1.25 dan 7 tahun dengan harga pokok produksi sebesar Rp. 2.432/m3.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Nilai kemauan membayar masyarakat (Willingness To Pay /WTP) jika ditawarkan adanya peningkatan pelayanan adalah sebesar Rp. 7.442/m3 sementara nilai kemampuan membayar masyarakat (Ability To Pay /ATP) sebesar Rp. 3.732/m3. Nilai kemauan membayar (WTP) yang lebih besar daripada kemampuan membayar (ATP) menunjukan bahwa adanya keinginan yang sangat tinggi dari masyarakat untuk peningkatan pelayanan air minum di Kota Bukittinggi. Nilai yang didapat dengan metode ini tidak jauh berbeda jika menggunakan ketentuan Permendagri No 23 Tahun 2006 dan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatera Barat. Selain itu evaluasi metode ini juga menunjukan bahwa metode CVM yang digunakan dalam penelitian ini mampu menjelaskan 87% faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan membayar masyarakat untuk pengembangan sistem penyediaan air minum. Berdasarkan analisa finansial yang dilakukan dengan mempertimbangkan nilai keterjangkauan daya beli masyarakat maka alternatif sistem terpilih adalah sistem pengembangan penyediaan air minum dengan menggunakan Mata Air Sutijo sebesar 300 L/detik yang akan dibangun melalui dua tahap : tahap I (2016-2025) dengan kapasitas 100 L/detik dan tahap II (2026-2035) dengan kapasitas 200 L/
Analisa sensitivitas terhadap alternatif sistem pengembangan dengan skema pembiayaan dan tarif terpilih menunjukan terjadi perubahan nilai kelayakan finansial untuk setiap perubahan parameter. Namun jika dilihat secara umum bahwa dengan adanya perubahan parameter seperti kenaikan biaya operasional, kenaikan biaya investasi dan penurunan pendapatan, alternatif sistem pengembangan penyediaan air minum terpilih di Kota Bukittinggi masih layak untuk dilaksanakan 5.2. Saran 1. PDAM Kota Bukittinggi harus mempunyai aturan yang jelas untuk setiap pelanggaran oleh pelanggan terutama dalam penggunaan pompa oleh pelanggan untuk mengalirkan air agar sampai ke rumah. Hal ini akan mengakibatkan distribusi air yang tidak merata kepada setiap pelanggan. 2. Keterjangkauan daya beli masyarakat hendaknya menjadi pertimbangan PDAM, Pemerintah Daerah dan DPRD dalam penetapan tarif air minum. 3. Sebaiknya PDAM Kota Bukittinggi melakukan penyesuaian tarif untuk air minum mengingat tarif yang ada sekarang tidak layak secara finansial untuk pengembangan SPAM di Kota Bukittinggi, selain itu nilai keterjangkauan daya beli masyarakat masih jauh diatas nilai tarif yang berlaku sekarang. 4. Dalam penyebaran kuisioner untuk mengukur nilai keterjangkauan daya beli masyarakat sebaiknya digunakan teknik sampling proportionate stratified random sampling yakni pengambilan sampel yang dilakukan secara acak dan berstrata secara porposional. Hal ini bertujuan agar nilai Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 29
Vol.02 No.02 Desember 2016
yang diperoleh mewakili semua masyarakat baik yang berpenghasilan tinggi maupun berpenghasilan sedang dan rendah. 5. Sebaiknya dilakukan analisa lebih rinci untuk keandalan sumber air baku yang digunakan sebagai sumber air minum untuk menjamin ketersediaan air baku selama periode perencanaan. DAFTAR PUSTAKA Armijo, Carlos Quintanilla. Pineda, Felipe Perez (2012) : Estimating Willingness to Pay and Financial Feasibility in Small Water Project in El Salvador. Journal of Business Research 66 (2013) 1750-1758. Badan Pusat Statistik Kota Bukittinggi. (2014) : Bukittinggi Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kota Bukittinggi, Bukittinggi. Brouwer, Roy. Khan, Nasreen Islam. Yang, Hong (2012) : Household’s Willingness to Pay for Arsenic Safe Drinking Water in Bangladesh. Journal of Enviromental Management 143 (2014) 151-161. Dinas Prasarana, Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat (2014). : Penyusunan Studi Kelayakan SPAM Regional Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. Dinas Prasarana, Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat, Padang. Evangelinos.K.I, Halvadakis.C.P, Jones.N, Polyzou.E, : Willingness To Pay for Drinking Water Quality Improvement and The Infuence of Social Capital . The Journal of Socio-Economics 40 (2011) 74-80. Fitria Aidillah., Siswanto., Ari Sandhyavitri. : Analisa Willingness To Pay (WTP) dan Kebutuhan Air Bersih Di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Riau, Pekanbaru. He, Jie. Kamata, Takuya. Kim, Yoonhee. Wang, Hua. (2013) : Willingness To Pay for Water Quality Improvments in Chines Reivers. Journal of Enviromental Management 131 (2013) 256269. Ntengwe, F.W (2004) : The Impact of Consumer Awareness of Water Sector Issues on Willingness To Pay and Cost Recovery in Zambia . Physic and Chemistry of the Earth 29 (2004) 1301-1308. 1 - 30
Jurnal INFRASTRUKTUR
PDAM Kota Bukittinggi Pemerintah Kota Bukittinggi. (2006) : Coorporate Plan. PDAM Kota Bukittinggi Pemerintah Kota Bukittinggi, Bukittinggi. PDAM Tirta Jam Gadang Kota Bukittinggi. (2015) : Laporan Kinerja Untuk Tahun Buku Yang Berakhir Tanggal 31 Desember 2014. PDAM Tirta Jam Gadang Bukittinggi, Bukittinggi. PDAM Tirta Jam Gadang Kota Bukittinggi. (2014) : Proposal Reklasifikasi Pelanggan dan Perhitungan Tarif. PDAM Tirta Jam Gadang Bukittinggi, Bukittinggi. Pemerintah Kota Bukittinggi Dinas Pekerjaan Umum. (2010) : Penyusunan Master Plan / Rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum Kota Bukittinggi. Pemerintah Kota Bukittinggi Dinas Pekerjaan Umum, Bukittinggi. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 21/ PRT/M2009 Tentang Pedoman Teknis Kelayakan Investasi Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Putri, Nessa Riana dkk. (2015) : Analisa Willingness To Pay (WTP) dan Kebutuhan Air Bersih Di Kota Pekanbaru. Jom FTEKNIK Volume 2 No. 1 Februari 2015. Sembiring, Emenda (2011) : Ekonomi Teknik. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Setiawan, Endang. (2013) : Telaah Terhadap Kemauan Membayar Tinjauan Konsep dan Metode Serta Potensi Aplikasi. Bandung. Zakaria, Rasdiana. (2013) : Analisis Kemauan Membayar Untuk Peningkatan Kualitas Pengelolaan Sampah di Kota Makassar Menggunakan Contingent Valuation Method. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Vol.02 No.02 Desember 2016
UPAYA TEKNIS PERBAIKAN DEFISIENSI KESELAMATAN AKIBAT KETIDAKTEPATAN GEOMETRIK JALAN DAN PENYALAHGUNAAN RUANG BAGIAN JALAN (Studi Kasus: Ruas Jalan Nasional Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates) Tisara Sita1, M. Fathoni Jalaluddin2 Satker P2JN Prov. D. I. Yogyakarta, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected],
[email protected]
Abstract
The national highway Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates is one of the roads in Yogyakarta with a relatively high accident rate. This statement indicates that this road has deficiency of infrastructure or road safety deficiency. Therefore, it is necessary to identify road geometric problems and abusement of road space utilization, thus technical recommendations can be obtained to achieve the principles of forgiving road, self-explaining road, self-regulating road, and self-enforcing road. Technical recommendations to improve road safety deficiencies obtained through field observation by dividing roads into four segments and then examine the problems of: (1) the geometric conditions; (2) the condition of the pavement; (3) harmonization of signs and markings; and (4) abusement of road space utilization. The results showed that the improvement of road safety deficiencies in the accident-prone locations prioritized to: (1) the widening of the road; (2) improvement of transverse slope; (3) maintenance of pavement; (4) the construction of the road divider; (5) remarking; (6) paved road shoulder; (7) the harmonization of signs and signals; and (8) controlling the use of road space utilization, road space asset, and road space supervision. Keywords: road safety deficiencies, road improvement, forgiving road
Abstrak
Ruas Jalan Nasional Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates merupakan salah satu ruas jalan di Yogyakarta dengan angka kecelakaan yang relatif tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada ruas jalan tersebut terdapat defisiensi keselamatan berkendaraan, oleh karena itu diperlukan identifikasi permasalahan geometrik jalan dan penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan, sehingga didapatkan rekomendasi teknik untuk mencapai prinsip jalan berkeselamatan (forgiving road), self-explaining road, self-regulating road, dan self-enforcing road. Rekomendasi teknik untuk memperbaiki defisiensi keselamatan berkendaraan didapatkan melalui peninjauan lapangan dengan membagi ruas jalan tersebut menjadi empat segmen dan kemudian mencermati permasalahan: (1) kondisi geometrik jalan; (2) kondisi perkerasan jalan; (3) harmonisasi rambu dan marka; dan (4) penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan. Hasil analisis dan pembahasan menunjukkan bahwa penanganan defisiensi keselamatan berkendaraan di lokasi rawan kecelakaan diprioritaskan pada: (1) pelebaran jalan; (2) perbaikan kemiringan melintang; (3) pemeliharaan perkerasan jalan; (4) penambahan median jalan; (5) pemarkaan ulang; (6) perkerasan bahu jalan; (7) harmonisasi rambu dan sinyal; dan (8) penertiban pemanfaatan ruang manfaat jalan (rumaja), ruang milik jalan (rumija), dan ruang pengawasan jalan (ruwasja). Kata kunci: defisiensi keselamatan berkendaraan, perbaikan jalan, jalan berkeselamatan
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 31
Vol.02 No.02 Desember 2016
1. PENDAHULUAN Jalan merupakan infrastruktur fisik yang penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial budaya suatu wilayah. Hal ini didukung dengan sasaran strategis yang ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga Tahun 2015-2019, yaitu meningkatnya dukungan konektivitas bagi penguatan daya saing dan meningkatnya kemantapan jalan nasional, dicapai melalui tiga kegiatan utama, yaitu pengembangan jalan nasional, manajemen aset, serta dukungan terhadap jalan daerah. Salah satu kendala dalam mencapai sasaran strategis tersebut adalah angka kecelakaan lalu lintas yang cukup tinggi. World Health Organization (WHO) dalam Road Map Strategi Nasional Dekade Aksi Keselamatan tentang Global Status Report on Road Safety (2015) menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas telah mengambil sedikitnya 1.25 juta penduduk setiap tahunnya dengan tingkat fatalitas kecelakaan tertinggi pada negara-negara berpenghasilan rendah. Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (2006) menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas 93.52% disebabkan oleh faktor manusia, 3.23% oleh faktor jalan, 2.76% oleh faktor kendaraan, serta 0.49% oleh faktor lingkungan dan cuaca. The Global Competitiveness Report 2014-2015 yang dipublikasikan oleh World Economic Forum (WEF), daya saing atau Global Competitiveness Index (GCI) Indonesia berada pada peringkat ke-34 dunia, sedangkan kualitas infrastruktur Indonesia menempati peringkat ke56 dari 144 negara dunia yang disurvai. Gambaran tersebut memperlihatkan rendahnya kualitas infrastruktur jalan di Indonesia. Mulyono et al. (2010) menyatakan bahwa pengurangan resiko dan potensi kecelakaan dapat dilakukan dengan koordinasi penyelenggara jalan dan pihakpihak terkait yang memiliki wewenang serta kepentingan sektoral yang berbeda, yaitu Ditjen Bina Marga, Ditjen Perhubungan Darat, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta lembaga nonpemerintah serta organisasi masyarakat. Ditjen Bina Marga dan Ditjen Perhubungan Darat merupakan lembaga pemerintah yang menangani infrastruktur keselamatan jalan raya di Indonesia. Ditjen Bina Marga sebagai pihak penyelenggara dan pengelola jalan, memiliki wewenang dan tanggung jawab pokok dalam perencanaan dan desain jalan berkeselamatan, pembangunan dan pemeliharaan jalan, dan perbaikan lokasi rawan kecelakaan. Ditjen Perhubungan Darat memiliki tanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan harmonisasi rambu atau petunjuk keselamatan jalan terhadap fungsi jalan. Permasalahan-permasalahan yang masih sering dijumpai di lapangan antara lain: jalan berlubang dan kerusakan jalan yang tidak segera ditangani, jumlah rambu yang masih kurang dan marka yang tidak jelas, bangunan utilitas atau papan reklame yang 1 - 32
Jurnal INFRASTRUKTUR
mengganggu jarak pandang, dan ketidaksesuaian geometrik jalan terhadap peraturan yang ada. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa infrastruktur jalan yang ada sekarang ini belum memenuhi prinsip a forgiving road environment, a self-explaining road, a self-regulating road, dan a self-enforcing road (Mulyono et al., 2009). Tindakan reaktif dan proaktif harus segera dilakukan untuk menangani defisiensi keselamatan berkendaraan, antara lain dilihat dari sudut pandang persoalan: penyimpangan geometrik jalan, kondisi kerusakan perkerasan, ketidakharmonisan perlengkapan jalan, dan penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan. Penanganan defisiensi keselamatan berkendaraan dilakukan dengan mengamati kondisi lapangan dan mencari rekomendasi atau upaya teknis yang harus segera diimplementasikan sehingga tercipta jalan berkeselamatan atau forgiving road. 1 Penelitian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi teknis yang perlu dilakukan untuk perbaikan defisiensi keselamatan akibat ketidaktepatan geometrik jalan dan penyalahgunaan ruang bagian jalan. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan kepada lembaga penegak aturan berlalu lintas dan memberikan gambaran kepada penyelenggara jalan. Batasan dalam penelitian ini adalah: a. Lokasi penelitian adalah ruas jalan nasional Prov. D. I. Yogyakarta, sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Jalan Nasional No. 631/KPTS/M/2009, yaitu Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates; b. Survei lapangan yang terdiri dari pengukuran empat aspek keselamatan jalan: aspek geometrik jalan, aspek perkerasan jalan, aspek harmonisasi perlengkapan jalan, dan aspek penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan; serta c. Survei dilaksanakan pada Maret 2015. 2. TINJAUAN PUSTAKA
Mulyono et al. (2009) melakukan penelitian mengenai Audit Keselamatan Infrastruktur Jalan (Studi Kasus: Jalan Nasional KM 78-KM 79 Jalur Pantura Jawa, Kabupaten Batang) secara kuantitatif dan kualitatif berdasarkan hasil ukur defisiensi keselamatan di lapangan agar menjadi model evaluasi bagi auditor jalan. Hasil audit keselamatan jalan menunjukkan bahwa beberapa bagian fasilitas jalan berada dalam kategori “bahaya” dan atau “sangat berbahaya”, yang harus segera diperbaiki untuk memperkecil potensi terjadinya kecelakaan, yaitu: aspek geometrik yang meliputi jarak pandang menyiap, posisi elevasi bahu jalan terhadap elevasi tepi perkerasan, radius tikungan; aspek perkerasan yang meliputi kerusakan berupa alur bekas roda kendaraan; dan aspek harmonisasi yang meliputi rambu batas kecepatan di tikungan, lampu penerangan jalan, dan sinyal sebelum masuk tikungan.
Vol.02 No.02 Desember 2016
2.1. Dasar Peraturan Penyelenggaraan jalan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan (UU No. 38/2004), UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU No. 22/2009), Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan (PP No. 34/2006), Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2010 tentang Tata Cara dan Pesyaratan Laik Fungsi Jalan (Permen PU No. 11/2010), Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan (Permen PU No. 19/2011), dan Panduan Teknis Pelaksanaan Laik Fungsi Jalan Ditjen Bina Marga tahun 2012. 2.2. Kecelakaan dan Keselamatan Lalu Lintas
pangan menyimpulkan bahwa kecelakaan lalu lintas dapat dipengaruhi oleh faktor manusia, kendaraan dan lingkungan jalan, serta interaksi dan kombinasi dua atau lebih faktor tersebut di atas (Austroads, 2002, dalam Prihartono, 2012), seperti terlihat pada Gambar 1. Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berdasarkan UU No. 22/2009 adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan, dan/atau lingkungan. Jalan berkeselamatan harus memenuhi empat aspek penting untuk meminimalkan defisiensinya: a forgiving road environment, a self-explaining road, a self-regulating road, dan a self-enforcing road (Mulyono et al., 2009).
3. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di ruas jalan nasional Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates dengan panjang total pengamatan 26,12 km, yang selanjutnya dibagi menjadi empat segmen, seperti terlihat pada Gambar 2 dan Tabel 1.
Gambar 1. Faktor-faktor penyebab kecelakaan Sumber: Austroads (2002) dalam Prihartono (2012)
Survei kondisi lapangan dilaksanakan dengan mengamati dan mencatat berbagai persoalan geometrik jalan dan penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan. Data sekunder yang didapatkan dari Satuan Kerja Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional Provinsi D.I. Yogyakarta (Satker P2JN DIY), antara lain: data ruas jalan nasional Prov. D. I. Yogyakarta, peta jaringan jalan nasional Prov. D. I. Yogyakarta, strip map kondisi jalan nasional Prov. D. I. Yogyakarta, data survei lalu lintas berupa Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) jalan nasional Prov. D. I. Yogyakarta tahun 2014, dan Rencana Strategis (Renstra) program penanganan jalan Prov. D. I. Yo-
Gambar 2. Lokasi Penelitian Kecelakaan lalu lintas menurut UU No. 22/2009 adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Hasil kajian beberapa penelitian dan pengamatan di la-
gyakarta Tahun 2015-2019. Alur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. 3.1. Analisis Data dan Rekomendasi Teknis Analisis data dilakukan dengan mengamati defisienJurnal INFRASTRUKTUR
1 - 33
Vol.02 No.02 Desember 2016
Tabel 1. Segmentasi Lokasi Penelitian
Gambar 3. Alur Penelitian si jalan dan membandingkan dengan peraturan yang berlaku. Aspek yang ditinjau meliputi: (1) kondisi geometrik jalan; (2) kondisi perkerasan jalan; (3) kondisi harmonisasi perlengkapan jalan; dan (4) penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan. Rekomendasi dalam hal ini upaya teknis terhadap defisiensi keselamatan akibat ketidaktepatan penerapan geometrik jalan, kondisi perkerasan jalan, harmonisasi perlengkapan jalan, dan penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan. Rencana strategis (renstra) program penanganan jalan Prov. D.I. Yogyakarta tahun 2015-2019 akan dikemukakan sebagai informasi penanganan jalan yang akan dilakukan oleh penyelenggara jalan, dalam hal ini Ditjen Bina Marga.
1 - 34
Jurnal INFRASTRUKTUR
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Data kecelakaan lalu lintas dari Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah D. I. Yogyakarta mengidentifikasi terdapat empat ruas yang memiliki fungsi dan peran yang sama, dengan tingkat kecelakaan yang relatif tinggi yaitu Jalan Wates, Jalan Magelang, Jalan Yogyakarta-Solo, dan Jalan Lingkar/Ring Road (Anshari, 2013). Lokasi yang ditinjau dalam penelitian ini teridentifikasi sebagai black spot atau daerah rawan kecelakaan di Prov. D. I. Yogyakarta, yaitu ruas jalan nasional Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates. Analisis data dilakukan dengan memberikan rekomendasi teknis sebagai upaya perbaikan defisiensi keselamatan berkendaraan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan. Aspek yang ditinjau meliputi: kondisi geometrik jalan, kondisi perkerasan jalan, kondisi harmonisasi
Vol.02 No.02 Desember 2016
Tabel 2. Rekomendasi Teknis Perbaikan Defisiensi Keselamatan Berkendaraan
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 35
Vol.02 No.02 Desember 2016
Tabel 3. Rencana Strategis Program Penanganan Jalan Prov. D. I. Yogyakarta tahun 2015-2019 di Ruas Jalan Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates
perlengkapan jalan, dan penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan. Hasil pengukuran dan pengamatan lapangan menunjukkan bahwa beberapa defisiensi keselamatan infrastruktur jalan yang memberikan peluang terhadap kejadian kecelakaan berkendaraan, antara lain lebar lajur yang substandard, yaitu penampang melintang badan jalan hanya 2-7-2, bahkan ada lajur yang lebarnya kurang dari 2 meter; tidak ada median jalan, sesuai persyaratan teknis jalan, untuk jalan arteri primer wajib dipisahkan dengan median jalan; ruas jalan tidak memiliki ambang pengaman; kemiringan melintang badan jalan sudah tidak memadai akibat kerusakan permukaan (rutting, lendutan); kondisi permukaan perkerasan jalan sangat licin ketika terjadi hujan karena luasan rutting dan lendutan pada permukaan sudah melebihi ambang batas minimal yang masih diperbolehkan; rambu batas kecepatan dan petunjuk arah yang kurang, serta tidak ada lampu sinyal sehingga pengemudi tidak mengurangi kecepatan ketika melintasi ruas jalan yang menikung walaupun dengan lebar lajur yang sudah standar. Tingkat fatalitas korban kecelakaan yang paling parah terjadi pada kejadian kecelakaan yang dipicu oleh kondisi permukaan jalan yang licin ketika hujan yang didukung oleh kondisi bahu jalan dan guardrail yang kurang memadai. Perletakan rambu batasan kecepatan yang tidak sesuai sehingga pengguna jalan mengemudikan kendaraaannya dengan kecepatan tinggi tanpa informasi yang jelas, serta didukung tidak adanya sinyal peringatan. Kondisi ketidakharmonisan rambu, sinyal, marka, guardrail, dan kondisi bahu jalan terhadap fungsi jalan ini mengindikasikan infrastruktur jalan tidak self explaining road, artinya jalan tidak mampu menjelaskan informasi keselamatan kepada pengguna dengan benar dan tepat, sehingga pengguna kurang hati-hati ketika melintasi ruas jalan yang menikung walaupun lebar lajur yang ada cukup memadai. Kondisi permukaan perkerasan jalan yang licin karena didukung luasan rutting dan lendutan yang melebihi ambang batas minimal dapat mengindikasikan jalan tidak forgiving road, artinya jalan tidak menghargai nyawa pengguna ketika pengguna melakukan kelalaian berbuat kesalahan dengan pengereman mendadak di atas permukaan jalan yang licin. Kondisi lebar jalan yang substandard dan tidak adanya median jalan 1 - 36
Jurnal INFRASTRUKTUR
mengindikasikan bahwa jalan tidak self-regulating road, artinya komponen-komponen jalan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, dalam hal ini Permen PU No. 19/2011. Median jalan juga berfungsi sebagai self-enforcing road, terutama pada akses-akses persil, sehingga dapat memaksa pengguna jalan untuk patuh, tidak menyebrang jalan di lokasi yang rawan kecelakaan. Rekomendasi teknis sebagai upaya perbaikan defisiensi keselamatan berkendaraan dapat dilihat pada Tabel 2. Ditjen Bina Marga, dalam hal ini Satker P2JN DIY selaku penyelenggara jalan, telah menyusun Renstra Program Penanganan Jalan tahun 2015-2019. Program yang telah direncanakan sebagai langkah perbaikan defisiensi keselamatan berkendaraan terkait dengan penanganan di ruas jalan Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates dapat dilihat pada Tabel 3. Aspek yang mempunyai peran penting dalam mengakibatkan defisiensi keselamatan berkendaraan berdasarkan hasil analisis data, antara lain: 1. Defisiensi aspek geometrik jalan, terjadi pada permasalahan berikut ini: a. Lebar lajur kiri jalan yang substandard, yaitu kurang dari 3.5 meter. Hal ini tidak sesuai dengan Permen PU No. 19/2011 yang menyatakan bahwa untuk jalan raya arteri primer lebar jalur lalu lintas adalah 2 x (2 x 3.50) meter untuk jalan raya medan datar dengan LHR 61.000 smp/hari (sesuai data LHR dari Satker P2JN DIY). Dengan demikian, lebar badan jalan maupun lebar rumija dan rumaja juga substandard. Lebar badan jalan yang kurang mengakibatkan kecelakaan akibat volume kendaraan yang tinggi dan ditambah dengan kecepatan yang tinggi. b. Permasalahan tidak adanya median jalan juga sangat berperan dalam defisiensi keselamatan berkendaraan. Jalan raya arteri primer diharuskan menggunakan median untuk menghindari head-on collision. c. Kemiringan melintang badan jalan dan kemiringan pada superelevasi kurang, sehingga mengakibatkan kendaraan tergelincir.
