135
VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau. Spesies yang ditemukan terdiri dari spesies Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou., Sonneratia alba Smith, Sonneratia caseolaris (L.) Engl., Avicennia marina (Forsk.) Vierh., Xylocarpus
granatum
Koenig.,
Xylocarpus
molucensis
(Lamk.)
Roem.,
Lumnitzera littorea (Jack) Voigt., Lumnitzera rasemosa Willd., Aeguceras cornikulatum (L.) Blanco., Osbornia octodonta F.v.M., Phemphis aciduta Frost. & f., Acanthus ebracteatus Vahl., Nypa fructicans Wurmb., Excoecaria agallocha L., Acrostichum speciosum Wild, Acrostichum aureum Linn. Spesies mangrove yang ditemukan di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga, yaitu spesies Rhizophora mucronata Lamk, Rhizophora apiculata Bl, Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, dan Acanthus ebracteatus Vahl. Spesies yang hanya ditemukan di Pulau Kaledupa dan Hoga, adalah spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob, Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou, Sonneratia alba Smith, Sonneratia caseolaris (L.) Engl, Avicennia marina (Forsk.) Vierh, dan Phemphis aciduta Frost. & f. Spesies yang hanya ditemukan di pulau Hoga, adalah Osbornia octodonta F.v.M, dan Kaledupa, adalah spesies
spesies yang hanya ditemukan di pulau
Nypa fructicans Wurmb, Excoecaria agallocha L,
Acrostichum speciosum Wild, dan Acrostichum aureum Linn. Kerapatan spesies mangrove yang tertinggi di pulau Kaledupa diduduki oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk (44 individu/ha), strata tiang spesies Rhizophora mucronata Lamk (125 individu/ha), strata sapihan (860 individu/ha) dan semai (3.645 individu/ha) ditempati oleh Ceriops tagal (Perr.). Di pulau Derawa pada strata pohon (140 individu/ha), strata tiang (700 individu/ha) dan sapihan (863 individu/ha) di duduki oleh spesies Rhizophora mucronata Lamk., pada strata semai (786 individu/ha) oleh Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan di pulau Hoga pada strata pohon (26 individu/ha) dan strata tiang (70 individu/ha) oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan pada strata sapihan (961
136 individu/ha) dan semai
(1.843 individu/ha) oleh spesies Osbornia octodonta
F.v.M. Indeks Keanekaragaman spesies mangrove di pulau Kaledupa pada strata pohon sebesar 1,304, strata tiang 1,638, strata sapihan 1,855, dan pada strata semai sebesar 1,675. Di pulau Derawa pada strata pohon sebesar 0,69, strata tiang 0,34, sapihan 0,54, dan pada strata semai sebesar 0,63. Di pulau Hoga pada strata pohon sebesar 0,59, tiang 1,41, sapihan 0,99, dan pada strata semai sebesar 1,14. Nilai ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan indeks keanekargaman pada ekosistem lain, misalnya dengan ekosistem hutan hujan tropis. Rendahnya keanekaragaman jenis pada ekosistem mangrove diduga terkait dengan lingkungan ekstrim dengan kadar garam tinggi. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang mampu tumbuh pada lingkungan dengan kadar salinitas tinggi. Zonasi mangrove hanya ditemukan di Pulau Kaledupa. Zonasi mangrove di Pulau Kaledupa terdiri dari 4 zona. Secara berturut-turut mulai dari arah depan (arah laut) sampai ke dalam (arah darat) meliputi zona Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dan zona Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou. Zona yang
yang paling luas, dengan
ketebalan 250 meter ditempati oleh zona Rhizophora apiculata Bl. Faktor tinggi penggenangan air laut mempunyai hubungan secara nyata dengan zonasi vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa. Tinggi penggenangan maksimal pada zona depan (arah laut) sebesar 146 cm dari permukaan tanah/subtrat. Faktor utama yang diduga berhubungan dengan tidak adanya zona pada komunitas mangrove di pulau Derawa dan pulau Hoga adalah kelandaian pantai. Pantai pulau Derawa dan Hoga umumnya memiliki pantai yang curam sehingga kurang mendukung untuk pertumbuhan mangrove dalam bentuk zona. Ketebalan komunitas mangrove di pulau Derawa maksimal hanya mencapai 140 meter dan di pulau Hoga hanya 80 meter. Permudaan alami spesies Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., Sonneratia caseolaris (L.) Engl., Avicennia marina (Forsk.) Vierh., dan Xylocarpus granatum
Koenig,
tergolong rendah. Spesies yang memiliki tingkat permudaan alaminya tergolong baik terdiri atas spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dan Ceriops decandra
