Identifikasi Telur Cacing........(Dyah Widiastuti, dkk.)
29. Ahmed RK, Koyee QMK, Rahemo ZIF. Intestinal parasites of experimental rodents with testing the efficacy of diagnostic methods. Int Res J Pharm. 2012; 2 (3): 77–81. 30. Fitriyanto B. Pemeriksaan endoparasit pada tikus di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. Data tidak dipublikasikan. Banjarnegara: Balai Litbang P2B2 Banjarnegara; 2012.
33. Sinniah B, Manmohan S, Khairul A. Preliminary survey of Capillaria hepatica (Bancroft, 1893) in Malaysia. J Helminthol. 1979; 53: 147–52. 34. Kataranovski M, Mirkov I, Belij S, et al. Intestinal helminths infection of rats (Rattus norvegicus) in the Belgrade area (Serbia): the effect of sex, age and habitat. Parasite. 2011; 18: 189–96.
31. Kia E, Homayouni M, Farahnak A, Mohebali M, Shojai S. Study of endoparasites of rodents and their zoonotic importance In Ahvaz, South West Iran. Iran J Publ Heal. 2001; 30 (1-2): 49–52.
35. Tung K-C, Hsiao F-C, Wang K-S, Yang C-H, Lai CH. Study of the endoparasitic fauna of commensal rats and shrews caught in traditional wet markets in Taichung City, Taiwan. J Microbiol Immunol Infect. 2013; 46: 85–8.
32. Paramasvaran S, Sani R., Hassan L, et al. Endoparasite fauna of rodents caught in five wet markets in Kuala Lumpur and its potential zoonotic implications. Trop Biomed. 2009; 26 (1): 67–72.
36. NPMA. Why rodents are a danger to health and home. 2013. [cited 2013 August 21]. Available at: http://www.pestworld.org/news-and-views/pestarticles/articles/health-threats-posed-by-rodents/.
BALABA Vol. 10 No. 21, Desember 2014: 97-102
VIRUS WEST NILE: EPIDEMIOLOGI, KLASIFIKASI DAN DASAR MOLEKULER WEST NILE VIRUS: EPIDEMIOLOGY, CLASSIFICATION AND MOLECULAR BASIC Bina Ikawati, Dyah Widiastuti, Puji Astuti Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Jl. Selamanik No. 16A Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia E_mail:
[email protected] Received date: 16/5/2014, Revised date: 11/11/2014, Accepted date: 13/11/2014
ABSTRAK Virus west nile (WN) dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui nyamuk. Di Indonesia virus west nile mulai diperhatikan karena menginfeksi 12 warga Surabaya pada tahun 2014. Pemahaman mengenai virus west nile ditinjau dari aspek epidemiologi, klasifikasi dan dasar molekuler diperlukan untuk mengenal apa dan bagaimana sifat dari virus WN dalam rangka upaya deteksi dini dan pencegahan terjadinya KLB virus WN. Tulisan ini merupakan telaah dengan mengumpulkan informasi dari berbagai jurnal dan buku teks mengenai virus west nile. Secara epidemiologi virus dapat tersebar melalui vektor nyamuk utamanya Culex sp., dan Aedes sp. sebagai vektor sekunder. Virus ini di alam juga ditemukan pada burung/unggas. Penularan virus melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi ke hewan dan manusia. Virus west nile merupakan anggota famili Flaviviridae dari genus Flavivirus. Virus ini memiliki genom yang terdiri dari satu singlestranded (ss) RNA yang dikelilingi suatu nucleocapsid berbentuk icosahedral atau isometric. Genom virus west nile memiliki panjang 11.029 nukleotida. Upaya pencegahan terhadap infeksi virus WN dapat dilakukan dengan mengendalikan populasi nyamuk, mengurangi gigitan nyamuk, dan secara berkala melakukan survei pada unggas/burung utamanya yang dipelihara dalam skala besar maupun yang sedang bermigrasi. Kata kunci: virus west nile, epidemiologi, klasifikasi, dasar molekuler ABSTRACT West nile (WN) virus can cause a disease transmitted by mosquitoes. West nile virus in Indonesia should be noted because it has infected 12 people in the early 2014. A good understanding of west nile virus in terms of epidemiology, classification and molecular basis was needed to know about WN virus properties and ultimately early detection and prevention of WN virus outbreaks can be performed precisely. A literature review was arranged by collecting information from various journals and textbooks about west nile Virus. WN virus can be transmitted by Culex sp. as the main mosquito vector, however Aedes sp. also potential as secondary vector. WN virus presence was maintained in nature through its life cycle in birds or poultry. The transmission can only occure through an infected mosquito bitting to other animals and humans. West nile virus is a member of genus Flavivirus from family Flaviviridae. West nile virus has a genome consisted of a single-stranded (ss) RNA surrounded by an icosahedral nucleocapsid. West nile virus genome has 11,029 nucleotides. Prevention efforts toward WN virus infection can be done by performing mosquito control, reducing mosquito bites, and conducting periodical surveys in migrating birds or large-scale poultry. Key words: west nile virus, epidemiology, classification, molecular basic
PENDAHULUAN Virus west nile adalah virus yang dapat menimbulkan penyakit dan ditularkan melalui nyamuk di daerah beriklim sedang dan tropis. Virus ini pertama kali diidentifikasi di sungai Nil bagian barat Uganda, Afrika Timur, pada tahun 1937. Sebelum pertengahan 1990-an, penyakit ini hanya terjadi sporadis dan hanya berisiko kecil bagi manusia, sampai terjadi wabah di Aljazair pada tahun 1994 dan wabah besar di Rumania pada tahun 1996
58
dengan kasus ensefalitis (peradangan akut pada otak). 1 Virus west nile saat ini telah menyebar secara global, dengan kasus pertama di bagian barat diidentifikasi di New York City pada tahun 1999. Penyebaran virus di benua Amerika Serikat, dari utara Kanada sampai kepulauan Karibia dan Amerika Latin. Virus ini juga telah menyebar ke Eropa, di daerah luar Mediterania. Virus west nile kini endemik di Afrika, Asia, Australia, Timur
97
Virus West Nile .......................(Bina Ikawati, dkk.)
