VI. PENGARUH PERILAKU PETANI DALAM MENGHADAPI RISIKO PRODUKSI TERHADAP ALOKASI INPUT USAHATANI TEMBAKAU Penelitian
ini
membagi
responden
berdasarkan
agroekosistem
(pegunungan, sawah dan tegalan) dan sistem yang mereka gunakan dalam usahatani tembakau (kemitraan atau swadaya). Pembedaan ini harus diuji terlebih dahulu, karena pembedaan tidak akan berarti jika kondisi produksi petani pada agroekosistem dan sistem yang berbeda itu sama. Jika yang terjadi demikian maka sebaiknya analisis dilakukan secara keseluruhan. Tetapi jika petani pada agroekosistem dan sistem usahatani yang berbeda memiliki kondisi produksi yang berbeda pula maka analisis yang dilakukan harus dipisah karena menggabungkan analisis secara keseuruhan akan menghasilkan kesimpulan yang tidak benar. Sehubungan dengan hal tersebut maka harus diuji terlebih dahulu apakah terdapat perbedaan kondisi produksi
pada agroekosistem dan sistem usahatani yang
berbeda. Tabel 15. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummi Agroekosistem Pegunungan dan Dataran Rendah pada Usahatani Tembakau di Kabupaten Pamekasan Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Konstanta -0.2455 0.1490 1.647 b Bibit 0.3307 0.3160 1.447 b Tenaga Kerja 0.6806 0.0439 15.490 a Input Lain 0.0324 0.0150 2.160 a Dummi Agroekosistem 0.0704 0.0069 10.368 a LR test 18.43 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Dari hasil analisis produksi dengan memasukkan dummi agroekosistem pada Tabel 15 diperoleh gambaran bahwa produksi tembakau pada agroekosistem pegunungan berbeda dengan kondisi produksi tembakau pada agroekosistem dataran rendah (sawah dan tegal), ini ditunjukkan oleh nilai variabel dummi
105 agroekosistem yang signifikan pada α = 0.01. Oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya akan di bedakan antara petani yang berada pada agroekosistem pegunungan dengan petani pada agroekosistem dataran rendah (sawah dan tegalan). Analisis yang sama juga dilakukan untuk melihat apakah produksi tembakau pada agroekosistem sawah berbeda dengan agroekosistem tegalan, dan hasilnya menunjukkan bahwa dummi agroekosistem signifikan pada α = 0.01. Adanya perbedaan kondisi produksi pada ketiga agroekosistem tersebut mengharuskan pembahasan tersendiri pada masing-masing agroekosistem. Tabel 16. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummi Agroekosistem Sawah dan Tegalan pada Usahatani Tembakau di Kabupaten Pamekasan Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Konstanta -0.0356 0.1868 -0.1907w Bibit 0.3917 0.0189 20.6558 a Tenaga Kerja 0.5587 0.0479 11.6748 a Input Lain 0.0129 0.0042 3.0714 a Dummi Agroekosistem 0.1074 0.0456 2.3553 a LR test 36.74 Keterangan : a nyata pada taraf α=0.01 Sistem usahatani tembakau di Kabupaten Pamekasan dikategorikan menjadi dua yaitu kemitraan dan swadaya. Analisis serupa dilakukan untuk mengetahui apakah kondisi produksi pada kedua sistem tersebut berbeda. Tabel 17 menunjukkan adanya perbedaan kondisi produksi diantara kedua
sistem
usahatani tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh parameter dummi sistem usahatani yang signifikan pada
α = 0.05. Implikasinya adalah
pembahasan tentang
pengaruh perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi terhadap alokasi input usahatani tembakau di Kabupaten Pamekasan, harus dibedakan berdasarkan agroekosistem dan sistem usahataninya.
106 Tabel 17. Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Dummi Sistem Usahatani Tembakau di Pegunungan, Tegalan, dan Sawah di Kabupaten Pamekasan Tahun 2009 Pegunungan Variabel Koefisien Standar Error T hitung Konstanta -1.2190 0.2876 7.6142 a Bibit 0.7056 0.0562 12.546 a Tenaga Kerja 0.4914 0.0824 5.9628 a Input Lain 0.2865 0.1011 2.8338 a Dummi system 0.0767 0.0113 6.7653 a LR test 34.81 Tegalan Konstanta 0.6666 0.3249 2.0516 a Bibit 0.4275 0.0492 8.6941 a Tenaga Kerja 0.3179 0.0588 5.4001 a Input Lain 0.1460 0.0760 1.9210 b Dummi system 0.1166 0.0743 1.5696 b LR test 9.52 Sawah Konstanta -1.1941 0.3427 -3.4840 a Bibit 0.6273 0.0857 7.3164 a Tenaga Kerja 0.5239 0.1013 5.1727 a Input Lain 0.0081 0.0040 2.0250 a Dummi system 0.0881 0.0241 3.6594 a LR test 75.39 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Perilaku Petani dalam Menghadapi Tembakau
Risiko Produksi pada Usahatani
Usahatani tembakau pegunungan dengan sistem kemitraan Komoditas tembakau yang ditanam pada agroekosistem pegunungan memiliki kualitas aromatik yang sangat disukai oleh semua pabrik rokok, dan memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Oleh karena itu permintaan terhadap tembakau pegunungan sangat tinggi. Kondisi ini mendorong sebagian oknum petani untuk mencampur tembakau pegunungan dengan tembakau yang berasal dari dataran rendah (tembakau sawah atau tembakau tegalan). Kejadian ini membuat pabrik rokok Sampoerna atau pabrik rokok lain merasa kehilangan kualitas tembakau yang diinginkan. Berawal dari kejadian ini mereka berupaya
107 untuk menjalin kemitraan dengan petani yang berada pada agroekosistem pegunungan, dengan harapan mereka akan
memperoleh tembakau dengan
kualitas yang diharapkan. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 18) ditunjukkan bahwa luas lahan, bibit, tenaga kerja, pupuk ZK, pupuk NPK, pestisida, dan fungisida berpengaruh positif terhadap produksi tembakau. Jika luas lahan ditambah sebesar 1 persen maka produksi tembakau akan meningkat sebesar 0.193 persen dengan asumsi ceteris paribus. Hal yang sama juga akan terjadi jika bibit, tenaga kerja, pupuk ZK, pupuk NPK, pestisida, dan fungisida ditambah sebesar 1 persen maka produksi akan bertambah masing-masing sebesar 0.084, 0.206, 0.425, 0.145 dan 0.044 persen dengan asumsi ceteris paribus. Jika penggunaan input ditingkatkan, maka dipastikan petani akan dapat menghasilkan tingkat produksi yang lebih tinggi, hal ini disebabkan karena : (1) pupuk NPK mengandung unsur yang lengkap sehingga penambahan pupuk tersebut dapat meningkatkan produksi tembakau, (2) kebijakan penggunaan pupuk majemuk merupakan hal yang sangat relevan dengan upaya peningkatan produksi tembakau, (3) usahatani tembakau tergolong sebagai usahatani yang labour intensive karena hampir 90 persen kegiatan budidaya dilakukan oleh tenaga kerja manusia, mulai dari pembuatan bedengan, penanaman, penyiraman, pemupukan, pemetikan daun pada saat panen sampai dengan penanganan pasca panen, sehingga semakin banyak tenaga kerja yang dicurahkan diharapkan dapat meningkatkan produksi tembakau, dan (4) penggunaan pestisida dan fungisida dapat menekan risiko produksi akibat serangan hama dan penyakit yang seringkali merusak tanaman tembakau pada fase pertumbuhan.
108 Tabel 18. Hasil Estimasi Maksimum Likelihood untuk Parameter Model Fungsi Produksi Frontir dengan Struktur Heteroskedastik pada Produksi Tembakau Pegunungan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Fungsi Produksi Konstanta 2.599 0.932 2.788 a Luas Lahan 0.193 0.114 1.689 b Bibit 0.084 0.065 1.291 b Tenaga kerja 0.206 0.045 4.587 a ZK 0.425 0.082 5.156 a NPK 0.145 0.116 1.254 b Pestisida 0.044 0.032 1.353 b Fungisida 0.156 0.036 4.325 a LR 110.328 Fungsi Risiko Konstanta 0.241 0.108 2.234 a Luas lahan 0.032 0.014 2.303 a Bibit -0.008 0.008 -0.987 a Tenaga kerja -0.006 0.005 -1.292 b ZK -0.006 0.009 -0.650 a NPK -0.023 0.014 -1.586 b Pestisida -0.008 0.004 -1.964 b Fungisida -0.311 0.005 -58.507 a LR 46.35 Fungsi Inefisiensi Konstanta -0.742 0.340 -2.184 a Luas Lahan -0.121 0.125 -0.969 Bibit -0.050 0.031 -1.621 b Tenaga kerja -0.035 0.015 -2.318 a ZK -0.123 0.053 -2.321 a NPK -0.043 0.157 -0.275 a Pestisida -0.067 0.030 -2.221 a Fungisida 0.014 0.045 0.312 a LR 7.53 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Pada fungsi risiko terdapat empat jenis input yang signifikan yaitu : tenaga kerja, NPK, pestisida dan fungisida. Jika input-input tersebut ditambah dengan asumsi ceteris paribus
maka akan menyebabkan penurunan besaran risiko
produksi tembakau. Penambahan penggunaan tenaga kerja mulai dari pengolahan tanah sampai dengan pasca panen dalam usahatani tembakau akan mendorong usahatani tersebut berjalan secara lebih intensif sehingga risiko kegagalan dapat
109 diminimalisasikan. Sedangkan penambahan pupuk NPK akan meningkatkan ketersediaan unsur tersebut dalam tanah, kecukupan unsur ini sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya kerusakan pada fase pertumbuhan, yang pada gilirannya akan dapat mencegah terjadinya risiko kerusakan pada masa tersebut. Penambahan pestisida dan fungisida masih sangat dibutuhkan untuk mengurangi risiko kegagalan akibat serangan hama dan penyakit. Penambahan tenaga kerja, NPK, fungisida dan pestisida dapat menurunkan risiko produksi hal ini juga menjadi indikasi bahwa penggunaan input tersebut masih underuse, ini dapat disebabkan karena rekomendasi penggunaan input–input dari pabrik rokok yang menjadi mitra petani tembakau kurang tepat, dan kekurangpahaman petani tentang teknologi yang disarankan oleh pihak pabrik. Bibit, tenaga kerja, pupuk ZK, dan pestisida seluruhnya berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya jika bibit yang dipergunakan dinaikkan jumlahnya, maka akan terjadi penurunan inefisiensi teknis, karena kerusakan pada sebagian tanaman bisa segera disulam dengan bibit yang lain. Hal yang serupa juga akan terjadi jika tenaga kerja, pupuk ZK dan pestisida ditambah maka dapat menurunkan inefisiensi teknis usahatani tembakau. Analisis ini memberikan gambaran bahwa jika petani tembakau akan mengurangi atau menurunkan besaran risiko dengan menambahkan input pestisida, maka tindakan tersebut juga dapat menurunkan inefisiensi teknis pada usahatani tembakau. Sehingga peningkatan produksi akan dapat dicapai karena penambahan pestisida akan mereduksi risiko produksi dan inefisiensi teknis, dimana kedua faktor tersebut merupakan kendala petani dalam mencapai produksi yang potensial.