Vol.02 No.02 Desember 2016
d. Tikungan (alinyemen horisontal) dan akses jalan yang terdapat pada lokasi “Tugu Potlot”. Selain itu, banyak warga yang menyebrang jalan, baik pejalan kaki maupun pengendara, tepat di tikungan. Hal ini tentunya sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan kecelakaan yang fatal akibat jarak pandang pengendara yang kurang dan kemiringan alinyemen horisontal yang tidak standar.
kasinya dengan perkerasan jalan karena peran bahu jalan sangat penting untuk mengantisipasi kendaraan yang mengalami overlap karena terlambat mengurangi kecepatan pada saat menikung. Kemiringan melintang pada alinyemen horisontal tidak standar dan tidak dilengkapi dengan marka serta median. Jalan raya arteri primer wajib menggunakan median sebagai pemisah arus lalu lintas berlawanan arah, sesuai Permen PU No. 19/ 2011.
2. Defisiensi aspek perkerasan jalan, terjadi permasalahan pada perkerasan jalan yang mengalami rutting, potholes, maupun deformasi. Kondisi perkerasan jalan yang cukup parah ini mengakibatkan kendaraan tergelincir sehingga terjadi kecelakaan. Hal ini didukung dengan data dari Satker P2JN DIY, bahwa nilai IRI di beberapa spots adalah 6-7. Drainase yang tidak memadai juga mempercepat penurunan umur perkerasan jalan, seperti tidak ada dan tidak terpeliharanya selokan samping.
Perletakan rambu yang diperlukan pada tikungan ini yaitu: rambu peringatan; rambu batas kecepatan; dan rambu petunujuk arah. Rambu yang pertama kali ditempatkan merupakan rambu peringatan mengenai adanya tikungan tajam yang berbahaya. Rambu ini diletakkan 80 m sebelum tikungan, rambu batas kecepatan diletakkan 75 m sebelum tikungan, dan rambu peringatan empat persegi panjang diletakkan 70 m sebelum tikungan. Rambu empat persegi panjang diletakkan sepanjang tikungan, jarak masing-masing rambu disesuaikan dengan kebutuhan (untuk tikungan ini jarak masing-masing rambu adalah 10 m).
3. Defisiensi aspek harmonisasi perlengkapan jalan, terjadi pada permasalahan rambu (rambu batas kecepatan, rambu petunjuk arah dan rambu peringatan), lampu sinyal, lampu penerangan jalan, dan guardrail. Harmonisasi perlengkapan jalan yang tidak memadai ini mengakibatkan pengendara kurang waspada terhadap tikungan tajam dan hambatan lain. 4. Defisiensi aspek penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan, terjadi pada permasalahan penggunaan ruang jalan sebagai tempat usaha, on street parking, media iklan, dan penempatan tiang listrik yang berada di rumaja. Hal ini mengakibatkan badan jalan yang semakin sempit sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan. Aspek-aspek tersebut saling mempengaruhi sehingga mengakibatkan tingkat fatalitas kecelakaan yang lebih besar. Perkerasan yang mengalami rutting dapat menyebabkan kendaraan tergelincir, terutama saat musim hujan. Resiko fatalitas dapat diperkecil apabila tersedia bahu jalan yang memadai, namun pada kondisi di lapangan, bahu jalan kurang memenuhi syarat. Harmonisasi perlengkapan jalan yang kurang memadai dapat membuat pengendara menjadi kurang waspada terhadap adanya tikungan dan hambatan lain, oleh sebab itu dilakukan perbaikan-perbaikan sebagai berikut. 4.1. Upaya Teknis terhadap Defisiensi Kondisi Geometrik Jalan dan Kondisi Harmonisasi Perlengkapan Jalan Kondisi bahu jalan yang kurang memadai karena tidak diperkeras dan lebar badan jalan yang kurang dapat mengakibatkan kecelakaan yang fatal. Hal ini diperparah dengan kerusakan permukaan jalan dapat mengakibatkan kendaraan tergelincir. Perkerasan bahu jalan seharusnya disamakan spesifi-
Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga (1997) menyatakan bahwa dengan jari-jari kelengkungan diasumsikan sebesar 150 m maka batas kecepatan yang diijinkan yaitu 30 km/jam. Perubahan kecepatan yang cukup signifikan ini (dari 80 km/jam ke 30 km/jam) dapat membuat pengemudi merasa terkejut, oleh karena itu diperlukan road humps. Road humps atau di Indonesia disebut dengan polisi tidur merupakan gundukan kecil selebar jalur jalan yang berfungsi untuk memperingatkan pengemudi agar tetap waspada serta memberi kesempatan kepada pengemudi untuk membaca rambu jalan (rambu peringatan, rambu batas kecepatan maupun rambu petunjuk arah). Sinyal peringatan diperlukan agar pengemudi waspada dan mengurangi kecepatan di tikungan. Dengan demikian, maka program aksi yang perlu segera dilakukan adalah pelebaran jalan, perbaikan kemiringan melintang, pemeliharaan perkerasan jalan, penambahan median jalan, pemarkaan ulang, perkerasan bahu jalan, penambahan rambu dan lampu sinyal, serta penambahan road humps, seperti terlihat pada Gambar 4. 4.2. Upaya Teknis terhadap Defisiensi Kondisi Perkerasan Jalan dan Defisiensi Penyalahgunaan terhadap Pemanfaatan Ruang Bagian Jalan Kerusakan perkerasan jalan dan kemiringan melintang (crown) yang kurang akan mengakibatkan kendaraan tergelincir. Hal ini diperparah dengan lebar badan jalan yang kurang dan tidak adanya marka yang jelas, maupun median pemisah jalur kendaraan. Penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan, yaitu penggunaan rumaja sebagai ruang usaha maupun media iklan mengakibatkan jarak pandang pengemudi berkurang dan dapat mengakibatkan kecelakaan. Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 37
Vol.02 No.02 Desember 2016
On-street parking dikarenakan terdapat ruang usaha di rumaja yang tidak mempunyai lahan parkir mengakibatkan badan jalan semakin sempit. Dengan demikian, maka program aksi yang perlu segera dilakukan adalah pelebaran jalan, perbaikan kemiringan melintang, pemeliharaan perkerasan jalan, penambahan median jalan, pemarkaan ulang, penertiban pemanfaatan ruang manfaat jalan (rumaja), ruang milik jalan (rumija), maupun ruang pengwasan jalan (ruwasja), seperti terlihat pada Gambar
angka kecelakaan dapat diturunkan dan tercapai jalan yang berkeselamatan; (3) perlu dilakukan analisis defisiensi keselamatan berkendaraan di ruas jalan lain, sehingga tercipta prinsip jalan yang berkeselamatan (forgiving road), self-explaining road, self-regulating road, dan self-enforcing road; serta (4) perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan detail dengan tinjauan aspek yang menyeluruh, dilengkapi dengan detail ukuran atau dimensi jalan dan jembatan, serta stastioning yang tepat.
Gambar 4. Upaya teknis terhadap defisiensi kondisi geometrik jalan dan kondisi harmonisasi perlengkapan jalan
Gambar 5. defisiensi kondisi perkerasan jalan dan defisiensi penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
DAFTAR PUSTAKA
Defisiensi keselamatan berkendaraan dapat diperbaiki dengan beberapa upaya teknis dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi defisiensi keselamatan berkendaraan dan deskripsi defisiensi keselamatan infrastruktur jalan. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: (1) perlu dilakukan perbaikan geometrik jalan dan penertiban penyalahgunaan pemanfaatan ruang bagian jalan; (2) penyelenggara jalan, dalam hal ini Ditjen Bina Marga dan Ditjen Perhubungan Darat, perlu menindaklanjuti temuan ini sehingga
Anshari, F. (2013). Analisis Daerah Rawan Kecelakaan (Studi Kasus: Ruas Jogja-Solo km 6-16,5; Segmen Jogja Prambanan). Tugas Akhir, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
1 - 38
Jurnal INFRASTRUKTUR
Departemen Pekerjaan Umum, Dirjen Bina Marga. (1997). Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (No. 038/TBM/1997). Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Marga. (2015). Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Bina Marga 2015-2019. Jakarta.
Vol.02 No.02 Desember 2016
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. (2006). Laporan Akhir Pedoman Teknis Kampanye Program Keselamatan. Jakarta: Departemen Perhubungan. Mulyono, A. T., Kushari, B., & Gunawan, H. E. (2009). Audit Keselamatan Infrastruktur Jalan (Studi Kasus Jalan Nasional KM 78-KM 79 Jalur Pantura Jawa, Kabupaten Batang). Jurnal Teknik Sipil , 16 (3), 163-174. Mulyono, A. T., Rusmanawati, D., Budiarto, A. T., & Liady, A. R. (2010). Implementasi Model Audit Defisiensi Keselamatan Infrastruktur Jalan untuk Mengurangi Potensi Kecelakaan Berkendaraan. Simposium XIII FSTPT, Unika Soegijapranata. Semarang. Prihartono, B. (2012, November 21). Koordinasi Keselamatan Jalan (Implementasi RUNK Jalan 2011-2035). Peringatan Hari Korban Kecelakaan Lalu Lintas Sedunia . Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum-Bappenas. World Health Organization. (2015). Global Status Report on Road Safety 2015. Geneva: WHO Press.
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 39
Vol.02 No.02 Desember 2016
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CONTRACT CHANGE ORDER (CCO) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PELAKSANAAN PROYEK KONSTRUKSI PEMBANGUNAN BENDUNG Aceng Maulana Pusat Litbang Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jl. AH. Nasution 264 Bandung E-mail :
[email protected] ABSTRACT The construction project is a series of activities carried out only one time and short term nature. Implementation of the project faced with the problems such Contract Change Order which will result in amendments to the contract. This study is a policy study or applied studies whose purpose is to find or formulate solutions to problems related to the Contract Change Order (CCO) of the Cost variant (different budgets) and Time variant (the time difference). The data used is the dam construction contract document data X. Based on an analysis of all amendments and Influence diagrams of all the factors that influence each other in the end boils down to three variables, namely: Changes in the value of the contract, the contract completion time change, change contract administration, change contract administration is the outcome of all the changes in the contract and the factors that cause changes in the contract. Amendment of the most common is the change in value of the contract caused by escalation (price adjustments) four times, additional work is less based on calculations MC twice, and design changes once. Technically all of the greatest influence and impact on changes in the value of the contract is the design changes that result in the addition of a contract value of 25.11% of the value of the initial contract, followed by escalation of 5.64% and a result of calculation by 3.91% MC. But the greatest influence and impact on the contractual completion timeline changes are extreme weather conditions, removal of quarry locations and additional scope of work that resulted in the addition time for 21.92% of the initial contract period, whereas only design changes resulted in an addition of 10.96% of time contract initially. Keywords: Project Construction, Amendment, price adjustments, changes in time, completion of contract ABSTRAK Proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang hanya satu kali dilaksanakan dan umumnya berjangka pendek. Pelaksanaan proyek dihadapkan pada permasalahan diantaranya Contract Change Order yang akan menghasilkan amandemen kontrak. Penelitian ini merupakan studi kebijakan ataupun studi terapan yang tujuannya adalah untuk mengetahui atau merumuskan solusi terhadap permasalahan terkait Contract Change Order (CCO) terhadap Cost variant (perbedaan anggaran)dan Time variant (perbedaan waktu). Data yang digunakan adalah data dokumen kontrak pembangunan bendung X. Berdasarkan analisis dari semua amandemen dan Influence diagram dari semua faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain pada akhirnya bermuara kepada tiga variable yaitu : Perubahan nilai kontrak, Perubahan waktu penyelesaian kontrak, Perubahan administrasi kontrak, perubahan administrasi kontrak merupakan muara dari semua perubahan dalam kontrak dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kontrak. Amandemen yang paling sering terjadi adalah perubahan nilai kontrak yang disebabkan oleh eskalasi (penyesuaian harga) sebanyak empat kali, pekerjaan tambah kurang berdasarkan perhitungan MC sebanyak dua kali, dan perubahan desain sebanyak satu kali. Secara teknis kesemuanya itu yang paling besar pengaruh dan dampaknya terhadap perubahan nilai kontrak adalah perubahan desain yang mengakibatkan penambahan nilai kontrak sebesar 25,11% dari nilai kontrak awal, disusul eskalasi sebesar 5,64% dan akibat perhitungan MC sebesar 3,91%. Namun yang paling besar pengaruh dan dampaknya terhadap perubahan waktu penyelesaian kontrak adalah kondisi cuaca ekstrem, pemindahan lokasi quarry dan penambahan lingkup kerja yang mengakibatkan penambahan waktu sebesar 21,92% dari waktu kontrak awal, sedangkan perubahan desain hanya mengakibatkan penambahan sebesar 10,96% dari waktu kontrak awalnya. Kata kunci : Proyek Konstruksi, Amandemen, Penyesuaian Harga, perubahan waktu, penyelesaian kontrak 1. PENDAHULUAN Proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mengolah sumber daya proyek menjadi elemen-elemennya. Proyek konstruksi memiliki 3 karakteristik yaitu: membutuhkan sumber daya (manusia, uang, mesin, metoda, material), bersifat unik, , dan membutuhkan organisasi (Ervianto, 2002). Dalam pelaksanaan proyek konstruksi sering dihadapkan pada permasalahan, salah satunya adalah ter1 - 40
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
jadinya perubahan-perubahan. Perubahan tersebut dapat terjadi pada tahap awal, tahap pertengahan, maupun tahap akhir proyek. Hana et al. (2002) mendefinisikan perubahan atau change order (CO) pada proyek konstruksi sebagai sebuah kejadian yang berakibat pada terjadinya modifikasi baik pada lingkup kerja, waktu pelaksanaan, atau biaya. Hal ini tidak dapat dihindari pada sebagian besar proyek akibat dari keunikan dari tiap proyek dan terbatasnya waktu dan uang dalam proses perencanaan. Akibat tidak dapat dihindarinya CO, Alaryan et al. (2014) menyatakan bahwa CO adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan pada industri konstruksi. Menurut Hinze (2001) dan Abdel Rashid., et al. (2012) sumber perubahan itu dapat disebabkan karena permintaan owner, kondisi lapangan yang tidak terduga, permintaan kontraktor, dan kesalahan konsultan dalam perancangan. Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian dan hal ini seringkali berkonsekuensi pada perubahan biaya dan perubahan waktu pelaksanaan proyek. Pada gilirannya penyesuaian yang dilakukan harus juga diakomodasi pada aspek administrasi dan kontrak berupa Contract Change Order (CCO) Menurut Donald S. Barrie (1992), pengaruh change order pada pelaksanaan proyek dibagi menjadi 3 kategori antara lain: Biaya langsung, Perpanjangan waktu dan Biaya-biaya. Hanna (2002), menyatakan bahwa pengaruh change order pada suatu proyek konstruksi sering terjadi productivity loss, jika terjadi productivity loss akan terjadi penambahan waktu dan biaya proyek yang tidak sedikit. Menurut Schaufelberger & Holm (2002), jika terjadi change order akan terjadi penambahan tenaga kerja disertai dengan penambahan peralatan proyek Terjadinya change order pada proyek konstruksi dapat memberikan dampak negatif secara langsung dan tidak langsung, baik bagi kontraktor maupun bagi pemilik. Dampak change order secara langsung adalah penambahan biaya item pekerjaan karena adanya penambahan volume dan material, konflik jadwal pelaksanaan, pekerjaan ulang, meningkatkan overhead dan meningkatkan biaya tenaga kerja. Dampak change order secara tidak langsung adalah terjadinya perselisihan antara pemilik dan kontraktor (Hanna et al, 1999). Begitu kompleksnya dampak dari change order, sehingga sangat berpengaruh pada kinerja suatu proyek konstruksi. Dalam pelaksanaannya, proyek konstruksi ini diharapkan memiliki kinerja waktu proyek yang maksimal, dimana proyek dapat selesai tepat waktu, atau bahkan lebih cepat dari jadwal yang direncanakan, mengingat ketepatan waktu ini sangat mempengaruhi penyerapan dana dan realisasi fisik di lapangan yang merupakan indikator kinerja dari Pemerintah Seperti halnya proyek-proyek konstruksi pada umumnya, pada proyek pembangunan Daerah Irigasi X ini dalam perjalanan pelaksanaan konstruksinya mengalami banyak perubahan kontrak yang me-
nyebabkan perpanjangan waktu (time extension), penambahan maupun pengurangan nilai (harga) kontrak sebagai akibat dari perubahan (revisi) desain karena alasan-alasan maupun penyebabpenyebab lainnya. Semua proses prosedur, dokumen-dokumen pendukung dan hasil dari perubahan kontrak yang telah disetujui dan disepakati dituangkan dalam dokumen Amandemen Kontrak. Dalam proyek-proyek pemerintah, khususnya bidang sumber daya air sebagian besar menggunakan sistem Kontrak Harga Satuan Pekerjaan. Sistem kontrak ini dinilai paling mudah untuk dilaksanakan dan menganut pembagian risiko perubahan kontrak yang seimbang antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa. Dengan sistem Kontrak Harga Satuan pekerjaan, sangat dimungkinkan terjadinya perubahanperubahan kontrak baik perubahan waktu pelaksanaan maupun perubahan volume, desain dan nilai (harga) kontrak. Dengan adanya Contract Change Order (CCO), memberikan dampak yang besar terhadap pelaksanaan kontrak konstruksi, khususnya proyek-proyek pemerintah bidang sumber daya air, seperti diantaranya anggaran proyek menjadi lebih besar dari rencana, waktu pelaksanaan mengalami perpanjangan, munculnya desain atau item pekerjaan baru yang semula belum direncanakan, dan sebagainya. Dari latar belakang permasalahan tersebut maka dilakukan suatu penelitian dengan mengangkat judul “Faktor Penyebab Terjadinya Contract Change Order (CCO) dan Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Proyek Konstruksi pada Pembangunan Bendung X Berdasarkan latar belakang di atas dan melihat kondisi di lapangan secara langsung proyek pembangunan Bendung X, permasalahan yang teridentifikasi adalah sebagai berikut : 1. Terjadinya keterlambatan (penambahan waktu penyelesaian) dalam pelaksanaan proyek dari waktu yang direncanakan. 2. Terjadinya penambahan biaya dari anggaran yang direncanakan. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya Contract Change Order (CCO) pada proyek Pembangunan Bendung X. 2. Mengetahui dampak atau akibat dari faktor-faktor tersebut terhadap cost variant (perbedaan biaya) dan time variant (perbedaan waktu). 2. TINJAUAN PUSTAKA Kontrak dalam dunia konstruksi tercantum dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5), “Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 41
Vol.02 No.02 Desember 2016
penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi”. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 70 Tahun 2012, Pasal 1 ayat (22), juga terdapat pengertian mengenai kontrak, “Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana swakelola”. 2.1. Bentuk-Bentuk Kontrak Konstruksi Pembagian jenis-jenis kontrak konstruksi terdapat dalam Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 50, yang bunyinya sebagai berikut. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa meliputi: a. Kontrak berdasarkan cara pembayaran; b. Kontrak berdasarkan pembebanan Tahun Anggaran; c. Kontrak berdasarkan sumber pendanaan; dan d. Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan cara pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas: a. b. c. d. e.
Kontrak Lump Sum; Kontrak Harga Satuan; Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan; Kontrak Persentase; dan Kontrak Terima Jadi (Turnkey).
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan pembebanan Tahun Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, terdiri atas: a. Kontrak Tahun Tunggal; dan b. Kontrak Tahun Jamak. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, terdiri atas: a. Kontrak Pengadaan Tunggal; b. Kontrak Pengadaan Bersama; dan c. Kontrak Payung (Framework Contract).
men Kontrak, PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat melakukan perubahan pada Kontrak yang meliputi: a. Menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak; b. Menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan; c. Mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau d. Mengubah jadwal pelaksanaan. Perubahan Kontrak yang disebabkan masalah administrasi, dapat dilakukan sepanjang disepakati kedua belah pihak. Ketentuan mengenai Perubahan Kontrak dalam Permen PU No: 14/PRT/M/2013 pada dasarnya mengacu pada ketentuan Perubahan Kontrak pada Perpres No. 70 Tahun 2012, hanya saja dalam Permen PU No: 14/PRT/M/2013, terdapat penjelasan yang lebih terperinci. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 36, 37, 38, 39 dan 40. Perubahan harga kontrak akibat adanya penyesuaian harga (eskalasi/deeskalasi). 2.2. Istilah-Istilah Dalam Perubahan Kontrak Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, terjadinya perubahan kontrak merupakan hal yang umum terjadi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan konstruksi itu sendiri. Besarnya kemungkinan terjadinya perubahan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi menyebabkan perlunya pengaturan yang jelas mengenai perubahan kontrak konstruksi. Dalam hal perubahan kontrak konstruksi tersebut, terdapat tiga istilah yang sering digunakan, yaitu Adendum, Contract Change Order (CCO), dan Variation Order. Agar lebih mudah dipahami, berikut akan diberikan penjelasan mengenai definisi dari masingmasing istilah tersebut. 2.3. Adendum dan Amandemen
Ketentuan mengenai perubahan kontrak dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 terdapat pada pasal 87
Dilihat dari arti katanya, addendum adalah lampiran, suplemen, tambahan. Pendapat lain menyatakan jika pada saat kontrak berlangsung ternyata terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam kontrak tersebut, dapat dilakukan musyawarah untuk suatu mufakat akan hal yang belum diatur tersebut. Untuk itu ketentuan atau hal-hal yang belum diatur tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis sama seperti kontrak yang telah dibuat. Pengaturan ini umum disebut dengan adendum atau amandemen.
Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/ atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam Doku-
Banyak pihak yang menganggap sama arti dari kata adendum dan amandemen. Dari segi arti katanya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, terdiri atas: a. Kontrak Pengadaan Pekerjaan Tunggal; dan b. Kontrak Pengadaan Pekerjaan Terintegrasi.
1 - 42
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
Version), definisi kata adendum dan amandemen memang terlihat mirip. Amandemen/amendemen berarti : 1. Usul perubahan undang-undang yang dibicarakan di Dewan Perwakilan Rakyat dsb: hak -; 2. penambahan pada bagian yang sudah ada. Adendum : 1. Jilid tambahan (pada buku); lampiran; 2. ketentuan atau pasal tambahan, misal dalam akta. Jadi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata amandemen dan adendum sama-sama mengandung arti ‘penambahan’. Berdasarkan arti kata tersebut diatas, dapat dilihat bahwa kata amandemen memiliki makna yang lebih luas dari adendum. Kata amandemen mengandung arti merubah, sedangkan kata adendum (berasal dari bahasa inggris add) mengandung arti penambahan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jika adendum merupakan bagian dari amandemen, dimana jika terjadi penambahan/pengurangan, maka otomatis terjadi perubahan. Dalam perkembangannya, istilah yang umum digunakan dalam kontrak konstruksi di Indonesia adalah adendum, seperti yang disebutkan dalam Permen PU No: 07/ PRT/M/2011 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi, Pasal 34 ayat (1). 2.4. Change Order Dalam setiap proyek konstruksi sering kali terjadi perubahan atau yang biasa disebut dengan change order. Change order tersebut bisa terjadi sejak awal, pertengahan maupun pada akhir pekerjaan konstruksi. Menurut Fisk (2006) change order merupakan surat kesepakatan antara pemilik proyek dan kontraktor untuk menegaskan adanya revisi-revisi rencana, dan jumlah kompensasi biaya kepada kontraktor yang terjadi pada saat pelaksanaan konstruksi, setelah penandatanganan kontrak kerja antara pemilik dan kontraktor. Pendapat lain, yaitu menurut Schaufelbeger & Holm (2002), change order bisa didefinisikan sebagai modifikasi dari original contract. Pengertian Change Order menurut Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum (1999) adalah pekerjaan tambah kurang untuk menyesuaikan volume lapangan atau perubahan skedul tanpa merubah pasal-pasal kontrak. Berdasarkan pengertian tersebut, change order dapat didefinisikan sebagai suatu kesepakatan antara pemilik proyek dan kontraktor untuk merevisi pekerjaan (baik volume maupun skedul) sesuai dengan kondisi lapangan. Lebih lanjut, Untung Slamet menyatakan bahwa Adendum dan Amandemen Kontrak merupakan produk lanjutan dari CCO (Contract Change Order). Jika terjadi CCO berarti akan terjadi Adendum atau Amandemen Kontrak, sedangkan jika terjadi Adendum atau Amandemen Kontrak belum tentu telah terjadi CCO. Hal ini dikarenakan Adendum atau Amandemen bisa hanya merubah atau menambah isi atau pasal yang terdapat dalam kontrak tanpa merubah
ruang lingkup pekerjaan, sehingga Adendum atau Amandemen tidak selalu diikuti dengan CCO. 2.5. Variation Order Berdasarkan FIDIC dalam klausa 13, perubahan kontrak didefinisikan dalam bentuk istilah variasi (variation) fan penyesuaian (Adjusment). Variasi berarti semua perubahan terhadap Pekerjaan, yang diperintahkan atau disetujui sebagai suatu perubahan berdasarkan Klausula 13 [Variasi dan Penyesuaian]. Sedangkan penyesuaian merupakan bagian dari variasi yang dibagi dalam dua jenis yaitu penyesuaian akibat perubahan peraturan dan penyesuaian akibat perubahan biaya. Perubahan dalam penyesuaian berasal dari faktor eksternal proyek misalnya keterlambatan pekerjaan karena perubahan perundangundangan dan perubahan biaya proyek akibat nilai tukar mata uang yang menurun. 2.6. Amandemen Kontrak Amandemen Kontrak adalah perubahan Kontrak atas dasar kesepakatan kedua belah Pihak yaitu Kontraktor dan Pengguna Jasa dan harus mengikuti peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada sebenarnya CCO (Contract Change Order), Addendum dan Amandemen Kontrak adalah istilah yang sama, hanya Addendum dan Amandemen Kontrak merupakan produk lanjutan dari CCO (Contract Change Order). Jika terjadi CCO berarti akan terjadi Addendum atau Amandemen Kontrak, sedangkan jika terjadi Addendum atau Amandemen belum tentu telah terjadi CCO. Dilihat dari dasar alasannya Perpres 54 tahun 2010 Pasal 87 Ayat 1 tentang Perubahan Kontrak menyatakan, dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam Dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat melakukan perubahan Kontrak yang meliputi: a. menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak; b. menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan; c. mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau d. mengubah jadwal pelaksanaan. Perka LKPP No. 2 tahun 2011 tentang Standar Dokumen Pengadaan pada Bagian Syarat-syarat Umum Kontrak (SSUK) Klausul Addendum atau Perubahan Kontrak dalam hal ini diambil dari Standar Dokumen Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Metoda Pascakualifikasi. Berdasarkan ketentuan di atas jelas dapat diketahui bahwa Perubahan kontrak dapat dilakukan dengan Adendum Kontrak. Artinya segala sesuatu perubahan pada kontrak dilakukan melalui Adendum Kontrak. Jenis Adendum Kontrak adalah:
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 43
Vol.02 No.02 Desember 2016
1. Adendum akibat perubahan lingkup pekerjaan (CCO) atau sering disebut Adendum Tambah/ Kurang, yang terbagi menjadi 4 (empat) jenis perlakuan, yaitu: a. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak tetap. b. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak bertambah. c. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak tetap, target/sasaran berubah.
han/amandemen kontrak yang disetujui oleh penyandang dana dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, seperti terlihat pada Gambar 1, Sedangkan untuk prosedur pengajuan dan persetujuan amandemen, seperti terlihat pada Gambar 2 dan 3. Untuk prosedur pengajuan dan persyaratan pekerjaan tambah (additional work) dan klaim penyesuaian harga, dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5 2.8. Lampiran Amandemen Pekerjaan Tambah (Additional Work)
d. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak bertambah, target/sasaran berubah.
a) Surat perintah PPK
2. Adendum akibat perubahan jadwal pelaksanaan pekerjaan atau sering disebut Adendum Waktu.
b) Surat Konfirmasi Kontraktor & Usulan utk penambahan Waktu atau penambahan biaya.
3. Adendum akibat penyesuaian harga/eskalasi atau sering disebut sebagai Adendum Penyesuaian Harga/Eskalasi atau sering disebut Adendum Harga/Nilai Kontrak. Basanya adendum jenis ini untuk kontrak tahun jamak (multy years contract) atau terdapat kenaikan harga bahan
c) Berita Acara Negosiasi berikut data pendukung d) Surat usulan PPK ke Direktorat. e) Persetujuan Explanatory Note dari JICA.
Gambar 1. Lingkup Amandemen Kontrak (Sumber: Hartoyo, 2012) bakar minyak. 2.7. Prosedur Amandemen Kontrak ProyekPembangunan Bendung X
Pada
Pembangunan Bendung X yang merupakan salah satu paket pekerjaan dalam proyek Pembangunan Daerah Irigasi (D.I.) adalah salah satu proyek PIRIMP yang sumber dananya berasal dari dana pinjaman (loan) Bank Pemerintah Jepang (JBIC/JICA). Oleh karena itu segala peraturan yang berkaitan dengan pendanaan mengikuti peraturan dari JBIC/ JICA. Begitu pula peraturan tentang amandemen kontrak, terdapat prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa. Lingkup peruba-
1 - 44
Jurnal INFRASTRUKTUR
2.9. Lampiran Amandemen Klaim Penyesuaian Harga (Price Adjustment) a) Surat pengajuan Kontraktor. b) LHP BPKP dan Surat Deputi Investigasi BPKP. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi kebijakan ataupun studi terapan yang tujuannya adalah untuk mengetahui permasalahan terkait Contract Change Order (CCO) terhadap Cost variant (perbedaan anggaran)dan Time variant (perbedaan waktu)s, dengan pendekatan metode Influence Diagram. Data yang digunakan adalah data dokumen kontrak pemban-
Vol.02 No.02 Desember 2016
Gambar 2. Alur Dokumen Amandemen Kontrak (Sumber: Hartoyo, 2012)
Gambar 3. Alur Amandemen Berdasarkan Kontrak (Sumber: Hartoyo, 2012)
Gambar 4. Prosedur Amandemen Pekerjaan Tambah (Sumber: Hartoyo, 2012) Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 45
Vol.02 No.02 Desember 2016
Gambar 5. Alur Klaim Penyesuaian Harga (Sumbe: Hartoyo, 2012) gambar di bawah ini. Karakterisasi sistem merupakan pendekatan kondisi dunia nyata yang berhubungan dengan suatu permasalahan digambarkan dalam sebuah sistem. Solusi dari permasalahan didefinisikan sebagai tujuan (goal). Proses mendeskripsikan suatu sistem membutuhkan pemahaman inti dan konsep yang digunakan dalam pendekatan sistem (system approach). Permasalahan dalam dunia nyata, biasanya sangat kompleks. Jika sistem dilihat dan dideskripsikan secara keseluruhan, maka permasalahan menjadi tercampur (involved) dan tidak teratur (unmanageable). Tidak semua fitur dunia nyata relevan sebagai solusi, sehingga penjelasan secara parsial biasa digunakan. Penjelasan secara parsial biasanya disebut sebagai karakterisasi sistem. Karakterisasi sistem hanya melibatkan fitur-fitur yang relevan membuat sebuah solusi. Karakterisasi sistem merupakan proses penyederhanaan (simplification) dan idealisasi (idealization). Sebuah sistem didefinisikan sebagai sekumpulan objek yang saling berhubungan. Objek memiliki atribut-atribut yang dideskripsikan sebagai parameter dan variabel. parameter adalah atribut intrinsik sebuah objek. Sedangkan variabel adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan interaksi atau hubungan antar objek-objek dalam suatu sistem. Karakterisasi sistem dapat digambarkan dalam influence diagram. Influence diagram sering digunakan untuk menggambarkan suatu pendekatan proses.
Gambar 6. Diagram Alir Metode Penelitian gunan bendung, dokumen amandemen kontrak, gambar konstruksi, schedule dan dokumen lainnya yang terkait dengan Amandemen. Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada 1 - 46
Jurnal INFRASTRUKTUR
Influence diagram adalah representasi grafis dari suatu model keputusan yang digunakan untuk membantu perancangan model, pengembangan dan pemahaman. Kata influence merujuk pada ketergantungan suatu variabel pada tingkatan tertentu terhadap variabel yang lainnya. Ada 4 simbol utama yang digunakan untuk membuat influence diagram,
Vol.02 No.02 Desember 2016
yaitu : a. Kotak (rectangle); menunjukkan variabel keputusan, kepastian, sesuatu yang dapat dikendalikan (decision, certainty, controllable). b. Lonjong (oval); menunjukkan variabel ketidakpastian, sesuatu yang tidak dapat dikendalikan (uncertainty, uncontrollable). c. Segi enam (hexagonal); menunjukkan variabel hasil, keluaran baik bersifat intermediate maupun final (result, output). d. Garis panah (arrow); menunjukkan pengaruh hubungan, ketergantungan diantara variabel.
Proses Analisis Data Dalam melakukan analisis data, proses awal yang dilakukan adalah membuat diagram kronologis terjadinya CCO pada setiap dokumen Amandemen I sampai dengan XVI. Dari setiap diagram kronologis amandemen I s/d XVI selanjutnya mencari (mengidentifikasi) penyebab awal yang mendasari terjadinya CCO (amandemen) tersebut. Penyebab awal inilah yang disebut dengan faktor independent, yaitu faktor atau variable yang tidak dipengaruhi/ disebabkan oleh faktor atau variable lainnya. Langkah selanjutnya adalah membuat Influence Diagram, dengan cara menggabungkan semua diagram alir kronologis amandemen yang sudah dibuat sebelumnya. Melalui Influence Diagram dapat diketahui adanya keterkaitan dan ketergantungan an-
tara variabel penyebab amandemen yang satu dengan yang lainnya. Dari diagram ini semakin jelas teridentifikasi faktor-faktor apa saja yang menjadi faktor independent penyebab terjadinya CCO. Tahap terakhir adalah mengetahui dampak/akibat dari faktor-faktor tersebut yang berpengaruh terhadap pelaksanaan proyek terutama pengaruhnya terhadap perbedaan waktu (time variant) dan perbedaan biaya (cost variant). ANALISIS DAN KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan pada proyek Pembangunan Bendung X, terjadi sampai 15 kali amandemen. Kejadian tersebut bukanlah sesuatu yang diinginkan semua pihak namun kejadian tersebut mengharuskan diadakannya perubahan untuk mencapai suatu tujuan dan untuk memperbaiki sesuatu yang dinilai masih kurang. Dari keseluruhan kronologis terjadinya amandemen ke-1 sampai dengan ke-16, dapat digabungkan menjadi satu kesatuan sistem dalam bentuk Influence diagram, seperti terlihat pada gambar berikut ini. Mengacu pada Gambar 7, kejadian tersebut bermula atau diawali oleh sebanyak sepuluh faktor yang merupakan variabel yang bersifat bebas (independent), yaitu variabel yang tidak dipengaruhi atau disebabkan oleh variabel lain, tapi justru mempengaruhi/menyebabkan timbulnya variabel lain, sehingga variabel inilah yang merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya CCO. Kesepuluh faktor penyebab terjadinya CCO adalah :
Gambar 7. Influence Diagram Proses Terjadinya CCO Sumber: Hasil Olahan Data Pada Dokumen Proyek Pembangunan Bendung X Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 47
Vol.02 No.02 Desember 2016
1. Kebijakan/Peraturan Pemerintah 2. Kondisi lapangan/lokasi pekerjaan 3. Kondisi cuaca 4. Perubahan kondisi alam pada Daerah Aliran Sungai (DAS) 5. Penyelidikan tanah kurang detail 6. Inflasi 7. Kebijakan penyandang dana Loan dari JICA (commitment charge) 8. Kebijakan penyedia jasa 9. Cash flow kontraktor tidak mampu mengejar progress 10. Desain (shop drawing) Terlihat pada Gambar 7, terdapat sembilan faktor penyebab yang merupakan variabel yang bersifat tidak pasti (uncertainty/uncontrollable), dan hanya satu faktor yang bersifat pasti (certainty/controllable) yaitu faktor desain (shop drawing). Amandemen kontrak yang terjadi pada proyek Pembangunan Bendung X yang berpengaruh terhadap perubahan nilai kontrak, terbagi menjadi dua perubahan, yaitu perubahan penambahan dan pengurangan. Akan tetapi perubahan penambahan adalah yang paling dominan terjadi dan yang paling mempengaruhi terhadap perubahan nilai kontrak. Perubahan pengurangan hanya sebagian kecil terjadi dan tidak terlalu berpengaruh. Perubahan nilai kontrak dari setiap amandemen disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.
1. Perubahan Desain, yaitu perubahan pada desain rencana struktur pondasi bendung setelah dilakukan penyelidikan tanah ulang, mengakibatkan penambahan sebesar 25,11% dari nilai kontrak awal. 2. Eskalasi, sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak bahwa untuk proyek multi years dapat dilakukan penyesuaian harga (eskalasi), mengakibatkan penambahan sebesar 5,64% dari nilai kontrak awal. 3. Perhitungan Mutual Check (MC), mengakibatkan pengurangan sebesar 3,91% dari nilai kontrak awal. Pada saat dilakukan perhitungan MC, terjadi pengurangan volume pekerjaan dan pengurangan beberapa item pekerjaan yang tidak jadi dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena pada tahap perencanaan, desain terlalu boros dan kurang detail dalam melakukan pengukuran volume di lokasi pekerjaan. Berdasarkan Tabel 2 di atas, faktor penyebab perubahan nilai kontrak dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Faktor yang mengakibatkan penambahan nilai kontrak : a. Penyelidikan tanah yang kurang detail pada saat tahap perencanaan b. Desain rencana (shop drawing) yang kurang matang c. Inflasi 2. Faktor yang mengakibatkan pengurangan nilai kontrak : a. Kondisi lapangan/lokasi pekerjaan
Tabel 1 Kronologis Perubahan Nilai Kontrak
Sumber : Hasil Olahan Pada Dokumen Proyek Pembangunan Bendung Dari alasan-alasan perubahan amandemen, berdasarkan Influence Diagram dapat dicari faktorfaktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan nilai kontrak. Berikut Tabel 2 di bawah ini adalah faktor penyebab terjadinya CCO yang mengakibatkan perubahan nilai kontrak. Dari Tabel 1 dan 2 di atas, terlihat bahwa terdapat tiga alasan yang mengakibatkan perubahan nilai kontrak yaitu : 1 - 48
Jurnal INFRASTRUKTUR
b. Desain rencana (shop drawing) yang kurang detail dan teliti Perubahan waktu pelaksanaan kontrak yang terjadi pada proyek Pembangunan Bendung X adalah perubahan penambahan waktu yang sebagian besar disebabkan oleh faktor cuaca. Penambahan waktu penyelesaian kontrak dari setiap amandemen disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.
Vol.02 No.02 Desember 2016
Tabel 2 Faktor yang Mengakibatkan Perubahan Nilai Kontrak
Sumber : Hasil Olahan Pada Dokumen Proyek Pembangunan Bendung X Tabel 3 Kronologis Perubahan Waktu Kontrak
Sumber : Hasil Olahan Pada Dokumen Proyek Pembangunan Bendung X Tabel 4. Faktor yang Mengakibatkan Perubahan Waktu Kontrak
Dari Tabel 3 di atas, penambahan waktu yang terjadi 5. KESIMPULAN adalah sebesar 360 hari atau sebesar 32,88% dari Sumber : Hasil olahan pada Dokumen proyek Pembangunan Bendung X waktu penyelesaian kontrak awal, dengan rincian alasan perubahan sebagai berikut : 1. Perubahan desain, mengakibatkan penambahan waktu sebesar 120 hari atau sebesar 10,96% dari waktu kontrak awal. 2. Pemindahan lokasi quarry, kondisi cuaca, perubahan desain dan penambahan lingkup pekerjaan, secara total mengakibatkan penambahan waktu sebesar 240 hari atau sebesar 21,92% dari waktu kontrak awal. Berdasarkan Influence Diagram dan Tabel 3, faktor penyebab terjadinya perubahan waktu penyelesaian kontrak seperti pada Tabel 4 di bawah ini.
Berdasarkan hasil analisis yang telah di lakukan pada ke enam belas amandemen, yang paling sering terjadi dan mengakibatkan amandemen itu terbit adalah adanya perubahan nilai kontrak yang disebabkan oleh eskalasi (penyesuaian harga) sebanyak empat kali, pekerjaan tambah kurang berdasarkan perhitungan MC sebanyak dua kali, dan perubahan desain sebanyak satu kali. Secara teknis kesemuanya itu yang paling besar pengaruh dan dampaknya terhadap perubahan nilai kontrak adalah perubahan desain yang mengakibatkan penambahan nilai kontrak sebesar 25,11% dari nilai kontrak awal, disusul eskalasi sebesar 5,64% dan akibat perhitungan MC sebesar 3,91%.
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 49
Vol.02 No.02 Desember 2016
Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan nilai kontrak adalah sebagai berikut :
nal of Engineering Research and Applications, Vol. 4, Issue 7( Version 2), pp.01-08
1. Perubahan desain disebabkan oleh faktor penyelidikan tanah yang kurang detail; dan gambar desain yang kurang matang.
Amin, Jurisman., Said, Taufiq., dan Mubarak. (2013). “Penyebab Variation Order dan Dampak Pada Pelaksanaan Proyek Konstruksi Jembatan (Studi Kasus Pada Pelaksanaan Proyek Konstruksi Jembatan di Provinsi Aceh)”, Jurnal Teknik Sipil, Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Volume 2, ISSN 23020253.
2. Eskalasi disebabkan oleh faktor inflasi. 3. Perhitungan MC disebabkan oleh faktor kondisi lapangan/lokasi pekerjaan; dan gambar desain yang kurang detail dan teliti. Disamping karena perubahan nilai kontrak, amandemen juga disebabkan oleh adanya perubahan waktu penyelesaian kontrak yang disebabkan oleh perubahan desain yang terjadi sebanyak dua kali, dan pemindahan lokasi quarry, kondisi cuaca yang ekstrem, dan penambahan lingkup kerja yang masing-masing terjadi hanya satu kali. Namun yang paling besar pengaruh dan dampaknya terhadap perubahan waktu penyelesaian kontrak adalah kondisi cuaca ekstrem, pemindahan lokasi quarry dan penambahan lingkup kerja yang mengakibatkan penambahan waktu sebesar 21,92% dari waktu kontrak awal, sedangkan perubahan desain hanya mengakibatkan penambahan sebesar 10,96% dari waktu kontrak awalnya. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan waktu kontrak adalah sebagai berikut : 1. Kondisi cuaca ektrem disebabkan oleh faktor cuaca, pemindahan lokasi quarry disebabkan oleh faktor adanya Kebijakan/Peraturan Pemerintah Daerah dan penambahan lingkup kerja disebabkan oleh faktor perubahan kondisi alam pada Daerah Aliran Sungai. 2. Perubahan desain disebabkan oleh faktor penyelidikan tanah yang kurang detail; dan gambar desain yang kurang matang. Dari semua kesimpulan diatas secara teknis CCO terjadi karena adanya perubahan desain yang disebabkan oleh penyelidikan tanah yang kurang detail sehingga waktu dan biaya jadi bertambah. Solusi agar kejadian tidak terulang maka diperlukan perencanaan yang sedetail mungkin dan dilakukan feasibility study untuk meminimalisir terjadinya perubahan desain yang bisa mengakibatkan waktu dan penambahan biaya. DAFTAR PUSTAKA Abdel Rashid Ibrahim; El-Mikawi Mohamed A. & Saleh Mohammed E. Abdel-Hamid, (2012), “The Impact of Change Orders on Construction Projects Sports Facilities Case Study”, Journal of American Science, 8(8), pp: 628 – 631 Alaryan A., Emadelbeltagi, Elshahat A., Dawood M, (2014), ”Causes and Effects of Change Orders on Construction Projects in Kuwait”, Int. Jour1 - 50
Jurnal INFRASTRUKTUR
Barrie, Donald S, and Paulson, Boyd C Jr. (1992). Professional Construction Management, third edition. Singapore, Mc Graw-Hill Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Direktorat Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum dan Kimpraswil, Bagian Proyek Peningkatan Sistim dan Kinerja Manajemen Pelaksana Tengah, Direktorat Bina Pelaksana Wilayah Tengah. (1999). Pedoman Praktis Kendali Mutu Pelaksanaan Proyek. Direktorat Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum dan Kimpraswil, Jakarta. Echols, John M., dan Shadily, Hassan. (2014). Kamus Inggris Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ervianto, Wulfram I. (2002). “Manajemen Proyek Konstruksi”. Andi, Yogyakarta. Fakhrizal. (2013). “Identifikasi Penyebab dan Dampak Contract Change Order Terhadap Biaya dan Kualitas Pada Proyek Gedung di Kota Padang”, Artikel, Program Studi Teknik Sipil, Program Pascasarjana, Universitas Bung Hatta. Gumolili, Sandy A., dan Sompie, B. F., dan Rantung, J.P. (2012). “Analisa Faktor-Faktor Penyebab Change Order dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Waktu Pelaksanaan Proyek Konstruksi di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara”, Jurnal Ilmiah Media Engineering Vol. 2, No. 4, ISSN 2087-9334 (247-256). Hanna, A. S., Camlic, R., Peterson, P. A., Nordheim, E. V. (2002), “Quantitative Definition of projects Impacted by Change Orders”, Journal of Construction Engineering and Management. 128(1) Hanna, Award S., Russel, Jeffrey S., Gotzion, Timothy W., Nordheim, erik V (1999). “Impact of Change Order on Labor Efficiency for Mechanical Construction”. Journal of Construc-tion Engineering and Management, 125,p.176-184 Hartoyo. (2012). Amandemen Kontrak Loan dan APBN.