137 (Griff.) di Pulau Kaledupa, dan Osbornia octodonta F.v.M di Pulau Hoga. Biji atau propagul sebagai alat perkembangbiakan (vivifar) pada spesis Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., cukup melimpah. Namun demikian pola adaptasi perkembangbiakan sangat dominan dengan perkembangbiakan secara vegetatif (melalui cabang). Hal ini diduga terkait dengan faktor angin dan ombak yang kencang, substrat yang keras, dan sistem perakaran (akar tunjang) yang sangat rapat. Struktur tegakan seluruh spesies vegetasi mangrove dengan parameter sebaran kelas diameter batang pada komunitas mangrove di pulau Kaledupa, Derawa, dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi termasuk tipe L atau bentuk kurva J terbalik yang termasuk
dalam kategori model grafik tegakan tidak
seumur. Model ini memiliki makna bahwa jumlah individu yang memiliki ukuran diameter batang kecil jumlahnya sangat banyak, kemudian jumlah tersebut semakin menurun seiring dengan bertambahnya ukuran diameter batang, sampai mencapai ukuran diameter batang yang paling besar dengan jumlah individu yang paling sedikit. Dalam model ini berisikan paling sedikit tiga penyusun utama, yaitu spesies pada strata semai (seedling), sapihan (sapling) dan pohon dewasa (mature). Bentuk demikian merupakan salah satu ciri dari populasi tumbuhan yang hidup secara alamiah. Spesies Xylocarpus granatum di Pulau Kaledupa Rhizophora mucronata Lamk., di Pulau Derawa dan spesies Sonneratia alba Smith di Pulau Hoga termasuk dalam kategori bentuk tegakan tidak teratur. Bentuk tegakan tersebut menunjukkan bahwa individu-individu yang berdiameter kecil jumlahnya terbatas, dan akan menurun bersamaan dengan bertambahnya ukuran diameter batang, sedangkan individu-individu yang memiliki ukuran diameter pada rentangan rata-rata jumlahnya paling banyak, dan menurun kembali pada ukuran diameter diatas ukuran rentangan rata-rata. Model grafik tegakan tidak teratur merupakan indikasi bahwa dalam populasi tumbuhan yang mengalami gangguan baik secara alamiah maupun non alamiah. Di Pulau Kaledupa faktor penyebab utama kerusakan komunitas mangrove akibat aktifitas manusia, seperti konversi komunitas mangrove menjadi pemukiman penduduk, lahan tanaman budidaya, pembangunan sarana umum (sekolah, pasar, jalan desa, pendaratan perahu) dan pengambilan kayu bakau oleh masyarakat untuk kayu
138 bakar, tiang/patok pada budidaya rumput, tiang jaring ikan dan bahan pembuat rumah. Di Pulau Derawa dan Pulau Hoga tanda-tanda kerusakan komunitas mangrove akibat aktifitas manusia maupun aktifitas alam tidak ditemukan. Kondisi Umum Lingkungan di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga menunjukaan perbedaan. Sumber air tawar di Pulau Kaledupa dapat ditemukan hampir merata di seluruh kawasan, terutama di bagian pesisir. Indikasi ini dapat dilihat bahwa sumber air bersih untuk kebutuhan rumah tangga 100% menggunakan sumur gali. Sumber air tawar di Pulau Derawa hanya bersumber dari air hujan. Indikasi ini dapat diketahui bahwa di pulau ini tidak ditemukan adanya sumur gali dan sungai, baik kecil maupun besar. Hampir semua rumah penduduk di pulau ini, mempunyai bak penampungan air hujan. Sumber air tawar di Pulau Hoga hanya bersumber dari air hujan, ini terbukti bahwa di pulau ini tidak ditemukan adanya sumur gali dan sungai, baik kecil maupun besar. Kebutuhan air tawar untuk memenuhi sumber air bersih dalam kehidupan seharihari, terutama bagi para wisatawan baik pada musim hujan maupun musim kemarau didatangkan dari daerah tetangga, umumnya dari daratan Pulau Kaledupa. Perbedaan kondisi lingkungan ini yang diduga menyebabkan perbedaan karakter ekosistem mangrove yang ditemukan di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga. Sifat kimia dan tekstur substrat yang mempunyai
hubungan signifikan
dengan pola komunitas mangrove dalam penelitian ini adalah : pH, Kalium (tersedia), dan Salinitas. Sedangkan Kandungan Bahan Organik Tanah, Nitrogen (total), Phospat (tersedia) dan tekstur tanah (liat, debu dan pasir) tidak menunjukan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove di lokasi kajian. Bahan Organik Tanah, Nitrogen (total), Phospat (tersedia) dan tekstur tanah tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini diduga karena tiap pola komunitas mempunyai pengaruh faktor habitat dan tingkat suksesi yang berbeda. Faktor pH menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove. Nilai pH yang tertinggi ditemukan di Pulau Derawa, tetapi masih masuk dalam kategori netral. Nilai pH di Pulau Kaledupa dan Hoga termasuk dalam kategori agak masam. Kandungan Kalium tersedia tanah menunjukan hubungan yang nyata dengan pola komunitas yang terbentuk.