Tengah, Eropa, dan terutama di Amerika Serikat yang pada tahun 2012 mengalami wabah terburuk. Pada tahun 2012, virus west nile (WN) menewaskan 286 orang di Amerika Serikat, dengan negara bagian Texas merupakan kawasan paling parah terinfeksi oleh virus ini.1 Hasil penelitian Mynt menunjukkan bahwa virus WN ditemukan pada serum pasien demam akut di Pulau Jawa yang dikoleksi sejak tahun 2004 hingga 2005. Secara genotip, virus tersebut 2 teridentifikasi sebagai virus WN lineage 2. Keberadaan virus west nile di Indonesia harus diperhatikan karena pada tahun 2014 virus tersebut telah menginfeksi 12 warga Surabaya yang dirawat intensif di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya melalui gigitan nyamuk Culex. Virus West Nile ini terindikasi oleh dokter yang tergabung dalam Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga, Surabaya.3 METODE Review dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari berbagai jurnal, artikel ilmiah dan buku teks mengenai virus west nile. Seluruh data dikompilasi dan disusun secara sistematis deskriptif untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai virus west nile yang meliputi epidemiologi, klasifikasi, dan dasar molekuler. PEMBAHASAN Epidemiologi Pada manusia, masa inkubasi virus WN antara 1-6 hari. Umumnya penyakit ini ringan dengan gejala klinik demam, menggigil, nyeri kepala, nyeri punggung, nyeri otot secara menyeluruh, dan sulit tidur. Disamping itu, dapat pula ditemukan gejala gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, dan nyeri lambung. Kemudian suhu badan penderita dapat mencapai 40°C atau lebih. Pada umumnya, penderita akan pulih sepenuhnya. Pada beberapa kasus, terutama pada orang-orang berusia lanjut, akan berkembang menjadi ensefalitis ataupun meningitis (infeksi pada lapisan otak dan urat saraf tulang belakang) yang berisiko menyebabkan kematian. Diagnosis yang akurat akan membantu penderita untuk tidak mengalami tahap yang lebih parah dari infeksi virus 3 West Nile. Virus WN dapat menyebabkan komplikasi berat pada semua golongan usia dan kondisi kesehatan apapun sehingga sangat penting untuk
98
mengurangi risiko terjadinya infeksi. Virus ini Serba Serbi Parasit keberadaannya di alam terpelihara oleh burung dan nyamuk. Terdapat lebih dari 60 spesies nyamuk yang dapat menularkan virus WN. Di Amerika Utara dan Eropa ditemukan nyamuk penular utamanya dari genus Culex, yaitu Culex pipiens complex yang ornithophilic (menyukai darah 4 burung/unggas). Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan Aedes spp. berpotensi pula sebagai 5 vektor virus WN. Penularan virus WN harus melalui vektor yaitu nyamuk. Unggas yang terinfeksi berinteraksi dengan vektor agar dapat menularkan ke hewan lain dan manusia. Kontak langsung antara unggas yang diinfeksi virus WN tidak terjadi karena tidak ditemukannya antibodi dan virus pada tubuh unggas.5 Vektor akan terinfeksi bila menghisap darah unggas yang terinfeksi virus WN dan virus akan berkembangbiak dalam beberapa hari pada tubuh nyamuk, dan membawanya ke kelenjar air liur yang siap ditularkan ke unggas atau manusia melalui gigitannya. Pada unggas yang telah terinfeksi, viremia dapat bertahan selama 4 hari, dan bila burung tersebut sembuh maka antibodi akan terbentuk dan bertahan sangat lama. 6 Pencegahan penularan virus WN dapat dilakukan melalui peningkatan kegiatan surveilans. Surveilans vektor dapat dilakukan melalui pengendalian populasi nyamuk serta mencegah gigitan nyamuk. Pengamatan terhadap lingkungan utamanya pada unggas yang dipelihara dalam jumlah banyak (ekstensif) dan burung liar perlu pula diwaspadai adanya virus WN. Hasil penelitian menunjukkan burung yang dipelihara secara intensif lebih sedikit kemungkinan untuk positif virus WN. Unggas yang terkena virus WN dapat tidak menimbulkan gejala sakit dan apabila bergejala mempunyai ciri gejala syaraf seperti, perdarahan pada miokardium, dan perdarahan dan nekrosis pada saluran pencernaan. Unggas yang terkena virus WN tidak dapat menularkan virus 6 tersebut secara langsung. Klasifikasi Virus West Nile merupakan anggota family Flaviviridae dari genus Flavivirus. Famili Flaviviridae terbagi menjadi 3 genera yaitu: Flavivirus, Pestivirus dan Hepacivirus. Genus Pestivirus terdiri dari 4 spesies virus yang merupakan kelompok patogen pada hewan antara lain: Bovine Viral Diarrhea Virus tipe 1 dan 2,
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 53-58
3. Ruiz. Rodents in disasters. USA: Pan American Health Org.; 2004:18. 4.
Battersby SA, Parsons R, Webster JP. Urban rat infestations and the risk to public health. J Environ Hlth Res. 2002; 1: 4–12.
5. Belding DL. Capillaria Hepatica. In: Textbook Of Parasitology. 3rd Edition. New York: AppletonCentury-Crofts; 1965: 402–3. 6. Lloyds S, Elwood CM, Smith KC. Capillaria hepatica infection in a British dog. Vet Rec. 2002; 151: 419-20.
Baltimore, Maryland. J O Parasitol. 1977; 63: 117 – 22. 17. Ahmad MS, Maqbool A, Mahmood-ul-Hassan M, Mushtaq-ul-Hassan M, Anjum AA. Capillaria hepatica (nematode) in rodents of the lahore metropolis corporation-Pakistan. J Anim Plant Sci. 2011; 21 (4): 787–93. 18. Stojcevic D, Marinculic A, Mihaljevic Z. Prevalence of Capillaria hepatica in norway rats (Rattus norvegicus) in Croatia. Vet Arh. 2002; 72 (3): 141–9.
7. Urquhart GM, Armour J, Duncan AM, Dunn JL, Jennings SW. Textbook of veterinary parasitology. United Kingdom: Longman; 1987.
19. Claveria FG, Causapin J, Guzman MA, Toledo MG, Salibay C. Parasite biodiversity in Rattus spp. caught in wet markets. Southeast Asian J Trop Med Public Heal. 2005; 36: 146–8.
8. Abu-Madi MA, Lewis JW, Mikhail M, El-Nagger ME, Behnke JM. Monospecific helminths and arthropod infections. J Helminthol. 2001; 75: 313–20.