Vol.02 No.02 Desember 2016
Hinze, J., “Construction Contracts”, McGraw Hill, Second Edition (2001) Knapp, Charless L. dan Nathan M. Crystal, 1993:2, dalam Salim H.S. (2010). Hukum Kontrak. Sinar Grafika, Jakarta. Perka LKPP No. 2 tahun 2011 tentang Standar Dokumen Pengadaan pada Bagian Syarat-syarat Umum Kontrak (SSUK) Klausul Addendum atau Perubahan Kontrak. Permen PU No: 14/PRT/M/2013 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi. Perpres No. 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sapulette, Willem. (2009). “Analisa Penyebab dan Pengaruh Change Order Pada Proyek Infrastruktur dan Bangunan Gedung di Ambon”, Jurnal Teknologi, Volume 6 Nomor 2 (627 – 633). Schaufelberger, John E., and Holm, Len. (2002). Management of Construction Project A Constructor’s Perspective. Prentice Hall, New Jersey. Schaufelberger, John E., and Holm, Len. (2002). Management of Construction Project A Constructor’s Perspective, New Jersey, Prentice Hall Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18 Tahun 1999. Wicaksono, Frans S. (2008). “Panduan lengkap membuat surat-surat kontrak”. Visimedia, Jakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Addendum, tanggal 06 April 2015, pukul 17:06 WIB. http://id.wikipedia.org/wiki/Amendemen, 06 April 2015, pukul 17:02 WIB.
tanggal
http://kbbi.web.id/amendemen, tanggal 06 April 2015, pukul 16:20 WIB. http://kbbi.web.id/adendum, tanggal 06 April 2015, pukul 16:22 WIB. http://kbbi.web.id/variasi, tanggal 09/04/2015, pukul 11:56 WIB. http://pengadaaneprocurement.blogspot. com/2014/12/pengertian-cco-contractchange-order.html, tanggal 08/04/2015, pukul 16:33
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 51
Vol.02 No.02 Desember 2016
PENERAPAN TELEMETRI BERBASIS WEBSITE PADA PEMANTAUAN DEFORMASI PERMUKAAN BENDUNGAN SERMO Ajat Sudrajat Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak Jl. Solo KM6 Yogyakarta 55281 Indonesia. Email :
[email protected]
Abstract Corresponding decision of the Director General of Water Resources / Dam Safety Commission Chairman, Since the dam exploited examinations performed on the results of periodic checks on the deformation that occurs in the foundation rocks, cliffs pedestal, and the body of the dam. The accuracy of data regarding this should be checked every year, in order to anticipate the prevention of the occurrence of disasters caused by deformation due to the movement of dam horizontally or vertically because of a movement of the dam as earthquakes, avalanches, leakage, etc. can be done through monitoring the deformation of the surface of the dam Sermo with telemetry-based website. Keyword: Deformation monitoring of Dam Surface. Abstrak Sesuai Keputusan Direktur Jenderal Sumber Daya Air/ Ketua Komisi Keamanan Bedungan, Sejak bendungan dieksploitasikan dilakukan pemeriksaan pada hasil pemeriksaan berkala mengenai deformasi yang terjadi pada batuan fondasi, tebing tumpuan, dan tubuh bendungan. Ketelitian data mengenai ini harus diperiksa setiap tahun, agar dapat diantisipasi pencegahan dari terjadinya bencana akibat terjadinya deformasi akibat pergerakan bendungan secara horizontal maupun vertikal yang disebabkan terjadinya pergerakan Bendungan seperti Gempa bumi, longsoran, kebocoran, dan sebagainya, dapat dilakukan melalui pemantauan deformasi permukaan bendungan sermo dengan telemetri berbasis website. Kata Kunci: Pemantauan Deformasi Permukaan Bendungan.
1 - 52
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
1. PENDAHULUAN Bendungan Sermo berada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, terletak di Kabupaten Kulon Progo, lebih kurang 37 km dari kota Yogyakarta. Studi kelayakan bendungan Sermo dilakukan oleh Mac. Donald tahun 1980, dilanjutkan oleh PT. Indra Karya tahun 1985 dan 1991, dan “Final Assesment of Sermo Dam” dilakukan oleh ELC-Electrocosult pada tahun 1992. Pelaksanaan pembangunan Bendungan Sermo dilakukan oleh Kontraktor Hyundai-Duta Graha Indah, JO. Kontrak kerja ditandatangani 28 Februari 1994, dengan waktu pelaksanaan 32 bulan. Pengawas pelaksanaan konstruksi dilakukan oleh proyek dibantu oleh konsultan pengawas asosiasi antara ELC-Electroconsult dari Itali dengan PT. Bina Karya dan PT. Wiratman dari Indonesia. Manfaat dibangunnya Bendungan Sermo adalah
dan gempa dengan kekuatan 7,3 SR melanda Tasikmalaya pada tanggal 2 September 2009. Hal ini akan mempengaruhi posisi-posisi infrastruktur antara lain bendungan, jembatan, gedung-gedung tinggi, pelabuhan udara, serta pelabuhan laut, dan hal ini perlu mendapatkan pemantauan secara intensif agar fungsi dari infrastruktur tersebut dapat dipertahankan. Kebutuhan akan sistem pemantauan deformasi bendungan secara real time dengan menggunakan sensor secara tiga dimensi dan satu dimensi baik untuk static dan dynamic movements sangat penting dilakukan. Sebagai langkah uji coba, sebuah kegiatan penerapan teknologi pemantauan deformasi bendungan berbasis stasiun aktif GPS/ GNSS – CORS (Global Positioning System/Global Navigation Satellite System - Continously Operating Reference Station) akan diimplementasikan di
Tabel 1. Tabel Data Teknis Bendungan Sermo
untuk suplesi daerah irigasi Sistem Kalibawang dengan total area 7.152 Ha, yang merupakan interkoneksi dari beberapa daerah irigasi yang terdiri dari DI (Daerah Irigasi) Kalibawang, DI Clereng, DI Kamal, DI Pengasih, dan DI Pekikjamal. Selain kebutuhan irigasi, air dari bendungan Sermo juga digunakan untuk air baku air minum Kabupaten Kulon Progo sebesar 150 lt/dtk (baru dimanfaatkan 30 lt/dtk) dan penggelontoran kota Wates sebesar 50 lt/dtk. Data teknis bendungan Sermo ditunjukkan dalam Tabel 1 di bawah. 1.1. Latar Belakang Wilayah Negara Republik Indonesia berada pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng IndiaAustralia dan apabila kita tinjau secara geologis wilayah Negara Republik Indonesia berada pada pertemuan 2 jalur gempa utama yaitu jalur gempa Sirkum Pasifik dan jalur gempa Alpide Transasiatic, dengan melihat kondisi ini, pergerakan-pergerakan permukaan bumi yang bersumber dari aktivitas gunung api dan gempa bumi merupakan kejadian yang sangat sering dijumpai, bahkan gempa yang cukup besar berkekuatan 5,9 SR melanda Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006
bendungan Sermo di desa Hargowilis, kecamatan Kokap, kabupaten Kulon Progo, propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 1.2. Maksud Kegiatan ini adalah merupakan implementasi dari early warning system atau peringatan dini yang dimaksudkan untuk melakukan antisipasi dari terjadinya deformasi, yang diakibatkan oleh gempa antara lain dapat meningkatkan deformasi tubuh bendungan, seperti pergeseran secara horizontal, penurunan atau settlement timbunan, longsoran atau sliding yang bermanfaat menjaga keselamatan warga masyarakat yang tinggal di sekitar bangunan tersebut, dan infrastruktur Untuk mendukung implementasi peralatan atau infrastruktur monitoring deformasi bendungan yang akan dipasang di bendungan Sermo diperlukan daya dukung sistem komunikasi data yang handal. Mengingat letak peralatan atau infrastruktur monitoring bendungan yang tersebar dibeberapa titik di area waduk Sermo dan sistem monitoring yang harus dapat diakses oleh pada pemangku kepentingan di kantor Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak di Janti Yogyakarta, maka diperlukan Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 53
Vol.02 No.02 Desember 2016
perancangan komunikasi data nirkabel yang handal dan sesuai dengan kebutuhan sistem monitoring deformasi pada bendungan yang akan diimplementasikan tersebut. 1.3. Tujuan. Tujuan dari Kegatan ini adalah merupakan kegiatan pemantauan agar dapat diantisipasi pencegahan dari terjadinya bencana akibat terjadinya deformasi akibat pergerakan bendungan secara horizontal maupun vertikal yang disebabkan terjadinya pergerakan Bendungan seperti Gempa bumi, longsoran, kebocoran, dan sebagainya, melalui sistem informasi yang diperoleh secara terus menerus dan waktu nyata (real time). Selain itu metode pemantauan dilakukan secara simultan menggunakan beberapa sensor baik statik maupun dinamik dan di tempat-tempat tertentu dipasang Video Surveilance System menggunakan Internet Protocol (IP) Camera. Data hasil pemantauan dibentuk dalam satu sistem pemantuan yang mudah diakses oleh para pemangku kepentingan. 2. TINJAUAN PUSTAKA Pemantauan Deformasi menggunakan melalui sistem informasi telemetri berbasis web site yang dilakukan secara terus menerus dengan waktu nyata (real time) dibandingkan dengan Hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode konvensional akan lebih efisien Hasil studi menunjukkan korelasi yang jelas antara perubahan tingkat air waduk dan deformasi bendungan, sehingga membuktikan Pemantauan Deformasi telemetri berbasis website menjadi alat yang efektif untuk studi deformasi permukaan bendungan. Untuk mendukung hasil kerja dari setiap peralatan pemantau deformasi bendungan, dipadukan dengan sistem pengamatan manual, selisih hasil menunjukan sampai milli meter (Sunantyo,2012). 3. PELAKSANAAN KEGIATAN Kegiatan ini merupakan kerjasama penelitian antara Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia melalui Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak dengan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. 3.1. Alur Kegiatan Peralatan Yang diperlukan Peralatan yang diperlukan dalam Pelaksanaan Pemantauan Deformasi, meliputi : a. Robotic Total Station dari Leica. b. Master Station Access Point untuk perangkat radio komunikasi data jalur lebar (Broadband Wireless Access) dari Cambium Networks. c. Client Station Rover untuk perangkat radio komunikasi data jalur lebar (Broadband Wireless Access) dari Cambium Networks. d. Tower Robotic Total Station. 1 - 54
Jurnal INFRASTRUKTUR
Gambar 1. Diagram Alir Kegiatan e. Tower perangkat radio. f. Tower penangkal petir menggunakan teknologi Early Streamer Emission. g. Prisma reflektor. h. Server database. i. Personal Computer (PC). j. IP Camera yang dilengkapi Infra Red. k. GPS/ GNSS (Global Navigation Satelite System) untuk referensi dari Leica. l. Network Data Logger dari Campbell Sci. m. Inclination sensor dari RST Instrument (mengukur kemiringan tubuh bendung). n. Crack meter dari RST Instrument (mengukur rekahan pada tubuh bendung). o. Piezometer Electric (mengukur bocoran air pada tubuh bendung). p. Koneksi internet dengan menggunakan IP publik (paska bayar dari Internet Service Provider lokal) di lokasi server. q. Koneksi internet dengan menggunakan IP dinamis (paska bayar dari Internet Service Provider lokal) di lokasi pemantauan. r. Website Sistem Monitoring Bendungan Sermo yang digunakan untuk pemantauan kondisi bendungan secara real time. 3.2. Pemantauan Deformasi. Sistem Pemantauan Deformasi Bendungan berbasis stasiun aktif GPS/GNSS – CORS yang direkomendasikan oleh Fakultas Teknik Universitas
Vol.02 No.02 Desember 2016
Gambar 2. Prinsip Sistem Pemantauan Deformasi Bendungan mengacu Stasiun Aktip GPS/GNSS – CORS online berbasis website.
Gambar 3. Prinsip GNSS-CORS sebagai Referensi Pemantau Deformasi Bendungan Pada Studi Kasus di Waduk Sermo
Gadjah Mada melalui melalui Jurusan Teknik Geodesi secara umum dideskripsikan dalam Gambar 2.1 dan Gambar 2.2 di bawah ini.
CORS (Continuously Operating Reference System) yang dimiliki oleh Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM, yang ditunjukkan dengan kode GMU1.
Pemantauan deformasi bendungan pada dasarnya adalah mengamati pergerakan 3 dimensi (pergerakan dalam sumbu x, y dan z) pada beberapa titik pengamatan yang sudah ditentukan. Pemantauan dilakukan oleh peralatan yang disebut Robotic Total Station. Perangkat tersebut melakukan pengamatan dari Stasiun Pemantau dengan mengukur jarak titik-titik pengamatan yang sudah ditentukan secara periodis dan mengolahnya menjadi data dan informasi pergerakan titik ukur tersebut.
Best practice penempatan infrastruktur atau peralatan sistem pemantau deformasi bendungan Sermo berbasis GNSS CORS yang direkomendasikan Fakultas Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada ditunjukkan dalam Gambar 2.3 dan Tabel 2.1 di bawah (Sunantyo, Lelono, Adi, Djawahir, 2010).
Stasiun Pemantau Robotic ditempatkan pada suatu jarak tertentu terhadap titik-titik pengamatan. Titik pengamatan merupakan suatu posisi di tubuh bendungan dan pada titik tersebut ditempatkan prima pengamatan. Robotic Total Station akan memancarkan/menembakkan sinar laser kearah sebuah prima dan menangkap sinar laser yang dipantulkan oleh prisma tersebut dan mengolahnya menjadi data jarak atau posisi prisma relatif terhadap Stasiun Pemantau Robotic tersebut. Proses ini dilakukan untuk sejumlah 18 buah prisma yang ditempatkan di titik-titik ukur ditubuh bendungan dan pengukuran diulang secara periodik dan otomatis. Stasiun Pemantau Deformasi enggunakan Robotic kemudian secara logikal diikatkan dengan sistem posisi global dengan GPS/GNSS yang dipasang di atasnya. GPS/GNSS akan memberikan posisi global yang terstandart sehingga pergerakan titik-titik ukur dapat direferensikan pada posisi global yang didapatkan tersebut. Untuk mendapatkan informasi posisi GPS yang presisi, secara ideal diperlukan beberapa titik penerima GPS di area waduk sermo, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2 dengan kode SRM1 sampai dengan SRM5 dan BKO1. Koreksi diferensial terhadap posisi global yang diterima oleh GPS yang dipasang di area Sermo akan diberikan oleh stasiun
Untuk membentuk sistem monitoring deformasi bendungan sermo berbasis GNSS CORS, akan dipasang 3 sensor utama yaitu: (a) Robotic Monitoring Station, (b) GPS GNSS untuk monitoring station dan rover atau reference station, dan (c) AWLR (Automatic Water Level Recorded). Sistem ini akan mempunyai unjuk kerja seperti yang disampaikan di atas. Terdapat empat area di Sermo yang akan digunakan untuk menempatkan peralatan monitoring deformasi bendungan Sermo ini yaitu : a. Area Kantor DMU (Dam Monitoring Unit), di area ini akan ditempatkan Stasiun Pemantau Robotic dan Stasiun Pemantau GPS GNSS b. Area Upstream dan Downstream, di sini akan ditempatkan 18 prisma titik pengamatan pergerakan deformasi. c. Area Intake, di sini akan ditempatkan AWLR, IP camera dan sebuah prisma pengamatan deformasi. d. Area Stasiun Klimatologi, di sini akan ditempatkan sebuah GPS GNSS rover dan sebuah prisma pengamatan deformasi.
Data koreksi deferensial dari stasiun CORS Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM perlu dikoneksikan dengan sistem monitoring ini dan pemangku kepentingan di Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak merencanakan sistem monitoring deformasi bendungan Sermo ini dapat diakses di kantor Jl. Solo Yogyakarta, dengan demikian transmisi data perlu dibentuk untuk menghubungkan tiga tempat yaitu: (a) Sermo, (b) Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 55
Vol.02 No.02 Desember 2016
Tabel 2. Koordinat Letak/Posisi Peralatan
Gambar 4. Posisi alat Pengamatan Deformasi, Data komunikasi nirkabel Sermo – JTETI FT UGM – BBWS SO Fakultas Teknik UGM, dan (c) Kantor Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.4. Implementasi GPS CORS juga sudah dilakukan di PT. Adaro Indonesia. CORS membutuhkan komunikasi data stabil yang terus menerus. karakteristik lokasi penambangan menjadikan permasalahan disisi komunikasi data karena area yang luas serta berbukit - bukit yang cukup tinggi. PT Adaro Indonesia menggunakan 4 radio sebagai master station melalui jaringan LAN, dan untuk area yang terhalang oleh topologi permukaan tanah digunakan radio pancar ulang (repeater) (Nuhidayat, Bahri, 1 - 56
Jurnal INFRASTRUKTUR
2010). Penelitian untuk menguji ketelian pengamatan GPS menggunakan metode RTK NTRIP (Real Time Kinematic – Networked Transport of RTCM via Internet Protokol) dengan stasiun CORS UGM sebagai base station terhadap 13 titik sampel TDT (Titik Dasar Teknik) di desa Banyuraden Gamping Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta telah dilakukan. Pada titik sampel TDT digunakan GPS JAVAD GNSS dengan komunikasi data menggunakan jaringan komunikasi data berbasis GSM 3G dari providermobile internet di Indonesia, yaitu provider Telkomsel, XL dan Indosat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Vol.02 No.02 Desember 2016
Untuk mendukung unjuk kerja dari setiap peralatan pemantau deformasi bendungan yang akan diimplementasikan dan membentuk fungsi monitoring seperti yang tersebut di atas maka dirancang topologi jaringan komunikasi nirkabel yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. Penempatan peralatan di area waduk sermo dan kantor Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Gambar 5. Penempatan Infrastruktur Sistem Pemantauan Deformasi Bendungan Sermo.
Dari hasil penelitian ini dapat kita lihat data dan informasi visual diperoleh pada kondisi real time, dan comprehensive (lengkap), dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah juga dengan pengetesan yang dilakukan secara pengukuran manual, perbedaan sampai milimeter.
Gambar 6. Topologi jaringan komunikasi nirkabel. keandalan layanan data berpengaruh secara 4.2. Data Yang Ditampilkan signifikan pada pengujian tersebut dan provider Data yang ditampilkan meliputi : Telkomsel menunjukkan ketelitian paling rendah 1. Data pantauan periodik (bisa per 1 jam, per dan provider XL menunjukkan ketelitian paling hari, per minggu, dan per tahun). tinggi (Sari, Sunantyo, Aries, Subhianto, 2010). 2. Data statistik dalam bentuk grafik atau tabel. 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Analisa Penelitan untuk menganalisis pengaruh kecepatan koneksi internet dalam komunikasi data NMEA (National Marine Electronics Association) secara real-time berbasis TCP-IP dengan membandingkan kecepatan mengunggah dan mengunduh telah dilakukan. Komputer monitor station dalam komunikasi data NMEA berperan untuk mengunduh data dan kecepatan mengunduh lebih berpengaruh. Komputer monitor station dipasang dengan koneksi internet Kampus Teknik Geodesi UGM dengan kecepatan mengunduh data sebesar 0.98 mbps. Komputer rover station dalam komunikasi data NMEA berperan untuk mengunggah data, kecepatan yang berpengaruh adalah kecepatan mengunggah data. Komputer rover station dikoneksikan dengan modem dengan kecepatan mengunggah data sebesar 0,04 mbps dan 0,05 mbps. Hasil penetilitan menunjukkan bahwa proses transmisi mengalami keterlambatan rata-rata selama 5 detik.
Data pemantauan bendungan Sermo dapat dilihat menggunakan gadget apapun, contoh dapat dilihat menggunakan PC, notebook, ataupun smartphone dengan syarat perangkat tersebut terkoneksi internet. Pada contoh gambar diatas (gambar 3.2) pemantauan real time bendungan sermo menggunakan tablet Samsung Galaxy Tab A. Data pemantauan juga dapat didownload dalam bentuk gambar maupun tabel excel (gambar 3.3), sehingga memudahkan pemangku kepentingan untuk membuat laporan mengenai bendungan Sermo. Pada contoh tampilan website diatas menggunakan contoh pemantauan tinggi muka air bendungan Sermo, juga terdapat indikator level peringatan, penjelasannya jika grafik menyentuh warna hijau, maka tinggi muka air memasuki peringatan siaga 3 (>136,60 mdpl), jika menyentuh warna kuning maka memasuki level siaga 2 (>139,10 mdpl), dan jika menyentuh warna merah maka memasuki peringatan siaga 1 (>140,90 mdpl). Sistem peringatan level siaga ini digunakan sebagai Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 57
Vol.02 No.02 Desember 2016
(a)
(d)
(b)
(c)
(e)
(f)
Gambar 7. (a) Tampilan halaman awal website sistem monitoring bendungan sermo, (b) Hasil pemantauan real time tinggi muka air harian, (c) Hasil pemantauan tinggi muka air mingguan, (d) Hasil pemantauan tinggi muka air bulanan, (e) Hasil pemantauan tinggi muka air tahunan, (f) Tampilan visual tinggi muka air secara real time. implementasi dari Early Warning System dalam pemantauan bendungan secara real time. 4.3. Pemeliharaan Sistem Pemeliharaan untuk berfungsinya sistem monitoring bendungan Sermo secara terus menerus, maka diperlukan pemeliharaan instrumen yang meliputi : 1. Pemeliharaan yang dibutuhkan untuk Sistem Structural Deformation Monitoring bendungan Sermo, meliputi : a. Robotic Total Station Monitoring Sensor dengan prisma yang terpasang di tubuh bendungan. b. DTM Meteosensor. c. Dedicated Power Supply menggunakan Solar Cell dan Deep Cycle Battery. Gambar 8. Hasil download pemantauan bendungan Sermo dalam bentuk tabel excel. 1 - 58
Jurnal INFRASTRUKTUR
d. Lighting Protection dengan Grounding Systems. 2.