110 Perilaku risiko petani tembakau pada agroekosistem pegunungan yang menjalankan sistem kemitraan, dan setelah diuji dengan menggunakan uji t ratarata ditunjukkan dalam Tabel 19. Bila dilihat dari rata-rata nilai θ dan λ maka petani tembakau yang bergabung dalam kemitraan dengan pabrik rokok Sampoerna dikategorikan sebagai petani yang berperilaku risk taker terhadap semua input yang digunakan kecuali input bibit. Pada penggunaan input bibit, petani lebih memilih untuk bersikap risk neutral. Perilaku risk taker yang dipilih oleh petani yang bermitra dengan pabrik rokok dapat terjadi karena : (1) pada usahatani kemitraan terdapat kegiatan pendampingan yang intensif dari pabrik rokok mulai dari pengolahan tanah sampai dengan perlakuan pasca panen, (2) apabila terjadi kerusakan pada tanaman tembakau, petani merasa yakin dapat mengatasi permasalahan tersebut secara bersama-sama dengan pihak yang bermitra, (3) petani tidak terkendala oleh masalah finansial untuk mendapatkan input yang dibutuhkan, hal ini disebabkan karena semua input kecuali tenaga kerja dan lahan disediakan oleh pabrik, dan (4) sikap risk taker terhadap penggunaan input tenaga kerja dapat terjadi karena tenaga kerja yang digunakan sebagian besar berasal dari dalam keluarga atau arisan dengan sesama petani yang ukuran lahanya hampir sama. Petani yang bermitra dengan pabrik rokok, sebagian besar tergabung dalam kelompok tani, dan rata-rata memiliki skala usahatani 0.48 Ha. Walaupun skala usahataninya tidak terlalu besar, namun mereka lebih memilih untuk berperilaku risk taker terhadap risiko produksi. Hasil penelitian ini mendukung temuan Ayinde et al. (2008), yang menyatakan bahwa, banyak sekali petanipetani di Kwara Nigeria yang memiliki skala usahatani kecil berperilaku risk
111 taker. Hal ini bisa terjadi karena mereka tergabung dalam sebuah kelompok tani, dan kelompok tersebut menjadi fasilitas bagi petani untuk berbagi pengalaman sehingga dapat mereduksi ketakutan terhadap risiko. Tabel 19. Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Rata-Rata Nilai θ Rata-Rata Nilai λ Input Produksi Petani Sampel Petani Sampel Luas Lahan 0.0665 0.3239 Bibit 0.0000 0.3240 Tenaga Kerja 0.0013 0.3240 Pupuk ZK 0.0015 0.3239 Pupuk NPK 0.0008 0.3239 Pestisida 0.0766 0.3239 Fungisida 0.0678 0.3870 Rata-Rata 0.0305 0.3329 Uji t rata-rata H0 : θ = 0 ditolak H0 : λ = 0 ditolak H1 : θ > 0 diterima H1 : λ > 0 diterima Nilai rata-rata θ lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata λ, ini berimplikasi bahwa komponen inefisiensi memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keputusan penggunaan input-input dibandingkan dengan komponen risiko, dengan kata lain keputusan petani tembakau untuk menggunakan input– input dalam usahataninya lebih dipengaruhi oleh keinginan untuk mencapai efisiensi teknis yang tinggi daripada ketakutan terhadap risiko produksi. Hal ini dapat terjadi karena dengan sistem usahatani kemitraan, petani tidak dihadapkan pada ketidakpastian harga sehingga peningkatan keuntungan hanya dapat dicapai dengan meningkatkan produksi, dan ini dapat ditempuh dengan jalan meningkatkan efisiensi teknisnya. Usahatani tembakau pegunungan dengan sistem swadaya Tidak semua petani tembakau yang berada pada agroekosistem pegunungan menyukai sistem usahatani kemitraan. Umumnya mereka adalah petani yang memiliki lahan lebih dari satu hektar, dan memiliki modal yang cukup
112 besar. Alasan dominan yang membuat mereka merasa keberatan melakukan kemitraan adalah keterikatan dengan pabrik menghilangkan peluang mereka untuk mendapatkan harga tembakau lebih tinggi dari yang ditawarkan oleh Bandol atau Juragan. Selain itu petani swadaya merasa lebih bebas untuk menjalankan kegiatan usahataninya karena tidak terikat oleh aturan-aturan yang ada dalam sistem usahatani kemitraan. Berdasarkan hasil analisis ditunjukkan bahwa bibit, tenaga kerja, pupuk urea, pupuk ZA dan pestisida berpengaruh positif terhadap produksi tembakau. Jika bibit ditambah sebesar 1 persen maka produksi tembakau akan meningkat sebesar 0.156 persen (dengan asumsi ceteris paribus). Penambahan tenaga kerja, pupuk urea, pupuk ZA dan pestisida sebesar 1 persen, akan meningkatkan produksi tembakau berturut-turut sebesar 0.136, 0.660, 0.092 dan 0.103 persen (Tabel 20). Fungsi ini mencerminkan bahwa petani underuse dalam penggunaan pupuk, kondisi ini bisa terjadi karena : (1) teknik atau cara pemupukan yang mereka lakukan kurang tepat akibatnya banyak pupuk yang tidak terserap dengan baik oleh akar tanaman,
(2) sebagian besar petani
kelompok tani, sehingga mengalami kesulitan
tidak tergabung dengan
untuk mengakses pupuk yang
dibutuhkan, (3) petani tidak mengetahui teknik budidaya yang direkomendasikan, karena mereka melakukan usahatani berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh secara turun-temurun, (4) terbatasnya jumlah penyuluh pertanian menjadi kendala untuk mensosialisasikan teknik-teknik budidaya yang benar, terutama pada agroekosistem yang sulit untuk dijangkau, (5) tenaga kerja yang berusia produktif lebih menyukai bekerja diluar sektor pertanian, bagi petani yang modalnya terbatas kondisi ini akan menyebabkan curahan tenaga kerja di
113 sektor usahatani berkurang, dan (6) adanya keterbatasan infrastruktur seperti jalan, angkutan, kios-kios saprodi juga menjadi kendala bagi petani untuk menggunakan input yang sesuai dengan rekomendasi (Fauziyah et al., 2009) Tabel 20. Hasil Estimasi Maksimum Likelihood untuk Parameter Model Fungsi Produksi Frontir dengan Struktur Heteroskedastik pada Produksi Tembakau Pegunungan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Fungsi Produksi Konstanta 0.303 0.395 0.768 a Bibit 0.156 0.062 2.512 a Tenaga kerja 0.136 0.105 1.293 b Urea 0.660 0.064 10.326 a TSP 0.023 0.035 0.651 a ZA 0.092 0.047 1.953 a Pestisida 0.103 0.059 1.749 a LR 40.87 Fungsi Risiko Konstanta 0.273 0.315 0.864 a Bibit -0.012 0.042 -0.278 a Tenaga kerja -0.027 0.007 -3.621 a Urea -0.008 0.044 -0.178 a TSP 0.007 0.027 0.237 a ZA 0.010 0.030 0.334 a Pestisida -0.005 0.045 -0.124 a LR 10.67 Fungsi Inefisiensi Konstanta -0.698 0.291 -2.340 a Bibit -0.065 0.038 -1.677 b Tenaga kerja -0.109 0.070 -1.552 b Urea -0.013 0.041 -0.321 a TSP -0.031 0.023 -1.356 b ZA -0.014 0.296 -0.463 a Pestisida -0.016 0.038 -0.419 a LR 16.67 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Implikasi kebijakan yang bisa dilakukan adalah : (1) pemerintah diharapkan membantu petani untuk dapat mengakses modal dari lembagalembaga keuangan formal, dengan membuat program-program kredit yang sesuai dengan kemampuan petani tembakau, sehingga petani tidak terjerat dalam
114 lembaga keuangan non formal, (2) mengintensifkan kegiatan penyuluhan dengan harapan petani mengetahui teknik budidaya mulai dari pengolahan tanah sampai pasca panen yang sesuai dengan anjuran, (3) diperlukan peningkatan jumlah tenaga kerja penyuluh, dan peningkatan teknik-teknik ketrampilan penyuluhan supaya mereka dapat diterima oleh petani sehingga petani merasa bahwa kehadiran mereka memberikan manfaat yang besar dalam usahatani tembakaunya, dan (4) perbaikan infrastrutur seperti perbaikan jalan, perbaikan saluran irigasi, menyediakan angkutan sampai
ke pelosok
desa yang sulit dijangkau, dan
memperbanyak kios-kios sarana produksi. Pada fungsi risiko, input tenaga kerja berpengaruh negatif artinya
jika
input tenaga kerja ditambah maka akan menyebabkan penurunan risiko produksi tembakau, hal ini dapat terjadi karena dengan ketersediaan tenaga kerja yang cukup, maka kegiatan pengolahan tanah sampai dengan pasca panen akan berjalan lebih baik sehingga risiko kegagalan yang disebabkan karena kekurangan tenaga kerja dapat dihindari. Pada agroekosistem pegunungan, penawaran tenaga kerja untuk sektor pertanian sangat terbatas, dan sebagian besar hanya memanfaatkan tenaga kerja dari dalam keluarga. Hal ini disebabkan karena tenaga kerja yang tidak memiliki lahan sebagian besar bermigrasi keluar daerah. Hasil penelitian ini mendukung temuan Kumbhakar (2002) dan Villano (2006) yang menunjukkan bahwa penambahan
tenaga kerja memiliki dampak yang signifikan terhadap
penurunan risiko. Input bibit, tenaga kerja, dan pupuk TSP, seluruhnya berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya jika tenaga kerja ditambah maka dapat menurunkan inefisiensi teknis usahatani tembakau, hal yang sama juga terjadi
115 jika pemberian bibit dan pupuk TSP ditingkatkan penggunaannya. Analisis ini memberikan gambaran bahwa jika petani tembakau akan mengurangi atau menurunkan risiko dengan menambahkan pemakaian tenaga kerja maka perilaku tersebut juga dapat menurunkan inefisiensi teknis usahatani tembakau, sehingga mendorong petani tembakau untuk berproduksi secara lebih efisien. Tabel 21. Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Rata-Rata Nilai θ Rata-Rata Nilai λ Input Produksi Petani Sampel Petani Sampel Bibit 0.0131 0.3243 Tenaga kerja 0.1400 0.3348 Urea 0.1639 0.3397 TSP -0.0430 0.3509 ZA -2.4917 0.3417 Pestisida -0.3798 0.3474 Rata-Rata -0.3710 0.2912 Uji t rata-rata H0 : θ = 0 ditolak H0 : λ = 0 ditolak H1 : θ < 0 diterima H1 : λ > 0 diterima Gambaran mengenai perilaku petani dalam menghadapi risiko ditunjukkan dalam Tabel 21. Petani tembakau pada agroekosistem pegunungan yang menggunakan sistem usahatani swadaya memilih untuk bersikap risk taker terhadap penggunaan pupuk urea, bibit, dan tenaga kerja. Hal ini disebabkan karena : (1) rata-rata petani dalam kategori ini memiliki skala usaha yang besar dan permodalan yang cukup kuat, (2) bibit tembakau dapat diperoleh dengan harga yang murah, bahkan setiap tahun dinas perkebunan membagikan bibit secara gratis dalam jumlah yang besar, (3) petani menggunakan pupuk urea secara berlebihan, dan (4) sebagian petani mampu untuk mengupah tenaga kerja di luar keluarga dalam jumlah yang cukup. Sedangkan untuk penggunaan pupuk ZA, TSP, dan pestisida petani berperilaku risk averse. Nilai rata-rata θ negatif dan λ yang positif menunjukan bahwa
secara umum petani pada agroekosistem
116 pegunungan yang menggunakan sistem usahatani swadaya
berperilaku risk
