VISSCHERIJ LABORATORIUM TE BATAVIA: AWAL KELEMBAGAAN OSEANOGRAFI DI INDONESIA
S
ebenarnya hingga akhir abad 19 telah ada puluhan ekspedisi ilmiah kelautan dari Eropa dan Amerika yang pernah menjelajahi peairan Nusantara (van Aken, 2005). Sasaran penelitian pada umumnya meliputi bidang biologi, geologi,
oseanografi fisika dan kimia. Namun semua hasil ekspedisi pada waktu itu di bawa ke negeri asal pelaksana ekspedisi untuk dimiliki, diolah dan diterbitkan. Laut Nusantara hanya sekedar sebagai objek penelitian saja. Ini disebabkan karena hingga saat itu memang riset kelautan belum dianggap penting di negeri ini. Riset yang telah berkembang lebih menekankan pada riset yang ada kaitannya dengan masalah pertanian di darat untuk mendukung ekonomi kolonial Hindia-Belanda. Kehadiran lembaga riset kelautan belum dirasakan sebagai kebutuhan. Salah satu lembaga terpenting yang melaksanakan riset di Nusantara, yang telah mempunyai sejarah panjang, adalah Kebun Raya di Bogor, yang pada awalnya dikenal sebagai ‘s Land Plantentuin te Buitenzorg. Kebun Raya ini didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada tanggal 18 Mei 1817 atas prakarsa Dr. C. G. C. Reinwardt. Dalam perjalanan sejarahnya Kebun Raya ini maju sangat pesat ketika dipimpin oleh Dr. Melchior Treub dalam kurun 18801905. Dalam masa kepemimpinannya Kebun Raya berkembang menjadi sebuah lembaga yang mempunyai banyak bagian meliputi bidang botani, zoologi, pertanian dan hortikultura. Pada tahun 1894 ‘s Land Plantentuin mendirikan anak lembaganya yang bernama Zoologische Laboratorium
(Laboratorium
Landbouw
Zoologi Pertanian), yang kelak lebih dikenal
sebagai Museum Zoologicum Bogoriense (Museum Zoologi Bogor). Sejak didirikan, museum ini berkembang pesat dengan penelitian-penelitian fauna darat, sedangkan fauna akuatik, khususnya penelitian fauna laut sama sekali belum terjamah. Pada tanggal 10 Januari 1898 Dr. J. C. Koningsberger diangkat menjadi kepala laboratorium ini. Pakar ini mempunyai perhatian yang sangat luas, tidak saja pada fauna darat tetapi juga pada fauna laut. Dalam tahun 1903 Koningsberger melakukan penelitian mengenai teripang, yang hasilnya diterbitkan dalam Meededelingen uit ‘s Land Plantentuin (Laporan Kebun Raya) tahun 1904, dengan judul “Tripang en tripang visccherij in Nederlandsch Indie” (Teripang dan perikanan teripang di Hindia Belanda). Dari pengalamannya itu, ia makin merasa perlu adanya asisten yang dapat menangani fauna laut yang mempunyai nilai penting dalam perikanan. Hal 1
ini juga untuk lebih mengangkat dan menyejajarkan penelitian fauna laut dengan penelitian fauna darat yang sudah berkembang jauh. Koningsberger berpendapat bahwa penelitian fauna laut akan dapat dilakukan dan bisa berkembang apabila disediakan tempat khusus atau laboratorium tersendiri untuk itu. Ia pun mulai mengambil prakarsa untuk memuwujudkan impiannya itu dengan membuat konsep rencana yang mencakup pengembangannya, sumber pendanaan, lokasi, dan tenaga yang diperlukan. Ia menjajakan gagasannya kemana-mana dan ternyata mendapat tanggapan dan dukungan positif dari berbagai kalangan, tidak saja di Hindia-Belanda tetapi juga di Holland. Dr. Melchior Treub, atasannya, yang menjadi Direktur Kebun Raya Bogor, memberikan dorongan yang sangat membesarkan hati. Upayanya untuk menggalang dana (fund raising) di Holland berhasil pula mengumpulkan dana yang cukup besar dari para dermawan di sana.