Pemeliharaan
sistem
Structural
Monitoring
Vol.02 No.02 Desember 2016
bendungan Sermo, meliputi : a. Inclination Sensor dan Piezometer Electric. b. Dedicated Power Supply menggunakan Solar Cell dan Deep Cycle Battery. 3. Pemeliharaan sistem telemetri Water Level Meter yang terdapat di Intake dan telemetri Water Level Meter untuk memonitor level air di V-Notch. 4. Pemeliharaan sistem pemantauan cuaca. Pemeliharaan sistem Video Surveilance untuk pemantauan visual secara real time kondisi bendungan Sermo. 5. Pemeliharaan Control Room untuk Monitoring System bendungan Sermo dan koneksi internet, meliputi : a. Server untuk pemantauan bendungan Sermo. b. Koneksi VPN yang saat ini terpasang. c. Perekaman Video Surveilance. d. Dedicated Internet Connection dengan IP publik. e. Additional License untuk Automatic Geodetic Deformation Monitoring System. 6. Pemeliharaan perangkat radio komunikasi data jalur lebar, meiputi : a. Perangkat radio Access Point sebagai Master Station. b. Perangkat radio client untuk Rover Station. 7. Kalibrasi sensor – sensor yang terpasang, meliputi : a. Sensor pantau deformasi bendungan (robotic dan prisma). b. Sensor GPS/GNSS dan CORS. c. Sensor pemantau level air di bendungan dan V-Notch. d. Sensor pemantau rekahan tubuh bendungan (crack meter).
dan comprehensive (lengkap), dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah juga dengan pengetesan yang dilakukan saecara pengukuran manual. 5.2. Saran Pengamanan Bendungan melalui pemantauan yang intensif, dan dimana saja melalui data maupun visualisasi dan real time terus menerus dengan Telemetry berbasis Website adalah sangat efektip untuk diterapkan pada setiap Bendungan di seluruh Indonesia. DAFTAR PUSTAKA. Sunantyo TARSISIUS. ARIS1, Suryolelolo KABUL. BASAH.2, Djawahir FAKRURAZZI.1, Swastana ADIN., Darmawan ADHI .2, and Adityo SUSILO4, Design and installation for Dam Monitoring Using Multi sensors: A Case Study at Sermo Dam, Yogyakarta Province, Indonesia, 6-10 May 2012 Ali R. , Cross P., and El-Sharkawy A., 2005, High Accuracy Real-time Dam Monitoring Using Low-cost GPS Equipment, FIG Working Week 2005 and GSDI-8 Cairo, Egypt April 16-21 Azdan D. dan Samekto, 2008, Kritisnya Kondisi Bendungan di Indonesia, Seminar on Indonesian National Committee on Large Dams (INACOLD) di Surabaya 2-3 Juli 2008). Brown N., Kaloustian S., Roeckle M., 2011, Monitoring of Open Pit Mines using Combined GNSS Satellite Receivers and Robotic Total Stations, Internet accesed, 6 May 2011. Ankur Manake & Madhav N. Kulkarni, Page 49750,: 19 Jul 2013, Study Of The Deformation Of Koyna Dam Using The Global Positioning System.
e. Sensor pemantau rembesan air di OW (Observation Wheel). f. Sensor Piezometer Electric. g. Sensor Piezometer Vibrating Wire. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Keamanan bendungan ditujukan untuk melindungi bendungan dari kegagalan bendungan dan melindungi jiwa, harta, serta prasarana umum yang berada di wilayah yang terpengaruh oleh potensi bahaya akibat kegagalan bendungan. Dalam rangka memperkecil resiko kegagalan bendungan, perlu dilakukan pemantauan yang intensif, dan dimana saja melalui data maupun visualisasi dan real time. Dari hasil penelitian ini dapat kita lihat data dan informasi visual diperoleh pada kondisi real time, Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 59
Vol.02 No.02 Desember 2016
KAJIAN STRATEGI PERCEPATAN PENGHUNIAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA) BERDASARKAN SISTEM PENGADAAN DAN PENGHUNIAN Dahlan Prayogo Midian1, Iwan Kustiwan2 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat1 Institut Teknologi Bandung2
Jalan Pattimura No.20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 121101 Jalan Ganesha 10 Bandung, 401322 E-mail:
[email protected]
Abstract STUDY OF THE RESIDENTIAL BUILDING OF LOW-COST HOUSING (RUSUNAWA) ACCELERATION STRATEGY BASED PROCUREMENT SYSTEM AND RESIDENTIAL Building of low-cost housing (Rusunawa) Ujungberung completed in 2012, was populated by 22 occupancy (8 %) of the total capasity of 267 residential. The purpose of this study is to describe the study of the causes of the building of low-cost housing (Rusunawa) late inhabited by planning/procurement system in the building of low-cost housing (Rusunawa), rsidential selection system, the factors that influence residents to inhabit the building of low-cost housing (Rusunawa), described the acceleration strategies residential building of low-cost housing (Rusunawa) based procurement system and residential.Methods of research using quantitative analysis with the help of SPSS (Statistical Program for Sosial Science ) with descriptive statistical analysis of crosstabs. Data was collected by using a questionnaire distributed at building of lowcost housing (Rusunawa) Ujungberung dwellers and as a comparison, also distributed a questionnaire on building of low-cost housing (Rusunawa) Leuwigajah dwellers, with the number of questionnaires of 50 respondents.From the analysis, which is problematic in residential phase can be caused by a previous phase. This phase is the phase of budget planning. Budget building of low-cost housing (Rusunawa) are located in the central government and eventually assets Budget building of low-cost housing (Rusunawa) will be handed over from the center to the regions. This is an obstacle, because the handover of assets building of low-cost housing (Rusunawa) from central to local needs and process a long time. Keywords: Building of low-cost housing (Rusunawa), procurement system building of low-cost housing (Rusunawa), residential, factors affecting the occupants to inhabit building of low-cost housing (Rusunawa). Abstrak KAJIAN STRATEGI PERCEPATAN PENGHUNIAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA) BERDASARKAN SISTEM PENGADAAN DAN PENGHUNIAN
Rusunawa Ujungberung selesai dibangun tahun 2012, mulai dihuni sebanyak 22 hunian (8 %) dari total kapasitas 267 hunian. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kajian penyebab terlambat dihuni berdasarkan perencanaan/sistem pengadaan Rusunawa, sistem seleksi penghunian, faktor-faktor yang mempengaruhi penghuni untuk menghuni Rusunawa, dan strategi percepatan penghunian Rusunawa berdasarkan sistem pengadaan dan penghunian.Metode yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan bantuan software statistik SPSS (Statistical Program for Sosial Science) dengan analisis statistik deskriptif tabulasi silang (crosstabs). Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dibagikan pada penghuni Rusunawa Ujungberung dan sebagai pembanding, dibagikan juga kueisoner pada penghuni Rusunawa Leuwigajah, dengan jumlah kuesioner sebanyak 50 responden. Dari analisis yang dilakukan, fase yang bermasalah di atau pada penghunian bisa diakibatkan oleh fase sebelumnya. Fase ini adalah fase perencanaan anggaran. Anggaran Rusunawa berada di Pemerintah Pusat dan nantinya aset Rusunawa ini akan diserahterimakan dari pusat ke daerah. Hal ini menjadi kendala, karena serah terima aset Rusunawa dari pusat ke daerah perlu proses dan waktu yang lama. 1 - 60
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
Kata Kunci: Rusunawa, Sistem Pengadaan Rusunawa, Penghunian, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penghuni untuk Menghuni Rusunawa 1. PENDAHULUAN Pada dasarnya pemukiman kumuh adalah ciri khas permasalahan yang terjadi hampir di seluruh kawasan perkotaan di Indonesia. Kepadatan penduduk yang disebabkan oleh tingginya angka urbanisasi serta keadaan ruang yang tetap sementara kebutuhan akan ruang yang semakin bertambah menjadi salah penyebab munculnya kantong-kantong pemukiman kumuh di daerah perkotaan. Kawasan atau pemukiman kumuh sendiri merupakan suatu kawasan dengan tingkat kepadatan populasi yang tinggi di sebuah kota yang pada umumnya dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Selama ini kawasan atau pemukiman kumuh dianggap sebagai sumber dari masalah sosial dan di berbagai kawasan miskin pemukiman kumuh juga menjadi pusat bagi masalah kesehatan karena kondisinya yang tidak higienis. Pembangunan Rusunawa di Indonesia melalui Kementerian Pekerjaan Umum selain menjawab isu pemanfaatan lahan perkotaan secara efisien, juga mendukung penataan kembali area-area perumahan/permukiman yang tidak layak, khususnya ditujukan untuk memfasiltasi hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), termasuk terciptanya layanan prasarana dan sarana serta utilitas yang layak sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang dimiliki Direktorat Jenderal Cipta Karya sudah dimulai sejak tahun 2003-2009 serta Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pekerjaan Umum 2010-2014. Berdasarkan data Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Permukiman Perkotaan Strategis (Satker PKPSS), Direktorat Pengembangan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya dari tahun 20032013 sudah terbangun 353,5 Twin Blok (TB), Rusunawa yang sudah terhuni 240 TB (67,89 %), Rusunawa yang belum terhuni 113,5 TB (32,11 %). Dari data tersebut dapat kita ketahui bahwa ternyata pembangunan Rusunawa yang telah dilaksanakan di Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Hal tersebut terlihat dari besarnya persentase Rusunawa yang belum dihuni yaitu sebesar 32,11 %. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kajian penyebab Rusunawa terlambat dihuni berdasarkan perencanaan/sistem pengadaan Rusunawa, mendeskripsikan kajian penyebab Rusunawa terlambat dihuni berdasarkan sistem seleksi penghunian, mendeskripsikan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi penghuni untuk menghuni Rusunawa, mendeskripsikan strategi percepatan penghunian Rusunawa berdasarkan sistem pengadaan dan penghunian. 2. TINJAUAN PUSTAKA Rusun Sewa sebagai Social/Public Housing
Sistem yang diterapkan dalam menunjukkan kepemilikan terhadap rumah yang dihuni oleh seseorang selain merupakan rumah milik, terdapat juga rumah sewa. Rumah dengan sistem sewa pada dasarnya menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara pemilik dan penyewa. Sistem sewa ditandai dengan terjalinnya perjanjian baik secara lisan atau tertulis antara pemilik dan penyewa. Sistem rumah sewa dapat diterapkan di perumahan formal maupun informal selama telah terjalin kesepakatan di antara keduanya (UN Habitat, 2003) 2.1. Karakteristik Masyarakat Penghuni Rumah Susun Berdasarkan penelitian Wu (2006) mobilitas tempat tinggal dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, jenis pekerjaan, status kependudukan, alasan memilih rumah dan lokasi rumah serta luas rumah yang dihuni saat ini. Di Indonesia pada umumnya, umur tidak menjadi faktor yang mempengaruhi mobilitas tempat tinggal. Misalnya di usia sekolah seorang pelajar dikoskan oleh orang tuanya. Dalam hal ini pengambil keputusan adalah orang tua si pelajar bukan pelajar yang bersangkutan. Demikian juga dengan jenis kelamin. Kepala keluarga pada umumnya adalah pria, namum pada saat ini banyak wanita yang menjadi kepala keluarga karena berbagai alasan, sehingga jenis kelamin diduga bukan faktor yang mempengaruhi mobilitas tempat tinggal. Sedangkan perubahan status keluarga yang menurut Wu (2006) yang juga disebut oleh Han dan Baum (2002), Rossi (1995), Clark et. al (1994) dan Deurlo et. al (1994). Seseorang yang belum menikah dan mempunyai anak, tentu akan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan yang telah menikah, belum mempunyai anak atau dengan yang telah menikah mempunyai anak. Besar kecilnya jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah juga mempengaruhi kenyamanan bertinggal. Jarak rumah dengan lokasi kerja menurut Turner (1968) juga mempengaruhi mobilitas tempat tinggal untuk memperoleh potensi yang lebih baik, misalnya dari sekedar memyewa sampai kemudian dapat memiliki rumah sendiri. Pernyataan Turner tersebut lebih bersifat spekulasi. Faktor kedekatan jarak antara rumah dan tempat pekerjaan juga diutarakan Henley (1998). Mobilitas tidak semata-mata untuk mencari keuntungan tetapi lebih karena mutasi pekerjaan. Kotler dan Armstrong (2004) harga telah menjadi faktor utama yang mempengaruhi pilihan pembeli. Dalam penelitian ini, batasan harga sewa/tarif retribusi Rusunawa dianggap cenderung mempengaruhi keputusan mobilitas tempat tinggal penghuni Rusunawa. 3. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang spesifikasinya adalah sistematis, terencana, Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 61
Vol.02 No.02 Desember 2016
dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan desain penelitiannya. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner diberikan kepada penghuni Rusunawa Ujungberung dan penghuni Rusunawa Leuwigajah sebanyak 50 responden. Untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi penghuni Rusunawa Ujungberung untuk mempercepat penghuniannya dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dengan bantuan software statistik SPSS (Statistical Program for Social Science). Analisis deskriptif yang digunakan adalah analisis crosstabs (tabulasi silang) yang dapat menunjukkan distribusi bersama dan pengujian hubungan antara dua variabel.
dari 2 hunian difable, 1 ruang pengelola, lantai 2 terdiri dari 24 hunian, lantai 3 terdiri dari 24 hunian, lantai 4 terdiri 24 hunian, lantai 5 terdiri dari 24 hunian. Rusunawa Ujungberung dan Rusunawa Leuwigajah adalah bantuan dalam bentuk kerja sama, antara Tabel 1. Kelembagaan antara Pusat dan Daerah
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Rusunawa Ujungberung dibangun di atas tanah milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat, terdiri dari 3 (Twin blok) TB, 1 TB dibangun oleh Kementerian Perumahan Rakyat dan 2 TB yang dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum masing-masing terdiri dari lima lantai, lantai dasar terdiri dari 2 hunian difable, 1 ruang pengelola, lantai 2 terdiri Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah dari 24 hunian, lantai 3 terdiri dari 24 hunian, lantai Daerah, Kementerian Pekerjaan Umum membantu 4 terdiri 24 hunian, lantai 5 terdiri dari 24 hunian. Rusunawa Leuwigajah dibangun di atas tanah milik Pemerintah Kota Cimahi terdiri dari 3 (Twin blok)
Gambar 3. Rusunawa Leuwigajah Gambar 1. Lokasi studi Rusunawa Ujungberung membangun Rusunawa, sedangkan Pemerintah Daerah menyiapkan lahan matang beserta fasilitas dan utilitas pendukungnya agar bangunan Rusunawa Ujungberung dan Rusunawa Leuwigajah dapat dimanfaatkan secara layak oleh penghuninya. 4.1. Analisis Rusunawa
Gambar 2. Rusunawa Ujungberung
Potensi
Pelaku
Pengadaan
Penyelenggaraan Rusunawa menyangkut kesiapan Kementerian Pekerjaan Umum dan juga kesiapan Pemerintah Daerah calon penerima bantuan, maka diperlukan kesepakatan antara para pihak agar tercapai keserasian kegiatan di Pusat dan Daerah. Kesepakatan tersebut disusun berjenjang menunjukkan komitmen para pihak pada setiap tahapan.
TB, yang dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum terdiri dari lima lantai, lantai dasar terdiri 4.2. Karakteristik Sosial Ekonomi Penghuni 1 - 62
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
4.3. Rusunawa Ujungberung 4.3.1. Usia Penghuni
Responden yang tidak punya rumah dengan jumlah 41 %. Responden yang tempat tinggal asalnya dari kontrakan berjumlah 50 %. Responden yang sebelumnya tinggal di rumah sendiri berjumlah 0 %. Responden yang sebelumnya tinggal di rumah orang tua dengan jumlah berjumlah 9 %. Tempat tinggal asal responden didominasi yang sebelumnya , pada umumnya (50 %) tinggal di kontrakan. Berdasarkan hasil perhitungan statistik, ada hubungan antara rencana menghuni dengan tempat tinggal asal. Hal ini sesuai dengan teori Turner (1968) bahwa mereka yang biasanya melakukan mobilitas tempat tinggal adalah masyarakat miskin. Motivasi rencana pindah ke Rusunawa terbesar adalah harga sewa/tarif retribusi yang lebih murah
Gambar 4. Usia Penghuni Usia responden berkisar 22 tahun – 43 tahun, didominasi usia 26 tahun – 30 tahun sebanyak 36 %. Berdasarkan hasil perhitungan statistik, tidak ada hubungan antara rencana menghuni dengan usia penghuni. Hal ini tidak sesuai dengan teori Wu (2006) yang menyatakan bahwa penduduk yang melakukan mobilitas tempat tinggal berada pada usia produktif.
Gambar 6. Tempat Tinggal Asal
4.3.2. Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga responden berkisar 2
4.3.4. Pekerjaan Penghuni Responden umumnya bekerja sebagai PNS dengan jumlah 59 %, honorer berjumlah 36 %, karyawan
Gambar 5. Jumlah Anggota Keluarga orang – 3 orang, didominasi 3 orang sebanyak 64 %. Hal ini menunjukkan responden merupakan keluarga muda dengan suami, istri, dan 1 anak. Berdasarkan hasil perhitungan statistik, tidak ada hubungan antara rencana menghuni dengan jumlah anggota keluarga. Hal ini tidak sesuai dengan teori Rossi (1955) bahwa mobilitas tempat tinggal dilakukan oleh keluarga-keluarga untuk menyesuaikan rumah mereka dengan kebutuhan akan rumah yang dipicu oleh perubahan komposisi keluarga 4.3.3. Tempat Tinggal Asal
Gambar 7. Pekerjaan Penghuni swasta 5 %. Pekerjaan responden didominasi PNS. Hal ini disebabkan karena syarat menghuni Rusunawa Ujungberung adalah PNS/Honorer. Berdasarkan hasil perhitungan statistik, tidak ada hubungan antara rencana menghuni dengan pekerjaan penghuni. Dari keadaan ini dapat diartikan bahwa rencana penghuni untuk menghuni Rusunawa Ujungberung ternyata tidak dipengaruhi oleh jenis pekerjaannya. 4.3.5. Penghasilan Penghuni
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 63
Vol.02 No.02 Desember 2016
Penghasilam responden umumnya berkisar 1 juta – 2,5 juta per bulan berjumlah 45 %, < 1 juta berjumlah 32 %, 2,5 jta – 5 juta berjumlah 23 %.
dengan jumlah 64 %. Responden yang memberikan persepsi kondisi unit hunian lebih buruk dibandingkan dengan rumah sebelumnya dengan jumlah 0 %.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik, ada hubungan antara rencana menghuni dengan penghasilan penghuni. Hal ini sesuai dengan teori Dipasquale (1996) bahwa permintaan barang publik akan ditentukan oleh faktor harga dari barang tersebut. Kondisi ini juga sesuai dengan teori Kotler dan Armstrong (2004) bila konsumen menganggap bahwa harga lebih rendah daripada nilai produk, mereka akan membelinya.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik, tidak ada hubungan antara rencana menghuni dengan kondisi unit hunian. Dari keadaan ini dapat diartikan bahwa rencana penghuni untuk menghuni Rusunawa Ujungberung ternyata tidak dipengaruhi oleh kondisi unit hunian. 4.4.3. Harga Sewa/Tarif Retribusi Rusunawa
4.4. Persepsi Penghuni terhadap Sarana dan Prasarana
Gambar 10. Kondisi Unit Hunian
Gambar 8. Penghasilan Penghuni 4.4.1. Jarak Rusunawa ke Tempat Pekerjaan Jarak Rusunawa ke tempat pekerjaan didominasi responden dengan jarak 2 km – 5 km. Berdasarkan hasil perhitungan statistik, ada hubungan antara rencana menghuni dengan jarak Rusunawa ke tempat pekerjaan. Hal ini sesuai dengan Teori Henley (1998) dan Turner (1968) yang menjelaskan mengenai faktor kedekatan dengan tempat pekerjaan diperkirakan menjadi faktor utama bagi mereka untuk memilih bertempat tinggal di Rusunawa.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik, ada hubungan antara rencana menghuni dengan harga sewa. Hal ini sesuai dengan teori Dipasquale (1996) bahwa permintaan barang publik akan ditentukan oleh faktor harga dari barang tersebut. Kondisi ini juga sesuai dengan teori Kotler dan Armstrong (2004) bila konsumen menganggap bahwa harga lebih rendah daripada nilai produk, mereka akan membelinya. 4.5. Strategi Percepatan Penghunian Rusunawa berdasarkan Perencanaan/Sistem Pengadaan
4.4.2. Kondisi Unit Hunian Responden yang memberikan persepsi kondisi unit Gambar 11. Harga Sewa Rusunawa
4.6. Rusunawa
Gambar 9. Jarak Rusunawa ke Tempat kerja hunian lebih baik dibandingkan rumah sebelumnya 1 - 64
Jurnal INFRASTRUKTUR
Untuk mendorong strategi percepatan penghunian Rusunawa, maka untuk dana pembangunan Rusunawa dapat berupa dana bansos/dana hibah ke Pemerintah Daerah, yang membangun Rusunawa adalah Pemerintah Daerah, sehingga tidak ada kendala dalam serah terima asetnya, karena sejak perencanaan Rusunawa memang sudah disiapkan untuk menjadi milik Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat memberikan bimbingan teknis.
Vol.02 No.02 Desember 2016
Tabel 2. Timeline Strategi Percepatan Penghunian Rusunawa
4.6. Strategi Percepatan Penghunian Rusunawa berdasarkan Sistem Seleksi Penghunian Untuk mendorong strategi percepatan penghunian dari sistem seleksi penghunian, sejak awal proses pembangunan Rusunawa, sudah dibuat sistem pendaftaran penghuni Rusunawa dengan sistem online. Dengan sistem pendaftaran online ini maka akan ada daftar tunggu untuk calon penghuni Rusunawa. Hal ini sudah dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung dengan membuat sistem online untuk pendaftaran calon penghuni apartemen rakyat. Jadi ketika apartemen rakyar ini selesai, sudah terdapat daftar tunggu calon penghuninya.
a. Fase perencanaan anggaran : Birokrasi proses administrasi serah terima dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 1987 tentang Penyerahan Aset dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2008 tentang Hibah Daerah, mulai dari Ditjen Cipta Karya, ke Sekretariat Jenderal Kementerian PU, Kementerian Keuangan, Sekretariat Negara, terakhir ke Presiden. b. Keterbatasan anggaran Pemda untuk pengadaan listrik dan air bersih. 2. Faktor yang mempengaruhi penghuni tinggal di Rusunawa adalah tempat tinggal asal, penghasilan penghuni, jarak Rusunawa ke tempat pekerjaan, kemudahan untuk mendapatkan angkutan umum, harga sewa.