averse terhadap input yang digunakan, ini berarti bahwa dalam berusahatani mereka lebih suka mengambil posisi menghindari risiko. Hasil penelitian tentang perilaku petani yang sebagian besar masuk dalam kategori risk averse ini, sejalan dengan temuan Roger dan Engler (2008), dan Benici et al. (2003). Selain itu nilai rata-rata θ lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata λ, ini berimplikasi bahwa komponen risiko memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keputusan penggunaan input dibandingkan dengan komponen inefisiensi, dengan kata lain keputusan petani tembakau untuk menggunakan input–input dalam usahataninya lebih dipengaruhi oleh ketakutan akan risiko kegagalan daripada keinginan untuk mencapai efisiensi teknis yang lebih baik. Ketakutan terhadap risiko produksi menyebabkan alokasi input yang digunakan dalam usahatani masih underuse. Hal ini bisa dilihat pada analisis fungsi produksinya yang menunjukkan bahwa penambahan input-input yang digunakan akan menyebabkan kenaikan produksi tembakau. Menurut Benici et al. (2003) terdapat tiga kegiatan yang dapat dilakukan untuk mereduksi perilaku risk averse yaitu : (1) diversifikasi komoditas yang dihasilkan, (2) mengadopsi teknologi yang memiliki potensi dapat menurunkan risiko produksi, dan (3) meningkatkan pendapatan off farm Usahatani tembakau tegalan dengan sistem kemitraan Usahatani tembakau dengan sistem kemitraan yang terdapat pada agroekosistem tegalan dilakukan dengan pabrik rokok Gudang Garam. Pelaksanaan kemitraan yang terjalin pada agroekosistem ini, tidak sebaik kemitraan pada agroekosistem pegunungan. Pabrik rokok Gudang Garam
117 bertindak sebagai penyedia pupuk dan bibit, dan melakukan pembinaan. Dalam pelaksanaannya pembinaan
yang dilakukan tidak seintensif pembinaan yang
dilakukan oleh pabrik rokok Sampoerna terhadap petani mitranya. Disamping itu sering terjadi pengingkaran kontrak oleh petani tembakau dalam hal pemasaran produknya. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 22) ditunjukkan bahwa bibit, pupuk urea, pupuk TSP, dan pupuk kandang berpengaruh positif terhadap produksi tembakau. Jika bibit ditambah sebesar 1 persen maka produksi tembakau akan meningkat sebesar 0.055 persen (dengan asumsi ceteris paribus). Penambahan pupuk urea sebesar 1 persen dapat meningkatkan produksi tembakau sebesar 0.13 persen. Sedangkan jika pupuk TSP ditambah sebesar 1 persen maka kenaikan produksi tembakau sebesar 0.321 persen. Hasil analisis ini mencerminkan bahwa masih terdapat peluang yang besar untuk meningkatkan produktivitas tembakau dengan cara meningkatkan penggunaan input-input produksi seperti bibit, pupuk urea, TSP, dan pupuk kandang. Pada fungsi risiko terdapat tiga jenis input yang signifikan yaitu bibit, pupuk urea dan pupuk TSP. Jika penggunaan bibit ditambah maka risiko produksi akan menurun. Begitu juga dengan penambahan pupuk urea atau pupuk TSP juga dapat menyebabkan pengurangan risiko produksi karena penambahan input-input tersebut dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah. Hasil analisis ini tidak sejalan dengan temuan Villano dan Fleming (2004) yang menunjukkan bahwa pupuk dapat meningkatkan risiko pada usahatani padi. Jika pupuk ditambah maka
risiko kerusakan tanaman akan meningkat. Kondisi ini bisa
terjadi karena ketersediaan unsur hara nitrogen dalam tanah sudah mencukupi,
118 sehingga keberadaan pupuk tidak lagi berfungsi sebagai nutrisi tetapi justru dapat menjadi racun bagi tanaman. Tabel 22. Hasil Estimasi Maksimum Likelihood untuk Parameter Model Fungsi Produksi Frontir dengan Struktur Heteroskedastik pada Produksi Tembakau Tegalan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Fungsi Produksi Konstanta 2.428 0.326 7.444 a Bibit 0.055 0.042 1.321 b Tenaga kerja 0.051 0.044 1.176 b Urea 0.130 0.054 2.406 a TSP 0.321 0.061 5.221 a Pupuk kandang 0.217 0.052 4.157 a LR 18.20 Fungsi Risiko Konstanta 6.609 0.360 18.353 a Bibit -0.00003 0.00001 -2.198 a Tenaga kerja -0.00007 0.00012 -0.582 b Urea -0.002 0.0011 -1.536 b TSP -0.005 0.003 -1.685 b Pupuk kandang -0.0002 0.0003 -0.969 b LR 11.18 Fungsi Inefisiensi Konstanta -0.336 0.103 -3.266 a Bibit 0.0000013 0.000003 0.392 b Tenaga kerja -0.00008 0.00004 -1.950 b Urea -0.0006 0.0004 -1.829 b TSP -0.0035 0.0008 -4.340 a Pupuk kandang -0.00022 0.00007 -2.957 a LR 15.66 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Input tenaga kerja, pupuk urea, pupuk TSP dan pupuk kandang seluruhnya berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya jika tenaga kerja ditambah maka dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, hal yang sama juga terjadi jika pemberian pupuk urea atau pupuk TSP atau pupuk kandang ditingkatkan. Analisis ini memberikan gambaran bahwa jika petani tembakau akan mengurangi atau menurunkan risiko dengan menambahkan input pupuk urea
119 atau pupuk TSP, maka perilaku tersebut juga dapat menurunkan inefisiensi teknis pada usahatani tembakau, sehingga menyebabkan petani tembakau berproduksi secara lebih efisien. Hasil analisis di atas memberikan gambaran bahwa dalam berusahatani para petani tersebut belum menggunakan input-input sesuai dengan yang direkomendasikan. Kondisi ini bisa disebabkan karena : pertama, petani tidak menjalankan pemberian input sesuai dengan rekomendasi pabrik rokok yang menjadi mitranya. Terdapat kasus dimana sebagian input yang diberikan oleh pabrik rokok dijual untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Kedua, ketidaktahuan petani dalam menggunakan jumlah input yang seharusnya diberikan karena rendahnya frekuensi pembinaan yang dilakukan oleh pabrik mulai dari pengolahan tanah sampai pasca panen. Pembinaaan hanya dilakukan 2-3 kali selama proses usahatani dilakukan (tidak ada pendampingan yang intensif). Ketiga, rendahnya kapasitas manajerial usahatani yang dicerminkan dari rendahnya sebagian besar
tingkat pendidikan mereka. Keempat, terbatasnya
kesediaan tenaga kerja didalam keluarga karena banyak dari anggota keluarga yang bermigrasi ke luar, disamping itu para petani memiliki keterbatasan dalam membayar tenaga kerja dari luar keluarga. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh gambaran bahwa rata-rata petani berperilaku risk averse terhadap semua input yang digunakan kecuali tenaga kerja (Tabel 23). Ini berarti bahwa dalam berusahatani mereka lebih suka mengambil posisi menghindari risiko. Kondisi ini berbeda dengan kasus kemitraan di agroekosistem pegunungan, dimana petaninya termasuk dalam kategori risk taker atau petani yang lebih suka menghindari risiko. Hal ini dapat terjadi karena
120 komitmen terhadap kemitraan pada agroekosistem pegunungan jauh lebih baik daripada di agroekosistem tegalan. Tabel 23. Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Tegalan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Rata-Rata Nilai θ Rata-Rata Nilai λ Input Produksi Petani Sampel Petani Sampel Bibit -0.1462 0.1311 Tenaga kerja 0.0004 0.7097 Urea -0.2157 0.3239 TSP -8.2721 0.3239 Pupuk kandang -0.8475 0.3238 Rata-Rata -0.1264 0.0241 Uji t rata-rata H0 : θ = 0 ditolak H0 : λ = 0 ditolak H1 : θ < 0 diterima H1 : λ > 0 diterima Selain itu nilai rata-rata θ lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata λ yang positif ini, berimplikasi bahwa komponen risiko memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keputusan penggunaan input-input dibandingkan dengan komponen inefisiensi, dengan kata lain keputusan petani tembakau untuk menggunakan input–input dalam usahataninya lebih dipengaruhi oleh ketakutan akan risiko kegagalan daripada keinginan untuk mencapai efisiensi teknis yang lebih baik. Walaupun sudah terikat dalam sistem kemitraan tetapi petani masih tetap berperilaku risk averse atau lebih memilih untuk menghindari risiko. Kondisi ini dapat terjadi jika kemitraan yang terbentuk tidak berpatokan pada prinsip dasar sebuah kemitraan. Proses kemitraan yang ada hanya berjalan setengah hati, dan bukan didorong oleh keinginan yang kuat untuk mensejahterakan petani tembakau. Disamping itu banyak pihak ketiga seperti oknum bandol dan oknum juragan menginginkan kemitraan tidak berjalan secara terus menerus, karena bagi mereka keberadaan kemitraan dapat menjadi sebab berkurangnya tingkat keuntungan yang dapat diperoleh.
121 Usahatani tembakau tegalan dengan sistem swadaya Dibandingkan dengan jumlah petani yang bermitra dengan pabrik rokok Gudang Garam, petani tembakau pada agroekosistem tegalan yang menggunakan sistem usahatani swadaya jumlahnya jauh lebih besar. Gambaran tentang kondisi produksi, risiko produksi, dan inefisiensi teknis pada petani ini ditunjukkan dalam Tabel 24. Tabel 24. Hasil Estimasi Maksimum Likelihood untuk Parameter Model Fungsi Produksi Frontir dengan Struktur Heteroskedastik pada Produksi Tembakau Tegalan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Fungsi Produksi Konstanta 1.334 0.673 1.984 b Bibit 0.327 0.068 4.800 a Tenaga Kerja 0.048 0.106 0.456w ZA 0.306 0.070 4.354 a TSP 0.102 0.062 1.632 b NPK 0.070 0.082 0.846w Pupuk kandang 0.110 0.047 2.339 a LR 15.66 Fungsi Risiko Konstanta -0.024 0.557 -0.043w Bibit -0.039 0.029 -1.374 b Tenaga Kerja -0.115 0.124 -0.927w ZA -0.031 0.050 -0.617w TSP 0.004 0.026 0.168w NPK -0.124 0.030 -4.149 a Pupuk kandang -0.019 0.015 -1.250 b LR 9.23 Fungsi Inefisiensi Konstanta 0.341 0.145 2.347 a Bibit 0.027 0.039 0.700w Tenaga Kerja -0.012 0.055 -0.216w ZA 0.040 0.051 0.791w TSP -0.001 0.032 -0.033w NPK -0.095 0.026 -3.664 a Pupuk kandang 0.016 0.032 0.505w LR 15.18 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05.
122 Berdasarkan hasil analisis diperoleh gambaran bahwa bibit, pupuk ZA, pupuk TSP, dan pupuk kandang berpengaruh positif terhadap produksi tembakau. Jika bibit ditambah sebesar 1 persen maka produksi tembakau akan meningkat sebesar 0.327 persen (dengan asumsi ceteris paribus). Penambahan pupuk ZA sebesar 1 persen dapat meningkatkan produksi tembakau sebesar 0.306 persen. Jika pupuk TSP ditambah sebesar 1 persen maka kenaikan produksi tembakau sebesar 0.102 persen. Sedangkan penambahan pupuk kandang sebesar 1 persen dapat mendorong kenaikan produksi tembakau sebesar 0.110 persen, hal ini disebabkan karena pupuk kandang dapat berfungsi sebagai : (1) pupuk lengkap yang mengandung semua hara makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman, (2) pupuk kandang mempunyai pengaruh susulan, karena pupuk kandang mempunyai pengaruh untuk jangka waktu yang lama dan merupakan gudang makanan bagi tanaman yang berangsur-angsur menjadi tersedia, (3) dapat memperbaiki struktur tanah sehingga aerasi di dalam tanah semakin baik, (4) meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air, (5) meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga hara yang terdapat di dalam tanah mudah tersedia bagi tanaman, (6) mencegah hilangnya hara
dari dalam tanah akibat proses
pencucian oleh air hujan atau air irigasi, dan (7) mengandung hormon pertumbuhan yang dapat memacu pertumbuhan tanaman (Souri, 2001). Pada fungsi risiko terdapat tiga jenis input yang signifikan yaitu bibit, pupuk NPK dan pupuk kandang. Jika penggunaan bibit ditambah maka risiko produksi akan menurun. Walaupun input bibit mudah untuk didapatkan bahkan seringkali Dinas Perkebunan membagikan bibit secara gratis, namun petani belum menggunakan input ini secara optimal. Penambahan pupuk NPK dan pupuk
123 kandang juga dapat menyebabkan pengurangan
risiko produksi tembakau.