139 Nilai kalium tersedia di Pulau Hoga tergolong sedang, dan nilai kalium tersedia di Pulau Kaledupa dan Derawa tergolong rendah. Faktor lingkungan yang khas bagi semua tumbuhan mangrove adalah tanah dengan kandungan salinitas tinggi. Dalam penelitian ini faktor salinitas tanah menunjukan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove. Karakteristik ekosistem mangrove pada pulau-pulau kecil di Taman Nasional Wakatobi memiliki karakter yang berbeda, jika dibandingkan dengan ekosistem mangrove pada pulau-pulau besar. Kerapatan vegetasi mangrove strata pohon di pulau-pulau kecil memiliki kerapatan yang lebih rendah jika dibandingkan kerapatan pohon pada pulau-pulau besar
Hal ini terkait dengan
kondisi lingkungan yang berbeda. Faktor lingkungan pada pulau-pulau besar lebih mendukung untuk pertumbuhan mangrove, dibandingkan dangan faktor lingkungan di pulau-pulau kecil. Lebar zona/ketebalan komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, yang tertinggi hanya mencapai 600 m, di pulau Derawa hanya 140 m dan di pulau Hoga hanya mencapai 80 m. Berbeda pada komunitas mangrove yang ditemukan pada pulau-pulau besar, lebar zona dapat mencapai puluhan kilometer. Ekosistem mangrove pada pulau-pulau kecil memiliki tingkat sensitivitas ekosistem yang sangat rapuh, jika dibandingkan dengan ekosistem hutan pada pulau-pulau besar Hal ini disebabkan faktor-faktor lingkungan pada pulau-pulau kecil, seperti seperti substrat lumpur, masukan air tawar, dan perlindungan dari ombak dan angin kencang kurang mendukung untuk pertumbuhan mangrove secara optimal.
B. SARAN Ekosistem
mangrove di pulau-pulau kecil Taman Nasional Wakatobi,
merupakan ekosistem tepi dan umumnya tumbuh pada lingkungan subtrat berpasir, pecahan karang dan karang mati. Subtrat ini relatif rentan terhadap perubahan akibat berbagai gangguan, baik secara alami maupun non alami. Dengan demikian ekosistem mangrove yang masih ada, perlu dipertahankan dan dikembangkan, dengan cara semua kawasan mangrove yang ada dijadikan sebagai daerah konservasi. Potensi sumberdaya mangrove yang ada, perlu dikaji secara lebih mendalam untuk dikembangkan sebagai pusat studi mangrove (mangrove
140 research station) pada pulau-pulau kecil. Di Pulau Kaledupa sebagai wakil ukuran pulau paling besar dengan jumlah penduduk terbanyak dan ketersediaan sumber air tawar relatif paling banyak. Pulau Hoga sebagai wakil pulau tanpa penghuni dengan ketersediaan air tawar yang terbatas, dan Pulau Derawa sebagai wakil ukuran pulau terkecil yang berpenghuni dengan ketersediaan air tawar yang terbatas. Untuk menghindari kerusakan ekosistem mangrove lebih lanjut akibat pengambilan kayu mangrove oleh masyarakat sebagai kayu bakar, perlu dilakukan upaya konversi bahan bakar kayu mangrove ke bentuk non kayu mangrove, misalnya dengan membangun hutan desa sebagai sumber kayu bakar, memanfaatkan limbah pertanian (sabut kelapa, tempurung kelapa dan lain-lain) sebagai bahan bakar, dan
menjamin ketersediaan
bahan bakar minyak/gas
bersubsidi. Penyadaran terhadap
masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove,
terutama nilai ekologis dan perlindungan pantai dari abrasi pada pulau-pulau kecil perlu lebih ditingkatkan, dengan melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah, LSM dan tokoh masyarakat/adat.