Tabel 3. Timeline Strategi Percepatan Sistem Seleksi Penghunian
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Dari analisis yang dilakukan, fase yang penghunian yang bermasalah diakibatkan oleh fase sebelumnya antara lain :
3. Dalam penelitian ini, perbedaan karakteristik penghuni Rusunawa Ujungberung dan Rusunawa Leuwigajah berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi penghuni untuk mempercepat penghuniannya relatif tidak ada.
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 65
Vol.02 No.02 Desember 2016
5.2. Saran Untuk strategi percepatan penghunian Rusunawa adalah sebagai berikut : 1.Anggaran pembangunan Rusunawa dapat berupa dana bansos/dana hibah ke Pemerintah Daerah dan tugas Pemerintah Pusat memberikan bimbingan teknis kepada Pemerintah Daerah. 2.Perubahan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2008 tentang Hibah Daerah bahwa aset yang akan diserahterimakan yang perlu persetujuan Presiden, nilai asetnya di atas 100 miliar. Sehingga aset Rusunawa yang nilainya berkisar 10 miliar, untuk proses serah terima asetnya hanya sampai Kementerian Keuangan. 3.Pengadaan listrik dan air bersih berasal dari dana APBN melalui Kementerian PU. 4.Sistem pendaftaran penghuni Rusunawa dengan sistem online. Dengan sistem pendaftaran online ini maka akan ada daftar tunggu untuk calon penghuni Rusunawa. 5.Menurunkan harga sewa/tarif retribusi Rusunawa sehingga dapat menarik calon penghuni untuk menghuni Rusunawa Ujungberung, meningkatkan sosialisasi kepada calon penghuni tentang adanya Rusunawa Ujungberung. DAFTAR PUSTAKA Budiharjo E dan Harjohuboyo S. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan, Bandung Alumni. Budihardjo, Eko. 1994. Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan, Perkotaan Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cresswell, John W. 2010. Research Design – Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. DiPasquale, Denise et al. 1996. Urban Economics and Real Estate Markets. Prentice-Hall, Inc. New Jersey. Direktorat Pengembangan Permukiman, 2013, Draft Pedoman Penyelenggaraan Rusunawa, Direktorat Pengembangan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum. Kotler and Armstrong, Gary. 2004. Principles of Marketing. Edisi IX, Jilid I. PT. Indeks, Jakarta. Meisheng, Nie. 2004. Policies and Measures on Housing of Chinese Low-income Households. Environtment and Planning A, 36, pp. 1285-1304. 1 - 66
Jurnal INFRASTRUKTUR
Peraturan Pemerintah Nomor 6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/ PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/ PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodefikasi BMN. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/ PMK.06/2007 tentang Tatacara Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan BMN. Rapoport, Amos ,1969, House, Form and Culture, Prentice Hall, inc. London. Rossi, P.H. 1995. Why Families Move : A study of The Social Psychology of Urban \ Residential Mobility. New York, The Free Press. Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Permukiman Perkotaan Strategis,Direktorat Pengembangan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, 2013.
Vol.02 No.02 Desember 2016
ASPEK DESAIN PEMECAH GELOMBANG DAN DERMAGA TERAPUNG DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM MODULAR Irham Adrie Hakiki.1 dan I Putu Samskerta2
Balai Penelitian dan Pengembangan Pantai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Balai Litbang Pantai, Jl. Singaraja Gilimanuk KM122, Buleleng, 81155 Email :
[email protected],
[email protected]
Abstract Floating breakwater and floating dock are kind of structures that will be constructed with floating modular system. Floating structures are still a new field for Ministry of Public Works and People Housing, so there are many important factors that still not known. Therefore a guide needed for supporting the Ministry. For starter, the guide need to cover about design criteria of floating structures, especially for breakwater and dock. The guide made by doing literature study and adopting from international standard. Criteria for breakwater consist of material usage, dimension determination, and performance of floating breakwater. Criteria for floating dock consist of dimension of target ships, component needed, and dock dimension determination. Also mooring system needed for station keeping and one of the most important component. Keyword: criteria of floating breakwater, criteria of floating dock, modular floating system, mooring system
Abstrak Pemecah gelombang terapung dan dermaga terapung merupakan bagian dari struktur yang akan dibuat dengan menggunakan sistem modular wahana terapung. Struktur terapung masih merupakan hal baru bagi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sehingga belum banyak yang mengetahui faktor-faktor yang diperlukan dalam merencakan struktur terapung. Maka diperlukan sebuah pedoman yang sudah disesuaikan bagi kebutuhan Kementerian PUPR. Pada tahap awal, pedoman yang diperlukan adalah pedoman mengenai kriteria struktur terapung, terutama bagi pemecah gelombang dan dermaga. Penyusunan pedoman dengan melakukan kajian literatur dan mengadopsi kriteria-kriteria yang telah lazim digunakan di dunia internasional. Kriteria bagi pemecah gelombang terapung antara lain berkaitan dengan penggunaan material, penentuan dimensi, dan performa dari pemecah gelombang terapung. Kriteria bagi dermaga apung antara lain penentuan target kapal, komponen-komponen yang diperlukan, serta penentuan dimensi. Sistem mooring diperlukan untuk menjaga posisi dari struktur terapung ini dan merupakan salah satu komponen terpenting. Kata kunci: kriteria pemecah gelombang terapung, kriteria dermaga terapung, sistem modular wahana apung, sistem mooring
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 67
Vol.02 No.02 Desember 2016
1. PENDAHULUAN Sistem modular wahana apung merupakan salah satu kegiatan terpadu yang mulai diinissiasi Balitbang pada tahun 2015. Kegiatan ini merupakan konsep pengembangan suatu kawasan pesisir dengan mengapungkan infrastruktur pada kawasan tersebut, jadi pondasi yang digunakan untuk struktur berdiri adalah air. Infrastruktur yang dimaksud adalah jembatan, hunian, dan dermaga. Struktur tersebut akan ditaruh pada ponton yang disusun dari modul-modul terapung (Balai Pantai, 2015). Akan tetapi membuat struktur terapung di laut bukanlah perkara mudah, gaya-gaya yang ada di laut seperti gelombang, arus, dan angin sangat rentan untuk membuat struktur tidak stabil. Struktur yang tidak stabil dapat mengalami pergerakan yang sangat besar sehingga menyebabkan struktur terguling dan tenggelam. Selain itu, gaya yang terjadi secara terus menerus ini, dapat menyebabkan struktur lelah dan akhirnya mengalami kegagalan baik pada sttuktur utamanya ataupun pada sambungannya. (Watanabe, Wang, Utsunomiya, & Moan, 2004) Balai Litbang Pantai berperan untuk melakukan penelitian struktur apung untuk penggunaanya sebagai dermaga dan pemecah gelombang. Dermaga merupakan fasilitas bersandar bagi kapal dan dalam operasinya aspek keselamatan sangat penting untuk diperhatikan. Bila dermaga dijadikan terapung maka penting bagi dermaga untuk tidak tenggelam karena kelebihan beban ataupun mengalami kegagalan karena perencanaan yang tidak tepat. Bila digunakan sebagai pemecah gelombang maka perlu dipahami bagaimana cara perencanaan struktur tersebut agar dapat berfungsi untuk mengurangi energi gelombang. Dan bagi kedua struktur tersebut sangat penting untuk tetap bertahan pada posisinya (tidak berpindah tempat) dalam menerima beban lingkungan yang terjad serta tidak mengalami kegagalan seperti yang telah diutarakan sebelumnya. Maka untuk dapat memperoleh struktur dermaga dan pemecah gelombang terapung yang tepat guna perlu diketahui komponen-komponen pada
struktur, batasan-batasan dalam perencanaan, dan kriteria-kriteria yang perlu diperhitungkan dalam perencanaan struktur. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan komponenkomponen penting pada perencanaan struktur apung, kriteria dan batasan dalam perencanaan dimensi dan pemilihan material, dan aspek-aspek perencanaan yang tidak boleh dilewatkan untuk membangun dermaga dan pemecah gelombang terapung. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prinsip Pemecah Gelombang Apung Pemecah gelombang apung meredam gelombang dengan prinsip interferensi yaitu dengan membuat gelombang yang berbeda fasa bertemu dengan gelombang datang sehingga saling meniadakan dan atau menggunakan gesekan atau turbulensi untuk mengilangkan energi gelombang datang (van Tol, 2008). Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, tipe pemecah gelombang terapung dibagi menjadi (van Tol, 2008): 1. Reflecting Dinding vertikal didukung dengan rangka A terapung. Refleksi energi tergantung draft dinding vertikal dan pergerakan lateral pemecah gelombang terapung. Sway dibuat menjadi roll untuk mengurangi gaya tali. 2. Displacement Struktur menyerap energi gelombang dan ditransmisikan kembali dengan fasa yang diubah. Struktur lebih stabil bisa dicapai pada tipe ini 3. Dissipative Energi gelombang didisipasi ke dalam turbulensi. Pada struktur tipe displacement, pemecah gelombang terapung akan mengalami pergerakan akibat gelombang datang. Struktur yang terapung bebas memiliki 6 derajat kebebasan (Gambar 1).
Gambar 1. Derajat kebebasan struktur terapung (McCormick , 2010) 1 - 68
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
Pergerakan struktur akan menghasilkan gelombang. Selain itu terdapat juga energi yang mengalir dari bawah struktur (underflow). Maka gelombang yang ditransmisikan adalah penjumlahan dari gelombang yang dibangkitkan oleh pergerakan struktur dan gelombang akibat underflow. Ilustrasi dari prinsip keja pemecah gelombang terapung ditunjukkan pada Gambar 2. Selain itu sistem mooring yang semakin kaku dapat meredam gelombang dengan lebih baik. (Gaythwaite, 1990)
terapung bagi pemecah gelombang dan dermaga. Sumber yang digunakan antara lain mengacu dari tesis-tesis penelitian tentang pemecah gelombang dan dermaga terapung dan standar-standar resmi yang dikeluarkan oleh instansi-instansi yang telah mendapatkan pengakuan dunia. Tesis-tesis yang digunakan antara lain master tesis oleh (Fousert , 2006) dan (van Tol, 2008) yang berfokuskan pada studi redaman struktur terapung, serta (Saleh, 2010) yang membahas mengenai struktur masif yang terapung. Standar yang digunakan antara lain (OCDI, 2002) yang merupakan standar teknis untuk perencanaan fasilias pelabuhan dan dermaga di Jepang dan telah banyak diterapkan juga dalam pekerjaan dermaga di Indonesia. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemecah Gelombang Apung
Gambar 2. Prinsip pemecah gelombang terapung 2.1. Bentuk Dermaga Terapung Kapal akan berlabuh pada modul terapung yang dibentuk menjadi dermaga dengan layout menjari (pier). Dermaga disusun dari modul terapung yang dijaga posisinya dengan sistem mooring, dapat berupa rangkaian dari ponton-ponton dan dihubungkan ke darat dengan jembatan akses (OCDI, 2002). Sistem mooring Ilustrasi dermaga apung dengan sistem modul terapung ditunjukkan Gambar 3.
4.1.1. Kondisi Batas Pemecah Gelombang Apung Dalam perencanaan pemecah gelombang terapung perlu diidentifikasi batasan-batasan yang ada bagi struktur tersebut. Batasan yang diidentifikasi ditinjau dari aspek interaksi struktur terhadap lingkungan, interaksi struktur terhadap sistem mooring (penjagaan posisi), dan interaksi struktur terhadap sambungan. Selain itu didefinisikan juga batasan bagi struktur itu sendiri, yaitu (Van Tol, 2008): 1. Lingkungan Beban lingkungan terhadap (Tirimanna & Falbr ): a. Gaya b. Gaya c. Gaya d. Gaya
struktur
adalah
angin gelombang arus hidrostatik
Kondisi batas pada lingkungan antara lain:
Gambar 3. Dermaga apung (OCDI, 2002) 3. METODE PENELITIAN Sebagai kajian awal penelitian, penyusunan aspek desain ini dilakukan dengan melakukan studi literatur dan adopsi dari berbagai kriteria dari standar-standar yang sudah ada tentang perencanaan struktur
a. Struktur hanya dapat meredam gelombang pada frekuensi terbatas b. Batas frekuensi ditentukan dari batas aman diizinkannya operasi (berkaitan dengan pergerakan yang boleh terjadi pada struktur yang dilindungi) c. Kegiatan operasi dihentkan saat gelombang lebih besar dari batas izin, sehingga gelombang ini tidak perlu diredam d. Bila gelombang transmisi oleh 1 struktur masih terlalu besar, dapat digunakan sistem 2 struktur
Gambar 4. Sistem 2 pemecah gelombang terapung
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 69
Vol.02 No.02 Desember 2016
(Gambar 4) untuk menghasilkan redaman yang lebih kecil. 2. Sistem mooring Kondisi batas pada sistem mooring antara lain: a. Sistem mooring berperan untuk menjaga posisi struktur b. Sistem mooring jangan membatasi perilaku dinamik pemecah gelombang terapung yang menguntungkan bagi performa pemecah gelombang terapung (terutama heave). c. Sistem mooring boleh membatasi, meski tidak harus, perilaku dinamik yang tidak menguntungkan bagi performa pemecah gelombang terapung. 3. Sambungan Kondisi batas pada sambungan antara lain: a. Tidak boleh terjadi damage, baik akibat fatigue atau benturan antar unit struktur b. Sambungan jangan membatasi perilaku dinamik pemecah gelombang terapung yang menguntungkan bagi performa pemecah gelombang terapung (terutama heave). c. Sambungan boleh membatasi, meski tidak harus, perilaku dinamik yang tidak menguntungkan bagi performa pemecah gelombang terapung. d. Sambungan mampu menyalurkan gaya antar elemen e. Sambungan tetap menyambung pada kondisi gelombang ekstrim 4. Struktur Kondisi batas bagi struktur antara lain: a. Struktur berbentuk balok dan merupakan tipe pemecah gelombang dengan prinsip displacement. b. Struktur terapung akibat gaya hidrostatik c. Badan struktur harus dapat menahan penjumlahan dari tekanan hidrostatik, tekanan gelombang, dan gaya akibat percepatan 4.1.2. Parameter Desain Dengan telah diketahuinya batasan dari struktur maka berikutnya perlu diidentifikasi parameterparameter desain agar memenuhi batasan tersebut. Parameter desain ini akan berpengaruh kepada komponen-komponen struktur yang digunakan, dimensi, dan pemilihan material untuk menghasilkan struktur yang efisien. Parameter desain yang ditinjau untuk perencanaan struktur pemecah gelombang terapung adalah (Fousert , 2006): 1. Dimensi Dimensi berkaitan dengan ukuran penampang struktur (lebar dan tinggi). Dimensi akan menentukan perilaku struktur pada gelombang. 2. Material 1 - 70
Jurnal INFRASTRUKTUR
Material berkaitan dengan massa struktur dan permeabilitas struktur yang akan menentukan performa dari pemecah gelombang terapung. Material yang dapat digunakan antara lain: a. Baja b. Beton c. Komposit Faktor penentuan material: a. Kondisi struktur yang berada di air b. Lokasi center of gravity (COG) yang ditentukan oleh massa dan distribusi massanya 3. Sistem mooring Sistem mooring berkaitan dengan penjagaan posisi dari struktur. Faktor penentuan sistem mooring: a. Tidak membatasi pergerakan yang menungtungkan performa struktur b. Ketersediaan ruang dalam penggunaan sistem mooring c. Gaya maksimum yang diizinkan pada sistem struktur dan mooring 4. Sambungan Sambungan berkaitan dengan konstruksi satu sistem pemecah gelombang terapung (struktur pemecah gelombang terapung dan mooring-nya). Dalam satu sistem pemecah gelombang dapat terdiri dari beberapa unit yang dihubungkan dengan sambungan. Tipe sambungan yang dapat digunakan antara lain: a. Sambungan kaku Tidak memungkinkan pergerakan b. Sambungan lunak Memungkinkan pergerakan dan memiliki koefisien pegas c. Tidak disambung Memungkinkan pergerakan, tidak memiliki koefisien pegas Faktor penentuan sambungan: a. Daerah yang dilindungi oleh satu sistem pemecah gelombang terapung b. Performa struktur yang diinginkan dari satu sistem pemecah gelombang terapung c. Gaya maksimum yang diizinkan pada sistem struktur dan mooring 5. Panjang struktur Panjang struktur berkaitan dengan panjang satu sistem pemecah gelombang terapung. Faktor penentuan panjang elemen: a. Stabilitas struktur bila struktur diperpanjang b. Gaya maksimum yang diizinkan pada sistem struktur dan mooring c. Daerah yang dilindungi oleh satu sistem pemecah gelombang terapung
Vol.02 No.02 Desember 2016
6. Pembagian elemen Pembagian elemen berkaitan dengan konstruksi satu unit struktur. Tipe pembagian elemen (Gambar 5) yang dapat digunakan antara lain: a. Tidak dibagi b. Pembagian memanjang c. Pembagian melintang Faktor penentuan pembagian elemen: a. Kemudahan dan kecepatan konstruksi b. Stabilitas pada saat instalasi
berbeda. Selain itu desain struktur juga perlu memperhitungkan masalah stabilitas. Namun untuk perencanaan prasarana dermaga pada prinsipnya masih banyak kemiripan dengan dermaga konvensional. Dalam aspek desain ini dibahas kriteria-kriteria yang perlu dipenuhi dalam perencanaan dermaga apung. 4.2.1. Dimensi Kapal Target dimensi kapal yang akan berlabuh di dermaga dapat mengacu pada Tabel 1.
a. Tidak dibagi; b. Pembagian memanjang; c. Pembagian melintang Gambar 5. Tipe pembagian elemen 4.1.3. Perilaku Struktur pada Gelombang Desain dari struktur akan berpengaruh terhadap perilaku struktur tersebut apabila terkena gelombang yang berimplikasi juga dengan performa pemecah gelombang terapung dalam meredam gelombang. Dengan memahami perilaku struktur bila terkena gelombang, maka perencana dapat menghasilkan suatu struktur yang optimal.
Tabel 1. Target dimensi kapal (OCDI, 2002)
Perilaku struktur pada gelombang ditentukan oleh 3 hal di berikut (van Tol, 2008): a. Lokasi Center of Gravity (COG) COG menentukan periode natural roll struktur. Periode natural roll dapat diubah dengan menggeser COG. Periode natural roll tidak boleh sama dengan periode natural heave untuk mendapat performa yang baik, maka COG harus dibuat setinggi atau serendah mungkin selama kestabilan mengizinkan dari center of buoyancy (COB). Namun COG harus diletakkan setinggi mungkin untuk menghindari pengaruh buruk dari gabungan pergerakan sway dan roll dalam meredam gelombang. b. Rasio lebar/draft Rasio lebar/draft menentukan range periode gelombang yang dapat diredam. Struktur mampu meredam gelombang pada rentang terlebar pada rasio lebar/draft sama dengan 5 (lima). c. Ukuran Dalam rasio lebar/draft yang sama, struktur yang lebih besar dapat meredam gelombang yang lebih panjang. Selain itu ukuran struktur ditentukan dari gelombang terpanjang yang ingin diredam. 4.2. Dermaga Apung Perbedaan utama dermaga apung dan dermaga konvensional berada pada desain strukturnya. Dengan mengapungkan struktur dermaga maka pembebanan yang perlu diperhitungkan juga Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 71
Vol.02 No.02 Desember 2016
4.2.2. Alur Pelayaran Dan Kolam Pelabuhan 4.2.2.1. Alur pelayaran Pada perairan dengan arus dan angin yang kencang, arah alur pelayaran dibuat agar tidak mempersulit navigasi kapal (OCDI, 2002). Lebar alur pelayaran adalah lebih dari dua kali panjang kapal pesiar terbesar yang menggunakan mesin dan lebih dari lima kali panjang kapal persiar terbesar yang tidak menggunakan mesin. Kedalaman alur pelayaran adalah draft kapal terbesar ditambah 0.6 m sampai 1 m. Sudut belokan diharuskan tidak lebih dari 30°. Bila melebihi 30°, maka harus dibuat dalam lengkungan dengan radius lebih dari empat kali panjang kapal. Bila kapal mempunyai mobilitas tinggi, maka belokan dapat disesuaikan dengan kemampuan manuver kapal. Panjang alur pelayaran dari pintu pelabuhan ke daerah kolam pelabuhan ditentukan berdasarkan jarak berhenti kapal. Alur pelayaran di desain agar gelombang pada alur tidak
4.2.3. Fasilitas Pelindung Layout fasilitas pelindung harus dapat memfasilitasi keluar masuk yang aman bagi kapal pada saat terjadi perubahan cuaca secara mendadak dan menyediakan area kolam yang cukup (Thoresen, 2003). Arah pintu pelabuhan diatur agar dermaga tidak menerima gelombang dan arus secara langsung, dan juga pintu tidak boleh tertutup oleh sedimen yang terbawa arus. Pintu dermaga harus berada pada kisaran 45° - 90° dari arah datangnya angin untuk keamanan kapal masuk. Struktur pelindung harus mampu menyediakan perairan yang tenang dan ketinggian struktur juga harus mempertimbangkan jarak pandangan yang aman bagi kapal yang bernavigasi (OCDI, 2002). 4.2.4. Layout Fasilitas Mooring Penyusunan layout fasilitas mooring berkaitan dengan penentuan jarak antar pier dengan dimensi kapal yang direncanakan. Penyusunan layout dapat mengacu pada Gambar 6.
Gambar 6. Acuan jarak untuk layout pier (OCDI, 2002) memiliki periode yang sama dengan periode natural roll kapal dan panjang gelombang tidak menyamai panjang kapal. 4.2.2.2. Kolam Pelabuhan Kedalaman kolam pelabuhan adalah sama dengan kedalaman alur pelayaran. Tinggi gelombang (H1/3) yang diizinkan pada kolam adalah 0.3 m saat kondisi normal dan 0.5 m saat badai. Pada daerah kolam yang digunakan untuk berlabuh, dermaga yang digunakan berupa berupa tipe pier, maka diberikan jarak antar pier sebagai berikut: a. Bila kapal yang berlabuh lebih kecil sama degan 3 = 1 L (L=panjang kapal) b. Bila kapal yang berlabuh lebih besar sama degan 4 = 1.5 L c. Pada daerah kolam yang digunakan untuk manuver (kolam putar) memiliki area sebesar lingkaran dengan diameter 3L.