Ketidakmampuan petani untuk menyediakan pupuk NPK dan pupuk urea dalam jumlah yang sesuai dengan rekomendasi disebabkan karena keterbatasan modal yang dimiliki, sulit untuk mengakses kredit modal, dan kekurangpahaman petani terhadap teknologi budidaya yang benar. Mereduksi risiko dapat dilakukan dengan memperkecil variasi produksi. Menurut Doll dan Orazem (1978) ini dapat dilakukan dengan cara : (1) dengan melakukan diversifikasi usahatani karena ini bisa mengurangi ketergantungan pada satu jenis komoditas, (2) melakukan kontrak usahatani dengan perusahaan pengolahan, atau pedagang, dan (3) petani lebih bersifat fleksibel dalam merencanakan produksinya, untuk memperoleh keuntungan atau menghindari kerugian dari kejadian yang tidak dapat diprediksi. Pupuk NPK berpengaruh negatif terhadap inefisieni teknis, artinya jika pupuk NPK ditambah maka dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, analisis ini memberikan gambaran bahwa jika petani tembakau akan mengurangi atau menurunkan risiko dengan menambahkan input pupuk NPK maka perilaku tersebut juga dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, sehingga menyebabkan petani tembakau berproduksi secara lebih efisien. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh gambaran bahwa rata-rata petani tembakau pada agroekosistem tegalan yang menggunakan sistem swadaya berperilaku risk neutral terhadap input bibit, tenaga kerja, pupuk ZA, dan pupuk TSP kecuali pada input pupuk NPK dan pupuk kandang. Namun secara umum mereka berperilaku risk neutral. Ini berarti bahwa dalam berusahatani mereka tidak menghindari risiko atau menyukai risiko. Menurut Aye dan Oji (2004) perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi dipengaruhi oleh umur, tingkat
124 pendidikan, intensitas pertemuan dengan sesama, serta keanggotaan dalam kelompok tani. Petani yang berada pada agroekosistem tegalan dan menggunakan sistem usahatani swadaya, 90 persen adalah orang-orang yang berusia produktif dan 50 persen tingkat pendidikannya Sekolah Menengah. Karakteristik petani yang seperti ini memungkinkan mereka untuk berperilaku risk neutral terhadap risiko produksi. Tabel 25. Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Tegalan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Rata-Rata Nilai θ Rata-Rata Nilai λ Input Produksi Petani Sampel Petani Sampel Bibit 0.0000 0.3240 Tenaga Kerja 0.0000 0.3272 ZA 0.0000 0.3241 TSP 0.0000 0.3246 NPK 0.0011 0.3266 Pupuk kandang 0.0001 0.3220 Rata-Rata 0.000031 0.3247 Uji t rata-rata H0 : θ = 0 diterima H0 : λ = 0 ditolak H1 : θ ≠ 0 ditolak H1 : λ > 0 diterima Nilai rata-rata θ lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata λ hal ini berimplikasi bahwa komponen risiko memberikan pengaruh yang lebih kecil terhadap keputusan penggunaan input-input dibandingkan dengan komponen inefisiensi, dengan kata lain keputusan petani tembakau untuk menggunakan input–input dalam usahataninya lebih dipengaruhi oleh keinginan untuk mencapai efisiensi teknis dibandingkan dengan ketakutan terhadap risiko kegagalan. Usahatani tembakau sawah dengan sistem kemitraan Gambaran mengenai pengaruh input terhadap produksi, besaran risiko dan inefisiensi teknis dijelaskan dalam Tabel 26. Berdasarkan hasil analisis ditunjukkan bahwa bibit, tenaga kerja, pupuk urea, dan pupuk TSP, berpengaruh positif terhadap produksi tembakau. Jika bibit ditambah sebesar 1 persen maka
125 produksi tembakau akan meningkat sebesar 0.301 persen (dengan asumsi ceteris paribus). Penambahan tenaga kerja, pupuk urea dan pupuk TSP sebesar 1 persen dapat meningkatkan produksi tembakau berturut-turut sebesar 0.137, 0.064, dan 0.305 persen dengan asumsi ceteris paribus. Kondisi ini menjadi gambaran bahwa petani tembakau pada agroekosistem sawah yang menggunakan sistem kemitraan, dapat meningkatkan produksi tembakau dengan menambah penggunaan input bibit, tenaga kerja, pupuk urea, dan TSP. Pada fungsi risiko terdapat 2 jenis input yang signifikan yaitu luas lahan dan pupuk ZK. Jika penggunaan luas lahan ditambah maka risiko produksi akan meningkat hal ini bisa terjadi karena dengan semakin luas lahan yang digunakan maka akan semakin sulit untuk mengendalikan kegiatan usahatani yang dilakukan, dan risiko kegagalan produksi juga semakin tinggi. Sedangkan penambahan pupuk ZK mendorong penurunan risiko produksi yang diterima petani. Petani dapat memperkecil risiko dengan menurunkan variasi produksi, melalui peningkatan penggunaan pupuk ZK. Input tenaga kerja, pupuk urea, dan pupuk ZK seluruhnya berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya jika tenaga kerja ditambah maka dapat menurunkan
inefisiensi produksi tembakau, hal yang sama juga terjadi jika
pemberian pupuk urea atau pupuk ZK ditingkatkan. Analisis ini memberikan gambaran bahwa jika petani tembakau akan mengurangi atau menurunkan risiko dengan menambahkan input pupuk urea atau pupuk ZK, maka perilaku tersebut juga dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, sehingga menyebabkan petani tembakau berproduksi secara lebih efisien. Rendahnya penggunaan pupuk ZK dapat disebabkan karena : (1) jumah input yang diberikan oleh pihak plasma
126 (pabrik rokok Gudang Garam) tidak sesuai dengan rekomendasi teknik budidaya yang ada, (2) keterbatasan modal petani, sehingga mereka tidak mampu membeli kekurangan pupuk ZK yang dibutuhkan, dan (3) sebagian pupuk ZK yang diberikan, tidak dapat diserap oleh tanaman karena ketidaktahuan petani tentang teknik pemberian pupuk yang benar. Tabel 26. Hasil Estimasi Maksimum Likelihood untuk Parameter Model Fungsi Produksi Frontir dengan Struktur Heteroskedastik pada Produksi Tembakau Sawah dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Fungsi Produksi Konstanta 1.258 0.285 4.411 a Bibit 0.301 0.102 2.962 a Tenaga Kerja 0.137 0.056 2.455 a Urea 0.064 0.029 2.189 a TSP 0.305 0.084 3.617 a ZK 0.005 0.043 0.105w Pupuk Kandang 0.028 0.025 1.126w LR 19.27 Fungsi Risiko Konstanta 0.780 0.899 0.867w Luas Lahan 0.133 0.113 1.183 b Bibit -0.049 0.115 -0.430w Tenaga Kerja -0.027 0.072 -0.374w Urea -0.005 0.066 -0.074w TSP -0.025 0.088 -0.284w ZK -0.072 0.056 -1.291 b Pupuk Kandang 0.009 0.048 0.197w LR 9.23 Fungsi Inefisiensi Konstanta -0.066 0.426 -0.154w Luas Lahan -0.159 0.053 -2.974 a -0.015 0.054 -0.274w Bibit Tenaga Kerja -0.048 0.034 -1.407 b Urea -0.041 0.031 -1.306 b TSP 0.006 0.042 0.132w ZK -0.039 0.026 -1.472 b Pupuk Kandang 0.002 0.023 0.110w LR 15.18 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05.
127 Rata-rata petani tembakau pada agroekosistem sawah yang menggunakan sistem usahatani kemitraan berperilaku risk averse
terhadap input yang
digunakan. Penyimpangan terhadap komitmen kemitraan yang telah disepakati antara petani dan pabrik rokok, mengakibatkan sistem kemitraan tidak tersebut tidak mampu mereduksi ketakutan petani terhadap risiko produksi (Tabel 27). Tabel 27. Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Sawah dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Rata-Rata Nilai θ Rata-Rata Nilai λ Input Produksi Petani Sampel Petani Sampel Bibit 0.0000 0.0240 Tenaga Kerja 0.0004 0.0240 Urea 0.0052 0.0239 TSP -0.0017 0.0240 ZK -0.0003 0.0240 Pupuk Kandang -0.5845 0.0476 Rata-Rata -0.0967 0.0279 Uji t rata-rata H0 : θ = 0 ditolak H0 : λ = 0 ditolak H1 : θ < 0 diterima H1 : λ > 0 diterima Nilai rata-rata θ lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata λ, ini berimplikasi bahwa komponen risiko memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keputusan penggunaan input-input dibandingkan dengan komponen inefisiensi, dengan kata lain keputusan petani tembakau untuk menggunakan input–input dalam usahataninya lebih dipengaruhi oleh ketakutan akan risiko kegagalan produksi daripada keinginan untuk mencapai tingkat efisiensi teknis. Menurut Debertin (1986) ketakutan terhadap risiko dapat direduksi dengan program kemitaan (contrac farming). Tetapi dalam kenyataannya
kemitraan
antara petani dengan pabrik rokok yang berada pada agroekosistem sawah, tidak membuat para petani bersikap netral terhadap risiko. Ini dapat terjadi karena konsep kemitraan yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) No. 9 tahun 1995 yaitu saling memerlukan, saling memperkuat, saling memperhatikan etika bisnis
128 dan saling menguntungkan tidak dilakukan, sehingga kemitraan yang terjalin gagal untuk mereduksi ketakutan petani terhadap risiko. Usahatani tembakau sawah dengan sistem swadaya Petani-petani yang tidak tergabung dalam kemitraan pada agroekosistem sawah, memberikan gambaran yang berbeda dengan petani yang bermitra dengan pabrik rokok, baik dari sisi produksi, risiko produksi maupun inefisiensi teknis seperti yang ditunjukan dalam Tabel 28. Tabel 28. Hasil Estimasi Maksimum Likelihood untuk Parameter Model Fungsi Produksi Frontir dengan Struktur Heteroskedastik pada Produksi Tembakau Sawah dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Variabel Koefisien Standar Error T hitung Fungsi Produksi Konstanta 4.214 0.940 4.483 a Bibit 0.660 0.093 7.072 a Tenaga Kerja 0.092 0.102 0.892 a Urea 0.211 0.092 2.306 a ZA 0.016 0.068 0.235 a Pupuk Kandang 0.016 0.070 0.232 a Pestisida 0.072 0.056 1.272 b LR 13.12 Fungsi Risiko Konstanta -0.169 0.588 -0.288 w Bibit -0.015 0.006 -2.474 a Tenaga Kerja -0.021 0.008 -2.475 a Urea -0.001 0.068 0.021 w ZA -0.006 0.062 -0.104 w Pupuk Kandang 0.022 0.047 0.474 w Pestisida 0.008 0.039 0.202 w LR Fungsi Inefisiensi Konstanta 0.871 0.228 Bibit -0.077 0.032 Tenaga Kerja -0.065 0.029 Urea -0.046 0.035 ZA 0.003 0.027 Pupuk Kandang -0.014 0.026 Pestisida 0.001 0.020 LR Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05.