20. Stojcevic D, Marinculic A, Mihaljevic Z. Prevalence of Capillaria hepatica in norway rats (Rattus norvegicus) in Croatia. Vet Arh. 2002; 72 (3): 141–9.
Seong J, Huh S, Lee J, Oh Y. Helminth in Rattus norvegicus capture in Chunchon, Korea. Korean J Parasitol. 1995; 33 (3): 235–7.
21. Kumar V, Brandt J, Mortelmans J. Hepatic capillariasis may simulate the syndrome of visceral larva migrans, an analysis. Ann Soc Belge Med Trop. 1985; 65: 101–4.
9.
10. Maff. Ministry of agriculture, fisheries and food. Manual Of Veterinary Parasitology. UK: Her Majesty’s Stationery Office; 1971.
22. Sandjaja B. Helmintologi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka; 2007.
11. Fuehrer H-P, Igel P, Auer H. Capillaria hepatica in man: an overview of hepatic capillariosis and spurious infections. Parasitol Res.
23. Fuehrer H-P, Igel P, Auer H. Capillaria hepatica in man-an overview of hepatic capillariosis and spurious infections. Parasitol Res. 2011; 109 (4): 969–79.
12. Goswami R, Singh SM, Kataria M, Somvanshi R. Clinicopathological studies on spontaneous Hymenolepis diminuta infection in wild and laboratory rats. Braz J Vet Pathol. 2011; 4 (2): 103–11. 13. Souza MV de, Sianto L, Chame M, Ferreira LF, Araujo A. Syphacia sp. (Nematoda: Oxyuridae) in coprolites of Kerodon rupestris Wied, 1820 (Rodentia: Caviidae) from 5,300 years BP in Northeastern Brazil. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio Janeiro. 2012; 107 (4): 539–42. 14. Ceruti R, Sonzogni O, Origgi F, et al. Capillaria hepatica infection in wild brown rats (Rattus norvegicus) from the urban area of Millan, Italy. J Vet Med. 2001; 48: 235-40. 15. Davoust B, Boni M, Branquet D, Ducos De Lahitte J, Martet G. Research on three parasitic infestations in rats captured in Marseille: evaluation of the zoonotic risk. Bull Natl Acad Med. 1997; 181: 887 – 97. 16. Farhang-Azad A. Ecology of Capillaria hepatica (Bancroft, 1893) (Nematoda): dynamics of infection among norway rat populations of the Baltimore Zoo,
24. Al-Zihiry K. Some intestinal helminths of norway rat Rattus norvegicus (Berkenhout, 1769) in Basrah, Iraq. J Univ Thi-Qar. 2006; 2 (1): 45–56. 25. Tutsyntain R. Pemeriksaan endoparasit pada tikus (Rattus spp.) di Desa Citereup Kecamatan Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung Jawa Barat tahun 2013. Data tidak dipublikasikan. Banjarnegara: Balai Litbang P2B2 Banjarnegara; 2013. 26. Tena D, Gimeno C, Pomata TP, et al. Human infection with Hymenolepis diminuta: Case Report from Spain. J Clin Microbiol. 1998; 36 (8): 2375–77. 27. Marangi M, Zechini B, Fileti A, Quaranta G, Aceti A. Hymenolepis diminuta infection in a child living in the urban area of Rome, Italy. J Clin Microbiol. 2003; 41 (8): 3994–5. 28. Patamia I, Cappello E, Castellano-Chiodo D, Greco F, Nigro L, Cacopardo B. A human case of Hymenolepis diminuta in a child from eastern Sicily. Korean J Parasitol. 2010; 48 (2): 167–9.
57
Identifikasi Telur Cacing........(Dyah Widiastuti, dkk.)
Reservoir alami dan host definitif H. diminuta adalah tikus dan hewan pengerat lainnya. Sementara arthropoda coprophilic, seperti kutu, lepidoptera, dan coleoptera, bertindak sebagai intermediate host ketika makan telur H. diminuta dari feses tikus. Telur berkembang menjadi larva cysticercoid dalam rongga tubuh mereka. Jika arthropoda infektif dimakan oleh host definitif, cysticercoid yang tertelan masuk ke dalam perut tikus dan berkembang menjadi cacing dewasa dimana telur berasal dari 28 kotoran binatang pengerat tersebut. Prevalensi cacing S. muris dalam penelitian ini sebesar 5%, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaporkan oleh Stojcevic, et al.2 di Croatia ditemukan S. muris sebesar 3,53%. Penelitian lain oleh Ahmed, et al.29 ditemukan S. muris sebesar 24% pada R. norvegicus albino. Penelitian 30 Fitriyanto di permukiman di Kabupaten Banjarnegara tahun 2012 menemukan spesies cacing ini pada organ sekum tikus. Ciri morfologi dari telur S. muris antara lain berbentuk asimetris, berwarna kekuningan dengan ujung menajam, dan membran telur bertekstur halus dengan dilapisi dua dinding berbentuk silinder. Bagian dalam telur terisi penuh dengan embrio yang terdiri dari beberapa segmen. 31 Menurut penelitian Kia, et al. di Ahvaz, Iran, jenis nematoda yang ditemukan dalam penelitian tersebut yaitu spesies S. muris dan G. neoplasticum. Syphacia muris pernah ditemukan pada seorang wanita yang bermukim di rumah dengan kondisi lingkungan sanitasi yang tidak baik dan G. neoplasticum ditemukan juga pada mulut seorang wanita. Penelitian Paramsvaran, et al.32 pada lima pasar di Kualalumpur ditemukan spesies cacing C. hepatica, H. diminuta dan S. muris. Kasus pertama infeksi C. hepatica pada manusia ditemukan pada tentara dari India.33 Penelitian Battersby ditemukan 30 kasus C. hepatica pada manusia dan sebagian besar terjadi pada anak-anak usia 1-5 tahun. Parasit ini dapat menyebabkan hepatitis akut atau sub-akut ditandai dengan eosinofilia dan demam persisten pada manusia. Hepatomegali dapat terjadi dengan telur di parenkim hati merangsang nekrosis dan abses pada manusia 32 yang terinfeksi. Penelitian Kataranovski, et al.34 di Serbia menemukan Capillaria spp., S. muris dan prevalensi parasit paling banyak yaitu H. diminuta (30,5%) pada R. norvegicus. Penelitian Tung, et al.35 pada
56
pasar tradisional di Taiwan menemukan H. diminuta sebesar 6,25% pada R. norvegicus dan 18,18% pada R. rattus, C. hepatica sebesar 62,50% pada R. norvegicus dan 18,18% pada R. rattus, dan S. muris sebesar 27,27% pada R. rattus. Pasar merupakan tempat jual beli yang setiap hari didatangi masyarakat dalam jumlah yang relatif banyak. Peran dalam dunia kesehatan, pasar dapat menjadi sumber penularan berbagai penyakit, terutama pasar yang kebersihannya kurang diperhatikan (pembuangan sampah, air kotor dan lain- lain). Infestasi tikus di lingkungan pasar dapat menyebabkan beberapa masalah, termasuk kontaminasi makanan dan penularan penyakit. Tikus dapat menghasilkan 12-16 mililiter urin dan sampai lima puluh kotoran tinja dalam waktu 24 jam. Kontaminasi makanan oleh kotoran tikus selama penyimpanan di dalam kios pasar dapat menjadi sarana penularan penyakit ke manusia ataupun 36 hewan peliharaan. KESIMPULAN Hasil identifikasi telur cacing zoonotik yang ditemukan pada feses R. tanezumi terdiri dari C. hepatica, H. diminuta dan S. muris. Hal tersebut perlu diwaspadai sebagai investigasi awal sumber penularan penyakit kecacingan zoonotik. SARAN Masyarakat lebih waspada terhadap kebersihan dan proses pengolahan bahan-bahan makanan yang diperoleh dari pasar untuk menghindari penularan penyakit yang diakibatkan kontaminasi telur cacing zoonotik dari feses tikus.