1 - 72
Jurnal INFRASTRUKTUR
4.2.5. Tinggi jagaan (freeboard) Tinggi jagaan (freeboard) berkisar 30 – 50 cm dari permukaan air. 4.2.6. Pembebanan Pembebanan yang ditinjau pada modul terapung untuk dermaga adalah: 1. Gaya arus 2. Gaya gelombang 3. Beban hidup (akibat pejalan kaki) 4. Beban fasilitas (bollard, fender) 5. Gaya akibat kapal (berthing & mooring) 6. Gaya hidrostatik 4.2.7. Kriteria Stabilitas Kriteria stabilitas ini berkaitan dengan stabilitas stuktur ketika menerima beban pejalan kaki atasnya. Pembebanan difokuskan pada salah satu sisi
Vol.02 No.02 Desember 2016
struktur seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Untuk mencapai kondisi stabil maka pada saat menerima beban maksimun pada kondisi diatas disyaratkan: 1. Kemiringan maksimum 1:10 2. Sisi struktur yang diberi beban tidak terendam air
berikut: 1. Mooring pada dua sisi berada pada satu garis aksi yang sama (simetris) 2. Mooring pada struktur didistribusikan secara seragam 3. Penggunaan bearing spring dan atau dashpot
Gambar 7 Posisi pembebanan (OCDI, 2002) 4.2.8. Jembatan akses (access bridge) 1. Lebar minimum 75 cm. 2. Kemiringan maksimum 1:4 4.3. Sistem Mooring Sistem mooring pada struktur apung diperlukan bukan hanya untuk menjaga posisi struktur tetapi juga menahan gaya-gaya akibat lingkungan. Gayagaya lingkungan akan menentukan jumlah dan posisi mooring. Posisi mooring direkomendasikan sesimetris mungkin untuk memastikan kesetimbangan horizontal dan respon struktur yang simetris (Saleh, 2010).Gaya pada sistem mooring ditentukan oleh:
pada titik sambungan untuk meredam efek amplifikasi dari respon dinamik 4. Penggunaan shock absorber pada titik sambungan angkur untuk menguragi efek gaya gelombang 4.3.2. Jenis Mooring 4.3.2.1. Dolphin-Frame Guide Sistem mooring ini menggunakan rangka batang yang dipancang pada dasar laut. Sistem ini digunakan ketika pergerakan struktur apung secara pada sisi lateral yang diperlukan sangat kecil. Ilustrasi ditunjukkan Gambar 8.
a. Jenis mooring b. Material mooring c. Ukuran mooring d. Kedalaman perairan e. Posisi mooring Jenis-jenis mooring yang dapat digunakan antara lain (Saleh, 2010): 1. Dolphin-Frame guide 2. Pier/Quay Wall 3. Kabel/Rantai 4. Sliding piles 4.3.2. Kondisi Batas Kondisi batas pada sistim mooring menyatakan syarat-syarat yang menjadi batasan dan perlu dipenuhi untuk meminimalisir pengaruh buruk dari gaya mooring pada struktur. Rekomendasi sebagai
Gambar 8. Tipe Dolphin-Frame guide 4.3.2.2. Pier/Quay Wall Sistem ini digunakan untuk menahan pergerakan akibat arus pada satu arah. Ilustrasi ditunjukkan Gambar 9.
Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 73
Vol.02 No.02 Desember 2016
memerlukan tempat yang luas untuk berubah posisi b. Multi-buoy mooring (MBM)/ Spread moorings Struktur dijaga posisinya dengan banyak tali sehingga stuktur tidak bisa bergerak bebas. Namun gaya pada struktur akibat mooring lebih terdistribusi. c. Dynamic positioning system (DPS) Posisi struktur dipertahankan menggunakan mesin thruster yang juga dikombinasikan dengan sistem mooring lainnya. Gambar 9. Tipe Pier/Quay Wall 4.3.2.3. Kabel/Rantai Sistem Kabel/Rantai terdiri dua bagian, yaitu bagian tali mooring dan angkur. Tali mooring yang digunakan dapat memakai kabel, rantai, atau kombinasi keduanya. Tali mooring dihubungkan ke dasar laut dengan menggunakan angkur atau pancang. Ilustrasi ditunjukkan Gambar 10.
Gambar 10. Tipe kabel/rantai 4.3.2.4. Jenis Tali/Rantai Jenis tali mooring yang dapat digunakan adalah: a. Catenary line mooring Bentuk tali melengkung karena dipengaruhi berat tali, gaya pengembali akibat berat tali b. Taut line mooring Bentuk catenary dihilangkan akibat berat tali yang ringan, gaya pengembali diakibatkan oleh elastisitas tali. c. Tension leg mooring Tali mooring menahan struktur yang mempunyai kelebihan gaya apung sehingga pergerakan vertical dibatasi. 4.3.2.5. Metode Mooring Tali/Rantai Metode mooring yang dapat dilakukan dengan sistem kabel/rantai adalah sebagai berikut (Saleh, 2010): a. Single point mooring (SPM) Struktur dijaga posisinya dengan satu tali mooring, akibatnya struktur dapat menyesuaikan posisi terhadap kondisi gelombang, angin, dan arus. Namun gaya pada struktur akibat mooring sangat besar, selain itu 1 - 74
Jurnal INFRASTRUKTUR
4.3.2.6. Sliding Piles Pile berfungsi sebagai rel struktur yang dapat mengizinkan struktur untuk bergerak secara vertikal, namun pergerakan horizontal dibatasi. 4.3.2.7. Jenis Angkur Jenis-jenis angkur yang dapat digunakan antara lain: a. Soft soil anchors Digunakan untuk diletakan pada perairan dalam dan tanah yang sangat lunak. Angkur berupa beton bertulang yang dilengkapi pipa untuk jet air. Angkur disimpar di dasar laut, kemudian jet air dihidupkan untuk membuat angkur tenggelam di lapisan tanah lunak dan mengunci angkur. Kapasitas angkur dipengaruhi oleh tekanan pasif tanah. b. Pile anchors Digunakan untuk perairan yang kurang dari 27 m dan berada di dasar yang keras. Angkur terdiri dari dua H-pile yang dipancang berbarengan dengan suatu kedalaman tertentu. Kedua pile disambung untuk meningkatkan kapasitas angkur. c. Caisson gravity anchor Digunakan untuk perairan dalam yang tanahnya keras. Dibuat dari beton bertulang dalam balok. d. Multi-slab gravity anchor Angkur dibuat dari slab beton bertulang dan dipasang bertumpuk-tumpuk. Mirip dengan sistem caisson hanya saja dalam bentuk modular sehingga lebih mudah dibuat dan dipasang. Digunakan untuk perairan dalam dan dangkal yang bertanah keras. e. Suction pile anchor Angkur dibuat dari kasing baja yang satu sisinya ditutup. Dipasang ke dasar oleh gaya hisap air. Panjang pile ditentukan dari besar gaya yang ingin ditahan. Digunakan pada tanah lunak. 4.4. Prosedur Perencanaan Mooring Prosedur perencanaan mooring dapat mengikuti langkah-langkah berikut (Saleh, 2010): 1. Memilih jenis mooring Direncakan jenis mooring yang akan dipakai untuk kemudian dicari beban mooring-nya untuk berbagai
Vol.02 No.02 Desember 2016
scenario. 2. Jumlah mooring dan layout Perilaku struktur untuk berbagai kondisi beban diperiksa untuk mengetahui pergerakan struktur. Kemudian diskenariokan posisi dan jumlah mooring agar gaya mooring terdistribusi rata. 3. Perencanaan spesifikasi mooring Penentuan spesifikasi dari jenis mooring yang dipilih dan beban mooring yang diskenariokan. 4. Pemilihan material Pemilihan jenis material ditentukan dari kondisi lingkungan, durabilitas, dan faktor ekonomi. 5. KESIMPULAN Dalam perencanaan pemecah gelombang terapung batasan-batasan yang ada bagi struktur merupakan aspek pertama yang perlu ditinjau. Dengan telah diketahuinya batasan dari struktur maka dapat diturunkan parameter-parameter desain yang perlu diperhitungkan oleh perencana. Parameter desain ini akan menentukan komponen-komponen struktur yang digunakan, dimensi, dan pemilihan material bagi struktur rencana. Perilaku struktur apung rencana sangat terpengaruh oleh gelombang yang berimplikasikan pada performa pemecah gelombang terapung dalam meredam gelombang sehingga dengan memahami perilaku struktur bila terkena gelombang, maka perencana dapat menghasilkan suatu struktur yang optimal. Dalam perencanaan dermaga apung perlu meninjau aspek stabilitas dari struktur dan syarat kemiringan saat dibebani dan freeboard agar struktur apung dapat difungsikan sebagai dermaga. Selain itu aspek-aspek prasarana juga harus dipenuhi sesuai dengan rencana jenis kapal dan jumlah kapal yang berlabuh serta penyusunan denah dermaga dan fasilitasnya agar tidak mempersulit manuver kapal dan untuk operasi dan pemeliharaan dermaga.
NOSTRAND REINHOLD . McCormick , M. E. (2010). Ocean Engineering Mechanics With Applications. New York: Cambridge University Press . OCDI. (2002). Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan. Tokyo: Daikousha Printing Co., Ltd. Saleh, A. H. (2010). MEGA FLOATING CONCRETE BRIDGES. Master Thesis, Delft. Thoresen, C. (2003). Port Designer’s Handbook: Recommendations and Guidelines. London: ThomasTelford. Tirimanna, D., & Falbr , J. (n.d.). CONCRETE FLOATING STRUCTURE TECHNOLOGY. Amsterdam. van Tol, P. (2008). Floating breakwaters A Theoretical Study and Preliminary Design of a Dynamic Wave Attenuating System (Master Thesis). Delft. Watanabe, E., Wang, C., Utsunomiya, T., & Moan, T. (2004). VERY LARGE FLOATING STRUCTURES: APPLICATIONS, ANALYSIS AND DESIGN. Singapore: Centre for Offshore Research and Engineering National University of Singapore.
Sistem mooring diperlukan untuk menjaga posisi struktur terapung agar tidak terbawa oleh gayagaya lingkungan. Pemilihan jenis sistem mooring ditentukan dari kondisi geoteknik, kedalaman perairan, dan nilai ekonimis dari pekerjaan di daerah tersebut. DAFTAR PUSTAKA Balai Pantai. (2015). PROPOSAL KEGIATAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SISTEM MODULAR WAHANA APUNG . Buleleng: Tidak dipublikasi. Fousert , M. (2006). Floating Breakwater Theoretical study of a dynamic wave attenuating system. Master Thesis, Delft. Gaythwaite, J. W. (1990). Design of Marine·Facilities , for the Berthing, Mooring, and Repair-of Vessels. New York: VAN Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 75
Vol.02 No.02 Desember 2016
REKONTRUKSI JALAN INSPEKSI TARUM TIMUR DENGAN LAPIS PONDASI CTRB DAN CHIP SEAL Syaeful Anwar Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional IV Jakarta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jalan Sapta Taruna Raya No.21, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 12310 Email :
[email protected]
Abstract The road is a land transport infrastructure that is essential in economic relations and facilitate the activities of other social activities. Changes in the area around Jalan Inspection East Tarum of agriculture into the industrial area causes a change in the function of the road that had road inspection into the access road to the industrial area. Changes in the functions that had low traffic increased to medium traffic, so the strength and function of the road should be adjusted to the development, where the existing road is no longer able to serve existing traffic. It is necessary for the proper handling and efficient costs, see the existing condition that tingga road base irregularly should be no innovations to material existing reuse recycle with construction CTRB (Cement Treated Recycling Base) so that the strength of the foundation structure increases can serve traffic conditions is required. So that the condition CTRB stay protected from the weather and traffic by overburden Chip Seal is the provision of a single layer of asphalt followed by administration of a single layer of Chiping (stone of a certain size, from price comparison between construction purposes foundation class A and Hotmix in terms of lower cost CTRB + chip Seal Keyword: Recycling, CTRB, Chip Seal.
Abstrak Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang sangat penting dalam memperlancar kegiatan hubungan ekonomi dan kegiatan sosial lainnya. Perubahan kawasan di sekitar Jalan Inspeksi Tarum Timur dari pertanian menjadi daerah industri menyebabkan perubahan pada fungsi jalan yang tadinya jalan inspeksi menjadi jalan akses menuju daerah industri. Perubahan fungsi jalan yang tadinya lalu lintas rendah meningkat menjadi lalu lintas sedang, sehingga kekuatan maupun fungsi dari jalan tersebut harus disesuaikan dengan perkembangan, dimana jalan eksisting sudah tidak mampu lagi melayani lalu lintas yang ada. Untuk itu perlu penanganan yang tepat dan efisien dari biaya, melihat kondisi eksisting yang tingga pondasi jalan yang tidak beraturan perlu ada inovasi agar material eksisting dapat digunakan kembali dengan mendaur ulang yaitu dengan konstruksi CTRB (Cement Treated Recycling Base) sehingga kekuatan struktur pondasi meningkat dapat melayani kondisi lalu lintas yang diperlukan. Agar kondisi CTRB tetap terlindungi dari cuaca dan lalu lintas diberi lapisan penutup Chip Seal yaitu pemberian satu lapisan aspal yang diikuti dengan pemberian satu lapisan Chiping (batu dengan ukuran tertentu, dari perbandingan harga antara konstuksi pondasi klas A dan Hotmix ditinjau dari biaya lebih murah CTRB + Chip Seal Kata Kunci: Recycling, CTRB, Chip Seal.
1 - 76
Jurnal INFRASTRUKTUR
Vol.02 No.02 Desember 2016
1. PENDAHULUAN Jalan Inspeksi Tarum Timur adalah ruas jalan lokal 2 lajur dua arah dengan volume lalu lintas rendah yang berada di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat (gambar 1). Jalan ini awalnya hanya berfungsi sebagai jalan inspeksi dari saluran irigasi tarum timur yang merupakan bagian dari jaringan irigasi Waduk Jatiluhur. Seiring dengan perkembangan kawasan industri yang diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk yang bermukim di sekitar saluran, fungsi jalan tersebut meningkat menjadi jalan akses untuk beberapa desa dan kegiatan industri baik manufaktur atau pertanian di sepanjang saluran irigasi tarum timur.
Gambar 3. Kondisi Eksisting Jalan Inspeksi Tarum Timur Pengamatan secara visual yang dilaksanakan pada ruas Jalan Inspeksi Tarum Timur untuk mendata dan mengidentifikasi kondisi perkerasan jalan tersebut. Hasil survey kondisi visual dapat dilihat pada gambar 3 berikut:
Gambar 1. Lokasi Jalan Inspeksi Tarum Timur Sumber : google earth Mei 2010 Kondisi terakhir jalan pada awal tahun 2010 menunjukan bahwa perkerasan jalan sudah mengalami kerusakan yang serius. Kurangnya pemeliharaan mengakibatkan kerusakan jalan yang terjadi semakin bertambah parah, sehingga warga sebagai pengguna harus dihadapkan dengan jalan yang memiliki tingkat pelayanan rendah, berlubang dan tergenang air pada musim hujan serta berdebu pada musim kemarau. 1.1. Perkerasan Eksisting
Hasil survey kondisi visual pada tahun 2009 menunjukan bahwa kondisi perkerasan Jalan Inspeksi Tarum Timur Km. 0+500 – Km. 4+370 dalam keadan rusak berat, tipe kerusakan yang terjadi merupakan kombinasi dari berbagai macam kerusakan seperti retak buaya, jalan berlubang, pelepasan butir agregat dan kegagalan pada lapis pondasi jalan. 1.2.2. Tes Pit dan Pengambilan Contoh Material Tes pit pada perkerasan dilaksanakan untuk mengetahui kondisi, jenis dan ketebalan material yang menyusun lapis perkerasan jalan. Dari 10 lokasi tes pit yang dilaksanakan pada Km. 0+835 dan Km. 2+528 diperoleh data ketebalan dan jenis material seperti terlihat pada gambar 2. Contoh material RAP (Reclaimed asphalt pavement) dan RAM (Reclaimed Aggregate Material) pada kedua lokasi tes pit kemudian diambil dan dibawa ke Laboratorium BBPJN IV untuk di uji dan digunakan sebagai bahan pembuatan formula campuran rencana CTRB. 1.2.3. Pengujian Dynamic Cone Penetrometer (DCP)
Gambar 2. Lapis perkerasan eksisting Perkerasan Jalan Inspeksi Tarum Timur adalah jalan beraspal dengan lebar 5 m dengan volume lalu lintas harian < 1000 smp/hari. Adapun secara umum komposisi lapis perkerasan yang ada dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini. 1.2. Survei dan Penyelidikan Lapangan 1.2.1. Survei Kondisi Visual
Pada tabel 1 dibawah ini ditampilkan data hasil pengujian Dynamic Cone Penetrometer (DCP) yang telah dilaksanakan pada tanggal 16 juni 2008. 1.2.4. Kesimpulan Hasil Survai dan penyelidikan Lapangan Berdasarkan pengamatan secara visual dan pengujian di lapangan, alur dengan retak buaya pada lapis permukaan adalah jenis kerusakan paling dominan pada Jalan Inspeksi Tarum Timur Km. 0+500 – KM. 4+370. Kerusakan tipe ini disebabkan oleh terjadinya deformasi pada lapis pondasi jalan atau Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 77
Vol.02 No.02 Desember 2016
Tabel 1. Nilai CBR tanah dasar hasil pengujian DCP Jalan Inspeksi Tarum Timur, Karawang
Gambar 4. Opsi desain perkerasan pada Jalan Inspeksi Tarum Timur pada lapisan tanah dasar, sehingga lapisan diatasnya yang memiliki tingkat kekakuan (Stiffness) lebih tinggi mengalami retak. Kurangnya daya dukung tanah dasar dapat kita lihat dari data hasil pengujian DCP dengan nilai CBR rerata sebesar 4.75 % kurang dari spesifikasi minimum CBR untuk tanah dasar sebesar 6 %. 2. RENCANA PERBAIKAN 2.1. Desain Elevasi Permukaan Jalan Pada tahap perencanaan telah diputuskan bahwa elevasi muka jalan yang akan diperbaiki akan memiliki ketinggian kurang lebih sama dengan elevasi awal jalan yang ada. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan efisiensi biaya dan keselamatan pengguna jalan. Peningkatan elevasi permukaan jalan akan mengakibatkan perbedaan ketinggian antara badan jalan dan bahu jalan bertambah. Perbedaan yang cukup signifikan akan mengakibatkan faktor keselamatan pengguna jalan terganggu, untuk itu maka elevasi bahu jalan yang ada juga harus ditingkatkan mengikuti elevasi muka jalan baru dan itu secara langsung akan menambah jumlah biaya yang harus di keluarkan untuk item pekerjaan bahu jalan. Oleh karena itu maka rencana perbaikan diarahkan menggunakan metode perbaikan yang tidak menambah elevasi muka jalan secara signifikan. 2.2. Desain Struktur Perkerasan Desain struktur perkerasan dilakukan dengan mempertimbangkan besarnya volume lalulintas harian, kondisi jalan eksisting, kondisi geografis, biaya dan kemudahan pelaksanaan. Pada bagian 1 telah disebutkan dua opsi desain perkerasan yang dapat digu1 - 78
Jurnal INFRASTRUKTUR
nakan untuk memperbaiki kerusakan Jalan Inspeksi Tarum timur. Desain rencana perbaikan tersebut adalah seperti ditampilkan adalam gambar 4 berikut ini: Perbaikan dengan pelaksanaan CTRB dan Chip Seal dijadikan pilihan utama dengan dasar pertimbangan berikut : • Kondisi volume lalulintas harian yang rendah dan didominasi kendaraan ringan sehingga tidak memerlukan struktur lapis permukaan dengan nilai kekakuan/modulus tinggi. Pada kondisi ini lapis permukaan lebih berfungsi sebagai lapis kedap air serta memberikan kerataan dan kekesatan (skid resistance) pada permukaan jalan. • Jalan ini merupakan jalan inspeksi yang berada pada tanggul Saluran Irigasi Tarum Timur, sehingga lapisan tanah dasar dan pondasi jalan akan selalu terpengaruh oleh air yang mengalir pada saluran dan merembes ke dalam tanggul (muka air tanah tinggi). Oleh karena itu diperlukan lapis pondasi yang memiliki ketahanan lebih baik terhadap pengaruh air (kondisi drainase dan curah hujan). Lapis pondasi yang di stabilisasi dengan semen memiliki tingkat ketahanan lebih baik dibandingkan dengan lapis pondasi granular. • Untuk lapis pondasi CTRB, agregat yang digunakan adalah sebagian besar merupakan agregat lama (existing), sehingga peningkatan nilai struktur yang dicapai tidak diikuti secara signifikan oleh peningkatan biaya konstruksi. • Metode recycling juga mereduksi penggunaan material baru sehingga laju kerusakan lingkun-
Vol.02 No.02 Desember 2016
gan dapat dikurangi. Poin-poin diatas merupakan representasi dari kebutuhan yang ada, sedangkan karakteristik dan keunggulan dari material CTRB dan Chip Seal sendiri adalah sebagai berikut: 2.3. Cement Treated Recycling Base (CTRB) Pondasi yang baik merupakan bagian penting dari suatu struktur, tidak terkecuali dengan perkerasan jalan. Lapis pondasi (base) menyediakan ketebalan (thickness) dan kekakuan (stiffness) yang diperlukan untuk memikul beban lalu lintas yang melewatinya. CTRB adalah lapis pondasi jalan yang diperoleh dari proses daur ulang perkerasan lama yang distabilisasi semen dengan atau tanpa penambahan agregat baru. CTRB memberikan nilai struktur dan nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan lapis pondasi granular karena memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap pengaruh drainase dan daya dukung tanah dasar yang buruk. Keuntungan dari penggunaan material CTRB adalah sebagai berikut: -
Stabilisasi menggunakan semen akan meningkatkan kekuatan dan kekakuan material lapis pondasi. Pondasi yang lebih kaku akan mengurangi lendutan yang terjadi akibat beban lalu lintas, sehingga menghasilkan tegangan yang lebih rendah di permukaan atasnya. Hal ini akan memperlambat terjadinya kerusakan permukaan seperti fatigue cracking dan memperpanjang umur perkerasan.
-
Dukungan yang kuat dan seragam diberikan oleh lapis pondasi CTRB sehingga mengurangi tegangan permukaan yang diterima oleh lapisan tanah dasar atau subgrade. Dengan ketebalan yang lebih tipis, lapis pondasi CTRB memiliki kemampuan lebih baik dalam mereduksi tegangan yang di terima oleh tanah dasar dibandingkan lapis pondasi granular dengan ketebalan lebih tinggi. Sehingga kegagalan subgrade, lubang dan ketidak rataan jalan berkurang.
-
Intrusi air akibat drainase lingkungan yang buruk merupakan musuh utama dari lapis pondasi jalan. Perkerasan yang di stabilisasi dengan semen membentuk struktur yang lebih kedap, mencegah intrusi air kedalam struktur perkerasan sehingga kekuatan dan kekakuan struktur tetap terjaga bahkan pada kondisi jenuh air sekalipun.
-
Lapis CTRB dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pumping dan intermixing subgrade fines.
Gambar 5 dibawah ini memperlihatkan bagaimana perlakuan lapis pondasi jalan dalam menyalurkan tegangan pada permukaan tanah dasar/subgrade.