77.31 3.817 a -2.406 a -2.240 a -1.301 b 0.107 a -0.517 a 0.071 a 20.81
129 Berdasarkan hasil analisis ditunjukkan bahwa bibit, pupuk urea, dan pestisida berpengaruh positif terhadap produksi tembakau. Jika bibit ditambah sebesar 1 persen maka produksi tembakau akan meningkat sebesar 0.660 persen (dengan asumsi ceteris paribus). Penambahan pupuk urea sebesar 1 persen dapat meningkatkan produksi tembakau sebesar 0.211 persen. Sedangkan jika pestisida ditambah sebesar 1 persen maka kenaikan produksi tembakau
sebesar 0.072
persen. Fungsi ini memberikan gambaran bahwa petani dapat meningkatkan produksi tembakau dengan memberikan penambahan input bibit, pupuk urea, dan pestisida. Keterbatasan kemampuan petani untuk menambah input-input tersebut disebabkan karena petani tidak memahami teknik budidaya yang benar dan sesuai dengan rekomendasi. Pada fungsi risiko terdapat dua jenis input yang signifikan yaitu bibit dan tenaga kerja. Jika penggunaan bibit ditambah maka risiko produksi akan menurun karena kerusakan pada tanaman dapat disulam jika bibit yang digunakan lebih banyak. Begitu juga dengan tenaga kerja, peningkatan penggunaan tenaga kerja dapat menyebabkan pengurangan risiko produksi tembakau, hal ini disebabkan karena dengan adanya tenaga kerja yang cukup, teknis budidaya dapat dilaksanakan dengan secara lebih baik. Kegiatan pengolahan tanah sampai dengan penanganan pasca panen akan berjalan lebih baik jika tenaga kerja yang dimiliki cukup banyak, sehingga risiko kegagalan yang dikarenakan kurangnya tenaga kerja dapat dihindari. Input bibit, tenaga kerja, dan pupuk urea, seluruhnya berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya jika jumlah bibit yang digunakan ditambah maka inefisiensi produksi dapat diturunkan, begitu juga
jika tenaga kerja
130 ditambah maka dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, hal yang sama juga terjadi jika pemberian pupuk urea ditingkatkan. Analisis ini memberikan gambaran bahwa jika petani tembakau akan mengurangi atau menurunkan risiko dengan menambahkan input bibit, dan tenaga kerja maka perilaku tersebut juga dapat menurunkan inefisiensi produksi tembakau, sehingga menyebabkan petani tembakau berproduksi secara lebih efisien. Petani tembakau pada agroekosistem sawah yang menggunakan sistem swadaya berperilaku risk averse terhadap input yang digunakan,
ini berarti
bahwa dalam berusahatani mereka lebih suka mengambil posisi menghindari risiko. Walaupun demikian terhadap input bibit, mereka bersifat risk neutral, hal ini disebabkan karena
harga bibit relatif murah bahkan seringkali Dinas
Perkebunan Kabupaten Pamekasan membagikan input bibit secara gratis Tabel 29. Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Sawah dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Rata-Rata Nilai θ Rata-Rata Nilai λ Input Produksi Petani Sampel Petani Sampel Bibit 0.7028 0.0241 Tenaga Kerja -0.0701 0.0239 Urea -0.5830 0.0420 ZA -0.2733 0.0241 Pupuk Kandang -0.1668 0.0240 Pestisida -0.5615 0.0385 Rata-Rata -0.3929 0.0294 Uji t rata-rata H0 : θ = 0 ditolak H0 : λ = 0 ditolak H1 : θ < 0 diterima H1 : λ > 0 diterima Selain itu nilai rata-rata θ lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata λ, ini berimplikasi bahwa komponen risiko memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keputusan penggunaan input-input
dibandingkan dengan
komponen inefisiensi, dengan kata lain keputusan petani tembakau untuk mengaloksikan input–input dalam usahataninya lebih dipengaruhi oleh ketakutan
131 terhadap risiko produksi daripada keinginan untuk mencapai efisiensi teknis. Ketakutan terhadap risiko produksi dapat direduksi dengan cara bergabung dalam kelompok tani, karena ini merupakan fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk saling berbagi pengalaman (Ayinde et al., 2008). Pengaruh Perilaku Petani dalam Menghadapi Risiko Produksi Usahatani Tembakau terhadap Alokasi Input, Produktivitas dan Keuntungan Diskripsi karakteristik petani tembakau dikaitkan dengan perilaku risiko produksi petani (risk averse, risk neutral, dan risk taker) memberikan gambaran yang lebih menyeluruh tentang petani tembakau di Kabupaten Pamekasan. Tabel 30 menggambarkan bahwa pada agroekosistem dan sistem usahatani yang berbeda ternyata perilaku petani tembakau dalam menghadapi risiko produksi juga berbeda. Pada agroekosistem pegunungan petani yang menggunakan sistem usahatani kemitraan berperilaku risk taker (menyukai risiko) sedangkan petani swadaya lebih memilih untuk menghindari risiko (risk averse), padahal rata-rata tingkat pendidikan dan umur mereka hampir sama. Perbedaan perilaku risiko produksi ini, membawa konsekuensi yang berbeda yaitu petani yang risk averse menghasilkan tingkat produktivitas dan efisiensi teknis yang lebih rendah dibandingkan dengan petani yang risk taker. Sikap risk taker yang ditunjukkan oleh petani yang menggunakan sistem kemitraan, menjadi gambaran bahwa sistem usahatani kemitraan mampu mereduksi ketakutan petani terhadap risiko seperti yang dinyatakan oleh Debertin (1986). Hal ini dapat terjadi karena petani tidak mengalami kendala keterbatasan penggunaan input. Semua input kecuali lahan dan tenaga kerja telah disediakan oleh pihak pabrik. Dalam kemitraan juga terdapat proses pendampingan yang intensif dari pihak pabrik sehingga petani tidak merasa khawatir terhadap risiko produksi.
132 Pada agroekosistem sawah maupun tegalan, petani yang menggunakan sistem usahatani kemitraan memilih untuk menghindari risiko produksi (risk averse). Walaupun rata-rata tingkat pendidikan dan kepemilikan luas lahan pada agroekosistem sawah lebih tinggi, namun hal itu tidak menjadikan mereka berperilaku risk neutral apalagi risk taker. Kondisi ini mencerminkan bahwa agroekosistem dan sistem usahatani tidak mempengaruhi pilihan petani dalam menghadapi risiko. Tabel 30. Karakteristik Petani Tembakau Dikaitkan dengan Perilaku Risiko Produksi di Kabupaten Pamekasan Tahun 2009 Karakteristik Petani Agroekosistem dan Sistem
Perilaku Risiko
Pegunungan Kemitraan Pegunungan Swadaya Tegal Kemitraan Tegal Swadaya Sawah Kemitraan Sawah Swadaya
Risk Taker Risk Averse Risk Averse Risk Neutral Risk Averse Risk Averse
Rata-Rata Tingkat Pendidikan
RataRata Luas Lahan (Ha)
RataRata Umur (Tahun)
Produktivitas (Kg/Ha)
Efisiensi Teknis
SD
0.61
45
861.22
0.89
SD
1.6
46
206.14
0.61
SD
0.62
57
367.42
0.72
SD
0.46
59
180.37
0.63
SMP
1.49
45
772.98
0.86
SMP
0.82
54
289.57
0.79
Petani yang menggunakan sistem usahatani kemitraan dapat menghasilkan tingkat produktivitas dan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang berusahatani dengan sistem swadaya. Kondisi ini dapat terjadi karena : pertama, dalam kemitraan terdapat kegiatan pendampingan. Meskipun frekuensi pendampingan rendah namun kegiatan ini dapat menjadi sarana komunikasi antara petani dengan pihak pendamping untuk membicarakan permasalahan yang sedang
133 dihadapi dan bersama-sama mencari solusinya. Kedua, sebagian besar petani yang menggunakan sistem kemitraan tergabung dalam kelompok tani, sehingga diantara anggota kelompok tani dapat saling berbagi pengalaman dalam menghadapi risiko produksi. Ketiga, petani tidak dihadapkan pada risiko harga sehingga peningkatan keuntungan hanya dapat dicapai apabila petani berusahatani secara efisien. Tabel 31. Konsekuensi Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Kemitraan terhadap Alokasi Input, Efisiensi Teknis, Produktivitas, dan Keuntungan di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Preferensi Risiko
Alokasi Input X3 X4
X1
X2
RT I (0.05)
22 906
277.5
30.28
RT II (0.035)
18 742
261.2
RT III (0.021)
13 152
151.2
TE
Y
Π
UUT
1.04
0.9
722.2
18.8
>0.73
0.78
0.69
0.8
615.1
16. 2
0.45-0.73
0.45
0.45
0.6
391.2
10 .2
< 0.45
X5
X6
111.2
1.02
22.9
86.53
14.54
55.14
Keterangan : RT (risk taker), TE (efisiensi teknis),Y (produktivitas) dan Π keuntungan produksi (Juta Rupiah),UUT (ukuran usahatani diukur dalam Hektar) Petani tembakau pada agroekosistem pegunungan yang melakukan kemitraan dengan pabrik rokok Sampoerna tergolong sebagai petani yang menyukai tantangan (risk taker) padahal sumberdaya yang mereka miliki tidak terlalu besar (secara keseluruhan rata-rata kepemilikan lahan hanya 0.48 hektar). Keberanian untuk mengambil risiko dapat disebabkan karena proses kemitraan yang terjalin cukup baik, dimana masing-masing pelaku kemitraan berpegang pada komitmen yang telah disepakati. Semakin besar lahan yang dikuasai oleh petani, maka petani semakin berani menghadapi risiko produksi. Konsekuensinya semakin besar alokasi input yang digunakan, kegiatan produksi semakin efisien secara teknis, sehingga semakin besar produktivitas dan keuntungan yang diperoleh (Tabel 31).