BALABA Vol. 10 No. 21, Desember 2014: 97-102
Border Disease Virus dan Classical Swine Fever Virus. Genus Hepacivirus hanya terdiri dari satu spesies yaitu virus Hepatitis C. Genus Flavivirus memiliki anggota yang paling banyak yaitu lebih dari 53 spesies, yang terbagi menjadi 12 kelompok yang saling berhubungan secara serologis. Virus West Nile merupakan salah satu spesies dari genus Flavivirus selain beberapa spesies yang lain seperti virus Dengue, Japanese Encephalitis, St. Louis Encephalitis, Murray Valley Encephalitis.7 Seluruh isolat virus West Nile berasal dari satu serotip namun terbagi dalam dua lineage (garis keturunan) yaitu lineage 1 dan 2.8 Perbedaan antar lineage 1 dan 2 terletak pada substitusi dan delesi asam amino yang menyusun protein envelope. Virus west nile lineage 1 berasosiasi dengan penyakit pada manusia di dunia, sedangkan lineage 2 hanya menginfeksi di 9 daerah endemis enzootik Afrika. Dasar Molekuler Genom dan protein virus Virus west nile memiliki genom yang terdiri dari satu single-stranded (ss) RNA yang dikelilingi suatu nucleocapsid berbentuk icosahedral atau isometrik. Genom virus west nile memiliki panjang 11.029 nukleotida. Sekuen nukleotida dari virus West Nile telah diketahui mengkode tiga protein struktural yang meliputi protein kapsid (C), protein membrane (M), dan envelope (E). Selain itu, genom virus West Nile juga mengkode tujuh protein non struktural (NS). Secara keseluruhan, protein yang dikode oleh genom virus West Nile adalah 5'-C-prM7 E-NS1-NS2A-NS2BNS3-NS4A-NS4B-NS5-3'.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dinas Pasar Banjarnegara dan rekan-rekan semua yang telah membantu pelaksanaan penelitian sehingga berjalan lancar. DAFTAR PUSTAKA 1.
Webster J, Macdonald D. Parasitic of wild brown rats (Rattus norvegicus) on UK farms. Parasitology. 1995; 111: 247–55.
2. Stojcevic D, Mihaljevic Z, Marinculic A. Parasitological survey of rats in rural regions of Croatia. Vet Med - Czech. 2004; 3: 70–4.
Gambar 1. Struktur Virus West Nile yang Diamati di Bawah Cryo-Electron Microskop. Permukaan virion dengan salah satu unit icosahedron asimetris yang ditandai dengan gambar segitiga. Arah pelipatan icosahedron ditunjukkan dengan label 5 dan 3 (A). Potongan melintang menunjukkan lapisan concentric yang padat. Virion core, lipid bilayer dan protein E serta30protein M dapat dibedakan dengan jelas (B).
Beberapa penelitian virus WN difokuskan pada gen penyandi protein E yang berperan penting dalam proses perlekatan virus dan proses masuknya virus dalam sel inang. Protein E bertindak sebagai target sistem imun dan memiliki variasi genetik yang tinggi.10 Protein M disintesis dalam bentuk prekursor protein (preM). Prekursor ini akan diproses menjadi protein M dengan enzim convertase (furin) ketika virus telah mengalami maturasi.11 Kapsid virus West Nile berdiameter sekitar 30 nm dan terdiri dari dimer protein C yang merupakan komponen dasar penyusun nukleokapsid.8 Protein C ini terletak di dalam virion dan tidak berhubungan dengan protein E dan M yang berada di sisi dalam envelop virion. Walaupun partikel nukleokapsid terdiri dari protein C, namun dimer protein ini dapat dipisahkan dari struktur nukleokapsid dengan perlakuan garam 12 dalam konsentrasi tinggi. Protein NS1 merupakan suatu glikoprotein yang berperan penting dalam viability virus karena 13 memiliki ikatan disulfida. NS1 berfungsi sebagai kofaktor dalam proses replikasi RNA virus dan merupakan satu-satunya protein nonstruktural yang disekresi dalam jumlah yang banyak (lebih dari 50 ìg/ml) dalam serum pasien yang terinfeksi. Protein ini juga diketahui berhubungan dengan tingkat 14 keparahan penyakit. Banyak teori telah dikembangkan terkait kontribusi protein NS1 terhadap mekanisme patogenik virus West Nile diantaranya bahwa [1] protein tersebut dapat memicu terbentuknya reaksi autoantibodi yang berbahaya dalam tubuh inang,14 [2] antibodi anti NS1 akan menyerang sel-sel dalam jaringan tubuh inang 16 itu sendiri atau [3] adanya protein NS1 akan menurunkan respon imun pasien terhadap virus West Nile dengan mengurangi pengenalan terhadap sel 17 terinfeksi melalui sistem komplemen. NS2A merupakan protein membran hidrofobik yang berperan penting dalam replikasi 18 RNA dan proses perakitan partikel virus. NS2A juga merupakan suppressor utama proses transkripsi interferon beta (IFN-â). Protein ini akan menghambat respon interferon yang pada dasarnya merupakan pertahanan awal di tubuh inang.19 NS2B merupakan protein dengan berat molekul 15 kDa yang berperan untuk memfasilitsi aktivitas protease protein NS3.20 NS2B berfungsi memfasilitasi proses folding protein NS3 berjalan secara ideal sehingga protein tersebut dapat bekerja 21,22 sebagai enzim protease.