Gambar 5. Mekanisme penyaluran beban dan reduksi tegangan permukaan pada tanah dasar akibat perbedaan jenis material pondasi jalan. Sumber: www.cement.org 2.4. Chip Seal Chip seal adalah pemberian satu lapisan aspal yang diikuti dengan pemberian satu lapisan chiping (gambar 6). Pemberian aspal dan chiping ini dapat dilakukan berkali-kali dengan teknik dan ukuran chip yang sesuai dengan tipe chip seal yang diinginkan. Tujuan dari chip seal adalah untuk memberikan suatu lapisan penutup (seal) pada lapisan pondasi (base) dan untuk memberikan lapisan yang durable dengan tahanan gelincir yang memadai
Gambar 6. Ilustrasi dari pengertian Chip seal. Untuk chip yang memiliki daya lekat (adhesi) yang rendah ataupun untuk memperpanjang umur chip seal, precoating pada chip yang digunakan perlu dilakukan untuk meningkatkan adhesinya. Precoating juga berguna untuk menghindari permasalahan yang berkaitan dengan debu ataupun kelembaban. Precoating dapat dilakukan dengan menggunakan aspal cair ataupun aspal emulsi yang mengandung adhesion agent 0,5 – 1 % terhadap kandungan bitumen. Beberapa bahan tambah yang umumnya digunakan sebagai adhesion agent antara lain adalah amine, diamine, megamine ataupun lelamine (Anwar et al, 2008). Pada umumnya semua jenis aspal dapat digunakan untuk pekerjaan chip seal, akan tetapi untuk mendapatkan sifat adhesi yang baik antara aspal dengan agregat dan mengurangi kepekaan terhadap temperatur sebaiknya aspal yang digunakan adalah aspal polimer yang memiliki sifat adhesivitas dan titik lembek tinggi (diatas rata-rata temperatur perkerasan). Kedua sifat tersebut sangat menentukan tingkat keberhasilan chip seal dalam melayani beban lalu lintas. Dengan menggunakan aspal polimer yang memiliki daya adhesi yang tinggi, maka kemungkinan terjadinya pelepasan butiran chip (ravelling)dapat diminimalisir. Temperatur Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 79
Vol.02 No.02 Desember 2016
rata-rata perkerasan di daerah Pantura Jawa yang tinggi mengakibatkan adanya kebutuhan terhadap aspal yang memiliki tingkat kepekaan rendah terhadap perubahan temperatur dan memiliki titik lembek (softening point) tinggi untuk menghindari terjadinya kerusakan fatigue, dan deformasi struktur (alur, bleeding, flushing). Pada lapisan chip seal angka titik lembek yang diperlukan untuk menghindari terjadinya deformasi harus lebih tinggi jika dibandingkan dengan titik lembek pada aspal yang digunakan pada hot mix, mengingat pada lapisan chip seal tidak digunakan material filler dan butiran halus yang dapat meningkatkan stabilitas struktur dan mencegah keluarnya aspal (bleeding, flushing) dari campuran seperti pada lapisan hot mix. Keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan lapis chip seal pada permukaan jalan adalah sebagai berikut:
2.5. Analisis Perencanaan Lapis Perkerasan Dari penjelasan singkat mengenai lapis pondasi CTRB dan lapis permukaan chip seal, untuk jalan dengan volume lalu lintas rendah dan memiliki kondisi eksisting lapis perkerasan yang buruk pilihan rehabilitasi dengan kedua material tersebut dapat menjadi suatu pilihan yang tepat. Selain dilihat dari segi teknis, biaya pelaksanaan dan penggunaan material juga harus dilihat sebagai salah satu faktor penting dalam mendesain suatu struktur lapis perkerasan. Dari gambar 4 kita dapat membandingkan secara umum biaya yang digunakan untuk memperbaiki Jalan Inspeksi Tarum Timur dari kedua opsi yang ada. Dengan membandingkan biaya dari kedua opsi struktur perkerasan tersebut kita dapat memilih opsi mana yang lebih efisien dari segi pembiayaan untuk dilaksanakan.
-
Mengembalikan/menambah kekesatan (skid resistance) dan memberikan sifat kedap air pada permukaan jalan, baik untuk jalan baru atau permukaan jalan lama dengan kondisi struktur yang relatif masih baik.
-
Dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat, untuk kegiatan preservasi gangguan lalu lintas akibat adanya pekerjaan perbaikan dapat diminimalisir.
Dari tabel tersebut dapat kita hitung selisih biaya pondasi antara kedua opsi perbaikan yang di jelaskan dalam gambar 4 untuk mengetahui seberapa besar efisiensi biaya yang bisa kita dapat.
-
Memberikan karakteristik tekstur dan kekesatan permukaan yang baik.
-
-
Dapat memberikan profil longitudinal dan kenyamanan berkendara yang baik.
-
Mengurangi jumlah penggunaan material agregat dan aspal bila dibandingkan dengan lapis hot mix dan perkerasan berpori (porous)sehingga biaya yang dikeluarkan untuk panjang jalan yang sama dapat dikurangi.
-
Dapat digunakan pada permukaan lapis pondasi (base) untuk jalan baru, dan overlay pada perkerasan lama baik perkerasan beton atau perkerasan lentur.
Rasio perbandingan antara peningkatan kapasitas struktur dan biaya yang dikeluarkan untuk berbagai jenis pondasi jalan dapat kita lihat pada tabel 2 berikut ini
Jika perkerasan dilaksanakan dengan opsi pertama dimana lapis pondasi menggunakan LP A dan LP B, maka peningkatan kapasitas struktur pondasi dan biaya yang dikeluarkan adalah :
Kapasitas Struktur (SN) LP A Kapasitas Struktur (SN) LP B Rasio Biaya : LP A
LP B
Total biaya untuk pekerjaan pondasi LP A dan LP B adalah 1, 75
Jika Perkerasan dilaksanakan dengan Opsi kedua dimana lapis pondasi menggunakan lapisan Tabel 2. Rasio umur pelayanan dan biaya bahan Catatan : nilai SN dan Biaya pada tabel diatas dihitung dengan tebal pondasi sebesar 20 cm.
1 - 80
Jurnal INFRASTRUKTUR
-
Vol.02 No.02 Desember 2016
CTRB, maka peningkatan kapasitas struktur pondasi dan biaya yang dikeluarkan adalah : Kapasitas struktur (SN) CTRB Rasio Biaya : CTRB Total biaya pondasi CTRB adalah 1,86 gambaran mengenai perbandingan biaya untuk pekerjaan chip seal dan hot mix dapat kita lihat dari persentase pengunaan material aspal dan agregat pada kedua tipe lapis permukaan dalam uraian dan gambar 7 berikut ini : -
Penggunaan aspal Dengan asumsi kadar aspal 6 % untuk lapisan wearing course, maka untuk memproduksi 1 ton hot mix kita akan membutuhkan aspal sebanyak 60kg. Dengan asumsi berat jenis campuran sebesar 2.4 ton/m3, maka untuk mendapatkan 5 cm lapis beraspal kita memerlukan minimal 6 kg/m2 (5.8 liter/m2). Sedangkan jika kita menggunakan single layer chip seal dengan asumsi penggunaan aspal sebesar 1,5 liter/m2 , maka biaya aspal yang dapat di hemat sekitar 4,5 kg/ m2 hampir 3(tiga) kali kebutuhan aspal untuk Chip Seal.
-
Dari perhitungan desain, nilai struktur yang dihitung untuk mengakomodasi beban lalu lintas dan memperhatikan kapasitas daya dukung tanah dasar adalah sebesar 5,1, sehingga dengan menggunakan lapis pondasi CTRB struktur jalan tersebut tidak lagi memerlukan lapis permukaan yang memberikan tambahan nilai struktur terhadap lapis perkerasan di bawahnya. Sedangkan jika menggunakan lapis pondasi granular (LP A dan LP B) masih diperlukan tambahan nilai struktur (SN) dari lapis permukaan sebesar 0,4. Dengan memberikan lapisan hot mix diatas lapis pondasi granular nilai struktur jalan tersebut akan meningkat, tetapi jumlah biaya yang dikeluarkan akan tidak sebanding dengan nilai struktur yang dibutuhkan. Jika kita melihat pada rasio biaya konstruksi pondasi CTRB, nilainya memang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai biaya konstruksi LP A dan LP B, tetapi nilai tersebut dikompensasi dengan rasio peningkatan kapasitas struktur/nilai strukturnya sehingga biaya yang dibutuhkan untuk lapis permukaan dapat dikurangi dengan jumlah yang cukup signifikan yaitu untuk aspal dapat di hemat sekitar 4,5 kg/m2 hampir tiga kali kebutuhan aspal dan agregat sekitar 95 kg/m2 hampir 5(lima) kali kebutuhan agregat.
Penggunaan agregat
2.6. Desain rencana campuran material perkerasan
Jika asumsi kadar aspal pada campuran hot mix adalah sebesar 6 %, maka jumlah agregat yang dibutuhkan untuk 1 ton campuran adalah sebanyak 940 kg. jika ketebalan hamparan hot mix adalah 5 cm berarti setiap 1 ton hot mix dapat
Setelah jenis struktur perkerasan yang akan dikerjakan ditetapkan, tahap pekerjaan selanjutnya adalah mempersiapkan desain rencana campuran untuk material struktur perkerasan baik untuk lapis pondasi maupun lapis permukaan.
Tabel 3. Resume desain rencana campuran CTRB Jalan Inspeksi Tarum Timur
Gambar 7. Perbandingan wearing course dengan Chip seal dihampar menjadi 8,3 m2 di lapangan. Dari nilai tersebut jumlah agregat yang digunakan per meter persegi adalah sebesar 113,3 kg/ m2. Jika kita bandingkan dengan penggunaan single layer chip seal dengan ukuran chip agregat 9 mm dengan volume pemakaian agregat sekitar 18 kg/ m2, sehingga dapat kita hitung ada penghematan agregat sekitar 95 kg/m2 hampir lima kali kebutuhan agregat untuk Chip Seal.
Desain rencana campuran CTRB dilakukan di laboratorium BBPJN IV untuk mendapatkan kadar semen minimum, kadar air optimum dan nilai berat isi kering pada kadar air optimum campuranyang memenuhi nilai UCS minimal 30 kg/cm2. Resume desain rencana campuran ditampilkan dalam tabel 3 di bawah ini : Sedangkan untuk lapisan chip seal dengan memperhatikan volume lalu lintas dan temperatur perkerasan yang berkisar pada 60 °C, maka pekerjaan single layer chip seal yang dilaksanakan adalah tipe ALD 9 mm (Average least dimention), dengan penggunaan agregat sebesar 18 kg/m2 dan aspal polimer E-65 sebesar 1.5 lt/m2. Precoating chip agregat dengan aspal emulsi dilakukan sebelum digunakan pada lapis chip seal untuk meningkatkan adhesi antara aspal dan chip agregat. Sedangkan untuk meninJurnal INFRASTRUKTUR
1 - 81
Vol.02 No.02 Desember 2016
gkatkan bonding antara permukaan CTRB dan chip seal, pada permukaan CTRB di berikan lapis prime coat dengan aspal emulsi. Data properties material chip agregat dan aspal polimer E-65 yang digunakan untuk Jalan Inspeksi Tarum Timur ditampilkan dalam tabel 4 dan tabel 5 berikut ini :
pada km. 4+370. Pelaksanaan Pekerjaan CTRB Pelaksanaan pekerjaan lapis pondasi CTRB dilaksanakan dengan metoda pencampuran dilapangan dengan kadar semen minimum 3,8 % dan kadar air
Tabel 4. Resume hasil pengujian properties agregat ex. Crusher PT. Kadi Internasional
Tabel 5. Resume hasil pengujian properties aspal polimer E-65
Material yang digunakan untuk pekerjaan perbaikan Jalan Inspeksi Tarum Timur telah melalui uji laboratorium dan dinyatakan memenuhi spesifikasi dan layak untuk digunakan. 3. PELAKSANAAN PEKERJAAN PERBAIKAN JALAN INSPEKSI TARUM TIMUR Pelaksanaan pekerjaan perbaikan Jalan Inspeksi Tarum Timur mulai direalisasikan pada tanggal 20 April 2010 yang diawali dengan pekerjaan CTRB 1 - 82
Jurnal INFRASTRUKTUR
optimum 10,4 %. Adapun tahapan-tahapan pelaksanaan pekerjaan CTRB adalah sebagai berikut: • Penyiapan permukaan jalan, termasuk pembersihan dan pengalihan arus lalulintas. • Penggemburan perkerasan lama dengan alat WR 2500s sesuai dengan kedalaman 30 cm sesuai rencana (gambar 8). • Pemadatan kembali ke elevasi awal jalan.
Vol.02 No.02 Desember 2016
Gambar 8. Penggemburan perkerasan lama. Gambar 12. Pemadatan dengan Vibro roller
Gambar 9. Penghamparan semen.
Gambar 13. Pembentukan kemiringan dan elevasi muka jalan.
Gambar 10. Pencampuran RAM, semen dan air.
Gambar 14. Pemadatan akhir dengan alat penggilas roda karet.
Gambar 11. Pemadatan dengan Sheep foot roller . • Ukur kadar air RAM kemudian hamparkan semen (PC) pada permukaan jalan sesuai dengan kadar semen minimum pada formula campuran rencana (gambar 9). • Lakukan pencampuran RAP dan RAM dengan semen dan air menggunakan alat WR 2500s,
Gambar 15. Curing dengan menggunakan water tank. Jurnal INFRASTRUKTUR
1 - 83
Vol.02 No.02 Desember 2016
penambahan air sesuai dengan kadar air optimum rencana dengan memperhatikan kadar air awal RAP dan RAM (gambar 10). • Padatkan campuran CTRB dengan Sheep Foot Roller untuk pemadatan lapisan bawah dan Vibro Roller untuk lapis permukaan (gambar 11 dan gambar 12) • Bentuk kemiringan dan elevasi muka jalan dengan menggunakan motor grader sesuai desain rencana (gambar 13). • Pemadatan akhir lapisan CTRB dengan menggunakan penggilas roda karet (gambar 14). • Lakukan Curing untuk menghindari terjadinya retakan yang diakibatkan dari proses hidrasi semen (gambar 15).
Gambar 18. Proses loading chip agregat kedalam bin Syncronous chip sealer.
3.1. Pelaksanaan Pekerjaan Chip seal
Gambar 19. Proses kalibrasi alat.
Gambar 16. Syncronous Chip Sealer/Binder – Chip Spreader.
Gambar 17. Pelaksanaan Pekerjaan Prime Coat. Pelaksanaan pekerjaan single layer chip seal dilaksanakan dengan menggunakan alat Synchronous Chip Sealer/Binder-Chip Spreader (gambar 16) yang mengintegrasikan aspal sprayer dengan agregat/ chip spreader. Keunggulan metode pelaksanaan dengan menggunakan metode ini adalah waktu antara penyemprotan aspal kepermukaan jalan dengan penaburan agregat/chiping hampir bersamaan 1 - 84
Jurnal INFRASTRUKTUR
Gambar 20. Pelaksanaan Pekerjaan Chip Seal dengan alat Syncronous chip sealer.
Gambar 21. Pemadatan dengan Penggilas Roda Karet sehingga suhu aspal masih dalam kondisi panas ketika ditaburi agregat, akibatnya lekatan aspal dengan agregat akan menjadi lebih kuat. Untuk tahapan pelaksanaan pekerjaan chip seal, lproses pengerjaannya adalah sebagai berikut : • Penyiapan permukaan jalan, termasuk pembersihan dan pengalihan arus lalulintas.
Vol.02 No.02 Desember 2016
gujian UCS dan sand cone CTRB dapat dilihat dalam tabel 6 dan tabel 7. Tabel 6. Resume hasil pengujian UCS
Gambar 22. JalanInspeksi Tarum Timur dengan lapis pondasi CTRB dan Bitumen surface treatment dengan single layer chip seal. • Lakukan precoating terhadap agregat/chip untuk meningkatkan adhesivitas antara aspal dan chip agregat, pada pekerjaan ini precoating dilakukan dengan menggunakan aspal emulsi terhadap chip agregat dengan ukuran maksimal 9 mm. • Semprotkan aspal emulsi sebagai lapisan prime coat pada permukaan lapisan CTRB (gambar 17) sebelum pekerjaan chip seal dilaksanakan untuk memberikan lekatan/bonding yang kuat antara chip seal dengan lapisan CTRB.
Tabel 7. Resume hasil pengujian sand cone
• Setelah pekerjaan prime coat selesai, maka pekerjaan chip seal siap untuk dikerjakan. Aspal polimer E-65 dan chip agregat dengan ukuran maksimum 9 mm yang sudah di precoating dimuat ke atas tangki dan bin pada synchronous chip sealer (gambar 18). • Lakukan kalibrasi alat (gambar 19) untuk mengetahui besar bukaan chip spreader dan aspal sprayer serta kecepatan laju kendaraan yang sesuai dengan rencana pekerjaan chip seal (agregat 18 kg/m2, aspal 1.5 lt/m2) • Setelah proses kalibrasi alat selesai, pekerjaan chip seal siap dilaksanakan dengan kecepatan alat 10 km/jam (gambar 20). • Setelah aspal dan agregat dihamparkan, lakukan pemadatan dengan menggunakan penggilas roda karet. (gambar 21) 3.2. Pengendalian Kualitas Pekerjaan Tingkat keberhasilan pekerjaan perbaikan Jalan Inspeksi Tarum Timur Sangat ditentukan oleh proses pengendalian kualitas pekerjaan selama proses konstruksi jalan berlangsung. Untuk mendapatkan kualitas yang baik, maka pengawasan dan pengujian yang ketat dilakukan pada setiap tahapan pekerjaan, seperti pengujian kuat tekan/UCS dan sand cone untuk pekerjaan CTRB dan proses kalibrasi alat pada pelaksanaan pekerjaan chip seal. Hasil pen-
Dari kedua tabel diatas, hasil pekerjaan CTRB untuk pekerjaan Jalan Inspeksi Tarum Timur dapat dinyatakan baik dan layak digunakan sebagi lapis pondasi jalan. 4. KESIMPULAN 1) Dari hasil Survay Lapangan Kondisi jalan EksistJurnal INFRASTRUKTUR
1 - 85
Vol.02 No.02 Desember 2016
ing dalam keadaan rusak berat, tipe kerusakan yang terjadi merupakan kombinasi dari berbagai macam kerusakan seperti retak buaya, jalan berlubang, pelepasan butir agregat dan kegagalan pada lapis pondasi 2) Daya dukung tanah (CBR) hasil DCP antara 2,53 - 9,47 % rerata 4,75 % kurang dari spesifikasi minimum CBR untuk tanah dasar sebesar 6% 3) Hasil perhitungan desain untuk 10 (sepuluh) tahun membutuhkan Struktur Number (SN) 5,1 terhadap perkerasan eksisting yang ada. 4) Perbandingan pilihan konstruksi yang akan digunakan pada pelaksanaan adalah sebagai berikut: a)
Opsi 1 menggunakan podasi dengan Kontrusi LPA tebal 15 cm dan LPB tebal 20 cm dengan Struktur Number (SN) = 4,7 sementara kebutuhan SN adalah 5,1 sehingga masih diperlukan lapisan Surface menggunakan Wearing Course tebal 5 cm Struktur Number(SN) = 0,28 x 5 = 1,4 jumlah keseluruhan SN = 6,1
2. Depertemen Pekerjaan Umum, (2007), Spesifikasi Umum – Seksi 6.2, Laburan Aspal Satu Lapis (Burtu) dan Laburan Aspal Dua Lapis (Burda), Depertemen Pekerjaan Umum, Indonesia. 3. Depertemen Pekerjaan Umum, (1995), Tatacara Pelaksanaan Laburan Aspal Satu Lapis (Burtu) untuk Perkerasan Jalan, SNI 03-3979-1995, Depertemen Pekerjaan Umum, Indonesia. 4. Depertemen Pekerjaan Umum, (1995), Tatacara Pelaksanaan Laburan Aspal Dua Lapis (Burda) untuk Perkerasan Jalan, SNI 03-3980-1995, Depertemen Pekerjaan Umum, Indonesia. 5. Depertemen Pekerjaan Umum, (2002), Spesifikasi Bahan Laburan Aspal Satu Lapis (Burtu) dan Laburan Aspal Dua Lapis (Burda), SNI 03-67501995 Depertemen Pekerjaan Umum, Indonesia. 6. Depertemen Pekerjaan Umum, (1983), Petunjuk Pelaksanaan Laburan Aspal Satu Lapis (Burtu), No.08/PT/B/1983, Depertemen Pekerjaan Umum, Indonesia.
b) Opsi 2 menggunakan CTRB Struktur Number (SN) = 5,1 kebutuhan SN terpenuhi dan tidak perlu lagi tambahan, tetapi sebagai surface treatmen perlu di lapis dengan Chip Seal.
7. Depertemen Pekerjaan Umum, (1983), Petunjuk Pelaksanaan Laburan Aspal Dua Lapis (Burda), No.14/PT/B/1983, Depertemen Pekerjaan Umum, Indonesia.
c) Dari dua opsi tersebut opsi 2 dengan pondasi CTRB dan Surface Chip Seal masih mampu untuk mendukung Struktur Number (SN) 5,1
8. Direktorat Bina Marga, (2007), Spesifikasi Khusus “Cement Treated Recycling Base dan SubBase (CTRB & CTSB) dicampur di tempat (Mix In Place)
5) Pilihan Desain Struktur pekerasan dari ke dua opsi ditinjau dari Rasio umur pelayanan dan biaya bahan lapis pondasi adalah sebagai berikut: a) Opsi 1 pondasi LPA dan LPB = 1,75 dan Opsi 2 pondasi CTRB = 1,86 berarti lebih mahal opsi 2 tetapi apabila di bandingkan dengan surface nya untuk aspal butuh 3(tiga) kali kebutuhan untuk Chip Seal dan untuk Agregatnya butuh 5(lima) kali kebutuhan agregat untuk Chip Seal. b) Dari hasi perhitungan harga jauh lebih menguntungkan menggunakan Opsi 2 walaupun pada pondasi sedikit lebih mahal tetapi dari SN lebih tinggi 6) Pilihan konstruksi untuk mengatasi kondisi lingkungan sekitar yaitu dengan sungai dan kondisi tanah dasar dibawah batas spesifikasi, pilihan opsi 2 menggunakan pondasi CTRB dan Surface Chip Seal merupakan pilihan yang tepat, ditinjau dari kebutuhan SN masih mampu untuk mendukung lalulintas dan dari biaya pelaksanaan ternyata lebih murah DAFTAR PUSTAKA 1. Wirtgen, 2004, “Wirtgen Cold Recycling Manual”, 2th Edition, Germany.
1 - 86
Jurnal INFRASTRUKTUR
9.
http://www.cement.org/pavements/pv_fdr_ start.asp, Cement Treated Base (CTB) (2010)