134 Tabel 32 menunjukkan bahwa perilaku risk averse dipilih oleh petani tembakau yang menggunakan sistem swadaya pada agroekosistem pegunungan. Semakin sempit lahan yang dimiliki oleh petani, maka petani semakin takut terhadap risiko, akibatnya input yang dialokasikan dalam usahataninya semakin sedikit dan semakin tidak efisien secara teknis, sehingga produktivitas dan keuntungan yang diperoleh juga semakin kecil. Tabel 32. Konsekuensi Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Swadaya terhadap Alokasi Input, Efisiensi Teknis, Produktivitas, dan Keuntungan di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Preferensi Risiko
Alokasi Input X3 X4
X1
X2
RA. I (-3.493)
1354
131
43.87
RA.II (-0.773)
2050
146.6
RA.III (-0.280)
2165
154.6
TE
Y
Π
UUT
6.13
0.4
159.8
3. 8
<1.32
25.9
5.04
0.7
228.2
5. 3
1.32-1.62
33.9
5.59
0.8
230.4
5. 4
>1.62
X5
X6
21.42
19.9
64.59
21.61
67.31
21.8
Keterangan : RA (risk averse) Program kemitraan yang berlangsung pada agroekosistem tegalan tidak berjalan sebagaimana layaknya konsep kemitraan. Proses kemitraan yang ada pada agroekosistem ini telah mengabaikan prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Banyak terjadi kasus-kasus pengingkaran kesepakatan baik dari pihak petani maupun pabrik rokok. Oleh karena itu kemitraan yang terjalin tidak membuat petani bersikap netral terhadap risiko apalagi berani menghadapi risiko. Pada agroekosistem ini petani tetap memilih untuk menghindari risiko (risk averse), karena kemitraan yang mereka jalankan tidak membuat para petani tersebut merasa aman dari risiko produksi. Tabel 33. Konsekuensi Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Tegalan dengan Sistem Kemitraan terhadap Alokasi Input, Efisiensi Teknis, Produktivitas, dan Keuntungan di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Preferensi Risiko
X1
Alokasi Input X2 X3 X4
X5
Y
TE
Π
UUT
135 RA.I (-0.465) RA.II (-0.331) RA.III (-0.197)
3205
64.97
34.44
20.33
154
208
0.5
1.62
<0.5
6273
122
55.82
50.13
269
350
0.7
3.14
0.5-1.0
8925
185.2
91.79
84.36
447
545
0.9
4.5
>1.0
Semakin sempit luas lahan yang diusahakan untuk budidaya komoditas tembakau, maka risk averse semakin besar, alokasi input yang dilakukan oleh para petani
semakin sedikit, dan semakin tidak efisien dalam produksinya,
sehingga produktivitas dan keuntungan yang didapatkan
semakin rendah
(Tabel 33). Hasil temuan ini mendukung hasil penelitian Roosen dan Hennesy (2001), yang menyatakan bahwa peningkatan risk averse akan menurunkan penggunaan input. Tabel 34. Konsekuensi Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Tegalan dengan Sistem Swadaya terhadap Alokasi Input, Efisiensi Teknis, Produktivitas, Efisiensi dan Keuntungan di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Preferensi Risiko
Alokasi Input X3 X4
X1
X2
RA (-0.002)
1862
115.6
99
RN (0.0001)
2395
132.1
121.7
Y
TE
Π
UUT
415
218
0.3
1.58
< 0.5
521
257
0.8
1.74
≥ 0.5
X5
X6
32.83
15.3
50.2
18.8
Keterangan : RN (risk neutral) Petani tembakau yang menggunakan sistem usahatani swadaya yang berada pada agroekosistem tegalan dan memiliki lahan kurang dari 0.5 hektar memilih untuk menghindari risiko, sedangkan yang memiliki lahan lebih dari 0.5 hektar berperilaku risk neutral. Preferensi risiko pada petani yang memiliki luas lahan berbeda memiliki dampak yang berbeda terhadap alokasi input yang digunakan. Petani yang menghindari risiko menggunakan input-input yang lebih sedikit dibandingkan dengan petani yang netral terhadap risiko. Sehingga efisiensi tembakau pada petani yang netral terhadap risiko lebih baik daripada petani yang
136 selalu menghindari risiko. Hal yang sama juga terjadi pada produktivitas dan keuntungan yang diterima oleh masing-masing petani (Tabel 34). Tabel 35 menunjukkan bahwa kondisi petani tembakau kemitraan pada agroekosistem sawah memilih untuk menghindari risiko produksi. Petani yang luas lahannya kurang dari 1 hektar tingkat risk aversenya lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang luas lahannya lebih dari 1 hektar. Keputusan petani untuk memilih risk averse berimbas terhadap agroekosistem input yang digunakan. Tabel 35. Konsekuensi Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Sawah dengan Sistem Kemitraan terhadap Alokasi Input, Efisiensi Teknis, Produktivitas, dan Keuntungan di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Preferensi Risiko RA.I (-0.54) RA.II (-0.25)
Alokasi Input X3 X4
X1
X2
23633
286.2
128.8
40921
490.7
236
Y
TE
Π
UUT
507
1040.1
0.7
17. 9
< 1.00
878
1596.7
0.9
23.6
≥ 1.00
X5
X6
123.1
141
200.6
208
Semakin takut petani terhadap risiko maka alokasi input semakin sedikit, efisiensi teknis lebih kecil dibandingkan dengan petani yang risk aversenya (tingkat ketakutannya terhadap risiko) lebih rendah sehingga produktivitas dan keuntungan yang diperoleh juga lebih sedikit. Jika dibandingkan dengan petani yang terdapat pada agroekosistem lain dan sama-sama bersifat risk averse, petani sawah yang menggunakan sistem kemitraan lebih efisien dibandingkan dengan petani yang berperilaku risk averse dan melakukan usahataninya dengan sistem swadaya. Hal ini dapat terjadi karena petani yang berada di sawah dengan sistem kemitraan mengalokasikan input dalam jumlah yang lebih besar, sebagai contoh petani yang sama-sama memiliki lahan lebih besar dari 1 hektar, pada pada
137 organisasi usahatani kemitraan menggunakan jumlah bibit dan tenaga kerja yang jauh lebih besar daripada petani swadaya. Bagi petani tembakau yang berada pada agroekosistem sawah, dan menggunakan sistem swadaya, preferensi risiko mereka bervariasi. Petani yang memiliki luas lahan lebih dari 0.5 hektar lebih memilih untuk tidak menghindari risiko (risk taker). Sebaliknya petani yang lahannnya sempit memilih menghindari risiko, sebagaimana umumnya karakter petani kecil. Perilaku risiko produksi yang berbeda ini juga membawa dampak yang berbeda terhadap alokasi penggunaan input, efisiensi teknis, produktivitas dan keuntungan yang diterima. Tabel 36. Konsekuensi Perilaku Risiko Produksi Petani Tembakau Sawah dengan Sistem Swadaya terhadap Alokasi Input, Efisiensi Teknis, Produktivitas, dan Keuntungan di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Preferensi Risiko
Alokasi Input X3 X4
X1
X2
RA. (-3.02)
6005
161.5
82.6
RT.I (0.12)
3007
101.6
RT.II (0.78)
3120
105
Y
TE
Π
UUT
1.2
299.04
0.4
1. 86
<0.5
329
0.6
292.43
0.7
2. 01
0.5-1.0
352
0.8
317.23
0.9
2. 41
>1.0
X5
X6
63.3
365
89.3
66.1
91.3
79.2
Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan Anderson (1981) yang menyatakan bahwa perilaku dalam menghadapi risiko
itu merupakan sesuatu
yang sangat personal dan berbeda diantara individu-individu. Hampir setiap petani memiliki rasa takut terhadap risiko, dan derajat ketakutan terhadap risiko itu sangat berkaitan dengan ukuran usahatani. Petani-petani yang yang memiliki ukuran usahatani yang lebih besar, memiliki derajat ketakutan terhadap risiko yang lebih kecil dan memperoleh tingkat penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang derajat ketakutannya terhadap risiko lebih besar. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Doll
138 dan Orazem (1978), yaitu petani yang takut terhadap risiko produksi akan mengalokasikan input yang lebih sedikit dibandingkan dengan petani yang menyukai risiko. Dengan kata lain semakin berani petani dalam menghadapi risiko maka input yang dialokasikan semakin besar. Tingkat Efisiensi dan Sumber-Sumber Penyebab terjadinya Inefisiensi pada Usahatani Tembakau Usahatani tembakau pegunungan dengan sistem kemitraan Besarnya alokasi input-input yang digunakan oleh petani tembakau akan menentukan pencapaian tingkat efisiensi. Penggunaan input dibawah rekomendasi akan menyebabkan rendahnya pencapaian tingkat efisiensi teknis. Tabel 37 berikut menggambarkan
efisiensi teknis yang dicapai oleh petani tembakau
kemitraan di Kecamatan Pakong . Tabel 37. Estimasi Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Range Tingkat Efisiensi Teknis Jumlah Petani Prosentase (%) 0.70-0.79 6 8.00 0.80-0.89 37 49.33 0.90-0.99 32 42.67 Efisiensi Teknis Terendah 0.76 Efisiensi Teknis Tertinggi 0.99 Rata-Rata Efisiensi Teknis 0.89 Sebanyak 92 persen petani memiliki efisiensi teknis diatas 0.8, dan hanya terdapat 8 persen petani tembakau yang efisiensi teknisnya dibawah 0.8. Ini juga menjadi gambaran bahwa petani yang tergabung dalam kemitraan dapat berproduksi dengan efisiensi teknis yang cukup tinggi. Walaupun sebagian besar petani telah berproduksi dengan efisiensi teknis yang sangat baik, namun 43 responden masih memiliki tingkat efisiensi dibawah 0.9. Berdasarkan hasil estimasi faktor umur berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis, artinya semakin tua umur petani maka semakin tinggi tingkat
139 inefisinsi teknis dalam usahataninya hal ini disebabkan karena semakin tua usia seorang petani maka semakin menurun kemampuan berusahatani secara lebih baik, dan dapat menjadi penghambat untuk mengadopsi teknologi yang lebih baik, hasil ini sejalan dengan temuan Msuya dan Ashimogo (2005) ; Ureta dan Pinheiro (1997). Teknik budidaya yang kurang baik juga menjadi penyebab inefisiensi teknis dengan kata lain apabila teknik budidaya diperbaiki maka inefisiensi dapat diturunkan. Meskipun petani tergabung dalam kemitraan, tidak menutup kemungkinan adanya bias penerapan teknologi yang direkomendasikan. Mengintensifkan kegiatan penyuluhan pertanian juga dapat mereduksi inefisiensi teknis karena adanya penyuluhan pertanian yang intensif dapat menghindarkan petani dari praktek budidaya yang tidak tepat (Tabel 38). Tabel 38. Hasil Estimasi Sumber-Sumber Penyebab Inefisiensi Teknis pada Usahatani Tembakau Pegunungan dengan sistem Kemitraan di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Variabel Parameter Koefisien Standar T hitung Error Konstanta -0.881 0.971 -0.907 a δ0 Umur 0.271 0.099 2.734 a δ1 Pendidikan 0.141 0.184 0.769 b δ2 Pendapatan Non 0.045 0.090 0.497 b δ3 Usahatani Teknik Budidaya -0.265 0.236 -1.120 b δ4 Penyuluhan Pertanian -0.332 0.197 -1.691 b δ5 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Hasil perhitungan efisiensi alokatif menunjukkan bahwa penggunaan input-input produksi masih underuse. Ini berarti masih terdapat kesempatan untuk meningkatkan produksi dengan jalan menambah jumlah input yang digunakan. Alternatif yang dapat ditempuh adalah melaksanakan teknik budidaya yang sesuai dengan rekomendasi dengan jalan lebih mengintensifkan kegiatan penyuluhan pertanian. Sedangkan nilai efisiensi ekonomianya adalah 0.69. Hal ini
140 menggambarkan bahwa secara ekonomis petani tembakau masih belum efisien. Sumbangan terbesar dari inefisiensi ekonomis ini berasal dari efisiensi alokatif (Tabel 39). Implikasinya adalah peningkatan penggunaan input bibit, tenaga kerja, pupuk dan pestisida dapat dilakukan oleh petani untuk meningkatkan efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis. Dalam hal ini pabrik rokok yang menjadi mitra petani harus menyediakan input bibit, pupuk dan pestisida dalam jumlah yang lebih besar dari yang sebelumnya diberikan kepada petani mitra. Selain itu petani juga harus menyediakan tenaga kerja yang lebih besar, karena dengan ketersediaan tenaga kerja yang cukup, teknik budidaya sesuai rekomendasi akan dapat terlaksana dengan baik. Tabel 39. Hasil Estimasi Efisiensi Alokatif Usahatani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Input Produksi Rata-Rata Efisiensi Alokatif Luas Lahan 0.8764 Bibit 0.6548 Tenaga Kerja 0.7422 ZK 0.6013 NPK 0.8696 Pestisida 0.9314 Fungisida 0.7531 0.7756 Rata-Rata Usahatani tembakau pegunungan dengan sistem swadaya Petani tembakau pegunungan swadaya melakukan usahatani dengan teknik budidaya yang diperoleh dari pengalaman secara turun temurun. Dampaknya terlihat dari nilai efisiensi teknik yang menunjukkan bahwa sebagian besar petani tembakau belum berproduksi secara efisien (Tabel 40). Sebanyak 46.67 persen petani memiliki efisiensi teknis diatas 0.8, dan selebihnya petani tembakau masih berproduksi dengan tingkat efisiensi teknis dibawah 0.8.
141 Tabel 40. Hasil Estimasi Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Range Tingkat Efisiensi Teknis Jumlah Petani Prosentase (%) 0.20-0.29 1 1.33 0.30-0.39 1 1.33 0.40-0.49 0 0.00 0.50-0.59 1 1.33 0.60-0.69 1 1.33 0.70-0.79 36 48.00 0.80-0.89 17 22.67 0.90-0.99 18 24.00 Efisiensi Teknis Terendah 0.25 Efisiensi Teknis Tertinggi 0.97 Rata-Rata Efisiensi Teknis 0.61 Adapun sumber-sumber
inefisiensi ditunjukkan dalam Tabel 41.