99
Virus West Nile .......................(Bina Ikawati, dkk.)
NS3 merupakan protein yang cukup besar dengan berat molekul 70 kDa dan memiliki dua 23 fungsi enzimatis yaitu sebagai protease dan sebagai 24 ATPase. Protease memediasi proses proteolitik prekursor poliprotein dengan cara memotong pada 23 bagian C-terminal. Sedangkan ATPase berperan dalam proses replikasi RNA virus dengan cara memfasilitasi aktivitas polymerase protein NS5.25 Fungsi protein NS4A belum diketahui secara pasti namun telah ditemukan beberapa bukti bahwa protein ini berperan sebagai “organizer” proses replikasi kelompok Flavivirus. NS4A bertindak sebagai kofaktor untuk enzim ATPase dari protein NS3.26 NS4B merupakan protein hidrofobik dengan berat molekul sekitar 27 kDa yang fungsinya juga belum banyak diketahui. Salah satu fungsinya adalah menghambat interferon-signaling cascade sehingga 27 menurunkan respon imunitas inang terinfeksi. NS5 merupakan protein yang berkedudukan di bagian C-terminal dari poliprotein virus west nile. Protein ini memiliki ukuran yang paling besar dan paling conserved diantara virus-virus dalam kelompok Flavivirus. Bagian N-terminal protein NS5 mengandung domain S-adenosyl methionine methyltransferase (MTase) yang merupakan penyusun cap RNA virus. Cap RNA merupakan struktur unik yang ditemukan pada ujung 5' RNA virus dan mRNA sel eukariot, yang berfungsi menjaga stabilitas RNA dan menjadi tempat perlekatan dengan ribosom pada saat proses 28 translasi. Adapun bagian C-terminal NS5 mengandung enzim RNA-dependent RNA polymerase yang sangat dibutuhkan pada sintesis 29 RNA genom. Siklus replikasi Virus WN mampu bereplikasi di berbagai kultur sel dari berbagai spesies (mamalia, aves, amfibi dan serangga). Tahap pertama dalam proses masuknya virus ke dalam sel inang adalah perlekatan protein E virus pada molekul reseptor selular.30 Setelah melekat melalui reseptor selular, virus memasuki sel melalui clathrin-mediated endocytosis dan membentuk endosome (Gambar 2).31 Endosom tersebut berada dalam kondisi pH rendah yang kemudian memicu konformasi molekul glikoprotein dari protein E sehingga protein E berubah dari bentuk homodimer menjadi monomer. Protein E memasukkan lekukan fusi (fusion loops) ke dalam membran endosom hingga membentuk lubang fusi
100
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 53-58
yang tipis. Embrio cacing (onchosphere) H. diminuta terlihat tidak memiliki filamen polar dan kedua ujungnya tidak menebal (B). Telur S. muris bercangkang tipis, namun bentuknya ellipsoidal dengan kedua ujungnya terlihat pipih (C).
(fusion pore). Lubang fusi tersebut akan semakin membesar sehingga nukleokapsid virus ke luar dari envelop virion dan masuk ke sitoplasma sel inang. Lepasnya nukleokapsid dari envelop virion dikenal dengan proses uncoating. Selanjutnya RNA virus akan dikeluarkan oleh nukleokapsid kemudian ditranslasi menghasilkan poliprotein dan dilanjutkan dengan proses perakitan virion-virion baru yang siap dikeluarkan dari dalam sel inang.32
Gambar 2. Siklus27 Replikasi Virus West Nile dalam Sel Inang
KESIMPULAN Secara epidemiologi virus WN A dapat N tersebar O dengan vektor nyamuk utamanya Culex sp., namun demikian Aedes sp. juga berpotensi sebagai vektor. Keberadaan virus ini di alam terpelihara pada burung/unggas. Menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin, bersifat asimptomatis atau menimbulkan gejala klinik. Manifestasi terberat adalah encephalitis dan meningitis. Virus west nile merupakan anggota famili Flaviviridae dari genus Flavivirus. Virus ini memiliki genom yang terdiri dari satu single-stranded (ss) RNA yang dikelilingi suatu nucleocapsid berbentuk icosahedral atau isometric. Genom virus west nile memiliki panjang 11.029 nukleotida. Upaya pencegahan adalah mengendalikan populasi nyamuk, mengurangi gigitan nyamuk, dan secara berkala melakukan survei pada unggas/burung utamanya yang dipelihara dalam skala besar maupun yang sedang bermigrasi. DAFTAR PUSTAKA 1. Nasronudin. Kini saatnya Indonesia mewaspadai penyakit virus west nile. Kompas. 29 Oktober 2013; halaman 14.
