VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih.
Dalam
skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata di sisi lain telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup kompleks, dan cenderung
akan
mengakibatkan
terjadinya
kesenjangan
pembangunan
antarwilayah yang sangat besar (Anwar, 2005). Dalam penelitian ini, wilayah DKI Jakarta merupakan pusat dari aktivitas masyarakat yang didominasi oleh sektor tersier, serta wilayah Bodetabek yang merupakan wilayah penyangga DKI Jakarta didominasi oleh sektor sekunder.
Sedangkan wilayah Sisa Indonesia
masih didominasi oleh sektor primer. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa (Anwar, 2005). Ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Ketidakmerataan pembangunan menghasilkan struktur hubungan atau keterkaitan
antarwilayah
yang
memperlemah (Anwar, 2005). karena
pengurasan
membentuk
suatu
interaksi
yang
saling
Wilayah belakang (hinterland) menjadi lemah
sumberdaya
yang
berlebihan
(backwash)
yang
mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan.
Namun di sisi lain, terjadinya
akumulasi modal atau nilai tambah di wilayah pusat pertumbuhan. Hal ini dapat dilihat bahwa wilayah DKI Jakarta yang memiliki dominasi sektor bank dan lembaga keuangan lainnya, tetapi sektor tersebut tidak menjadi pengganda output bagi Indonesia secara keseluruhan, yang mengindikasikan bahwa mediasi bagi simpul ekonomi secara nasional tidak berfungsi sebagaimana mestinya, malah hanya terjadi akumulasi modal di DKI Jakarta. Sektor dengan nilai pengganda pendapatan yang tertinggi di DKI Jakarta adalah sektor pertambangan dan penggalian.
Sedangkan untuk
wilayah Bodetabek dan Sisa Indonesia, sektor dengan nilai pengganda
95
pendapatan yang tertinggi adalah sektor angkutan udara.
Sektor-sektor
tersebut merupakan sektor-sektor yang tidak hanya berkembang di wilayah itu sendiri, melainkan berkembang pula di wilayah lainnya.
Walaupun
sektor tersebut tidak memberikan kontribusi output yang tinggi untuk wilayahnya
sendiri,
tetapi
wilayah
tersebut
pendapatan yang tinggi secara nasional.
memberikan
kotribusi
Menurut Retnowati (2006),
pengganda pendapatan yang dominan hampir di seluruh Indonesia adalah sektor jasa, sektor lain adalah bangunan, pertambangan, listrik, gas, dan air minum, serta transportasi dan komunikasi.
Sektor keuangan dan
pertanian hanya ada di beberapa propinsi saja. Dari pembanding yang dilakukan antara T ahun 1995 dan 2000, beberapa provinsi tidak terjadi perubahan sektor yang memiliki nilai pengganda pendapatan yang tinggi. Beberapa perubahan sektor terjadi pada provinsi-provinsi yang pada Tahun 1995 mendapat sektor pertambangan sebagai sektor yang dominan, pada Tahun 2000 posisi sektor tergeser oleh sektor bangunan atau transportasi dan komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa sektor sekunder (diwakili
oleh
sektor
bangunan)
dan
tersier
(diwakili
oleh
sektor
transportasi dan komunikasi) telah menggeser posisi sektor primer (diwakili oleh sektor pertambangan) yang memiliki nilai pengganda pendapatan yang tinggi. Terjadinya backwash effects pada wilayah-wilayah yang lebih maju terhadap wilayah lainnya, sehingga dapat menghambat perkembangan wilayah-wilayah yang terbelakang.
Di DKI Jakarta nilai pengganda
outputnya lebih tinggi terhadap wilayah DKI Jakarta itu sendiri, dibanding terhadap wilayah lainnya.
Sehingga hanya meningkatkan ouput pada
wilayahnya sendiri. Selain itu, keterkaitan antarsektor antarwilayah di Indonesia sangat lemah, hal ini dapat dilihat dari penggunaan output untuk dijadikan input di wilayah lain sangat kecil. Penggunaan output-output tersebut lebih banyak digunakan sebagai input pada wilayahnya sendiri.
Sektor-sektor yang
memiliki keterkaitan antarsektor terkuat di DKI Jakarta adalah sektor usaha bangunan
dan
jasa
perusahaan.
Untuk
Bodetabek
yang
memiliki
keterkaitan antarsektor terkuat adalah sektor industri, dan perdagangan. Sedangkan sektor yang memiliki keterkaitan antarsektor terkuat di Sisa Indonesia adalah sektor indutri, perdagangan, dan bangunan.
96
Pada
penelitian
Wikarya
(2003)
menunjukkan
bahwa
pola
keterkaitan ekonomi yang asimetris antarpulau di Indonesia berakibat pada sebuah keadaan yang kontraproduktif dengan upaya pemerataan, yaitu kenaikan permintaan akhir atas output yang diproduksi di Jawa dan Bali hanya sedikit berdampak pada penambahan output, pendapatan, serta tenaga kerja di pulau-pulau lainnya. Sebaliknya kenaikan permintaan akhir atas output yang diproduksi di luar Jawa dan Bali berdampak signifikan dalam peningkatan output, pendapatan, serta kesempatan kerja di Jawa dan Bali. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ketidakmerataan pembangunan menghasilkan struktur hubungan atau keterkaitan antarwilayah yang saling melemahkan. Wilayah belakang (hinterland) terjadi pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash) yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi modal atau nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara berlebihan. Akumulasi modal atau nilai tambah tersebut terjadi di wilayah pusat pertumbuhan yang selanjutnya
mengarah
kepada
proses
keterbelakangan di wilayah belakang/perdesaan.
terjadinya
kemiskinan
dan
Akhirnya pada keadaan ini
mendorong terjadinya migrasi penduduk keluar dari desa menuju ke kota, sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan akhirnya menjadi diperlemah, disebabkan karena timbulnya berbagai ”penyakit urbanisasi” yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang memperlemah perkembangan kota-kota, dapat dilihat pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang mengalami
” over-urbanization”.