Berdasarkan hasil estimasi, faktor pendapatan non usahatani, teknik budidaya, kelompok tani
dan penyuluhan pertanian
berpengaruh negatif
terhadap
inefisiensi teknis, artinya semakin besar pendapatan non usahatani semakin baik teknologi yang digunakan, dan semakin tinggi intensitas penyuluhan pertanian, maka tingkat inefisiensi teknis dapat diturunkan. Variabel
pendapatan non
usahatani berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis, yaitu semakin besar tingkat pendapata non usahatani, maka tingkat inefisiensi teknisnya semakin menurun, hal ini dapat terjadi karena sebagian pendapatan tersebut dialokasikan untuk usahatani tembakau sehingga petani mampu untuk membeli input-input yang dibutuhkan untuk usahatani tembakau dengan jumlah yang lebih besar, dibandingkan dengan para petani yang pendapatan non usahataninya rendah atau tidak memiliki sumber pendapatan diluar usahatani tembakau. Ini sesuai dengan hasil penelitian Ali and Flind (1989). Keikutsertaan petani tembakau dalam kelompok tani dapat mengurangi inefisiensi teknis. Kelompok-kelompok tani yang ada sekarang belum menjadi
142 kelembagaan yang kuat dan dapat diandalkan, namun demikian bergabung dalam kelompok tani, akan memberikan manfaat beberapa manfaat diantaranya : pertama, di dalam kelompok terdapat kegiatan penyuluhan pertanian, meskipun belum dilakukan secara intensif, informasi yang dibawa oleh seorang penyuluh akan menjadi masukan bagi anggota kelompok tani untuk memperbaiki teknik budidaya sampai pasca panen. Kedua, dengan bergabung ke dalam kelompok tani, para anggota kelompok tani tersebut dapat saling berbagi pengalaman teknik budidaya yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas usahatani tembakau mereka. Ketiga, keikutsertaan dalam kelompok tani dan masuk menjadi anggota koperasi, merupakan hal yang dapat dilakukan
untuk mengurangi tingkat
inefisiensi teknis. Keikutsertaan kelompok tarhadap penurunan inefisiensi teknis juga ditemukan oleh Aye dan Oji (2004) dan Ayinde et al.(2008) pada petani di Kwara Nigeria. Sebagian besar kelembagaan kelompok tani yang ada di Kabupaten Pamekasan tidak berjalan dengan baik, karena sebagian besar kelompok tani tersebut dibentuk untuk memenuhi persyaratan mendapatkan input pupuk yang bersubsidi. Beberapa hal yang menggambarkan karakteristik kelompok tani di Kabupaten Pamekasan adalah : (1) tidak memiliki struktur organisasi yang jelas, (2) tidak ada pembagian peran yang jelas diantara anggota dan pengurus kelompok tani, dan (3) program-program kerja kelompok tani tidak terumuskan dengan baik. Hampir serupa
dengan kelembagaan kelompok tani,
kondisi
perkembangan kelembagaan koperasi juga kurang baik, namun demikian peranannya masih dapat dirasakan oleh petani tembakau sebagai penyedia sarana
143 produksi. Berkenaan dengan kondisi kedua kelembagaan tersebut, maka diperlukan adanya pembinaan sumberdaya manusia yang ada didalamnya, pelatihan-pelatihan manajemen, dan pembentukan kelompok tani sebaiknya tidak bersifat top down namun dapat dilakukan dengan memanfaatkan kelompokkelompok yang sudah ada dan telah mengakar di masyarakat. Tabel 41. Hasil Estimasi Sumber-Sumber Penyebab Inefisiensi Teknis pada Usahatani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Variabel Parameter Koefisien Standar T hitung Error Konstanta 6.096 4.454 1.368 b δ0 Umur -0.526 0.623 -0.845w δ1 Pendidikan -0.009 0.722 0.013w δ2 Pendapatan Non -1.536 0.679 -2.261 a δ3 Usahatani Teknik Budidaya -2.361 1.081 -2.218 a δ4 Kelompok Tani -0.299 0.261 -1.145 b δ5 Penyuluhan Pertanian -0.708 0.279 -2.539 a δ6 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Hasil perhitungan efisiensi alokatif menunjukkan bahwa penggunaan input-input produksi masih underuse atau secara alokatif belum efisien. Ini berarti masih terdapat kesempatan untuk meningkatkan produksi dengan jalan menambah jumlah input yang digunakan. Sedangkan nilai efisiensi ekonominya adalah 0.5043 hal ini menggambarkan bahwa secara ekonomis petani tembakau masih jauh dari efisien. Sumbangan terbesar dari inefisiensi ekonomis ini berasal dari efisiensi alokatif. Peningkatan efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomis dapat dilakukan dengan menambah penggunaan input. Penambahan penggunaan input berarti bahwa petani mengurangi derajat ketakutannya terhadap risiko produksi. Ini dapat dilakukan dengan cara : meningkatkan pendapatan non usahatani, bergabung dalam kelompok tani, perbaikan teknik budidaya, dan sering mengikuti
144 kegiatan penyuluhan pertanian yang terkait dengan budidaya tanaman tembakau. Tabel 42 berikut menunjukan nilai efisiensi alokatif pada masing-masing input. Tabel 42. Hasil Estimasi Efisiensi Alokatif Usahatani Tembakau Pegunungan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pakong Tahun 2009 Input Produksi Rata-Rata Efisiensi Alokatif Bibit 0.6961 Tenaga Kerja 0.1324 Urea 0.2790 TSP 0.6313 ZA 0.6116 Pestisida 0.6738 Rata-Rata 0.5043 Hasil analisis pada agroekosistem pegunungan dengan sistem usahatani yang berbeda menunjukkan bahwa petani yang tergabung dalam program kemitraan rata-rata memiliki tingkat efisiensi teknis yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang berusahatani secara swadaya, artinya bahwa bermitra dengan pabrik rokok dapat mengatasi permasalahan keterbatasan modal dan keterbatasan teknologi produksi, karena pada sistem kemitraan terutama di agroekosistem pegunungan terdapat program pembinaan mulai dari pongalahan tanah sampai dengan pasca panen. Implikasinya adalah pemerintah harus terus mendorong dan memfasilitasi terbentuknya program-program kemitraan antara petani dan pabrik rokok. Namun perlu dicatat bahwa dalam program tersebut masing-masing pihak harus konsisten dengan komitmen yang disepakati, karena akan selalu ada pihak-pihak ketiga yang berusaha untuk membuat para petani tidak menjalankan komitmen kemitraan.
Adanya kasus pembelian produk
tembakau oleh Bandol diatas harga yang ditetapkan oleh pabrik, pabrik tidak menjalankan program pendampingan yang seharusnya dilakukan, petani tidak mengalokasikankan seluruh input yang diberikan oleh pabrik yang menjadi mitra,
145 dan petani menjual sebagian input yang diberikan oleh pabrik, merupakan contoh kasus-kasus yang menyebabkan kerusakan sistem kemitraan. Usahatani tembakau tegalan dengan sistem kemitraan Gambaran mengenai tingkat efisiensi teknis petani tembakau tegalan yang menggunakan sistem kemitraan ditunjukkan dalam Tabel 43. Berdasarkan hasil analisis sebanyak 66.66 persen petani memiliki efisiensi teknis dibawah 0.8, dan hanya terdapat 33.34 persen petani tembakau yang efisiensi teknisnya sangat tinggi. Jika dibandingkan dengan jumlah petani yang efisiensinya diatas 0.8 pada petani kemitraan di pegunungan, jumlah petani kemitraan di tegalan yang efisiensi teknisnya tinggi lebih sedikit. Ini terjadi sebagai akibat dari ketidakkonsistenan kemitraan yang dilakukan pada agroekosistem tegalan. Tabel 43. Hasil Estimasi Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Tembakau Tegalan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Range Tingkat Efisiensi Teknis Jumlah Petani Prosentase (%) 0.50-0.59 9 12.00 0.60-0.69 19 25.33 0.70-0.79 22 29.33 0.80-0.89 15 20.00 0.90-0.99 10 13.34 Efisiensi Teknis Terendah 0.55 Efisiensi Teknis Tertinggi 0.92 Rata-Rata Efisiensi Teknis 0.72 Adapun sumber-sumber yang menjadi penyebab inefisiensi teknis ditunjukkan dalam Tabel 44. Berdasarkan hasil estimasi faktor umur berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis, artinya semakin tua umur petani maka semakin tinggi tingkat inefisinsi teknis dalam usahataninya. Hal ini disebabkan karena semakin tua usia seorang petani maka semakin menurun kemampuan berusahatani secara lebih baik, dan dapat menjadi penghambat untuk mengadopsi teknologi yang lebih baik. Sedangkan pendidikan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi
146 teknis, dalam artian semakin tinggi pendidikan seorang petani maka semakin kecil tingkat inefisiensi teknisnya, kondisi ini dapat terjadi karena semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin mudah untuk mengadopsi teknologi yang lebih baik sehingga tingkat inefisiensi usahatani dapat diturunkan. Hasil ini sejalan dengan temuan Theingi dan Thanda (2005), Myusa et al.(2005), Lihn (2005), Bravo dan Pinheiro (1977), dan
Fabiosa et al. (2004). Variabel
pendapatan non usahatani juga berpengaruh secara negatif terhadap inefisiensi teknis, yaitu semakin besar tingkat pendapatan non usahatani, maka tingkat inefisiensi teknisnya semakin menurun, hal ini dapat terjadi karena sebagian pendapatan tersebut dialokasikan untuk usahatani tembakau sehingga dia mampu untuk membeli input-input yang dibutuhkan untuk usahatani tembakau dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan para petani yang pendapatan non usahataninya rendah atau tidak memiliki sumber pendapatan diluar usahatani tembakau. Tabel 44. Hasil Estimasi Sumber-Sumber Penyebab Inefisiensi Teknis Usahatani Tembakau Tegalan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Variabel Parameter Koefisien Standar T hitung Error Konstanta 0.542 0.113 4.796 a δ0 Umur 0.011 0.0045 2.450 a δ1 Pendidikan -0.080 0.028 -2.827 a δ2 Teknik budidaya -0.028 0.708 -0.040w δ3 Pendapatan non usahatani -0.071 0.049 -1.455 b δ4 Kelompok tani -0.028 0.018 -1.555 b δ5 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Kelembagaan
kelompok
tani
yang
ada
masih
sederhana
tetapi
bergabungnya petani tembakau dalam kelompok tani tersebut akan mampu untuk mengurangi inefisiensi teknis karena dalam kelompok tersebut terdapat kegiatan penyuluhan pertanian walaupun tidak secara
intensif. Kehadiran seorang
147 penyuluh akan sangat berarti bagi para petani untuk memperbaiki produktivitas usahataninya, dan ini sulit terjadi apabila petani tidak berinisiatif untuk bergabung dengan kelompok tani yang ada. Sedangkan Variabel teknik budidaya tidak berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis, tetapi ada kecenderungan bahwa kedua variabel tersebut mampu untuk mengurangi inefisiensi teknis usahatani tembakau. Hasil perhitungan efisiensi alokatif menunjukkan bahwa penggunaan input bibit, tenaga kerja, pupuk kandang, dan urea sudah efisien, sedangkan pada penggunaan input TSP masih underuse atau secara alokatif belum efisien. Ini berarti masih terdapat kesempatan untuk meningkatkan produksi dengan jalan menambah jumlah input yang digunakan. Sedangkan nilai efisiensi ekonominya adalah 0.6103, Hal ini menggambarkan bahwa secara ekonomis petani tembakau masih belum efisien. Sumbangan terbesar dari inefisiensi ekonomis ini berasal dari efisiensi teknis. Tabel 45 berikut menunjukan nilai efisiensi alokatif pada masing-masing input. Tabel 45. Hasil Estimasi Efisiensi Alokatif Usahatani Tembakau Tegalan dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Input Produksi Rata-Rata Efisiensi Alokatif Bibit 0.9825 Tenaga Kerja 0.9793 Urea 0.8759 TSP 0.4035 Pupuk Kandang 0.9965 Rata-Rata 0.8476 Usahatani tembakau tegalan dengan sistem swadaya Petani tembakau tegalan yang menggunakan sistem swadaya belum dapat mencapai efisiensi teknis yang tinggi dan ini bisa dilihat dari analisis efisiensi teknis pada produksi tembakau, yang menunjukkan bahwa sebagian besar petani
148 tembakau belum berproduksi secara efisien.
