Bab VI Simpulan & Saran
VI.1. Simpulan Berdasarkan analisis pada perupaan sampel artefak yang saling diperbandingkan, maka sesuai hipotesis, memang terbukti adanya pemaknaan Tasawuf yang termanifestasikan di dalam figur Wayang Kulit Purwa gagrak Cirebon dan Surakarta, yang disimpulkan sebagai berikut:
1. -
Latar belakang pemuatan ajaran Tasawuf dalam sistem perupaan dan penokohan Unsur-unsur ajaran Tasawuf dapat diwadahi dalam figur wayang kulit Jawa yang mewakili masa Kewalen, karena secara mendasar dan menyeluruh, para Wali telah mendesain sistem perupaan yang sama sekali lain dengan yang ada pada wayang kulit Bali sebagai perwakilan wayang masa Kabudan. Desain sistem perupaan tersebut tentunya sesuai keperluan dakwah dan pengajaran Tasawuf.
-
Pemasukan ajaran Tasawuf ini juga nampak pada dieksposnya tokoh-tokoh yang tidak ada pada kisah aslinya (India) oleh para Wali, seperti para Panakawan, Buto Prepat atau Begal dan sebagainya.
Figur-figur dari berbagai tokoh tersebut
diciptakan dengan bentuk-bentuk yang unik selain untuk menarik perhatian, juga agar dapat mewadahi simbol-simbol ajaran Tasawuf. Hal ini justru jelas dilihat dari berbagai interpretasi pemaknaan yang ada dari karakter-karakter ciptaan tersebut, yang ternyata berbeda pada tiap gagrak dan daerah.
2.
Bagaimana ajaran Tasawuf termanifestasikan dalam perupaan figur wayang kulit
-
Unsur-unsur ajaran Tasawuf dimanifestasikan dalam perupaan wayang kulit, baik itu gagrak Cirebon dan gagrak Surakarta, dan manifestasinya tidak berlaku sama untuk seluruh figur tokoh wayang. Ada yang meliputi keseluruhan (golongan figur), ada yang pada bagian anatomi saja, kemudian didasarkan bagian tubuh yang lebih spesifik seperti mata, mulut, hidung, genggaman, dan bagian per bagian aksesoris lalu lebih spesifik lagi pada bagian-bagian tubuh yang dimanipulasi (wanda), seperti tunduk tengadahnya kepala, naik turunnya bahu, kaki yang jinjit, rentang kaki, warna dan sebagainya.
281
282 -
Perwatakan dasar sebagai refleksi keberadaan tataran nafsu seorang tokoh, dapat dideteksi melalui penggolongan figur wayang yang didasarkan keutuhan wujud, seperti halnya golongan Denawa yang umumnya berwatak kasar dan jahat, Ponggawa yang umumnya berwatak tegas, atau Satria yang berwatak halus. Perwatakan tersebut ditandai dari adanya bagian-bagian anatomi tertentu dengan kombinasinya Sifatnya permanen (tetap) atau konsisten atau tidak sepenuhnya tergantung dari lakonan tertentu saja, karena mencakup keseluruhan periwayatan. Dari perwatakan ini dapat dipastikan pula pada tataran nafsu yang mana si tokoh tersebut berada.
-
Wanda yang sifatnya situasional-kondisional (tidak tetap), dapat menjadi penanda kondisi spiritual yang juga menjelaskan berada pada tataran nafsu yang mana si tokoh berada saat itu. Misalkan pada Arjuna wanda Kinanthi gagrak Surakarta dengan ciri fisik yang demikian yang menandakan kesan sedih dan gelisah dapat dipastikan bahwa ia berada pada tataran nafsu al-Lawwamah atau kondisi jiwa yang menyesali saat menerima wahyu.
3.
Figur wayang kulit yang khusus mewadahi simbol ajaran Tasawuf secara mendetail
-
Khusus pada figur wayang Bima paling memenuhi persyaratan mewakili seluruh tingkatan pemaknaan Tasawuf, yaitu tiap detail aksesoris yang memiliki makna simbolik-sufistik, didukung kekuatan narasi penceritaan atau lakonan yang spesifik (Lakon Bimaruci). Namun secara perwatakan tak dapat dipastikan dengan tepat pada golongan manakah ia, apakah Ponggawa atau Sanggan, juga perwatakannya (kasar, tegas) yang sama sekali tak mencerminkan periwayatannya yang luar biasa (tingkat makrifat). Maka mengenai tataran nafsu yang dikaitkan dengan perwatakan dan golongan fisik, figur Bima menjadi pengecualian.