Todaro
(1997)
berpendapat
bahwa
motivasi seseorang untuk migrasi karena motif ekonomi. Motif ini timbul karena adanya kesenjangan antarwilayah.
Oleh karena itu, migrasi
penduduk mencerminkan adanya keseimbangan ekonomi antara desa dengan kota. Status ini akan memicu pola migrasi cenderung ke kota atau ke desa tergantung dari kekuatan daya penarik dan pendorong (pull-push factors). Faktor yang mendorong dan menarik seseorang untuk bermigrasi adalah: (1) faktor demografi (jenis kelamin, pendidikan), (2) harapan pendapatan yang lebih besar dari apa yang sebenarnya diperoleh di desa, (3) sempit dan rendahnya sumberdaya lahan yang dicerminkan dalam produktifitas, (4) terbatasnya kesempatan kerja pertanian bagi tenaga kerja yang mempunyai pendidikan tinggi. Di samping itu faktor penarik lainnya adalah: (1) adanya kesempatan kerja sektor industri dan jasa di wilayah
97
perkotaan
dengan
perkembangan
tingkat
sarana
upah
dan
yang
lebih
prasarana
tinggi,
(2)
dukungan
infrastruktur
dan
teknologi
komunikasi. Sedangkan Antono (1998) menjelaskan bahwa sektor industri mempunyai daya tarik yang cukup besar bagi penduduk perdesaan, karena sektor ini mampu menawarkan dari pada sektor pertanian. Seperti halnya wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek yang merupakan kota industri dengan segala fasilitas tersedia di sini antara lain pendidikan yang lengkap, pertokoan mewah, aneka macam hiburan, dan wisata tidak luput dari serbuan kaum migran.
Menurut Alatas dalam Antono (1998), mobilitas
penduduk di daerah tujuan mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak positifnya sektor industri di perkotaan dapat memenuhi tenaga kerja (terutama tenaga kerja kasar dan menengah) dari perdesaan. Selain itu mobilitas penduduk juga dapat berperan sebagai relokasi sumberdaya manusia ke arah yang lebih produktif.
Namun karena laju perpindahan
penduduk ke perkotaan melampaui daya serap sektor industri, maka yang tidak terserap di sektor industri terpaksa terjun ke sektor informal yang umumnya memiliki pendapatan rendah dan tidak menentu. penelitian
Desiar
(2003)
migrasi
perkembangan sektor informal.
masuk
tersebut
Berdasarkan
berdampak
pada
Sektor informal walaupun berskala kecil
dan sulit memperoleh akses ke lembaga keuangan formal (bank) serta tiadanya perlindungan dari pemerintah yang memadai tetap akan diminati para migran yang tingkat pendidikannya relatif rendah. Hal ini disebabkan mudahnya orang bekerja atau berusaha di sektor ini, yaitu tidak memerlukan ijin usaha, tidak memerlukan pendidikan formal yang tinggi, dan tidak memerlukan modal yang besar. Karena itu cukup banyak migran yang pendidikannya hanya sampai SLTP yang sulit memasuki sektor formal akhirnya berusaha di sektor informal. Pada
penelitian
Antono
(1998),
menunjukkan
bahwa
eratnya
hubungan migran dengan daerah asal migran terutama dijumpai pada lakilaki dan perempuan migran yang bekerja di sektor informal.
Frekuensi
pulang kampung kaum migran di sektor informal lebih tinggi dibandingkan kaum migran di sektor formal. Alasan mereka sering pulang kampung antara lain mengirim uang untuk biaya hidup dan sekolah anaknya yang tinggal di desa.
Kaum migran di sektor informal terutama kaum
98
perempuan, tidak tertarik membeli rumah di kota tujuan dibandingkan dengan laki-laki. Kehidupan kaum migran terutama yang bekerja di sektor informal amat sederhana di kota tujuan.
Cara hidup yang sederhana
tersebut dilakukan dengan maksud meminimalkan pengeluaran untuk biaya hidup di kota. Sehingga penghasilan yang diterimanya masih cukup untuk dibawa pulang ke desa asalnya.
Alasan mereka mencari nafkah di kota
adalah faktor ekonomi antara lain kurangnya peluang usaha di desa asal (push factor) dan kesempatan mendapatkan penghasilan yang lebih baik di kota tujuan (pull factor). Selain itu, perkembangan wilayah perkotaan dalam hal ini DKI Jakarta sangat perlu untuk memperhatikan masalah modal sosial (social capital). Perkembangan tersebut dicirikan oleh terjadinya berbagai bentuk ketidakefisienan dan permasalahan, seperti meluasnya daerah kumuh (slum area), tingginya tingkat pencemaran, terjadinya kemacetan lalu lintas, merebaknya kriminalitas, dan sebagainya. Selain itu juga, menurut Ibrahim (2002) proses pembangunan dan perkembangan DKI Jakarta yang menghasilkan pusat -pusat kegiatan baru yang tersebar di berbagai wilayah DKI Jakarta, mengakibatkan adanya ketimpangan spasial.
Hal ini yang
menjadikan DKI Jakarta tidak dapat diperlakukan sama sebagai pola permukiman yang homogen, baik di tingkat makro maupun mikro.