Berdasarkan hasil perhitungan
didapat nilai efisiensi teknis seperti yang terlihat dalam Tabel 46. Sebanyak 90.67 persen petani memiliki efisiensi teknis dibawah 0.8, dan hanya terdapat 9.33 persen petani tembakau yang efisiensi teknisnya sangat tinggi. Tabel 46. Hasil Estimasi Tingkat Efisiensi Teknis Petani Tembakau Tegalan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Range Tingkat Efisiensi Teknis Jumlah Petani Prosentase (%) 0.30-0.39 8 10.67 0.40-0.49 17 22.67 0.50-0.59 7 9.33 0.60-0.69 26 34.67 0.70-0.79 10 13.33 0.80-0.89 4 5.33 0.90-0.99 3 4.00 Efisiensi Teknis Terendah 0.37 Efisiensi Teknis Tertinggi 0.90 Rata-Rata Efisiensi Teknis 0.63 Adapun sumber-sumber yang menjadi penyebab inefisiensi teknis seperti ada dalam Tabel 47 Berdasarkan hasil estimasi faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat inefisiensi teknis adalah : pertama, pendapatan non usahatani, jika pendapatan non usahatani meningkat maka inefisiensi teknis akan mengalami penurunan. Hal ini bisa terjadi karena sebagian pendapatan yang diperoleh di luar usahatani dimanfaatkan untuk membeli input usahatani, yang pada akhirnya akan dapat memperbaiki efisiensi usahataninya. Temuan ini berlawanan dengan temuan Villano dan Fleming (2004) yang menemukan bahwa pendapatan non usahatani dapat meningkatkan inefisiensi karena waktu untuk usahatani sebagian besar terserap dalam kegiatan non farm . Kedua, keikutsertaan petani tembakau dalam kelompok tani
mampu untuk mengurangi inefisiensi
teknis karena dalam kelompok tersebut terdapat kegiatan penyuluhan pertanian walaupun tidak intensif, dan monitoring dari pihak penyuluh terhadap usahatani
149 tembakau yang sedang dilakukan oleh anggota kelompok tani tersebut. Ketiga keiikutsertaan menjadi anggota koperasi juga dapat menurunkan tingkat inefisiensi karena
keberadaan koperasi sangat membantu petani dalam hal
pengadaan input, dengan bergabung menjadi anggota koperasi petani tembakau akan mendapatkan input-input terutama pupuk yang mereka butuhkan dengan cara yang lebih mudah. Tabel 47. Hasil Estimasi Sumber-Sumber Penyebab Inefisiensi Teknis pada Usahatani Tembakau Tegalan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Larangan Tahun 2009 Variabel Parameter Koefisien Standar T hitung Error Konstanta δ0 2.025 1.599 1.266 b Umur δ1 -0.365 0.370 -0.986w Pendidikan δ2 -0.047 0.184 -0.259w Pendapatan non δ4 usahatani -0.083 0.076 -1.096 b Kelompok tani -0.097 0.064 -1.518 b δ5 Koperasi δ6 -0.258 0.144 -1.787 b Keterangan : b nyata pada taraf α = 0.05. Hasil perhitungan efisiensi alokatif menunjukkan bahwa penggunaan input-input produksi masih underuse atau secara alokatif belum efisien. Ini berarti masih terdapat kesempatan untuk meningkatkan produksi dengan jalan menambah jumlah input
yang digunakan. Alternatif yang dapat ditempuh adalah
mengalokasikan sebagian pendapatan untuk usahatani tembakau, dan bergabung dengan kelompok tani maupun koperasi usahatani tembakau, karena dengan bergabung dengan kelompok tani mereka akan dapat berbagi pengalaman dengan petani lain tentang teknik budidaya yang dapat menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi. Sedangkan nilai rata-rata efisiensi ekonominya adalah 0.3837, Hal ini menggambarkan bahwa secara ekonomis petani tembakau masih jauh dari efisien. Tabel 48. Hasil Estimasi Efisiensi Alokatif Usahatani Tembakau Tegalan dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Larangan Tahun 2009
150 Input Produksi Bibit Tenaga Kerja ZA TSP NPK Pupuk Kandang Rata-Rata
Rata-Rata Efisiensi Alokatif 0.6534 0.6941 0.6783 0.2633 0.6851 0.6822 0.6094
Usahatani tembakau sawah dengan sistem kemitraan Hasil program kemitraan yang dijalankan dengan kesungguhan dari masing-masing pelaku menghasilkan tingkat efisiensi teknis yang cukup baik. Dari 75 sampel yang diambil sebanyak 86,67 persen petani memiliki efisiensi teknis diatas 0.8, dan hanya terdapat 13.33 persen petani tembakau yang efisiensi teknisnya dibawah 0.8 (Tabel 49). Tabel 49. Hasil Estimasi Tingkat Efisiensi Teknis Petani Tembakau Sawah dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Range Tingkat Efisiensi Teknis Jumlah Petani Prosentase (%) 0.70-0.79 10 13.33 0.80-0.89 35 46.67 0.90-0.99 30 40.00 Efisiensi Teknis Terendah 0.76 Efisiensi Teknis Tertinggi 0.99 Rata-Rata Efisiensi Teknis 0.86 Adapun sumber-sumber yang menjadi penyebab inefisiensi teknis ditunjukkan dalam Tabel 50. Faktor pendapatan non usahatani, dan kelompok tani berpengaruh secara negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya
jika
pendapatan non usahatani ditingkatkan maka inefisiensi teknis akan mengalami penurunan. Fenomena ini bisa terjadi karena petani tembakau menggunakan sebagian pendapatan dari luar usahatani untuk membeli pupuk atau membayar upah tenaga kerja, dengan harapan mereka dapat meningkatkan produksi tembakaunya. Keanggotaan dalam kelompok tani memiliki beberapa peranan diantaranya menambah wawasan dan saling tukar pengalaman dengan petani lain
151 dalam rangka pelaksanaan teknik budidaya tembakau, memudahkan petani untuk mendapatkan bantuan input pupuk yang bersubsidi, diantara anggota dapat melakukan arisan tenaga kerja sehingga akan kebutuhan tenaga kerja untuk melakukan usahatani sesuai dengan rekomendasi dapat dipenuhi. Tabel 50. Hasil Estimasi Sumber-Sumber Penyebab Inefisiensi Teknis Usahatani Tembakau Sawah dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Variabel Parameter Koefisien Standar T hitung Error Konstanta -0.734 3.323 -0.221w δ0 Umur 0.117 0.194 0.601w δ1 Pendidikan -0.189 0.250 -0.754w δ2 Pendapatan Non Usahatani -0.069 0.049 -1.416 b δ3 Teknik Budidaya 0.362 0.314 1.150w δ4 Penyuluhan Pertanian -0.311 1.026 -0.303w δ5 Kelompok Tani -0.238 0.083 -2.824 a δ6 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Hasil perhitungan efisiensi alokatif menunjukkan bahwa penggunaan input-input produksi masih underuse atau secara alokatif belum efisien. Ini berarti masih terdapat kesempatan untuk meningkatkan produksi dengan jalan menambah jumlah input yang digunakan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah mengalokasikan sebagian pendapatan non usahatani untuk kegiatan usahatani, sehingga dengan meningkatkan jumlah penggunaan input diharapkan terjadi peningkatan produktivitas. Petani yang mengalokasikan tenaga kerjanya untuk kegiatan off farm maka petani seharusnya menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga untuk menjalankan kegiatan usahataninya secara lebih intensif. Sedangkan nilai efisiensi ekonominya adalah 0.6204, Hal ini menggambarkan bahwa secara ekonomis petani tembakau masih belum efisien. Sumbangan terbesar dari inefisiensi ekonomis ini berasal dari efisiensi alokatif . Tabel 51. Hasil Estimasi Efisiensi Alokatif Usahatani Tembakau Sawah dengan Sistem Kemitraan di Kecamatan Pademawu Tahun 2009
152 Input Produksi Bibit Tenaga Kerja Urea TSP ZK Pupuk Kandang Rata-Rata
Rata-Rata Efisiensi Alokatif 0.9952 0.4760 0.9103 0.0623 0.8887 0.9963 0.7214
Usahatani tembakau sawah dengan sistem swadaya Tabel 52 menunjukkan bahwa sebagian besar petani tembakau sawah yang menerapkan sistem swadaya belum berproduksi secara efisien.
Sebanyak 48
persen petani memiliki efisiensi teknis diatas 0.8, sedangkan sisanya mencapai efisiensi teknisnya dibawah 0.8. Terlihat bahwa petani yang menggunakan sistem swadaya dalam berusahatani tembakau memiliki tingkat efisiensi teknis yang lebih rendah daripada petani yang bermitra dengan pabrik rokok. Tabel 52. Hasil Estimasi Tingkat Efisiensi Teknis Usahatani Tembakau Sawah dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Range Tingkat Efisiensi Teknis Jumlah Petani Prosentase (%) 0.40-0.49 8 10.67 0.50-0.59 2 2.67 0.60-0.69 13 17.33 0.70-0.79 16 21.33 0.80-0.89 10 13.33 0.90-0.99 26 34.67 Efisiensi Teknis Terendah 0.42 Efisiensi Teknis Tertinggi 0.98 Rata-Rata Efisiensi Teknis 0.79 Adapun sumber-sumber yang menjadi penyebab inefisiensi teknis di ditunjukkan dalam Tabel 53. Faktor umur berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis, hal ini
disebabkan karena semakin tua usia seorang petani maka
kemampuan berusahatani secara lebih baik semakin menurun, dan dapat menjadi penghambat untuk mengadopsi teknologi yang lebih baik. Sedangkan pendidikan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis, dalam artian semakin tinggi
153 pendidikan seorang petani maka semakin kecil tingkat inefisiensi teknisnya, kondisi ini dapat terjadi karena semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin mudah untuk mengadopsi teknologi yang
lebih baik.Variabel
pendapatan non usahatani juga berpengaruh secara positif terhadap inefisiensi teknis, yaitu semakin besar tingkat pendapata non usahatani, maka tingkat inefisiensi teknisnya semakin meningkat, hal ini dapat terjadi karena sebagian besar waktu yang dimiliki digunakan untuk mengerjakan aktivitas diluar usahatani tembakau, dan pendapatan dari sektor non usahatani tidak dialokasikan pada usahatani tembakau. Keikutsertaan petani tembakau dalam koperasi untuk mengurangi inefisiensi teknis karena
mampu
keberadaan koperasi sangat
membantu petani dalam hal pengadaan input. Tabel 53. Hasil Estimasi Sumber-Sumber Penyebab Inefisiensi Teknis Usahatani Tembakau Sawah dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Standar T hitung Variabel Parameter Koefisien Error Konstanta -0.804 1.268 -0.634w δ0 Umur 1.492 0.462 3.227 a δ1 Pendidikan -1.497 0.983 -1.523 b δ2 Pendapatan Non 0.465 0.357 1.301 b δ3 Usahatani Teknik Budidaya -0.682 0.434 1.571 b δ4 Penyuluhan Pertanian 0.471 0.506 0.932w δ5 Kelompok Tani 0.005 0.207 0.024w δ6 Anggota Koperasi 0.984 0.441 -2.233 a δ7 Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf α 0.01 dan 0.05. Hasil perhitungan efisiensi alokatif (Tabel 54) menunjukkan bahwa penggunaan input-input produksi masih underuse atau secara alokatif belum efisien. Ini berarti masih terdapat kesempatan untuk meningkatkan produksi dengan jalan menambah jumlah input yang digunakan. Sedangkan nilai efisiensi ekonominya adalah 0.5165, Hal ini menggambarkan bahwa secara ekonomis
154 petani tembakau masih belum efisien. Sumbangan terbesar dari inefisiensi ekonomis ini berasal dari efisiensi alokatif. Tabel 54. Hasil Estimasi Efisiensi Alokatif Usahatani Tembakau Sawah dengan Sistem Swadaya di Kecamatan Pademawu Tahun 2009 Input Produksi Rata-Rata Efisiensi Alokatif Bibit 0.1413 Tenaga Kerja 0.6745 Urea 0.8984 ZA 0.8902 Pupuk Kandang 0.7639 Pestisida 0.5548 Rata-Rata 0.6539