P
H
PEMBAHASAN Cacing merupakan makhluk hidup kosmopolitan dan berperan penting dalam kesehatan masyarakat. Infeksi kecacingan dapat menimbulkan angka kesakitan dan bahkan angka kematian bagi masyarakat di berbagai belahan dunia, khususnya di negara-negara berkembang dengan tingkat sanitasi yang rendah. Tikus dapat menjadi reservoir alami dari infeksi parasit zoonosis yang serius termasuk cacing zoonosis. Pemeriksaan mikroskopis pada feses tikus dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies cacing zoonosis. Prevalensi C. hepatica dalam penelitian ini relatif rendah (10,5%) jika dibandingkan dengan prevalensi yang dilaporkan oleh Webster dan 1 14 McDonald di Inggris sebesar 23%, Ceruti, et al. di 9 Italia sebesar 36%, Seong, et al. di Korea sebesar 25,6%, Davoust, et al.15 di Marseille sebesar 44% dan 16 Farhang-Azad di Baltimore sebesar 75%. EPenelitian lain oleh Ahmad, et al.17 di Pakistan ditemukan C. hepatica pada R. rattus dan Mus musculus sebesar 7% dan penelitian Stojcevic, 18 et al. di Croatia ditemukan telur C. hepatica pada tikus R. norvegicus sebesar 3,91%. Perbedaan prevalensi C. hepatica pada beberapa penelitian dapat disebabkan oleh perbedaan dalam perilaku sosial, perkembangan fisiologis, status kebersihan, kesadaran masyarakat tentang risiko tertular infeksi 19 dari reservoir dan kebiasaan makan tikus. Telur cacing C. hepatica berbentuk seperti gendang dengan kutub di kedua ujungnya. Telur ini memiliki struktur yang berstriae dengan banyak 11 minipores pada bagian cangkangnya. Capillaria hepatica juga memiliki peran yang penting dibidang kesehatan, karena telah diketahui dapat menyebabkan penyakit infeksi yang disebut capillariasis. Gejala yang ditunjukkan pada penyakit ini antara lain demam tinggi yang persisten, 20 hepatomegali dan peningkatan eosinofil. Kejadian capillariasis pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1923 yang menginfeksi seorang tentara Inggris yang sedang bertugas di India. Kasus tersebut ditetapkan sebagai kasus capillariasis karena setelah dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada jaringan terlihat adanya telur-telur cacing dalam jumlah yang
banyak. Telur tersebut menunjukkan kesamaan ukuran, bentuk dan struktur dengan telur C. hepatica yang ditemukan pada tikus yang terkena 21 capillariasis. Infeksi dapat terjadi secara kebetulan karena menelan telur C. hepatica infektif yang terdapat di tanah yang berasal dari kotoran hewan 22 yang terinfeksi cacing tersebut. Kasus capillariasis pada manusia telah dilaporkan di Eropa (Jerman, Switzerland, Italia, Inggris, Jerman, Czechoslovakia, Yugoslavia dan Turki), Amerika Utara dan Selatan (USA, Kanada, Meksiko dan Brazil), Asia (India, Korea, Jepang dan Thailand), Afrika dan New Zealand. Enam puluh persen dari semua laporan pada anak di bawah usia 8 tahun dan 59% diantaranya terjadi pada 23 perempuan. Cacing H. diminuta dalam penelitian ini prevalensinya lebih rendah (5%) daripada yang 9 dilaporkan oleh Seong, et al. di Korea sebesar 32,6%, Webster dan Macdonald1 di Inggris sebesar 22% dan Stojcevic, et al.2 di Croatia sebesar 36,9%. 24 Penelitian Al-Zihiry di Irak menyatakan bahwa H. diminuta ditemukan pada tikus R. norvegicus (25,4%). Hymenolepis diminuta dikenal sebagai parasit umum dari tikus di seluruh dunia. Tikus dikenal sebagai host alami dari parasit ini. Ciri morfologi dari telur H. diminuta antara lain berbentuk bulat dengan ukuran sekitar 72 mm. Telur berwarna kuning dengan membran dalam yang tipis dan membran luar berstriae. Ciri yang membedakan antara telur H. diminuta dan H. nana adalah adanya filamen polar yang terlihat jelas pada telur H. nana dan tidak ditemukan pada telur H. diminuta.12 Genus Hymenolepis paling terkenal menyebabkan efek patologis pada kesehatan manusia. Hymenolepis diminuta diketahui ditemukan pada organ berbagai jenis mamalia, terutama pada tikus. Penelitian Tutsyntain di Bandung tahun 2013 menemukan spesies cacing ini pada organ lambung dan usus R. tanezumi.12 Infeksi H. diminuta pada manusia jarang ditemukan di negara berkembang. Survei dari populasi yang berbeda telah dilaporkan tingkat parasit berkisar antara 0,001% dan 5,5%. Di Spanyol dilaporkan tujuh kasus infeksi H. diminuta pada manusia dan mereka semua anak-anak. Di Amerika 26 Serikat sebanyak 48 kasus telah dilaporkan. Infeksi H. diminuta pada manusia seringkali tanpa gejala, namun pada beberapa kasus, gejala seperti nyeri perut, iritabilitas, gatal-gatal dan peningkatan jumlah 27 eosinofil juga dapat muncul.
55
Identifikasi Telur Cacing........(Dyah Widiastuti, dkk.)
cacing zoonotik pada Rattus spp. yang tertangkap di Pasar Kota Banjarnegara sebagai investigasi awal sumber penularan penyakit kecacingan zoonotik di Kabupaten Banjarnegara. METODE Penangkapan tikus dilakukan selama tiga malam berturut-turut pada bulan Agustus 2013 menggunakan 200 single live trap di Pasar Kota Banjarnegara. Perangkap dipasang berdasarkan jenis barang yang dijual yaitu terdiri dari kios buah, kios sembako dan kios beras. Ketiga jenis kios ini mewakili kios dengan komoditi bahan pangan di Pasar Kota Banjarnegara. Feses tikus diambil dari tikus yang tertangkap dengan perangkap, kemudian diidentifikasi spesiesnya. Feses dari masing-masing tikus dimasukkan dalam kantong plastik dan diperiksa di Laboratorium Parasitologi Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. Isolasi telur cacing dari sampel feses dilakukan dengan metode pengapungan sebagaimana yang 10 dijelaskan oleh MAFF. Telur cacing yang ditemukan diidentifikasi spesies berdasarkan morfologinya. Identifikasi telur cacing C. hepatica berdasarkan Fuehrer,11 H. diminuta berdasarkan 12 13 Goswami dan S. muris berdasarkan Souza. HASIL Jumlah tikus yang tertangkap sebanyak 29 ekor terdiri dari 28 ekor R. tanezumi dan 1 ekor R. norvegicus dengan jenis kelamin 15 ekor tikus jantan dan 14 ekor tikus betina. Prevalensi telur cacing zoonotik pada feses tikus yang tertangkap secara keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan spesies yang tertangkap didominasi oleh R. tanezumi. Rattus norvegicus hanya ditemukan 1 ekor dan fesesnya tidak mengandung telur cacing. Telur cacing zoonotik hanya terdapat pada spesies R. tanezumi. Prevalensi C. hepatica mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan spesies H. diminuta dan S. muris.
Berdasarkan bentuk morfologi telur yang teramati, dalam penelitian ini ditemukan 3 spesies cacing yaitu C. hepatica, H. diminuta dan Syphacia muris (Gambar 1).