-
Sama halnya dengan figur Bima, figur Semar pun paling memenuhi persyaratan untuk mewakili seluruh tingkatan pemaknaan Tasawuf, dari perupaan secara total yang mencakup postur tubuh hingga detail seperti bagian anatomi, aksesoris dan sebagainya.
Namun jika dibandingkan, maka figur Bima dan Semar gagrak
Cirebon-lah yang lebih kaya akan atribut simbol Tasawuf yang tervisualisasikan dibandingkan dari gagrak Surakarta.
283 4.
Pengaruh latar belakang kedaerahan atau gagrak terhadap manifestasi ajaran Tasawuf dalam perupaan figur wayang kulit
-
Manifestasi unsur Tasawuf tidak sama derajat dan kedalaman dari perwujudannya antara masing-masing gagrak wayang kulit, yaitu antara gagrak Cirebonan dengan Surakarta, karena ada perbedaan latar belakang dalam memahami dan cara pengungkapannya. Dalam hal ini jelas berkaitan erat dengan latar budaya dan kedaerahan.
Ini tak mengherankan mengingat bagaimanapun seni adalah
representasi sosial budaya dan masyarakat. -
Dalam pandangan gagrak Surakarta.
Cara Surakarta mengekspresikan suatu
gagasan dalam wujud visual bersifat laten atau halus, dan cenderung menyembunyikan sisi jeleknya – misalkan pada figur Rahwana, Duryudhana dan Dursasana – sedangkan pada Cirebonan lebih ekspresif dan blak-blakan.
Ini
dikarenakan latar belakang budaya Surakarta yang berpijak pada kehidupan Keraton yang lebih mengutamakan kehalusan, keindahan dan kemewahan pada rupa dan tentunya lebih berpijak pada penampilan manusia dalam kenyataan, bahwa tokoh-tokoh jahat bisa saja berpenampilan begitu agung, berwibawa dan terhormat. -
Simbolisasi Tasawuf pada Cirebon lebih difokuskan pada tokoh-tokoh penting, sedangkan pada gagrak Surakara, justru lebih pada tokoh-tokoh tambahan atau figuran. Misalkan pada tokoh Cakil yang sangat diekspos dan kehadirannya pada babak Perang Begal selalu dimaknai sebagai suatu simbol moral dan Tasawuf, sama halnya dengan para Buto Prepat dan kehadiran Kadang Bayu dalam lakon Wahyu Makutharama. Simbolisasi yang beragam pada tokoh-tokoh tambahan pada gagrak Surakarta juga menunjukkan kemajuan perkembangan pemikiran yang semula berasal dari Tasawuf namun terus berkembang dan bercampur dengan paham lain di luar ajaran Islam, seperti animisme, Hindu-Buddha, aliran kebatinan dan Kejawen, bahkan bercampur dengan kepentingan politik Keraton. Hal ini bisa dilihat dari adanya sofistikasi yang intensif terhadap perupaan wayang kulit di sana.