Gambar 1. Visscherij Laboratorium te Batavia (Laboratorium Perikanan di Batavia) yang sangat sederhana di bangun di kawasan Pasar Ikan tahun 1905, oleh Dr. Koningsberger (foto dalam inzet). (Sunier, 1923) Untuk mencari lokasi yang tepat untuk pendirian laboratorium, Koningsberger mengarahkan perhatiannya ke Teluk Jakarta, yang dianggapnya cocok. Setelah bekerja keras akhirnya pada bulan September tahun 1904, pilihannya jatuh pada sebidang tanah yang terletak persis di sebelah utara Pasar Ikan, di bibir pantai yang langsung berhubungan dengan bagian paling selatan Oude Haven Kanal (Kanal Pelabuhan Lama, sekarang Pelabuhan Sunda Kelapa), yang merupakan muara Sungai Ciliwung. Tanah ini milik Pemerintah dan untuk memperoleh hak otorita atas penggunaan tanah itu tidak ditemui kesulitan. Dengan persetujuan Pemerintah Kolonial pembangunan laboratorium di kawasan Pasar Ikan itu pun dimulai tahun 1904, yang ternyata memerlukan waktu hampir setahun untuk dapat 2
selesai. Laboratorium yang dibangun itu merupakan gedung semi-permanen yang kecil dan bersahaja (Gambar 1). Pada pertengahan Desember 1905 pembangunan laboratorium itu selesai, dan disebut sebagai Visscherij Laboratorium te Batvia (Laboratorium Perikanan di Batavia). Momen itu dapat dipandang sangat bersejarah, karena merupakan titik awal dimulainya lembaga kelautan di Indonesia, dan yang juga merupakan cikal bakal Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang sekarang ini.
Gambar 2. Kapal riset Gier , kapal pertama yang dioperasikan oleh Visscherij Station te Batavia tahun 1904 (Koningsbeger, 1942)
Gambar 3. Kapal riset Brak, mulai dioperasikan oleh Visscherij Station te Batavia tahun tahun 1915. (Sunier, 1921)
3
Nama Visscherij Laboratorium te Batavia tak lama kemudian berubah menjadi Visscherij Station te Batavia (Stasiun Perikanan Batavia), nama yang kelak lebih banyak dikenal dalam berbagai literatur. Tahun 1907 stasiun ini sudah dilengkapi dengan kapal riset Gier (Gambar 2) yang merupakan pula kapal riset pertama yang berpangkal di kawasan Asia Timur. Dengan adanya kapal riset ini dimulailah pelayaran-pelayaran untuk mengumpulkan data oseanografi dan perikanan di berbagai perairan Nusantara. Sekitar tahun 1915 laboratorium ini mengoperasikan kapal riset yang baru, Brak (Gambar 3), hingga pelayaran-pelayaran riset kelautan dapat dilakukan dalam cakupan yang lebih luas lagi.
Gambar 4. Gedung laboratorium selesai dibangun tahun 1922.(Sunier 1923)
Pada tahun 1922 telah selesai dibangun laboratorium yang baru, yang lebih permanen dan lebih besar untuk menggantikan laboratorium yang lama (Gambar 4). Kehadiran laboratorium kelautan yang baru ini segera menarik pehatian dunia, karena merupakan Marine Biological Station yang pertama di kawasan tropis, yang dilengkapi dengan fasilitas kerja yang memadai. Fasilitas bagi peneliti tamu dari manca negara pun disediakan. Di samping gedung laboratorium dibangun pula gedung akuarium air laut yang besar, yang merupakan akuarium publik (public aquarium) yang pertama di Indonesia, bahkan yang pertama di kawasan Asia Tenggara (Gambar 5). Akuarium besar ini dibuka untuk umum tanggal 12 Desember 1923, yang segera menyedot perhatian masyarakat. Akuarium ini bekerja dengan sistem aliran tertutup, yakni air laut yang disimpan dalam reservoir penampungan di bawah tanah dialirkan dan disemprotkan ke dalam akuarium kemudian limpasannya dialirkan 4
lewat saringan pasir dan kemudian dikembalikan lagi ke reservoir. Dalam akuarium besar ini dipelihara dan dipamerkan berbagai jenis ikan dengan bentuk dan warna yang sangat mempesona. Selain itu ada juga penyu. Di bagian belakang akuarium terdapat pula satu ruangan besar yang berisikan hamparan terumbu karang dan berbagai biota laut, semua dalam keadaan kering, yang disusun sedemikian rupa hingga tampak seperti terumbu karang aslinya di laut.