A
54
No
Spesies tikus
1 2
R. tanezumi R. norvegicus Total
Myint KS, Kosasih H, Artika IM, Perkasa A, Puspita M, Ma'roef CN, et al. West nile virus documented in Indonesia from acute febrile illness specimens. Am J Trop Med Hyg. 2014; 90 (2): 260-2.
3.
Nurcahyani DI. 12 warga Surabaya terinfeksi virus west nile. [Diakses 25 April 2014]. Diunduh dari: http://health.okezone.com/read/2014/01/09/482/924 113/dua-warga-surabaya-terinfeksi-virus-west-nile.
5. Turell MJ, Dohm DJ, Sardelis MR, Oguinn ML, Andreadis TG, Blow JA. An update on the potential of north American mosquitoes (Diptera: Culicidae) to transmit west nile virus. J Med Entomol. 2005; 42 (1): 57–62.
B
C
Gambar 1. Morfologi Telur Cacing pada Feses Tikus yang Ditemukan
Gambar 1 menunjukkan bahwa telur C. hepatica memiliki cangkang berlapis ganda yang berstriae dengan penonjolan di kedua ujungnya (A). Telur H. diminuta berbentuk bulat dengan cangkang
10,5 0 10
1 0 1
5,3 0 5
1 0 1
%
5,3 0 5
13. Chung KM, Nybakken GE, Thompson BS, Engle MJ, Marri A, Fremont DH, et al. Diamond, antibodies against west nile virus nonstructural protein NS1 prevent lethal infection through Fc ã receptor dependent and independent mechanisms. Journal of Virology. 2006; 1340–51. 14. Macdonald J, Tonry J, Hall RA, Williams B, Palacios G, Ashok MS, et al. NS1 protein secretion during the acute phase of west nile virus infection. J. Virol. 2005; 79 (22): 13924-33. 15. Chang HH, Shyu HF, Wang YM, Sun DS, Shyu RH, Tang SS, et al. Facilitation of cell adhesion by immobilized dengue viral nonstructural protein 1 (NS1): arginineglycine-aspartic acid structural mimicry within the dengue viral NS1 antigen. 2002. J. Infect.Dis. 2002; 186 (6): 743-51.
6. Sendow I, Noor SM. Virus west nile sebagai salah satu penyakit emerging zoonosis. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.
16. Lin CF, Lei HY, Shiau AL, Liu HS, Yeh TM, Chen SH, et al. Endothelial cell apoptosis induced by antibodies against dengue virus nonstructural protein 1 via production of nitric oxide. J Immunol; 2002; 169: 657-64.
7. International Committee on Taxonomy of Viruses [homepage on the Internet]. USA,Virology Division of the International Union of Microbiological Societies [cited 2014 April 30]. Available from: http://ictvonline.org/index.asp.
17. Chung KM, Liszewski MK, Nybakken G, Davis AE, Townsend RR, Fremont DH, et al. West nile virus nonstructural protein NS1 inhibits complement activation by binding the regulatory protein factor H. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2006; 103 (50): 19111-6.
8. Margo AB. Replication cycle and molecular biology of the west nile virus. Viruses. 2014; 6: 13-53.
18. Liu WJ, Chen HB, Khromykh AA Molecular and functional analyses of Kunjin virus infectious cDNA clones demonstrate the essential roles for NS2A in virus assembly and for a nonconservative residue in NS3 in RNA replication. J. Virol. 2003; 77 (14): 780413.
9. Lyle RP, Roehirig JT. West nile virus: a reemerging global pathogen. Emerging Infectious Diseases. 2001; 7 (4).
Jumlah sampel feses positif telur cacing C. hep atica % H. diminuta % Syphacia muris 2 0 2
2.
4. Gray TJ, Cameron EW. A review of the epidemiological and clinical aspect of west nile virusses. Internatioanl Journal of General Medicine. [Diakses 2 Mei 2014]. Diunduh dari: http://dx.doi.org/10.2147/IJGM.S59902.
Tabel 1. Prevalensi Telur Cacing Zoonotik pada Feses Tikus yang Tertangkap di Pasar Kota Banjarnegara Jumlah sampel feses diperiksa 19 1 20
BALABA Vol. 10 No. 21, Desember 2014: 97-102
10. Chambers TJ, Halevy M, Nestorowicz A, Rice CM, Lustig S. West nile virus envelope proteins: nucleotide sequence analysis of strains differing in mouse neuroinvasiveness. Journal of General Virology. 1998; 79: 2375–80. 11. Zhang W, Chipman PR, Corver J, Johnson PR, Zhang Y, Mukhopadhyay S, et al. Visualization of membrane protein domains by cryo-electron microscopy of dengue virus. Nat. Struct. Biol. 2003; 10: 907–12. 12. Kiermayr S, Kofler RM, Mandl CW, Messner P, Heinz FX. Isolation of capsid protein dimers from the tick-borne encephalitis flavivirus and in vitro assembly of capsid-like particles. J. Virol. 2004; 78: 8078–84.
19. Liu WJ, Wang XJ, Clark DC, Lobigs M, Hall RA, Khromykh AA. A single amino acid substitution in the West Nile virus nonstructural protein NS2A disables its ability to inhibit alpha/beta interferon induction and attenuates virus virulence in mice. J.Virol. 2006; 80 (5): 2396-404. 20. Chambers TJ, Grakoui A, Rice CM. Processing of the yellow fever virus nonstructural polyprotein: a catalytically active NS3 proteinase domain and NS2B are required for cleavages at dibasic sites. J Virol. 1991; 65: 6042-50. 21. Condotta SA. Molecular and cellular studies of the west nile virus NS2B/NS3 protease. Thesis. The Faculty Of Graduate Studies (Microbiology and Immunology). University Of British Columbia; 2010.
101
Virus West Nile .......................(Bina Ikawati, dkk.)