-
Penggambaran perwatakan pada tokoh Pewayangan di Surakarta berpijak pada kenyataan yang ada di sana, dan juga tercermin pada perupaan figur wayang kulitnya. Maka dari sisi simbolisme yang berkaitan dengan Tasawuf, gagrak Surakarta sedikit mengalami pemudaran, namun di lain pihak ia menjadi lebih cocok dan akurat dengan gambaran keadaan masa kini, di mana semua serba abu-
284 abu dan tidak lagi hitam-putih. Gagrak Surakarta adalah representasi gambaran perwatakan manusia yang lebih rumit dan maju, sesuai dengan perkembangan zaman, bukan sekedar moralitas hitam-putih lagi. Ia sangat berorientasi pada keduniawian dan kehidupan feodal Keraton sehingga telah beranjak jauh dari fungsi wayang sebagai sarana dakwah dan pembelajaran Tasawuf seperti yang telah dicontohkan para Wali. -
Sedangkan pada gagrak Cirebon yang secara visual terasa sangat kasar, lebih kuna, primitif, bahkan non-Islami, justru membuktikan aplikasi Tasawuf yang paling ekstrem, di mana perupaan wayang diangap sebagai ikon atau representasi kenyataan tidaklah dipandang penting. Apakah seseorang itu begitu mengerikan, menakutkan, hingga menjijikkan sekalipun namun toh ia berada di pihak yang benar. Para Satria – dalam hal ini misalkan figur Bima – yang dipandang sebagai wakil kebenaran tidak lantas dibuat lebih "sopan" atau "ramah" dengan memperhalus dan memperlengkap cara berbusana mereka, justru tetap dibiarkan apa adanya berpakaian seperti layaknya figur-figur Hindu atau pra-Islam yang terwujudkan pada relief candi atau arca, hanya bercawat dan banyak bagian tubuh yang terbuka, apalagi pada tokoh-tokoh jahat seperti figur Dursasana dan Buto Cakil. Kebenaran yang direfleksikan dalam kesederhanaan, kejujuran bahkan hingga kelugasan dipandang lebih tinggi dan mutlak daripada kebenaran yang harus bersembunyi dalam keindahan dan kehalusan.
Di sini pula tercermin
pemahaman terhadap ajaran Islam dari sisi yang sangat tegas dan egaliter atau merakyat, sesuai dengan perwatakan masyarakatnya. -
Pada pemahaman Tasawuf yang beredar di wayang Cirebon, nyata sekali adanya pandangan bahwa perupaan dalam kesenian – begitu pula keindahan yang didasarkan kehalusan – hanyalah sebagai media belaka, atau sekadar proses menuju hal yang paling dipentingkan yakni wahdat al-wujud atau manunggaling kawula lan gusti.
Wayang kulit adalah media untuk mengenal Tuhan, dan
bukannya menjadi tujuan hidup yang utama.
VI.2. Saran Khususnya mengenai wayang kulit gagrak Cirebon, Masih banyak yang perlu dikaji dan diangkat dari wayang gagrak ini, terutama dari aspek perupaannya yang khas, karena selama ini image wayang kulit selalu didominasi oleh wayang kulit Jawa Tengah seperti gagrak Surakarta. Padahal banyak hal yang belum diketahui dalam
285 gagrak Cirebon ini dan penulis yakini dapat memperkaya persepsi dan memberikan pemahaman baru yang lebih lengkap dan menyeluruh mengenai apa itu seni tradisional pertunjukan wayang kulit.
Selain itu dikarenakan image-nya yang sangat "primitif", wayang Cirebon dapat dijadikan sebagai acuan napak tilas dakwah para Wali, memberikan gambaran kesejarahan seperti apa materi pedalangan dan pertunjukan wayang kulit pada tahaptahap awal masuknya ajaran Islam.
Untuk dapat mewadahi pemaknaan Tasawuf pada tokoh-tokoh Pewayangan ini tanpa merusak pakem tradisi, sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi wayang sebagai media dakwah, maka paling memungkinkan adalah memaksimalkan fungsi wanda. Karena kondisi spiritual atau nafsu manusia sendiri tidak selalu berpijak pada satu tataran yang tetap, maka wanda sangat cocok untuk mewadahi beberapa tokoh yang sama dengan berbagai kondisi spiritual yang sesuai dengan aspek Tasawuf. Inovasi dan kreasi wanda baru adalah alternatif yang paling memadai untuk hal ini.
Penulisan tesis ini masih terbuka untuk dilanjutkan, ia masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan pembahasannya tidak dapat lebih dalam dan menajam lagi dan belum dapat meliputi figur-figur dari karakter lainnya dalam kisah Pewayangan. Hal ini disebabkan adanya kendala waktu, tenaga, biaya dan pemikiran. Namun penulis berkeyakinan bahwa pada figur-figur karakter Pewayangan masa Kewalen lainnya, tidak terbatas pada gagrak Cirebonan dan Surakarta saja, namun termasuk Yogyakarta, Banyumasan, Betawi hingga Jawa Timuran memuati unsur-unsur ajaran Tasawuf yang masih belum tergali dan dikaji, sesuai dengan hipotesis adanya campur tangan para Wali dalam aspek perupaan. Maka hasil penelitian pada tesis ini adalah sekedar untuk membukakan jalan dan kemungkinan akan adanya penelitian lainnya yang akan mengarah ke sana.