Gambar 5. Gedung akuarium air laut yang terbuka untuk publik tahun 1923. (Sunier, 1923). Di sekeliling bangunan laboratorium dan akuarium ada taman yang tanamannya mewakili tumbuhan yang biasa hidup di pantai, jadi merupakan suatu taman botani kecil (hortus botanicus) yang menambah daya tarik kunjungan masyarakat ke sini. Di taman kecil ini, yang kemudian dinamai Taman Sitinjau Laut, ada pula taman hewan mini (mini zoo) yang memamerkan berbagai jenis hewan pantai seperti buaya, biawak, monyet ekor panjang, bangau tongtong, ular. Pada saat hari libur, apalagi pada hari lebaran, pengunjung akuarium ini selalu membludak. Sampai tahun 1960-an, lokasi ini yang dikenal sebagai Akuarium Pasar Ikan menjadi tujuan wisata yang yang tersohor di Jakarta. Lagu anak-anak yang sangat populer saat itu berjudul Ke Pasar Ikan, menggambarkannya dengan lirik sebagai berikut: Hari Minggu, Hari Minggu, ke Pasar Ikan Dengan Ibu, dengan Ayah, beserta Paman Kulihat ikan, di dalam kolam Berbisik-bisik, memberi salam. Sebagai pelengkap dari akuarium di Pasar Ikan ini, maka pada tahun 1929 dibangun pula akuarium di Pulau Onrust di Teluk Jakarta, yang diperuntukkan khusus untuk penelitian 5
(Gambar 6). Ketika itu kondisi air laut di sekitar Pulau Onrust masih sangat baik, belum tercemar, dan terumbu karang hidup dengan sehat di sekitarnya. Tidak seperti akuarium di Pasar Ikan yang menggunakan sistem aliran tertutup, akuarium di Pulau Onrust menggunakan sistem aliran terbuka. Dengan sistem ini, air laut segar dari sekitar pulau dipompa langsung dari laut ke menara, dan dari situ lalu dialirkan ke bak-bak akuarium kemudian limpasannya dialirkan dan dibuang kembali ke laut. Dengan sistem aliran terbuka ini ternyata berbagai biota laut dapat hidup dalam akuarium dengan kondisi sangat baik, hingga akuarium ini sangat cocok untuk penelitian biologi dan fisiologi berbagai jenis biota laut. Berbagai riset tentang biologi biota laut kemudian dilaksanakan dalam akuarium ini. Verwey (1930) adalah seorang pakar yang menggunakan akuarium di Pulau Onrust untuk penelitian biologi anemone laut dan simbiosisnya dengan ikan giru (damsel fish) yang merupakan rintisan dalam penelitian serupa di berbagai penjuru dunia lainnya.
Gambar 6. Akuarium di Pulau Onrust (Teluk Jakarta) dengan menggunakan sistem aliran terbuka, merupakan media yang sangat baik untuk kajian biologi dan fisiologi biota laut (Verwey, 1930). Pada pertengahan tahun 1970-an Pemerintah DKI menutup kawasan dan akuarium di Pasar Ikan karena direncanakan untuk dikembangkan sebagai perluasan kawasan Museum Bahari. Laboratorium kelautan ini lalu dipindahkan ke kawasan Ancol yang kelak menjadi Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Namun sayangnya, pembangunan selanjutnya di Pasar Ikan itu
terkatung-katung tidak jelas, hingga seluruh
kawasan bekas Akuarim itu kemudian diduduki oleh penduduk dan berkembang menjadi 6
kampung dengan penghunian liar yang padat dan semrawut yang dikenal sebagai Kampung Akuarium. Tahun 2016 Pemerinah DKI kemudian menggusur seluruh kawasan Pasar Ikan dan Kampung Akuarium dan daerah sekitarnya yang dulu pernah menoreh sejarah itu, untuk dibangun dan ditata kembali menjadi kawasan yang baru.
Gambar 6. Kampung Akuarium dan Pasar Ikan digusur tahun 2016, hingga tak ada lagi jejak peninggalan sejarah awal kelembagaan kelautan kita. http://jakarta.108jakarta.com/2016
PUSTAKA
Koningsberger, J. C. 1942. Herinneringen uit mijn Directeurjaren ‘s Land Plantentuin (19091918). In: M. A. Donk. “Hortus Botanicus Bogoriensis 1817 – 1942”. Leiden, E. J. Brill 1942: 19-46. Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm. Pariwono, J. I., A. G. Ilahude & M. Hutomo. 2005. Progress in oceanography of the Indonesian seas. A historical perspective. Oceanography 2005, 18 (4): 42-49. Soedibjo, B. S., M. Sitompul, A. Warsono & R. N. Maha. 2010. Satu abad lebih peranan strategis Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 111 hlm. Soegiarto, K. 1987. Menelusuri tonggak-tonggak sejarah Puslitbang Oseanologi LIPI. Oseana 12 (3): 1-52. 7
Soemodihardjo, S., K. A. Soegiarto, M. H. Moosa & Mulyanto (eds). 2005. Seratus tahun lembaga penelitian bidang ilmu kelautan LIPI 1905-2005. LIPI, Jakarta: 196 hlm. Sunier, A. L. J. 1921. Java Sea plankton available for investigation to specialists. Treubia II: 154-155. Sunier, A. L. J. 1923. The laboratory for marine investigations at Batavia. A new tropical marine biological station. Treubia 3: 127-148. van Aken, H. 2005. Dutch oceanographic research in colonial times. Oceanography 18 (4): 3041. Verwey, J. 1930. Coral reef studies. I. The symbiosis between damsel fishes and sea anemones in Batavia Bay. Treubia 12: 305-366.
8