22. Shiryaev SA, Ratnikov BI, Chekanov AV, Sikora S, Rozanov DV, Godzik A, et al. Cleavage targets and the D-arginine-based inhibitors of the West Nile virus NS3 processing proteinase. Biochem J. 2006; 393: 503-11. 23. Wengler G, Czaya G, Farber PM, Hegemann JH. In vitro synthesis of west nile virus proteins indicates that the amino-terminal segment of the NS3 protein contains the active centre of the protease which cleaves the viral polyprotein after multiple basic amino acids. J Gen Virol. 1991; 72 (4): 851-8. 24. Borowski P, Niebuhr A, Mueller O, Bretner M, Felczak K, Kulikowski T, et al. Puri? cation and characterization of west nile virus nucleoside triphosphatase (NTPase)/helicase: evidence for dissociation of the NTPase and helicase activities of the enzyme. J. Virol. 2001; 75 (7): 3220-9. 25. Chernov AV, Shiryaev SA, Aleshin AE, Ratnikov BI, Smith JW, Liddington RC, et al. The two-component NS2B-NS3 proteinase represses DNA unwinding activity of the west nile virus NS3 helicase. J Biol Chem. 2008; 283: 17270-8. 26. Shiryaev SA, Chernov AV, Aleshin AE, Shiryaeva TN, Strongin AY. NS4A regulates the ATPase activity of the NS3 helicase: a novel cofactor role of the nonstructural protein NS4A from West Nile virus. J. Gen. Virol. 2009; 90 (9): 2081-5.
27. Ambrose RL, Mackenzie JM.West nile virus differentially modulates the unfolded protein response to facilitate replication and immune evasion. J. Virol. 2011; 85: 2723–32. 28. Egloff MP, Benarroch D, Selisko B, Romette JL, Canard B. An RNA cap (nucleoside-2'-O-)methyltransferase in the flavivirus RNA polymerase NS5: crystal structure and functional characterization. EMBO J. 2002; 21 (11): 2757-68. 29. Grun JB, Brinton MA. Characterization of west nile virus RNA-dependent RNA polymerase and cellular terminal adenylyl and uridylyl transferases in cellfree extracts. J. Virol. 1986; 60 (3): 1113-24. 30. Valiakos G, Athanasiou LV, Touloudi A, Papatsiros V, Spyrou V, Petrovska L, et al. West nile virus: basic principles, replication mechanism, immune response and important genetic determinants of virulence. Chapter 2. 2013. 31. Chu JJH, Ng ML. Infectious entry of west nile virus occurs through a clathrin-mediated endocytic pathway. J. Virol. 2004; 78 (19): 10543-55. 32. Smit JM, Moesker B, Rodenhuis-Zybert I, Wilschut J. Flavivirus cell entry and membrane fusion. Viruses. 2011; 3(2): 160-71.
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 53-58
IDENTIFIKASI TELUR CACING ZOONOTIK PADA FESES Rattus tanezumi DI PASAR KOTA BANJARNEGARA IDENTIFICATION OF ZOONOTIC HELMINTH EGGS ON Rattus tanezumi RAT DROPPINGS IN BANJARNEGARA CITY MARKET Dyah Widiastuti*, Nova Pramestuti, Novia Tri Astuti Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Jl. Selamanik No. 16 A Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia *E_mail:
[email protected] Received date: 3/1/2014, Revised date: 31/10/2014, Accepted date: 3/11/2014
ABSTRAK Tikus dikenal sebagai reservoir alami dari beberapa infeksi cacing yang penting bagi kesehatan masyarakat. Tikus mengandung mikroorganisme tersebut yang dapat ditularkan melalui kontak dengan kotoran tikus yang terinfeksi atau melalui ektoparasit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi telur cacing zoonotik pada Rattus spp. di Pasar Kota Banjarnegara. Penelitian ini merupakan studi observasional yang dilakukan di Pasar Kota Banjarnegara pada bulan Agustus 2013. Penangkapan tikus dilakukan selama tiga malam berturut-turut menggunakan 200 perangkap hidup yang dipasang pada tempat yang berbeda, yaitu kios buah, kios sembako dan kios beras. Prevalensi cacing zoonotik pada feses tikus R. tanezumi sebesar 10% Capilaria hepatica; 5% Hymenolepis diminuta dan 5% Sypachia muris. Pencemaran telur cacing zoonotik dalam feses tikus perlu diwaspadai sebagai investigasi awal sumber penularan penyakit kecacingan melalui tikus. Kata kunci: telur cacing zoonotik, feses, tikus ABSTRACT Rats are known to be natural reservoirs of some helminth infections of public health importance. Rats may harbour these microorganisms that can be transmitted either through contact with infected rodent droppings or through ectoparasites. This research aimed to identify zoonotic helminth eggs in Rattus spp. in Banjarnegara city market. An observational study was conducted in Banjarnegara city market on August 2013. The trapping of rats was carried out for 3 days using 200 single live traps posted in different place i.e. fruit stall, groceries and rice stall were sampled for commensal rats and mice. The result showed that prevalence of zoonotic helmints of R. tanezumi droppings i.e C. hepatica 10%; H. diminuta 5% and Sypachia muris 5%. Contamination of rat droppings with zoonotic helminth eggs need to be aware as an early investigation of zoonotic helminths transmission source. Keywords: zoonotic helminth eggs, feces, rats
PENDAHULUAN Tikus memiliki peran yang penting dalam kesehatan masyarakat sebagai carrier atau reservoir penyakit menular zoonotik. Beberapa diantaranya diakibatkan oleh adanya kelompok cacing (helminth) yang terdapat pada feses tikus. Tiga spesies utama yang sering dijumpai menginfeksi tikus serta berpotensi sebagai penyakit zoonosis adalah Capillaria hepatica, Hymenolepis spp. dan 1,2 Trichinella spiralis. Penularan infeksi oleh ketiga spesies ini dari tikus ke manusia dapat terjadi melalui kontak langsung dengan feses tikus infektif atau 3 melalui vektor yang berupa pinjal ataupun tungau. 4 Battersby, et al. menyatakan bahwa Rattus norvegicus dapat menjadi reservoir beberapa penyakit zoonosis dan menimbulkan resiko yang
102
serius bagi kesehatan masyarakat. Capillaria hepatica biasanya ditemukan di organ hati dari hewan seperti tikus, kucing, anjing, babi dan kera, adapun manusia dapat berperan sebagai accidental hosts bagi cacing ini.5,6 Trichinella spiralis dewasa dapat ditemukan di usus halus, sedangkan larvanya terdapat di otot lurik inangnya yang terdiri dari babi, 7 tikus dan manusia. Abu Madi, et al. 8 melaporkan bahwa R. norvegicus dari Doha, Qatar telah terinfestasi Hymenolepis diminuta. Dari 43 ekor R. norvegicus yang tertangkap di Chunchon-Korea, 11 ekor mengandung telur C. hepatica, 14 ekor mengandung telur Hymenolepis diminuta dan 28 ekor mengandung metacestoda Taenia taeniformis.9 Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi telur
53